FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …
Transcript of FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …
FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA
PRESTASI AKIBAT CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DALAM
USAHA JASA KONSTRUKSI (ANALISIS UNDANG–UNDANG NOMOR 2
TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Hukum (S.H.)
Oleh :
LABIBAH KHOIRUNNISA
NIM : 11170480000062
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H/2021 M
1
FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA
PRESTASI AKIBAT CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19)
DALAM USAHA JASA KONSTRUKSI (ANALISIS UNDANG-UNDANG
NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Hukum (S.H.)
Oleh :
LABIBAHKHOIRUNNISA
NIM : 11170480000062
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H/2021 M
i
FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA
PRESTASI AKIBAT CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DALAM
USAHA JASAKONSTRUKSI (ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 2
TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
LABIBAH KHOIRUNNISA
NIM: 11170480000062
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H. M.H.
NIP. 19670203 201411 1001 Dra. Ipah Farihah. M.H.
NIP. 19590819 199403 2001
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H/ 2021 M
ii
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya:
Nama : Labibah Khoirunnisa
NIM : 11170480000062
Program Studi : Ilmu Hukum
Alamat : Jl. WR. Supratman. Gg. Bacang. Kp. Utan Pesantren Luhur Sabilussalam Asrama 2 Putri No. 83 RT 03. RW 09
Nomor Kontak :085712304519
Email : [email protected]
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
syarat memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan
ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau
bukan merupakan hasil pemikiran saya, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatatullah Jakarta.
Jakarta, 11 April 2021
Labibah Khoirunnisa
iv
ABSTRAK
Labibah Khoirunnisa NIM 11170480000062, “FORCE MAJEURE SEBAGAI
ALASAN TIDAK TERPENUHINYA PRESTASI AKIBAT CORONA VIRUS DISEASE
2019 (COVID-19) DALAM USAHA JASA KONSTRUKSI (ANALISIS UNDANG-
UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI)”. Strata Satu (S1), Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas
Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442
H/2021 M, xii 67 halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk memecahkan permasalahan penelitian force majeure dalam usaha jasa konstruksi yang terdampak pandemi corona virus disease 2019 (COVID-19).
Secara khusus, skripsi ini mencoba mendalami penerapan pasal 47ayat (1) huruf j Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yang mengatur mengenai keadaan memaksa dalam penerapannya pada usaha jasa konstruksi yang terdampak penyebaran
pandemi corona virus disease 2019 (COVID-19). Dalam pasal aquo tidak dijelaskan secara
mendalam bentuk-bentuk apa saja suatu usaha jasa konstruksi dapat dinyatakan mengalami
force majeure, sehingga penerapan pasal ini dalam suatu kasus sering memunculkan ketidakpastian hukum. Pembahasan ini merupakan hal yang pentingkarena penyebaran
pandemi COVID-19 bagi usaha jasa konstruksi telah menimbulkan perdebatan mengenai
relevansi penerapan keadaan memaksa bagi usaha jasa konstruksi yang mengalami hambatan dalam menyelesaikan kegiatan usahanya.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif melalui pendekatan perundang-
undangan (statue approach) dan pendekatan kasus (case approach). Selain itu, penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data berupa studi pustaka. Melalui studi pustaka ini
peneliti mengumpulkan dokumen dan data untuk diolah menggunakan metode analisis isi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan force majeure pada usaha jasa
konstruksi yang terdampak pandemi COVID-19 adalah hal yang relevan untuk diterapkan. Hal ini sesuai dengan klasifikasi pembagian force majeure dalam beberapa bidang tertentu,
seperti relatif, subjektif, temporer, khusus, dan eksklusif. Selain itu, terdapat akibat hukum
penerapan force majeure dalam usaha jasa konstruksi, yaitu penghentian sementara kontrak, renegosiasi, dan pemberiankompensasi kepada buruh dalam usaha jasa konstruksi tersebut.
.
Kata Kunci :Force Majeure, Jasa Konstruksi, Corona Virus Disease 2019
Pembimbing Skripsi : Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.Dra.
Ipah Farihah, M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1990 sampai Tahun 2020
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah Swt yang telah memberikan nikmat dan karunia yang tidak
terhingga. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad Saw,
beserta seluruh keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau sampai akhir zaman nanti. Dengan
mengucap Alhamdulillâhi rabbil ‘âlamîn, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan
penelitian skripsi dengan judul
“FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA
PRESTASI AKIBAT CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DALAM USAHA
JASA KONSTRUKSI (ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2017
TENTANG JASA KONSTRUKSI).”
Skripsi ini tidak dapat peneliti selesaikan dengan baik tanpa selain Allah
S.W.T. dan bantuan serta dukungan berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini
berlangsung.
Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para
pihak yang telah memberikan peranan secara langsung maupun tidak langsung atas
pencapaian yang telah dicapai oleh peneliti, yaitu antara lain kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Jajarannya.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Drs. Abu
Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan arahan untuk
menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H. M.H. dan Dra. Ipah Farihah. M.H.
vi
Pembimbing Skripsi. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Penasehat Akademik yang
telah memberikan arahan, bimbingan, dan kesabaran dalam membimbing peneliti
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Kepada kedua orang tua peneliti, Bapak Hamka Nurul Huda dan Ibu Suciyati
yang selalu memberikan dukungan, baik materil maupun imateriil berupa
motivasi, do’a, bahkan kepercayaan untuk dapat duduk di bangku kuliah hingga
menyelesaikan gelar sarjana ini.
5. Pimpinan perpustakaan yang telah memberi fasilitas untuk mengadakan studi
kepustakaan.
6. Pihak-pihak lainnya yang telah memberikontribusi dalam penyelesaian skripsi ini.
Demikian ucapan terima kasih ini, semoga Allah memberikan balasan yang setara
kepada para pihak yang telah berbaik hati terlibat dalam penyusunan skripsi ini dan
semoga pula skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Jakarta, 11 April 2021
Labibah Khoirunnisa
NIM. 11170480000062
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYAT HALAMAN JUDUL .................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI .............................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................. iv
ABSTRAK ..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI ............................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ......................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian....................................................... 6
D. Metode Penelitian .......................................................................... 7
E. Sistematika Pembahasan .............................................................. 11
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG FORCE MAJEURE DALAM
HUKUM PERJANJIAN DAN HUKUM PERIKATAN
A. Kerangka Teori ........................................................................... 14
B. Kerangka Konseptual .................................................................. 23
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu............................................ 27
BAB III DAMPAK PANDEMI CORONA VIRUS DESEASE 2019 (COVID-
19)TERHADAP USAHA JASA KONSTRUKSI DI INDONESIA
A. Moratorium Penyelesaian Proyek Pemerintah ............................. 30
B. Instruksi Menteri Tentang Penghentian Sementara Usaha Jasa
Konstruksi ................................................................................. 33
C. Legalitas Force Mejeure Terhadap Pandemi Virus Corona ......... 35
BAB IV: PENERAPAN FORCE MEJURE AKIBATCORONA VIRUS
DISEASE 2019 (COVID-19) DALAM USAHA JASA
KONSTRUKSI
viii
A. Klasifikasi Force Majeure Pada Usaha Jasa Konstruksi
Terdampak COVID-19 .............................................................. 39
B. Interpretasi Penerapan Pasal 47 ayat (1) huruf J Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi Terhadap Ketentuan
Force Majeure Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19)
.......................................................................................................48
C. Akibat Hukum Force Majeure Pandemi Corona Virus Disease
2019Terhadap Perjanjian Usaha Jasa Konstruksi ........................ 58
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 65
B. Rekomendasi ............................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 67
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) merupakan virus yang
berkembang mematikan dengan cepat sejak bulan November 2019. Virusini
sangat mudah menular, terutama kepada tubuh yang memiliki imun yang
lemah menjadikan banyak orang cemas dan waspada akan penularan
COVID-19. Virus ini berkembang yang tadinya hanya sekedar wabah di
Wuhan, China, kemudian menjadi epidemi yang memiliki jangkauan
penyebaran yang lebih luas, hingga pandemi yang penyebarannya sudah
masuk ke berbagai negara di dunia dan tidak terkontrol.
Berbagai negara dibelahan dunia melakukan karantina, baik
karantina mandiri ataupun karantina serentak untuk menanggulangi
pencegahan penyebaran COVID-19, bahkan World Health Organization
(WHO) yang merupakan organisasi kesehatan dunia menetapkan status
pandemi dan lockdown dengan semakin merebaknya penyebaran virus
COVID-19 kepada 114 negara. Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia telah
menetapkan bahwa pandemi corona ini sebagai jenis penyakit yang dapat
menimbulkan kedaruratan kesehatan terhadap masyarakatnya1.
Permasalahan ini memberikan dampak pada segala sektor
kehidupan masyarakat, terutama dibidang ekonomi. Lapangan pekerjaan
yang makin menyempit, banyaknya pemutusan hubungan kerja antara
perusahaan dengan karyawan, dan menurunnya daya beli masyarakat
membawa Indonesia kedalam keadaan yang terbilang memprihatinkan.
1 Annisa Dian Arini, Pandemi Corona Sebagai Alasan Force Majeur Dalam Suatu Kontrak
Bisnis, (Supremasi Hukum, Jurnal Universitas Bengkulu), Vol. 9 No 1, Juni 2020, h. 42.
1
2
Berdasarkan keadaan ini, pemerintah mengeluarkan berbagai
regulasi untuk menangani pandemi COVID-19 ini, yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala
Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019
(COVID-19), Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019
(COVID-19), dan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang
Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) Sebagai Bencana Nasional.
Dengan penyebaran pandemi COVID-19 yang cepat dan tidak
terkendali membuat orang-orang masuk ke dalam perubahan kondisi
kehidupan yang sangat berbeda dari sebelumnya. Banyak aktivitas harian
yang tidak dapat berjalan dengan baik, salah satunya dalam hal hubungan
usaha. Tidak normalnya aktivitas dalam menjalankan usaha, memunculkan
hambatan-hambatan dalam melaksanakan hubungan usaha yang
sebelumnya sudah dibangun, yaitu perjanjian.
Kesulitan dalam memenuhi perjanjian tersebutlah menjadikan salah
satu pihak melakukan wanprestasi, yaitu kondisi tidak terpenuhinyaprestasi
sesuai dengan yang diperjanjikan antara kreditur dan debitur2. Wanprestasi
ini terjadi pada hampir segala sektor hubungan bisnis yang dilakukan
masyarakat, mulai dari yang paling kecil, seperti pembayaran cicilan
motor, hingga sektor usaha yang besar, seperti usaha jasa konstruksi.
Dalam kategori usaha jasa konstruksi, Kamar Dagang Industri
(KADIN) mengungkapkan bahwa sekitar 50% usaha jasa konstruksi di
Indonesia akan collapse imbas COVID-19 seperti yang terjadi di Jawa
Timur. Hal ini dikarenakan seluruh proyek yang berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negaram serta Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah ditarik semua dan dilakukan realokasi anggaran dengan
memprioritaskan semuanya pada sektor kesehatan. Hal ini menyebabkan
h. 180.
2 Salim HS, Pengantar Hukum PerdataTertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
3
usaha jasa konstruksi kehilangan proyek dan terhambatnya penyelesaian
proyek tersebut3.
Tidak hanya itu, Ketua Umum Gabungan Pelaksana Konstruksi
Nasional Indonesia (GAPENSI) Iskandar Z Hartawi menjelaskan proyek
pembangunan di suatu kabupaten terbengkalai karena material dan pekerja
proyek yang diangkut dari kabupaten tersebut terganggu akibat
pemberlakuan kebijakan karantina wilayah yang diberlakukan pimpinan di
daerah tersebut. Kondisi kedaruratan yang ditimbulkan oleh COVID- 19
berimplikasi pada ketidakmungkinan proses pengerjaan konstruksi bisa
berjalan normal, efektif, berkualitas dan tepat waktu. GAPENSI
menyimpulkan bahwa realitas saat ini sudah masuk kategori force majeure4.
Sebagai usaha yang masuk ke dalam kategori padat karya, tentu
goyahnya usaha jasa konstruksi merupakan hal yang berbahaya, mengingat
industri konstruksi menjadi penggerak bagi industri turunan di bawahnya,
seperti usaha semen, besi, kayu, dan lain sebagainya, tetapidalam hal usaha
jasa konstruksi tidak semua tindakan wanprestasi dapat dituntut ganti rugi
karena apabila salah satu pihak tidak dapat memenuhikewajibannya. Dalam
hal ini tidak terpenuhinya prestasi oleh salah satu pihak apabila bukan
karena kelalaiannya dikenal dalam hukum perdata dengan istilah force
majeure (keadaan memaksa).
Force majeure adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatya
perjanjian yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya. Dalam
hal ini debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak rugi5. Konsep Force
Majeure atau Keadaan Memaksa dalam Undang- Undang Jasa Konstruksi
dapat mengacu pada ketentuan Pasal 47 ayat (1) huruf j Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yang
3 https://www.antaranews.com/berita/1435408/kadin-sebut-jasa-konstruksi-jatim-terhenti-
akibat-pandemi-covid-19 diakses pada tanggal 20 November 2020, pukul 02.35 WIB. 4 https://finance.detik.com/infrastruktur/d-4963966/kontraktor-sebut-banyak-jalan-ditutup-
bikin-proyek-konstruksi-mandek diakses pada tanggal 20 November 2020, pukul 02.45 WIB. 5 Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Penemuan dan Kaidah Hukum,
(Jakarta: Prenamedia Group, 2018), h. 115.
4
mengatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat dalam usaha jasa
konstruksi harus memuat keadaan memaksa tentang keadaan di luar
kemampuan dan kemauan para pihak yang mengakibatkan kerugian salah
satu pihak. Keadaan memaksa dalam pasal ini dijelaskan lebih lanjut dalam
penjelasan pasal demi pasal yang membagi jenis keadaan memaksa
menjadi dua, yaitu absolut dan relatif yang masing-masing ditentukan oleh
kesanggupan penyelesaian proyek dalam usaha jasakonstruksi.
Pada dasarnya ketentuan keadaan memaksa yang menjadi dasar
dari force majeure dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Jasa Konstruksi tidak dirumuskan dengan jelas, melainkan hanya
menetapkan keadaan memaksa ketika suatu hal terjadi tanpa kehendak
pribadi para pihak6. Tidak ada contoh-contoh suatu kondisi dikatakan
keadaan memaksa, seperti bencana alam, bencana non alam, kerusuhan
sosial yang menyebabkan perdebatan dalam penerapan ketentuan ini. Hal
inilah yang memerlukan analisa lebih lanjut dalam peraturan perundang-
undangan mengenai penerapan force majeure dalam usaha jasa konstruksi
yang terdampak pandemi COVID-19.
Jika kita telusuri lebih dalam, mencuatnya variabel force majeure
dalam usaha jasa konstruksi ini berangkat dari Keputusan Presiden Nomor
12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona
Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional. Meskipun
demikian, beberapa kalangan menilai keluarnyaKeputusan Presiden a quo
tidak bisa menjadi alasan tunggal pemberlakuan force majeure.
Argumentasi penolakan ini diperkuat dengan pendapat Moh.
Mahfud MD dan Refly Harun yang mengatakan bahwa Keputusan Presiden
Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional bukan
merupakan alat yang digunakan pemerintah untuk memberikan dasar force
majeure bagi dunia usaha karena hal ini harus
6 https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5e81ae9a6fc45/wabah-corona-
sebagai-alasan-iforce-majeur-i-dalam-perjanjian/ diakses pada tanggal 20 November 2020, pukul
11.56 WIB
5
dikembalikan kepada masing-masing sektor usaha yang terdampak COVID-
197.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, peneliti
menemukan ratio legis untuk meneliti penerapan force majeure pada
sektor usaha jasa konstruksi yang terdampak pandemi Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2017 tentang Jasa Konstruksi, sehingga penelitian skripsi yang peneliti
lakukan berjudul : FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK
TERPENUHINYA PRESTASI AKIBAT CORONA VIRUS
DISEASE 2019 (COVID-19) DALAM USAHA JASA
KONSTRUKSI (ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 2
TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI)
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada penjabaran yang telah diuraikan dalam latar
belakang masalah, maka identifikasi masalah yang peneliti temukan
sebagai berikut :
a. Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang
massif di tengah masyarakat
b. Relevansi force majeure dengan penetapan Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) sebagai bencana nasional non alam
c. Rumusan force majeure dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2017 tentang Jasa Konstruksi yang tidak lengkap
d. Legalitas pemberlakuan force majeure dalam usaha jasa
konstruksi akibat dampak Corona Virus Disease 2019 (COVID-
19)
7https://kabar24.bisnis.com/read/20200415/15/1227419/pandemi-covid-19-bukan-force-
majeure-simak-penjelasan-pakar-hukum diakses pada tanggal 13 Oktober 2020, pukul 13.01
WIB.
6
e. Akibat hukum force majeure bagi usaha jasa konstruksi yang
terkena dampak Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahaan yang telah
diungkapkan di atas maka pembahasan yang peneliti akan lakukan
berfokus pada satu titik permasalahan. Peneliti ingin menganalisis
secara yuridis tentang relevansi penerapan force majeure akibat
pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) bagi sektor usaha
jasa konstruksi berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
tentang Jasa Konstruksi.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan
pembatasan masalah, maka dapat dipahami terdapat permasalahan
penelitian mengenai penerapan force majeure akibat Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) dalam usaha jasa konstruksi yang belum
pasti. Perumusan masalah peneliti jabarkan berupa pertanyaan
penelitian, sebagai berikut:
a.Apakah force majeure dapat dijadikan alasan tidak
terlaksananya prestasi akibat Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) dalamsektor usaha jasa konstruksi?
b.Bagaimana akibat hukum force majeure dalam usaha jasa
konstruksi terdampak Corona Virus Disease 2019 (COVID-
19)?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pertanyaan penelitian yang sudah diuraikan, maka
peneliti menyusun tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk menjelaskan penerapan force majeure dalam usaha jasa
konstruksi akibat Corona Virus Disease 2019(COVID-19).
7
2. Untuk mengidentifikasi akibat hukum hukum force majeure pada
usaha jasa konstruksi dimasa pandemi Corona Virus Disease 2019
(COVID-19).
D. Manfaat Penelitian
Secara garis besar, peneliti menemukan manfaat penelitian ini dibagi
menjadi dua, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat berguna sebagai dasar pengembangan ilmu
pengetahuan di bidang hukum perdata, khususnya hukum perjanjian.
2. Kegunaan Praktis
a. Sebagai upaya pengembangan kemampuan dan pengetahuan hukum
bagi peneliti mengenai alasan penundaan prestasi akibat Corona
Virus Disease 2019 (COVID-19) dan akibat penundaan pelaksanaan
prestasinya.
b. Desiminasi informasi force majeure bagi usaha jasa konstruksi
dimasa pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
c. Sebagai pengetahuan bagi masyarakat mengenai penggunaan
alasan force majeure dalam pandemi Corona Virus Disease 2019
(COVID-19).
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah yuridis normatif. Pendekatan tersebut mengacu kepada norma-
norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan
putusan-putusan pengadilan, serta norma-norma hukum yang ada dalam
masyarakat8. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan perundang-undangan (statue approach), yakni
8Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.10.
8
pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi.9 Dalam hal ini,
obyek normatif yuridis terletak di dalam Pasal 47 ayat (1) huruf j
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
Pada dasarnya penelitian ini berupaya untuk menggambarkan
permasalahan terkait relevansi penerapan force majeure pada sektor
usaha jasa konstruksi akibat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
melalui peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia.
2. Jenis Penelitian
Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif yang tidak
membutuhkan populasi dan sampel karena jenis penelitian ini
menekankan pada aspek pemahaman suatu norma hukum yang terdapatdi
dalam peraturan perundang-undangan serta norma-norma yang hidup dan
berkembang di masyarakat. Penelitian kualitatif menggunakan
lingkungan yang menjadi penelitiannya sebagai sumberdata, maksudnya
adalah data dan informasi lapangan ditarik maknanya dan konsepnya
melalui pemaparan deskriptif analitik tanpa harus menggunakan angka,
sebab lebih mengutamakan proses terjadinya suatu peristiwa dalam
situasi yang alami.
3. Data Penelitian
Data penelitian adalah satuan informasi yang dibutuhkan untuk
menjawab masalah penelitian. Oleh karena itu, data yang peneliti
gunakan untuk menjawab semua permasalahan yang ada dalam
penelitian ini ialah sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum
primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah peraturan
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
9Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Ed.Revisi, (Jakarta: KencanaPrenadamedia,2005), h. 178.
9
pembuatan peraturan perundang-undangan, dan putusan- putusan
hakim10.
b. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi
tentang hukum dalam bidang arbitrase meliputi buku-buku teks,
kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-komentar atas
norma hukum.
c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non-
hukum dapat berupa buku-buku mengenai ilmu ekonomi,
sosiologi, filsafat atau laporan-laporan penelitian non-hukum
sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Bahan-
bahan non-hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan
memperluas wawasan peneliti, sehingga penelitian yang
dilakukan peneliti dapat maksimal.
4. Sumber Data
Dalam penelitian ini terdapat beberapa data yang digunakan
diantaranya ialah :
a.Data Primer
Dalam hal penelitian ini yang termasuk sebagai data primer
ialah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa
Konstruksi, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial
Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona
Virus Disease 2019 (COVID-19), Peraturan Presiden Nomor 54
Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah,
Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan
Bencana Non Alam Penyebaran COVID-19 Sebagai Bencana
10Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenadamedia, 2010), h. 141.
10
Nasional, dan Instruksi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat Nomor 02/IN/M/2020 tentang Protokol Pencegahan
Penyebaran COVID-19 dalam Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
b. Data Sekunder
Dalam hal ini berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang
hukum dalam bidang pedata meliputi buku-buku teks, kamus
hukum, jurnal hukum, dan komentar-komentar atas norma hukum
dan lain-lain.
Data sekunder diperoleh melalui hasil studi kepustakaan,
yaitu pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal
dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta
dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif. Studi kepustakaan
dilakukan untuk memperoleh data sekunder yaitu melakukan
serangkaian kegiatan studi dokumentasi dengan caramembaca dan
mengutip literatur-literatur, mengkaji peraturan perundang-
undangan yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.
c. Bahan Hukum Tersier
Berupa sumber-sumber yang digunakan sebagai pelengkap
dari bahan sekunder dan bahan primer di anataranya, kamus,
ensiklopedia, dan sumber-sumber sejenis yang diakakses melalui
internet.
5. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan studi
kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan mencari referensi
untuk mendukung materi penelitian ini melalui berbagai literatur
seperti buku, bahan ajar perkuliahan, artikel, jurnal, skripsi, tesis,
dan peraturan perundang-undangan diberbagai
11
perpustakaan umum, serta universitas yang digunakan untuk bahan
analisa pada penelitian skripsi ini.
6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, maupun bahan non-hukum diuraikan dan
dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam
penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang
telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara
deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang
bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.
Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukananalisis terhadap
bahan hukum tersebut yang akhirnya akan diketahui permasalahan
mengenai penerapan force majeure terhadap penundaan prestasi
dalam sektor usaha jasa konstruksi akibat Corona Virus Disease
2019 (COVID-19).
7. Pedoman Penulisan
Pedoman yang digunakan dalam menyusun skripsi ini berpacu
dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku yang telah
disusun oleh Fakultas Syariah dan Hukum, yaitu “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017”.
F. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan skripsi ini terdiri atas lima bab yang masing-
masing bab terdiri dari sub bab guna memperjelas cakupan permasalahan
yang menjadi objek penelitian. Urutan objek penelitian untuk
menjelaskan objek penelitian yang menjadi bahan analisis peneliti dalam
memandang suatu permasalahan dalam rumusan masalah yang telah
peneliti susun. Urutan masing-masing bab dijabarkan lebih lanjut
sebagai berikut :
Bab Pertama peneliti membahas pendahuluan meliputi latar
belakang peneliti, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodepenelitian, dan sistematika
pembahasan.
12
Bab Kedua diuraikan tiga pokok pembahasan yang mendukung
penulisan skripsi, yaitu pembahasan terkait kajian teoritis, yakni teori-
teori yang berkaitan dengan pembahasan yang tertuang dalam tulisan
ini, kerangka konseptual, yakni kata yang sering digunakan dalam tulisan
ini, dan selanjutnya akan dijelaskan terkait tinjauan (riview) / kajian studi
terdahulu, agar tidak ada persamaan terhadap materi muatan dan
pembahasan dalamskripsi ini dengan apa yang ditulis oleh pihak lain.
Bab Ketiga peneliti akan fokus untuk menguraikan kasus dan
peraturan hukum yang berhubungan erat dengan titik pembahasan dalam
penelitian ini. Kasus yang didapatkan dari sumber yang jelas dan akurat
sebagai bahan pelengkap penulisan ini. Kasus dan aturan hukum yang
dianalisis oleh peneliti terkait dengan usaha jasa konstruksi yang
mengalami penundaan penyelesaian proyek akibat virus corona di
Indonesia.
Bab Keempat Pada bab ini peneliti membahas dan menjawab
permasalahan pada penelitian ini diantaranya menganalisis serta
menjawab permasalahan hukum yang timbul akibat penerapan force
majeure bagi sektor usaha jasa konstruksi akibat penyebaran Corona
Virus Disease 2019 (COVID-19) melalui analisis peraturan perundang-
undangan dan teori-teori hukum.
Bab Kelima menjadi bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan
hasil penelitian dan rekomendasi. Bab ini merupakan bab terakhir dari
sistematika penulisan skripsi yang pada akhirnya penelitian ini menarik
kesimpulan dari penelitian untuk menjawab pertanyaan penelitian, serta
memberikan rekomendasi- rekomendasi yang dianggap perlu.
BAB II
TINJAUAN UMUM FORCE MAJEURE
DALAMUSAHA JASA KONSTRUKSI
A. Kerangka Teori
1. Teori Hukum Perjanjian Perjanjian merupakan terjemahan dari kata ovreenkomst
(Belanda) atau contract (Inggris)1. Menurut Pasal 1313 KUH
Perdata Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan nama satu
orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang atau
lebih. Perjanjian merupakan peristiwa hukum yang berupa
tindakan hukum yang mengakibatkan timbulnya perikatan.
Menurut Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana
seseorang berjanji pada orang lain atau dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan satu hal2. Sedangkan menurut R.
Setiawan perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih3.
Lebih jelasnya mengenai perjanjian dijelaskan dengan
teori baru oleh Van Dunne, yaitu perjanjian adalah suatu
hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata
sepakat untuk menimbulkan akibat hukum, sedangkan menurut
KRMT Tirtoningrat berpendapat bahwa perjanjian adalah suatu
perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang
atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat
dipaksakan oleh undang-undang4.
1 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta : Sinar Grafika,
2002), h. 160. 2 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 2007), h. 141. 3 R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Bina Cipta, 2007), h. 49. 4Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam KontrakKomersial,
(Yogyakarta: Laks Bang Mediatama, 2008), h. 14.
14
15
Hukum perjanjian merupakan hukum yang terbentuk akibat
adanya suatu pihak yang mengikatkan dirinya kepada pihak lain atau
dapat juga dikatakan hukum perjanjian adalah suatu hukum yang
terbentuk akibat seseorang yang berjanji kepada orang lain untuk
melakukan sesuatu hal. Dalam hal ini, kedua belah pihak telah
menyetujui untuk melakukan suatu perjanjian tanpa adanya paksaan
maupun keputusan yang hanya bersifat satu pihak.
Perjanjian dalam Hukum Belanda, yaitu Bugerlijk Wetbook
(BW) disebut overeenkomst yang bila diterjemahkan dalam Bahasa
Indonesia berarti perjanjian. Perjanjian ini merupakan suatu peristiwa
hukum dimana seorang berjanji kepada orang lain atua dua orang
saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Menurut Munir Fuady banyak definisi tentang kontrak dan perjanjian
telah diberikan dan masing-masing bergantung kepada bagian-
bagian mana dari kontrak dan perjanjian tersebut yang dianggap
sangat penting. Bagian tersebutlah yang ditonjolkan dalam definisi
tersebut5.
Menurut M. Yahya Harahap suatu perjanjian adalah suatu
hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang
memberikan kekuatan hak pada suatu pihak uuntuk memperoleh
prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk
melaksanakan prestasi6. Pengertian kontrak atau perjanjian yang
dikemukakan para ahli tersebut melengkapi kekurangan definisi
Pasal 1313 BW, sehingga secara lengkap pengertian kontrak atau
perjanjian adalah perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih7.
Ada 5 (lima) sifat umum perjanjian, yaitu: harus sudah
tertentu atau dapat ditentukan, dapat dimungkinkan, diperbolehkan
5 Munir Fuady, Arbitrase Nasional; Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2000), h. 2. 6 Syahmin, Hukum Kontrak Internasional, (Jakarta: Rjagrafindo Persada, 2006), h.1. 7 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Kebebasan Proporsionalitas Dalam Kontrak
Komersial, (Jakarta: Prenada Media, 2019), h. 18.
16
oleh hukum, harus ada manfaat bagi para pihak dalam perikatan, dan
dapat terdiri dari satu atau beberapa perbuatan. Akibat dari tidak
dilaksanakannya prestasi di dalam perikatan disebut dengan
wanprestasi. Wanprestasi dapat diartikan sebagai suatu perbuatan
tidak melakukan atau memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan
dalam perikatan. Terdapat 2 (dua) macam tidak dipenuhinya
kewajiban; pertama, karena kesalahan, kesengajaan atau kelalaian
salah satu pihak. Beberapa bentuknya adalah tidak memenuhi
prestasi sama sekali yang menjadi kewajiban yang telah disanggupi,
prestasi telah dipenuhi tetapi keliru dan tidak sesuai dengan apa yang
telah dijanjikan, prestasi telah dipenuhi tetapi tidak tepat waktu atau
terlambat dari waktu yang telah ditentukan bersama, melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan8.
Hubungan hukum yang didasarkan pada perjanjian berfungsi
untuk menjamin bahwa sekuruh harapan yang dibentuk dari janji-
janji para pihak dapat terlaksana dan dipenuhi. Sehinggaa perjanjian
merupakan sarana untuk memastikan bahwa apa yang hendak dicapai
oleh para pihak dapat diwujudkan. Dapat dikatakan bahwa Hukum
perjanjian merupakan instrumen hukum yang mengatur terjadinya
pertukaran dan memberikan bentuk perlindungan bagi pihak yang
dirugikan. Menurut P.S Atijah, kontrak memiliki tiga tujuan, yaitu
kontrak wajib dilaksanakan (memaksa), serta memberikan
perlindungan terhadap suatu harapan yang wajar, kontrak berupaya
mencegah terjadinya suatu penambahan secara tidak adil, dan
kontrak bertujuan untuk mncegah terjadinya kerugian tertentu dalam
hubungan kontraktual9.
Menurut Beatson terdapat dua fungsi penting dari perjanjian,
yaitu untuk menjamin terciptanya harapan atas janji yang telah
dipertukarkan dan mempunyai fungsi konstitutif untuk memfasilitasi
transaksi yang direncanakan dan memberikan aturan
8 Fajar Sugianto, Perancangan & Analisis Kontrak, (Surabaya: R.A.De.Rozarie, 2017), h. 2. 9 P.S Atijah, An Introduction to the Law of Contract, 4thEd, (New York: Oxford University
Press Inc, 1996), h. 35.
17
bagi kelanjutannya ke depan10. Dalam kaitan dengan fungsi
perjanjian bagi perencanaan transaksi, Beatson memberikan
perhatian pada empat hal, yaitu kontrak pada umumnya menetapkan
nilai pertukaran (the value of exchange), dalam kontrak terdapat
kewajiban timbal balik dan standar pelaksanaan kewajiban, kontrak
membutuhkan alokasi pengaturan tentang risiko ekonomi (economic
risks) bagi para pihak, dan kontrak dapat mengatur kemungkinan
kegagalan dan konsekuensi hukumnya.
Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa,
perjanjian pada dasarnya menetapkan nilai-nilai yang dipertukarkan,
dengan meletakan kewajiaban secara timbal balik dengan segala
resiko yang mungkin timbul serta kemungkinan terjadinya
konsekuensi terjadinya kegagalan atau resiko.
2. Teori Hermeneutika Hukum
Pengertian (begreep) tentang hermeneutika hukum harus dilacak
terlebih dahulu pada arti kata hermeneutika. Secara etimologis, kata
“hermeneutic” atau “hermeneutika” merupakan padanan kata dari
bahasa Inggris, yaitu hermeneutic (tanpa’s’) dan ‘hermeneutics’
(dengan huruf’s’). Kata yang pertama dimaksudkan sebagai sebuah
bentuk adjective (kata sifat) yang apabila diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai tafsiran, yakni menunjuk
kepada ‘keadaan’ atau sifat yang terdapat dalam satu penafsiran.
Sementara kata kedua (hermeneutics) adalah sebuah kata benda (noun).
Kata ini mengandung tiga arti, yaitu ilmu penafsiran, ilmu untuk
mengetahui maksud yang terkandung dalam kata-kata dan ungkapan
penulis, serta penafsiran yang secara khusus menunjuk kepada
penafsiran atas teks atau kitab suci.
Kata hermeneutics juga berasal dari turunan kata benda
“hermeneia” (bahasa Yunani) yang secara harfiah dapat diartikan
sebagai ‘penafsiran’ atau ‘interpretasi: Dalam kosa-kata kerja,
ditemukan istilah “hermeneuo” dan/atau “hermeneuein. Hermeneuo
artinya mengungkapkan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata, dan
hermeneuein bermakna mengartikan, menafsirkan ataumenerjemahkan
dan juga bertindak sebagai penafsir. Ketiga
10 J. Beatson, Anson’s Lawof Contract, (New York: Oxford University Press, 2002), h. 2.
18
pengertian yang terakhir ini sebenarnya mau mengungkapkan bahwa
hermeneutika merupakan usaha untuk beralih dari sesuatu yang relatif
gelap ke sesuatu yang lebih terang11.
Kajian hermeneutika hukum mempuyai dua makna sekaligus,
yaitu hermeneutika hukum dipahami sebagai metode interpretasi atas
teks-teks hukum. Dimana interpretasi yang benar terhadap teks hukum
itu harus selalu berhubungan dengan kaidah hukumnya. Kedua,
hermeneutika hukum juga dapat dilakukan sebagai upaya penemuan
hukum. Hal ini ditunjukkan dalam kerangka lingkaran spiral
hermeneutika, yaitu proses timbal balik antara kaidah-kaidah dan fakta-
fakta. Dalil hermeneutika menjelaskan bahwa orang harus
mengkualifikasi fakta-fakta dalam hermeneutika sebagai metode
penemuan hukum melalui interpretasi teks hukum selalu menjadi
diskursus utama dalam setiap kajian hermeneutika hukum. Hal ini tidak
terlepas dari substansi filsafat hermeneutika adalah tentang hakikat
mengerti atau memahami sesuatu, yakni refleksi kefilsafatan yang
menganalisis syarat-syarat kemungkinan bagi semua pengalaman dan
pergaulan manusiawi dengan kenyataan, termasuk peristiwa mengerti
dan/atau interpretasi.
Menurut Bernard Arief Sidharta, dalam filsafat hermeneutika
khususnya pada peristiwa memahami atau menginterpretasi sesuatu,
subyek atau interpretator tidak dapat memulai upayanya dengan
mendekati obyek pemahamannya sebagai tabula rasa atau tidak
bertolak dari titik nol, sebab setiap orang terlahir kedalam suatu dunia
produk sejarah yang selalu menjalani proses menyejarah terus menerus,
yakni tradisi yang bermuatan nilai-nilai, wawasan- wawasan, pola-pola
perilaku dan sebagainya yang terbentuk dan berkembang oleh dan
dalam perjalanan sejarah. Jadi, tiap subyek, terlepas dan tidak
tergantung dari kehendaknya sendiri, selalu menemukan dirinya sudah
berada dalam suatu tradisi yang sudah ada12.
11 F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme don Modernitas (Diskursus Filosofis Tentang Metode Ilmiah don Problem Modernitas), (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 37.
12 B. Arief Sidharta, “Makalah Hermeneutik : landasan kefilsafatan ilmu hukum dalam Bahan
Kuliah/Handout Mata Kuliah Filsafat Hukum”, (Program doktor Ilmu Hukum UII Yogyakarta, 2007), h. 9.
19
Lewat proses interaksi dengan dunia sekelilingnya, tiap orang
menyerap atau diresapi muatan tradisi tersebut dan dengan itu
membentuk pra-pemahaman terhadap segala sesuatu, yakni prasangka
berupa putusan yang diberikan sebelum semua unsur yangmenentukan
sesuatu atau suatu situasi ditelaah secara tuntas dan dengan itu juga
terbentuk cakrawala pandang, yakni medan pengamatan atau range of
vision yang memuat semua hal yangtampak dari sebuah titik pandang
subyektif tertentu.
Pra pemahaman dan cakrawala pandang itu akan menentukan
persepsi individual terhadap segala sesuatu yang tertangkap dan
teregistrasi dalam wilayah pandang pengamatan individu yang
bersangkutan. Dalam dinamika proses insterpretasi, pra-pemahaman
dan cakrawala pandang dapat mengalami pergeseran, dalam arti
meluas, melebar dan meningkat derajat kedalamannya. Pergeseran ini
dapat mengubah pengetahuan subyek karena akan dapat memunculkan
hal-hal baru dan aspek-aspek baru dari hal-hal yang tertangkap dalam
cakrawala pandang.
Proses interpretasi itu berlangsung dalam proses lingkaran
pemahaman yang disebut lingkaran hermeneutik atau hermeneutische
zirkel, yakni gerakan bolak-balik antara bagian atau unsur-unsur dan
keseluruhan sehingga terbentuk pemahaman yang utuh. Dalam proses
pemahaman ini, tiap bagian hanya dapat dipahami secara tepat dalam
konteks keseluruhan, sebaliknya keseluruhan ini hanya dapat dipahami
berdasarkan pemahaman atas bagian-bagian yang mewujudkannya.
Lingkaran pemahaman ini dimungkinkan karena pada diri interpretator
sudah ada cakrawala pandang dan pra-pemahaman yang terbentuk
lewat interaksi dengan tradisi yang didalamnya ia menjalani kehidupan.
Bertolak dari pra- pemahaman dalam kerangka cakrawala pandangnya
tentang interpretandum atau ihwal yang mau dipahami sebagai suatu
keseluruhan, interpretator berusaha menemukan makna dari bagian-
bagian lalu berdasarkan pemahaman atas bagian-bagian tersebut dalam
hubungan antara yang satu dengan yang lainnya berupaya memahami
interpretandum, hasilnya disorotkan pada bagian-bagian guna
memperoleh pemahaman yang lebih tepat untuk kemudian hasilnya
disorotkan balik pada keseluruhan dan demikian seterusnya
20
sampai tercapai suatu pemahaman yang utuh dan tepat13
Menurut Bernard Arief Sidharta, filsafat hermeneutika
memberikan landasan kefilsafatan, yaitu ontologikal dan
epsitemologikal pada ilmu hukum, atau filsafat ilmu dari ilmu hukum.
Hal ini dikarenakan dalam mengimplementasikan ilmu hukum untuk
menyelesaikan suatu masalah hukum, misalnya di pengadilan, kegiatan
interpretasi itu tidak hanya dilakukan terhadap teks yuridis, melainkan
juga terhadap kenyataan yang menimbulkan masalah hukum yang
bersangkutan.
Menurut Fahruddin Faiz, hermeneutika berusaha menggali
makna dengan mempertimbangkan horison/cakrawala yang melingkupi
teks. Horison yang dimaksud adalah horison teks, horisonpengarang dan
horison pembaca. Dengan memperhatikan ketiga horizon tersebut,
diharapkan suatu upaya pemahaman atau penafsiran menjadi kegiatan
rekonstruksi dan reproduksi makna teks, disamping menelusuri
bagaimana suatu teks itu dilahirkan oleh pengarangnya dan muatan apa
yang masuk atau ingin dimasukkan oleh pengarang kedalam teks yang
dibuatnya kemudian disesuaikan dengan kondisi yang ada14.
Melakukan hermeneutika hukum berarti melakukan penafsiran
atas hukum. Menurut Prof. Satjipto Rahardjo secara garis besar
penafsiran dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu interpretasiharfiah,
interpretasi fungsional. Interpretasi harfiah merupakan interpretasi yang
semata-mata menggunakan kalimat dari peraturan sebagai
pegangannya. Dengan kata lain, interpretasi harfiah merupakan
interpretasi yang tidak keluar dari litera legis, sedangkan interpretasi
fungsional disebut juga dengan interpretasi bebas. Disebut bebas
karena penafsiran ini tidak mengikatkan diri sepenuhnya kepada
kalimat dan kata-kata peraturan atau litera legis. Dengan demikian,
penafsiran ini mencoba untuk memahami maksudsebenarnya dari suatu
peraturan dengan menggunakan berbagai sumber lain yang dianggap
bisa memberikan kejelasan yang lebih
13 B. Arief Sidharta, “Makalah Hermeneutik : landasan kefilsafatan ilmu hukum dalam Bahan
Kuliah/Handout Mata Kuliah Filsafat Hukum”,..., h. 10-11. 14 Fahruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi,
(Yogyakarta: Kalimedia, 2002), h. 11.
21
memuaskan15.
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo mengidentifikasikan
beberapa metode penafsiran hukum yang lazim digunakan, yaitu:
a. Interpretasi gramatikal atau penafsiran menurut bahasa,
merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling
sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-
undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan
kata atau bunyinya
b. Interpretasi teleologis atau sosiologis, tafsiran ini
menghubungkan makna undang-undang berdasarkan tujuan
kemasyarakatan. Jadi peraturan perundang-undangan bersifat
aktual.
c. Interpretasi sistematis atau logis, penafsiran ini digunakan
untuk menjelaskan hierarki peraturan perundang-undangan
dan hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lainnya.
d. Interpretasi historis, makna ketentuan dalam suatu peraturan
perundang-undangan dapat juga ditafsirkan dengan cara
meneliti sejarah pembentukan peraturan itu sendiri.
e. Interpretasi komparatif atau perbandingan, metode
penafsiran yang dilakukan dengan jalan memperbandingkan
antara beberapa aturan hukum. Tujuan hakim
memperbandingkan adalah dimaksudkan untuk mencari
kejelasan mengenai makna dari suatu ketentuan Undang-
Undang.
f. Interpretasi futuristis, metode penemuan hukum yang bersifat
antisipasi, yaitu menjelaskan ketentuan Undang-Undang yang
belum mempunyai kekuatan hukum. Dengan demikian,
interpretasi ini lebih bersifat ius constituendum daripada ius
constitutum16.
3. Teori Hukum Responsif
Hukum responsif adalah model atau teori yang digagas Nonet-
Selznick di tengah kritik Neo-Marxis terhadap liberal legalism.
Liberal legalism mengandaikan hukum sebagai institusi mandiri
dengan sistem peraturan dan prosedur yang objektif, tidak memihak,
dan benar-benar otonom. Ikon liberal legalism adalah otonomi hukum
dalam menjagaintegritasnya17.
Hukum adalah alat untuk manusia.Hukum merupakan
instrumen untuk melayani kebutuhan manusia. Dalam makna ini,
isolasi sistem hukum dari berbagai instrumen
15 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), h. 95.
16 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), h. 19.
17Bernadrd L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum Strategi
Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013), h. 183.
22
sosial di sekitarnya, berdampak buruk bagi sisi kebutuhan manusia itu
sendiri. Hukum dengan mudah menjadi institusi yang melayani dirinya
sendiri, bukan melayanimanusia.
Hukum tidak lagi bisa diandalkan sebagai alat perubahan dan
sebagai alat untuk mencapai keadilan substantif. Akibatnya jelas
legitimasi sosial dari hukum itu merosot tajam18. Tanda bahaya tentang
terkikisnya otoritas tersebut dan macetnya keadilan substantif menjadi
fokus kritik terhadap hukum19. Ditengah rangkaian kritik inilah Nonet-
Selznick mengajukan model hukum responsif.
Nonet-Selznick menempatkan hukum sebagai sarana respon
terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan
sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankanakomodasi
untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan
dan emansipasipublik.
Melihat hukum sebagai institusi sosial, berarti melihat hukum
itu dalam kerangka yang luas, yaitu yang melibatkan berbagaiproses dan
kekuatan dalam masyarakat. Seperti diungkapkan oleh Edwin M.
Schur, sekalipun hukum itu nampak sebagai perangkat norma-norma
hukum, tetapi hukum merupakan hasil dari suatu proses sosial, sebab
hukum dibuat dan dirubah oleh usaha manusia dan hukum itu
senantiasa berada di dalam keadaan yang berubah pula20.
Dalam teori hukum responsif, hukum dijadikan alat yang
mampu menampung aspirasi masyarakat sebagai suatu keniscayaan
dan mampu bergerak aktif mengikuti perkembangan masyarakat itu
sendiri.
Hukum responsif merupakan teori tentang profil hukum yang
dibutuhkan dalam masa transisi karena terlibat dalam perubahan situasi
masyarakat. Hukum harus peka terhadap situasi transisi di sekitarnya.
Hukum responsif tidak saja dituntut menjadi sistem hukum yang
terbuka, tetapi juga harus mengandalkan keutamaan tujuan, yaitu
tujuan sosial yang ingin dicapainya, serta akibat-akibat
18Eugene B. Rostow, Is Law Dead?, (New York: Simon and Schuster, 1971), h.7. 19 Phillipe Nonet and Phiip Selznick, Law and Society in Transition : TowardTanggapanive
Law, (London: Harper and Row Publisher, 1978), h. 5. 20 Satjipto Rahardjo. Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 1980), h. 17.
23
yang timbul dari bekerjanya hukum21.
Apa yang dikatakan Nonet dan Selznick ingin mengkritik
model analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek yang berkutat di
dalam sistem aturan hukum positif, model yang mereka sebut dengan
tipe hukum otonom. Hukum responsif, sebaliknya, pemahaman
mengenai hukum melampaui peraturan atau teks-teks dokumen dan
looking towards pada hasil akhir, akibat, dan manfaat dari hukum itu.
Itulah sebabnya, hukum responsif mengandalkan dua“doktrin” utama.
Pertama, hukum itu harus fungsional, pragmatik, bertujuan, dan
rasional. Kedua, kompetensi menjadi patokan evaluasi terhadap semua
pelaksanaan hukum. Karena kompetensi sebagai tujuan berfungsi
sebagai norma kritik, maka tatanan hukum responsif menekankan:
Keadilan substantif sebagai dasar legitimasi hukum,
Peraturan merupakan sub-ordinasi dari prinsip dan kebijakan,
Pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan akibat bagi
kemaslahatan masyarakat, penggunaan diskresi sangat dianjurkan
dalam pengambilan keputusan hukum dengan tetap berorientasi pada
tujuan, Memupuk sistem kewajiban sebagai ganti sistem paksaan,
Moralitas kerjasama sebagai prinsip moral dalam menjalankan
hukum, kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas hukum
dalam melayani masyarakat, Penolakan terhadap hukum harus dilihat
sebagai gugatan terhadap legitimasi hukum, sehingga terjadi
akseptabilitas hukum dengan masyarakat. Akses partisipasi pubik
dibuka lebar dalam rangka integrasi advokasi hukum dan sosial22.
Dalam hal inilah hukum responsif merupakan teori hukum
yang sangat tepat untuk suatu penelitan tentang perubahan-perubahan
kondisi sosial di masyarakat dengan menghubungkannya dengan
tanggapan hukum sebagai institusi yang mengaturmanusia.
B. Kerangka Konseptual
1. Keadaan Memaksa
21 Phillipe Nonet and Phiip Selznick, Law and Society in Transition : Toward
Tanggapanive Law, (London: Harper and Row Publisher, 1978), h. 9. 22 Satjipto Rahardjo, “Hukum Progressif (Penjelasan Suatu Gagasan),” Makalah
disampaikan pada acara Jumpa Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semarang, tanggal 4
September 2004, h. 206.
24
Keadaan memaksa atau disebut juga dengan istilah overmacht
atau force majeure adalah suatu keadaan diluar kendali manusia yang
terjadi setelah diadakannya perjanjian, yang menghalangi debitur
untuk memenuhi prestasinya kepada kreditur, sedangkan menurut R.
Setiawan yang dimaksud dengan keadaan memaksa adalah suatu
keadaan yang terjadi setelah dibuatnya persetujuan, yang menghalangi
debitur untuk memenuhi prestasinya, dimana debitur tidak dapat
dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat
menduga pada waktu persetujuan dibuat, seperti terjadi bencana alam,
gempa bumi, tsunami, dan tanah longsor.
Akibat keadaan memaksa ini segala ketidakmampuan
pelaksanaan prestasi bisa ditoleransi. Force majeure atau overmacht
adalah suatu keadaan yang dialami oleh debitur yang berada diluar
kekuasaan dan kekuatannya sehingga ia tidak mampu melaksanakan
prestasinya23. Force majeure dalam pelaksanaannya dibedakan
menjadi 2 (dua), yaitu : force majeure absolut dan force majeure
relatif. Force majeure absolut adalah suatu keadaan dimana debitur
sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur,
oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar24,
sedangkan force majeure relatif adalah suatu keadaan yang
menyebabkan dimana pemenuhan prestasi secara normal tidak
mungkin dilakukan, walaupun secara tidak normal masih mungkin
dilakukan.
Pembagian force majeure dapat juga dibedakan menjadi dua
hal, yaitu objektif dan subjektif. Force majeure objektif terjadi pada
benda yang merupakan objek dari kontrak tersebut, sehingga prestasi
tidak mungkin dipenuhi lagi, tanpa adanya kesalahan dari pihak
debitur, sedangkan force majeure subjektif adalah peristiwa yang
terjadi bukan terhadap benda yang merupakan objek dari kontrak yang
bersangkutan, melainkan dalam hubungan dengan keadaan atau
kemampuan dari debitur itu sendiri.25.
23 Firman Floranta Adonara, Aspek-aspek Hukum Perikatan, (Bandung: CV Mandar
Maju, 2014), h. 67. 24https://oemiy.wordpress.com/2010/12/30/keadaan-memaksa-overmacht-dalam-
hukum-perdata/ diakses pada tanggal 13 Oktober 2020, pukul 15.57 WIB. 25https://awalbarri.wordpress.com/2009/03/23/pengantar-hukum-bisnis/ diakses pada
tanggal 13 Oktober 2020, pukul 15.51 WIB.
25
Dari jangka waktunya, force majeure terbagi menjadi dua, yaitu
temporer dan permanen. Force majeure temporer mengakibatkan tidak
dapat terlaksananya prestasi sampai kapan punsebagai pemenuhan dari
suatu kontrak, sedangkan force majeure permanen terjadi terhadap
pemenuhan prestasi dari kontrak tersebut yang tidak mungkin
dilakukan untuk sementara waktu, dengan katalain setelah hilang efek
dari terjadinya peristiwa tertentu, maka prestasi tersebut dapat
dipenuhi kembali. Selain bentuk-bentuk di atas, terdapat pula bentuk
force majeure secara khusus dan eksklusif, dimana force majeure
khusus didasarkan karena undang-undang atau peraturan pemerintah
yang menyebabkan prestasi tidak dapat dilakukan, sedangkan force
majeure eksklusif berkaitan dengan bentuk klausula force majeure
yang tertera dalam perjanjian.26.
2. Corona Virus Disease 2019
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit
infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh severe acute
respiratory syndrome virus corona 2 (SARS-CoV-2) atau yang sering
disebut Virus Corona. Virus ini memiliki tingkat mutasi yangtinggi dan
merupakan patogen zoonotik yang dapat menetap pada manusia dan
binatang dengan presentasi klinis yang sangat beragam, mulai dari
asimtomatik, gejala ringan sampai berat, bahkan sampai kematian.
Pada 31 Desember 2019, WHO China Country Office
melaporkan kasus pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Kota
Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Pada tanggal 7 Januari 2020, Cina
mengidentifikasi pneumonia yang tidak diketahui etiologinya tersebut
sebagai jenis baru corona virus (corona virus disease, COVID-19).
Pada tanggal 30 Januari 2020 WHO telah menetapkan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia/ Public Health
Emergency of International Concern (KKMMD/PHEIC). Penambahan
jumlah kasus COVID-19 berlangsung cukup cepat dan sudah terjadi
penyebaran antar negara. Sampai dengan 3 Maret 2020, secara global
dilaporkan 90.870 kasus konfimasidi 72 negara dengan
26 Sukarmi, Cyber Law: Kontrak Elektronik dalam Bayang-bayang Pelaku Usaha, (Bandung:
Pustaka Sutra, 2008), h. 39.
26
3.112 kematian (CFR 3,4%)27.
Berdasarkan bukti ilmiah, COVID-19 dapat menular dari
manusia ke manusia melalui kontak erat ,droplet, dan melalui udara.
Orang yang paling berisiko tertular penyakit ini adalah orang yang
kontak erat dengan pasien COVID-19 termasuk yang merawat pasien
COVID-19. Rekomendasi standar untuk mencegah penyebaran infeksi
adalah melalui cuci tangan secara teratur, menerapkan etika batuk dan
bersin, menghindari kontak secara langsung dengan ternak dan hewan
liar serta menghindari kontak dekat dengan siapa pun yangmenunjukkan
gejala penyakit pernapasan seperti batuk dan bersin. Selain itu,
menerapkan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) saat berada di
fasilitas kesehatan terutama unit gawat darurat.
3. Jasa Konstruksi
Jasa konstruksi merupakan layanan usaha konsultasi konstruksi
dan/atau pekerjaan konstruksi. Pihak yang terlibat dalam usaha jasa
konstruksi ini adalah pengguna jasa dan penyedia jasa yangbisa berasal
dari orang perseorangan atau suatu badan. Hubungan kerja yang
digunakan dalam penyelenggaraan usaha jasa konstruksi ini
berdasarkan kepada perjanjian yang dibuat dan disepakati bersamaoleh
para pihak.
Sektor jasa konstruksi Indonesia, telah berkembang seiring
perkembangan Indonesia bahkan sektor ini telah berkembang sejak
jaman penjajahan. Sejarah mencatat, pemerintahan penjajahan Hindia
Belanda dan Inggris membangun beberapa prasarana penting
infrastruktur Indonesia, misalnya jalan-jalan di Pulau Jawa dari ujung
barat sampai ujung timur yang dikenal sebagai jalan Daendeles waktuitu,
bahkan rel kereta api yang ada saat ini, hampir seluruhnya dihasilkan di
jaman penjajahan Belanda dan ditemui bukti-bukti bahwa rel tersebut
adalah rel-ganda dibeberapa tempat tertentu. Setiap tahun, anggaran
jasa konstruksi baik yang dimiliki Pemerintahmaupun swasta jumlahnya
semakin besar. Setiap tahun anggaran jasakonstruksi, baik yang dimiliki
Pemerintah maupun swasta jumlahnyasemakin besar. Sebagai contoh
di tahun 2003 dana jasa konstruksi
27https://www.kemkes.go.id/resources/download/infoterkini/COVID19%20dokumen%20resm i/2%20Pedoman%20Pencegahan%20dan%20Pengendalian%20Coronavirus%20Disease%20(COVID-
19).pdf diakses pada tanggal 09 Desember 2020, pukul 15.17 WIB.
27
mencapai Rp. 159 triliyun dengansebaran 55% milik swasta dan 45%
milik Pemerintahan28.
Jasa konstruksi adalah sektor yang memegang peran penting
dalam pembangunan Indonesia. Melalui sektor inilah, secara fisik
kemajuan pembangunan dapat dilihat langsung, misalnya
pembangunan gedunggedung bertingkat maupun tidak bertingkat,
gedung apartemen/rusunnawa, mall yang tersebar di kota-kota,
perumahan hunian serta jembatan, jalan, pabrik, bending, dan
bendungan irigasi, termasuk pembangunan pembangkit listrik dan
transmisi, serta distribusinya dan banyak lagi bangunan konstruksi
yang ada di sekitar kita, sedangkan jasa konstruksi yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah usaha jasa konstruksi yang terdampak
pandemi COVID-19 dan menyebabkan usaha-usaha jasa konstruksi
tersebut mengalami hambatan untuk diselesaikan.
C. Tinjauan(Review) KajianTerdahulu
Dalam penelitian skripsi ini peneliti merujuk kepada buku
maupun jurnal terdahulu, tentunya terdapat pembeda yang membedakan
apa yang menjadi fokus masalah didalam rujukan dengan fokus
masalah yang penulis teliti, diantarannya :
1. Skripsi ditulis oleh Nova Noviana29. Fokus pembahasan skripsi ini
membahas mengenai aspek-aspek force majeure dalam perjanjian
yang terikat dalam KUHPerdata. Persamaan penelitian yang
dilakukan peneliti dengan skripsi ini terletak pada pembahasan
mengenai force majeure, alasan-alasan suatu kondisi dinyatakan
force majeure, klasifikasi force majeure dalam suatu perjanjian.
Perbedaannya terletak pada contoh kasus yang menjadi objek
penelitian. Dalam skripsi peneliti berfokus pada Corona Virus
Disease 2019 sebagai alasan force majeure dalam usaha jasa
konstruksi, sedangkan skripsi yang ditulis oleh Nova Noviana ini
berfokus pada perjanjian jual beli semen yang kemudian
28https://www.bphn.go.id/data/documents/jasa_konstruksi.pdf diakses pada tanggal 09
Desember 2020 pukul 14.36 WIB. 29Nova Noviana, Force Majeure Dalam Perjanjian (Studi Kasus di PT. Bosowa
Resources), (Makassar : Universitas Alauddin, 2016), h. 46.
28
mengalami force majeure.
2. Buku disusun oleh Rahmat S.S. Soemadipradja30. Fokus
pembahasan dalam buku ini mengenai penjelasan tentang force
majeure sebagai syarat pembatalan perjanjian. Persamaan
penelitian yang peneliti lakukan dengan buku ini terletak pada
pembahasan mengenai keadaan memaksa, syarat-syarat keadaan
memaksa, dan akibathukumnya.
Perbedaannya adalah peneliti berfokus kepada analisis
legalitas Corona Virus Disease 2019 sebagai alasan force
majeure, sedangkan dalam buku ini penulis hanya membahas
mengenai force majeure secara umum.
3. Artikel jurnal ditulis oleh Wardatul Fitri31. Fokus
pembahasanpada artikel ini mengenai status bencana nasional
COVID-19 yang memiliki implikasi yuridis terhadap pelaksanaan
hukum di Indonesia. Persamaan penelitian yang dilakukan peneliti
dengan jurnal ini terletak pada analisis mengenai objek hukum
Corona Virus Disease 2019 sebagai bencana nasional berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan
Bencana Non-alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) sebagai Bencana Nasional.
Perbedaannya peneliti berfokus pada analisis mengenai
legalitas Corona Virus Disease 2019 ditetapkan sebagai alasan
force majeure dalam usaha jasa konstruksi, sedangkan jurnal ini
berfokus kepada legitimasi penetapan Corona Virus Disease 2019
sebagai bencana nasionalnon-alam.
4. Artikel Jurnal ditulis oleh Siti Romlah32.
30 Rahmat S.S. Soemadipradja, Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa (Syarat-
Syarat Pembatalan Perjanjian Yang Disebabkan Keadaan Memaksa/Force Majeure), (Jakarta, Nasional
Legal Reform Program, 2010), h. 36. 31 Wardatul Fitri, Implikasi Yuridis Penetapan Status Bencana Nasional Pandemi Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) Terhadap Perbuatan Hukum Keperdataan, (Supremasi Hukum, Universitas
Alauddin Makassar), Vol. 9 No. 1, Juni 2020, h.80. 32 Siti Romlah, COVID-19 dan Dampaknya Terhadap Buruh di Indonesia, (‘Adalah
Buletin Hukum dan Keadilan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta), Vol. 4 No. 1, Juni
2020, h. 218.
29
Fokus pembahasan dalam jurnal ini mengenai tinjauan hukum
perburuhan dalam menghadapi COVID-19 sebagai kedaruratan
kesehatan. Persamaan penelitian yang dilakukan peneliti dengan
jurnal ini berfokus pada pembahasan tentang dampak yang
diberikan oleh COVID-19 di Indonesia.
Perbedaannya terletak pada objek fokus penelitiannya.
Peneliti memfokuskan skripsi pada analisa tentang legitimasi force
majeure sebagai keadaan memaksa untuk menyimpangi perjanjian
usaha jasa konstruksi yang menyebabkan tidak terpenuhinyaprestasi,
sedangkan jurnal ini berfokus pada dampak COVID-19 hanya
kepada keadaan buruh di Indonesia.
BAB III
DAMPAK PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19)
TERHADAP USAHA JASA KONSTRUKSI DI INDONESIA
A. Moratorium Penyelesaian Proyek Pemerintah
Sejak penyebaran pertama COVID-19 di Indonesia tanggal 2 Maret 2020 di
kota Depok, hingga saat ini COVID-19 telah menyebar merata di 33 Provinsi di
seluruh Indonesia dengan total akumulatif jumlah kasus COVID-19 ada
1.347.026 kasus positif di Indonesia berdasarkan data dari Satuan TugasPenanganan
COVID-191. Masifnya penyebaran COVID-19 ini menjadikan berbagai proyek
yang sedang dikerjakan oleh pemerintah terpaksa mengalami keterlambatan dari
target jadwal penyelesaiannya.
Salah satu proyek pemerintah yang mengalami hambatan penyelesaianakibat
COVID-19 ini adalah Proyek Peningkatan Jalan Poros Waturempe –Tiworo Jalur II.
Proyek ini adalah proyek paket pekerjaan konstruksi dari Dinas Pekerjaan Umum
dan Penataan Ruang Kabupaten Muna Barat yang dikerjakan oleh perusahaan
konstruksi bernama PT. Aneka Sukses Reksa Graha.
PT. Aneka Sukses Reksa Graha merupakan perusahaan konstruksi yang
berdiri sejak tanggal 17 Februari 2003 sesuai dengan akta notaris yang kemudian
disahkan oleh Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
pada tanggal 11 April 2003 melalui Keputusan Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi
Manusia Nomor: C-07955 HT.01.01.TH.2003 tentang Pengesahan Akta Pendirian
Perseroan Terbatas Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia. Perusahaan konstruksi ini memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB)
9120106302789 dengan NPWP 02.334.542.4-812.000.
1 Dokumen Kontrak Nomor 014/KTRK/DISPUPR-BM/2020 tentang Pembangunan/Peningkatan Jalan
Poros Waturempe – Tiworo Jalur II Kabupaten Muna Barat.
30
31
PT. Aneka Sukses Reksa Graha mempunyai visi, misi, dan kebijakan mutu,
yaitu mencapai target terbaik untuk pelanggan melalui upaya pengadaan produk
berkualitas, tenaga kerja yang profesional, perbaikan sistem managemen secara
berkesinambungan, serta memperhatikanKeselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
dalam setiap pelaksanaan Pekerjaan. Perusahaan konstruksi yang dipimpin oleh
Usneno Marliong sebagai Direktur Utama dan Yulike Chandra sebagai Komisaris
Perseroan ini beralamat di Jln. Jendral A. Yani No. 90 Wua-wua, Kendari, Sulawesi
Tenggara.
Perusahaan ini adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang perdagangan
umum, pembangunan, dan jasa. Sebagai perusahaan konstruksi, PT. Aneka Sukses
Reksa Graha bertindak sebagai kontraktor bangunan, yang termasuk di dalamnya
pembangunan dermaga, bendungan, tanggul, saluran air, jalan, jembatan, dan
berbagai jenis bangunan gedung yang jenis penanaman modalnya adalah Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN). Perusahaan konstruksi ini merupakan anggota
organisasi Gabungan Pengusaha Konstruksi Seluruh Indonesia (GAPEKSINDO).
PT. Aneka Sukses Reksa Graha ini tercatat pernah menangani proyek
Preservasi Jalan Awunio-Batas Kota Kendari-Bandara Haluoleo-Pohara, proyek
Pembuatan Jalan Lingkungan Dengan Asphalt Hotmix Termasuk Marking 5.400 M2
yang berlokasi di Bandar Udara Haluoleo Kendari, Pekerjaan peningkatan jalanan di
pesisir Teluk Kendari dari Pasar Sentral Kota ke Kendari Beach, proyekPeningkatan
Jalan Kendari – Toronipa, Rehabilitasi/Pemeliharaan Jalan Kawasan Kadia – Wua-
Wua – Baruga Provinsi Sulawesi Tenggara, dan proyek-proyek lainnya2.
Berdasarkan pengalaman yang panjang PT. Aneka Sukses Reksa Graha
tersebut mendapatkan kepercayaan dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan
Ruang Kabupaten Muna Barat melalui mekanisme tender untuk mengerjakan
2https://dokumen.tech/document/bab-iiia-laporan-kp.html diakses pada tanggal 5 Maret 2021, pukul 18.02 WITA.
32
proyek Pembangunan/Peningkatan Jalan Poros Waturempe – Tiworo Jalur II
Kabupaten Muna Barat. Proyek ini dikerjakan berdasarkan kontrak Nomor
014/KTRK/DISPUPR-BM/2020 tanggal 8 Mei 2020. Berdasarkan Surat Perjanjian
Mulai Kerja (SPMK) proyek peningkatan jalan ini harus selesai selama 150 hari
kalender dan pekerjaan harus sudah selesai pada tanggal 04 Oktober 2020.
Dalam perjalanannya, pekerjaan yang seharusnya selesai sesuai dengan
kontrak tersebut berjalan tidak sesuai target. Hal ini dikarenakan merebaknya virus
COVID-19 di wilayah Indonesia, termasuk Provinisi Sulawesi Tenggara. Masuknya
COVID-19 di wilayah Sulawesi Tenggara ini menjadikan Pemerintah Provinsi
Sulawesi Tenggara mengeluarkan Himbauan Nomor 443/4724 tentang Peningkatan
Pelaksanaan Protokol Kesehatan Dalam Pencegahan Penularan Corona Virus
Disease – 19 (COVID-19) dan Surat Edaran Nomor 443/1436 tentang Perpanjangan
Penerapan Sistem Kerja Aparatur Sipil Negara Dengan Menjalankan Tugas
Kedinasan Dengan Bekerja Di Rumah/Tempat Tinggalnya/Work From Home
(WFH) Di Lingkungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Hal ini juga disusul
dengan dikeluarkannya Instruksi Walikota Kendari Nomor 443.1/907/2020 tentang
Pengawasan Wilayah Perbatasan Kota Kendari yang meminta masyarakat tidak
meninggalkan wilayah kota Kendari3.
Berdasarkan hal ini, PT. Aneka Sukses Reksa Graha mengeluarkan Surat
Permohonan Perpanjangan Waktu Penyelesaian Pekerjaan Selama 50 hari yang
ditujukan kepada Kuasa Pengguna Anggaran selaku pejabat pembuat komitmen
yang menyebutkan kendala pekerjaan yang dihadapi adalah penghentian
pengoperasian Kapal Tongkang yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah setempat
yang merupakan dampak dari COVID-19. Surat permohonan ini dilanjutkan dengan
penyampaian Surat Pernyataan dari Direktur Utama PT. Aneka Sukses Reksa
Graha, Usneno Marliong mengenai kesanggupan menyelesaikan proyek
3Dokumen Kontrak Nomor 014/KTRK/DISPUPR-BM/2020 tentang Pembangunan/Peningkatan Jalan Poros
Waturempe – Tiworo Jalur II Kabupaten Muna Barat.
33
apabila diberikan perpanjangan waktu selama 50 hari kalender terhitung sejak
berakhirnya pelaksanaan pekerjaan.
Melihat ketidaksanggupan PT. Aneka Sukses Reksa Graha dalam
menyelesaikan proyek yang dijanjikan, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Muna
Barat melakukan justifikasi teknik pekerjaan peningkatan jalan poros waturempe –
tiworo jalur II yang salah satu analisis permasalahannya adalah pemberlakuan PSBB
oleh Pemerintah Daerah terkait akibat dampak COVID-19 menghambat
penyelesaian proyek yang kemudian dituangkan dalam Berita Acara Hasil Evaluasi
Peninjauan Lapangan Nomor: 004.b/ADENDUM/PUPR- BM/IX/2020 yang
memberikan kesimpulan bahwa proyek tidak mungkin selesai tepat waktu. Atas
dasar ini Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang mengeluarkan Surat
Penetapan Penambahan Waktu Penyelesaian Pekerjaan Nomor:
004.c/ADENDUM/PUPR-BM/X/2020 yang memberikan legitimasi penambahan
waktu 50 hari penyelesaian pekerjaan konstruksi dari PT. Aneka Sukses Reksa
Graha.
Dasar hukum semua beleid ini adalah Kontrak antara PT. Aneka Sukses
Reksa Graha dengan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Muna
Barat Nomor: 014/KTRK/DISPUPR-BM/2020 yang dalam Point B.5 tentang
Keadaan Kahar Pasal 37 tentang Keadaan Memaksa mencantumkancontoh keadaan
kahar adalah tidak terbatas pada bencana alam, bencana non alam, bencana sosial,
pemogokan, kebakaran, kondisi cuaca ekstrem, dan gangguan industri lainnya.
Klausula tersebut diperkuat dengan Pasal 37 point 7 dan point 9 yang menyatakan
apabila keadaan kahar bisa dilakukan perubahan kontrak untuk memperpanjang
waktu penyelesaian proyek yang dikerjakan.
B. Instruksi Menteri Tentang Penghentian Sementara Penyelenggaraan Usaha
Jasa Konstruksi
Pada tanggal 27 Maret 2020 Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono
34
mengeluarkan Instruksi Menteri Nomor 02/IN/M/2020 tentang Protokol Pencegahan
Penyebaran COVID-19 dalam Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Dalam Instruksi
Menteri ini memuat soal penghentian sementara penyelenggaraan jasa konstruksi
akibat keadaan kahar atau force majeure4.
Berdasarkan peraturan a quo skema protokol pencegahan COVID-19 dalam
penyelenggaraan jasa konstruksi pada angka 2 huruf b tentang Identifikasi Potensi
Bahaya COVID-19 di Lapangan disebutkan dalam hal penyelenggaraan jasa
konstruksi teridentifikasi tiga hal, maka penyelenggaraan jasa konstruksi tersebut
dapat diberhentikan sementara akibat keadaan kahar, yaitu memiliki risiko tinggi
akibat lokasi proyek berada di pusat sebaran, telah ditemukan pekerja yang positif
dan/atau berstatus Pasien Dalam Pengawasan (PDP), dan pimpinan Kementerian
atau Lembaga atau Instansi atau Kepala Daerah telahmengeluarkan peraturan untuk
menghentikan kegiatan sementara akibat keadaan kahar.
Dalam bagian Tindak Lanjut Terhadap Kontrak Penyelenggaraan Jasa
Konstruksi huruf A mengenai Penghentian Pekerjaan Sementara pada nomor 1
dalam Instruksi Menteri a quodisebutkan dalam hal Kontrak Penyelenggaraan Jasa
Konstruksi ditetapkan untuk diberhentikan sementara akibat keadaan kahar, maka
diberlakukan ketentuan, yaituuntuk pengusulan penghentian sementara dapat
dilakukan oleh PPK dan/atau Penyedia Jasa berdasarkan usulan Satgas Pencegahan
COVID-19 setelah dilakukan Identifikasi Potensi Bahaya COVID-19 di Lapangan,
selanjutnya penghentian sementara tersebut ditetapkan oleh PPK setelah
mendapatkan persetujuan dari Kasatker/KPA dan Kabalai dan dilaporkan kepada
Direktur Jenderal.
Efisiensi penyelenggaraan terkait waktu penghentian sementara, dalam
Instruksi Menteri poin nomor 3 menyebutkan bahwa waktu penghentian paling
sedikit 14 (empat belas) hari kerja atau sesuai dengan kebutuhan yang disertai
dengan laporan pencegahan dan penanganan COVID-19 di lokasi proyek dan
penetapan keadaan kahar. Khusus untuk pekerjaan yang bersifat strategis nasional
4Instruksi Menteri Nomor 02/IN/M/2020 tentang Protokol Pencegahan Penyebaran COVID-19 dalam
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
35
sebagai pelaksanaan Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden atau Instruksi
Presiden maupun direktif lainnya, PPK menetapkan penghentian pekerjaan
sementara akibat dari keadaan kahar sesuai ketentuan dan melaporkan untuk
mendapatkan persetujuan Menteri PUPR5.
Dalam hal penghentian sementara dilakukan tidak boleh melepaskan hak dan
kewajiban Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa terhadap kompensasi biaya upah tenaga
kerja konstruksi, subkontraktor, produsen dan pemasok yang terlibat. Artinya, upah
tenaga kerja konstruksi tetap harus dibayarkan. Berdasarkan hal ini dapat kita lihat
bahwa pemerintah telah memperhitungkan dampak pandemic COVID-19 ini yang
merugikan proses penyelesaian proyek-proyek pemerintah. Oleh karena itu,
pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan tertentu untuk mengantisipasi
dampak langsung penyebaran COVID-19 terhadap usaha jasa konstruksi.
C. Legalitas Force Majeure Terhadap Pandemi Virus Corona
Pada tanggal 13 April 2020, Presiden Joko Widodo menerbitkan Keputusan
Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Non Alam
Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai Bencana Nasional.
Status Bancana Non Alam menggambarkan bencana yang diakibatkanperistiwa atau
rangkaian peristiwan non alam, seperti kegagalan teknologi, gagal modernisasi,
epidemi, dan wabah penyakit. Sesuai Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang berwenang
menetapkan status bencana nasional dan daerah adalah pemerintah6. Normatifnya
penetapan status dan tingkat bencana memuat indikator yang meliputi jumlah
korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan luas
wilayah yang terkena bencana, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
Dalam konsiderans Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 jelas bahwa
penetapan status darurat nasional didasarkan pada meningkatnya jumlah korbandan
kerugian harta benda, meluasnya cakupan wilayah yang terkena bencana, dan
timbulnya implikasi sosial ekonomi yang sangat luas. Presiden menetapkan
5Instruksi Menteri Nomor 02/IN/M/2020 tentang Protokol Pencegahan Penyebaran COVID-19 dalam
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. 6Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
36
bencana nasional dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984
tentang Wabah Penyakit Menular, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, dan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19),
sebagaimana diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2020.
Terbitnya Keputusan Presiden ini menimbulkan spekulasi bagi para pelaku
bisnis mengenai dapat dijadikan dasar berlakunya keadaan memaksa (force
majeure) terhadap kontrak-kontrak bisnis yang telah disepakati sebelum terbitnya
Keputusan Presiden tersebut.
Alasan anggapan para pelaku usahan tersebut menganggap pandemi virus
corona ini bagian dari force majeure karena pandemi ini adalah bagian dari
bencana dan kejadian luar biasa yang menyebabkan orang tidak mampu memenuhi
prestasinya karena peristiwa diluar kemampuannya, sehingga perjanjian-perjanjian
atau kontrak keperdataan secara otomatis dapat diubah atau dibatalkan.
Pada dasarnya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 ini lahir dari
perkembangan dua aturan hukum sebelumnya yang juga mengatur mengenai
penanggulangan virus corona, yaitu Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020
pada tanggal 31 Maret 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Peraturan Pemerintah
Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Ratio legis Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tersebut pada dasarnya
mencoba menerapkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan yang menyebutkan bahwa Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang luar biasa dengan ditandai
dengan penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yag disebabkanoleh radiasi
nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang
menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas
negara.
37
Lompatan logika ke dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan inilah yang kemudian memunculkan perbincangan di
publik tentang istilah lockdown dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 menyebutkan Karantina
Wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah
pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau
terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran
penyakit atau kontaminasi. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah lockdown,
sementara Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berdasarkan Pasal 1 angka
11 adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang
diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk
mencegah kemungkinan penyebaranpenyakit atau kontaminasi. Kendati demikian,
terlepas dari berbagai perbedaan pendapat tentang kebijakan pemerintah dalam
penerapan lockdown atau PSBB, pada akhirnya pemerintah memilih kebijakan
PSBB dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)8.
Oleh karena itu, secara logika hukum diterbitkannya Keputusan Presiden
Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran COVID
19 sebagai Bencana Nasional, yang selanjutnya pada tataran implementasi
ditindaklanjuti dengan kebijakan pemerintah Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB) dan social distancing, yang pada akhirnya menyebabkan terhalangnya
kewajiban debitur untuk memenuhi prestasinya kepada kreditur dapat dijadikan
alasan untuk membela diri atas tuntutan wanprestasi dengan alasan keadaan
memaksa (force majeure atau overmacht).
Hal ini bisa disandarkan pada pendapat Rahmat S.S. Soemadipraja dalam
bukunya Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa / force majeure
menyebutkan force majeure berdasarkan penyebab, yaitu suatu keadaan
8 Wardatul Fitri, Implikasi Yuridis Penetapan Status Bencana Nasional Pandemi Corona Virus Disease
2019 (COVID-19) Terhadap Perbuatan Hukum Keperdataan, (Jurnal Supremasi Hukum), Vol. 9 No. 1, Juni 2020,
h. 77.
38
memaksa yang disebabkan oleh karena suatu keadaan dimana terjadi perubahan
kebijakan pemerintah atau hapus dan atau dikeluarkannya kebijakan yang baru
yang mana berdampak pada kegiatan yang sedang berlangsung, misalnya dengan
dikeluarkannya/diterbitkannya suatu Peraturan Pemerintah.
Senada dengan hal tersebut, Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, SH., MH., pada saat
memberikan pendapat ahli dari tergugat dalam Putusan Pengadilan Hubungan
Industrial Palu sengketa PHK register perkara Nomor : 14/Pdt-Sus-
PHI/2014/PN.Pal tanggal 30 Oktober 2014 juga menyatakan keadaan force majeure
tidak hanya disebabkan oleh tindakan alam tetapi juga karena adanya regulasi9.
Terlepas apakah para pihak dalam suatu perjanjian mengatur mengenai pandemi
sebagai alasan force majeure, ketentuan Pasal 1245 KUHPerdata tetap berlaku dan
harus dipatuhi. Selain itu, dalam konteks pandemi COVID-19 force majeure dapat
diklaim karena para pihak tidak dapat memprediksi pandemi dan tidak memiliki
contributory effect, serta pandemi inimenjadi suatu halangan yang terjadi secara
umum.
9https://www.hukum-hukum.com/2017/07/force-majeure-yang-diakibatkan-regulasi.html, diakses pada
tanggal 28 Desember 2020, pukul 03.43 WITA.
BAB IV
PENERAPAN FORCE MEJURE AKIBAT CORONA VIRUS DISEASE 2019
(COVID-19) DALAM USAHA JASA KONSTRUKSI
A. Klasifikasi Force Majeure Pada Usaha Jasa Konstruksi yang Terdampak
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
Pandemi COVID-19 yang menyebar ke seluruh belahan bumi menjadikan berbagai
aktivitas manusia turut mengalami perubahan. Aktivitias normal manusia yang tadinya
bisa bekerja keluar rumah dan masuk kantor pada hari-hari biasa, kini mengalami
perubahan yang signifikan, dimana setiap orang diharuskan untuk bekerjadi dalam rumah
dan tidak bepergian kemanapun, termasuk ke tempat kerja.
Perubahan aktivitas bekerja tersebut membawa masalah pada keberlangsungan
pekerjaan itu sendiri. Banyak dari jenis pekerjaan tertentu tidak dapat berjalan
maksimal, bahkan harus dihentikan sementara. Hal ini menyebabkan hubungan-
hubungan hukum yang dijalin sebelum dan pada saat pekerjaan tersebut berlangsung
mengalami hambatan. Hubungan hukum tersebut terjalin dalam lingkup perdatadimana
perjanjian pengadaan suatu kerja sama tertentu dalam menyelenggarakan usaha terpaksa
tidak dapat berjalan seperti biasa. Hal ini terjadi akibat salah satu pihak tidak dapat
memenuhi prestasinya terhadap pihak lainnya. Kondisi inilah yang disebut dengan
wanprestasi1.
Dalam usaha jasa konstruksi kondisi berhentinya pekerjaan tersebut memberikan
dampak yang besar, yaitu pekerja dirumahkan tanpa pemberian upah dan jadwal
penyelesaian proyek yang mengalami kemunduran. Hal ini menempatkan usaha jasa
konstruksi berada dalam kondisi ingkar janji. Namun, kondisi ingkar janji tersebut bisa
ditinjau kembali dengan kondisi objektif situasi usaha jasa konstruksi yang terdampak
pandemi COVID-19.
1 Djaja S. Meliala, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, (Bandung: Nuansa Aulia, 2012), h.175.
39
40
Kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diterapkan berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 yang kemudian diubah dengan
pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) skala mikro menyebabkan
terjadinya hal-hal yang berada di luar jangkauan perkiraan para pihak sebelum perjanjian
kerja diberlakukan. Social distancing dan work from home dijadikan alasan bagi usaha
jasa konstruksi untuk tidak melaksanakanprestasinya terlebih dahulu2.
Hal ini pun seakan didukung oleh lahirnya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun
2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) yang memberi sumber legitimasi penerapan ketentuan force majeure dalam
usaha jasa konstruksi. Jika kita melihat pada ketentuan force majeure pada KUHPerdata,
maka pengaturan dalam KUHPerdata tidak memberikan definisi yang jelas dan rigid
mengenai force majeure, melainkan hanya menekankan tata cara penggantian biaya,
rugi, dan bunga yang dapat dijadikan acuan sebagai pengaturan force majeure3. Dalam
teori hukum perjanjian, terdapat beberapa asas yang harus dipenuhi dalam suatu kontrak,
yaitu:
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan :
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”. Perjanjian yang disebut, juga mengikat para pihak
sebagaimana mengikatnya sebuah Undang- Undang yang dapat diartikan bahwa para
pihak harus tunduk pada perjanjian yang telah mereka buat, sama seperti mereka
tunduk pada Ketentuan Undang-Undang. Indonesia menganut sistem terbuka dalam
hukum perjanjiannya. Berlakunya asas kebebasan berkontrak ini tidaklah mutlak,
KUHPerdata memberikan pembatasan atau ketentuan terhadapnya, inti pembatasan
tersebut dapat dilihat antara lain:
a. Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata, bahwa perjanjian tidak sah apabila dibuat
tanpa adanya sepakat dari pihak yang membuatnya;
b. Pasal 1320 ayat (2) KUH Perdata, kebebasan yang dibatasi oleh kecakapan
untuk membuat suatu perjanjian;
2Annisa Dian Arini, Pandemi Corona Sebagai Alasan Force Majeure Dalam Suatu Kontrak Bisnis, (Supremasi
Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta), Vol. 9, No. 1 Juni 2020, h. 43. 3Agri Chairunisa Isradjuningtias, Force Majeure Dalam Hukum Kontrak Indonesia, (Veritas Et Justitia,
Universitas Parahyangan), Vol. 1, No. 1 2015, h. 140.
41
c. Pasal 1320 ayat (4) jo Pasal 1337 KUH Perdata, menyangkut causa yang
dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan baik atau
bertentangan dengan ketertiban umum;
d. Pasal 1332 KUH Perdata batasan kebebasan para pihak untuk membuat
perjanjian tentang objek yang diperjanjikan;
e. Pasal 1335 KUH Perdata, tidak adanya kekuatan hukum untuk suatu perjanjian
tanpa sebab, atau sebab yang palsu atau terlarang; dan
f. Pasal 1337 KUH Perdata, larangan terhadap perjanjian apabila bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan baik atau ketertiban umum
b. Asas Konsensual
Pasal 1320 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perikatan ini berasaldari
kata latin “Consensus” yang berarti untuk suatu perjanjian disyaratkan adanya
kesepakatan. Arti asas konsensualisme adalah pada dasarnya perjanjian sudah lahir
sejak dari terciptanya kesepakatan.
c. Asas Kekuatan Mengikatnya Perjanjian
Pasal 1338 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menerangkan:
“Segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”, artinya tersirat pula ajaran asas kekuatan mengikat yang
dikenal juga adagium “Pacta sunt servanda” yang berarti janji yang mengikatdan juga
sebenarnya yang dimaksudkan oleh pasal tersebut, tidak lain dari pernyataan bahwa
tiap perjanjian mengikat kedua belah pihak4.
d. Asas Iktikad Baik
Pasal 1338 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu asas yang
mengajarkan bahwa para pihak yang membuat perjanjian harus benar-benar
mempunyai maksud untuk mentaati dan memenuhi perjanjian dengan sebaik-
baiknya. Menurut Subekti, pengertian Itikad baik dapat ditemui dalam hukum benda
(pengertian subjektif), maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam
Pasal 1338 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (pengertian objektif),
itikad baik dalam pelaksanaan kontrak adalah berarti kepatuhan, yaitu penilaian
terhadap tindak tanduk suatu pihak dalam hal melaksanakan apa yang
4 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta:PT. Intermasa, 2010), h. 27.
42
telah dijanjikan dan bertujuan untuk mencegah kelakuan yang tidak patut dan
sewenang-wenang dari salah satu pihak5. Asas iti-kad baik terbagi menjadi dua
macam,yakni itikad baik nisbi dan itikad baikmutlak. Pada itikad yang
pertama,seseorang memperhatikan sikap dantingkah laku yang nyata dari
subjek.Pada itikad yang kedua, penilaian terletakpada akal sehat dan keadilan serta
dibuatukuran yang obyektif untuk menilai kea-daan (penilaian tidak memihak)
menurutnorma-norma yang objektif. Berbagaiputusan Hoge Raad (HR) yang
eratkaitannya dengan penerapan asas itikadbaik dapat diperhatikan dalam kasus-
kasus posisi berikut ini. Kasus yang pa-ling menonjol adalah kasus SarongArrest dan
Mark Arrest. Kedua arrestini berkaitan dengan turunnya nilaiuang(devaluasi)
Jerman setelah Perang DuniaI
e. Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan yang dimaksud ialah bahwa setiap orang yang akanmengadakan
perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dikemudian
hari. Asas kepercayaan sendiri sangat penting dalam membuat kontrak, karena
kepercayaan dapat menimbulkan keyakinan bagi para pihak bahwa kontrak akan
dilaksanakan oleh para pihak yang membuat kontrak tersebut. Oleh karena itu, para
pihak terlebih dahulu harus menumbuhkan kepercayaan diantara mereka, bahwa satu
sama lain akan memenuhi janji yang disepakati atau melaksanakan prestasinya
dikemudian hari. Dengan kepercayaan, kedua pihak mengikatkan dirinya kepada
kontrak yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai Undang-Undang sebagaimana
ditentukan dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Yang berarti semua perjanjian
yang dibuat secara sah dan berlaku seperti Undang- Undang bagi mereka yang
membuat perjanjian tersebut. Kepercayaan sebagaimana dimaknai seperti diatas,
dipahami sebagai faktor yang menentukan kekuatan mengikat suatu perjanjian.
f. Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan disini ialah suatu asas yang menghendaki kedua belah pihak
memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk
menuntut haknya atau prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut prestasi
5 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 2007), h. 30.
43
terhadap debitur atau pihak terkait, namun debitur memikul pula kewajiban untuk
melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.
g. Asas Kepatutan
Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana berkaitan dengan
ketentuan mengenai isi perjanjian. Suatu perjanjian yang didalam terdapat prestasi
maka para pihak yang terkait didalamnya harus memenuhi prestasi yang telah
disepakati.
h. Asas Kebiasaan
Diatur dalam Pasal 1339 jo. Pasal 1347 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Pasal
1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, berbunyi: Suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk
segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan,
atau undang-undang.
i. Asas Kepribadian
Asas kepribadian (personality). Asas kepribadian tercantum dalam Pasal 1340 KUH
Perdata: “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.
Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga, tak dapat
pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam
Pasal 1317”. Pasal 1315 KUH Perdata menegaskan: “Pada umumnya seseorang
tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.”
Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana pengantar
dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan
untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri,
atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”
Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian
untuk diri sendiri, melainkan juga untukkepentingan ahli warisnya dan untuk orang-
orang yang memperoleh hak dari padanya.
Berdasarkan asas tersebut terdapat beberapa asas yang terlanggar dengan
terjadinya wanprestasi, yaitu asas konsensualisme, asas kekuatan mengikatnya suatu
perjanjian, asas iktikad baik, asas kepercayaan, dan asas keseimbangan. Sifat
44
wanprestasi yang menegasikan kesepakatan yang telah dibuat dalam suatu perjanjian
telah menghilangkan sifat konsensualisime yang mengikat dalam perjanjian tersebut.
Terlanggarnya perjanjian tersebut pula merupakan tanda hilangnya iktikad baik yang
menggerus kepercayaan salah satu pihak dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. Pada
akhirnya, yang hilang dalam asas perjanjian tersebut adalah asas keseimbangan. Dimana
suatu perjanjian hanya dilaksanakan oleh satu pihak, sedangkan pihak lain tidak
menjalankan perjanjian yang sudah disepakatati bersama.
Namun, kondisi tersebut berbeda ketika kondisi tidak terlaksananya suatu
perjanjian tidak didasarkan wanprestasi, tetapi force majeure. Sebagai salah satu konsep
yang terdapat dalam hukum perdata, force majeure sangat erat hubungannya dengan
masalah ganti rugi pada suatu kontrak atau perjanjian. Hal tersebut dikarenakan force
majeure membawa konsekuensi hukum, tidak hanya hilang atau tertundanya kewajiban-
kewajiban dalam suatu kontrak untuk melaksanakan prestasi, tetatp force majeure dapat
membebaskan para pihak untuk memberikan ganti rugi akibat tidak terlaksananya
kontrak. Pada dasarnya pengaturan dalam KUHPerdata hanyalah mengatur masalah
force majeure dalam hubungannya dengan pergantian ganti rugi dan bunga saja.
Keadaan memaksa atau force majeur diatur dalam buku IIIKUHPerdata Pasal 1244 dan
1245.
Dalam Pasal 1244 KUH Perdata jika ada alasan untuk si berutang harus dihukum
menggangti biaya, rugi, dan bunga, bila ia tidak membuktikan bahwa hal tidak
dilaksanakannya atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu,
disebabkan karena suatu hal yang tak terduga tak dapat dipertanggung jawabkan
padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada pada pihaknya, sedangkan
dalam Pasal 1245 KUHPerdata dijelaskan tentang pembebasan pembayaran biaya, rugi,
dan bunga oleh debitur apabila telah terjadi keadaan memaksa atau karena suatukeadaan
yang tidak disengaja, sehingga mengakibatkan debitur berhalangan memberikan atau
berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal- hal yang sama telah melakukan
perbuatan yang terlarang. Pada dasarnya sama dengan pasal sebelumnya yaitu
menjelaskan tentang pembebasan debitur dalam membayar ganti rugi kerugian
45
jika dirinya melakukan wanprestasi. Tidak dilaksanakannya prestasi tersebut
dikarenakan adanya suatu keadaan yang memaksa atau tidak disengaja6.
Pada klausa force majeure memberikan perlindungan yang diberikan terhadap
kerugian yang disebabkan oleh kebakaran, banjir, gempa, hujan badai, angin topan atau
bencana alam lainnya, pemadaman listrik, kerusakan katalisator, sabotase, perang,
invasi, perang saudara, pemberontakan, revolusi, kudeta militer, terorisme, nasionalisasi,
blokade, embargo, perselisihan perburuhan, mogok, dan sanksi terhadap suatu
pemerintahan yang pada intinya setiap keadaan tersebut diterjemahkan sebagai keadaan
memaksa dan tidak terduga bagi para pihak pada saat kontrak tersebut dibuat. Hal ini
membuat pemenuhan prestasi tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada masing-
masing pihak.
Jika kita vis a vis kan ketentuan force majeure tersebut dengan kondisi pandemi
COVID-19 yang datang secara tiba-tiba, maka dapat dikatakan bahwa pandemi
COVID-19 adalah keadaan memaksa yang tidak dapat diprediksi sebelumnya oleh
para pihak pada saat suatu kontrak dibuat. Terlebih, dalam konsep force majeure
terdapat pembagian variabel, yaitu force majeure absolut dan force majeure relatif,
serta force majeure objektif dan force majeure subjektif.
Untuk konsep force majeure absolut, debitur berada dalam keadaan memaksa
apabila pemenuhan prestasi itu tidak mungkin (ada unsur impossibilitas) dilaksanakan
oleh siapapun juga atau oleh setiap orang. Dalam ajaran ini pikiran para sarjana tertuju
pada bencana alam atau kecelakaan yang hebat yang menyebabkan pihak tertentu berada
dalam posisi mustahil untuk memenuhi prestasi.
Berbeda dengan konsep force majeure relatif yang menandai kondisi debitur yang
masih memungkinkan memenuhi perutangan sebagai kewajibannya menjalankanprestasi,
tetapi memerlukan pengorbanan besar yang tidak seimbang apabila prestasi
dilaksanakan atau kekuatanjiwa di luar kemampuan manusia atau dan menimbulkan
kerugian yang sangat besar7.
6 Ahmadi Miru, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456, (Jakarta: Rajawali Pers
Raja Grafindo Persada, 2016), h. 13. 7Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum Perutangan, Bagian A (Jogjakarta: Seksi
Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1980), h. 20.
46
Begitu juga dengan konsep force majeure objektif dan subjektif. Dalam konsep
force majeure objektif salah satu pihak berada dalam kondisi barang yang dijanjikan
musnah atau hilang, sehingga prestasi tidak bisa dijalankan sebagaimana yang
dijanjikan. Hal ini terdapat dalam pasal 1444 KUHPerdata yang menyebutkan
bahwa,”Jika barang tertentu yang menjadi bahan persetujuan musnah, tidak lagi dapat
diperdagangkan atau hilang sedemikian hingga sama sekali tidak diketahui apakah
barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya”8, sedangkan pada force majeure
subjektif peristiwa yang terjadi bukan terhadap benda yang merupakan objek dari
kontrak yang bersangkutan, melainkan dalam hubungan dengan keadaan atau
kemampuan dari debitur itu sendiri, misalnya, jika debitur sakit berat atau cacat seumur
hidup sehingga tidak mungkin lagi melakukan prestasi. Inilah yang menyebabkan
konsep ini dikatakan force majeure subjektif karena alasan bisa atau tidaknya prestasi
dipenuhi kembali kepada nilai subjektif masing-masing pihak9.
Berdasarkan variabel konsep force majeure ini, maka kondisi pelaku usaha jasa
konstruksi yang tidak mampu memenuhi prestasi dapat digolongkan kepada force
majeure relatif dan force majeure subjektif. Hal ini dikarenakan kondisi pandemi
COVID-19 yang menyebar luar di Indonesia bersifat sementara (relatif), sehingga
pelaku usaha jasa konstruksi dapat menjalankan kewajiban prestasinya apabila pandemi
COVID-19 telah selesai atau setidak-tidaknya dapat dikontrol oleh pemerintah melalui
penanganan yang baik, selain itu pandemi COVID-19 juga bisa digolongkan pada force
majeure subjektif mengingat tidak semua kondisi pelaku usaha dapat serta merta
dikategorikan force majeure akibat pandemi COVID-19, melainkan harus diteliti
terlebih dahulu secara kontekstual.
Hal ini seperti dalam kasus usaha jasa konstruksi yang mengalami hambatan
penyelesaian pada saat pandemi COVID-19, yaitu usaha jasa konstruksi Proyek
Pembangunan/Peningkatan Jalan Poros Waturempe – Tiworo Jalur II Kabupaten Muna
Barat, dengan kontrak Nomor 014/KTRK/DISPUPR-BM/2020 tanggal 8 Mei 2020.
Berdasarkan Surat Perjanjian Mulai Kerja (SPMK) proyek peningkatan jalan ini harus
selesai selama 150 hari kalender dan pekerjaan harus sudahselesai pada tanggal 04
Oktober 2020, namun terhambat akibat penyebaran COVID-19
8Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2001), h. 25. 9Sukarmi, Cyber Law: Kontrak Elektronik dalam Bayang-bayang Pelaku Usaha, (Bandung: Pustaka Sutra,
2008), h. 40.
47
menjadikan pembangunan proyek terhambat10. PT. Aneka Sukses Reksa Graha
mengeluarkan Surat Permohonan Perpanjangan Waktu Penyelesaian Pekerjaan Selama
50 hari yang ditujukan kepada Kuasa Pengguna Anggaran selaku pejabat pembuat
komitmen yang didalamnya menyebutkan kendala pekerjaan yang dihadapi adalah
penghentian pengoperasian Kapal Tongkang yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah
setempat.
Setelah Pemerintah Daerah Kabupaten Muna Barat melakukan justifikasi teknik
pekerjaan peningkatan jalan poros waturempe – tiworo jalur II sebagai tanggapan dari
surat permohonan PT. Aneka Sukses Reksa Graha, Pemerintah Daerah Kabupaten Muna
Barat menemukan salah satu kendala yang dihadapi dalam proyek ini adalah
merebaknya virus COVID-19 di Provinisi Sulawesi Tenggara yang menjadikan
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara memberlakuan PSBB terkait akibat dampak
COVID-19. Berdasarkan hal ini, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang
Kabupaten Muna Barat mengeluarkan Surat Penetapan Penambahan Waktu
Penyelesaian Pekerjaan yang memberikan legitimasi penambahan waktu 50 hari kepada
PT. Aneka Sukses Reksa Graha.
Berdasarkan contoh kasus yang telah peneliti paparkan, maka dapat kita lihat
pengaruh penyebaran pandemi COVID-19 dalam sektor jasa usaha konstruksi. Pengaruh
ini sudah pasti membawa perubahan yang signifikan dalam proses pelaksanaan proyek,
yang akibatnya segala hal yang terjadi berada di luar dugaan para pihak pada saat
membuat kontrak dikategorikan sebagai keadaan memaksa dalam perjanjian. Selain itu,
dalam konsep force majeure juga terdapat bentuk-bentuk khusustidak dapat dipenuhinya
prestasi oleh pihak tertentu, salah satunya adalah akibat dikeluarkannya peraturan
perundang-undangan oleh pemerintah11.
Berdasarkan hal ini, keluarnya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang
Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
sebagai Bencana Nasional pada tanggal 13 April 2020 yang menetapkanstatus bencana
nasional non-alampada pandemi COVID-19, kemudiandisusuldengan
10https://www.tribunnews.com/bisnis/2020/07/27/target-proyek-kereta-cepat-jakarta-bandung-molor-
hingga-2022-akibat-pandemi diakses pada tanggal 28 Januari 2020, pukul 20.11 WITA. 11Sukarmi, Cyber Law: Kontrak Elektronik dalam Bayang-bayang Pelaku Usaha, (Bandung: Pustaka Sutra,
2008), h. 41.
48
terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial
Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) dan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah
mewajibkan setiap orang untuk melakukan social distancing, work from home,
pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang secara teori hukum
responsif merupakan bentuk terobosan hukum pemerintah dalam melakukan
pembaharuan aktivitas masyarakat sebagai upaya penanganan pandemi COVID-19.
Secara diakronik, berdasarkan hal ini dapat kita lihat bahwa force majeure akibat
pandemi COVID-19 masuk ke dalam bentuk khusus force majeure akibat peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
B. Interpretasi Penerapan Pasal 47 ayat (1) huruf J Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2017 tentang Jasa Konstruksi Terhadap Ketentuan Force Majeure Pandemi
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
Usaha jasa konstruksi merupakan usaha jasa yang memiliki peranan penting dan
strategis dalam pembangunan suatu wilayah. Dengan peran pentingnya tersebut, jasa
konstruksi menghasilkan produk akhir berupa bangunan atau bentuk fisik lain, baik
berupa sarana maupun prasarana yang nanti akan menjadi pendukung kemajuan di
bidang ekonomi, sosial maupun budaya.
Pengadaan jasa konstruksi yang memenuhi tata nilai pengadaan dan kompetitif
akan sangat penting peranannya bagi ketersediaan infrastruktur yang berkualitas,
sehingga akan berdampak pada peningkatan pelayanan publik dan pengembangan
perekonomian daerah12. Mengingat pentingnya peranan jasa kontruksi inilah, maka
diperlukan peraturan atau payung hukum mengenai tata cara pemilihan penyedia jasa
konstruksi yang jelas dan komprehensif, termasuk pengaturan mengenai segala hal yang
mungkin terjadi apabila penyelenggaraan usaha jasa konstruksi mengalami masalah.
Berdasarkan hal ini, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Jasa Konstruksi yang lahir sebagai pembaharuan terhadap Undang-Undang Nomor 18
Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi yang dipandang belum dapat memenuhi tuntutan
12 Point menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi
49
kebutuhan tata kelola yang baik dan dinamika perkembangan penyelenggaraan jasa
konstruksi13.Dalam Undang-Undang a quo terdapat ketentuan mengenai kontrak jasa
konstruksi, yakni Pasal 47 ayat (1) huruf J yang menyebutkansuatu hal yang harus ada
dalam penyusunan kontrak jasa konstruksi, yaitu klausula keadaan memaksa.
Keadaan memaksa dalam pasal tersebut didefinisikan sebagai ketentuan yang
memuat tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak yang
menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Secara lebih rinci, eksposisi pasaltersebut
berada dalam penjelasan pasal demi pasal yang menjelaskan dikotomi keadaan memaksa
tersebut, yakni keadaan memaksa yang bersifat absolut, yaitu kondisi dimana para pihak
tidak mungkin melaksanakan hak dan kewajibannya, serta keadaan memaksa yang
bersifat tidak mutlak (relatif), yakni keadaan dimana para pihak masih dimungkinkan
untuk melaksanakan hak dan kewajibannya, namun bersifat sulit. Hal ini membuktikan
bahwa force majeure dalam usaha jasa konstruksimemiliki pijakan legitimasi.
Jika kita melihat definisi keadaan memaksa dalam Pasal 47 ayat (1) huruf j
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, dapat kita lihat bahwa
definisi yang diberikan tidak cukup untuk memberikan kepastian hukum. Hal ini
dikarenakan terdapat hal-hal yang menimbulkan multiinterpretasi dalam penerapannya.
Dalam pasal a quo tidak diatur mengenai contoh keadaan-keadaan yang menjadi
keadaan memaksa tersebut, misalnya bencana alam, gunung meletus, banjir, tanah
longsor, bencana non-alam, huru hara, dan lain-lain.
Titik inilah yang menjadikan penerapan keadaan memaksa pada penyebaran
pandemi COVID-19 bagi usaha jasa konstruksi menjadi perdebatan jika dikaitkan
dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Disinilah perlu
dilakukan metode penemuan hukum berdasarkan teori hermeneutika hukum untuk
membaca teks dan konteks yang terjadi pada Pasal 47 ayat (1) huruf j Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi dan kondisi penyebaran pandemi corona
virus disease 2019 (COVID-19).
13 Point menimbang huruf d Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi
50
Pendekatan teori hermeneutika yang merupakan metode penemuan hukum
dengan cara interpretasi dapat digunakan sebagai alternatif dalam memahami makna
hakiki “teks” atau “sesuatu”. Menurut JJ. H. Bruggink, dalam hal ini ditampilkan
lingkaran hermeneutical, yaitu berupa proses timbal balik antara kaidah-kaidah dan
fakta-fakta sebab dalil hermeneutika menyatakan bahwa orang harus mengkualifikasi
fakta-fakta dalam cahaya kaidah-kaidah dan menginterpretasi kaidah-kaidah dalam
cahaya fakta-fakta, termasuk dalam paradigma dari teori penemuan hukum dewasa ini14.
Dalam hal lain pendekatan hermeneutika hukum dapat dilakukan sebagai upaya
membangun penafsiran hukum yang komprehensif, sehingga konstruksi hukum tidak
terjebak pada penafsiran teks semata sebagaimana selama ini cenderung dilakukan oleh
hakim dalam memutus perkara yang berkaitan dengan force majeure, khususnya
pemberlakukan pasal 47 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Jasa Konstruksi. Pendekatan teori hermeneutika hukum mempertimbangkan keterkaitan
antara teks, konteks dan kontekstualiasasi yang sejalan dengan metode yang diterapkan
oleh penemuan hukum dalam memahami serta mengungkapkan kebenaran.
Berbasis pada interpretasi teks hukum dan pemaknaan falsafati hukum, pendekatan
hermeneutika membuka kesempatan bagi seseorang tidak hanya berkutat dengan
paradigma positivis dengan penafsiran gramatikal dan otentiknya, yang selama ini
dianggap melanggengkan pemikiran kaku. Kajian hermeneutika hukum mengajak para
pengkaji hukum agar menggali dan meneliti makna-makna hukum dari persperktif para
pengguna dan/atau para pencari keadilan sehingga kajian hermeneutik ini perlu bagi
hakim yang dalam kesehariannya bertugas memaknai hukum, agar putusannya dapat
memenuhituntutan keadilan masyarakat.
Letak penting dan kebaruan hermeneutika hukum, yaitu pada saat seseorang
menemukan hukum baik saat melakukan interpretasi hukum maupun konstruksihukum.
Pada saat melakukan interpretasi atas teks hukum/peraturan perundang- undangan yang
dijadikan dasar pertimbangannya, serta interpretasi atas peristiwa dan fakta hukumnya itu
sendiri. Salah satu metode penemuan hukum yang berkaitan dengan teori hermeneutika
hukum adalah penafsiran hukum.
14 Marthinus Mambaya, “Hermeneutika Hukum”, (Jurnal Hukum, Vol. XVII Edisi Khusus 2007,Semarang:
Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung), h. 96.
51
Penafsiran hukum merupakan salah satu metode penemuan hukum untuk mengetahui
makna undang- undang.Pembenarannya terletak pada kegunaannya untuk melaksanakan
ketentuan yang konkret dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri15.
Dari segi metode penafsiran hukum, terdapat beberapa metode yang dapat
digunakan, yaitu16:
a. Penafsiran gramatika (tata bahasa), yaitu mencari makna suatu ketentuan hukum
dari kata-katanya menurut pemakaian bahasa sehari-hari dan/atau pemakaian
secara teknis yuridis. Penafsiran ini merupakan sarana tertua yang dimiliki para
ahli hukum (yuris) untuk menafsirkan peraturan perundang-undangan.
b. Penafsiran historis, dibedakan atas penafsiran sejarah hukum (rechtshisttories
interpretatie) dan penafsiran sejarah undang-undang (wetshistories interpretatie).
Dalam hal penafsiran sejarah hukum, hakim mencari makna atau arti aturan
hukum dari perkembangan suatu lembaga hukum (figur hukum), misalnya untuk
memahami kompetensi relatif dan absolut pengadilan dalam lingkungan peradilan
tata usaha negara, maka ditelusuri melaui sejarah peradilan administrasi yang pada
mulanya berkembang dalam Hukum Administrasi Perancis. Di Perancis, segala
pelanggaran hukum administrasi diserahkan dan diselesaikan oleh suatu peradilan
khusus, yaitu tribunaux administratifs. Peradilan bandingnya yang merupakan
peradilan terakhir adalah wewenang Council d’Etat. Putusan-putusan badan
peradilan administrasi tertinggi ini merupakan sumber hukum terpenting dalam
hukum administrasi Prancis. Dalam hal penafsiran sejarah undang-undang, hakim
mencari makna atau arti suatu ketentuan Undang-Undang dengan menelusuri
riwayat pembentukan Undang-Undang tersebut. Sejarah Undang-Undang dapat
dipelajari dari risalah Undang-Undang, perdebatan-perdebatan di dalam sidang
DPR, jawaban dan keterangan eksekutif, serta dengar pendapat umum17.
15 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1993), h. 35. 16 I Dewa Gede Atmadja, Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum, (Pidato Pengenalan
Jabatan Guru Besar Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, 10 April 1996), h.9. 17 Benyamin Mangkoedilaga, Kompetensi Relatif dan Absolut Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan
Tata Usaha Negara, (Bandung: Angkasa, 1988), h. 25-26.
52
c. Penafsiran sistematis, adalah menentukan makna atau arti satu pasal peraturan
perundang-undangan dengan mengaitkannya pada pasal-pasal lainnya dalam
kerangka keseluruhan peraturan atau tata hukum yang berlaku. Contoh
penggunaan penafsiran sistematis dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pada makna Pasal 6 ayat (1) dikaitkan dengan Pasal 27
ayat (1). Menurut penafsiran secara sistematis ini Pasal 6 ayat (1) mengandung
makna sebagai aturan hukum yang bersifat exception (pengecualian) terhadap
ketentuan Pasal 27 ayat (1), sehingga syarat “Presiden harus orang Indonesia asli”
tidak bertentangan dengan HAM.
d. Penafsiran sosiologis atau teleologis, yakni hakim memberi arti suatu ketentuan
hukum menurut tujuan sosial yang ditetapkan pembentuk UU, dengan
memperhatikan perkembangan masyarakat ketika UU itu diterapkan. Perlu
diketahui bahwa tujuan pembentuk UU identik dengan tujuan UU, tetapi berbeda
dengan tujuan hukum yang sifatnya umum dan ditentukan oleh doktrin hukum.
e. Teori penafsiran filosofis (what is philosophical thought behind the ideas
formulated in the text) Penafsiran dengan fokus perhatian pada aspek filosofis.
Misalnya, ide Negara hukum dalam Kostitusi Republik Perancis Article 66: “No
person may be detained arbitrarily”. Ide negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa
Negara Indonesia adalah negara hukum. Contoh lain lagi adalah rumusan ide
demokrasi terpusat (centralized democrazy) dalam Konstitusi Cina.
f. Teori penafsiran teleologis (what does the articles would like to achieve by the
formulated text) Penafsiran ini difokuskan pada penguraian atau formulasi kaidah-
kaidah hukum menurut tujuan dan jangkauannya. Tekanan tafsiran pada fakta
bahwa pada kaidah hukum terkandung tujuan atau asas sebagai landasan dan
bahwa tujuan dan atau asas tersebut mempengaruhi interpretasi. Dalam penafsiran
demikian juga diperhitungkan konteks kenyataan kemasyarakatan yang aktual.
g. Penafsiran otentik atau resmi.
53
Penafsiran otentik ini sesuai dengan tafsir yang dinyatakan oleh pembuat undang-
undang (legislator) dalam undang-undang itu sendiri, misalnya arti kata yang
dijelaskan dalam pasal atau dalam penjelasannya. Jikalau ingin mengetahui apa yang
dimaksud dalam suatu pasal, maka langkahpertama adalah lihat penjelasan pasal itu.
Oleh sebab itu, penjelasan undang- undangselalu diterbitkan tersendiri, yaitu dalam
Tambahan Lembaran Negara, sedangkan naskah undang-undang diterbitkan dalam
Lembaran Negara18.
Berdasarkan hal teori hermeneutika hukum dan penafsirannya, terdapat dua
metode yang menjadi dasar legitimasi penerapan keadaan memaksa pada pandemi
COVID-19 terhadap usaha jasa konstruksi, yaitu metode penafsiran sistematis dan
metode penafsiran sosiologis. Dalam metode penafsiran sistematis eksposisi force
majeure dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi
terdapat dalam atribusi Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah. Peraturan Presiden a quo adalah Peraturan Presiden yang
menjadi bagian dari penyelenggaraan usaha jasa konstruksi dalam menjalankan
usahanya. Dalam Pasal 91 Peratruan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah memberikan pengertian keadaan kahar atau
keadaan memaksa, yaitu sebagai suatu keadaan yang terjadi diluar kehendak para
pihak, sehingga kewajiban yang ditentukan dalam kontrak menjadi tidak dapat
dipenuhi yang penggolongan keadaan kahar atau keadaan memaksa tersebut menurut
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintahmencakup bencana alam, bencana non alam, bencanasosial, pemogokan,
kebakaran, dan gangguan industri lainnya19.
Dalam ketentuan a quo, bencana non alam juga dikateogikan sebagai bagian
dari force majeure, yang menjadikan sama dengan pandemi COVID-19 berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 yang menyatakan pandemic COVID-19
sebagai bancana non alam. Berdasarkan hal ini, kita dapat melihat bahwa
18 Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, disadur dan direvisi oleh Moh. Saleh Djindang, cet. XI,
(Jakarta : Ichtiar Baru, 1983), h. 208. 19 Pasal 91 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
54
penyebaran pandemi COVID-19 memiliki dasar legalitas yang jelas dalam Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi juncto Peraturan Presiden Nomor
54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Dasar legalitas force majeure tersebut juga memiliki batasan yang diberikan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, yaitu keadaan tersebut
harus tidak dapat diduga atau diluar kemauan penyedia jasa, keadaan tersebut berada
diiluar kemampuan penyedia jasa untuk melaksanakan pekerjaan, dan terjadi kerugian
bagi pengguna jasa20. Keadaan konteks terjadinya suatu hal harus dianalsis terlebih
dahulu untuk dinyatakan sebagai keadaan memaksa.
Konteks keadaan tersebutlah yang dapat dikaitkan dengan penafsiran sosiologis
dalam usaha penemuan hukum force majeure dalam pandemi COVID-19 bagi usaha jasa
konstruksi. Penyebaran pandemi COVID-19 yang meluas dan cepat di masyarakat
mendeskripsikan suatu keadaan bahaya yang memaksa masyarakat berada dalam kondisi
waspada. Indonesia saat ini berada di posisi ke-19 dunia dengan mengonfirmasi total
kasus positif sebanyak 1.577.526 dan angka ini diperoleh setelahada penambahan 5.702
kasus baru dalam 24 jam terakhir. Sementara jumlah kematianbertambah sebanyak 126
jiwa dalam 24 jam terakhir, sehingga membuat total yang meninggal dunia secara
kumulatif menjadi 42.782 orang. Pasien yang dinyatakan sembuh dari virus mematikan
ini secara kumulatif adalah 1.426.145 orang, dan masihmenyisakan 108.599 kasus aktif
pada pagi ini dari seluruh wilayah di Indonesia21.
Kondisi genting penyebaran COVID-19 ini menggambarkan terpenuhinya
konteks penerapan force majeure dan interpretasi sosiologis dalam pemberlakukan force
majeure. Dimana secara kontektual dan sosiologis pasal 47 ayat (1) huruf j Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi memberikan ketentuan keadaan
memaksa sebagai syarat yang harus ada dalam suatu perjanjian sebagai bentuk
perlindungan hukum bagi para pihak dari hal-hal yang tidak dapat diprediksi
sebelumnya dan menyebabkan kerugian.
20Herman Brahmana Bismar Nasution, Suhaidi, Mahmul Siregar, Eskalasi dan Force Majeure Dalam
Perundang-Undangan Jasa Konstruksi, (USU Law Jurnal, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara), Vol. 3,No. 2, Agustus 2015, h. 82.
21 https://tirto.id/update-corona-indonesia-14-april-dunia-kasus-harian-ri-naik-lagi-gcly diakses pada
tanggal 17 April 2021 pukul 14.52 WIB.
55
Selain itu, interpretasi sosiologis penerapan force majeure dalam pandemi
COVID-19 juga dapat dibuktikan melalui dikotomi force majeure dalam Undang-
Undang Jasa Konstruksi, yaitu force majeure absolut danforce majeure relatif. Dalam
force majeure absolut dikatakan bahwa suatu kegiatan secara mutlak benar-benar tidak
dapat dilaksanakan oleh para pihak22. Hal ini merujuk kepada kondisi-kondisi bencana
alam yang mengancam nyawa atau menghilangkan objek perikatan yang diperjanjikan
oleh para pihak, sedangkan force majeure relatif menunjukkan kondisi dimana dalam
keadaan normal perjanjian tidak bisa dilaksanakan, walaupun masih ada kemungkinan
dalam keadaan tidak normal perjanjian tersebut masih bisa dilaksanakan.
Jika kita melihat perkembangan pandemi COVID-19 sejak penyebarannya hingga
sekarang, pandemi COVID-19 merupakan virus yang menyebar lewat udara dan
menyerang sistem pernapasan. Virus Corona bisa menyebabkan gangguan ringan pada
sistem pernapasan, infeksi paru-paru yang berat, hingga kematian23.Berdasarkanhal ini,
pandemi virus corona bisa menyasar kepada siapa saja dan kapan saja. Dari hal inilah
pemerintah mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang
kemudian diubah menjadi Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Kondisi ini menjadikan masyarakat harus mengubah pola hidupnya dimana ada
kegiatan yang bisa dilaksanakan di kantor dan ada yang harus dilaksanakan di rumah.
Kegiatan yang bisa dilaksanakan di kantor pun harus tetap mengikuti protokol kesehatan
yang diberlakukan oleh pemerintah, seperti social distancing dan pembatasan jumlah
pekerja maksimal 50%, serta apabila terdapat pekerja yang COVID-19 tidak menutup
kemungkinan perusahaan atau lokasi tempat kerja orang tersebut akan diliburkan untuk
sementara waktu.
Dalam keadaan yang demikian, usaha jasa konstruksi berada dalam kondisi yang
tidak menentu. Dimana bisa saja tetap menjalankan proyeknya tetapi tidak akan
maksimal dan mencapai target yang ditentukan atau meliburkan pekerjanya sama sekali.
Hal inilah yang menjadikan PT. Aneka Sukses Reksa Graha mengajukan permohonan
tidak tercapainya penyelesaian proyek sesuai Kontrak Nomor 014/KTRK/DISPUPR-
22 Daryl John Rasuh, Kajian Hukum Keadaan Memaksa Menurut Pasal 1244 Dan Pasal 1245 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, (Jurnal Lex Privatum), Vol. IV, No. 2, 2016, h. 178. 23 Yuliana, Corona Virus Disease (Covid-19); Sebuah tinjauan literature, (Wellnes And Healthy Megazine,
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung), Vol. 2, No. 1, Februari 2020, h. 189.
56
BM/2020 yang ditujukan kepada Kuasa Pengguna Anggaran selaku pejabat pembuat
komitmen.
Dari permasalahan ini, terlihat kondisi pembangunan proyek yang dilaksanakan
usaha jasa konstruksi berada dalam kondisi fluktuatif dan akibatnya rentan mengalami
wanprestasi pada perjanjiannya, maka sesuai dengan analsisi kondisi relatif force
majeure dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, maka
dapat dikatakan bahwa penyebaran pandemi COVID-19 ini dapat dikategorikansebagai
force majeure relatif sesuai dengan Pasal 47 ayat (1) huruf J Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
Relevansi keadaan pandemi COVID-19 dengan klausula force majeure dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 adalah suatu keniscayaan. Hal ini karena jika kita
melihat Pasal 2 huruf J Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi
dikatakan bahwa asas penyelenggaraan usaha jasa konstruksi adalah keamanan dan
keselamatan. Dimana ketentuan ini diperkuat dalam Pasal 4 ayat (1) huruf C yang
menyatakan bahwa pemerintah pusat bertanggung jawab atas terselenggaranya jasa
konstruksi yang sesuai dengan standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan
keberlanjutan. Menerapkan force majeure pada pandemi COVID-19 merupakan
kewajiban bagi pemerintah untuk menjaga dan menyelematkan pekerja yang ada dalam
lingkungan jasa konstruksi dan untuk menciptakan lingkungan yang aman di
masyarakat.
Respon hukum yang memberikan wadah bagi keadaan tidak terduga untuk
menciptakan kepastian hukum di masyarakat merupakan bentuk hadirnya hukum
responsif. Dalam paham Phillipe Nonet dan Selznick, hukum yang responsif itu adalah
hukum yang siap mengadopsi paradigm barudanmeninggalkan paradigm yang lama,
artinya hukumtidaklagidilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri melainkan dia harus
mampu berinteraksi dengan entitas lain dengan tujuan pokok untuk mengadopsi
kepentingan-kepentingan yang ada didalam masyarakat24.
24Sanusi, Kus Rizkianto, Kanti Rahayu, Hukum Yang Responsif Terhadap Revolusi Industri 4.0 Dalam
Perspektif Pancasila, (Prosiding Seminar Nasional Hukum dan Industri, Universitas Muhammadiyah Surakarta), h. 177.
57
Konsep pembangunan hukum responsif yang dirumuskan oleh Philippe Nonet dan
Philip Selznick menekankan sebuah konsep hukum yang memenuhi tuntutan- tuntutan
agar hukum dibuat lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial yang sangat
mendesak dan terhadap masalah-masalah keadilan sosial sambil tetap mempertahankan
hasil-hasil institusional yang telah dicapai oleh kekuasaan berdasar hukum. Konsep
hukum responsif ini merupakan jawaban atas kritik bahwa seringkali hukum tercerai
berai dari kenyataan-kenyataan pengalaman sosial dan dari cita-cita keadilan sendiri.
Menggunakan pisau analisis teori hukum responsif inilah dapat kita lihat sisi- sisi
kepentingan hukum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa
Konstruksi yang harus cepat merespon dan memberikan wadah ketika penyebaran
pandemi COVID-19 merebak di seluruh wilayah Indonesia yang menempatkan setiap
pelaku usaha jasa konstruksi berada pada situasi yang berat dan sulit untuk
melaksanakan kegiatan konstruksinya. Hal ini untuk menghadirkan keadilan dan
kepastian hukum dalam pelaksanaan usaha jasa konstruksi itu sendiri.
Hal ini juga mengingat terdapat asas keseimbangan dalam pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yang menyatakan bahwa
penyelenggaraan jasa konstruksi harus berlandaskan pada prinsip yang menjamin
terwujudnya keseimbangan antara kemampuan penyedia jasa dan beban kerjanya25.
Digariskan dalam ketentuan ini bahwa pengguna usaha jasa konstruksi wajib
memerhatikan ketentuan dalam asas ini. Artinya, pandemi COVID-19 yang
memberatkan pelaku usaha jasa konstruksi untuk memenuhi targer penyelesaian suatu
proyek sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui bersama haruslah menjadi perhatian
serius pengguna usaha jasa konstruksi.
Dalam pelaksanaan usaha jasa konstruksi pun ditekankan pentingnya asas
proporsionalitas, yaitu asas yang menekankan proses negosiasi kontrak antara pengguna
jasa konstruksi dengan penyedia jasa mengenai akibat hukum serta pelaksanaan
pekerjaan setelah terjadinya keadaan force majeure, dalam negoisasi tersebut jika
tercapai kesepakatan dan terhadap pekerjaan masih dimungkinkan untuk dilaksanakan,
maka kontrak dilanjutkan atau dihentikan sementara (ditunda),
25 Penjelasan Pasal 2 huruf E Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
58
kemudian kesepakatan tersebut dituangkan dalam perubahan kontrak / addendum, jika
pelaksanaannya tidak mungkin dilanjutkan kontrak akan dihentikan26.
Berdasarkan asas proporsionalitas tersebut, segala kerugian akibat force majeure
bisa jadi tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada penyedia jasa dan apa
yang telah dikerjakan penyedia jasa dibayar oleh pengguna jasa. Dengan demikian
klausula force majeure dalam kontrak jasa konstruksi pengguna jasa menjamin
pelaksanaan hak dan mendistribusikan kewajiban penyedia jasa secara proporsional.
Asas-asas tersebut merupakan asas-asas dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
yang merupakan bagian dari implementasi teori hermeneutika hukum dalam membacateks
suatu Undang-Undang.
C. Akibat Hukum Force Majeure Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
Terhadap Perjanjian Usaha Jasa Konstruksi
Perikatan pada usaha jasa konstruksi merupakan perikatan yang lahir karena
perjanjian. Perjanjian tersebut harus merujuk kepada syarat sah perjanjian yang terdapat
dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu harus ada kata sepakat
antara para pihak, para pihak harus cakap hukum, terdapat objek tertentu yang
diperjanjikan, dan klausula halal atau isi perjanjian tidak melanggar undang- undang,
kesusilaan, dan juga ketertiban umum. Pemenuhan empat syarat sah perjanjian ini
memberikan dampak kepada posisi perjanjian dalam usaha jasa konstruksi itu sendiri
dalam pandangan hukum, yaitu setara dengan undang-undang (pacta sunt servanda)27.
Posisi pacta sunt servanda inilah yang mengharuskan seseorang melaksanakan
perjanjian dengan iktikad baik. R. Subekti dan Wirjono Prodjodikoro menyebut iktikad
baik sebagai suatu kejujuran untuk melaksanakan kontrak yang terbagi atas dua hal,
yaitu kejujuran pada saat berlakunya hubungan hukum dan kejujuran pada saat
pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam suatu hubungan hukum28.Posisi
iktikad baik ini juga yang menentukan apakah seseorang benar
26Herman Brahmana Bismar Nasution, Suhaidi, Mahmul Siregar, Eskalasi dan Force Majeure Dalam
Perundang-Undangan Jasa Konstruksi, (USU Law Jurnal, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara), Vol. 3,
No. 2, Agustus 2015, h. 84. 27Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 2012), h. 60.
28Wijono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mandar Maju, 2011), h. 102-107.
59
melakukan wanprestasi atau tidak, termasuk dalam hal menentukan apakah suatu
kondisi dapat dikatakan force majeure atau tidak.
Akibat hukum yang diberikan pun berbeda. Apabila suatu kondisi dinyatakan
sebagai wanprestasi, maka seseorang akan diberikan teguran berupa somasi dan
berlanjut ke persidangan perdata di pengadilan negeri, sedangkan apabila suatu kondisi
tidak terpenuhinya prestasi akibat force majeure, maka pihak yang tidak melaksanakan
prestasi tidak dapat digugat ke pengadilan. Dengan demikian, dalam hal terjadinya
keadaan memaksa, debitur tidak wajib membayar ganti rugi dan dalamperjanjian timbal
balik, kreditur tidak dapat menuntut pembatalan karena perikatannya dianggap
gugur/terhapus.
Salim H.S mengemukakan tiga akibat dari keadaan memaksa, yaitu debitur tidak
perlu membayar ganti rugi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1244 KUHPerdata,
kemudian beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara, dan
kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari
kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi29. Ketiga akibat tersebut lebih lanjut
dibedakan menjadi dua macam, yaitu akibat keadaan memaksa absolut yang terdapat
pada akibat hukum dalam butir a dan c, dan akibat hukum keadaan memaksarelatif, yaitu
akibat hukum yang terdapat pada butir b.
Akibat hukum dari force majeure juga disampaikan oleh Sri Soedewi Masjchoen
Sofwan yang mengatakan bahwa akibat hukum dari keadaan memaksa harus dibedakan
dari sifatnya yang sementara atau tetap. Dalam hal keadaan memaksa sementara, akibat
hukum tidak terpenuhinya prestasi hanya mempunyai daya menangguhkan untuk
sementara waktu dan kewajibannya untuk berprestasi hidup kembali jika faktor yang
menjadikan suatu kondisi keadaan memaksa itu sudah tidak ada lagi, sedangkan akibat
hukum bagi force majeure yang tetap secara otomatis akanmengakhiri untuk selamanya
kontrak tersebut30. Konsekuensi dari perikatan yang batal ialah pemulihan kembali
dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan jika perikatan itu
sudah dilaksanakan, tetapi jika satu pihak sudah mengeluarkan biaya untuk
29Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2001), h.184-
185. 30Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum Perutangan, Bagian A, (Jogjakarta: Seksi
Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1980), h.22.
60
melaksanakan perjanjian itu sebelum waktu pembebasan, pengadilan berdasarkan
kebijaksanaannya boleh memperkenankannya memperoleh semua atau sebagian biaya
dari pihak lainnya, atau menahan uang yang sudah dibayar. Dalam konteks penerapan
force majeure dalam usaha jasa konstruksi akibat pandemi COVID-19 ini, merupakan
suatu bentuk implementasi teori hukum responsif. Dalam teori hukum responsif hukum
ditempatkan sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi
sosial. Nonet melalui tipe hukum res- ponsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat
final dan tak dapat diganggu gugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang
memuat pan-dangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara
mencapai tujuan. Sifat responsif dapatdiartikan sebagai melayani kebutuhan dan ke-
pentingan sosial yang dialami danditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat.
Sifat responsif mengandung arti
suatu komitmen kepaa hukum didalam perspektif konsumen.
Dua ciri yang menonjol dari konsep hukum responsif adalah pergeseran penekanan
dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan, serta pentingnya unsur kerakyatan baik
sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya. Hukum responsif berorientasi
pada hasil, yaitu pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum
responsif, tatanan hukum dinegosiasi-kan, bukan dimenangkan melalui subordinasi atau
dipaksakan. Ciri khas hukum responsif adalah men-cari nilai- nilai tersirat yang terdapat
dalam peratu-ran dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan
ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku
dan tidak fleksibel31.
Phillip Nonet dan Selznick lewat hukum responsif menempatkan hukum sebagai
sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan
sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untukmenerima
perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik. Bahkan
menurut Nonet-Selznick, hukum responsif merupakan program dari sosiological
jurisprudencedan realist jurisprudence. Dua aliran tersebut, pada intinya
31 Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society Transtition: Toward Responsive Law, Dalam
Satya Arinanto, Politik Hukum 2, (Kumpulan Makalah Kuliah Politik Hukum, Program Pascasarjana FH UI, Jakarta, 2001), h. 15.
61
menyerukan kajian hukum yang lebih empirik melampaui batas-batas formalisme,
perluasan pengetahuan hukum, dan peran kebijakan dalam putusan hukum. Hukum
responsif merupakan teori tentang profil hukum yang dibutuhkan dalam masa transisi.
Karena harus peka terhadap situasi transisi di sekitarnya, maka hukum responsif tidaksaja
dituntut menjadi sistem yang terbuka, tetapi juga harus mengandalkan keutamaantujuan
(the souvereignity of purpose), yaitu tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-
akibat yang timbuldari bekerjanya hukum itu.
Tipe hukum responsif membedakan dirinya dari hukum otonom di dalam
penekananya pada peranan tujuan di dalam hukum. Pembuatan hukum dan penerapan
hukum tidak lagi merupakan tujuan sendiri, melainkan arti pentingya merupakan akibat
dari tujuan sosial yang lebih besar yang dilayaninya. Dilihat dari sisi ini, aturan- aturan
hukum kehilangan sedikit dari sifat keketatannya. Aturan-aturan ini sekarang dilihat
sebagai cara-cara khusus untuk mencapai tujuan yang lebih umum.Bagi tatanan hukum
responsif hukum merupakan institusi sosial. Oleh karena itu, hukum dilihat lebih dari
sekedar suatu sistem peraturan belaka, melainkan juga bagaimana hukum menjalankan
fungsi-fungsi sosial dalam dan untuk masyarakatnya. Melihat hukum sebagai institusi
sosial, berarti melihat hukum itu dalam kerangka yang luas, yaitu yang melibatkan
berbagai proses dan kekuatan dalam masyarakat.
Berdasarkan penjabaran teori hukum responsif tersebut, maka hukum harus
merespon akibat-akibat yang ditimbulkan penerapan konsep force majeure dalam sektor
usaha jasa konstruksu. Sesuai bentuk force majeurenya yang bersifat relatif dansubjektif,
maka akibat hukum force majeure dalam usaha jasa konstruksi bersifat sementara. Sifat
sementara tersebut hanya menunda pelaksanaan kontrak atau perjanjian selama pandemi
COVID-19 masih menyebar di masyarakat atau selama pemerintah belum mampu
menangani penyebaran pandemi COVID-19 ini. Pada asasnya perikatan itu tetap ada dan
yang lenyap hanyalah daya kerjanya. Penekanan perikatan tetap ada penting pada
keadaan memaksa yang bersifat sementara pandemi COVID-19 ini. Perikatan itu
kembali mempunyai daya kerja jika keadaan memaksa itu berhenti.
Seperti dalam kasus pengerjaan Proyek Pembangunan /Peningkatan Jalan
Poros Waturempe – Tiworo Jalur II Kabupaten Muna Barat yang dikerjakan
62
oleh perusahaan konstruksi bernama PT. Aneka Sukses Reksa Graha, PT. Aneka
Sukses Reksa Graha mengajukan Permohonan Perpanjangan Waktu Penyelesaian
Pekerjaan Selama 50 hari kepada Kuasa Pengguna Anggaran. Dalam surat
permohonannya menyebutkan kendala yang dihadapi dalam mengerjakan Proyek
Pembangunan /Peningkatan Jalan Poros Waturempe – Tiworo Jalur II Kabupaten
Muna Barat, yakni penghentian pengoperasian Kapal Tongkang yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah setempat yang merupakan dampak dari COVID-19.
Menanggapi hal tersebut Pemerintah Daerah Kabupaten Muna Barat
melakukan justifikasi teknik pekerjaan, berdasar Berita Acara Hasil Evaluasi
Peninjauan Lapangan Nomor: 004.b/ADENDUM/PUPR-BM/IX/2020 memberikan
kesimpulan bahwa proyek tidak mungkin selesai tepat waktu dan ditemukan salah satu
hambatan pengerjaan proyek dikarenakan pemberlakuan PSBB oleh Pemerintah
Daerah. Oleh karnanya Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang memberikan
legitimasi penambahan waktu 50 hari penyelesaian pekerjaan konstruksi dari PT.
Aneka Sukses Reksa Graha berdasarkan Surat Penetapan Penambahan Waktu
Penyelesaian Pekerjaan Nomor: 004.c/ADENDUM/PUPR- BM/X/2020.
Melihat akibat hukum ini Proyek Pembangunan /Peningkatan Jalan Poros
Waturempe – Tiworo Jalur II Kabupaten Muna Barat masih tetap ada dan berjalan,
namun karena situasi pandemi COVID-19 yang mengurangi daya kerja PT. Aneka
Sukses Reksa Graha yang menjadikan penyelesaian tidak sesuai pada waktu yang
ditentukan, kasus ini masuk pada kategori force majeure relatif karena sempat ada
penundaan pekerjaan karena adanya beberpa kebijakan Pemerintah Provinsi Sulawesi
Tenggara mengeluarkan Himbauan Nomor 443/4724 tentang PeningkatanPelaksanaan
Protokol Kesehatan Dalam Pencegahan Penularan Corona Virus Disease – 19
(COVID-19) dan Surat Edaran Nomor 443/1436 tentang Perpanjangan Penerapan
Sistem Kerja Aparatur Sipil Negara Dengan Menjalankan Tugas Kedinasan Dengan
Bekerja Di Rumah/Tempat Tinggalnya/Work From Home (WFH) Di Lingkungan
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Hal ini juga disusul dengan dikeluarkannya
Instruksi Walikota Kendari Nomor 443.1/907/2020 tentang Pengawasan Wilayah
63
Perbatasan Kota Kendari yang meminta masyarakat tidak meninggalkan wilayah kota
Kendari32.
Hal-hal yang perlu diketahui sehubungan dengan keadaan memaksa ini adalah
debitur atau pihak penyedia jasa konstruksi tidak dapat mengemukakan adanya keadaan
memaksa itu dengan jalan penangkisan (eksepsi), dan berdasarkan jabatan hakim tidak
dapat menolak gugatan yang didasarkan kepada keadaan memaksadimana penyedia jasa
konstruksi memikul beban dan harus membuktikan adanya keadaan memaksa.
Akibat dari adanya force majeure selanjutnya adalah penentuan mengenai pihak
yang menanggung resiko dari adanya peristiwa force majeure tersebut. Dalam Pasal
1237 KUHPerdata dinyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan
suatu kebendaan tertentu, maka sejak perikatan-perikatan dilahirkan, benda tersebut
menjadi tanggungan pihak debitur. Dan jika terjadi force majeure atas kontrak, maka
resikonya ditanggung oleh pihak penerima prestasi. Apabila pihak debitur lalai dalam
memberikan prestasi, maka sejak kelalaiannya tersebut menjadi resiko pihak debitur
untuk menanggung resiko33.
Berdasarkan ketentuan ini, maka yang menjadi pihak penanggung resiko force
majeure dalam usaha jasa konstruksi adalah pihak penyedia jasa konstruksi karena
walaupun tidak ada unsur kesalahan dari penyedia jasa konstruksi, kewajiban memenuhi
prestasi tetap tidak hilang sifatnya. Dalam hal ini, pengguna jasa tidak menanggung
resiko dan tidak menanggung kerugian atas peristiwa itu, kecuali ada kesepakatan lain
antara para pihak dalam perjanjian.
Berdasarkan doktrin para ahli hukum, karena walaupun tidak ada kesalahan dari
penyedia jasa, penyedia jasa tetap menanggung beban kompensasi. Pemberian beban
kompensasi akibat force majeure di masa pandemi COVID-19 ini harus dinilai
berdasarkan kasuistik, yaitu harus menilai berdasarkan objektifikasi keadaan usaha jasa
konstruksi itu sendiri.
Pada dasarnya setiap pelaku usaha jasa konstruksi yang terdampak COVID-19
32https://www.mnctrijaya.com/news/detail/35868/covid-19-meningkat-di-sultra-gubernur-keluarkan- himbauan diakses pada tanggal 5 Maret 2021, pukul 20.18 WITA.
33 Riza Fibriani, Kebijakan Hukum Pembatalan Kontrak Dalam Keadaan Force Majeure Pandemi Covid 19
Di Indonesia, (Humani, Universitas Semarang), Vol. 10, No.2, November 2020, h. 211.
64
dapat melakukan renegosiasi kontrak34. Renegosiasi kontrak dilakukan untuk
membicarakan segala hal yang dapat diperbaharui dalam pelaksanaan kerja sama suatu
bisnis tertentu. Dalam keadaan pandemi COVID-19 ini peninjauan ulang oleh para pihak
yang melakukan kontrak menjadi penting untuk dilaksanakan agar para pihak tetap dapat
melaksanakan kewajibannya tanpa harus melakukan wanprestasi (tidak memenuhi janji)
dengan mengubah klausula-klausula yang ada dalam kontrak bisnis tersebut.
Dalam kasus pembangunan jalan poros Waturempe-Tiworo Jalur II Kabupaten
Muna Barat yang dikerjakan oleh PT. Aneka Sukses Reksa Graha tertundanya
penyelesaian proyek akibat penyebaran COVID-19 yang seharusnya bulan oktober 2020
sesuai kontrak, menyebabkan terjadinya renegosiasi kontrak antara Dinas Pekerjaan
Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Muna Barat dengan PT. Aneka Sukses Reksa
Graha. Renegosiasi ini dilakukan berdasarkan Pasal 37 point 9 Kontrak Nomor:
014/KTRK/DISPUPR-BM/2020 yang menghasilkan keputusan perpanjangan waktu
penyelesaian proyek sesuai dengan kemampuan penyedia jasa konstruksi. Selain itu,
terdapat juga pemberian kompensasi dalam penerapan force majeure pada usaha jasa
konstruksi. Dalam hal penghentian sementara dilakukan tidakboleh melepaskan hak dan
kewajiban penyedia jasa konstruksi terhadap kompensasi biaya upah tenaga kerja
konstruksi, subkontraktor, produsen dan pemasok yang terlibat. Artinya, upah tenaga
kerja konstruksi tetap harus dibayarkan.
Berdasarkan hal ini dapat kita lihat bahwa pemerintah telah merespon dengan
cepat dalam memperhitungkan dampak pandemi COVID-19 bagi kerugian-kerugian
usaha jasa konstruksi. Sesuai dengan teori hukum responsif yang hadir dalam masa
transisi, maka hadirnya aturan-aturan hukum yang mewadahi pemberlakuan force
majeure dan akibatnya ini adalah bentuk implementasi dari masa transisi kebiasaan
hukum masyarakat yang normal menjadi newnormal.
34 Suhandi Cahaya, Pandangan Hakim Terhadap Keadaan Memaksa, (Jurnal Hukum dan
Pembangunan), Vol. 42, No. 4 2012, h. 7.
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian mengenai penerapan force majeure dalam
usaha jasa konstruksi yang terdampak pandemi COVID-19 ini, peneliti
menemukan dua kesimpulan berdasarkan rumusan masalah yang telah peneliti
buat, yaitu :
1. Force majeure dalam usaha jasa konstruksi bisa diterapkan sesuai dengan
klasifikasi tertentu, yaitu force majeure relatif, subjektif, temporer, khusus dan
eksklusif. Hal ini didasarkan kepada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
tentang Jasa Konstruksi, Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun
2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease
2019 (COVID-19) sebagai Bencana Nasional, dan Instruksi Menteri Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 02/IN/M/2020 tentang Protokol
Pencegahan Penyebaran COVID-19 dalam Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
2. Akibat hukum force majeure dalam usaha jasa konstruksi adalah penundaan
pelaksanaan perjanjian yang membawa akibat hukum selanjutnya, yaitu
renegosiasi kontrak dan pemberian kompensasi sesuai dengan akibat hukum yang
didasarkan pada Lampiran 1 Instruksi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat Nomor 02/IN/M/2020 tentang Protokol Pencegahan Penyebaran COVID-
19 dalam Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
B. Rekomendasi
Berdasarkan analisa yang dilakukan peneliti, maka dapat dilihat bahwa
permasalahan penting terkait penerapan force majeure dalam usaha jasa
konstruksi yang terdampak pandemi COVID-19 adalah masalah multiinterpretasi
Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
Berdasarkan hal ini, peneliti merekomendasikan :
65
65
66
1. Pemerintah perlu merevisi Pasal 47 (1) huruf j Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2017 tentang Jasa Konstruksi tepatnya mengenai ketentuan keadaan memaksa.
Revisi tersebut dilakukan dengan menambahkan contoh keadaan memaksa, seperti
bencana alam, bencana non alam, kerusuhan sosial dan politik agar tidak
menimbulkan multitafsir dalam penerapannya.
2. Pelaku usaha jasa konstruksi perlu mengajukan permohonan penundaan
penyelesaian proyek kepada pengguna usaha jasa konstruksi, sekaligus
permohonan renegosiasi kontrak. Hal ini penting dilakukan sebagai bentuk
iktikad baik pelaku usaha dalam menjalankan perjanjian dan mencegah
terjadinya kesalahpahaman dari para pihak.
66
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Adonara, Firman Floranta, Aspek-aspek Hukum Perikatan, Bandung: CV MandarMaju,
2014.
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Badrulzaman, Mariam Darus, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2001.
Harahap, Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 2012.
Hernoko, Agus Yudha, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak
Komersial, Yogyakarta: Laks Bang Mediatama, 2008).
HS, Salim, Pengantar Hukum PerdataTertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Kusumaatmadja, Mochtar, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan
Nasional, Bandung: Bina Cipta, 1975.
, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,
Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran & Penerbit Binacipta, 2019.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum Ed.Revisi, Jakarta: Kencana
Prenadamedia, 2005.
, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenadamedia, 2010.
Meliala, Djaja S, Hukum Perdata dalam Perspektif BW, Bandung: Nuansa Aulia, 2014.
Meliala, A. Qirom Syamsudin, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta
Perkembangannya, Yogyakarta: Liberty, 2010.
67
Miru, Ahmadi, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456, Jakarta:
Rajawali Pers Raja Grafindo Persada, 2016.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, Yogyakarta: Citra Aditya, 1990.
Noviana, Nova, Force Majeure Dalam Perjanjian (Studi Kasus di PT. Bosowa
Resources), Makassar : Universitas Alauddin, 2016.
Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1980.
Rostow, Eugene B, Is Law Dead?, New York: Simon and Schuster, 1971.
Selznick, Phillipe Nonet, Phiip, Lawand Society in Transition : Toward Tanggapanive
Law, London: Harper and Row Publisher, 1978.
Soemadipradja, Rahmat S.S, Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa (Syarat-
Syarat Pembatalan Perjanjian Yang Disebabkan Keadaan Memaksa/Force
Majeure), Jakarta, Nasional Legal Reform Program, 2010.
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Perdata, Hukum Perutangan, Bagian A,
Jogjakarta: Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,
1980.
Setiawan, R, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung: Bina Cipta, 2007.
Suadi, Amran, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Penemuan dan Kaidah
Hukum, Jakarta: Prenamedia Group, 2018.
Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995.
, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa, 2007.
68
, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 2010.
Sukarmi, Cyber Law: Kontrak Elektronik dalam Bayang-bayang Pelaku Usaha,
Bandung: Pustaka Sutra, 2008.
Tanya, Bernadrd L, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum Strategi
Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing,
2013.
Prodjodikoro, Wijono, Asas-asas Hukum Perjanjian, Bandung: Mandar Maju, 2011.
Jurnal
Arini, Annisa Dian, Pandemi Corona Sebagai Alasan Force Majeur Dalam Suatu
Kontrak Bisnis, Supremasi Hukum, Universitas Bengkulu, Vol. 9 No 1, Juni 2020.
Cahaya, Suhandi, Pandangan Hakim Terhadap Keadaan Memaksa, Jurnal Hukum dan
Pembangunan, Vol. 42, No. 4, 2012.
Fibriani, Riza, Kebijakan Hukum Pembatalan Kontrak Dalam Keadaan Force Majeure
Pandemi Covid 19 Di Indonesia, Humani, Universitas Semarang, Vol. 10, No.2,
November 2020.
Fitri, Wardatul, Implikasi Yuridis Penetapan Status Bencana Nasional Pandemi Corona
Virus Disease 2019 (COVID-19) Terhadap Perbuatan Hukum Keperdataan,
Supremasi Hukum, Universitas Alauddin Makassar, Vol. 9 No. 1, Juni 2020.
Isradjuningtias, Agri Chairunisa, Force Majeure Dalam Hukum Kontrak Indonesia,
Veritas Et Justitia, Universitas Parahyangan, Vol. 1, No. 1 2015.
Kusmiati, N, Undue Influence Sebagai Faktor Penyebab Cacat Kehendak diluar
Kuhperdata, dalam Upaya Mengisi Kekosongan Hukum, (Jurnal ilmu Hukum
Litigasi), Vo. 17, No. 1 2016.
Nasution, Herman Brahmana Bismar, Suhaidi, Mahmul Siregar, Eskalasi dan Force
Majeure Dalam Perundang-Undangan Jasa Konstruksi, USU Law Jurnal, Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, Vol. 3, No. 2, Agustus 2015
Rasuh, Daryl John, Kajian Hukum Keadaan Memaksa Menurut Pasal 1244 Dan Pasal
1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jurnal Lex Privatum, Vol. IV, No. 2,
2016.
Romlah, Siti, COVID-19 dan Dampaknya Terhadap Buruh di Indonesia, (‘Adalah Bulet6i6n
Hukum dan Keadilan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta), Vol. 4
No. 1, Juni 2020.
Yuliana, Corona Virus Disease (Covid-19); Sebuah tinjauan literature, Wellnes And
Healthy Megazine, Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, Vol. 2, No. 1,
Februari 2020.
Makalah
Rahardjo, Satjipto, “Hukum Progressif (Penjelasan Suatu Gagasan)”, Alumni
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2004.
Sanusi, Kus Rizkianto, Kanti Rahayu, Hukum Yang Responsif Terhadap Revolusi
Industri 4.0 Dalam Perspektif Pancasila, Prosiding Seminar Nasional, 2019.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam
Penyebaran Corona Virus Disease 2019(COVID-19) sebagai Bencana Nasional
69
70
Instruksi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 02/IN/M/2020
tentang Protokol Pencegahan Penyebaran COVID-19 dalam Penyelenggaraan
Jasa Konstruksi
Media Internet
https://www.antaranews.com/berita/1435408/kadin-sebut-jasa-konstruksi-jatim-
terhenti-akibat-pandemi-covid-19
https://kabar24.bisnis.com/read/20200415/15/1227419/pandemi-covid-19-
bukan-force-majeure-simak-penjelasan-pakar-hukum
https://oemiy.wordpress.com/2010/12/30/keadaan-memaksa-overmacht-
dalam- hukum-perdata