BAB I

33
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Apabila dikaji secara mendalam tentang aliran-aliran dalam Islam, maka akan ditemukan aliran Syi’ah. Aliran ini timbul akibat gejolak politik antara Ali ibn Abi Tholib dan Mu’awiyah ibn Abu Sufyan. Dalam Syi’ah terdapat Sekte Imamiyah yang menjadi embrio timbulnya sekte Ithan Ashar dan sekte Imam Sab’ah atau yang lebih dikenal dengan sekte Isma’iliyah. Sekte Isma’iliyah mempunyai beberapa aliran salah satunya aliran Fatimiyah. Dalam perkembangan sejarahnya, aliran Syi’ah selalu menjadi golongan marginal, baik pada masa Daulah Umaiyah maupun Daulah Abbasiyah, walaupun tatkala Daulah Abbasiyah berjuang dan berhasil mengambil alih kekuasaan dari Bani Umaiyah yang mempunyai andil besar. Baru tahun 172 H/789 M. berdiri Dinasti Idrisiyah yang didirikan oleh Muhammad ibn Idris ibn Abdillah di Maroko. Dinasti Idrisiyah berkuasa sampai tahun 314 H/926 M. Kondisi marginalistik ini membangkitkan aliran Syi’ah dari sekte Isma’iliyah. Gerakan Isma’iliyah ini dipelopori oleh Abdullah ibn Ismail bersifat gerakan bawah tanah (rahasia). Hal 1

description

SPI

Transcript of BAB I

Page 1: BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Apabila dikaji secara mendalam tentang aliran-aliran dalam Islam,

maka akan ditemukan aliran Syi’ah. Aliran ini timbul akibat gejolak

politik antara Ali ibn Abi Tholib dan Mu’awiyah ibn Abu Sufyan. Dalam

Syi’ah terdapat Sekte Imamiyah yang menjadi embrio timbulnya sekte

Ithan Ashar dan sekte Imam Sab’ah atau yang lebih dikenal dengan sekte

Isma’iliyah. Sekte Isma’iliyah mempunyai beberapa aliran salah satunya

aliran Fatimiyah.

Dalam perkembangan sejarahnya, aliran Syi’ah selalu menjadi

golongan marginal, baik pada masa Daulah Umaiyah maupun Daulah

Abbasiyah, walaupun tatkala Daulah Abbasiyah berjuang dan berhasil

mengambil alih kekuasaan dari Bani Umaiyah yang mempunyai andil

besar. Baru tahun 172 H/789 M. berdiri Dinasti Idrisiyah yang didirikan

oleh Muhammad ibn Idris ibn Abdillah di Maroko. Dinasti Idrisiyah

berkuasa sampai tahun 314 H/926 M.

Kondisi marginalistik ini membangkitkan aliran Syi’ah dari sekte

Isma’iliyah. Gerakan Isma’iliyah ini dipelopori oleh Abdullah ibn Ismail

bersifat gerakan bawah tanah (rahasia). Hal ini disebabkan antara lain

sikap khalifah Harun al Rasyid yang ingin menangkapnya karena dituduh

ingin merebut kekuasaannya. Gerakan ini dimulai dengan gerakan dakwah

(propaganda). Doktrin yang didakwahkan antara lain bahwa Abdullah

yang berhak menduduki al Mahdi (juru selamat bagi manusia),

menebalkan seorang khalifah (imam) untuk gerakan itu, menuntut

berlangsungnya suatu revolusi sosial, membangun sistem filsafat yang

berdasarkan sebuah agama baru. Penyebaran doktrin ini dilaksanakan oleh

da’I dengan jaringan yang terorganisir secara rapi, sehingga gerakan

Isma’iliyah ini merasa aman dan dirasakan cukup efektif, yang pada waktu

singkat (sekitar 6 tahun) sudah meliputi Yaman, Bahrain, Sind, India,

Mesir dan Afrika Utara.

1

Page 2: BAB I

Dengan menjunjung tinggi akhlak al karimah dan sifat keramah

tamahan, Abdullah segera mendapat dukungan dikalangan masyarakat

luas, termasuk para pembesar kerajaan tidak kurang dari sepuluh orang

sudah menganut faham Syi’ah. Pada saat itu, Afrika Utara dikuasai oleh

Dinasti Aqhlabiyah. Dengan dikuasainya Afrika Utara, kemudian

diumumkan terbentuknya Dinasti Fathimiyah dan Abdullah sebagai

amirnya dengan gelar Abdullah Al Mahdi.

Setelah menjadi amir, Abdullah Al Mahdi mengadakan reformasi

kedalam, yaitu merubah sistem perpajakan yang sangat memberatkan dan

meresahkan orang Barbar. Hal ini dilakukan kareena andil orang Barbar

sangat besar. Reformasi keluar adalah memperkuat angkatan laut untuk

mengembangkan ekspansi militer, seperti Genao, Sicilia dan Mesir. Berkat

angkatan laut yang kuat, daerah perdaerah dapat ditaklukkan, termasuk

Mesir. Dalam tulisan ini akan dibahas tentang terbentuknya Dinasti

Fathimiyah, perkembangan, kemajuan dan kehancurannya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses terbentuknya Dinasti Fathimiyah?

2. Bagaimana perkembangan Dinasti Fathimiyah di Mesir?

3. Bagaimana masa kejayaan Dinasti Fathimiyah di Mesir?

4. Bagaimana kehancuran Dinasti Fathimiyah di Mesir?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui proses terbentuknya Dinasti Fathimiyah

2. Untuk mengetahui perkembangan Dinasti Fathimiyah di Mesir

3. Untuk mengetahui masa kejayaan Dinasti Fathimiyah di Mesir

4. Untuk mengetahui kehancuran Dinasti Fathimiyah di Mesir

2

Page 3: BAB I

BAB II

PEMBAHASAN

A. Terbentuknya Dinasti Fathimiyah di Mesir

Dinasti Fathimiyah berdiri menjelang abad ke-10 ketika kekuasaan

dinasti Abbasiyah di Baghdad mulai melemah dan daerah kekuasaannya

yang luas tidak lagi terkoordinasikan. Dinasti ini mengklaim sebagai

keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti

Rasulullah. Menurut mereka, Abdullah al Mahdi sebagai pendiri dinasti ini

merupakan cucu Ismail bin Ja’far Ash-Shadiq. Sedangkan Ismail

merupakan Imam Syi’ah yang ketujuh.

Setelah Imam Ja’far Ash-shadiq wafat, syi’ah terpecah menjadi dua

cabang. Cabang pertama meyakini Musa Al-Kazim sebagai imam ketujuh

pengganti imam ja’far, sedang sebuah cabang lainnya mempercayai Ismail

bin Muhammad Al-Maktum sebagai imam syi’ah ketujuh. Cabang syi’ah

kedua dinamai syi’ah Ismailiyah. Syi’ah Ismailiyah tidak menampakkan

gerakannya secara jelas sehingga muncullah Abdullah Maimun yang

membentuk syi’ah Ismailiyah sebagai sebuah sistem gerakan politik

keagamaan. Ia berjuang mengorganisir propaganda syi’ah ismailiyah

dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fatimiyah. Secara rahasia ia

mengirimkan misionari ke segala penjuru wilayah muslim untuk

menyebarkan ajaran syi’ah Ismailiyah. Kegiatan ini menjadi latar belakang

berdirinya Dinasti Fathimiyah di Afrika dan kemuduan berpindah ke

Mesir.

Sebelum Abdullah Maimum wafat pada tahun 874 M, ia

menunjukkan pengikutnya yang paling bersemangat yakni Abdullah Al-

Husain sebagai pemimpin Syi’ah Ismailiyah. Ia adalah orang yaman asli,

sampai dengan abad kesembilan ia mengklaim diri sebagai wakil Al-

Mahdi. Ia, menyeberang ke Afrika Utara, dan berkat propogandanya yang

bersemangat ia berhasil menarik simpatisan suku Barbar. Khusus dari

kalangan khitamah menjadi pengikut setia gerakan ahli bait ini. Pada saat

3

Page 4: BAB I

itu penguasa Afrika Utara, yakni Ibrahim bin Muhammad, berusaha

menekan gerakan Ismailiyah ini, namun usahanya sia-sia. Ziyadatullah

putranya dan pengganti Ibrahim bin Muhammad tidak tidak berhasil

menekan gerakan ini.

Setelah berhasil menegakkan pengaruh di Afrika Utara, Abu

Abdullah Al-Husain menulis surat kepada Imama Ismailiyah, yakni sa’id

bin Husain As-salamiyah agar segera berangkat ke Afrika Utara untuk

mengganti kedudukannya sebagai pimpinan tertinggi gerakan Ismailiyah.

Sa’id mengabulkan undangan tersebut, dan ia memproklamirkan dirinya

sebagai putra Muhammad Al-Habib, seorang cucu imam Ismail. Setelah

berhasil merebut kekuasaan Ziyadatullah, iamemproklamirkan dirinya

sebagai pimpinan tertinggi gerakan Islamiliyah. Selanjutnya gerakan ini

berhasil menduduki Tunis, pusat pemerintahan dinasti Aghlabiyah, pada

tahun 909 M, dan sekaligus mengusir penguasa Aghlabiyah yang terakhir,

yakni Zyadatullah Sa’id kemudian memproklamirkan diri sebagai imam

dengan gelar “Ubaidullah Al-Mahdi”. Dengan demikian, terbentuklah

pemerintahan khalifah pertamanya. Adapun para Penguasa Dinasti

Fathimiyah adalah:

1. Al-Mahdi (909-934 M)

2. Al-Qa’im (934-949 M)

3. Mu’iz Lidinillah (965-975 M)

4. Al Aziz (975-996 M)

5. Al-Hakim (996-1021 M)

6. Az-Zahir (1021-1036 M)

7. Al-Mutansir (1036-1095 M)

8. Al-Musta’li (1095-1101 M)

Dinasti ini mengalami puncak kejayaan pada masa kepemimpinan

Al-Aziz. Kebudayaan Islam berkembang pesat pada masa Dinasti

Fathimiyah, yang ditandai dengan berdirinya Masjid Al-Azhar. Masjid ini

berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan ilmu pengetahuan. Dinasti

Fathimiyah berakhir setelah Al-Adid, khalifah terakhir Dinasti fathimiyah

4

Page 5: BAB I

menggunakan kesempatan tersebut dengan mengakui kekuasaan khalifah

Abbasiyah, Al-Mustahdi. Peninggalan dinasti ini meliputi antara lain

Masjid Al-Azhar yang sekarang terkenal dengan Universitas Al-Azhar,

Bab Al-futuh (Benteng Futuh), dan Masjid Al-ahmar di Cairo, Mesir.

B. Perkembangan Dinasti Fatimiyah di Mesir

Masa perkembangan ini dimulai pada tahun 358 H/969 M sampai

pada tahun 362 H/973 M. perkembangan dibidang social, para pemimpin

Fatimiyah tidak membedakan antara suku, etnis dan agama. Keadaan ini

membawa kondisi yang selalu terbina, terpelihara dan tenteram. Dibidang

poitik, mulai al Mu’iz Lidinillah memanggil dirinya dengan sebutan al

Kholif, bukan lagi amir. Hal ini menandakan bahwa kedudukan

pemerintahan dinasti Fatimiyah telah sejajar dengan kedudukan

pemerintah di Bagdad. Dan juga pada tanggal 17 Sya’ban 308 H/969 M

telah diletakkan batu pertama oleh Jauhar al Saqly untuk membangun kota

Kairo yang dipersiapkan menjadi ibu kota. Dalam bidang pendidikan dan

agama mulai dilaksanakan pembangunan masjid al Azhar yang akan

digunakan untuk pusat shalat dan dakwah.

Untuk ekspansi wilayah, setelah Mesir dikuasai, diarahkan ke

wilayah Timur, dari Afrika menuju Asia Barat yang meliputi Mekah,

Madinah, Damaskus, Yaman, Libanon, Paestina dan al Aqsa.

C. Masa Kejayaan Dinasti Fatimiyah

Setelah Mesir dikuasai selama empat tahun (969-973 M), dinasti

Fatimiyah telah mengalami masa kejayaan yang ditandai dengan

berpindahnya pusat pemerintahan ke Kairo pada tahun 973 M/362 H.

Farhad Daftary melukiskan sebagai “the Fatimid period is one the

documented periods in Islamic history”. Zaman kejayaan ini ditandai

dengan berbagai kemajuan diberbagai bidang antara lain:

1. Kemajuan bidang ilmu pengetahuan

Pada masa ini ulama membagi ilmu pengetahuan kepada dua

macam:

5

Page 6: BAB I

a. Ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an Al-Karim

b. Ilmu pengetahuan yang bukan bersumber dari Arab

Ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an disebut dengan ilmu

naqliyah atau Syar’iyyah sedang untuk kategori yang kedua disebut

dengan ilmu ‘aqliyah atau hukmiyah, kadang disebut juga dengan ilmu

‘azam.

Adapun yang termasuk ilmu Naqliyyah adalah: Ilmu tafsir, qiraat,

Ilmu Hadits, fikih, ilmu kalam, nahwu, lughah, Al-bayan dan adab.

Sedangkan yang termasuk ilmu aqliyyah adalah: filsafat, arrsitektur,

ilmu nujum, music, kedokteran, sihir, kimia, matematika, sejarah, dan

geografi.

Bahasa dan Sastra

Diantara ulama yang terkenal pada masa ini adalah Abu Tohir

An-Nahwi, Abu Ya’qub yusuf bin Ya’qub, abu Hasan ali bin Ibrahim

yang telah mengarang beberapa buku sastra dan belum sempat

diterjemahkan bukunya tersebut oleh Ibn Khalikan. Ia memiliki

perpustakaan yang sangat luas berisi karya-karya Maimonides, Galen,

Hippocrates dan Averroes yang mana terjual dalam suatu lelang.

Kedokteran

Dinasti Fathimiyah memberikan perhatian yang sangat besar pada

keahlian kedokteran. Dinasti ini menempatkan posisi dokter ditempat

yang tinggi dengan memberikan penghargaan berupa uang dan

kedudukan yang terhormat. Lazimnya para dokter ini menguasai pula

ilmu filsafat serta bahasa asing khususnya bahasa Suryani dan Yunani

selain penguasaannya terhadap ilmu kedokteran. Diantara dokter itu

adalah: Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Said An-Namimi

yang bertempat tinggal di Baitul Maqdis dan banyak belajar ilmu

kedokteran dari seorang pendeta, kemudian banyak menimba ilmu

dari ulama di Negara lain, sehingga mampu meracik obat sendiri.

6

Page 7: BAB I

Tokoh kedokteran lain yang terkenal adalah Musa bin al-Azzar

yang lidinillah. Demikian pula Abu Hasan Ali al-Ridwan yang

menjadi dokter khalifah al-Aziz. Selain ilmu di atas masih terdapat

banyak ilmu yang berkembang pada masa ini seperti matematika, ilmu

falak, sejarah dan lain-lain.

Syair

Para penyair pada masa ini melakukan pujian-pujian terhadap

khalifah dengan menghina syair-syair ahli Sunnah, dengan pekerjaan

ini mereka mendapat banyak imbalan dari khalifah diantara penyair

adalah Ibnu Hani’. Para penyair ini bersama para khalifah mencoba

menyebarkan doktrin Syi’ah Ismailiyah melalui pantun dan syair.

Setelah melewati masa kecilnya di Sicilia ia melakukan rihlah ilmiah

hingga bertemu dengan Ja’far dan Yahya bin Ali bin Ahmad bin

Hamdan al-Andalusi melalui keduanya ia dapat berkenalan dengan

khalifah al-Mu’idz dan mengantarnya menjadi penyair istana. Selain

Ibnu Hani, adalah Abu Abdullah Muhammad bin Abi al-Jara’ penyair

yang hidup pada masa Khalifah al-Aziz. Secara umum para penyair

menyenandungkan pujian akan kehebatan mazhab syiah dan

kebesaran serta kejayaan kepemimpinan khalifah mereka.

Filsafat

Tokoh filsafat yang terkenal pada Dinasti Fathimiyah ini adalah

yang disebut dengan Ikhwan al-Shafa. Sementara itu filsuf yang

terkenal pada masa ini adalah:

Abu Hatim al-Razi (322 H) yang menjadi tokoh pada masa

khalifah Ubaidillah al-Mahdi merupakan orang yang dalam bidang

sastra, filsafat. Ia merupakan tokoh propagandis di wilayah Rayy.

Pengaruh propagandanya sangat besar yang dilakukannya di

madrasah-madrasah yang dibangun oleh Ubaidillah al-Mahdi yang

berada di afrika Utara. Filsuf yang lain adalah:

Abu Ubaidillah an-Nasfi (331 H)

7

Page 8: BAB I

Abu Ya’qub as-Sajazy (331 H)

Abu Hanifah an-Nu’man al-Maghriby (363/973-974 M)

karyanya:

Al-Da’ai’mu al-Islam fi dzikri al-Halal wa al-Haram,

Wa al-Qadhaya wa al-hakam,

Mukhtashar al-Atsar,

Kitab al-Buyu’,

Kitab Thaharah,

Kaifiyyatu al-Salat,

Minhaj al-Faridh

Ja’far bin Mansyur al-Yaman karyanya:

Ta’wil al-Zakat,

Sararir al-Nutqa’u,

Al-Syawahid wa al-Bayan,

Al-Kasyfu,

Al-Jafru al-aswad,

Al-Faraidh wa al-Hudud al-Diin,

Al-Muayyid fi al-Diin Hibatullah Al-Syairazy.

Khalifah Fathimiyah juga mendirikan sejumlah sekolah dan

perguruan, mendirikan perpustakaan umum dan lembaga ilmu

pengetahuan. Dar Al-Hikmah merupakan prakarsa terbesar untuk

pembangunan ilmu pengetahuan, sekalipun pada awalnya lembaga ini

dimaksudkan sebagai sarana penyebaran dan pengembangan ajaran

syi’ah Ismailiyah. Lembaga ini didirikan oleh Khalifah Al-Hakim

pada taun 1005 M. Al-Hakim juga besar minatnya dalam penelitian

astronomi. Oleh karena itu, ia mendirikan lebaga observasi di bukit

Al-Makattam. Lembaga observasi seperti ini juga didirikan dia

beberapa tempat lain.

Para khalifh Fathimiyah pada umumnya juga mencintai berbagai

seni termaksud seni arsitektur. Mereka memperindah ibu kota dan

kota-kota lainnya dengan berbagai bangunan megah. Masjid agung

Al-Azhar dan masjid Al-Hakim menandai kemajuan arsitektur zaman

8

Page 9: BAB I

Fathimiyah. Khalifah juga mendatangkan sejumlah arsirtek Romawi

untuk membantu menyelesaiakan tiga buah gerbang raksasa diKairo,

dan benteng-benteng di wilayah perbatasan Bizantium. Semua ini

merupakan sebagian dari peninggalan sejarah pemerintahan Syi’ah di

Mesir.

Lembaga-lembaga pendidikan dinasti fatimiyah di Mesir

Diantara lembaga-lembaga pendidikan pada Dinasti

Fathimiyah antara lain:

1. Masjid dan Istana

Diceritakan salah seorang wasir Dinasti ini Ya’qub Bin

Yusuf Ibn Killis sangat mencintai ilmu pengetahuan dan seni,

sehingga setiap hari kamis ia selalu membacakan karangannya di

depan masyarakat. Perkumpulan ini dihadiri oleh para hakim,

fuqaha, ahli qiraat dan nahwu serta tokoh Hadits. Setelah ia

selesai membacakan karangannya, maka para ahli syair akan

memujinya dengan pantun dan lagu.

Khalifah juga mengumpulkan para penulis di istana untuk

menyalin buku-buku seperti: Al-Qur’an, Hadits, Fikih, sastra

hingga ilmu kedokteran. Ia memberikan penghargaan khusus bagi

para ilmuwan ini dan menugaskan mereka untuk menjadi imam di

Masjid istana juga. Begitu tingginya perhatian pemerintah

terhadap ilmu pengetahuan hingga kebutuhan untuk penyalin

nafkah tersebut pun tersedia, seperti: tinta dan kertas.

Pada masa dinasti ini, Masjid juga menjadi tempat

berkumpulnya ulama fikih khususnya ulama yang menganut

mazhab Syi’ah Ismailiyah juga para wazir dan hakim. Mereka

berkumpul membuat buku tentang mazhab Syi’’ah Ismailiyah

yang akan diajarkan kepada masyarakat. Diantara tokoh yang

membuat buku itu antara lain Ya’qub Ibn Killis. Fungsi para

hakim dalam perkumpulan ini adalah untuk memutuskan perkara

yang timbul dalam proses pembelajaran mazhab Syi’ah tersebut.

9

Page 10: BAB I

Dengan demikian tampak jelas lembaga-lembaga ini menjadi

sarana bagi penyebaran ideology mereka. Hal senada dilakukan

pada madrasah-madrasah Nizhamiyah, seperti yang tertera dalam

dokumen sifat-sifat madrasah dapat disimpulkan beberapa hal:

a. Bahwa madrasah Nizhamiyah, lengkap dengan harta

wakaf dan penghasilan yang diperoleh dari pengelolaan

harta tersebut, adalah untuk kepentingan satu kelompok

tertentu, yakni penganut mazhab Syafi’i.

b. Bahwa tiga dari lima jabatan (Mudarris, Wa’idh, dan

pustakawan) harus dijabat oleh orang-orang yang

bermazhab Syi’ah.

Meskipun dokumen pendirian madrasah tidak

mensyaratkan bahwa nahwi dan Muq’ri harus bermashab Syafi’I

dalam praktik Nizham al-Mulk tetap mengangkat orang-orang

dari mazhab ini untuk kedua jabatan tersebut. Tetapi ternyata

lembaga pengembangan intelektual dalam hal ini madrasah pada

masa klasik tidak hanya dijadikan sebagai sarana penyebaran satu

mazhab saja sebagaimana yang dilakukan pada Dinasti

Fathimiyah juga Abbasiyah pada masa Nizham al-Mulk.

Berbeda dari keduanya Madrasah Al-Mustanshiriyyah pada

masa khalifah Al-Mustanshir dari Dinasti Abbasiyah, madrasah

dijadikan sarana penyebaran bagi empat mazhab karenanya ia

memberikan empat ruang untuk masing-masing mazhab dengan

fasilitas dan dukungan yang sama. Dukungan fasilitas terhadap

sekolah-sekolah ini adalah lepas dari persaingan antarmazhab

karena semakin meningkatnya jumlah sekolah akan semakin

besar sokongan dan dukungan dana bagi fasilitas madrasah,

berikut sekolah tinggi mazhab Syi’ah dan Sunni di Islam Timur

(Merebak kira-kira 1050 sampai 1250).

10

Page 11: BAB I

2. Perpustakaan

Perpustakaan juga memiliki peran yang tidak kecil

dibandingkan masjid dalam penyebaran akidah Syi’ah

Ismailiyyah di masyarakat. Untuk itu para khalifah dan wazir

memperbanyak pengadaan berbagai buku ilmu pengetahuan

sehingga perpustakaan istana menjadi perpustakaan yang terbesar

pada masa itu. Perpustakaan yang ebsar yang dimiliki Dinasti

Fathimiyah ini diberi nama “Dar al ‘Ulum” yang masih memiliki

keterkaitan dengan perpustakaan “Baital Hikmah”

(Perpustakaan Dinasti Abbasiyah). Perpustakaan ini

didirikan pada tahun 998 M oleh Khalifah Fathimiyah al-Aziz

(975-996 M). Berisi tidak kurang dari 100.000 volume, boleh jadi

sebanyak 600.000 jilid buku, termasuk 2.400 buah Al-Qur’an

berhiaskan emas dan perak dan disimpan diruang terpisah.

Begitu besarnya pengaruh buku-buku yang diterjemahkan

bagi penyebaran mazhab dinasti ini maka Ya’qub bin Yusuf bin

Killis atas salah satu jasa Khalifah Fhatimiyah di Kairo serta

didorong oleh cendekiawan Muslim, mepekerjakan banyak

penyalin buku untuk membuat salinan buku-buku tentang

undang-undang, kedokteran, dan pengetahuan ilmiah. Ia

menghabiskan 1.000 dinar emas setiap bulan untuk dana bagi

cendekiawan dan gaji para penyalin serta tukang jilid.

Dukungan bagi perkembangan penerjemahan tidak hanya

dilakukan oleh pemerintah tetapi tokoh-tokoh kaya dapat

menyediakan tinta, kertas dan meja-meja serta ruangan bagi para

ilmuwan untuk belajar. Pada masa ini, ilmuwan yang kekurangan

biaya menerima pesangon untuk kehidupannya selama studi.

Dalam kondisi yang sangat kondusif ini maka bukan suatu

kemustahilan bagi berkembangnya ilmu pengetahuan pada masa

ini.

Begitu giatnya usaha penerjemahan buku ilmiah dan

propaganda mazhab yang didukung oleh pemerintah

11

Page 12: BAB I

tergambarkan sebagaimana yang diriwayatkan dari al-Maqrizy

sesungguhnya di istana terdapat 40 lemari di mana setiap lemari

memiliki 18.000 volume buku. Dan perpustakaan ini sebagaimana

dikatakan Abi Syamah sebagai salah satu keajaiban duniia di

dalamnya juga dinyatakan terdapat sebanyak 1.220 naskah dari

Tarikh Thabari.

Para sejarawan berbeda pendapat mengenai banyaknya

jumlah buku yang terdapat dalam istana. Namun diperkirakan

jumlah buku yang ada tidak kurang dari 600.000 volume. Hal ini

dibuktikan ketika wafatnya wazir Afdhal bin Amir.

Al-Juyusyi dan kekhalifahan digantikan oleh khalifah al-

Amir, ia memindahkan sebanyak 500.000 jilid buku dari istana ke

perpustakaannya sendiri.

Al-Maqrizy mengomentari perampasan buku yang

dilakukan oleh menteri Abu Faraj pada tahun 1068 M dari Wazir

Afdhal bin Amir sebagai berikut:

“Aku sedang berada di Mesir ketika menyaksikan 25 ekor unta

mengangkut buku-buku ke istana Perdana Menteri Wazir Abi

Faraj Muhammad bin Ja’far al-Maghriby. Aku bertanya

kepadanya akan hal ini, sehingga aku athu bahwa buku-buku itu

diambilnya dari istana al-Khatir bin Muwaffiq al-Din (gelar wazir

al-Fadhil).

Sayangnya beberapa bulan kemudian, buku-buku tersebut

semuanya dibakar oleh tentara Turki setelah menaklukkan

khalifah dan menjarah istananya. Manuskrip-manuskrip tersebut

akhirnya ditimbun dalam sebuah tumpukan dan dibakar dekat

Abyar, yang mana kemudian menjadi terkenal sebagai “Hill of the

Books”. Memerlukan waktu satu abad lebih untuk merestorasi

akibat dari kebakaran tersebut. Diantara penerjemah abad

kesembilan dan kesepuluh pada masa ini adalah:

Zurbah Ibn Majuh an-Na’ami al-Himsi

Halal Ibn Abi Halal al-Himsi

12

Page 13: BAB I

Abu al-Fath Isfahani

Fethun at-Tarjuman

Abu Asrawi

Ibnu Ayyub

Basil al-Mutran

Abu Yusuf al-Katib

Abu Umar Yuhanna ibnu Yusuf

Salam al-Abrash

3. Dar al-‘Ilm

Pada bulan Jumadil Akhir tahun 395 H/1005 M atas saran

perdana menterinya Ya’qub bin Killis, Khalifah al-Hakim

mendirikan Jamiah Ilmiyah akademi (lembaga riset) seperti

akademi-akademi lain yang ada di Baghdad dan dibelahan dunia

lain. Lembaga ini kemudian diberi nama Dar al Hikmah. Di

sinilah berkumpul para ahli fikih, astronom, dokter dan ahli

nahwu dan bahasa untuk mengadakan penelitian ilmiah. Al-

Maqrizy mengatakan tentang hal ini.

Pada hari kedelapan saat Jumadil Tsani 309 H, bangunan

yang disebut Rumah Kebijaksanaan (Bait al-Hikmah) telah

dibuka. Para mahasiswa mengambil tempat mereka. Buku-buku

dipinjam dari perpustakaan-perpustakaan di istana yang dijaga-

tempat tinggal khalifah Fathimiyah-dan masyarakat pun diizinkan

memasukinya. Siapa pun bebas menyalin beberapa buku yang

diinginkan, atau siapa pun yang ingin membaca buku tertentu

dapat dilakukan di perpustakaan itu. Di perpustakaan ini para

pelajar dapat mempelajari Fikih Syi’ah, ilmu bahasa, ilmu falak,

kedokteran, matematika, falsafah serta mantik.

Para cendekiawan belajar Al-Qur’an, astronomi, tata

bahasa, leksikografi dan ilmu kedokteran. Gedung tersebut juga

diperindah dengan karpet, dan pada semua pintu dan koridor

terdapat tirai. Untuk perawatannya ditugaskan manajer, pelayan,

13

Page 14: BAB I

penjaga, dan pekerja kasar lainnya. Al-Hakim memberikan hak

masuk bagi setiap orang tanpa perbedaan tingkat, siapa yang ingin

membaca dan menyalin buku.

Pada tahun 403 H khalifah al-Hakim mulai mengadakan

majelis ilmu rutin yang dihadiri oleh para ahli kesehatan, mantik,

fikih, kedokteran dan bersam-sama mengkaji berbagai masalah.

Demikianlah al-Hakim sebagai khalifah terpelajar

memfasilitasi segala yang berhubungan dengan perkembangan

intelektual pada masa pemerintahannya. Tetapi dalam sejarahnya

Dar al-Hikmah ini yang terkenal sebagai pusat pendidikan pernah

ditutp oleh Sultan al-Malik al-Afdhal dikarenakan terdapat dua

orang ilmjwan tamu yang mengajarkan perkuliahan mengenai

ajaran-ajaran yang menyeleweng (heretic) pada bagian-bagian

tertentu.

2. Kemajuan di Bidang Ekonomi

Terbukti adanya bangunan-bangunan seperti masjid dan

universitas, juga rumah sakit, jalan protokoler yang dilengkapi dengan

lampu gemerlapan dan dibangunnya pusat pembelanjaan yang

jumlahnya lebih dari 20.000 buah, kemajuan perekonomian juga dapat

dilihat dari segi kemajuan peralatan rumah tangga dan alat dapur yang

terbuat dari emas dan perak.

3. Kemajuan di Bidang Politik

Politik Dalam Negeri Dinasti Fatimiyah

Politik dalam negeri dinasti ini hanya memiliki satu tujuan yaitu

berusaha mengajak masyarakat untuk memeluk mazhab Syi’ah

Islailiyah dan menjadikan mazhab ini sebagai mazhab utama di

Negara Mesir dan wilayah negeri yang berada di bawahnya. Untuk hal

ini, Khalifah al-Aziz sangat menunjukkan sikap yang baik terhadap

orang Yahudi dan Nasrani sebagaimana ayahnya. Ia juga menikahi

14

Page 15: BAB I

perempuan Nasrani dan untuk itu ia bertoleransi dalam pemberian

gereja di wilayahnya. Al-Aziz juga mengangkat Isa Bin Nestoris

kedalam pemerintahannya. Sementara itu beliau juga menjadikan

Minassa al-Yahudi sebagai wali di Syam.

Adapun politik Fathimiyah kepada kelompok ahli sunnah antara

lain dengan apa yang dilakukan Khalifah al-Aziz pada bulan Safar

tahun 357 H/995 M. ia memerintahkan menuliskan kalimat

penghinaan kepada sahabat (Abu Bakar, Umar, dan Utsman)

disepanjang tembok masjid Atiq dan kantin-kantin serta kuburan.

Fanatisme mazhab Fathimiyah ini meningkat pada masa Khalifah al-

Hakim.

Politik Luar Negeri Dinasti Fathimiyah

Tidak diragukan berdirinya Dinasti Fathimiyah di Afrika

memberikan nuansa kekhawatiran kepada Dinasti Abbasiyah

dikarenakan penguasaan mereka atas wilayah ini akan menaikkan

derajat Fathimiyah diwilayah Mesir, Syam, Palestina, dan Hejaz.

Penguasaan atas wilayah ini pula akan sangat memudahkan dalam

menguasai wilayah Baghdad pada masa itu. Karena itu Khalifah

Abbasiyah memancing Dinasti Buwaihi untuk memerangi Dinasti

Fathimiyah yang pada akhirnya terjadi penerangan antara Buwaihi dan

Fathimiyah.

4. Kemajuan Bidang Administrasi dan Militer

Periode Dinasti Fathimiyah menandai era baru sejarah bangsa

Mesir. Sebagai khalifah dinasti ini adalah pejuang dan penguasa besar

yang berhasil menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran di Mesir.

Administrasi kepemerintahan Dinasti Fathimiyah secar garis

besar tidak berbeda dengan administrasi Dinasti Abbasiyah, sekalipun

pada masa ini muncul beberapa jabatan yang berbeda. Khalifah

15

Page 16: BAB I

menjabat sebagai kepala negara baik dalam urusan keduniaan maupun

spiritual. Khalifah berwenang mengangkat dan sekaligus

menghentikan jabatan-jabatan dibawahnya.

Kementrian negara (Wasir) terbagi menjadi dua kelompok ;

pertama adalah para ahli pedagang dan kedua adalah para ahli pena.

Kelompok pertama menduduki urusan militer dan keamanan serta

pengawal pribadi sang khalifah. Sedangkan kelompok kedua

menduduki beberapa jabatan kementerian sebagai berikut: (1) Hakim,

(2) Pejabat pendidikan sekaligus sebagai pengelola lembaga ilmu

pengetahuan atau Dar Al-Hikmah, (3) Inspektur pasar yang bertugas

menertibkan pasar dan jalan, (4) Pejabat keuangan yang menangani

segala urusan keuangan negara, (5) Regu pembantu istana, (6) petugas

pembaca Alquran. Tingkat terendah kelompok “ahli pena” terdiri atas

kelompok pegawai negeri, yaitu petugas penjaga dan juru tulis dalam

berbagai departemen.

Adapun di luar jabatan istana di atas, terdapat berbagai jabatan

tingkat daerah yang meliputi tiga daerah, yaitu Mesir, Siria dan

daerah-daerah di Asia kecil. Khusus untuk daerah Mesir wilayah

timur, Mesir wilayah barat, dan wilayah Alexandria. Segala

permasalahan yang berkaitan dengan daerah didpercayakan kepada

kepemimpinan setempat.

Dalam bidang kemiliteran terdapat tiga jabatan pokok, yaitu (1)

Amir yang terdiri pejabat-pejabat tinggi militer dan pegawai khalifah,

(2) petugas keamanan, dan (3) berbagai resimen. Pusat-pusat armada

laut dibangun di Alexandria, Damika, Ascaton, dan di beberapa

pelabuhan Syiria. Masing-masing dikepalai seorang Admiral tinggi.

Dan dalam bidang militer pelaksanaannya dapat diklasifikasi kedalam

tiga tingkatan yaitu:

a. Amirs (pegawai tinggi dan khalifah)

b. Officer of the guard (pegawai biasa termasuk ilmuan)

16

Page 17: BAB I

c. The different regment (pegawai yang bertugas membawa

nama-nama, seperti Hafiziyah, Sundaniyah dan sebagainya)

5. Perkembangan dibidang Arsitektur dan Seni

Para khalifah Fatimiyah mengalir darah seni. Ketertarikannya

terhadap bidang arsitektur dan seni terlihat dengan adanya gedung dan

bangunan yang mempunyai nilai seni yang tinggi. Diantaranya adalah

masjid-masjid seperti al-azhar, masjid al Hakim ibn Amrillah, masjid

al Aqmar dan masjid al Sholeh Thole.

6. Kondisi Sosial

Mayoritas khalifah Fathimiyah bersikap moderat dan penuh

perhatian kepada urusan agama nonmuslim. Selama masa ini pemeluk

Kristen Mesir diperlukan secara bijaksana, hanya Khalifah Al-Hakim

yang bersikap agak keras terhadap mereka. Orang-orang Kristen Kopti

dan Armenia tidak pernah merasalan kemurahan dan keramahan

melebihi sikap pemerintah muslim. Pada masa Al-Aziz bahkan

mereka lebih diuntungkan dari pada umat Islam dimana mereka

ditunjuk menduduki jabatan-jabatan tinggi istana. Demikian pula pada

masa Al-Mustansir dan seterusnya, mereka hidup penuh kedamaian

dan kemakmuran. Sebaagian besar jabatan keuangan dipegang oleh

orang-orang Kopti. Pada khalifah generasi akhir, gereja-gereja Kristen

banyak yang dipugar, pemeluk Kristen pula semakin banyak yang

diangkat sebagai pegawai pemerintahan. Demikianlah semua ini

menunjukkan kebijaksanaan penguasa Fathimiyah terhadap umat

kristiani.

Mayoritas khalifah Fathimiah berpola hidup mewah dan santai.

Al-Mustansir, menurut satu informasi, mendirikan semacam pavilium

di istananya sebagai tempat memuaskan kegemaran berfoya-foa

bersama sejumlah penari rupawan.

17

Page 18: BAB I

Nasir Al-Khusraw, salah seorang pengembara Ismailiah

berkebangsaan Persia, yang mengunjungi Mesir antara tahun 1046-

1049 M, meninggalkan catatan tentang kehidupan kota Kairo ibu kota

Dinasti Fathimiyah. Pada saat itu ia mendapatkan kota Kairo sebagai

kota makmur dan aman. Menurutnya, toko-toko perhiasan dan pusat-

pusat penukaran uang ditinggalkan oleh pemiliknya begitu saja tanpa

kunci, rakyat mensruh keprcayaan penuh terhadap pemerintah, jalan-

jalan raya diterangi beragam lampu. Penjaga toko menjual barang

dengan harga jual yang telah diputuskan dan jika seseorang terbukti

melanggar ketentuan harg jual akan dihukum dengan diarak di atas

unta sepanjang jalan dengan diiringi bunyi-bunyian.

Nasir Al-Khusraw menulis catatan bahwa ia menyaksikan

khalifah pada sebuah festifal tampak sangat mempesona dengan

pakaian kebesarannya. Istana khalifah dihuni 30.000 orang. Di antara

mereka terdapat 12.000orang pembantu dan 1000 orang pegawai

berkuda dan pengawal jalan kaki. Kota Kairo dihiasi dengan sejumlah

masjid, perguruan, rumah sakit, dan perkampungan khalifah. Tempat-

tempat pemandian umum yang cukup indah dapat dijumpai di

berbagai penjuru kota, baik permandian khusus laki-laki maupun

untuk perempuan. Pasar-pasar yang memuat 20.000 pertokoan padat

dengan produk-produk dunia. Nasir Al-Khusraw sangat takjub atas

kesejahteraan dan kemakmuran negeri ini, sehingga dengan sangat

menarik ia mengatakan, “saya tidak sanggup menaksir kesejahteraan

dan kemakmuran negeri ini, dan saya belum pernah melihat

kemakmuran sebagaimana yang terdapat di negeri ini”.

Dinasti fathimiyah berhasil dalam mendirikan sebuah negara

yang sangat luas dan peradaban yang berlainan semacam ini didunia

Timur. Hal ini sangat menarik perhatian karena sistem

administrasinya yang sangat baik, aktivitas artistik, luasnya toleransi

relijiusa, efisiensi angkatan perang dan angkatan laut, kejujuran

18

Page 19: BAB I

pengadilan, dan terutama perlindungannya terhadap ilmu pengetahuan

dan kebudayaan.

D. Kehancuran Dinasti Fathimiyah

Fase kemunduran Dinasti Fathimiyah berawal dari adanya konflik

dengan Yunani mengenai masalah Suriyah. Pada saat bersamaan muncul

pula suatu aksi salib yang akan mengancam bahkan ingin menghancurkan

Islam. Pada pertengahan abad ke 12 M. Wazir Fathimiyah menjalin kerja

sama dengan Dinasti Zingiyah dan Nuruddin dari Aleppo untuk melawan

tentara salib akan tetapi ascelon jatuh ketangan crusaders (salib). Sisi lain

Dinasti Fatimiyah sudah mengalami perpecahan yang mengakibatkan para

kholifah pada waktu itu kehilangan banyak kekuasaan.

Kekacauan sekitar masalah sukses menghilangkan anggapan

Ismailiyah transendensi imam, kenyataan bahwa fungsi imam senantiasa

mengalami pergeseran bertambah atau berkurang dari sifat ketuhanan.

Kekacauan itu memuncak ketika terjadi keretakan antara Nizariyah dan

Musta’iliyah. Kondisi keretakan ini berpengaruh terhadap stabilitas

pemerintahan kholifah. Sepeninggalan al Musta’ly digantikan oleh al Amir

sebagai penguasa di Mesir ketika masih berusia anak-anak. Sepeninggalan

al Amir Dinasti Fatimiyah di Mesir mengalami masa kehancuran pada saat

itu timbul pertentangan faham keagamaan antara kalangan penguasa

dengan mayoritas masyarakat yang menganut Sunny.

Sementara di Aleppo Nur al Din mengadakan perjanjian dengan

Bizantium dan ia ingin menaklukkan beberapa wilayah termasuk Mesir.

Untuk itu Nur al Din mengirim jendralnya ke Mesir untuk menaklukkan

wilayah itu. Karena suasana anarkis telah melanda Dinasti Fatimiyah,

maka akhirnya pada tahun 1171 M Salahuddin dengan mudah

menaklukkan dan sekaligus menghancurkan Dinasti Fatimiyah di Mesir.

19

Page 20: BAB I

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dinasti fathimiyah menganut aliran Ismailiyah dan faham Syi’ah.

Sekte Syi’ah sepanjang sejarah menjadi masyarakat marginal baik pada

masa daulah Umaiyah maupun daulah Abbasiyah. Kemarginalan ini

mendorong sekte syi’ah untuk berjuang lebih keras agar dapat

memperoleh kekuasaan.

Usaha untuk memperoleh kekuasaan disponsori oleh Abdullah al

Mahdi dari aliran Ismailiyah. Perjuangan al Mahdi yang panjang dimulai

dari pengasinannya di tanah Iran Utara. Dari sana ia mulai menghimpun

kekuatan di bawah tanah selama kurang lebih enam tahun. Kegiatan

dibawah tanah ini dijalankan melalui propaganda-propaganda (dakwah)

dengan keramah tamahan dan kebaikan hati. Propaganda ini telah menarik

simpati rakyat Afrika Utara sehingga al Mahdi dapat mengalahkan dinasti

Aghlabiyah di daerah Tunisia.

Paham Syi’ah yang dianut oleh dinasti Fatimiyah tidak dapat

dijadikan paham rakyatnya sehingga sebagian besar rakyatnya menganut

paham Sunny. Dalam perkembangan Dinasti Fatimiyah mengalami

perpecahan dalam tubuhnya sendiri sehingga tidak bisa mengantisipasi

ancaman yang datang dari luar. Kondisi yang lemah ini dimanfaatkan oleh

Salahuddin al Ayyubi untuk dapat menaklukkan Dinasti Fatimiyah.

B. Saran

Setelah membaca makalah ini, diharapkan para pembaca dapat

mengetahui proses terbentuknya Dinasti Fathimiyah, perkembangan

Dinasti Fathimiyah di Mesir, masa kejayaan Dinasti Fathimiyah di Mesir

dan bagaimana kehancuran Dinasti Fathimiyah di Mesir.

20

Page 21: BAB I

DAFTAR PUSTAKA

Munir Amin, Samsul. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah

Suwito, Prof. 2008. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana

Zainal Arifin. 2008. Dinasti Fatimiyah di Mesir.

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/

jurnal/12708814.pdf. Diakses pada tanggal 2 Oktober 2012 pada pukul

16:25 pm

21