Post on 07-May-2019
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum ketenagakerjaan dipahami sebagai himpunan peraturan- peraturan
hukum yang mengatur hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha yang
berdasarkan pembayaran upah. Menurut Utrecht Hukum ketenagakerjaan
mengatur sejak dimulainya hubungan kerja, selama dalam hubungan kerja,
penyelesaian perselisihan sampai pengahkiran hubungan kerja. Sedangkan
menurut Molenaar mengatakan bahwa batas hukum ketenagakerjaan tidak dapat
dilakukan dalam suatu perumusan secara tepat, pada pokoknya mengatur
hubungan antara pekerja dengan pemberi kerja, antara pekerja dengan pekerja
dan antara pekerja dengan penguasa.1
Permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia merupakan salah
satupermasalahan hukum yang paling sering terangkat di permukaan.Aspek
Hukum Ketenagakerjaan2harus selarasdengan perkembangan ketenagakerjaan
saat ini sehingga substansi kajian hukum ketenagakerjaan tidak hanya meliputi
hubungan kerja semata, akan tetapi telah bergeser menjadi hubungan hukum
antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah yang substansi kajian tidak hanya
mengatur hubungan hukum dalam hubungan kerja (during employment), tetapi
setelah hubungan kerja (post employment). 1Mohd.Syaufii Syamsuddin, SH,MH.,Norma Perlindungan dalam hubungan industrial,( Jakarta;Sarana Bhakti Persada,2004),hlm 2. 2Pasal 1 Butir 1 Undang Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Peran serta pekerja dalam pembangunan nasional semakin meningkat
dengan disertai berbagai tantangan dan resiko yang dihadapinya. Haruslah ada
hak-hak pekerja yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
sekaligus mengatur tentang perlindungan mengenai hak-hak pekerja tersebut.3
Adalah menjadi kewajiban Pengusaha dalam hubungan kerja untuk
memanusiakan manusia yaitu pekerjanya, dengan menghormati harkatdan
martabat mereka. Antara pekerja dan pengusaha terdapat kepentingan yang
selaras yaitu kemajuan perusahaan. Hanya dengan kemajuan perusahaan
kesejahteraan dapat ditingkatkan. Inilah yang merupakan ciri dari hubungan
industrial di Indonesia dibanding dengan hubungan industrial di negara lain.4
Tujuan perlindungan terhadap tenaga kerja antara lain dimaksudkan untuk
menjamin hak-hak dasar pekerja dan menjamin kesamaan kesempatan serta
perlakuan tanpa diskriminasi untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja dan
keluarganya, dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.
Selain itu, perlindungan dimaksud ditujukan pula untuk meningkatkan harkat,
martabat, dan harga diri tenaga kerja, guna mewujudkan masyarakat sejahtera
lahir dan batin. Dengan terpenuhinya hak-hak dan perlindungan dasar bagi
semua tenaga kerja, pada saat bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang
kondusif bagi pembangunan dunia usaha.5
Bentuk perlindungan dan kepastian hukum terutama bagi pekerja adalah
melalui pelaksanaan dan penerapan perjanjian kerja, karena dengan adanya
3Ridwan Halim, Hukum Perburuhan Aktual, (Jakarta:Pradnya Paramitha, 1987), hlm. 1. 4Drs.Mohd.syaufii Syamsuddin, SH, MH., Norma perlindungan dalam hubungan industrial, (Jakarta;Sarana Bhakti Persada,2004),hlm 11. 5Ibid;hlm 1
perjanjian kerja diharapkan para pengusaha tidak lagi bisa memperlakukan para
pekerja dengan sewenang-wenang memutus hubungan kerja secara sepihak
tanpa memperhatikan kebutuhan para pekerja serta ketentuan perundang-
undangan yang berlaku. dalam Pasal 1 Nomor 14 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang disahkan 25, April 2003, pengertian
PERJANJIAN KERJA adalah: Perjanjian antara pekerja/ buruh dengan
pengusaha/ pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban
para pihak6. Hubungan kerja merupakan sesuatu yang abstrak, ia merupakan
hubungan hukum antara seorang pengusaha dengan seorang pekerja atau buruh.
Hubungan hukum yang terjadi adalah orang perorangan/privat, perjanjian
melahirkan perikatan, perikatan yang lahir akibat perjanjian kerja inilah yang
merupakan hubungan kerja. Hubungan kerja hanya ada jika salah satu pihak
dalam perjanjian yang dinamakan pengusaha dan pihak lainnya dinamakan
pekerja atau buruh. Digunakan hubungan perikatan sebagai hubungan kerja
untuk menunjukan bahwa terjadi hubungan hukum antara pengusaha dengan
pekerja/buruh mengenai kerja.7
Adapun Ciri-ciri dari perjanjian kerja sebagai berikut:
a. Adanya atas (yang memimpin) dan bawah (yang dipimpin)
b. Adanya upah (imbalan)8 yang diterima oleh pihak yang dipimpin dari pihak
yang memimpin.
6Pasal 1 nomor 14 Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang ketenagakerjaan 7Jumiarti,Hukum ketenagakerjaan;(Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacacana;2011);hlm.5. 8Definisi upah Ps 1 (30) UU No.13/2003: “Hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha/ pemberi kerja kepada P/B yang dittpkn dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan per-
Dengan demikian jelaslah bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya
perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/ buruh.9 Hal ini berarti bahwa
hanya perjanjian kerja yang dapat melahirkan hubungan kerja.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam
suatu hubungan kerja diawali dengan suatu perjanjian yang dalam hal ini adalah
suatu perjanjian kerja terlebih dahulu. Sebagai bagian dari perjanjian pada
umumnya, perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana
diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya persetujuan-persetujuan
diperlukan empat syarat :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
c. Suatu hal tertentu; dan
d. Suatu sebab yang halal.
Sedangkan pada Pasal 52 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan mengatur lebih lanjut mengenai syarat syahnya perjanjian, yaitu:
a. Perjanjian kerja dibuat atas kesepakatan kedua belah pihak
b. Kemampuan/kecakapan melakukan perbuatan hukum
c. Adanya perjanjian pekerjaan yang diperjanjikan
d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
UU, tmsk tunjangan bagi P/B dan keluarganya atas suatu perjanjian dan/ atau jasa yang telah atau dilakukan” 9Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia(Edisi Revisi), Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2003.., hlm. 53.
Pentingnya perjanjian kerja sebagai dasar mengikatnya suatu hubungan
hukum, yaitu hubungan kerja, maka landasannya adalah ada tidaknya perjanjian
kerja.10
Selain Perjanjian kerja instrumen lain yang mengatur Hak dan Kewajiban
pekerja dan pengusaha yaitu Peraturan Perusahaan (PP) yaitu peraturan yang
dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syaratkerja dan tata
tertib perusahaan. PP menjadi tanggung jawab dari pengusaha, dengan
memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja yang dipilih secara
demokratis umtuk mewakili kepentingan mereka. Bila ada Serikat Pekerja(SP),
wakil pekerja adalah pengurus SP.11
Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat tertulis oleh
perusahaan, yang didalamnya memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib
perusahaan. Sebuah peraturan perusahaan baru dikatan sah apabila telah
mendapat pengesahan dari Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi,
pengesahan tersebut dilakukan oleh kepala Instansi ytang bertanggung jawab di
bidang Ketenagakerjaan.
Peraturan perusahaan bertujuan untuk menjamin keseimbangan antara hak dan
kewajiban pekerja, serta antara kewenangan dan kewajiban pengusaha,
memberikan pedoman bagi pengusaha dan pekerja untuk melaksanakan tugas
kewajibannya masing-masing, menciptakan hubungan kerja harmonis, aman dan
dinamis antara pekerja dan pengusaha, dalam usaha bersama memajukan dan
10Agusmidah, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia,2010), hlm. 45. 11Drs.Mohd.syaufii Syamsuddin, SH, MH., Norma perlindungan dalam hubungan industrial, (Jakarta;Sarana Bhakti Persada,2004),hlm 208.
menjamin kelangsungan perusahaan, serta meningkatkan kesejahteraan pekerja
dan keluarganya.
Menurut Pasal 111 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
Peraturan Perusahaan sekurang-kurangnya memuat:
a. Hak dan Kewajiban pengusaha
b. Hak dan Kewajiban pekerja
c. Syarat kerja
d. Tata tertib perusahaan
e. Jangka waktu berlakunya PP
Ketentuan dalam Peraturan Perusahaan tidak boleh bertentangan, lebih
rendah kualitas atau kuantitasnya dari peraturan perundang-undangan yang
berlaku.Apabila ternyata bertentangan, yang berlaku adalah ketentuan peraturan
perundang-undangan (Asas Lex Superior Derogat Lex Inferior) 12
Merujuk pada Pasal 1 Ayat 20 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan pengertian Peraturan Perusahaan adalah “peraturan
yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja
dan tata tertib perusahaan”13.Ketentuan tentang pembuatan dan pengesahan
Peraturan Perusahaan selanjutnya diatur dalam Peraturan Mentri Tenaga Kerja
Nomor 28 Tahun 2014.
Di tengah-tengah masa kerja kerap kali terjadi perselisihan hubungan
industrial, baik perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan antar
12Ibid 13pasal 1 ayat 20 undang undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
serikat pekerja/buruh maupun perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Oleh karena itu, PHK bisa timbul karena adanya hubungan kerja yang terjadi
sebelumnya.14
Di dalam Pasal 1 Ayat 22 Undang-undang No.13 Tahun 2003 mendefinisikan perselisihan hubungan industrial sebagai berikut:
“perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan hubungan kerja serta perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan”.15
Definisi ini memperluas definisi perselisihan perburuhan di dalam UU
No.22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, yaitu:
“Pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh berhubungan dengan tidak adanya kesesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan.”16
Perlindungan paling banyak dan lengkap yang dilakukan oleh peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan adalah mengenai Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK). Hal ini dapat dipahami, karena bagi pekerja Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) adalah sesuatu yang paling memberatkan. Oleh karena itu, pekerja
sangat dilindungi terhadap terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Perlindungan tersebut dimulai dari upaya mencegah terjadinya Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK),larangan,pembinaan, dan sampai dengan macam-macam
14Hartono Widodo, S.H. dan Judiantoro,S.H; segi hukum penyelesaian perselisihan perburuhan;(Jakarta utara,CV.Rajawali,1989),hlm 23. 15Pasal 1 ayat 22 UU No.23 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 16UU No.22 tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan
Pemutusan Hubungan Kerjaserta kompensasi terhadap terjadinya Pemutusan
Hubungan Kerja17.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) diatur dalam Pasal 150 – pasal 170
Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pemutusan
hubungan Kerja berdasarkan ketentuan Pasal 150 Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 menyebutkan bahwa:
“Pemutusan hubungan kerja yang terjadi di Badan Usaha yang berbadan Hukum atau tidak, milik orang perseorangan,milik persekutuan atau milik badan hukum. Baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengusrus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain”18
Akhir dari hubungan kerja dapat terjadi karena dikehendaki oleh buruh dan
pengusaha atau salah satu pihak atau berbagai alasan lainnya. Jika pengakhiran
hubungan kerja ini terjadi maka hal tersebut akan mengakibatkan berakhirnya
hak dan kewajiban antara buruh dan pengusaha. Tidak menutup kemungkinan
dalam hal terjadinya pemutusan hubungan kerja akan terjadi perselisihan antara
buruh dengan pengusaha. Karena menurut mekanisme dalam melakukan
pemutusan hubungan kerja, maksud dari PHK harus dirundingkan antara buruh
dan pengusaha. Kemudian apabila tidak mencapai kesepakatan dalam
perundingan tersebut, maka pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja
dengan buruh setelah memperoleh penetapan. Jika perundingan dalam
pemutusan hubungan kerja tidak mencapai kesepakatan antara pengusaha dan
buruh, maka pemutusan hubungan kerja harus menunggu setelah memperoleh
penetapan dari Pengadilan. Dalam hal masa menunggu proses penetapan dari
17Drs.Mohd.syaufii Syamsuddin, SH, MH., Norma perlindungan dalam hubungan industrial, (Jakarta;Sarana Bhakti Persada,2004),hlm.304 18Pasal 150 UU No.13 Th 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pengadilan maka Undang-Undang mengatur: Pasal 155 ayat (2) UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, "selama putusan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun
pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya." Pasal ini
mengandung pengertian bahwa sebelum adanya putusan pengadilan yang
memperoleh kekuatan hukum tetap tentang penetapan Pemutusan Hubungan
Kerja, maka buruh tetap menyelesaikan kewajibannya seperti biasa yakni
bekerja dan menerima gaji, begitu juga pengusaha wajib menyelesaikan
kewajibannya seperti biasa pula yakni memberi gaji pada buruh dan
menjalankan roda usahanya seperti biasa. Terkait dengan masalah upah proses
(upah dalam tenggang waktu menunggu putusan pengadilan) dalam prakteknya
di Pengadilan terdapat tiga macam putusan Pengadilan Hubungan Industrial
(PHI) yakni: 1. Putusan hakim menghukum pengusaha membayar upah proses
selama enam bulan. Putusan ini berkiblat pada Kepmenaker Nomor 150 tahun
2000. 2. Putusan hakim menghukum pengusaha membayar upah proses lebih
dari enam bulan tetapi tidak sampai putusan berkekuatan hukum tetap. Putusan
ini lebih didasarkan pada rasa keadilan menurut hakim. 3. Putusan hakim
menghukum pengusaha membayar upah proses hingga perkara memperoleh
kekuatan hukum tetap. 4.Putusan Hakim yang menghukum pengusaha
membayar upah proses sampai dengan eksekusi putusan dilaksanakan. Putusan
ini murni didasarkan pada Pasal 155 ayat (2) UU No.13 Tahun 2003. Dari uraian
diatas, maka akan timbul masalah terhadap jangka waktu proses penyelesaian
penetapan pengadilan yang akan dijadikan acuan dalam memberi upah proses.
karena yang terjadi dalam praktek memperlihatkan adanya ketidakserasian
antara tiap putusan hakim dan dasar hukumnya karena dalam PHI terdapat 4
aliran tentang upah proses.
Putusan Mahkamah Konstitusi No.37/PUU-IX/2011 ini meluruskan 2
perbedaan putusan antara Hakim PHI dan Hakim Kasasi,Putusan Mahkamah
Konstitusi No.37/PUU-IX/2011 didasarkan pada realitas praktik peradilan.
Pemohon memiliki pendirian bahwa hukum positif tidak mengatur batas waktu
pembayaran upah proses PHK. Pemohon menguraikan, PHI memutus upah proses
PHK tidak sesuai hukum positif yaituPasal 155 ayat (2) UU No 13 Tahun 2003.
pemohon keberatan dengan kenyataan PHI memutus upah proses PHK tidak
sampai pada putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Mahkamah Konstitusi menganggap permohonan mana terbukti dan
beralasan menurut hukum. Karena itu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan
permohonan judicial review tersebut dengan amar sebagai berikut :
a. Mengabulkan permohonan para pemohon.
b. Frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor
13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279), adalah bertentangan dengan Undang-Undangam
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai belum
berkekuatan hukum tetap.
c. Frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor
13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang dimaknai belum berkekuatan hukum tetap.
d. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negera Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
Secara faktual, putusan MK di atas memastikan bahwa Kepmenaker No 150
Tahun 2000 bukan aturan pelaksana dari Pasal 155 ayat (2) UU
No 13 Tahun 2003. Dengan demikian, Kepmenaker No 150 Tahun 2000 tidak lagi
sebagai hukum positif sehingga putusan MK itu memberi kepastian bahwa
Kepmenaker No 150 Tahun 2000 bukan landasan Yuridis yang benar untuk
menyatakan upah proses PHK paling lama enam bulan.
Putusan PHI dianggap berkekuatan hukum tetap apabila memenuhi salah
satu dari dua syarat berikut ini. Pertama, salah satu pihak tidak mengajukan kasasi
atas putusan PHI tingkat pertama. Kedua, hakim kasasi pada Mahkamah Agung
telah memutus permohonan kasasi. Berdasarkan dua syarat tersebut maka, PHI
tingkat pertama saat memutus perkara harus menghitung upah proses sampai pada
putusan itu diucapkan. Selanjutnya, bila perselisihan diajukan kasasi, hakim
kasasi menghitung upah proses sampai putusan kasasi diucapkan.
Dengan demikian, hakim dapat menghukum pengusaha membayar upah
proses sampai putusan kasasi diucapkan. Konsekuensinya, pekerja/buruh tidak
berhak lagi menerima upah proses setelah putusan PHI berkekuatan hukum tetap.
Uraian di atas sekaligus menegaskan bahwa pendapat yang menyatakan batas
waktu membayar upah proses dan upah skorsing sampai pada putusan PHI tingkat
pertama adalah pendapat yang bertentangan dengan pengertian dari ‘berkekuatan
hukum tetap’ itu sendiri. Sebab, bila salah satu pihak atau para pihak mengajukan
kasasi terhadap putusan PHI tingkat pertama maka berkekuatan hukum tetap itu
melekat pada putusan kasasi.
Di dalam kasus/putusan Nomor12/G/2013/PHI.Smg Dan Nomor
40K/PDT.SUS-PHI/2014 yang akan penulis teliti ini, merupakan kasus PHK yang
dialami oleh seorang karyawan perusahaan Swasta di bagian marketing yang
bernama Didik Teguh Waksito, dia di PHK oleh perusahaannya yaitu PT.Sinar
Mas Multi Finance yang berkedudukan di Kota Semarang, Jawa Tengah. Didik
Teguh Waksito menggugat PT Sinar Mas Multifinance atas PHK yang
dialaminya. Penggugat di PHK dengan alasan tidak memenuhi target pemasaran
dan Tergugat melakukan PHK secara sepihak tanpa melalui musyawarah dengan
Penggugat. Sementara itu Pasal 151 ayat 2 UU No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan mengatur:
“Dalam hal segala upaya telah dilakukan , tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka
maksud PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan SP/Sb atau dengan pekerja/buruh 19 dan untuk mencapai kesepakatan penyelesaian terhadap PHK”
Bahwa Penggugat telah berusaha untuk merundingkan perkara PHK yang
dilakukan oleh Tergugat secara lisan melalui perundingan bipartit dengan pihak
Tergugat (PT. Sinar Mas Multifinance) agar dapat dipekerjakan kembali dan
atau kalau di PHK agar diberi pesangon sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003, akan tetapi pihak Tergugat (PT.Sinar Mas
Multifinance) tidak mau memberikan pesangon sesuai aturan, dan selama bekerja
Penggugat tidak pernah ditegur ataupun diberi surat peringatan dari Tergugat,
maka PHK secara lisan yang dilakukan oleh Tergugat kepada Penggugat adalah 19UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan,pasal 151 ayat 2
PHK tanpa kesalahan, oleh karenanya Penggugat menuntut mendapat uang
pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa
kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003;
Bahwa gaji Penggugat terakhir adalah sebesar Rp 2.850.000,00 maka
Penggugat berhak mendapatkan pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan
uang penggantian hak yang harus dibayar Tergugat kepada Penggugat dengan
masa kerja hampir 9 tahun adalah sebagai berikut;
Uang pesangon 2 x 9 x Rp2.850.000,00 = Rp 51.300.000,00
Uang penghargaan mass kerja 3 x Rp2.850.000,00 = Rp 8.550.000,00
Uang penggantian hak 15% x Rp59.850.000,00 = Rp 8.977.500,00
Jadi jumlah pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak yang harus dibayar Tergugat kepada Penggugat adalah Rp
68.827.500,00 ( enam puluh delapan juta delapan ratus dua puluh tujuh ribu lima
ratus rupiah).
Namun dari bukti-bukti yang diperoleh Majelis Hakim, Majelis Hakim
berpendapat sebagai berikut:
1 PHK yang dilakukan Tergugat adalah PHK yang berdasarkan pada Pasal 161
UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu PHK karena adanya
Pelanggaran dari Penggugat yang tidak memenuhi target dan tidak disiplin
dalam waktu bekerja.
2 Majelis Hakim tidak sependapat dengan permohonan Penggugat yang
menuntut uang pesaangon 2x (Pasal 156 ayat 2), uang penghargaan masa
kerja 1x (Pasal 15 ayat 3), uang penggantian hak sesuai (Pasal 156 ayat 4)
UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
3 Sehingga dalam hal pembayaran uang pesangon Penggugat berhak mendapat
uang pesangon sebesar 1x (Pasal 156 ayat 2), uang penghargaan masa kerja
sebesar 1x (Pasal 156 ayat 3) dan uang penggantian hak sesuai dengan (Pasal
156 ayat 4) UU no.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Berdasarkan Pasal 161 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
maka hak-hak pesangon Penggugat dalam perkara ini, adalah berdasarkan Pasal
161 UU No.13 Tahun 2003, yaitu :
1. Uang Pesangon
1 x 9 x Rp. 2.850.000 =Rp. 25.650.000,-
2. Uang Penghargaan Masa Kerja
3 x Rp. 2.850.000 =Rp. 8.550.000,-
3. Uang Penggantian Hak
15% x (Rp. 25.650.000 + Rp. 8.550.000) =RP. 5.130.000,- +
=Rp. 39.330.000,
(Tiga Puluh Sembilan Juta Tiga Ratus Tiga Puluh Ribu Rupiah)
Dalam Putusan NOMOR 12/G/2013/PHI Majelis Hakim mengabulkan
sebagian gugatan penggugat ( Didik Teguh Waksito) antara lain menghukum
Tergugat untuk membayar hak-hak pesangon Penggugat,Total Rp39.330.000,00
(tiga puluh sembilan juta tiga ratus tiga puluh ribu rupiah) yang harus dibayar oleh
tergugat (PT Sinar Mas Multifinance) dan Menghukum Tergugat untuk membayar
upah proses perkara ini dengan perhitungan gaji terakhir sebesar Rp.2.850.000 ,-
terhitung sejak bulan Januari 2013 sampai dengan putusan ini berkekuatan
hukum tetap Penggugat sampai dengan Putusan ini diucapkan.
Dan dalam putusan Kasasi Putusan Nomor40K/PDT.SUS-PHI/2014,
pemohon kasasi mengajukan keberatan dalam memori kasasinya, antara lain:
a. Bahwa dalam persidangan telah terungkap fakta melalui bukti tertulis yang
diajukan Pemohon Kasasi semula Tergugat berupa: bukti T-2 (absen yang
tidak tertib) dan keterangan dari 2 orang saksi yang bernama, Amal
Kurniawan dan Ignatius Gunawan yang melihat langsung tindakan-tindakan
selama Termohon Kasasi semula Penggugat bekerja di perusahaanPT. Sinar
Mas Multifinance cabang Semarang, sehingga apabila dikaitkan dengan
Peraturan Perusahaan, maka tindakan Pemohon Kasasi semula Tergugat
dalam melakukan tindakan pemutusan hubungan kerja tanpa pesangon
adalah sudah tepat, karena didasarkan atas ketentuan-ketentuan dalam
Peraturan Perusahaan yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang
untuk itu, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial
dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
b. Bahwa Termohon Kasasi semula Penggugat juga pernah berurusan dengan
pihak yang berwajib (dalam hal ini Polrestabes Semarang) dalam kaitannya
dengan dugaan ikut serta dalam tindak pidana penggelapan yang dilakukan
oleh seseorang yang bernama Fajar Priyono, sehingga akibat adanya
persoalan hukum tersebut pihak perusahaan dirugikan dari segi nama baik.
Dari pengajuan memori keberatan tersebut Majelis Hakim menolak
permohonan kasasi yang dilakukan PT. Sinar Mas Multifinance dengan
alasan tidak cukup bukti dan pemecatan/PHK yang dilakukan PT.Sinar Mas
Multifinance adalah PHK dengan kesalahan. Pihak PT.Sinar Nas
Multifinance harus memberikan pesangon yang telah ditentukan. Dan
menghukum Tergugat untuk membayar upah proses kepada Penggugat
sebesar 6 x Rp2.850.000,00 = Rp17.100.000,00 (tujuh belas juta seratus ribu
rupiah);
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti persoalan upah
proses, dengan studi kasus pada putusan PHI Tingkat 1 No.12/G/2013/PHI
dan putusan PHI tingkat Kasasi No.40K/PDT.SUS-PHI/2014
B. Permasalahan
Rumusan masalah berdasarkan uraian pada latar belakang masalah yaitu:
Apa dasar pertimbangan Majelis hakim pada Putusan Tingkat I dan Tingkat
Kasasi memutuskan tentang upah proses sudah sesuai dengan Undang-
Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan?
C. Tujuan Penelitian.
Adapun tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah:
Untuk mengetahui pertimbangan Majelis Hakim di Tingkat Pertama dan
Kasasi memutuskan Upah proses.
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat positif baik
secara teoritis maupun praktis, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan ilmu pengetahuan bidang hukum keperdataan khususnya
dalam hukum ketenagakerjaan mengenai kualifikasi hubungan kerja.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat dipahami secara baik oleh pekerja,
pengusaha, hakim Pengadilan Hubungan Industrial dan dapat memberikan
masukan kepada pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja agar dapat
menjamin hubungan kerja yang seimbang dalam pengaturan hak dan
kewajiban pihak pekerja/buruh dan pengusaha, sehingga pada akhirnya
pekerja/buruh serta pengusaha dapat saling merasakan ketentraman.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan yang digunakan
Pada penelitian ini adalah Yuridis Normatif, yaitu :
pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan baku utama, menelaah hal
yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi hukum,
pandangan dan doktrin-doktrin hukum, peraturan dan sistem hukum dengan
menggunakan data sekunder, diantaranya asas, kaidah, norma dan aturan
hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan
lainnya, dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan
dan dokumen lain yang berhubungan erat dengan penelitian.20
2. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data
a. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder yang
terdiri dari :
i. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
ii. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
iii. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial.
iv. Putusan Mahkamah Konstitusi No 37/PUU-IX/2011
v. Putusan PHI Tingkat I Nomor 12/G/2013/PHI
vi. Putusan Tingkat Kasasi Nomor 40K/PDT.SUS-PHI/2014
b. Teknik pengumpulan data pada skripsi ini melalui studi pustaka
3. Unit Amatan dan Unit Analisis
a. Unit Amatan dari penelitian ini yaitu :
i. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
ii. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
iii. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial
iv. Putusan Hakim Tingkat Pertama dan Tingkat Kasasi pada perkara
Nomor12/G/2013/PHI dan Nomor 40K/PDT.SUS-PHI/2014.
b. Sedangkan Unit analisisnya yaitu Upah Proses dalam PHK.
20Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2006, hlm.24.