Post on 05-Dec-2015
description
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asma termasuk ke dalam kelainan alergi-imunologi. Asma merupakan
gangguan inflamasi kronik jalan nafas yang melibatkan berbagai sel
inflamasi. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus dalam berbagai
tingkat, obstruksi jalan nafas, dan gejala pernafasan (mengi dan sesak) yang
bersifat non-reversible. Wanita hamil yang menderita kelainan pernafasan,
salah satunya adalah asma, harus berhati-hati, karena kehamilan itu sendiri
akan menimbulkan perubahan yang luas terhadap fisiologi pernafasan.
Penderita asma di Amerika Serikat berkisar antara 6-8 juta. Prevalensi
asma dipengaruhi oleh banyak status atopi, faktor keturunan, serta faktor
lingkungan. Pada masa kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki
berbanding anak perempuan,tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut
lebih kurang sama dan pada masa menopouse perempuan lebih banyak
daripada laki-laki. Di Hongkong prevalensi asma pada anak-anak kelompok
umur 13-14 tahun pada tahun 1980 baru mencapai 2% untuk meningkat
menjadi 4,8% pada tahun1989 dan pada tahun 1995 mencapai 11%. Di
Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5-7%.
Insidensi asma dalam kehamilan adalah sekitar 0,5 – 1 % dari seluruh
kehamilan, dimana serangan asma biasanya timbul pada usia kehamilan 24 –
36 minggu, jarang pada akhir kehamilan. Dalam pengamatan dr. Iris
Rengganis dari RS Ciptomangunkusumo-FKUI, Jakarta, asma ditemukan
pada 4-7% ibu hamil dan komplikasi terjadi pada 1 % kehamilan. Sementara
selama masa kehamilan kondisi asma seseorang bisa berubah. Dari 1.087
pasien, dilaporkan 36% asmanya membaik, 23% memburuk, dan 41% tidak
berubah. Laporan lain menunjukan perbaikan asma antara 18-69% dan
memburuk pada 6-42%. Tapi secara umum disepakati bahwa derajat asma
pada ibu hamil, sepertiga membaik, sepertiga memburuk, dan sepertiga
sisanya tetap.
Kondisi asma yang memburuk umumnya muncul pada minggu ke 29-
36 masa kehamilan. Sementara pada 4 minggu terakhir masa kehamilan,
keadaan justru membaik. Bahkan, selama proses persalinan dan kelahiran
hanya 10% ibu hamil penderita asma yang menunjukkan gejala asma, hal ini
diduga disebabkan oleh membaiknya fungsi paru. Asma yang memburuk
selama kehamilan biasanya kembali membaik dalam waktu 3 bulan setelah
partus. Asma yang terjadi pada kehamilan sebelumnya, pada 60%
penderitanya akan terulang lagi pada kehamilan berikutnya.
1.2 Tujuan Umum
Mampu menjelaskan tentang konsep masalah kehamilan pada asma serta
pendekatan asuhan keperawatannya.
1.3 Tujuan Khusus
1.3.1. Mengerti perubahan anatomi asma pada ibu hamil
1.3.2. Memahami pengertian asma pada ibu hamil
1.3.3. Mengerti etiologi asma pada ibu hamil
1.3.4. Menguraikan patofisiologi asma pada ibu hamil
1.3.5. Mengetahui manifestasi klinis asma pada ibu hamil
1.3.6. Mengerti Hubungan Kehamilan dan Fungsi Pernafasan
1.3.7. Mengetahui komplikasi asma pada ibu hamil
1.3.8. Mengetahui penatalaksanaan asma pada ibu hamil
1.3.9. Mengidentifikasi pemeriksaan diagnostik asma pada ibu hamil
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dedinisi
Asma brokhial merupakan penyakit pernapasan akut yang
disebabkan oleh allergen, oleh perubahan mencolok pada suhu lingkungan
atau oleh ketegangan emosi. Pada banyak kasus, penyebab aktual mungkin
diketahui.suatu riwayat alergi dalam keluarga dimiliki oleh sekitar 50%
individu dengan asma. Sebagai respon reaktifitas terhadap stimulus, jalan
napas menyempit, sehingga mempersulit pernapasan. Manifestasi
klinisnya adalah mengi pada ekspirasi, batuk, sputum yang kental dan
dispneu. Penyakit asma pada kehamilan kadang – kadang berat atau malah
berkurang. Dalam batas wajar penyakit asma yang berat dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim
melalui pertukaran gan oksigen dan karbondioksida. Pengawasan hamil
dan pertolongan persalinan dapat dilakukan dengan operasi.
Asma bronkial merupakan salah satu penyakit pernapasan yang
sering dijumpai pada kehamilan, mempengaruhi 1 – 4 % wanita hamil.
Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya asma tidak selalu sama pada
setiap penderita, bahkan pada seorang penderita asma serangannya tidak
selalu sama pada kehamilan pertama dan beriktnya. Kurang dari sepertiga
penderita asma kurang membaik dalam kehamilan lebih dari sepertiga
akan menetap, kurang sepertiga lagi akan memburuk pada serangan
bertambah berat. Biasanya seragan akan timbul pada usia 24 – 26 minggu
dan pada akhir kehamilan jarang terjadi. Asma bronkhial suatu gangguan
pada saluran bronkhial dengan ciri bronkhospasme periodik (kontraksi
spasme pada saluran napas). Asma merupakan penyakit kompleks yang
diakibatkan oleh faktor biokimia, endokrin, infeksi, otonomik dan
psikologi. (Irman Somantri,2008:43)
2.2 Etiologi
Sampai saat ini patogenesis maupun etiologi asma belum diketahui
secara pasti. Berbagai teori patogenesis telah diajukan, tetapi yang paling
disepakati oleh para ahli adalah yang berdasakan gangguan saraf autonom
dan sistem imun. Asma saat ini dipandang sebagain penyakit inflamasi
saluran napas. Adanya inflamasi hiperaktivitas saluran napas dijumpai
pada asma baik pada asma alergi maupun nonalergi. Oleh karena itu
dikenal dua jalur untuk mencapai keadaan tersebut.
Jalur imunologi utama didominasi oleh IgE dan jalur saraf
otonom. Pada jalur IgE, masuknya allergen kedalam tubuh akan diolah
oleh APC (Antingen Presenting Cells), untuk selanjutnya hasil olahan
alergen akan dikomunikasikan pada sel T helper (T penolong) sel ini akan
memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel – sel plasma
membentuk serta sel – sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel
epitel, eosinifil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan
mediator – mediator inflamasi seperti histamin protaglandin (PG),
leukotrin (LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin
(TX) dan lain – lain akan mempengaruhi organ sasaran menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas,
infiltrasi sel – sel radang, sekresi mukus, dan fibrosis sup epetel sehingga
menimbulkan hiperreaktivitas saluran napas (HSN).
Jalur non alergi selain meransang sel inflamasi, juga meransang
sistem saraf otonom dengan hasil skhir berupa inflamasi dan
hiperreaktivitas saluran napas. Hiperreaktivitas saluran napas dan diduga
sebagian didapat sejak lahir. Berbagai keadaan dapat meningkatkan
hiperreaktivitas sluran napas yaitu inflamasi saluran napas, kerusakan
epitel, mekanisme neurologis, gangguan intrinsik, dan obstruksi saluran
napas.
Penyebab asma pada kehamilan :
1. Zat – zat alergi, contohnya tepung, debu, bulu dll
2. Genetik,
3. Infeksi saluran napas
4. Pengaruh udara, misalnya terlalu dingin, terlalu panas.
5. Faktor psikis, misalnya kelelahan, stres.
6. Aktivitas fisik berlebih
2.3 Patofisiologi
Pemeriksaan dilakukan oleh tim ahli Asma California tahun 1983
pada 120 kasus asma pada ibu hamil yang terkontrol baik, terdapat 90%
dari penderita yang tidak pernah mendapat serangan dalam persalinan,
2,2% menderita serangan ringan an hanya 0,2% yang menderita asma
berat yang dapat diatasi dengan obat – obatan IV. Pengaruh asma pada ibu
hamil dan janin sangat tergantung dari sering dan beratnya serangan,
karena ibu dan janin akan kekurangan oksigen dan hipoksia. Keadaan
hipoksia bila tidak segera diatasi tentu akan berpengaruh pada janin yang
sering terjadi keguguran, persalina prematur dan berat janin tidak sesuai
dengan usia kehamilan atau ganguan pertumbuhan janin.
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme
otot bronkus, penyumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus.
Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis
saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini menyebabkan udara
distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa di ekspirasi.
Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, Kapasitas Residu
Fungsional (KRF), dan pasien akan bernapas pada volume yang tinggi
mendekati Kapasitas Paru Total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan
agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk
mempertahankan inflasi ini diperlukan otot bantu napas. Gangguan yang
berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara objektif dengan VEP1
(Volume Ekspirasi Paksa Detik Pertama) atau APE (Arus Puncak
Ekspirasi), sedang penurunan KVP (Kapasitas Vital Paksa)
menggambarkan derajat hiperinflasi paru. Penyempitan saluran napas
dapat terjadi, baik pada saluran napas besar, sedang maupun kecil. Gejala
mengi (whezing) menandakan adanya penyempitan disaluran napas besar,
sedangkan penyempitan pada saluran napas kecil gejala batuk dan sesak
lebih dominan dibanding mengi.
Perubahan fungsi paru pada kehamilan meliputi 20% karena
peningkatan kebutuhan oksigen dan metabolisme ibu, 40% peningkatan
ventilasi semenit dan peningkatan tidal volume. Terdapat sejumlah
perubahan fisiologik dan struktural terhadap fungsi paru selama
kehamilan. Hiperemia, hipersekresi dan edema mukosa dan saluran
pernapasan merupakan akibat dari meningkatnya kadar estrogen. Pada
uterus grafid terjadi peningkatan ukuran lingkar perut, diafragma
meninggi, dan semakin dalamnya sudut antarkosta. Wanita hamil
mengalami peningkatan tidal volume, volume residu, serta kapasitas residu
konvensional, penurunan volume balik ekspirasi, sementara kapasitas vital
tidak berubah. Hiperventilasi alveolar terjadi bila PCO2 menurun dari 34 –
40 mmHg menjadi 27 – 34 mmHg, yang biasanya terlihat pada umur
kehamilan 12 minggu. Seperti yang diperkirakan, frekuensi terjadinya
serangan eksaserbasi asma puncaknya pada umur kehamilan sekitar 6
bulan, gejala yang berat biasanya terjadi antara umur kehamilan 24 – 36
minggu.
Jelasnya patofisiologi asma adalah sebagai berikut :
1. Kontraksi otot pada saluran napas meningkatkan resustansi jalan
napas.
2. Peningkatan sekresi mukosa dan obstruksi saluran napas.
3. Hiperinflasi paru dengan peningkatan volume residu.
4. Hiperaktivitas bronkial, yang diakibatkan oleh histamin, prostaklandin
dan leukrotin.
Degranulasi sel mast menyebabkan terjadinya asma dengan cara
pelepasan mediator kimia, yang memicu peningkatan resistensi jalan napas
dan spasma bronkus. Pada kasus kehamilan alkalosis respiratori tidak bisa
dipertahankan diawal berkurangnya ventilasi, dan terjadilah asidosis.
Akibat perubahan nilai gas darah arteri pada kehamilan (penurunan
PCO2 dan peningkatanPh). Pasien dengan perubahan nilai gas darah arteri
secara signifikan merupakan faktor resiko terjadinya hipoksemia maternal,
hipoksia janin yang berkelanjutan dan gagal napas.
2.4 Manifestasi Klinis
Gejala klinik bervariasi mulai dari wheezing ringan sampai
bronkokonstriksi berat. Pada keadaan ringan, hipoksia dapat dikompensasi
hiperventilasi. Namun, bila bertambah berat akan terjadi kelelahan yang
menyebabkan retensi O2 akibat hiperventilasi. Bila terjadi gagal napas,
ditandai asidosis, hiperkapnea, adanya pernapasan dalam, takikardi, pulsus
paradoksus, ekspirasi memanjang, penggunaan otot asesoris pernapasan,
sianosis sentral, sampai gangguan kesadaran. Keadaan ini bersifat reversible
dan dapat ditoleransi. Namun, pada kehamilan sangat berbahaya akibat
adanya penurunan kapasitas residu.
Manifestasi klinis asma ditandai dengan dyspnea, kesesakan dada,
wheezing, dan batuk malam hari, di mana hanya menjadi tanda dalam
beberapa kasus. Pasien melaporkan gejala seperti gangguan tidur dan nyeri
dada.
Batuk yang memicu spasme atau kesesakan dalam saluran pernapasan, atau
berlanjut terus, dapat berbahaya. Beberapa serangan dimulai dengan batuk
yang menjadi progresif lebih “sesak”, dan kemudian bunyi wheezing terjadi.
Ada pula yang berbeda, beberapa penderita asma hanya dimulai wheezing
tanpa batuk. Beberapa yang lain tidak pernah wheezing tetapi hanya batuk
selama serangan asma terjadi.
Selama serangan asma, mucus cenderung menjadi kering dan sukar,
sebagian karena cepat, beratnya pernapasan umumnya terjadi saat serangan
asma. Mucus juga menjadi lebih kental karena sel-sel mati terkelupas.
Kontraksi otot bronkus menyebabkan saluran udara menyempit atau
konstriksi. Hal ini disebut brokokonstriksi yang memperbesar obstruksi
yaitu asma.
Secara umum gejala yang sering muncul pada asma bronkial ialah
1. Tanda dan gejala utama asma adalah bunyi whezing, dispnea, dan
batuk.
2. Penggunaan otot bantu napas saat serangan.
3. Sputum dengan sedikit mucus.
4. Takikardi.
5. Berkeringan dingin.
6. Serangan berlangsung sekitar 70 menit sampai beberapa jam dan dapat
hilang secara spontan.
7. Ronchi basah.
2.5 Klasifikasi Asma
Berkaitan dengan gangguan saluran pernapasan yang berupa peradangan
dan bronkokonstriksi, beberapa ahli membagi asma dalam 2 golongan
besar, seperti yang dianut banyak dokter ahli pulmonologi (penyakit paru-
paru) dari Inggris, yakni:
1. Asma Ekstrinsik
Asma ekstrinsik adalah bentuk asma yang paling umum, dan
disebabkan karena reaksi alergi penderitanya terhadap hal-hal tertentu
(alergen), yang tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap mereka
yang sehat. Kecenderungan alergi ini adalah “kelemahan keturunan”.
Setiap orang dari lahir memiliki sistem imunitas alami yang
melindungi tubuhnya terhadap serangan dari luar. Sistem ini bekerja
dengan memproduksi antibodi.
Pada saat datang serangan, misalnya dari virus yang memasuki tubuh,
sistem ini akan menghimpun antibodi untuk menghadapi dan berusaha
menumpas sang penyerang. Dalam proses mempertahankan diri ini,
gejala-gejala permukaan yang mudah tampak adalah naiknya
temperatur tubuh, demam, perubahan warna kulit hingga timbul
bercak-bercak, jaringan-jaringan tertentu memproduksi lendir, dan
sebagainya (Hadibroto & Alam, 2006).
2. Asma Intrinsik
Asma intrinsik tidak responsif terhadap pemicu yang berasal dari
alergen. Asma jenis ini disebabkan oleh stres, infeksi, dan kondisi
lingkungan seperti cuaca, kelembapan dan suhu tubuh. Asma intrinsik
biasanya berhubungan dengan menurunnya kondisi ketahanan tubuh,
terutama pada mereka yang memiliki riwayat kesehatan paru-paru
yang kurang baik, misalnya karena bronkitis dan radang paru-paru
(pneumonia). Penderita diabetes mellitus golongan lansia juga mudah
terkena asma intrinsik. Penderita asma jenis ini kebanyakan berusia di
atas 30 tahun (Hadibroto & Alam, 2006).
Namun penting dicatat, bahwa dalam prakteknya, asma adalah
penyakit yang kompleks, sehingga tidak selalu dimungkinkan untuk
menentukan secara tegas, golongan asma yang diderita seseorang.
Sering indikasi asma ekstrinsik dan intrinsik bersama-sama dideteksi
ada pada satu orang.
Sebagai contoh, dalam kasus asma bronkial (termasuk jenis ekstrinsik)
yang kronis, pada saat menangani terjadinya serangan, dokter akan
sering mendiagnosa hadirnya faktor-faktor kecemasan dan rasa panik.
Keduanya adalah emosi yang sifatnya naluriah pada saat seseorang
harus berjuang agar bisa bernapas. Selanjutnya rasa cemas dan panik
ini meneruskan lingkaran setan dan memperparah gejala serangan.
Juga akan tercatat, bahwa bahan-bahan iritan (pengganggu) dari luar
seperti asap rokok dan hairspray akan memperparah kondisi penderita.
3. Asma bentuk lainnya.
o Mixed asthma (asma campuran)
Diduga ada campuran asma alergi dan asma infektif, ada dua
subtipe yaitu chronic astmatic bronchitis (keberadaan asma
bersamaan dengan bronchitis menahun) dan subtype asthma
aspirin sensitivity and nasal polyposis (serangan asma timbul
setelah 20 menit mengkonsumsi aspirin, tanpa atau dengan
polip. Kebanyakan penderita menunjukkan instrinsik asma
dengan keluhan yang menetap.
o Exercise-Induced Asthma
Varian asma ini sebagai faktor pencetusnya adalah akibat latihan
sedang sampai berat, utamanya pada penderita atopi muda,
timbul setelah latihan tersebut. Pengobatannya hindari olah raga
berat atau mengkonsumsi bronkodilator atau kombinasi
bronkodilator dengan steroid. Etiologinya adalah perubahan
panas dan kelembaban pada saluran pernafasan.
o Dual type I and III Allergic Reaction.
Lebih dari satu mekanisme imun mengakibatkan asma.
Penderita dengan reaksi ganda, umumnya episode sesak dan
wheezing akut timbul setelah 10-30 menit paparan alergen
ditandai dengan penurunan FEV1 dan kemudian setelah 2-6 jam
ada serangan ulang (relaps). Reaksi yang kedua ini berjalan
perlahan dan ditandai secara khas adanya gambaran obstruksi
yang progresif sangat memberat, sesak dan sering pada beberapa
penderita disertai dengan adanya infiltrat peradangan paru.
Reaksi ganda ini dapat terjadi pada respon benda asing berupa
bulu burung (avian allergen), debu rumah, tungau, dan debu
hutan. Sodium kromoglikat dapat mencegah timbulnya
serangan, namun pengobatan yang efektif adalah menjauhi
paparan bahan-bahan terebut. Namun bila kedua usaha tersebut
gagal baru menggunakan steroid.
Kesimpulannya adalah, dari asal asma bronkial (termasuk asma
ekstrinsik) akan terlihat juga hadirnya faktor asma intrinsik.
Demikian pula, seseorang yang punya sejarah bronkitis di masa kanak-
kanak sering tumbuh menjadi orang dewasa yang cenderung menderita
asma yang alergik, sebagai akibat kelemahan bawaan dari masa kanak-
kanaknya (Hadibroto & Alam, 2006).
Klasifikasi tingkat penyakit asma dapat dibagi berdasarkan frekuensi
kemunculan gejala (Hadibroto & Alam, 2006).
1. Intermitten, yaitu sering tanpa gejala atau munculnya kurang dari
1 kali dalam seminggu dan gejala asma malam kurang dari 2 kali
dalam sebulan. Jika seperti itu yang terjadi, berarti faal (fungsi)
paru masih baik.
2. Persisten ringan, yaitu gejala asma lebih dari 1 kali dalam
seminggu dan serangannya sampai mengganggu aktivitas,
termasuk tidur. Gejala asma malam lebih dari 2 kali dalam
sebulan. Semua ini membuat faal paru realatif menurun.
3. Persisten sedang, yaitu asma terjadi setiap hari dan serangan
sudah mengganggu aktivitas, serta terjadinya 1-2 kali seminggu.
Gejala asma malam lebih dari 1-2 kali seminggu. Gejala asma
malam lebih dari 1 kali dalam seminggu. Faal paru menurun.
4. Persisten berat, gejala asma terjadi terus-menerus dan serangan
sering terjadi. Gejala asma malam terjadi hampir setiap malam.
Akibatnya faal paru sangat menurun.
Klasifikasi tingkat penyakit asma berdasarkan berat ringannya gejala
(Hadibroto & Alam, 2006):
1. Asma akut ringan, dengan gejala: rasa berat di dada, batuk kering
ataupun berdahak, gangguan tidur malam karena batuk atau sesak
napas, mengi tidak ada atau mengi ringan, APE (Arus Puncak
Aspirasi) kurang dari 80%.
2. Serangan asma akut sedang, dengan gejala: sesak dengan mengi
agak nyaring, batuk kering/berdahak, aktivitas terganggu, APE
antara 50-80%.
3. Serangan asma akut berat, dengan gejala: sesak sekali, sukar
berbicara dan kalimat terputus-putus, tidak bisa barbaring, posisi
harus setengan duduk agar dapat bernapas, APE kurang dari 50%.
2.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Sinar X dada
Hiperinflasi paru, mendatarnya diafragma, peningkatan area udara
retsosoternal, hasil normal selama periode remisi.
2. Tes fungsi paru
3. Kapasitas inspirasi
4. GDA (PaO2 menurun, PaCO2 meningkat)
5. Sputum
6. EKG dan tes stress
2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada penderita asma antara lain :
1. Mencegah adanya stress.
2. Menghindari faktor pencetus yang sudah diketahui secara intensif.
3. Mencegah penggunaan aspirin karena dapat menimbulkan serangan.
4. Pada serangan ringan dapat digunakan obat inhalan.
5. Pada keadaan yang lebih berat penderita harus dirawat dan serangan
dapat dihilangkan seperti efinefrin /sc , oksigen, isoproerenol/ inhalasi,
aminoplin/infuse, glukosa, hidrokortison/ infuse dektrose 10%.
Terapi asma bronkial memiliki 2 tujuan :
1. Meredakan serangan yang akut.
2. Mencegah atau membatasi serangan yang datang.
Pada semua individu yang menderita asma, allergen yang diketahui
harus di eliminasi dan suhu harus dipertahankan nyaman didalam rumah.
Infeksi pernafasan harus diobati dan di inhalasi uap atau kabut diterapkan
untuk mengencerkan lendir. Episode akut membutuhkan steroid,
aminofilin, oksigen, dan koreksi ketidakseimbangan cairan elektrolit.
Tindakan pencegahan khusus untuk obstetric meliputi hal – hal berikut :
1. Jangan gunakan morfin dalam persalinan karena obat ini dapat
menyebabkan brokhospasmae. Meperidin (demerol) biasanya akan
meredakan bronkhospasmae.
2. Hindari atau batasi penggunaan efedrin dan kortikosteroid (obat –
obatan penekan) pada klien dengan preeklamasi dan eklamsia.
3. Pilih kelahiran pervaginam serta penggunaan anastesi lokal atau
anastesi regional setiap kalai ada kesempatan.
2.8 Efek Kehamilan Pada Asma
Tidak dapat diprediksi. Perubahan fisiologis, yang diinduksi oleh
kehamilan, tidak membuat wanita hamil lebih rentan terhadap serangan
asma. Asma meningkatkan insiden aborsi dan persalinan prematur, tetapi
janin sendiri tidak berpengaruh. Pada kasus – kasus yang berat, asma dapat
mengancam kehidupan wanita hamil. Pada kebanyakan kasus prognosis
baik pada ibu dan janin.
2.9 Komplikasi
1. Hipoksia janin dan ibu
2. Abortus
3. Persalinan prematur
4. BBLR
Edema mukosa dan dinding
bronkus
Hipereaktivitas bronkus
Spasme otot saluran napas
Hipersekresi mukus
Pelepasan mediator inflamasi (histamin, prostaglandin, bradikinin)
Zat – zat alergi, contohnya tepung, debu, bulu dllInfeksi saluran napasPengaruh udara, misalnya terlalu dingin, terlalu panas.Faktor psikis, misalnya kelelahan, stres
alergi
Zat – zat alergi, contohnya tepung, debu, bulu dllInfeksi saluran napasPengaruh udara, misalnya terlalu dingin, terlalu panas.Faktor psikis, misalnya kelelahan, stres
alergi
2.10 WOC
Hipoventilasi
Penyempitan jalan napas
Hipersekresi mukus
Pelepasan mediator inflamasi (histamin, prostaglandin, bradikinin)
Kebtuhan O2 dlm
tbuh tdak menckupi
Suara napas weazing
Kompensasi (hiperventilasi)
MK : pola napas tidak efektif
Nafas cuping hidung
Pola napas tergangguMK : gangguan
kesadaran
Penurunan kesadaran pada ibu
Suplai O2 ke otak menurun
Resiko Hipoksia pada ibu dan janin
Kelemahan / keletihan
Kadar oksigen
dlm darah
Oksigen dalam darah berkurang
Akral teraba dingin, sianosis
MK : gg perfusi
jaringan
MK : intoleransi
aktivitas
Akltivitas menurun
MK : gangguan personal hygene
2.11 Diagnosa yang Mungkin Muncul1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan gangguan
suplai oksigen (bronkospasme), penumpukan sekret, sekret kental.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan suplai oksigen
(bronkospasme).
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai
oksigen (bronkuspasme).
4. Gangguan kesadaran berhubungan dengan
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
6. Gangguan personal hygien dengan
NoDiagnosa
Keperawatan
Tujuan/Kriteria
HasilIntervensi Rasional
1 Tidak efektifnya
bersihan jalan
nafas
berhubungan
dengan
gangguan suplai
oksigen
(bronkospasme)
, penumpukan
sekret, sekret
kental
Pencapaian bersihan
jalan napas dengan
kriteria hasil sebagai
berikut:
1. Mempertahankan
jalan napas paten
dengan bunyi napas
bersih atau jelas.
2. Menunjukan
perilaku untuk
memperbaiki
bersihan jalan nafas
misalnya batuk
efektif dan
mengeluarkan sekret.
Mandiri
1. Auskultasi
bunyi nafas,
catat adanya
bunyi nafas,
ex: mengi
2. Kaji/pantau
frekuensi
pernafasan,
catat rasio
inspirasi/ekspi
rasi.
3. Catat adanya
derajat
dispnea,
ansietas,
distress
pernafasan,
penggunaan
obat bantu.
4. Tempatkan
posisi yang
nyaman pada
pasien,
1. Beberapa derajat
spasme bronkus
terjadi dengan
obstruksi jalan
nafas dan
dapat/tidak
dimanifestasikan
adanya nafas
advertisius.
2. Tachipnea
biasanya ada pada
beberapa derajat
dan dapat
ditemukan pada
penerimaan atau
selama
stress/adanya
proses infeksi
akut.
3. Disfungsi
pernafasan adalah
variable yang
tergantung pada
tahap proses akut
contoh:
meninggikan
kepala tempat
tidur, duduk
pada sandara
tempat tidur.
5. Pertahankan
polusi
lingkungan
minimum,
contoh: debu,
asap dll.
6. Tingkatkan
masukan
cairan sampai
dengan 3000
ml/ hari sesuai
toleransi
jantung
memberikan
air hangat.
Kolaborasi
7. Berikan obat
sesuai indikasi
bronkodilator.
yang
menimbulkan
perawatan di
rumah sakit.
4. Peninggian
kepala tempat
tidur
memudahkan
fungsi pernafasan
dengan
menggunakan
gravitasi.
5. Pencetus tipe
alergi pernafasan
dapat mentriger
episode akut.
6. Hidrasi
membantu
menurunkan
kekentalan sekret,
penggunaan
cairan hangat
dapat menurunkan
kekentalan sekret,
penggunaan
cairan hangat
dapat menurunkan
spasme bronkus.
7. Merelaksasikan
otot halus dan
menurunkan
spasme jalan
nafas, mengi, dan
produksi mukosa.
2 Pola nafas tidak
efektif
berhubungan
Perbaikan pola nafas
dengan kriteria hasil
sebagai berikut:
Mandiri
1. Ajarkan
pasien
1. Membantu
pasien
memperpanjang
dengan
gangguan suplai
oksigen
(bronkospasme)
1. Mempertahankan
ventilasi adekuat
dengan menunjukan
RR:16-20 x/menit
dan irama napas
teratur.
2. Tidak mengalami
sianosis atau tanda
hipoksia lain.
3. Pasien dapat
melakukan
pernafasan dalam.
pernapasan
dalam.
2. Tinggikan
kepala dan
bantu
mengubah
posisi. Berikan
posisi semi
fowler.
Kolaborasi
3. Berikan
oksigen
tambahan.
waktu ekspirasi
sehingga pasien
akan bernapas
lebih efektif dan
efisien.
2. Duduk tinggi
memungkinkan
ekspansi paru dan
memudahkan
pernapasan.
3. Memaksimalkan
bernapas dan
menurunkan kerja
napas.
3 Gangguan
pertukaran gas
berhubungan
dengan
gangguan suplai
oksigen
(bronkuspasme)
Perbaikan pertukaran
gas dengan kriteria
hasil sebagai berikut:
1. Perbaikan ventilasi.
2. Perbaikan oksigen
jaringan adekuat.
Mandiri
1. Kaji/awasi
secara rutin
kulit dan
membrane
mukosa.
2. Palpasi
fremitus.
3. Awasi tanda-
tanda vital dan
irama jantung.
Kolaborasi
4. Berikan
oksigen
tambahan
sesuai dengan
indikasi hasil
AGDA dan
toleransi
pasien.
1. Sianosis
mungkin perifer
atau sentral
keabu-abuan dan
sianosis sentral
mengindikasikan
beratnya
hipoksemia.
2. Penurunan
getaran vibrasi
diduga adanya
pengumplan
cairan/udara.
3. Tachicardi,
disritmia, dan
perubahan
tekanan darah
dapat menunjukan
efek hipoksemia
sistemik pada
fungsi jantung.
4. Dapat
memperbaiki atau
mencegah
memburuknya
hipoksia.
4 Risiko tinggi
terhadap infeksi
berhubungan
dengan tidak
adekuat
imunitas
Tidak terjadinya
infeksi dengan
kriteria hasil sebagai
berikut:
1. Mengidentifikasikan
intervensi untuk
mencegah atau
menurunkan resiko
infeksi.
2. Perubahan pola
hidup untuk
meningkatkan
lingkungan yang
nyaman.
Mandiri
1. Awasi suhu.
2. Diskusikan
adekuat
kebutuhan
nutrisi.
Kolaborasi
3. Dapatkan
specimen
sputum
dengan batuk
atau
pengisapan
untuk
pewarnaan
gram,
kultur/sensitifi
tas.
1. Demam dapat
terjadi karena
infeksi dan atau
dehidrasi.
2. Malnutrisi dapat
mempengaruhi
kesehatan umum
dan menurunkan
tahanan terhadap
infeksi.
3. Untuk
mengidentifikasi
organisme
penyabab dan
kerentanan
terhadap berbagai
anti microbial.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
Nn. G 23 tahun suku minang datang dengan keluhan napasnya sesak sewaktu
bangun pagi dan semakin meningkat ketika beraktivitas, klien juga batuk
berdahak. Dari hasil pengkajian klien mengeluh sesak, batuk berdahak dengan
dahak berwarna putih, dan klien merasa sesaknya berkurang setelah dilakukan
pengasapan (nebulizer). Klien juga mengatakan mempunyai riwayat asma sejak
kelas 6 SD dan klien mengatakan bahwa ada salah satu anggota keluarganya yang
memiliki riwayat asma, yaitu ibunya. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan
hasil: rongga dada simetris, retraksi dinding dada (+), taktil fremitus simetris
antara kiri dan kanan, suara napas klien terdengar wheezing, resonan pada perkusi
dinding dada, dan sputum berwarna putih kental. Dari hasil observasi didapatkan
hasil: tingkat kesadaran: kompos mentis, dan hasil TTV: TD = 130/70 mmHg, RR
= 36x/menit, HR = 76x/menit, suhu = 37o C. Dari hasil pemeriksaan laboratorium
didapatkan hasil: Hb = 15,5 gr%, leukosit = 17.000/mm3, trombosit 260.000/mm3,
Ht = 47vol%. Klien saat ini mendapatkan terapi: IVFD RL 20 tts/i, Pulmicort,
Ventolin, Bisolvon dan O2 dengan nasal kanul 2 L. Pada pemeriksaan penunjang
X-ray dada/thorax, didapatkan hasil paru dalam batas normal.
B. Pengkajian
1. Anamnesa
· Identitas Klien
Nama : Nn. G
Umur : 23 tahun
· Alasan Masuk (Keluhan Utama)
Klien masuk rumah sakit dengan keluhan napasnya sesak sewaktu bangun pagi
dan semakin meningkat ketika beraktivitas, serta batuk berdahak.
· Riwayat Penyakit Dahulu
Klien mengatakan mempunyai riwayat asma sejak kelas 6 SD
· Riwayat penyakit Sekarang
Klien mengeluh sesak, batuk berdahak dengan dahak berwarna putih.
· Riwayat Penyakit Keluarga
Klien mengatakan bahwa ada salah satu anggota keluarganya yang memiliki
riwayat asma, yaitu ibunya.
2. Pemeriksaan Fisik
a) Tingkat Kesadaran: Compos mentis
b) TTV:
(1) BP : 130/70 mmHg
(2) RR: 36 x/menit
(3) HR: 76 x/menit
(4) T : 37oC
c) Hasil pengkajian:
· Inspeksi
Rongga dada simetris, retraksi dinding dada (+), dan sputum berwarna putih
kental.
· Palpasi
Taktil fremitus simetris antara kiri dan kanan.
· Perkusi
Resonan dikedua lapang paru.
· Auskultasi
Suara napas klien terdengar wheezing.
3. Pemeriksaan Penunjang dan Laboratorium
· Pada pemeriksaan penunjang
X-ray dada/thorax, didapatkan hasil paru dalam batas normal.
· Pemeriksaan laboratorium
- Hb = 15,5 gr%
- Leukosit = 17.000/mm3
- Trombosit 260.000/mm3
- Ht = 47vol%.
4. Terapi Pengobatan Saat Ini
IVFD RL 20 tts/i, Pulmicort, Ventolin, Bisolvon dan O2 dengan nasal kanul 2 L.
C. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
Keperawatan
1 DS:
1. Klien
mengatakanbatuk
berdahak dengan
dahak berwarna
putih.
2. Klien merasa
sesak.
DO:
1. Tanda-tanda
vital:
BP=130/70
mmHg
RR=36 x/menit
HR=76x/menit
T=37oC
2. Klien tampak
sesak nafas
disertai batuk
berdahak,
berwarna putih
agak kental.
3. Suara napas
klien terdengar
wheezing.
4. Terapi yang
diberikan:
oksigen 2L,
IVFD RL 20 tts/i,
Pulmicort,
Ventolin,
Bisolvon.
Pencetus serangan
(alergen)
↓
Reaksi antigen & antibodi
↓
Dikeluarkannya substansi
vasoaktif (histamin,
bradikinin, & anafilaksin)
↓
↑ permeabilitas kapiler
↓
Kontraksi otot polos
Edema mukosa
Hipersekresi
↓
Obstruksi jalan nafas
↓
Tidak efektifnya bersihan
jalan nafas
Tidak
efektifnya
bersihan jalan
nafas
2 DS:
1. Klien merasa
sesak
DO:
1. Tanda-tanda
vital:
BP=130/70
mmHg
RR=36 x/menit
HR=76x/menit
T=37oC
2. Klien tampak
sesak nafas
disertai batuk
berdahak,
berwarna putih
agak kental.
3. Suara napas
klien terdengar
wheezing.
4. Terapi yang
diberikan:
oksigen 2L,
IVFD RL 20 tts/i,
Pulmicort,
Ventolin,
Bisolvon.
Pencetus serangan
(alergen)
↓
Reaksi antigen & antibodi
↓
Dikeluarkannya substansi
vasoaktif (histamin,
bradikinin, & anafilaksin)
↓
Kontraksi otot polos
↓
Bronkospasme
↓
Suplai O2 menurun
↓
Merangsang kemoreseptor
sentral (spons dan medulla
oblongata)
↓
Hiperventilasi
↓
Sesak
↓
Pola nafas tidak efektif
Pola nafas tidak
efektif
D. Web of Caution (WOC)
E. Asuhan Keperawatan
N
o
Diagnosa
Keperawatan
Tujuan/
Kriteria HasilIntervensi Rasional
1. Tidak
efektifnya
bersihan jalan
nafas
berhubungan
dengan
gangguan
suplai oksigen
(bronkospasme
), penumpukan
sekret, sekret
kental.
Pencapaian
bersihan jalan
napas dengan
kriteria hasil
sebagai berikut:
1. Mempertahanka
n jalan napas
paten dengan
bunyi napas
bersih atau
jelas.
2. Menunjukan
Mandiri
1. Auskultasi
bunyi nafas,
catat adanya
bunyi nafas,
ex: mengi
1. Beberapa
derajat spasme
bronkus terjadi
dengan
obstruksi jalan
nafas dan
dapat/tidak
dimanifestasika
n adanya nafas
advertisius.
perilaku untuk
memperbaiki
bersihan jalan
nafas misalnya
batuk efektif
dan
mengeluarkan
sekret.
2. Kaji/pantau
frekuensi
pernafasan,
catat rasio
inspirasi/eksp
irasi.
3. Catat adanya
derajat
dispnea,
ansietas,
distress
pernafasan,
penggunaan
obat bantu.
4. Tempatkan
posisi yang
nyaman pada
pasien,
contoh:
meninggikan
kepala tempat
tidur, duduk
pada sandara
tempat tidur.
5. Pertahankan
2. Tachipnea
biasanya ada
pada beberapa
derajat dan
dapat
ditemukan pada
penerimaan
atau selama
stress/adanya
proses infeksi
akut.
3. Disfungsi
pernafasan
adalah variable
yang
tergantung
pada tahap
proses akut
yang
menimbulkan
perawatan di
rumah sakit.
4. Peninggian
kepala tempat
tidur
memudahkan
fungsi
pernafasan
dengan
menggunakan
gravitasi.
5. Pencetus tipe
alergi
polusi
lingkungan
minimum,
contoh: debu,
asap dll.
6. Tingkatkan
masukan
cairan sampai
dengan 3000
ml/ hari
sesuai
toleransi
jantung
memberikan
air hangat.
Kolaborasi
7. Berikan obat
sesuai
indikasi
bronkodilator
.
pernafasan
dapat mentriger
episode akut.
6. Hidrasi
membantu
menurunkan
kekentalan
sekret,
penggunaan
cairan hangat
dapat
menurunkan
kekentalan
sekret,
penggunaan
cairan hangat
dapat
menurunkan
spasme
bronkus.
7. Merelaksasika
n otot halus dan
menurunkan
spasme jalan
nafas, mengi,
dan produksi
mukosa.
2 Pola nafas
tidak efektif
berhubungan
dengan suplai
oksigen
berkurang
(bronkospasme
Perbaikan pola
nafas dengan
kriteria hasil
sebagai berikut:
1. Mempertahanka
n ventilasi
adekuat dengan
Mandiri
1. Tinggikan
kepala dan
bantu
mengubah
posisi.
Berikan
1. Duduk tinggi
memungkinkan
ekspansi paru
dan
memudahkan
pernapasan.
) menunjukan
RR=16-20
x/menit dan
irama napas
teratur.
2. Tidak
mengalami
sianosis atau
tanda hipoksia
lain.
3. Pasien dapat
melakukan
pernafasan
dalam.
posisi semi
fowler.
2. Ajarkan
pasien
pernapasan
dalam.
Kolaborasi
3. Berikan
oksigen
tambahan.
2. Membantu
pasien
memperpanjan
g waktu
ekspirasi
sehingga pasien
akan bernapas
lebih efektif
dan efisien.
3. Memaksimalka
n bernapas dan
menurunkan
kerja napas
F. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi
1. Penatalaksanan Farmakologi
Belum terlalu lama, yakni baru sejak pertengahan tahun 1990-an mulai mengental
keyakinan di kalangan kedokteran bahwa asma yang tidak terkendali dalam
jangka panjang bisa menyebabkan kerusakan pada saluran pernapasan dan paru-
paru. Cara menangani asma yang reaktif, yakni hanya pada saat datangnya
serangan sudah ketinggalan zaman. Hasil penelitian medis menunjukkan bahwa
para penderita asma yang terutama menggantungkan diri pada obat-obatan pelega
(reliever/bronkodilator) secara umum memiliki kondisi yang buruk dibandingkan
penderita asma umumnya. Selanjutnya prosentase keharusan kunjungan ke unit
gawat daruat (UGD), keharusan mengalami rawat inap, dan risiko kematiannya
karena asma juga lebih tinggi.
Hal ini membuktikan bahwa pasa asma ekstrinsik, penyebab asma yang mereka
derita adalah karena peradangan (inflamasi), dan bukan karena bronkokonstriksi.
Dengan demikian, dokter masa kini menggunakan obat peradangan sebagai
senjata utama, sedang obat-obatan pelega sebagai pendukung. Keyakinan ini
sangat disokong oleh penemuan obat-obatan pencegah peradangan saluran
pernapasan, yang aman untuk digunakan dalam jangka panjang.
Menurut AAAI (Amerika Academy of Allergy, Asthma & Immunology)
penggolongan obat asma (Hadibroto & Alam, 2006) adalah sebagai berikut:
a) Obat-obat anti peradangan (preventer)
(1) Usaha pengendalian asma dalam jangka panjang
(2) Golongan obat ini mencegah dan mengurangi peradangan, pembengkakan
saluran napas, dan produksi lendir
(3) Cara kerjanya adalah dengan mengurangi sensitivitas saluran pernapasan
terhadap pemicu asma yang berupa alergen.
(4) Penggunaannya harus teratur dalam jangka panjang
(5) Daya kerja lambat/gradual, biasanya mengambil waktu sekitar dua minggu
baru terlihat efektivitasnya ayang terukur.
Contoh obat anti peradangan adalah beclometasone [Becotide®], budesonide
[Pulmicort®], fluticasone [Flixotide®], mometasone [Asmanex®], dan
montelukast [Singulair®] secara bertahap mengurangi peradangan saluran napas
dan (jika digunakan secara teratur) akan mengontrol penyakit asma. Obat
pencegah biasanya tersedia dalam bentuk inhaler berwarna cokelat, putih, merah,
atau oranye, meskipun beberapa (misalnya montelukast) tersedia dalam tablet.
b) Obat-obat pelega gejala berjangka panjang
Obat-obat pelega gejala berjangka panjang dalam nama generik yang ada di
pasaran adalah salmeterol hidroksi naftoat (salmeterol xinafoate) dan teofilin
(theophylline).
(1) Salmeterol
Obat ini adalah bronkodilator yang bekerja perlahan dimana obat ini bekerja
dengan mengendurkan oto-otot yang mengelilingi saluran pernapasan. Obat ini
paling efektif bila dikombinasikan dengan suatu obat kortikosteroid hirup, dan
tidak dapat berfungsi sebagai pelega seketika dalam hal terjadi serangan asma.
Obat ini umumnya bekerja setelah setengah jam dan daya kerjanya bertahan
hingga 12 jam. Obat ini disajikan dalam bentuk obat hirup dosis terukut dan obat
hirup bubuk kering. Obat ini tidak dapat digunakan untuk anak-anak di bawah 12
tahun.
(2) Teofilin
Obat ini termasuk satu golongan dengan kafein (zat aktif yang terdapat dalam
secangkir kopi) dan termasuk bronkodilator yang lama daya kerjanya. Efek
samping obat ini sama seperti kafein sehingga tidak dianturkan untuk pasien
hiperaktif.
(3) Albuterol Sulfat atau Salbutamol.
Bronkolidarot yang paling populer dan disajikan dalam bentuk obat hirup dosis
terukur, obat hirup bubuk kering, larutan untuk alat nebulizer, sirup, tablet biasa,
tablet lepas-tunda (extended-reliase). Bentuk hirup bekerja lebih karena langsung
menuju saluran pernapasan yang bermasalah, ketimbang harus lewat lambung
dulu. Efek samping obat ini dapat menyebabkan stimulasi, jantung berdebar, dan
pusing.
Merek yang paling populer adalah Ventolin dan Proventil yang disajikan sebagai
obat hirup dosis terukur. Proventil HFA sebagai obat hirup bubuk kering.
Ventolin terdaftar di Indonesia dalam bentuk sediaan tablet, sirup, nebulizer,
danspray. Merek lain adalah Ascolen.
c) Obat-obat pelega gejala asma (reliever/bronkodilator)
Misalnya salbutamol [Ventolin®], terbutaline [Bricanyl®], formoterol [Foradil®,
Oxis®], dan salmeterol [Serevent®] secara cepat mengembalikan saluran napas
yang menyempit yang terjadi selama serangan asma ke kondisi semula. Obat
pereda/pelega biasanya tersedia dalam bentuk inhaler berwarna biru atau abu-abu.
d) Obat-obatan kortikosteroid oral
Kortikosteroid oral adalah obat yang ampuh untuk mengatasi pembengkakan dan
peradangan yang mencetuskan serangan asma. Obat ini membutuhkan enam
hingga delapan jam untuk bekerja, sehingga makin cepat digunakan makin cepat
pula daya kerja yang dirasakan.
Malam hari termasuk waktu dimana serangan asma paling sering terjadi, karena
fungsi paru-paru berada pada titik yang paling rendah di tengan malam. Dari hasil
penelitian terbukti bahwa dosis kortikosteroid oral yang diberikan di siang hari
bisa membantu mereka yang mengalami serangan asma untuk tidur pada malam
harinya.
Di sisi lain, efek samping penggunaan kortikosteroid oral juga cukup nyata,
seperti perubahan suasana hati (mood changes), meningkatnya selera makan,
perubahan berat badan, dan gejala demam yang ditekan. Akan tetapi, efek
samping dari penggunaan kortikosteroid ini tidak perlu dikhawatirkan jika
penggunaannya hanya dalam jangka pendek dan kadangkala saja.
(1) Prednison (Prednisone)
Prednison adalah preparat kortikosteroid oral yang paling umum digunakan. Obat
ini disajikan dalam bentuk pil maupun sirup.
(2) Prednisolon (Prednisolone)
Prednisolon adalah kortikosteroid oral yang sangat mirip prednisone, dengan
kelebihan rasanya yang lebih bisa diterima anak-anak. Dengan merek Prelone
disajikan sebagai sirup 15 mg per 5 ml. Prediaped disajikan sebagai sirup 5 mg
per 5 ml.
(3) Metilprednisolon (Methylprednisolone)
Sangat mirip dengan prednisolon, tetapi harganya lebih mahal. Biasanya
digunakan di rumah sakit dengan cara intravenuous.
(4) Deksametason (Dexamethasone)
Dengan merek Decadron, satu dosis tunggalnya berdaya kerja dua hingga tiga kali
lebih lama dibandingkan preparat kortikosteroid yang lain. Cocok untuk pasien
anak-anak yang sulit minum obat.
e) Alat-alat hirup
Alat hirup dosis terukur atau Metered Dose Inhaler (MDI) disebut
juga inhaleratau puffer adalah alat yang paling banyak digunakan untuk
menghantar obat-obatan ke saluran pernapasan atau paru-paru pemakainnya. Alat
ini menyandang sebutan dosis terukur (metered-dose) karena memang menghantar
suatu jumlah obat yang konsisten/terukur dengan setiap semprotan.
Sebagai hasil teknologi mutakhir, alat hirup dosis terukur kini bisa digunakan oleh
segala tingkatan usia, mulai dari balita hingga lansia. Alat hirup dosis terukur
memuat obat-obatan dan cairan tekan (pressurized liquid), biasanya
chlorofluorocerbous/CFC, yang mengembang menjadi gas ketika melewati
moncongnya. Cairan yang sebutan populernya adalah propelan tersebut memecah
obat-obatan yang dikandung menjadi butiran-butiran atau kabut halus, dan
mendorongnya keluar dari moncong masuk ke saluran pernapasan atau paru-paru
pemakainya.
f) Peak Flow Meter
Alat ini memegang peranan yang sangat penting dalam usaha dan program
pengendalian asma, terutama untuk mendeteksi gejala akan datangnya serangan
asma. Berpegang pada prinsip bahwa untuk menatalaksana segala sesuatu dengan
baik harus ada tolok ukurnya, maka orangtua anak penderita asma, maupun anak-
anak dan orang dewasa penderita asma sendiri harus menguasai cara mengukur
fungsi paru-paru mereka. Tindakan selanjutnya kemudian adalah mengambil
langkah yang sesuai dengan hasil pengukuran tersebut.
Peak Flow Meter adalah alat sederhana yang bisa digunakan di rumah, termasuk
oleh anak-anak berumur lima tahun ke atas. Alat ini mengukur kekuatan embusan
napas pemakainya. Ada tiga hal yang mempengaruhi kekuatan embusan napas
seseorang, yaitu ukuran paru-parunya, besar usahanya dalam mengembus; dan
bukaan (lebar atau sempitnya) saluran pernapasannya. Untuk menggunakannya, si
pemakai menarik napas dan mengisi paru-parunya sepenuh mungkin, kemudian
meniup ke dalam Peak Flow Meter secepatnya dengan sekuat-kuatnya. Seseorang
yang saluran pernapasannya menyempit, tidak akan bisa meniup sekuat bila
saluran pernapasannya terbuka sempurna. Pertanda pertama dari datangnya
serangan asma bisanya terlihat dari menurunnya ukuran catatan Peak Flow
Meter seseorang. Ini bahkan sebelum muncul gejala-gejala yang lain seperti
batuk, lendir yang berlebihan, atau sesak napas.
Untuk mengetahui kondisi bukaan saluran pernapasan seseorang, kita
membandingkan hasil pengukuran sesaat dengan patokan ukuran terbaik dari
orang tersebut. Untuk memperoleh patokan terbaik seseorang, lakukan
pengukuran denganPeak Flow Meter pada waktu orang tersebut berada dalam
kondisi asmanya terkendali dengan baik, dan catat hasilnya.
Kondisi asma seseorang dianggap terkendali baik jika hasil pengukuran sesaat ada
dalam rentang 80-100% dari kondisi terbaiknya (masuk zona hijau); antara 60-
80% dari kondisi terbaik ia memasuki zona kuning, yang berarti harus waspada
karena terlihat tanda-tanda akan datangnya serangan asma. Pengukuran di bawah
60% kondisi terbaik memasuki zona merah, berarti bahaya, dan orang yang
bersangkutan harus segera ke dokter untuk menghindari keharusan dirawat di
UGD.
2. Penatalaksanan Non Farmakologi
Penatalaksanaan secara non farmakologi dapat memanfaatkan tanaman-tanaman
herbal dalam penyembuhan berbagai penyakit pasien. Pengobatan yang
menggunakan tanaman herbal sebagai medianya biasa disebut sebagai pengobatan
secara tradisional atau pengobatan menggunakan ramuan herbal. Berikut ini
beberapa ramuan herbal yang dapat dimanfaatkan dalam penanganan asma, yaitu:
a) Resep 1
15 g kulit jeruk mandarin kering
(1) Cuci bersih semua bahan, iris-iris, rebus dengan 600 cc air hingga tersisa
200 cc, lalu saring.
(2) Minum selagi hangat.
(3) Lakukan secara teratur 2 kali sehari (Wijayakusuma, 2008).
b) Resep 2
5 g adas
5 batang serai
20 jari kayu manis
20 g jahe merah
30 g pegagan segar (15 g keringi)
Gula aren secukupnya
(1) Cuci bersih semua bahan, rebus dengan 600 cc air hingga tersisa 200 cc, lalu
saring.
(2) Minum selagi hangat.
(3) Lakukan secara teratur 2 kali sehari (Wijayakusuma, 2008).
c) Resep 3
3 g bunga melati kering (10 g segar)
6 lembar daun jinten
(1) Cuci bersih, rebus dengan 600 cc air hingga tersisa 200 cc, lalu saring.
(2) Minum selagi hangat.
(3) Lakukan secara teratur 2 kali sehari (Wijayakusuma, 2008).
d) Resep 4
200 g lobak putih
3 siung bawang putih
30 kencur
(1) Cuci bersih semua bahan, lalu jus atau blender dan saring.
(2) Panaskan airnya dengan api kecil hingga mendidih. Minum hangat-hangat.
(3) Lakukan secara teratur 2 kali sehari (Wijayakusuma, 2008).
e) Resep 5 (pemakaian luar)
Jahe secukupnya, iris dengan ketebalan 3-5 mm
(1) Tempelkan jahe dengan menggunakan koyo hangat pada titik dazhui, yaitu
ruas tulang paling menonjol yang terletak antara ruas tulang belakang leher
ketujuh dan ruas tulang belakang dada yang pertama.
(2) Lakukan secara teratur 2 kali sehari (Wijayakusuma, 2008).
f) Resep 6
· 6 buah biji cermai merah
· 8 butir buah lengkeng
· 4 potong akar kara
· 8 butir bawang merah
(1) Ditumbuk semua bahan dan direbus dengan 2 gelas air hingga satu setengah
gelas.
(2) Diminum satu hari 2 kali minum (Widjadja, 2009).
Selain mengunakan ramuan herbal kita juga bisa menggunakan terapi. Salah satu
terapi yang dapat dilakukan adalah terapi pijat (Hartanti, 2003).
G. Health Education (Pendidikan Kesehatan)
Pendidikan bagi pasien adalah suatu bagian yang penting dalam usaha
meningkatkan cara penanganan asma. Dasar pemikirannya, asma adalah suatu
penyakit biasa yang bisa dikendalikan. Namun, asma juga penyakit yang bersifat
Variabel, dalam arti gejala-gejalanya bisa membaik dan memburuk dari waktu ke
waktu. Karena variabilitas ini, sering penanganannya harus ditinjau ulang dan
diubah. Untuk itu dibutuhkan komunikasi yang efektif antara sang pasien dengan
dokternya (Hadibroto & Alam, 2006). Dalam hal ini sebaiknya sang pasien
mempunyai referensi atau pengetahuan tentang:
1. Apakah asma itu, beserta faktor-faktor pemicunya, terutama yang
menyangkut dirinya sendiri.
2. Seluk beluk pengobatan asma, dan kemungkinan akibat sampingan dari
masing-masing obat.
3. Cara menggunakan alat-alat pengobatan asma secara benar.
4. Tujuan pengobatan dan penatalaksanaan.
5. Pengenalan tanda-tanda dan gejala awal datangnya serangan.
6. Penulisan rencana tindakan (Action Plan).
Rencana tindakan adalah suatu rencana mengatasi kondisi asma yang memburuk,
dan rencana ini harus dimiliki oleh setiap penderita asma. Rencana tindakan
menyesuaikan dengan tingakat keparahan gejala, sehingga si penderita punya
pegangan dalam usaha mengendalikan asmanya (Hadibroto & Alam, 2006).
Lengkapnya rencana ini bisa:
a) Memberi pengarahan kapan waktunya untuk mengubah, meningkatkan atau
mengurangi, dan menambah obat-obatan yang digunakan.
b) Memberitahukan apa yang harus dilakukan, juka kondisi sang pasien tidak
membaik.
c) Memberikan kesempaatan bagi penderita asma untuk segera dan lebih awal
memulai penanganan, menghadapi gejala asma yang memburuk, untuk mencegah
serangan yang lebih gawat.
Memberi arahan akan kapan dan bagaimana usaha mengurangi penggunaan obat-
obatan hingga dosis seminimal mungkin, begitu asma sudah terkendali.
7. Pengisian Buku Harian asma.
Buku harian asma adalah sarana yang sangat penting untuk mencatat gejala-gejala
asma, obat-obatan yang digunakan, dan catatan prestasi Peak Flow Meter. Jika
gejala-gejala semuanya tercatat, sang pasien akan lebih sadar akan perubahan-
perubahan yang mengindikasikan bahwa asmanya mulai lepas kendali. Dengan
demikian ia bisa menyesuaikan pengobatannya berdasarkan Rencana Tindakan.
Buku Harian asma digunakan bersama dengan Rencana Tindakan, yang disiapkan
di bawah pengawasan dan persetujuan dokter yang merawat.
DAFTAR PUSTAKA
Asih, Niluh Gede Yasmin. (2003). Keperawatan Medikal Bedah: Klien dengan
Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Ayres, Jon. (2003). Asma. Jakarta: PT Dian Rakyat
Bull, Eleanor & David Price. (2007). Simple Guide Asma. Jakarta: Penerbit
Erlangga
Hadibroto, Iwan & Syamsir Alam. (2006). Asma. Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama
Hartanti, Vien. (2003). Jadi Dokter di Rumah Sendiri dengan Terapi Herbal dan
Pijat. Jakarta: Pustaka Anggrek
Herdinsibuae, W dkk. (2005). Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: PT Rineka Cipta
Mansjoer, Arif dkk. (2008). Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Muttaqin, Arif. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika
Syaifuddin. (2006). Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi 3.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Widjadja, Rafelina. (2009). Penyakit Kronis: Tindakan, Pencegahan, &
Pengobatan secara Medis maupun Tradisional. Jakarta: Bee Media Indonesia.
Wijayakusuma, Hembing. (2008). Ramuan Lengkap Herbal Taklukkan Penyakit.
Jakarta: Pustaka Bunda.