Post on 17-Jan-2017
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perpajakan
2.1.1 Pengertian Perpajakan
Pengertiaan pajak menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan adalah sebagai berikut:
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi, atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Pengertian pajak menurut Soemitro dalam Mardiasmo (2011) adalah
sebagai berikut:
“Pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan Undang-undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik
(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan
untuk membayar pengeluaran umum”.
Beberapa pengertian pajak lainnya yang dikemukakan oleh salah satu ahli
yaitu M.J.H. Smeets dalam Erly Suandy (2011) adalah sebagai berikut:
“Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-
norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa ada kalanya
kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual,
maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.
Menurut Erly Suandy (2011) ciri-ciri pajak yang tersimpul dalam berbagai
definisi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pajak peralihan kekayaan dari orang/badan ke pemerintah.
2. Pajak dipungut berdasarkan/dengan kekuatan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya, sehingga dapat dipaksakan.
10
3. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi
langsung secara individual yang diberikan oleh pemerintah.
4. Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah.
5. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila
dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk
membiayai publik investment.
6. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari
pemerintah.
7. Pajak dapat dipungut secara langsung atau tidak langsung”.
2.1.2 Fungsi Pajak
Sebagaimana telah diketauhi ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak
dari berbagai definisi, terlihat adanya dua fungsi pajak menurut Waluyo (2011)
yaitu sebagai berikut:
1. Fungsi Penerimaan (Budgeter)
2. Fungsi Mengatur (Regular)
Menurut Waluyo (2011) fungsi pajak yang pertama yaitu sebagai Fungsi
Penerimaan (Budgeter). Yang dimaksud dengan Fungsi Penerimaan (Budgeter).
adalah sebagai berikut:
“Penerimaan pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan
bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh:
dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri”.
11
Sedangkan Fungsi pajak yang kedua menurut Waluyo (2011) yaitu sebagai
Fungsi Mengatur (Regular). Yang dimaksud dengan Fungsi Mengatur (Regular)
adalah sebagai berikut:
“Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan
kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh: dikenakannya
pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras, dapat ditekan. Demikian
pula terhadap barang mewah”.
2.1.3 Jenis Pajak
Menurut Waluyo (2011) pajak dapat dikelompokkan ke dalam tiga
kelompok, adalah sebagai berikut:
1. Menurut golongan atau pembebanan, dibagi menjadi berikut ini:
a. Pajak langsung, adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat
dilimpahkan pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib
Pajak yang bersangkutan. Contoh: Pajak Penghasilan.
b. Pajak tidak langsung, adalah pajak yang pembebanannya dapat
dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai.
2. Menurut sifat
Pembagian pajak menurut sifat dimaksudkan pembedaan dan
pembagiannya berdasarkan ciri-ciri prinsip adalah sebagai berikut.
a. Pajak subjektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti
memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak. Contoh: Pajak Penghasilan.
b. Pajak objektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh:
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
12
3. Menurut pemungut dan pengelolanya, adalah sebagai berikut :
a. Pajak pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak
Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai.
b. Pajak daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh: pajak
reklame, pajak hiburan, Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB), Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkotaan dan pedesaan.
2.2 Pemeriksaan Pajak
2.2.1 Pengertian Pemeriksaan Pajak
Pengertian pemeriksaan menurut Pasal 1 ayat (25) Undang-undang
Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah sebagai
berikut:
“Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah
data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan
profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain
dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan”.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan
dilakukan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam
melaksanakan ketentuan peraturan perpajakan yang dilaksanakan secara objektif
dan profesional.
13
2.2.2 Unsur- unsur Pemeriksaan Pajak
Unsur-unsur pokok dalam pemeriksaan pajak yang dapat diuraikan
menurut Erly Suandy (2011) adalah sebagai berikut:
1. Informasi yang terukur dengan kriteria tetap, yaitu untuk proses
pemeriksaan pajak dimulai dengan mencari, menghimpun, dan mengolah
informasi yang tertuang dalam Surat Pemberitahuan (SPT) yang diisi oleh
Wajib Pajak sesuai dengan sistem self assessment. Dalam setiap
pemeriksaan diperlukan informasi yang dapat dibuktikan dan standar atau
kriteria yang dapat dipakai pemeriksa sebagai pegangan untuk melakukan
evaluasi terhadap informasi yang diperoleh.
2. Satuan usaha, yaitu setiap akan melakukan pemeriksaan pajak, ruang
lingkup pemeriksaan harus dinyatakan secara jelas. Kesatuan usaha dapat
berbentuk Wajib Pajak perorangan atau Wajib Pajak badan. Pada
umumnya periode waktu pemeriksaan pajak adalah satu tahun tetapi ada
pula pemeriksaan untuk satu bulan, satu kuartal atau beberapa tahun. Hal
ini disesuaikan dengan kebutuhan.
3. Mengumpulkan dan mengevaluasi bahan bukti, maksudnya adalah segala
informasi yang dipergunakan oleh pemeriksa pajak untuk menentukan
informasi terukur yang diperiksa melalui evaluasi agar sesuai dengan
kriteria yang telah ditetapkan.
4. Pemeriksa yang kompeten dan independen, yaitu setiap pemeriksa pajak
harus memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang cukup agar
dapat memahami kriteria yang dipergunakan.
14
2.2.3 Tujuan Pemeriksaan
Mardiasmo (2011) mengemukakan tujuan pemeriksaan pajak adalah
untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka
memberikan kepastian hukum, keadilan, dan pembinaan kepada Wajib Pajak,
yang dapat dilakukan dalam hal:
a. Surat pemberitahuan menunjukan kelebihan pembayaran pajak, termasuk
yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
b. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan menunjukan rugi.
c. Surat Pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan tidak pada
waktu yang telah ditetapkan.
d. Surat Pemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi yang ditentukan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
e. Ada indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban Surat Pemberitahuan
tidak dipenuhi.
2.2.4 Kriteria Pemeriksaan Pajak
Terdapat dua kriteria pemeriksaan pajak, yaitu kriteria rutin dan kriteria
khusus. Menurut peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 kriteria
pemeriksaan rutin diatur di pasal 4 yang terdiri dari:
a. Wajib pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih
bayar, selain yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak;
b. Wajib pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak;
15
c. Wajib pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan rugi;
d. Wajib pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran likuidasi,
pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;
e. Wajib pajak melakukan perubahan tahun buku atau metode pembukuan
atau karena dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap;
f. Wajib pajak tidak menyampaikan atau menyampaikan Surat
Pemberitahuan tetapi melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan
dalam surat teguran yang terpilih untuk dilakukan pemeriksaan
berdasarkan analisis risiko; atau
g. Wajib pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang terpilih untuk
dilakukan pemeriksaan berdasarkan analisis risiko.
2.2.5 Prosedur Pemeriksaan
Untuk melakukan pemeriksaan pajak menurut Mardiasmo (2011) Petugas
pajak harus melakukan prosedur pemeriksaan sebagai berikut:
1) Petugas pemeriksa harus dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan
dan harus memperlihatkan kepada Wajib Pajak yang diperiksa.
2) Wajib Pajak yang diperiksa harus:
a. Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan dokumen
yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan
penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib
Pajak, atau objek yang terutang pajak.
b. Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang
dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
16
c. Memberi keterangan yang diperlukan.
3) Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen
serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban
untuk merahasiakan, maka kewajiban merahasiakan itu ditiadakan.
4) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau
ruangan tertentu, bila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajibannya.
2.2.6 Jenis-jenis Pemeriksaan Pajak
Jenis-jenis pemeriksaan pajak menurut Erly Suandy (2011) dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Rutin
2. Pemeriksaan khusus
Berdasarkan jenis-jenis pemeriksaan di atas menurut Suandy (2011)
dijelaskan sebagai berikut:
1) Pemeriksaan Rutin, adalah pemeriksaan yang langsung dilakukan oleh unit
pemeriksa tanpa harus ada persetujuan terlebih dahulu dari unit atasan,
biasanya harus segara dilakukan terhadap:
a. Surat Pemberitahuan (SPT) lebih bayar;
b. Surat Pemberitahuan (SPT) rugi;
c. Surat Pemberitahuan (SPT) yang menyalahi penggunaan norma
penghitungan.
Batas waktu pemeriksaan rutin lengkap paling lama tiga bulan sejak
pemeriksaan dimulai. Sedangkan pemeriksaan lokasi lamanya
maksimal 45 hari sejak Wajib Pajak diperiksa. Pemeriksaan rutin
17
terhadap Wajib Pajak yang tahun sebelumnya telah dilakukan
pemeriksaan lengkap dua tahun berturut-turut tidak lagi dilakukan
pemeriksaan lengkap pada tahun ketiga.
2) Pemeriksaan Khusus, dilakukan setelah ada persetujuan atau instruksi dari
unit atasan (Direktur Jenderal Pajak atau kepala kantor yang bersangkutan)
dalam hal:
a. Terdapat bukti bahwa Surat Pemberitahuan (SPT) yang
disampaikan oleh Wajib Pajak tidak benar;
b. Terdapat indikasi bahwa Wajib Pajak melakukan tindak pidana
dibidang perpajakan;
c. Sebab-sebab lain berdasarkan instruksi dari Direktur Jenderal Pajak
atau kepala kantor wilayah (misalnya ada pengaduan dari
masyarakat)
2.2.7 Metode Pemeriksaan Pajak
Metode pemeriksaan pajak yang sering digunakan menurut Waluyo (2012)
adalah sebagai berikut:
1. Metode langsung
metode langsung adalah teknik dan prosedur pemeriksaan dengan
melakukan pengujian atas kebenaran angka-angka dalam SPT yang
dilakukan langsung terhadap laporan keuangan dan buku-buku, catatan-
catatan, serta dokumen-dokumen pendukungnya sesuai dengan urutan
proses pemeriksaan.
18
2. Metode tidak langsung
Sedangkan metode tidak langsung adalah teknik dan prosedur pemeriksaan
pajak dengan melakukan pengujian atas kebenaran angka-angka dalam
SPT. Pendekatan yang dilakukan untuk metode tidak langsung yaitu
dengan perhitungan tertentu mengenai penghasilan dan biaya yang
meliputi Metode transaksi tunai, metode transaksi bank, metode sumber
dan pengadaan dana, metode perbandingan kekayaan bersih, metode
perhitungan persentase, metode satuan dan volume, pendekatan produksi,
pendekatan laba kotor dan pendekatan biaya hidup.
2.2.8 Jangka Waktu Pelaksanaan Pemeriksaan
Jangka waktu pelaksanaan pemeriksaan menurut Waluyo (2012)
ditetapkan sebagai berikut:
1. Pemeriksaan kantor dilakukan dalam jangka waktu paling lama enam
bulan yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak datang memenuhi surat
panggilan dalam rangka pemeriksaan kantor sampai dengan tanggal
laporan hasil pemeriksaan.
2. Pemeriksaan lapangan dilakukan dalam jangka waktu paling lama
empat bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama delapan
bulan yang dihitung sejak tanggal surat perintah pemeriksaan sampai
dengan tanggal laporan hasil pemeriksaan.
3. Apabila dalam pemeriksaan lapangan ditemukan indikasi transaksi
yang terkait dengan transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain
yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan yang
19
memerlukan pengujian yang lebih mendalam serta memerlukan waktu
yang lebih lama, pemeriksaan lapangan dilaksanakan dalam jangka
waktu paling lama dua tahun.
4. Dalam pemeriksaan dilakukan berdasarkan kriteria pemeriksa pajak,
mengenai pengajuan permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak oleh Wajib Pajak, jangka waktu pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada butir 1,2, dan 3 di atas, harus
memperhatikan jangka waktu penyelesaian permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak.
2.2.9 Produk Hukum Pemeriksaan Pajak
Produk hukum pemeriksaan pajak menurut Suhartono dan Ilyas (2010)
adalah sebagai berikut:
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
Diterbitkan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terdapat pajak yang
terutang tidak atau kurang bayar.
2. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
Diterbitkan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan jumlah kredit pajak
atau jumlah pajak yang telah dibayar lebih besar daripada jumlah pajak
yang terutang.
3. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
Diterbitkan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan jumlah kredit pajak
atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang,
20
atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada
pembayaran pajak.
4. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
Diterbitkan apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan
jumlah pajak terutang. Penerbitan SKPKBT dengan syarat sebelumnya
telah terbit ketetapan pajak (SKPKB, SKPN, atau SKPLB) untuk tahun
atau Masa Pajak yang sama.
5. Surat Tagihan Pajak (STP)
Diterbitkan untuk menagih sanksi administrasi berupa denda atau bunga
terkait keterlambatan pembayaran atau pelaporan SPT, dan pembuatan
Faktur Pajak tidak sesuai ketentuan perpajakan.
2.2.10 Hak dan Kewajiban Wajib Pajak Selama Pemeriksaan
Menurut Waluyo (2012) hak dan kewajiban Wajib Pajak selama
pemeriksaan adalah sebagai berikut:
1. Hak Wajib Pajak selama proses pemeriksaan ini meliputi:
a. Meminta Tanda Pengenal Pemeriksa dan Surat Perintah
Pemeriksaan kepada pemeriksa pajak;
b. Meminta Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak;
c. Meminta penjelasan maksud dan tujuan pemeriksaan kepada
Pemeriksa Pajak;
d. Meminta tanda bukti peminjaman buku-buku, catatan-catatan, dan
dokumen-dokumen secara terperinci;
21
e. Meminta rincian dan penjelasan yang berkenaan dengan hal-hal
yang berbeda antara hasil pemeriksaan dengan Surat
Pemberitahuan (SPT) untuk ditanggapi;
f. Memberikan sanggahan terhadap koreksi-koreksi yang dilakukan
Pemeriksa Pajak, dengan menunjukkan bukti-bukti yang kuat dan
sah dalam rangka closing conference;
g. Meminta petunjuk mengenai penyelenggaraan pembukuan atau
pencatatan dan petunjuk lainnya mengenai pemenuhan kewajiban
perpajakan sehubungan dengan pemeriksaan yang dilakukan
dengan tujuan agar penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan
dan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam tahun-tahun
selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
h. Menerima buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen
yang dipinjam oleh Pemeriksa Pajak selama proses pemeriksaan
secara lengkap paling lama 14 (empat belas) hari sejak selesainya
proses pemeriksaan.
2. Kewajiban Wajib Pajak apabila dilakukan pemeriksaan pajak, maka Wajib
Pajak wajib untuk:
a. Memenuhi panggilan untuk datang menghadiri pemeriksaan kantor
sesuai dengan waktu yang ditentukan;
b. Memenuhi permintaan peminjaman buku-buku, catatan-catatan,
dan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk kelancaran
pemeriksaan;
22
c. Memberi kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat
atau ruangan yang dipandang perlu;
d. Memberikan keterangan secara tertulis maupun lisan yang
diperlukan oleh Pemeriksa selama proses pemeriksaan;
e. Menandatangani surat pernyataan persetujuan apabila Wajib Pajak
menyetujui seluruh hasil pemeriksaan;
f. Menandatangani Berita Acara Hasil Pemeriksaan, bila Wajib Pajak
tidak atau tidak seluruhnya menyetujui hasil pemeriksaan tersebut;
g. Menandatangani surat pernyataan penolakan pemeriksaan, apabila
Wajib Pajak/wakil/kuasanya menolak membantu kelancaran
pemeriksaan;
h. Memberi kesempatan kepada pemeriksa untuk melakukan
penyegelan tempat atau ruangan tertentu.
2.2.11 Sanksi Terkait Pemeriksaan Pajak
UU KUP menegaskan mengenai sanksi perpajakan yang terkait dengan
pemeriksaan yang dikutip oleh Suhartono dan Ilyas (2010) adalah sebagai berikut:
1. Apabila Hasil Pemeriksaan Terdapat Pajak Kurang Dibayar
a. Jumlah pajak yang kurang dibayar pajak ditambah dengan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian tahun
pajak, atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya SKPKB.
23
b. PPN & PPnBM ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih
lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tairf 0% dikenakan
sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% atas pajak yang
tidak atau kurang bayar.
2. Wajib Pajak Tidak Memenuhi Kewajiban Pemeriksaan.
Sanksi Administrasi
Apabila kewajiban pembukuan atau pemeriksaan tidak dipenuhi sehingga
tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang, atas jumlah pajak
dalam SKPKB ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan
yaitu:
1. 50% untuk PPh Badan dan/atau Orang Pribadi,
2. 100% untuk pemotongan dan/atau pemungutan PPh, dan PPN dan
PPnBM.
Sanksi Pidana
Dipidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun, serta
denda paling sedikit 2 kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar
dan paling banyak 4 kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar
apabila termasuk kategori tindak pidana perpajakan sesuai Pasal 39 UU
KUP.
2.3 Penagihan Pajak
2.3.1 Pengertian Penagihan Pajak
Pada pasal 1 angka 9 dalam Undang-undang penagihan pajak dengan surat
paksa yang dimaksud dengan penagihan pajak yaitu:
24
“Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak
melunasi utang dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau
mengingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus,
memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan
penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.”
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa adanya
surat penagihan untuk memberitahukan agar penanggung pajak melunasi utang
dan biaya penagihan pajak dan sekaligus memberitahukan surat paksa
mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan,
dan menjual barang yang telah disita.
2.3.2 Timbulnya Utang Pajak
Pengertian utang pajak menurut Pasal 1 ayat (8) tentang Undang-undang
Penagihan Pajak adalah sebagai berikut:
“Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi
administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan yang tercantum dalam
surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan”.
Menurut Siti Resmi (2008) ada dua ajaran yang mengatur timbulnya utang
pajak (saat pengakuan adanya utang pajak) yaitu:
1. Ajaran Materil; dan
2. Ajaran formil.
Dari kedua ajaran di atas, Ajaran Materil menyatakan bahwa utang pajak
timbul karena diberlakukannya undang-undang perpajakan. Seseorang dikenai
pajak karena suatu keadaan atau perbuatan yang dapat menimbulkan utang pajak.
Sedangkan Ajaran Formil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena
dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus (pemerintah).
25
2.3.3 Dasar Penagihan Pajak
Dasar penagihan pajak menurut Pasal 18 ayat (1) Undang-undang KUP
adalah sebagai berikut:
1. Surat Tagihan Pajak (STP)
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
4. Surat Keputusan Pembetulan
5. Surat Keputusan Keberatan
6. Putusan Banding, dan
7. Putusan Peninjauan Kembali
Dasar penagihan di atas menurut Siti Resmi (2009) dijelaskan sebagai
berikut:
1. Surat Tagihan Pajak (STP)
Surat tagihan pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau
sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda. Surat Tagihan Pajak
mempunyai ketetapan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak.
2. Surat Ketetapan Kurang Bayar (SKPKB)
Surat Ketetapan Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah
kekuranga pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan
jumlah pajak yang masih harus dibayar. SKPKB hanya dapat diterbitkan
terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan
lain tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban material.
26
3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKBT dalam jangka waktu
5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak,
bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang
mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan
tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan.
4. Surat Putusan Pembetulan
Atas permohonan Wajib Pajak, atau karena jabatannya, Direktur Jenderal
Pajak dapat membetulkan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak
yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung,
dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan.
5. Surat Keputusan Keberatan
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap
surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh
pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
6. Putusan Banding
Putusan banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding
terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak
apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Surat Keberatan yang
diajukannya.
27
7. Putusan Peninjauan Kembali
Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan Makamah Agung atas
permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Wajib Pajak atau
Direktur Jenderal Pajak terhadap Putusan Banding atau Putusan Gugatan
dari badan peradilan pajak, apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan
dengan Putusan Banding.
Berdasarkan dasar penagihan pajak di atas menurut Pasal 19 ayat (1)
Undang-Undang KUP dapat dijelaskan sebagai berikut:
“Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali,
yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah,
pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah
pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang
dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau
tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak”.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pasal 19 ayat (1) hanya
mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga berdasarkan jumlah pajak
yang masih harus dibayar yang tidak atau kurang dibayar pada saat jatuh tempo
pelunasan atau terlambat dibayar.
2.3.4 Penagihan Seketika dan Sekaligus
Menurut Mardiasmo (2011) yang dimaksud dengan penagihan seketika
dan sekaligus adalah tindakan penagihan yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak
kepada Penaggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang
meliputi seluruh utang pajak dari semua pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.
Penagihan ini dilakukan dalam hal:
28
1. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-
lamanya atau berniat untuk itu;
2. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau
yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan
perusahaan atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia;
3. Terdapat tanda-tanda Penanggung Pajak akan membubarkan badan
usahanya, atau menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya,
memindahtangan-kan perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya,
atau melakukan perubahan bentuk lainnya.
4. Badan usaha akan dibubarkan oleh Negara.
5. Terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau
terdapat tanda-tanda kepailitan.
2.3.5 Tindakan Penagihan Pajak
Proses penagihan pajak menurut Suhartono dan Ilyas (2010) adalah
sebagai berikut:
Urutan Tahapan kegiatan Waktu
pelaksanaan
kegiatan
Dasar hukum
1 Penerbitan Surat Teguran
atau Surat Peringatan atau
surat lain yang sejenis
7( tujuh) hari sejak
saat jatuh tempo
utang pajak
penanggung pajak
tidak melunasi
utang pajaknya
Pasal 8 s.d 11
Permenkeu Nomor
24/PMK.03/2008
2 Penerbitan Surat Paksa
Sudah lewat
21(dua puluh satu)
hari sejak
diterbitkanya Surat
(pasal 7 UU
Nomor 19/2000
dan pasal 15 s.d 23
peraturan menteri
29
teguran /surat
peringatan dan
penanggung pajak
tidak melunasi
utang pajak
keuangan nomor
24 /PMK.03/2008
3 Penerbitan surat perintah
melaksanakan penyitaan
Setelah lewat 2x24
jam Surat Paksa
diberitahukan
kepada
penanggung pajak
dan utang pajak
belum dilunasi
Pasal 12 UU
Nomor 19/2000
4 Pengumuman lelang
setelah lewat
waktu 14 hari
sejak tanggal
pelaksanaan
penyitaan dan
penanggung pajak
tidak melunasi
utang pajak
Pasal 26 peraturan
menteri keuangan
nomor
24/PMK.03.2008
5 Penjualan / pelelangan
barang sitaan
Pasal 26 UU
Nomor 19/2000
dan pasal 28
peraturan menteri
keuangan nomor
24/PMK.03.2008
Tabel 2.1
Tindakan Penagihan Pajak
2.3.6 UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP)
Menurut Fidel (2010) UU PPSP yaitu:
1. Falsafah UU PPSP No.19/2000
a) Menampung perkembangan sistem hukum nasional perlunya
dipertegaskan perolehan hak karena waris dan hibah wasiat yang
merupakan objek pajak.
30
b) Mendorong peningkatan kesadaran dan kepatuhan masyarakat
dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
c) Adanya kepastian hukum dan menegakan keadilan.
2. Tujuan Perubahan UU PPSP No.19/2000
a) Banyaknya tunggakan pajak dari waktu ke waktu menunjukan
jumlah yang semakin besar, untuk itu perlu dilaksanakan tindakan
penagihan pajak yang mempunyai kekuatan hukum yang
memaksa.
b) Kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak merupakan posisi
strategis dalam peningkatan penerimaan pajak.
c) Penagihan pajak yang dilaksanakan secara konsisten dan
berkesinambungan merupakan wujud lawan enfercoment untuk
meningkatkan kepatuhan yang menimbulkan aspek psikologis
bagi Wajib Pajak.
d) Memberikan perlindungan hukum, baik kepada Penanggung
Pajak maupun kepada pihak ketiga berupa hak untuk mengajukan
gugatan.
3. Hal-hal yang menjadi perhatian pada UU PPSP No.19/2000
a) Mempertegaskan proses pelaksanaan penagihan pajak dengan
menambahkan ketentuan Penerbitan Surat teguran, Surat
Peringatan dan Surat Lain yang sejenisnya sebelum Surat Paksa
dilaksanakan.
b) Mempertegaskan jangka waktu pelaksanaan penagihan aktif.
31
c) Mempertegaskan pengertian Penanggung Pajak yang meliputi
komisaris, pemegang saham, dan pemilik modal.
d) Menaikan nilai peralatan usaha yang dikecualikan dari penyitaan
dalam rangka menjaga kelangsungan usaha Penanggung Pajak.
e) Menambah jenis barang yang penjualannya dikecualikan dari
lelang.
f) Mempertegaskan besarnya biaya penagihan pajak, yang
didasarkan atas persentase tertentu dari hasil penjualan.
g) Mempertegaskan bahwa pengajuan keberatan atau permohonan
banding oleh Wajib Pajak tidak menunda pembayaran dan
pelaksanaan penagihan pajak.
h) Memberi kemudahan pelaksanaan lelang dengan cara memberi
batasan nilai barang yang diumumkan tidak melalui media massa
dalam rangka efisiensi.
i) Memperjelas hak Penanggung Pajak untuk memperoleh ganti
rugi dan pemulihan nama baik dalam hal gugatannya dikabulkan.
j) Mempertegas pemberian sanksi pidana kepada pihak yang
sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan
pelaksanaan penagihan pajak.
2.3.7 Daluwarsa Penagihan Pajak
Menurut Pasal 22 ayat (1) Undang-undang KUP menjelaskan bahwa
daluwarsa penagihan ini perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum kapan
Utang Pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi. Daluwarsa penagihan pajak 5 (lima)
32
tahun dihitung sejak Surat Tagihan Pajak dan Surat Ketetapan Pajak diterbitkan.
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan, keberatan, banding,
atau peninjauan kembali, daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak
tanggal penerbitan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding, atau Peninjauan Kembali.
2.3.8 Tertangguhnya Daluwarsa Penagihan Pajak
Menurut Pasal 22 Undang-Undang KUP daluwarsa tertangguh apabila:
a. Diterbitkan Surat Paksa;
b. Ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak baik Langsung
maupun tidak langsung;
c. Diterbitkan SKPKB atau SKPKBT sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5) dan Pasal 15 ayat (4); atau
d. Dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
2.4 Kepatuhan Wajib Pajak
2.4.1 Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak
Kepatuhan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia dalam Siti Kurnia
Rahayu (2010) menjelaskan bahwa Istilah kepatuhan berarti tunduk atau patuh
pada ajaran atau aturan.
Kepatuhan Pajak menurut Norman D dalam Rahayu (2010) adalah:
“Sebagai suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban
perpajakan, tercermin dalam situasi dimana : Wajib Pajak paham atau
berusaha untuk memahami sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan, mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas,
menghitung jumlah pajak terutang dengan benar, membayar pajak yang
terutang tepat pada waktunya”.
33
Kepatuhan Pajak menurut Safri Nurmantu dalam Siti Kurnia Rahayu
(2010:138) menjelaskan bahwa Kepatuhan Perpajakan dapat didefinisikan sebagai
suatu keadaan dimana Wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan
melaksanakan perpajakannya.
Kepatuhan Pajak menurut Chaizi Nasucha dalam Siti Kurnia Rahayu
(2010) adalah:
“Kepatuhan Wajib Pajak adalah: Kepatuhan Wajib Pajak dalam
mendaftarkan diri, kepatuhan untuk menyetorkan kembali SPT, kepatuhan
dalam pembayaran pajak terutang, kepatuhan dalam pembayaran
tunggakan”.
Terdapat dua macam kepatuhan, menurut Siti Kurnia Rahayu (2010)
yakni:
1. Kepatuhan Formal
2. Kepatuhan Material
Berdasarkan uraian di atas Kepatuhan Formal merupakan suatu keadaan
dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan
ketentuan dalam undang-undang perpajakan. Sedangkan Kepatuhan Material
adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantif memenuhi semua
ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang
perpajakan. Kepatuhan material dapat meliputi kepatuhan formal.
Menurut Erly Suandy (2011) tetang masalah kepatuhan wajib pajak yaitu:
“Masalah kepatuhan Wajib Pajak adalah masalah penting di seluruh dunia,
baik bagi negara maju maupun di negara berkembang. Karena jika Wajib
Pajak tidak patuh maka akan menimbulkan keinginan untuk melakukan
tindakan penghindaran, pengelakan, penyelundupan, dan pelalaian pajak.
Yang pada akhirnya tindakan tersebut akan menyebabkan penerimaan
pajak Negara akan berkurang”.
34
2.4.2 Kriteria Kepatuhan Wajib Pajak
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2007,
Wajib Pajak dimasukan dalam kategori Wajib Pajak Patuh apabila memenuhi
kriteria sebagai berikut:
a. Tepat waktu dalam menyampaikan surat pemberitahuan untuk semua
jenis pajak dalam dua tahun terakhir.
b. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali
telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran
pajak.
c. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan dalam jangka waktu sepuluh tahun terakhir.
d. Dalam dua tahun pajak terakhir menyelenggarakan pembukuan
sebagaimana dimaksud dalam UU No. 28 Tahun 2007 KUP pasal 28,
dan dalam hal terhadap Wajib Pajak pernah dilakukan pemeriksaan,
koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk tiap-tiap jenis pajak
yang terutang paling banyak 5%.
e. Wajib Pajak yang laporan keuangannya untuk dua tahun terakhir
diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian
atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi
laba rugi fiskal.
Berdasarkan pengertian di atas, kepatuhan mengandung unsur sebagai
berikut:
35
a. Adanya pengetahuan dan pengertian dari subjek pajak terhadap objek
pajak.
b. Adanya sikap setuju dari subjek.
c. Adanya tindakan perbuatan yang konsisten dengan pengetahuan dan
sikap yang telah dimilikinya.
2.4.3 Pengertian Wajib Pajak Orang Pribadi
Pengertian Wajib Pajak menurut Erly Suandy (2011) sebagai berikut:
“Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak,
pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan
kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan”
Sedangkan pengertian Wajib Pajak Orang Pribadi menurut Erly Suandy
(2011) sebagai berikut:
“Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) adalah Orang Pribadi yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk
melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau
pemotong pajak tertentu”.
2.5 Kerangka Pemikiran
2.5.1 Hubungan Pemeriksaan dengan Kepatuhan Wajib Pajak Orang
Pribadi
Penerimaan dari sektor pajak adalah sumber penerimaan terbesar negara.
Sebagai salah satu sumber penerimaan negara maka penerimaan pajak terus
dipacu agar target penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) dapat tercapai. Dengan adanya target penerimaan pajak yang
terus meningkat, sudah tentu fiskus sangat berkepentingan untuk mengamankan
36
pendapatan negara dari sektor pajak melalui pengujian kepatuhan Wajib Pajak
(Pajak.go.id).
Kepatuhan Wajib Pajak sangat berperan khususnya dalam perpajakan
Indonesia yang menganut self assessment system. Self assessment system adalah
sistem di mana Wajib Pajak diberi kepercayaan oleh undang-undang untuk
menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri jumlah pajak terutang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Self assessment
system yang diterapkan saat ini pun secara langsung maupun tidak langsung akan
mempengaruhi ketaatan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya. Sistem ini memiliki kelemahan yang memungkin Wajib Pajak
melakukan kecurangan-kecurangan atau kemungkinan terjadinya kelalaian yang
menyebabkan kerugian bagi negara (Siti Kurnia Rahayu, 2006).
Salah satu upaya untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya maka aparat pajak atau fiskus melakukan kegiatan
pemeriksaan pajak terhadap Wajib Pajak berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Pengertian pemeriksaan pajak
berdasarkan Pasal 1 ayat (25) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah sebagai berikut:
“Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah
data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan
profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain
dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.”
37
Dengan demikian tujuan pemeriksaan pajak adalah untuk menguji
kepatuhan Wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya harus mendapat prioritas
utama dan pemeriksaan pajak yang dilaksanakan oleh fiskus untuk menguji
kepatuhan Wajib Pajak harus secara objektif dan profesional sesuai dengan tata
cara pemeriksaan pajak.
Dengan adanya hubungan antara pelaksanaan pemeriksaan pajak dengan
kepatuhan wajib pajak maka diharapkan dapat memberikan dampak yang
mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak.
2.5.2 Hubungan Penagihan Pajak dengan Kepatuhan Wajib Pajak Orang
Pribadi
Teori pendukung yang menghubungkan penagihan pajak terhadap
kepatuhan Wajib Pajak menurut Gatot (2009) adalah sebagai berikut:
“Disamping bertujuan untuk mencairkan tunggakan pajak, tindakan
penagihan pajak dengan surat paksa juga merupakan wujud law
enforcement untuk meningkatkan kepatuhan yang menimbulkan aspek
psikologis bagi wajib pajak”.
2.5.3 Pengaruh Pemeriksaan Pajak dan Penagihan Pajak Terhadap
Kepatuhan Wajib Pajak
Menurut Jhon Hutagaol (2006) teori pengaruh pemeriksaan dan penagihan
pajak terhadap kepatuhan Wajib Pajak adalah:
“Untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak diperlukan penegakan
hukum (law enforcement sanksi perpajakan) sesuai ketentuan.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya pilar-pilar penegakan hukum terdiri
dari pemeriksaan pajak (tax audit), penyidik pajak (tax investigation) dan
penagihan pajak (tax collection). Penegakan hukum merupakan bentuk
lain dari pelayanan karena selain menerapkan sanksi perpajakan atas
pelanggaran perpajakan juga memberikan pelajaran kepada Wajib Pajak
38
sehingga mereka dapat melaksanakan pemenuhan kewajiban dan haknya
dibidang kewajiban sesuai ketentuan yang berlaku”.
Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka pemikiran ini dapat dilihat
dalam gambar 2.1 sebagai berikut:
Gambar 2.1
Skema Kerangka Pemikiran
Pemeriksaan
Pajak
(X1)
Penagihan Pajak
(X2)
Kepatuhan Wajib
Pajak
(Y)
Kantor
Pelayanan
Pajak (KPP)
39
Adapun beberapa penelitian terdahulu mengenai pemeriksaan pajak,
penagihan pajak dan pengaruhnya terhadap kepatuhan Wajib Pajak dapat dilihat
pada tabel 2.2 berikut ini:
Tabel 2.2
Tinjauan Atas Penelitian Terdahulu
No Peneliti Judul Penelitian Sampel Hasil Penelitian
1. Reni Priantini
Desca
(2011)
Pengaruh
Pemeriksaan Pajak
Terhadap Tingkat
Kepatuhan Wajib
Pajak dalam
Pemenuhan
Kewajiban
Perpajakan Pajak
Penghasilan
14 orang
pemeriksa pajak
dapa seksi
Pemeriksaan dan
Kelompok
Fungsional
Pemeriksaan di
KPP Pratama
Jakarta Tebet
Pemeriksaan pajak memiliki
pengaruh terhadap tingkat
kepatuhan Wajib Pajak dalam
pemenuhan kewajiban
perpajakan Pajak
Pengahasilan. Besarnya
pengaruh pemeriksaan pajak
terhadap kepatuhan Wajib
Pajak adalah sebesar 20,3%
2. Fitta Amaliasari
(2012)
Penagaruh
Kesadaran
Membayar Pajak,
Pengetahuan dan
Pemahaman
tentang Peraturan
Perpajakan, dan
Persepsi yang Baik
atas Efektifitas
Sistem Perpajakan
terhadap Kemauan
untuk Membayar
Pajak Wajib Pajak
Orang Pribadi yang
Melakukan
Pekerjaan Bebas
100 responden
Wajib Pajak di
KPP Pratama
Subang.
Kesadaran Membayar Pajak,
pengetahuan dan Pemahaman
tentang Peraturan Perpajakan,
dan Persepsi yang Baik Atas
efektifitas Sistem Perpajakan
memiliki pengaruh terhadap
Kemauan untuk Membayar
Pajak Wajib Orang Pribadi
yang Melakukan Pekerjaan
Bebas. Pengaruh Kesadaran
Membayar Pajak,
Pengetahuan dan Pemahaman
tentang Peraturan Perpajakan,
dan Persepsi yang Baik atas
Efektifitas Sistem Perpajakan
terhadap Kemauan untuk
Membayar Pajak Wajib
Orang Pribadi yang
Melakukan Pekerjaan Bebas
yaitu sebesar 25,2%
3. Hafsyaf Nur
Hidayah Harahap
(2013)
Pengaruh
Pelaksanaan
Pemeriksaan Pajak
Terhadap Tingkat
Kepatuhan Wajib
Pajak Badan
60 responden
Wajib Pajak di
KPP Pratama
Bandung
Cibeunying.
Pelaksanaan Pemeriksaan
Pajak berpengaruh terhadap
tingkat kepatuhan Wajib
Pajak badan. Koefisien
determinasi menunjukan
bahawa tingkat kepatuhan
40
Wajib Pajak badan
dipengaruhi pelaksanaan
pemeriksaan pajak sebesar
69,1%.
4. Dani
Mardiansyah
(2013)
Pengaruh
Penagihan Pajak
Dan Kepatuhan
Wajib Pajak
Terhadap
Tunggakan Pajak
16 Kantor
Pelayanan Pajak
di Wilayah Jawa
Barat 1.
Penagihan pajak memiliki
arah hubungan positif antara
kepatuhan penagihan pajak
dengan kepatuhan Wajib
Pajak menunjukan bahwa
jumlah tagihan pajak yang
semakin besar cenderung
diikuti meningkatnya jumlah
SKPKB. Penagihan pajak
hanya memberikan pengaruh
sebesar sebesar 1,2%
terhadap kepatuhan Wajib
Pajak yang masuk kategori
sangat rendah atau sangat
lemah, sedangkan sisanya
sebesar 98,8% dipengaruhi
oleh faktor-faktor lain
diantaranya tarif pajak,
tingkat ekonomi Wajib Pajak,
pelaksanaan sensus Pajak
nasional.
5. Shintiana Salam
(2012)
Pengaruh
Penagihan Pajak
dan Kualitas
Pelayanan
Terhadap
Kepatuhan Wajib
Pajak
Kantor Pelayanan
Pajak Pratama
Cicadas Bandung
Penagihan Pajak terhadap
kepatuhan Wajib Pajak
sebesar 24,6% termasuk
dalam kategori cukup baik,
artinya penagihan pajak di
Kantor Pelayanan Pajak
Pratama Cicadas Bandung
sudah dilaksanakan dengan
cukup baik.
41
2.6 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, dan dukungan teori yang ada
maka diajukan hipotesis penelitian yaitu:
H1: Pemeriksaan Pajak berpengaruh terhadap Kepatuhan Wajib Pajak.
H2: Penagihan Pajak berpengaruh terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
H3: Pemeriksaan Pajak dan Penagihan Pajak berpengaruh terhadap
Kepatuhan Wajib Pajak.