BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian ... II TAX RE… · dengan nama dan dalam...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian ... II TAX RE… · dengan nama dan dalam...
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Pengertian Pajak
Pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro (Mardiasmo, 2013: 1) adalah
iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung
dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur.
1) Iuran dari rakyat kepada negara.
Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang
(bukan barang).
2) Berdasarkan undang-undang.
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta
aturan pelaksanaannya.
3) Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung
dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya
kontraprestasi individual oleh pemerintah.
4) Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-
pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
10
2.1.2 Pengertian Pajak Penghasilan
Definisi Penghasilan menurut Undang-Undang PPh Pasal 4 ayat (1) UU
Nomor 7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang–Undang
Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Penghasilan adalah setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak baik
yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apapun.
2.1.3 Pengertian Wajib Pajak Badan
Dalam perpajakan Indonesia, yang dimaksud dengan Badan adalah
sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha. Pengertian badan meliputi Perseroan Terbatas (PT), Perseroan
Komanditer (CV), perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara maupun Daerah
(BUMN/D) dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana
pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk
kontrak investasi kolektif dan Bentuk Usaha Tetap (BUT/permanent
establishment). Definisi mengenai ‘badan’ ini dapat kita temukan pada pasal 1
angka 3 UU KUP nomor 28 Tahun 2007. Badan sebagaimana diuraikan di atas,
merupakan salah satu subjek pajak. Badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia disebut dengan Subjek Pajak Badan Dalam Negeri.
Manakala persyaratan subjektif maupun objektif telah terpenuhi, Subjek Pajak
Badan disebut dengan Wajib Pajak Badan (WP Badan).
11
Fasilitas Tarif PPh untuk WP Badan antara lain yaitu:
1) Peraturan Pemerintah Nomor 46 Peraturan Tahun 2013
Peraturan ini mengatur tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari
usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran
bruto tertentu. Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang
dimaksud adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
(1) Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk
bentuk usaha tetap; dan
(2) Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari
jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto
tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak dikenakan PPh Final sesuai dengan
PP ini adalah mereka yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan atau
jasa yang dalam usahanya:
(1) Menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang,
baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
(2) Menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum
yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
Sedangkan WP Badan yang tidak dikenakan PPh Final sesuai dengan
ketentuan PP ini adalah:
(1) WP Badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
(2) WP Badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah
12
beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi
Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam
1 (satu) Tahun Pajak.
2) Tarif pajak PPh Badan pasal 17 dan pasal 31E Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Badan.
Tarif pasal 31E UU PPh adalah 50% (lima puluh persen) dari tarif
umum yang disebutkan pada pasal 17 ayat (1) huruf b atau pasal 17 ayat
(2b) UU PPh, dengan kata lain ada diskon tarif PPh sehingga tarif yang
dikenakan kepada WP Badan yang memenuhi syarat hanya sebesar 14%
(untuk tahun pajak 2012) atau 12,5% (mulai tahun pajak 2013). WP Badan
yang berhak mengenyam fasilitas ini adalah WP Badan yang jumlah
peredaran brutonya dalam satu tahun pajak tidak lebih dari Rp 50 milyar.
Cara penghitungannya dapat dilihat pada memori penjelasan pasal 31E UU
PPh. Menurut penegasan dalam poin 2.c. Surat Edaran (SE) Dirjen Pajak
Nomor SE-66/PJ./2010 tanggal 24 Mei 2010, yang berasal dari kegiatan
usaha, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
sebelum dikurangi dengan biaya fiskal.
Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tarif pajak PPh Badan
digunakan untuk menghitung PPh Badan terutang. Tarif pajak PPh Badan
adalah berdasarkan pasal 17 dan pasal 31 E Undang-Undang No. 36 Tahun
2008 tentang pajak penghasilan, yaitu sebagai berikut:
(1) Tarif pajak untuk tahun pajak 2009 adalah sebesar 28%.
(2) Tarif pajak untuk tahun pajak 2010 dan 2011 serta tarif Pajak
Penghasilan Badan (PPh Badan) SPT Tahun PPh Badan 2012 dan
13
seterusnya adalah sebesar 25%.
(3) Wajib pajak badan dalam negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka
yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah
keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat
memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif
tersebut yang diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.
(4) Wajib pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai
dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat
fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen)
dari tariff tersebut (28% atau 25%) yang dikenakan atas
Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan
Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Keperluan dalam penerapan tarif pajak, jumlah Penghasilan Kena
pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.
2.1.4 Fungsi Pajak
Fungsi pajak ada dua yaitu fungsi pendanaan sebagai salah satu sumber
penerimaan negara yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran
negara, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran untuk pembangunan. Fungsi
mengatur yaitu pajak yang tinggi akan dikenakan untuk konsumsi sesuatu yang
kurang bermanfaat agar dapat mengurangi gaya hidup konsumtif dan tarif pajak
untuk ekspor 0%, guna mendorong ekspor produk Indonesia di pasar dunia.
Mengingat peran pajak begitu penting bagi pembangunan nasional, maka perlu
14
diketahui lebih jauh fungsi sebenarnya dari pajak tersebut. Menurut Siti Resmi
(2011:3) menyebutkan ada dua fungsi pajak, yaitu :
1) Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara)
Pajak mempunyai fungsi budgetair, artinya pajak merupakan salah satu
sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin
maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan negara, pemerintah
berupaya memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara. Upaya
tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi
pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak
seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),
dan lain-lain.
2) Fungsi Regulerend (Mengatur)
Pajak mempunyai fungsi pengatur, artinya pajak sebagai alat untuk
mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan
ekonomi, serta mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan.
2.1.5 Sistem Perpajakan
Di Indonesia sendiri mempunyai 3 jenis sistem pemungutan pajak yang
telah ditetapkan oleh pemerintah antara lain (Mardiasmo, 2013:7):
1) Official Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberikan wewenang kepada
pemerintah selaku fiskus untuk menentukan besarnya pajak yang terhutang
oleh wajib pajak.
15
2) Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri besarnya
pajak yang terutang.
3) Withholding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan)
untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
2.1.6 Penelaahan Pajak (Tax Review)
Penelaahan pajak atau tax review merupakan suatu tindakan penelaahan
terhadap seluruh transaksi perusahaan guna menghitung jumlah pajak yang
terutang dan memprediksi potensi pajak yang mungkin timbul berdasarkan
peraturan dan perundang-undangan pajak yang berlaku (Villios, 2011). Tax review
dapat dilakukan secara mandiri oleh perusahaan atau dilakukan oleh pihak ketiga,
yaitu konsultan pajak yang dapat memberikan nasihat dan masukan tentang
perpajakan kepada perusahaan (Thomas, 2013:5). Pemilik perusahaan dan
konsultan pajak harus sama-sama memahami keadaan perusahaan dan membuat
rencana yang berkaitan dengan perpajakan perusahaan agar memberi kontribusi
maksimum bagi perusahaan (Reilly, 2011). Tax review juga dapat menunjukkan
transaksi mana yang memiliki potensi pajak dalam suatu perusahaan (Andini Gita
dan Sumadi, 2014).
16
1) Tax Review atas Pajak Penghasilan (PPh) Badan
Tax review atas PPh Badan dilakukan dengan menilai kewajiban perpajakan
Wajib Pajak badan yaitu.
(1) Kewajiban mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak Badan.
Dalam hal ini mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP (Nomor
Pokok Wajib Pajak). Apabila Wajib Pajak badan melakukan kegiatan
penyerahan barang kena pajak dan atau Jasa Kena Pajak atau ekspor
barang kena pajak yang terutang PPN berdasarkan UU No. 42 Tahun
2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, maka Wajib Pajak badan tersebut
memiliki kewajiban untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak
(PKP).
(2) Kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan.
Pasal 28 ayat (1) UU KUP, yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak
badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan. Menurut
UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, pembukuan adalah proses pencatatan yang dilakukan
secara teratur untuk mendapatkan data dan informasi keuangan yang
meliputi keadaan harta, kewajiban atau utang, modal, penghasilan dan
biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa
yang terutang maupun yang tidak terutang PPN, yang dikenakan PPN
dengan tarif 0% dan yang dikenakan PPnBM, yang ditutup dengan
17
menyusun laporan keuangan berupa neraca, penghitungan rugi/laba
pada saat tahun pajak berakhir.
(3) Kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT).
(4) Kewajiban membayar dan menyetorkan pajak, membuat faktur
pajak, melunasi bea materai dan mentaati pemeriksaan pajak.
2) Tax Review atas Withholding Tax
Tax review atas withholding tax, meliputi kewajiban pemotongan dan
pemungutan atas.
(1) Pemotongan PPh Pasal 21 dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan
kepada WP orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan
atau kegiatan yang dilakukan.
(2) Pemotongan PPh Pasal 22 dilakukan oleh pihak tertentu yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan sehubungan dengan pembayaran atas
penyerahan barang, impor barang dan kegiatan usaha di bidang-
bidang tertentu (seperti penyerahan barang oleh rekanan kepada
bendaharawan pemerintah).
(3) Pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan
sehubungan dengan pembayaran berupa dividen, bunga, royalti, sewa,
dan jasa kepada Wajib Pajak badan dalam negeri, dan BUT.
(4) Pemotongan PPh Pasal 24 dilakukan oleh pihak tertentu yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan sehubungan dengan Wajib Pajak dalam negeri
terutang pajak atas pembayaran penghasilan yang diperoleh di luar
negeri. Tujuan pemotongan/pemungutan pajak untuk meringankan
18
beban pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak di luar
negeri. Pajak terutang boleh dikreditkan dalam tahun pajak yang
sama.
(5) Pemotongan PPh Pasal 25 yaitu.
a) Kewajiban pajak sendiri (seperti PPh Pasal 25/29).
b) Kewajiban memungut PPN dan atau PPnBM (jika ada) yang
khusus berlaku bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP).
(6) Pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan
sehubungan dengan pembayaran berupa dividen, bunga, royalty,
hadiah dan penghasilan lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri.
(7) Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) yang dilakukan oleh pihak pemberi
penghasilan sehubungan dengan pembayaran untuk objek tertentu
seperti sewa tanah dan/atau bangunan; jasa konstruksi; pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan; dan lainnya.
2.1.7 Laporan Keuangan
Laporan keuangan menggambarkan dampak keuangan dari transaksi dan
peristiwa lain yang diklasifikasikan dalam beberapa kelompok besar menurut
karakteristik ekonominya. Kelompok besar ini merupakan unsur laporan
keuangan. Unsur yang berkaitan langsung dengan pengukuran posisi keuangan
adalah aktiva, kewajiban, dan ekuitas. Unsur pengukuran kinerja dalam laporan
laba rugi adalah penghasilan dan beban. Laporan perubahan posisi keuangan
biasanya mencerminkan berbagai unsur laporan laba rugi dan neraca, dengan
demikian kerangka dasar tidak mengidentifikasikan unsur perubahan posisi
19
keuangan secara khusus. Perusahaan dapat menyusun laporan keuangan akuntansi
(komersial) dan laporan keuangan fiskal secara terpisah atau melakukan koreksi
fiskal terhadap laporan keuangan akuntansi (komersial). Laporan keuangan
komersial yang direkonsiliasi dengan koreksi fiskal akan menghasilkan laporan
keuangan fiskal.
1) Laporan keuangan komersial
Laporan keuangan komersial adalah laporan keuangan yang disusun sesuai
dengan Standar Akuntansi Keuangan yang meliputi neraca, laporan laba
rugi, laporan perubahan posisi keuangan, arus kas dan catatan atas laporan
keuangan.
2) Laporan Keuangan Fiskal
Laporan Keuangan Fiskal adalah laporan keuangan yang disusun sesuai
peraturan perpajakan dan digunakan untuk keperluan perhitungan pajak.
Perbedaan penghasilan dan biaya menurut akuntansi dan fiskal
dikelompokkan menjadi perbedaan tetap atau perbedaan permanen (permanent
difference) dan perbedaan sementara atau perbedaan waktu (timing difference).
Perbedaan prinsip-prinsip antara Standar Akuntansi Keuangan dengan peraturan
perundang-undangan perpajakan mengakibatkan laporan keuangan komersial
yang telah disusun perlu dikoreksi sesuai dengan ketentuan perpajakan yang
berlaku sehingga dapat dihasilkan laporan keuangan fiskal (Djoko, 2010:64).
Koreksi fiskal adalah hasil penyesuaian dari laporan keuangan komersial pada
saat menyusun laporan keuangan fiskal (Thomas, 2013:28).
20
Siti (2011:373) menyatakan bahwa, perbedaan penghasilan dan
biaya/pengeluaran menurut akuntansi dan menurut fiskal dapat dikelompokkan
menjadi dua yaitu.
1) Perbedaan Tetap
Perbedaan tetap terjadi karena transaksi-transaksi pendapatan dan biaya
diakui menurut akuntansi komersial dan tidak diakui menurut fiskal.
Perbedaan tetap mengakibatkan laba/rugi bersih menurut akuntansi berbeda
(secara tetap) dengan Penghasilan Kena Pajak menurut fiskal. Misalnya,
(1) Penghasilan yang pajaknya bersifat final, seperti bunga bank, dividen,
sewa tanah dan bangunan, dan penghasilan lain sebagaimana diatur
dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh.
(2) Penghasilan yang tidak termasuk Objek Pajak, seperti dividen yang
diterima oleh perseroan terbatas, koperasi, BUMD/BUMN, dan
penghasilan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh.
(3) Biaya/pengeluaran yang tidak diperbolehkan sebagai penghasilan
bruto sesuai Pasal 9 ayat (1) UU PPh.
2) Perbedaan waktu
Perbedaan waktu terjadi karena perbedaan waktu pengakuan pendapatan dan
biaya dalam menghitung laba. Biaya dan penghasilan diakui menurut
akuntansi komersial tetapi belum diakui menurut fiskal, atau sebaliknya.
Perbedaan ini bersifat sementara sebab akan tertutup pada periode
sesudahnya. Perbedaan waktu antara lain: pengakuan piutang tak tertagih,
penyusutan harta berwujud, amortisasi dan lain-lain.
21
(1) Perbedaan dimasukkan sebagai koreksi positif apabila.
a) Pendapatan menurut fiskal lebih besar dari pada menurut
akuntansi atau suatu penghasilan diakui menurut fiskal tetapi
tidak diakui menurut akuntansi.
b) Biaya/pengeluaran menurut fiskal lebih kecil dari pada menurut
akuntansi atau suatu biaya/pengeluaran tidak diakui menurut
fiskal tetapi diakui menurut akuntansi.
(2) Perbedaan diakui sebagai koreksi negatif apabila.
a) Pendapatan menurut fiskal lebih kecil dari pada menurut
akuntansi atau suatu penghasilan tidak diakui menurut fiskal
(bukan Objek Pajak) tetapi diakui menurut akuntansi.
b) Biaya atau pengeluaran menurut fiskal lebih besar dari pada
menurut akuntansi atau suatu biaya atau pengeluaran diakui
menurut fiskal tetapi tidak diakui menurut akuntansi.
c) Suatu pendapatan telah dikenakan Pajak Penghasilan bersifat
final.
2.1.8 Pajak Penghasilan Pasal 21
1) Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan
berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan
pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi
(Mardiasmo, 2013:188).
22
2) Objek Pajak Penghasilan Pasal 21
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 (Siti, 2011:171) yaitu.
(1) Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa
penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur.
(2) Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara
teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya.
(3) Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan
penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara
sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan
hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis.
(4) Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah
harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang
dibayarkan bulanan.
(5) Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium,
komisi, fee, dan imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan
kegiatan yang dilakukan.
(6) Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan
nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apa
pun; dan
(7) Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan
nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh.
23
a) Bukan Wajib Pajak.
b) Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat
final.
c) Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan
norma perhitungan khusus (deemed profit).
Penghasilan yang tidak dipotong PPh Pasal 21 adalah.
(1) Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi
kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.
(2) Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dalam bentuk
apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali
diberikan oleh bukan Wajib Pajak selain Pemerintah, atau Wajib Pajak
yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang
dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan
khusus.
(3) Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran
Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara Jamsostek yang
dibayar oleh pemberi kerja.
(4) Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; dan
(5) Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu (Pasal 3 ayat (1) UU
PPh). Ketentuannya di atur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri
Keuangan No. 246/PMK.03/2008.
24
3) Tarif dan Tata Cara Perhitungan PPh Pasal 21 Bagi Pegawai Tetap
Tarif yang digunakan di Indonesia dalam menghitung besar PPh
terutang Wajib Pajak orang pribadi adalah tarif progresif. Tarif progresif
yaitu tarif berupa presentase tertentu dengan semakin meningkatnya dasar
pengenaan pajak (Siti, 2011:15).
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak untuk Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri sesuai dengan PPh Pasal 17 ayat 1 (a) UU
No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan adalah, seperti pada Tabel
2.1 berikut.
Tabel 2.1 Tarif PPh Pasal 21 untuk WPOP Dalam Negeri
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Diatas Rp 0 s/d Rp 50.000.000 5%
Diatas Rp 50.000.000 s/d Rp 250.000.000 15%
Diatas Rp 250.000.000 s/d. Rp 500.000.000 25%
Diatas Rp 500.000.000 30%
Sumber: PPh Pasal 17 ayat 1 (a) UU No 36 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan
Tarif pajak yang berlaku beserta perhitungannya menurut ketentuan
dalam Pasal 21 UU Pajak Penghasilan bagi pegawai tetap (Mardiasmo,
2013:195) adalah.
PPh Pasal 21 = (penghasilan neto – PTKP) x tarif pasal 17 UU PPh
= (penghasilan bruto - biaya jabatan - iuran pensiun dan
THT/JHT yang dibayar sendiri - PTKP) x tarif pasal 17
UU PPh
25
Perhitungan PPh Pasal 21 bagi pegawai tetap secara umum dirumuskan
sebagai berikut.
Gaji sebulan Rp xxx
Premi yang ditanggung pemberi kerja Rp xxx
Penghasilan Bruto Rp xxx
Dikurangi:
Biaya Jabatan Rp xxx
Iuran Pensiun Rp xxx
Iuran JHT yang dibayar karyawan Rp xxx
Jumlah pengurangan (Rp xxx)
Penghasilan Neto Sebulan Rp xxx
Penghasilan Neto Setahun (12x Penghasilan Neto Sebulan) Rp xxx
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP):
Diri Wajib Pajak (WP) Rp xxx
Tambahan WP Kawin Rp xxx
Tambahan anak (max. 3) Rp xxx
Jumlah PTKP
(Rp xxx)
Penghasilan Kena Pajak (PKP) setahun Rp xxx
PPh Pasal 21 (Tarif Pasal 17 ayat (1))
5% x < Rp 50.000.000,00 Rp xxx
15% x Rp 50.000.000,00 s/d Rp 250.000.000,00 Rp xxx
25% x Rp 250.000.000,00 s/d Rp 500.000.000,00 Rp xxx
26
30% x > Rp 500.000.000,00 Rp xxx
PPh Pasal 21 Setahun Rp xxx
PPh Pasal 21 Sebulan (PPh Pasal 21 Setahun/12) Rp xxx
Penyetoran dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
(SSP) ke Kantor Pos atau Bank Badan Usaha Milik Negara dan Bank Badan
Usaha Milik Daerah atau bank lain yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal
Anggaran, selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim bulan berikutnya.
Selanjutnya dilaporkan penyetoran dengan menggunakan Surat
Pemberitahuan Masa (SPT Masa) ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor
Penyuluhan Pajak setempat selambat-lambatnya pada tanggal 20 bulan
takwim (Marnoko, 2010).
2.1.9 Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
(Siti, 2011:104) menyatakan, PTKP merupakan jumlah penghasilan tertentu
yang tidak dikenakan pajak. Besarnya PTKP setahun yang berlaku tahun 2012
adalah sebagai berikut.
1) Rp. 15.840.000,00 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi.
2) Rp. 1.320.000,00 tambahan untuk Wajib Pajak kawin.
3) Rp. 15.840.000,00 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya
digabung dengan penghasilan suami dengan syarat.
(1) Penghasilan istri tidak semata-mata diterima dari satu pemberi kerja yang
telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan dalam UU PPh Pasal 21,
(2) Pekerjaan istri tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas
27
suami atau anggota keluarga lain.
4) Rp. 1.320.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan
keluarga semenda dalam keturunan lurus satu derajat serta anak angkat yang
menjadi tangguhan sepenuhnya (maksimal 3 orang).
Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 162/PMK.011/2012 tentang
Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang ditetapkan pada
tanggal 22 Oktober 2012 menyatakan bahwa, dengan berlakunya peraturan PTKP
ini maka mulai tahun 2013 masyarakat Indonesia yang memiliki penghasilan
sampai dengan Rp 24.300.000,00 tidak akan dikenakan pajak. Besarnya PTKP
terbaru adalah sebagai berikut.
1) Rp 24.300.000,00 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi.
2) Rp 2.025.000,00 tambahan untuk Wajib Pajak kawin.
3) Rp 24.300.000,00 tambahan untuk penghasilan istri yang digabung dengan
penghasilan suami.
4) Rp 2.025.000,00 tambahan untuk anggota keluarga (maksimal 3 orang).
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 122/PMK.010/2015
tentang penyesuaian Penghasilan Tidak Kena Pajak yang ditetapkan tanggal 29
Juni 2015 oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia. Besarnya Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP) terbaru adalah.
1) Rp 36.000.000,00 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi.
2) Rp 3.000.000,00 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin.
28
3) Rp 36.000.000,00 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya
digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
Ayat (1) UU No. 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008.
4) Rp. 3.000.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan
keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, menjadi
tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
2.1.10 Pajak Penghasilan Pasal 22
Mardiasmo (2013:246), Pajak Penghasilan Pasal 22 yaitu Pemungutan PPh
Pasal 22 adalah Pajak yang dipungut oleh.
1) Bendahara pemerintah terkait dengan pembayaran atas penyerahan barang
yang berasal dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);
2) Badan-badan tertentu terkait dengan penghasilan dari kegiatan di bidang
impor atau kegiatan usaha di bidang lain; dan
3) WP Badan tertentu terkait pembayaran dari pembeli atas penjualan barang
yang tergolong sangat mewah.
2.1.11 Pajak Penghasilan Pasal 23
1) Pengertian PPh Pasal 23
Menurut Patric (2013), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah Pajak
Penghasilan yang dikenakan atas penghasilan Wajib Pajak dalam negeri
atau Bentuk Usaha Tetap yang menerima atau memperoleh penghasilan
yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggara kegiatan
29
selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal
21. Pemotongan PPh Pasal 23 merupakan pencerminan dari salah satu
sistem perpajakan yang dianut di Indonesia yaitu sistem withholding tax
(Rizki, 2009).
2) Objek Pajak Penghasilan Pasal 23
Penghasilan dan besarnya PPh Pasal 23 yang dipotong adalah.
(1) Sebesar 15% dari jumlah bruto atas.
a) Dividen, dengan nama dan bentuk apa pun termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa
hasil usaha koperasi.
b) Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang.
c) Royalti.
d) Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah
dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (1) huruf e.
(2) Sebesar 2% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN atas.
a) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,
kecuali sewa tanah dan/ atau bangunan.
b) Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah
dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21. Jasa lain terdiri dari.
30
(a) Jasa penilai.
(b) Jasa aktuaris.
(c) Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan.
(d) Jasa perancang.
(e) Jasa pengeboran di bidang migas kecuali yang dilakukan oleh
BUT.
(f) Jasa penunjang di bidang penambangan migas.
(g) Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang
penambangan selain migas.
(h) Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara.
(i) Jasa penebangan hutan.
(j) Jasa pengolahan limbah.
(k) Jasa penyedia tenaga kerja.
(l) Jasa perantara dan/atau keagenan.
(m) Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali
yang dilakukan KSEI dan KPEI.
(n) Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang
dilakukan oleh KSEI.
(o) Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara.
(p) Jasa mixing film.
(q) Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk
perawatan, pemeliharaan dan perbaikan.
(r) Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon,
31
air, gas, ac, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh
wajib pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan
mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha
konstruksi.
(s) Jasa perawatan/pemeliharaan/pemeliharaan mesin, peralatan,
listrik, telepon, air, gas, ac, dan/atau TV kabel, selain yang
dilakukan oleh wajib pajak yang ruang lingkupnya di bidang
konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai
pengusaha konstruksi.
(t) Jasa maklon.
(u) Jasa penyelidikan dan keamanan.
(v) Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer.
(w) Jasa pengepakan.
(x) Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa,
media luar ruang atau media lain untuk penyampaian
informasi.
(y) Jasa pembasmian hama.
(z) Jasa kebersihan atau cleaning service.
(aa) Jasa katering dan tata boga.
Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan tidak
memiliki NPWP, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100%.
Penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 (Supriyanto,
2011:56) yaitu.
32
1) Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.
2) Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha
dengan hak opsi.
3) Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan
terbatas sebagai WP dalam negeri, koperasi, BUMN/BUMD, dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia.
4) Dividen yang diterima orang pribadi.
5) Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham,
persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi termasuk pemegang unit
penyertaan kontrak investasi kolektif.
6) Sisa Hasil Usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggotanya.
7) Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa
keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau
pembiayaan.
2.1.12 Pajak Penghasilan Pasal 24
Mardiasmo (2013:262), Pajak Penghasilan Pasal 24 yaitu Wajib Pajak
dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari luar negeri. Untuk meringankan beban pajak ganda
yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh di luar negeri, ketentuan ini mengatur tentang perhitungan besarnya
33
pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang diluar negeri yang dapat
dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan wajib pajak
dalam negeri.
2.1.13 Pajak Penghasilan Pasal 25
Undang-undang Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008, PPh Pasal 25
merupakan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir
tahun pajak yang lalu.
Supriyanto (2011:78), dasar perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 25
adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan.
1) Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22.
2) Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Setelah diperoleh hasil pengurangan tersebut, kemudian dibagi 12 (dua
belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
(1) Jika pajak terutang pada tahun tersebut melebihi jumlah kredit pajak
yang telah dipungut oleh pihak lain maka akan muncul kurang bayar
yang disebut sebagai PPh Pasal 29.
34
(2) Jika pajak terutang pada tahun tersebut kurang dari jumlah kredit
pajak yang telah dipungut oleh pihak lain maka akan muncul lebih
bayar yang disebut sebagai PPh Pasal 28A.
2.1.14 Pajak Penghasilan Pasal 26
Mardiasmo (2013:280), PPh Pasal 26 adalah pajak yang dipotong dari
penghasilan WP Luar Negeri atas penghasilan yang tidak berasal dari
menjalankan usaha atau kegiatan melalui BUT yang bersumber dari Indonesia.
Pemotongan PPh Pasal 26 bersifat final (tidak dapat digunakan sebagai kredit
pajak), kecuali ditentukan lain.
2.1.15 Pajak Penghasilan Pasal 4 (2)
Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) merupakan penghasilan berupa bunga
deposito, dan tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dalam sekuritas
lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau
bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan
Peraturan Pemerintah (Lusy, 2001). PPh Pasal 4 ayat (2) terdiri dari.
1) Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Bunga Deposito dan Tabungan,
dan Diskonto Sertifikat Bank Indonesia.
2) Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Bunga atau Diskonto Obligasi
yang Dijual Di Bursa Efek.
3) Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Sewa Tanah dan/atau Bangunan
diatur dengan Peraturan Pemerintah No 5 Tahun 2002. Besarnya PPh yang
dipotong adalah sebesar 10% atas penghasilan yang diterima oleh Wajib
35
Pajak badan maupun orang pribadi dari jumlah bruto nilai persewaan tanah
dan/atau bangunan.
4) PPh Final atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan.
5) Usaha Jasa Konstruksi.
6) Pajak Penghasilan atas Hadiah Undian.
7) PPh Final Atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak
Berjangka yang Diperdagangkan Di Bursa.
2.1.16 Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak
Mardiasmo (2013:31), fungsi SPT bagi WP Pajak Penghasilan adalah
sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan
jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang.
1) Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau
melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 Tahun Pajak
atau Bagian Tahun Pajak.
2) Penghasilan yang merupakan Objek Pajak dan/atau bukan Objek Pajak.
3) Harta dan kewajiban.
4) Pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau
pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa
Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
36
Tabel 2.2 Kode dan Nama Formulir SPT Tahunan Wajib Pajak Badan
No Kode
Formulir
Nama Formulir
1 1771 Surat Pemberitahuan Tahunan PPh WP Badan
2 1771-I Perhitungan Penghasilan Neto Fiskal
3 1771-II Perincian harga pkok penjualan, biaya usaha lainnya, dan biaya
dari luar usaha secara komersial
4 1771-III Kredit pajak dalam negeri
5 1771-IV PPh final dan penghasilan yang tidak termasuk Objek Pajak
6 1771-V - Daftar pemegang saham/pemilik modal dan jumlah dividen
yang dibagikan
- Daftar susunan pengurus dan komisaris
7 1771-VI - Daftar penyertaan modal pada perusahaan afiliasi
- Daftar utang dari pemegang saham atau perusahaan afiliasi
- Daftar piutang kepada pemegang saham dan perusahaan
afiliasi
Sumber: Siti (2011:377)
Lampiran Khusus yang terdiri dari.
1 A : Daftar penyusutan dan amortisasi fiskal.
2 A : Perhitungan kompensasi kerugian fiskal.
3 A : Pernyataan transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa.
3 A-1 : Pernyataan transaksi dalam hubungan istimewa.
3 A-2 : Pernyataan transaksi dengan pihak yang merupakan penduduk negara
Tax Heaven Country.
4 A : Fasilitas penanaman modal.
5 A : Daftar utama cabang perusahaan.
6 A : Penghitungan PPh pasal 26 ayat 4.
7 A : Kredit pajak luar negeri.
SPT Tahunan PPh Badan terdiri dari Induk SPT dan lampiran-lampiran
yang merupakan satu-kesatuan yang tidak terpisahkan. Induk SPT dan lampiran-
lampiran diberi kode dan nama formulir seperti pada Tabel 2.2 di atas.
37
2.2 Pembahasan Penelitian Sebelumnya
Frida (2008) membahas mengenai Penerapan Tax Review atas PPh Pasal 21
Karyawan. Variabel yang diteliti adalah PPh Pasal 21 untuk karyawan tetap
penerima gaji bulanan, karyawan tetap penerima gaji harian, penerima upah
borongan, dan penerima upah harian tahun 2006 pada PT. X. Teknik analisis data
yang digunakan yaitu deskriptif komparatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa,
PT. X selaku pemotong PPh Pasal 21 telah melakukan kewajiban perhitungan PPh
Pasal 21 karyawan sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Persamaan
dengan penelitian ini terletak pada variabelnya yaitu PPh Pasal 21. Sementara itu,
perbedaannya terletak di lokasi penelitian, variabel tambahannya yaitu PPh
Badan, PPh Pasal 22, 23, 24, 25, 26 dan 4(2)
Elvia (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Penerapan Tax Review atas
Kewajiban Perpajakan Pedagang Pengumpul PT. X. Penelitian ini menguji
kewajiban perpajakan PT. X dengan menilai pemenuhan kewajiban formal dan
kewajiban material PT. X. Teknik analisis data yang digunakan yaitu deskriptif
komparatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa, PT. X masih melakukan
kesalahan dalam melaksanakan pemenuhan kewajiban formal dan kewajiban
materialnya. Kesalahan dalam kewajiban formal yaitu dalam hal penyetoran dan
pelaporan SPT Masa PPh 25 dan pelaporan SPT Tahunan. Kesalahan dalam
kewajiban material yaitu kesalahan penghitungan PPh terutang karena kesalahan
koreksi fiskal untuk biaya yang berkaitan dengan natura dan kenikmatan dan
biaya penyusutan aktiva tetap. Persamaan dengan penelitian ini terletak pada
variabelnya yaitu PPh Badan, PPh Pasal 25, Sementara itu, perbedaannya
38
terletak di lokasi penelitian. Variabel tambahanya yaitu PPh Pasal 21, 22, 23,
24, 26 dan 4(2)
Larasati (2012) meneliti tentang Analisis Penerapan Pemotongan dan
Penyetoran serta Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 23 dan Pasal 26 Tahun 2010-
2012. Variabel yang diteliti adalah PPh Pasal 23, PPh Pasal 26. Metode dan objek
analisis adalah Studi Kepustakaan (Library Research) dan Studi Lapangan (Field
Research) di Perum Peruri. Simpulan secara keseluruhan Perum Peruri telah
melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik. Namun, masih terdapat
beberapa masalah terkait pengelompokkan jenis transaksi dan penentuan tarif PPh
Pasal 23, penyetoran dan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 23 dan Pasal 26 sudah
baik. Perum Peruri harus mempertahankan penerapan perpajakan dan
meningkatkan kembali agar terhindar dari sanksi perpajakan yang telah diatur
oleh pemerintah. untuk mendapatkan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 23 dan Pasal
26 sudah baik. Perum Peruri harus mempertahankan penerapan perpajakan dan
meningkatkan kembali agar terhindar dari sanksi perpajakan yang telah diatur
oleh pemerintah. Persamaan dengan penelitian ini terletak pada variabelnya yaitu
PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26. Sementara itu, perbedaannya terletak di lokasi
penelitian dan tambahannya yaitu PPh Badan, variabel PPh Pasal 21, 22, 24,
25 dan 4(2) dan variabel PPh Pasal 25.
Patric (2013) meneliti tentang Analisis Perhitungan dan Pelaporan PPh
Pasal 23 dan PPh Pasal 25. Variabel yang diteliti adalah PPh Pasal 23 dan PPh
Pasal 25. Teknik analisis data yang digunakan yaitu deskriptif. Dari hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa, PPh Pasal 23 berpengaruh terhadap besarnya
39
angsuran PPh Pasal 25 yang harus dibayarkan perusahaan, sedangkan PPh Pasal
25 tidak mempunyai pengaruh terhadap PPh Pasal 23 dan Pelaporan PPh Pasal 23.
Persamaan dengan penelitian ini terletak pada variabelnya yaitu PPh Pasal 23 dan
PPh Pasal 25. Sementara itu, perbedaannya terletak di lokasi penelitian, variabel
tambahannya yaitu PPh Badan, PPh Pasal 21, 22, 24, 26 dan 4(2)
Luh Gita (2014) meneliti tentang Analisis Penerapan Tax Review Atas Pajak
Penghasilan Badan Dan Withholding Tax Pada Hotel X. Variabel yang diteliti
adalah PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 4 ayat (2) .Teknik analisis data
yang digunakan yaitu teknik deskriptif komparatif . Hasil penelitian menunjukkan
bahwa Hotel X melakukan kesalahan dalam menghitung PPh Badan yang terutang
sedangkan untuk pemotongan, penyetoran, dan pelaporan withholding tax telah
sesuai dengan ketentuan perpajakan. Persamaan dengan penelitian ini terletak
pada variabelnya yaitu PPh badan, PPh Pasal 21, 23 dan PPh dan 4(2). Sementara
itu, perbedaannya terletak di lokasi penelitian dan variabel tambahannya yaitu PPh
Pasal 22, 24, 25, dan 26.