Post on 21-Aug-2018
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ascidian
Ascidian merupakan nama bagi kelompok hewan yang termasuk ke dalam
kelas Ascidiaceae, yang menyusun hampir sebagian besar jenis-jenis dalam
Subfilum Urochordata dari Filum Chordata (McClintock dan Baker 2001).
Walaupun hewan ini termasuk ke dalam kelompok avertebrata namun pada satu
saat dalam daur hidupnya memiliki ciri khas chordata. Ciri khas chordata tersebut
adalah memiliki notochord, sebuah benang saraf yang bolong, celah-celah insang
dan sebuah ekor post anal (Suwignyo dkk 2005).
Ascidian pada umumnya tergolong ke dalam organisme penempel.
Ascidian merupakan invertebrata di ekosistem terumbu karang yang banyak
menghasilkan senyawa bioaktif untuk farmakologi dimana hewan ini dapat
berasosiasi dengan mikroba fotosintetik dan mempunyai potensi molekular yang
besar, karena kandungan metabolit sekundernya yang merupakan substansi
bioaktif sangat berguna sebagai pertahanan diri organisme yang memproduksinya
juga bagi kehidupan manusia, karena dapat dimanfaatkan sebagai antitumor,
antikanker, antibakteri dan antimikroba (Aulia 2011).
Ascidian umumnya hidup sesil dan merupakan avertebrata air dengan
penyebaran yang luas, terdapat hampir di seluruh laut di dunia. Namun. Ascidian
umumnya terdapat di perairan litoral pada zona intertidal hingga subtidal,
menempel pada karang, cangkang moluska, lambung kapal atau pada dasar pasir
dan lumpur (Suwignyo dkk 2005). Ascidian adalah penyaring air alami, tahan
terhadap bermacam-macam polutan dan dapat menyaring bakteri, demikian pula
logam berat dari air yang berbahaya bagi ekosistem terumbu (Erdmann 2004).
Ascidian memiliki bentuk tubuh seperti kantung atau balon kecil (Gambar
1). Ujung yang satu menempel pada substrat dan ujung yang lain menjulur bebas
dan mempunyai dua buah bukaan, bucal siphon atau sifon air masuk dan cloacal
(atrial) siphon atau sifon air keluar. Tubuh Ascidian tertutup lapisan epitel. Di
luar lapisan epitel masih ada lagi pembungkus yang disebut mantel atau tunic.
8
Tunic merupakan ciri khas Ascidian, sehingga dinamakan tunica. Ketebalan
mantel bervariasi, demikian pula kekerasannya, dari lunak sampai keras. Tidak
sedikit yang transparan sehingga organ dalamnya terlihat. Mantel terutama
tersusun dari zat semacam selulosa yang disebut tunik (Suwignyo dkk 2005).
Tubuh Ascidian terdiri dari 3 bagian, yaitu bagian anterior yang mengandung
pharynx, bagian abdomen yang mengandung organ pencernaan dan bagian post
abdomen yaitu bagian terbawah dari abdomen.
Gambar 1. Bentuk Ascidian
Sumber: http://library.thinkquest.org
Kebanyakan Ascidian berukuran kecil dan hidup berkoloni, contohnya
Ascidian bintang dari genus Botryllus (Gambar 2) memiliki ukuran zooid 2 - 4
mm sedangkan ukuran koloninya bisa mencapai ukuran 150 mm (Hiscock 2001).
Pada Ascidian koloni, antara zooid satu dengan yang lain dihubungkan dengan
stolon. Ascidian soliter memiliki ukuran dengan diameter sampai 3 – 15 cm dan
sering disebut Ascidian sederhana (Gambar 3). Ascidian adalah filter feeder dan
penyaring plankton dari air yang mengalir melalui pharynx (Suwignyo et al
2005).
9
Gambar 2. Ascidian yang Hidup Berkoloni dari Genus Botryllus
Sumber : http://www.glaucus.org.uk
Gambar 3. Ascidian yang Hidup Soliter
Sumber : http://www.ird.fr
Ascidian termasuk dalam jenis hemaprodit dengan fertilisasi terjadi di luar
tubuh atau eksternal. Ovari terletak di bawah atau di dekat lambung dan testis
terletak di bawah ovari. Spesies soliter biasanya mempunyai telur dengan sedikit
kuning telur, dikeluarkan melalui sifon air keluar sedangkan jenis koloni biasanya
mempunyai kuning telur lebih banyak dan telur dierami dalam atrium. Telur
menetas menjadi larva appendicularia atau dikenal dengan sebutan tadpole larva
karena bentuknya mirip berudu katak. Setelah beberapa menit hidup sebagai
plankton, larva akan menempel di dasar pada bagian anteriornya dengan papilla
perekat. Selanjutnya terjadi metamorfosa (Gambar 4). Dan pada ujung yang bebas
akan terbentuk sifon air masuk dan sifon air keluar. Kebanyakan Ascidian
berumur 1 – 3 tahun (Suwignyo dkk 2005).
10
Gambar 4. Metamorfosis Larva Ascidian
Sumber : http://t1.gstatic.com
Koloni ascidian terbentuk dengan jalan pertunasan. Tunas tunica disebut
dengan blastozooid, terbentuk pada tempat yang berbeda-beda tergantung
jenisnya. Di alam, puncak dari siklus reproduksi Ascidian adalah pada Bulan
Oktober hingga November. Pada masa hidup sebagai larva, Ascidian bersifat
plantonik. Bentuk larva memili corona, yaitu semacam silia yang berfungsi
sebagai alat renang.
2.2. Ascidian Didemnum molle
Didemnum molle merupakan Ascidian yang umum dijumpai di perairan
Indonesia karena distribusi dari spesies ini tersebar di perairan Indo-Pasifik. Pada
umumnya jenis-jenis dari suku Didemnidae merupakan jenis yang paling
mendominasi di perairan dangkal tropis. Jenis Ascidian dari suku Didemnidae
memiliki adaptasi yang tinggi terhadap kondisi perairan dan mampu bertahan
hidup pada tipe-tipe habitat (Abrar 2008).
Didemnum molle merupakan salah satu jenis Ascidian yang hidup
berkoloni, walaupun sekilas terlihat seperti Ascidian soliter. Hewan ini memiliki
morfologi berwarna hijau dan lunak dengan bentuk dan ukuran yang beragam
(Gambar 5). Warna hijau pada Didemnum molle adalah akibat dari simbiosis
hewan ini dengan alga hijau yaitu prokloron (Hirose 2004).
11
Klasifikasi Didemnum molle menurut Herdmann 1886 :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Ascidiaceae
Order : Aplousobranchiata
Family : Didemnidae
Genus : Didemnum
Spesies : Didemnum molle
Gambar 5. Ascidian Didemnum molle
Didemnum molle adalah Ascidian yang umumnya hidup pada permukaan
terumbu karang atau batu di perairan dangkal tropis dan subtropics dengan
kedalam 1 hingga 20 meter yang arusnya tidak terlalu kuat (Monniot et al 1991).
Didemnum molle menyukai tipe substrat yang keras seperti karang mati, karang
hidup massive dan submassive, konstruksi bangunan laut dan tali. Didemnum
molle membutuhkan substrat yang stabil untuk bertahan dari gelombang dan arus
yang kuat (Monniot et al 1991). Ukuran Didemnum molle berkisar antara
3 – 20 cm. Ukuran dan bentuk Didemnum molle dipengaruhi oleh substratnya.
Didemnum molle, tersusun atas spikula memiliki pigmen cokelat dan hijau
yang berasal dari alga hijau yaitu prolokron. Kombinasi tersebut menyebabkan
warna Didemnum molle terkadang terlihat putih, cokelat dan hijau. Didemnum
molle dapat mengeluarkan lendir berwarna kehijauan ketika merasa terganggu dan
juga siphonnya akan menyemprotkan air sebagai bentuk pertahanan diri (Monniot
et al 1991).
12
Beberapa senyawa alkaloid telah berhasil diisolasi dari spesies
Didemnum molle contohnya alkaloid spermidin yaitu didemnidines. Donia et al
pada tahun 2008 berhasil mengisolasi dua senyawa siklik hexapeptides baru, yaitu
mollamides B dan C dan juga keenamide peptide A dari spesies Didemnum molle
yang berasal dari Indonesia. Didemnum molle tersebut diketahui memiliki potensi
sebagai antimikroba, antimalaria, antikanker, dan anti-HIV-I. Selain itu,
Keenamide A dan Mollamide B menunjukkan sitotoksisitas terhadap sel kanker.
Didemnum molle memiliki distribusi yang luas di perairan dangkal tropis,
selain itu spesies ini mudah dikenali dan sering ditemui perairan Indonesia.
Ketersediaan biota ini cukup banyak di alam karena memiliki tingkat adaptasi
yang tinggi (Abrar 2008). Karena ketersediaan yang cukup banyak dan didukung
dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa biota ini mengandung
senyawa metabolit sekunder seperti alkaloid, flavonoid dan steroid (Aulia 2011),
maka biota ini berpotensi untuk dieksplorasi sebagai salah satu sumber bahan
senyawa aktif.
2.3. Bakteri Vibrio harveyi
Berdasarkan Bergey,s Manual of Determinative Bacteriology dalam Breed
et al. (1948) Vibrio harveyi diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisi : Protophyta
Kelas : Schizomycetes
Ordo : Eubacteriales
Famili : Pseudomonadaceae
Genus : Vibrio
Spesies: Vibrio harveyi
Vibrio harveyi adalah bakteri air laut yang sering dijumpai pada media
hidup ikan budidaya di keramba jaring apung maupun di tambak. Vibrio harveyi
bersifat motil karena pergerakannya dikendalikan oleh flagela polar, tergolong
bakteri gram negatif dan berbentuk batang yang melengkung (seperti tanda koma)
(Gambar 6). Ciri-ciri morfologi dan fisiologi Vibrio harveyi pada medium Nutrien
Agar (NA) dengan NaCl 1,5% dan Seawater Complete-agar (SWC-agar) antara
lain : koloni berbentuk bulat dengan elevasi cembung, berwarna krem dan
13
diameternya 2 - 3 mm setelah diinkubasi pada suhu 28C. Vibrio harveyi jika
diamati dalam ruang gelap dapat berpendar berwarna hijau (Lavilla-Pitogo et al.
1990).
Gambar 6. Koloni Bakteri Vibrio harveyi http://www2.fiu.edu/~makemson/
Vibrio harveyi merupakan bakteri yang bersifat patogen dan oportunis
yang artinya dalam keadaan normal ada dalam lingkungan pemeliharaan dan
berkembang dari sifat saprofitik menjadi patogenik apabila kondisi lingkungan
dan inang memburuk. Bakteri ini dapat tumbuh secara optimum pada salinitas 20-
30 ppt, dan dapat tumbuh dengan baik pada kondisi alkali, yaitu pH optimum
berkisar antara 7,5-8,5. Di sepanjang pantai utara Jawa, mulai dari pantai Tuban
(Bulu, Bancar, Jenu, Palang), Gresik (Sedayu, Manyar), Sidoarjo, Bangil (Raci),
Probolinggo, Karang Tekok (Situbondo), Banyuwangi (Suri Tani Pemuka), setiap
muncul kasus penyakit vibrio, salinitas rata-rata lebih dari 25 ppt (Prajitno 2007).
Vibrio harveyi telah dinyatakan sebagai bakteri patogen utama pada udang
(Moriarty 1999). Pada budidaya udang, bakteri ini menyerang secara akut yaitu
menginfeksi hepatopankreas udang. Gejala klinis pada udang windu yang
terinfeksi bakteri Vibrio harveyi adalah munculnya bercak-bercak merah pada
tubuh udang yang umumnya terlihat pada ekor dan kaki renang, terjadi nekrosis
pada ujung ekor, pergerakan udang tidak normal seperti menyentak-nyentak dan
14
lemah, bentuk tubuh tidak normal yaitu terlalu melengkung, nafsu makan
menurun sehingga usus terlihat kosong, ciri utama adalah tubuh berpendar ketika
berada dalam gelap dalam gambar 7 (Panjaitan 1991).
Serangan bakteri V.harveyi pada larva udang bersifat akut dan ganas
karena dapat mematikan populasi larva dalam waktu 1 hingga 3 hari sejak gejala
klinis mulai terlihat (Rukyani dkk. 1992). Penanganan bakteri ini biasanya
dilakukan dengan memberikan antibiotik seperti kloramfenikol. Namun, semakin
lama bakteri tersebut menjadi resisten terhadap antibiotik sintetik.
Gambar 7. Udang yang Berpendar Terkena Penyakit Kunang-Kunang
Sumber : http://mail-cenaim.espol.edu.ec
2.4. Udang Windu (Penaeus monodon)
Udang windu atau Penaeus monodon digolongkan dalam crustacea, yang
memiliki nama internasional tiger shrimp (Gambar 8). Udang windu termasuk
dalam jenis binatang eurihalin atau binatang air yang dapat hidup dalam kisaran
kadar garam 30/00 – 45
0/00. Untuk pertumbuhan optimum, udang windu
memerlukan salinitas 150/00 – 30
0/00. Kandungan oksigen terlarut yang baik untuk
kehidupan udang adalah 4 – 8 ppm, derajat keasaman (pH) yang normal untuk
udang adalah 6 – 9, sedangkan suhu air yang baik bagi kehidupan udang adalah
25 – 30C dengan perubahan suhu yang ditoleransi tidak lebih dari 2C (Amri
2003).
15
Berikut ini klasifikasi udang windu menurut Fabricius 1798.
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Metazoa
Fillum : Arthropoda
Subfillum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Penaeidae
Genus : Penaeus
Spesies : Penaeus monodon
Gambar 8. Udang Windu (Penaeus monodon)
Sumber: http://2.bp.blogspot.com/
Udang windu aktif di malam hari untuk mencari makan (nocturnal) seperti
plankton, moluska, dan sisa-sisa bahan organik sedangkan pada siang hari mereka
cenderung membenamkan diri di tempat teduh atau berlumpur. Habitat udang
windu muda adalah air payau seperti muara sungai dan pantai, semakin dewasa
udang windu lebih menyukai hidup di dasar laut (Murtidjo 2003).
Tubuh udang windu terdiri dari dua bagian yaitu kepala (thorax) dan perut
(abdomen) dapat dilihat pada Gambar 9. Bagian kepala terdiri dari antenna,
antenulle, mandibula dan dua pasang maxillae. Kepala dilengkapi dengan 3
pasang maxilliped dan dua pasang kaki jalan (periopoda) atau kaki sepuluh
(decapoda). Bagian perut (abdomen) terdiri dari 6 ruas. Pada bagian abdomen
terdapat 5 pasang kaki renang dan sepasang uropods (mirip ekor) yang
membentuk kipas bersama-sama telson (ujung ekor).
16
Seluruh tubuh tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton, yang
terbuat dari zat chitin. Bagian kepala ditutupi oleh cangkang kepala (karapaks)
yang ujungnya meruncing disebut rostrum. Kerangka tersebut mengeras, kecuali
pada sambungan-sambungan antara dua ruas tubuh yang berdekatan. Hal ini
memudahkan mereka untuk bergerak (Suyanto dan Mujiman 2003).
Gambar 9. Morfologi Udang Windu (Penaeus monodon) Sumber : http://www.m_e_hassanin.staff.zu.eg
Udang windu bereproduksi di laut dalam. Perkawinan berlangsung setelah
udang betina berganti kulit. Udang jantan akan memasukkan sperma dengan
menggunakan petasma ke dalam telikum udang betina. Sperma akan tetap berada
di dalam telikum sampai tiba saatnya untuk dikeluarkan bersama sel telur ke air
dan saling membuahi. Setelah 15 jam telur akan menetas menjadi larva.
Ada beberapa perkembangan stadia pada udang windu dalam Amri 2001
(Gambar 10) yaitu :
Naupli : Stadia pertama larva udang, yang dijalani selama 46 – 50 jam.
Zoea : Stadia kedua, memerlukan waktu sekitar 96 – 120 jam. Merupakan
stadia kritis dimana pada stadia ini merupakan awal mulai makan
fitoplankton yang berasal dari lingkungan perairan sekelilingnya.
Mysis : Stadia ketiga memerlukan waktu 96 – 120 jam. Stadia ini sudah 3
kali berganti kulit sejak menjadi zoea, telson dan pleopod sudah
mulai tampak.
17
Post Larva : Perkembangan dan organ tubuh pada stadia ini sama dengan udang
dewasa. Pada stadia ini udang banyak menghabiskan waktu didasar
kolam. Menyukai salinitas 25 – 35 0/00.
Juvenil : Udang muda yang menyukai perairan dengan salinitas 20 – 25 0/00.
Gambar 10. Siklus Hidup Udang Windu
Sumber : http://aquaticcommons.org
Udang windu, rentan terkena penyakit pada stadia post larva. Karena pada
stadia tersebut larva udang mudah stres. Penyebab stres tersebut dipicu oleh
kondisi lingkungan yang tidak stabil dan pada saat pemindahan larva ke tambak.
Kondisi udang yang stres menjadi salah satu pemicu mudahnya udang terserang
penyakit (Maryani 2003). Selain itu, jumlah pemberian pakan perlu diperhatikan,
jangan sampai berlebihan karena akan mengakibatkan akumulasi limbah organik
di dasar tambak. Limbah organik tersebut dapat menyebabkan berkembangnya
bakteri patogen seperti Aeromonas dan Vibrio, jamur, parasit dan virus yang
menimbulkan penyakit pada udang (Lightner 1996). Jenis bakteri dari golongan
Vibrio harveyi merupakan bakteri yang paling sering menimbulkan kematian
massal dalam waktu yang relatif singkat.
18
Pada rentang waktu tahun 1980-1990, Indonesia berada dalam puncak
kejayaan sebagai produsen udang windu yaitu pada tahun 1998 mencapai 142.116
ton namun pada tahun 2001 produksi udang windu mulai mengalami penurunan.
Berikut data produksi tambak udang windu dari tahun 2000 - 2010 disajikan
dalam Tabel 1.
Tabel 1. Data Produksi Tambak Udang Windu Indonesia Tahun 2000 - 2010
Tahun Produksi (ton)
2000 93.759
2001 103.603
2002 112.480
2003 133.836
2004 131.399
2005 134.682
2006 147.867
2007 133.113
2008 134.930
2009 124.564
2010 125.519
Sumber : Statistik Perikanan Budidaya Indonesia 2010
Penurunan angka produksi tersebut disebabkan oleh timbulnya berbagai
macam penyakit yang menyerang udang dari stadia larva sampai dewasa.
Serangan penyakit pada udang windu ini, umumnya disebabkan oleh kombinasi
infeksi agen virus, bakteri, jamur dan parasit. Vibriosis merupakan salah satu
penyakit udang yang dilaporkan menyebabkan kerugian besar bagi usaha
pertambakan udang (Maryani 2003).
2.5. Senyawa Metabolit Sekunder
2.5.1 Alkaloid
Senyawa alkaloid merupakan senyawa organik terbanyak ditemukan di
alam. Hampir seluruh alkaloid berasal dari tumbuhan dan tersebar luas dalam
berbagai jenis tumbuhan. Alkaloid dewasa kini banyak ditemukan dalam biota
laut dan berpotensi sebagai bahan obat (Blunden 2001).
19
Alkaloid merupakan bagian dari senyawa cincin heterosiklik yang bersifat
basa dan mengandung satu atau lebih atom nitrogen. Berdasarkan literatur,
diketahui bahwa hampir semua alkaloid di alam mempunyai keaktifan biologis
dan memberikan efek fisiologis tertentu pada makhluk hidup. Alkaloid bentuk
bebas tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organik (Sumardjo 2009).
Menna tahun 2011 mengkaji beberapa penelitian selama 25 tahun
mengenai alkaloid yang berasal dari Ascidian. Sekitar 300 struktur alkaloid telah
diisolasi dari Ascidian. Senyawa alkaloid berasal dari hasil metabolit sekunder
dan berperan penting bagi Ascidian yaitu sebagai bentuk pertahanan diri mereka.
Bagi manusia, alkaloid dari Acidian berpotensi sebagai antivirus, antikanker dan
antibakteri. Famili Didemnidae, diketahui menghasilkan alkaloid yang bersifat
antibakteri yaitu Shishididemniols A-E yang berasal dari turunan senyawa
serinolipid (Gambar 11). Alkaloid dapat menghambat pertumbuhan mikroba
karena kemampuannya dalam menginterklasi dinding sel dan DNA.
Gambar 11. Struktur Senyawa Alkaloid Shishididemniols A-E Turunan
Senyawa Serinolipid (Sumber : Menna 2012)
2.5.2 Flavonoid
Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang
ditemukan di alam. Harborne tahun 1987 menyatakan senyawa-senyawa flavonoid
merupakan zat warna merah, ungu, dan biru, dan sebagian zat warna kuning yang
ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan maupun biota laut. Flavonoid mempunyai
20
kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon, di mana 2 cincin benzen
(C6) terikat pada suatu rantai propan (C3) sehingga membentuk suatu susunan
C6-C3-C6. Susunan ini dapat menghasilkan tiga jenis struktur, yaitu 1,3-
diarilpropan atau flavonoid, 1,2-diarilpropan atau isoflavonoid, dan 1,1-
diarilpropan atau neoflavonoid (Gambar 12). Jenis flavonoid yang paling sering
ditemukan di alam adalah flavon, flavonol dan antosianidin sehingga ketiga jenis
tersebut sering dinyatakan sebagai flavonoid utama (Arifin 1985).
Flavonoid dapat ditemukan sebagai mono-, di-, atau triglikosida, dimana
satu, dua atau tiga gugus hidroksil dalam molekul flavonoid terikat oleh gula.
Gugus hidroksil yang terdapat pada struktur senyawa flavonoid menyebabkan
perubahan komponen organik dan transpor nutrisi yang akhirnya akan
mengakibatkan timbulnya efek toksik terhadap bakteri. Poliglikosida larut dalam
air dan hanya sedikit yang dalam pelarut-pelarut organik seperti eter, benzene,
kloroform dan aseton (Arifin 1985). Flavonoid merupakan senyawa semi polar
sehingga flavonoid dapat larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, aseton,
dimetil sulfoksida (DMSO), dimetil fonfamida (DMF), dan air maupun pelarut
semi polar seperti kloroform dan asam asetat.
Gambar 12. Tiga Jenis Struktur Senyawa Flavonoid
Sumber : Arifin 1985
2.5.3 Steroid
Steroid adalah senyawa yang mempunyai kerangka dasar karbon, yang
merupakan turunan dari hidrokarbon 1,2-siklopenteno-perhidrofenantren (Gambar
13). Senyawa steroid berhubungan erat dengan beberapa hormon dan keaktifan
21
biologi. Senyawa ini bersifat semi polar sehingga dapat larut dalam pelarut polar
maupun semi polar (Harborne 1987).
Gambar 13. Struktur 1,2-Siklopenteno-perhidrofenantren
Sumber : Harborne 1987
Steroid terdiri atas beberapa kelompok senyawa yang didasarkan pada efek
fisiologis yang diberikan oleh masing-masing kelompok. Kelompok-kelompok itu
ialah sterol, asam-asam empedu, hormon seks, hormon adrenokortikoid, aglikon
kardiak dan sapogenin yang perbedaanya didasarkan oleh jenis substituen yang
terikat pada kerangka dasar karbon (Arifin 1985). Beberapa hormon steroid alam
dan keaktifannya disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Pengelompokan Senyawa Steroid
Hormon Keaktifan
Estrogen Menstimulasi organ seksual betina
Androgen Menstimulasi organ seksual jantan
Progesteron Menstimulasi uterus
Adreno kortikoid Transpor elektrolit
Mencegah peradangan
Sumber : Arifin 1985
2.5.4 Triterpenoid
Triterpenoid merupakan senyawa golongan terpenoid yang kerangka
karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan
dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik,
22
kebanyakan berupa alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Penamaan senyawa
triterpenoid dilakukan dengan memberikan penomoran pada tiap atom karbon,
sehingga memudahkan dalam penentuan subtituen pada masing-masing atom
karbon (Lenny 2006). Senyawa terpenoid digunakan dalam industry farmasi
terutama dalam pembuatan obat-obat antibiotik, antijamur dan antitumor. Selain
itu, senyawa ini berfungsi sebagai pertahanan diri dari predator (Manuputty 1991).
Triterpenoid dapat larut dalam pelarut polar seperti metanol. Yusuf pada tahun
2010 berhasil mengisolasi dan melihat struktur molekul salah satu senyawa
triterpenoid dari kulit batang Avicennia Marina yaitu Struktur Senyawa 21-
Hidroksi-4(23)-Friedelen-3-Oxo (Gambar 14).
Gambar 14. Struktur Senyawa 21-Hidroksi-4(23)-Friedelen-3-Oxo
Sumber: Yusuf 2010
2.5.5 Saponin
Saponin adalah glikosida, yaitu metabolit sekunder yang banyak terdapat
di alam, terdiri dari gugus gula yang berikatan dengan aglikon atau sapogenin.
Aglikon yang membentuk senyawa saponin ini merupakan senyawa triterpneoida,
sterol dan sapogenin steroida. Saponin bersifat polar.
Saponin dapat dibedakan menjadi 2 berdasarkan jenis sapogenin yang
menempel pada molekulnya yaitu saponin steroid contohnya Asparagosida
(Gambar 15) dan saponin triterpenoid. Senyawa saponin bersifat racun bagi
hewan berdarah dingin. Saponin dapat diidentifikasi dengan mengocoknya dalam
air hingga membentuk busa (Harborne 1987).