TULISAN HKI

29
1 KEWENANGAN PEMERINTAH DALAM MELINDUNGI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL WARGA NEGARA MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Chandra Darusman S, S.H *) A. LATAR BELAKANG MASALAH Pemerintah dalam hal ini presiden merupakan pelaksanaa kekuasaan eksekutif. Kewenangan dari pemerintah diatur dalam Pasal 4 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan negara. Dalam menjalankan kewenangan pemerintah maka Presiden melimpahkan sebagian kewenangan kepada pembantunya dalam hal ini yaitu Menteri Negara. Salah satu wujud dari penerapan equality before the law bahwa setiap kepentingan warga dilindungi dan diatur dalam peraturan perundang- undangan nasional. Kementerian Negara yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam melindungi hak warga salah satunya adalah Kementerian Negara Hukum dan HAM. Hak yang wajib dilindungi oleh pemerintah atas rakyatnya adalah Hak Kekayaan Intelektual (HKI). HKI hak atas kekayaan yang timbul atau lahir dari kemampuan intelektual manusia. HKI memang menjadikan karya-karya yang timbul atau lahir karena adanya kemampuan intelektual manusia yang harus dilindungi. Kemampuan intelektual manusia dihasilkan oleh manusia melalui daya, rasa, dan karsanya yang diwujudkan dengan karya-karya intelektual. 1 *) Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dan Sekretaris Umum Lembaga Analisis Qanun, Hukum dan Perundang- undangan (La-QUHP) Aceh 1 Djumhana dan R. Djubaedilah IV, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori, dan Prakteknya di Indonesia), Cetakan kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal 2

Transcript of TULISAN HKI

Page 1: TULISAN HKI

1

KEWENANGAN PEMERINTAH DALAM MELINDUNGI HAK

KEKAYAAN INTELEKTUAL WARGA NEGARA MENURUT

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Chandra Darusman S, S.H*)

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pemerintah dalam hal ini presiden merupakan pelaksanaa kekuasaan

eksekutif. Kewenangan dari pemerintah diatur dalam Pasal 4 UUD 1945 yang

menyebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan negara.

Dalam menjalankan kewenangan pemerintah maka Presiden melimpahkan

sebagian kewenangan kepada pembantunya dalam hal ini yaitu Menteri

Negara.

Salah satu wujud dari penerapan equality before the law bahwa setiap

kepentingan warga dilindungi dan diatur dalam peraturan perundang-

undangan nasional. Kementerian Negara yang menjadi perpanjangan tangan

pemerintah dalam melindungi hak warga salah satunya adalah Kementerian

Negara Hukum dan HAM.

Hak yang wajib dilindungi oleh pemerintah atas rakyatnya adalah Hak

Kekayaan Intelektual (HKI). HKI hak atas kekayaan yang timbul atau lahir

dari kemampuan intelektual manusia. HKI memang menjadikan karya-karya

yang timbul atau lahir karena adanya kemampuan intelektual manusia yang

harus dilindungi. Kemampuan intelektual manusia dihasilkan oleh manusia

melalui daya, rasa, dan karsanya yang diwujudkan dengan karya-karya

intelektual.1

*) Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Syiah

Kuala Banda Aceh dan Sekretaris Umum Lembaga Analisis Qanun, Hukum dan Perundang-

undangan (La-QUHP) Aceh

1Djumhana dan R. Djubaedilah IV, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori, dan Prakteknya di

Indonesia), Cetakan kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal 2

Page 2: TULISAN HKI

2

Keberadaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam hubungan antar

manusia dan antar negara merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri.

HKI juga merupakan sesuatu yang given dan inheren dalam sebuah

masyarakat industri atau yang sedang mengarah ke sana. Keberadaannya

senantiasa mengikuti dinamika perkembangan masyarakat itu sendiri. Begitu

pula halnya dengan masyarakat dan bangsa Indonesia yang mau tidak mau

bersinggungan dan terlibat langsung dengan masalah HKI.2

Kekayaan atau aset berupa karya-karya yang dihasilkan dari

pemikiran atau kecerdasan manusia mempunyai nilai atau manfaat ekonomi

bagi kehidupan manusia sehingga dapat dianggap juga sebagai aset

komersial. Karya-karya yang dilahirkan atau dihasilkan atas kemampuan

intelektual manusia baik melalui curahan tenaga, pikiran dan daya cipta, rasa

serta karsanya sudah sewajarnya diamankan dengan menumbuhkembangkan

sistem perlindungan hukum atas kekayaan tersebut yang dikenal sebagai

sistem Hak Kekayaan Intelektual (HKI).

HKI merupakan cara melindungi kekayaan intelektual dengan

menggunakan instrumen-instrumen hukum yang ada, yakni Hak Cipta, Paten,

Merek dan Indikasi Geografis, Rahasia Dagang, Desain Industri, Desain Tata

Letak Sirkuit Terpadu dan Perlindungan Varietas Tanaman.

Guna menghindari berbagai macam pelanggaran atas hak cipta,

khususnya dalam hal hak cipta film maka berdasarkan ketentuan yang berlaku

setidaknya didaftarkan kepada lembaga yang berwenang, sehingga

memperoleh status hukum yang jelas. Lembaga yang berwenang dan ditunjuk

oleh pemerintah sebagai tempat pendaftaran hak cipta adalah Kementrian

Hukum dan HAM.

2 Ibid.

Page 3: TULISAN HKI

3

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan diatas maka

permasalahan yang akan dibahas yaitu:

1. Apakah perlindungan oleh pemerintah terkait perlindungan HKI?

2. Bagaimanakah proses penyelesaian sengketa HKI di luar

pengadilan?

C. TUJUAN PEMBAHASAN

Adapun tujuan dari pembahasan ini yaitu:

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan perlindungan oleh pemerintah

terkait perlindungan HKI.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan proses penyelesaian sengketa

HKI di luar pengadilan

D. METODE PEMBAHASAN

Metode pembahasan yang digunakan dalam pembahasan ini yaitu

metode penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan menggunakan data

sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan

hukum tersier.

E. KAJIAN YURIDIS KEBERADAAN HAK KEKAYAAN

INTELEKTUAL DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

INDONESIA

1) PERSPEKTIF TEORITIS

a. Teori Kewenangan

Kewenangan merupakan salah satu aspek penting dalam ilmu

hukum tata pemeritahan (bestuursrecht). Secara sederhana, keweangan

Page 4: TULISAN HKI

4

dapat kita artikan sebagai “hak yang bersifat khusus yang diberikan

kepada apartur Negara untuk memaksakan kehendaknya”. Pemaksaan

disini merupakan hak yang melekat secara otomatis (ex-officio) bagi

aparatur pemerintahan dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya.3

Terdapat 2 jenis kategori kewenangan dalam ilmu tata

pemerintahan, antara lain ; Pertama, Kewenangan yang bersifat atributif

(original), yaitu kewenangan aparatur pemerintahan yang bersifat

permanen yang langsung diberikan atau diperintahkan oleh peraturan

perundang-undangan; dan Kedua, Kewenangan non atributif (non

original), yaitu kewenangan aparatur pemerintahan yang diperoleh dari

pelimpahan wewenang, yang terdiri dari 2 bentuk, yakni baik pelimpahan

wewenang dalam bentuk mandat, maupun pelimpahan wewenang dalam

bentuk delegasi. Mandat dan delegasi merupakan dua kategori

pelimpahan wewenang yang berbeda. Jika mandat hanya merupakan

pelimpahan dari sebahagian dari wewenang, maka delegasi merupakan

pelimpahan wewenang secara keseluruhan. Mandat dalam ilmu tata

pemerintahan biasanya disimbolkan dengan kode untuk beliau (u.b.),

sedangkan delegasi biasanya disimbolkan dengan kode atas nama (a.n.).

Akan tetapi, dalam menjalankan kewenangan dari aparatur

pemerintah, terdapat pembatasan-pembatasan yang diperlukan agar di

dalam menjalankan kewenangannya tersebut, aparatur pemerintah tidak

menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya (abuse

of power). Untuk itu, diperlukan suatu kategori atau bentuk pengetahuan

terhadap kategori, kapan sebuah kewenangan dianggap tidak sah atau

tidak berjalan sebagaimana ketentuan yang ada.4

Secara umum, kewenangan aparatur pemerintahan dianggap tidak

sah ketika :

1. Ratione Material, yakni kewenangan aparatur pemerintahan yang

tidak sah dikarenakan substansi kewenangannya;

2. Ratione Loccus, yakni ketidakwenangan seorang aparatur

pemerintahan dikarenakan wilayah hukumnya;

3 Abu Bakar Busro dan Abu Daud Busro, Asas-asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia,

Jakarta, 1989, hal. 22 4 Ibid

Page 5: TULISAN HKI

5

3. Ratione Temporis, ketidakwenangan seorang aparatur

pemerintahan dikarenakan lewat waktu, atau yang pada umumnya

sering kita istilahkan daluarsa.

Dalam ranah Hukum Tata Pemerintahan (bestuursrecht), terdapat

tiga teori kebatalan (nietig theory), yakni batal mutlak, batal demi hukum

dan dapat dibatalkan. Ketiga teori ini memiliki perbedaan berdasarkan 2

(dua) aspek, yaitu ; Pertama, berdasarkan akibat hukum yang muncul,

yaitu akibat-akibat hukum yang mengikuti jika terjadi pembatalan. Hal

tersebut merupakan konsekuensi logis yang muncul dan tidak dapat

dihindari akibat pembatalan tersebut. Kedua, Pejabat yang berhak

membatalkan, yaitu mengenai kewenangan pembatalan, dalam arti siapa

pejabat yang berhak untuk melakukan proses pembatalan tersebut.5

Untuk lebih memudahkan kita dalam mengidentifikasi pejabat

siapa saja yang memiliki hak untuk membatalkan, maka kita membagi

pejabat dalam bentuk yang sangat sederhana, yakni pejabat yudikatif,

eksekutif dan legislatif.

Untuk lebih jelasnya, berikut perbandingan dari ketiga teori

kebatalan tersebut ;

1. Batal Mutlak (absolute nietig). Secara prinsip, batal mutlak

berakibat semua perbuatan yang pernah dilakukan, dianggap tidak

pernah ada. Dalam konteks ini, perbuatan yang dinyatakan tidak

pernah ada tersebut, berlaku prinsip fiction theory atau semua

orang atau subjek hukum dianggap tahu hukum. Dalam hal batal

mutlak ini, yang berhak menyatakan batal atau tidak murni

merupakan monopoli kewenangan yudikatif.

2. Batal Demi Hukum (nietig van recht wege). Konsekuensi dari

terjadinya proses batal demi hukum berakibat terhadap dua hal

utama, yaitu ; pertama, perbuatan yang sudah dilakukan, dianggap

tidak ada atau tidak sah secara hukum, dan kedua, perbuatan yang

telah dilakukan, sebahagian dianggap sah, dan sebahagian lagi

dianggap tidak sah. Dalam hal batal demi hukum ini, pejabat yang

5 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal. 32

Page 6: TULISAN HKI

6

berhak menyatakan batal atau tidak adalah pihak yudikatif dan

eksekutif.

3. Dapat Dibatalkan (vernietig baar). Dalam hal ini, dapat

dibatalkan memiliki konsekuensi hukum dimana keseluruhan dari

perbuatan hukum yang pernah dilakukan sebelumnya, tetap

dianggap sah. Artinya, keseluruhan perbuatan di masa lampau

tetap menjadi suatu tindakan hukum yang tidak dapat dibatalkan

atau tetap berlaku pada masa itu. Adapun pejabat yang berhak

membatalakan adalah pihak yudikatif, eksekutif dan legislatif.

Untuk lebih melihat secara jelas mengenai keabsahan perbuatan

hukum, maka terdapat 2 (dua) kategori syarat penting yang perlu kita

ketahui, yaitu ; Pertama, Syarat Mutlak, yaitu syarat yang harus ada

dalam suatu perbuatan hukum. Tanpa keberadaan syarat ini, maka

perbuatan hukum tidak akan mungkin lahir atau eksis; dan Kedua, Syarat

Relatif, yaitu syarat yang menjadi penunjang atau pelengkap dalam suatu

perbuatan hukum. Syarat relatif ini tidak harus ada pada saat perbuatan

hukm lahir, akan tetapi dapat disusulkan dikemudian hari.

Dalam hal syarat mutlak tidak terpenuhi, maka konsekuensi

hukum yang dapat diambil adalah batal mutlak (absolute nietig) dan atau

batal demi hukum (nietig van recht wege). Sedangkan jika syarat relatif

yang tidak terpenuhi, maka konsekuensi hukum yang mengikutinya

adalah pembatalan dalam kategori bisa dibatalkan (vernietig baar).

Demikianlah akibat-akibat hukum atau konsekuensi yuridis

terhadap perbuatan aparatur pemerinahan yang tidak absah secara

hukum. Satu hal yang perlu kita pahami bersama, bahwa setiap perbuatan

aparatur pemerintahan, baik dalam menjalankan tanggung jawab untuk

menjalankan roda pemerintahan maupun dalam melayani masrakatnya,

harus mengutamakan asas keadilan dan kemanfaatan daripada kepastian

hukum. Sebagaimana apa yang diutarakan oleh Imanuel Kant, bahwa,

“filosofi hukum itu dapat diibaratkan dua sisi mata uang. Sisi kanan

adalah sisi kebenaran (rechtmatig) dan sisi kiri merupakan sisi keadilan

Page 7: TULISAN HKI

7

dan kemanfaatan (doelmatig). Namun ketika kedua sisi ini pecah dan

berbeda jalan, maka kita harus mendahulukan sisi keadilan dan

kemanfatannya".

b. Teori Delegasi dan Mandat

Kewenangan pemerintah secara umum dapat diklasifikasikan

menjadi beberapa jenis seperti kewenangan konstitusi atau kewenangan

asli dan pokok, kewenangan atribusi yang diperoleh dari delegasi

kekuasaan lain khususnya legislatif, serta kewenangan delegasi dan

mandat. Diantara ketiga jenis kewenangan tadi, kewenangan

pemerintahan yang tertuang dalam konstitusi serta kewenangan atribusi

paling banyak mendapat sorotan sebagai kewenangan yang selama ini

(era Orde Baru) banyak terjadi penyimpangan. Penjelasan yang lebih

terinci dari masing-masing jenis kewenangan diatas dapat diuraikan

sebagai berikut.

1. Kewenangan Konstitusi (wewenang asli atau pokok)

Dilihat dari sejarah ketatanegaraan, kewenangan pemerintah

(baca: presiden) telah ditetapkan sebelum lahirnya lembaga

pemerintah itu sendiri. Oleh karena itu, pada saat pembentukannya,

pemerintah langsung memiliki kewenangan yang secara organik

telah melekat pada dirinya, yakni kewenangan yang diberikan oleh

konstitusi. Itulah sebabnya, kewenangan ini dapat dinamakan

sebagai kewenangan konstitusi.

Dalam hukum dasar negara Indonesia yakni UUD 1945,

kekuasaan presiden dibagi menjadi 2 (dua) yakni sebagai kepala

negara dan sebagai kepala pemerintahan. Dalam hubungan ini, MTI

berpandangan bahwa kekuasaan presiden sebagai kepala negara

hanya kekuasaan administratif, simbolis dan terbatas, yang

merupakan suatu kekuasaan di samping kekuasaan utamanya sebagai

kepala pemerintahan. Dengan kata lain, meskipun secara umum hak

Page 8: TULISAN HKI

8

sebagai kepala negara bersifat istimewa dan mutlak (prerogatif),

namun dalam konteks negara demokrasi dan negara hukum modern

hal ini tidak dibenarkan lagi, dan harus ditempatkan dalam kerangka

kontrol lembaga negara lain. Atas dasar pandangan seperti ini, maka

kewenangan kepala negara sebagaimana ditentukan dalam pasal 10 –

15 UUD 1945 tetap harus melewati mekanisme tertentu, baik yang

bersifat pemberitahuan, pertimbangan maupun persetujuan lembaga

tertentu (terutama DPR dan MA).

Sementara mengenai kewenangan sebagai kepala

pemerintahan, MTI berpendapat bahwa kekuasaan pemerintahan

sama artinya dengan kekuasaan eksekutif dalam konsep pemisahan

kekuasaan yang membatasi kekuasaan pemerintahan secara sempit

pada pelaksanaan peraturan hukum yang ditetapkan lembaga

legislatif. alasan bahwa perkembangan kehidupan kenegaraan di

masa mendatang membutuhkan rasionalisasi kekuasaan yang

didasarkan pada kebutuhan pertanggungjawaban (accountability)

yang kongkret dan jelas. Itulah sebabnya, kekuasaan pemerintahan

tidak lagi didefinisikan sebagai kekuasaan yang abstrak dan

menyerahkan penentuan definisi abstrak tersebut pada satu lembaga

saja yakni presiden.

Pola pikir seperti ini mengandung makna bahwa meskipun

pemerintah berhak membuat dan menjalankan peraturan perundang-

undangan sebagaimana ditetapkan dalam konstitusi, namun harus

memperhatikan batas-batas tertentu sehingga tidak mengarah pada

terjadinya penggunaan kewenangan yang berlebihan. Secara lebih

spesifik, MTI berpendapat bahwa kekuasaan pemerintahan ini

terbatas hanya pada penetapan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan

politik yang berada dalam ruang lingkup fungsi-fungsi bestuur

(administrasi), politie (keamanan) dan regeling (pengaturan) yang

tidak bertentangan dengan konstitusi.

Page 9: TULISAN HKI

9

Diantara kewenangan kenegaraan (prerogatif) dan

kewenangan pemerintahan diatas, kewenangan jenis kedua

nampaknya lebih membuka peluang terjadinya penyimpangan.

Beberapa hal yang menyebabkan hal ini adalah: pertama, rumusan

wewenang pemerintahan tidak bersifat limitatif sehingga dapat

mengundang penafsiran yang berbeda dan beragam (multi

interpretation). Kedua, konstitusi tidak menentukan batas-batas

kewenangan dan rambu-rambu yang harus diperhatikan pemerintah

dalam penyusunan sebuah produk hukum eksekutif.Ketiga,

kewenangan pemerintahan lebih banyak yang bersifat pengaturan

(regeling), sedangkan kewenangan kenegaraan relatif bersifat

penetapan (beschikking) seperti pengangkatan duta dan

konsul. Keempat, mekanisme kontrol dari unsur kekuasaan negara

yang lain (trias politika) kurang berjalan optimal.

Untungnya, kewenangan konstitusi seperti yang dimiliki

presiden, tidak dimiliki oleh para kepala daerah. Dengan demikian,

tidak terbuka peluang untuk terjadinya abuse of power terhadap jenis

kewenangan ini pada level daerah. Hal yang harus dicermati

hanyalah kedudukan Kepala Daerah (Gubernur) yang pada satu sisi

merupakan pejabat daerah tertinggi yang dipilih oleh rakyat daerah,

namun disisi lain juga sebagai wakil pemerintah (pusat) yang

mewakili kepentingan strategis nasional.

2. Kewenangan Atribusi (delegasi legislatif)

Kewenangan atribusi adalah kewenangan (baru) eksekutif

yang diperoleh dari atau diberikan oleh lembaga legislatif. Dengan

demikian, wewenang tadi sesungguhnya adalah wewenang yang

melekat pada lembaga legislatif namun untuk implementasinya

kemudian diserahkan kepada eksekutif. Contohnya adalah

kewenangan untuk memungut iuran / pungutan kepada masyarakat.

Pada masa silam ada pembebanan kepada masyarakat yang disebut

Page 10: TULISAN HKI

10

IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah)] dan Pajak / Iuran TV. Kedua

pungutan ini dikeluarkan oleh eksekutif (Presiden dan Menteri).

Tanpa adanya pernyataan dari peraturan perundang-undangan

bahwa Presiden diberi kewenangan untuk melakukan pemungutan

tadi, maka dapat dikatakan bahwa Presiden telah melakukan

penyalahgunaan wewenang.[

Keputusan Presiden dan Keputusan/Peraturan Menteri

sendiri tidak dapat dikatakan sebagai peraturan perundang-

undangan, melainkan hanya peraturan kebijaksanaan. Keppres dan

Kepmen/Permen tadi baru menjadi peraturan perundang-

undangan jika sudah ada atribusi dari peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi, yakni UU. Dalam kasus pungutan

iuran TV, misalnya, produk hukum eksekutif (PP, Kepres,

Kepmen) baru menjadi peraturan perundang-undangan apabila

telah ada suatu UU (katakanlah UU No. 32 tahun 2002 tentang

Penyiaran) yang mengatur bahwa “iuran TV (atau iuran lainnya)

diatur lebih lanjut oleh pemerintah”.[5]

Klausul seperti inilah yang

menjadi dasar hukum timbulnya kewenangan atribusi.

Dalam praktek administrasi negara selama ini terdapat

kecenderungan bahwa produk hukum eksekutif tidak memiliki

payung hukum yang kuat. Dengan kata lain, Presiden cenderung

tidak memperhatikan ketentuan peraturan UU, dan menjadi

sewenang-wenang. Prof. Hamid Attamimi (1991) dalam

disertasinya menyebut Keputusan Presiden yang tidak memiliki

payung hukum (atribusi dari UU) tadi sebagai Keppres Mandiri

Non-atribusian. Hal ini masih dapat ditolerir jika Keppres tadi

berisi suatu persoalan yang sangat penting dan mendesak (darurat),

serta dikeluarkan sebagai wujud tanggungjawab Presiden yang

sangat besar. Namun jika jenis Keppres ini terlalu banyak dan

terlalu mudah disusun, maka dapat mengurangi kadar demokrasi di

Page 11: TULISAN HKI

11

suatu negara (Indonesia) dan upaya membangun pemerintahan

rakyat.

Itulah sebabnya, lahirnya UU No. 10 tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan perlu disambut

positif. Lahirnya UU ini diharapkan akan membawa kejelasan

bahwa Peraturan Presiden adalah produk hukum yang bersifat

pengaturan secara umum (regeling), sedang Keputusan Presiden

adalah produk hukum yang bersifat penetapan secara konkrit dan

individual (beschikking) seperti pengangkatan dan pemberhentian

pejabat, pembentukan panitia-panitia negara yang bersifat ad-hoc,

dan sebagainya. Sebelum lahirnya UU No. 10/2004, Keputusan

Presiden dapat berisi baik pengaturan maupun penetapan. Dengan

kata lain, Keputusan Presiden saat itu berkedudukan sebagai

peraturan perundang-undangan, sekaligus sebagai peraturan

kebijaksanaan. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan

kebingungan, perbedaan interpretasi, serta peluang untuk

disalahgunakan oleh Presiden. Lebih dari itu, wewenang bebas

untuk mengatur suatu hal tertentu ini juga mendorong pemerintah

untuk bertindak otoriter.

Mengingat hal tersebut, maka penyusunan suatu peraturan

perundang-undangan kedepan paling tidak perlu memperhatikan 2

(dua) hal. Pertama, perlu adanya upaya untuk melakukan

kodifikasi secara limitatif kewenangan-kewenangan pemerintah

yang diperoleh dari proses atribusi. Kedua, produk hukum yang

dikeluarkan pemerintah juga harus memperhatikan batas-batas

tertentu.

Dalam kaitan dengan batasan ini, Sjachran Basah (1986)

pernah mengajukan adanya batas atas dan batas bawah. Batas atas

diartikan sebagai ketaatasasan ketentuan perundang-undangan,

dimana peraturan (keputusan/ketetapan) yang dikeluarkan

pejabat/badan TUN tidak boleh bertentangan dengan peraturan

Page 12: TULISAN HKI

12

yang lebih tinggi derajatnya. Sedangkan batas bawah berarti bahwa

peraturan yang dibuat pejabat/badan TUN tidak boleh melanggar

hak-hak masyarakat. Batas atas dari suatu aturan misalnya adalah

pasal 27 UUD 1945 yang menentukan bahwa “Setiap warga negara

berhak atas pekerjaan yang layak”. Atas dasar ini, maka setiap

peraturan (yang dikeluarkan pemerintah) dilarang menimbulkan

akibat hilangnya pekerjaan bagi seorang warga negara, karena

bertentangan dengan UUD 1945. Dalam kasus ini, batas bawahnya

adalah hak setiap warga negara untuk berkarya dan mendapat

nafkah yang layak.

Sementara itu SF. Marbun (2004a) mengajukan batas-batas

yang harus dipedomani oleh pejabat/badan TUN dalam

menggunakan tindakan atau hak freies ermessen-nya, sebagai

berikut: 1) sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri, 2) sikap

tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan penting dan

mendesak yang timbul secara tiba-tiba, 3) sikap tindak itu ditujukan

untuk menjalankan tugas-tugas public service, 4) sikap tindak itu

dimungkinkan oleh hukum, dan 5) sikap tindak itu dapat

dipertanggungjawabkan baik secara hukum maupun secara moral.

3. Kewenangan Delegasi dan Mandat

Dalam HAN dikenal pula adanya delegasi dan mandat.

Menurut Artikel 1.A.1.2.1 Algemene Wet van Bestuurrecht(AWB)

naskah 1992/1993, pengertian delegasi adalah Onder

delegatieverlening wordt Verstaan; het overdragen door een

bestuursorgaan van zijn bevoegheid tot het nemen van besluiten

aan een ander die deze onder eigen verantwoordelijkheid

uitofent (delegasi adalah pemberian / pelimpahan wewenang oleh

suatu organ pemerintahan kepada pihak lain untuk mengambil

keputusan atas tanggung jawab sendiri). Sedangkan pengertian

mandat diatur dalam Artikel 1.A.1.1.1 AWB yang berbunyi: het

Page 13: TULISAN HKI

13

door een bestuursorgaan aan een ander verlenen van de

bevoegdheid in zijn naam besluiten te nemen, yang artinya adalah

”mandat adalah kewenangan yang diberikan oleh suatu organ

pemerintahan kepada organ lain untuk atas namanya mengambil

keputusan” (SF. Marbun, 2004b).

Dengan mengutip Amrah Muslimin, Sinaga (2004) menulis

adanya 3 (tiga) bentuk delegasi dalam pengertian makro, yaitu:

a. Delegasi Bersyarat (voorwardelijke delegatie). Artinya, UU

memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk berbuat sesuatu

atau membentuk suatu peraturan perundang-undangan ketika

negara dalam keadaan sangat terdesak (darurat).

b. Delegasi dalam bentuk UU Penugasan (machtigingswet). Artinya,

dalam suatu UU hanya mengatur hal-hal yang pokok, sedangkan

pengaturan lebih lanjut diserahkan atau ditugaskan kepada

pemerintah.

c. Delegasi dalam bentuk UU yang memberikan kerangka dan batas-

batas tertentu (kaderwet atau raamwetten). Artinya, lembaga

legislatif hanya memberikan kerangka atau sendi-sendi pokok

secara politis dalam UU, sedangkan pengkhususannya secara teknis

diserahkan kepada pemerintah.

Jika dicermati makna dari ketiga jenis delegasi diatas, maka

kebebasan atau keleluasaan pemerintah (pejabat / badan TUN)

untuk mengatur suatu substansi tertentu berdasarkan delegasi atau

mandat, terbatas hanya pada masalah serta maksud dan tujuan yang

digariskan dalam UU tadi.

Sementara itu perbedaan antara delegasi dan mandat dapat

dilihat dari beberapa hal. Pemberi delegasi disebut Delegan,

sedangkan pemberi mandat disebut Mandan. Penerima delegasi

disebut Delegataris, sedangkan penerima mandat disebut

Mandataris. Dalam proses delegasi, delegataris dapat bertindak

untuk atas namanya sendiri dan bertanggungjawab atas atas

Page 14: TULISAN HKI

14

tindakannya tadi. Sementara dalam proses mandat, mandataris

bertindak dan bertanggungjawab atas nama Mandan (tidak dapat

bertindak atas namanya sendiri). Selain itu, delegasi menimbulkan

pergeseran kompetensi, sedangkan mandat membiarkan hak-hak

jabatan kompetensi yang telah ada mendahului mandat, tetap

berada pada tangan Mandan.

Pelayanan penerbitan KTP adalah contoh mandat. Dalam

hal ini, Camat (sebagai pejabat yang menandatangani KTP)

bertindak atas nama Walikota (sebagai pejabat yang berwenang

mengeluarkan KTP dan bertanggungjawab atas tindakannya

mengeluarkan atau tidak mengeluarkan KTP). Itulah sebabnya,

dalam KTP tadi tertera adanya “atas nama” atau alieno nomine,

yang berarti bahwa Camat bertindak sebagai mandataris dari

Walikota. Namun jika kewenangan pelayanan KTP tadi sudah

didelegasikan kepada Camat, maka Camat dapat menandatangani

KTP atas namanya sendiri.

Sementara itu, contoh mengenai delegasi yang sangat

mudah ditemui dalam era otonomi daerah saat ini adalah

pelimpahan / pendelegasian kewenangan bupati / walikota kepada

camat untuk menjalankan urusan-urusan pemerintahan tertentu.

Kewajiban untuk melimpahkan kewenangan ini tertuang dalam UU

Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (telah diubah

dengan UU Nomor 32 tahun 2004), yang pada pasal 66 berbunyi

“Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan

dari Bupati/Walikota”. Oleh karena ada pernyataan eksplisit bahwa

hal tersebut merupakan “delegasi kewenangan”, maka camat

sebagai delegataris tidak memiliki kompetensi baru untuk

menjalankan urusan-urusan pemerintahan yang dilimpahkan dari

bupati/walikota.

Prinsip yang sangat perlu diperhatikan disini adalah,

walaupun hanya delegasi maupun mandat, namun batasan-batasan

Page 15: TULISAN HKI

15

kewenangan antara mandan dan mandataris, serta antara delegan

dan delegataris perlu ditetapkan secara jelas dan tegas (limitatif).

Selain itu, substansi kewenangan yang didelegasikan atau

dimandatkan juga harus diperjelas. Semuanya ini untuk

meghindarkan agar pelaksanaan delegasi dan mandat tadi dapat

berjalan sebagaimana maksud dan tujuan pemberian delegasi dan

mandate tersebut, dan mengurangi sebesar mungkin peluang

terjadinya operasionalisasi kewenangan yang berlebihan dan

kebablasan.

F. HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DI INDONESIA

HKI merupakan hak privat (private rights) bagi seseorang yang

menghasilkan suatu karya intelektual. Di sinilah ciri khas HKI, seseorang

bebas untuk mengajukan permohonan atau mendaftarkan karya

intelektualnya atau tidak. Hak ekslusif yang diberikan negara kepada

individu pelaku HKI (inventor, pencipta, pendesain dan sebagainya)

dimaksudkan sebagai penghargaan atas hasil karya (kreativitas)nya dan

agar orang lain terangsang untuk dapat lebih lanjut mengembangkannya

lagi, sehingga dengan sistem HKI tersebut kepentingan masyarakat

ditentukan melalui mekanisme pasar. Di samping itu, sistem HKI

menunjang diadakannya sistem dokumentasi yang baik atas segala

bentuk kreativitas manusia sehingga kemungkinan dihasilkannya

teknologi atau hasil karya lainnya yang sama dapat dihindarkan/dicegah.

Dengan dukungan dokumentasi yang baik tersebut, diharapkan

masyarakat dapat memanfaatkannya dengan maksimal untuk keperluan

hidupnya atau mengembangkannya lebih lanjut untuk memberikan nilai

tambah yang lebih tinggi lagi.6

6 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001,

hal.507

Page 16: TULISAN HKI

16

Adapun tujuan perlindungan kekayaan intelektual melalui HKI

secara umum meliputi:

a. memberi kejelasan hukum mengenai hubungan antara kekayaan

dengan inventor, pencipta, desainer, pemilik, pemakai, perantara

yang menggunakannya, wilayah kerja pemanfaatannya dan yang

menerima akibat pemanfaatan HKI untuk jangka waktu tertentu;

b. memberikan penghargaan atas suatu keberhasilan dari usaha atau

upaya menciptakan suatu karya intelektual;

c. mempromosikan publikasi invensi atau ciptaan dalam bentuk

dokumen HKI yang terbuka bagi masyarakat;

d. merangsang terciptanya upaya alih informasi melalui kekayaan

intelektual serta alih teknologi melalui paten;

e. memberikan perlindungan terhadap kemungkinan ditiru karena

karya intelektual karena adanya jaminan dari negara bahwa

pelaksanaan karya intelektual hanya diberikan kepada yang berhak.

Hak Kekayaan Intelektual akan menyentuh berbagai aspek seperti

aspek teknologi, industri, sosial, budaya, dan berbagai aspek lainnya. Namun

aspek terpenting jika dihubungkan dengan upaya perlindungan bagi karya

intelektual adalah aspek hukum. Hukum diharapkan mampu mengatasi

berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan Hak Kekayaan

Intelektual tersebut. Hukum harus dapat memberikan perlindungan bagi karya

intelektual, sehingga mampu mengembangkan daya kreasi masyarakat yang

akhirnya bermuara pada tujuan berhasilnya perlindungan Hak Kekayaan

Intelektual.7

Aspek teknologi juga merupakan faktor yang sangat dominan dalam

perkembangan dan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual. Perkembangan

teknologi informasi yang sangat cepat saat ini telah menyebabkan dunia

terasa semakin sempit, informasi dapat dengan mudah dan cepat tersebar ke

7 Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni Bandung, Bandung, 1992,

hal. 7

Page 17: TULISAN HKI

17

seluruh pelosok dunia. Pada keadaan seperti ini Hak Kekayaan Intelektual

menjadi semakin penting. Hal ini disebabkan Hak Kekayaan Intelektual

merupakan hak monopoli yang dapat digunakan untuk melindungi investasi

dan dapat dialihkan haknya.

Instansi yang berwenang dalam mengelola Hak Kekayaan Intelektual

di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen.

HKI) yang berada di bawah Departemen Kehakiman dan HAM Republik

Indonesia. Dan khusus untuk mengelola informasi HKI juga telah dibentuk

Direktorat Teknologi Informasi di bawah Ditjen. HKI. Sekali lagi

menunjukkan bahwa pengakuan HKI di Indonesia benar-benar mendapat

perhatian yang serius.8

G. KEWENANGAN PEMERINTAH DALAM MELINDUNGI HAK

KEKAYAAN INTELEKTUAL BERDASARKAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

a) Bentuk-Bentuk Perlindungan Oleh Pemerintah Terkait

Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual

Perlindungan hukum yang dilakukan oleh pemerintah terkait dengan

perlindungan HKI, yaitu dengan mengadakan dan mengesahkan peraturan

perundang-undangan yang terkait. Adapun pengaturan HKI di Indonesia

berdasarkan sejarahnya yakni :

1. Zaman Hindia Belanda

- Octroii Wet No. 136. Staatblad 1911 No. 313

- Industrial Eigendom Kolonien 1912

- Auter Wet 1912 Staatblad 1912 No. 600

2. Setelah kemerdekaan

8 Sudargo Gautama, Perkembangan Arbitrase Dagang Indonesia, Eresco, Bandung, 1989 hal. 52

Page 18: TULISAN HKI

18

- Pengumuman Menteri Kehakiman RI No. JS 5/41 tanggal 12

Agustus 1953 dan No. JG 1/2/17 tanggal 29 Agustus 1953

tentang Pendaftaran Sementara Paten.

- UU No. 21 Tahun 1987 tentang Merek.

- UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta

- UU No. 7 Tahun 1987 tentang Perubahan UU No. 6 Tahun 1982

tentang Hak CIpta.

- UU No. 19 Tahun 1992 tentang Merek menggantikan UU yang

sebelumnya.

3. Tahun 1997

- UU No. 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun

1987 tentang Hak Cipta.

- UU No. 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU No. 6 Tahun

1989 tentang Paten.

- UU No. 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU No. 19

Tahun 1992 tentang Merek.

4. Tahun 2000

- UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang

- UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri

- UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit

Terpadu.

5. Tahun 2001

- UU No. 14 Tahun 2001 tentang UU No. 13 Tahun 1997 tentang

Perubahan atas UU No. 6 Tahun 1989 tentang Paten.

- UU No. 15 Tahun 2001 tentang tentang perubahan atas UU No.

14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU No. 19 Tahun 1992

tentang Merek.

6. Tahun 2002

- UU No. 19 Tahun 2002 tentang Perubahan UU No. 12 Tahun

1997 tentang Hak Cipta

Page 19: TULISAN HKI

19

Perlindungan hukum yang dimaksud dalam HAKI spesifikasinya

adalah sebagai berikut :

1. Pendaftaran HKI

Menurut ketentuan undang-undang, setiap hak kekayaan

intelektual wajib didaftarkan. Pendaftaran yang memenuhi persyaratan

undang-undang merupakan pengakuan dan pembenaran atas hak

kekayaan intelektual seseorang., yang dibuktikan dengan sertidikat

pendaftaran sehingga memperoleh perlindungan hukum.9

2. Penentuan Masa Perlindungan

Menurut ketentuan undang-undang setiap hak kekayaan

intelektual ditentukan jangka waktu perlindungannya. Dengan

demikian, selama masa perlindungan tersebut, hak kekayaan intelektual

yang bersangkutan tidak boleh digunakan oleh pihak lain tanpa izin

pemilik/ pemegangnya.10

3. Penindakan dan Pemulihan

Setiap pelanggaran hak kekayaan intelektual akan merugikan

pemilik/ pemegangnya dan/ atau kepentingan umum/ negara. Pelaku

pelanggaran tersebut harus ditolak dan memulihkan kerugian yang

diderita oleh pemilik/ pemegang hak atau negara. Penindakan dan

pemulihan tersebut diatur oleh undang-undang bidang hak kekayaan

intelektual. Ada 3 (tiga) kemungkinan penindakan dan pemulihan yaitu:

a. Secara Perdata berupa gugatan :

1) Ganti kerugian pelanggar

2) Penghentian perbuatan pelanggar

3) Penyitaan barang hasil pelanggaran untuk dimusnahkan

b. Secara pidana berupa penuntutan :

9 Sujud Margono, Hukum dan Perlindungan Hak Cipta, CV Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta,

2003, hal. 34 10Ibid.

Page 20: TULISAN HKI

20

1) Hukuman pidana

2) Hukuman denda

3) Perampasan barang yang digunakan untuk melakukan kejahatan

c. Secara administratif berupa tindakan :

1) Pembekuan/ Pencabutan SIUP;

2) Pembayaran pajak/ bea masuk yang tidak dilunasi

3) Reekspor barang hasil pelanggaran.11

b). Proses Penyelesaian Sengketa HKI di Luar Pengadilan

Asal mula sengketa biasanya bermula pada situasi dimana ada pihak

yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Biasanya ini diawali oleh perasaan

tidak puas, bersifat subyektif dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami

perorangan maupun kelompok. Jika hal ini berkelanjutan, pihak yang merasa

dirugikan menyampaikan ketidakpuasan ini kepada pihak kedua dan apabila

pihak kedua dapat menanggapi dan memuaskan pihak pertama, maka

selesailah hubungan konfliktual tersebut. sebaliknya jika beda pendapat terus

berlanjut, maka terjadi apa yang disebut sebagai sengketa.

Dalam situasi sengketa, perbedaan pendapat dan perdebatan yang

berkepanjangan biasanya berakhir dengan putusnya jalur komunikasi yang

sehat sehingga masing-masing pihak mencari jalan keluar tanpa memikirkan

nasib ataupun kepentingan pihak lainnya.

Untuk adanya proses penyelesaian sengketa yang efektif, prasyarat

bahwa hak didengar kedua belah pihak sama-sama diperhatikan harus

terpenuhi. Dengan itu baru dapat dimulai proses dialog dan pencarian titik

temu yang akan menjadi panggung dimana proses penyelesaian sengketa

dapat berjalan. Tanpa kesadaran pentingnya langkah ini, proses penyelesaian

sengketa tidak dalam arti yang sebenarnya. Ada tiga faktor utama yang

mempengaruhi proses penyelesaian sengketa, yaitu :

11 Ibid.

Page 21: TULISAN HKI

21

- Kepentingan

- Hak-hak

- Status kekuasaan

Para pihak yang bersengketa ingin kepentingannya tercapai, hak-

haknya dipenuhi serta ingin status kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan

dan dipertahankan. Dalam proses penyelesaian sengketa, pihak-pihak yang

bersengketa lazimnya akan bersikeras mempertahankan ketiga faktor tersebut

diatas.

Upaya hukum yang dapat ditempuh oleh para pihak yang

bersengketa dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yakni :

Jalur litigasi/ pengadilan

Jalur alternatif penyelesaian di luar pengadilan

Jalur litigasi dimana dalam jalur litigasi ini dibagi menjadi dua

macam yakni jalur Perdata dan jalur pidana. Untuk jalur perdata ditempuh

melalui suatu proses gugatan ganti kerugian di Pengadilan Niaga. Sedangkan

untuk jalur pidana prosedurnya adalah dari pelaporan pihak yang dirugikan

kepada instansi yang berwenang.

Sedangkan untuk upaya hukum lain ditempuh melalui jalur non-

litigasi dikenal sebagai alternatif penyelesaian sengketa. Alternatif

penyelesaian sengketa sering diartikan sebagai alternative to litigation, namun

seringkali juga diartikan sebagai alternative to adjudication. Pemilihan

terhadap salah satu dari dua pengertian tersebut menimbulkan implikasi yang

berbeda. Apabila pengertian yang pertama menjadi acuan alternative to

litigation, maka mencakup seluruh mekanisme alternatif penyelesaian

sengketa di luar pengadilan.

Menurut Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut UU No. 30 Tahun

1999) yang dimaksud dengan alternatif Penyelesaian Sengketa adalah :

“Lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang

disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara

konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.”

Page 22: TULISAN HKI

22

Konsep penyelesaian sengketa alternatif (ADR), pada dasarnya

bersumber pada upaya untuk mengaktualisasikan ketentuan kebebasan

berkontrak dalam berjalannya kontrak tersebut. Sehingga akhir penyelesaian

sengketa berupa perdamaian yang tidak lain merupakan upaya pihak-pihak

sendiri maupun dengan menggunakan pihak ketiga untuk mencapai

penyelesaian.

Adapun beberapa penyelesaian sengketa alternatif penjelasannya adalah

sebagai berikut :

1. Arbitrase

Pengertian arbitrase menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 30 Tahun

1999 adalah : “Penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan

umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara

tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”

Arbitrase merupakan institusi penyelesaian sengketa alternatif yang

paling populer dan paling luas digunakan orang dibandingkan dengan

institusi penyelesaian sengketa alternatif lainnya. Hal tersebut disebabkan

banyaknya kelebihan yang dimiliki oleh institusi arbitrase ini. Adapun

Kelebihan-kelebihan itu adalah sebagai berikut :

a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak.

b. Dapat dihindari keterlambatan yang diakibatkan hal prosedural dan

administratif.

c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinan

memiliki kemampuan, pengetahuan, pengalaman serta latar

belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur,

dan adil.

d. Para pihak dapat menentukan pilihan untuk dapat menyelesaikan

masalah serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase.

e. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak

dan langsung dapat dilaksanakan.

Keuntungan lain dari pelaksanaan arbitrase yakni sidang arbitrase

dilakukan secara tertutup dan putusannya diucapkan dalam sidang yang

Page 23: TULISAN HKI

23

tertutup pula kecuali apabila para pihak dalam sengketa tersebut

menghendaki putusan dalam sidang diucapkan secara terbuka.

Jika dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang lain untuk

menyelesaikan sengketa, maka institusi arbitrase merupakan lembaga

penyelesaian sengketa yang paling mirip dengan badan peradilan, terutama

jika ditinjau dari prosedur yang berlaku, kekuatan putusannya, keterikatan

dengan hukum yang berlaku atau dengan aturan main yang ada.

Menurut UU. No. 30 tahun 1999, maka pihak pemohomn

(claimant) harus mengajukan surat tuntutan (statement of claim), diikuti

oleh jawaban (statement of defence) dan jika ada tuntutan balasan (counter

claim) dari pihak termohon (respondent). Selanjutnya diikuti dengan

pemanggilan untuk hearing dan pemeriksaan saksi, saksi ahli, dan

pembuktian lainnya. Setelah itu arbitrase baru memberikan putusannya.

2. Negosiasi

Pada prinsipnya dengan negosiasi dimaksudkan sebagai suatu

proses tawar menawar atau pembicaraan untuk mencapai suatu

kesepakatan terhadap suatu masalah tertentu yang terjadi diantara para

pihak. Negosiasi dilakukan baik karena telah ada sengketa diantara para

pihak, maupun hanya karena belum ada kata sepakat disebabkan belum

pernah dibicarakan masalah tersebut.

Negosiasi dilakukan oleh seorang negosiator. Mulai dari negosiasi

yang paling sederhana dimana negosiator tersebut adalah para pihak yang

berkepentingan sendiri, sampai pada negosiator khusus, atau memakai

lawyer sebagai negosiator.

Ciri-ciri seorang negosiator yang baik adalah sebagai berikut :

a) Mampu berpikir secara cepat, tetapi mempunyai kesabaran yang tidak

terbatas.

b) Dapat bersikap manis tapi meyakinkan.

c) Dapat mempengaruhi orang tanpa harus menipu.

Page 24: TULISAN HKI

24

d) Dapat menimbulkan kepercayaan tanpa harus mempercayai orang

lain.

e) Mempunyai sifat loyalitas yang kuat sehingga tidak mudah

dipengaruhi oleh orang lain

3. Mediasi

Mediasi adalah salah satu alternatif dalam menyelesaikan sengketa.

Yang dimaksud dengan mediasi adalah suatu proses negosiasi untuk

memecahkan suatu masalah melalui pihak luar yang tidak memihak dan

netral dan akan bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu

menemukan solusi dalam menyelesaikan sengketa tersebut secara

memuaskan bagi kedua belah pihak. Pihak ketiga yang membantu

menyelesaikan masalah tersebut disebut dengan Mediator. Pihak mediator

tidak mempunyai kewenangan untuk memberi putusan terhadap sengketa

tersebut, melainkan hanya berfungsi untuk membantu dan menemukan

solusi terhadap para pihak yang bersengketa tersebut. pengalaman,

integritas dan kemampuan dari pihak mediator tersebut diharapkan dapat

mengefektifkan proses negosisasi diantara para pihak.

Akan tetapi di samping harapan digantungkan kepada pengalaman,

kemampuan dan integritas dari pihak mediator, kedudukan mediator

sebagai pihak penengah itu saja sudah sangat membantu penyelesaian

sengketa tersebut. Sebab jika pihak ketiga yang netral tidak ikut terlibat,

maka diantara para pihak akan terjadi saling mencurigai, salah pengertian,

salah persepsi, kurang komunikasi, bersikap emosi, bersikap menang-kalah

dan sebagainya.

Penyelesaian sengketa melalui mediasi banyak keunggulannya,

diantaranya sebagai berikut :

a. Relatif murah dibandingkan dengan alternatif penyelesaian sengketa

yang lain.

b. Adanya kecenderungan dari pihak yang bersengketa untuk menerima

dan ada rasa memiliki putusan mediasi.

Page 25: TULISAN HKI

25

c. Dapat menjadi dasar bagi para pihak yang bersengketa untuk

menegosiasikan sengketa-sengketanya dikemudian hari.

d. Terbukanya kesempatan untuk menelaah masalah-masalah yang

merupakan dasar dari suatu sengketa.

e. Membuka kemungkinan adanya saling kepercayaan diantara pihak

yang bersengketa, sehingga dapat dihindari rasa bermusuhan dan

dendam.

Disamping kelebihan-kelebihan dari mediasi, maka penyelesaian

sengketa melalui mediasi juga mempunyai kelemahan yang antara lain :

a. Bisa memakan waktu yang lama

b. Mekanisme eksekusi yang sulit. Karena eksekusi putusan hanya

seperti kekuatan eksekusi suatu kontrak.

c. Mediasi tidak akan membawa hasil yang baik terutama jika informasi

dan kewenangan tidak cukup diberikan kepadanya.

d. Jika lawyer tidak dilibatkan dalam proses mediasi, kemungkinan

adanya fakta-fakta hukum yang penting yang tidak disampaikan

kepada mediator, sehingga putusannya menjadi bias.

4. Konsiliasi

Seperti dalam mediasi, konsiliasi juga merupakan suatu proses

penyelesaian sengketa diantara para pihak dengan melibatkan pihak ketiga

yang netral. Hanya saja peranan yang dimainkan oleh seorang mediator

dengan konsiliator yang berbeda, sungguhpun dalam praktek antara istilah

mediasi dan konsiliasi sering saling dipertukarkan.

Seperti juga mediator, tugas dari konsiliasi hanyalah sebagai pihak

fasilitator untuk melakukan komunikasi diantara para pihak sehingga dapat

diketamukan solusi oleh para pihak sendiri. Dengan demikian pihak

konsiliator hanya melakukan tindakan-tindakan seperti mengatur waktu

dan tempat pertemuan para pihak sendiri. Dengan demikian pihak

konsiliator hanya melakukan tindakan-tindakan seperti mengatur waktu

dan tempat pertemuan para pihak, mengarahkan subyek pembicaraan,

Page 26: TULISAN HKI

26

membawa pesan dari satu pihak kepada pihak yang lain jika pesan tersebut

tidak mungkin disampaikan secara langsung atau tidak mau bertemu muka

secara langsung, dan lain-lain. Selanjutnya pihak mediator juga melakukan

hal-hal yang dilakukan oleh konsiliator, tetapi juga melakukan lebih jauh

dari itu. Sebab pihak mediator dapat juga menyarankan jalan keluar atau

proposal penyelesaian sengketa yang bersangkutan, hal mana paling tidak

secara teoritis, tidak ada dalam kewenangan pihak konsiliator.

5. Pencari Fakta

Pencarian fakta oleh pihak pencari fakta sudah sangat sering

dilakukan dalam praktek sehari-hari. Pihak pencari fakta tersebut dapat

berbentuk :

a. Pencari fakta tunggal

b. Tim pencari fakta sepihak

c. Tim pencari fakta gabungan

d. Tim pencari fakta tripartit

Sungguhpun tugas utamanya adalah mencari fakta, pihak pencari

fakta biasanya juga mempunyai kewenangan untuk memberikan

rekomenasi dari mediasi, maka rekomendasi dari pencari fakta dapat

dipublikasikan secara umum. Hal inilah yang membedakan antara pencari

fakta yang tidak mengikat dengan arbitrase advisory. Sebab, berbeda

dengan arbitrase advisory, maka seperti yang sudah dikatakan bahwa

pencari fakta yang tidak mengukat tersebut dapat dipublikasikan

temuannya, apalagi terhadap pencari fakta terhadap kasus yang melibatkan

masyarakat banyak.

Dengan demikian tugas pencari fakta pada umumnya sebagai

berikut:

a. Mengumpulkan fakta

b. Memverifikasi fakta

c. Mengintepretasi fakta

d. Melakukan wawancara dan hearing

Page 27: TULISAN HKI

27

e. Menarik kesimpulan tertentu

f. Memberikan rekomendasi

g. Mempublikasi

Seperti dalam praktek di beberapa negara misalnya, bahkan

pihak pencari fakta terhadap sengketa perburuhan, dapat melakukan

rekomendasi seperti perbaikan terhadap tunjangan karyawan. Disamping

pencari fakta yang tidak mengikat, dimungkinkan juga pencari fakta yang

mengikat. Dalam hal ini pencari fakta, atau minimal salah satu dari

anggota tim pencari fakta haruslah pihak yang netral dan tidak memihak.

Pencari fakta yang mengikat ini mirip dengan arbitrase. Hanya bedanya

adalah pada aspek publikasinya, dimana temuan dan rekomendasi pencari

fakta tersebut dipublikasikan untuk masyarakat. dengan dipublikasikannya

hasil temuan ini, maka diharapkan temuan dan rekomendasi tersebut akan

dipatuhi oleh pihak-pihak yang bersengketa, sebab akan ada preasure dari

masyarakat terhadap para pihak untuk mengikuti rekomendasi yang dibuat

oleh pencari fakta yang dianggap berkualitas, berpengalaman dan netral.

H. KESIMPULAN

1. Bentuk perlindungan HKI yang dilindungi oleh pemerintah diatur sesuai

dengan peraturan perundang-undangan HKI. Perlindungan hukum tersebut

merupakan perlindungan hak masyarakat untuk mendapatkan kepastian

hukum dimulai dari pendaftaran sampai dengan tahap penyelesaian

sengketa. Dengan adanya pendaftaran maka status setiap HKI memiliki

kekuatan hukum untuk dilindungi. Tugas lainnya dari Kanwil Kementrian

Hukum dan HAM selain sebagai tempat permohonan HKI juga dapat

bertindak sebagai penyidik bila mana terjadi pelanggaran HKI yang

dilakukan oleh beberapa pihak yang membajak film daerah yang telah

memiliki kekuatan hukum untuk dilindungi.

2. Diharapkan kepada Kanwil Kementrian Hukum dan HAM dalam

melaksanakan tugasnya dapat bertindak sesuai dengan prosedur hokum

yang berlaku, baik sebagai lembaga yang berwenang guna pendaftaran

Page 28: TULISAN HKI

28

HKI dan juga sebagai penyidik. Bila penyelesaian sengketa dilakukan

secara non formal, keberadaan Kanwil Kementrian Hukum dan HAM

dapat bertindak sebagai mediator.

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Abu Bakar Busro dan Abu Daud Busro, Asas-asas Hukum Tata Negara,

Ghalia Indonesia, Jakarta, 1989

Djumhana dan R. Djubaedilah IV, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori,

dan Prakteknya di Indonesia), Cetakan kedua, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2003

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, Konstitusi Press, Jakarta,

2006

Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni

Bandung, Bandung, 1992

Sudargo Gautama, Perkembangan Arbitrase Dagang Indonesia, Eresco,

Bandung, 1989

Sujud Margono, Hukum dan Perlindungan Hak Cipta, CV Novindo Pustaka

Mandiri, Jakarta, 2003

Saidin OK., Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT.Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2001

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang

UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri

UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

UU No. 14 Tahun 2001 tentang UU No. 13 Tahun 1997 tentang Perubahan

atas UU No. 6 Tahun 1989 tentang Paten.

Page 29: TULISAN HKI

29

UU No. 15 Tahun 2001 tentang tentang perubahan atas UU No. 14 Tahun

1997 tentang Perubahan atas UU No. 19 Tahun 1992

tentang Merek.

UU No. 19 Tahun 2002 tentang Perubahan UU No. 12 Tahun 1997 tentang

Hak Cipta