REFORMASI BIROKRASI
-
Upload
nasrul-haq-syarif -
Category
Documents
-
view
754 -
download
14
description
Transcript of REFORMASI BIROKRASI
REFORMASI BIROKRASI(TINJAUAN TEORITIK)
OLEH :
N A S R U L H A Q12/338478/PSP/04353
MAGISTER MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
0
A. PERKEMBANGAN PARADIGMA BIROKRASI
1. Birokrasi Pra Weberian
Istilah birokrasi pra Weberian dimaknai pada birokrasi sebelum
munculnya birokrasi Max Weber. Konsep birokrasi sudah dikenal sejak abad
ke 17 di Perancis. Hal itu ditemukan dalam surat tertanggal 1 Juli 1764 oleh
Filsuf Perancis Baron de Grimm (dikutip dalam Albrow, 2004;1) menulis,
“Kita tergoda oleh gagasan pengaturan dan Master of Request. Kita menolak untuk memahami bahwa ada sosok ketidakterbatasan (inifitas) di suatu negara besar yang dengannya pemerintah itu sendiri tidak mampu memperlihatkan. Pada suatu ketika almarhum M. de Goumay mengatakan, di Perancis kita mendapati suatu penyakit yang jelas-jelas merusak kita, penyakit ini disebut ‘bureaumania’. Acap kali de Goumay menggunakan temuannya itu untuk menyebut empat atau kelima bentk pemerintahan di bawah judul bureaucratie.
Bukti tersebut menandakan bahwa istilah birokrasi sudah ada
sebelum Max Weber mempopulerkan gagasannya mengenai tipe ideal
birokrasi. Namun jarang referensi yang membahas secara detail birokrasi
sebelum Weberian. Catatan mengenai birokrasi pra Weberian, salah satunya
dapat dilihat secara singkat dalam buku Martin Albrow yang berjudul
birokrasi. Sehingga referensi yang tepat untuk mendalami awal kelahiran
konsep birokrasi dapat ditemukan dalam buku yang di tulis oleh Martin
Albrow. Bahkan sampai saat ini, buku tersebut sudah diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia.
Albrow menjelaskan bahwa pada awal abad ke 18 muncullah istilah
‘bureau’ yang berarti meja tulis. Kemudian istilah ‘cracy’ disadur dari bahasa
Yunani ‘kratein’ yang berarti mengatur. Untuk selanjutnya menjadi istilah
dalam politik internasional dan berkembang menjadi perbendaharaan bahasa
negara-negara di dunia seperti bureaukratie (Jerman), burocrazia (Italia),
bureaucracy (Inggris), dan birokrasi (Indonesia). Dalam perkembangan masa
awal birokrasi, terdapat pertentangan antara tulisan yang berbahasa Inggris
dengan tulisan berbahasa Jerman terkait dengan pandangan terhadap tipe
1
pemerintahan Eropa. Bahkan terkadang tulisan mengenai birokrasi dianggap
negara sebagai tulisan subversif (bersifat menggulingkan pemerintah).
Ada beberapa tulisan yang muncul dalam rumusan klasik birokrasi
seperti Gaetano Mosca (1895) menulis ‘Elementi di Scienza Politica’, Michels
(1922) dalam bukunya ‘Political Parties’, J. J. von Gorres (1819) menulis
‘Germany and the Revolution’, John Stuart Mill (1848) dalam karyanya
‘Principles of Political Economy’, Walter Bagehot (1867) dalam ‘The English
Constitution’, Ramsay Muir (1910) dalam tulisan ‘Bureaucracy in England’
serta beberapa tulisan lainnya yang menghiasi perbincangan mengenai
birokrasi dalam rumusan klasik.
2. Birokrasi Weberian
Birokrasi Weberian di ambil dari konsep birokrasi yang di tulis oleh
Max Weber. Max Weber adalah tokoh Sosiologi Jerman yang juga dikenal
sebagai bapak sosilogi moderen. Beliau melahirkan gagasan mengenai
birokrasi ideal dalam karyanya yang berjudul Bureucracy. Buku tersebut
diterbitkan pada tahun 1964, untuk selanjutnya dijadikan referensi tipe ideal
birokrasi oleh beberapa negara di dunia termasuk Indonesia. Weber dalam
Thoha (2008, 17) menjelaskan bahwa suatu birokrasi atau administrasi itu
mempunyai suatu bentuk yang pasti dimana semua fungsi dijalankan dalam
cara-cara yang rasional.
Konsep birokrasi tipe ideal dirumuskan Max Weber (Thoha, 2008;18)
dengan ciri-ciri sebagai berikut :
a. Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh
jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan
individual dalam jabatannya. Pejabat tidak bebas menggunakan
jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk
keluarganya.
b. Jabatan disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan
kesamping.
2
c. Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara
spesifik berbeda satu sam lainnya.
d. Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan.
e. Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya.
f. Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun
sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya.
g. Terdapat struktur pengembangan karir yang jelas dengan promosi
berdasarkan senioritas dan merit sesuai dengan pertimbangan objektif.
h. Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan
resources instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.
i. Setiap pejabat berada dibawah pengendalian dan pengawasan suatu
sistem yang dijalan secara disiplin.
Ciri-ciri tipe ideal tersebut memberikan gambaran bahwa konsep
birokrasi yang dikemukakan oleh Weber mengandung bebera karakteristik
untuk diterapkan dalam pemerintahan. Konsep Weber kelihatannya belum
sempurna karena tidak mencakup semua aspek birokrasi secara
komprehensif seperti pertimbangan efisiensi. Secara singkat, karakteristik
birokrasi Weber dirangkum Nicholas Henry (1995, 75) menjadi lima ciri yaitu :
a. Hirarki
b. Promosi atas dasar ukuran professional dan keahlian
c. Adanya jenjang karir
d. Ketergantungan penggunaan pengaturan dan regulasi
e. Hubungan impersonalitas diantara para profesionalitas karir dalam
birokrasi dan hubungan mereka terhadap pihak yang dilayani.
Disamping itu, Weber (Santosa, 2008;6) juga merumuskan tipe ideal
dari kewenangan (otorita) yaitu :
a. Otorita Tradisional
Meletakkan dasar legitimasi secara langsung antara atasan dan bawahan
karena tingginya loyalitas bawahan serta terjalin hubungan akrab antara
3
penguasa dan rakyat. Tahapan yang dilakukan masih menggunakan
model tradisional sehingga perubahan tidak utamakan.
b. Otorita Kharismatik
Otorita ini timbul karena adanya kekuatan energi super natural power
seperti sikap heroik. Maka bahawan selalu menghormati atasannya
karena kekharismatikan pemimpin bukan karena pemaksaan hukum.
c. Otorita Legal-Rasional
Otorita ini didasarkan pada aturan yang diterapkan secara legal.
Menekankan pada aturan yang pasti sebagai acuan dalam menjalankan
tugas. Kekuatan aturan sangat besar dijadikan pedoman oleh bawahan
terhadap pimpinannya.
3. Birokrasi Aweberian
Pandangan Weber mengenai birokrasi ideal ternyata mendapat
kecaman dari beberapa ahli. Dalam tulisan ini diistilahkan sebaga birokrasi
Aweberian. Weber dianggap tidak mengantisipasi dan mempertimbangkan
dampak buruk dari konsep yang ditawarkan. Merton dalam Albrow (2004,
60) menjelaskan bahwa suatu struktur yang rasional dalam pengertian Weber
dapat dengan mudah menimbulkan akibat-akibat yang tidak diharapkan dan
mengganggu bagi pencapaian tujuan-tujuan organisasi.
Berikutnya, Geral Caiden (Dwiyanto, 2011 ; 42) mengenalkan konsep
titik optimalitas yang tidak pernah dijelaskan oleh Max Weber. Penjelasan ini
oleh Ceiden disebut teori Kurva-J Birokrakratisasi atau parabolic theory of
bureaucracy. Dijelaskan bahwa birokrasi Weberian tidak berbentuk linear
melainkan berbentuk kurva parabola. Artinya pada titik tertentu, birokrasi
Weberian akan berdampak negatif dalam pemerintahan. Teori Kurva dapat
dilihat pada gambar dibawah ini :
4
Gambar . Teori Kurva-J Birokratisasi
Teori ini menggambarkan adanya dua sisi yang berlawanan apabila
telah melewati titik optimalitas. Misalnya prinsip hierarki, manfaat sebelum
mencapai titik optimalitas adalah memberikan batasan kewenangan,
memfasilitasi pimpinan dalam melakukan supervise dan mempermudah
koordinasi. Namun, disisi lain menimbulkan efek negatif setelah melewati
titik optimalitas. Diantaranya, menimbulkan ketergantungan bawahan,
melembagakan budaya paternalism dan menimbulkan distorsi dalam
komunikasi (Dwiyanto, 2011;44).
Terkait banyaknya muncul perdebatan dari tipe ideal birokrasi Weber
maka muncul pandangan baru mengenai birokrasi yang dipelopori oleh David
Osborne dan Ted Gaebler dalam bukunya berjudul Reinventing Government
yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1992 untuk selanjutnya diterbitkan
dalam edisi bahasa Indonesia pada tahun 1996. Tulisan ini memberikan
paradigma baru yang dirangkum dalam model strategis yaitu :
a. Pemerintahan katalis ; mengarahkan ketimbang mengayuh
b. Pemerintahan milik masyarakat ; memberi wewenang ketimbang
melayani
c. Pemerintahan yang kompetitif ; menyuntikkan persaingan dalam
pemberian layanan
d. Pemerintahan yang digerakkan oleh misi ; mengubah organisasi yang
digerakkan oleh peraturan
5
e. Pemerintahan yang berorientasi hasil ; membiayai hasil bukan masukan
f. Pemerintahan berorientasi pelanggan ; memenuhi kebutuhan pelanggan
bukan birokrasi
g. Pemerintahan wirausaha ; menghasilkan ketimbang membelanjakan
h. Pemerintahan antisipatif ; mencegah daripada mengobati
i. Pemerintahan desentralistis ; pada hierarki menuju partisipasi dan tim
kerja
j. Pemerintahan berorientasi pasar ; mendongkrak perubahan melalui pasar
Untuk selanjutnya, demi mendukung pandangan diatas maka David
Osborne dan Peter Plastrik dalam bukunya ‘Banishing Bureaucracy’ (edisi
bahasa Indonesia tahun 2004; Memangkas Birokrasi) menjelaskan lima
strategi pemerintahan wirausaha yang disebut ‘Five C’s’.
Tabel. Strategi Five C’s
Pendongkrak Strategi Pendekatan
Tujuan Strategi IntiKejelasan TujuanKejelasan PeranKejelasan Arah
Insentif Strategi Konsekuensi Persaingan TerkendaliManajemen PerusahaanManajemen Kinerja
Pertanggungjawaban Strategi PelangganPilihan PelangganPilihan KompetitifPemastian Mutu Pelanggan
Kekuasaan Strategi PengendalianOrganisasionalPemberdayaan KaryawanPemberdayaan Masyarakat
Budaya Strategi BudayaMenghentikan KebiasaanMenyentuh PerasaanMengubah Pikiran
Gagasan mengenai mewirausahakan birokrasi merupakan jawaban
dari birokrasi Weberian yang terlihat kaku, tidak luwes, penekanan yang lebih
besar atas sarana daripada hasil akhir, serta aspek manipulasi dan tidak
manusiawi (Nicholas Henry, 1995;75). Nicholas Henry juga menyimpulkan
pandangan teroi birokrasi Weber sebagai organisasi model tertutup yang
6
kemudian bergeser menjadi manajemen ilmiah dan manajemen administrasi
(generik). Belakangan muncul paradigma baru mengenai birokrasi yang lebih
tepat disebut pergeseran paradigma administrasi negara oleh Janet. V
Denhardt dan Robert B. Denhardt (2003).
B. SEJARAH REFORMASI BIROKRASI INDONESIA
Pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia sulit dipisahkan dengan
sistem pengelolaan pada masa kerajaan dan sistem pengelolaan masa
kolonial. Budaya birokrasi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebiasaan
sistem kerajaan misalnya sebutan abdi dalem bagi prajurit raja yang hanya
patuh kepada atasan. Hal ini pula dirasakan dalam birokrasi Indonesia
sehingga muncul istilah birokrasi paternalistis. Bawahan hanya
bertanggungjawab dan loyal pada atasannya. Disamping itu, pengaruh masa
penjajahan kolonial juga mempengaruhi birokrasi Indonesia seperti
ketergantungan pada aturan yang kaku. Dimasa penjajahan banyak produk
hukum formal yang dibuat sebagai acuan pemerintahan.
Sejarah pra kemerdekaan Indonesia tanpa disadari melekat dalam
sistem birokrasi pasca kemerdekaan sampai saat ini. Hal ini dapat dilihat
dari sistem birokrasi yang diterapkan sejak Presiden Soekarno sampai
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Meskipun ada upaya reformasi
birokrasi tetapi kelihatannya masih tetap jalan ditempat sehingga kemajuan
bangsa masih tetap terpuruk. Perlu disadari bahwa pengaruh patologi
birokrasi sangat mempengaruhi kemajuan suatu negara.
1. Orde Lama
Menurut Rewansyah (2010, 1) bahwa reformasi birokrasi bukanlah
hal yang baru dalam penyelenggaraan administrasi negara di Indonesia. Pada
era orde lama terdapat beberapa upaya dalam reformasi birokrasi. Upaya ini
ditandai dengan dibentuknya Panitia Organisasi Kementrian (PANOK) pada
tahun 1953, Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) tahun 1957,
Komando Retooling Aparatur Negara (KONTRAR) tahun 1962, dan Tim
Penertiban Aparatur dan Adminitrasi Pemerintah (Tim PAAP) tahun 1966.
7
Pada masa orde lama kekuatan birokrasi dipengaruhi oleh kekuatan
politik yang dibangun oleh Presiden Sukarno. Kekuatan politik Presiden
Sukarno meliputi nasionalis, agama dan komunis yang terbentuk dalam
kelompok partai PNI, MASYUMI dan PKI. Birokrat pemerintahan didominasi
oleh tiga kelompok dengan latar belakang tersebut. Masa ini, birokrasi
pemerintah dalam tahapan pematangan dengan membentuk organisasi
khusus yang menangani pemerintahan. Salah satu organisasi yang dibentuk
pada masa orde lama adalah Lembaga Administrasi Negara.
2. Orde Baru
Urgensi untuk memperhatikan birokrasi pada masa orde baru mulai
menjadi perhatian serius pemerintah. Pada masa orde baru pemerintah
mulai membentuk Kementrian Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur
Negara, kemudian berubah menjadi Kemetrian Penertiban Aparatur Negara.
Kabinet pembangunan III. Selanjutnya diubah lagi menjadi Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara. Meskipun demikian, birokrasi di Indonesia
justru semakin tidak jelas. Aspek independensi Pegawai Negeri Sipil dan ABRI
kurang diperhatikan. PNS dipaksa masuk ranah politis melalui GOLKAR dan
adanya dwi fungsi ABRI sehingga biokrasi semakin terkontaminasi dengan
politik. Sering terjadi otoriratif elitis dan politisasi birokrasi dari Presiden
Suharto kepada aparatur pemerintahan.
Kondisi birokrasi masa orde baru mulai dirasuki praktek kolusi dan
nepotisme yang merajalela. Aspek birokrasi pemerintahan dibawah satu
komando. Akibatnya muncullah istilah Asal Bapak Senang (ABS) pada masa
pemerintahan orde lama. Ketimpangan tersebut merembet hingga ke
pemerintah daerah. Birokrasi sangat kaku dan sentralistis. Pembatasan ruang
lingkup birokrat sering terjadi tumpang tindih. Membuat fungsi-fungsi
birokrasi berjalan lambat. Fenomena birokrasi yang terlihat pada masa ini
adalah birokrasi paternalistis dengan prinsip Asal Bapak Senang. Manajemen
birokrasi mirip dengan majamen tusuk sate, bawahan harus patuh, taat dan
loyal pada atasan.
8
3. Era Reformasi
Era reformasi yang bermula sejak runtuhnya rezim orde baru pada
tahun 1998. Seluruh lini dalam lingkup kenegaraan direformasi, termasuk
birokrasi. Era ini diawali oleh Presiden Habibi yang berusaha kembali
memperbaiki struktur dan kultur negara Indonesia yang krisis multidimensi.
Birokrasi mulai ditata kembali dengan sebutan reformasi birokrasi. Usaha
Presiden Habibi (1998-1999) dilanjutkan oleh Presiden berikutnya yaitu
Presiden Abdurrahman Wahid (199-2001), Presiden Megwati (2001-2004),
Presiden Susilo Bambang Yudhoyonu (2004-sekarang).
Di era ini, reformasi birokrasi masih terlihat sekedar wacana
kenegaraan. Sampai saat ini, Menurut Menteri Pendayagunaan Apratur
Negara dan Reformasi Birokrasi kabinet Indonesia Bersatu Jilid II bahwa
permasalahan birokrasi menjadi permasalahan terbesar yang lebih besar dari
masalah korupsi dan infrastruktur. Ini sebuah pertanda yang mengusik tata
pemerintahan di Indonesia. Upaya untuk menanggulangi masalah birokrasi
akhirnya dijadikan prioritas utama RPJMN 2010-2014. Target ini diperkuat
dalam Perpres Nomor 81 tahun 2010 dan Permenpan Nomor 20 tahun 2010.
Selanjutnya di elaborasi dalam 9 program percepatan reformasi biokrasi.
C. DEFINISI REFORMASI BIROKRASI
Kata ‘reformasi’ pertama kali muncul pada abad ke 16 di Eropa Barat.
Kata reformasi digunakan sebagai upaya kolektif dan korektif terhadap
penyimpangan, ketimpangan, ketidakadilan, dan tindakan penguasa yang
betentangan dengan akal sehat yang dilancarkan oleh kelompok atau pihak
yang merasa tertindas (Rewansyah, 2010;117). Menurut Oxford Advanced
Learner’s Dictionary dalam Rewansyah (2010, 118) kata reform berarti
mengubah sesuatu menjadi lebih baik dari yang sudah ada.
Reformasi dalam bahasa inggris dikenal dengan reformation atau
reform (perbaikan/pembaruan). Secara sederhana dalam etimologi,
reformasi terdiri dari dua suku kata yakni re (kembali) dan formasi
(susunan/barisan). Tetapi pengertian tersebut belum memberikan arti
9
mendalam dari reformasi. Untuk lebih jelasnya, dapat diamati dalam
pengertian secara terminologi sebagai berikut :
1. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) reformasi adalah
perubahan secara drastis untuk perbaikan.
2. Menurut Eko Prasojo dalam bagian pengantar bukunya berjudul
‘reformasi kedua, melanjutkan estafet reformasi’ (2009), reformasi
merujuk pada upaya perubahan yang dikendaki (intended change) dalam
suatu kerangka kerja yang jelas dan terarah. Reformasi harus menyentuh
berbagai aspek sesuai porsi dan kedudukannya masing-masing.
Wibawa (2012, 64) mengemukakan bahwa birokrasi adalah
instrumen, alat pemerintah untuk menjalankan kebijakan-kebijakannya. Taat
hukum, melaksanakan sepenuhnya hukum itu karena pada dasarnya hukum
dibuat oleh seluruh rakyat serta birokrasi harus tegas melaksanakan
kebijakan, aturan dan hukum. Sumber lain menjelaskan bahwa birokrasi
adalah sebuah konsekuensi yang tidak dapat dihindari oleh pemerintah
modern. Birokrasi sebagai sebuah abstraksi organisasi besar (Hyneman,
1950:3). Disamping itu, birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisir secara
teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang. Birokrasi
adalah tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-
tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinir secara teratur
pekerjaan dari banyak orang. Peter dalam Tjokroamidjojo, 1974:71.
Frits Morstein Marx dalam Santosa (2008, 2) merumuskan birokrasi
sebagai tipe organisasi yang dipergunakan pemerintah modern untuk
melaksanakan tugas-tugasnya yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam
sistem administrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah. Prayudi
Atmosudirjo dalam Pasolong (2008, 67) mengemukakan bahwa birokrasi
mempunyai tiga arti yaitu : 1). Birokrasi sebagai suati tipe organisasi, 2).
Birokrasi sebagai sistem, 3). Birokrasi sebagai jiwa kerja. Selanjutnya
Pasolong (2008) menyebut birokrasi sebagai lembaga pemerintah yang
10
menjalankan tugas pelayanan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di
daerah.
Sekurang-kurangnya ada tiga macam arti birokrasi (Rewansyah, 2010 :
118) yaitu :
1. Birokrasi diartikan emerintahan biro oleh pegawai yang diangkat
pemegang kekuasaan, pemerintah, atau pihak atasan dalam organisasi
formal.
2. Birokrasi diartikan sebagai sifat atau perilaku pemerintahan.
3. Birokrasi sebagai tipe ideal sebuah organisasi yang bermula dari teori Max
Weber.
Lebih rinci, Ndraha mengelompokkan macam pengertian birokrasi
dalam tulisannya yang dibagi sebagai berkut :
Tabel. Macam Arti Birokrasi
Macam Arti Makna PeloporBirokrasi sebagai government by bureaus
Pemerintahan biro oleh aparat yang diangkat oleh pemegang kekuasaan, pemerintah atau pihak atasan dalam sebuah organisasi formal
Riggs, 1971
Birokrasi sebagai sifat atau perilaku pemerintahan
Sifat kaku, macet, berliku-liku dan segala tuduhan negative terhadap instansi yang berkuasa
Kramer, 1977Riggs, 1971Pinchot, 1993Cohen, 1993Arief Budiman, 1988Siagian, 1994Agus Dwiyanto, 2002Osborne dan Plastrik, 1997
Birokrasi sebagai tipe ideal organisai
Birokrasi dalam arti ini dianggap bermula pada teori Max Weber tentang konsep sosiologik, rasionalisasi, aktivitas kolektif
Gibson, 1974B.Guy Peters, 1984Nicos Mouzelis, 1975
Sumber : Ndraha, 2003;513.
Lebih lanjut, pengertian reformasi birokrasi menurut Michael Dugget
yang dikutip Rewansyah (2010 : 123) yaitu : “proses yang dilakukan secara
11
kontinyu untuk mendesain ulang birokrasi yang berada dilingkungan
pemerintah dan partai politik sehingga dapat berdaya guna dan berhasil
guna baik ditinjau dari segi hukum maupun politik”. Menurut Dwiyanto (168)
bahwa dalam reformasi birokrasi ada beberapa visi yang harus dilakukan
yaitu memilki kompetensi yang tinggi, mencintai pekerjaan sebagai suatu
profesi dan peduli terhadap kepentingan publik.
Definisi di atas memberikan cukup gambaran lebih rinci mengenai
hakekat reformasi. Reformasi tersebut diarahkan pada reformasi pada aspek
birokrasi yang dipersingkat menjadi reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi
perlu pengawalan serius secara berkala. Perlu di sadari bersama bahwa
banyak penyakit (patologi) yang menyerang birokrasi sehingga perlu kerja
extra untuk menanggulangi berbagai macam penyimpangan yang terjadi.
Istilah reformasi mulai familiar di Indonesia sejak runtuhnya rezim
orde baru pada tahun 1998. Pada saat itu terjadi aksi besar-besaran yang
menjadi sejarah penting bagi pembangunan nasional. Salah satu pelopor aksi
tersebut adalah Prof. Dr. H.M. Amien Rais, MA yang sekaligus dijuluki sebagai
bapak Reformasi Indonesia. Selanjutnya menjadi ketua MPR periode 1999-
2004. Pada masa itulah dilakukan amandemen UUD 1945. Dimulai tahun
1999 (amandemen I), 2000 (amandemen II), 2001 (amandemen III) dan 2002
(amandemen IV). Dengan sendirinya, hasil amandemen tersebut
mempengaruhi sistem birokrasi pemerintah sampai saat ini.
Patologi birokrasi yang terjadi di Indonesia masa orde baru, orde
lama dan orde reformasi harus diperbaiki sampai pada akarnya.
Permasalahan birokrasi seolah-olah sudah membudaya dalam diri birokrat.
Ibarat semua pohon yang memiliki banyak komponen mulai dari ujung daun
sampai ujung akar. Begitupun dalam birokrasi pemerintahan, perbaikan
dimulai dari ujung paling atas sampai ujung paling bawah dalam bentuk cross
sectional atau perpaduan vertikal-horisontal untuk semua aspek kehidupan
(hukum, ekonomi, politik, administrsi, pendidikan, dll).
12
Secara umum reformasi birokrasi diartikan suatu perubahan yang
terintegrasi secara kompleks meliputi sistem, struktur dan watak. Ketiga hal
ini diharapkan dilaksanakan secara beriringan karena satu sama lain saling
berkaitan seperti sebuah siklus berikut :
Gambar. Siklus Reformasi Birokrasi
Agenda reformasi birokrasi merupakan agenda strategis nasional.
Akibat dari patologi birokrasi dapat mengakibatkan permasalahan pada
sektor lainnya. Oleh karena itu, hakikat reformasi birokrasi mengarah pada
perubahan yang sebenar-benarnya tanpa ada tendensi atau intervensi dari
pihak manapun dengan prinsip keadilan dan persamaan. Bukan hanya
reformasi aspek struktur tetapi juga reformasi sistem yang diberlakukan di
pemerintahan karena kerancuan sistem akan berdampak signifikan pada
aspek lainnya.
Begitu pula dengan watak, kiranya perlu di reformasi karena
meskipun struktur dan sistem baik tetapi watak atau etika birokrat yang
apatis maka akan berdampak pula pada struktur dan sistem. Jadi, ketiga
dimensi ini harus di sinergikan satu sama lain layak suatu siklus roda yang
saling kait mengait. Pandangan ini sinergi dengan pemikiran Rewansyah
mengenai refomrasi birokrasi yang digambarkan secara sederhana dengan
model sebagai berikut :
13
Gambar. Reformasi Birokrasi Sebagai Inti Reformasi Nasional
D. POTRET REFORMASI BIROKRASI
Organisasi dapat mencapai level kompetensi dengan cara mengambil
masalah secara kompleks dan memecahkan kedalam bentuk yang lebih kecil
karena melalui cara tersebut tugas lebih mudah dikelola (Rourke, 1922:16).
Pernyataan tersebut mendukung kedudukan birokrasi sebagai model
organisasi modern. Ada beberapa komponen yang perlu diperhatikan dalam
reformasi birokrasi. Namun dalam realitasnya, birokrasi mengalami banyak
masalah. Maka sesuai dengan maksud dan tujuannya, birokrasi perlu
direformasi agar mekanisme tata kelola pemerintah bisa lebih bagus. Dalam
komponen ini, perlu kembali meninjau ulang permasalahan yang mendasar
dalam birokrasi. Pada umumnya birokrasi memiliki kelemahan sebagai model
organisasi modern. Bahkan melahirkan patologi yang dapat melemahkan
sistem pemerintahan pada suatu negara.
Berdasarkan penelitian Dwiyanto (2011) bahwa patologi birokrasi di
Indonesia meliputi birokrasi paternalistis, pembengkakan anggaran, prosedur
berlebihan, pembengkakan birokrasi, fragmentasi birokrasi. Dalam penelitian
tersebut diterangkan bahwa patologi birokrasi yang terjadi di Indonesia
berimplikasi pada kinerja birokrasi publik. Pada dasarnya pernyakit tersebut
sudah klasik, namun sampai saat ini terasa sulit untuk menghilangkan
penyakit tersebut. Sebut saja birokrasi paternalistis yang sudah ada sejak
awal kemerdekaan bahkan pra kemerdekaan.
14
Jika dihitung mundur dengan bermula dari proklamasi kemerdekaan,
patologi birokrasi paternalistis sudah melanda tata pemerintahan selama 67
tahun. Dimensi waktu yang sudah lebih dari setengah abad. Malah membuat
patologi birokrasi semakin meluas. Usaha dalam mengimplementasikan
konsep David Osborne dan Peter Plastrik mengenai ‘memangkas birokrasi’
jauh dari harapan. Saat ini saja tercatat 4.572.113 orang jumlah pegawai
(BKN, Desember 2011), 524 pemerintah daerah, 92 lembaga dan 34
kementerian.
Jumlah tersebut dari tahun ke tahun terus bertambah, fragmentasi
selalu menjadi fenomena buruk birokrasi. Meluasnya framentasi birokrasi
mengakibatkan pembengkakan anggaran tidak bisa dihindari. Pos anggaran
juga semakin bertambah. Maka peluang untuk korupsi terbuka lebar.
Sebenarnya logika reformasi birokrasi sangat sederhana, tetapi malah sulit
untuk dijalankan. Cukup dimulai dari pimpinan atau atasan. Ada kesadaran
obsesi dan komitmen diharapkan datang dari atas agar bawahan lebih mudah
diperbaiki. (Utomo, 2006:210).
Potret patologi terjadi juga disebabkan oleh kelemahan birokrasi
secara umum seperti standar efisiensi fungsional kurang diperhatikan,
penekanan yang berlebihan terhadap rasionalitas, impersonalitas dan
hierarki, penyelewengan tujuan dan pita merah (Ali Mufiz dalam Santosa,
2008). Jangan sampai pendapat Geral Caiden yang menyatakan bahwa
‘reformasi sistem administrasi tidak pernah mencapai inti permasalahan
tetapi hanya formalitas semata. Reformasi tersebut tidak cukup luas dan
mendalam. Bahkan cukup banyak negara yang tidak memberikan perhatian
memadai pada reformasi administrasi’ menjadi suatu keniscayaan.
Hal senada dibahasakan oleh Tjokromidjojo (1974:76) bahwa didalam
kenyataannya birokrasi pemerintahan di dalam negara-negara yang relatif
kurang maju seringkali ditujukan tidak kepada usaha pencapaian tujuan-
tujuan secara teratur, tetapi untuk tujuan-tujuan yang lebiih bersifat pribadi
ataupun kepentingan kelompok masyarakat tertentu. Meskipun motif dasar
15
sebuah sistem birokrasi rasional dan efisien dalam mencapai tujuan.Tidak
dapat dipungkiri bahwa birokrasi membawa ke dalam bentuk tidak efisien
pada dirinya sendiri.
Pemerintah wajib melakukan upaya pemecahan masalah. Untuk
menjawab masalah demi masalah yang muncul dalam birokrasi maka perlu
menerapkan prinsip good governance yang dipadukan dengan good mindset
dan good cultureset. Terutama yang wajib dilakukan pemerintah adalah
menetralkan birokrasi dari politik. Pelaksanaan model trias politica dengan
sistem multipartai di Indonesia membuat birokrasi cenderung kehilangan
arah dan jati dirinya. Tingginya intensitas politik dalam seluruh aspek
kehidupan memaksa pelaksanaan birokrasi ideal semakin tidak jelas. Pada
kondisi sebaliknya, ketika reformasi birokrasi berhasil diterapkan maka ranah
yang lainnya dengan sendirinya akan membaik.
Maraknya kasus korupsi harus diakui salah satu dampak buruk dari
lemahnya birokrasi. Oleh karena itu perlu memahami esensi birokrasi secara
komprehensif terkait patologi birokrasi, masalah birokrasi dan langkah
konkrit pelaksanaan reformasi birokrasi. Sangat menggilitik ketika KPK merilis
informasi bahwa latar belakang koruptor sepanjang tahun 2004-Agustus
2012 berasal dari pejabat eselon I, II dan III. Notabene jabatan eselon
merupakan jabatan tertinggi birokrat. Mestinya pejabat dalam ranah
pemerintahan harus memberikan tauladan yang terbaik kepada bawahannya.
Bukan malah sebaliknya karena reformasi birokrasi harus dimulai dari pusat
atau jabatan tertinggi.
Untuk mendorong timbulnya reformasi birokrasi, Thoha (2008, 106)
mempersyaratkan 4 hal yaitu :
a. Adanya kebutuhan melakukan perubahan dan pembaruan
b. Memahami perubahan yang terjadi dilingkungan strategis nasional
c. Memahami perubahan yang terjadi di lingkungan strategis global
d. Memahami perubahan yang terjadi dalam paradigma manajemen
pemerintahan
16
Keempat aspek ini mempertegas perlunya keseriusan Presiden selaku
pucuk tertinggi dalam pemerintahan. Jadi perlu ada keberanian dalam
melakukan terobosan baru dalam pemerintahan. Minimal mengikuti
keberanian Woodrow Wilson saat menjadi Presiden Amerika Serikat yang
mampu menerapkan konsep baru dalam memperbaiki pemerintahannya.
Mengamati kondisi sekarang banyak hal yang menjadi pekerjaan birokrasi
pemerintah mulai dari seleksi CPNS sampai pada pengaturan dana pensiun.
Dengan demikian, yang diperlukan adalah berupaya melakukan reformasi
birokrasi.
E. ARAH KEBIJAKAN REFORMASI BIROKRASI
Arah kebijakan reformasi birokrasi sampai tahun 2025 yakni
mewujudkan tata pemerintahan yang baik dengan birokrasi pemerintahan
yang professional , berintegritas tinggi, menjadi pelayan masyarakat dan abdi
negara menuju pemerintahan kelas dunia. Arah kebijakan tersebut
diselaraskan dengan RPJPN 2005-2025, yang difragmentasi dalam RPJMN.
Effendi (2010) memberikan gagasan mengenai road map reformasi birokrasi
agar Indonesia tidak terjebak dalam middle income trap pada akhir 2014.
Gagasan tersebut dirumuskan dalam matrix dibawah ini :
Tabel. Matrix Road Map Reformasi Birokrasi
Isu Pokok Integritas AN Pelayanan Publik Manajemen SDMKerangka Umum Inpres 5/2004
Keppres 11/2005UU 7/2006UU Tipikor Adanya Bab mengenai
norma dasar dank ode etik Aparatur Negara dalam UU Kepegawaian
PEningkatanlegalitas Inpres 7/1999
Peraturan pelaksanaan UU 25/2009
Perumusan peraturan pelaksanaan UU 25/2009
Penyelesaian RUU Administrasi Pemerintahan.
REvisi UU 43/1999 Penyusunan
peraturan pelaksanaan revisi UU 43/1999
Penataan Organisasi dan Proses Bisnis
Transparansi sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah
E-procurmentE-payment
Penerapan sistem penganggaran berbasis out put program
Penerapan SPM pada semua unit pelayanan publik
Penerapan OSS Penerapan sistem
penanganan keluhan
Pendirian Komisi Kepegawaian Negara
Restrukturisasi kantor MenPAN, LAN, BKN
Penerapan sistem multi-kategori PNS
17
partisipatif
Peningkatan kapasitas aparatur negara
Internalisasi budaya integritas aparatur negara
Peningkatan kapasitas perencanaan dan pembiayaan pelayanan publik
Penerapan sistem manajemen SDM berbasis jabatan
Penataan sistem penggajian berbasis kinerja
Penataan sistem pensiun
Monitoring dan Evaluasi
Indeks Integritas Instansi Publik
Indeks Persepsi Korupsi
Indeks Kemudahan Usaha
Indeks Kepuasan Masyarajat
Indeks kinerja tata kepemerintahan
Pencapaian sasaran pembangunan
Pencapaian sasaran HDI dan MDGs
Kebijakan reformasi birokrasi diarahkan pada upaya-upaya
pembentukan profil birokrasi yang efisien, mampu, tanggap dan dinamis
terhadap tuntutan yang ditujukan kepada birokrasi itu sendiri, baik berasal
dari lingkup nasional, regional dan internasional yang berjalan kearah good
governance (Rewansyah, 2010;149). Sasaran reformasi birokrasi adalah :
a. Birokrasi yang bersih
b. Birokrasi yang efektif dan efisien
c. Birokrasi yang produktif
d. Birokrasi yang transparan
e. Birokrasi yang terdesentralisasi
Terkait dengan arah kebijakan yang lebih komplit, dijelaskan oleh
pemerintah dalam :
a. PERPRES Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi
Birokrasi 2010 – 2025
b. PERMENPAN RB Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi
Birokrasi 2010 – 2014.
c. PERMENPAN RB tentang:
Pedoman Pengajuan Dokumen Usulan Reformasi Birokrasi K/L dan
Pemda (PERMENPAN RB No. 7/2011)
18
Pedoman Penilaian Dokumen Usulan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi
(PERMENPAN RB No. 8/2011)
Pedoman Penyusunan Road Map Birokrasi K/L dan Pemda
(PERMENPAN RB No. 9/2011)
Pedoman Pelaksanaan Quick Wins (PERMENPAN RB No. 10/2011)
Pedoman Pelaksanaan Program Manajemen Perubahan (PERMENPAN
RB No. 11/2011)
Pedoman Penataan Tatalaksana (Business Process) (PERMENPAN RB
No. 12/2011)
Kriteria dan Ukuran Keberhasilan Reformasi Birokras (PERMENPAN RB
No. 13/2011)
Pedoman Pelaksanaan Program Manajemen Pengetahuan
(Knowledge Management) (PERMENPAN RB No. 14/2011)
Mekanisme Persetujuan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi dan
Tunjangan Kinerja Bagi K/L (PERMENPAN RB No. 15/2011).
Dalam mempercepat program reformasi birokrasi maka pemerintah
menetapkan suatu kebijakan yang disebut 9 program percepatan reformasi
birokrasi yaitu :
a. Penataan organisasi/birokrasi
b. Penataan kualitas dan distribusi PNS
c. Sistem promosi dan seleksi secara terbuka
d. Profesionalisasi PNS
e. Pengembangan sistem e-government
f. Debirokratisasi dan deregulasi izin usaha
g. Peningkatan akuntabilitas dan tranparansi
h. Penataan remunerasi
i. Efisiensi penggunaan fasilitas, sarana dan prasarana
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
19
Albrow, Martin, 2004, Birokrasi, Yogyakarta : Tiara Wacana
Dwiyanto, Agus, 2011, Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Effendi, Sofian, 2010, Reformasi Tata Kepemerintahan, Yogyakarta : UGM Press
Henry, Nicholas, 1995, Administrasi Negara dan Masalah-Masalah Publik, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Hyneman, Charles S. 1950, Bureucracy in a Democracy, New York ; Harper and
Brothers Publishers.
Ndraha, Talizuduhu, 2003, Kybernologi (ilmu pemerintahan baru), Jakarta : Rineka Cipta.
Osborne, David dan Gaebler Ted, 1996, Mewirausahakan Birokrasi, Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo.
Osborne, David dan Plastrik, Peter, 2004, Memangkas Birokrasi : Lima Strategi
Menjadi Pemerintahan Wirausaha, Jakarta : Penerbit PPM
Pasolong, Harbani, 2008, Teori Administrasi Publik, Bandung : Afbeta
Prasojo, Eko, 2009, Reformasi Kedua, Melanjutkan Estafet Reformasi, Jakarta : Penerbit Salemba Humanika.
Rewansyah, Asnawi, 2010, Reformasi Birokrasi Dalam Rangka Good Governance, Jakarta : Yusaintanas Prima.
Rourke, Francis E, 1922, Bureucracy, Polities, and Public Policy, Toronto : Little Brown and Company .
Santosa, Pandji, 2008, Administrasi Publik Teori dan Aplikasi Good Governance, Bandung : Refika Aditama.
Thoha, Miftah, 2008, Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Jakarta : Kencana.
Tjokromidjojo, Bintoro, 1974, Pengantar Administrasi Pembangunan, Jakarta : LP3ES.
Utomo, Warsito, 2006, Administrasi Publik Baru Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
20
Wibawa, Samodra, 2012, Mengelola Negara, Panduan Untuk Bupati, Gubernur dan Presiden, Yogyakarta : Penerbit Gava Media.
Website :
www.menpan.go.id
www.elib.pdii.lipi.go.id
21