Post on 13-Aug-2015
description
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Apabila dikaji secara mendalam tentang aliran-aliran dalam Islam,
maka akan ditemukan aliran Syi’ah. Aliran ini timbul akibat gejolak
politik antara Ali ibn Abi Tholib dan Mu’awiyah ibn Abu Sufyan. Dalam
Syi’ah terdapat Sekte Imamiyah yang menjadi embrio timbulnya sekte
Ithan Ashar dan sekte Imam Sab’ah atau yang lebih dikenal dengan sekte
Isma’iliyah. Sekte Isma’iliyah mempunyai beberapa aliran salah satunya
aliran Fatimiyah.
Dalam perkembangan sejarahnya, aliran Syi’ah selalu menjadi
golongan marginal, baik pada masa Daulah Umaiyah maupun Daulah
Abbasiyah, walaupun tatkala Daulah Abbasiyah berjuang dan berhasil
mengambil alih kekuasaan dari Bani Umaiyah yang mempunyai andil
besar. Baru tahun 172 H/789 M. berdiri Dinasti Idrisiyah yang didirikan
oleh Muhammad ibn Idris ibn Abdillah di Maroko. Dinasti Idrisiyah
berkuasa sampai tahun 314 H/926 M.
Kondisi marginalistik ini membangkitkan aliran Syi’ah dari sekte
Isma’iliyah. Gerakan Isma’iliyah ini dipelopori oleh Abdullah ibn Ismail
bersifat gerakan bawah tanah (rahasia). Hal ini disebabkan antara lain
sikap khalifah Harun al Rasyid yang ingin menangkapnya karena dituduh
ingin merebut kekuasaannya. Gerakan ini dimulai dengan gerakan dakwah
(propaganda). Doktrin yang didakwahkan antara lain bahwa Abdullah
yang berhak menduduki al Mahdi (juru selamat bagi manusia),
menebalkan seorang khalifah (imam) untuk gerakan itu, menuntut
berlangsungnya suatu revolusi sosial, membangun sistem filsafat yang
berdasarkan sebuah agama baru. Penyebaran doktrin ini dilaksanakan oleh
da’I dengan jaringan yang terorganisir secara rapi, sehingga gerakan
Isma’iliyah ini merasa aman dan dirasakan cukup efektif, yang pada waktu
singkat (sekitar 6 tahun) sudah meliputi Yaman, Bahrain, Sind, India,
Mesir dan Afrika Utara.
1
Dengan menjunjung tinggi akhlak al karimah dan sifat keramah
tamahan, Abdullah segera mendapat dukungan dikalangan masyarakat
luas, termasuk para pembesar kerajaan tidak kurang dari sepuluh orang
sudah menganut faham Syi’ah. Pada saat itu, Afrika Utara dikuasai oleh
Dinasti Aqhlabiyah. Dengan dikuasainya Afrika Utara, kemudian
diumumkan terbentuknya Dinasti Fathimiyah dan Abdullah sebagai
amirnya dengan gelar Abdullah Al Mahdi.
Setelah menjadi amir, Abdullah Al Mahdi mengadakan reformasi
kedalam, yaitu merubah sistem perpajakan yang sangat memberatkan dan
meresahkan orang Barbar. Hal ini dilakukan kareena andil orang Barbar
sangat besar. Reformasi keluar adalah memperkuat angkatan laut untuk
mengembangkan ekspansi militer, seperti Genao, Sicilia dan Mesir. Berkat
angkatan laut yang kuat, daerah perdaerah dapat ditaklukkan, termasuk
Mesir. Dalam tulisan ini akan dibahas tentang terbentuknya Dinasti
Fathimiyah, perkembangan, kemajuan dan kehancurannya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses terbentuknya Dinasti Fathimiyah?
2. Bagaimana perkembangan Dinasti Fathimiyah di Mesir?
3. Bagaimana masa kejayaan Dinasti Fathimiyah di Mesir?
4. Bagaimana kehancuran Dinasti Fathimiyah di Mesir?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui proses terbentuknya Dinasti Fathimiyah
2. Untuk mengetahui perkembangan Dinasti Fathimiyah di Mesir
3. Untuk mengetahui masa kejayaan Dinasti Fathimiyah di Mesir
4. Untuk mengetahui kehancuran Dinasti Fathimiyah di Mesir
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Terbentuknya Dinasti Fathimiyah di Mesir
Dinasti Fathimiyah berdiri menjelang abad ke-10 ketika kekuasaan
dinasti Abbasiyah di Baghdad mulai melemah dan daerah kekuasaannya
yang luas tidak lagi terkoordinasikan. Dinasti ini mengklaim sebagai
keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti
Rasulullah. Menurut mereka, Abdullah al Mahdi sebagai pendiri dinasti ini
merupakan cucu Ismail bin Ja’far Ash-Shadiq. Sedangkan Ismail
merupakan Imam Syi’ah yang ketujuh.
Setelah Imam Ja’far Ash-shadiq wafat, syi’ah terpecah menjadi dua
cabang. Cabang pertama meyakini Musa Al-Kazim sebagai imam ketujuh
pengganti imam ja’far, sedang sebuah cabang lainnya mempercayai Ismail
bin Muhammad Al-Maktum sebagai imam syi’ah ketujuh. Cabang syi’ah
kedua dinamai syi’ah Ismailiyah. Syi’ah Ismailiyah tidak menampakkan
gerakannya secara jelas sehingga muncullah Abdullah Maimun yang
membentuk syi’ah Ismailiyah sebagai sebuah sistem gerakan politik
keagamaan. Ia berjuang mengorganisir propaganda syi’ah ismailiyah
dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fatimiyah. Secara rahasia ia
mengirimkan misionari ke segala penjuru wilayah muslim untuk
menyebarkan ajaran syi’ah Ismailiyah. Kegiatan ini menjadi latar belakang
berdirinya Dinasti Fathimiyah di Afrika dan kemuduan berpindah ke
Mesir.
Sebelum Abdullah Maimum wafat pada tahun 874 M, ia
menunjukkan pengikutnya yang paling bersemangat yakni Abdullah Al-
Husain sebagai pemimpin Syi’ah Ismailiyah. Ia adalah orang yaman asli,
sampai dengan abad kesembilan ia mengklaim diri sebagai wakil Al-
Mahdi. Ia, menyeberang ke Afrika Utara, dan berkat propogandanya yang
bersemangat ia berhasil menarik simpatisan suku Barbar. Khusus dari
kalangan khitamah menjadi pengikut setia gerakan ahli bait ini. Pada saat
3
itu penguasa Afrika Utara, yakni Ibrahim bin Muhammad, berusaha
menekan gerakan Ismailiyah ini, namun usahanya sia-sia. Ziyadatullah
putranya dan pengganti Ibrahim bin Muhammad tidak tidak berhasil
menekan gerakan ini.
Setelah berhasil menegakkan pengaruh di Afrika Utara, Abu
Abdullah Al-Husain menulis surat kepada Imama Ismailiyah, yakni sa’id
bin Husain As-salamiyah agar segera berangkat ke Afrika Utara untuk
mengganti kedudukannya sebagai pimpinan tertinggi gerakan Ismailiyah.
Sa’id mengabulkan undangan tersebut, dan ia memproklamirkan dirinya
sebagai putra Muhammad Al-Habib, seorang cucu imam Ismail. Setelah
berhasil merebut kekuasaan Ziyadatullah, iamemproklamirkan dirinya
sebagai pimpinan tertinggi gerakan Islamiliyah. Selanjutnya gerakan ini
berhasil menduduki Tunis, pusat pemerintahan dinasti Aghlabiyah, pada
tahun 909 M, dan sekaligus mengusir penguasa Aghlabiyah yang terakhir,
yakni Zyadatullah Sa’id kemudian memproklamirkan diri sebagai imam
dengan gelar “Ubaidullah Al-Mahdi”. Dengan demikian, terbentuklah
pemerintahan khalifah pertamanya. Adapun para Penguasa Dinasti
Fathimiyah adalah:
1. Al-Mahdi (909-934 M)
2. Al-Qa’im (934-949 M)
3. Mu’iz Lidinillah (965-975 M)
4. Al Aziz (975-996 M)
5. Al-Hakim (996-1021 M)
6. Az-Zahir (1021-1036 M)
7. Al-Mutansir (1036-1095 M)
8. Al-Musta’li (1095-1101 M)
Dinasti ini mengalami puncak kejayaan pada masa kepemimpinan
Al-Aziz. Kebudayaan Islam berkembang pesat pada masa Dinasti
Fathimiyah, yang ditandai dengan berdirinya Masjid Al-Azhar. Masjid ini
berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan ilmu pengetahuan. Dinasti
Fathimiyah berakhir setelah Al-Adid, khalifah terakhir Dinasti fathimiyah
4
menggunakan kesempatan tersebut dengan mengakui kekuasaan khalifah
Abbasiyah, Al-Mustahdi. Peninggalan dinasti ini meliputi antara lain
Masjid Al-Azhar yang sekarang terkenal dengan Universitas Al-Azhar,
Bab Al-futuh (Benteng Futuh), dan Masjid Al-ahmar di Cairo, Mesir.
B. Perkembangan Dinasti Fatimiyah di Mesir
Masa perkembangan ini dimulai pada tahun 358 H/969 M sampai
pada tahun 362 H/973 M. perkembangan dibidang social, para pemimpin
Fatimiyah tidak membedakan antara suku, etnis dan agama. Keadaan ini
membawa kondisi yang selalu terbina, terpelihara dan tenteram. Dibidang
poitik, mulai al Mu’iz Lidinillah memanggil dirinya dengan sebutan al
Kholif, bukan lagi amir. Hal ini menandakan bahwa kedudukan
pemerintahan dinasti Fatimiyah telah sejajar dengan kedudukan
pemerintah di Bagdad. Dan juga pada tanggal 17 Sya’ban 308 H/969 M
telah diletakkan batu pertama oleh Jauhar al Saqly untuk membangun kota
Kairo yang dipersiapkan menjadi ibu kota. Dalam bidang pendidikan dan
agama mulai dilaksanakan pembangunan masjid al Azhar yang akan
digunakan untuk pusat shalat dan dakwah.
Untuk ekspansi wilayah, setelah Mesir dikuasai, diarahkan ke
wilayah Timur, dari Afrika menuju Asia Barat yang meliputi Mekah,
Madinah, Damaskus, Yaman, Libanon, Paestina dan al Aqsa.
C. Masa Kejayaan Dinasti Fatimiyah
Setelah Mesir dikuasai selama empat tahun (969-973 M), dinasti
Fatimiyah telah mengalami masa kejayaan yang ditandai dengan
berpindahnya pusat pemerintahan ke Kairo pada tahun 973 M/362 H.
Farhad Daftary melukiskan sebagai “the Fatimid period is one the
documented periods in Islamic history”. Zaman kejayaan ini ditandai
dengan berbagai kemajuan diberbagai bidang antara lain:
1. Kemajuan bidang ilmu pengetahuan
Pada masa ini ulama membagi ilmu pengetahuan kepada dua
macam:
5
a. Ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an Al-Karim
b. Ilmu pengetahuan yang bukan bersumber dari Arab
Ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an disebut dengan ilmu
naqliyah atau Syar’iyyah sedang untuk kategori yang kedua disebut
dengan ilmu ‘aqliyah atau hukmiyah, kadang disebut juga dengan ilmu
‘azam.
Adapun yang termasuk ilmu Naqliyyah adalah: Ilmu tafsir, qiraat,
Ilmu Hadits, fikih, ilmu kalam, nahwu, lughah, Al-bayan dan adab.
Sedangkan yang termasuk ilmu aqliyyah adalah: filsafat, arrsitektur,
ilmu nujum, music, kedokteran, sihir, kimia, matematika, sejarah, dan
geografi.
Bahasa dan Sastra
Diantara ulama yang terkenal pada masa ini adalah Abu Tohir
An-Nahwi, Abu Ya’qub yusuf bin Ya’qub, abu Hasan ali bin Ibrahim
yang telah mengarang beberapa buku sastra dan belum sempat
diterjemahkan bukunya tersebut oleh Ibn Khalikan. Ia memiliki
perpustakaan yang sangat luas berisi karya-karya Maimonides, Galen,
Hippocrates dan Averroes yang mana terjual dalam suatu lelang.
Kedokteran
Dinasti Fathimiyah memberikan perhatian yang sangat besar pada
keahlian kedokteran. Dinasti ini menempatkan posisi dokter ditempat
yang tinggi dengan memberikan penghargaan berupa uang dan
kedudukan yang terhormat. Lazimnya para dokter ini menguasai pula
ilmu filsafat serta bahasa asing khususnya bahasa Suryani dan Yunani
selain penguasaannya terhadap ilmu kedokteran. Diantara dokter itu
adalah: Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Said An-Namimi
yang bertempat tinggal di Baitul Maqdis dan banyak belajar ilmu
kedokteran dari seorang pendeta, kemudian banyak menimba ilmu
dari ulama di Negara lain, sehingga mampu meracik obat sendiri.
6
Tokoh kedokteran lain yang terkenal adalah Musa bin al-Azzar
yang lidinillah. Demikian pula Abu Hasan Ali al-Ridwan yang
menjadi dokter khalifah al-Aziz. Selain ilmu di atas masih terdapat
banyak ilmu yang berkembang pada masa ini seperti matematika, ilmu
falak, sejarah dan lain-lain.
Syair
Para penyair pada masa ini melakukan pujian-pujian terhadap
khalifah dengan menghina syair-syair ahli Sunnah, dengan pekerjaan
ini mereka mendapat banyak imbalan dari khalifah diantara penyair
adalah Ibnu Hani’. Para penyair ini bersama para khalifah mencoba
menyebarkan doktrin Syi’ah Ismailiyah melalui pantun dan syair.
Setelah melewati masa kecilnya di Sicilia ia melakukan rihlah ilmiah
hingga bertemu dengan Ja’far dan Yahya bin Ali bin Ahmad bin
Hamdan al-Andalusi melalui keduanya ia dapat berkenalan dengan
khalifah al-Mu’idz dan mengantarnya menjadi penyair istana. Selain
Ibnu Hani, adalah Abu Abdullah Muhammad bin Abi al-Jara’ penyair
yang hidup pada masa Khalifah al-Aziz. Secara umum para penyair
menyenandungkan pujian akan kehebatan mazhab syiah dan
kebesaran serta kejayaan kepemimpinan khalifah mereka.
Filsafat
Tokoh filsafat yang terkenal pada Dinasti Fathimiyah ini adalah
yang disebut dengan Ikhwan al-Shafa. Sementara itu filsuf yang
terkenal pada masa ini adalah:
Abu Hatim al-Razi (322 H) yang menjadi tokoh pada masa
khalifah Ubaidillah al-Mahdi merupakan orang yang dalam bidang
sastra, filsafat. Ia merupakan tokoh propagandis di wilayah Rayy.
Pengaruh propagandanya sangat besar yang dilakukannya di
madrasah-madrasah yang dibangun oleh Ubaidillah al-Mahdi yang
berada di afrika Utara. Filsuf yang lain adalah:
Abu Ubaidillah an-Nasfi (331 H)
7
Abu Ya’qub as-Sajazy (331 H)
Abu Hanifah an-Nu’man al-Maghriby (363/973-974 M)
karyanya:
Al-Da’ai’mu al-Islam fi dzikri al-Halal wa al-Haram,
Wa al-Qadhaya wa al-hakam,
Mukhtashar al-Atsar,
Kitab al-Buyu’,
Kitab Thaharah,
Kaifiyyatu al-Salat,
Minhaj al-Faridh
Ja’far bin Mansyur al-Yaman karyanya:
Ta’wil al-Zakat,
Sararir al-Nutqa’u,
Al-Syawahid wa al-Bayan,
Al-Kasyfu,
Al-Jafru al-aswad,
Al-Faraidh wa al-Hudud al-Diin,
Al-Muayyid fi al-Diin Hibatullah Al-Syairazy.
Khalifah Fathimiyah juga mendirikan sejumlah sekolah dan
perguruan, mendirikan perpustakaan umum dan lembaga ilmu
pengetahuan. Dar Al-Hikmah merupakan prakarsa terbesar untuk
pembangunan ilmu pengetahuan, sekalipun pada awalnya lembaga ini
dimaksudkan sebagai sarana penyebaran dan pengembangan ajaran
syi’ah Ismailiyah. Lembaga ini didirikan oleh Khalifah Al-Hakim
pada taun 1005 M. Al-Hakim juga besar minatnya dalam penelitian
astronomi. Oleh karena itu, ia mendirikan lebaga observasi di bukit
Al-Makattam. Lembaga observasi seperti ini juga didirikan dia
beberapa tempat lain.
Para khalifh Fathimiyah pada umumnya juga mencintai berbagai
seni termaksud seni arsitektur. Mereka memperindah ibu kota dan
kota-kota lainnya dengan berbagai bangunan megah. Masjid agung
Al-Azhar dan masjid Al-Hakim menandai kemajuan arsitektur zaman
8
Fathimiyah. Khalifah juga mendatangkan sejumlah arsirtek Romawi
untuk membantu menyelesaiakan tiga buah gerbang raksasa diKairo,
dan benteng-benteng di wilayah perbatasan Bizantium. Semua ini
merupakan sebagian dari peninggalan sejarah pemerintahan Syi’ah di
Mesir.
Lembaga-lembaga pendidikan dinasti fatimiyah di Mesir
Diantara lembaga-lembaga pendidikan pada Dinasti
Fathimiyah antara lain:
1. Masjid dan Istana
Diceritakan salah seorang wasir Dinasti ini Ya’qub Bin
Yusuf Ibn Killis sangat mencintai ilmu pengetahuan dan seni,
sehingga setiap hari kamis ia selalu membacakan karangannya di
depan masyarakat. Perkumpulan ini dihadiri oleh para hakim,
fuqaha, ahli qiraat dan nahwu serta tokoh Hadits. Setelah ia
selesai membacakan karangannya, maka para ahli syair akan
memujinya dengan pantun dan lagu.
Khalifah juga mengumpulkan para penulis di istana untuk
menyalin buku-buku seperti: Al-Qur’an, Hadits, Fikih, sastra
hingga ilmu kedokteran. Ia memberikan penghargaan khusus bagi
para ilmuwan ini dan menugaskan mereka untuk menjadi imam di
Masjid istana juga. Begitu tingginya perhatian pemerintah
terhadap ilmu pengetahuan hingga kebutuhan untuk penyalin
nafkah tersebut pun tersedia, seperti: tinta dan kertas.
Pada masa dinasti ini, Masjid juga menjadi tempat
berkumpulnya ulama fikih khususnya ulama yang menganut
mazhab Syi’ah Ismailiyah juga para wazir dan hakim. Mereka
berkumpul membuat buku tentang mazhab Syi’’ah Ismailiyah
yang akan diajarkan kepada masyarakat. Diantara tokoh yang
membuat buku itu antara lain Ya’qub Ibn Killis. Fungsi para
hakim dalam perkumpulan ini adalah untuk memutuskan perkara
yang timbul dalam proses pembelajaran mazhab Syi’ah tersebut.
9
Dengan demikian tampak jelas lembaga-lembaga ini menjadi
sarana bagi penyebaran ideology mereka. Hal senada dilakukan
pada madrasah-madrasah Nizhamiyah, seperti yang tertera dalam
dokumen sifat-sifat madrasah dapat disimpulkan beberapa hal:
a. Bahwa madrasah Nizhamiyah, lengkap dengan harta
wakaf dan penghasilan yang diperoleh dari pengelolaan
harta tersebut, adalah untuk kepentingan satu kelompok
tertentu, yakni penganut mazhab Syafi’i.
b. Bahwa tiga dari lima jabatan (Mudarris, Wa’idh, dan
pustakawan) harus dijabat oleh orang-orang yang
bermazhab Syi’ah.
Meskipun dokumen pendirian madrasah tidak
mensyaratkan bahwa nahwi dan Muq’ri harus bermashab Syafi’I
dalam praktik Nizham al-Mulk tetap mengangkat orang-orang
dari mazhab ini untuk kedua jabatan tersebut. Tetapi ternyata
lembaga pengembangan intelektual dalam hal ini madrasah pada
masa klasik tidak hanya dijadikan sebagai sarana penyebaran satu
mazhab saja sebagaimana yang dilakukan pada Dinasti
Fathimiyah juga Abbasiyah pada masa Nizham al-Mulk.
Berbeda dari keduanya Madrasah Al-Mustanshiriyyah pada
masa khalifah Al-Mustanshir dari Dinasti Abbasiyah, madrasah
dijadikan sarana penyebaran bagi empat mazhab karenanya ia
memberikan empat ruang untuk masing-masing mazhab dengan
fasilitas dan dukungan yang sama. Dukungan fasilitas terhadap
sekolah-sekolah ini adalah lepas dari persaingan antarmazhab
karena semakin meningkatnya jumlah sekolah akan semakin
besar sokongan dan dukungan dana bagi fasilitas madrasah,
berikut sekolah tinggi mazhab Syi’ah dan Sunni di Islam Timur
(Merebak kira-kira 1050 sampai 1250).
10
2. Perpustakaan
Perpustakaan juga memiliki peran yang tidak kecil
dibandingkan masjid dalam penyebaran akidah Syi’ah
Ismailiyyah di masyarakat. Untuk itu para khalifah dan wazir
memperbanyak pengadaan berbagai buku ilmu pengetahuan
sehingga perpustakaan istana menjadi perpustakaan yang terbesar
pada masa itu. Perpustakaan yang ebsar yang dimiliki Dinasti
Fathimiyah ini diberi nama “Dar al ‘Ulum” yang masih memiliki
keterkaitan dengan perpustakaan “Baital Hikmah”
(Perpustakaan Dinasti Abbasiyah). Perpustakaan ini
didirikan pada tahun 998 M oleh Khalifah Fathimiyah al-Aziz
(975-996 M). Berisi tidak kurang dari 100.000 volume, boleh jadi
sebanyak 600.000 jilid buku, termasuk 2.400 buah Al-Qur’an
berhiaskan emas dan perak dan disimpan diruang terpisah.
Begitu besarnya pengaruh buku-buku yang diterjemahkan
bagi penyebaran mazhab dinasti ini maka Ya’qub bin Yusuf bin
Killis atas salah satu jasa Khalifah Fhatimiyah di Kairo serta
didorong oleh cendekiawan Muslim, mepekerjakan banyak
penyalin buku untuk membuat salinan buku-buku tentang
undang-undang, kedokteran, dan pengetahuan ilmiah. Ia
menghabiskan 1.000 dinar emas setiap bulan untuk dana bagi
cendekiawan dan gaji para penyalin serta tukang jilid.
Dukungan bagi perkembangan penerjemahan tidak hanya
dilakukan oleh pemerintah tetapi tokoh-tokoh kaya dapat
menyediakan tinta, kertas dan meja-meja serta ruangan bagi para
ilmuwan untuk belajar. Pada masa ini, ilmuwan yang kekurangan
biaya menerima pesangon untuk kehidupannya selama studi.
Dalam kondisi yang sangat kondusif ini maka bukan suatu
kemustahilan bagi berkembangnya ilmu pengetahuan pada masa
ini.
Begitu giatnya usaha penerjemahan buku ilmiah dan
propaganda mazhab yang didukung oleh pemerintah
11
tergambarkan sebagaimana yang diriwayatkan dari al-Maqrizy
sesungguhnya di istana terdapat 40 lemari di mana setiap lemari
memiliki 18.000 volume buku. Dan perpustakaan ini sebagaimana
dikatakan Abi Syamah sebagai salah satu keajaiban duniia di
dalamnya juga dinyatakan terdapat sebanyak 1.220 naskah dari
Tarikh Thabari.
Para sejarawan berbeda pendapat mengenai banyaknya
jumlah buku yang terdapat dalam istana. Namun diperkirakan
jumlah buku yang ada tidak kurang dari 600.000 volume. Hal ini
dibuktikan ketika wafatnya wazir Afdhal bin Amir.
Al-Juyusyi dan kekhalifahan digantikan oleh khalifah al-
Amir, ia memindahkan sebanyak 500.000 jilid buku dari istana ke
perpustakaannya sendiri.
Al-Maqrizy mengomentari perampasan buku yang
dilakukan oleh menteri Abu Faraj pada tahun 1068 M dari Wazir
Afdhal bin Amir sebagai berikut:
“Aku sedang berada di Mesir ketika menyaksikan 25 ekor unta
mengangkut buku-buku ke istana Perdana Menteri Wazir Abi
Faraj Muhammad bin Ja’far al-Maghriby. Aku bertanya
kepadanya akan hal ini, sehingga aku athu bahwa buku-buku itu
diambilnya dari istana al-Khatir bin Muwaffiq al-Din (gelar wazir
al-Fadhil).
Sayangnya beberapa bulan kemudian, buku-buku tersebut
semuanya dibakar oleh tentara Turki setelah menaklukkan
khalifah dan menjarah istananya. Manuskrip-manuskrip tersebut
akhirnya ditimbun dalam sebuah tumpukan dan dibakar dekat
Abyar, yang mana kemudian menjadi terkenal sebagai “Hill of the
Books”. Memerlukan waktu satu abad lebih untuk merestorasi
akibat dari kebakaran tersebut. Diantara penerjemah abad
kesembilan dan kesepuluh pada masa ini adalah:
Zurbah Ibn Majuh an-Na’ami al-Himsi
Halal Ibn Abi Halal al-Himsi
12
Abu al-Fath Isfahani
Fethun at-Tarjuman
Abu Asrawi
Ibnu Ayyub
Basil al-Mutran
Abu Yusuf al-Katib
Abu Umar Yuhanna ibnu Yusuf
Salam al-Abrash
3. Dar al-‘Ilm
Pada bulan Jumadil Akhir tahun 395 H/1005 M atas saran
perdana menterinya Ya’qub bin Killis, Khalifah al-Hakim
mendirikan Jamiah Ilmiyah akademi (lembaga riset) seperti
akademi-akademi lain yang ada di Baghdad dan dibelahan dunia
lain. Lembaga ini kemudian diberi nama Dar al Hikmah. Di
sinilah berkumpul para ahli fikih, astronom, dokter dan ahli
nahwu dan bahasa untuk mengadakan penelitian ilmiah. Al-
Maqrizy mengatakan tentang hal ini.
Pada hari kedelapan saat Jumadil Tsani 309 H, bangunan
yang disebut Rumah Kebijaksanaan (Bait al-Hikmah) telah
dibuka. Para mahasiswa mengambil tempat mereka. Buku-buku
dipinjam dari perpustakaan-perpustakaan di istana yang dijaga-
tempat tinggal khalifah Fathimiyah-dan masyarakat pun diizinkan
memasukinya. Siapa pun bebas menyalin beberapa buku yang
diinginkan, atau siapa pun yang ingin membaca buku tertentu
dapat dilakukan di perpustakaan itu. Di perpustakaan ini para
pelajar dapat mempelajari Fikih Syi’ah, ilmu bahasa, ilmu falak,
kedokteran, matematika, falsafah serta mantik.
Para cendekiawan belajar Al-Qur’an, astronomi, tata
bahasa, leksikografi dan ilmu kedokteran. Gedung tersebut juga
diperindah dengan karpet, dan pada semua pintu dan koridor
terdapat tirai. Untuk perawatannya ditugaskan manajer, pelayan,
13
penjaga, dan pekerja kasar lainnya. Al-Hakim memberikan hak
masuk bagi setiap orang tanpa perbedaan tingkat, siapa yang ingin
membaca dan menyalin buku.
Pada tahun 403 H khalifah al-Hakim mulai mengadakan
majelis ilmu rutin yang dihadiri oleh para ahli kesehatan, mantik,
fikih, kedokteran dan bersam-sama mengkaji berbagai masalah.
Demikianlah al-Hakim sebagai khalifah terpelajar
memfasilitasi segala yang berhubungan dengan perkembangan
intelektual pada masa pemerintahannya. Tetapi dalam sejarahnya
Dar al-Hikmah ini yang terkenal sebagai pusat pendidikan pernah
ditutp oleh Sultan al-Malik al-Afdhal dikarenakan terdapat dua
orang ilmjwan tamu yang mengajarkan perkuliahan mengenai
ajaran-ajaran yang menyeleweng (heretic) pada bagian-bagian
tertentu.
2. Kemajuan di Bidang Ekonomi
Terbukti adanya bangunan-bangunan seperti masjid dan
universitas, juga rumah sakit, jalan protokoler yang dilengkapi dengan
lampu gemerlapan dan dibangunnya pusat pembelanjaan yang
jumlahnya lebih dari 20.000 buah, kemajuan perekonomian juga dapat
dilihat dari segi kemajuan peralatan rumah tangga dan alat dapur yang
terbuat dari emas dan perak.
3. Kemajuan di Bidang Politik
Politik Dalam Negeri Dinasti Fatimiyah
Politik dalam negeri dinasti ini hanya memiliki satu tujuan yaitu
berusaha mengajak masyarakat untuk memeluk mazhab Syi’ah
Islailiyah dan menjadikan mazhab ini sebagai mazhab utama di
Negara Mesir dan wilayah negeri yang berada di bawahnya. Untuk hal
ini, Khalifah al-Aziz sangat menunjukkan sikap yang baik terhadap
orang Yahudi dan Nasrani sebagaimana ayahnya. Ia juga menikahi
14
perempuan Nasrani dan untuk itu ia bertoleransi dalam pemberian
gereja di wilayahnya. Al-Aziz juga mengangkat Isa Bin Nestoris
kedalam pemerintahannya. Sementara itu beliau juga menjadikan
Minassa al-Yahudi sebagai wali di Syam.
Adapun politik Fathimiyah kepada kelompok ahli sunnah antara
lain dengan apa yang dilakukan Khalifah al-Aziz pada bulan Safar
tahun 357 H/995 M. ia memerintahkan menuliskan kalimat
penghinaan kepada sahabat (Abu Bakar, Umar, dan Utsman)
disepanjang tembok masjid Atiq dan kantin-kantin serta kuburan.
Fanatisme mazhab Fathimiyah ini meningkat pada masa Khalifah al-
Hakim.
Politik Luar Negeri Dinasti Fathimiyah
Tidak diragukan berdirinya Dinasti Fathimiyah di Afrika
memberikan nuansa kekhawatiran kepada Dinasti Abbasiyah
dikarenakan penguasaan mereka atas wilayah ini akan menaikkan
derajat Fathimiyah diwilayah Mesir, Syam, Palestina, dan Hejaz.
Penguasaan atas wilayah ini pula akan sangat memudahkan dalam
menguasai wilayah Baghdad pada masa itu. Karena itu Khalifah
Abbasiyah memancing Dinasti Buwaihi untuk memerangi Dinasti
Fathimiyah yang pada akhirnya terjadi penerangan antara Buwaihi dan
Fathimiyah.
4. Kemajuan Bidang Administrasi dan Militer
Periode Dinasti Fathimiyah menandai era baru sejarah bangsa
Mesir. Sebagai khalifah dinasti ini adalah pejuang dan penguasa besar
yang berhasil menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran di Mesir.
Administrasi kepemerintahan Dinasti Fathimiyah secar garis
besar tidak berbeda dengan administrasi Dinasti Abbasiyah, sekalipun
pada masa ini muncul beberapa jabatan yang berbeda. Khalifah
15
menjabat sebagai kepala negara baik dalam urusan keduniaan maupun
spiritual. Khalifah berwenang mengangkat dan sekaligus
menghentikan jabatan-jabatan dibawahnya.
Kementrian negara (Wasir) terbagi menjadi dua kelompok ;
pertama adalah para ahli pedagang dan kedua adalah para ahli pena.
Kelompok pertama menduduki urusan militer dan keamanan serta
pengawal pribadi sang khalifah. Sedangkan kelompok kedua
menduduki beberapa jabatan kementerian sebagai berikut: (1) Hakim,
(2) Pejabat pendidikan sekaligus sebagai pengelola lembaga ilmu
pengetahuan atau Dar Al-Hikmah, (3) Inspektur pasar yang bertugas
menertibkan pasar dan jalan, (4) Pejabat keuangan yang menangani
segala urusan keuangan negara, (5) Regu pembantu istana, (6) petugas
pembaca Alquran. Tingkat terendah kelompok “ahli pena” terdiri atas
kelompok pegawai negeri, yaitu petugas penjaga dan juru tulis dalam
berbagai departemen.
Adapun di luar jabatan istana di atas, terdapat berbagai jabatan
tingkat daerah yang meliputi tiga daerah, yaitu Mesir, Siria dan
daerah-daerah di Asia kecil. Khusus untuk daerah Mesir wilayah
timur, Mesir wilayah barat, dan wilayah Alexandria. Segala
permasalahan yang berkaitan dengan daerah didpercayakan kepada
kepemimpinan setempat.
Dalam bidang kemiliteran terdapat tiga jabatan pokok, yaitu (1)
Amir yang terdiri pejabat-pejabat tinggi militer dan pegawai khalifah,
(2) petugas keamanan, dan (3) berbagai resimen. Pusat-pusat armada
laut dibangun di Alexandria, Damika, Ascaton, dan di beberapa
pelabuhan Syiria. Masing-masing dikepalai seorang Admiral tinggi.
Dan dalam bidang militer pelaksanaannya dapat diklasifikasi kedalam
tiga tingkatan yaitu:
a. Amirs (pegawai tinggi dan khalifah)
b. Officer of the guard (pegawai biasa termasuk ilmuan)
16
c. The different regment (pegawai yang bertugas membawa
nama-nama, seperti Hafiziyah, Sundaniyah dan sebagainya)
5. Perkembangan dibidang Arsitektur dan Seni
Para khalifah Fatimiyah mengalir darah seni. Ketertarikannya
terhadap bidang arsitektur dan seni terlihat dengan adanya gedung dan
bangunan yang mempunyai nilai seni yang tinggi. Diantaranya adalah
masjid-masjid seperti al-azhar, masjid al Hakim ibn Amrillah, masjid
al Aqmar dan masjid al Sholeh Thole.
6. Kondisi Sosial
Mayoritas khalifah Fathimiyah bersikap moderat dan penuh
perhatian kepada urusan agama nonmuslim. Selama masa ini pemeluk
Kristen Mesir diperlukan secara bijaksana, hanya Khalifah Al-Hakim
yang bersikap agak keras terhadap mereka. Orang-orang Kristen Kopti
dan Armenia tidak pernah merasalan kemurahan dan keramahan
melebihi sikap pemerintah muslim. Pada masa Al-Aziz bahkan
mereka lebih diuntungkan dari pada umat Islam dimana mereka
ditunjuk menduduki jabatan-jabatan tinggi istana. Demikian pula pada
masa Al-Mustansir dan seterusnya, mereka hidup penuh kedamaian
dan kemakmuran. Sebaagian besar jabatan keuangan dipegang oleh
orang-orang Kopti. Pada khalifah generasi akhir, gereja-gereja Kristen
banyak yang dipugar, pemeluk Kristen pula semakin banyak yang
diangkat sebagai pegawai pemerintahan. Demikianlah semua ini
menunjukkan kebijaksanaan penguasa Fathimiyah terhadap umat
kristiani.
Mayoritas khalifah Fathimiah berpola hidup mewah dan santai.
Al-Mustansir, menurut satu informasi, mendirikan semacam pavilium
di istananya sebagai tempat memuaskan kegemaran berfoya-foa
bersama sejumlah penari rupawan.
17
Nasir Al-Khusraw, salah seorang pengembara Ismailiah
berkebangsaan Persia, yang mengunjungi Mesir antara tahun 1046-
1049 M, meninggalkan catatan tentang kehidupan kota Kairo ibu kota
Dinasti Fathimiyah. Pada saat itu ia mendapatkan kota Kairo sebagai
kota makmur dan aman. Menurutnya, toko-toko perhiasan dan pusat-
pusat penukaran uang ditinggalkan oleh pemiliknya begitu saja tanpa
kunci, rakyat mensruh keprcayaan penuh terhadap pemerintah, jalan-
jalan raya diterangi beragam lampu. Penjaga toko menjual barang
dengan harga jual yang telah diputuskan dan jika seseorang terbukti
melanggar ketentuan harg jual akan dihukum dengan diarak di atas
unta sepanjang jalan dengan diiringi bunyi-bunyian.
Nasir Al-Khusraw menulis catatan bahwa ia menyaksikan
khalifah pada sebuah festifal tampak sangat mempesona dengan
pakaian kebesarannya. Istana khalifah dihuni 30.000 orang. Di antara
mereka terdapat 12.000orang pembantu dan 1000 orang pegawai
berkuda dan pengawal jalan kaki. Kota Kairo dihiasi dengan sejumlah
masjid, perguruan, rumah sakit, dan perkampungan khalifah. Tempat-
tempat pemandian umum yang cukup indah dapat dijumpai di
berbagai penjuru kota, baik permandian khusus laki-laki maupun
untuk perempuan. Pasar-pasar yang memuat 20.000 pertokoan padat
dengan produk-produk dunia. Nasir Al-Khusraw sangat takjub atas
kesejahteraan dan kemakmuran negeri ini, sehingga dengan sangat
menarik ia mengatakan, “saya tidak sanggup menaksir kesejahteraan
dan kemakmuran negeri ini, dan saya belum pernah melihat
kemakmuran sebagaimana yang terdapat di negeri ini”.
Dinasti fathimiyah berhasil dalam mendirikan sebuah negara
yang sangat luas dan peradaban yang berlainan semacam ini didunia
Timur. Hal ini sangat menarik perhatian karena sistem
administrasinya yang sangat baik, aktivitas artistik, luasnya toleransi
relijiusa, efisiensi angkatan perang dan angkatan laut, kejujuran
18
pengadilan, dan terutama perlindungannya terhadap ilmu pengetahuan
dan kebudayaan.
D. Kehancuran Dinasti Fathimiyah
Fase kemunduran Dinasti Fathimiyah berawal dari adanya konflik
dengan Yunani mengenai masalah Suriyah. Pada saat bersamaan muncul
pula suatu aksi salib yang akan mengancam bahkan ingin menghancurkan
Islam. Pada pertengahan abad ke 12 M. Wazir Fathimiyah menjalin kerja
sama dengan Dinasti Zingiyah dan Nuruddin dari Aleppo untuk melawan
tentara salib akan tetapi ascelon jatuh ketangan crusaders (salib). Sisi lain
Dinasti Fatimiyah sudah mengalami perpecahan yang mengakibatkan para
kholifah pada waktu itu kehilangan banyak kekuasaan.
Kekacauan sekitar masalah sukses menghilangkan anggapan
Ismailiyah transendensi imam, kenyataan bahwa fungsi imam senantiasa
mengalami pergeseran bertambah atau berkurang dari sifat ketuhanan.
Kekacauan itu memuncak ketika terjadi keretakan antara Nizariyah dan
Musta’iliyah. Kondisi keretakan ini berpengaruh terhadap stabilitas
pemerintahan kholifah. Sepeninggalan al Musta’ly digantikan oleh al Amir
sebagai penguasa di Mesir ketika masih berusia anak-anak. Sepeninggalan
al Amir Dinasti Fatimiyah di Mesir mengalami masa kehancuran pada saat
itu timbul pertentangan faham keagamaan antara kalangan penguasa
dengan mayoritas masyarakat yang menganut Sunny.
Sementara di Aleppo Nur al Din mengadakan perjanjian dengan
Bizantium dan ia ingin menaklukkan beberapa wilayah termasuk Mesir.
Untuk itu Nur al Din mengirim jendralnya ke Mesir untuk menaklukkan
wilayah itu. Karena suasana anarkis telah melanda Dinasti Fatimiyah,
maka akhirnya pada tahun 1171 M Salahuddin dengan mudah
menaklukkan dan sekaligus menghancurkan Dinasti Fatimiyah di Mesir.
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dinasti fathimiyah menganut aliran Ismailiyah dan faham Syi’ah.
Sekte Syi’ah sepanjang sejarah menjadi masyarakat marginal baik pada
masa daulah Umaiyah maupun daulah Abbasiyah. Kemarginalan ini
mendorong sekte syi’ah untuk berjuang lebih keras agar dapat
memperoleh kekuasaan.
Usaha untuk memperoleh kekuasaan disponsori oleh Abdullah al
Mahdi dari aliran Ismailiyah. Perjuangan al Mahdi yang panjang dimulai
dari pengasinannya di tanah Iran Utara. Dari sana ia mulai menghimpun
kekuatan di bawah tanah selama kurang lebih enam tahun. Kegiatan
dibawah tanah ini dijalankan melalui propaganda-propaganda (dakwah)
dengan keramah tamahan dan kebaikan hati. Propaganda ini telah menarik
simpati rakyat Afrika Utara sehingga al Mahdi dapat mengalahkan dinasti
Aghlabiyah di daerah Tunisia.
Paham Syi’ah yang dianut oleh dinasti Fatimiyah tidak dapat
dijadikan paham rakyatnya sehingga sebagian besar rakyatnya menganut
paham Sunny. Dalam perkembangan Dinasti Fatimiyah mengalami
perpecahan dalam tubuhnya sendiri sehingga tidak bisa mengantisipasi
ancaman yang datang dari luar. Kondisi yang lemah ini dimanfaatkan oleh
Salahuddin al Ayyubi untuk dapat menaklukkan Dinasti Fatimiyah.
B. Saran
Setelah membaca makalah ini, diharapkan para pembaca dapat
mengetahui proses terbentuknya Dinasti Fathimiyah, perkembangan
Dinasti Fathimiyah di Mesir, masa kejayaan Dinasti Fathimiyah di Mesir
dan bagaimana kehancuran Dinasti Fathimiyah di Mesir.
20
DAFTAR PUSTAKA
Munir Amin, Samsul. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah
Suwito, Prof. 2008. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana
Zainal Arifin. 2008. Dinasti Fatimiyah di Mesir.
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/
jurnal/12708814.pdf. Diakses pada tanggal 2 Oktober 2012 pada pukul
16:25 pm
21