Post on 31-Dec-2016
ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH (Studi Pada Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang), Skripsi. Jakarta : Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Juni 2010. Pembimbing : Dr. H. A. Ilyas Ismail, MA
Wayang adalah salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.
Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi moderen yang semakin pesat, seringkali kita mendengar tentang gejala dehumanisasi, adalah kemrosotan nilai-nilai kemanusiaan dan lain sebagainya. Dengan kemajuan-kemajuan yang di capai itu manusia kurang mampu mengendalikan diri, sehingga kehidupan manusia tidak seimbang baik kehidupan jasmani dan rohaninya.
Dalam skripsi ini, berdasarkan latar belakang di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apa bahasa dan nilai-nilai dakwah dalam pementasan wayang kulit dalang Ki Sudardi di desa Pringapus Semarang ?Bagaimana teknik penyampaian pesan-pesan dakwah dalam pementasan wayang kulit dalang Ki Sudardi di desa Pringapus Semarang ?
Penulisan dalam skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif diskriftif dengan metode deskriptif anlisis. Penulis akan menggambarkan dan menguraikan secara factual apa yang dilihat dan ditemukan dari objek penelitian ini. Penulis berupaya untuk meghimpun, mengolah, dan menganalisa secara kulaitatif, dan diwujudkan dalam konsep. Sedangkan data yang penulis peroleh dengan cara, observasi, wawancara, study dokumentasi,
Pendekatan dakwah melalui media wayang kulit sebagai hasil dari kebudayaan Mempunyai beberapa kelebihan yang langsung bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Indonesia sampai saat ini. Pertama, kebudayaan wayang kulit sudah mendarah daging pada masyarakat khusunya masyarakat jawa tengah. kedua, pementasan atau pertunjukan wayang kulit selalu menyampaikan nilai-nilai yang sedikit banyaknya akan membawa pengaruh bagi para penggemarnya. ketiga, media wayang kulit dalam pementasannya banyak mengandung falsafah kehidupan dan tata nilai yang luhur, pada masyarakat jawa khususnya yang berada di pringapus semarang yang masih menggunakan wayang kulit sebagait media dakwah.
Lampiran-lampiran
WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA
DAKWAH
(Studi Pada Wayang Kulit Dalang Ki
Sudardi di Desa Pringapus Semarang)
59
WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH
(Studi Pada Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus
Semarang)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk memenuhi syarat-syarat untuk mencapai
Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Islam (S. Kom. I)
Oleh :
Yogyasmara. P. Ardhi
NIM: 106051001901
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010 / 1431 H
WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH
(Studi Pada Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk memenuhi syarat-syarat untuk mencapai
Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Islam (S. Kom. I)
Disusun Oleh:
Yogyasmara. P. Ardhi
NIM: 106051001901
Di Bawah Bimbingan:
Dr. H. A. Ilyas Ismail, MA
NIP: 19630405 199403 1 001
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010 / 1431 H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi ini berjudul WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH
(Studi Pada Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang) telah
diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Negeri Jakarta (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal
14 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I), Pada Jurusan
Komunikasi dan Penyiaran Islam.
Jakarta 22 Juni 2010
Ketua Merangkap Anggota Sekertaris Merangkap Anggota
Dr. H. Arief Subhan, MA Dra. Hj. Musfirah Nurlaily,MA NIP : 19660110 199303 1 004 NIP : 19671126 199603 2 001
Anggota
Penguji I Penguji II DR. Hj. Roudhonah, MA Drs. M. Sungaidi, MA NIP : 19580910 198703 2 001 NIP : 19600803 199603 2 001
Pembimbing
Dr. H. A. Ilyas Ismail, MA NIP: 19630405 199403 1 001
LEMBAR PERNYATAAN
Assalamualaikum, Wr. Wb
Saya penulis skripsi ini dengan judul “WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA
DAKWAH (Studi Pada Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus
Semarang), dengan ini menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini adalah benar-benar murni hasil karya penulis sendiri, tanpa
adanya duplikasi dari hasil karya orang lain.
2. Adapun apabila penulis mengutip tulisan dan karya ilmiah orang lain,
penulis telah menyantukan dalam bentu refrensi, baik footnote ataupun
daftar pustaka.
3. Apabila di kemudian hari terjadi hal-hal yang merugikan orang lain, atau
terbukti penulis menduplikasi karya orang lain, penulis siap menerima
konsekwensi dan saksi akademis yang berlaku di UIN Syarif Hiayatullah
Jakarta ini.
Demikian lembar pernyataan ini di buat, harap dipergunakan sebagaimana
mestinya. Terimakasih
Wassalamualaikum, Wr, Wb
Jakarta, 22 Juni 2010
Penulis,
Yogyasmara. P. Ardhi
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadiran Dzat yang paling
agung Allah SWT, yang dengan Rahmat dan Rahiem-Nya lah penulis dapat
memulai dan menyelesaikan penyusunan dan penulisan skripsi ini. Shalawat serta
salam semoga senantiasa terlimpah dan mencurahkan kepada junjungan alam
baginda Nabi Besar Muhammad SAW, keluargnya, serta kita umatnya yang setia
yang sampai hari pembalasan nanti. Amien
Dari lubuk hati yang paling terdalam, penulis sadar betul bahwa dibalik
keberhasilan penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, selaku Rektor Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Bapak DR. Arief Subhan,
MA, serta para pembantu Dekan I bapak Drs. Wahidin Saputra, MA,
pembantu Dekan II bapak Drs. H. Mahmud Jalal, MA, dan pembantu
Dekan III bapak Drs. Studi Rizal LK, MA.
3. Bapak Drs. Jumroni, M.Si dan Ibu Umi Musyarrofah, MA selaku ketua
dan Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas
Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Dr. H. A. Ilyas Ismail, MA selaku pembimbing skripsi yang
telah banyak meluangkan waktu untuk membantu, mengarahkan,
membimbing, memberikan masukan, saran serta kritik yang
i
membangun dalam penyelesaian skripsi ini. Terimakasih atas bantuan
dan kesabaran bapak dalam memberikan bimbingan selama ini.
5. Bapak H. Sudardi, selaku dalang dalam perkumpulan seni wayang
kulit Smarangan, yang telah meluangkan waktunya dan memberikan
data-data dalam pembuatan skripsi ini.
6. Pimpinan serta staf perpustakaan Fakultas Dakwah dan Komunikasi
serta Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Segenap dosen Fakultas Imu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah ikhlas
memberikan ilmu dan pengetahuan selama peneliti melakukan riset,
terimakasih atas semua petunjuk atas bantuannya.
8. Bapak Dr. H. Arief Subhan, MA selaku Ketua Sidang, Dra. Hj.
Musfirah Nurlaily, MA selaku Sekertaris, Dr. Hj. Roudhonah, MA
selaku Penguji I, Drs. Sungaidi, MA selaku Penguji II, Dr. H. A. Ilyas
Ismail, MA selaku Pembimbing, di dalam Sidang Munaqosyah pada
hari Senin 14 Juni 2010.
9. Teristimewa untuk Bapak Muslimin dan Ibu Sri Purwati selaku orang
tuaku yang aku cintai, adik-adikku Wawan, dan si kembar Rina-Rini
yang aku sayangi, serta Amelia yang selalu di hatiku dan menemani ku
di saat senang ataupun susah, engkau motivasi dalam hidupku, serta
seluruh keluargaku yang aku hormati.
Dengan penuh ketulusan dan kekurangan yang penulis miliki, penulis
haturkan penghargaan dan bakti yang sedalam-delamnya, dan semoga
ii
iii
Allah SWT senantiasa menaungi mereka semua dengan keselamatan,
rahmat, dan kebahagiaan baik di dunia maupun di akherat. Amien
10. Teman-temanku KPI D angkatan 2006. bersama merekalah penulis
menimba ilmu di Universitas ini dengan segala duka maupun duka
yang kami tempuh, sukses untuk kita semua. Amien
11. Sahabat setiaku baik suka ataupun duka Robby Auliya, Syafrian Akbar
tanpa dukungan kalian aku tak tau jadi apa, terimakasih banyak. Kita
selalu berjuang bersama untuk cita-cita kita, sekali lagi terimakasih
hidup trio K.
12. Untuk teman-teman perjuangan yang juga tidak dapat kusebut
namanya satu persatu, baik di kampus ataupun di rumah. Terimakasih
untuk teman-teman yang selalu menyemangati dan memberi warna di
dalam hidupku ini.
Akhirnya , dengan mengharap ridho Allah swt, peneliti persembahkan
karya tulis ini pada almamater tercinta dan mereka yang konsen pada kajian
dakwah komunikasi. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan menjadi
penambah wacana keilmuan dakwah. Penulis mohon do’a dan restu, agar ilmu
yang diperoleh bermanfaat dan menuai keberkahan bagi kehidupan pribadi,
keluarga, masyarakat agama, serta bangsa dan Negara ini. Amin.
Jakarta, Juni 2010
Penulis
1
Nomor : Istimewa Jakarta, 7 April 2010 Lampiran : 1 berkas Perihal : Pengajuan Judul Skripsi Kepada Yang Terhormat: Ketua Dewan Pertimbangan Skripsi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Di Tempat Assalamu’alaaikum Wr.Wb Salam sejahtera saya sampaikan, semoga bapak/ibu senantiasa dalam lindungan Allah SWT, serta selalu sukses dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Selanjutnya saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Yogyasmara. P. Ardhi NIM : 106051001901 Semester : VIII Fakultas/Jurusan : Dakwah dan Komunikasi/KPI Bermaksud mengajukan judul skripsi yang berjudul ”WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH (Studi Pada Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang)”, proposal skripsi selanjutnya diharapkan dapat diteruskan sebagai syarat mendapatkan gelar S.Sos.I dalam jenjang strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan ini saya lampirkan:
1. Outline 2. Proposal Skripsi 3. Daftar Pustaka Sementara
Demikian surat permohonan ini saya sampaikan, atas segala perhatian saya ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr.Wb Mengetahui, Penasehat Akademik Pemohon Drs. H. Mahmud Djalal, MA Yogyasmara. P. Ardhi NIP: 150202342 NIM: 106051001901
2
Outline Skripsi BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
D. Metodologi Penelitian
E. Sistematika Penelitian
BAB II : TINJAUAN TEORITIS
A. Ruang Lingkup Dakwah
1. Pengertian Dakwah
2. Subjek dan Objek Dakwah
3. Metode Dakwah
4. Materi Dakwah
5. Tujuan Dakwah
B. Ruang Lingkup Wayang Kulit
1. Pengertian Wayang Kulit
2. Sejerah Perkembangan wayang kulit
3. Dalang Sebagai Juru Dakwah
BAB III : PROFIL DALANG KI SUDARDI DAN GAMBARAN UMUM DESA
PRINGAPUS SEMARANG
A. Sejarah Hidup Ki Sudardi
B. Pendidikan Ki Sudardi
1. Secara Formal
2. Secara Informal
C. Desa Pringapus Semarang
1. Sejarah Desa Pringapus Semarang
2. Kehidupan Sosial dan Budaya
BAB IV : HASIL TEMUAN DAN ANALISA DATA PENELITIAN
A. Bahasa Dakwah dalam Pementasan Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi
B. Nilai-nilai Dakwah dalam Pementasan
C. Teknik Penyampaian pesan dalam Pementasan
3
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
BAB I
4
PENDAHULUAN
A..Latar Belakang Masalah
Sejarah adalah mata rantai kehidupan dan kita adalah bagian dari mata rantai
kehidupan tersebut. Hanya orang yang pandai menangkap semangat zaman, dialah yang
akan menjadi pelita kehidupan. Maka sudah sepatutnya setiap pribadi dari kita
memperhatikan waktu dan lingkungannya. Hari kemarin adalah pelajaran hari esok, hari
esok adalah harapan dan hari ini adalah kenyataan dan perjuangan untuk mewujudkan
harapan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang memahami proses kesejarahan
bangsanya. Hal ini dapat dimengerti karena berbicara masalah sejarah tidak lepas dari
tiga dimensi waktu, yaitu masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi moderen yang semakin pesat,
seringkali kita mendengar tentang gejala dehumanisasi, adalah kemrosotan nilai-nilai
kemanusiaan dan lain sebagainya. Dengan kemajuan-kemajuan yang di capai itu manusia
kurang mampu mengendalikan diri, sehingga kehidupan manusia tidak seimbang baik
kehidupan jasmani dan rohaninya.
Untuk membentuk manusia yang seimbang diperlukan peranan dari da’i atau
pendakwah agar tercipta individu, keluarga, dan masyarakat yang menjadikan islam
sebagai pola pikir dan pola hidup agar tercapai kehidupan yang bahagia baik di dunia
maupun di akherat 1
Untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah seorang da’I harus mampu dalam
menggunakan berbagai media dalam melakukan dakwahnnya.
Dari berbagai macam media yang bisan digunakan untuk menyampaikan pesan-
pesan dakwah yang bersifat tradisioanal dan modern di antaranya ialah wayang kulit .
Pementasan wayang kulit termasuk salah satu media yang efektif untuk
menyampaikan pesan dakwah. Wayang kulit adalah seni budaya peninggalan leluhur
yang sudah berumur berabad-abad dan kini masih lestari di masyarakat, seni pewayangan
sudah lama digunakan sebagai media penyampaian nilai-nilai luhur/moral, etika, dan
1 Rosidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal, (Jakarta: Paramadina,2004), Cet. Ke-I, h.1
5
religius. Dari zaman kedatangan Islam digunakan oleh para wali songo sebagai media
dakwah Islam di tanah Jawa.2
Di masa lalu para ulama dan para wali melakukan pendekatan yang sama dalam
menyiarkan agama islam, yaitu melalui media dakwah yang telah menjadi warisan
budaya tanah leluhur Indonesia.3 Sehingga proses akultrasi pribumi dengan budaya islam
berjalan begitu harmonis.
Pendekatan dakwah melalui media wayang kulit sebagai hasil dari kebudayaan
Mempunyai beberapa kelebihan yang langsung bisa dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat Indonesia sampai saat ini. Pertama, kebudayaan wayang kulit sudah
mendarah daging pada masyarakat khusunya masyarakat jawa tengah. kedua,
pementasan atau pertunjukan wayang kulit selalu menyampaikan nilai-nilai yang sedikit
banyaknya akan membawa pengaruh bagi para penggemarnya. ketiga, media wayang
kulit dalam pementasannya banyak mengandung falsafah kehidupan dan tata nilai yang
luhur, pada masyarakat jawa khususnya yang berada di pringapus semarang yang masih
menggunakan wayang kulit sebagait media dakwah.
Keberhasilan dakwah melalui wayang kulit tergantung pada beberapa variable.
Pertama, wujud wayang kulit merupakan kulit yang dibentuk hingga menyerupai sosok
yang mempunyai karakter, diantaranya baik, jahat, kaya, miskin, dll. Melalui variable
wayang kulit ini bisa menciptakan karakter yang islami diantarannya adalah karakter kyai
atau ulama4 Kedua, adalah cerita yang menggambarkan situasi kejadian dan pesan-pesan
yang ada dalam pementasan wayang kulit. Cerita dalam pewayangan juga berfungsi
sebagai media dakwah atau sebagai sarana untuk menyampaikan ajaran keagaaman.5
Ketiga, adalah dalang, karena sosok dalang sesungguhnya bukan seorang dewa (juru
penerang yang serba bisa) tetapi juga bisa disebut pembawa kaca benggala (cermin besar)
yang berperan sebagai seorang budayawan, guru, kritikus, dan seorang juru bicara yang
2 Hazim Amir, Nilai-nilai Etis Dalam Wayang, (Jakarta: CV.Mulia Sari, 1991), Cet.Ke-I, h. 16 3 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. Ke-IV,
h.203 4 Sri Mulyono, Wayang; Asal Usuil Filsafat dan Masa Depannya (PT, Gunung Agung, 1976)
h.154 5 Sri Mulyono, Simbolisme dan Mistisme dalam Wayang (Jakarta: PT.Gunung Agung, 1979), Cet.
Ke-I, h. 77
6
bisa mengartikilasi isi hati, alam pikiran dan alam rasa6 Ini merupakan variable sentral
terhadap keberhasilan pementasan wayang kulit, sehingga dapat menarik perhatian
masyarakat.
Salah satu pementasan wayang kulit yang berada di Pringapus Semarang, dalam
sejarahnya , sejah zaman dahulu wayang kulit bisa dikatakan media yang sampai
sekarang masih digaunakan dalam aktifitas berdakwah, masyarakat Pringapus Semarang
adalah masyarakat yang sederhana mereka adalah masyarakat yang agraris, hasil bumi
berupa beras, dan sayur-sayuran merupakan komiditas yang mereka andalkan untuk
pendapatan mereka sehari-hari. Tak bedanya dengan desa-desa lain dapat dikatakan
memiliki pertumbuhan yang cukup lambat di dalam pembangunan, keberhasilan wayang
kulit sebagai media dakwah di pringapus semarang masih dapat dirasakan yang terlihat
dari sikap dan tutur kata masyakat Pringapus Semarang.
Berdasarkan latar belakang maslah di atas maka penulis menusun skripsi dengan
judul ”WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH (Studi Pada Wayang Kulit
Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang)”B. Pembatasan Dan Perumusan
Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan ini lebih terarah, maka penulis hanya membatasi pembahasan
ini pada daerah pementasan wayang kulit pada masyarakat Pringapus Semarang saja
tanpa harus melebar luas ke topik pembahasan yang lain.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah:
a. Apa bahasa dan nilai-nilai dakwah dalam pementasan wayang kulit dalang Ki Sudardi
di desa Pringapus Semarang ?
b. Bagaimana teknik penyampaian pesan-pesan dakwah dalam pementasan wayang kulit
dalang Ki Sudardi di desa Pringapus Semarang.
6 Suwaji Bastomi, etika, Nilai-nilai Seni Pewayangan, (Semarang; Dahara Prize, 1993), Cet.ke-I
h.59
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada pokok permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:
a. Penulis ingin mengungkap lebih dalam tentang kiprah pementasan wayang kulit Ki
Sudardi sebagai media dakwah pada masyarakat Pringapus Semarang.
b. Penulis ingin mengetahui lebih dalam pandangan masyarakat terhadap wayang kulit Ki
Sudardi di Pringapus Semarang
c. kajian ini memberikan kontribusi bagi khazanah sejarah islam Indonesia. Untuk
menambah literatur kebudayaan yang berkaitan dengan sejarah Islam yang ada di
Indonesia.
d. Untuk memenuhi gelar sarjana pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Manfaat Penelitian
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai refrensi wacana keilmuan dakwah,
khususnya program dakwah melalui media seni seperti wayang kulit sebagai media
dakwah.
b. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan baru bagi para aktivis dakwah, akademisi
serta masyarakat umum yang konsen pada perkembangan dakwah untuk menjadikan
seni budaya wayang kulit sebagai media dakwah.
c. Hasil penelitian ini menjadi acuan bagi masyarakat yang mencintai seni budaya
wayang kulit dan para budayawan agar dapat melestarikan bahkan mengemas seni
budaya tersebut sehingga lebih dirasakan manfaatnya khususnya dalam syiar Islam.
D. Metodologi Penelitian
Penulisan dalam skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif diskriftif dengan
metode deskriptif anlisis. Penulis akan menggambarkan dan menguraikan secara factual
apa yang dilihat dan ditemukan dari objek penelitian ini. Bagdan dan Taylor dalam buku
penelitian kualitatif mendefinisikan “Metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang
8
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau tulisan dari orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati”.7
Dean J. Champion dalam bukunya mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah
penelitian yang berfungsi untuk mendata atau mengelompokan sederet unsur yang terlihat
sebagai pembentukan suatu bidang persoalan yang ada.8
1. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dari penelitian ini adalah Ki Sudardi. Dan objek dari penelitian ini adalah
Pementasan Wayang Kulit di Pringapus Semarang.
2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan dimulai pada tanggal 10 April 2010
sampai 10 Juni 2010. Sedangkan tempat penelitian ini adalah Pringapus Semarang.
3. Tekhnik Pengumpulan Data
a. Observasi, yaitu pengamatan langung terhadap pementasan wayang kulit di
Pringapus Semarang.
b. Wawancara, yakni suatu cara untuk mengumpulkan data dengan mengajukan
pertanyaan langsung kepada seorang narasumber dalam hal ini Ki Sudardi. Maksud
dari wawancara ini adalah untuk mengungkap riwayat hidup, aktifitas dan lain-lain,
terutama untuk melengkapi data, guna menjawab rumusan masalah yang peneliti
ajukan.
c. Study Dokumentasi, adalah merupakan tekhnik yang juga dilakukan dalam
mengumpulkan data berupa buku, majalah, makalah, ataupun literatur-literatur
lainnya. Peneulis akan mengumpulkan beberapa foto, video, dan gambar aplikasi
Dalang Ki Sudardi pada pementasan di Pringapus Semarang.
4. Tekhnik Analisa Data
Analisa data menurut Patton (1980), adalah proses mengatur uraian data.
Mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan suatu uraian dasar. Ia
7 Lexy. J. Moeleng, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdya Karya, 1933)
cet. Ke- 1, h. 3 8 Dean J. Champion, Metode dan Masalah Penelitian, (Bandung: Refika Aditama, 1998) h. 6
9
membedakannya dengan penafsiran, yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap
analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan diantara dimensi-dimensi
uraian.9
5. Tekhnik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis mengacu kepada buku “Pedoman Akademik
Fakultas Dakwah dan Komunikasi ( FDK)” yang diterbikan oleh Dakwah Press tahun
2006-2007.
E. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab, dengan perincian sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan yang memuat latar belakang, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat pnelitian serta sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan teoritis, yang memuat ruang lingkup dakwah berupa, pengertian
dakwah, subjek dan objek dakwah, metode dakwah, materi dakwah, dan
tujuan dakwah. Ruang lingkup wayang kulit yaitu, pengertian wayang kulit
serta perkembangan wayang kulit, dan dalang sebagai juru dakwah.
BAB III : Mendeskripsikan mengenai profil dalang Ki Sudardi yang terdiri dari
riwayat hidup, pendidikan, pengalaman beliau serta aktifitas dalam
pementasan wayang kulit di Pringapus Semarang.
BAB IV : Dalam bab ini berisikan data penelitian dan analisa data penelitian,
menguraikan tentang kiprah pementasan wayang kulit oleh dalang Ki
Sudardi, serta pandangan masyarakat mengenai kiprah wayang kulit di
Pringapus Semerang.
BAB V : Penutup, memuat kesimpulan yang didasarkan pada uraian-uraian dan
bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya dan juga memuat saran-saran
serta dilengkapi dengan daftar pustaka.
9 Lexy J. Meleong, Metode Penelitian Kualitatif, h. 103
10
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Ruang Lingkup Dakwah
1. Pengertian Dakwah
Kata dakwah berasal dari bahasa Arab (da’a) yang artinya menyeru, memanggil,
mengajak, dan menjamu. Dan yang kedua yaitu : (yad’u) yang artinya memannggil,
mendo’a dan memohon.10
Secara etimologi, kata dakwah sebagai bentuk mashdar dari kata da’a (fi’il madhi)
dan yad’u (fi’il mudhari’) yang artinya memanggil (to call), mengundang ( to invite), dll.
(Warson Munawir, 1994 : 439). Dakwah dalam pengertian ini dapat dijumpai dalam Al
Qur’an yaitu pada surat Yusuf : 33 dan Surat Yunus : 25.
Dalam Al Qur’an, dakwah dalam arti mengajak ditemukan sebanyak 46 kali, 39
kali dalam arti mengajak kepada Isalam dan kebaikan, 7 kali ditemukan dalam makna
mengajak kepada mereka dan kejahatan
Beberapa dari ayat tersebut adalah :
1. Mengajak manusia kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran ( QS. Ali Imran :
104)
2. mengajak manusia kepada jalan Tuhan (QS an-Nahl : 125)
3. Mengajak manusia kepada agama Islam (QS as-Shaf : 7)
4. Mengajak manusia kepada jalan yang lurus (QS al-Mukminun : 73)
5. Memutuskan perkara dalam kehidupan umat manusia, kitabullah dan sunnaturrasul
(QS an-Nur : 48 dan 51, serta QS Ali Imran : 23)
6. Menggajak ke surga (QS al-Baqarah : 122)
Definisi dakwah di dalam Islam adalah sebagai kegiatan “mengajak, mendorong
dan memotivasi orang lain berdasarkan bashirah untuk meniti jalan Allah dan istiqomah
di jalanNya serta berjuang bersama meninggikan agama-Nya. Kata mengajak,
10 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 127
11
memotivasi, dan mendorong adalah kegiatan dakwah dalam ruang lingkup tabligh. Kata
bashirah untuk menunjukkan dakwah itu harus dengan ilmu dan perencanaan yang baik.
Kalimat meniti jalan Allah untuk menunjukkan tujuan dakwah yaitu mardhatillah
(keridhoan Allah). Kalimat istiqamah di jalan-Nya untuk menunjukkan dakwah itu harus
berkesinambungan. Sedangkan kalimat berjuang bersama meninggikan agama Allah
untuk menunjukkan dakwah bukan untuk menciptakan kesalehan pribadi. Untuk
mewujudkan masyarakat yang saleh tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, tetapi harus
bersama-sama. (Muhammad Ali Aziz, 2004: 4).
Definisi di atas mencakup pengertian-pengertian sebagai berikut:
1. Dakwah adalah suatu aktivitas atau kegiatan yang bersifat menyeru atau mengajak
kepada orang lain untuk mengamalkan ajaran Islam.
2. Dakwah adalah suatu proses penyampaian ajaran Islam yang dilakukan secara sadar
dan sengaja.
3. Dakwah adalah suatu aktivitas yang pelaksanaannya bisa dilakukan dengan berbagai
cara atau metode.
4. Dakwah adalah kegiatan yang direncanakan dengan tujuan mencari kebahagiaan hidup
dunia dan akhirat dengan dasar keridhaan Allah.
5. Dakwah adalah usaha peningkatan pemahaman keagamaan yang mengubah
pandangan hidup, sikap batin dan prilaku umat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam
menjadi sesuai dengan tuntunan syari’at untuk memperoleh kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat.
Sedangkan secara istilah dakwah didefinisikan beragam. Hal ini tergantung dari
sudut mana para ahli ilmu dakwah dalam memberikan pengertian atau definisi dakwah itu
sendiri.
a. Menurut M. Quraish Shihab, dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsyafan
atau usaha mengubah situasi kepada situasi yang lebih baik dan sempurna, baik
terhadap pribadi maupun masyarakat.11
11 Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung Mizan. 1996), Cet ke-XIX, h. 194.
12
b. Menurut Syekh Muhammad Abduh, ringkasnya dakwah adalah menyeru kepada
kebaikan, dan mencegah dari yang mungkar adalah fardlu yang diwajibkan kepada
setiap muslim. 12
c. Arifin, M. Ed. Mengatakan bahwa dakwah mengandung pengertian sebagai suatu
kegiatan ajakan, baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku, dan sebagainya yang
dilakukan secara sadar dan terencana dalam usaha mempengaruhi orang lain secara
individual maupun kelompok, supaya timbul dalam dirinya suatu pengertian,
kesadaran, sikap, penghayatan serta pengalaman terhadap ajaran agama sebagai pesan
yan disampaikan padanya tanpa unsur paksaan. 13
Jadi dakwah adalah suatu usaha atau proses yang diselenggarakan dengan sadar ,
terncana, dan usaha yang dilakukan adalah mengajak umat manusia ke jalan Allah,
memperbaiki situasi yang lebih baik. Usaha tersebut dilakukan dalam rangka mencapai
tujuan tertentu, yakni agar manusia hidup dengan penuh kebahagiaan dunia akhirat tanpa
adanya unsur paksaan.
2. Subjek dan Objek Dakwah
Subjek dakwah (ulama, mubaligh, dan da’i), yaitu orang yang melaksanakan
tugas dakwah. Pelaksanaan tugas dakwah ini bisa perorangan atau kelompok manusia
yang memiliki nilai keteladanan yang baik (usawatun hasanah) dalam segala hal.14
Daerah Da’i adalah mulai dari masyarakat desa yang primitif hingga masyarakat
industri yang telah terpengaruh diktatornya pengaruh ekonomi raksasa dan teknologi ultra
modern dan merajalelanya individualisme. Da’i berbeda di tengah gejolak masyarakat
yang bergejolak. Dengan demikian dapat dikatakan behwa da’i adalah seorang yang
harus paham benar tentang kondisi masyarakat itu dari berbagai segi, psikologi, sosial,
budaya, etnis, ekonomi, politik, mahluk tuhan ahsani takwim.15
12 Sayyid. M. Nuh, Dakwah Fardiyyah dalam Manhaj Amal Islami,(Solo: Citra Islami Press,
1996), h.28 13 Arifin, M. Ed, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), h. 54 14 Rafiudin, Maman Addul Jalil, Prinsip dan Strategi Dakwah,(Bandung : CV. Pustaka Setia,
1997), cet. Ke-1, hal. 47 15 M. Syafaat Habin, Buku Pedoman Dakwah, (Jakarta: Wijaya, 1982), cet Ke-1, hal.106
13
Muhammad Ghazali juga menegaskan dua syarat utama yang harus dimiliki oleh
seorang juru dakwah, yaitu: pengetahuan mendalam tentang Islam dan juru dakwah harus
memiliki jiwa kebenaran (ruh yang penuh dengan kebenaran, kegiatan, kesadaran,
kemajuan).16
Objek dakwah itu juga disebut mad’u, yaitu orang-orang yang diseru, dipanggil,
atau diundang. Berdasarkan kenyataan yang berkembang dalam masyarakat bila dilihat
dalam aspek kehidupan psikologis, maka dalam pelaksanaan program kegiatan dakwah,
sasaran dakwahnya tarbagi menjadi:
a. Sasaran yang menyangkut kelempok masyarakat, dilihat dari segi sosiologis barupa
masyarakat yang terasing, pedesaan, kota besar dan kota kecil, serta masyarakat di
daerah marginal dari kota besar.
b. Sasaran yang berupa kelompok-kelompok masyarakat yang dilihat dari segi struktur
kelembagaan berupa masyarakat, pemerintah dan keluarga.
c. Sasaran yang berupa kelompok-kelompok masarakat dilihat dari segi sosial struktural
berupa golongan priayi, abangan dan santri. Klasifikasi terutama terdapat dalam
masyarakat di jawa.
d. Sasaran yang berhubunagn dengan golongan dilihat dari segi tingkat usia berupa
golongan anak-anak, remaja, dan orang tua.
e. Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi tingkat hidup sosial
ekonomi berupa golongan orang kaya, menengah dan mkiskin.
f. Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi okupasional (profesi
dan pekerjaan), berupa golongan petani, pedagang, seniman, buruh, pegawai negeri,
dan sebagainya.17
3. Metode Dakwah
Dalam melakukan suatu kegitan dakwah, diperlukan metode penyampaian yang
tepat agar tujuan dakwah tercapai. Metode dalam kegiatan dakwah adalah suatu cara
dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah. Metode dakwah adalah cara yang dipakai
da’i dalam menyebarkan agama Islam.
16 Ibid, h. 167 17 M. Arifin, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), ed. Ke-2 cet. Ke-4, hal. 47
14
Menurut Drs. Abdul Kadir Munsyi: Metode artinya cara untuk menyampaikan
sesuatu. Yang dinamakan metode dakwah ialah, cara yang dipakai atau yang digunakan
untuk memberikan dakwah. Metode ini penting untuk mengantarkan kepada tujuan yang
akan dicapai.18
Banyak ayat Al-Qur’an yang mengungkapkan masalah dakwah namun dari
kesekian banyak ayat itu, yang dapat dijadikan sebagai acuan utama dalam prinsip
metode dakwah secara umum adalah surat an-Nahl ayat: 125, yaitu:
☺ ☺
☺
☺ Artinya :
” serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang
lebih mengetahui siapa yang tersesat di jalan-Nya dan dialah yang mengetahui orang-
orang yang dapat petunjuk”.
Dari pernyataan Suray an-Nahl ayat 125 tersebut dapat dijelaskan bahwa seruan
dan ajakan menuju jalan Allah (din al-Islam) harus menggunakan metode-metode al-
hikmah, al-mauidzah, a-hasanah, dan mujadalah bi alati hiya ahsan.
4. Materi Dakwah
Menurut Asmuni Syukir dalam bukunya dasar-dasar stategi dakwah Islam.
Secara global materi materi dakwah dapat di klasifikasikan menjadi tiga hal pokok, yaitu:
18 Alwisral Imam Zaidallah, Starategi Dakwah dalam Membentuk Da’ dan Khotib Propesional,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 16
15
a. Masalah Aqidah
Aqidah dalam islam bersifat I’tiqad bathiniyah yang mencakup masalah-masalah
yang erat hubungannya dengan rukun Iman. Di bidang aqidah ini pembahasannya bukan
saja tertuju pada masalah-masalah yang wajib di’Imani, akan tetapi materi dakwah
meliputi masalah-masalah yang dilarang sebagai lawannya, misalnya Syirik
(menyekutukan adanya Tuhan), Ingkar dengan adanya Tuhan dan sebagainya.
b. Masalah Syari’Iyah
Syar’Iyah dalam Islam adalah berhubungan erat dengan amal lahir (nyata) dalam
rangka mentaati semua peraturan atau hukum Allah guna mengatur hubungan antara
manusia dengan tuhannya dan mengatur pergaulan hidup antar sesame manusia
c. Masalah Akhlaqul Karimah
masalah Akhlak dalam aktivitas dakwah (sebagai materi dakwah) merupakan pelengkap
saja, yakni untuk melengkapi keimanan dan keislaman seseorang. Meskipun akhlak ini
berfungsi sebagai pelengkap, bukan berarti masalah akhlak kurang penting dibandingkan
dengan masalah keimanan, akan tetapi akhlak adalah sebagai penyempurna dan
keislaman.19
5. Tujuan Dakwah
Tujuan utama dakwah adalah terwujudnya kebahagian hidup dan kesejahteraan
hidup di dunia dan akhirat yang diridoi Allah SWT.
Syeikh Ali Mahfudz merumiskan, bahwa tujuan dakwah ada lima perkara, yaitu:
1. Menyiarkan tuntutan Islam, membetulkan aqidah, dan meluruskan amal perbuatan
manusia, terutama budi pekertinya.
2. Memindahkan hati dari keadaan yang jelek kepada kedaan yang baik.
3. Membentuk persaudaraan dan menguatkan tali persatuan diantara kaum muslimin.
4. Menolak faham atheisme dengan mengimbangi cara-cara mereka bekerja.
19Ibid, h.63
16
5. Menolak syubha-syubhat, bid’ah dan khurafat atau kepercayaan yang tidak
bersumber dari agama dengan mendalami islam Ushuluddin.20
B. Ruang Lingkup Wayang Kulit
1. Pengertian Wayang Kulit
Pengertian wayang menurut kamus Besar Bahasa Indonesia adalah : “Boneka
tiruan yang dibuat dari kulit yang diukir, kayu yang dipahat, dan sebagainya yang dapat
dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dipertunjukan drama tradisional yang dimainkan
oleh seorang dalang.”21
Pengertian wayang adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat
bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah
Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang. Tapi akhirnya makna kata ini meluas
menjadi segala bentuk pertunjukan yang menggunakan dalang sebagai penuturnya
disebut wayang. Oleh karena itu terdapat wayang golek, wayang beber, dan lain-lain.
Pengecualian terhadap wayang orang yang tiap boneka wayang tersebut diperankan oleh
aktor dan aktris sehingga menyerupai pertunjukan drama.22
Wayang adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau
Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7
November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita
narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible
Heritage of Humanity).
Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia, yang terutama berkembang di
Jawa dan di sebelah timur semenanjung Malaysia seperti di Kelantan dan Terengganu.
Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-
tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga
dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di
20 Hasanuddin, Hukum Dakwah: Tinjauan Aspek Hukum dan Berdakwah di Indonesia. (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996) . Cet ke-1, h. 33-34
21 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Indonesia.h, 1010 22 Sri Mulyono, Wayang: asal-usul Filsafat dan Masa Depannya (PT. Gunung Agung, 1976), h.
154
17
balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan
lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi
lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat
memahami cerita wayang(lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-
tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.
2. Sejarah Perkembangan Wayang kulit
WAYANG adalah salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling
menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran,
seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni
perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga
merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta
hiburan.
Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan
budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-
abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer
di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan
Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan
dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.
Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis
masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam
pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga
makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya
tokoh panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para budayawan Indonesia
(tepatnya budayawan Jawa) untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak
ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu
menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.
Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel
(1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya
bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr.
18
Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir.
Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang
kita kenal sekarang.23
Ada dua pendapat mengenai asal - usul wayang. Pertama, pendapat bahwa
wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat
ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga
merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang
termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.
Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat
kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang
Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk,
Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu,
nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan
bukan bahasa lain.
Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa
bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding,
Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah
sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.
Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat
bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari
negara lain. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada zaman
pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di
Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita
wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah
sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan
raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan
pujangga India, Walmiki.
Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan
Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali
23 S. Haryono, Pratiwimba Adiluhung, Sejarah dan Perkembangan Wayang, (Yogyakarta:
Penerbit Djambatan, 1988), Cet, ke-1 h-24
19
dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa
Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab
Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi India, adalah
Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan
pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).
Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak
zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara
lain sudah menyebutkan kata-kata “mawayang” dan `aringgit’ yang maksudnya adalah
pertunjukan wayang.24
3. Dalang Sebagai Juru Dakwah
Dalam dunia pewayangan dalang merupakan unsur penting pada sebuah
pementasan, terlepas dari apa pun tema yang akan di pentaskan. Berkaitan dengan
kegiatan dakwah Islamiah, seorang dalang pun dapat di katagorikan sebagai juru dakwah
atau seorang Da’i melalui profesinya tersebut. Hal ini memungkinkan karena dalam
setiap pementasan sabuah pagelaran wayang seorang dalang sangat mungkin
menyampaikan pesan-pesan agamis dalam setiap lakon yang dipentaskan. Dahulu pada
saat awal-awalnya perkembangan Islam di Nusantara, para penyebar Islam khususnya
Walisongo yaitu Sunan Kali Jaga, juga telah menggunakan media wayang untuk
mendukung kegiatan dakwahnya, dan ternyata berhasil. Faktor-faktor yang
memungkinkan seorang dalang menjadi seorang juru dakwah di antaranya adalah :
a. Karakter dalang yang faham betul isi cerita setiap lakon pewayangan yang umumnya
mengandung tema kehidupan sosial. Apapun temanya, baik tentang kerajaan,
mahabrata, cerita hindu dan sebagainya, namun semua itu bisa dimasuki pesan-pesan
bernilai Islami tanpa harus merubah inti dan isi cerita secara keseluruhan atau
sebagian, dengan kecerdasan dan wawasann yang dimiliki, profesi seorang dalang
dapat dengan mudah untuk melakukannnya.
24 Sri Mulyono, Wayang: asal-usul Filsafat dan Masa Depannya (PT. Gunung Agung, 1976), h.
239-245
20
b. Wayang merupakan kesenian tradisional yang masih banyak digemari, dan biasanya
dalang sangat dikagumi oleh para penggemarnya. Situasi ini dapat digunakan oleh
seorang dalang untuk menyampaikan pesan-pesan bernilai Islami pada setiap
pementasannya, tentunya di selingi oleh humor-humor yang mendidik yang dapat
mempengaruhi para audiennya.
c. Tema wayang mengikuti zaman, sehingga dalang tidak akan ditinggalkan oleh
penggemarnya, sehingga ia akan terus berdakwah.
d. Dalang adalah Guru, Victoria M, Clara dalam bukunya Dalang di Balik Wayang
(1967) ”menyatakan bahwa dalang yang dahulu menganggap dirinya sendiri sebagai
guru masyarakat , sekarang justru menyebut dirinya sebagai seniman, sementara itu
kaum elit baru, berbeda dari kaum tradisional, justru sekarang tertarik pertama-tama
dan terutama terhadap peranan dalang sebagai guru, tulisnya.”25
25 Sigit Oerdianto, “Berdakwah Keliling Kota dengan Wayang Kulit, Suara Merdeka, senin 31 Oktober 2008
21
Daftar Pustaka
Amir, Hazim, Nilai-nilai Etis Dalam Wayang, Jakarta: CV.Mulia Sari, 1991.
Arifin, M. Ed, Psikologi Dakwah, Jakarta: Bulan Bintang, 1997
Bastomi, Suwaji etika, Nilai-nilai Seni Pewayangan, Semarang; Dahara Prize, 1993.
Champion, Dean J., Metode dan Masalah Penelitian, Bandung: Refika Aditama, 1998.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Indonesia..
Habib, M. Syafaat, Buku Pedoman Dakwah, (Jakarta: Wijaya, 1982.
Hasanuddin, Hukum Dakwah: Tinjauan Aspek Hukum dan Berdakwah di Indonesia.
Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996.
Moeleng, Lexy. J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdya Karya,
1933.
Mulyono, Sri, Wayang; Asal Usuil Filsafat dan Masa Depannya PT, Gunung Agung,
1976.
--------------, Simbolisme dan Mistisme dalam Wayang Jakarta: PT.Gunung Agung, 1979.
Oerdianto, Sigit, “Berdakwah Keliling Kota dengan Wayang Kulit, Suara Merdeka, senin
31 Oktober 2008
Rafiudin, Maman Addul Jalil, Prinsip dan Strategi Dakwah, Bandung : CV. Pustaka
Setia, 1997.
S. Haryono, Pratiwimba Adiluhung, Sejarah dan Perkembangan Wayang, Yogyakarta:
Penerbit Djambatan, 1988.
22
Sayyid. M. Nuh, Dakwah Fardiyyah dalam Manhaj Amal Islami, Solo: Citra Islami
Press, 1996
Shihab, Quraish, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat Bandung Mizan. 1996.
Yatim , Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.
Zaidallah, Alwisral Imam, Starategi Dakwah dalam Membentuk Da’ dan Khotib
Propesional, Jakarta: Kalam Mulia, 2002
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...................................................................1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah.................................................6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................................6
D. Metodologi Penelitian......................................................................7
E. Sistematika Penelitian......................................................................9
BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG DAKWAH DAN
WAYANG KULIT
A. Ruang Lingkup Dakwah................................................................11
1. Pengertian Dakwah..................................................................11
2. Subjek dan Objek Dakwah.......................................................14
3. Metode Dakwah.......................................................................16
4. Materi Dakwah.........................................................................17
5. Tujuan Dakwah........................................................................18
B. Ruang Lingkup Wayang Kulit.......................................................18
1. Pengertian Wayang Kulit.........................................................18
2. Sejerah Perkembangan Wayang Kulit.....................................23
3. Dalang Sebagai Juru Dakwah..................................................26
iv
v
BAB III GAMBARAN UMUM WAYANG, PROFIL DALANG KI
SUDARDI, DAN GAMBARAN UMUM DESA
PRINGAPUS SEMARANG
A. Gambaran Umum Wayang……………………………………....28
a. Pengertian Wayang…………………………………………..28
b. Jenis-jenis Wayang…………………………………………..28
B. Profil Dalang Ki Sudardi...............................................................31
a. Sejarah Hidup Ki Sudardi........................................................31
b. Pendidikan Ki Sudardi.............................................................33
C. Desa Pringapus Semarang..............................................................35
1. Sejarah Desa Pringapus Semarang...........................................35
2. Kehidupan Sosial dan Budaya.................................................37
BAB IV WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH
A. Bahasa Dakwah dalam Pementasan Wayang Kulit Dalang Ki
Sudardi...........................................................................................38
B. Nilai-nilai Dakwah dalam Pementasan..........................................41
C. Teknik Penyampaian pesan dalam Pementasan.............................49
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................54
B. Saran...............................................................................................55
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................57
LAMPIRAN..........................................................................................................59
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Wayang adalah salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang
paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi
seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan
juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke
zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan,
pemahaman filsafat, serta hiburan.
Sejarah perkembangan Islam di Indonesia khususnya di Jawa tak bisa
dilepaskan dari peran Walisongo sebagai ulama penyebar ajaran Islam. Yang
cukup menarik untuk disimak adalah bagaimana cara ulama yang sembilan itu
mengajarkan Islam. Masyarakat semasa itu sebagian besar memeluk Hindu.
Walisongo tak langsung menentang kebiasaan-kebiasaan yang sejak lama menjadi
keyakinan masyarakat.
Salah satunya adalah metode yang digunakan oleh para Wali dengan
menggunakan media Wayang. Sebelum Islam masuk ke tanah Nusantara–
khususnya di Jawa-wayang telah menemukan bentuknya. Bentuk wayang pada
awalnya menyerupai relif yang bisa kita jumpai di candi-candi seperti di
Prambanan maupun Borobudur. Pagelaran wayang sangat digemari masyarakat.
Setiap pementasannya selalu dipenuhi penonton.1
1 S. Haryono, Pratiwimba Adiluhung, Sejarah dan Perkembangan Wayang, (Yogyakarta:
Penerbit Djambatan, 1988), Cet, ke-1 h- 14
1
2
Para wali melihat wayang bisa menjadi media penyebaran Islam yang
sangat bagus. Namun timbul perdebatan di antara para wali mengenai bentuk
wayang yang menyerupai manusia. Setelah berembuk, akhirnya mereka
menemukan kesepakatan untuk menggunakan wayang sebagai media dakwah
tetapi bentuknya harus diubah.
Bentuk baru pun tercipta. Wayang dibuat dari kulit kerbau dengan wajah
yang digambarkan miring, leher yang panjang, serta tangan yang dibuat
memanjang sampai ke kaki. Bentuk bagian-bagian wajah juga dibuat berbeda
dengan wajah manusia.
Tak hanya bentuknya, ada banyak sisipan-sisipan dalam cerita dan
pemaknaan wayang yang berisi ajaran-ajaran dan pesan moral Islam. Dalam lakon
Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini
adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan dunia
dan segala isinya. Tak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima
mengajarkannya kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaran-ajaran
tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan
sesama manusia.2
Cara dakwah yang diterapkan oleh para wali tersebut terbukti efektif.
Masyarakat menerima ajaran Islam tanpa ada pertentangan maupun penolakan.
Ajaran Islam tersebar hampir di seluruh tanah Jawa. Penganut Islam semakin hari
semakin bertambah, termasuk para penguasa-penguasanya.
Wayang pun kian sering dipentaskan. Tak hanya pada upacara-upacara
resmi kerajaan, masyarakat secara umum pun sering menggelarnya. Karena
2 Bastomi, Suwaji etika, Nilai-nilai Seni Pewayangan, (Semarang; Dahara Prize, 1993), h. 26.
3
banyak ajaran moral dan kebaikan dalam setiap lakonnya, wayang tak hanya
dianggap sebagai tontonan saja, tetapi juga tuntunan.
Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi moderen yang semakin pesat,
seringkali kita mendengar tentang gejala dehumanisasi, adalah kemrosotan nilai-
nilai kemanusiaan dan lain sebagainya. Dengan kemajuan-kemajuan yang di capai
itu manusia kurang mampu mengendalikan diri, sehingga kehidupan manusia
tidak seimbang baik kehidupan jasmani dan rohaninya.
Untuk membentuk manusia yang seimbang diperlukan peranan dari da’i
atau pendakwah agar tercipta individu, keluarga, dan masyarakat yang menjadikan
islam sebagai pola pikir dan pola hidup agar tercapai kehidupan yang bahagia baik
di dunia maupun di akhirat 3
Untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah seorang da’i harus mampu
dalam menggunakan berbagai media dalam melakukan dakwahnnya.
Dari berbagai macam media yang bisan digunakan untuk menyampaikan
pesan-pesan dakwah yang bersifat tradisioanal dan modern di antaranya ialah
wayang kulit . Pementasan wayang kulit termasuk salah satu media yang efektif
untuk menyampaikan pesan dakwah. Wayang kulit adalah seni budaya
peninggalan leluhur yang sudah berumur berabad-abad dan kini masih lestari di
masyarakat, seni pewayangan sudah lama digunakan sebagai media penyampaian
nilai-nilai luhur/moral, etika, dan religius. Dari zaman kedatangan Islam
digunakan oleh para wali songo sebagai media dakwah Islam di tanah Jawa.4
Di masa lalu para ulama dan para wali melakukan pendekatan yang sama
dalam menyiarkan agama Islam, yaitu melalui media dakwah yang telah menjadi
3 Rosidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal, (Jakarta: Paramadina,2004), Cet. Ke-I, h.1 4 Hazim Amir, Nilai-nilai Etis Dalam Wayang, (Jakarta: CV.Mulia Sari, 1991), Cet.Ke-I,
h. 16
4
warisan budaya tanah leluhur Indonesia.5 Sehingga proses akultrasi pribumi
dengan budaya islam berjalan begitu harmonis.
Pendekatan dakwah melalui media wayang kulit sebagai hasil dari
kebudayaan Mempunyai beberapa kelebihan yang langsung bisa dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat Indonesia sampai saat ini. Pertama, kebudayaan
wayang kulit sudah mendarah daging pada masyarakat khusunya masyarakat jawa
tengah. kedua, pementasan atau pertunjukan wayang kulit selalu menyampaikan
nilai-nilai yang sedikit banyaknya akan membawa pengaruh bagi para
penggemarnya. ketiga, media wayang kulit dalam pementasannya banyak
mengandung falsafah kehidupan dan tata nilai yang luhur, pada masyarakat jawa
khususnya yang berada di pringapus semarang yang masih menggunakan wayang
kulit sebagait media dakwah.
Keberhasilan dakwah melalui wayang kulit tergantung pada beberapa
variable. Pertama, wujud wayang kulit merupakan kulit yang dibentuk hingga
menyerupai sosok yang mempunyai karakter, diantaranya baik, jahat, kaya,
miskin, dll. Melalui variable wayang kulit ini bisa menciptakan karakter yang
Islami diantarannya adalah karakter kyai atau ulama6 Kedua, adalah cerita yang
menggambarkan situasi kejadian dan pesan-pesan yang ada dalam pementasan
wayang kulit. Cerita dalam pewayangan juga berfungsi sebagai media dakwah
atau sebagai sarana untuk menyampaikan ajaran keagaaman.7 Ketiga, adalah
dalang, karena sosok dalang sesungguhnya bukan seorang dewa (juru penerang
5 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004), Cet.
Ke-IV, h.203 6 Sri Mulyono, Wayang; Asal Usuil Filsafat dan Masa Depannya (PT, Gunung Agung,
1976) h.154 7 Sri Mulyono, Simbolisme dan Mistisme dalam Wayang (Jakarta: PT.Gunung Agung,
1979), Cet. Ke-I, h. 77
5
yang serba bisa) tetapi juga bisa disebut pembawa kaca benggala (cermin besar)
yang berperan sebagai seorang budayawan, guru, kritikus, dan seorang juru bicara
yang bisa mengartikilasi isi hati, alam pikiran dan alam rasa8 Ini merupakan
variable sentral terhadap keberhasilan pementasan wayang kulit, sehingga dapat
menarik perhatian masyarakat.
Salah satu pementasan wayang kulit yang berada di Pringapus Semarang,
dalam sejarahnya , sejah zaman dahulu wayang kulit bisa dikatakan media yang
sampai sekarang masih digaunakan dalam aktifitas berdakwah, masyarakat
Pringapus Semarang adalah masyarakat yang sederhana mereka adalah
masyarakat yang agraris, hasil bumi berupa beras, dan sayur-sayuran merupakan
komiditas yang mereka andalkan untuk pendapatan mereka sehari-hari. Tak
bedanya dengan desa-desa lain dapat dikatakan memiliki pertumbuhan yang
cukup lambat di dalam pembangunan, keberhasilan wayang kulit sebagai media
dakwah di pringapus semarang masih dapat dirasakan yang terlihat dari sikap dan
tutur kata masyakat Pringapus Semarang.
Berdasarkan latar belakang maslah di atas maka penulis menusun skripsi
dengan judul berjudul ”WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH (Studi
Pada Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang)”.
8 Suwaji Bastomi, etika, Nilai-nilai Seni Pewayangan, (Semarang; Dahara Prize, 1993),
Cet.ke-I h.59
6
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan ini lebih terarah, maka penulis hanya membatasi
pembahasan ini pada daerah pementasan wayang kulit pada masyarakat Pringapus
Semarang saja tanpa harus melebar luas ke topik pembahasan yang lain.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
a. Apa bahasa dan nilai-nilai dakwah dalam pementasan wayang kulit dalang Ki
Sudardi di desa Pringapus Semarang ?
b. Bagaimana teknik penyampaian pesan-pesan dakwah dalam pementasan
wayang kulit dalang Ki Sudardi di desa Pringapus Semarang ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada pokok permasalahan di atas, maka penelitian ini
bertujuan untuk :
a. Penulis ingin mengungkap lebih dalam tentang pementasan wayang kulit Ki
Sudardi sebagai media dakwah pada masyarakat Pringapus Semarang.
b. Penulis ingin mengetahui lebih dalam pandangan masyarakat terhadap wayang
kulit Ki Sudardi di Pringapus Semarang
c. Kajian ini memberikan kontribusi bagi khazanah sejarah islam Indonesia.
Untuk menjadikan Akultrasi, Rekomendasi, serta sebagai media Praktis, dan
7
menambah literatur kebudayaan yang berkaitan dengan sejarah Islam yang ada
di Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai refrensi wacana keilmuan
dakwah, khususnya program dakwah melalui media seni seperti wayang kulit
sebagai media dakwah.
b. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan baru bagi para aktivis dakwah,
akademisi serta masyarakat umum yang konsen pada perkembangan dakwah
untuk menjadikan seni budaya wayang kulit sebagai media dakwah.
c. Hasil penelitian ini menjadi acuan bagi masyarakat yang mencintai seni
budaya wayang kulit dan para budayawan agar dapat melestarikan bahkan
mengemas seni budaya tersebut sehingga lebih dirasakan manfaatnya
khususnya dalam syiar Islam.
D. Metodologi Penelitian
Penulisan dalam skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif diskriftif
dengan metode deskriptif anlisis. Penulis akan menggambarkan dan menguraikan
secara factual apa yang dilihat dan ditemukan dari objek penelitian ini. Bagdan
dan Taylor dalam buku penelitian kualitatif mendefinisikan “Metode kualitatif
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau tulisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”.9
9 Lexy. J. Moeleng, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdya Karya,
1933) cet. Ke- 1, h. 3
8
Dean J. Champion dalam bukunya mengatakan bahwa penelitian kualitatif
adalah penelitian yang berfungsi untuk mendata atau mengelompokan sederet
unsur yang terlihat sebagai pembentukan suatu bidang persoalan yang ada.10
1. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dari penelitian ini adalah Ki Sudardi. Dan objek dari penelitian ini
adalah Pementasan Wayang Kulit di Pringapus Semarang.
2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan dimulai pada tanggal 10 April
2010 sampai 10 Juni 2010. Sedangkan tempat penelitian ini adalah Pringapus
Semarang.
3. Tekhnik Pengumpulan Data
a. Observasi, yaitu pengamatan langung terhadap pementasan wayang kulit di
Pringapus Semarang.
b. Wawancara, yakni suatu cara untuk mengumpulkan data dengan mengajukan
pertanyaan langsung kepada seorang narasumber dalam hal ini Ki Sudardi.
Maksud dari wawancara ini adalah untuk mengungkap riwayat hidup, aktifitas
dan lain-lain, terutama untuk melengkapi data, guna menjawab rumusan
masalah yang peneliti ajukan.
c. Study Dokumentasi, adalah merupakan tekhnik yang juga dilakukan dalam
mengumpulkan data berupa buku, majalah, makalah, ataupun literatur-literatur
lainnya. Peneulis akan mengumpulkan beberapa foto, video, dan gambar
aplikasi Dalang Ki Sudardi pada pementasan di Pringapus Semarang.
10 Dean J. Champion, Metode dan Masalah Penelitian, (Bandung: Refika Aditama, 1998)
h. 6
9
4. Tekhnik Analisa Data
Analisa data menurut Patton (1980), adalah proses mengatur uraian data.
Mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan suatu uraian dasar. Ia
membedakannya dengan penafsiran, yaitu memberikan arti yang signifikan
terhadap analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan diantara
dimensi-dimensi uraian.11
5. Tekhnik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis mengacu kepada buku “Pedoman
Akademik Fakultas Dakwah dan Komunikasi ( FDK)” yang diterbikan oleh
Dakwah Press tahun 2006-2007.
E. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab, dengan perincian sebagai
berikut:
BAB I : Pendahuluan yang memuat latar belakang, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat pnelitian serta sistematika
penulisan.
BAB II : Tinjauan teoritis, yang memuat ruang lingkup dakwah berupa,
pengertian dakwah, subjek dan objek dakwah, metode dakwah,
materi dakwah, dan tujuan dakwah. Ruang lingkup wayang kulit yaitu,
pengertian wayang kulit serta perkembangan wayang kulit, dan dalang
sebagai juru dakwah.
11 Lexy J. Meleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bnadung : PT. Remaja Rosdya Karya,
Cet. Ke-10, h. 103
10
BAB III : Meneskripsikan mengenai profil dalang Ki Sudardi yang terdiri dari
riwayat hidup, pendidikan, pengalaman beliau serta aktifitas dalam
pementasan wayang kulit di Pringapus Semarang.
BAB IV : Dalam bab ini berisikan data penelitian dan analisa data penelitian,
menguraikan tentang kiprah pementasan wayang kulit oleh dalang Ki
Sudardi, serta pandangan masyarakat mengenai kiprah wayang kulit di
Pringapus Semerang.
BAB V : Penutup, memuat kesimpulan yang didasarkan pada uraian-uraian dan
bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya dan juga memuat saran-
saran serta dilengkapi dengan daftar pustaka.
11
11
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Ruang Lingkup Dakwah
1. Pengertian Dakwah
Kata dakwah berasal dari bahasa Arab (da’a) yang artinya menyeru,
memanggil, mengajak, dan menjamu. Kedua yaitu : (yad’u) yang artinya
memannggil, mendo’a dan memohon.1
Secara etimologi, kata dakwah sebagai bentuk mashdar dari kata da’a
(fi’il madhi) dan yad’u (fi’il mudhari’) yang artinya memanggil (to call),
mengundang (to invite), dll. (Warson Munawir, 1994 : 439). Dakwah dalam
pengertian ini dapat dijumpai dalam Al Qur’an yaitu pada surat Yusuf : 33 dan
Surat Yunus : 25.
Dalam Al Qur’an, dakwah dalam arti mengajak ditemukan sebanyak 46
kali, 39 kali dalam arti mengajak kepada Isalam dan kebaikan, 7 kali ditemukan
dalam makna mengajak kepada mereka dan kejahatan
Beberapa dari ayat tersebut adalah :
1. Mengajak manusia kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran ( QS. Ali
Imran : 104)
2. Mengajak manusia kepada jalan Tuhan (QS an-Nahl : 125)
3. Mengajak manusia kepada agama Islam (QS as-Shaf : 7)
4. Mengajak manusia kepada jalan yang lurus (QS al-Mukminun : 73)
1 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 127
12
5. Memutuskan perkara dalam kehidupan umat manusia, kitabullah dan
sunnaturrasul (QS an-Nur : 48 dan 51, serta QS Ali Imran : 23)
6. Menggajak ke surga (QS al-Baqarah : 122)
Definisi dakwah di dalam Islam adalah sebagai kegiatan “mengajak,
mendorong dan memotivasi orang lain berdasarkan bashirah untuk meniti jalan
Allah dan istiqomah di jalanNya serta berjuang bersama meninggikan agama-
Nya. Kata mengajak, memotivasi, dan mendorong adalah kegiatan dakwah dalam
ruang lingkup tabligh. Kata bashirah untuk menunjukkan dakwah itu harus
dengan ilmu dan perencanaan yang baik. Kalimat meniti jalan Allah untuk
menunjukkan tujuan dakwah yaitu mardhatillah (keridhoan Allah). Kalimat
istiqamah di jalan-Nya untuk menunjukkan dakwah itu harus berkesinambungan.
Sedangkan kalimat berjuang bersama meninggikan agama Allah untuk
menunjukkan dakwah bukan untuk menciptakan kesalehan pribadi. Untuk
mewujudkan masyarakat yang saleh tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, tetapi
harus bersama-sama.
Definisi di atas mencakup pengertian-pengertian sebagai berikut:
1. Dakwah adalah suatu aktivitas atau kegiatan yang bersifat menyeru atau
mengajak kepada orang lain untuk mengamalkan ajaran Islam.
2. Dakwah adalah suatu proses penyampaian ajaran Islam yang dilakukan
secara sadar dan sengaja.
3. Dakwah adalah suatu aktivitas yang pelaksanaannya bisa dilakukan dengan
berbagai cara atau metode.
4. Dakwah adalah kegiatan yang direncanakan dengan tujuan mencari
kebahagiaan hidup dunia dan akhirat dengan dasar keridhaan Allah.
13
5. Dakwah adalah usaha peningkatan pemahaman keagamaan yang mengubah
pandangan hidup, sikap batin dan prilaku umat yang tidak sesuai dengan
ajaran Islam menjadi sesuai dengan tuntunan syari’at untuk memperoleh
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Sedangkan secara istilah dakwah didefinisikan beragam. Hal ini
tergantung dari sudut mana para ahli ilmu dakwah dalam memberikan pengertian
atau definisi dakwah itu sendiri.
a. Menurut M. Quraish Shihab, dakwah adalah seruan atau ajakan kepada
keinsyafan atau usaha mengubah situasi kepada situasi yang lebih baik dan
sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat.2
b. Menurut Syekh Muhammad Abduh, ringkasnya dakwah adalah menyeru
kepada kebaikan, dan mencegah dari yang mungkar adalah fardlu yang
diwajibkan kepada setiap muslim. 3
c. Arifin, M. Ed. Mengatakan bahwa dakwah mengandung pengertian sebagai
suatu kegiatan ajakan, baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku, dan
sebagainya yang dilakukan secara sadar dan terencana dalam usaha
mempengaruhi orang lain secara individual maupun kelompok, supaya timbul
dalam dirinya suatu pengertian, kesadaran, sikap, penghayatan serta
pengalaman terhadap ajaran agama sebagai pesan yan disampaikan padanya
tanpa unsur paksaan. 4
2 Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung Mizan. 1996), Cet ke-XIX, h. 194. 3 Sayyid. M. Nuh, Dakwah Fardiyyah dalam Manhaj Amal Islami,(Solo: Citra Islami
Press, 1996), h.28 4 Arifin, M. Ed, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), h. 54
14
Jadi dakwah adalah suatu usaha atau proses yang diselenggarakan dengan
sadar, terencana, dan usaha yang dilakukan adalah mengajak umat manusia ke
jalan Allah, memperbaiki situasi yang lebih baik. Usaha tersebut dilakukan dalam
rangka mencapai tujuan tertentu, yakni agar manusia hidup dengan penuh
kebahagiaan dunia akhirat tanpa adanya unsur paksaan.
2. Subjek dan Objek Dakwah
Subjek dakwah (ulama, mubaligh, dan da’i), yaitu orang yang
melaksanakan tugas dakwah. Pelaksanaan tugas dakwah ini bisa perorangan atau
kelompok manusia yang memiliki nilai keteladanan yang baik (usawatun
hasanah) dalam segala hal.5
Daerah Da’i adalah mulai dari masyarakat desa yang primitif hingga
masyarakat industri yang telah terpengaruh diktatornya pengaruh ekonomi
raksasa dan teknologi ultra modern dan merajalelanya individualisme. Da’i
berbeda di tengah gejolak masyarakat yang bergejolak. Dengan demikian dapat
dikatakan behwa da’i adalah seorang yang harus paham benar tentang kondisi
masyarakat itu dari berbagai segi, psikologi, sosial, budaya, etnis, ekonomi,
politik, mahluk tuhan ahsani takwim.6
Muhammad Ghazali juga menegaskan dua syarat utama yang harus
dimiliki oleh seorang juru dakwah, yaitu: pengetahuan mendalam tentang Islam
dan juru dakwah harus memiliki jiwa kebenaran (ruh yang penuh dengan
kebenaran, kegiatan, kesadaran, kemajuan).7
5 Rafiudin, Maman Addul Jalil, Prinsip dan Strategi Dakwah,(Bandung : CV. Pustaka
Setia, 1997), cet. Ke-1, hal. 47 6 M. Syafaat Habib, Buku Pedoman Dakwah, (Jakarta: Wijaya, 1982), cet Ke-1, hal.106
15
Objek dakwah itu juga disebut mad’u, yaitu orang-orang yang diseru,
dipanggil, atau diundang. Berdasarkan kenyataan yang berkembang dalam
masyarakat bila dilihat dalam aspek kehidupan psikologis, maka dalam
pelaksanaan program kegiatan dakwah, sasaran dakwahnya tarbagi menjadi:
a. Sasaran yang menyangkut kelempok masyarakat, dilihat dari segi sosiologis
barupa masyarakat yang terasing, pedesaan, kota besar dan kota kecil, serta
masyarakat di daerah marginal dari kota besar.
b. Sasaran yang berupa kelompok-kelompok masyarakat yang dilihat dari segi
struktur kelembagaan berupa masyarakat, pemerintah dan keluarga.
c. Sasaran yang berupa kelompok-kelompok masarakat dilihat dari segi sosial
struktural berupa golongan priayi, abangan dan santri. Klasifikasi terutama
terdapat dalam masyarakat di jawa.
d. Sasaran yang berhubunagn dengan golongan dilihat dari segi tingkat usia
berupa golongan anak-anak, remaja, dan orang tua.
e. Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi tingkat
hidup sosial ekonomi berupa golongan orang kaya, menengah dan mkiskin.
f. Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi okupasional
(profesi dan pekerjaan), berupa golongan petani, pedagang, seniman, buruh,
pegawai negeri, dan sebagainya.8
7 Ibid, h. 167 8 M. Arifin, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), ed. Ke-2 cet. Ke-4, hal. 47
16
3. Metode Dakwah
Dalam melakukan suatu kegitan dakwah, diperlukan metode penyampaian
yang tepat agar tujuan dakwah tercapai. Metode dalam kegiatan dakwah adalah
suatu cara dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah. Metode dakwah adalah
cara yang dipakai da’i dalam menyebarkan agama Islam.
Menurut Drs. Abdul Kadir Munsyi: Metode artinya cara untuk
menyampaikan sesuatu. Yang dinamakan metode dakwah ialah, cara yang
dipakai atau yang digunakan untuk memberikan dakwah. Metode ini penting
untuk mengantarkan kepada tujuan yang akan dicapai.9
Banyak ayat Al-Qur’an yang mengungkapkan masalah dakwah namun
dari kesekian banyak ayat itu, yang dapat dijadikan sebagai acuan utama dalam
prinsip metode dakwah secara umum adalah surat an-Nahl ayat: 125, yaitu:
ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي
هي أحسن إن ربك هو أعلم بمن ضل عن سبيله وهو أعلم بالمهتدين
Artinya :
” serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat di jalan-Nya dan dialah yang mengetahui orang-orang yang dapat petunjuk”.
Dari pernyataan Surat an-Nahl ayat 125 tersebut dapat dijelaskan bahwa
seruan dan ajakan menuju jalan Allah (din al-Islam) harus menggunakan metode-
metode al-hikmah, al-mauidzah, a-hasanah, dan mujadalah bi alati hiya ahsan.
9 Alwisral Imam Zaidallah, Starategi Dakwah dalam Membentuk Da’I dan Khotib
Propesional, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 16
17
4. Materi Dakwah
Menurut Asmuni Syukir dalam bukunya dasar-dasar stategi dakwah
Islam. Secara global materi materi dakwah dapat di klasifikasikan menjadi tiga
hal pokok, yaitu:
a. Masalah Aqidah
Aqidah dalam islam bersifat I’tiqad bathiniyah yang mencakup masalah-
masalah yang erat hubungannya dengan rukun Iman. Di bidang aqidah ini
pembahasannya bukan saja tertuju pada masalah-masalah yang wajib di’Imani,
akan tetapi materi dakwah meliputi masalah-masalah yang dilarang sebagai
lawannya, misalnya Syirik (menyekutukan adanya Tuhan), Ingkar dengan adanya
Tuhan dan sebagainya.
b. Masalah Syari’ah
Syar’Iyah dalam Islam adalah berhubungan erat dengan amal lahir (nyata)
dalam rangka mentaati semua peraturan atau hukum Allah guna mengatur
hubungan antara manusia dengan tuhannya dan mengatur pergaulan hidup antar
sesame manusia
c. Masalah Akhlaqul Karimah
masalah Akhlak dalam aktivitas dakwah (sebagai materi dakwah)
merupakan pelengkap saja, yakni untuk melengkapi keimanan dan keislaman
seseorang. Meskipun akhlak ini berfungsi sebagai pelengkap, bukan berarti
masalah akhlak kurang penting dibandingkan dengan masalah keimanan, akan
tetapi akhlak adalah sebagai penyempurna dan keislaman.10
10Ibid, h.63
18
5. Tujuan Dakwah
Tujuan utama dakwah adalah terwujudnya kebahagian hidup dan
kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat yang diridoi Allah SWT.
Syeikh Ali Mahfudz merumiskan, bahwa tujuan dakwah ada lima perkara,
yaitu:
1. Menyiarkan tuntutan Islam, membetulkan aqidah, dan meluruskan amal
perbuatan manusia, terutama budi pekertinya.
2. Memindahkan hati dari keadaan yang jelek kepada kedaan yang baik.
3. Membentuk persaudaraan dan menguatkan tali persatuan diantara kaum
muslimin.
4. Menolak faham atheisme dengan mengimbangi cara-cara mereka bekerja.
5. Menolak syubha-syubhat, bid’ah dan khurafat atau kepercayaan yang tidak
bersumber dari agama dengan mendalami islam Ushuluddin.11
B. Ruang Lingkup Wayang Kulit
1. Pengertian Wayang Kulit
Pengertian wayang menurut kamus Besar Bahasa Indonesia adalah :
“Boneka tiruan yang dibuat dari kulit yang diukir, kayu yang dipahat, dan
sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dipertunjukan
drama tradisional yang dimainkan oleh seorang dalang.”12
Pengertian wayang adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat
bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya
adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang. Tapi akhirnya makna kata
11 Hasanuddin, Hukum Dakwah: Tinjauan Aspek Hukum dan Berdakwah di Indonesia. (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996) . Cet ke-1, h. 33-34
12 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Indonesia.h, 1010
19
ini meluas menjadi segala bentuk pertunjukan yang menggunakan dalang sebagai
penuturnya disebut wayang. Oleh karena itu terdapat wayang golek, wayang
beber, dan lain-lain. Pengecualian terhadap wayang orang yang tiap boneka
wayang tersebut diperankan oleh aktor dan aktris sehingga menyerupai
pertunjukan drama.13
Wayang adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di
Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada
tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam
bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of
Oral and Intangible Heritage of Humanity).
Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia, yang terutama
berkembang di Jawa dan di sebelah timur semenanjung Malaysia seperti di
Kelantan dan Terengganu. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang
juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik
gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan
oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar
yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik
atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain
dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat
memahami cerita wayang(lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan
tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.
Dan di dalam wayang kulit terdapat tokoh sebagai peran utama dalam
cerita pakem jawa diantaranya adalah :
13 Sri Mulyono, Wayang: asal-usul Filsafat dan Masa Depannya (PT. Gunung Agung,
1976), h. 154
20
Puntadewa14 Sebagai raja (Syahadat bagaikan rajanya rajanya Rukun
Islam) dan saudara-saudaranya merupakan symbol rukun Islam. Puntadewa
memiliki sifat ”berbudi bawa leksana, berbudi luhur dan penuh kewibawaan.
Seorang raja yang arif bijaksana, adil dalam ucapan dan perbuatan (al-adlu),
sebagai pengajawantahan dari kalimat syahadat yang selamanya mengilhami
kearifan dan keadilan. Puntawa memimpin ke-4 adiknya atau bias dikatakan
keempat saudaranya dalam suka duka dan penuh kasih sayang. Demikian pula
dalam rukun Islam yang kedua, ketiga, keempat, dan kelima namun tidak
menjalankan rukun Islam yang pertama maka seluruh amalnya akan sia-sia.
Terlebih orang yang akan menyebutnua sebagai orang yang munafik (hipokrit).
Prabu Puntadewa tidak pernah mati selama ia memiliki azimat “Kalimaosodo”
(kalimat syahadat atau stayadatain), senantiasa unggul dalam setiap perjuangan
dan selalu ikhlas dan menyayangi rakyarnya.
Tokoh Bima atau Werkudara15, dia dipersonifikasikan sebagai rukun
Islam yang kedua yaitu Shalat lima waktu. Dalam kisah pewayangan, Bima
terkenal sebagai penegak Pandawa. Ia hanya bias berdiri saja, Karena memang
tidak biasa duduk, konon menurut cerita pewayangan “tidurpun Bima dengan
berdiri.” Seperti halnya hadist Nabi Muhammad SAW yang artinya :
14 Puntadewa atau Yudistira merupakan saudara para Pandawa yang paling tua. Ia
merupakan penjelmaan dari Dewa Yama dan lahir dari Kunti. Sifatnya sangat bijaksana, tidak memiliki musuh, dan hampir tak pernah berdusta seumur hidupnya. Memiliki moral yang sangat tinggi dan suka mema’afkan serta suka mengampuni musuh yang sudah menyerah.
15 Bima merupakan putera kedua Kunti dengan Pandu. Nama bhimā dalam bahasa Sansekerta memiliki arti "mengerikan". Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Bayu sehingga memiliki nama julukan Bayusutha. Bima sangat kuat, lengannya panjang, tubuhnya tinggi, dan berwajah paling sangar di antara saudara-saudaranya. Meskipun demikian, ia memiliki hati yang baik. “artikel di akses tanggal 25 Mei 2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pandawa.
21
“Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang menjalankannya maka ia menegakkan Islam dan barang siapa yang meninggalkannya maka ia merobohkan Islam “
Dalam kehidupannya sehari-hari Bima selalu menggunakan “Bahasa
Ngoko” atau bahasa jawa kasar baik itu kepada dewa, pendeta, kyai, dan lain
sebagainya lambing rukun Islam yang kedua shalat lima waktu, maka shalat
berlaku terhadap siapapun, kapanpun, dan dimanapun.
Arjuna atau Janoko16, dia di personifikasikan sebagai rukun Islam yang
ketiga yaitu Zakat. dalam cerita pewayangan dia disebut sebagai “lelanganing
jagad” (lelaki pilihan). Nama Arjuna berasal dari kata “Jun” yang artinya
Jambangan. Benda ini merupakan symbol jiwa yang bersih. Banyak wanita yang
“nandhang gandrung kapirangu lan kapilayu” (tergila-gila) kepadanya. Arjuna
memiliki sifat yang sangat lemah lembut, terlebih kaum wanita, dia sangat tidak
bias mengatakan “tidak” (seperti orang jawa pada umumnya diluar mengatakan
tidak padahal batinnya meng’iyakan). Dengan kehalusan dan kelembutan Arjuna
maka ia terlihat lemah dan tidak berdaya, namun sebenarnya dibalik kehalusanya
terdapat kekuatan yang sangat luar biasa. Terbukti Arjuna selalu unggul di dalam
setiap petempuran. Maka demikianlah zakat sebagai rukun Islam yang kertiga
16 Arjuna merupakan putera bungsu Kunti dengan Pandu. Namanya (dalam bahasa
Sansekerta) memiliki arti "yang bersinar", "yang bercahaya". Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Indra, Sang Dewa perang. Arjuna memiliki kemahiran dalam ilmu memanah dan dianggap sebagai ksatria terbaik oleh Drona. Kemahirannnya dalam ilmu peperangan menjadikannya sebagai tumpuan para Pandawa agar mampu memperoleh kemenangan saat pertempuran akbar di Kurukshetra. Arjuna memiliki banyak nama panggilan, seperti misalnya Dhananjaya (perebut kekayaan – karena ia berhasil mengumpulkan upeti saat upacara Rajasuya yang diselenggarakan Yudistira); Kirti (yang bermahkota indah – karena ia diberi mahkota indah oleh Dewa Indra saat berada di surga); Partha (putera Kunti – karena ia merupakan putera Pritha alias Kunti). Dalam pertempuran di Kurukshetra, ia berhasil memperoleh kemenangan dan Yudistira diangkat menjadi raja. Setelah Yudistira mangkat, ia melakukan perjalanan suci ke gunung Himalaya bersama para Pandawa dan melepaskan segala kehidupan duniawai. Di sana ia meninggal dalam perjalanan dan mencapai surga. Nama lain Janaka, senjata utama ialah panah Pasopati. (http://id.wikipedia.org/wiki/Pandawa)
22
yang kewajiban bagi setiap muslim disini juga mengandung arti agar setiap
muslim dimanapun berada agar beerjuang untuk mendapatkan rizqi dan
kekayaan. Setiap oaring pasti menginginkan “mas peci raja brana “ (harta
kekayaan dan lain-lainnya). Maka agar harta itu berfungsi social dan pembersih
maka harus di zakati agar suci dan bersih lahir batinnya.
Nakula dan Sadewa17, dia dipersonifikasikan sebagai rukun Islam yang
keempat dan kelima yaitu Puasa di bulan Ramadhan dan Haji. Kedua tokoh ini
hanya bertemu pada saat-saat tertentu saja. Demikian juga dengan puasa
ramadhan dan haji tidak setiap hari dikerjakan. Hanya dikerjakan dalam waktu
tertentu saja misalnya, puasa setahun sekali pada bulan ramadhan, dan haji juga
setahun sekali pada bulan dzulhijah di Mekkah al-Mukaromah. Pandawa
bukanlah Pandawa tanpa si kembar nakula sadewa, meskipun mereka ini lahir
dari ibu yang lain, Dewi Madrim yang ikut “labuh geni” (menceburkan diri
17 Nakula merupakan salah satu putera kembar pasangan Madri dan Pandu. Ia
merupakan penjelmaan Dewa kembar bernama Aswin, Sang Dewa pengobatan. Saudara kembarnya bernama Sadewa, yang lebih kecil darinya, dan merupakan penjelmaan Dewa Aswin juga. Setelah kedua orangtuanya meninggal, ia bersama adiknya diasuh oleh Kunti, istri Pandu yang lain. Nakula pandai memainkan senjata pedang. Dropadi berkata bahwa Nakula merupakan pria yang paling tampan di dunia dan merupakan seorang ksatria berpedang yang tangguh. Ia giat bekerja dan senang melayani kakak-kakaknya. Dalam masa pengasingan di hutan, Nakula dan tiga Pandawa yang lainnya sempat meninggal karena minum racun, namun ia hidup kembali atas permohonan Yudistira. Dalam penyamaran di Kerajaan Matsya yang dipimpin oleh Raja Wirata, ia berperan sebagai pengasuh kuda. Menjelang akhir hidupnya, ia mengikuti pejalanan suci ke gunung Himalaya bersama kakak-kakaknya. Di sana ia meninggal dalam perjalanan dan arwahnya mencapai surga
Sadewa merupakan salah satu putera kembar pasangan Madri dan Pandu. Ia merupakan penjelmaan Dewa kembar bernama Aswin, Sang Dewa pengobatan. Saudara kembarnya bernama Nakula, yang lebih besar darinya, dan merupakan penjelmaan Dewa Aswin juga. Setelah kedua orangtuanya meninggal, ia bersama kakaknya diasuh oleh Kunti, istri Pandu yang lain. Sadewa adalah orang yang sangat rajin dan bijaksana. Sadewa juga merupakan seseorang yang ahli dalam ilmu astronomi. Yudistira pernah berkata bahwa Sadewa merupakan pria yang bijaksana, setara dengan Brihaspati, guru para Dewa. Ia giat bekerja dan senang melayani kakak-kakaknya. Dalam penyamaran di Kerajaan Matsya yang dipimpin oleh Raja Wirata, ia berperan sebagai pengembala sapi. Menjelang akhir hidupnya, ia mengikuti pejalanan suci ke gunung Himalaya bersama kakak-kakaknya. Di sana ia meninggal dalam perjalanan dan arwahnya mencapai surga. (http://id.wikipedia.org/wiki/Pandawa)
23
kedalam api bila suaminya meninggal menurut tradisi Hindu) dengan suaminya
Pandu Dewanata. Memang dengan demikian Puasa Ramadhan dan Haji lahir
pada bulan-bulan tertentu (ramadhan dan zhulhijah).
2. Sejarah Perkembangan Wayang Kulit
WAYANG adalah salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia
khususnya di pulau Jawa yang paling menonjol di antara banyak karya budaya
lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur,
seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang,
yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan,
dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.
Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang
merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang
sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun
cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari
karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu
dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk
menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.
Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan
filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan.
Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari
salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak
keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_ pewayangan
sengaja diciptakan para budayawan Indonesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk
24
memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-
benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur
kebaikan dan kejahatan.
Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche
Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau
menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa.
Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit
yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang
dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.18
Ada dua pendapat mengenai asal - usul wayang. Pertama, pendapat bahwa
wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur.
Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli
bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di
antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes,
Kats, Rentse, dan Kruyt.
Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat
erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia,
khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni
Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan
tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya
berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.
Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang
dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah
18 S. Haryono, Pratiwimba Adiluhung, Sejarah dan Perkembangan Wayang,
(Yogyakarta: Penerbit Djambatan, 1988), Cet, ke-1 h-24
25
Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar
kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah
India.
Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah
sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak
diimpor dari negara lain. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia
setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -
1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya.
Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga
Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin
berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-
910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India,
Walmiki.
Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan
Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan
menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya.
Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan
gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata
bedanya derigan cerita asli versi India, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu
Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan
Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).
Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada
sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada
26
masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata “mawayang” dan `aringgit’
yang maksudnya adalah pertunjukan wayang.19
3. Dalang Sebagai Juru Dakwah
Dalam dunia pewayangan dalang merupakan unsur penting pada sebuah
pementasan, terlepas dari apa pun tema yang akan di pentaskan. Berkaitan
dengan kegiatan dakwah Islamiah, seorang dalang pun dapat di katagorikan
sebagai juru dakwah atau seorang Da’i melalui profesinya tersebut. Hal ini
memungkinkan karena dalam setiap pementasan sabuah pagelaran wayang
seorang dalang sangat mungkin menyampaikan pesan-pesan agamis dalam setiap
lakon yang dipentaskan. Dahulu pada saat awal-awalnya perkembangan Islam di
Nusantara, para penyebar Islam khususnya Walisongo yaitu Sunan Kali Jaga,
juga telah menggunakan media wayang untuk mendukung kegiatan dakwahnya,
dan ternyata berhasil. Faktor-faktor yang memungkinkan seorang dalang menjadi
seorang juru dakwah di antaranya adalah :
a. Karakter dalang yang faham betul isi cerita setiap lakon pewayangan yang
umumnya mengandung tema kehidupan sosial. Apapun temanya, baik tentang
kerajaan, mahabrata, cerita hindu dan sebagainya, namun semua itu bisa
dimasuki pesan-pesan bernilai Islami tanpa harus merubah inti dan isi cerita
secara keseluruhan atau sebagian, dengan kecerdasan dan wawasann yang
dimiliki, profesi seorang dalang dapat dengan mudah untuk melakukannnya.
b. Wayang merupakan kesenian tradisional yang masih banyak digemari, dan
biasanya dalang sangat dikagumi oleh para penggemarnya. Situasi ini dapat
19 Sri Mulyono, Wayang: asal-usul Filsafat dan Masa Depannya (PT. Gunung Agung,
1976), h. 239-245
27
digunakan oleh seorang dalang untuk menyampaikan pesan-pesan bernilai
Islami pada setiap pementasannya, tentunya di selingi oleh humor-humor
yang mendidik yang dapat mempengaruhi para audiennya.
c. Tema wayang mengikuti zaman, sehingga dalang tidak akan ditinggalkan
oleh penggemarnya, sehingga ia akan terus berdakwah.
d. Dalang adalah Guru, Victoria M, Clara dalam bukunya Dalang di Balik
Wayang (1967) ”menyatakan bahwa dalang yang dahulu menganggap dirinya
sendiri sebagai guru masyarakat , sekarang justru menyebut dirinya sebagai
seniman, sementara itu kaum elit baru, berbeda dari kaum tradisional, justru
sekarang tertarik pertama-tama dan terutama terhadap peranan dalang sebagai
guru, tulisnya.”20
20 Sigit Oerdianto, “Berdakwah Keliling Kota dengan Wayang Kulit, Suara Merdeka,
senin 31 Oktober 2008
28
BAB III
GAMBARAN UMUM WAYANG DAN PROFIL DALANG KI
SUDARDI
A. Gambaran Umum Wayang
a. Pengertian Wayang
Pengertian wayang menurut kamus Besar Bahasa Indonesia adalah :
“Boneka tiruan yang dibuat dari kulit yang diukir, kayu yang dipahat, dan
sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dipertunjukan
drama tradisional yang dimainkan oleh seorang dalang.”1
Pengertian wayang adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat
bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya
adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang. Tapi akhirnya makna kata
ini meluas menjadi segala bentuk pertunjukan yang menggunakan dalang sebagai
penuturnya disebut wayang. Oleh karena itu terdapat wayang golek, wayang
beber, dan lain-lain. Pengecualian terhadap wayang orang yang tiap boneka
wayang tersebut diperankan oleh aktor dan aktris sehingga menyerupai
pertunjukan drama.2
b. Jenis - Jenis Wayang
Wayang dikenal sejak zaman prasejarah yaitu sekitar 1500 tahun sebelum
Masehi. Masyarakat Indonesia memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan
roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam
bentuk arca atau gambar.
1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Indonesia.h, 1010 2 Sri Mulyono, Wayang: asal-usul Filsafat dan Masa Depannya (PT. Gunung Agung,
1976), h. 154
28
29
Wayang merupakan seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang
di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada
tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam
bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of
Oral and Intangible Heritage of Humanity).3
Ada versi wayang yang dimainkan oleh orang dengan memakai kostum,
yang dikenal sebagai wayang orang, dan ada pula wayang yang berupa
sekumpulan boneka yang dimainkan oleh dalang. Wayang yang dimainkan dalang
ini diantaranya berupa wayang kulit atau wayang golek. Cerita yang dikisahkan
dalam pagelaran wayang biasanya berasal dari Mahabharata dan Ramayana.
Pertunjukan wayang di setiap negara memiliki teknik dan gayanya sendiri,
dengan demikian wayang Indonesia merupakan buatan orang Indonesia asli yang
memiliki cerita, gaya dan dalang yang luar biasa.
Kadangkala repertoar cerita Panji dan cerita Menak (cerita-cerita Islam)
dipentaskan pula.
Wayang, oleh para pendahulu negeri ini sangat mengandung arti yang
sangat dalam. Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam
mengembangkan Wayang. Para Wali di Tanah Jawa sudah mengatur sedemikian
rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di Jawa Timur, kedua Wayang
Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang Golek di Jawa
Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain. Yaitu "Mana yang
Isi(Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) harus dicari (Wayang
Golek)".
3 S. Haryono, Pratiwimba Adiluhung, Sejarah dan Perkembangan Wayang, (Yogyakarta:
Penerbit Djambatan, 1988), Cet, ke-1 h- 5-6
30
Jenis-jenis Wayang :
1. Wayang purwa atau wayang kulit purwa. Kata purwa (pertama) dipakai untuk
membedakan wayang jenis ini dengan wayang kulit yang lainnya. Banyak jenis
wayang kulit mulai dari wayang wahyu, wayang sadat, wayang gedhog, wayang
kancil, wayang pancasila dan sebagainya. Purwa berarti awal, wayang purwa
diperkirakan mempunyai umur yang paling tua di antara wayang kulit lainnya.
2. Wayang Madya adalah Wayang kulit yang diciptakan oleh Mangkunegara IV
sebagai penyambung cerita Wayang Purwa dengan Wayang Gedog. Cerita
Wayang Madya merupakan peralihan cerita Purwa ke cerita Panji. Salah satu
cerita Wayang Madya yang terkenal adalah cerita Anglingdarma. Wayang madya
tidak sempat berkembang di luar lingkungan Pura Mangkunegaran.Cerita Wayang
Madya menceritakan sejak wafatnya Prabu Yudayana sampai Prabu Jayalengkara
naik tahta. Cerita Wayang Madya ditulis oleh R.Ngabehi Tandakusuma dengan
judul Pakem Ringgit Madya yang terdiri dari lima jilid, dan tiap jilid berisi 20
cerita atau lakon.
3. Wayang Gedog atau Wayang Panji adalah wayang yang memakai cerita dari
serat Panji. Wayang ini mungkin telah ada sejak zaman Majapahit. Bentuk
wayangnya hampir sama dengan wayang purwa. Tokoh-tokoh kesatria selalu
memakai tekes dan rapekan. Tokoh-tokoh rajanya memakai garuda mungkur dan
gelung keling. Dalam cerita Panji tidak ada tokoh raksasa dan kera. Sebagai
gantinya, terdapat tokoh Prabu Klana dari Makassar yang memiliki tentara orang-
orang Bugis. Namun, tidak selamanya tokoh klana berasal dari Makassar, terdapat
pula tokoh-tokoh dari Bantarangin (Ponorogo), seperti Klana Siwandana,
31
kemudian dari Ternate seperti prabu Geniyara dan Daeng Purbayunus, dari Siam
seperti Prabu Maesadura, dan dari negara Bali.
Wayang gedog yang kita kenal sekarang, konon diciptakan oleh Sunan Giri pada
tahun 1485 (gaman naga kinaryeng bathara) pada saat mewakili raja Demak yang
sedang melakukan penyerbuan ke Jawa Timur (invasi Trenggono ke Pasuruan).
4. Wayang Golek adalah suatu seni pertunjukan wayang yang terbuat dari boneka
kayu, yang terutama sangat populer di wilayah Tanah Pasundan.
5. Wayang orang disebut juga dengan istilah wayang wong (bahasa Jawa) adalah
wayang yang dimainkan dengan menggunakan orang sebagai tokoh dalam cerita
wayang tersebut. Sesuai dengan nama sebutannya, wayang tersebut tidak lagi
dipergelarkan dengan memainkan boneka-boneka wayang (wayang kulit yang
biasanya terbuat dari bahan kulit kerbau ataupun yang lain), akan tetapi
menampilkan manusia-manusia sebagai pengganti boneka-boneka wayang
tersebut. Mereka memakai pakaian sama seperti hiasan-hiasan yang dipakai pada
wayang kulit. Supaya bentuk muka atau bangun muka mereka menyerupai
wayang kulit (kalau dilihat dari samping), sering kali pemain wayang orang ini
diubah/ dihias mukanya dengan tambahan gambar atau lukisan. 4
B. Profil Dalang Ki Sudardi
a. Sejarah Hidup Ki Sudardi
SUDARDI, KI. Lahir di Semarang pada tanggal 10 September 1946 di
sebuah desa Pringapus, kecamatan Klepu Kabupaten Semarang. Nama
lengkapnya H. Sudardi, sering dipanggil dengan sebutan Ki Sudardi. Merupakan
4 Artikel ini di akses tanggal 18 Juni 2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/WayangWayang
32
28
putra dari Satijan dan Sri Wahyuni yang merupakan tokoh masyarakat desa
Pringapus yang dikenal sebagai seorang pengusaha dan sesepuh desa.
Satijan atau yang dikenal sebagai Mbah Satijan merupakan pengusaha di
bidang pertanian, beliau dikenal sebagai orang yang memiliki banyak sawah, dan
beliau merupakan salah satu orang terkaya pada masanya. Ki Sudardi merupakan
anak pertama dari 5 bersaudara, diantaranya adalah Sudardi, Sudarto, Mulyono
Pangestu, Sri Sulastri, dan Suhendra.5
Ki Sudardi adalah dalang wayang Kulit Purwa yang terkenal di tahun
1987-an sampai saat ini. Pernah mengenyam pendidikan di Konservatori
Karawitan Indonesia Surakarta, selain mengikuti kursus pedalangan HBS dan
Kursus Pedalangan Pamardi Putri.
Ia merupakan salah satu dari beberapa dalang yang pernah ditugasi
mendalang di Keraton Kesultanan Yogyakarta, pada masa pemerintahan Sri
Sultan Hamengkubuwono ke X. Dalang lainnya yang juga mendapatkan
kehormatan tampil di Keraton adalah dalang-dalang pilihan pada jamannya. Tidak
banyak dalang yang mendapat kesempatan itu.
Ki Sudardi yang berasal dari desa kecil di Pringapus Semarang. Belajar
mendalang pertama kali ketika usianya 16 tahun. Mulai berani tampil di muka
umum sejak tahun 1962. Sebagai dalang ia pernah mendalang di daerah-daerah
khusunya di khusnya di pulau Jawa, dan pernah sesekali pentas di pulau Sumatra
(1980). Di samping mendalang, Ki Sudardi juga berprofesi sebagai seorang guru.
Beliau pensiun sebagai Guru SPG Negeri di Pringapus Semarang.
5 Wawancara Pribadi dengan Ki Sudardi, Desa Pringapus Semarang, tanggal 20 Mei
2010.
33
Atas jasa-jasanya mengembangkan dunia pewayangan khususnya di
Kabupaten Semarang, pada tahun 1984 Ki Sudardi mendapat anugerah Hadiah
Seni. Karena pengabdiannya di bidang seni pedalangan, beliau mendapat
anugerah dari Keraton Surakarta, Hadiah dari Hamengku Buwana X, mendapat
sebutan sebagai abdi dalem keraton.6
Beliau tergabung di dalam Perkumpulan Seni Wayang Kulit Smarangan,
bersama dalang-dalang yang berada di daerahnya, Ki Sudardi merupakan salah
seorang dalang yang dikenal pada masanya.
Ki Sudardi dikenal piawai dalam menggarap catur dan dramatisasi dalam
adegan-adegan. Sebagai seorang dalang beliau memfaforitkan beberapa dalang
pendahulu, di antaranya adalah Ki Pujosumarto, Ki Nyoto Carito, Ki Harjocarito,
Ki Nartosabda, Ki Amat Cremodisono dll. Dalam meniti kesuksesan dalam
berkarya, beliau berpendapat bahwa seorang dalang harus bisa mengikuti situasi
dan kondisi serta berpedoman Trikarsa: Melestarikan, mengembangkan dan
mengagungkan wayang.
b. Pendidikan Ki Sudardi
1. Secara Formal
H. Sudardi, yang akrap di panggil Ki Sudardi dalam perilaku
keseharinannya sejak duduk di bangku SD sudah menampakan sosok pribadi yang
kreatif dan dinamis dalam bergaul sesama teman seusianya.
Setelah selesai mengenyam pendidikan tingkat dasar (SD) pada tahun
1958, Ki Sudardi melanjutkan sekolah ke menengah tingkat pertama (SMP), pada
6 Arsip pementasan wayang kulit Ki Sudardi, Pringapus Semarang, 10 November 2007
34
masa-masa itu konsentrasi masa belajarnya banyak tertganggu oleh hobinya
mendalami ilmu pedalangan sampai lulus SMP pada tahun 1961. dengan tekadnya
untuk segera bisa mendalang termotivasi oleh dalang-dalang yang pernah pentas
di daerahnya. Selain itu Ki Sudardi juga pernah belajar mendalang oleh dalang Ki
Pujosumarto dan Ki Nyoto Carito.7
Pengalaman serta prestasi yang telah diraihnya sebagai juara dalang se-
kecamatan klepu yang diadakan oleh lurah desa Pringapus Semarang pada tahun
1965, sedang pada tahun 1984 Ki Sudardi mendapat anugerah Hadiah Seni.
Karena pengabdiannya di bidang seni pedalangan, beliau mendapat anugerah dari
Keraton Surakarta, Hadiah dari Hamengku Buwana X, mendapat sebutan sebagai
abdi dalem keraton, dan Ia merupakan salah satu dari beberapa dalang yang
pernah ditugasi mendalang oleh beliau, pada masa pemerintahannya. Dalang
lainnya yang juga mendapatkan kehormatan tampil di Istana kesultanan adalah
dalang-dalang pilihan pada jamannya. Tidak banyak dalang yang mendapat
kesempatan itu.8
2. Secara Non-formal
Ilmu pedalangan yang beliau peroles semata-mata diperoleh secara belajar
dengan dalang yang lebih dulu ada dan secara otodikdak. Refrensi tentang
pewayangan diambil dari berbagai sumber diantaranya sastra jawa dan pergaulan
dengan berbagai kalangan khususnya kalangan pedalangan, sehingga setiap dalam
pagelaran/pementasan selalu beradaptasi dengan apresiasi masyarakat serta dalam
penyajiannya selalu sesuai dengan perkembangan jaman.
7 Wawancara Pribadi dengan Ki Sudardi, Desa Pringapus Semarang, tanggal 20 Mei 2010 8 Arsip pementasan wayang kulit Ki Sudardi, Pringapus Semarang, 10 November 2007
35
C. Desa Pringapus Semarang
1. Sejarah Desa Pringapus Semarang
Desa Pringapus terletak di wilayah Kabupaten Semarang. Wilayah
Kabupaten Semarang merupakan wilayah Pembantu Gubernur Wilayah
Semarang, dengan Ibukota Ungaran. Jarak Pringapus dari pusat pemerintahan
kabupaten adalah 9 km ke arah selatan menuju Solo atau Jogjakarta.9
Pada tahun 2001, Desa Pringapus menjadi kecamatan, sebelumnya
wilayah Desa Pringapus termasuk dalam Kecamatan Klepu. Pada pertengahan
tahun 2005 bentuk pemerintahan desa Pringapus berubah statusnya menjadi
kelurahan. Akan tetapi, dalam penelitian ini penulis tetap menggunakan istilah
’desa’ karena perubahan status tersebut hanya bersifat administratif semata tanpa
ada pengaruh terhadap data pada objek penelitian. Dalam artian perubahan status
tersebut tidak berpengaruh pada keberadaan cerita yang ada dalam masyarakat.
Luas wilayah Desa Pringapus 509.380 Ha atau 5.093,8 km2.
Desa Pringapus adalah pusat pemerintahan Kecamatan Pringapus. Dengan
luas terbesar sebagai lahan pemukiman penduduk yaitu 642 km2 atau 64.202 Ha
sedangkan lainnya merupakan lahan pertanian baik sawah maupun ladang serta
kawasan industri. Dengan batas wilayahnya:
1. Sebelah Barat : Desa Derekan, Desa Klepu
2. Sebelah Timur : Desa Pringsari
3. Sebelah Utara : Desa Klepu, Desa Sambeng
4. Sebelah Selatan : Desa Jatirunggo
9Artikel di akses tanggal 25 Mei 2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pringapus.Semarang
36
Gambar1. Peta Desa Pringapus
Insert Peta Desa Pringapus
Desa Pringapus termasuk daerah dataran tinggi karena letaknya berada di sekitar
kaki Gunung Ungaran dengan ketinggian tanah 600 meter dari permukaan laut.
Selain itu, wilayahnya terdiri dari 7 dusun yaitu Krajan Barat, Krajan Timur,
Ngabean, Tangkil, Kalikidang, Ngetuk dan Wahyurejo atau Trembel yang
letaknya terpencar dan sebagian besar di kelilingi bukit-bukit kecil. Dari beberapa
dusun tersebut dusun Krajan Barat dan Krajan Timur merupakan pusat
pemerintahan Desa Pringapus.10
10 Artikel di akses tanggal 25 Mei 2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pringapus.Semarang
37
2. Kehidupan Sosial dan Budaya
a. Penduduk
Berdasarkan data pada tahun 2006, penduduk Desa Pringapus adalah
7.386 jiwa dengan perbandingan penduduk pria sebanyak 3.099 orang sedangkan
penduduk wanita sebanyak 4.287 orang. Akan tetapi terjadi pertambahan
penduduk dalam jumlah besar akibat dari banyaknya perantau yang bekerja di
pabrik-pabrik yang berada di wilayah Desa Pringapus yang kemudian menjadi
penduduk sementara.
Kehidupan masyarakat Desa Pringapus walaupun dalam kenyataan sudah
terjadi interaksi antara masyarakat pertanian dan masyarakat industri, tetapi masih
dapat dikategorikan tradisional. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan masih
eratnya hubungan antar masyarakat sebagai contoh warga Dusun Krajan Barat
tetap tahu dalam artian mengenal warga Dusun Wahyurejo walaupun jaraknya
termasuk jauh. Solidaritas masyarakat Desa Pringapus satu sama lain masih
tinggi, sebagai contoh ketika salah satu warga mempunyai hajat seperti
menikahkan anak, melahirkan bahkan kematian, tanpa adanya undangan hamper
semua warga lainnya, akan datang dan memberikan sumbangan. Dengan kata lain
pola kekerabatan masyarakat tidak terpengaruh oleh pola masyarakat industri
yang biasanya lebih cenderung hidup secara individu.
Sepintas, tidak tampak adanya perbedaan dalam hal status sosial pada
masyarakat Desa Pringapus. Akan tetapi dalam kenyataannya masih terdapat
pembedaan perlakuan kepada beberapa orang karena dianggap lebih terhormat
dibanding dengan masyarakat biasa yaitu tokoh agama, pejabat, pengusaha dan
orang-orang yang dianggap mampu dalam hal ekonomi. Hal tersebut dapat terlihat
38
dengan jelas dalam setiap acara yang diadakan di lingkup desa maupun
kecamatan. Selalu terdapat perlakuan istimewa kepada orang-orang dengan
kategori mampu tersebut dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya.11
b. Mata Pencaharian
Mata pencaharian masyarakat desa Pringapus sebagian besar adalah
sebagai karyawan perusahaan swasta. Disebutkan bahwa mata pencaharian pokok
penduduk sesuai usia kerja yaitu 15-60 tahun adalah buruh atau swasta.
c. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat
1. Pendidikan
Tingkat pendidikan masyarakat Desa Pringapus, secara umum tergolong
baik, karena sudah banyak penduduk yang berpendidikan tinggi. Namun
demikian, masih banyak penduduk yang hanya lulusan SD, sebagian lulusan
SLTP dan SLTA
2. Agama
Sebagian besar peduduk Desa Pringapus yaitu 7.360 orang beragama
Islam dari penduduk Pringapus yang berjumlah 7.386 orang. Karena itu, menjadi
biasa dipahami kalau dalam keseharian pola hidup masyarakat Desa Pringapus
menunjukkan corak kehidupan yang islami. Keislaman menurut faham yang
dilakukan oleh warga NU dan Muhammadiyah.
Sekilas, kehidupan keagamaan cara NU dengan Muhammadiyah tidak ada
perbedaan yang tajam, akan tetapi pada tataran realitas sosial, sering terjadi
11 Ibid
39
adanya perbedaan pendapat yang mendasar, terutama dalam hal pandangan dan
cara menyikapi ritual ziarah kubur (makam).
Bagi masyarakat NU, ziarah kubur tidak dilarang bahkan dianjurkan
karena tidak dianggap menyalahi syariat Islam. Akan tetapi, bagi warga
Muhammadiyah, ziarah kubur dianggap tidak benar dan merupakan bid’ah (segala
sesuatu yang tidak ada pada zaman Nabi Muhammad). Contoh lain adalah pada
saat perayaan hari raya Islam kaitannya dengan sholat sunat Ied. Biasanya warga
Muhammadiyah cenderung menjalankan sholat Ied di tanah lapang sementara
warga NU melaksanakan sholat di masjid. Kenyataan tersebut sedikit banyak
berpengaruh pada tradisi yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat Desa
Pringapus. Secara keseluruhan, dalam kesehariannya warga NU cenderung lebih
banyak melakukan aktivitas yang mentradisi.
38
BAB IV
WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH
A. Bahasa Dakwah dalam Pementasan Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi
Sejarah perkembangan Islam di Indonesia tak bisa dilepaskan dari peran
Walisongo sebagai ulama penyebar ajaran Islam. Yang cukup menarik untuk
disimak adalah bagaimana cara ulama yang sembilan itu mengajarkan Islam.
Masyarakat semasa itu sebagian besar memeluk Hindu. Walisongo tak langsung
menentang kebiasaan-kebiasaan yang sejak lama menjadi keyakinan masyarakat.
Salah satunya adalah wayang. Sebelum Islam masuk ke tanah Nusantara
khususnya di Jawa-wayang telah menemukan bentuknya. Pagelaran wayang
sangat digemari masyarakat. Setiap pementasannya selalu dipenuhi penonton.
Tak hanya bentuknya, ada banyak sisipan-sisipan dalam cerita dan
pemaknaan wayang yang berisi ajaran-ajaran dan pesan moral Islam. Dalam lakon
Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini
adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan dunia
dan segala isinya. Tak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima
mengajarkannya kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaranajaran
tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan
sesama manusia.
Cara dakwah yang diterapkan oleh para wali tersebut terbukti efektif.
Wayang pun kian sering dipentaskan. Tak hanya pada upacara-upacara resmi
kerajaan, masyarakat secara umum pun sering menggelarnya. Karena banyak
ajaran moral dan kebaikan dalam setiap lakonnya, wayang tak hanya dianggap
38
39
sebagai tontonan saja, tetapi juga tuntunan.1
Di dalam pertunjukan wayangnya dalang Ki Sudardi berusaha untuk
menyisipkan bahasa-bahasa dakwah, agar pementasan wayang kulitnya syarat
akan pesan-pesan dakwah islam, dan bahasa dakwah yang kerap muncul di dalam
pementasannya.
Ketika mendalang ia mengatakan : “Kep sidakep loro dadia tunggal. Ana ucap mboten ditingal, ana sambung mboten diambun. Ati ngait ka yang widi, manah muntang kanu kawasa, kalbu agung, angbrantang kanu murbeng alam”, artinya : dua tangan menjadi satu disimpan diantara dada dan perut tidak boleh berbicara meskipun ada yang harus dibicarakan, tidak boleh melihat apapun, apalagi menengok kekiri dan kekanan, tidak boleh mendengarkan sesuatu, sebab kita sedang menghadapkan diri kepada Illahirobbi.2
Beliau menyelipkan pesan berupa dakwah itu ketika ada tokoh wayang
yang beliau mainkan sedang melakukan semedi (bertapa) guna mendapatkan
suatu kesaktian. Sebagaimana tata cara pengerjaan shalat. Selain itu Ki Sudardi
juga mengatakan.
“Gedung duwur kali sambung, panggulingan sepi tringtrim, balingbing lan jeruk manis...” Artinya : Gedung tinggi disambung dengan memakai kubah, tempat yang sangat sepi untuk orang yang berzikir. “belimbing lan jeruk manis, menggambarkan bintang yang biasa dipakai di atas kubah masjid. Selain daripada itu nama Negara dan nama-nama tokoh-tokoh wayang
kulit yang dimainkan oleh dalang Ki Sudardi banyak yang diceritakan dengan
bahasa Arab dan bahasa Jawa yang mengandung makna ajaran Islam, sebagai
contoh adalah :
1. Hestinapura atau yang sering disebut dengan Astina lebih dekat kepada
kata Asy-Syaithan. Raja Astina namanya Daryudana, lebih dekat dengan
1 S. Haryono, Pratiwimba Adiluhung, Sejarah dan Perkembangan Wayang, (Yogyakarta: Penerbit Djambatan, 1988), h.124-126
2 Hasil wawancara pribadi dengan dalang Ki Sudardi, Pringapus Semarang 20 mei 2010
40
kata Durjana = orang jahat. Orang jahat pasti termasuk balad syaithan.
Setiap balad syaithan pasti masuk Darona Jahanama = neraka jahanam
(drona).
2. Pandawa bisa diartikan asal kata dari “Dawa” = Dawaun (bahasa Arab)
yang artinya obat. Manusia mempunyai kewajiban untuk berupaya saling
mengobati dan memberikan obat kepada orang yang sedang kena penyakit
terutama penyakit yang merusak akidah.
3. Dharma Kusumo, Sami Aji, Dharma Bhakti Kusumo, kalau kita ingin harum
atau wangi dan dhargai oleh orang lain, kita harus berbakti pada Negara,
Bangsa, dan Agama.
4. Bima atau Aria Werkudoro
Jimat yang selalu dipakai oleh Werkudoro diantaranya adalah :
a. Anting-anting manggis mateng, artinya : manggis = mangu, mateng =
masak. Kalau kita lihat mangu matang, luarnya jelek sekali namun kalau
dibelah isinya putih bersih dan manis sekali. Jadi, kalau menilai seseorang
janganlah dari luarnya saja namun harus dilihat dari hatinya.
b. Kangkalung Arko Naga Bandang, sering kita saksikan tokoh wayang Bima
di lehernya terikat kalung seperti ular naga. Hal itu bisa diartikan bahwa
ular tersebut dinamakan “Sijalur Arko” sebagai saksi apabila kita
berbicara dusta maka ia akan mematuk orang yang berdusta.
c. Dodot bangbing tilu aji, bisa diartikan bahwa Bima diselimuti tiga ilmu
yaitu Iman, Islam, dan Ihsan.
41
d. Kuku Pancanaka, artinya kuku = kuat, panca = lima, naka = waktu, jadi
apabila manusia sudah mempunyai keyakinan akan pengertian keimanan,
ke-Islaman dan Ihsan pasti tidak akan meninggalkan sholat 5 waktu.
5. Arjuna, bisa diartikan dua kata dalam bahasa arab ialah arju dan jannah,
arju = mengharap, jannah = surga.
6. Nakula artinya ana kul bahasa arab artinya ana adalah saya, kul artinya
makan atau berkata. Maksudnya adalah rizki yang kita dapatkan sebelum
dimakan hak orang lain harus diberikan dahulu.
7. Sadewa, artinya salira piamba atau mensucikan diri.
B. Nilai-nilai Dakwah dalam Pementasan
Dahulu pada saat awal-awalnya perkembangan Islam di Nusantara, para
penyebar Islam khususnya Walisongo yaitu Sunan Kali Jaga, menggunakan media
wayang untuk mendukung kegiatan dakwahnya, wayang merupakan salah satu
media dakwah islam yang tepat, sebab wayang merupakan salah satu jenis
kesenian tradisional yang disukai oleh masyarakat pedesan (yang merupakan 80%
dari jumlah penduduk di Indonesia) selain itu wayang juga biasa dijadikan sebagai
media dakwah Islam.
Sunan Kalijaga sangat berhasil dalam berdakwah melalui kesenian
wayang. Unsur baru berupa ajaran ke-Islaman dimasukan ke dalam pewayangan.
Ia membuat “Pakem Pewayangan” yang baru dan bernafaskan Islam, seperti
cerita Jamus Kalimosodo atau menyelipkan ajaran Islam ke dalam pekem
42
pewayangan yang asli. Dengan cara tersebut maka masyarakat dapat dengan
mudah menerima ajaran-ajaran Islam dengan perlahan-lahan.3
Sebagai seorang muslim dalang Ki Sudardi memasukan ajaran-ajaran
Islam di setiap pertunjukan wayangnya, dalang Ki Sudardi sendiri kerap kali
menyelenggrarakan pertenjukan wayang kulit semalam suntuk pada event-event
khusus keagamaan. Seperti pada acara Isra Mi’raj, Maulid Nabi Muhammsad
Saw, Tahun Baru Islam, Walimatul ‘Aqiqah, Walimatul ‘Arsy (pernikahan), dan
lain-lain sebagainya.
Saya“ selalu mengajarkan kepada masyarakat desa untuk rajin dan mau melaksanakan rukun Islam yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji.”, “Shalat adalah tiang agama, karena dengan shalat kita juga akan terhindar dari perbuatan yang keji dan mungkar.”“Inna shalata tanha ‘anil fakshai wa mungkar.” 4
Islam jika dikupas maka akan menjadi Akidah, Syariah, dan Akhlak.
Akidah merupakan nilai-nilai luhur fundamental yang wajib dipegang oleh setiap
muslim.
1. Nilai-nilai Akidah
Akidah dalam Islam adalah bersifat I’tiqad Bathiniyah (keyakinan yang
bersifat batin) yang mencakup masalah-maslah yang erat hubunganya dengan
rukun Iman. Dibidang Aqidah ini pembahasannya bukan hanya tertuju pada
masalah-masalah yang wajib di Imani, akan tetapi materi dakwah meliputi
masalah-masalah yang dilarang sebagai lawanya, misalnya Syirik (menyekutukan
adanya Tuhan), Ingkar dengan adanya Tuhan dan sebagainya.
3 Sri Mulyono, Wayang: asal-usul Filsafat dan Masa Depannya (PT. Gunung Agung,
1976), h. 245 4 Hasil wawancara pribadi dengan dalang Ki Sudardi, Pringapus Semarang 20 mei 2010
43
Dalam prakteknya Ia mengajak umat khusunya masyarakat desa Pringapus
untuk percaya kepada do’a, satu hal yang tidak mempunyai dasar secara ilmiah,
karena memang do’a bersifat spiritual. Do’a meruakan sebuah perwujudan dari
iman kepada Allah, Tuhan yang Maha Esa. Asumsi adanya Tuhan sebagai rabb
atau pengatur seluruh urusan manusia merasionalisasikan keharusan semua orang
untuk melakukan shalat, zakat, dan berbagai ibadah lainnya yang merupakan
perwujudan dari ketundukan (Islam) mereka kepada Allah. Sebelum beliau
memuai pagelaran wayang kulitnya, Ia mengatakan :
Ayo mulo tak jaluk warga sregepo ndedungo marang purbaning kang kawaso. Mogo rino lan wengi tansah nyanding karahayon, ketentreman, kawilujengan, tebing saking kolo, adoh soko tumindak cidro, tansah sungkem marang padaning wong tuwo. (Saya minta kepada seluruh warga untuk rajin berdoa kepada Tuhan yang Maha Esa semoga siang dan malam senantiasa mendapat kemuliaan, ketentraman, keselamatan, dan jauh dari mara bahaya, jauh dari tindakan yang tercela dan menghormati orang tua)5
2. Nilai-nilai Syari’ah
Selain Akidah, aspek lain dari Islam yang tak kalah penting adalah syariah
merupakan wujud nyata dari ketundukan seorang muslim kepada Tuhannya.
Syari’ah mewujud dalam ibadah dan mu’amalah. Ibadah adalah ritual yang syarat
akan symbol-simbol takbir kepada Allah, sedangkan mu’amalah adalah interaksi
social yang diberikan batasan dan aturannya dalam agama Islam.
Ki Sudardi, sebagaimana di singgung di atas, melakukan pentas wayang
menurut event-event social-keagamaan tertentu, seperti kelahiran, perkawinan,
‘aqiqah anak, dan lain sebagainya. Pada momen-momen tersebut, ia
menyampaikan wayang dengan pesan-pesan yang syarat akan nilai-nilai syari’at
5 Arsip pementasan wayang kulit Ki Sidardi, Pringapus Semarang, 10 November 2007
44
ketika pernikahan dilangsungkan dan wayang digelar, maka nilai-nilai
pernikalhan menurut Islam disampaikan melalui pementasan wayang kulit
tersebut.
Cerita wayang kulit yang disampaikan sarat akan nilai-nilai syari’ah dan
merupakan perumusan yang telah dilakukan oleh Sunan Kalijaga pada masa lalu.
Tokoh-tokoh yang muncul dalam cerita wayang melambangkan nilai-nilai syari’at
yang mudah dicerna untuk masyarakat jawa khusnya di desa Pringapus Semarang.
Di dalam cerita wayang kulit, sifat-sifat Puntadewa sebagai raja
(Syahadat bagaikan rajanya rajanya Rukun Islam) dan saudara-saudaranya
merupakan symbol rukun Islam. Puntadewa memiliki sifat ”berbudi bawa
leksana, berbudi luhur dan penuh kewibawaan. Seorang raja yang arif bijaksana,
adil dalam ucapan dan perbuatan (al-adlu), sebagai pengajawantahan dari kalimat
syahadat yang selamanya mengilhami kearifan dan keadilan. Puntawa memimpin
ke-4 adiknya atau biasa dikatakan keempat saudaranya dalam suka duka dan
penuh kasih sayang. Demikian pula dalam rukun Islam yang kedua, ketiga,
keempat, dan kelima namun tidak menjalankan rukun Islam yang pertama maka
seluruh amalnya akan sia-sia. Terlebih orang yang akan menyebutnua sebagai
orang yang munafik (hipokrit). Prabu Puntadewa tidak pernah mati selama ia
memiliki azimat “Kalimaosodo” (kalimat syahadat atau stayadatain), senantiasa
unggul dalam setiap perjuangan dan selalu ikhlas dan menyayangi rakyarnya.
Tokoh Bima atau Werkudara, dipersonifikasikan sebagai rukun Islam
yang kedua yaitu Shalat lima waktu. Dalam kisah pewayangan, Bima terkenal
sebagai penegak Pandawa. Ia hanya bias berdiri saja, Karena memang tidak bias
45
duduk, konon menurut Ki dalang Sudardi “tidurpun Bima dengan berdiri.” Seperti
halnya hadist Nabi Muhammad SAW yang artinya :
“Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang menjalankannya maka ia menegakkan Islam dan barang siapa yang meninggalkannya maka ia merobohkan Islam “
Dalam kehidupannya sehari-hari Bima selalu menggunakan “Bahasa
Ngoko” atau bahasa jawa kasar baik itu kepada dewa, pendeta, kyai, dan lain
sebagainya lambing rukun yang kedua rukun Islam yang kedua shalat lima waktu,
maka shalat berlaku terhadap siapapun, kapanpun, dan dimanapun.
Arjuna atau Janoko, dia di personifikasikan sebagai rukun Islam yang
ketiga yaitu Zakat. dalam cerita pewayangan dia disebut sebagai “lelanganing
jagad” (lelaki pilihan). Nama Arjuna berasal dari kata “Jun” yang artinya
Jambangan. Benda ini merupakan symbol jiwa yang bersih. Banyak wanita yang
“nandhang gandrung kapirangu lan kapilayu” (tergila-gila) kepadanya. Arjuna
memiliki sifat yang sangat lemah lembut, terlebih kaum wanita, dia sangat tidak
bias mengatakan “tidak” (seperti orang jawa pada umumnya diluar mengatakan
tidak padahal batinnya meng’iyakan). Dengan kehalusan dan kelembutan Arjuna
maka ia terlihat lemah dan tidak berdaya, namun sebenarnya dibalik kehalusanya
terdapat kekuatan yang sangat luar biasa. Terbukti Arjuna selalu unggul di dalam
setiap petempuran. Maka demikianlah zakat sebagai rukun Islam yang kertiga
yang kewajiban bagi setiap muslim disini juga mengandung arti agar setiap
muslim dimanapun berada agar beerjuang untuk mendapatkan rizqi dan kekayaan.
Setiap oaring pasti menginginkan “mas peci raja brana “ (harta kekayaan dan
lain-lainnya). Maka agar harta itu berfungsi social dan pembersih maka harus di
zakati agar suci dan bersih lahir batinnya.
46
Nakula dan Sadewa, dia dipersonifikasikan sebagai rukun Islam yang
keempat dan kelima yaitu Puasa di bulan Ramadhan dan Haji. Kedua tokoh ini
hanya bertemu pada saat-saat tertentu saja. Demikian juga dengan puasa
ramadhan dan haji tidak setiap hari dikerjakan. Hanya dikerjakan dalam waktu
tertentu saja misalnya, puasa setahun sekali pada bulan ramadhan, dan haji juga
setahun sekali pada bulan dzulhijah di mekkah al-Mukaromah. Pandawa bukanlah
Pandawa tanpa si kembar nakula sadewa, meskipun mereka ini lahir dari ibu yang
lain, Dewi Madrim yang ikut “labuh geni” (menceburkan diri kedalam api bila
suaminya meninggal menurut tradisi Hindu) dengan suaminya Pandu Dewanata.
Memang dengan demikian Puasa Ramadhan dan Haji lahir pada bulan-bulan
tertentu (Ramadhan dan Zhulhijah).
Persoalan keagamaan yang disampaikan melalui cerita wayang di atas
merupakan ritual keagamaan yang disebut dengan ibadah. Pada parakteknya yang
lain. Ki Sudardi juga mengajarkan syari’at yang berbentuk ibadah sosial, seperti
pemberdayaan masyarakat dengan zakat dan sedekah, pernikahan yang
mawaddah, sakinah, wa rahmah, dan lain-lain. Ia mengatakan :
Secara spiritual, saya akan menyampaikan ke masyarakat sesuai dengan tema wayangan, misalnya pada waktu hajatan nikah maka saya akan memberikan materi ayat-ayat yang berhubungan dengan rumah tangga di dalam membentuk keluarga sakinah mawaddah dan warahmah, pada waktu aqiqah maka saya membawakan ajaran yang berhubungan dengan bakti anak dengan orang tua, atau pada waktu peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW maka saya akan membawakan bagaimana sejarah beliau di dalam memperjuangkan agama Islam dan lain-lain. Intinya adalah sampaikanlah walau satu ayat (Balighu ‘ani walau ayat).6
6 Wawancara pribadi dengan dalang Ki Sudardi, Pringapus Semarang 20 mei 2010
47
3. Nilai-nilai akhlak
Ki Sudardi ketika mendalang beliau selalu menanamkan dan mengajarkan
kasih sayang dan kepekaan sosial. Karena dengan itu semua masyarakat dapat
hidup rukun dan gotong royong demi membangun daerahnya atau desanya.
Nilai-nilai Akhlak merupakan sasaran penting dalam penyampaian
dakwah. Sebab, selain Akidah dan Syari’ah, dan Akhlak merupakan perwujudan
dari hablumminanannas seorang muslim.
Melalui wayang kulit Ki Sudardi juga selalu mengajarkan kepada
masyarakat untuk selalu peduli terhadap masyarakat lainyang kurang mampu.
Sebagaimana disinggung di muka, ia membuka program tali asih yang merupakan
santunan bagi masyarakat khususnya di desa Pringapus Semarang.
Ketika mendalang ia mengatakan : Tak jaluk ojo nganti bosen, olehe podo seneng rukun, sing cerdas lan biso menyikapi masalah tansah tresno tinresnanan, ajen-kinanjenan ing sapodho-podho, gotong royong, samad sinamadhan, ojo podo tuker padu. (saya minta jangan sampai bosan toleransi, cerdas dalam menyikapi masalah, saling menyayangi dan menghargai antar sesama, gotong royong, jangan suka berkelahi).7 Toleransi, saling meghargai, dan gotong royong, tidak suka berkelahi
merupakan akhlak seorang muslim yang begitu luhur dan digambarkan dalam Al-
Quran surat Al-Hujarat ayat 11
⌦
☺
7 Arsip pementasan wayang kulit Ki Sidardi, Pringapus Semarang, 10 November 2007
48
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendir dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zali”.
Sikap tersebut di atas merupakan akhlak yang diperlikan dalam suasana
demokrasi dan pluralisme, dimana rakyat memilih pemimpinnya masing-masing
secara langsung dan mereka mempunyai orientasi politik yang berbeda-beda. Ia
menyerukan toleransi, kebersamaan, silaturahim, yang merupakan akhlah paling
luhur dalam Islam.
Di dalam wayangnya beliau selalu mengajarkan pentingnya silaturahmi
antar sesame. Sebagai bukti ketika mendalang beliau selaulu menyalami semua
tamu-tamu yang ada mulai dari yang kecil, muda, tua sampai yang masih di
gendong disalami semua. Perilaku semacam ini secara tak langsung mengajarkan
bahwa seorang pemimpin merupakan abdi ummat, yang seharusnya
mempergunakan kekuasaan untuk kemaslahatan ummat, abdi ummat, yang
seharusnya mengayomi dan memberikan excellent service kepada ummat.
Pada setiap Ki Sudardi melakukan pementasan wayang kulit, beliau selalu
memberikan salam kepada warga setempat, seperti tuan rumah, karang taruna, dan
sebagainya rasa syukur dan hormat kepada orang tua. Disetiap Ki Sudardi tampil
maka ia selalu meminta para sesepuh daerah setempat untuk hadir dan beliau
49
selalu memberikan bantuan yang dinamakan Tali Asih. Menurutnya kepekaan
sosial itu akan menimbulkan kasih sayang antar sesame, sehingga akan tercipta
masyarakat yang damai dan sejahtera. Kepekaan sosial itu akan membentuk rasa
kasih sayang antar sesama umat masnusia.
C. Teknik Penyampaian Pesan Dalam Pementasan
Salah satu tokoh wali yang sangat terkenal yakni Sunan Kalijaga. Sunan
Kalijaga adalah salah satu tokoh wali yang aktif berdakwah melalui pendekatan
budaya.
Ia dikenal sebagai seorang Wali yang memiliki kharisma tersendiri di
antara wali-wali yang lain, dan paling terkenal di berbagai lapisan masyarakat
apalagi kalangan bawah. Beliau memperkenalkan agama Islam secara luwes tanpa
menghilangkan adat-istiadat/kesenian daerah (adat lama yang ia beri warna
Islami). Banyak sekali maha karya beliau dalam bidang budaya, di mana
semuanya beliau gunakan sebagai media dalam menyampaikan ajaran Islam.
Untuk membentuk manusia yang seimbang diperlukan peranan dari da’i
atau pendakwah agar tercipta individu, keluarga, dan masyarakat yang menjadikan
islam sebagai pola pikir dan pola hidup agar tercapai kehidupan yang bahagia baik
di dunia maupun di akhirat 8
Untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah seorang da’I harus mampu
dalam menggunakan berbagai media dalam melakukan dakwahnnya.
Dari berbagai macam media yang bisa digunakan untuk menyampaikan
pesan-pesan dakwah yang bersifat tradisioanal dan modern di antaranya ialah
wayang kulit . Pementasan wayang kulit termasuk salah satu media yang efektif
8 Rosidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal, (Jakarta: Paramadina,2004), Cet. Ke-I, h.1
50
untuk menyampaikan pesan dakwah. Wayang kulit adalah seni budaya
peninggalan leluhur yang sudah berumur berabad-abad dan kini masih lestari di
masyarakat, seni pewayangan sudah lama digunakan sebagai media penyampaian
nilai-nilai luhur/moral, etika, dan religius. Dari zaman kedatangan Islam
digunakan oleh para wali songo sebagai media dakwah Islam di tanah Jawa.9
Di masa lalu para ulama dan para wali melakukan pendekatan yang sama
dalam menyiarkan agama islam, yaitu melalui media dakwah yang telah menjadi
warisan budaya tanah leluhur Indonesia.10
Teknik penyampaian pesan dakwah dalam pementasan wayang kulit,
dengan cara memasukan unsur-unsur materi dakwah pada alur cerita yang
dipentaskan. Pesan yang ingin disampaiakan oleh dalang sebagai da’i kepada
penyimak wayang sebagai pemanis dalam pementasan cerita wayang, ia
“dihidupkan” oleh seorang dalang yang juga sekaligus berperan sebagai sutradara
dan pemberi watak dan ekspresi setiap tokoh yang ditampilkan melalui
cerita/lakon dan wacana dari tokoh wayang.11 Dialog-dialog yang pesan dakwah
disampaikan dengan diiringi gerakan lenggak-lenggok wayang sebagai tokoh
sentralnya. Posisii seperti ini akan menimbulkan daya tarik berupa kelucuan,
kesedihan, senang atau susah dan dapat memancing emosional penontonya yang
menyebabkan gelak tawa dan haru para penontonnya. Dan ketika hal ini telah
terjadi, maka dakwah yang disisipkan melalui lakon cerita atau wacana akan
sampai kepada audien atau penonton.
9 Hazim Amir, Nilai-nilai Etis Dalam Wayang, (Jakarta: CV.Mulia Sari, 1991), Cet.Ke-I,
h. 16 10 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004),
Cet. Ke-IV, h.203 11 S. Haryono, Pratiwibawa Adiluhung Sejarah dan Perkembangan Wayang, (Yogyakarta
: Penerbit Djembatan, 1988), Cet. Ke-I, h. 24
51
Sebagaimana yang telah dilakukan dalang Ki Sudardi dalam setiap
pementasannya, beliau selalu menyelipkan nilai-nilai keislaman dan itu
merupakan dakwah yang dilakukan dengan media wayang kulit. Dengan
dijadikanya wayang kulit sebagai medianya maka teknik penyampaian pesan yang
beliau gunakan adalah metode interktif dengan penonton.
Sampai saat ini saya masih menganggap bahwa metode interaktif dengan penonton masih efektif. Dan biasanya saya menyampaikannya lewat segmen/bagian ”limbung atau goro-goro” dari situ saya menyampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti dan jelas.12 Ki Sudardi menjelaskan bagaimana tentang konsep Panakawan yang
selalu ditampilkan dalam setiap pementasan wayang yang beliau dalangi. Para
tokoh Panakawan ini selalu beliau tampilkan dalam setiap pementasan wayang
kulit. Tokoh-tokoh Panakawan tersebut adalah :
1. Semar, nama tokoh ini berasal dari bahasa arab Mismar. Mismar berarti
paku. Tokoh ini dijadikan pengokoh (paku) terhadap semua kebenaran
yang ada atau sebagai advicer dalam mencari kebenaran terhadap segala
masalah. Agama adalah pengokoh/pedoman hidup manusia. Semar dengan
demikian juga adalah simbolisasi dari agama sebagai prinsip hidup setiap
umat beragama.
2. Nala Gareng, juga diadaptasi dari kata arab Naala Qariin. Dalam
pengucapan lidah Jawa, kata Naala Qariin menjadi Nala Gareng. Kata ini
berarti memperoleh banyak teman, ini sesuai dengan dakwah para aulia
sebagai juru dakwah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya teman
12 Wawancara pribadi dengan dalang Ki Sudardi, Pringapus Semarang 20 mei 2010.
52
(umat) agar kembali ke jalan Allah SWT dengan sikap arif dan harapan
yang baik.
3. Petruk, diadaptasi dari kata Fatruk. Kata ini merupakan kata pangkal dari
sebuah wejangan (petuah) tasawuf yang berbunyi: Fat-ruk kulla maa
siwalLaahi, yang artinya: tinggalkan semua apapun yang selain Allah.
Wejangan tersebut kemudian menjadi watak para aulia dan mubaligh pada
waktu itu. Petruk juga sering disebut Kanthong Bolong artinya kantong
yang berlubang. Maknanya bahwa, setiap manusia harus menzakatkan
hartanya dan menyerahkan jiwa raganya kepada Allah SWT secara ikhlas,
seperti berlubangnya kantong yang tanpa penghalang.
4. Bagong, berasal dari kata Baghaa yang berarti berontak. Yaitu berontak
terhadap kebathilan dan keangkaramurkaan. Si “Bayangan Semar” ini
karakternya lancang dan suka berlagak bodoh
Secara umum, Panakawan melambangkan orang kebanyakan. Karakternya
mengindikasikan bermacam-macam peran, seperti penghibur, kritisi sosial, badut
bahkan sumber kebenaran dan kebijakan. Para tokoh Panakawan juga berfungsi
sebagai pamomong (pengasuh) untuk tokoh wayang lainnya. Pada dasarnya setiap
manusia umumnya memerlukan pamomong, mengingat lemahnya manusia,
hidupnya perlu orang lain (makhluk sosial) yang dapat membantunya
mengarahkan atau memberikan saran / pertimbangan. Pamomong dapat diartikan
pula sebagai guru / mursyid terhadap salik yang dalam upaya pencerahan jati diri.
Tokoh Panakawan dimainkan dalam sesi goro-goro. Pada setiap
permulaan permainan wayang biasanya tidak ada adegan kekerasan antara tokoh-
53
tokohnya hingga lakon goro-goro dimainkan. Artinya adalah bahwa jalan
kekerasan adalah alternatif terakhir. Dalam Islam pun, setiap dakwah yang
dilakukan harus menggunakan tahap-tahap yang sama. Lakon goro-goro pun
menggambarkan atau membuka semua kesalahan, dari yang samar-samar menjadi
kelihatan jelas sebagaimana sebuah doa:
Allahuma arinal haqqa-haqqa warzuknat tiba’ah, wa'arinal baathila-
baathila warzuknat tinaabah,
artinya: Ya Allah tunjukilah yang benar kelihatan benar dan berilah
kepadaku kekuatan untuk menjalankannya, dan tunjukilah yang salah kelihatan
salah dan berilah kekuatan kepadaku untuk menghindarinya.
Dalang Ki Sudardi selalu memasukan unsur-unsur filsafat hidup dalam
tiap cerita atau lakon yang ia pentaskan agar tidak terkesan monoton dan Ki
Sudardi juga memasukan nilai-nilai santrisme yaitu dialog dalam lakon
pewayangan yang sifatnya menyindir, baik sifatnya ringan ataupun sindiran
pedas.
Banyak sekali hikmah yang bisa kita petik dari setiap hasil budaya bangsa
kita wayang kulit merupakan salah satu kebudayaan yang harus kita jaga dan
dilestarikan.
54
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
berdasarkan penjabaran yang telah dikemukankan, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Dalang Ki Sudardi di dalam pementasan wayangnya berusaha untuk
menyisipkan bahasa-bahasa dakwah, agar pementasan wayang kulitnya
syarat akan pesan-pesan dakwah Islam. Bahasa yang digunakan KI
Sudardi dalam pementasan wayang kulit adalah dengan menyelipkan
pesan dakwah ketika ada tokoh wayang yang beliau mainkan sedang
melakukan semedi (bertapa) guna mendapatkan suatu kesaktian, selain
daripada itu nama Negara dan nama-nama tokoh-tokoh wayang kulit
banyak yang diceritakan dengan bahasa Arab dan bahasa Jawa yang
mengandung makna ajaran Islam Ki Sudardi menggunakan bahasa yang
mudah dimengerti oleh masyarakat, Nilai-nilai dakwah yang terdapat di
dalam pementasan dalang Ki Sudardi adalah terdapat nilai Akidah
(mencakup masalah-maslah yang erat hubunganya dengan rukun Iman.),
Syariah (merupakan wujud nyata dari ketundukan seorang muslim kepada
Tuhannya), dan Akhlak (merupakan perwujudan dari hablumminanannas
seorang muslim).
2. Tehnik penyampaian pesan yang digunakan oleh dalang Ki Sudardi di
dalam upaya menyampaikan pesan dakwah pada pementasan wayang
kulitnya ialah, dengan adalah dengan cara memasukan unsur-unsur materi
dakwah pada alur cerita yang dipentaskan dan dengan menggunakan
54
55
metode intraktif dengan penonton. Dalang Ki Sudardi dalam setiap
pementasannya, beliau selalu menyelipkan nilai-nilai keislaman dan itu
merupakan dakwah yang dilakukan dengan media wayang kulit. Dengan
dijadikanya wayang kulit sebagai medianya maka teknik penyampaian
pesan yang beliau gunakan adalah metode interktif dengan penonton.
Tokoh Panakawan dimainkan dalam sesi goro-goro. Pada setiap
permulaan permainan wayang biasanya tidak ada adegan kekerasan antara
tokoh-tokohnya hingga lakon goro-goro dimainkan. Artinya adalah bahwa
jalan kekerasan adalah alternatif terakhir. Dalam Islam pun, setiap dakwah
yang dilakukan harus menggunakan tahap-tahap yang sama. Lakon goro-
goro pun menggambarkan atau membuka semua kesalahan, dari yang
samar-samar menjadi kelihatan jelas.
B. Saran
1. Untuk para dalang kesenian wayang kulit, pecinta kesenian wayang kulit
agar memiliki tanggung jawab yang besar terhadap hasil karya
pementasannya, karena disebabkan karya pementasannya, mempunyai
pengaruh yang besar terhadap para penggemar kesenian wayang
kulit.maka sampaikanlah karya-karya cerita kesenian wayang yangf dapat
mendidik dan dapat membawa kebaikan bagi para penggemar wayang
kulit apalagi jika mengemasi pementasannya dengan pesan-pesan religius,
di satukan dengan cerita sesuai perkembangan era sekarang ini, tentu akan
sangat bermanfaat bagi para pencipta cerita pewayangan juga para
penggemmar wayang baik di negara maupun di dunia.
56
2. untuk seluruh umat islam yang semuanya terkena kewajiban untuk
berdakwah, agar tetap menjalankan dakwahnya sesuai bidang dan
kemampuan masing-masing, karena dakwah islam ini diperlukan di segala
bidang. Sampaikamlah kebaikan yang kita bisa walaupun hanya sedikit,
Ballighu ‘Annii Walau aayat.
3. Untuk Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam hal ini
Fakultas Dakkwah dan Komunikasi Khususnya Jurusan Komunikasi
Penyiaran Islam untuk lebih memperdalam disiplin ilmu dakkwah
terutama pemehaman penyiaran melalui media kesenian wayang,
khusumya wayang kulit, dan diharapkan juga ada kajian khusus
mengenaik dakwah melalui media wayang kulit, sebagaimana kita tahu
bahwa media wayang telah dipergunakan sebagai media dakwah pada
awal perkembangan islam di indonesia oleh Wali Songo. Ketersediaan
literatur pewayangan di Fakultas Dakwah dapat dijadikan sebagai acuan
perluasan dakwah Islam melalui media wayang di masa depan.
57
Daftar Pustaka
Amir, Martosedono, SH, Sejarah Wayang Asal Usul Jenis dan Cirinya,
Semarang: Dahara Press, 1990, Cet. Ke-2
Amir, Hazim, Nilai-nilai Etis Dalam Wayang, Jakarta: CV.Mulia Sari, 1991).
Arifin, M. Ed, Psikologi Dakwah, Jakarta: Bulan Bintang, 1997
Bactiar, Wardi, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah (Jakarta: Logos, 1997)
Bastomi, Suwaji etika, Nilai-nilai Seni Pewayangan, Semarang; Dahara Prize,
1993.
Champion, Dean J., Metode dan Masalah Penelitian, Bandung: Refika Aditama,
1998.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Indonesia..
Habib, M. Syafaat, Buku Pedoman Dakwah, (Jakarta: Wijaya, 1982)
Hamka, Prinsip dan kebijaksanaan Dakwah Islam, Pustaka Panjimas, Jakarta,
1984
Harjowirogo, Sejarah Wayang Purwa, Balai Pustaka, Jakarta, 1968
Hasanuddin, Hukum Dakwah: Tinjauan Aspek Hukum dan Berdakwah di
Indonesia. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996.
Mertosedono, Amir, Sejarah Wayang: Asal-Usul, Jenis dan Cirinya. (Semarang:
Dahara Prize. 1990).
Moeleng, Lexy. J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdya
Karya, 1933.
Mulyono, Sri, Wayang; Asal Usuil Filsafat dan Masa Depannya PT, Gunung
Agung, 1976.
--------------, Simbolisme dan Mistisme dalam Wayang Jakarta: PT.Gunung
Agung, 1979.
Oerdianto, Sigit, “Berdakwah Keliling Kota dengan Wayang Kulit, Suara
Merdeka, senin 31 Oktober 2008
58
Rafiudin, Maman Addul Jalil, Prinsip dan Strategi Dakwah, Bandung : CV.
Pustaka Setia, 1997.
Rahmad, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, Remaja Karya, Bandung, 2000
S. Haryono, Pratiwimba Adiluhung, Sejarah dan Perkembangan Wayang,
Yogyakarta: Penerbit Djambatan, 1988.
Sayyid. M. Nuh, Dakwah Fardiyyah dalam Manhaj Amal Islami, Solo: Citra
Islami Press, 1996
Shihab, Quraish, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat Bandung Mizan. 1996.
Wawancara Pribadi dengan Dalang Ki Sudardi, Desa Pringapus Semarang,
tanggal 20 Mei 2010.
Wawancara Pribadi dengan Tokoh Masyarakat Joko Winarno, Desa Pringapus
Semarang, tanggal 21 Mei 2010.
Wikipedia, artikel di akses tanggal 25 Mei 2010 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Pandawa.
Wikipwdia, Artikel ini di akses tanggal 18 Juni 2010 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/WayangWayang
Yatim , Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,
2004.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.
Zaidallah, Alwisral Imam, Starategi Dakwah dalam Membentuk Da’ dan Khotib
Propesional, Jakarta: Kalam Mulia, 2002
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Foto setelah melakukan wawancara dengan dalang wayang kulit Ki Sudardi
di desa Pringapus, Semarang, tanggal 20 Mei 2010
Arsip pementasan wayang kulit Ki Sudardi, Pringapus Semarang, 10 November 2007
2
Transkip Wawancara
Nama : Ki Sudardi Jabatan : Dalang Seni wayang kulit Smarangan – Desa Pringapus Kec.
Klepu, Kab. Semarang Hari/tanggal : Kamis, 20 Mei 2010 Tempat : Jln. Kampung Kobongan, desa Pringapus Semarang Jawa Tengah Penulis : Sejak kapan bapak mulai mendalang/menekuni kesenian wayang
kulit ? Ki Sudardi : Profesi sebagai dalang ini saya lakoni tahun sejak tahun 1971.
Sejak kecil, saya menyukai kesenian wayang kulit, saya tertarik dengan kesenian wayang ini karena saya sudah diperkenalkan dengan kebudayaan jawa ini oleh almarhum orang tua saya yang sudah menyukai kesenian ini terlebih dahulu. Dalam dunia pewayangan karakternya sungguh banyak. Semua karakter manusia ada, mulai dari yang baik sampai yang jahat dan saya menggemari wayang sejak dulu. Wayang kulit merupakan sebuah kesenian tradisional yang sangat digemari oleh kebanyakan masyarakat di desa Pringapus Semarang, oleh karena itu saya sangat menjaga agar tradisi ini tidak punah, salah satunya itu dengan membentuk organisasi perkumpulan seni wayang kulit smarangan di desa Pringapus Semarang Jawa Tengah.
Penulis : Bagaimana sejarah awal bapak memilih wayang sebagai media
dakwah ? Ki Sudardi : Wayang sejak zaman para wali telah dipergunakan sebagai media
dakwah yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan atau ajaran agama Islam. Hal tersebut dikarenakan metode yang biasa digunakan oleh para dalang adalah metode komunikasi yang interaktif dengan penonton, penonton menganggap dalang seseorang yang memiliki pengetahuan lebih dan harus diikuti. Saya pribadi juga menyadari bahwa media wayang kulit dapat dijadikan sebagai tontonan juga sekaligus tutunan. Sehingga nilai-nilai dan bahasa dakwah yang saya sampaikan dapat mudah diterima oleh masyarakat desa Pringapus Semarang.
Penulis : Apa Visi dan Misi bapak menggunakan wayang kulit sebagai
media dakwah ? Ki Sudardi : Visi dan Misi saya pribadi menggunakan media wayang kulit
sebagai media dakwah, sebagaimana sebagai umat muslim saya
ingin mengajarkan agama Islam kepada seluruh masyarakat, sebagaimana hadis Nabi ”Sampaikanlah walau hanya satu ayat.”
Penulis : Bagaimana metode yang bapak pakai dalam mendalang ? Ki Sudardi : Sampai saat ini saya masih menganggap bahwa metode interaktif
dengan penonton masih efektif. Dan biasanya saya menyampaikannya lewat segmen/bagian ”limbung atau goro-goro” dari situ saya menyampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti dan jelas.
Penulis : Materi apa saja yang bapk sampaikan dalam mendalang ? Ki Sudardi : Materinya antara lain pemberdayaan masyarakat tentang sosial.
Dan secara spiritual, saya akan menyampaikan ke masyarakat sesuai dengan tema wayangan, misalnya pada waktu hajatan nikah maka saya akan memberikan materi ayat-ayat yang berhubungan dengan rumah tangga di dalam membentuk keluarga sakinah mawaddah dan warahmah, pada waktu aqiqah maka saya membawakan ajaran yang berhubungan dengan bakti anak dengan orang tua, atau pada waktu peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW maka saya akan membawakan bagaimana sejarah beliau di dalam memperjuangkan agama Islam dan lain-lain. Intinya adalah sampaikanlah walau satu ayat (Balighu ‘ani walau ayat).
Penulis : Apakah ritual yang biasa bapak lakukan sebelum pementasan ? Ki Sudardi : sebelum pentas saya selalu mengatakan.
Ayo mulo tak jaluk wargaku sregepo ndedungo marang purbaning kang kawaso. Mogo rino lan wengi tansah nyanding karahayon, ketentreman, kawilujengan, tebing saking kolo, adoh soko tumindak cidro, tansah sungkem marang padaning wong tuwo. (Saya minta kepada seluruh warga untuk rajin berdoa kepada Tuhan yang Maha Esa semoga siang dan malam senantiasa mendapat kemuliaan, ketentraman, keselamatan, dan jauh dari mara bahaya, jauh dari tindakan yang tercela dan menghormati orang tua).
Penulis : Nilai-nilai dakwah apakah yang selalu bapak ajarkan kepada
masyarakat desa Pringapus ? Ki Sudardi : Saya“ selalu mengajarkan kepada masyarakat desa untuk rajin
dan maumelaksanakan rukun Islam yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji.”, “Shalat adalah tiang agama, karena dengan shalat kita juga akan terhindar dari perbuatan yang keji dan mungkar.”“Inna shalata tanha ‘anil fakshai wa mungkar.”
Penulis : Apa bahasa dakwah yang biasa bapak suguhkan dalam
pementasan wayang bapak ? Ki Sudardi : Bahasa dakwah yang biasa saya sisispkan dalam pementasan
saya, “kep sidakep loro dadia tunggal. Ana ucap mboten ditingal, ana sambung mboten diambun. Ati ngait ka yang widi, manah muntang kanu kawasa, kalbu agung, angbrantang kanu murbeng alam”, artinya : dua tangan menjadi satu disimpan diantara dada dan perut tidak boleh berbicara meskipun ada yang harus dibicarakan, tidak boleh melihat apapun, apalagi menengok kekiri dan kekanan, tidak boleh mendengarkan sesuatu sebab kita sedang menghadapkan diri kepada Illahirobbi.
Penulis : Apa saja yang menjadi faktor pendukung dalam pertunjukan
wayang bapak ? Ki Sudardi : Saya didukung oleh tim kesenian yang telah dibentuk. Mulai dari
gamelan-gamelan jawa, pemain alat musik yang saya mengiringi saya ketika pentas, seniman-seniwati, dan terkadang salalu ada radio-radio setempat yang menyiarkan secara langsung pementasan wayang kulit, sehingga seluruh desa dapat mendengarkan.
Penulis : Menurut bapak apa saja yang menjadi hambatan dalam proses
pertunjukan wayang bapak ? Ki Sudardi : Sebenarnya tidak ada hambatan. Mungkin hanya masalah cuaca
dan lokasi yang cukup jauh. Penulis : Bagaimana solusi dari hambatan-hambatan yang bapak alami,
ketika akan mengadakan pertunjukan wayang bapak ? Ki Sudardi : Setiap hambatan yang ada selalu dicarikan solusi dengan
kerjasama antara tim dan masyarakat setempat, dan pihak-pihak yang terkait.
Penulis : Bagaiman respon masyarakat desa Pringapus Semarang terhadap
pertunjukan wayang bapak ? Ki Sudardi : Respon masyarakat desa Pringapus semarang sangat antusias dan
baik sekali. Tertbukti, dari penuhnya lapangan dan halaman rumah setiap kali saya pentas.
Penulis : Bagaimana harapan bapak terhadap kesenian wayang khususnya
di desa Pringapus Semarang ?
Ki Sudardi : Kesenian wayang kulit adalah sebagai seni dan budaya warisan leluhur harus terus dijaga dan dilestarikan, saya pribadi berharap kepada generasi penerus agar melestarikan dan mengembangkan, karena banyak sekeli manfaat yang ada di dalam kebudayaan kita ini khususnya kesenian wayang kulit ini.
Mengetahui
Pewawancara Responden Yogyasmara. P. Ardhi Ki Sudardi
Transkip Wawancara
Nama : Joko Winarno
Jabatan : Tokoh Masyarakat Desa Pringapus Semarang
Hari/tanggal : Jum’at, 21 Mei 2010
Tempat : Jln. Kali Seneng, desa Pringapus Semarang Jawa Tengah
Penulis : Bagaimana menurut bapak tentang pentas pertunjukan wayang kulit oleh dalang Ki Sudardi ?
Joko Winarno : Dalang Ki Sudardi ketika mendalang selalu mengajarkan kasih
sayang dan kepekaan sosial. Karena dengan itu semua masyarakat dapat hidup rukun dan gotong royong demi membangun daerahnya atau desanya.
Penulis : Nilai-nilai apa yang bisa bapak tangkap dari pertunjukan
wayang beliau ? Joko Winarno : Melalui wayang beliau juga mengajarkan kepada masyarakat
untuk selalu perduli terhadap masyarakat yang lain, dan yang kurang mampu. Serta hubungan dengan masalah sosial sebagai media pendekatan kepada masyarakat untuk menyampaikan pesan-pesan baik itu sosial, politik, serta sebagai media dakwah.
Penulis : Bagaimana respon masyarakat terhadap pementasan wayang beliau ?
Joko Winarno : Respon masyarakat terhadap pementasan wayang kulit Ki
Sudardi, wayang sebagai media pendekatan itu sangat baik sekali. Terbukti ketika diadakannya pertunjukan wayang diadakan pasti penontonnya banyak, terkadang itu kasihan terhadap dalang aslinya, pernah waktu iti beliau mendalang di dua tempat sampai jam 5 pagi itu pun penontonnya banyak sekali, mualai dari yang kecil, muda, dan yang tua. Karena selain sebagai hiburan wayang juga digunakan sebagai media untuk melakukan pendekatan terhadap ajaran-ajaran agama.
Penulis : Bagaimana contoh konkrit yang dilakukan dalang Ki Sudardi
ketika mendalang yang berhubungan dengan dakwah ? Joko Winarno : Sebagai bukti ketika mendalang beliau selalu menyalami semua
tamu-tamu yang ada mulai dari yang kecil, muda, tua, sampai yang masih digendong. Ini membuktikan bahwa selain aqidah, dan syari’ah beliau juga memiliki akhlak yang baik dan patut dicontoh oleh masyarakat desa.
Penulis : Bagaimana contoh konkrit yang dilakukan beliau ketika
mendalang yang berkaitan dengan sosial dan budaya ? Joko Winarno : Disetiap beliau mendalang, beliau selalu mengajarkan kepada
masyarakat untuk selalu memiliki jiwa sosial dan peduli terhadap sesama. Beliau selalu menyampaikan di dalam wayang dan biasanya paling sering pada segmen “goro-goro”
Penulis : Bagaimana hubungan antara masyarakat desa khusunya desa
Pringapus Semarang terhadap kegiatang wayang kulit beliau ? Joko Winarno : Hubungannya sangat erat sekali, karena belau mendalang itu
tidak hanya cerita tentang wayang saja, yang jelas ketika beliau mendalang beliau selalu menyampaikan pesan-pesan baik itu pesan agama, sosial, atau budaya. Melalui media wayang kulit, terbukti efektif dalam menyampaikan pesan-pesan yang yang kiranya dapat dimengerti oleh masyarakat awam.
Mengetahui
Pewawancara Responden Yogyasmara. P. Ardhi Joko Winarno