Post on 12-Mar-2019
AKULTURASI UNSUR ISLAM DAN BUDAYA JAWA DALAM
TRADISI KHITANAN DI DESA SIDOMUKTI KECAMATAN
KARANGANYAR KABUPATEN PEKALONGAN
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Sebagai Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Binna Ridhatul Shaumi
(11140321000026)
JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
ABSTRAK
Binna Ridhatul Shaumi, Akulturasi Unsur Islam dan Budaya Jawa dalam Tradisi
Khitanan di Desa Sidomukti Kecamatan Karanganyar Kabupaten Pekalongan.
Skripsi Sarjana Strata I, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2018.
Masyarakat Desa Sidomukti Kecamatan Karanganyar Kabupaten Pekalongan
merupakan masyarakat Jawa yang mayoritas bahkan semuanya menganut agama
Islam. Islam yang mereka percaya adalah sebagaimana Islam yang disebarkan
atau diajarkan oleh wali sanga atau para penyebar Islam yang menggunakan
pendekatan kultural. Mereka menjalankan syari‟at Islam namun masih tetap
menggunakan atau melestarikan tradisi yang mereka kenal sebelumnya.
Contohnya adalah dalam tradisi khitanan yang mereka lakukan. Mereka
melaksanakan perintah khitan sebagai bagian dari ajaran Islam yang wajib mereka
laksanakan. Akan tetapi, di dalam proses khitan tersebut mereka masih
menggunakan perhitungan atau yang disebut dengan numerology orang Jawa.
Mereka juga masih menggunakan aneka macam sesajen dalam selametan.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang menggunakan pendekatan
kualitatif dan deskriptif, dengan menggunakan pendekatan historis, dan
pendekatan antropologis. Teknik pengumpulan data menggunakan metode
Library Research (Penelitian Kepustakaan) dan Field Research (Penelitian
Lapangan).
Penulis dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa masyarakat Desa Sidomukti
melakukan upacara khitan sebagai penerapan hukum Islam yang di dalam
prosesinya masih terdapat kebudayaan lokal masyarakat dengan memasukkan
nilai-nilai Islam didalamnya. Dengan demikian hal ini menunjukkan terjadinya
akulturasi. Islam masuk sebagai unsur kebudayaan asing yang kemudian diterima
dan diolah ke dalam kebudayaan masyarakat Jawa tanpa kehilangan kebudayaan
asli mereka.
Kata Kunci: Akulturasi, Tradisi, Khitan.
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Rabb al-alamin, segala puji bagi Allah yang senantiasa
memberikan karunia dan rahmat-Nya, yang telah memberikan anugerah-Nya
sehingga penulis masih diberikan kesempatan menulis dan menyelesaikan skripsi.
Tak terlupa shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW beserta
keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya.
Tidaklah mudah bagi penulis untuk menyusun skripsi ini, meskipun
banyak rintangan penulis bertekad dan berusaha untuk menyelesaikan skripsi ini
agar dapat mengajukan salah satu syarat kelulusan dalam jenjang perkuliahan
Strata 1 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan rasa bahagia
tersendiri bagi penulis karena menulis karya ini berkat jerih payah penulis sendiri.
Sudah sepatutnya penulis menyampaikan ucapan “terima kasih” dan
penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran
penyelesaian skripsi ini. Bantuan dan dukungan mereka meringankan beban
penulis selama menyusun skripsi ini. Meskipun tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu semua pihak yang telah membantu, setidaknya penulis merasa perlu
menyebutkan sejumlah nama, yaitu:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Media Zainul Bahri, MA., selaku Ketua Program Studi Agama-
Agama, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan beberapa masukan yang sangat bermakna.
4. Dra. Halimah SM., MA., selaku Sekretaris Program Studi Agama-Agama,
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis, MA., selaku pembimbing skripsi saya yang
sejak awal penyusunan dengan ketulusan hati dan tidak pernah bosan
memberikan perhatian dan dorongan yang luas untuk menyelesaikan tugas
akhir ini.
vi
6. Dr. Hamid Nasuki, selaku penasihat akademik yang telah memberikan
pengarahan dan bimbingan dalam proses penulisan.
7. Segenap jajaran dosen dan guru besar Studi Agama-Agama yang telah
memberikan ilmu serta wejangan yang tiada tara manfaatnya.
8. Bapak Harsito Aji, selaku Kepala Desa Sidomukti Kecamatan
Karanganyar Kabupaten Pekalongan yang sudah bersedia menerima
penulis untuk melakukan penelitian di lokasi tersebut.
9. Mbah Wira dan keluarga yang telah banyak membantu penulis dalam
menyelesaikan penelitian di desa Sidomukti.
10. Mbah Sejo yang telah banyak membantu penulis serta memberikan
pelajaran yang berarti terhadap penulis selama berada di lokasi penelitian.
11. Keluarga tercinta, terimakasih tiada tara untuk kedua orang tua penulis.
Untuk Ibu dan Ayah yang selalu memberikan motivasi, nasihat, cinta, dan
perhatian serta kasih sayang dan doa yang senantiasa kalian panjatkan
untuk penulis yang tentunya tidak akan mampu penulis balas dengan
apapun.
12. Teman hidupku tercinta Muhamad Bustomi yang senantiasa menemani
hari-hari penulis dalam menyusun dan memberikan motivasi kepada
penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
13. Sahabat penulis, Dewi Purnamasari, Muhammad Wahyu, Adiba Zahrotul
Wildah, Nur Afifah, Qonita, Ridwan Effendi, Salwa Anwar, Siti Pheuna
Tiara Hati yang banyak menemani penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
14. Teman-teman seperjuangan Comparative Religion 2014 yang memberikan
keceriaan dan kebahagiaan selama menuntut ilmu di Studi Agama-agama.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi yang penulis buat dapat
bermanfaat bagi pembaca, penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini
masih banyak sekali terdapat kekurangan yang perlu disempurnakan, untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para
pembaca demi sebuah proses kesempurnaan.
Jakarta, 15 Oktober 2018
Binna Ridhatul Shaumi
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ................................................................................................... i
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING.......................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ...................................................... iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
DAFTAR ISTILAH ................................................................................................ x
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................................ 9
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ................................................ 9
D. Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 10
E. Metodologi Penelitian ............................................................................. 11
F. Sistematika Penulisan ............................................................................. 15
BAB II DESKRIPSI DESA SIDOMUKTI........................................................... 16
A. Letak Geografis....................................................................................... 16
B. Kondisi Demografis ................................................................................ 17
C. Sejarah Desa Sidomukti .......................................................................... 20
D. Kondisi Sosial Budaya ............................................................................ 20
E. Kondisi Sosial Keagamaan ..................................................................... 23
F. Mata Pencaharian Masyarakat ................................................................ 26
viii
BAB III GEJALA AKULTURASI ISLAM DENGAN BUDAYA JAWA ......... 29
A. Teori Akulturasi Budaya ......................................................................... 29
B. Jawa Sebelum Kedatangan Islam............................................................ 33
C. Strategi Penyebaran Islam di Jawa ......................................................... 34
D. Islamisasi di Pekalongan ......................................................................... 40
BAB IV PROSES AKULTURASI UNSUR ISLAM DAN BUDAYA JAWA
DALAM TRADISI KHITANAN ......................................................................... 43
A. Unsur-unsur Islam dan Budaya Jawa dalam Tradisi Khitanan ............... 43
1. Selametan ..........................................................................................43
2. Sinkretisme ajaran.............................................................................46
B. Primbon Sebagai Prediksi Masa Depan .................................................. 47
C. Upacara Khitan di Desa Sidomukti......................................................... 49
D. Analisis Terhadap Akulturasi Unsur Islam dan Budaya Jawa dalam
Tradisi Khitanan...................................................................................... 62
BAB V PENUTUP................................................................................................ 70
A. Kesimpulan ............................................................................................. 70
B. Saran ....................................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 72
LAMPIRAN-LAMPIRAN.................................................................................... 77
ix
DAFTAR ISTILAH
Adisi : Unsur-unsur baru ditambahkan pada yang lama. Di
sini dapat terjadi atau tidak terjadi perubahan
struktural.
Adaptasi : Penyesuaian terhadap lingkungan
Animisme : Kepercayaan masyarakat terhadap roh-roh dan
makhluk halus
Asimilasi : Pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan
hilangnya salah satu kebudayaan sehingga
membentuk sebuah kebudayaan yang baru
Balungan : Hari-hari yang dilarang untuk melakukan bepergian
jauh
Calak : Orang yang ahli dalam sunat atau khitan dan
seringkali merangkap sebagai tukang cukur dan
tukang jagal
Dekulturasi : Bagian substansial sebuah kebudayaan mungkin
hilang
Dinamisme : Pemujaan terhadap roh nenek moyang yang menetap
di tempat-tempat atau benda-benda tertentu
Ekstinksi : Gejala dimana sebuah kebudayaan kehilangan
orang-orang yang menjadi anggotanya.
Inkorporasi : Sebuah kebudayaan kehilangan otonominya, tetapi
tetap mempunyai identitas sebagai subkultur
Kasakten : Kekuatan yang terdapat pada benda-benda tertentu
seperti keris dan benda pusaka lainnya
Kenduren : Ritual selametan yang dihadiri oleh banyak orang
dan dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat atau
tokoh agama
Klenik : Sesuatu yang tersembunyi atau hal yang
dirahasiakan untuk umum. Ilmu klenik merupakan
pengetahuan mengenai hal-hal gaib.
x
Mitoni : Ritual yang dilakukan masyarakat Jawa saat
memasuki usia kehamilan bulan ke-7.
Neptu : Nilai angka yang disematkan pada tiap hari dan
pasaran dalam penanggalan Jawa
Nrima : Pasrah, menerima kenyataan yang ada
Originasi : Unsur-unsur baru untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan baru yang timbul karena perubahan
situasi
Pasaran : Suatu pekan atau minggu yang terdiri dari 5 hari
dalam budaya Jawa dan Bali. Pasaran disebut juga
dengan pancawara. Nama-nama hari dalam pasaran
adalah Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan
Legi/Umanis
Pekojan : Nama perkampungan umat Islam yang dihuni oleh
para pendatang yang menyebarkan Islam di
Indonesia
Petungan : Sistem perhitungan di Jawa dengan menggunakan
penanggalan Jawa atau disebut juga dengan sistem
Numerologi orang Jawa
Phimosis : Suatu keadaan dimana kulup tidak bisa ditarik
kembali dari sekitar ujung penis dan jika dibiarkan
dapat menyebabkan peradangan
Ruwat : Bebas, lepas. Meruwat artinya melepaskan atau
membebaskan seseorang dari gangguan dan
marabahaya.
Sangkan Paraning Dumadhi: Asal mula manusia adalah dari Tuhan dan tujuan
kembali manusia kepada Tuhan
Selapanan : Upacara selametan bayi yang telah berumur 35 hari
pada masyarakat Jawa
Sinkretisme : Unsur-unsur lama bercampur dengan yang baru dan
membentuk sebuah sistem baru
xi
Sirkumsisi : Istilah medis dari khitan atau sunat yang merupakan
tindakan memotong atau menghilangkan sebagian
atau seluruh kulit penutup depan dari penis.
Substitusi : Unsur atau kompleks unsur-unsur kebudayaan yang
ada sebelumnya diganti oleh yang memenuhi
fungsinya, yang melibatkan perubahan struktural
yang hanya kecil sekali.
Uborampe : Aneka macam perlengkapan sajen
Weton : Hari kelahiran seseorang. Gabungan antara hari dan
pasaran saat bayi dilahirkan ke dunia
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk berdasarkan Usia .............................................................. 17
Tabel 2.2 Jumlah Penduduk berdasarkan Agama ........................................................... 18
Tabel 2.3 Jumlah Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan Masyarakat................... 19
Tabel 2.4 Balungan ........................................................................................................ 25
Tabel 2.5 Luas Wilayah Menurut Penggunaan .............................................................. 26
Tabel 2.6 Data Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian Pokok .................................. 27
Tabel 4.1 Hari Beserta Neptu ......................................................................................... 53
Tabel 4.2 Pasaran Beserta Neptu............................................................................................ 54
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Surat-surat Penelitian .............................................................................................77
Lampiran 2
Pertanyaan Wawancara ..........................................................................................83
Lampiran 3
Hasil Wawancara Pak Harsito Aji.................................................…...... ............. 84
Hasil Wawancara Ibu Darmu‟i.............................................................................. 86
Hasil Wawancara Mbah Sejo ................................................................................ 89
Hasil Wawancara Ibu Turah.................................................................................. 93
Hasil Wawancara Ustadz Mutoyo......................................................................... 96
Lampiran 4
Foto Hasil Kegiatan............................................................................................... 98
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Semua manusia berada dalam suatu ruang sosial, tempat, dan waktu
tertentu. Di sana manusia memperoleh segala pengetahuan baik yang berharga
maupun yang tidak berharga dalam kehidupan individualnya maupun
kehidupan sosialnya. Berdasarkan pengetahuan itu manusia hidup
berdampingan bersama dengan manusia lainnya. Kembali ke kodratnya
manusia juga memiliki potensi-potensi kejiwaan, yakni rasio, perasaan dan
hasrat, serta kerohanian-intuitif yang bebas. Berdasarkan hal tersebut manusia
dapat memilih antara menerima atau menolak nilai pengetahuan yang
diterimanya. Dengan demikian nilai-nilai sosial dapat berubah berdasarkan
kreativitas dan kebebasan yang dimilikinya.1
Manusia memiliki dua kekayaan yang paling utama yang lazim disebut
dengan akal dan budi atau pikiran dan perasaan. Akal lah yang membedakan
manusia dengan makhluk lainnya. Dengan adanya hal ini memungkinkan
manusia untuk memiliki tuntutan-tuntutan hidup yang lebih dibandingkan
dengan makhluk hidup lainnya. Tuntutan tersebut dapat berupa tuntutan rohani
maupun jasmani. Hal ini pun dilakukan semata-mata demi mencapai
kebahagiaan manusia itu sendiri. Binatang barangkali juga memiliki perasaan,
tetapi hal ini tidak mungkin, karena perilaku itu sangat berkaitan erat dengan
akal dan budi. Padahal sudah jelas binatang tidak memilikinya. Pada sisi lain
akal dan budi memungkinkan terciptanya karya-karya manusia yang tidak akan
pernah dihasilkan oleh makhluk lain. Cipta, karsa, dan rasa akan terus melaju
tiada henti sebagai buah akal budi manusia yang terus menciptakan segala
macam benda baru demi memenuhi kebutuhan hidup manusia yang terus
berlangsung baik bersifat jasmani maupun rohani. Dari proses inilah maka lahir
apa yang disebut dengan kebudayaan.2
1 Jakob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia: Pelacakan Hermeneutis-Historis terhadap
Artefak-artefak kebudayaan (Yogyakarta: Qaalam, 2002), h. IX. 2 Djoko Widagdho, dkk., Ilmu Budaya Dasar ( Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 24.
1
2
Kebudayaan berasal dari kata budhi dalam bahasa Sansekerta yang
berarti akal kemudian menjadi kata budhi (tunggal) atau budhaya (majemuk),
sehingga kebudayaan itu diartikan sebagai hasil pemikiran manusia. Ada
pendapat yang mengemukakan bahwa kebudayaan berasal dari budi dan daya.
Budi yang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan dan daya adalah hasil
perbuatan manusia itu sendiri atau unsur jasmani dalam kebudayaan.3
Kebudayaan dalam pandangan Ki Hajar Dewantara sebagaimana dikutip
di dalam buku Ilmu Budaya Dasar yang ditulis oleh Supartono Widyosiswoyo
kebudayaan merupakan buah budi yang merupakan hasil perjuangan besar
terhadap dua pengaruh kuat, yaitu alam dan rohani untuk mengatasi rintangan
dan kesulitan hidupnya demi mencapai keselamatan dan kebahagiaan.
Sedangkan pendapat Malinowski yang dikutip dalam buku yang sama
kebudayaan itu prinsipnya berdasarkan kebutuhan hidup manusia. Kebutuhan
yang berbeda akan menimbulkan budaya yang khas.4
Menjadi manusia adalah menjadi individu, dan kita menjadi individu di
bawah pengarahan pola-pola kebudayaan, sistem-sistem makna yang tercipta
secara historis. Manusia sebagai makhluk individu yang tidak bisa lepas dari
manusia lainnya dengan kata lain manusia sebagai makhluk sosial, manusia
butuh teman yang selalu dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Di
lingkungan hidupnya manusia pasti memiliki budaya yang berbeda dengan
manusia lainnya. Masyarakat dan budaya adalah dua hal yang tak dapat
dipisahkan bagaikan darah dan daging yang saling menyatu dan membutuhkan
satu sama lain. Budaya akan selalu dilestarikan oleh keturunannya dan
masyarakat sekitar. Kedudukan dan peran masyarakat tidak akan lepas dari
sistem sosial budaya.5
Pada dasarnya kehidupan beragama merupakan sebuah
kepercayaan, keyakinan terhadap adanya kekuatan supranatural, kekuatan gaib,
atau kekuatan luar biasa yang berpengaruh terhadap kehidupan perseorangan
atau kelompok masyarakat.6
3 Supartono Widyosiswoyo, Ilmu Budaya Dasar (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), h. 30. 4 Supartono Widyosiswoyo, Ilmu Budaya Dasar, h. 31. 5
Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, Terjemahan Budi Susanto SJ (Yogyakarta: Kanisius,
2016), h. 65. 6 Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), h.
1.
3
Masyarakat, budaya, dan agama adalah hal yang saling berkaitan.
Masyarakat memiliki peranan besar dalam melestarikan budaya. Agama tentu
lahir dan berkembang dalam keadaan masyarakat yang sudah memiliki budaya.
Masyarakat memiliki peranan dalam menjalankan semua perintah agama dan
menjaga kelestarian budayanya agar tetap terpelihara. Dalam kehidupan sehari-
hari masyarakat menggunakan agama dan budaya sebagai pedoman hidup
mereka karena agama mengandung banyak pengertian.
Agama adalah tuntunan hidup yang diturunkan Tuhan kepada manusia.
Agama memuat ajaran yang universal dan non diskriminatif, yaitu tidak
membedakan manusia berdasarkan latar belakang etnis, ras, ideologi atau
budaya.
Ahli ilmu kemasyarakatan mengemukakan ada dua aliran dalam
pengertian agama sebagaimana dikutip oleh M. Ridwan Lubis dalam buku
Agama dalam Diskursus Intelektual Kehidupan Beragama di Indonesia.
Pertama, pengertian agama yang bersifat inklusif, dimana agama dipahami
sebagai sistem sosial yang menekankan perlunya individu-individu dalam
masyarakat dikontrol oleh kesetiaan lokal terhadap seperangkat kepercayaan
dan nilai oleh pemeluknya.
Kedua, pengertian agama yang bersifat ekslusif, yaitu yang memberikan
tekanan kepada kesucian, kekudusan, dan ketabuan.7
Dalam hal ini agama
dipahami sebagai sistem yang memadukan kepercayaan-kepercayaan dan
praktik-praktik yang berhubungan dengan hal-hal yang suci, yang terpisah dan
terlarang yang meliputi kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik yang
menyatukan semua pengikutnya yang disebut dengan umat.8
Agama juga diartikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang
mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhan,
mengatur hubungan manusia dengan manusia, dan manusia dengan
lingkungannya. Dalam hubungan manusia dengan Tuhan setiap agama
memiliki aturan tentang sejumlah upacara sebagai wujud penyembahan
kepada-Nya. Penyembahan yang memiliki tujuan sebagai tujuan dari
7 M. Ridwan Lubis, Agama dalam Diskursus Intelektual Kehidupan Umat Beragama di
Indonesia (Jakarta: Pusat Kerukunan Umat Beragama, 2015), h. 3. 8
M. Ridwan Lubis, Agama dalam Diskursus Intelektual, h. 4.
4
kehidupan manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya. Agama menjadi
inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan karena agama menjadi
landasan bagi setiap orang dalam menetapkan pilihan tindakan yang disebut
etos kerja (world-view).9
Agama (Islam) dan budaya merupakan dua hal yang sangat sulit
dipisahkan, keduanya memiliki simbol dan nilai yang berbeda. Agama (Islam)
adalah simbol yang melambangkan ketaatan kepada Allah. Sedangkan
kebudayaan lokal mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di
dalamnya dengan ciri khas kelokalannya. Agama memerlukan sistem simbol
dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya
perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang sakral, final, universal, abadi
(perenial), dan tidak mengenal perubahan-perubahan absolut) sedangkan
kebudayaan bersifat partikular, relatif, dan temporer. Agama tanpa kebudayaan
memang dapat berkembang secara pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama
sebagai kolektifitas tidak akan mendapatkan tempat.10
Dengan demikian, pembicaraan antara Islam dan budaya lokal adalah
suatu hal yang sudah menjadi sebuah keniscayaan. Keduanya saling
memberikan kontribusi antara satu dengan yang lainnya. Agama Islam
memberikan warna dan spirit pada budaya lokal yang ada di daerah Jawa,
sedangkan kebudayaan lokal di Jawa menyumbangkan kekayaan terhadap
agama Islam. Hal inilah yang terjadi dalam dinamika keislaman yang terjadi di
Indonesia khususnya di Jawa dengan tradisi dan kekayaan budayanya.
Dalam ruang lingkup individu atau kelompok dapat terjadi interaksi
budaya baik akulturasi maupun asimilasi. Dalam ruang lingkup individu
interaksi dalam bentuk komunikasi akan membentuk kesepakatan bersama
yang selanjutnya dipakai bersama, bahkan menjadi pengikat antar sesama
mereka. Jika masing-masing buah pikiran merupakan budaya, maka hasil
komunikasi tersebut adalah menjadi budaya bersama, atau dapat disebut
9 M. Ridwan Lubis, Agama dalam Diskursus Intelektual, h. 6-7. 10
Nurhuda Widiana, Pergumulan Islam dengan Budaya Lokal, Studi Kasus Masyarakat
Samin di Dusun Jepang Bojonegoro, Jurnal Teologia Volume 26 Nomer 2, Juli-Desember 2015,
h. 205.
5
dengan budaya kolektif. Proses tersebut bisa terjadi dalam suatu wilayah
tertentu, sehingga terbentuk dengan apa yang disebut dengan budaya lokal.11
Wilayah kebudayaan Jawa itu luas sekali mulai dari bagian tengah dan
timur pulau Jawa. Meskipun demikian ada sebagian daerah yang secara
kolektif disebut dengan daerah kejawen. Sebelum terjadi perubahan-perubahan
status wilayah seperti sekarang ini, daerah itu ialah Banyumas, Kedu,
Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri dan daerah di luar itu
dinamakan pesisir dan ujung timur.
Dengan sikap keterbukaan masyarakat Jawa dan perilakunya yang
menunjukkan keramahan dan saling menghormati satu sama lain membuat
daerah ini mudah menerima pengaruh agama luar yang salah satunya adalah
agama Islam.
Agama Islam umumnya berkembang baik di kalangan masyarakat Jawa.
Hal ini tampak nyata pada bangunan-bangunan khusus untuk tempat beribadat
orang-orang yang beragama Islam. Walaupun demikian tidak semua orang
beribadat menurut agama Islam, sehingga berlandasan atas kriteria pemeluk
agamanya, ada yang disebut Islam santri dan Islam kejawen. Selain itu masih
ada juga di pedesaan wilayah Jawa orang-orang yang memeluk agama Nasrani
atau agama besar lainnya.
Orang santri adalah penganut agama Islam di Jawa yang secara patuh dan
teratur menjalankan ajaran-ajaran dari agamanya. Adapun golongan orang
Islam kejawen, walaupun tidak menjalankan salat, atau puasa, serta tidak
bercita-cita naik haji, dan paling tidak mereka tetap menjadi Islam sebagai
bagian budaya yang memperkaya tradisi sosial. Tuhan, mereka sebut Gusti
Allah dan Nabi Muhammad adalah Kanjeng Nabi. Akan tetapi, orang Islam
kejawen ini, terhindar dari kewajiban berzakat. Kebanyakan orang Jawa
percaya bahwa hidup manusia di dunia ini sudah diatur dalam alam semesta,
sehingga tidak sedikit mereka yang bersikap nrima, yaitu menyerahkan diri
kepada takdir. Inti pandangan alam pikiran mereka tentang kosmos tersebut,
baik diri sendiri, kehidupan sendiri, maupun pikiran sendiri, telah tercakup di
dalam totalitas alam semesta atas kosmos tadi, inilah sebabnya manusia hidup
11 Nurhuda Widiana, Pergumulan Islam dengan Budaya Lokal, h. 206.
6
tidak terlepas dengan yang lain-lainnya yang ada di dalam alam jagad. Jadi,
apabila lain hal yang ada itu mengalami kesulitan, maka manusia akan
menderita juga.12
Bersamaaan dengan pandangan alam pikiran tersebut, orang Jawa
percaya kepada suatu kekuatan yang melebihi segala kekuatan dimana saja
yang pernah dikenal, yaitu kasakten, kemudian arwah atau roh leluhur, dan
makhluk-makhluk halus seperti, memedi, lelembut, tuyul, demit, serta jin dan
jenis makhluk halus lainnya. Makhluk-makhluk tersebut menempati alam
sekitar tempat tinggal mereka. Menurut kepercayaan masing-masing makhluk
halus tersebut dapat mendatangkan kesuksesan, kebahagiaan, ketentraman,
ataupun keselamatan. Akan tetapi hal itu dapat pula menimbulkan gangguan
pikiran, kesehatan, bahkan kematian. Dengan demikian, apabila seseorang
ingin hidup tanpa menderita gangguan makhluk- makhluk tersebut, maka ia
harus berbuat sesuatu untuk mempengaruhi alam semesta dengan berprihatin,
berpuasa, berpantang melakukan perbuatan serta makan makanan tertentu,
berselamatan, dan menyediakan sesajen. Kedua cara terakhir di atas sering
dijalankan oleh masyarakat Jawa di desa-desa pada waktu tertentu dalam
peristiwa-peristiwa kehidupan sehari-hari.
Kebudayaan Jawa yang berkembang sejak zaman dahulu merupakan
suatu akulturasi antara kebudayaan masyarakat tradisional dan juga agama
yang masuk ke tanah Jawa. Berawal dari masuknya ajaran agama Hindu yang
berasal dari India yang menyebar dan mengisi kehidupan masyarakat
tradisional Jawa. Tidak semua ajaran yang datang dari India diterima oleh
masyarakat tradisional Jawa, ajaran yang dianggap cocok dengan kebudayaan
mereka diambil kemudian diserap serta dijadikan budaya di tanah Jawa,
sedangkan ajaran yang dianggap tidak cocok mereka tinggalkan.13
Pandangan masyarakat Jawa tentang kepercayaan dan agama bila kita
maknai dengan baik, maka kita akan mengerti hakekat dari adanya nilai-nilai,
norma dan diciptakannya agama, menurut masyarakat Jawa yang masih
12 Jati Hermawan, Pengaruh Agama Islam Terhadap Kebudayaan dan Tradisi Jawa di
Kecamatan Singorojo Kabupaten Kendal, Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran
Semarang Volume 02 Nomor 1, November 2014, h. 48. 13
Jati Hermawan, Pengaruh Agama Islam Terhadap Kebudayaan dan Tradisi Jawa, h.49.
7
sederhana bahwa agama, hukum, dan larangan-larangan diciptakan karena
adaya sifat manusia yang tercela, ingin menang sendiri, dan mempunyai hawa
nafsu berbuat buruk., mereka menganggap bahwa intisari semua ajaran itu
sama dan selalu mengajarkan cinta kasih antar umatnya, sehingga manusia
tidak perlu berebut ingin menjadi paling benar, karena sifat egois golongan
tersebut membuat manusia menjadi lupa akan tugasnya sebagai manusia yang
seharusnya menjaga kehidupan yang ada di dunia.14
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa orang Jawa kejawen
memandang bahwa semua agama itu sama baiknya, karena seluruh agama itu
mengajarkan keluhuran budi dan kesucian rohani untuk mendapatkan
kesempurnaan hidup. Kejawen adalah masyarakat yang memiliki pendekatan
kebatinan atau rasa dalam diri manusia untuk mencapai eksistensi yang tinggi
sebagai manusia.15
Berkaitan dengan masalah lahir dan batin, Niels Mulder menyatakan
bahwa inti penting dari kejawen adalah kebatinan, yaitu elaborasi kehidupan
batin dan diri manusia. Dengan demikian, orang kejawen memiliki tujuan yang
tertinggi sebagai manusia yang memiliki kesempurnaan hidup melalui praktik
olah batin. Olah batin sebagai proses harmonisasi menuju ketenangan,
kebahagiaan, dan kejujuran dalam hidup untuk menuju sangkan paran kang
dumadhi.16
Di dalam Islam ada perintah mengenai khitan. Khitan dalam Islam
merupakan sesuatu kegiatan memotong kulit yang menutupi kepala zakar
(penis) dan memotong sedikit daging yang berada di bagian atas farji (klitoris)
dan al khitan adalah bagian dari nama yang dipotong itu. Khitan di Indonesia
14 Jati Hermawan, Pengaruh Agama Islam Terhadap Kebudayaan dan Tradisi Jawa, h. 49. 15
Sulchan Chakim, Potret Islam Sinkretisme: Praktik Ritual Kejawen, Komunika Volume 3
Nomer 1, Januari-Juni 2009, h. 3. 16
Dalam Jurnal yang ditulis Sulchan Chakim, Potret Islam Sinkretisme: Praktik Ritual
Kejawen, Komunika Volume 3 Nomer 1, Januari-Juni 2009 disebut dengan sangkan paran kang
dumadhi,di dalam buku yang ditulis Soesilo, Sekilas tentang Ajaran Kejawen Sebagai Pedoman
Hidup, disebut dengan sangkan paraning dumadi sebagaimana juga penyebutan ini ditulis dalam
buku Frans Magniz Suseno yang berjudul Etika Jawa yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka
Utama, cetakan kesembilan 2003.
8
dikenal juga dengan sunat. Prosesnya disebut juga dengan sunatan atau
khitanan.17
Masyarakat Jawa yang beragama Islam pun melakukan prosesi khitan ini.
Akan tetapi, proses khitan yang dilakukan masyarakat Jawa ini memiliki
perbedaan dalam hal prosesinya. Begitupun yang terjadi pada masyarakat di
Desa Sidomukti Kecamatan Karanganyar Kabupaten Pekalongan. Pada
umumnya mereka menganut Islam kejawen.18
Mereka menjalankan apa itu
yang namanya khitan, namun dalam prosesinya tidak semua yang termasuk
unsur-unsur Islam. Dalam menyelenggarakan khitanan ini seseorang tidak
boleh sembarangan dalam menentukan hari dan tanggal karena masyarakat
Desa Sidomukti ini masih memakai perhitungan primbon dan hanya orang
tertentu yang bisa menentukannya dan mengetahuinya. Setelah menemukan
hari dan tanggal yang tepat dalam prosesinya ialah diadakan selametan.
Selametan ini dipimpin oleh seseorang yang ahli agama untuk memimpin
membaca doa. Hal yang lebih terlihat ialah adanya sesajen dalam proses ritual
tradisi khitanan ini. Sesajen ini biasanya rutin dibuat setiap malam jumat.
Bahkan dalam tradisi-tradisi atau upacara yang lain sesajen ini harus selalu ada.
Seperti terlihat dalam tradisi khitanan namun berbeda dengan sesajen yang
diberikan atau dibuat setiap malam Jumat, sesajen yang diberikan dalam ritual
tradisi khitanan ini lebih banyak rupanya. Setiap benda atau makanan yang ada
di dalam sesajen ini memiliki arti dan makna masing-masing.
Berdasarkan uraian di atas, kita dapat melihat bahwa tradisi khitanan di
Desa Sidomukti Kecamatan Karanganyar Kabupaten Pekalongan ini adanya
akulturasi antara unsur Islam dan budaya Jawa didalamnya. Dari sini penulis
tertarik untuk mengkaji dan mendalami terkait tradisi khitan yang masih
dilakukan oleh masyarakat Desa Sidomukti, dan bagaimana percampuran
kebudayaan Jawa dengan Islam tersebut pada pelaksanaan tradisi khitan. Oleh
17 Adika Mianoki, Ensiklopedi Khitan: Kupas Tuntas Pembahasan Khitan dalam Tinjauan
Syariat dan Medis (Yogyakarta: Tim Kesehatan Muslim, 2014), h. 8-9. 18
Islam menurut masyarakat Desa Sidomukti adalah ajaran yang diwahyukan oleh Allah
SWT dengan segala peraturan didalamnya. Setiap peralihan ritus kehidupan seperti, kelahiran,
khitanan, perkawinan dll harus dilaksanakan dengan menggunakan hukum Islam, namun dalam
setiap upacaranya yang namanya adat dan tradisi juga hadir didalamnya karena Islam tidak pernah
melarang tradisi yang baik. Dengan demikian Islam yang mereka yakini adalah Islam yang
menyerap kebudayaan lokal sehingga yang tergambar adalah Islam dan kebudayaan lokal yang
terdapat di dalamnya. (Hasil wawancara dengan tokoh agama Desa Sidomukti yaitu Mbah Sejo)
9
karena itu untuk lebih jelasnya penulis membuat judul skrispi ini dengan judul
Akulturasi Unsur Islam dan Budaya Jawa dalam Tradisi Khitanan di
Desa Sidomukti Kecamatan Karanganyar Kabupaten Pekalongan.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, agar sebuah
penelitian ini fokus pada satu tujuan, maka penulis hanya membatasi pada
Tradisi khitanan saja. Kemudian, batasan masalah tersebut dirumuskan dalam
satu pertanyaan berikut: “Apakah terjadi akulturasi unsur Islam dan budaya
Jawa dalam pelaksanaan tradisi khitanan di Desa Sidomukti Kecamatan
Karanganyar Kabupaten Pekalongan?”
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan batasan dan rumusan masalah, penelitian yang diberi judul
“Akulturasi Unsur Islam dan Budaya Jawa dalam Tradisi Khitanan di Desa
Sidomukti Kecamatan Karanganyar Kabupaten Pekalongan”. Tujuan utama
penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terjadi akulturasi unsur-unsur
Islam dan budaya Jawa dalam tradisi khitanan di desa tersebut.
Adapun manfaat penelitian ini di antara lain adalah:
1. Manfaat Akademis
a. Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran terutama
mengenai unsur-unsur Islam dan budaya Jawa yang mengalami
akulturasi dalam tradisi khitanan.
b. Penelitian ini untuk memenuhi persyaratan akhir perkuliahan untuk gelar
kesarjanaan Strata I (SI) Agama dalam Jurusan Studi Agama Agama
Fakultas Ushuluddin di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan sumbangsih yang berarti bagi keberadaan tradisi Islam dan
budaya Jawa yang ada di Pekalongan.
b. Sebagai sumber pengetahuan dan informasi bagi mahasiswa yang
berminat dalam kajian budaya Jawa dan Islam.
10
c. Memperluas pengetahuan tentang Islam dan budaya Jawa.
D. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan pengamatan penyusun, sampai saat ini terdapat beberapa
karya buku ataupun riset yang berkaitan dengan tema penulis
Karya bentuk Skripsi ditulis oleh Diana Puspasari yang berjudul
“Akulturasi Budaya Lokal dengan Agama (Upacara Kasada Sebagai Bentuk
Akulturasi Budaya Lokal dengan Islam di Desa Argosari Kec. Senduro Kab.
Lumajang Jawa Timur”. Dalam skripsi ini dibahas tentang upacara Kasada
yang dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap roh nenek moyang.
Wujud akulturasi yang terdapat dalam skripsi ini ialah di mana yang
melakukan upacara tersebut tidak hanya orang Tengger yang beragama Hindu,
melainkan orang Tengger yang beragama Islam juga melakukan upacara
tersebut. Dengan demikian kehadiran mereka itulah yang disebut sebagai
akulturasi meskipun tidak terdapat perubahan prosesi dalam upacara tersebut.19
Karya bentuk Skripsi ditulis oleh Muhammad Sairi yang berjudul “Islam
dan Budaya Jawa dalam Perspektif Clifford Geertz”. Dalam skripsi ini
membahas tentang peran agama dalam kehidupan masyarakat Jawa dan
relevansinya dalam konteks masyarakat modern menurut Clifford Geertz.
Skripsi ini juga menjelaskan tentang bagaimana kebudayaan dan agama
berbaur dalam suatu sistem sosial masyarakat tanpa saling menyalahkan dan
mengklaim bahwa salah satunya lah yang paling benar.20
Karya dalam bentuk jurnal yang ditulis oleh Donny Khoirul Aziz yang
berjudul “Akulturasi Islam dan Budaya Jawa”. Dalam jurnal ini membahas
tentang bagaimana kemunculan Islam dan perkembangannya di Indonesia yang
menimbulkan transformasi-transformasi kebudayaan lokal. Dalam jurnal ini
lebih ditekankan pada akulturasi yang terjadi pada arsitektur-arsitektur
19 Diana Puspasari, Akulturasi Budaya Lokal dengan Agama (Upacara Kasada Sebagai
Bentuk Akulturasi Budaya Lokal dengan Islam di Desa Argosari Kec. Sendurjo Kab. Lumajang
Jawa Timur), Skripsi (Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015). 20
Muhammad Sairi, Islam dan Budaya Jawa dalam Perspektif Clifford Geertz, Skripsi (Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017).
11
bangunan masjid, batu nisan, kesusastraan. Di sini juga menjelaskan
bagaimana akulturasi nilai pendidikan Islam dengan budaya Jawa.21
Tema yang penulis bahas berbeda dengan tinjauan pustaka yang telah
disebutkan di atas. Penulis akan membahas tentang akulturasi unsur-unsur
Islam dan budaya Jawa dalam tradisi khitanan di Desa Sidomukti Pekalongan
dengan menggunakan metode analisis deskriptif yang dikombinasikan dengan
pendekatan historis, dan antropologis. Di dalam konteksnya mengarah untuk
mengetahui bentuk perpaduan unsur-unsur Islam dan budaya Jawa dalam
tradisi khitanan.
E. Metodologi Penelitian
Agar data yang penulis uraikan dapat dipertanggungjawabkan secara
akademis, maka diperlukan metode dalam penelitian. Metode tersebut
diharapkan agar penelitian terarah dan mudah dikaji, adapun metode penelitian
yang penulis gunakan adalah penelitian lapangan (field research), yakni
dengan melakukan penelitian terhadap masyarakat Desa Sidomukti Kecamatan
Karanganyar Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah yang melakukan tradisi
khitanan dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan pendekatan
naturalistik untuk mencari dan menemukan pengertian atau pemahaman
tentang fenomena dalam suatu latar yang berkonteks khusus.22
Penelitian
kualitatif juga didefinisikan sebagai suatu proses yang mencoba untuk
memperoleh pemahaman yang lebih baik terkait kompleksitas yang ada pada
interaksi manusia.23
Penelitian kualitatif itu menganggap realitas itu bersifat ganda. Realitas
sosial merupakan hasil konstruksi pemikiran dan bersifat holistis. Penelitian
kualitatif juga menganggap bahwa proses penelitian tidak dapat dikatakan
sepenuhnya „bebas nilai‟. Penelitian dalam bentuk kualitatif ini tidak bersifat
21 Donny Khoirul Aziz, Akulturasi Islam dan Budaya Jawa, Fikrah, Volume 1, Nomer 2,
Juli-Desember 2013. 22
Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2014), h. 5. 23
Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), cet. I, h. 193.
12
kaku, ia lebih menyesuaikan dengan keadaan lapangan.24
Oleh karena itu
peranan peneliti sangat dominan untuk menentukan keberhasilan penelitian
yang dilaksanakan.25
1. Lokasi Penelitian
Adapun yang menjadi lokasi penelitian adalah Desa Sidomukti
Kecamatan Karanganyar Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah. Penelitian
dilakukan dari tanggal 14 Agustus s/d 31 Agustus 2018.
2. Sumber Penelitian
Data yang diperoleh penulis dalam penelitian ini adalah dari dua data,
yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah sumber data yang
dapat memberikan data penelitian secara langsung. Data primer ini
merupakan sumber utama, berupa karya yang ditulis langsung oleh
penganutnya sendiri maupun yang ahli dalam bidangnya26
. Sedangkan data
sekunder ialah data yang materinya secara tidak langsung berhubungan
dengan masalah yang diungkapkan.27
Sumber data sekunder ini digunakan
sebagai pelengkap dari sumber data primer.28
Adapun data primer yang digunakan oleh penulis, yaitu:
a. Wawancara mendalam dengan Mbah Sejo selaku tokoh agama dan
tokoh masyarakat, Bapak Harsito Aji selaku Kepala Desa Sidomukti,
Ustadz Mutoyo selaku tokoh agama, Ibu Darmu‟i dan Ibu Turah selaku
masyarakat Desa Sidomukti.
b. Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa
terjemahan Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya, 1983.
c. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2003.
d. Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid II, Jakarta: UI Press,
1990.
24
Bagong Suyanto dan Sutinah, Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan
(Jakarta: Kencana, 2003), cet. III, h. 168. 25 Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, h. 199. 26 Syaifudin Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 91. 27
Prastowo, Memahami Metodologi Penelitian: Suatu Tinjaun Teoritis dan Praktis
(Yogyakarta: Arruz Media, 2011), h. 32. 28
Suharsini Ari Kunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 117.
13
e. Ranoewidjojo, Primbon Masa Kini, Bukune, 2009.
f. Andrew Beatty, Variasi Agama di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
g. Wahyana Giri, Sajen dan Ritual Orang Jawa, Yogyakarta: Narasi, 2009.
h. M. Husain Nasir, Fikih Dzabihah, Jawa Timur: Pustaka Sidogiri, 2006.
i. Adika Mianoki, Ensiklopedi Khitan (Kupas Tuntas Pembahasan Khitan
dalam Tinjauan Syariat dan Medis), Yogyakarta: Tim Kesehatan
Muslim, 2014.
j. RP. Suyono, Dunia Mistik Orang Jawa, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta,
2007.
k. TIM Nasional Penulisan, Sejarah Indonesia Jilid III, Jakarta: Balai
Pustaka, 2010.
Adapun data sekunder yang penulis gunakan adalah buku-buku dan
jurnal-jurnal serta artikel yang berkaitan dengan judul skripsi sebagai
pelengkap dari data primer.
3. Teknik Pengumpulan Data
Data-data yang penulis dapatkan akan dikumpulkan terlebih dahulu.
Adapun pengumpulan data yang penulis lakukan melalui cara-cara sebagai
berikut:
a. Observasi
Observasi ialah melakukan pengamatan suatu keadaan, suasana,
peristiwa, menghimpun, memeriksa, dan mencatat dokumen-dokumen
yang menjadi sumber data penelitian.29
Penulis terjun langsung untuk
mengamati dan menggali informasi pada ritual tradisi khitanan yang
dilakukan di desa tersebut. Penulis akan mencatat kejadian-kejadian,
perilaku-perilaku, obyek-obyek yang dilihat dan hal-hal lain yang
diperlukan yang dapat mendukung penelitian yang sedang penulis
lakukan.
b. Wawancara mendalam (Indepth Interview)
Wawancara mendalam (Indepth Interview) ialah pengumpulan
data dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung oleh
29
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: CV Alfabeta, 2007), h. 56.
14
pewawancara kepada responden.30
Dalam penelitian ini yang menjadi
responden adalah tokoh adat dan pemuka agama, serta masyarakat yang
melakukan tradisi khitanan serta orang lain yang dianggap relevan
dengan objek yang diteliti. Wawancara dalam suatu penelitian bertujuan
untuk mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam
suatu masyarakat serta pendirian-pendirian mereka. Wawancara
merupakan suatu pembantu utama dari metode observasi.31
c. Dokumentasi
Penulis juga menggunakan metode dokumentasi agar hasil
observasi dan wawancara yang dilakukan lebih kredibel dan terpercaya.
Dokumentasi, ialah suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun
dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar
maupun elektronik.32
Penulis menggunakan sumber-sumber tertulis yang
digunakan seperti buku-buku literatur, jurnal, majalah, gambar seperti
foto, film, dan lain-lain.
4. Pendekatan Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan dua
pendekatan yaitu pendekatan historis, dan pendekatan antropologis.
Pendekatan historis merupakan suatu studi yang berusaha menelusuri asal-
usul dan pertumbuhan ide-ide dan pranata-pranata keagamaan melalui
perkembangan periode-periode historis tertentu dan menilai peranan
kekuatan-kekuatan yang dimiliki agama untuk memperjuangkan atau
mempertahankan dirinya selama periode itu.33
Dalam hal ini penulis
menggunakan pendekatan ini untuk mendeskripsikan sejarah masuk dan
berkembangnya Islam ke tanah Jawa. Adapun pendekatan antropologis
adalah pendekatan yang berupaya memahami kebudayaan-kebudayaan
produk manusia yang berhubungan dengan agama. Sejauh mana agama
memberi pengaruh terhadap budaya dan sebaliknya, sejauh mana
h. 67.
30 Irwan Soehartono, Metode Penelitian Sosial (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008),
31 Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: PT. Gramedia, 1977),
cet.I, h. 129. 32 Supardi, Metodologi Penelitian Bisnis (Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 138. 33
Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-agama Dari Era Teosofi Indonesia (1901- 1940) Hingga Masa Reformasi ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 15.
15
kebudayaan suatu kelompok masyarakat memberi pengaruh terhadap
agama.34
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini, penulis merujuk pada buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Desertasi) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Biro Akademik dan
Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013/2014.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam pembahasan, skripsi tersebut dibagi menjadi
beberapa bab dan sub bab, yaitu :
BAB I: Bab ini membahas tentang alasan pemilihan judul, dengan
menunjukkan faktor yang mendorong pemilihan judul skripsi. Kemudian
diikuti dengan menuliskan rumusan masalah, tujuan penelitian dan kegunaan
penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II: Membahas tentang gambaran umum desa atau lokasi
penelitian yang meliputi, letak geografis dan demografis, kondisi umum
masyarakat Desa Sidomukti dengan beberapa aspek; aspek sosial budaya;
aspek keagamaan, dan mata pencaharian masyarakat.
BAB III: Membahas tentang gejala akulturasi Islam dan budaya Jawa,
yang terdiri dari teori akulturasi budaya, Jawa sebelum kedatangan Islam,
strategi penyebaran Islam di Jawa, dan islamisasi di Pekalongan.
BAB IV: Bagian ini membahas tentang Proses akulturasi Islam dan
budaya Jawa dalam tradisi khitanan di Desa Sidomukti, yang terdiri dari:
Unsur-unsur Islam dan budaya Jawa dalam tradisi khitanan, primbon sebagai
prediksi masa depan, upacara khitan di Desa Sidomukti, dan analisis terhadap
akulturasi unsur Islam dan budaya Jawa dalam tradisi khitan di Desa
Sidomukti.
BAB V: Kesimpulan, saran dan kata penutup. Yaitu memuat
kesimpulan yang mencakup semua isi skripsi, saran dan diakhiri dengan kata
penutup.
34
Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-agama, h. 47-48.
BAB II
DESKRIPSI DESA SIDOMUKTI
A. Letak Geografis
Desa Sidomukti merupakan salah satu desa dari 15 desa yang ada di
kecamatan Karanganyar dan salah satu desa dari 284 desa di kabupaten
Pekalongan yang terletak paling barat di wilayah Kecamatan Karanganyar
yang berbatasan dengan wilayah Kecamatan Kajen Ibu Kota Kabupaten
Pekalongan. Sebelah utara desa ini dibatasi oleh atau berbatasan dengan Desa
Jetak Kidul Kecamatan Wonopringgo. Sebelah Selatan berbatasan dengan
Desa Karangsari Kecamatan Karanganyar. Sebelah Timur berbatasan dengan
Desa Kayugeritan Kecamatan Karanganyar. Sebelah Barat berbatasan dengan
Desa Banjarjo Kecamatan Karanganyar.
Luas wilayah Desa Sidomukti adalah 243,51 ha merupakan dataran
rendah, dengan ketinggian 25 meter dari permukaan laut. Luas wilayah yang
telah disebutkan mencakup luas pemukiman 24,14 ha/m², luas persawahan
181,22 ha/m², luas perkebunan , luas kuburan 0,90 ha/m², luas pekarangan
30,67 ha/m², luas taman 0, luas perkantoran 0,50ha/m², dan luas prasarana
umum lainnya 6,09 ha/m².
Desa Sidomukti dipimpin oleh seorang kepala desa yang diangkat oleh
pemerintah daerah dengan pilihan langsung oleh masyarakat. Desa ini
memiliki 3 rukun warga yang terdiri dari 12 Rukun Tetangga.35
Adapun jarak tempuh ke Ibu Kota kabupaten dengan kendaraan
bermotor sekitar 0,5 jam. Jarak tempuh ke ibu kota kabupaten dengan
kendaraan non bermotor atau berjalan kaki sekitar 1 jam. Jarak desa dengan
Ibu Kota provinsi adalah 110 KM dan untuk menempuhnya memerlukan
waktu sekitar 2,5 jam untuk ke Ibu Kota provinsi jika dengan menggunakan
kendaraan bermotor, namun jika tidak menggunakan kendaraan bermotor
dapat menghabiskan waktu sekitar 3 jam.
35 Profil Desa Sidomukti tahun 2017, Naskah tidak diterbitkan.
16
17
B. Kondisi Demografis
Keadaan demografi menyangkut tentang pertambahan jumlah
penduduk, perkembangan meningkat dan menurunnya laju pertumbuhan
penduduk suatu daerah dapat diketahui dari data demografi daerah itu sendiri.
Data demografi itu berfungsi sebagai informasi tentang perkembangan
penduduk setiap tahunnya. Cepat atau lambat, menurun atau meningkatnya
laju pertumbuhan penduduk pada suatu daerah itu dapat diketahui dari data
tersebut. Dengan adanya data tersebut akan mempermudah bagi orang yang
berkepentingan atau membutuhkan data tersebut.
Berdasarkan statistik di desa Sidomukti tahun 2017 penduduk desa
Sidomukti terdiri dari 3018 orang penduduk, diantaranya terdiri dari 1492
orang laki-laki yang mengalami peningkatan sebanyak 5 orang dari tahun
sebelumnya dan 1526 orang perempuan yang mengalami peningkatan
sebanyak 3 orang dari tahun sebelumnya dengan jumlah kepala keluarga
sebanyak 713 Kepala Keluarga laki-laki dan 145 Kepala Keluarga perempuan
dengan jumlah keseluruhan 858 KK. Angka yang menunjukkan perbandingan
antara laki-laki dan perempuan tidak begitu besar.36
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk berdasarkan Usia
USIA LAKI-LAKI PEREMPUAN
0-5 tahun 104 orang 89 orang
6-11 tahun 126 orang 142 orang
12-16 tahun 125 orang 119 orang
17-21 tahun 128 orang 125 orang
22-26 tahun 102 orang 101 orang
27-31 tahun 100 orang 100 orang
32-36 tahun 98 orang 106 orang
37-41 tahun 103 orang 103 orang
42-46 tahun 107 orang 114 orang
47-51 tahun 102 orang 103 orang
52-56 tahun 78 orang 86 orang
36
Profil Desa Sidomukti Tahun 2017, Naskah tidak diterbitkan
18
57-61 tahun 98 orang 100 orang
˃ 62 tahun 221 orang 238 orang
Berdasarkan data di atas Desa Sidomukti Kecamatan Karanganyar
Kabupaten Pekalongan merupakan desa yang memiliki penduduk dengan
tingkat kepadatan sedang. Laju pertumbuhan penduduk dari tahun
sebelumnya ke tahun berikutnya mengalami peningkatan yang tidak begitu
banyak. Dengan demikian hal ini menandakan bahwa pertumbuhan penduduk
tidak begitu cepat dan banyak.
Masyarakat Desa Sidomukti seluruhnya menganut agama Islam. 3018
orang menganut agama Islam. Artinya, Islam mereka terima sebagai agama
yang menjadi identitas mereka. Sebagaimana yang terdapat dalam tabel
berdasarkan data Desa Sidomukti tahun 2017 di bawah ini.
Tabel 2.2 Jumlah Penduduk berdasarkan Agama
Agama Jumlah
Islam 3018
Hindu -
Buddha -
Katolik -
Protestan -
Konghuchu -
Tingkat pendidikan masyarakat desa Sidomukti sudah dibilang
meningkat dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya karena sekarang sudah
banyak disediakan sarana dan prasarana yang memadai dan dapat terjangkau
oleh anak-anak yang bersekolah. Masyarakat sudah banyak yang bersekolah
bahkan sampai melanjutkan ke perguruan tinggi.37
Hal ini dapat dilihat pada
tabel berikut:
37 Wawancara pribadi dengan Bapak Harsito Aji, Sidomukti 29 Agustus 2018.
19
Tabel 2.3 Jumlah Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan Masyarakat
Data Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan
Masyarakat
Jumlah
Jumlah Penduduk buta aksara dan huruf latin 204 orang
Jumlah penduduk usia 3-6 tahun yang masuk TK dan
Kelompok Bermain Anak
81 orang
Jumlah anak dan penduduk cacat fisik dan mental 11 orang
Jumlah penduduk sedang SD/ Sederajat 305 orang
Jumlah penduduk tamat SD/ Sederajat 315 orang
Jumlah penduduk tidak tamat SD/ Sederajat 241 orang
Jumlah penduduk sedang SLTP/ Sederajat 160 orang
Jumlah penduduk tamat SLTP/ Sederajat 156 orang
Jumlah penduduk tidak tamat SLTP/ Sederajat 168 orang
Jumlah penduduk sedang SLTA/Sederajat 64 orang
Jumlah penduduk tamat SLTA/Sederajat 257 orang
Jumlah penduduk sedang D1 5 orang
Jumlah penduduk tamat D1 8 orang
Jumlah penduduk sedang D2 -
Jumlah penduduk tamat D2 -
Jumlah penduduk sedang D3 9 orang
Jumlah penduduk tamat D3 5 orang
Jumlah penduduk sedang S1 2 orang
Jumlah penduduk tamat S1 4 orang
Jumlah penduduk sedang S2 -
Jumlah penduduk tamat S2 1 orang
Jumlah penduduk sedang S3 -
Jumlah penduduk tamat S3 -
20
C. Sejarah Desa Sidomukti
Desa Sidomukti terbentuk sekitar tahun 1928 dengan dipimpin oleh
kesepakatan tunjukan seorang kepala suku. Pada awalnya desa Sidomukti ini
bernama Sentul. Sentul mempunyai sejarah yang bermula dari sebuah
tonggak kayu yang bernama tonggak kayu sentul yang sampai saat ini masih
banyak dipercaya masyarakat kalau sewaktu-waktu kadang muncul ke
permukaan sungai dan sampai saat ini pun Sentul masih sering disebut oleh
khalayak ramai. Nama Desa Sentul berarti “jadi makmur” yang waktu itu
dimaksudkan siapapun orangnya yang setia dan taat menjadi warga desa
Sidomukti diharapkan bisa berjaya hidup makmur. Pada perkembangannya
Desa Sidomukti telah mengalami berbagai perubahan dan perkembangan dan
telah dipimpin oleh delapan orang Kepala Desa.38
Secara administrasi Desa Sidomukti berdiri sekitar tahun 1928. Pada
waktu itu ada dua wilayah yang bernama Jurangmangu dan Sentul yang
masing-masing mempunyai kepala wilayah. Selanjutnya kedua wilayah
tersebut bersepakat untuk menjadi satu dan damai. Desa Sidomukti
berkembang menjadi tiga perdukuhan, yaitu Dukuh Jurangmangu, Dukuh
Sidomukti Tengah, dan Dukuh Sidomukti Timur. Berikut nama Kepala Desa
yang pernah menjabat di Desa Sidomukti, Ki Ta‟adi (1958-1982), kemudian
putranya Madarip (1982-1998), setelah itu Waluyo (1998-2007), Sukinto, dan
yang sekarang menjabat adalah bapak Harsito Aji (2014-2019).39
D. Kondisi Sosial Budaya
Kehidupan masyarakat Desa Sidomukti sejauh pengamatan penulis
mereka hidup dalam semangat kerukunan. Jarang sekali yang namanya terjadi
bentrok ataupun kerusuhan baik pada masyarakat asli maupun masyarakat
pendatang yang datang ke desa ini. Perbedaan antar suku dan golongan tidak
membuat sulit untuk bergaul satu sama lain. Mereka dapat hidup dan bergaul
dengan baik, rukun dan damai. Hidup rukun dan damai ini memang sudah
38 Wawancara pribadi dengan Bapak Harsito Aji 39
Hasrito Sidomukti, Desa Sidomukti, diakses dari
https://sidomukti14.blogspot.com/2014/12/profil-dan-sejarah.html?m=1, pada 18 Agustus 2018
pukul 15.00.
21
diletakkan dalam diri mereka atas dasar ajaran agama dan budaya. Keduanya
menjadi faktor pendorong yang kuat bagi mereka untuk senantiasa hidup
bersama dengan rukun dan damai tanpa mengganggu urusan pribadi orang
lain.40
Ada dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam
masyarakat Jawa. Kaidah pertama adalah setiap situasi manusia hendaknya
bersikap untuk tidak menimbulkan konflik. Kaidah kedua menuntut agar
manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap
hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Kaidah
pertama disebut dengan prinsip kerukunan dan kaidah kedua disebut dengan
prinsip hormat oleh Franz Magnis Suseno.41
Kaidah pertama mengenai prinsip kerukunan. Kerukunan adalah salah
satu bentuk untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan harmonis.
Keadaan demikian disebut dengan rukun. Rukun berarti berada dalam
keadaan selaras, tenang dan tentram, serta tanpa perselisihan dan
pertentangan. Tuntutan dalam kerukunan ini bukan pada menciptakan
keselarasan, akan tetapi lebih pada untuk tidak mengganggu keselarasan yang
sudah ada. Dalam pandangan Jawa ketenangan dan keselarasan sosial
merupakan keadaan normal yang akan ada dengan sendirinya selama tidak
diganggu. Dengan demikian Segala apa yang dapat mengganggu keadaan
rukun dan suasana keselarasan dalam masyarakat harus dicegah.42
Kaidah kedua yang memegang peranan penting dalam mengatur pola
interaksi masyarakat Jawa adalah prinsip hormat. Prinsip ini dikatakan bahwa
setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri harus selalu menunjukkan
sikap hormat kepada orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya.
Hormat dalam pengertian orang Jawa meliputi tiga hal, yaitu sikap, perilaku,
dan bahasa. Hal ini digambarkan misalnya ketika orang hendak melewati
orang lain maka ia membungkukkan kepalanya dan berjalan sambil
meengucapkan permisi.
40 Wawancara pribadi dengan Bapak Harsito Aji 41 Franz Magnis Suseno, Etika Jawa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003) h. 38. 42
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, h. 39.
22
Berdasarkan pendapat bahwa semua hubungan dalam masyarakat
teratur secara hierarkis. Hierarkis itu bernilai pada dirinya sendiri dan oleh
karena itu setiap orang wajib untuk mempertahankannya dan membawakan
diri sesuai dengannya. Pandangan itu mendasarkan pada cita-cita tentang
suatu masyarakat yang teratur baik, di mana setiap orang mengenal tugas dan
tempatnya masing-masing sehingga dapat menjaga agar seluruh masyarakat
menjadi suatu kesatuan yang selaras. Kesatuan itu harusnya dibawakan oleh
semua orang sesuai dengan tatakrama sosial. Mereka yang berkedudukan
lebih tinggi harus dihormati. Sedangkan terhadap mereka yang berkedudukan
lebih rendah ialah dengan sikap kebapaan atau keibuan dan rasa tanggung
jawab. Kalau semua orang menerima kedudukannya maka tatanan sosial akan
terjamin.43
Prinsip kerukunan dan prinsip hormat merupakan dua hal yang saling
berkaitan dengan sangat erat. Mereka mencukupi untuk mengatur
selengkapnya segala kemungkinan interaksi. Prinsip kerukunan mengatur
dalam mengambil keputusan yang sama kedudukannya dan prinsip hormat
menentukan hubungan hierarkis dan dengan demikian dapat menentukan
segala macam interaksi. 44
Titik tolak dalam prinsip-prinsip keselarasan adalah menuntut sesuatu
dari individu. Masyarakat Jawa menuntut agar setiap usahanya menjamin
kepentingan-kepentingan dan hak-haknya sendiri jangan sampai mengganggu
keselarasan sosial. Prinsip kerukunan melarang mengambil keputusan-
keputusan yang dapat menimbulkan konflik dan mengganggu keselarasan.
Prinsip hormat melarang pengambilan posisi yang tidak sesuai dengan sikap-
sikap hormat yang dituntut. Apapun yang diusahakan oleh individu-individu,
bagaimanapun ia menilai suatu keadaan, masyarakat Jawa mengharapkan
agar mereka bisa bertindak sesuai dengan pertimbangan-pertimbangannya
sendiri sejauh keselarasan tetap dijaga dan kedudukan-kedudukan hierarkis
tetap dihormati. Dengan demikian pinsip-prinsip keselarasan memuat
43 Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, h. 60. 44
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, h. 70.
23
larangan mutlak pada usaha untuk bertindak hanya atas dasar kesadaran dan
kehendak seseorang sendiri saja.45
Dengan demikian kehidupan sosial kemasyarakatan masyarakat Desa
Sidomukti tercipta dengan rukun. Hal ini berdasarkan ajaran budaya dan
agama yang mereka yakini mendorong mereka untuk hidup rukun dan saling
hormat satu sama lain. Kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilakukan di
Desa Sidomukti dapat terlaksana dengan baik, seperti gotong royong,
posyandu, kegiatan PKK, dan perkumpulan lain seperti perkumpulan
perkawinan, khitanan, kematian, kemudian setiap ada hari-hari besar Islam
mereka berurunan mengeluarkan uang secara merata untuk membuat acara
bersama seperti ronggeng yang akan dilaksanakan setiap 1 Sura dan hari-hari
besar lainnya. Pada umumnya kegiatan tersebut dilakukan secara bersama
tanpa melihat adanya perbedaan sehingga kerja sama dalam melaksanakan
kegiatan dapat diaplikasikan dengan baik.
E. Kondisi Sosial Keagamaan
Masyarakat mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi
demi kelangsungan hidup dan pemeliharaannya. Dalam hal ini agama dapat
memenuhi sebagian dari kebutuhan-kebutuhan tertentu masyarakat untuk
kelangsungan hidupnya.
Pertama, agama membantu mendorong terjadinya persetujuan
mengenai sifat dan isi kewajiban-kewajiban sosial tersebut dengan
memberikan nilai-nilai yang berfungsi menyalurkan sikap-sikap para anggota
masyarakat dan menetapkan isi kewajiban-kewajiban sosial mereka. Dalam
peranan ini agama telah membantu menciptakan sistem-sistem nilai sosial
yang terpadu dan utuh.
Kedua, terdapat alasan-alasan yang kuat bahwa agama mempunyai
peranan yang sangat penting dalam memberikan kekuatan yang memaksa
yang mendukung dan memperkuat adat-istiadat. Dalam hubungan ini bahwa
45
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, h. 71.
24
sikap dan mengagungkan dan rasa hormat terutama yang berkaitan dengan
adat-istiadat yang berlaku ditimbulkan oleh yang sakral.46
Agama memerankan dua fungsi. Pertama, menjelaskan suatu
cakrawala pandang tentang dunia yang tidak terjangkau oleh manusia yang
pada akhirnya akan melahirkan etos kerja sebagai pengejewantahan balasan
ideal yang akan diterima di alam sesudah kebangkitan. Kedua, agama sebagai
sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal yang di luar
jangkauannya.47
Kehidupan masyarakat Kabupaten Pekalongan pada umumnya masih
diwarnai atau dipengaruhi oleh beberapa pengaruh budaya animisme dan
hinduisme. Meskipun mayoritas masyarakat Kabupaten Pekalongan
beragama Islam, namun dalam kehidupan sehari-hari masih dipengaruhi
budaya kedua agama tersebut terutama kepada kehidupan sosialnya. Hal ini
dapat dilihat pada upacara yang bersifat tradisional yang masih menjadi
budaya dan sulit dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, seperti
adat pernikahan, khitanan, mitoni, cukur rambut, selapanan, wetonan, serta
selametan bagi orang yang meninggal dunia, pengaruh adanya perhitungan
hari sebagai tonggak untuk menentukan jodoh, hari pernikahan, pendirian
rumah, bepergian, pindah rumah, resepsi/adat lainnya.48
Masyarakat Desa Sidomukti keseluruhan menganut agama Islam. Dari
hasil pengamatan dan penelusuran penulis didapati bahwa masyarakat Desa
Sidomukti mengharmonisasikan kehidupan beragama dan kebudayaannya.
Misalnya, dalam setiap melakukan acara atau bepergian mereka mempunyai
pengaruh dalam perhitungan hari. Ketika orang ingin melakukan acara mulai
dari menanam padi, membangun rumah, pindah rumah, pernikahan, khitanan
dan masih banyak lainnya yang semuanya itu harus ditentukan berdasarkan
hitungan yang cocok.49
Jika hitungannya tidak cocok, maka mereka percaya
46
Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat terj. Abdul Muis Naharong (Jakarta:
PT.Rajagrafindo Persada, 1994), h. 36. 47
M. Ridwan Lubis, Sosiologi Agama :Memahami Perkembangan Agama dalam Interaksi
Sosial (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h. 22. 48
Kabupaten Pekalongan, Adat Istiadat, diakses dari
Kabupatenkajen.blogspot.com/p/g.html?m=1 pada 20 Agustus 2018 49
Cocog berarti sesuai, sebagaimana kesesuaian antara kunci dengan gembok, obat mujarab
dengan penyakit, suatu pemecahan untuk soal, serta persesuaian seorang pria dengan wanita yang
25
bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada dirinya dan keluarganya.
Misalnya, dalam bepergian ada hari-hari yang tidak boleh masyarakat pergi
seperti penulis sebutkan dalam bentuk tabel di bawah:
Tabel 2.4 Balungan
Hari Pasaran
Jum‟at Wage
Minggu Pahing
Senin Manis
Selasa Kliwon
Sabtu Pon
Rabu dan Kamis tidak ada balungan
Berdasarkan tabel di atas bahwa setiap masyarakat Desa Sidomukti
tidak boleh melakukan perjalanan jauh pada hari-hari yang telah tercantum.
Jika masyarakat tetap melakukan perjalanan maka akan ada hal buruk yang
menimpa mereka, kecuali jika mereka lupa maka hal itu tidak akan
berpengaruh, namun jika mereka ingat dan mereka tetap melakukan barulah
hal buruk dipercaya akan menimpa mereka. Dengan demikian begitu
percayanya mereka terhadap pengaruh waktu tersebut dalam setiap
melakukan sesuatu mereka sangat memperhatikan waktu yang cocok. tidak
sembarang orang yang bisa menentukan waktu atau menghitung waktu yang
cocok. Oleh karena itu di desa biasanya ada tokoh masyarakat yang ahli
dalam hitung-hitungan.
Agama menciptakan suatu ikatan bersama, baik di antara beberapa
anggota masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang
membantu mempersatukan mereka. Karena nilai-nilai yang mendasari sistem-
sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok
keagamaan, maka agama menjamin adanya persetujuan bersama dalam
masyarakat.
dinikahinya. Lihat dalam Clifford Geertz Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa terj.
Aswab Mahasin (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1983).
26
Meskipun agama mempunyai peranan di dalam masyarakat sebagai
kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan melestarikan, namun agama
mempunyai fungsi yang lain, yaitu dapat merusak atau menghancurkan jika
disalah gunakan oleh pemeluknya. Agama mempersatukan kelompok
pemeluknya dengan sangat kuat sehingga apabila ia tidak dianut oleh
sebagian besar anggota masyarakat, ia bisa menjadi kekuatan yang mencerai-
beraikan, memecah belah dan bahkan menghancurkan.50
F. Mata Pencaharian Masyarakat
Mata pencaharian masyarakat desa Sidomukti sebagian besar adalah
petani karena berdasarkan letak geografisnya desa ini dikelilingi penuh
dengan sawah atau persawahan di sini terbilang sangat luas.51
Oleh karena itu
masyarakat banyak sekali yang mengandalkan sektor pertanian untuk
menunjang kehidupannya. Hasil pertanian tersebut mereka jual ke berbagai
daerah dan hasil penjualannya sebagian ditabung untuk masa depan mereka,
sebagiannya lagi mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-
hari.
Tabel 2.5 Luas Wilayah Menurut Penggunaan
Wilayah menurut penggunaan Luas
Luas permukiman 24,14 ha
Luas persawahan 181,22 ha
Luas perkebunan -
Luas kuburan 0,90 ha
Luas pekarangan 30,67 ha
Luas taman -
Perkantoran 0,50 ha
Luas prasarana umum lainnya 6,09 ha
Total Luas 243,51 ha
50 Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, h. 42. 51
Wawancara pribadi dengan Bapak Harsito Aji
27
Lahan pertanian di desa ini memang terbilang sangat luas sekitar 181,22
ha seperti data yang dilihat pada tabel di atas. Akan tetapi, tidak semua
masyarakat memiliki lahan pertanian tersebut. Masyarakat yang memiliki
lahan pertanian adalah 432 keluarga dan yang tidak memiliki lahan pertanian
sejumlah 361 keluarga. Masyarakat yang tidak mempunyai lahan pertanian
ini biasanya bekerja sebagai buruh tani kepada orang yang memiliki sawah.
Berdasarkan data dari profil Desa Sidomukti Kecamatan Karanganyar
Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah tahun 2017 masyarakat yang bermata
pencaharian sebagai petani adalah 683 orang dan orang yang bekerja sebagai
buruh tani adalah 636 orang.52
Tabel 2.6 Data Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian
Jenis Pekerjaan Laki-laki Perempuan
Petani 466 orang 217 orang
Buruh tani 426 orang 210 orang
Buruh migran 40 orang -
Pegawai Negeri Sipil 11 orang 14 orang
Pengrajin industri rumah tangga 3 orang 4 orang
Pedagang keliling 85 orang 59 orang
Nelayan 5 orang -
Montir 4 orang
Pembantu rumah tangga 14 orang 91 orang
TNI 1 orang -
Peternak 19 orang 2 orang
Pensiunan PNS/TNI/POLRI 11 orang 5 orang
Pengusaha kecil dan menengah 122 orang 27 orang
Dukun kampung terlatih 2 orang 2 orang
Karyawan perusahaan swasta 26 orang 17 orang
Pengusaha besar 1 orang -
52 Profil Desa Sidomukti Tahun 2017, Naskah tidak diterbitkan.
28
Masyarakat Desa Sidomukti banyak yang bekerja merantau di Jakarta.
Pada umumnya mereka adalah kalangan anak-anak muda untuk mencukupi
atau memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Ada juga yang bekerja
sebagai pedagang, buruh, dan pengusaha-pengusaha kecil dan menengah,
karyawan perusahaan swasta, Pegawai Negeri Sipil (PNS), peternak, nelayan,
montir, dan pengrajin industri rumah tangga.53
53 Profil Desa Sidomukti Tahun 2017, Naskah tidak diterbitkan.
BAB III
GEJALA AKULTURASI ISLAM DENGAN BUDAYA JAWA
A. Teori Akulturasi Budaya
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia akulturasi adalah
percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling mempengaruhi.54
Akulturasi merupakan culture contact yang memiliki dua arah, saling
mempengaruhi antara dua kelompok yang mengadakan hubungan, atau oleh
Ortiz disebut transculturation untuk menunjuk pada hubungan timbal balik
antar aspek kebudayaan. Hubungan yang saling mempengaruhi akan
menimbulkan terjadinya perubahan kebudayaan.
Menurut para ahli definisi akulturasi adalah sebagai berikut:
Koentjaraningrat berpendapat bahwa akulturasi dapat diartikan sebagai proses
sosial yang timbul bila salah suatu kelompok manusia dengan suatu
kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing,
sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah
ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa kehilangan kebudayaan aslinya.55
Redfiel, Linton, dan Herskovits akulturasi merupakan fenomena yang terjadi
setelah dua kelompok yang berbeda kebudayaannya melakukan kontak
langsung yang diikuti oleh pola kebudayaan asli salah satu atau kedua
kelompok tersebut. Sedangkan menurut William A. Haviland, akulturasi
adalah perubahan-perubahan besar dalam kebudayaan yang terjadi sebagai
akibat dari hubungan antar kebudayaan yang berlangsung lama.56
Proses Akulturasi terjadi bila kelompok-kelompok individu yang
memiliki kebudayaan yang berbeda saling berhubungan secara langsung dan
intensif, dengan timbulnya kemudian perubahan-perubahan besar pada pola
kebudayaan dari salah satu atau dua kebudayaan yang saling bersangkutan. Di
antara variabel-variabelnya yang banyak itu termasuk tingkat perbedaan
kebudayaan, keadaan, intensitas, frekuensi dan semangat persaudaraan dalam
54 Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI,
2001) h. 24. 55 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Jembatan, 1990), h.
248. 56 William A. Haviland, Antropologi Jilid II (Jakarta: Erlangga, 1985), h. 261.
29
30
hubungannya. Siapa yang dominan dan siapa yang tunduk, dan apakah
datangnya itu pengaruh timbal balik atau tidak.
Para ahli antropologi menggunakan istilah-istilah berikut untuk
menguraikan apa yang terjadi dalam akulturasi:
1. Substitusi, dimana unsur atau kompleks unsur-unsur kebudayaan yang ada
sebelumnya diganti oleh yang memenuhi fungsinya, yang melibatkan
perubahan struktural yang hanya kecil sekali.
2. Sinkretisme, dimana unsur-unsur lama bercampur dengan yang baru dan
membentuk sebuah sistem baru, kemungkinan besar dengan perubahan
yang berarti.
3. Adisi, dimana unsur-unsur baru ditambahkan pada yang lama. Di sini
dapat terjadi atau tidak terjadi perubahan struktural.
4. Dekulturasi, dimana bagian substansial sebuah kebudayaan mungkin
hilang.
5. Originasi, unsur-unsur baru untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru
yang timbul karena perubahan situasi.
6. Penolakan, dimana perubahan mungkin terjadi begitu cepat, sehingga
sejumlah besar orang tidak dapat menerimanya. Ini menimbulkan
penolakan dan pemberontakan, atau gerakan kebangkitan.57
Sebagai akibat dari salah satu proses atau sejumlah proses tersebut,
akulturasi dapat terjadi melalui beberapa jalur. Percampuran atau asimilasi
dapat terjadi jika dua kebudayaan kehilangan identitas dan menjadi satu
kebudayaan. Inkorporasi terjadi apabila sebuah kebudayaan kehilangan
otonominya, tetapi tetap mempunyai identitas sebagai subkultur. Ekstinksi
atau kepunahan merupakan gejala dimana sebuah kebudayaan kehilangan
orang-orang yang menjadi anggotanya. Dalam adaptasi dapat tumbuh sebuah
struktur baru dalam keseimbangan yang dinamis.58
Akulturasi sudah menjadi kajian antropologi sejak lama. Sejak
dasawarsa 1930-an penelitian mengenai gejala akulturasi semakin meningkat.
Jumlah penelitian yang dilakukan dengan topik yang sedemikian banyaknya
dirasa perlu untuk ditinjau kembali mengenai gejala-gejala akulturasi yang
57 William A. Haviland, Antropologi Jilid II (Jakarta: Erlangga, 1985), h. 263. 58
William A. Haviland, Antropologi Jilid II, h. 264.
31
terjadi pada masa lalu. Pada tahun 1935 dewan Social Science Research
Council di Amerika, terdiri dari sarjana-sarjana antropologi terkenal seperti
R. Redfield, R. Linton, dan M.J Herksovit berhasil menyusun suatu ikhtisar
yang meringkas dan merumuskan semua masalah dalam lapangan penelitian
mengenai akulturasi. Ikhtisar itu berjudul A Memorandum for The Study of
Acculturation, dan dimuat dalam berbagai majalah antropologi yang
terpenting. Perhatian terhadap akulturasi semakin meningkat sesudah perang
dunia kedua, dimana metode-metode penelitiannya lebih dipertajam.59
Ahli antropologi Amerika J.H. Steward mengembangkan suatu
konsepsi mengenai beragam sosial budaya dan menganalisis suatu proses
akulturasi mengenai teori perubahan kebudayaan dalam karangannya yang
berjudul Teory of Cultur Change, dan mengenai orang Puerto Rico yang
ditulis dengan beberapa ahli antropologi lain yang berjudul The People of
Puerto Rico.60
Di dalam buku The People of Puerto Rico Steaward mengembangkan
konsep yang disebut dengan pendekatan Eco-Cultural (dari istilah ekologi
yang merupakan ilmu yang mempelajari pengaruh timbal balik lingkungan
alam terhadap kehidupan dan tingkah laku makhluk-makhluk di suatu lokasi
tertentu di muka bumi). Analogi dari ekologi, istilah eco-cultural atau
ekobudaya merupakan pengaruh yang dilakukan sebagai timbal balik
lingkungan alam yang dirubah oleh kebudayaan manusia di suatu lokasi
tertentu di bumi ini. Steaward menjelaskan dengan mendalam bagaimana para
petani tembakau mengubah berbagai pranata sosial dan adat-istiadat mereka
dalam menghadapi tekanan-tekanan ekonomi dengan cara yang digunakan
para petani di perkebunan –perkebunan kopi dan gula di daerah pegunungan.
Perbedaan yang dialami diantaranya tidak hanya menyangkut masalah
ekonomi dan sosial budaya saja, namun menyangkut asas-asas kehidupan
kekerabatan dan beberapa upacara keagamaan mereka yang juga turut
mempengaruhi unsur-unsur kebudayaan covert secara berbeda-beda.61
59 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Gramedia, 1990), h. 249-251. 60 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid II (Jakarta: UI Press, 1990), h. 98. 61
Koentjaraningrat, Antropologi Jilid II, h. 98-99.
32
Ralp Linton dalam bukunya yang berjudul The Study of Man
mengemukakan suatu konsepsi sebagaimana dikutip Koentjaraningrat yaitu
adanya perbedaan antara bagian kebudayaan yang sukar berubah dan
terpengaruh oleh unsur-unsur kebudayaan asing (covert culture), dengan
bagian kebudayaan yang mudah berubah dan terpengaruh oleh unsur-unsur
kebudayaan asing (overt culture). Covert culture misalnya 1) sistem nilai-
nilai budaya, 2) keyakinan-keyakinan keagamaan yang dianggap keramat,
3)beberapa adat yang sudah dipelajari, 4) beberapa adat yang mempunyai
fungsi yang terjaring luas dalam masyarakat. Sedangkan overt culture,
misalnya kebudayaan fisik, seperti alat-alat dan benda-benda yang berguna,
tetapi juga ilmu pengetahuan, tata cara, gaya hidup, dan rekreasi yang
berguna dan memberi kenyamanan. Bagian dari suatu kebudayaan yang
lambat berubahnya dan sulit diganti dengan unsur-unsur asing adalah bagian
covert culture.62
Dalam menganalisa proses jalannya suatu akulturasi juga
terdapat beragam masalah sosial budaya yang ada di masyarakat. Biasanya
ada perbedaan (diversitas) vertikal dan horisontal. Diversitas vertikal
menyangkut perbedaan kelas sosial, dan kasta, dan diversitas horisontal
menyangkut perbedaan suku bangsa, golongan agama, dan golongan ras.
Kalau kenyataan tersebut dihubungkan dengan masalah akulturasi, maka kita
dapat memahami bahwa gejala aneka-warna sosial-budaya juga akan
menyebabkan perbedaan dalam jalannya suatu proses akulturasi.
Gejala perbedaan dalam kecepatan, cara, dan jalannya perubahan
kebudayaan yang disebabkan karena adanya perbedaan dalam teori mengenai
perubahan kebudayaan antara covert culture dan overt culture, atau karena
ada perubahan sosial budaya dan pengaruh eko-budaya tersebut di atas. Para
ahli antropologi Amerika menyebutnya proses differential acculturation atau
“akulturasi diferensial”.63
Menurut Ridwan Lubis dalam bukunya Soekarno dan Modernisme
Islam proses akulturasi dapat menimbulkan asimilasi antara kebudayaan
pendatang, yang dimaksud di sini adalah Islam dengan agama yang dianut
penduduk pribumi. Asimilasi menimbulkan dua hal, satu sisi ia menimbulkan
62 Koentjaraningrat, Antropologi Jilid II, h. 97. 63
Koentjaraningrat, Antropologi Jilid II, h. 99.
33
terjadinya sinkretisme antara agama pendatang dengan agama yang dianut
pribumi, namun di satu sisi ia dapat membuat perubahan tanpa menimbulkan
keguncangan sosial.64
B. Jawa Sebelum Kedatangan Islam
Pada awalnya keagamaan orang-orang desa ditentukan dengan segala
sesuatu yang hidup dan berjiwa, kekuatan-kekuatan alam merupakan
ungkapan kekuatan rohani, dan kepercayaan mereka bahwa orang yang sudah
meninggal itu tetap ada di sekitar mereka dan tetap memperhatikan mereka.65
Kebudayaan Jawa yang asli cenderung pada paham dinamisme dan
animisme. Dari paham dinamisme dan animisme melahirkan pawang,
pendeta, tokoh, dukun yang bisa berhubungan dengan kekuatan gaib yang
pada puncaknya melahirkan ilmu klenik, perdukunan, horoskop Jawa,
rumusan mantera, doa-doa yang diyakini berdaya magis sehingga
kepercayaan Jawa ini sebagai agama awal ketika budaya lain belum masuk
dan mempengaruhinya.
Ciri khas religi animisme dan dinamisme ini adalah adanya
kepercayaan terhadap roh dan daya gaib yang bersifat aktif. Prinsip roh aktif,
misalnya, tetap hidup dan bahkan sebagian diantaranya bisa menjadi sakti
seperti dewa, juga bisa mencelakakan dan membantu kehidupan manusia. 66
Dari pemahaman animisme terbentuk suatu kepercayaan bahwa segala
sesuatu yang berasal dari alam, dengan bantuan suatu ilmu atau secara
kebetulan saja karena pengaruh roh dapat mendatangkan kebahagiaan atau
justru sebaliknya. Dengan mantra-mantra benda hidup atau mati dapat diisi
dengan roh baik atau jahat. Di Jawa, rasa takut atau hormat kepada benda
berjiwa dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. Pemujaan itu dapat
dilakukan terhadap roh yang ada di suatu benda atau langsung ke benda
tersebut memujanya.67
h. 2.
64 M. Ridwan Lubis, Soekarno dan Modernisme Islam (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010),
65 Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, h. 22. 66 M. Dimyati Huda, Peran Dukun Terhadap Perkembangan Peradaban Budaya Masyarakat
Jawa, ISSN 2089-7537, Volume 4 Oktober 2015, h. 5. 67
R.P Suyono, Dunia Mistik Orang Jawa (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2007), h. 75.
34
Setelah itu di Jawa juga mengakar kepercayaan Hinduisme dan karena
agama ini lebih dulu masuk ke Jawa sebelum Islam masuk. Oleh karena itu,
ketika Islam masuk ke tanah Jawa muncul dua kelompok dalam
meresponnya. Kelompok pertama adalah kelompok yang menerima Islam
secara total, tanpa mengingat kepercayaan-kepercayaan sebelumnya.
Kelompok kedua adalah kelompok yang menerima agama Islam, akan tetapi
masih belum dapat melupakan ajaran ritual sebelumnya.
C. Strategi Penyebaran Islam di Jawa
Dalam buku Islam Pesisir menurut Graaf ada tiga metode penyebaran
Islam, yaitu oleh pedagang muslim dalam jalur perdagangan yang damai, oleh
para da‟i dan orang suci (wali) yang datang dari Arab atau India yang dengan
sengaja bertujuan untuk mengislamkan orang-orang kafir dan meningkat
pengetahuan mereka yang telah beriman dan terakhir ialah dengan kekuasaan
atau memaklumkan perang terhadap negara-negara penyembah berhala.
Dengan demikian penyebaran Islam di Jawa dilakukan dengan tiga cara, yaitu
perdagangan, dakwah sufi, dan politik.
Berdasarkan cara penyebaran Islam yang telah disebutkan di atas,
pendapat yang paling dominan adalah pendapat yang menyatakan bahwa
Islam disebarkan dengan melalui jalur perdagangan. Pendapat-pendapat ini
diangkat oleh sarjana-sarjana barat khususnya adalah Belanda, diantaranya
ialah Wertheim dan Pijnapel.68
Pendapat para ahli mengenai pembawa Islam ke Indonesia
menunjukkan persamaan. Sesuai dengan kedatangan Islam melalui jalur
perdagangan berarti golongan pembawanya juga adalah golongan pedagang.
Golongan pedagang muslim berbeda dengan golongan pedagang Hindu. Pada
golongan Hindu hanya Brahmana atau pendeta saja yang dapat melakukan
kegiatan upacara-upacara keagamaan dan membaca buku-buku suci, serta
merekalah yang menyebarkan budaya Hindu itu. Oleh karena itu, pedagang
Hindu tidak berperan dalam menyebarkan agamanya berbeda dengan
pedagang muslim. Di dalam Islam perluasan dan misi pada Islam ialah bahwa
68
Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2011), h. 63.
35
setiap muslim adalah pendakwah agama. Apabila pembawa Islam ke
Indonesia adalah golongan pedagang, jelaslah bahwa yang menjadi faktor
pendorong berkunjung ke Indonesia adalah faktor ekonomi-perdagangan.69
Penggunaan perdagangan sebagai saluran islamisasi sangat
menguntungkan karena bagi kaum muslim tidak ada pemisahan antara
kegiatan berdagang dengan kewajiban menyampaikan ajaran-ajaran Islam
kepada orang lain. islamisasi melalui jalur perdagangan ini dipercepat oleh
situasi dan kondisi politik beberapa kerajaan di mana adipati-adipati pesisir
berusaha melepaskan diri dari kekuasaan pusat kerajaan yang sedang
mengalami kekacauan dan perpecahan. Meskipun demikian, secara umum
islamisasi yang dilakukan oleh para pedagang dapat digambarkan sebagai
berikut. Mereka mula mula berdatangan di pusat perdagangan dan di antara
mereka ada yang tinggal, baik untuk sementara waktu maupun menetap.
Lambat laun akhirnya tempat tinggal itu berkembang menjadi perkampungan,
yang disebut dengan pekojan70
. Di antara para pedagang ada yang kaya dan
pandai, bahkan sering kali ada pula yang menjadi syahbandar71
pelabuhan
dalam suatu kerajaan. Mereka yang mempunyai status sosial ekonomi yang
tinggi dengan mudah menikahi anak-anak bangsawan pribumi. Akan tetapi,
perkawinan dengan penyembah berhala dianggap tidak sah. Oleh karena itu,
perempuan-prempuan yang mereka inginkan diislamkan terlebih dahulu
dengan cara mengucapkan syahadat. Hal itu berjalan mudah. Dengan
demikian lambat laun akhirnya lingkungan mereka meluas, timbul
perkampungan-perkampungan muslim, daerah-daerah, dan kerajaan-kerajaan
muslim.72
Akan tetapi, ada beberapa sarjana yang meragukan teori ini seperti Van
Leur, dan Schrieke. Menurut mereka teori ini lemah karena tidak mungkin
islamisasi dapat dilakukan secara besar-besaran melalui perdagangan dan
perkawinan. Begitu juga dengan sejarawan Asia, Q.S Fatimi yang
164.
69 TIM Nasional Penulisan, Sejarah Indonesia Jilid III (Jakarta: Balai Pustaka, 2010), h.
70 Pekojan adalah nama perkampungan umat Islam yang dihuni oleh para pendatang yang
menyebarkan Islam di Indonesia 71 Pegawai negeri yang memimpin urusan pelabuhan. 72
TIM Nasional Penulisan, Sejarah Indonesia Jilid III, h. 169-170.
36
menyangkal teori perdagangan ini. Menurutnya, Islam disebarkan melalui
pendakwah sufi dari wilayah Bengal. Hal ini dapat dilihat dengan adanya
corak Islam yang bersifat mistik yang bersesuaian dengan sikap mistik
masyarakat di kawasan ini sebelumnya.
Para sejarawan banyak yang mendukung teori dakwah sufi ini, antara
lain Fatimi, John, dan Tjandrasasmita. Hal ini dilihat dengan melihat naskah-
naskah lama yang ditemukan di beberapa wilayah Jawa yang bertemakan
penyebaran Islam di Jawa melalui kegiatan sufistik. John begitu yakin bahwa
Islamisasi tidak mungkin dilakukan secara besar-besaran melalui
perdagangan yang motifnya adalah mencari keuntungan material. Islam
tentunya disebarkan melalui pengembara sufi, terutama di abad ke-13M.,
faktor keberhasilan kaum sufi di dalam proses islamisasi ialah kemampuan
kaum sufi untuk mengadopsi “keyakinan lokal” menjadi bagian penting di
dalam ritual-ritual Islam. Secara atraktif ajaran Islam dikemas dalam
coraknya yang berdekatan dengan tradisi lokal, sehingga penyebaran Islam
yang terjadi menunjukkan wajah damai, menekankan pada aspek batin atau
esoteris.73
Selain melalui tasawuf, islamisasi juga dilakukan melalui pendidik,
baik dari dalam pesantren maupun pondok yang diselenggarakan oleh guru-
guru agama, kiai-kiai, atau ulama-ulama. Pesantren atau pondok merupakan
lembaga yang penting dalam penyebaran agama Islam. Dari pesantren ini
santri-santri dididik yang nantinya setelah keluar dari pesantren, mereka
kembali ke kampung-kampungnya menjadi tokoh keagamaan, menjadi kiai
yang menyelenggarakan pesantren lagi. Dengan demikian semakin terkenal
kiai, semakin terkenal pula pesantrennya dan pengaruhnya.74
Pada awal penyebaran Islam di Jawa tidak luput dari peranan wali, yang
dalam konsepsi Jawa disebut dengan wali sanga. Melalui peran wali sanga
inilah Islam berkembang dan melembaga di dalam kehidupan masyarakat
hingga banyak tradisi yang dinisbahkan sebagai kreasi dan hasil cipta rasa
wali sanga yang tetap terpelihara di tengah-tengah masyarakat sampai
sekarang. Awalnya para wali itu mengembangkan Islam di daerah sekitar
73 Nur Syam, Islam Pesisir, h. 64. 74
TIM Nasional Penulisan, Sejarah Indonesia Jilid III, h. 172.
37
tempat tinggal mereka. Akan tetapi, mereka juga menyebarkan Islam sampai
jauh ke tempat lain.75
Wali sanga dalam menyebarkan Islam dengan menggunakan
pendekatan kultural. Mereka mengadopsi kebudayaan dan tradisi lokal, dan
mengisinya dengan nilai- nilai Islam. Sikap ini terus dipertahankan meskipun
mereka sudah menjadi mayoritas Islam memiliki kerajaan-kerajaan Islam
masyarakat muslim di bawah kepemimpinannya menghormati kebudayaan
lokal yang ada dan berkembang bersama dengan kebudayaan Islam. Wali
sanga menjadikan budaya lokal sebagai instrumen untuk mempromosikan
nilai-nilai Islam. Di sini ada tiga bentuk tahapan strategi budaya yang
dikembangkan oleh wali sanga, yaitu arsitektur Masjid sebagai representasi
tatanan sosial egaliter, wayang sebagai sarana membangun teologi umat, dan
kreasi seni Islam bernuansa budaya lokal.76
Lalu, apakah Islam Jawa yang diperkenalkan oleh wali sanga di Jawa
ini seperti Islam Nusantara yang tengah popular sekarang ini? Agama Islam
merupakan agama yang sangat menghargai dan saling toleransi, agama yang
mengajarkan penganutnya untuk saling menyayangi, mengasihi, dan
mengayomi tanpa melihat perbedaan apapun. Hal ini sejalan dengan Islamnya
Indonesia yang biasa disebut dengan “Islam Nusantara”. Meskipun bukan
Negara Islam, namun penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat multikultural, yang menjunjung
tinggi kebudayaan. Oleh sebab itu arabisasi tidak begitu cocok di Indonesia.
Namun, bukan berarti Islam yang mereka anut menyimpang dari kemurnian
ajaran Islam itu sendiri.77
Ide Islam Nusantara bukan untuk merubah doktrin Islam. Ia ingin
mencari cara bagaimana melabuhkan Islam dalam konteks budaya
masyarakat yang beragam. Upaya ini dalam Ushul Fiqh disebut dengan
ijtihad tathbiqi, yaitu ijtihad untuk menerapkan hukum.78
75 Nur Syam, Islam Pesisir, h.70-71. 76
Suparjo, Islam dan Budaya: Strategi Kultural Walisongo dalam Membangun Masyarakat
Muslim Indonesia, Komunika, Vol.2 No. 2 Jul-Des 2008 pp. 178-193, h. 2. 77
Hanum Jazimah Puji Astuti, Islam Nusantara: Sebuah Argumentasi Beragama dalam
Bingkai Kultural, INJECT Interdisciplinary Journal Of Communication, Volume 2 No.1, h. 28. 78
Hanum Jazimah Puji Astuti, Islam Nusantara, h. 31.
38
Islam Nusantara merupakan Islam yang khas ala Indonesia, gabungan
nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat
di Tanah Air. Karakter Islam Nusantara menunjukkan adanya kearifan lokal
di Nusantara yang tidak melanggar ajaran Islam, namun justru menyinergikan
ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang tersebar di wilayah Indonesia.
Dengan demikian kehadiran Islam bukanlah untuk merusak adat atau tradisi
yang sudah ada, melainkan Islam justru memperkaya dan mengislamkan
tradisi dan budaya yang ada secara bertahap.79
Melihat wajah Islam di dunia saat ini, Islam Nusantara sangat
dibutuhkan karena ciri khasnya mengedepankan jalan tengah karena bersifat
moderat, tidak ekstrem, selalu seimbang, inklusif, toleran dan bisa hidup
berdampingan secara damai dengan penganut agama lain. Pada dasarnya
tujuan Islam Nusantara ialah menciptakan kehidupan yang harmonis sesuai
dengan kaidah Islam rahmatan lil „alamin.
Bentuk operasionalisasi Islam Nusantara adalah proses perwujudan
nilai-nilai Islam melalui budaya lokal. Dalam praktiknya membangun Islam
Nusantara adalah menyusupkan nilai islami di dalam budaya lokal atau
mengambil nilai islami untuk memperkaya budaya lokal atau menyaring
budaya agar sesuai dengan ajaran Islam.80
Dengan demikian Islam yang ada
di Jawa begitupun yang terdapat di Desa Sidomukti rupanya merupakan Islam
yang diperkenalkan dalam konteks kebudayaan mereka, sehingga ia mudah
diterima. Bahkan, semua masyarakat Desa Sidomukti berdasarkan profil Desa
Sidomukti Kecamatan Karanganyar tahun 2017 menganut agama Islam.
Dalam proses akulturasi, kebudayaan lokal digunakan sebagai
instrumen kebudayaan Islam. Peran nilai-nilai Islam bersifat mengisi
substansi nilai-nilai yang ada dengan merevisi beberapa atau mengganti sama
sekali nilai-nilai yang tidak cocok dengan Islam. Hal itu dilakukan secara
bertahap. Pada awalnya Islam mengambil instrumen kebudayaan yang ada.
Selanjutnya, instrumen budaya yang diambil oleh Islam semakin lama
semakin banyak. Seiring dengan instrumen budaya yang terus berkembang,
Islam selalu memasukan nilai didalamnya. Oleh karena itu, pengembangan
79 Hanum Jazimah Puji Astuti, Islam Nusantara, h. 37. 80
Hanum Jazimah Puji Astuti, Islam Nusantara, h. 38
39
nila-nilai tersebut akan semakin kuat sehingga budaya tersebut menjadi
bagian dari budaya Islam. Proses tersebut terus berlangsung dan akan
melebarkan budaya Islam sekaligus nilai-nilai Islam dalam kehidupan
masyarakat akumulasi inilah yang akan melahirkan budaya Islam sebagai
kebudayaan baru yang ada dan menyatu dalam kehidupan masyarakat.81
Pada saat Islam datang Islam sufisme sedang berjaya di Indonesia. Oleh
karena itu, Islam yang ada di Indonesia tidak terlepas dari pengaruhnya. Hal
ini dapat dilihat pada perkembangan pemikiran Islam yang lekat dengan
warna sufinya.
Komunitas Nusantara yang sudah terbiasa dengan tradisi mistik Hindu-
Buddha relatif lebih mudah untuk menerima Islam sufistik dibandingkan
dengan Islam Puritan. Hal ini disebabkan karena banyaknya kemiripan di
antara tradisi Hindu-Buddha dan sufi ini sehingga kedekatan ini
mempermudah kalangan istana untuk mengadopsi Islam dan mengolahnya
dengan tradisi lama.82
Dalam proses penyebaran Islam juga tidak terlepas dari peran para
ulama. Para ulama memiliki peranan yang sangat penting. Strategi mereka
dalam menyebarkan Islam salah satunya adalah dengan membangun
pesantren sama seperti yang dilakukan oleh wali sanga. Pesantren itu adalah
sebuah lembaga pendidikan yang mereka dirikan untuk mendidik para santri
dengan berbagai pengetahuan agama.
Pada awalnya pendidikan di pesantren itu bersifat sangat sederhana,
semuanya berada di bawah kemutlakan wibawa Kiai. Artinya semua
persoalan terserah pada Kiai. Pesantren memiliki fungsi sebagai lembaga
pendidikan yang menekankan olah batin dan kurang memperhatikan hal-hal
yang berkaitan dengan kehidupan sosial-ekonomi. Hal ini ada kaitannya
dengan ilmu tasawuf yang mendominasi meskipun ilmu itu tidak
mengajarkan untuk bersikap pasrah, namun ajaran-ajaran tentang batin telah
membuat mereka untuk bersikap nrima, pasrah. Hal ini tak dapat dilepaskan
81 Suparjo, Komunika, Vol.2 No. 2 Jul-Des 2008 pp. 178-193, h. 6. 82
Purwadi, Tasawuf Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2003), h. 47.
40
dari tumpang tindihnya ajaran yang dibawa Islam dengan berbagai
kepercayaan yang telah dianut penduduk setempat sebelumnya.83
D. Islamisasi di Pekalongan
Membahas Islamisasi di Pekalongan tidak akan terlepas dari kajian
penyebaran Islam di Jawa pada umumnya. Masuknya Islam di Nusantara
masih kabur menurut para sejarawan. Wertheim dan Pijnapel yang
mengatakan bahwa Islam masuk melalui jalur perdagangan dan perkawinan
yang kemudian mereka itu membentuk sebuah komunitas dan membuat
perkampungan. Namun, ada juga yang menolak teori ini, yaitu Van Leur, dan
Schrieke, Q.S Fatimi dan didukung oleh banyak sarjana lainnya seperti
John,dan Tjandrasasmita. Penolakan mereka berpangkal pada pemikiran
bahwa perdagangan hanyalah merupakan misi mencari keuntungan material
semata dan menurut mereka Islam masuk melalui dakwah sufi. Dakwah sufi
terutama abad ke-13M mengalami keberhasilan di dalam proses islamisasi
yakni berupa kemampuan kaum sufi untuk mengadopsi “keyakinan lokal”
menjadi bagian penting di dalam ritual-ritual Islam. hal ini masih tercermin
dalam perilaku keberagamaan masyarakat Jawa masa sekarang pada
umumnya. islamisasi juga dilakukan melalui pendidik, baik dari dalam
pesantren maupun pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-
kiai, atau ulama-ulama. Pesantren atau pondok merupakan lembaga yang
penting dalam penyebaran agama Islam.
Kegiatan penyebaran Islam awal di kawasan pesisir utara Jawa yang
bisa diketahui adalah telah dilakukan oleh para wali atau yang sudah
dijelaskan di sub bab sebelumnya dengan sebutan wali sanga. Ulama pertama
yang menyebarkan Islam di pesisir utara Jawa adalah Maulana Malik
Ibrahim. Kemudian ulama berikutnya adalah Raden Rahmat yang berhasil
menyebarkan Islam di Ampel, Surabaya dan mendapat gelar Sunan Ampel
dan dianggap sebagai bapak para wali. Ulama penyebar Islam berikutnya
adalah Raden Paku atau Maulana Ishak. Ia kemudian menuntut ilmu kepada
Sunan Ampel dan kemudian ia sukses dengan perdagangannya dan
83
M. Ridwan Lubis, Soekarno dan Modernisme Islam, h. 31.
41
membangun kedaton di Giri, yang kemudian ia dikenal dengan sebutan Sunan
Giri. Ia merupakan salah satu ulama yang telah membangun tempat
penyebaran keilmuan Islam di pesisir Jawa. Pada umumnya para penyebar
Islam di pesisir utara Jawa umumnya bermukim di daerah pesisir dan
sebagian besar mereka memiliki posisi dan terlibat langsung dalam urusan
kekuasaan dan perdagangan.84
Proses Islamisasi yang terjadi di Pekalongan kemungkinan besar terjadi
pada abad ke-15. Terjadi pada masa Sunan Ampel yang melakukan
penyebaran Islam dengan mendirikan pondok pesantren di Kembang Kuning.
Pondok pesantren ini menjadi tempat pusat penyebaran Islam yang pertama di
Jawa. Di sini kader-kader dididik untuk kemudian disebarkan ke berbagai
tempat di seluruh pulau Jawa. Murid-muridnya antara lain adalah Sunan Giri,
Raden Paku, Sunan Bonang, dan Sunan Drajat.
Makam salah seorang murid Sunan Ampel, yaitu Syaikh Zilbani
ditemukan di daerah Wonobodro, Kecamatan Blado Kabupaten Batang. Akan
tetapi sejarahnya belum diperoleh informasi. Hanya ada informasi bahwa ia
merupakan salah satu murid Sunan Ampel. Batang dan Pekalongan
merupakan dua kota yang berdekatan. Di kompleks pemakaman wali di Desa
Wonobodro juga terdapat makam Maulana Magribi dan Ki Ageng
Pekalongan. Keberadaan makam ini menunjukkan bahwa penyebaran Islam
telah terjadi di Pekalongan terjadi pada abad ke-15.
Penyebaran Islam di Pekalongan dapat diketahui selain dari makam,
yaitu adanya masjid tertua yang terdapat di Pekalongan. Masjid tertua yang
ada di Pekalongan adalah Masjid Aulia. Masjid ini konon didirikan oleh Kiai
Maksum, Kiai Sulaiman, dan Nyai Kudung sebagai sarana dakwah. Masjid
ini didirikan pada 1135 H atau 1772 M di Kelurahan Sapuro, Kecamatan
Pekalongan Barat.85
84 Alim Online, Melacak Jejak Islamisasi di Pekalongan Abad XV-XVII, diakses dari
https://alim-online.blogspot.com/2009/12/melacaka-jejak-islamisasi-di-pekalongan.html?m=1,
Pada 15 September 2018, Pukul 13.00. 85
Ini baru media, Masjid, Petilasan, dan Makam, Tiga Jejak Dakwah Islam di Pekalongan,
diakses dari https://www.inibaru.id/islampedia/masjid-petilasan-dan-makam-tiga-jejak-dakwah-
islam-dipekalongan, Pada 15 September 2018, Pukul 13.15.
42
Proses islamisasi yang terjadi di Pekalongan menunjukkan terjadinya
sekitar abad ke-15. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya makam-makam
para wali dan muridnya yang menyebarkan Islam di daerah ini. Mengenai
strategi penyebaran Islam di Pekalongan pun seperti strategi penyebaran
Islam yang umum terjadi di Jawa. Penyebaran Islam yang dilakukan di sini
ialah penyebaran Islam melalui dakwah sufi dan peran para ulama yang
mengadopsi tradisi dan kebudayaan lokal sehingga masyarakat di daerah ini
mudah menerima ajaran Islam bahkan menganggapnya adalah bagian dari
mereka sendiri. Tak hanya sebatas menerima akan tetapi Islam mereka
anggap sebagai kebudayaan baru yang ada dan menyatu dalam kehidupan
masyarakat.
BAB IV
PROSES AKULTURASI UNSUR ISLAM DAN BUDAYA JAWA DALAM
TRADISI KHITANAN
A. Unsur-unsur Islam dan Budaya Jawa dalam Tradisi Khitanan
1. Selametan
Menurut para ahli yaitu Clifford Geertz, selametan merupakan suatu
upacara yang sederhana, formal, tidak dramatis, dan hampir-hampir
mengandung rahasia, selametan (kadang-kadang disebut juga dengan
kenduren). Selametan ini dapat diadakan untuk memenuhi semua hajat
orang berhubungan dengan peristiwa yang ingin diperingati, ditebus, atau
dikuduskan. Peristiwa kelahiran, perkawinan, sihir, kematian, pindah
rumah, mimpi buruk, panen, ganti nama, membuka pabrik, sakit,
memohon kepada arwah penjaga desa, khitanan, dan memulai suatu rapat
politik semuanya itu bisa memerlukan selametan.86
Selametan juga merupakan suatu peristiwa sederhana atau upacara
makan yang terdiri atas sesajian, makanan simbolik, sambutan resmi, dan
doa. Upacara ini setara dalam tatanan dan kepadatan simboliknya. Para
peserta upacara ini meyakini bahwa selametan merupakan bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari mereka sebagai orang Jawa. Selametan
merupakan peristiwa komunal namun tidak mendefinisikan komunitas
secara tegas; selametan berlangsung melalui ungkapan verbal yang
panjang dan disetujui semua orang, namun hadirin secara perseorangan
belum tentu sepakat akan maknanya.87
Selametan menurut masyarakat Desa Sidomukti merupakan tradisi
yang sudah diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang.
Selametan yang digelar itu merupakan acara yang diselenggarakan untuk
memohon kepada Allah agar diberikan keselamatan dan kesejahteraan
86 Clifford Geertz, The Religion of Java, terj. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat
Jawa (Jakarta:PT. Pustaka Jaya, 1983), h. 13-14. 87
Andrew Beatty, Variasi Agama di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2001), h. 34-35.
43
44
serta diberikan kelancaran dan tidak ada gangguan roh-roh halus yang
menyertainya.88
Selametan diselenggarakan berdasarkan maksud dan tujuan yang
berbeda-beda sesuai dengan peristiwanya. Pada masyarakat Desa
Sidomukti selametan diselenggarakan pada malam hari setelah magrib.
Dalam selametan ini semua sanak keluarga, tetangga, dan kerabat
diundang untuk menghadiri acara selametan ini. Orang yang menghadiri
acara selametan ini adalah dari kaum laki-laki. Sedangkan kaum
perempuan biasanya membantu menyiapkan makanan di dapur. Dalam
acara ini semua masyarakat duduk bersama tanpa ada perbedaan golongan.
Selametan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang hendak
mempunyai hajat diumumkan kepada sanak keluarga, rekan-rekan, dan
tetangga-tetangga jauh-jauh hari sebelum acara selametan
diselenggarakan. Lima atau tujuh hari sebelum acara diselenggarakan
biasanya orang yang hendak mengadakan selametan sudah mengundang
untuk menghadiri acara selametan yang akan diselenggarakannya.89
Setiap tamu yang datang ketika sudah tiba di rumah tuan rumah ia
segera mengambil posisi tempat duduk yang telah disediakan. Mereka
duduk bersama dari berbagai golongan. Tidak memandang status sosial
semuanya duduk bersama karena dalam acara selametan ini juga
merupakan sarana silaturahmi masyarakat. Para tamu yang hadir
disuguhkan beberapa hidangan oleh tuan rumah. Bila semua tamu
undangan sudah datang, maka acara selametan pun dimulai.
Tuan rumah membuka acara selametan. Di sini ia menyampaikan
ucapan terima kasih karena telah menghadiri undangannya dan
menyampaikan maksud dan tujuannya menyelenggarakan selametan ini.
Dalam kasus khitanan tuan rumah akan menyampaikan bahwa ia
menyelenggarakan acara selametan ini karena anak laki-lakinya akan
dikhitan dan berharap agar Allah SWT senantiasa memberikan kelancaran
dan kesehatan untuk anaknya dan keluarganya serta memohon agar
masyarakat turut serta mendoakan anak laki-lakinya yang akan dikhitan
88 Wawancara pribadi dengan Mbah Sejo, Sidomukti 20 Agustus 2018. 89
Wawancara pribadi dengan Ibu Darmu‟i, Sidomukti 16 Agustus 2018.
45
agar kelak ia mempunyai kepribadian yang baik dan menjadi anak yang
taat kepada orang tua dan agama. Ia juga berharap agar semua masyarakat
yang hadir dalam selametan ini memperoleh berkah dan rahmat dari Allah
SWT. Kemudian ia juga mengutarakan maksud umum dari acara
selametan ini, yaitu seperti dari asal katanya selamet yang berarti berada
dalam keadaan selamat, sejahtera, tenang, damai, dan terhindar dari
berbagai macam gangguan. Akhir kata tuan rumah mengucapkan
permintaan maaf kepada tamu yang hadir jika ada kesalahan baik dari
perkataannya maupun kekurangan dalam hidangan yang disuguhkan.
Namun, hal ini bisa diwakilkan oleh keluarga dari tuan rumah yang dapat
menyampaikannya.
Tuan rumah selesai memberikan sambutan kemudian ia
menyerahkan semuanya kepada seorang ustadz untuk membacakan doa.
Dalam hal ini doa yang dibacakan adalah doa-doa dalam Islam. Doa yang
dibaca adalah surat Al-Fatihah, doa-doa pendek dan doa-doa khusus.
Sementara ustadz sedang membacakan doa, para tamu yang hadir
menundukkan kepalanya dan menengadahkan tangannya ke atas sembari
mengucapkan amin dan setelah selesai mereka mengusap mukanya dengan
kedua telapak tangan mereka.
Setelah pembacaan doa selesai setiap tamu yang hadir mencicipi dan
memakan hidangan yang sudah disuguhkan oleh tuan rumah. Hidangan itu
berupa minuman dan makanan kecil, seperti kue-kue dan buah-buahan.
Setelah mereka makan akhirnya mereka berpamitan kepada tuan rumah
dan pulangnya dibekali makanan berupa nasi dengan beberapa lauk pauk
di dalamnya atau yang disebut dengan berkat yang dibungkus dengan daun
pisang atau masyarakat Desa Sidomukti ini menyebutnya dengan nasi
kolong. Mereka pun meninggalkan rumah dengan seraya mengucapkan
salam dan ucapan terima kasih.90
Selametan ini memiliki makna bagi masyarakat. Menurut mereka
selametan ini merupakan cara mereka bersyukur atas rezeki yang Allah
berikan kepada mereka. Biaya yang mereka keluarkan saat selametan ini
90
Wawancara pribadi dengan Ibu Turah, Sidomukti 27 Agustus 2018
46
tidak menjadi masalah bagi mereka karena ini mereka pahami sebagai
wadah untuk berbagi kepada sesama walaupun dengan keadaan yang
sederhana atau seadanya. Selametan ini juga merupakan sarana silaturahmi
antar sesama masyarakat dari berbagai golongan. Tidak ada perbedaan di
antara mereka semuanya sama duduk bersama dalam tempat yang sama
dan makan-makanan dan minum minuman yang sama. Dengan begitu tak
ada seorang pun dari mereka yang merasa dibedakan atau dikucilkan.
Dengan menyelenggarakan selametan juga dapat menghindarkan dari
gangguan-gangguan roh-roh setempat karena masyarakat Desa Sidomukti
masih percaya dengan keberadaan makhluk halus di sekitar mereka.91
2. Sinkretisme ajaran
Berdasarkan pemahaman kebahasaan sinkretisme diartikan sebagai
suatu perpaduan atau keterpaduan. Sedangkan menurut istilah sinkretisme
diartikan sebagai fenomena bercampurnya praktik-praktik dan
kepercayaan-kepercayaan dari suatu agama dengan agama lainnya
sehingga menciptakan tradisi yang baru dan berbeda.92
Keberadaan Islam di Jawa masih banyak terpengaruh dari
kepercayaan yang sebelumnya dianut oleh masyarakat Jawa. Hal ini juga
terlihat dalam kehidupan masyarakat Desa Sidomukti. Kepercayaan
animisme dan dinamisme masih sangat kental.93
Strategi penyebaran Islam
di Jawa yang mengadopsi kebudayaan atau kepercayaan lokal tercermin
dalam ajaran Islam yang dianut oleh masyarakat Desa Sidomukti. Mereka
menganut agama Islam namun masih memakai tradisi yang sebelumnya
mereka lakukan sebelum Islam masuk. Misalnya, setiap dalam krisis
kehidupan mereka mengadakan upacara peralihan, seperti selametan
91 Wawancara pribadi dengan Ibu Darmu‟i 92
Arief Aulia Rahman, Akulturasi Islam dan Budaya Masyarakat Lereng Merapi
Yogyakarta: Sebuah Kajian Literatur, Indo-Islamika, Volume 1, Nomor 2, 2012/1433, h. 157. 93
Kepercayaan masyarakat Sidomukti terhadap animisme dan dinamisme tergambar dalam
kehidupan sehari-hari mereka. Mereka masih percaya terhadap roh-roh di sekitar mereka, misalnya
kepercayaan mereka akan roh halus yang bernama Ki Gede Jurang Mangu, dimana makamnya
dijadikan sebagai tempat pertapa bagi masyarakat Sidomukti maupun masyarakat luar Sidomukti.
Begitu pula dinamisme, masyarakat di sini masih percaya akan kekuatan-kekuatan gaib yang
terdapat pada benda tertentu seperti malam Jum‟at Kliwon mereka yang memilikinya memandikan
keris.
47
khitanan, pernikahan, panen, pindah rumah, dsb. Semua itu masih mereka
lakukan namun dengan memasukkan unsur-unsur Islam didalamnya.
Penggabungan agama dengan budaya lokal adalah melaksanakan
syariat Islam dengan kemasan budaya Jawa. Oleh karena itu, substansi
syariat yang dijalankan sesuai dengan ajaran Islam, namun tampilannya
mengadopsi tradisi-tradisi lokal. Seperti misalnya mereka melakukan
upacara khitan yang mereka anggap khitan adalah sebagai syari‟at Islam
yang dilaksanakan dengan kemasan budaya Jawa. Mereka melaksanakan
khitan namun didalamnya mereka masih menggunakan sesajian yang
diletakkan di dalam rumah saat hendak menggelar selametan.
B. Primbon Sebagai Prediksi Masa Depan
Orang Jawa, sebagaimana masyarakat Nusantara lainnya sangat jeli
dalam memperhatikan dan mengamati tanda-tanda alam. Pada awalnya
masyarakat Nusantara semuanya menggantungkan diri kepada alam untuk
mempertahankan hidup mereka. Oleh karena itu mereka sangat mencermati
dan mempelajari gejala-gejala alam agar mereka terhindar dari segala macam
sesuatu yang buruk, mendapatkan hasil yang lebih baik, dan pastinya
terhindar dari kegagalan. Catatan-catatan tersebut ditulis dan dikumpulkan
hingga menjadi satu buku yang namanya primbon.94
Primbon berasal dari bahasa Jawa yaitu bon (mbon atau mpon) yang
berarti induk, lalu kata tersebut mendapat awalan pri (peri) yang berfungsi
meluaskan kata dasar. Dengan demikian primbon diartikan sebagai induk dari
kumpulan catatan-catatan pemikiran orang Jawa.95
Primbon juga merupakan
panduan hidup masyarakat Jawa sehari-hari. Dengan demikian jika suatu
masyarakat hendak menentukan sesuatu atau menggelar suatu acara harus
merujuk pada primbon yang sudah dibuat dari zaman dahulu oleh nenek
moyang mereka yang lebih memahami alam.96
Isi dari primbon bukan hanya tentang catatan-catatan gejala alam,
namun didalamnya juga dimasukkan pengetahuan agama dan adat istiadat
94 Ranoewidjojo, Primbon Masa Kini (Jakarta: Bukune, 2009), h. VI. 95 Ranoewidjojo, Primbon Masa Kini, h. VII. 96
Wawancara pribadi dengan Mbah Sejo
48
yang berlaku di tiap zaman. Oleh karena itu primbon bersifat dinamis
mengikuti adat istiadat dan kepercayaan masyarakat yang berlaku di
masyarakat. Hal ini terbukti nyata ketika masyarakat Jawa beralih dari Hindu
Buddha ke Islam. Perubahan besar ini terjadi pada zaman pemerintahan
Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma di kerajaan Mataram Islam. Beliau
memerintahkan untuk menggantikan kalender tahun Saka zaman Hindu,
menjadi kalender tahun Jawa yang banyak dipengaruhi sistem penanggalan
Jawa.97
Bukankah takdir itu sudah ditetapkan oleh Allah SWT, lalu mengapa
masyarakat masih menggunakan primbon untuk memprediksi masa depan?
Masyarakat Jawa mempunyai sistem penanggalan Jawa, jadi yang dipakai
dalam menentukan tanggal untuk menggelar sebuah acara menggunakan
kalender Jawa. Allah memang sudah menetapkan segala sesuatunya, akan
tetapi menurut masyarakat Desa Sidomukti sebagai manusia kita masih bisa
merubah atau menghindari sebuah kemungkinan buruk yang akan terjadi pada
diri kita. Semua akan ada jalan keluarnya, membuang atau menolak hal-hal
buruk yang akan terjadi. Primbon memiliki fungsi untuk mengingatkan kita
sebagai manusia akan keadaan-keadaan yang akan terjadi pada diri kita yang
berpengaruh terhadap diri kita dan memberikan kesempatan kepada kita
untuk mendapatkan hasil yang lebih baik demi terciptanya kesempurnaan
pada diri. Primbon tidak bisa dianggap sebagai sesuatu hal yang bersifat
tahayul dan menyimpang karena pada hakikatnya primbon merupakan sebuah
warisan kebudayaan yang sudah diterima secara turun temurun.98
Pada masyarakat Desa Sidomukti semua masyarakat desa ini masih
memakai primbon untuk menentukan hari baik dalam menggelar acara atau
mengadakan acara. Lalu, bagaimana dengan kalangan santri? Apakah mereka
juga menggunakannya? Dalam hal seperti pengertian watak atau ramalan
yang bersifat pribadi mereka memang tak berpacu pada primbon. Misalnya,
dalam melakukan perjalanan mereka hanya menggunakan hari-hari baik
dalam Islam dan tidak berpatokan pada balungan seperti yang telah dijelaskan
dalam bab sebelumnya. Akan tetapi sebagaimana masyarakat lainnya,
97 Ranoewidjojo, Primbon Masa Kini, h. VII-VIII. 98
Wawancara pribadi dengan Mbah Sejo
49
masyarakat Desa Sidomukti juga masih sangat membutuhkan tokoh
agama/sesepuh setempat untuk melakukan penghitungan mengenai waktu
yang cocok dan bagus untuk melaksanakan acara yang telah diniatkan.99
Ketika sudah mendapat jawaban, barulah acara segera dilaksanakan. Tokoh di
Desa Sidomukti yang dianggap cocok atau dipercaya masyarakat untuk
melakukan perhitungan ini adalah Mbah Sejo.100
C. Upacara Khitan di Desa Sidomukti
Istilah sunat dalam bahasa Arab adalah khitan. Kata itu secara
etimologis berarti memotong. Berbagai buku Fikih klasik menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan khitan atau sunat adalah memotong kuluf
(menghilangkan sebagian kulit) yang menutupi hasyafah atau ujung kepala
penis. Adapun sunat perempuan dalam bahasa Arab disebut khifadh berasal
dari kata khafdh yang artinya memotong ujung klitoris pada vagina.101
Kata khitan merupakan bentuk masdar dari kata kerja “khatana” yang
secara literal berarti memotong “al-Qath‟u”. Dalam Ensiklopedi Islam kata
“khatana” juga berarti memotong atau mengerat. Kata memotong dalam hal
ini mempunyai makna dan batasan-batasan khusus, bahwa makna khitan
adalah bagian kemaluan yang harus dipotong.102
Khitan berasal dari bahasa Arab “khatana” yang berarti memotong.
Dalam istilah Fiqih secara umum, khitan diartikan sebagai memotong
sebagian anggota tubuh tertentu. Pada praktiknya khitan antara anak laki-laki
dengan anak perempuan itu berbeda. Menurut Mawardi sebagaimana dikutip
dalam buku Fikih Dzabihah mengemukakan bahwa khitan laki-laki adalah
99 Wawancara pribadi dengan Mbah Sejo 100
Mbah Sejo adalah tokoh masyarakat sekaligus tokoh agama di Desa Sidomukti. Ia
bekerja sebagai seorang petani sekaligus sebagai salah satu ketua RT di Sidomukti. Ia dipercaya
masyarakat sebagai orang yang taat beribadah. Ia juga dianggap sebagai orang yang paling pas
dalam hitung-hitungan. Oleh karena itu setiap masyarakat yang hendak melakukan atau menggelar
suatu acara yang berkaitan dengan krisis kehidupan seperti menanam padi, mencukur rambut,
khitanan, perkawinan dll mendatanginya untuk meminta tanggal dan waktu yang tepat untuk menyelenggarakan acara tersebut. Ia juga yang membuat dan meletakkan serta mendoakan sesaji
yang digunakan dalam setiap selametan. 101
Faizah Wardhina, Sikap Ibu Terhadap Larangan Sunat Pada Anak Perempuan Di
Kelurahan Sekumpul Kabupaten Banjar, Jurkessia Volume III No. 1 November 2017, h. 14. 102
Nela Kamala, “Tinjauan Hukum Islam dan Kesehatan terhadap Khitan bagi Laki-laki
dan Perempuan”, Skripsi, Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009,
h.10.
50
memotong kulit yang menutupi hasyafah (kepala penis). Adapun khitan
perempuan adalah memotong bagian paling atas dari faraj (kemaluan
perempuan).103
Dalam istilah medis, khitan disebut dengan sirkumsisi. Kata sirkumsisi
berasal dari bahasa Latin circum yang memiliki arti memutar dan caedere
yang memiliki arti memotong. Sirkumsisi adalah tindakan memotong atau
menghilangkan sebagian atau seluruh kulit penutup depan dari penis pada
pria.104
Khitan (Sircumcision) banyak memberi manfaat, khususnya untuk
menjaga kebersihan organ penis. Adapun manfaat lainnya dari khitan ialah
dapat mencegah infeksi. Dalam jurnal Pediatric terbitan November 2006
khitan ternyata bisa mengurangi resiko tertular dan menyebabkan infeksi
penyakit menular sampai sekitar 50%.105
Khitan juga dapat mencegah kanker
serta dapat mengatasi keadaan phimosis.106
Khitan telah dilakukan sejak zaman prasejarah berdasarkan gambar-
gambar yang diamati di gua yang berasal dari zaman batu dan makam Mesir
Purba. Akan tetapi alasan melakukan khitan ini belum diketahui. Khitan pada
laki-laki diwajibkan pada agama Islam dan Yahudi. Khitan sudah
disyariatkan sejak zaman Nabi Ibrahim.
Berbagai referensi sejarah menunjukkan bahwa beberapa bangsa kuno
telah mengenal khitan. Injil Barnabas menyebutkan bahwa Adam adalah
manusia pertama yang dikhitan, dan ia melakukannya setelah bertaubat dari
dosa memakan buah pohon larangan.
Menurut para antropolog, budaya khitan sudah popular di kalangan
masyarakat sejak masa pra-Islam, selain sudah tercantum pada kitab-kitab
Samawi (Taurat dan Injil). Dibuktikan juga dengan ditemukannya mumi
perempuan Mesir Kuno pada abad ke-16 SM. Mumi itu memiliki tanda
103 M. Husain Nasir, Fikih Dzabihah (Jawa Timur: Pustaka Sidogiri, 2006), h. 60-61. 104 Adika Mianoki, Ensiklopedi Khitan, h. 9. 105
Helni Comp, Manfaat Khitan, diakses dari
https://www.scribd.com/doc/129883820/Manfaat-Khitan-Terhadap-Kesehatan pada 01 September
2018 Pukul 17.00 106
Phimosis adalah suatu keadaan dimana ujung preputium (kulit luar penis) mengalami
penyempitan sehingga tidak dapat ditarik ke arah proximal (bawah), melewati glans (kepala
penis), yang biasanya dapat mengakibatkan obstruksi air seni, jika hal ini didiamkan dan tidak dilakukan penanganan maka akan dapat mengakibatkan peradangan pada penis.
51
pemotongan klitoris pada wanita. Oleh karena itu, tradisi khitan telah diakui
agama-agama di dunia, seperti Yahudi dan sebagian penganut Kristen.107
Khitan dalam Yahudi dilakukan untuk membedakan mereka dengan
yang lain. Mereka melestarikan tradisi khitan sebagai kewajiban dan rasa
setia kepada bangsa mereka. Khitan menjadi identitas mereka dengan yang
lain.
Pelaksanaan khitan ini telah diperintahkan sejak zaman Nabi Ibrahim
AS. Pelaksanaan khitan ini menjadi simbol dan pertanda ikatan perjanjian
suci dengan Allah. Sementara bagi penganut Koptik Kristen dan Yahudi,
khitan bukan hanya sebagai sebuah proses bedah kulit bersifat fisik semata,
tetapi juga menunjuk arti dan dan esensi kesucian. Khitan juga
melambangkan pembukaan tabir kebenaran dalam ikatan perjanjian suci yang
diikat antara Allah SWT dengan Nabi Ibrahim AS, yang kemudian diikuti
oleh pengikutnya.108
Khitan mungkin telah ada di Jawa sebelum mulainya zaman Islam pada
abad keenam belas. Akan tetapi, bekas-bekas upacara tersebut tidak
ditemukan. Upacara untuk merayakan khitanan atau sunatan ini pada
umumnya menyerupai upacara kepanggihan/perkawinan, tentunya dengan
menghilangkan unsur kedua mempelai. Khitan ini merupakan upacara
penyambutan masa remaja pada anak laki-laki.109
Khitan atau sunat menurut masyarakat Desa Sidomukti merupakan
bagian dari ajaran Islam yang sudah menjadi budaya mereka sendiri dan
sebuah proses pendewasaan diri bagi si anak. Jika anak sudah dikhitan maka
ia akan menjadi anak yang lebih bertanggung jawab, dewasa, mandiri, dan
disiplin serta sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk. Sejak awal mereka memang sudah mengakui bahwa khitan adalah
bagian dari ajaran agama yang menjadi budaya mereka. Akan tetapi di dalam
upacara khitan ini tidak hanya unsur Islam yang terdapat didalamnya. Di
dalam upacara ini masih terdapat pengaruh kepercayaan masyarakat Jawa
107 Adika Mianoki, Ensiklopedi Khitan, h. 110. 108
Nela Kamala, “Tinjauan Hukum Islam dan Kesehatan terhadap Khitan bagi Laki-laki
dan Perempuan”, Skripsi, Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009,
h.14. 109
Clifford Geertz, The Religion of Java, h. 66.
52
sebelum mereka mengenal Islam. Diantaranya adalah unsur animisme dan
Hinduisme. Unsur animisme ini terletak kepada kepercayaan mereka terhadap
roh-roh halus di sekitar mereka. Sedangkan unsur Hinduisme terletak pada
prosesi pembuatan dan pemberian sesajen.110
Khitan pada masyarakat Desa Sidomukti merupakan suatu langkah atau
kegiatan dalam rangka mensugesti anak supaya dia jangan takut. Hal ini dapat
dilihat ketika si anak akan berangkat khitan ia akan diantar oleh teman-
temannya yang mengiringinya. Kehadiran teman-temannya sengaja
dihadirkan dengan harapan untuk menyenangkan anaknya. Oleh karena itu
hal ini memberikan pengaruh secara psikologis kepada anak supaya dia tidak
takut dan merasa gembira.
Batasan anak laki-laki yang akan dikhitan tidak ditentukan. Namun
pada umumnya anak laki-laki di sini dikhitan pada usia sembilan sampai 12
tahun. Anak laki-laki yang sudah melihat temannya dikhitan akan merasa
malu sendiri jika dirinya belum dikhitan dan pasti akan segera meminta untuk
dikhitankan kepada orang tuanya. Akan tetapi karena dalam upacara khitan
ini memerlukan biaya yang tidak sedikit maka orang tua si anak pun akan
mempersiapkannya dari jauh-jauh hari untuk melaksanakan upacara khitan
ini. Akan tetapi, masyarakat Desa Sidomukti ini dalam kehidupan sehari-
harinya hidup dalam semangat kerukunan dan gotong royong. Oleh karena
itu, mereka dalam mengeluarkan biaya yang besar itu biasanya menabung
dengan cara menyumbangkan makanan atau tenaga kepada tetangga atau
kerabat yang menggelar acara seperti khitanan sehingga ketika mereka
menyelenggarakan acara yang sama akan dikembalikan oleh orang-orang
yang pernah mereka sumbangkan sebelumnya sehingga biaya yang besar itu
menjadi lebih ringan.
Menurut kebiasaan penyunatan dikerjakan oleh seorang ahli yang
disebut dengan Calak yang seringkali juga merangkap sebagai tukang cukur,
jagal, atau dukun.111
Di masa sekarang ini orang-orang yang menyunatkan
atau mengkhitan anaknya membawa anaknya ke klinik khitan atau ke mantri-
mantri terdekat. Di Desa Sidomukti ini terdapat dua orang calak yang sudah
110 Wawancara pribadi dengan Ustadz Mutoyo, Sidomukti 30 Agustus 2018. 111
Clifford Geertz, The Religion of Java, h.66.
53
terlatih. Namun, mereka banyak juga yang membawa anaknya ke mantri-
mantri terdekat dan yang terdekat adalah ada di desa sebelah dan satu lagi
berada di Kecamatan Kajen.
Upacara khitan ini memiliki urutan prosesi yang lumayan panjang.
Dalam upacara ini ada perhitungan hari, pembuatan sesajen, selametan dan
lain sebagainya. Tahapan upacara khitan ini adalah sebagai berikut:
Pertama, untuk menentukan waktu penyelenggaraan khitan ini
diperlukan penggunaan sistem petungan.112
Petungan itu dilihat berdasarkan
pasaran dan weton si anak yang akan dikhitan. Pasaran yang dimaksud
adalah di dalam masyarakat Jawa dibalik ada tujuh hari yang biasa kita kenal,
orang Jawa ini juga memakai sistem pasaran yang berjumlah lima. Kemudian
selain pasaran, juga harus ditentukan wetonnya.113
Selain itu, juga ada nilai
angka yang disematkan pada tiap-tiap hari itu yang disebut dengan neptu.
Dalam prosesi hitungan yang digunakan oleh tokoh masyarakat Desa
Sidomukti yaitu Mbah Sejo, berikut adalah hitungan-hitungan yang ditulis
oleh Mbah Sejo sendiri.
Tabel 4.1 Hari beserta Neptu
Hari Neptu
Minggu 5
Senin 4
Selasa 3
Rabu 7
Kamis 8
Jumat 6
Sabtu 9
112
Petungan adalah suatu sistem ramalan numerologi orang Jawa atau disebut juga dengan
hitungan. 113
Weton disebut juga dengan hari kelahiran. Jadi yang dimaksudkan dengan weton adalah
gabungan antara pasaran dengan hari kelahiran.
54
Tabel 4.2 Pasaran beserta Neptu
Pasaran Neptu
Kliwon 8
Manis 5
Pahing 9
Pon 7
Wage 4
Berdasarkan tabel di atas untuk menentukan tanggal pelaksanaan khitan
dihitung berdasarkan hari kelahiran anak yang akan dikhitan berdasarkan
sistem penanggalan Jawa. Jika si anak lahir pada hari Minggu Kliwon maka
berdasarkan harinya adalah Minggu neptu 5, Kliwon neptu 8. Keduanya
dijumlahkan dan hasilnya adalah 13. Setelah dijumlahkan kemudian hitung
menggunakan 10 jari dengan mungal-mangil-blegedu-wong sampai ketemu
jumlah hari kelahiran si anak yang telah dihitung tadi. Hari yang dicari harus
jatuh pada mungal atau mangil.114
Jika jumlahnya 13 berarti jatuh pada
mungal. Itu artinya si anak dapat melakukan khitan pada Minggu Kliwon
karena itu akan memberikan kebaikan kepada anak itu sendiri. Akan tetapi,
jika hitungan hari kelahiran si anak jatuh pada blegedu-wong,115
misalnya
ketika anak laki-laki yang akan dikhitan itu lahir pada Kamis Kliwon maka
jumlahnya adalah 16 dan ini jatuh pada wong, yang berarti ia tidak boleh
melangsungkan khitan pada hari Kamis Kliwon. Dengan demikian hal yang
harus dilakukan adalah melaksanakan khitannya dua hari setelah hari
lahirnya. Berdasarkan kepercayaan masyarakat jika jatuh pada blegedu-wong
maka si anak yang akan dikhitan pasti akan tidak baik, menjadi pemalas,
nakal, dan segala hal yang buruk yang akan menimpanya. Oleh karena itu,
untuk menghindari itu semua maka menggelarnya adalah dua hari setelah
kelahirannya. Sebagaimana kepercayaan masyarakat Jawa bahwa segala
114 Mungal dan mangil adalah segala sesuatu sifat yang bersifat positif, misalnya seperti
rajin, penurut, patuh, teguh pendirian, jujur, dan lain-lain. 115
Belegedu dan wong diartikan sebagai segala sesuatu sifat yang negatif, misalnya seperti pemalas, nakal, pembangkang, dsb, sehingga ketika hitungan jatuh pada blegedu dan wong, maka
penentuan harinya adalah dua hari setelah hari kelahirannya.
55
sesuatu yang buruk masih bisa disiasati dengan mencari jalan keluarnya,
karena inilah letak fungsi primbon.
Kedua sesudah sistem petungan diterapkan dan hari baik dipilih, suatu
selametan sudah dapat diselenggarakan. Selametan ini ditujukan sebagai
bentuk rasa syukur dan bertujuan agar hajatannya tidak ada gangguan dan
halangan didalamnya. Proses selametan yang pertama ini diawali dengan
proses pembuatan sesajen. Dalam membuat sesajen tuan rumah sudah
menyiapkan segala macam sajen dan uborampenya dengan memanggil tokoh
masyarakat yang dipercaya untuk membuat sesajen. Tokoh masyarakat ini
ialah tokoh yang juga menghitung waktu yang sesuai untuk melakukan
pelaksanaan upacara khitan. Sesajen ini diletakkan di sebuah kamar biasanya
di pojok dekat kamar mandi. Segala macamnya sudah disiapkan oleh tuan
rumah yang punya hajat. Kemudian si mbah ini akan mempersiapkan untuk
membuat dan meletakkannya. Khususnya yang dibuatnya adalah macam-
macam jenang atau bubur. Bubur itu terdiri dari jenang putih, jenang abang,
jenang pliringan, dan jenang bekatul. Semuanya masing-masing dibuat dua
diletakkan di atas daun pisang dan disusun rapih diletakkan bersama dengan
uborampe sajen yang lain. Jenang atau bubur merupakan uborampe116
yang
tidak pernah ketinggalan dan tidak pernah dilupakan serta tidak pernah
ditinggalkan dalam setiap ritual orang Jawa, sebagaimana uborampe lainnya
jenang-jenangan ini merupakan warisan turun temurun dari nenek moyang
orang Jawa.117
Setiap sajen dan uborampenya masing-masing memiliki
makna tersendiri meskipun tidak semua orang yang mengetahui maknanya
karena mereka hanya tau sebatas luarnya saja.
Jenang atau bubur yang dibuat dalam tradisi khitanan pada masyarakat
Desa Sidomukti sama sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya. Bubur
atau jenang-jenangan yang dibuat dalam prosesi tersebut adalah jenang putih,
jenang abang, jenang baro-baro, dan jenang pliringan. Semuanya masing-
masing dibuat dua tempat yang diletakkan di atas daun pisang dan dibuat saat
116 Uborampe merupakan bahasa Jawa yang artinya segala perlengkapan yang diperlukan
dalam sesajen. 117
Wahyana Giri, Sajen dan Ritual Orang Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2010), h. 30.
56
ruangan di dalam rumah yang melakukan hajat dikunci dan tak boleh seorang
pun yang boleh memasuki ruangan tersebut.118
Setiap bubur yang dibuat memiliki makna masing-masing. Jenang putih
dibuat dari beras dan diberi sedikit garam. Sesuai namanya, bubur ini
berwarna putih. Jenang putih ini sebagai simbol yang menunjukkan
penghormatan dan harapan seseorang yang ditujukan kepada orang tua atau
leluhurnya agar senantiasa diberi doa restu dan mendapatkan keselamatan.
Jenang putih ini dilambangkan sebagai lambang bibit dari ayah (sperma) yang
selalu dipasangkan dengan jenang abang karena masing-masing memiliki
makna tertentu dan tak dapat dipisahkan.
Jenang abang merupakan bubur yang dibuat dari beras dengan
dibumbui sedikit garam dan gula merah sehingga berubah warna menjadi
merah. Jenang abang ini dimaksudkan sebagai simbol penghormatan kepada
orang tua agar diberi restu dan mendapatkan keselamatan. Jenang abang ini
merupakan simbol lambang bibit dari ibu. Jenang abang dan jenang putih
merupakan lambang terciptanya kehidupan manusia yang tercipta dari air
kehidupan orang tuanya. Jenang putih dan jenang abang ini dilambangkan
sebagai terjadinya anak karena adanya ibu dan bapaknya, sehingga kewajiban
bagi setiap orang untuk menghormati orang tuanya.119
Jenang baro-baro atau disebut dengan bubur bekatul adalah bubur yang
dibuat dari tepung kulit beras bagian dalam kemudian diatasnya diberi
potongan gula merah kecil-kecil. Uborampe ini ditujukan untuk Kakang
Kawah Adi Ari-ari (air ketuban dan tembuni yang keluar saat bayi
dilahirkan). Dari kepercayaan nenek moyang bahwa keduanya itu merupakan
saudara gaib jabang bayi. Oleh karena itu bubur ini dibuat agar tidak
mengganggu orang yang sedang melakukan selametan atau hajatan.120
Bubur yang terakhir adalah bubur merah putih atau disebut juga dengan
jenang pliringan. Bubur ini seperti namanya merupakan bubur yang dibuat
dari beras, bentuknya separuh merah (diberi gula merah) dan separuh lagi
berwarna putih. Pertama yang diletakkan adalah bubur putih dulu setelah itu
118 Wawancara pribadi dengan Ibu Turah 119 Wahyana Giri, Sajen dan Ritual Orang Jawa, h. 31. 120
Wahyana Giri, Sajen dan Ritual Orang Jawa, h. 32.
57
bubur putih yang ada di panci diberi gula merah sedikit kemudian diaduk dan
setelah berubah warna diletakkan dengan bubur putih tadi, sehingga jadilah
bubur merah putih. Bubur ini dimaksudkan sebagai penghormatan kepada
prajurit Ratu Kidul yang bertugas di angkasa dan daratan. Penghormatan ini
bertujuan agar sesama makhluk Tuhan dapat berjalan beriringan dan tidak
saling mengganggu.121
Selain tumpeng dan jenang-jenangan uborampe sajen selalu disajikan
dengan dilengkapi dengan beragam jenis makanan, minuman bahkan
terkadang masih dilengkapi dengan beberapa jenis barang. Pelengkap sesajen
ini disajikan sesuai dengan tujuan dan keperluan orang yang melakukan
selametan. Perlengkapan uborampe sajen orang yang melakukan khitanan
tentu berbeda dengan uborampe sajen orang yang melakukan selametan
bersih desa atau panen padi. Oleh karena itu, berdasarkan penelitian yang
penulis lakukan bahwa dalam tradisi khitanan ini uborampe sajen yang ada
ialah kupat luwar, kupat lepet, kemenyan, tukon pasar atau jajanan pasar,
ketan, pisang emas, sisir dan cermin, telur ayam, beras dan tali, sirih, lawang-
lawang, kopi pahit, kopi manis, teh tawar, teh manis, dan air tawar semuanya
memiliki makna masing-masing.
Kupat luwar bentuknya memanjang. Kupat ini dimaknai sebagai
lambang bahwa orang yang melakukan selametan atau hajatan telah menepati
janjinya. Kupat lepet bentuknya seperti kupat segi empat, namun bentuknya
lebih kecil. Uborampe ini dimaknai sebagai simbol permohonan maaf atas
segala kesalahan yang pernah dilakukan.
Selain itu, ada sebuah nasi yang dibuat seperti kerucut yang kemudian
diberi cabai, bawang merah, dan bawang putih yang ditusuk pakai lidi
kemudian ditancapkan di ujung nasi yang berbentuk kerucut ini. Sajen ini
tidak semua diletakkan bersama sesajen lainnya di kamar. Satu diletakkan di
kamar, kemudian satu lagi diletakkan di atas pintu kamar mandi, kemudian
diletakkan di atas pintu masuk rumah, dan satu lagi diletakkan di jembatan
kali dekat rumah yang punya hajat agar tidak ada halangan apapun pada anak
yang dikhitan mulai dari dia mau berangkat sampai dia kembali lagi ke
121
Wahyana Giri, Sajen dan Ritual Orang Jawa, h. 32.
58
rumahnya setelah dikhitan.122
Masyarakat di sini masih percaya akan adanya
makhluk-makhluk halus, seperti tuyul contohnya. Dengan kepercayaan
mereka itu, maka ada juga di dalam ruangan itu yang meletakkan cermin
besar, air cabai, kemudian kepiting sawah yang diletakkan di baskom, kendi
tempat uang yang ditutupi kain putih. Tujuannya adalah dengan adanya itu
tuyul itu akan memainkan kepiting sawah dan ketika melihat air cabai,
sehingga uang orang yang melakukan hajat itu tidak bisa diambil olehnya.
Jika ada tuyul, maka cermin besar tadi akan bergoyang-goyang.123
Setelah
semua sesajen sudah rapih dibuat dan diletakkan sesuai tempatnya kemudian
dimulailah pembakaran menyan di dalam ruangan tadi. Akan tetapi ketika
pembakaran menyan kita tidak akan menemukan mantra-mantra aneh, namun
kemenyan itu didoakan seperti doa-doa biasa yang suka kita dengar. Doa itu
ditujukan pada roh-roh orang tua yang telah meninggal, para wali, para raja-
raja Jawa, dan juga kepada para nabi dan rasul.124
Setelah pembakaran
kemenyan selesai, secara otomatis bahwa kamar itu telah dikunci dan tidak
ada seroang pun yang boleh memasuki kamar tersebut kecuali tuan rumah
yang punya hajat. Nasi kolong ini dibuat dari nasi biasa yang dibungkus daun
pisang dengan diisi dengan lauk pauk seperti bihun, ayam, telur, sayuran
seperti wortel dan buncis yang akan dibagi-bagikan kepada tetangga maupun
saudara. Namun, tidak semua masyarakat menggunakan nasi kolong ini. Ini
hanya tradisi biasa yang dapat diganti dengan makanan lainnya. Seiring
dengan berjalannya waktu, orang bisa mencari cara yang praktis dan lebih
simpel. Masyarakat juga bisa menggunakan roti yang dibungkus untuk
dibagikan kepada tetangga maupun saudaranya. Hal yang terpenting dari
122 Wawancara pribadi dengan Ibu Turah 123 Wawancara pribadi dengan Ibu Darmu‟i 124
Dalam pembakaran menyan di sini dimulainya dengan pembacaan do‟a yang dilakukan
oleh Mbah Sejo. Do‟anya adalah bismillahirrohmanirrohim, assalaamu‟alaikum ya ahlil kubur,
assalamu‟alaikum ya Nabiyyil Muhammadin, Assalamu‟alaikum ya abaina „adam wa ummiya
Hawa, Assalamu‟alaikum yaa sulthoonil auliyaa, Al-Fatihah…. Khususon ilaa Syekh Abdul Qodir Jailany, al-Fatihah …. Khususon ilaa jami‟il ambiyaai wa khususon ilaa Hadroti Sunan Ngampel
wa khususon ilaa khadroti sunan Maulana Ibrohim wa khususon ilaa hadroti Sunan Makdum
Ibrahim wa khususon ilaa hadroti Sunan Paku, Al-Fatihah ….khususon ilaa hadroti Sunan Drajat
wa khususon ilaa Sunan Kudus wa khususon ilaa Sunan Muria wa khususon ilaa Sunan Gunung
Jati wa khususon ilaa Sunan Kalijogo, Al-Fatihah … khususon ilaa syaikhi mas masyaikihi wa
khususon ilaa walidaini, Al-Fatihah …. Wa khususon ilaa jami‟il muslimiina wal muslimaat
mu‟miniina wal mu‟minat, Al-Fatihah.
59
makna pembagian nasi kolong ini adalah orang yang memiliki hajat sudah
memiliki rasa ikhlas, mau memberi, dan rela berbagi sebagai rasa syukur
kepada Allah Swt karena telah dapat menjalankan perintahnya.
Ketiga, jika si anak laki-laki yang dikhitan ini adalah anak satu-satunya
atau anak tunggal, maka anak ini harus diruwat.125
Baik dia nanti akan punya
adik lagi atau tidak anak itu harus diruwat agar anak itu menjadi anak yang
penurut dan berbakti kepada orang tuanya serta tidak menjadi anak yang
berperangai buruk. Upacara ruwatan ini berbeda dengan upacara selametan
yang sering dilakukan banyak orang. Rangkaian upacara ini membutuhkan
sarana prosesi yang lengkap, salah satunya dengan pergelaran wayang kulit.
Untuk pagelaran wayang kulit dengan lakon Murwakala biasanya diperlukan
perlengkapan sebagai berikut:
1. Alat musik Jawa (gamelan)
2. Wayang kulit
3. Kelir atau layat kain
4. Blencong atau lampu dari minyak
Selain perlengkapan di atas, dalam ruwatan juga diperlukan sesajian
sebagai berikut:
1. Daun beringin, dadap serep, daun alang-alang
2. Api (batuarang) di dalam anglo, kipas beserta kemenyan (ratus wangi)
yang akan dipergunakan Kyai Dalang selama pertunjukan
3. Kain mori putih kurang lebih panjangnya 3 meter direntangkan di bawah
debog (batang pisang) atau ada juga yang diletakkan di atas kendi besar
Dalam prosesi meruwat ini tuan rumah memanggil dalang. Dalang ini
akan menceritakan lakon wayang. Akan tetapi, jika orang yang melakukan
hajat adalah orang berada, maka pergelaran wayang itu akan digelar tengah
malam dan besar-besaran serta yang melihat pertunjukan wayang itu harus
mengikuti sampai selesai dan tidak boleh mengantuk. Pada kalangan rakyat
biasa mereka yang memiliki anak laki-laki tunggal akan memanggil dalang
125
Ruwat artinya pelepasan atau pembebasan dari malapetaka dan hal itu menjadi sakral
dan dipercaya. Ruwat yang dilakukan di Sidomukti bukan dengan cara memandikan anak atau
orang yang akan di ruwat. Akan tetapi, anak atau orang yang akan di ruwat hanya dibacakan doa
agar dirinya menjadi bersih dan terhindar dari marabahaya atau malapetaka dengan dicium kening
dan ditiup ubun-ubun kepalanya sambil didoakan.
60
biasa yang menceritakan lakon wayang. Anak yang dikhitan dan bapak dari
anak yang dikhitan duduk berdekatan dengan posisi duduk dalang tersebut.
Dalam prosesi meruwat ini juga disediakan sesajen yang lebih lengkap
daripada sesajen yang dibuat saat gelar selametan pertama. Sesajen itu
diantaranya juga ada nasi kolong yang hanya diletakkan di atas daun pisang
namun tidak dibungkus ada juga yang dibungkus, kemudian kasur, bantal,
guling, labu, aneka macam buah-buahan seperti semangka, salak, jeruk, dan
pisang, aneka kacang-kacangan, jagung rebus, ubi rebus, kopi pahit, kopi
manis, teh pahit, teh manis, air tawar dan juga lawang-lawang serta jenang-
jenangan.126
Dengan demikian tujuan dari proses ruwatan ini adalah mendoakan
anak yang hendak diruwat agar terhindar dari segala sesuatu yang buruk dan
membuang sial.127
Dalam ruwatan ini anak akan didoakan oleh dalang dan
para tetangga maupun kerabat yang datang dalam upacara ruwat ini agar si
anak dan yang ikut upacara ini mendapat berkah dan keselamatan serta
terhindar dari kesialan. Anak laki-laki itu akan dicium keningnya dan
kepalanya oleh dalang. Setelah dupa itu dimatikan berarti sebagai penanda
bahwa upacara ruwatan telah selesai dan tiba waktunya untuk makan bersama
atas hidangan yang telah dihidangkan tuan rumah. Setelah makan bersama
selesai kemudian tuan rumah membagikan nasi kolong yang sudah dibungkus
untuk dibawa pulang oleh tamu yang menghadiri upacara ruwatan.
Keempat tahapannya adalah anak lelaki yang akan dikhitan diberi jamu
yang hangat kemudian dipijat dengan dukun pijat dan kemudian tubuhnya
dibaluri dengan bedak kuning. Anak itu memakai kain sarung baru dan baju
koko baru.128
Teman-teman dari anak lelaki itu pun ikut mengantar anak yang
126 Wawancara pribadi dengan Ibu Turah 127 Wawancara pribadi dengan Mbah Sejo 128
Menilik sejarah diperkirakan baju koko merupakan baju pria di daratan Tiongkok. Baju
ini telah beradaptasi dengan masyarakat Indonesia sejak dulu. Kerajaan Islam sudah banyak
berhubungan dengan bangsa Tiongkok. Baju tersebut masuk ke Indonesia dibawa saat orang-orang Tiongkok berdagang. Walau sebenarnya, sebelum kerajaan Islam berdiri, kerajaan-kerajaan di
Nusantara seperti Sriwijaya dan Tarumanegara diketahui sudah berhubungan dengan bangsa
Tiongkok. Pendapat lainnya, baju koko ini digunakan identitas masyarakat Tiongkok yang
menjadi muslim di Indonesia. Saat penjajahan Belanda, mereka tidak suka melihat kedekatan
orang Indonesia dengan Tiongkok, karena dikhawatirkan dapat menimbulkan perlawanan. Untuk
menyiasatinya, orang Tiongkok muslim ini memakai baju koko saat ke masjid dan menjadi „tanda‟
bagi mereka. (diakses dari Netral News.com Inilah Penjelasan dinamai Baju Koko dari
61
akan dikhitan berangkat ke mantri dengan menggunakan mobil pick up untuk
meramaikan upacara khitan. Selama anak dikhitan orang-orang yang berada
di rumahnya melakukan acara selametan dengan tujuan agar anak yang
dikhitan bisa selamat dari berangkat sampai pulang ke rumah dengan tidak
ada kendala dan halangan apapun. Pada selametan ini banyak orang yang
menghadirinya karena semua tetangga, baik saudara atau bukan semuanya
diundang untuk menghadiri. Mereka yang berasal dari berbagai kalangan
duduk bersama. Tidak ada perbedaan antara orang yang berada dengan orang
yang tidak berada. Di sini menunjukkan makna selametan sebagai alat
pemersatu masyarakat tanpa mengenal golongan apapun. Selametan ini
dipimpin oleh seorang tokoh agama yang disebut dengan panggilan ustadz.
Selametan ini diawali dengan sambutan dari orang yang mewakili tuan rumah
dengan menyampaikan maksud dan tujuan dari menyelenggarakan selametan
ini. Setelah itu diadakan pembacaan doa yang diawali dengan pembacaan Al-
Fatihah kemudian diteruskan dengan pembacaan doa-doa khusus dalam
Islam. Kemudian ditutup dengan salam dan disuguhkan hidangan makanan
yang sudah disiapkan oleh tuan rumah sambil menunggu anak yang dikhitan
sampai ke rumah.
Kelima adalah sesampainya anak di rumah orang tua dari anak lelaki
yang dikhitan itu menyebarkan koin. Koin itu berupa uang koin Rp 500 dan
Rp 1.000. uang koin itu disebar dan teman-temannya akan rebutan untuk
mengambil uang koin yang disebar. Uang koin yang disebar ini memiliki
makna sebagai rasa syukur orang tua tersebut karena anaknya sudah dikhitan
dan sampai dengan selamat serta mengajarkan anak-anak untuk rela berbagi
kepada orang lain. kelak suatu saat mereka dewasa nanti mereka akan jadi
anak yang mau berbagi kepada orang lain.129
Setelah prosesi itu selesai tahap selanjutnya adalah teman-temannya
makan makanan yang disediakan di meja dihadapan anak yang disunat.
Makanan itu biasanya seperti kue-kue, dan buah-buahan. Si anak yang
http://www.netralnews.com/ramadan/read/82742/inilah.penjelasan.dinamai.baju.koko pada 05
Oktober 2018 Pukul 12.30.
129 Wawancara pribadi dengan Ibu Turah
62
disunat juga boleh makan sepuasnya malam itu sebelum esoknya ia tidak
boleh makan apa-apa. Kemudian para tamu yang hadir memberikan hadiah
kepada anak yang dikhitan. Hadiah itu biasanya berupa uang yang
dimasukkan ke dalam amplop.130
D. Analisis Terhadap Akulturasi Unsur Islam dan Budaya Jawa dalam
Tradisi Khitanan
Berdasarkan sejarah Islam masuk pertama melalui pesisir. Wilayah-
wilayah pesisir yang awalnya merupakan wilayah berkembangnya
perdagangan rempah-rempah di laut Nusantara menimbulkan suatu lapisan
pedagang yang makmur dan aristokrasi pelabuhan yang kuat. Pada sekitar
abad ke-13 kekuatan Sriwijaya merosot dan kekuasaan-kekuasaan di Jawa
Timur sedang naik, rupa-rupanya perdagangan di Nusantara bagian barat
jatuh ke tangan bangsa-bangsa asing, yaitu Persia dan Gujarat yang pada
waktu itu mulai memeluk Islam. Pada waktu itu perdagangan di Nusantara
juga mulai dikuasai oleh Negara-negara lain di Asia Tenggara selain Persia
dan Gujarat, yaitu Chen-La di Muangthai dan Laos sekarang dan Champa di
Vietnam Tengah. Sejak abad ke-14 Majapahit berhasil menduduki tempat-
tempat strategis di seluruh Nusantara. Armada perang Majapahit juga pada
saat itu memegang kekuasaan maritim di Indonesia.131
Pada akhir abad ke-14 dan seluruh abad ke-15 Majapahit mundur dan
begitupun kekuasaan maritimnya. Beberapa kota pantai di Jawa pada
khususnya dan di wilayah lain pada umumnya yang paling intensif
berhubungan dengan pedagang-pedagang asing dapat mempergunakan
pedagang-pedagang itu untuk kepentingan mereka sendiri dan dengan
demikian sepanjang abad ke-15 berkembang menjadi daerah-daerah yang
dapat merongrong kekuasaan Majapahit di pedalaman. Dengan demikian
timbullah Malaka di Semenanjung Malaya, Aceh di Pucuk Sumatera, Banten
130 Wawancara pribadi dengan Ibu Turah 131
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Sapdodadi, Djambatan, 1979), h. 24.
63
di Jawa Barat, dan Demak di Pantai Utara Jawa serta Goa di Sulawesi
Selatan.132
Dalam proses perkembangan daerah-daerah tersebut, pedagang
Indonesia yang menjadi kaya dan golongan bangsawan yang timbul di sana
rupanya mereka terpengaruh oleh agama Islam. Gelombang pengaruh
pertama itu berasal dari Persia dan Gujarat di India Selatan, sedangkan di
sana itu pada waktu itu banyak mengandung unsur-unsur mistik. Dengan
demikian Islam yang masuk di Pekalongan karena berdasarkan letaknya yang
berada di pantai Utara Jawa menggambarkan bahwa unsur-unsur mistik yang
ada itu merupakan pengaruh yang didapat dari proses islamisasi yang terjadi
pada pengaruh gelombang pertama. Oleh karena itu, agama Islam seperti
itulah yang disebarkan oleh penyiar-penyiar yang kemudian disebut dengan
wali.
Di daerah-daerah yang belum terpengaruh oleh kebudayaan Hindu,
agama Islam mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakat.
Contohnya adalah di Aceh, Banten, dan di Sulawesi Selatan. Begitupun di
Sumatera, seperti di Sumatera Timur, Sumatera Barat, dan pantai Kalimantan.
Akan tetapi di daerah-daerah yang sudah terdapat pengaruh kebudayaan
Hindu yang mengakar kuat di wilayahnya seperti Jawa Tengah dan Jawa
Timur, agama Islam dirubah menjadi suatu agama yang kita kenal dengan
nama agama Jawa.133
Perkembangan Islam di Jawa tidak terdokumentasikan dengan baik,
namun manuskrip-manuskrip abad ke-16 menunjukkan bahwa Islam
mengakomodasi dirinya dengan lingkugan budaya Jawa. Pada awal abad ke-
17 dinasti yang berkuasa adalah dinasti Mataram. Raja terbesarnya adalah
Sultan Agung. Ia melakukan rekonsiliasi antara identitas islamik dan tradisi
kerajaan Jawa. Ia tidak memutus hubungan dengan penguasa rohani tertinggi
yang diyakini oleh masyarakat asli Jawa Tengah, yaitu Ratu Kidul, akan
tetapi ia melakukan upaya-upaya menjadikan kerajaannya menjadi lebih
islami. Misalnya, ia melakukan ziarah ke makam Sunan Bayat yang diyakini
132 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, h.25. 133
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, h.26.
64
ia adalah wali yang menyebarkan Islam di Mataram.134
Kemudian ia juga
meninggalkan sistem penanggalan Jawa Kuno Saka yang bergaya India dan
menggantikannya dengan sistem penanggalan Jawa hibrid yang
menggunakan sistem penanggalan hijriah. Sistem penanggalan Jawa yang
menggunakan sistem penanggalan hijriah inilah yang digunakan oleh
masyarakat Desa Sidomukti sebagai acuan untuk melakukan sistem petungan
berdasarkan pasaran dan wetonnya.
Rekonsiliasi antara identitas islamik dan tradisi kerajaan Jawa yang
digagas Sultan Agung tidak dilanjutkan dengan antusiasme yang sama
besarnya oleh para penerusnya hingga beberapa dasawarsa, sebagian besar
pemberontakan terhadap dinasti tersebut dengan menggunakan nama Islam
sebagai justifikasi mereka. Dalam hal ini sekitar tahun 1670-an orang-orang
Madura, Makassar dan bukan Jawa lainnya terlibat dalam perang Jawa. Pada
peristiwa ini dinasti meminta bantuan VOC (perusahaan dagang Hindia
Belanda) untuk mendapatkan bantuan militer. Setelah beberapa dasawarsa
perang sipil itu terjadi yang merugikan identitas religious memainkan peranan
besar, rekonsiliasi kedua antara Mataram dengan kesadaran islamik terjadi
selama kekuasaan Pakubuwana II. Ada berbagai upaya yang dibuat pihak
keratin untuk menjadikan masyarakat lebih saleh secara Islami. Masyarakat
diperintahkan agar rajin datang ke masjid untuk beribadah pada hari Jumat,
judi dianggap sebagai perbuatan yang melanggar hukum istana, dan ada bukti
bahwa tangan pencuri dipotong. Namun demikian, berbagai doktrin pra-
Islam, karya sastra, dan praktik lain tetap dipertahankan di dalam istana,
tetapi semuanya itu kini dipahami sebagai sesuatu yang sepenuhnya islami.
Proyek islamisasi ini juga idiosinkratis dalam hal-hal lain.135
Pada kenyataannya, Pakubuwana II ini adalah seorang muda yang
mudah terombang-ambing. Pada masanya mengalami kekacauan politis dan
terjadi banyak pemberontakan. Selama terjadi kekacauan politis ini,
rekonsiliasi antara identitas, keyakinan serta gaya Jawa dan Islam
134 Merle Ricklefs, Islamisation and Its Opponents in Java, terj. Mengislamkan Jawa
Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang (Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, 2013), h.32-33. 135
Merle Ricklefs, Islamisation and Its Opponents in Java, h.34.
65
menghasilkan dengan apa yang disebut dengan sintesis mistik. Sintesis ini
didasarkan pada tiga pilar utama. Pertama, yaitu suatu kesadaran identitas
islami yang kuat. Kedua, pelaksanaan lima rukun ritual dalam Islam
(mengucapkan dua kalimat syahadat, shalat lima kali sehari, membayar zakat,
berpuasa Ramadan, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu). Ketiga,
penerimaan terhadap realitas kekuatan-kekuatan roh lokal.136
Islam memang terasakan dalam kehidupan masyarakat Jawa, namun
Islam itu hanya sedikit sekali terpengaruh oleh kaum intelektual modernis
yang tinggal di perkotaan. Bagi sebagian besar sisanya, Islam yang mereka
kenal adalah Islam sebagaimana dihidupi oleh para kiai di pedesaan dan
tarekat-tarekat mistik. Mayoritas orang Jawa hidup sebagai kaum abangan
yang tidak terlalu tertarik pada Islam, meski mereka menambahkan ritual-
ritual Islam pada waktu kelahiran, khitanan, pernikahan atau pemakaman.137
Masyarakat Desa Sidomukti dalam menjalankan kehidupannya
menggunakan agama dan budaya sebagai pedoman hidup mereka. Artinya
mereka menyeimbangkan keduanya dalam kehidupan sehari-hari. Mereka
menjalankan perintah agama Islam dengan tidak meninggalkan tradisi
kebudayaan mereka.
Mengutip pengertian agama menurut M. Ridwan Lubis sebagaimana
agama diartikan seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan
manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhan, mengatur hubungan
manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya.138
Begitu pula
yang terjadi dalam masyarakat Sidomukti sebagai masyarakat beragama
dalam berhubungan dengan Tuhan sebagai masyarakat Islam Jawa mereka
melaksanakan syari‟at Islam dengan menggunakan tradisi yang sudah ada
sebelumnya yang penuh dengan simbol-simbol yang memiliki makna sebagai
perantara hubungan mereka dengan Tuhan dan lingkungannya.
Masyarakat Desa Sidomukti yang merupakan masyarakat Jawa awalnya
mereka belum menganut agama Islam. Akan tetapi, Islam masuk dan mereka
136 Merle Ricklefs, Islamisation and Its Opponents in Java, h.34. 137 Merle Ricklefs, Islamisation and Its Opponents in Java, h.114. 138
M. Ridwan Lubis, Agama dalam Diskursus Intelektual, h. 6-7.
66
menerimanya. Dengan demikian terjadi proses sosial antara masyarakat Desa
Sidomukti dengan Islam.
Akulturasi menurut Koentjaraningrat adalah proses sosial yang timbul
bila salah suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu
dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing, sehingga unsur-unsur
kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam
kebudayaannya sendiri tanpa kehilangan kebudayaan aslinya. Dalam kasus ini
Islam sebagai kebudayaan asing yang masuk dan masyarakat Jawa sebagai
penerima kebudayaan asing tersebut. Islam yang masuk ke tanah Jawa adalah
Islam yang diajarkan atau dibawa oleh para walisongo atau penyiar Islam
dengan menggunakan pendekatan kultural. Mereka menggunakan strategi
dakwah kultural untuk menyebarkan dan mengajarkan ajaran Islam kepada
masyarakat Jawa. Akibat yang terjadi adalah mereka menerima dan mengakui
Islam sebagai agama mereka dengan menjalankan syari‟at-syari‟at Islam,
namun mereka tetap menggunakan tradisi-tradisi yang mereka sudah pelajari
sebelum mereka mengenal Islam akan tetapi isi didalamnya dimasukkan
dengan unsur-unsur Islam seperti doa-doa yang diajarkan dalam Islam. Hal
ini menunjukkan bahwa para penyiar Islam melakukan hubungan dengan
masyarakat Jawa sehingga terjadi proses interaksi antara dua kebudayaan
tersebut yang terjadi secara intensif tanpa mereka merasa kehilangan
kebudayaan aslinya.
Dalam tradisi khitanan masyarakat melaksanakan ini sebagai salah satu
perintah atau ajaran Islam yang wajib dilaksanakan sebagai seorang muslim.
Pada saat tradisi khitanan dilaksanakan hal yang tak dapat dihilangkan adalah
adanya sistem petungan atau numerology orang Jawa dan selametan yang
didalamnya diisi dengan aneka macam sesajen yang sudah menjadi tradisi
mereka sebelum mengenal Islam. Hal ini menunjukkan bahwa akulturasi
unsur Islam dan budaya Jawa dalam Tradisi Khitanan di Desa Sidomukti
Kecamatan Karanganyar Kabupaten Pekalongan telah terjadi.
Menurut sejumlah informan yang berhasil penulis wawancarai tokoh
agama yang mengerti sistem petungan dan membuat sesajen dalam ruangan
67
di desa ini adalah Mbah Sejo.139
Mbah Sejo adalah seorang lelaki paruh baya
yang berumur kurang lebih 50 tahun. Ia adalah seorang petani dan seorang
muslim yang taat beribadah. Ia pergi ke sawah pada pagi hari, namun ketika
menjelang waktu sholat zuhur ia pulang untuk mandi dan bersih-bersih
bersiap untuk melaksanakan sholat di Musholla. Ia juga berkedudukan
sebagai ketua Rukun Tetangga di Desa Sidomukti. Ia merupakan tokoh
masyarakat yang dituakan atau dihormati oleh masyarakat. Ia adalah seorang
tokoh yang mengerti mengenai perhitungan waktu atau seperti yang disebut
Clifford Geertz dengan sistem petungan atau numerologi orang Jawa. Akan
tetapi, perhitungan yang dilakukan Mbah Sejo ini tidak bersumber pada
primbon-primbon Jawa yang pada umumnya.
Masyarakat menganggap bahwa orang yang paling tepat dalam hitung-
hitungan adalah mbah Sejo. Hitungannya dianggap cocok dan jarang sekali
meleset. Dengan demikian setiap masyarakat yang hendak melakukan atau
menggelar acara selametan ia akan menemui Mbah Sejo untuk meminta
waktu yang tepat untuk menggelar acaranya.140
Melihat kepribadian Mbah Sejo sebagai muslim yang taat sebenarnya ia
melakukan hitung-hitungan tersebut adalah sebagai meneruskan tradisi yang
sudah diwariskan secara turun temurun. Ia tidak menganggap angka-angka
tersebut adalah ganda dan menyekutukan Allah karena dianggap tidak
percaya kepada Allah. Hitungan itu dilakukan agar sesuatu yang tidak
diinginkan tidak terjadi tentu dengan seizin Allah sebagai yang Maha Kuasa.
Mengenai anak yang dikhitan agar anak itu senantiasa setelah dikhitan
menjadi anak yang taat kepada orang tua, agama, dan bangsa. Lalu, mengenai
sesajen yang ia buat ketika hendak menggelar selametan sebagai wujud
tradisi yang dilakukan dan menurutnya boleh saja tidak memakai sesajen,
akan tetapi ini untuk melestarikan budaya yang sudah ada sejak zaman nenek
moyang. Awalnya semua itu ditujukan kepada roh-roh halus agar mereka
menikmati santapan dari sesaji yang diberikan. Akan tetapi, sekarang sesaji
itu hanya simbol biasa yang doanya ditujukan tetap kepada Gusti Allah
139 Wawancara pribadi dengan Ibu Turah 140
Wawancara pribadi dengan Ibu Darmu‟i
68
bukan meminta kepada roh-roh halus.141
Kemenyan yang dibakar sebagai
penanda acara selametan dimulai pun bukan dimantra-mantrai akan tetapi
dibacakan do‟a yang ditujukan kepada para Nabi dan para wali.
Masyarakat sangat mempercayai Mbah Sejo sebagai tokoh yang
berperan dalam acara selametan yang pertama sebelum menggelar hajat.
Mereka meminta hitung-hitungan tersebut agar acara yang mereka
selenggarakan tidak terjadi apa-apa dan terhindar dari gangguan. Menurut
masyarakat kalau salah hitung-hitungannya maka akan berakibat fatal.
Sehingga menurut mereka tidak sembarangan orang yang bisa melakukan
hitungan ini dan Mbah Sejo lah yang dianggap paling cocok hitungannya
dengan mereka. Pada selametan yang kedua Mbah Sejo sudah tidak berperan
karena ia hanya duduk sebagai orang biasa dan orang yang berperan adalah
ustadz dalam acara selametan yang kedua ketika menunggu anak yang
dikhitan pulang dari klinik.
Dukun atau paranormal diartikan sebagai orang yang dianggap
mempunyai kekuatan supranatural dalam kemampuannya menyelesaikan
problem kehidupan.142
Mbah Sejo di sini dalam masyarakat Jawa dapat
dikatakan seorang dukun atau paranormal karena ia dianggap sebagai orang
yang mampu atau bisa menggunakan hitung-hitungan untuk menentukan baik
buruknya. Dukun identik dengan sesuatu yang bersifat menyimpang atau bisa
dibilang sesat. Namun, peran Mbah Sejo dalam lingkungan masyarakat Desa
Sidomukti ini justru mengenalkan kepada mereka bagaimana Islam dengan
budaya Jawa bisa berjalan beriringan dengan baik. Perhitungan yang
dilakukan adalah sebagai budaya Jawa yang tidak bisa dihilangkan tentu
dengan tidak mengurangi dan merubah keyakinan terhadap Allah SWT justru
dengan perhitungan itu meminta agar sesuatu yang baik yang diterimanya
agar bisa menjalankan perintah-perintah Allah. Begitu pula sesajian yang
tadinya diartikan sebagai persembahan untuk roh-roh nenek moyang dengan
bacaan mantra-mantra kini semua itu hanyalah sebuah simbol yang digunakan
untuk melestarikan budaya dengan doa meminta kepada Allah agar
mendapatkan keselamatan. Meskipun demikian sistem perhitungan yang
141 Wawancara pribadi dengan Mbah Sejo 142
Dimyati Huda, Peran Dukun, ISSN 2089-7537, Volume 4, h. 10.
69
masyarakat percaya di dalam Islam hukumnya adalah tidak boleh karena
dapat menyekutukan Allah.
Ralp Linton dalam bukunya The Study of Man mengungkap adanya
dua bentuk akulturasi, yaitu covert culture dan overt culture. Covert culture
meliputi sistem nilai-nilai budaya, keyakinan-keyakinan keagamaan yang
dianggap keramat, beberapa adat yang sudah dipelajari, dan beberapa adat
yang mempunyai fungsi yang terjaring luas dalam masyarakat. Sedangkan
overt culture meliputi kebudayaan fisik, seperti alat-alat dan benda-benda
yang berguna, tetapi juga ilmu pengetahuan, tata cara, gaya hidup, dan
rekreasi yang berguna dan memberi kenyamanan.143
Adapun bentuk covert dan overt culture dalam tradisi khitanan terletak
dalam selametan yang diselenggarakan dan pada prosesi akhir dalam
khitanan. Covert culture di sini ialah ritual atau upacara keagamaan yang
disebut dengan selametan dilakukan bertujuan untuk mengharap berkah dari
nenek moyang mereka dan kepercayaan kepada roh menjadikan masyarakat
melakukan ritual untuk mengusir gangguan roh jahat yang dilambangkan
dengan berbagai macam sesajen yang sengaja dihadirkan dalam sebuah
ruangan. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi proses akulturasi karena roh-roh
halus merupakan kepercayaan masyarakat Jawa pada masa animisme dan
sesajen adalah unsur-unsur yang terdapat dalam Hinduisme. Akan tetapi
setelah Islam datang selametan ini tetap diselenggarakan namun maknanya
bertambah, yaitu sebagai perwujudan rasa syukur kepada Allah dan meminta
kepada Allah agar mereka dijauhkan dari hal-hal buruk dan dijauhkan dari
gangguan roh-roh. Pada selametan ini terdapat doa-doa Islam yang dipimpin
oleh seorang ustadz. Artinya, di sini terjadi akulturasi unsur Animisme,
Hinduisme dan Islam didalamnya. Kemudian overt culturenya adalah pada
makanan yang dijadikan nasi kolong. Awalnya nasi kolong itu hanya dapat
berupa nasi yang diletakkan di bambu tapi seiring berkembangnya zaman
masyarakat banyak yang menggunakan hal yang lebih praktis seperti
menggunakan roti untuk dibagikan kepada tetangga yang terpenting adalah
esensinya sama, yaitu sebagai sarana bersyukur atas rezeki yang ia dapatkan.
143
Koentjaraningrat, Antropologi Jilid II, h. 97.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Islam yang dibawa masuk ke tanah Jawa oleh para penyiar Islam adalah
Islam yang diajarkan dengan menggunakan pendekatan kultural. Artinya
Islam masuk dengan tidak merusak tradisi lokal atau kebudayaan setempat,
sehingga masyarakat mudah menerimanya. Para pendakwah atau penyiar
Islam tersebut memasukkan unsur-unsur ajaran Islam ke dalam tradisi
masyarakat setempat secara bertahap sehingga masyarakat pun tidak
melakukan penolakan melainkan penerimaan karena tidak kehilangan
identitas kebudayaannya sendiri.
Tradisi khitan pada masyarakat Desa Sidomukti hanya dilakukan pada
anak laki-laki sebagai ketaatan atau kewajiban mereka sebagai seorang
muslim dalam menjalankan syari‟at Islam. Khitan menurut masyarakat
Sidomukti merupakan sebuah proses pendewasaan diri bagi si anak. Jika anak
sudah dikhitan maka ia akan menjadi anak yang lebih bertanggung jawab,
dewasa, mandiri, dan disiplin serta sudah dapat membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk. Selain itu secara psikologis khitan ini juga merupakan
suatu langkah atau tahapan mensugesti anak agar tidak takut.
Kebudayaan lokal dan syari‟at Islam dilakukan secara beriringan. Satu
sisi mereka melaksanakan khitan dan mereka juga tetap menggunakan tradisi
lokal yang sudah ada karena latar historis masuknya Islam ke tanah Jawa
yang masuk dengan menyesuaikan diri dengan budaya yang telah ada
sebelumnya, sehingga tidak merubah tradisi mereka namun menggantikan
nilai-nilai yang ada didalamnya dengan nilai-nilai Islam. Hal ini dilihat dari
cara mereka menggunakan hitung-hitungan dalam menentukan hari baik
acara khitan dan penggunaan sesajian serta prosesi ruwatan bagi anak tunggal
yang terdapat didalamnya.
Hitung-hitungan, selametan, ruwatan, dan penggunaan sesajian dalam
tradisi khitanan menjadi wujud yang menandakan terjadinya akulturasi antara
unsur Islam dan Budaya Jawa di Sidomukti. Sebagaimana pengertian yang
70
71
diungkapkan oleh Koentjaraningrat bahwa akulturasi merupakan proses sosial
yang timbul bila salah suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan
tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing, sehingga unsur-
unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam
kebudayaannya sendiri tanpa kehilangan kebudayaan aslinya.
Dari pengertian tersebut maka penerapan khitan sebagai hukum Islam
yang di dalam prosesinya masih terdapat kebudayaan lokal masyarakat
dengan memasukkan nilai-nilai Islam didalamnya. Dengan demikian Islam
masuk sebagai unsur kebudayaan asing yang kemudian diterima dan diolah
ke dalam kebudayaan masyarakat Jawa tanpa kehilangan kebudayaan asli
mereka.
B. Saran
Sebuah karya tidak akan luput dari kesalahan dan kekurangan. Begitu
juga dalam skripsi ini, penulis menyadari bahwa dalam penulisan masih
banyak sekali terdapat kekeliruan dan kekurangan, oleh sebab itu sumbangan
saran dan kritik adalah sebuah keniscayaan demi kesempurnaan. Meskipun
demikian, harapan tujuan penulis adalah dapat melengkapi penelitian-
penelitian terdahulu kedepannya. Semoga harapan itu dapat dipenuhi oleh
penulis dalam skripsi ini.
Penulis mengharapkan kepada peneliti yang ingin meneliti agama dan
kebudayaan di daerah Pekalongan khususnya Kabupaten Pekalongan untuk
mengkaji atau meneliti lebih mendalam karena banyak tema-tema agama dan
kebudayaan yang belum diteliti secara mendalam. Penulis juga mengharapkan
agar peneliti yang berminat mengadakan penelitian ke daerah ini agar
mempublikasikan hasil penelitiannya agar dapat dijadikan sumber kekayaan
ilmu daerah Kabupaten Pekalongan.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Bustanuddin. Agama dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: Rajawali
Pers, 2007.
Azwar, Syaifudin. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Capt. R.P Suyono. Dunia Mistik Orang Jawa: Roh, Ritual, Benda Magis.
Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2009.
Bahri, Media Zainul. Wajah Studi Agama-agama Dari Era Teosofi
Indonesia (1901-1940) Hingga Masa Reformasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015.
Beatty, Andrew. Variasi Agama di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Endraswara, Suwardi. Etnologi Jawa.Yogyakarta: CAPS (Center for
Academic Publishing Service). 2015.
2003.
Franz Magnis Suseno. Etika Jawa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
Geertz, Clifford. Tafsir Kebudayaan, Terjemahan Budi Susanto SJ.
Yogyakarta: Kanisius, 2016.
Geertz, Clifford. The Religion of Java, terj. Abangan, Santri, Priyayi
dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya, 1983.
Giri, Wahyana. Sajen dan Ritual Orang Jawa. Yogyakarta: Narasi, 2009.
Haviland, William A. Antropologi Jilid II. Jakarta: Erlangga, Edisi
Keempat.
Haviland, William A. Antropologi Jilid I. Jakarta: Erlangga.
Kamala, Nela. “Tinjauan Hukum Islam dan Kesehatan terhadap Khitan
bagi Laki-laki dan Perempuan”, Skripsi, Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI, 2001.
Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Sapdodadi,
Djambatan, 1979.
72
73
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Gramedia, 1990.
1990.
Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi Jilid II. Jakarta: UI Press,
Kunto, Suharsini Ari. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Lubis, M. Ridwan. Agama dalam Diskursus Intelektual Kehidupan Umat
Beragama di Indonesia. Jakarta: Pusat Kerukunan Umat Beragama, 2015.
Lubis, M. Ridwan. Soekarno dan Modernisme Islam. Jakarta: Komunitas
Bambu, 2010.
Lubis, M. Ridwan. Sosiologi Agama :Memahami Perkembangan Agama
dalam Interaksi Sosial (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.
Mianoki, Adika. Ensiklopedi Khitan (Kupas Tuntas Pembahasan Khitan
dalam Tinjauan Syariat dan Medis). Yogyakarta: Tim Kesehatan Muslim, 2014.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2014.
Najir. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998.
Nasir, M. Husain Fikih Dzabihah. Jawa Timur: Pustaka Sidogiri, 2006.
Niels Mulder terj. Noor Cholis. Mistisisme Jawa. Yogyakarta: LKIS
Yogyakarta, 2001.
Nottingham, Elizabeth K. Agama dan Masyarakat terj. Abdul Muis
Naharong. Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada, 1994.
Prastowo. Memahami Metodologi Penelitian: Suatu Tinjaun Teoritis dan
Praktis. Yogyakarta: Arruz Media, 2011.
Profil Desa Sidomukti Tahun 2017, Naskah tidak diterbitkan.
Purwadi. Tasawuf Jawa. Yogyakarta: Narasi, 2003.
Puspasari, Diana. “Akulturasi Budaya Lokal dengan Agama: Upacara
Kasada Sebagai Bentuk Akulturasi Budaya Lokal dengan Islam di Desa Argosari
Kec. Sendurjo Kab. Lumajang Jawa Timur”. Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.
Ranoewidjojo. Primbon Masa Kini. Bukune, 2009.
Ricklefs, Merle. Islamisation and Its Opponents in Java, terj.
Mengislamkan Jawa Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930
sampai Sekarang. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2013.
74
Sairi, Muhammad. ”Islam dan Budaya Jawa dalam Perspektif Clifford
Geertz”. Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.
Sarwono, Jonathan. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif.
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006. Cet. I.
Soehartono, Irwan. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2008.
Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta, 2007.
Sumardjo, Jakob. Arkeologi Budaya Indonesia: Pelacakan Hermeneutis-
Historis terhadap Artefak-artefak kebudayaan. Yogyakarta: Qaalam, 2002.
Supardi. Metodologi Penelitian Bisnis. Yogyakarta: UII Press, 2005.
Suprayogo, dkk., Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2003. Cet. II.
Suyanto, dkk., Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan.
Jakarta: Kencana, 2003. Cet. III.
2007.
Suyono, R.P. Dunia Mistik Orang Jawa. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta,
Syam, Nur. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2011.
TIM Nasional Penulisan, Sejarah Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai
Pustaka, 2010.
Widagdho, Djoko, dkk. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
Woodward, Mark R. terj. Hairus Salim. Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus
Kebatinan. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2004.
Woodward, Mark R. Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in
The Sultanate of Yogyakarta terj. Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus
Kebatinan. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2004.
Jurnal dan Artikel
Astuti, Hanum Jazimah Puji. Islam Nusantara: Sebuah Argumentasi
Beragama dalam Bingkai Kultural, INJECT Interdisciplinary Journal Of
Communication, Volume 2 No.1.
Aziz, Donny Khoirul. Akulturasi Islam dan Budaya Jawa, Fikrah, Vol 1,
No. 2, Juli-Desember 2013.
75
Chakim, Sulchan. Potret Islam Sinkretisme: Praktik Ritual Kejawen,
Komunika Vol.3 No. 1 Januari-Juni 2009.
Hermawan, Jati. Pengaruh Agama Islam Terhadap Kebudayaan dan
Tradisi Jawa di Kecamatan Singorojo Kabupaten Kendal, Jurnal Ilmiah
Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang Vol. 02 No. 1 November 2014.
Huda, M. Dimyati. Peran Dukun Terhadap Perkembangan Peradaban
Budaya Masyarakat Jawa, ISSN 2089-7537, Volume 4 Oktober 2015.
Nurasiah. Khitan dalam Literatur Hadis Hukum. Ahkam Volume XV
Nomer 1 Januari 2015.
Rahman, Arief Aulia. Akulturasi Islam dan Budaya Masyarakat Lereng
Merapi Yogyakarta: Sebuah Kajian Literatur, Indo-Islamika, Volume 1, Nomor 2,
2012.
Suparjo, Islam dan Budaya: Strategi Kultural Walisongo dalam
Membangun Masyarakat Muslim Indonesia, Komunika, Vol.2 No. 2 Jul-Des 2008
pp. 178-193.
Widiana, Nurhuda. Pergumulan Islam dengan Budaya Lokal, Studi Kasus
Masyarakat Samin di Dusun Jepang Bojonegoro, Jurnal Teologia, Volume 26,
Nomer 2, Juli-Desember 2015.
Sumber Internet
Alim Online, Melacak Jejak Islamisasi di Pekalongan Abad XV-XVII,
diakses dari https://alim-online.blogspot.com/2009/12/melacaka-jejak-islamisasi-
di-pekalongan.html?m=1, Pada 15 September 2018, Pukul 13.00.
Hasrito Sidomukti, Desa Sidomukti, diakses dari
https://sidomukti14.blogspot.com/2014/12/profil-dan-sejarah.html?m=1, pada 18
Agustus 2018 pukul 15.00.
Ini baru media, Masjid, Petilasan, dan Makam, Tiga Jejak Dakwah Islam
di Pekalongan, diakses dari https://www.inibaru.id/islampedia/masjid-petilasan-
dan-makam-tiga-jejak-dakwah-islam-dipekalongan, Pada Pada 15 September
2018, Pukul 13.15
Kabupaten Pekalongan, Adat Istiadat, diakses dari
Kabupatenkajen.blogspot.com/p/g.html?m=1 pada 20 Agustus 2018.
Sumber Wawancara
Wawancara Pribadi dengan Bapak Harsito Aji, Sidomukti 29 Agustus 2018.
Wawancara Pribadi dengan Ibu Darmu‟i, Sidomukti 16 Agustus 2018.
76
Wawancara Pribadi dengan Ibu Turah, Sidomukti 27 Agustus 2018.
Wawancara Pribadi dengan Mbah Sejo, Sidomukti 20 Agustus 2018.
Wawancara Pribadi dengan Ustadz Mutoyo, Sidomukti 30 Agusrus 2018.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1: Surat-surat Penelitian
77
78
79
80
81
82
83
Lampiran 2: Pertanyaan Wawancara
Daftar Wawancara
1. Sejarah Desa Sidomukti
a. Bahasa apa yang digunakan dalam kehidupan sehari- hari oleh warga
Sidomukti?
b. Bagaimana asal usul penamaan Desa Sidomukti?
c. Apa saja kepercayaan atau agama yang dianut oleh warga Sidomukti?
d. Apa mata pencaharian masyarakat Sidomukti?
e. Apakah masyarakat Desa Sidomukti hidup dalam semangat kerukunan?
f. Mana yang lebih kuat pendorong masyarakat Desa Sidomukti hidup
rukun?
2. Sekilas Tentang Prosesi Khitan
a. Apakah makna Khitan menurut masyarakat Desa Sidomukti?
b. Apakah Khitan bagian ajaran Agama atau Budaya?
c. Apa tujuan dari tradisi Khitan?
d. Bagaimana cara tradisi Khitan dilaksanakan?
e. Apakah Khitan prempuan sama dengan Khitan laki- laki?
f. Adakah batasan anak untuk dikhitan?
g. Andaikata tidak menggunakan adat apakah Khitan dianggap sah?
3. Selametan
a. Apa makna selametan bagi masyarakat Sidomukti?
b. Apakah selametan dipandang merupakan bagian ajaran Islam?
c. Apa tujuan dari selametan itu?
d. Kapan selametan harus dilaksanakan?
e. Bisakah diterangkan unsur Agama dan unsur budaya jawa dalam acara
selametan?
4. Primbon Sebagai Prediksi Masa Depan
a. Apa yang disebut primbon?
b. Bukankah Allah yang menentukan nasib seseorang?
c. Kalau begitu dimana letak fungsi primbon?
d. Mengapa primbon dijadikan acuan dalam menentukan masa depan?
e. Apakah primbon dijadikan penentuan waktu pelaksanaan Khitan?
84
Lampiran 3: Hasil Wawancara
HASIL WAWANCARA
PAK HARSITO AJI
KEPALA DESA SIDOMUKTI PERIODE 2014-2019
1. Bahasa apa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh warga
Sidomukti?
Masyarakat Desa Sidomukti dalam kehidupan sehari-hari menggunakan
bahasa Jawa. Akan tetapi, bukan berarti mereka tidak bisa bahasa Indonesia.
Ketika ada pendatang yang menggunakan bahasa Indonesia mereka juga
membalasnya dengan menggunakan bahasa Indonesia.
2. Bagaimana asal-usul penamaan Desa Sidomukti?
Pada awalnya desa Sidomukti ini bernama Sentul. Sentul mempunyai
sejarah yang bermula dari sebuah tonggak kayu yang bernama tonggak kayu
sentul yang sampai saat ini masih banyak dipercaya masyarakat kalau
sewaktu-waktu kadang muncul ke permukaan sungai dan sampai saat ini pun
sentul masih sering disebut oleh khalayak ramai. Nama desa Sentul berarti
“jadi makmur” yang waktu itu dimaksudkan siapapun orangnya yang setia
dan taat menjadi warga desa Sidomukti diharapkan bisa berjaya hidup
makmur.
3. Apa saja kepercayaan atau agama yang dianut oleh warga Sidomukti?
Kepercayaan yang dianut oleh warga Sidomukti sama seperti
kepercayaan masyarakat Pekalongan pada umumnya. Mayoritas masyarakat
di sini ialah beragama Islam, bahkan di desa ini tidak ada yang menganut
agama selain Islam. Akan tetapi Islam di sini ialah Islam di Jawa pada
umumnya. Islam yang bercampur dengan budaya atau kepercayaan-
kepercayaan yang telah ada sebelum Islam masuk ke tanah Jawa. Hal ini
dapat terlihat jika mereka mengadakan atau menggelar acara yang
berhubungan dengan kegiatan keagamaan atau syari‟at Islam mereka masih
memakai adat atau tradisi yang telah ada sebelumnya.
85
4. Apa mata pencaharian masyarakat desa Sidomukti?
Mayoritas mata pencahariannya adalah petani karena di sini itu ya
dikelilingi banyak sawah. Hampir sebagian dari desa ini adalah semuanya
sawah. Banyak juga yang merantau ke Jakarta dan biasanya atau kebanyakan
itu anak-anak muda, orang tua juga ada tapi ya kebanyakan anak-anak muda.
Karena kalau dulu itu kan pendidikan masih kurang, tetapi kalo sekarang itu
sudah meningkat sampai tingkat SLTA bahkan sampai perguruan tinggi.
Untuk mengetahui jumlah pastinya bisa dilihat pada buku profil desa.
5. Apakah masyarakat desa Sidomukti hidup dalam semangat kerukunan?
Masyarakat Desa Sidomukti hidup dengan penuh semangat kerukunan.
Mereka hidup saling menghormati dan saling menghargai. Tidak ada yang
berusaha untuk mengusik ketentraman hidup orang lain. Orang yang lebih
muda menghormati orang yang lebih tua. Orang yang lebih tua menyayangi
orang yang lebih muda. Hal ini yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa
khususnya di Sidomukti. Hidup rukun ini ada dua pendorongnya, yaitu agama
dan budaya. Di satu sisi agama mengajarkan untuk hidup rukun begitu juga
dengan budaya yang sudah mengakar kuat mengajarkan kita untuk hidup
rukun sehingga tercipta suasana yang harmonis.
6. Apa makna khitan menurut pandangan anda?
Khitan merupakan syari‟at Islam yang diterapkan dan digunakan oleh
masyarakat Desa Sidomukti sebagai seorang muslim. Khitan ini memiliki
makna sebagai sarana atau wadah silaturahim antara warga dan sanak saudara
orang yang melakukan khitan ini karena pada saat khitan dilaksanakan
semuanya berkumpul. Khitan ini juga menjadikan seorang anak menjadi
pribadi yang lebih baik dari sebelumnya dan menjadikannya lebih
bertanggungjawab terhadap dirinya.
86
HASIL WAWANCARA
IBU DARMU‟I
1. Apa tujuan dari khitan di desa Sidomukti?
Tujuan melaksanakan khitan salah satunya adalah sebagai pelaksanaan
ajaran Islam. Khitan juga dilaksanakan agar anak yang tadinya malas menjadi
tidak malas, yang tadinya bedud ya jadi ora bedud, pokoknya tujuannya itu
agar si anak punya pribadi yang lebih baik lagi. Kemudian dengan
dilaksanakannya khitan menunjukkan bahwa anak telah dewasa dan
bertanggung jawab melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim.
2. Bagaimana cara tradisi khitan dilaksanakan?
Khitan dilaksanakan selama tiga hari. Nah, untuk menentukan harinya
itu harus pakai hitung-hitungan. Hitung-hitungan itu tidak sembarang orang
yang bisa menghitung. Kalau di desa ini yang bisa menghitung itu namanya
pak Sejo atau Mbah Sejo. Dia yang dianggap cocok kalau membuat itung-
itungan. Dalam prosesinya yang pertama ya harus mencari hari yang tepat
untuk melaksanakan khitan tersebut. Setelah dapat hari nya barulah
melakukan prosesinya. Hari pertama diawali dengan membuat kolongan.
Kolongan itu berupa nasi yang dibungkus-bungkus, tetapi waktu saya itu
Cuma pakai roti bukan pakai nasi karena ribet kalo pakai nasi, jadi pakainya
yang praktis saja. kalau zaman dulu itu kolongan itu ditaro di bambu yang
disusun rapih biar lebar dan nasinya itu ditaro diatas bambu itu diratain
dikasih lauk apa ajah, tapi kalo sekarang orang cari yang lebih praktis saja.
tapi memang masih ada juga yang pakai kolongan sejenis itu. Kolongan itu
nantinya buat dibagikan waktu acara selametan. Dan yang malam sabtu itu
lebih banyak yang datang karena bareng dengan anak yang mau berangkat
disunat. Kolongan itu dibacain do‟a dulu habis itu selesai selametan
dibagikan kepada orang yang datang. Nah, untuk yang memimpin doanya
biasanya manggil orang yang bisa untuk baca doanya. Si anak berangkat mau
ke tempat sunat yang di rumah itu selametan. Setelah pulang dari tempat
sunatnya sesampainya di rumah disebarkan duit recehan, saweran selametan
kalo anak itu abis disunat. Nah nanti ada yang memberi uang ke anaknya.
87
Habis itu itu nanti ada buah-buahan banyak di meja disuruh makan satu-satu
habis itu sudah tidak boleh makan lagi besoknya. Kalau puasanya itu cuma
makan nasi sama kerupuk ajah. Hari kamis nya itu ada orang kondangannya.
Malam kamisnya itu gelar selametan buat kondangan.
Kalau ada yang punya sawah biasanya pakai nasi soalnya nasinya dia
udah ga beli lagi. Nah nanti ada kamar yang tidak boleh orang lain melihat
kecuali keluarga yang sunatnya. Di dalam ruangan itu pun sudah dihitung
sama ahlinya. Kamar itu dikunci dan tidak boleh orang lain masuk. di dalam
ruangan itu ada sesajen, kayak liat yang ada di rumah itu. Kalo buat bangun
rumah kan lengkap banget. Kalau buat sunatan itu ada teh pahit ada teh
manis, ada kopi manis ada kopi pahit, air tawar juga ada, ada bubur-bubur,
ada jajanan pasar, ada kembang-kembang terus ada gentong kecil buat isi
beras ditutupi kain putih entar ditaliin itu namanya dikunci. Nanti yang
ngambil yang ngunci itu. Kalau liat punya Rian anak pertama saya itu ada
kaca besar. Di sini itu orang masih percaya ada tuyul. Kaca besar sebelahnya
tempat yang buat menyimpan uang yang orang kondangan terus disebelahnya
ada air terus ditaroin kepiting sawah nah nanti sebelahnya lagi ada air cabe.
Air cabe itu kan pedas jadi si tuyul itu enggak bisa ngambil,nah yang
sebelahnya ada kepiting sawah itu kan mainannya jadi enggak bisa deh dia
ngambil duitnya. Ketika anak saya yang pertama yang bernama Rian itu
kepitingnya itu beneran goyang-goyang ada yang mainin dan orang yang
menghitung itu melihatnya.
3. Adakah batasan usia anak untuk dikhitan?
Tidak ada batasan usia anak untuk dikhitan. Kalau anak itu sudah
berani untuk dikhitan ya berarti tinggal mempersiapkan semuanya. Kalau
anaknya belum berani ya nunggu anaknya berani dulu. Tapi biasanya kalau
sudah SMP dia malu karena liat teman-temannya sudah sunat dan biasanya
jadi bahan omongan. Biasanya anak yang mau disunat itu kalo liat temannya
disunat pasti berani dan ingin disunat apalagi dikasih tau dapat duit persenan
banyak. Akan tetapi, rata-rata anak yang dikhitan itu umur 9 sampai 12 tahun.
88
4. Apakah khitan perempuan sama dengan laki-laki?
Masyarakat Desa Sidomukti tidak mengenal khitan perempuan. Di sini
yang diwajibkan berkhitan hanya anak laki-laki sedangkan anak perempuan
tidak ada yang dikhitan.
5. Andaikata khitan tidak menggunakan adat apakah dianggap sah?
Menurut saya sah-sah saja. Akan tetapi, adat itu adalah sesuatu yang
sudah mengakar dan sepertinya kalau tidak dipakai ada yang hilang dan
kurang. Masyarakat pun pada umumnya rata-rata memakai adat yang sudah
ada di sini sebagai upaya untuk melestarikan budaya Jawa.
89
HASIL WAWANCARA
MBAH SEJO
TOKOH AGAMA DAN MASYARAKAT DESA SIDOMUKTI
1. Apa makna selametan bagi masyarakat Sidomukti?
Selametan menurut masyarakat Desa Sidomukti merupakan tradisi yang
sudah diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang. Selametan yang
digelar itu merupakan acara yang diselenggarakan untuk memohon kepada
Allah agar diberikan keselamatan dan kesejahteraan serta diberikan
kelancaran dan tidak ada gangguan roh-roh halus yang menyertainya. Jadi
untuk mendapatkan keadaan selamet itu kita harus menyelenggarakan
selametan dengan memohon kepada Allah. Selametan ini juga merupakan
sarana silaturrahmi antar sesama warga, keluarga, dan kerabat. Ia juga
dilakukan sebagai wadah untuk bersyukur kepada Allah atas rezeki yang telah
diberikan-Nya dengan membagi-bagikan makanan kepada tetangga, keluarga
dan kerabat walaupun seadanya yang penting dalam memberikannya dengan
penuh keikhlasan dan ketulusan.
2. Dimanakah selametan biasanya dilaksanakan?
Selametan biasanya dilaksanakan di rumah yang punya hajat. Atau jika
yang punya hajat rumahnya berdekatan dengan orang tuanya maka bisa juga
ia menggelar acara selametan itu di rumah orang tuanya tersebut.
3. Apakah selametan merupakan bagian dari ajaran Islam?
Selametan merupakan budaya Jawa yang sudah dari dulu ada dan
diwariskan secara turun temurun. Akan tetapi, selametan yang diterapkan di
Sidomukti ini di dalamnya terdapat ajaran-ajaran dalam Islam, seperti do‟a
yang dipimpin oleh seorang ustadz kemudian ada yasin dan ada tahlil juga.
Jadi kemasan selametan yang digunakan adalah selametan yang bernuansa
Islam, bahkan selametan ini juga diselenggarakan dengan memohon kepada
Allah bukan kepada roh-roh seperti saat Islam belum ada.
90
4. Apa tujuan dari selametan?
Tujuan dari selametan itu berbeda-beda tergantung maksud dan tujuan
dari selametan itu sendiri. Tapi pada dasarnya adalah memohon kepada Allah
agar diberikan keselamatan, kelancaran, kemudahan, dan tidak ada halangan
dalam menyelenggarakan acara yang akan digelar dan sebagai wujud syukur
kepada apa yang sudah Allah kasih sama kita. Juga meminta agar tidak ada
roh-roh yang mengganggu orang yang melakukan selametan itu. Misalnya,
selametan yang digelar untuk mengadakan upacara khitanan maka tujuannya
adalah agar si anak yang akan dikhitan dan keluarganya itu diberikan
kesehatan, kelancaran, dan tidak ada halangan serta memohon kepada Allah
agar dijadikan anak yang patuh kepada orang tua dan taat beribadah serta
menjadi pribadi yang lebih baik lagi serta orang-orang yang menghadiri acara
selametan itu pun diharapkan mendapat berkah.
5. Kapan selametan harus dilaksanakan?
Selametan dilaksanakan satu atau dua hari sebelum menggelar acara.
Waktunya sekitar habis ashar atau habis maghrib setelah orang selesai
melakukan kegiatan. Agar orang dapat menghadiri undangan orang yang akan
mengggelar selametan.
6. Bisakah diterangkan unsur agama dan unsur budaya Jawa dalam acara
selametan?
Unsur agama yang terdapat dalam selametan ialah doa-doa yang
dipanjatkan kepada Allah, kemudian pembacaan zikir, tahlil, dan shalawat
yang dipimpin oleh seorang ustadz. Adapun unsur budaya Jawanya ialah
penentuan waktu untuk menggelar acara selametan itu dan aneka macam
sesaji dan perlengkapan sesaji itu dalam acara selametan yang memiliki
makna masing-masing. Meskipun banyak dari mereka yang tidak mengerti
maknanya namun tetap menjalankan tradisi ini karena menghormati ajaran
yang telah ada sebelumnya.
7. Apa yang disebut primbon?
Primbon ialah catatan-catatan penting mengenai peristiwa atau gejala
alam yang dibukukan. Sebenarnya dalam menentukan hitungan saya tidak
91
menggunakan primbon seperti yang pada umumnya. Saya mencatat waktu-
waktu hitungan itu dalam buku saya sendiri yang sudah diwariskan dengan
menggunakan kalender Jawa. Dan tujuan dari menggunakan catatan dalam
hitung-hitungan ini bukan berarti saya tidak percaya pada takdir. Saya
percaya bahwa takdir dan nasib seseorang itu telah ditentukan oleh Allah
SWT. Akan tetapi, kita manusia juga masih diberikan kesempatan Allah
untuk memperbaiki semuanya. Dan hitung-hitungan itu pun menjadi acuan
agar kita itu bisa melakukan atau menjadi pribadi yang lebih baik dan
menjadi lebih taat kepada Allah SWT dalam menjalankan syari‟at Islam. Jika
tidak dilakukan hitung-hitungan yang tepat dikhawtirkan bahwa sesuatu yang
tidak baik akan terjadi dan mengakibatkan pribadi yang buruk pada diri orang
itu, sehingga hal ini pun juga mempengaruhi ketaatan kepada Allah SWT.
8. Bagaimana penentuan waktu pelaksanaan khitan?
Hitungannya dilihat berdasarkan pasaran dan weton si anak yang akan
dikhitan. Pasaran yang dimaksud adalah di dalam masyarakat Jawa dibalik
ada tujuh hari yang biasa kita kenal, orang Jawa ini juga memakai sistem
pasaran yang berjumlah lima. Kemudian selain pasaran, juga harus ditentukan
wetonnya. Selain itu, juga ada nilai angka yang disematkan pada tiap-tiap hari
itu. Berikut daftar hari dan angka yang disematkannya, di antaranya Minggu
5, Senen 4, Selasa 3, Rebo 7, Kemis 8, Jumuah 6, Setu 9. Kemudian pasaran
beserta neptunya, Kliwon 8, Manis 5, Paing 9, Pon 7, Wage 4. Untuk
menentukan tanggal pelaksanaan khitan dihitung berdasarkan hari kelahiran
anak yang akan dikhitan berdasarkan sistem penanggalan Jawa. Jika si anak
lahir pada hari minggu kliwon maka berdasarkan harinya adalah minggu
neptu 5, kliwon neptu 8. Keduanya dijumlahkan dan hasilnya adalah 13.
Setelah dijumlahkan kemudian hitung menggunakan 10 jari dengan mungal-
mangil-blegedu-wong sampai ketemu jumlah hari kelahiran si anak yang
telah dihitung tadi. Hari yang dicari harus jatuh pada mungal atau mangil
karena keduanya ini diartikan sebagai sesuatu yang bernilai positif atau baik.
Jika jumlahnya 13 berarti jatuh pada mungal. Itu artinya si anak dapat
melakukan khitan pada Minggu Kliwon karena itu akan memberikan
kebaikan kepada anak itu sendiri. Akan tetapi, jika hitungan hari kelahiran si
92
anak jatuh pada blegedu-wong (hal-hal yang buruk atau yang bersifat
negatif), misalnya ketika anak laki-laki yang akan dikhitan itu lahir pada
Kamis Kliwon maka jumlahnya adalah 16 dan ini jatuh pada wong, yang
berarti ia tidak boleh melangsungkan khitan pada hari kamis kliwon. Dengan
demikian hal yang harus dilakukan adalah melaksanakan khitannya 2 hari
setelah hari lahirnya. Berdasarkan kepercayaan masyarakat jika jatuh pada
blegedu-wong maka si anak yang akan dikhitan pasti akan tidak baik, menjadi
pemalas, bandel, dan segala hal yang buruk yang akan menimpanya
93
HASIL WAWANCARA
IBU TURAH
1. Apa makna selametan bagi masyarakat Sidomukti?
Selametan merupakan acara yang digelar dengan mengundang sanak
keluarga, tetangga, dan kerabat. Pada acara ini semua orang diundang tanpa
dibeda-bedakan. Oleh karena itu, menurut saya selametan ini merupakan
tempat penyatuan berbagai macam masyarakat dari berbagai macam
golongan tanpa adanya perbedaan. Selametan juga berarti memohon selamet
kepada Allah SWT dari segala macam hal buruk agar mendapatkan keadaan
yang aman dan sejahtera.
2. Apakah selametan dipandang merupakan bagian ajaran Islam?
Selametan adalah bagian dari budaya Jawa yang didalamnya terdapat
ajaran-ajaran dalam Islam seperti do‟a, zikir dan tahlil yang nanti pun dalam
acara selametan itu akan dipimpin oleh ustadz.
3. Apa makna khitan bagi masyarakat Desa Sidomukti?
Khitan menurut saya adalah ajaran Islam yang dilaksanakan masyarakat
Desa Sidomukti. Khitan wajib dilaksanakan pada anak laki-laki sebagai
proses pendewasaan diri menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.
4. Adakah batasan usia untuk anak dikhitan?
Tidak ada batasan usia untuk anak dikhitan, tetapi biasanya anak umur
9 tahun itu sudah dikhitan dan paling besar usianya 12 tahun.
5. Apakah khitan bagian ajaran agama atau budaya?
Khitan merupakan bagian ajaran agama yang dilaksanakan tanpa
meninggalkan budaya Jawa yang sudah ada sejak dulu.
6. Bagaimana cara tradisi khitan dilaksanakan?
Khitan dilaksanakan dengan prosesi yang lumayan panjang. Pertama,
untuk melaksanakan tradisi khitan ini harus menentukan tanggal yang tepat.
Setelah penentuan tanggal itu sudah dapat, maka selanjutnya adalah
menggelar acara selametan. Selametan yang pertama ini tidak dihadiri oleh
orang-orang, di sini hanya ada mbah Sejo yang hadir untuk membuat sesaji
94
yang berupa macam-macam bubur minuman, jajanan pasar, telur, beras,
selain itu, ada sebuah nasi yang dibuat seperti kerucut yang kemudian diberi
cabai, bawang merah, dan bawang putih yang ditusuk pakai lidi kemudian
ditancapkan di ujung nasi yang berbentuk kerucut ini. Sajen ini tidak semua
diletakkan bersama sesajen lainnya di kamar. Satu diletakkan di kamar,
kemudian satu lagi diletakkan di atas pintu kamar mandi, kemudian
diletakkan di atas pintu masuk rumah, dan satu lagi diletakkan di jembatan
kali dekat rumah yang punya hajat agar tidak ada halangan apapun pada anak
yang dikhitan mulai dari dia mau berangkat sampai dia kembali lagi ke
rumahnya setelah dikhitan.yang diletakkan di pojok kamar dan membakar
kemenyan serta mendoakan nasi kolong yang hendak dibagikan kepada
tetangga.
Setelah acara selametan, jika anak yang dikhitan itu anak satu-satunya
seperti anak saya, maka anak itu harus di ruwat. Dalam prosesi ini si anak
akan di doakan oleh seorang dalang yang sengaja dipanggil untuk mengisi
prosesi ruwat ini. Dalang ini akan menceritakan lakon wayang dan biasanya
juga ada tiga lakon wayang yang dibawa oleh dalang. Akan tetapi, jika orang
yang melakukan hajat adalah orang berada, maka pergelaran wayang itu akan
digelar tengah malam dan besar-besaran serta yang melihat pertunjukan
wayang itu harus mengikuti sampai selesai dan tidak boleh mengantuk. Jika
orang biasa hanya memanggil dalang yang biasa tanpa lakon wayang yang
lengkap. Anak yang dikhitan dan bapak dari anak yang dikhitan duduk
berdekatan dengan posisi duduk dalang tersebut. Dalam prosesi meruwat ini
juga disediakan sesajen yang lebih lengkap daripada sesajen yang dibuat saat
gelar selametan pertama. Sesajen itu diantaranya juga ada nasi kolong yang
hanya diletakkan di atas daun pisang namun tidak dibungkus ada juga yang
dibungkus, kemudian kasur, bantal, guling, labu, aneka macam buah-buahan
seperti semangka, salak, jeruk, dan pisang, aneka kacang-kacangan, jagung
rebus, ubi rebus, kopi pahit, kopi manis, teh pahit, teh manis, air tawar dan
juga lawang-lawang serta jenang-jenangan. Setelah dupa itu dimatikan berarti
sebagai penanda bahwa upacara ruwatan telah selesai dan tiba waktunya
untuk makan bersama atas hidangan yang telah dihidangkan tuan rumah.
95
Setelah makan bersama selesai kemudian tuan rumah membagikan nasi
kolong yang sudah dibungkus untuk dibawa pulang oleh tamu yang
menghadiri upacara ruwatan.
Kemudian anak lelaki yang akan dikhitan diberi jamu yang hangat
kemudian dipijat dengan dukun pijat dan kemudian tubuhnya dibaluri dengan
bedak kuning. Setelah itu barulah berangkat menuju mantra untuk disunat
dengan teman-teman yang mengiringinya di mobil pick up untuk meramaikan
suasana. Setelah anak dikhitan dan sampai rumah. Saya selaku orang tuanya
menyebarkan uang recehan atau logaman dan ini bermakna untuk sebagai
sarana bersyukur karena acaranya telah berjalan lancar dan menjadi pelajaran
buat anak-anak agar rela berbagi kepada orag lain supaya nanti kalau dewasa
mereka menjadi anak yang mau berbagi kepada sesama.
96
HASIL WAWANCARA
USTADZ MUTOYO
TOKOH AGAMA
1. Apa makna selametan bagi masyarakat Sidomukti?
Khitan atau sunatan menurut masyarakat Desa Sidomukti merupakan
ajaran Islam yang sudah menjadi budaya mereka sendiri dan sebuah proses
pendewasaan diri bagi si anak. Jika anak sudah dikhitan maka ia akan
menjadi anak yang lebih bertanggung jawab, dewasa, mandiri, dan disiplin
serta sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sejak
awal mereka memang sudah mengakui bahwa khitan adalah bagian dari
ajaran agama yang menjadi budaya mereka. Akan tetapi di dalam upacara
khitan ini tidak hanya unsur Islam yang terdapat didalamnya. Di dalam
upacara ini masih terdapat pengaruh kepercayaan masyarakat Jawa sebelum
mereka mengenal Islam.
2. Apakah khitan bagian ajaran agama atau budaya?
Khitan merupakan bagian ajaran agama yang menjadi bagian dari
budaya masyarakat. Dalam tradisi khitan ini masih terdapat budaya Jawa
yang menjadi bagian didalamnya.
3. Apa tujuan dari tradisi khitan?
Tujuannya menjadikan anak yang lebih bertanggung jawab, dewasa,
mandiri, dan disiplin serta sudah dapat membedakan mana yang baik dan
mana yang buruk. Selain dari itu, khitan juga bertujuan baik untuk kesehatan
karena dapat menghindarkan dari berbagai macam penyakit.
4. Apakah khitan perempuan sama dengan khitan laki-laki?
Tidak sama antara khitan perempuan dengan laki-laki dari segi
pemotongannya. Namun, masyarakat Desa Sidomukti ini tidak melaksanakan
khitan perempuan yang ada hanyalah khitan yang dilaksanakan pada anak
laki-laki.
97
5. Andai kata tidak menggunakan adat, apakah khitan dianggap sah?
Sah-sah saja karena hal-hal seperti itu hanyalah bagian dari budaya dan
tidak wajib dilaksanakan. Hanya saja masyarakat yang tidak melaksanakan
adat seperti merasa ada sesuatu yang kurang dalam acaranya.
98
Lampiran 4: Foto Hasil Kegiatan
Foto Peta Desa Sidomukti Kecamatan Karanganyar Kabupaten Pekalongan
Foto Pendopo Ki Gede Jurang Mangu
99
Foto Jenis Sesaji yang Sering Digunakan Masyarakat Sidomukti
100
Foto Prosesi Pembuatan Macam-macam Bubur
Foto Aneka Macam Sesaji yang Diletakkan di Ruangan Pojok Kamar
101
Foto Nasi Kolong
Foto Beras yang akan Diletakkan di Kendi dengan Jamu Wat-wat
102
Foto Lawang-lawang
Foto Prosesi Pembakaran Menyan
103
Foto Prosesi Pembacaan Do‟a Nasi Kolong
Foto Prosesi Meruwat
104
Foto Prosesi Dalang Menceritakan Lakon Wayang
Foto Prosesi Pembacaan Do‟a untuk Anak yang Diruwat
105
Foto Selametan yang Kedua Ketika Anak akan Dikhitan
Foto Anak Usai Dikhitan
106
Foto Wawancara dengan Kepala Desa
Foto Usai Wawancara dengan Mbah Sejo