Post on 09-Mar-2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
“Ketika manusia mulai menghitung segalanya dengan untung-rugi, produk
adalah sesuatu hasil dari kreativitas menusia yang bisa dipertukarkan dengan prinsip
mencari keuntungan dan bukan kegunaan” (Suwardi, 2011, p. 196). Begitulah Era
Kapitalisme dijelaskan dalam buku Pengantar Cultural Studies oleh Sandi Suwardi. Di
Indonesia sendiri kapitalisme mulai terjadi saat zaman Penjajahan Belanda - VOC
(1511), dimana kepemilikan modal / kekayaan dimiliki oleh tuan tanah. Belanda
menggunakan birokrasi tradisional kerajaan di Indonesia untuk menerapkan sistem
kapitalisme guna keuntungan sebesar-besarnya.
Jauh setelah masa penjajahan Belanda - VOC, Perkembangan kapitalisme yang
sekarang ini terjadi adalah salah satu anak yang tumbuh besar dari era globalisasi,
sehingga disebut dengan Kapitalisme Global. Globalisasi sendiri ditandai dengan
perkembangan Teknologi dan Komunikasi. Dengan adanya Teknologi dan Komunikasi
yang canggih, maka hal ini mempengaruhi segala aspek kehidupan dimana
memudahkan terjadinya pertukaran budaya, mempererat jaringan hubungan ekonomi
bahkan hubungan international tanpa memandang batas wilayah.
Dari beberapa sumber sepakat dampak dari kapitalisme adalah mendorong
motivasi dan persaingan dari para pelaku bisnis dari berbagai aspek kehidupan untuk
menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Masyarakat kapitalisme global dibangun di atas
iklim persaingan yang tinggi (Piliang, 2011, p. 208). Adanya persaingan „siapa yang
dapat menguasai pasar‟ ini menandakan Industri Budaya mulai marak terjadi. Industri
budaya yang paling nyata dalam dunia hiburan adalah rumah produksi (production
house) didalamnya terdapat produser yang dalam hal ini berperan sebagai kapitalis
sekaligus menggaji pegawainya - pekerja media, selebritis dan lainnya (Suwardi, 2011,
p. 212).
Selain itu, terjadinya kontruksi kehidupan, eksploitasi dan komodifikasi yang
berorientasi pada gaya hidup serta diyakini sebagai suatu kebutuhan. Hal ini diterima
2
dan dipahami masyarakat melalui penayangannya di media dengan simbol-simbol
tertentu. Ketika produk media telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan maka
perusahaan media memang menjadi tidak dengan industri sepatu yang tidak tidak
punya idealisme untuk mengabdi pada kepentingan publik namun hanya berfikir
bagaimana memproduksi sepatu yang disukai konsumen (Junaedi, 2005, p. 174).
Hal ini mengakibatkan terjadinya budaya konsumerisme, dimana meningkatnya
kebutuhan manusia untuk mengkonsumsi yang bukan disebabkan semata karena fungsi
dan manfaat barang (produk), melainkan aspek emosi dan larutnya individu dalam
budaya massa yang dipicu oleh iklan dan rayuan untuk membeli komoditas yang
dilakukan secara masif (Suwardi, 2011, p. 203). “Kapitalisme membangun dan
menciptakan model-model hasrat, dan keberlangsungannya sangat bergantung pada
keberhasilkan menanamkan model-model ini pada massa yang dieksploitasinya”
dikatakan Felix Guattari dalam buku Molecular Revolution :Psychiatry and Politics
(Piliang, 2011, p. 115)
Keadaan pasca revolusi industri ini dikatakan marxisme sebagai akar penindasan
dan dominasi oleh kaum kapitalis (pemilik modal), kaitannya dengan kesadaran palsu
akan suatu realitas. Masyarakat terpengaruh dan menganggap proses dominasi tersebut
sebagai suatu yang normal-normal saja dalam kehidupan sehari-hari, bahkan tidak
jarang „kemasannya‟ dibuat menyenangkan. Pengaruh Marx dalam dalam kajian
komunikasi terutama bersumber dari analisanya mengenai industri kapitalis dimana
terjadi pertentangan antara kaum proletar dan buruh. Masyarakat yang tertindas
mengalami keterasingan (alienasi) karena tidak memiliki hak atas barang, melainkan
hanya dimanfaatkan oleh orang asing sebagai milik pribadinya. Bahkan mereka bukan
saja terasing dari barang ciptaannya tapi juga lingkungannya. Penguasaan teknologi
oleh kapitalis berarti menguasai ekonomi dan karena itu pula dapat mendeterminasi
kesadaran masyarakat.
Hal yang tak boleh dilupakan saat berbicara mengenai industri media dan
penguasa, adalah suatu konsep tentang Hegemoni oleh Gramci. Analisis Marxist
terhadap media massa dan media populer berpusat pada pemahaman Gramci mengenai
hegemoni sebagai sarana cultural maupun ideologis tempat kelompok-kelompok yang
3
dominan dalam masyarakat melestarikan dominasinya dan mengamankan „persetujuan
spontan‟ kelompok-kelompok subordinat, termasuk kelas pekerja melalui penciptaan
negosiasi konsesus politik maupun ideologis (Strinati, 2009, pp. 254-255). Hegemoni
bekerja pada ranah kesadaran dan representasi, membuat hal-hal yang bersibat dominasi
masuk secara natural dan masuk akal.
Di era Posmodern ini, kapitalisme hadir di berbagai bidang dengan berbagai
wajah. Salah satu alat yang digunakan kapitalis untuk meraup keuntungan sebesar-
besarnya adalah media, Industri Media. Kekuatan media massa disadari sangat besar
pengaruhnya berhubungan dengan dinamika sosial, politik dan budaya. Pada mulanya,
media menjalankan fungsinya sebagai sebuah institusi sosial untuk melayani
kepentingan publik dalam memperoleh informasi. Dalam perkembangannya, institusi
media mengalami pergeseran idealisme, bahwa semata-mata bukan hanya menjadi
sebuah institusi sosial namun juga institusi ekonomi dan institusi politik (Junaedi, 2005,
p. 165)
Menurut McQuail (1987, p. 40) salah satu ciri-ciri institusi media massa adalah
institusi media dikaitkan dengan industri pasar, karena ketergantungan pada imbalan
kerja, teknologi, dan kebutuhan pembiayaan. Dalam hal ini industri pasar dapat
diartikan dengan kapitalisme. Dalam konteks inilah media massa kapitalis sebagai
media yang berorientasi pasar sangat memegang peranan dan menjadi saluran utama
memopulerkan budaya baru atau budaya pop kepada masyarakat. Budaya pop
merupakan suatu bentuk budaya yang terbentuk akibat adanya suatu realitas yang
terkonstruksi sedemikian rupa sehingga membentuk suatu identitas tertentu di mana
dengan adanya identitas tersebut manusia dapat menguasai dan merekonstruksi pikiran
orang lain dengan menanamkan berbagai macam ideologi yang dimilikinya demi
kepentingan individu dan golongan tertentu (Piliang, 2003)
Pada kontennya, media menyelipkan pesan-pesan yang menghegemoni dan
menjurus ke kapitalisme. Hegemoni dapat mencakup gaya hidup, cara berfikir dan
lainnya yang tercermin dari program-program media. Bersamaan dengan itu kapitalisme
muncul dengan wajah yang lembut atau kepedulian sosial (compassionate capitalism)
digambarkan dengan perasaan simpati mendalam terhadap penderitaan orang lain,
4
dalam waktu yang bersamaan kapitalis memperoleh keuntungan dan melakukan aksi
sosialnya (Piliang, 2011, pp. 118-120) .
Pada Media Televisi, „Rating’ adalah ideologi kapitalistik yang harus selalu
ditingkatkan, kalau perlu dengan melabrak batas-batas yang ada (Pikiran Rakyat,
2003:1). Televisi pemerintah yang fondasinya bukan kapital menjadi kurang diminati,
sebaliknya televisi swasta yang dalam tayangannya menampilkan atau mengupas
wilayah tabu, terlarang, haram, amoral adalah wilayah komersial yang berpotensi
menghasilkan provokasi, kejutan dan kontroversi (Sujarwa, 2010, p. 2)
Fenomena kapitalisme media ini juga dapat ditandai dengan semakin hilangnya
ruang publik, kebangkitan infotainment, turunnya jurnalisme investigasi, dan tendensi
adanya homogenisasi (Devereux, 2003, p. 57). Dalam konteks reality show, media
sebagai tangan kanan kapitalisme tentunya melihat masalah tersebut sebagai uang,
sehingga hal-hal yang privat tersebut dikomodifikasi ke dalam sebuah tayangan
berbentuk reality show- sebuah realitas yang didalamnya terdapat konsep Hiperrealitas
(Baudrillard)1. Tetapi di lain pihak, masyarakat juga sangat menyukai hal-hal privat
milik orang lain, sehingga media massa merasa sah-sah saja menayangkan dan
diuntungkan darinya (Junaedi, 2005, p. 77).
Hiperrealitas Media menciptakan model komunikasi satu arah yang didalamnya
terbentuk massa sebagai „mayoritas yang diam‟, yaitu massa yang tidak mempunyai
daya resistensi dan daya kritis terhadap tanda-tanda yang dikomunikasikan pada
mereka, dikarenakan berbaurnya realitas/ simulacrum, kebenaran/ kepalsuan, fakta/
rekayasa (Piliang, 2010, p. 143).
Berdasarkan data Nielsen pada akhir November 2009, rating reality show di
Amerika memperoleh data tertinggi sebagai acara yang diminati masyarakat , diikuti
dengan acara olahraga dan beberapa acara bergenre Sci-Fiction.2
1 Hipperealitas diartikan sebagai suatu kondisi atau konsekuensi, yang didalamnya realitas telah diambil
alih oleh model-model atau simulasi realitas. (Piliang, 2009:72) 2 Nielsen Wire. http://blog.nielsen.com/nielsenwire/media_entertainment/reality-sports-and-scifi-top-tv-
lists-for-2009/ diakses pada 13/02/2013 pukul 07:32
5
Top 10 TV Programs – Regularly Scheduled
RANK Program Network
% of
Homes
in U.S.
(Rating)
1 American Idol-Wednesday FOX 14.4
2 American Idol-Tuesday FOX 13.8
3 Dancing with the Stars ABC 12
4 NBC Sunday Night Football NBC 11.7
5 Dancing with the Stars – Results Show ABC 9.9
6 NCIS: Los Angeles CBS 9.8
7 NCIS CBS 9.4
8 NFL Regular Season L ESPN 8.8
9 Sunday Night NFL Pre-kick NBC 8.8
10 The Good Wife CBS 8.5
Source: The Nielsen Company
Salah satu reality show yang cukup populer di Amerika hingga kini adalah ajang
pencarian bakat “American Idol” yang ditayangkan pada saluran televisi FOX pada
tahun 2010 – 2011 memperoleh rating tertinggi di musim yang sama.
2010-11 Season: Series Ranking In Total Viewers (in thousands)3
1 AMERICAN IDOL-WEDNESDAY FOX 25,864
2 AMERICAN IDOL-THURSDAY FOX 23,798
Acara reality show di Amerika berjasa dalam menyumbang pertambahan jumlah
pemirsa ketika pasar lesu ada tahun 2004/2005 jaringan televisi berhasil mendapatkan
pemasukan dari iklan sebesar USS9,3 miliar. Di musim penyiaran tahun itu, American
Idol menetapkan harga iklan per 30 detik tertinggi (USS 658.000), dan lima dari
sepuluh acara top dengan harga iklan per 30 detik tertinggi adalah reality show
(Michael, 2006, pp. 33-34).
3 Full 2010-2011 TV Season Series Rankings: http://www.deadline.com/2011/05/full-2010-11-season-
series-rankers/ diakses pada 11/11/2013 pukul 13.57
6
Di Indonesia sendiri, acara reality show juga membantu mengisi kekosongan
kreativitas para pekerja budaya TV (penulis naskah dan produser), selain itu reality
show merupakan acara yang paling mudah dibuat, membutuhkan biaya kecil, tetapi
mendatangkan keuntungan yang besar (Suwardi, 2011, p. 214). Pada tahun 2009,
trend reality show belum tergoyahkan. Jika popularitas diukur dari jumlah penonton,
maka berdasarkan riset AGBNielsen, reality show masih populer dibandingkan sinetron
yang sempat menjadi primadona pada beberapa waktu yang lalu.
Pada September 2010, data Nielsen Audience Measurement mencatat Program
Pencarian Bakat Menuai 1,5 juta Penonton TV. Rata-rata penonton program mencari
bakat di bulan ini (1-27 September) lebih banyak 72% (1,5 juta orang usia 5 tahun ke
atas) daripada perolehan di awal tahun ini yang hanya berjumlah 886 ribu
orang. Dengan kata lain, perolehan rating program mencari bakat di usia 5 tahun ke atas
naik dari rata-rata 1,8 menjadi 3,1.4
Sementara itu ketertarikan masyarakat terhadap acara infotainment yang
menempatkan selebritis sebagai figur utama juga cukup besar. Umumnya infotainment
identik dengan acara gosip, dimana menularkan gaya hidup dan membuat massa
terhipnotis serta mau meniru gayanya. Kelas selebritis telah menjadi kekuatan yang
membuat massa tidak sadar akan adanya penindasan ekonomi. (Suwardi, 2011, p. 208)
Dengan tayangan yang sifatnya ringan, trivial dan sensasional, tayangan
infotainment di televisi selama tahun 2010 menempati urutan pertama dengan 24 persen
dari seluruh pengaduan publik ke KPI.5 Di tahun 2012 ini pengaduan publik terbesar
adalah program jurnalistik yakni berita dan talkshow. Secara berurutan, 15 besar jenis
acara yang diadukan publik adalah berita, talkshow, reality show, iklan, komedi,
sinetron seri, musik, program anak, program olahraga, variety show, azan, film
4 Nielsen. http://www.agbnielsen.net/whereweare/dynPage.asp?lang=local&id=321&country=Indonesia
diakses pada 13/02/2013 pukul 07:48 5 Academia.edu dalam ulasan mengenai “Infotainment & Celebrity Puclic Relation” oleh Rachmat
Kriyantono, Ph.D (Online)
http://ubrawijaya.academia.edu/RACHMATKRIYANTONO/Posts/332400/INFOTAINMENT_and_CEL
EBRITY_PUBLIC_RELATIONS diakses pada 15 Januari 2013 pukul 14.00
7
lepas, infotainment, sinetron lepas/ FTV, dan features.6 Program Jurnalistik paling
banyak diadukan karena menyalahi kaidah dan aturan jurnalistik. Walupun begitu,
hingga tahun 2011, di Indonesia telah ada kurang lebih 40 judul infotainment yang
memenuhi televisi dengan tayang kurang lebih 14 jam sehari dan mampu menyedot
sekitar 10 juta penonton.7
Sebagai salah satu instrumen globalisasi, televisi Indonesia dengan segala
program tayangannya mempunyai peran penting dalam menghegemoni masyarakat.
(Sujarwa, 2010, p. 8) Beranjak dari Infotainment dan Reality Show, muncul sebuah
produk baru media, yakni Film. Dalam film Janji Joni, dikatakan bahwa“Film, mungkin
anugerah seni terbesar yang pernah dimiliki manusia”. Kemunculan Film sebagai
media baru sangat membantu proses penyampaian pesan dalam level komunikasi massa
yang didalamnya selalu mengandung unsur budaya universal (Koentjaraningrat., 2003,
p. 81). Lenin mengungkapkan bahwa “Diantara berbagai kesenian, bagi kita, sinema
adalah yang terpenting”. Begitu pula Goebbels, ia menyebut film sebagai “salah satu
dari media modern dan berjangkauan luas yang mampu mempengaruhi massa”. (Putra,
2008, p. 44)
Pada artikel ”Film Lebih Besar Pengaruhnya ketimbang Bom”8 dipaparkan
bahwa terjadi demo besar-besaran oleh penduduk muslim dari berbagai negara untuk
memprotes diedarkannya film berjudul Innocent of Muslims, yang trailer-nya disiarkan
di Youtube. Bagi masyarakat muslim munculnya film ini dapat memberikan pesan yang
dinilai itu tidak benar dan jika diteruskan akan memberikan citra yang tidak baik
tentang muslim, oleh karenanya para orang muslim melakukan demo. Hal ini berkaitan
dengan besarnya pengaruh film sebagai media penyampai pesan dan menciptakan
sebuah stigma baru di masyarakat.
6 http://nasional.news.viva.co.id/news/read/378164-berita-dan-talkshow-tv-paling-banyak-diadukan-ke-
kpi diakses pada 15 Januari 2013 pukul 15.00 7 VivaNews.com (27 Desember 2009). Penonton Setia Infotainment 10 Juta
Orang.http://id.scribd.com/doc/91799496/Mengupas-Tayangan-Infotainment-dari-Kerangka-Industri-
Media diakses pada 13/02/2013 pukul 09:34 8 Harian analisa, Film Lebih Besar pengaruhnya ketimbang Bom (Online)
http://www.analisadaily.com/news/read/2012/10/14/80972/film_lebih_besar_pengaruhnya_ketimbang_bo
m/#.UMpln-TtSeI diakses pada Jumat 14/12/2012 pukul 07:54
8
Dikatakan pula “film sebaiknya merepresentasikan wajah masyarakatnya”
(Imanjaya, 2006, p. 39), yang juga merepresentasikan budaya. Oleh karenanya,
diciptakannya sebuah film dapat memiliki tujuan untuk memvisualisasikan keadaan
yang terjadi di dunia nyata dan dideskripsikan secara halus melalui gagasan yang
dituangkan, simbolisasi figur-figur pemeran dan plot (alur cerita). Di Indonesia sendiri,
kemunculan film diawali dengan film, seperti „Eliana, Eliana’ (Riri Riza), Bendera
(Nan Achnas), Arisan! (Nia Dinata, dan Mengejar Matahari (Rudy Soedjarwo) sebagai
perjuangan mencari identitas kultural dalam film Indonesia.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya mengenai era globalisasi yang
ditandai dengan Perkembangan Teknologi dan Komunikasi yang pesat, maka
bermunculan pula film-film yang menggabungkan jalan cerita dengan kecanggihan
teknologi. Menandai terjadinya masa itu, munculah film Posmodern sebagai bentuk
culture Amerika masa kini.9 Film Hollywood Posmodern yang terbilang cukup
menghebohkan yaitu film 2012, film ini menampilkan prediksi keadaan manusia saat
terjadinya hari kiamat pada tahun 2012. Hari kiamat yang hanya bisa dibayangkan oleh
manusia, melalui film disempurnakan dengan Teknologi Industri Perfilman yang
canggih. Film Posmodern lainnya, seperti Tomb Raider (2001), dan Matrix (1999) yang
menawarkan pemikiran filosofis mengenai realitas semu (Audifax, 2006, p. 21).
Pada perkembangannya, film tidak hanya digunakan kapitalis sebagai alat
memperoleh keuntungan, namun film, yang adalah bagian dari seni, juga sering kali
digunakan untuk menyampaikan kritik sosial. Beberapa film Indonesia masa kini yang
didalamnya terdapat pesan kritik sosial, seperti Alangkah Lucunya Negeri ini (2010)
mencoba mengangkat potret nyata yang ada di kehidupan bangsa Indonesia, 3 Hati 2
Dunia 1 Cinta (2010) mengangkat realitas percintaan anak manusia yang terhalang oleh
9 Review Buku Posmodern Hollywood : What’s New in Film and Why It Makes Us Feel So Strange oleh
M Keith Booker.
http://books.google.co.id/books/about/Posmodern_Hollywood.html?id=QluEtNUBblUC&redir_esc=y
diakses pada 13/02/2013 pukul 14:43
9
perbedaan Agama, Minggu Pagi di Victoria Park (2010) sebuah kritik sosial akan potret
suka duka TKW di Hongkong dan berbagai film lainnya.10
Kritik Sosial melalui film juga ada dalam film Hollywood, yaitu film The Tall
Man (2012) sebuah kritik sosial melalui mitos. Film ber-genre horror / thriller /
mystery/ crime ini menitikberatkan kritik sosial pada pemerintah yang tidak dapat
mengatasi masalah sosial, seperti perekonomian yang kurang baik, penggangguran,
kemiskinan, pelecehan terhadap anak serta masalah pengawasan anak. Dalam movie
Review disampaikan bahwa film ini adalah film horror yang dekat dengan realitas nyata
(khususnya di Amerika). 11
Kritik Sosial menandakan bahwa masyarakat / konsumen sekarang ini bersifat
aktif terhadap segala bentuk informasi. Melihat realitas yang terjadi sekarang ini
mengenai pertarungan antar kelas, serta maraknya aksi eksploitasi, konstruksi serta
komodifikasi media maka munculah film The Hunger Games untuk mengkritisi segala
bentuk pengemasan media yang terjadi. Sang penulis, Suzzane Collins mengungkapkan
bahwa ide cerita The Hunger Games muncul ketika ia sedang memilah-milah saluran
televisi, lalu ia menemukan persamaan antara berita yang sifatnya mempertontonkan
adegan kekerasan dan program reality show yang penuh dengan drama. Hal ini pula
yang terjadi dalam kehidupan nyata sekarang ini. “Bukan saja menyajikan aksi namun
juga menyelipkan tema kritik sosial akan gaya hidup manusia”.12
Film yang diadaptasi dari sebuah novel trilogi oleh Lions Gate Entertaiment dan
dirilis pada tahun 2008 ini, terbukti berhasil memikat kaum remaja (khususnya di
Amerika) hingga masuk jajaran New York Best Seller13
seiring dengan pasca
berakhirnya rangkaian film Harry Potter dan akan berakhirnya saga Twilight. Walaupun
dinilai banyak memasukan unsur kekerasan, drama, aksi, reality show, percintaan
remaja dan politik ini, namun hal itu tidak mengurangi esensi pesan yang ingin
10
10 Film Indonesia Terbaik 2010. http://www.kapanlagi.com/film/indonesia/2010-in-review-10-film-
indonesia-terbaik-2010.html diakses pada 12/02/2013 pukul 14.15 11
Movie Review : The Tall Man http://www.huffingtonpost.com/marshall-fine/movie-review-ithe-tall-
ma_b_1853836.html diakses pada 11/11/2013 pukul 12:55 12
Rubrik Musik dan Film pada Koran Jakarta (versi Digital).
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/86816 diakses pada 19/02/2013 pukul 12:44 13
Majalah Cinemagz edisi April 2012, mengulas film Hunger Games, hal 83.
10
disampaikan. Tidak hanya itu, akreditasi yang diberikan oleh para novelis fiksi kondang
seperti Stephen Meyer, Stephen king terhadap saga The Hunger Games ini sangatlah
positif. Hal ini yang menggiring banyak penghargaan, antara lain Publishers Weekly’s
Best Books of the Year (2008), The New York Times Notable Children’s Book (2008),
Golden Duck Award in the Young Fiction Category (2009), Cybill Winner (2008),
Booklist Editors’ choice (2008), California Young Reader Medal (2011), dan An
American Library Association – Top Ten Best Book for Young Adult Selection.
Setalah diadaptasi ke film, pada awal tahun 2012, film The Hunger Games
selama dua minggu telah menduduki puncak Box Office film Amerika. Film ini dinilai
“telah menyuguhkan isu global yang bisa ditarik ke konteks sosial di sejumlah negara,
termasuk di Indonesia, yang dikemas secara menghibur, atau bisa juga dianggap
secara hyper-realitas”.14
Setelah memborong penghargaan MTV Movie Awards pada Juni 2012 lalu, di
awal Januari 2013, Film fantasi The Hunger Games kembali dibanjiri dengan
penghargaan People's Choice Award. Keputusan ini diambil berdasarkan pemungutan
suara 475 penggemar yang memilih di situs resmi penyelenggara untuk kategori film,
televisi dan musik. Total ada lebih dari 40 kategori yang dikategorikan. Film ini
mengalahkan film lainnya seperti The Avengers, The Amazing Spider-Man, The Dark
Knight Rises dan Snow White and The Huntsman.15
Masih pada tahun yang sama, The
Hunger Games kembali memenangkan penghargaan Critics Choice Award.
Penulis secara pribadi, tertarik untuk mengkaji film The Hunger Games, film
karangan Suzzane Collins ini terkesan ingin memvisualisasikan sebuah potret yang
terjadi pada masyarakat sekarang ini mengenai carut marut praktik kuasa dan praktik
kerja media Industri (wacana kapitalisme).
14
Hunger Games : Ketika Nyawa Pun Bisa Dijadikan Komoditas Hiburan (Bisnis Indonesia –Jabar)
http://www.bisnis-jabar.com/index.php/berita/hunger-games-ketika-nyawa-pun-bisa-jadi-komoditas-
hiburan diakses pada 12/02/2013 pukul 12:56 15
http://www.merdeka.com/artis/peoples-choice-nobatkan-the-hunger-games-jadi-film-terfavorit.html
diakses pada tanggal 16 Januari 2013, pukul 12.10
11
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana Wacana Kapitalisme disampaikan dalam film The Hunger
Games?
1.3 Tujuan Penelitian Menggambarkan dan menjelaskan Wacana Kapitalisme dalam film The
Hunger Games.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Memberikan tambahan pengetahuan atas media film sebagai media
sebagai kritik sosial. Selain itu juga menambah referensi kepustakaan dengan
menggunakan Analisis Wacana Kritis terhadap perfilman.
1.4.2. Manfaat Praktis
Memberikan pengetahuan tersendiri bagi penulis akan Wacana
Kapitalisme yang di gambarkan melalui film yang didalamnya terkesan terdapat
konsep kuasa serta praktik Industri Media, serta menyajikan kepada pembaca
penelitian yang dapat menambah referensi pembaca yang kaitannya dengan
penelitian dengan menggunakan Analisis Wacana Kritis.
1.5 Kerangka Pikir
Munculnya Film sebagai media baru sangat membantu proses penyampaian
pesan dalam konteks Komunikasi Massa. Film juga sebagai media untuk kritik
sosial dengan menampilkan potret sebuah realitas
Dalam film ini mengangkat konsep reality show sebagai buah dari ideologi
pemerintahan kapitalis pada era posmodern yang mencampurkan antara realitas
dengan non realitas. Film ini menampilkan peranan media dalam sebuah peradaban
12
masyarakat dengan aspek-aspek dalam kehidupan (ekonomi, politik, sosial) disertai
dengan ketimpangan kelas.
Untuk menjawab rumusan masalah, maka penulis mengkaji film ini dengan
menggunakan Analisis wacana model Fairclough yang berhubungan dengan praktik
kuasa dan Industri Media, disertai dengan penjelasan konsep Kapitalisme Karl
Marx, serta Kuasa & Ilmu Pengetahuan oleh Michael Foucault.
Globalisasi : Perkembangan
Teknologi dan Komunikasi
Kapitalisme
Posmodernisme : Media massa sebagai Industri +
Gambaran Kapitalisme yang terjadi
Media Film
Film The Hunger
Games :
sebagai media kritik sosial
pada realita kaitannya
dengan Kuasa dan praktik
Industri Media (Wacana
Kapitalisme
Metode Analisis Wacana
Kritis model Fairclough
Konsep Kuasa &
Ilmu Pengetahuan ( Michael Foucault)
Menjelaskan
Wacana
Kapitalisme
dalam film The
Hunger Games
Penggolongan
kapitalisme
berdasarkan
konsep
kapitalisme Marx