Post on 16-Oct-2021
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TB Paru
2.1.1 Pengertian TB Paru
Bakteri penyebab penyakit Tuberkulosis ini pertama kali ditemukan oleh
Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882. Penyakit tuberkulosis paru adalah
penyakit infeksi kronik jaringan paru yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis, penyakit TB Paru pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch
Pulmonum (KP) (Nizar, 2010).
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes, 2011). Tuberculosis
adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ, terutama paru-paru. Penyakit
ini apabila tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan
komplikasi berbahaya hingga kematian (Kemenkes RI, 2016).
Mycobacterium tuberculosis merupakan basil tahan asam berukuran 0,5-3
μm. Mycobacterium tuberculosis ditularkan melalui droplet udara yang disebut
sebagai droplet nuclei yang dihasilkan oleh penderita TB paru ataupun TB laring
pada saat batuk, bersin, berbicara, ataupun menyanyi. Droplet ini akan tetap berada
di udara selama beberapa menit sampai jam setelah proses ekspektorasi (Amanda,
2018).
14
2.1.2 Etiologi Penyakit TB Paru
Etiologi tuberkulosis paru adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Bakteri ini berbentuk batang yang tahan asam atau sering disebut sebagai basil
tahan asam, intraseluler, dan bersifat aerob. Basil ini berukuran 0,2-0,5 µm x 2-4
µm, tidak berspora, non motil, serta bersifat fakultatif. Dinding sel bakteri
mengandung glikolipid rantai panjang bersifat mikolik, kaya akan asam, dan
fosfolipoglikan. Kedua komponen ini memproteksi kuman terhadap serangan sel
liposom tubuh dan juga dapat menahan zat pewarna fuchsin setelah pembilasan
asam (pewarna tahan asam) (Jahja, 2018).
Bakteri tuberkulosis mati pada pemanasan 1000C selama 5-10 menit atau
pada pemanasan 600C selama 30 menit, dengan alcohol 70-95% selama 15-30 detik.
Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara terutama ditempat yang lembab dan gelap
(bisa berbulan-bulan), namun tidak tahan terhadap sinar atau aliran udara
(Widoyono, 2011).
2.1.3 Patofisiologi TB Paru
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem
pertahanan mukosiler bronkus dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan
menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan
cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan radang didalam paru. Aliran
getah bening akan membawa kuman TB ke kelenjar getah bening di sekitar hilus
paru, ini disebut sebagai kompleks primer. Kelanjutan dari infeksi primer tergantung
dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya kuman yang masuk dan besarnya
15
respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan
tubuh dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian
beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persisten atau dorman (tidur).
Kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman,
akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi sakit TB (Depkes,
2008).
2.1.4 Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis
Naga (2014) menyatakan bahwa bentuk penyakit tuberkulosis ini dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tuberkulosis paru dan tuberkulosis ekstra paru.
2.1.4.1 Tuberkulosis Paru
Penyakit ini merupakan bentuk yang paling sering dijumpai, yaitu sekitar
80% dari semua penderita. Tuberkulosis yang menyerang jaringan paru-paru ini
merupakan satu-satunya bentuk dari TB yang mudah tertular kepada manusia lain,
asal kuman bisa keluar dari si penderita (Naga, 2014). Menurut Werdhani (2014),
klasifikasi TB Paru terdiri dari :
1. Tuberkulosis Paru BTA positif
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto roentgen dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
c. Satu atau lebih specimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
16
2. Tuberkulosis paru BTA negatif
a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
b. Foto toraks abnormal menunjukan gambaran tuberkulosis
c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotikan non OAT
d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
2.1.4.2 Tuberkulosis Ekstra Paru
Penyakit ini merupakan bentuk penyakit TBC yang menyerang organ tubuh
lain, selain paru-paru, seperti pleura, kelenjar limfe, persendian tulang belakang,
saluran kencing, dan susunan saraf pusat. Oleh karena itu, penyakit TBC ini
kemudian dinamakan penyakit yang tidak pandang bulu, karena dapat menyerang
seluruh organ dalam tubuh manusia secara bertahap. Dengan kondisi organ tubuh
yang telah rusak, tentu saja dapat menyebabkan kematian bagi penderitanya (Naga,
2014). Menurut Azzahra (2017) bahwa TB ekstra paru dibagi berdasarkan pada
tingkat keparahan penyakitnya yaitu:
1. TB ekstra paru ringan
Misalnya : TB kelenjer limphe, pleuritis eksudativa unilateral tulang, sendi, dan
kelenjer adrenal.
2. TB ekstra berat
Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa
dupleks, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.
2.1.5 Kualifikasi Penderita TB Paru
Depkes (2008) menyatakan tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat
pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu :
17
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah di obati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b. Kasus kambuh (relaps)
Pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, di
diagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
c. Kasus setelah putus berobat (default)
Pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.
d. Kasus gagal (failure)
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
e. Pindahan (transfer in)
Pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register tuberkulosis
lain untuk melanjutkan pengobatannya.
f. lain lain
Semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, kelompok ini
masuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA
positif setelah selesai pengobatan ulangan.
2.1.6 Faktor Risiko Penyakit TB Paru
Penyakit TB Paru yang disebabkan terjadi ketika daya tahan tubuh menurun.
Dalam perspektif epidemiologi yang melihat kejadian kejadian penyakit sebagai
18
hasil interaksi antar tiga komponen penjamu (host), penyebab (agent), dan
lingkungan (environmental) dapat ditelaah faktor risiko dari simpul-simpul tersebut
(Kemenkes, 2018).
2.1.6.1 Host
Penjamu adalah semua faktor pada diri manusia yang dapat mempengaruhi
dan timbulnya suatu perjalanan penyakit. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan
penyakit pada penjamu terdiri dari umur, jenis kelamin, imunitas dan adat
kebiasaan (Kunoli, 2013).
1. Pengetahuan
Notoatmojo menyimpulkan bahwa pengetahuan seseorang mempengaruhi
perilaku individu, dengan kata lain semakin tinggi pengetahuan seseorang tentang
kesehatan maka akan semakin tinggi pula kesadarannya untuk berperan serta
dalam kegiatan kesehatan (Anugrah, 2012).
2. Faktor Sosial Ekonomi
Faktor sosial ekonomi sangat erat kaitannya dengan kondisi rumah,
kepadatan hunian, lingkungan perumahan, serta lingkungan dan sanitasi tempat
bekerja yang buruk. Semua faktor tersebut dapat memudahkan penularan
tuberkulosis. Pendapatan keluarga juga sangat erat dengan penularan tuberkulosis,
karena pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat hidup layak dan
memenuhi syarat-syarat kesehatan (Naga, 2014).
3. Imunitas
Pencegahan dengan Imunisasi atau vaksinasi merupakan tindakan yang
mengakibatkan seseorang mempunyai ketahanan tubuh yang lebih baik, sehingga
19
mampu mempertahankan diri terhadap penyakit atau masuknya kuman dari luar.
Vaksinasi terhadap penyakit tuberkulosis menggunakan vaksin Bacillus Calmette-
Guerin (BCG) dari galur Mycobacterium bovis yang telah dilemahkan (Roitt, 1997).
Vaksin ini dikembangkan pada tahun 1950 dari M. tuberculosis yang hidup
(live vaccine) karenanya bisa berkembang biak di dalam tubuh dan diharapkan bisa
mengindus antibody seumur hidup. Selain itu, pemberian dua atau tiga kali tidak
berpengaruh. Vaksin BCG hanya diperlukan sekali seumur hidup. Di Indonesia
vaksin ini diberikan sebelum berumur dua bulan. Imunisasi TBC tidak sepenuhnya
terlindungi dari serangan TBC karena tingkat efektivitas vaksin hanya berkisar
antara 70-80% (Zulkoni, 2011).
4. Status Gizi
Kekurangan kalori, protein, vitamin,zat besi, dan lain-lain (malnutrisi), akan
mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang, sehingga rentan terhadap penyakit
termasuk tuberkulosis paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang
berpengaruh dinegara miskin, baik pada orang dewasa maupun anak-anak (Naga,
2014).
5. Adat Kebiasaan
1) Merokok
Merokok dapat memperlemah paru dan menyebabkan paru lebih mudah
terinfeksi bakteri tuberkulosis. Asap rokok dalam jumlah besar yang dihirup
dapat meningkatkan risiko keparahan Tuberkulosis, kekambuhan, dan
kegagalan pengobatan Tuberkulosis. Adanya kebiasaan merokok pada
20
seseorang akan mempermudah untuk terinfeksi TB Paru (Angraeni dkk,
2015). Katagori perokok di bagi atas 3 kelompok yaitu :
a) perokok ringan : apabila merokok kurang dari 10 batang perhari
b) perokok sedang : jika menghisap 10-20 batang perhari
c) perokok berat : jika menghisap lebih dari 20 batang perhari (Arief,
2011).
2) Kebiasaan membuka jendela setiap hari
Jendela berfungsi untuk memperoleh cahaya yang cukup pada siang hari.
Cahaya sangat penting untuk membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam
rumah (Joko, 2010).
3) Kebiasaan menjemur kasur/bantal/guling
Kebiasaan menjemur kasur secara berkala dapat berfungsi sebagai pencegahan
terhadap penularan penyakit TB paru dalam rumah tangga. kasur penderita
sebaiknya dijemur minimal seminggu sekali (Hiswani, 2009).
6. Umur
Penyakit tuberkulosis paling sering ditemukan pada usia muda atau usia
produktif, yaitu 15-50 tahun. Dewasa ini, dengan terjadinya transisi demografi,
menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut, lebih
dari 55 tahun sistem imunologi seseorang menurun, sehingga sangat rentan
terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit tuberkulosis paru (Naga, 2014).
7. Jenis Kelamin
Menurut WHO, sedikitnya dalam periode setahun ada sekitar 1 juta
perempuan meninggal akibat tuberkulosis paru. Dari fakta ini dapat disimpulkan
bahwa kaum perempuan lebih rentan terhadap kematian akibat serangan
21
tuberkulosis paru dibandingkan akibat proses kehamilan dan persalinan. Pada laki-
laki penyakit ini lebih tinggi, karena rokok dan minuman alkohol dapat menurunkan
sistem pertahanan tubuh (Naga, 2014).
8. Pekerjaan
Hubungan antara penyakit TB Paru erat kaitannya dengan pekerjaan. Secara
umum peningkatan angka kematian yang di pengaruhi rendahnya tingkat sosial
ekonomi yang berhubungan dengan pekerjaan merupakan penyebab tertentu yang
didasarkan pada tingkat pekerjaan. Hasil penelitian mengemukakan bahwa sebagian
besar penderita TB Paru adalah tidak berkerja (53,8%) (Muaz, 2014).
2.1.6.2 Agen
Penyebab penyakit merupakan zat, dimana dalam jumlah yang melebihi
batas tertentu atau mungkin sebaliknya, dalam jumlah sedikit atau sama sekali tidak
ada, dapat menimbulkan proses penyakit, dalam kusus TB Paru agen penyebab
penyakit adalah Mycobacterium tuberculoisis (Sulistyaningsih, 2011).
2.1.6.3 Lingkungan
Sanitasi lingkungan perumahan sangat berkaitan dengan penularan
penyakit. Rumah dengan pencahayaan dan ventilasi yang baik akan menyulitkan
pertumbuhan kuman, karena sinar ultraviolet dapat mematikan kuman dan ventilasi
yang baik menyebabkan pertukaran udara sehingga mengurangi kosentrasi kuman
(Siddiq, 2013).
2.1.7 Gejala Penyakit TB Paru
Untuk mengetahui tentang penderita tuberkulosis dengan baik harus
dikenali tanda dan gejalanya. Seseorang ditetapkan sebagai tersangka penderita
22
tuberkulosis paru apabila ditemukan gejala klinis utama (cardinal symtom) pada
dirinya (Widoyono, 2011).
Gejala utama pasien TB Paru yaitu batuk berdahak selama 2 minggu atau
lebih. Batuk dapat di ikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan (Kemenkes, 2018).
Gejala-gejala yang terkena serangan kuman TBC umumnya batuk kronis,
demam dan berkeringat diwaktu malam. Serta terjadi keluhan dalam pernapasan,
badan selalu terasa letih, lesu serta rasa nyeri dibagian dada. Dahak penderita
berupa lendir yang kadang-kadang bercampur dengan darah. Batuk penderita bisa
sampai 3 minggu atau lebih. Pada tahap lanjut, dapat juga dijumpai dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak napas. Berat badan menurun, rasa demam
dan meriang (Syaidam, 2011).
Dengan strategi yang baru (DOTS, directly observed treatment shortcourse),
gejala utamanya adalah batuk berdahak dan terus-menerus selama 3 minggu atau
lebih. Berdasarkan keluhan tersebut seseorang sudah dapat ditetapkan sebagagai
tersangka. Gejala lainnya adalah gejala tambahan. Dahak penderita harus diperiksa
dengan pemeriksaan mikroskopis (Widoyono, 2011).
2.1.8 Komplikasi Penyakit TB Paru
Komplikasi TB bisa mencapai selaput otak, dengan akibat radang selaput
otak (meningitis). Melalui aliran darah dan kelenjar getah bening, bakteri bisa
menyebar ke organ tubuh lain seperti, kerusakan tulang dan sendi karena infeksi
23
bakteri TB menyebar dari paru-paru ke jaringan tulang, kerusakan hati dan ginjal,
kerusakan jantung, gangguan mata yang ditandai dengan mata yang berwarna
kemerahan karena iritasi dan pembengkakan retina atau bagian lain, dan resistensi
bakteri terjadi karena pasien TB tidak disiplin dalam menjalani masa pengobatan
sehingga terputus dan mengalami resistensi atau sering disebut TB MDR
(Handrawan, 2010).
Komplikasi yang terjadi pada stadium lanjut adalah hemoptisis berat
(pendarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian
karena syok, terseumbatnya jalan napas, kolaps spontan karena kerusakan jaringan
paru, penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan
sebagainya (Zulkoni, 2011).
2.1.9 Penularan Penyakit TB Paru
Penyakit TB Paru ditularkan melalui udara (Droplet nuclei) saat seorang
penderita tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut
terhirup oleh orang lain saat bernapas. Bila penderita batuk, bersin atau berbicara
saat berhadapan dengan orang lain, basil tuberkulosis tersembur dan terhisap
kedalam paru orang yang sehat. Masa inkubasinya selama 3-6 bulan (Widoyono,
2011).
Penyebaran kuman tuberkulosis terjadi diudara melalui dahak yang berupa
droplet. Pada saat penderita batuk atau bersin kuman TB Paru dan BTA (+) yang
berbentuk droplet sangat kecil ini akan berterbangan diudara. Droplet yang sangat
kecil ini kemudian mengering dengan cepat dan menjadi droplet yang mengandung
kuman tuberkulosis (Naga, 2014).
24
Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan diudara pada suhu kamar
selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup
kedalam saluran pernapasan. Selama kuman TB masuk kedalam tubuh manusia
melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh
lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran napas atau
penyebaran langsung kebagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang
penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin
tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut.
Bila hasil pemeriksaan dahak negatif, maka penderita tersebut dianggap tidak
menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet
dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Zulkoni, 2011).
Droplet yang mengandung kuman dapat terhisap oleh orang lain. Jika kuman
tersebut sudah menetap dalam paru seseorang yang menghirupnya, kuman mulai
membelah diri (berkembang biak) dan terjadi infeksi. Orang yang serumah dengan
penderita TB Paru BTA (+) adalah orang yang besar kemungkinannya terpapar
kuman tuberkulosis (Notoatmojo, 2011).
Setiap satu BTA Positif akan menularkan kepada 10-15 orang lainnya,
sehingga kemungkinan setiap kontak untuk tertular tuberkulosis adalah 17%. Hasil
studi lainya melaporkan bahwa kontak terdekat (keluarga serumah) akan dua kali
lebih berisiko dibandingkan kontak biasa (tidak serumah) (Widoyono, 2011).
2.1.10 Pengobatan TB Paru
Masa penyembuhan TB Paru berbeda-beda pada setiap penderita, hal ini
bergantung pada kondisi kesehatan penderita TB serta tingkat keparahan TB yang
25
dialami. Kondisi pasien TB biasanya akan mulai membaik dan TB berhenti menular
setelah mengonsumsi obat TBC selama 2 minggu. Tetapi untuk memastikan
kesembuhan total, pasien TB harus menggunakan obat TB atau antibiotik yang
diberikan dokter selama 6-9 bulan. Pengobatan TB biasanya memakan waktu cukup
lama karena sifat infeksinya yang mudah menular dan cukup serius. Jika tidak
disiplin minum obat, ada peluang besar untuk berbagai efek samping dan
komplikasi TB yang mungkin muncul, misalnya bakteri yang kebal terhadap
antibiotik sehingga gejala malah makin parah dan makin sulit untuk diobati
(Quamila, 2018).
Sumber penyebaran tuberkulosis adalah penderita tuberkulosis itu sendiri,
maka perlu pengontrolan secara efektif penderita tuberkulosis untuk mengurangi
pasien tuberkulisis. Ada dua cara yang tengah dilakukan untuk mengurangi
penderita tuberkulosis saat ini, yaitu terapi dan imunisasi (Zulkoni, 2011).
Terdapat 5 jenis anibiotik yang dapat digunakan bagi penderita TB. Infeksi
tuberkulosis pulmoner aktif seringkali mengandung 1 miliar atau lebih bakteri,
sehingga jika hanya diberikan satu macam obat, maka akan menyisakan ribuan
bakteri yang resisten terhadap obat tersebut. Oleh karena itu, paling tidak diberikan
2 macam obat yang memiliki mekanisme kerja yang berlainan (Humaira, 2013).
Antibiotik yang sering digunakan adalah isoniazid, rifampicin, pirazinamid,
streptomisin, dan etambutol. Isoniazid, rifampicin, dan pirazinamid dapat
digabungkan dalam satu kapsul. Ketiga obat tersebut dapat menyebabkan mual dan
muntah sebagai akibat dari efeknya terhadap hati (Mahdiana, 2010).
26
Widoyono (2011) menyatakan pengobatan TB Paru menggunakan obat anti
tuberkulosis (OAT) dengan metode directly observed treatment shortcourse (DOTS).
Dengan beberapa kategori yaitu :
1. Kategori I (2 HRZE/4 H3R3) untuk pasien TBC baru
2. Kategori II (2 HRZES/ HRZE/5 H3R3E3) untuk pasien ulangan (pasien yang
pengobatan kategori I-nya gagal atau pasien yang kambuh).
3. Kategori III (2 HRZ/4 H3R3) untuk pasien baru dengan BTA (-), Ro (+).
4. Sisipan (HRZE) digunakan sebagai tambahan bila pada pemeriksaan akhir
tahap intensif dari pengobatan dengan kategori I atau kategori II ditemukan
BTA (+). Obat diminum sekaligus satu jam sebelum makan pagi.
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat
badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Paket
Kombipak. adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini
disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami
efek samping OAT KDT (Depkes, 2011).
2.1.11 Diagnosis TB Paru
Diagnosis TB Paru pada orang dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA
pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Ada beberapa cara dalam melakukan
diagnosis TB Paru diantaranya :
27
1. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
2. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan
dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti
foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang
diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
3. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada
TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis (Depkes, 2011).
2.1.12 Pencegahan TB Paru
Naga (2012) berpendapat bahwa tindakan yang dilakukan untuk mencegah
penyakit TB Paru, yaitu :
a. Bagi penderita, pencegahan penularan dapat dilakukan dengan menutup
mulut saat batuk, dan membuang dahak tidak disembarang tempat.
b. Bagi masyarakat, pencegahan penularan dapat dilakukan dengan
meningkatkan ketahanan terhadap bayi, yaitu dengan memberikan vaksin
BCG.
c. Bagi petugas kesehatan, pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan
penyuluhan tentang penyakit TB, yang meliputi gejala, bahayadan akibat
yang ditimbulkan terhadap kehidupan masyarakat pada umumnya.
d. Petugas kesehatan juga harus segera melakukan pengisolasian dan
pemeriksaan terhadap orang orang yang terinfeksi atau dengan memberikan
28
pengobatan khusus kepada penderita TB Paru. pengobatan dengan cara di
rawat dirumah sakit hanya dilakukan bagi penderita dalam katagori berat
dan memerlukan pengembangan program pengobatan sehingga tidak
dikehendaki pengobatan jalan.
e. Pencegahan penularan juga dapat dicegah dengan melaksanakan desinfeksi,
seperti cuci tangan, kebersihan rumah yang ketat, perhatian khusus
terhadap muntahan atau ludah anggota keluarga yang terjangkit penyakit TB
Paru (piring, tempat tidur, pakaian) dan menyediakan ventilasi dan sinar
matahari yang cukup.
f. Melakukan imunisasi bagi orang yang kontak langsung denganpenderita TB
Paru, seperti keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatandan orang lain
yang terinfeksi, dengan vaksin BCG dan tindak lanjut yang positif tertular.
g. Melakukan pemeriksaan terhadap orang-orang yang kontak dengan
penderita TB Paru. Perlu dilakukan tes tuberkulosis bagi seluruh anggota
keluarga. Apabila cara ini menunjukan hasil negatif, perlu di ulang
pemeriksaan tiap bulan selama 3 bulan dan perlu pemeriksaan intensif.
h. Dilakukan pengobatan khusus penderita TB Paru aktif perlu pengobatan
yang tepat, yaitu obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter
untuk diminum dengan tekun dan teratur, selama 6 sampai 12 bulan. Perlu
diwaspadai adanya kebal terhadap obat-obat, denganpemeriksaan lebih
lanjut oleh dokter.
Francis (2011) menyatakan pencegahan penyakit TB dapat dilakukan dengan
cara penyediaan nutrisi yang baik, sanitasi yang adekuat, perumahan yang tidak
29
terlalu pada dan udara yang segar merupakan tindakan yang efektif dalam
pencegahan TB Paru.
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), 2010
menjelaskan tentang pencegahan penularan penyakit TB Paru yaitu :
a. Bagi masyarakat
1. Makan makanan yang bergizi seimbang sehingga daya tahan tubuh
meningkat untuk membunuh kuman TB.
2. Tidur dan istirahat yang cukup
3. Tidak merokok, minum alkohol dan menggunakan narkoba
4. Lingkungan yang bersih baik tempat tinggal dan sekitarnya.
5. Membuka jendela agar masuk sinar mata hari di semua ruangan rumah
karena kuman TB akan mati terkena sinar matahari.
6. Imunisasi BCG bagi balita, yang bertujuan untuk mencegah agar kondisi
balita tidak lebih parah bila terinfeksi TB Paru.
7. Menyarankan diri dan berobat sesuai aturan sampai sembuh.
b. Bagi penderita
1. Tidak meludah disembarang tempat
2. Menutup mulut saat batuk atau bersin
3. Berprilaku hidup bersih dan sehat
4. Memeriksakan balita yang tinggal serumah agar diberikan pengobatan
pencegahan.
30
2.2 Faktor Berhubungan Dengan Kejadian TB Paru BTA (+)
Penyakit menular merupakan hasil perpaduan berbagai faktor yang saling
mempengaruhi. Faktor tersebut yaitu lingkugan (environment), agen penyebab
penyakit (agent), dan pejamu (host). Ketiga faktor ini penting disebut sebagai
segitiga epidemiologi (epidemiological triangle). Hubungan ketiga faktor tersebut
digambarkan secara sederhana sebagai timbangan, yaitu agen penyebab penyakit
pada suatu sisi dan pejamu pada sisi yang lain dengan lingkungan sebagai
penumpunya (Budiarto,dkk. 2003).
Bila agen penyakit dengan pejamu berda dalam keadaan seimbang, maka
seseorang berada dalam keadaan sehat. Perubahan keseimbangan akan
menyebabkan seseorang sehat atau sakit. Penurunan daya tahan tubuh seseorang
akan menyababkan bobot agen penyabab penyakit menjadi lebih berat sehingga
seseorang menjadi sakit. Demikian pula bila agen penyakit lebih banyak atau lebih
ganas sedangkan faktor pejamu tetap, maka bobot agen penyabab menjadi lebih
berat. Sebaliknya bila daya tahan tubuh seseorang baik atau meningkat maka ia
dalam keadan sehat. Apabila faktor lingkungan berubah menjadi cenderung
menguntungkan agen penyabab penyakit, maka orang akan sakit . pada prakteknya
seseorang menjadi sakit akibat pengaruh berbagai faktor (Widoyono, 2008).
Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kejadian TB Paru, yaitu :
immunisasi BCG, pendidikan, status gizi, pelayanan kesehatan, kontak dengan
penderita TB Paru dewasa, lingkungan rumah atau tempat tinggal dan sosial
ekonomi orang tua. Pada umumnya, lingkungan rumah yang buruk (tidak
31
memenuhi syarat kesehatan) akan berpengaruh pada penyebaran penyakit menular
termasuk penyakit TB Paru (Notoadmodjo, 2010).
2.2.1 Hubungan Kondisi Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian TB Paru
Masalah kesehatan lingkungan merupakan masalah yang mendapat
perhatian cukup besar. Karena penyakit bisa timbul dan menjangkiti manusia
karena lingkungan yang tidak baik. Himunan Ahli Kesehatan Lingkungan (HAKLI)
mendefinisikan kesehatan lingkungan sebagai suatu kondisi lingkungan yang
mampu menopang keseimbangan ekologi yang dinamis antara manusia dan
lingkungannya untuk mendukung tercapainya kualitas hidup manusia yang sehat
dan bahagia (Mundiatum dan Daryanto, 2015).
Lingkungan adalah segala sesuatu baik fisik, biologis maupun sosial yang
berada disekitar manusia serta pengaruh-pengaruh luar yang mempengaruhi
kehidupan dan perkembangan manusia. Unsur-unsur lingkungan adalah sebagai
berikut:
a) Lingkungan fisik adalah segala sesuatu yang berada disekitar manusia yang
tidak bernyawa. Misalnya air, tanah, kelembaban udara, suhu, angin, dan
benda mati lainnya.
b) Lingkungan Biologis adalah segala sesuatu yang bersifat hidup seperti
mikroorganisme.
c) Lingkungan sosial adalah segala sesuatu tindakan yang mengatur kehidupan
manusia dan usah-usahnya untuk mempertahankan kehidupan, seperti
pendidikan pada individu, rasa tanggung jawab, pengetahuan keluarga, jenis
32
pekerjaan, jumlah penghuni dan keadaan ekonomi (Lennihan dan Fletter,
1989).
Lingkungan fisik rumah merupakan salah satu faktor yang berhubungan
dengan kejadian Tuberkulosis. Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang
berada didalam rumah. Lingkungan rumah terdiri darilingkungan fisik yaitu ventilasi,
suhu, kelembaban, lantai, dinding serta lingkungan sosial yaitu kepadatan penghuni
(Hiswani, 2009).
2.2.1.1 Kepadatan Hunian
Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai kamar tidur
dengan jumlah anggota keluarga yang tidur atau waktunya lebih banyak dalam
kamar tersebut (Lubis, 2011). Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan
memberikan pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan
jumlah Penghuninya akan menyebabkan perjubelan (overcrowded). Hal ini tidak
sehat karena disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah
satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama tuberkulosis akan mudah
menular pada anggota keluarga yang lain (Lubis, 2011 dan Notoadmojo ,2010).
Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan
dalam m²/orang. Luas minimum per orang sangat relatif bergantung dari kualitas
bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya minimum 10
m²/orang, sedangkan untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3 m²/orang
atau 8 m² luas satu kamar tidur. Untuk mencegah penularan penyakit pernafasan,
jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm.
Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari 2 orang, kecuali untuk suami istri dan
33
anak dibawah 2 tahun. Untuk menjamin volume udara yang cukup, disyaratkan juga
langit-langit minimum tingginya 2,75 m (Joko, 2010).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829 tahun 1999 tentang
persyaratan kesehatan perumahan menyatakan bahwa kepadatan hunian kamar
tidur minimal 8 meter dan tidak di anjurkan di gunakan lebih dari 2 orang tidur
dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun.
Penelitian yang dilakukan oleh Lahabama (2013), kepadatan hunian yang
tidak memenuhi syarat memiliki risiko 5,9 kali untuk terjadi penularan ke anggota
keluarga lainnya dibandingkan dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat
kesehatan. Berdasarkan penelitian Dawile dkk (2013) menyatakan bahwa terdapat
hubungan bermakna antara kepadatan hunian kamar dengan kejadian Tuberkulosis
paru. Nilai OR= 7,000 dengan demikian seseorang yang tinggal di dalam rumah
dengan kepadatan hunian kamar < 8 m2 (tidak memenuhi syarat) ada kemungkinan
menderita Tuberkulosis paru 7 kali lebih besar menderita Tuberkulosis paru
dibandingkan rumah yang kepadatan hunian kamar ≥ 8 m2.
2.2.1.2 Pencahayaan
Pencahayaan alam atau buatan langsung atau tidak langsung dapat
menerangi seluruh bagian ruangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata.
Kualitas pencahayaan alami siang hari yang masuk kedalam ruangan diantaranya
ditentukan oleh lubang cahaya minimum sepersepuluh dari luas lantai ruangan,
sinar matahari langsung dapat masuk ke ruangan minimum 1 jam setiap hari, dan
cahaya efektif dapat diperoleh dari jam 08.00 sampai dengan jam 16.00 (Pangastuti,
2015).
34
Pencahayaan alami ruangan rumah adalah penerangan yang bersumber dari
sinar matahari (alami), yaitu semua jalan yang memungkinkan untuk masuknya
cahaya matahari alamiah, misalnya melalui jendela atau genting kaca (Depkes, 2010
dan Notoatmodjo, 2010). Cahaya berdasarkan sumbernya dapat dibedakan menjadi
dua jenis yaitu;
1. Pencahayaan alamiah, diperoleh dengan masuknya sinar matahari ke dalam
ruangan melalui jendela, celah,maupun bagian lain dari rumah yang terbuka,
selain untuk penerangan, sinar ini juga mengurangi kelembaban ruangan,
mengusir nyamuk atau serangga lainnya dan membunuh kuman penyebab
penyakit tertentu.
2. Pencahayaan buatan, penerangan dengan menggunakan sumber cahaya
buatan, seperti lampu minyak tanah, listrik dan sebagainya (KepMenKes RI
No: 829/SK/VII/1999).
Berdasarkan penelitian Syafri (2015), pencahayaan rumah < 60 lux berisiko
8,125 kali lebih besar untuk terinfeksi TB Paru dari pada dengan rumah yang
memiliki pencahayaan ≥ 60 lux. Anggreni dkk., (2015 )nilai p value=0,0001
(p < 0,05); OR = 26,000; 95% CI = 6,532 – 103,498 yang berarti bahwa ada hubungan
antara intensitas pencahayaan dengan kejadian TB Paru. Besarnya risiko dapat
dilihat dari nilai Odds Ratio (OR), OR= 26,000 menunjukkan bahwa seseorang yang
tinggal di rumah dengan intensitas pencahayaan yang tidak memenuhi syarat
kesehatan (< 60 lux) berisiko 26 kali lebih besar dibandingkan seseorang yang
tinggal di rumah dengan intensitas yang memenuhi syarat kesehatan.
35
Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen
di dalam rumah. Semua jenis pencahayaan dapat mematikan kuman hanya berbeda
dari segi lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya. Penularan
kuman TB paru relatif tidak tahan pada sinar matahari (Joko, 2010). Menurut
indikator pengawasan perumahan, pencahayaan yang memenuhi syarat kesehatan
dalam rumah adalah ≥ 60 lux dan pencahayaan yang tidak memenuhi syarat
kesehatan < 60 lux (Kepmenkes RI, 1999).
2.2.1.3 Luas Ventilasi
Lubis (2011) menyatakan ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi
atmosfer yang menyenangkan dan menyehatkan manusia berdasarkan kejadiannya,
maka ventilasi dapat dibagi kedalam dua jenis, yaitu :
a. Ventilasi alam.
Ventilasi alam berdasarkan pada tiga kekuatan yaitu: daya difusi dari gas-gas,
gerakan angin dan gerakan massa di udara karaena perubahan temperature.
Ventilasi alam ini mengandalkan pergerakan udara bebas (angin), temperature
udara dan kelembabannya. Selain melalui jendela, pintu dan lubang angin maka
ventilasi dapat diperoleh dari pergerakan udara sebagai hasil sifat poros dinsing
ruangan, atap dan lantai.
b. Ventilasi buatan.
Ventilasi buatan pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi buatan dengan
menggunakan alat mekanis maupun elektrik. Alat-alat tersebut diantaranya
adalah kipas angin, exhauseter, dan AC. Ventilasi yang baik dalam ruangan
harus mempunyai syarat-syarat, diantaranya:
36
1. Luas lubang ventilasi tetap, mininum 5% dari luas lantai ruangan
Sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka atau ditutup)
minimum 5% . Jumlah keduanya menjadi 10% kali luas lantai ruangan.
2. Udara yang masuk harus udara bersih, tidak dicemari oleh asap kendaraan,
dari pabrik, sampah, debu, dan lainnya.
3. Udara yang masuk tidak berasal dari asap dapur atau bau kamar
mandi/WC.
4. Aliran udara diusahakan Cross Ventilation dengan menempatkan dua
lubang jendela berhadapan antara dua dinding ruangan sehingga proses
ailran udara lebih lancar.
5. Khusus untuk penghawaan ruangan dapur dan kamar mandi/WC,
memerlukan peralatan bantu elektrikal-mekanikal seperti blower atau
exhaust fan yang harus memenuhi beberapa syarat yaitu lubang
penghawaan keluar tidak mengganggu kenyamanan bangunan
disekitarnya, tidak mengganggu kenyamanan ruangan kegiatan dalam
bangunan seperti ruangan keluarga, tidur, tamu, dan kerja (KepMenKes RI
No. 829/Menkes/SK/VII/1999).
Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Selain itu, luas
ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangnya
proses pertukaran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya
kuman tuberkulosis yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhirup
bersama udara pernapasan (Korua, 2015).
37
Menurut indikator pengawasan perumahan, luas penghawaan atau ventilasi
alamiah permanen minimal 10% dari luas lantai (Kepmenkes, 1999). Penelitian yang
dilakukan oleh Handayani dkk. (2016) yang menyatakan bahwa luas ventilasi
ruangan rumah memiliki risiko terjadinya TB Paru 3,1 kali lebih besar pada rumah
dengan keadaan luas ventilasi ruangan tidak memenuhi standar dibandingkan
dengan rumah yang keadaan luas ventilasi ruangannya yang memenuhi standar.
2.2.1.4 Kelembaban
Rumah dinyatakan sehat dan nyaman, apabila suhu udara dan kelembaban
udara ruangan sesuai dengan suhu tubuh manusia normal. Kelembaban ruangan
sangat dipengaruhi oleh penghawaan dan pencahayaan. Penghawaan yang kurang
atau tidak lancar akan menjadikan ruangan terasa pengap atau sumpek dan akan
menimbulkan kelembaban tinggi dalam ruangan. Kelembaban udara berkisar antara
40% sampai 70% (Pangastuti, 2015).
Kelembaban udara adalah presentase jumlah kandungan air dalam udara
kelembaban terdiri dari 2 jenis, yaitu 1) kelembaban absolute, yaitu berat uap air
unit volume udara, 2) kelembaban nisbi, yaitu banyaknya uap air dalam udara pada
suatu temperatur tersebut. Secara umum penilaian kelembaban dalam rumah
dengan menggunakan Hygrometer untuk mengukur jumlah kelembaban dalam
rumah (Depkes RI, 2010).
Menurut indikator pengawasan perumahan, kelembaban udara yang
memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40-70% dan kelembaban udara
yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 40% atau > 70% (Kepmenkes RI
No.829 tahun 1999).
38
Sahputra (2015) menyatakan bahwa ada hubungan kelembaban kamar tidur
dengan kejadian TB Paru, seseorang yang tinggal didalam rumah dengan
kelembaban yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 9,5 kali lebih berisiko
untuk menderita TB Paru dibandingkan dengan rumah yang memenuhi standar
kesehatan.
Udara memiliki kapasitas tertentu untuk menahan partikel-partikel air yang
sering bervariasi dengan suhu sekitarnya. Saat cuaca berawan, musim panas atau
hujan, akan ada kelembaban yang tinggi di udara. Demikian pula, ketika suhu turun
selama musim dingin, udara menjadi kering (Pangestuti,2015). Menurut Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 829/Menkes/SK/VII/1999 pengaruh dari
tingkat kelembaban :
1. Pengaruh Tingkat Kelembaban Tinggi
a. Jika tingkat kelembaban relatif yang tinggi baik karena kondisi eksternal,
seperti suhu udara terbuka atau faktor manusia, udara akan membawa
lebih banyak uap air yang dapat mengakibatkan kondisi seperti embun pada
permukaan yang dingin, menyebabkan kelembaban di sekitar.
b. Sebagai kumpulan air yang terbentuk pada dinding, jendela dan pintu,
permukaan ini mengundang berkembang-biaknya jamur dan lumut yang
menjadi sumber berbagai masalah kesehatan.
c. Jamur, kuman bersama dengan tungau dan debu sering menyebabkan
masalah pernapasan seperti asma, alergi, batuk hingga TB paru.
39
2. Pengaruh Tingkat Kelembaban Rendah
Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi kelembaban di rumah adalah
kondisi cuaca dan tingkat suhu di luar rumah, bagaimana bangunan tersebut
dilindungi dari kelembaban.
2.2.2 Hubungan Pengetahuan Dengan Kejadian TB Paru
Pengetahuan sebagai modal dasar bagi seseorang untuk berperilaku.
Masyarakat yang memiliki pemahaman baik tentang penyakit TB Paru, maka hal
tersebut dapat menjadi acuan baginya untuk berupaya mencegah penyakit
tersebut, karena sudah memahami bahaya serta penularan penyakit TB Paru (Muaz,
2014).
Pengetahuan penderita TB Paru yang baik tentang penyakit TB Paru dan
pengobatnnya dapat meningkatkan keteraturan penderita dalam pengobatan,
dibandingkan dengan penderita yang kurang pengetahuan tentang penyakit TB Paru
dan pengobatannya. Karena itu bimbingan dan pengawasan yang dilakukan oleh
PMO akan lebih terarah dengan baik. Sehingga akan meningkatkan keteraturan
penderita dalam pengobatan tersebut sehingga angka penularan akan menurun
(Werdhani, 2005).
Menurut WHO (2008) pengetahuan di peroleh dari pengalaman sendiri atau
pengalaman orang lain. Secara teori perubahan atau seseorang menerima atau
mengadopsi perilaku baru dalam kehidupannya salah satunya adalah melalui
pengetahuan yang melalui tiga tahap yaitu :
a. Pengetahuan tentang sakit dan penyakit
b. Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan
40
c. Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (over behavior). Berdasarkan pengalaman
ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada
perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Seseorang yang punya pengetahuan
yang baik tentang penularan TB Paru, akan berupaya untuk mencegah
penularannya. Katagori pengetahuan dapat dikelompokan berdasarkan jawaban
benar responden.
Berdasarkan hasil penelitian Anugrah (2012) di Kota Pontianak, didapati ada
hubungan pengetahuan dengan kejadian TB Paru. dengan OR= 1.886 yang artinya
seseorang yang berpengetahuan buruj memiliki risiko 1.886 kali menderita TB Paru
dibandingkan dengan seseorang yang memiliki pengetahuan baik. Yunengsih (2015),
pengetahuan merupakan salah satu penyabab kejadian TB Paru. responden yang
memiliki pengetahuan kurang akan berisiko menderita Tb Paru sebesar 2,9 kali
dibandingkan dengan responden yang pengetahuan baik.
2.2.3 Hubungan Pekerjaan dengan Kejadian TB Paru
Pekerjaan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian TB
Paru. Jenis Pekerjaan menentukan faktor risiko yang harus dihadapi setiap individu.
Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah
terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan.
Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama
terjadinya gejala penyakit pernafasan dan umumnya TB Paru (Corwin, 2009).
41
Menurut Nugrahaeni (2012) menyatakan bahwa penyakit yang diderita oleh
seseorang secara tidak langsung berhubungan dengan pekerjaannya. Hubungan
pekerjaan dengan masalah kesehatan disebabkan adanya resiko pekerjaan, orang
yang bekerja disuatu tempat akan terkena penyakit berdasarkan paparan yang
dialaminya.
Hasil Penelitian Nurhanah dkk (2010) menyatakan terdapat hubungan
bermakna antara pekerjaan dengan kejadian TB Paru. Hasil penelitian ini
menjelaskan bahwa responden yang bekerja memberikan kontribusi seseorang
terjangkit TB Paru, terkait dengan keterpaparan kuman Mycrobacterium
tuberculosis. Jenis pekerjaan kasar mempunyai peluang terpapar kuman TB
dibandingkan dengan jenis pekerjaan lain seperti PNS, TNI, dan karyawan.
Hasil Penelitian Muaz (2014) menyatakan ada hubungan antara pekerjaan
dengan penderita TB Paru BTA (+). Responden yang tidak bekerja akan berisiko
menderita TB Paru BTA (+) sebesar 3,7 kali dibandingkan dengan responden yang
bekerja.
2.2.4 Hubungan Perilaku Kesehatan dengan Kejadian TB Paru.
Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap
stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan
kesehatan, makanan, dan minuman serta lingkungan (Notoadmojo, 2012). Upaya
pencegahan yang dilakukan masyarakat agar terhindar dari penyakit tuberkulosis
paru diantaranya adalah dengan membiasakan perilaku sehat. Selain itu upaya
pencegahan yang dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh,
melengkapi perumahan dengan ventilasi yang cukup, perilaku menutup mulut saat
42
batuk, agar orang yang ada disekitar tidak tertular, perilaku tidak meludah
disembarangan tempat, perilaku tidak merokok dan minum alkohol, perilaku
membuka kamar tidur setiap hari, serta perilaku yang tidak membiasakan makan
sepiring atau segelas dengan orang lain, dan mengisolasikan secara langsung
peralatan makan dan minuman penderita tuberkulosis paru (Yulfira, 2011).
Banyak upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah perkembangan penyakit
dari kuman M. tuberculosis. Menurut Jaji (2010), menyatakan ada beberapa upaya
yang dilakukan keluarga untuk mencegah kejadian TB Paru yaitu :
1) Menjauhkan anggota keluarga lain dari penderita TB Paru saat batuk
2) menghindari penularan melalui dahak pasien penderita TB Paru
3) membuka jendela rumah untuk pencegahan penularan TB Paru dalam
keluarga
4) menjemur kasur pasien TB Paru untuk pencegahan penularan TB Paru dalam
keluarga.
2.2.4.1 Kebiasaan Merokok
Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian di hisap asapnya, baik
menggunakan rokok maupun pipa. Asap panas yang terhembus terus-menerus
masuk kedalam rongga mulut merupakan rangsangan panas yang menyebabkan
perubahan aliran darah dan mengurangi pengeluaran ludah. Akibatnya rongga
mulut menjadi kering sehingga dapat mengakibatkan perokok berisiko lebih besar
terinfeksi bakteri (Kemenkes, 2014).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa salah satu penyebab TB Paru
adalah gaya hidup (lifestyle). Pada penelitian Sarwani dan Nurleila (2012)
43
menyatakan bahwa ada hubungan antara merokok dan TB Paru, ditemukan bahwa
separuh dari kematian TB Paru pada laki-laki disebabkan merokok dan 3,2 perokok
berkembang menjadi TB Paru.
Penyebab utama meningkatnya masalah tuberkulosis antara lain adalah
kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dengan disparatis yang terlalu lebar sehingga masyarakat masih mengalami
masalah dengan kondisi sanitasi, papan, sandang dan pangan yang buruk. Besarnya
masalah kesehatan yang bisa mempengaruhi tetap tingginya beban TB Paru seperti
gizi buruk, merokok dan diabetes (Kemenkes, 2014).
Rosdiana (2018) menyatkan bahwa ada hubungan kebiasaan merokok
dengan kejadian TB Paru, secara ringkas zat-zat yang terkandung dalam rokok dapat
menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran nafas dan jaringan paru-paru,
serta respon imunologis pejamu terhadap infeksi sehingga paru-paru perokok dapat
lebih mudah terinfeksi bakteri tuberkulosis.
Anak yang tinggal pada keluarga yang mempunyai kebiasaan merokok dan
terdapat kontak langsung dengan penderita TB dewasa mempunyai risiko 4 kali
lebih besar menderita TB, menyatakan bahwa absorpsi asap rokok oleh para
perokok pasif dipengaruhi oleh jumlah produksi asap rokok, dalamnya isapan dari
perokok, ada tidaknya ventilasi untuk penyebaran dan pergerakan asap, jarak
antara perokok dan bukan perokok dan lamanya paparan (Yulistyaningrum, 2010).
44
2.2.4.2 Kebiasaan Menjemur Peralatan Tidur
Kebiasaan menjemur kasur secara berkala dapat berfungsi sebagai
pencegahan terhadap penularan penyakit TB paru dalam rumah tangga. kasur
penderita sebaiknya dijemur minimal seminggu sekali (Hiswani, 2009).
Ketika seorang TB Paru batuk, bersin, atau berbicara maka secara tidak
sengaja akan keluar percikan dahak dan jatuh ketanah, lantai dan tempat lainnya.
Sinar matahari atau suhu udara yang panas dapat menyebabkan percikan dahak
menguap. Menguapnya percikan dahak ke udara dibantu dengan pergerakan angin
akan membuat bakteri tuberkulosis yang terkandung didalam droplet nuclei
terbang ke udara (Muttaqin, 2008).
Kuman tuberkulosis tahan 1-2 jam di udara, sedangkan di tempat lembab
dan gelap kuman tuberkulosis dapat bertahan selama berbulan-bulan. Kuman
tuberkulosis tidak tahan terhadap sinar matahari dan aliran udara. Kuman
tuberkulosis akan mati dalam waktu 2 jam oleh sinar matahari (Kurniasari, 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Khadijah dan Dian (2013) di Provinsi DKI
Jakarta, didapati OR=1,423, CI: 1,044-1,940) yang artinya perilaku menjemur
kasur/bantal/guling berhubungan secara bermakna dengan kejadian TB Paru.
2.2.4.3 Kebiasaan Membuka Jendela
Jendela sebagai alat pertukaran udara sehingga mengatur kelembaban di
dalam ruangan. Udara yang berasal dari dalam ruangan yang memungkinkan
mengandung debu dan bakteri dikeluarkan dan disirkulasi dengan udara segar
sehingga juga diperlukan upaya pembersihan jendela (Susanti, 2016). Fungsi lain
penting lain jendela adalah untuk memperoleh cahaya cahaya yang cukup pada
45
siang hari, yang mana cahaya tersebut berguna untuk membunuh bakteri-bakteri
pathogen di dalam rumah (Zuriya, 2016).
Chandra (2006) menyatakan udara dapat mengalir bebas jika jendela dan
pintu terbuka. Dengan demikian cahaya matahari dan proses pertukaran udara
dapat masuk melalui pintu responden yang terbuka. Cahaya matahari yang masuk
kedalam rumah dapat mengurangi pertumbuhan kuman tuberkulosis karena sinar
matahari mampu merusak struktur materi genetik kuman/bakteri (Setiowati dan
Furqonita, 2007).
Kebiasaan tidak membuka jendela membuat udara tidak mengalir secara
bebas sehingga ruangan menjadi lembab. Persyaratan kelembaban yang baik untuk
ruangan adalah 40%-70%. Kondisi ruangan yang lembab dapat meningkatkan
pertumbuhan bakteri. Pertukaran udara yang baik mampu membawa kuman
tuberkulosis keluar rumah melalui udara. Keadaan tersebut dapat mencegah
penularan penyakit tuberkulosis (Zuriya, 2016).
Penelitian yang dilakukan oleh Dhika RK & Sarwani SR (2011), menyatakan
bahwa ada hubungan kebiasaan membuka jendela kamar tidur dengan kejadian TB
Paru. Hasil penelitian Azhar, dkk. (2013), menyebutkan bahwa tidak membuka
jendela kamar tidur setiap hari berisiko terinfeksi TB Paru sebesar 1,36 kali dan
perilaku menjemur kasur memiliki hubungan dengan kejadian TB Paru, perilaku
tidak menjemur kasur berisiko terinfeksi TB Paru sebesar 1,423 kali.
46
2.3 Web Causation Of Tuberculosis
sumber: The Lancet, 2015
Gambar 2.1
Kerangka Baku
47
2.4 Kerangka Teoritis
Berdasarkan teori yang telah dipaparkan di bab II diatas dapat disusun
kerangka teoritis sebagai berikut;
Z
Gambar 2.2
Kerangka Teoritis
Kejadian TB Paru
Angraeni dkk, 2015
1. Jenis lantai
2. Jenis dinding
3. Luas ventilasi
4. Kepadatan hunian
5. Suhu
6. Kelembaban
7. Intensitas cahaya
8. Kebiasaan merokok
Kepmenkes RI No.829 tahun
1999
1. Jenis lantai
2. Jenis dinding
3. Pencahayaan
4. Ventilasi
5. Suhu
6. kelembaban
Susanti, 2016
1. Jenis Lantai
2. Jendela Kamar tidur
3. Ventilasi rumah
4. Suhu rumah
5. Kelembaban
6. Pencahayaan alamiah
7. Kepadatan Hunian
8. Tindakan membuka
jendela
9. Perilaku meludah
Zuriya, 2016
1. Pengetahuan
2. Merokok
3. Kebiasaan membuka
jendela
4. Kebiasaan menjemur
kasur/bantal/guling
5. Riwayat kontak
6. Kepadatan hunian
7. Luas Ventilasi