Post on 04-Mar-2018
8
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Kepatuhan Perawatan Diabetes Mellitus
1. Perilaku (Practice)
Perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas manusia, baik
dapat diamati secara langsung maupun tidak dapat diamati oleh pihak luar.
Dimana perilaku (Notoatmodjo, 2003), meliputi :
a. Persepsi (perception) yaitu mengenal dan memilih berbagai objek
sehubungan dengan tindakan yang diambil yang merupakan tingkat
pertama misalnya penderita Diabetes Mellitus dapat mengetahui
tentang tanda dan gelaja Diabetes Mellitus.
b. Respon terpimpin (guided respons), yaitu dapat melakukan sesuatu
sesuai dengan urutan benar dan sesuai dengan contoh misalnya
penderita Diabetes Mellitus dapat melakukan cara perawatan Diabetes
Mellitus sesuai dengan anjuran tenaga kesehatan.
c. Mekanisme (mehanisme), yaitu melakukan sesuatu yang menjadi
kebiasaan pasien Diabetes Mellitus misalnya mengetahui cara
mencegah hipoglikemia dan melakukan aktifitas olah raga secara rutin
setiap hari.
d. Adaptasi (adaptation), yaitu suatu praktek atau tindakan yang sudah
berkembang dengan baik benar misalnya penderita Diabetes Mellitus
9
dapat melakukan perawatan Diabetes Mellitus dengan benar misalnya
dari kepatuhan obat, kontrol dan diit Diabetes Mellitus.
Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk
dibatasi karena perilaku merupakan hasil dari perubahan berbagai faktor,
baik internal maupun eksternal (lingkungan). Pada garis besarnya perilaku
manusia dapat terlihat dari 3 aspek yaitu aspek fisik, psikis, dan sosial.
Akan tetapi dari aspek tersebut sulit untuk ditarik garis yang tegas dalam
mempengaruhi perilaku manusia (Notoatmodjo, 2003).
2. Perilaku Kesehatan
Perilaku seseorang atau subyek dipengaruhi atau ditentukan oleh
faktor-faktor baik dari dalam maupun dari luar subyek. Menurut Lawrence
Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003), perilaku kesehatan terbagi tiga
teori penyebab masalah kesehatan yang meliputi :
a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing faktors) yaitu faktor-faktor
yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku
seesorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan,
nilai-nilai, tradisi. Seseorang dengan pengetahuan rendah akan
berdampak pada ketaatan yang rendah, dimana seseorang yang tidak
teridentifikasi mempunyai gejala dan mereka berfikir bahwa mereka
sudah merasa sembuh dan sehat. Seseorang dengan pengetahuan yang
cukup tentang kepatuhan dalam perawatan Diabetes Mellitus maka
secara langsung akan bersikap positif dan menuruti aturan pengobatan,
dan munculnya keyakinan untuk sembuh, tetapi masih ada yang
10
percaya dengan pengobatan alternatif bukan medis yang dipengaruhi
oleh kebiasaan masyarakat yang sudah membudaya.
b. Faktor pemungkin (enabling factors) adalah faktor-faktor yang
memungkinkan atau menfasilitasi perilaku atau tindakan. Artinya
faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk
terjadinya perilaku kesehatan, serta jarak sarana pelayanan kesehatan.
Pemanfaatan sarana kesehatan biasanya terkendala oleh lingkungan
yang jauh yang memberikan kontribusi rendahnya kepatuhan terutama
dalam perawatan Diabetes Mellitus.
c. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors) adalah faktor-faktor yang
mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku yaitu :
1) Dukungan petugas kesehatan
Dukungan petugas sangat membantu, dimana dengan adanya
dukungan petugas berpengaruh besar artinya bagi seseorang dalam
ketaatan melakukan pearwatan Diabetes Mellitus, sebab petugas
adalah yang merawat dan sering berinteraksi, sehingga
pemahaman terhadap kondisi fisik maupun psikis lebih baik,
dengan sering berinteraksi akan sangat mempengaruhi rasa
percaya dan menerima kehadiran petugas bagi dirinya, serta
motivasi atau dukungan yang diberikan petugas sangat besar
artinya terhadap ketaatan pesien untuk selalu mengontrol kadar
gula darahnya secara rutin (Friedman, 1999).
11
2) Dukungan keluarga
Dukungan keluarga sangatlah penting karena keluarga
merupakan unit terkecil dalam masyarakat dan sebagai penerima
asuhan keperawatan. Oleh karena itu keluarga sangat berperan
dalam menentukan cara asuhan yang diperlukan oleh anggota
keluarga yang sakit, apabila dalam keluarga tersebut salah satu
anggota keluarganya ada yang sedang mengalami masalah
kesehatan maka sistem dalam keluarga akan terpengaruhi.
(Friedman, 1999).
3. Kepatuhan perawatan Diabetes Mellitus
Kepatuhan adalah suatu perilaku dalam menepati anjuran sesuatu
terhadap kebiasaan sehari-harinya dan dapat dinilai dengan score
penelitian. Suatu kepatuhan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, dimana
pendidikan merupakan suatu dasar utama dalam keberhasilan pencegahan
atau pengobatan. Tujuan pendidikan yaitu meningkatkan kepatuhan dalam
perawatan Diabetes Mellitus dalam meningkatkan status kesehatan
khususnya pada lansia yang mengalami penyakit Diabetes Mellitus
(Askandar, 2002).
Kepatuhan merupakan kesadaran dan kesediaan seseorang menaati
semua peraturan dan norma-norma sosial yang berlaku. Kepatuhan yang
baik mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab seseorang terhadap
tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini mendorong gairah kerja,
12
semangat kerja, dan terwujudnya tujuan masyarakat (Hasibuan, 2003).
Kepatuhan perawatan Diabetes Mellitus dalam hal ini penderita harus
melaksanakan program perawatan Diabetes Mellitus seperti melakukan
hidup sehat, melakukan pengobatan secara rutin, aturan pengobatan yang
ditetapkan, mengikuti jadwal pemeriksaan dan rekomendasi hasil
penyelidikan (Askandar, 2002).
Pola hidup sehat pada penderita Diabetes Mellitus perlu dijaga
dalam hal ini meliputi (a) perencanaan makan dengan menjaga asupan
makan yang seimbang yaitu diet Diabetes Mellitus untuk mempertahankan
kadar glukosa darah mendekati normal, mencegah komplikasi akut dan
kronik dengan memperhatikan 3 J yaitu jumlah kalori yang dibutuhkan,
jadwal makan yang harus diikuti dan jenis makanan yang harus
diperhatikan (Moehyi, 1995), mengkonsumsi aneka ragam makanan agar
terpenuhi kecukupan sumber zat tenaga (beras, jagung, tepung), zat
pembangun (kacang-kacangan, tempe, tah)u dan zat pengatur (sayuran dan
buah-buahan). Selain itu membatasi konsumsi lemak, minyak dan santan
yang menyebabkan penyempitan pembuluh darah arteri dan penyakit
jantung koroner, (b) bagi penderita Diabetes Mellitus untuk selalu rutin
mengontrol gula darah normal maupun sewaktu dan melakukan
pengobatan yaitu pemakaian obat-obat meliputi obat hipoglikemi oral
(OHO) dan insulin. Tablet atau suntikan anti Diabetes Mellitus diberikan
dimana diit tidak boleh dilupakan dan pengobatan penyulit lain yang
menyertai atau suntikan insulin (Sugondo, 2002), (c) melakukan aktifitas
13
fisik secara teratur yaitu 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit
yang bersifat continues, rythmical, interval, progresive, endurance
training yang disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penyakit
penyerta (Sogondo, 2002).
B. Dukungan Keluarga
1. Pengertian
Dukungan keluarga merupakan suatu strategi intervensi preventif
yang paling baik dalam membantu anggota keluarga mengakses dukungan
sosial yang belum digali untuk suatu strategi bantuan yang bertujuan
untuk meningkatkan dukungan keluarga yang adekuat. Dukungan
keluarga mengacu pada dukungan yang dipandang oleh anggota keluarga
sebagai sesuatu yang dapat diakses untuk keluarga misalnya dukungan
bisa atau tidak digunakan, tapi anggota keluarga memandang bahwa orang
yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan
bantuan jika diperlukan (Friedman, 1999).
Dukungan keluarga telah mengkonseptualisasi dukungan sebagai
koping keluarga, baik dukungan keluarga yang eksternal maupun internal.
Dukungan dari keluarga bertujuan untuk membagi beban, juga memberi
dukungan informasional dengan membuat (Friedman,1999).
Dukungan keluarga sebagai suatu proses hubungan antar keluarga
dengan lingkungan sosialnya, ketiga dimensi interaksi dukungan keluarga
14
tersebut bersifat reproksitas (timbal balik atau sifat dan frekuensi
hubungan timbal balik), umpan balik (kualitas dan kualitas komunikasi)
dan keterlibatan emosional (kedalaman intimasi dan kepercayaan) dalam
hubungan sosial. Baik keluarga inti maupun keluarga besar berfungsi
sebagai sistem pendukung bagi anggota keluarganya dan merupakan
pelaku aktif dalam memodifikasi dan mengadaptasi komunitas hubungan
personal untuk mencapai keadaan berubah (Friedman, 1999).
2. Jenis Dukungan Keluarga
Jenis dukungan keluarga terdiri dari empat jenis atau dimensi
dukungan menurut Friedman (1999) antara lain :
a. Dukungan emosional
Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk
istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi
yang meliputi ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap
anggota keluarga yang menderita Diabetes Mellitus.
b. Dukungan penghargaan (penilaian)
Keluarga bertindak sebagai bimbingan umpan balik,
membimbing dan menengahi pemecahan dan sebagai sumber dan
validator identitas anggota. Terjadi lewat ungkapan hormat
(penghargaan) positif untuk penderita hipertensi, dorongan maju, atau
persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu dan perbandingan
positif penderita Diabetes Mellitus dengan yang lain seperti misalnya
orang-orang yang kurang mampu atau lebih buruk keadaannya.
15
c. Dukungan instrumental
Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan
konkrit yang mencakup bantuan seperti dalam bentuk uang, peralatan,
waktu, modifikasi lingkungan maupun menolong dengan pekerjaan
waktu mengalami stres.
d. Dukungan informatif
Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminator
(penyebar) informasi tentang dunia yang mencakup dengan memberi
nasehat, petunjuk-petunjuk, sarana-sarana atau umpan balik. Bentuk
dukungan yang diberikan oleh keluarga adalah dorongan semangat,
pemberian nasehat atau mengawasi tentang pola makan sehari-hari
dan pengobatan. Dukungan keluarga juga merupakan perasaan
individu yang mendapat perhatian, disenangi, dihargai dam termasuk
bagian dari masyarakat (Friedman, 2003).
C. Diabetes Mellitus
1. Pengertian Diabetes Mellitus
Pengertian Diabetes Mellitus menurut WHO (1999) adalah keadaan
Hiperglikemi menahun yang akan mengenai seluruh sistem tubuh dan
merupakan hasil interaksi antara lingkungan dan genetik. Keadaan ini
karena kekurangan hormon insulin atau jumlah kerja insulin menurun,
atau kelebihan faktor-faktor yang kerjanya berlawanan dengan cara kerja
insulin (Marlena, 1999).
16
2. Karakteristik penderita Diabetes Mellitus
Pada penderita Diabetes Mellitus pemeriksaan dapat dilakukan pada
mereka yang memiliki resiko untuk terkena Diabetes Mellitus seperti usia
lebih dari 45 tahun, BBR >120%, dengan IMT >23 kg/m2, penderita
hipertensi (>40/ 90 mmHg), dan yang mempunyai riwayat penyakit
Diabetes Mellitus karena faktor keturunan, mempunyai riwayat abortus
yang berulang-ulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi lahir
lebih dari 4000 gram, kolesterol HDL <35 mg/dl atau kadar trigliserida
>250 mg/dl (Perkeni, 2002). Resiko Diabetes Mellitus dapat terjadi pada
yaitu pada usia lebih dari 40 tahun, obesitas atau kegemukan, hipertensi,
adanya dislipidemia (gangguan pada lemak), terdapat luka, penyakit
kardio vaskuler, TBC positif yang sulit sembuh (Moelyono, 2002).
3. Diagnosis Diabetes Mellitus
Bila ada gejala Diabetes Mellitus (polidipsi, poliurea, polifagia)
maka untuk mendiagnosa cukup diperiksa gula darah sewaktunya, bila
hasilnya >200 mg% maka diagnosa Diabetes Mellitus bisa ditegakkan.
Adapun kategori kadar gula darah adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1. Kategori Kadar Gula Darah
Kategori Bukan DM Belum DM DM Kadar Gula Darah Sewaktu Plasma Darah Darah Kapiler Kadar Gula Darah Puasa Plasma Darah Darah Kapiler
<110 <90
<110 <90
110-119 90-119
110-125 90-110
>200 >200
>126 >110
Sumber: Soegondo, 2002
17
4. Klasifikasi Diabetes Mellitus
Penyakit Diabetes Mellitus dapat diklasifikasikan berdasarkan lima
golongan yaitu sebagai berikut (Soegondo, 2002) :
a. Gejala Klinis pada Diabetes Mellitus IDDM (Tipe I), NIDDM (Tipe
II), obesitas dan non obesitas.
b. Yang diragukan: meragukan antara tipe I dan tipe II terjadi malnutrisi
(Diabetes Mellitus terkait malnutrisi (MRDM), diakibatkan karena
kurang gizi, kelainan pangkreas pada Diabetes Mellitus (FCPD),
defisit protein dalam pangkreas pada Diabetes Mellitus (PDPD).
c. Tipe Diabetes Mellitus secara medis: Diabetes Mellitus yang
berhubungan atau sindrom tertentu, termasuk penyakit pangkreas,
penyakit hormon yang disebabkan oleh zat kimia, gangguan penyakit
keturunan seperti Diabetes Mellitus.
d. Gangguan Toleransi Glukosa (GTG) : tidak obesitas, obesitas dengan
sindrom genetik atau penyakit keturunan.
e. Gangguan pada kehamilan: gangguan ini terjadi yang baru menderita
Diabetes Mellitus setelah hamil, sebelumnya kadar gula darah normal
(Soegondo, 2002).
5. Penyebab Diabetes Mellitus
Penyebab dari Diabetes Mellitus terdiri dari dua macam yaitu
Diabetes Mellitus primer dan Diabetes Mellitus sekunder yaitu :
18
a. Diabetes Primer
Merupakan jenis khusus yang terbanyak walaupun penyebab
yang sesungguhnya belum diketahui dengan pasti, beberapa faktor
yang berperan sebagai berikut (WHO,1999) :
1) Herediter yaitu faktor keturunan mungkin lebih berperan penting
pada penderita di bawah umur 40 tahun, baik bagi penderita muda
maupun tua. Penderita yang sudah dewasa, lebih dari 50 % berasal
dari keluarga yang menderita Diabetes Mellitus artinya Diabetes
Mellitus cenderung diturunkan tidak ditularkan (Perkeni, 2002).
2) Jenis Kelamin dimana seorang pria muda sedikit lebih banyak
dibanding wanita, walaupun pada usia pertengahan wanita sering
terkena penyakit ini. Kehamilan menambah kemungkinn
berkembangnya Diabetes Mellitus (Perkeni, 2002).
3) Obesitas merupakan faktor resiko bagi berkembangnya penyakit
Diabetes Mellitus. Pada wanita, kegemukan umum terjadi pada
waktu hamil atau sesudah punya anak terlebih lagi sesudah
monopouse. Pada laki-laki, penambahan berat badan dimulai pada
umur mendekati 40 tahun, sesudah umur tersebut, mulai terjadi
obesitas (Kushartanti Woro, 1996)
4) Bahan Toksin atau Beracun dimana ada beberapa bahan toksin
yang mampu merusak sel beta secara langsung yakni allixan,
pyrinuron (rodentisida), streptozotocin (produk dari sejenis jamur).
Bahan toksin lain berasal dari singkong yang merupakan sumber
19
kalori utama yaitu karbohidrat. Singkong mengandung glikosida
sianogenik yang dapat melepaskan sianida sehingga memberi efek
toksik terhadap jaringan tubuh (Perkeni, 2002).
b. Diabetes Sekunder
Beberapa kasus diiabetes terjadi sebagai akibat penyakit (radang
pancreas, karsinoma pankreas dan pankreatektoni) yang merusak
pankreas sebagai saluran insulin (EP. Eckhalm, 1992).
6. Gejala dan tanda penyakit Diabetes Mellitus
Gejala dan tanda-tanda penyakit Diabetes mellitus dapat
digolongkan menjadi gejala akut dan kronik (Askandar, 2002). Gejala
penyakit Diabetas Mellitus antara penderita dengan yang lain tidaklah
selalu sama. Gejala yang umumnya timbul dengan tidak mengurangi
kemungkinan adanya variasi dengan gejala yang lain. Bahkan ada
penderita Diabetes Mellitus yang tidak menunjukkan gejala apapun
sampai pada saat tertentu banyak makan (Polifagia), banyak kencing
(Polyuria), banyak minum (Polydipsi). Adapun gejala Diabetes Mellitus
sebagai berikut :
a. Gejala akut Penyakit Diabetes Mellitus
Dalam fase ini biasanya penderita menunjukkan berat badan
yang cenderung naik karena pada saat ini jumlah insulin masih
mencukupi, bila keadaan tersebut di atas tidak segera diobati, maka
akan timbul gejala yang disebabkan oleh kemunduran kerja insulin
dan tidak lagi polyfagia, polydipsia, polyuria (3P) lagi melainkan
20
hanya 2 P saja yaitu nafsu makan mulai berkurang dan kadang-kadang
disusul dengan mual, banyak minum, banyak kencing, mudah capai
atau lelah, berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4
minggu). Bila keadaan tersebut tidak cepat diobati, maka akan timbul
rasa mual bahkan penderita tidak sadarkan diri yang dinamakan koma
Diabetika. Koma Diabetika adalah koma pada penderita Diabetes
Mellitus yang berakibat kadar gula darah terlalu tinggi, biasanya
melebihi 600 mg/dl (Askandar 2002).
b. Gejala Kronik Penyakit Diabetes Mellitus
Kadang-kadang penderita penyakit Diabetes Mellitus tidak
menunjukkan gejala akut (mendadak), tetapi penderita tersebut baru
menunjukkan gejala sesudah beberapa bulan atau beberapa tahun
mengidap penyakit diabetes mellitus. Gejala ini disebut gejala kronik
atau menahun. Gejala kronik yang sering timbul adalah kesemutan,
kulit terasa panas, rasa tebal di kulit, kram, mudah capai, mata kabur,
gatal disekitar kemaluan, gigi mudah goyah dan mudah lepas,
kemampuan sex menurun atau impoten, para ibu hamil sering
mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau
dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg (Askandar, 2002).
7. Tipe Diabetes Mellitus
Menurut American Association (ADA) (1999), Diabetes Mellitus
dibagi menjadi :
21
a. Diabetes Tipe I
Pada Diabetes Mellitus terjadi akibat ketidakmampuan untuk
menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan
oleh proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produksi
glukosa yang tidak terukur oleh hati. Disamping itu glukosa yang
berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap
berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia post prandial
(setelah makan). Diabetes Tipe I disebabkan oleh faktor genetika
(keturunan), faktor imunologik dan faktor lingkungan.
b. Diabetes Tipe II
Pada Diabetes Mellitus Tipe II tercipta dua masalah utama yang
berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Normalnya insulin agar terikat dengan reseptor khusus
pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor
tersebut terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa
dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai penurunan
reaksi intrasel sehingga insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulasi pengambilan glukosa jaringan (ADA, 1999).
Faktor yang mempengaruhi timbulnya Diabetes Mellitus yaitu
usia lebih dari 65 tahun, obesitas, riwayat keluarga, kelompok etnis
c. Diabetes Gestasional
Terjadi pada wanita hamil yang tidak menderita Diabetes
Mellitus sebelum kehamilan. Hiperglikemia terjadi selama kehamilan
22
akibat sekresi hormon-hormon plasenta. Selama kehamilan perlu
dilakukan pemantauan kadar glukosa darah. Setelah melahirkan kadar
glukosa darah akan kembali normal (Askandar, 2002).
8. Komplikasi Penyakit Diabetes Mellitus
Komplikasi Diabetes Mellitus dapat muncul secara akut dan secara
kronik, yaitu timbul beberapa bulan atau beberapa tahun sesudah
mengidap Diabetes Mellitus. Adapun komplikasi Diabetes Mellitus
sebagai berikut (Askandar 2002) :
a. Komplikasi akut Diabetes Mellitus
Dua komplikasi akut Diabetes Mellitus yang paling sering
adalah reaksi Hipoglikemia dan koma diabetik :
1) Reaksi Hipoglikemia
Reaksi Hipoglikemia adalah gejala yang timbul akibat tubuh
kekurangan glukosa, dengan tanda-tanda : adanya rasa lapar,
gemetar, keringat dingin, pusing dan sebagainya. Dalam keadaan
hipoglikemia, penderita harus segera diberi roti atau pisang.
Apabila tidak tertolong, berilah minuman manis dari gula, satu
atau dua gelas. Jika keadaan ini tidak segera diobati, penderita
tidak akan sadarkan diri, karena koma ini disebabkan oleh
kurangnya glukosa dalam darah, Koma tersebut di sebut "Koma
Hipoglikemik” (Askandar, 2002).
Penderita koma hipoglikemik harus segera dibawa ke
Rumah sakit karena perlu mendapatkan suntikan glukosa 40% dan
23
infus glukosa. Penderita Diabetes Mellitus yang mengalami resiko
hipoglikemik (masih sadar), atau koma hipoglikemik biasanya
disebabkan oleh obat anti Diabetes yang diminum dengan dosis
yang terlalu tinggi, atau penderita terlambat makan, atau bisa jadi
karena latihan fisik yang berlebihan teratur (Askandar, 2002).
2) Koma Diabetik
Berlawanan dengan koma Hipoglikemik, koma diabetik ini
timbul karena kadar glukosa dalam darah terlalu tinggi dan
biasanya lebih dari 600 mg /dl. Gejala koma diabetik yang sering
timbul adalah nafsu makan menurun (biasanya penderita Diabetes
Mellitus mempunyai nafsu makan yang besar), haus, minum
banyak, kencing banyak, yang kemudian disusul dengan rasa
mual, muntah, nafas penderita menjadi cepat dan dalam, serta
berbau aseton, sering disertai panas badan karena biasanya ada
infeksi, serta penderita koma diabetik harus segera dibawa ke
Rumah Sakit (Askandar, 2002).
b. Komplikasi kronik Diabetes Mellitus
Pada penderita yang lengah komplikasi Diabetes Mellitus dapat
menyerang seluruh alat tubuh, mulai dari rambut sampai ujung kaki
termasuk semua alat tubuh di dalamnya. Sebaliknya, komplikasi
tersebut tidak akan muncul jika perawatan Diabetes Mellitus
dilaksanakan dengan baik, tertib dan teratur. Komplikasi kronik
Diabetes Mellitus disebabkan oleh perubahan dalam dinding
24
pembuluh darah, sehingga terjadi atherosklerosis yang khas yaitu
Mikroangiopati. Mikroangiopati ini mengenai pembuluh darah di
seluruh tubuh yang terutama menyebabkan retinopati,
glamerulosklerosis, neoropati, dan dapat pula timbul infeksi kronik
yaitu tuberkolosis yang secara umum terjadi komplikasi tersebut yaitu
kardiovaskuler (Infark miokaid, insufisiensi koroner), mata
(Retinopati diabetika, katarak), saraf (Neuropati diabetika), paru-paru
(TBC), ginjal (Pielonefritis, glumerulosklerosis), kulit (gangren,
furunkel, karbunkel, ulkus), hati (sirosis hepatitis) (Perkeni, 2002).
c. Pemantauan pengendalian Diabetes Mellitus
Tujuan pengendalian Diabetes Mellitus adalah menghilangkan
gejala, memperbaiki kualitas hidup, mencegah komplikasi akut dan
kronik, mengurangi laju perkembangan komplikasi yang sudah ada.
Pemantauan dapat dilakukan dengan pemeriksaan gula darah, urin,
keton urin dan status gizi serta pemeriksaan ke fasilitas kesehatan
kurang lebih 4 kali pertahun (kondisi normal) (Sugondo, 2002).
Kriteria pengendalian untuk pasien yang berumur > 60 tahun
dimana sasaran kadar glukosa darah lebih tinggi daripada biasa (puasa
<150 mg/dl) sesudah makan < 200 mg / dl. Pada kadar lipid tekanan
darah dan lain-lain yang mengacu pada batasan kriteria pengendalian
sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia
lanjut dan untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping dan
interaksi obat (Sugondo, 2002).
25
9. Diabetes Mellitus Pada Lansia
Diabetes Mellitus meningkatkan angka kesakitan (morbiditas) dan
angka kematian (mortalitas) bila dibandingkan dengan Diabetes Mellitus
usia muda. Hal ini disebabkan meningkatnya komplikasi akut dan
komplikasi kronik pada lansia dibandingkan Diabetes Mellitus usia muda.
Kematian meningkat pada lansia sering akibat koma hiploglikemmia,
koma diabetic ketoasidosis dan hiperosmoler (kesadaran menurun akibat
kekurangan atau kelebihan gula), satroke, infark miokard bila
hiperglikemia tidak terkendali. Komplikasi-komplikasi pada Diabetes
Mellitus lansia dapat multiple dan pada akhirnya komplikasi organis akan
diikuti komplikasi psikososial yang akan mempersulit penatalaksanaan
Diabetes Mellitus dan penyakit-penyakit lain yang di derita kelompok
lansia ini.
Meningkatnya faktor resiko Diabetes Mellitus pada lansia akan lebih
memudahkan timbulnya melalui mekanisme gangguan intolerancia
glukosa yang lebih meningkat pada usia lanjut. Upaya mengatasi Diabetes
Mellitus melalui penyuluhan, perencanaan makanan yang baik,
melaksanakan latihan jasmani dan memakan OHO secara teratur.
Terjadinya Diabetes Mellitus pada lansia ditandai dengan adanya
osmotic diuresia akibat glukosuria tertunda yang disebabkan ambang
ginjal yang tinggi dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan
tidur atau bahkan inkontinesia urin. Penyakit yang mula-mula ringan dan
sedang biasnya terdapat pada pasien Diabetes Mellitus usia lanjut yan
26
dapat berubah tiba-tiba apabila pasien mengalami infeksi akut. Defisiensi
insulin yang tadinya bersifat relative menjadi absolut dan timbul keadaan
ketoasidosis dengan gejala khas hiperventilasi dan dehidrasi, kesadaran
menurun dengan hiperglikemia, dehidrasi dan ketonemia. Gejala yang
biasanya terjadi pada hipoglikemia seperti rasa lapar, menguap dan
berkeringat banyak umumnya tidak ada pada Diabetes Mellitus usia lanjut.
Pada usia lanjut reaksi vegetatif dapat menghilang, sedangkan gejala
kebingungan dan koma yang merupakan gangguan metabolisme serebral
tampek lebih jel (Mulyadi, 2009).
D. Lansia
1. Pengertian
Lansia (lanjut usia) adalah seseorang yang karena usianya menglami
perubahan biologis, fisis, kejiwaan dan sosial (Undang-undang No 23
Tahun 1992 tentang kesehatan). Pengertian dan pengelolaan lansia
menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998
tentang lansia sebagai berikut :
a. Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas
b. Lansia usia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan
pekerjaan dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa.
c. Lansia tak potensial adalah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah
sehingga hidupnya tergantung pada bantuan orang lain.
27
2. Batasan Lansia
Menurut dokumen Pelembagaan lansia dalam kehidupan bangsa
yang diterbitkan oleh Departemen Sosial dalam rangka perencanaan hari
lansia nasional tanggal 29 Mei oleh Presiden RI, batas umur lansia adalah
60 tahun atau lebih (Setiabudhi, 1999), dan menurut Pedoman Pembinaan
Kesehatan Lansia bagi petugas kesehatan yang diterbitkan oleh
Departemen Kesehatan RI tahun 1999, umur dibagi lansia 3 yaitu:
a. Usia pra senilis atau virilitas adalah seseorang yang berusia 45-49
tahun
b. Usia lanjut adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
c. Usia lanjut resiko tinggi adalah seseorang yang berusia 70 tahun atau
lebih atau dengan masalah kesehatan.
3. Proses Menua
Menurut Constantinides (1994) dalam Nugroho (2000) mengatakan
bahwa proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara berlahan-
lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan
terhadap infeksi dan memperbaikinya kerusakan yang diderita. Proses
menua merupakan proses yang terus menerus secara alamiah dimulai
sejak lahir dan setiap indvidu tidak sama cepatnya. Menua bukan status
penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam
menghadapi rangsangan dari dalam maupun dari luar tubuh.
28
Karakteristik proses penuaan menurut Crisofalo (1990) dalam
Setiabudhi (1999) ada beberapa karakteristik tentang proses penuaan pada
manusia dan hewan yang menyusui yaitu:
a. Peningkatan kematian sejalan dengan peningkatan usia
b. Terjadinya perubahan kimiawi dalam sel jaringan tubuh yang
mengakibatkan massa tubuh berkurang, peningkatan lemak dan
lipofuscin yang dikenal dengan age pigmen, serta perubahan diserat
kolagen yang dikenal dengan cross-linking.
c. Terjadinya perubahan yang progresif dan merusak
d. Menurunnya kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan di
lingkungan
e. Meningkatnya kerentaan terhadap berbagai penyakit tertentu
Berdasarkan dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa
penuaan adalah proses yang secara berangsur-angsur mengakibatkan
perubahan yang kumulatif dan mengakibatkan perubahan di dalam tubuh
yang berakibat dengan kematian. Menurut teori biologis penuaan terbagi
menjadi dua tipe yaitu teori instrinsik yang menjelaskan perubahan
berkaitan dengan usia timbul akibat penyebab dari dalam sel sendiri dan
teori ekstrintik yang menjelaskan bahwa perubahan yang terjadi
diakibatkan oleh pengaruh lingkungan.
4. Perubahan yang terjadi pada lansia
Suatu proses yang tidak dapat dihindari yang berlangsung secara
terus menerus dan berkesinambungan yang selanjutnya menyebabkan
29
perubahan anatomis, fisiologis dan biokemis. Pada jaringan tubuh dan
akhirnya mempengaruhi fungsi dan kemampuan badan secara keseluruhan
(Depkes RI, 1998). Menurut Setiabudhi (1999) perubahan yang terjadi
pada lansia yaitu:
a. Perubahan dari aspek biologis
Perubahan yang terjadi pada sel seseorang menjadi lansia yaitu
adanya perubahan genetika yang mengakibatkan terganggunya
metabolisme protein, gangguan metabolisme Nucleic Acid dan
deoxyribonucleic (DNA), terjadinya ikatan DNA dengan protein stabil
yang mengakibatkan gangguan genetika, gangguan kegiatan enzim dan
sistem pembuatan enzim, menurunnya proporsi protein di otak, otot,
ginjal darah dan hati, terjadinya pengurangan parenchim serta adanya
penambahan lipofuscin.
1) Perubahan yang terjadi di sel otak dan syaraf berupa jumlah sel
menurun dan fungsi digantikan sel yang tersisa, terganggunya
makanisme perbaikan sel, kontrol inti sel terhadap sitoplasma
menurun, terjadinya perubahan jumlah dan struktur mitokondria,
degenerasi lisosom yang mengakibatkan hoidrolisa sel,
berkuarngnya butir Nissil, penggumpalkan kromatin, dan
penambahan lipofiscin, terjadi vakuolisasi protoplasma
2) Perubahan yang terjadi di otak lansia adalah otak menjadi trofi
yang beratnya berkurang 5 sampai 10% yang ukurannya kecil
terutama di bagian prasagital, frontal dan parietal, jumlah neuron
30
berkurang dan tidak dapat diganti dengan yang baru, terjadi
pengurangan neurotransmiter, terbentuknya struktur abnormal di
otak dan akumulasi pigmen organik mineral (lipofuscin, amyloid,
plaque, neurofibrillary tangle), adanya perubaan biologis lainnya
yang mempengaruhi otak seperti gangguan indera telinga, mata,
gangguan kardiovaskuler, gangguan kelenjar thyroid, dan
kartikosteroid.
3) Perubahan jaringan yaitu terjadinya penurunan sitoplasma protein,
peningkatan metaplastic protein seperti kolagen dan elastin.
b. Perubahan Fisiologis
Menurut Arisman (2004) dan Nugroho (2000) perubahan
fisiologis akibat penuaan terkait status nurtisi (gizi), meliputi:
1) Perubahan sistem gastrointestinal menurut Arisman (2004) yaitu:
a) Rongga mulut : Tanggalnya gigi, dan ketidak bersihan mulut
yang menyebabkan gigi, dan gusi kerap terinfeksi, serta
sekresi air ludah berkurang, yang mengakibatkan pengeringan
rongga mulut, dan berkemungkinan menurunkan cita rasa.
b) Esofagus: Gangguan menelan akibat gangguan neuromuscular,
seperti jumlah ganglion yang menyusut sementara lapisan otot
menebal
c) Lambung: Lapisan lambung menipis, sekresi HCL dan pepsin
berkurang akibatnya penyerapan vitamin B12 dan zat besi
menurun.
31
d) Usus: Berat total usus halus berkurang, peristaltic melemah,
penyerapan kalsium dan zat besi menurun.
c. Perubahan Psikologis
Perubahan psikologis pada lansia sejalan dengan perubahan
secara fisiologis. Masalah psikologis ini pertama kali mengenai sikap
lansia terhadap kemunduran fisiknya (disengagement theory) yang
berarti adanya penarikan diri dari masyarakat dan dari diri pribadinya
satu sama lain. Lansia dianggap terlalu lamban dengan daya reaksi
yang lambat, kesigapan dan kecepatan bertindak dan berfikir menurun
(Darmojo, 1999). Daya ingat (memory) lansia memang banyak
menurun dari lupa sampai pikiran dan demensia. Pada umumnya
lansia masih ingat pada peristiwa-peristiwa yang telah lama terjadi,
tetapi lupa dengan kejadian yang baru (Darmojo, 1999).
d. Perubahan biologis pada sistem endokrin pada lansia
Perubahan biologis pada lansia yang terjadi pada tahun terakhir,
dimana terjadi tanda keletihan, bangun tidur malam hari dan sering
buang air kecil serta infeksi merupakan indikator Diabetes Mellitus
kemungkinan tidak diperhatikan oleh lansia maupun anggota keluarga
karena mereka percaya bahwa hal ini merupakan bagian dari proses
penuaan. Perubahan normal pada sistem endokrin akibat penuaan pada
lansia khusunya yang menderita Diabetes Mellitus yaitu terjadi
peningkatan kadar gula darah, fungsi ginjal dan kandung kemih yang
terganggu dimana ambang batas ginjal untuk glukosa meningkat,
32
residu urine didalam kandung kemih meningkat, kelenjar tiroid
menjadi lebih kecil (Stanley, 2002).
5. Masalah yang terjadi pada lansia
a. Permasalah Umum
Setiabudhi (1999) menegaskan kembali bahwa permasalahan
secara umum lansia sebagai berikut
1) Besarnya jumlah penduduk lansia dan tingginya persentase
kenaikan lansia memerlukan upaya peningkatan kualitas pelayanan
dan pembinaan kesehatannya.
2) Jumlah lansia miskin semakin banyak
3) Nilai kekerabatan melemah, tatanan masyarakat makin
individualistik
4) Rendahnya kuantitas dan kualitas tenaga profesional yang
melayani usia lanjut
5) Terbatasnya sarana dan fasilitas pelayanan bagi lansia
6) Adanya dampak pembangunan yang merugikan seperti urbanisasi
dan polusi pada kehidupan dan penghidupan lansia.
b. Permasalah Khusus
Menurut Setiabudhi (1999) permasalahan khusus pada lansia
terbagi 2 aspek yaitu :
1) Permasalahan dari Aspek Fisiologis
Terjadinya perubahan normal pada fisik lansia yang
dipengaruhi oleh faktor kejiwaan sosial, ekonomis dan medik.
33
perubahan tersebut akan terlihat dalam jaringan dan organ tubuh
seperti kulit menjadi kering dan berkeriput, rambut beruban dan
rontok, penglihatan menurun sebagian atau menyeluruh,
pendengaran berkurang, indra perasa menurun, daya penciuman
berkurang, tinggi badan menyusut karena proses osteoporosis yang
berakibat badan menjadi bungkuk, tulang keropos, massanya dan
kekuatannya berkurang dan mudah patah, elastisitas jaringan paru-
paru berkurang, nafas menjadi pendek, terjadi pengurangan fungsi
organ di dalam perut, dinding pembuluh darah menebal dan terjadi
tekanan darah tinggi, otot jantung bekerja tidak efisien, adanya
penurunan fungsi organ reproduksi, terutama pada wanita, otak
menyusut dan reaksi menjadi lambat terutama pada pria, serta
seksualitas tidak terlalu menurun.
2) Permasalahan dari Aspek Psikologis
Menurut Budi Darmojo (1999) beberapa masalah psikologis
lansia antara lain:
a) Kesepian (loneliness), yang dialami lansia pada saat
meninggalnya pasangan hidup, terutama bila dirinya saat itu
mengalami penurunan status kesehatan seperti menderita
penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan
sensorik terutama gangguan pendengaran. harus dibedakan
antara kesepian dengan hidup sendiri. Banyak lansia hidup
sendiri tidak mengalami kesepian karena aktivitas sosialnya
34
tinggi, lansia yang hidup di lingkungan yang beranggota
keluarga yang cukup banyak tetapi mengalami kesepian.
b) Duka cita (beravement), dimana pada periode duka cita ini
merupakan periode yang sangat rawan bagi lansia.
Meninggalnya pasangan hidup, teman dekat, atau bahkan
hewan kesayangan bisa meruntuhkan ketahanan kejiwaan yang
sudah rapuh dari seorang lansia, yang selanjutnya memicu
terjadinya gangguan fisik dan kesehatannya. Adanya perasaan
kosong kemudian diikuti dengan ingin menangis dan
kemudian suatu episode depresi. Depresi akibat duka cita
biasanya bersifat self limiting.
c) Depresi, pada lansia stress lingkungan sering menimbulkan
depresi dan kemampuan beradaptasi sudah menurun.
d) Gangguan cemas, terbagi dalam beberapa golongan yaitu
fobio, gangguan panik, gangguan cemas umum, gangguan
stress setelah trauma dan gangguan obsetif-kompulsif. Pada
lansia gangguan cemas merupakan kelanjutan dari dewasa
muda dan biasanya berhubungan dengan sekunder akibat
penyakit medis, depresi, efek samping obat atau gejala
penghentian mendadak suatu obat.
e) Psikosis pada lansia, dimana terbagi dalam bentuk psikosis
bisa terdapat pada lansia, baik sebagai kelanjutan keadaan dari
dewasa muda atau yang timbul pada lansia.
35
f) Parafrenia, merupakan suatu bentuk skizofrenia lanjut yang
sering terdapat pada lansia yang ditandai dengan waham
(curiga) yang sering lansia merasa tetangganya mencuri
barang-barangnya atau tetangga berniat membunuhnya.
Parafrenia biasanya terjadi pada lansia yang terisolasi atau di
isolasi atau menarik diri dari kegiatran sosial.
g) Sindroma Diagnosa, merupakan suatu keadaan dimana lansia
menunjukkan penampilan perilaku yang sangat menganggu.
Rumah atau kamar yang kotor serta berbau karena sering
lansia ini bermain-main dengan urine dan fesesnya. Lansia
sering memupuk barang-barangnya dengan tidak teratur (Jawa:
“Nyusuh”). Kondisi ini walaupun kamar telah dibersihkan
lansia dimandikan bersih namun dapat berulang kembali.
3) Permasalahan dari aspek sosial budaya
Menurut Setiabudhi (1999) permasalahan sosial budaya
lansia secara umum yaitu masih besarnya jumlah lansia yang
berada di bawah garis kemiskinan, makin melemahnya nilai
kekerabatan sehingga anggota keluarga yang berusia lanjut kurang
diperhatikan, dihargai dan dihormati, berhubung terjadi
perkembangan pola kehidupan keluarga yang secara fisik lebih
mengarah pada bentuk keluarga kecil, akhirnya kelompok
masyarakat industri yang memiliki ciri kehidupan yang lebih
bertumpu kepada individu dan menjalankan kehidupan
36
berdasarkan perhitungan untung rugi, lugas dan efisien yang
secara tidak langsung merugikan kesejahteraan lansia, masih
rendahnya kuantitas dan kualitas tenaga profesional dalam
pelayanan lansia dan masih terbatasnya sarana pelayanan dan
fasilitas khusus bagi lansia dalam berbagai bidang pelayanan
pembinaan kesejahteraan lansia, serta belum membudayanya dan
melembaganya kegiatan pembinaan kesejahteraan lansia.
E. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Perawatan Diabetes
Mellitus
Keberadaan dukungan keluarga yang adekuat secara spesifik saling
berhubungan dengan status kesehatan yaitu terjadinya perubahan perilaku
sehingga menurunnya mortalitas dan lebih mudah sembuh dari sakit. Jadi
dengan adanya dukungan dari keluarga maka status kesehatan penderita lebih
meningkat. Dari berbagai strategi untuk meningkatkan kepatuhan dalam
perawatan Diabetes Mellitus pada lansia salah satunya dengan adanya
keterlibatan keluarga, lingkungan sosial. Perawatan kesehatan penting untuk
mendapatkan informasi mengenai praktek kesehatan keluarga untuk
membantu keluarga dalam memelihara, meningkatkan kesehatan serta dapat
memenuhi fungsi perawatan kesehatan dengan baik dengan menggunakan
pelayanan perawatan kesehatan profesional, tingkat pengetahuan dalam
bidang kesehatan dan sikap terhadap kesehatan yang baik (Friedman, 1998).
Perawatan Diabetes Mellitus pada dasarnya dipengaruhi oelh faktor
dukungan keluarga, dimana keperdulian dan perhatian anggota keluarga
37
terhadap lansia yang menderita Diabetes Mellitus, karena dari segi fisik dan
mental lansia terjadi penurunan fungsi sehingga sanfgat membutuhkan
perawatan dan dukungan keluarga sepenuhnya.
38
F. Kerangka Teori
Gambar 2.1. Kerangka Teori : Sumber : Lawrence Green (1988) dalam
Notoatmodjo, 2003) G. Kerangka Konsep
Variabel Independent Variabel Dependent
Gambar 2.2. Kerangka Konsep
Kepatuhan perawatan Diabetes
MellitusPda lansia
Dukungan Keluarga
Kepatuhan Perawatan Diabetes Mellitus pada lansia
Faktor Prediposisi
1. Umur 2. Jenis kelamin 3. Pendidikan 4. Status sosial ekonomi 5. Pengetahuan 6. Sikap 7. Partisipasi Keluarga
Faktor Pemungkin
1. Fasilitas Fisik : kesehatan: puskesmas, rumah sakit
2. Fasilitas umum: media massa (koran, TV, Radio)
Faktor Penguat
1. Dukungan keluarga 2. Dukungan Teman 3. Dukungan Tenaga
39
H. Variebel Penelitian
1. Varibel Independent (Bebas) : Dukungan Keluarga
2. Variabel Dependent (Terikat) : Kepatuhan perawatan Diabetes Mellitus
pada lansia
I. Hipotesis
Ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan perawatan
Diabetes Mellitus pada lansia di desa Brambang Kecamatan Brambang
Kabupaten Demak.