Akulturasi budaya masa Islam di Indonesia.doc

21
SENI BUDAYA LOKAL SEBAGAI BAGIAN DARI TRADISI ISLAM 1. Seni Bangunan Masjid 1) Bentuk Bangunan Kebanyakan masjid di Indonesia terutama di Jawa berbentuk seperti pendopo yang berbentuk bujur sangkar. Selain itu atap masjid berbentuk tumpang. Ini merupakan perpaduan dengan Hindu dimana tumpang dalam agama Hindu menghiasi pura. Atap ini sangat berbeda dengan atap-atap masjid di Timur Tengah sebagai asal Islam. Akan tetapi dalam Idlam tidak ada aturan khusus dalam masalah atap masjid, yang

Transcript of Akulturasi budaya masa Islam di Indonesia.doc

SENI BUDAYA LOKAL SEBAGAI

BAGIAN DARI TRADISI ISLAM

 

1. Seni Bangunan

Masjid

1)    Bentuk Bangunan

Kebanyakan masjid di Indonesia terutama di Jawa berbentuk seperti pendopo yang

berbentuk bujur sangkar. Selain itu atap masjid berbentuk tumpang. Ini merupakan

perpaduan dengan Hindu dimana tumpang dalam agama Hindu menghiasi pura. Atap ini

sangat berbeda dengan atap-atap masjid di Timur Tengah sebagai asal Islam. Akan

tetapi dalam Idlam tidak ada aturan khusus dalam masalah atap masjid, yang terpenting

dapat dijadikan sebagai tempat sholat. Atap ini juga selalu ganjil, yaitu 3 atau 5

2)    Manara

Menara berfungsi sebagai tempat untuk menyerukan azan. Menara merupakan salah

satu kelengkapan masjid. Akan tetapi di Indonesia hanya masjidKudus dan banten saja

yang memiliki menara. Menara msjid Kudus terbuat dari terakota yang tersusun seperti

candi sedangkan di Banten bentuk menara yang lebih menyerupai mercusuar Eropa.

3)    Letak Masjid

Selain bentuk masjid dan menara, letak masjid juga memiliki keunikan. Penemptan

masjid di Indonesia terutama masjid jami’ letaknya sesuai dengan tata letak macapat,

yaitu masjid diletakkan disebelah barat alun-alun dekat dengan istana (keraton) yang

emrupakan symbol tempat bersatunya rakyat dengan rajanya. Sebenarnya penempatan

majid dalam Islam tidak diatur secara khusus. Selain itu penempatan masjid diletakkan

dekat dengan makam. Letak yang seperti ini terutama untuk makam raja-raja.

Contoh masjid kuno lain Masjid Agung Demak, Masjid Gunung Jati (Cirebon), Masjid

Kudus dan sebagainya.

Makam

Selain bangunan masjid sebagai wujud akulturasi kebudyaan Islam, juga terlihat pada

bangunan makam. Untuk itu silahkan Anda simak gambar 1.2 makam Sendang Duwur

berikut ini.

Yang berciri-ciri dari wujud akulturasi pada bangunan makam terlihat dari:

1. Makam-makam kuno dibangun di atas bukit atau tempat-tempat yang keramat.

2. Makamnya terbuat dari bangunan batu yang disebut dengan Jirat atau Kijing,

nisannya juga terbuat dari batu.

3. Di atas jirat biasanya didirikan rumah tersendiri yang disebut dengan cungkup

atau kubba.

4. Dilengkapi dengan tembok atau gapura yang menghubungkan antara makam

dengan makam atau kelompok-kelompok makam. Bentuk gapura tersebut ada

yang berbentuk kori agung (beratap dan berpintu) dan ada yang berbentuk candi

bentar (tidak beratap dan tidak berpintu).

5. Di dekat makam biasanya dibangun masjid, maka disebut masjid makam dan

biasanya makam tersebut adalah makam para wali atau raja.

1. 3.     Seni Ukir

Dalam agama Islam ada larangan untuk melukiskan makhluk hidup terutama manusia.

Seni pahat di Indonesia sangat berkembang pesat pada zaman purba, akan tetapi masuk

zaman madya (Islam), seni ini tidak berkembang lagi. Maka dari itu, pada zaman ini

kepandaian memahat hanya terbatas pada seni ukir saja. Seni ukir pun sudah

disamarkan sehingga tidak lagi menyerupai makhluk hidup. Banyak pola-pola yang

diambil dari zaman purba, yaitu pola daun-daunan, bunga-bungaan, bukit karang,

pemandangan dan garis-garis geometri. Huruf-huruf Arab juga ikut meramaikan tradisi

ukir yang masuk ke dalam pola. Pola-pola ini sering sekali digunakan untuk

menyamarkan lukisan makhluk hidup. Ukiran-ukiran biasannya menghiasi makam-

makam, sedangkan pada masjid hanya tedapat di mimbarnya saja. Ukir-ukiran di

makam dapat ditemui pada jirat, gapura dan cungkup. Di Indonesia ada masjid yang

memiliki ukiran samar dari zaman madya, yaitu masjid mantingan di Jepara.

Istana

Bangunan istana arsitektur yang dibangun pada awal perkembangan Islam, juga

memperlihatkan adanya unsur akulturasi dari segi arsitektur ataupun ragam hias,

maupun dari seni patungnya contohnya istana Kasultanan Yogyakarta dilengkapi

dengan patung penjaga Dwarapala (Hindu).

Demikianlah contoh wujud akulturasi pada seni bangunan untuk selanjutnya simak

contoh wujud akulturasi yang berikutnya.

Seni Rupa

Tradisi Islam tidak menggambarkan bentuk manusia atau hewan. Seni ukir relief yang

menghias Masjid, makam Islam berupa suluran tumbuh-tumbuhan namun terjadi pula

Sinkretisme (hasil perpaduan dua aliran seni logam), agar didapat keserasian, misalnya

ragam hias pada gambar 1.3. ditengah ragam hias suluran terdapat bentuk kera yang

distilir.

Ukiran ataupun hiasan seperti pada gambar 1.3., selain ditemukan di masjid juga

ditemukan pada gapura-gapura atau pada pintu dan tiang. Untuk hiasan pada gapura

dapat Anda simak kembali gambar 1.2.

Kesusasteraan

kesusasteraan zaman madya berkembang di daerah selat Malaka, akan tetapi

perkembangnya tidak sebesar kesusasteraan zaman purba (Hindu-Budha). Hal ini

dikarenakan tidak ada tempat khusus untuk melestarukannya seperti kesusasteraan

purba yang masih tersimpan rapi di Bali. Kesusasteraan zaman madya yang ada saat ini

sebagaian besar merupakan hasil gubahan baru. Hal ini menyebabkan kesusasteraan

zaman madya sulit diturutkan kepada perjalanan sejarah sehingga hanya dapat dibagi-

bagi menurut golongannya saja. Walaupun demikian pembagian tersebut tidak dapat

dilakukan secara tegas krena suatu naskah dapat masuk dalam 2 golongan.

Kesusasteraan zaman madya tidak terlepas dari pengaruh Hindu-Budha. Bahan-bahan

dari kesusasteraan zaman purba merupakan kelanjutan sastra purba terutama di Jawa.

Banyak gubahan-gubahan sastra purba berkembang di zaman madya. Gubahan-gubahan

sastra ini biasanya ditulis dalam bentuk gancaran dan tembang. Cerita-cerita yangditulis

dalam bentuk gancaran disebut hikayat, sedangkan yang ditulis dalam tembang disebut

syair. Di daerah Melayu karya sastra banyak yang ditulis dengan menggunakan huruf

Arab, sedangkan di Jawa ditulis dalam huruf Jawa walaupun ada juga yang

menggunakan huruf Arab terutama yang berkaitan dengan soal-soal keagamaan.

Kesusasteraan zaman madya berdasarkan sifatnya dapat dibagi menjadi :

a)      Hikayat

Hikayat merupakan cerita atau dongeng yang biasanya penuh dengan krajaiban dan

kenehan. Tidak jarang pula hikayat berpangkal pada tokoh-tokoh sejarah dan peristiwa-

peristiwa yang benar-benar terjadi.

Contoh : hikayat Raja-Raja pasai, Hikalyat Salasih, Hikayat Perak, Hikayat si MIskin,

Hikayat Hang Tuah.

b)      Babad

Babad merupakan dongeng yang sengaja diubah sebagai cerita sejarah. Dalam babad

tokoh, tempat dan peristiwa hamper semuanya ada dalam sejarah, tetapi

penggambarannya dilakukan secara berlebihan.

Contoh : babad Tanah Jawi, babad Cirebon, Babad Giyanti, Babad Pakepung.

c)      Suluk

suluk merupakan kitab-kitab yang menguraikan soal tasawuf. Kitab suluk sangat

menarik karena sifatny pantheisme, yang menjelaskan tentang bersatuinya manusia

dengan Tuhan (Manunggaling Kawulo lan Gusti). Beberpa pujangga yang menulis

suluk diantaranya adalah Ronggoearsito, Hamzah Fansuri, Sunan Bonang dan Syaekh

Yusuf.

d)     Kitab primbon

Kitab primbon memiliki kedekatan dengan suluk. Primbon menerangkan tentang

kegaiban. Berisi ramalan-ramalan, penentuan hari baik dan buruk, dan pemberian

makna pada suatu kejadian.

Contoh : Kitab primbon Bataljemur Adammakna, kitab primbon Lukman Hakim.

SENI BUDAYA LOKAL SEBAGAI BAGIAN DARI

TRADISI ISLAM

Kesenian

Di beberapa tempat di Indonesia terdapat bentuk-bentuk tarian yang berkaiatn dengan

bacaan sholawat dan dalam tarian biasanya dipengaruhi oleh tasawuf (paham sufi).

1. Debus

kesenian Debus erat kaitannya dengan penyebaran agama Islam di Indonesia. Debus

merupakan kesenian bela diri guna memupuk rasa percaya diri. Debus berasal dari kata

gedebus (almadad). Filosofi dari debus ini adalah kepasrahan kepada pencipta yang

menyebabkan mereka memiliki kekuatan untuk menghadapi bahaya. Tari debus ini

dimulai dengan menyanyikan sholawat yang kemudian diteruskan dengan menusukkan

benda tajam ketubuh penari, dan penari tersebut tidak terluka sedikitpun. Tari Debus ini

berkembang di Banten, Minangkabau dan Aceh.

1. Tari Seudati

Tari Seudati merupakan jenis tarian yang berasal dari aceh. Tarian ini sering disebut tari

Saman. Seudati berasal dari kata Syaidati yang berarti permaianan orang-orang besar.

Disebut sebagai tari saman karena mula-mula permainan ini dimainkan oleh delapan

orang. Dalam tari Seudati para pnari menyanyikan lagu tertentu yang berupa sholawat.

1. Gamelan/ Wayang

Wayang dan alat musiknya sering disebut senbagai gamelan. Wayang merupakan

kebudayaan asli Indonesia. Dengan masuknya Islam wayang beserta alat musiknya

tidaklah musnah begitu saja, justru tetap dilestarikan. Banyak cerita-cerita yang digubah

dan dimainkan menggunakan gamelan, begitu juga dalam Islam, untuk memudahkan

penyebarannya cerita-cerita Hindu Budha dirubah dalam cerita Islam. Kalimasada

merupakan sesuatu yang telah mewarnai dunia pewayangan. Wali Sanga sebagai

pnyebar agama di Jawa juga menggunakan media wayang dalam penyebaran Islam.

Aksara

Dengan masuknya Islam, dalam bidang aksara juga ikut terpengaruhi. Huruf yang

berkembang adalah huruf Hijriah (aksara Arab). Di Indonesia huruf Arab tersebut

diolah menjadi lebih sederhana menjadi huruf Arab yang dipakaidi daerah-daerah

dengan percampuran menggunakan bahasa daerah setempat. Bunyi dari tulisan

menggunakan bahasa setempat (Aceh, Melayu, Sunda dan Jawa), tetapi akasaranya

mengunakan aksara Arab. Secara keseluruhan tulisan yang demikian disebut dengan

Arab Gundul atau Arab Gondil. Sedangkan di Jawa dan Sunda disebut Arab Pegon.

Sampai saat ini huruf Arab Pegon masih digunakan oleh sebagain masyarakat di

Indonesia. Masyarakat penggunanya terutama berasal dari daerah pesisir dan kalangan

pesantren-pesantren tradisional. Penggunaan huruf atau bahasa Pegon itu misalnya saja

dalam kitab-kitab keagamaan dan matra-mantra.

Sistem Kalender

Sebelum budaya Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah mengenal

Kalender Saka (kalender Hindu) yang dimulai tahun 78M. Dalam kalender Saka ini

ditemukan nama-nama pasaran hari seperti legi, pahing, pon, wage dan kliwon. Setelah

berkembangnya Islam Sultan Agung dari Mataram menciptakan kalender Jawa, dengan

menggunakan perhitungan peredaran bulan (komariah) seperti tahun Hijriah (Islam).

Pada kalender Jawa, Sultan Agung melakukan perubahan pada nama-nama bulan seperti

Muharram diganti dengan Syuro, Ramadhan diganti dengan Pasa. Sedangkan nama-

nama hari tetap menggunakan hari-hari sesuai dengan bahasa Arab. Dan bahkan hari

pasaran pada kalender saka juga dipergunakan. Kalender Sultan Agung tersebut dimulai

tanggal 1 Syuro 1555 Jawa, atau tepatnya 1 Muharram 1053 H yang bertepatan tanggal

8 Agustus 1633 M.

Akulturasi Bentuk Non-Fisik

Sistem Pemerintahan

Dalam pemerintahan juga terdapat akulturasi antara kebudayaaan Islam dan kebudayaan

pra Islam. Bentuk akulturasi tersebut terlihat dalam penyebutan nama raja dan system

pengangkatan raja.

1. Penyebutan nama raja

Masuknya Islam menimbulkan perubahan dalam penyebutan raja. Penguasa suati negeri

pada masa pra Islam disebut sebagai raja, akan tetapi dengan masuknya Islam dipanggil

sultan, sunan, susuhunan, panembahan dan maulana. Nama raja juga disesuaikan

dengan nama Islam (Arab). Akan tetapi di Jwa masih digunakan nama Jawa. Selain itu

muncul suatu tradisi baru, yaitu pemakaian nama dan gelar raja secara berturut-turut.

Untuk membedakan antara raja maka dibelakang nama ditambah dengan angka urutan,

misalnya Hamengku Buwono I,II,III dst.

1. Sistem pengangkatan raja

Walaupun Islam telah masuk, akan tetapi dalam pengangkatan seorang raja cara lama

tidak ditinggalkan. Sebagai contohnya adalah di Kesultanan Aceh. Di Kesultanan Aceh

pengangkatan raja diatur dalam permufakatan dengan hokum adapt. Tata caranya adalah

berdiri di atas tabal, kemudian disertai ulama sambil membawa al-Quran berdiri di

sebelah kanan, sedangkan perdana menteri dengan membawa peadang berdiri di sebelah

kiri. Hal ini hamper sama dengan di Jwa, system pengangkatan raja berdasarkan

permufakatan yang tidak melepaskan perabnan wali, hanya saja tidak menggunakan

rangkaian acara seperti berdiri di atas tabal.

1. Kedudukan Raja

Pada masa Hindu Budha raja merupakan tokoh yang identik dengan dewa, sehingga

melekatlah kata-kata “kultus dewa raja”. Pada zaman Islam kutus dewa raja tidak

berlaku lagi. Hal ini dikarenakan ajaran Islam menolak bahawa manusia sama dengan

Tuhan. Ajaran Islam menempatakan raja dalam kedudukan yang tidak semulia dan

seagung zaman Hindu Budha, melainkan sebagai kalipatullah (wali Tuhan di dunia).

Penghapusan kultus dewa raja tidaklah mengurangi tuntutan pokok, yaitu kekuasaan

raja mutlak terhadap atas seluruh rakyat. Sultan sebagai tokoh yang menguasai rakyat

dan dapat menghubungkan dengan alam gaib. Manusia yang dijadikan wakil akan

mendapat tanda-tanda khusus dari Tuhan dalam bentuk perlambang. Seorang raja harus

memiliki legitimasi dari Tuhan. Bentuk legitimasi di Jawa disebut dengan pulung atau

wahyu (cahaya nurbuat). Karena raj menduduki posisi sentral makan seluruh aparat

pemerintahan merupakan perpanjangan kekuasaan raja.

Filsafat / Tasawuf

Filsafat dapat diartikan sebgai pikiran untuk mencari kebenaran yang hakiki. Orang

Islam kemudian merumuskan kebenaran melalui pendektan tasawuf. Tasawuf dalam

perekembangan gama Islam adalah perlajaran yang berisi soal-soal ketuhanan, berkaitan

dengan hasrat manusia yang didorong oleh rasa cinta terhadap Tuhan sehingga mereka

selalu berusaha mendekati-Nya, yaitu dengan mencari hungan langsung melalui jalan-

jalan suci.

Bentuk-bentuk akulturasi dalam bidang Tasawuf yaitu ;

1. Aliran kebatinan

Usaha-usaha untuk mendekatkan diri dengan Tuhan ini disebut dengan Manunggaling

Kawula lan Gusti. Contohnya adalah tokoh sufi Syeh Siti Jenar. Ajaran-ajaranSyeh Siti

Jenar banyak diwarnai oleh unsure-unsur budaya pra Islam. Ajaran yang disampaikan

ditolak oleh para wali yang lain karena dianggap menyesatkan ajaran Islam.

1. Charisma wali

Wali sebagai penyebar agam Islam memiliki kelebihan-kelebihan hkarisma yang luar

biasa yang oleh masyarakat disebut sebagai kesaktian. Kelebihan para wali dalam

mengajarkan tasawuf merupakan daya tarik tersendiri bagi keberhasilan penyebaran

agama Islam di Indonesia.

Upacara-Upacara

 Pernikahan

Pernikahan merupakan salah satu contoh institusi social yang terdapat dalam

masyarakat. Secara garis besar perniakahan diberbagai daerah di Indonesia sama, yaitu

adanya akad nikah dan walimahan (pesta).dalam perniakahan juga telah berakulturasi

dengan kebudayaan pra Islam. Di dalam ajaran Islam pernikahan selalu dipanjatkan

doa-doa yang menggunakan bahasa Arab. Walaupun demikian, atar daerah mempunyai

tradisi yang berbeda-beda dalam prosesi pernikahan. Misalnya saja di Sumatra, tradisi

tersebut diantaranya adalah diadakannya selamatan dengan berbagai macam sajian

makanan sebagai ungkapan syuikur kepada Allah. Pesta ini melibatkan dua kelompok,

yaitu pembaca doa dan pembaca Al-Quran. Dalam tradisi ini juga memadukan unsure-

unsur adapt, seperti perlambang dan kiasan dalam makanan yang disajikan. Selain itu

ada pula tradisi yang mengharuskan seorang wanita memegang daun berisi beras dalam

pernikanan . Daun berisi beras merupakan perlambang unsure alam. Tujuan ini

meruapkan persiapam dari proses kelahiran seorang anak.

Pernikahan juga terakulturasikan dalam budaya Jawa. Seangai pelengkap prosesi

pernikahan adapt Jawa diadakan siraman, selamatan, sesaji dan benda-benda

perlambang yang harus diikutkan dalam prosesi upacara perniakahan. Sebenarnya

selamatan dan sesaji merupakan warisan tradisi Hindu Budha yang masih berkembang

dalam masyarakat samapi saat ini. Selain itu dalam pakaian pengantinpun juga

mendapatkan akutasi dua budaya, antara Islam dan pra Islam. Akulturasi dalam

perniakhan tidak hany terjadi di Sumatra dan Jawa saja, akan tetapi juga terjadi di

berbagai daewrah di Indonesia yang tentunya memiliki tradisi yang berbeda-beda.

Kelahiran

Dengan masuknya budaya Islam ternyata juga berpengaruh pada proses kelahiran

seorang bayi. Sebagai contohnya kelahiran di Aceh terutama di daerah Gayo. Tradisi

menuju proses kelahiran dimulai sejak pernikahan, dimana seorang wanita harus

memegang daun berisi beras. Daun berisi beras merupakan perlambang unsure alam.

Maksud dari tradisi tersebut yaitu, ketika seorang ibu nantinya mengandung dan

melahirkan anak, maka secara tidak langsung telah memperkenalkan anak terhadap

dunia luar dan memohon keselamatan dari berbagai bahaya yang mungkin dating.

Sedangkan di Jawa, prosesi kelahiran dimulai dengan upacara mitoni. Upacara ini

dilakukan pada saat usia kandungan 7 bulan. Dalam upacara tersebut calon ibu

melakukan siraman untuk melindungi bayi dan ibunya dari bahaya. Sedangkan dalam

Islam, roh kehidupan masuk kedalam janin pada sat usia kandungan sekitar 4 bulan.

Akulturasi diantara keduanya terlihat dalam doa-doa yang dibacakan. Setelah bayi lahir,

masyarakat jawa baiasanya melakukan sepasaran dan selapanan.

Upacara ini dilakukan ketika bayi berumur sepasar (5 hari) dan selapanan (35 hari). Dan

sebagai ungkapan syukur atas kelahiran bayi, maka diadakan selamtan dengan

melakukan pembagian sedekah berupa nsi tumpeng dengan urapan sayuran. Selain itu

dikenal pula tradisi aqiqa. Tradisi ini bersumber pada ajaran Nabi Muhammad SAW

untuk menyembelih domba bagi anak yang baru lahir. Aqiqa dialksanakan ketika bayi

berusia 7 hari. Akan tetapi dengan adanya akulturasi tardisi aqiqa dalam pelaksanaannya

dilakukan bersaman dengan sepasaran dan selapanan. Hal ini berbeda dengan tradisi di

Sualwesi. Pada acara aqiqa dialnjutkan dengan upacara pemotongan rambut. Akuturasi

kelahiran sama halnya dengan pernikahan, yaitu setiap daerah memiliki tradisi yang

berbeda-beda yang telah tecapur dengan tradisi Islam.

Pemakaman / Kematian

Pemakaman dalam Islam tidak serumit tata upacara pemakaman di Indonesia. Di

Indonesia setelah jenazah dikuburkan maka akan diadakan selamtan. Selamatan dimulai

dengan hitungan hari ke-3, hari ke-7, hari ke-40, hari ke-100 dan hari ke-1000.

Selamtan hari ke-1000 (3 tahun) dinggap sebgai selmtan penutupan dan bebaslah

keluarga yang ditinggalkan. Tradisi ini sesungguhnya dari Hindu, yang masih dipegang

teguh dan dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia. Selamatan di hari ke-1000 sama

denagn upacara srada dalam agama Hindu. Akulturasi yang lain adalah kebiasaan

memasukkan jenasah dalam peti. Kebiasaan ini merupakan warisan zaman megalitikum,

yaitu kubur batui dan sarkofagus yang masih hidup sampai saat ini.

Sekaten

Di Jawa ada pula grebeg mauled Nabi dalam rangka memperingati hari kelahiran nabi.

Dalam acara tersebut dilantunkan nyanyian-nyanyianh, pji-pujian yang ditujuakan

kepada nabi Muhammad SAW. Selain itu dilakukan pula berbagai kegiatan yang

mengiringinya. Misalnya saja di Yogyakarta ditambahi dengan pertunjukan gamelan

dan pencucian benda-benda pusaka, ada pula acara gunungan, yaiatu membawa

makanan berbentuk gunug dalam tanpah besar dari alun-alun menuju masjid.

Sedangkan di Cirebon cara Maulud dilengkapi dengan upacara pembagian nasi yang

dibuat dari berswa yang ditumbuk, tetapi dikupas satu persatu sebanyak satu periuk

yang dimasak khusus.

Selamatan

Upacara selamatan dalam bentuik kenduri dilakukan masyrakat Jawa pada waktu

tertentu. Mislanya knduri pada tanggal 10 Muharram, Maulud nabi, Ruwahan (Nyadran)

dan pada hari Raya Idul Fitri. Kenduri/ selamtan dilakukan dengan beberapa anggota

masyarakat yang berkumpul  sambil mengitari berbagai jenis makanan dan saji-sajian.

Pada waktu itu dibacakan doa menurut ajaran Islam oleh seorang modin kaum.

Sedangkan kenduri dan perelengkapan yang menyertainya bukan merupakan budaya

Islam.

Sistem Keagamaan

Proses akuturasi antara agama dan budaya Islam dan Pra Islam mengembangkan corak

kehidupan keagamaan yang khas.misalnya saja tradisi pemakaman dengan segala atribut

yang serba menonjol yang sebenarnya tidak ada dalam ajaran Islam. Islam juga tidak

mengenal kegiatan perkabungan dalam bentuk persedekahan. Diluar kewajiban untuk

memperlakukan jenasah, mulai dari memandikan samapai dengan upacara pemakaman,

tidak dikenal peringatan kematian.

Selain itu ada pula kebaisaan yang telah mendapat akulturasi, yaitu kebiasaan menabuh

bedug menjelang hari Raya sebagai tanda bahwa Hari Raya Idul Fitri telah dating.

Memukul bedug merupakan kebiasaan zaman dahulu, karena nenek moyang kita telah

memiliki kebiasaan memukul suatu media untuk memanggil atau mengumpulkan orang,

baik dalam keadaan bahaya maupun upacara-upacara keagamaan.

Ada pula kebiasaan yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam, yaitu wektu telu di

lombok. Mereka melaksanakan sholat tidak seperti orang muslim lainnya yaitu sholat 5

waktu, tetapi mereka melakukan sholat tiga waktu. Wektu telu ini merupakan Islam

ortodoks yantg telah bercampur dengan budaya kejawen dan hindu Bali. Olah karena itu

wektu telu dapat dipandang sebagai sekte yang berpegang pada kebiasaan tradisional

(adat) dan syariah.