ISTC makalah

31
I. PENDAHULUAN Tuberkulosis merupakan penyakit yang sangat kompleks, karena sangat efektifnya penularan, sangat istimewanya pathogenesis, dan perjalanan penyakitnya yang kronik. Penyakit TB dapat mengenai semua sistem organ, sehingga hampir semua disiplin medis terkait dengan penyakit ini. Penyakit ini karena dapat mengenai semua sistem organ tidak jarang keliru didiagnosis sebagai penyakit lain, terutama dinegara dengan prevalensi rendah. Sebaliknya dinegara dengan prevalens tinggi seperti Indonesia, seringkali terjadi overdiagnosis. Hal ini dikarenakan gejalanya tidak khas, perangkat diagnosis yang ada tidak sepenuhnya memuaskan, dan pelaksanaan pemeriksaan diagnostik yang baku dan benar tidak praktis. Jadi penyakit TB berpotensi mengarah kedua kutub ekstrim, underdiagnosis, atau overdiagnosis, yang keduanya dapat terjadi di satu wilayah secara bersamaan. 1

description

international standard tuberculosa care

Transcript of ISTC makalah

Page 1: ISTC makalah

I. PENDAHULUAN

Tuberkulosis merupakan penyakit yang sangat kompleks, karena sangat

efektifnya penularan, sangat istimewanya pathogenesis, dan perjalanan

penyakitnya yang kronik. Penyakit TB dapat mengenai semua sistem organ,

sehingga hampir semua disiplin medis terkait dengan penyakit ini. Penyakit ini

karena dapat mengenai semua sistem organ tidak jarang keliru didiagnosis sebagai

penyakit lain, terutama dinegara dengan prevalensi rendah. Sebaliknya dinegara

dengan prevalens tinggi seperti Indonesia, seringkali terjadi overdiagnosis. Hal ini

dikarenakan gejalanya tidak khas, perangkat diagnosis yang ada tidak sepenuhnya

memuaskan, dan pelaksanaan pemeriksaan diagnostik yang baku dan benar tidak

praktis. Jadi penyakit TB berpotensi mengarah kedua kutub ekstrim,

underdiagnosis, atau overdiagnosis, yang keduanya dapat terjadi di satu wilayah

secara bersamaan.

Menyadari akan berbagai masalah TB tersebut, para ahli dari berbagai

organisasi kesehatan dan medis yang bergerak di bidang TB merasa perlu

mengembangkan suatu panduan baku yang bila dilaksanakan dengan benar akan

menghilangkan atau paling tidak meminimallisasi kerugian dan kerusakan yang

ditimbulkan oleh manajemen TB yang tidak sesuai pedoman.

Organisasi yang mempunyai inisiatif awal diantaranya WHO, International

Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) yang biasa disebut The

Union, American Thoracic Society (ATS), CDC Amerika dan lain-lain.

Pengembangan panduan baku ini juga mendapat dukungan dari berbagai LSM

1

Page 2: ISTC makalah

Internasional bidang kesehatan seperti USAID, KNCV ( Royal Netherlands

Tuberculosis Foundation), Global Fund dan lain-lain. Panduan baku ini disebut

dengan International Standarts For Tuberculosis (ISTC). Sebagaimana tuntutan

saat ini, maka penyusunan ISTC juga berdasarkan Evidence Based Medicine

(EBM). ISTC tidak dimaksudkan untuk menggantikan berbagai pedoman (Guide

Line) manajemen TB yang telah disusun secara rinci oleh masing-masing

organisasi profesi, tetapi berperan sebagai rambu-rambu minimal untuk tenaga

medis yang mengelola kasus TB. ISTC memuat hal-hal apa (what) yang

seharusnya dilakukan dokter dalam mengelola pasien TB, sedangkan pedoman

organisasi profesi berisi panduan bagaimana (how) mengelola pasien TB. ISTC

berisi 17 standar yang terdiri dari 6 standar diagnosis, 9 standar terapi, dan 2

standar kesehatan masyarakat. Naskah ISTC asli dapat dibagi menjadi 2, bagian

pertama adalah naskah singkat berisi 17 butir rasionalisasi dan EBM yang relevan.

Sebenarnya jika seorang dokter menjalankan pedoman manajemen TB yang

disusun oleh organisasi profesinya, dengan sendirinya akan selaras dengan ISTC.

Namun masalahnya masih banyak dokter yang dalam mengelola kasus TB tidak

mengikuti pedoman yang ada. Itulah mengapa diperlukan adanya panduan baku

minimal yaitu ISTC.

2

Page 3: ISTC makalah

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium tuberculosis complex.

B. Epidemiologi Tuberkulosis

Tuberkulosis merupakan penyebab terbesar penyakit dan

kematian di dunia khususnya di Asia dan Afrika dan sejak tahun 2005 terdapat

peningkatan yang disebabkan oleh pertumbuhan populasi di India, Cina,

Indonesia, Afrika Selatan dan Nigeria. Menurut WHO prevalens kasus

tuberkulosis tahun 2006 ada 14,4 juta kasus dan Multidrug Resistant Tuberculosis

(MDR Tuberkulosis) ada 0,5 juta kasus dengan Tuberkulosis kasus baru MDR

23.353 kasus. Jumlah total kasus Tuberkulosis baru MDR yang diobati tahun

2007 dan 2008 sekitar 50.000 kasus. Tuberkulosis kasus baru didapatkan MDR

Tuberkulosis 2% dan Tuberkulosis kasus yang telah diobati didapatkan MDR

Tuberkulosis 19%. Sebagian besar dari kasus tuberkulosis ini (95%) dan

kematiannya (98%) terjadi di negara- negara yang sedang berkembang. Di antara

mereka 75% berada pada usia produktif yaitu 20-49 tahun.

Alasan utama muncul dan meningkatnya beban tuberkulosis ini

antara lain disebabkan oleh kemiskinan penduduk, perubahan demografik dengan

meningkatnya penduduk dunia, perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi

terutama di negara- negara miskin, kurangnya pengetahuan tentang tuberkulosis,

kurangnya biaya untuk berobat, sarana diagnostik dan pengawasan kasus

3

Page 4: ISTC makalah

tuberkulosis dimana terjadi deteksi dan tatalaksana kasus yang tidak adekuat, dan

terakhir adanya epidemi HIV terutama di Afrika dan Asia.

Indonesia merupakan negara dengan prevalensi tuberkulosis ke-3

tertinggi di dunia setelah China dan India.

C. Patogenesis Tuberkulosis

1. Tuberkulosis primer

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran nafas akan bersarang

di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang

disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin

timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang

reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah

bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama

dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer.

2. Tuberkulosis postprimer

Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian

setelah tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 14-40 tahun.

Tuberkulosis postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam.

D. Definisi ISTC (International Standard of Tuberculosis Care)

International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar

yang melengkapi pedoman program penanggulangan tuberkulosis nasional

yang konsisten dengan rekomendasi WHO. Standar tersebut bersifat

4

Page 5: ISTC makalah

internasional dan diperkenalkan pada bulan Februari 2006 dan direvisi

2009 serta dilaksanakan di Indonesia.

Tujuan ISTC adalah mendeskripsikan secara luas pada praktisi,

masyarakat bagaimana prosedur penatalaksanaan seseorang yang memiliki

penyakit tuberkulosis maupun yang dicurigai mengidap tuberkulosis. ISTC

sendiri memfasilitasi pada masyarakat bagaimana melayani pasien dengan

hasil sputum positif maupun negatif tuberkulosis, dan tuberkulosis

ekstrapulmoner akibat MDR-tuberkulosis, tuberkulosis dengan kombinasi

infeksi HIV dan faktor komorbid lainnya. Hal ini dilakukan untuk

mencegah penyebaran penyakit tuberkulosis dan menjaga kesehatan

masyarakat.

Penyebab utama meningkatnya beban masalah tuberkulosis antara lain

adalah :

1. Kemiskinan yang banyak terjadi pada negara berkembang

2. Kegagalan program tuberkulosis selama ini. Hal ini diakibatkan

oleh :

a. Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan

b. Tidak memadainya organisasi pelayanan tuberkulosis

(kurang terakses oleh masyarakat, penemuan kasus /diagnosis

yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak

dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar, dan

sebagainya).

5

Page 6: ISTC makalah

c. Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan

obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah

didiagnosis)

d. Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.

e. Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara

yang mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat.

3. Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan

perubahan struktur umur kependudukan.

3. Dampak pandemi HIV.

E. ISTC di Indonesia

Sejak sekitar 2 tahun yang lalu, ISTC mulai diperkenalkan di Indonesia.

Pada awalnya depertemen kesehatan yang berinisiatif untuk menerapkan ISTC di

Indonesia. Sebagaimana segala sesuatu hal yang “barunya” selalu mendapat

sorotan dari para pihak terkait. Pentingnya penerapan ISTC sangat nyata dan

diakui oleh berbagai organisasi profesi medis. IDAI sebagai salah satu organisasi

profesi medis yang terkait erat dalam manajemen TB anak juga mencermati dan

mengkritisi ISTC. Ada dua hal utama yang menjadi perhatian IDAI. Hal pertama

adalah bahwa ada beberapa standar baik dalam aspek diagnosis maupun terapi

yang kurang tepat untuk keadaan di Indonesia.

Hal kedua adalah dengan adanya kata standar, maka dikhawatirkan akan

mempunyai dampak hukum bila dokter dalam menjalankan profesinya tidak

sesuai dengan standar. Apalagi saat ini masyarakat yang sedang euphoria

6

Page 7: ISTC makalah

reformasi yang kebablasan, cenderung mudah menuding terjadinya malpraktek

bila ada hasil pelayanan kesehatan yang tidak sesuai harapan. Belum lagi hal ini

ditunggangi oleh berbagai LSM yang melihat peluang mencari dana melalui jalur

ini.

Perlu proses yang panjang serta berbagai pertemuan dan diskusi diantara

berbagai organisasi profesi medis yang berlangsung cukup sengit dan alat dalam

rangka penerapan ISTC di Indonesia. Aspek hukum juga telah dikaji oleh para

pakar hukum dibidang kesehatan. Sebagai jalan keluar, ISTC versi Indonesia

adalah terjemahan langsung dan lengkap dari versi aslinya, namun didepannya

dicantumkan wewanti (disclaimer) yang menerangkan bahwa penerapan ISTC di

Indonesia disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Selain itu dibagian

belakang ditambahkan addendum yang berisi penjelasan perbedaan standar untuk

penerapan di Indonesia sesuai dengan asupan dari berbagai organsisasi profesi.

POINT OF INTEREST: ISTC untuk pasien anak

Standar 1:

Batuk bukan entri utama untuk TB anak

Standar 4:

Pemeriksaan dahak pada pasien anak bila memungkinkan

Standar 6:

Uji diagnostik TB pada anak yang utama adalah uji tuberkulin, foto toraks

sebagai tambahan.

7

Page 8: ISTC makalah

Standar 8:

Terapi fase awal pada TB anak umumnya dengan 3 obat, bukan dengan 2

obat; pada keadaan tertentu diperluklan lebih dari 4 obat

Standar 10:

Evaluasi respon pengobatan terbaik dinilai secara klinis, foto toraks

umumnya tidak diperlukan dan dapat menyesatkan

Standar 16:

Setiap menangani pasien TB seharusnya dilakukan pelacakan; jika

mendiagnostik TB pada seorang anak maka harus dicari pasien TB dewasa

sebagai sumber penularnya (lacak sentripetal); jika menemukan pasien TB dewasa

BTA (+), seharusnya anak-anak (terutama balita) yang kontak erat dievaluasi

kemungkinan terinfeksi atau sakit TB (lacak sentrifugal).

Disclaimer

ISTC telah disepakati oleh organisasi profesi untuk diterapkan dalam

penanganan tuberkulosis di Indonesia. Meskipun demikian mengingat

keterbatasan dalam hal sarana, prasarana, dan letak geografis serta belum

meratanya sumber daya manusia dan masih terdapatnya penyulit penyakit selain

TB yang mengenai para pasien tersebut, maka dalam pelaksanaannya ISTC ini

dapat disesuaikan dengan situasi dari kondisi yang ada demi kepentingan terbaik

pasien.

8

Page 9: ISTC makalah

Beberapa masukan dari Perhimpunan Dokter Spesialis untuk penerapan di

Indonesia dicantumkan sebagai addendum.

Standar Internasional Untuk Pelayanan Tuberkulosis (ISTC)

Standar Untuk Diagnosis

Standar 1

Setiap orang dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau lebih yang

tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk tuberkulosis.

Standar 2

Semua pasien (dewasa, remaja, dan anak) yang diduga menderita

tuberkulosis paru harus menjalani pemeriksaan dahak mikroskopik minimal 2 dan

sebaiknya 3 kali. Jika mungkin paling tidak satu spesimen harus berasal dari

dahak pagi hari.

Standar 3

Pada semua pasien (dewasa, remaja, dan anak) yang diduga menderita

tuberkulosis ekstra paru, spesimen dari bagian tubuh yang sakit seharusnya

diambil untuk pemeriksaan mikroskopik dan jika tersedia fasilitas dan sumber

daya, dilakukan pemeriksaan biakan dan histopatologi.

Standar 4

Semua orang dengan temuan foto toraks diduga tuberkulosis seharusnya

menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi.

9

Page 10: ISTC makalah

Standar 5

Diagnosis tuberkulosis paru sediaan apus dahak negatif harus didasarkan

pada kriteria berikut: minimal pemeriksaan dahak dan mikroskopik 3 kali negatif

(termasuk minimal 1 kali dahak pagi hari) temuan foto toraks sesuai tuberkulosis

dan tidak ada respon terhadap antibiotika spektrum luas (catatan: fluoroquinolon

harus dihindari karena aktif terhadap M. Tuberkulosis Kompleks sehingga dapat

menyebabkan perbaikan sesaat pada penderita tuberkulosis). Untuk pasien ini jika

tersedia fasilitas biakan dahak seharusnya dilakukan. Pada pasien yang duduga

terinfeksi HIV evaluasi diagnostic harus disegerakan.

Standar 6

Diagnosis tuberculosis intratoraks (yakni paru, pleura dan kelenjar getah

bening hilus atau mediastinum) pada anak dengan gejala namun sediaan apus

dahak negatif seharusnya didasarkan atas kelainan radiografi toraks sesuai

tuberkulosis dan pajanan kepada kasus tuberkulosis yang menular atau bukti

infeksi tuberkulosis (uji kulit tuberkulin positif atau interferon gamma release

assay). Untuk pasien seperti ini, bila tersedia fasilitas bahan dahak seharusnya

diambil untuk biakan (dengan cara batuk, kumbah lambung, atau induksi dahak).

Standar untuk Pengobatan

Standar 7

Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban tanggung

jawab kesehatan masyarakat yang penting. Untuk memenuhi tanggung jawab ini

praktisi tidak hanya wajib memberikan paduan obat yang memadai tapi juga harus

10

Page 11: ISTC makalah

mampu menilai kepatuhan pasien kepada pengobatan serta dapat menangani

ketidakpatuhan bila terjadi. Dengan melakukan hal itu, penyelenggara kesehatan

akan mampu menyakinkan kepatuhan kepada panduan sampai pengobatan selesai.

Standar 8

Semua pasien ( termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah

diobati harus diberi panduan obat ini pertama yang disepakati secara internasional

menggunakan obat yang bioavailabilitasnya telah diketahui. Fase awal seharusnya

terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Etambutol boleh

dihilangkan pada fase inisial pengobatan untuk orang dewasa dan anak dengan

sediaan apus darah negatif, tidak menderita tuberkulosis paru yang luas atau

penyakit ekstra paru yang berat, serta telah diketahui HIV negatif. Fase lanjutan

yang dianjurkan terdiri dari isoniazid dan rifampisin yang diberikan selama 4

bulan. Isoniazid dan etambutol selama 6 bulan merupakan panduan alternatif pada

fase lanjutan yang dapat dipakai jika kepatuhan pasien tidak dapat dinilai, akan

tetapi hal ini beresiko tinggi untuk gagal dan kambuh, terutama untuk pasien yang

terinfeksi HIV.

Dosis obat anti tuberkulosis yang digunakan harus sesuai dengan

rekomendasi internasional. Kombinasi dosis tetap yang terdiri dari kombinasi 2

obat (isoniazid dan rifampisin), 3 obat (isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid),

dan 4 obat (isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol) sangat

direkomendasikan terutama jika menelan obat tidak diawasi.

11

Page 12: ISTC makalah

Standar 9

Untuk membina dan menilai kepatuhan (adherence) kepada pengobatan,

suatu pendekatan pemberian obat yang berpihak kepada pasien, berdasarkan

kebutuhan pasien, dan rasa saling menghormati antara pasien dan penyelenggara

kesehatan, seharusnya dikembangkan untuk semua pasien. Pengawasan dan

dukungan seharusnya sensitif terhadap jenis kelamin dan spesifik untuk berbagai

usia dan harus memanfaatkan berbagai macam intervensi yang direkomendasikan

serta layanan pendukung yang tersedia, termasuk konseling dan penyuluhan

pasien.

Elemen utama dalam strategi yang berpihak kepada pasien adalah

penggunaan cara-cara menilai dan mengutamakan kepatuhan terhadap panduan

obat dan menangani ketidakpatuhan bila terjadi. Cara-cara ini seharusnya dibuat

sesuai dengan keadaan pasien dan dapat diterima oleh kedua belah pihak, yaitu

pasien dan penyelenggara pelayanan. Cara-cara ini dapat mencakup pengawasan

langsung menelan obat (directly observed therapy-DOT) oleh pengawas menelan

obat yang dapat diterima dan dipercaya oleh pasien dan sistem kesehatan.

Standar 10

Semua pasien harus dimonitor responnya terhadap terapi, penilaian terbaik

pada pasien tuberkulosis ialah pemeriksaan dahak mikroskopik berkala (dua

spesimen) paling tidak pada waktu fase awal pengobatan selesai (2 bulan), pada

bulan ke lima, dan pada akhir pengobatan. Pasien dengan sediaan apus dahak

positif pada pengobatan bulan ke lima harus dianggap gagal pengobatan dan

pengobatan harus dimodifikasi secara tepat (lihat standar 14 dan 15). Pada pasien

12

Page 13: ISTC makalah

tuberkulosis ekstra paru dan pada anak, respon pengobatan terbaik dinilai secara

klinis. Pemeriksaan foto thoraks umumnya tidak diperlukan dan dapat

menyesatkan.

Standar 11

Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respon bakteriologis

dan efek samping seharusnya disimpan untuk semua pasien.

Standar 12

Di daerah dengan prevalensi HIV tinggi pada populasi umum dan daerah

dengan kemungkinan tuberkulosis dan infeksi HIV muncul bersamaan, konseling

dan uji HIV diindikasikan bagi semua pasien tuberkulosis sebagai bagian

penatalaksanaan rutin. Di daerah dengan prevalensi HIV yang lebih rendah,

konseling dan uji HIV diindikasikan bagi pasien tuberkulosis dengan gejala

dan/atau tanda kondisi yang berhubungan dengan HIV dan pada pasien

tuberkulosis yang mempunyai resiko tinggi terpajan HIV.

Standar 13

Semua pasien dengan tuberkulosis dan infeksi HIV seharusnya dievaluasi

untuk menemukan perlu/tidaknya pengobatan anti retroviral diberikan selama

masa pengobatan tuberkulosis. Perencanaan yang tepat untuk mengakses obat anti

retroviral seharusnya dibuat untuk pasien yang memenuhi indikasi. Mengingat

kompleksnya penggunaan serentak obat anti tuberkulosis dan anti retroviral,

konsultasi dengan dokter ahli di bidang ini sangat direkomendasikan sebelum

mulai pengobatan serentak untuk infeksi HIV dan tuberkulosis, tanpa

13

Page 14: ISTC makalah

memperhatikan mana yang muncul lebih dahulu. Bagaimanapun juga

pelaksaanaan pengobatan tuberkulosis tidak boleh ditunda. Pasien tuberkulosis

dengan infeksi HIV juga seharusnya diberi kotrimoksazol sebagai pencegahan

infeksi lainnya.

Standar 14

Penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasarkan riwayat pengobatan

terdahulu, pajanan dengan sumber yang mungkin resisten obat dan prevalensi

resistensi obat dalam masyarakat seharusnya dilakukan pada semua pasien. Pasien

gagal pengobatan dan kasus kronik seharusnya selalu dipantau kemungkinannya

akan resistensi obat. Untuk pasien dengan kemungkinan resistensi obat, biakan

dan uji sensitivitas obat terhadap isoniazid, rifampisin, dan etambutol seharusnya

dilaksanakan segera.

Standar 15

Pasien tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR)

seharusnya diobati denga panduan obat khusus yang mengandung obat anti

tuberkulosis lini ke dua. Paling tidak harus menggunakan empat obat yang masih

efektif dan pengobatan harus diberikan paling sedikit 18 bulan. Cara-cara yang

berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap

pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman

dalam pengobatan paisen dengan MDR TB harus dilakukan.

14

Page 15: ISTC makalah

Standar Untuk Tanggung Jawab Kesehatan Masyarakat.

Standar 16

Semua penyelenggara pelayanan untuk pasien tuberkulosis seharusnya

memastikan bahwa semua orang (khususnya anak berumur di bawah 5 tahun dan

orang terinfeksi HIV) yang mempunyai kontak erat dengan pasien tuberkulosis

menular seharusnya dievaluasi dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi

internasional. Anak berumur di bawah 5 tahun dan orang terinfeksi HIV yang

telah terkontak dengan kasus menular seharusnya dievaluasi untuk infeksi laten

M. tuberkulosis maupun tuberkulosis aktif.

Standar 17

Semua penyelenggara pelayanan kesehatan harus melaporkan kasus

tuberkulosis baru maupun kasus pengobatan ulang serta hasil pengobatannya ke

kantor Dinas Kesehatan setempat sesuai dengan peraturan hukum dan kebijakan

yang berlaku.

Addendum

Standar 1

Untuk pasien anak selain gejala batuk, entri untuk evaluasi adalah berat

badan yang sulit naik dalam waktu kurang lebih 2 bulan terakhir atau gizi buruk.

15

Page 16: ISTC makalah

Standar 3

Sebaiknya dilakukan juga pemeriksaan foto toraks untuk mengetahui ada

tidaknya TB paru dan TB milier. Pemeriksaan dahak juga dilakukan, bila

mungkin pada anak.

Standar 6

Untuk penatalaksanaan di Indonesia, diagnosis didasarkan atas pajanan

kepada kasus tuberkulosis yang menular atau bukti infeksi tuberkulosis (uji kulit

tuberkulin positif atau interferon gamma release assay) dan kelainan radiografi

toraks sesuai TB.

Standar 8

Etambutol boleh dihilangkan pada fase inisial pengobatan untuk orang

dewasa dan anak dengan sediaan apus dahak negatif, tidak menderita tuberkulosis

paru yang luas atau penyakit ekstra paru yang berat serta telah diketahui HIV

negatif.

Secara umum terapi TB pada anak diberikan selama 6 bulan, namun pada

keadaan tertentu (meningitis TB, TB tulang, TB milier dan lain-lain) terapi TB

diberikan lebih lama (9-12 bulan) dengan paduan OAT yang lebih lengkap sesuai

derajat penyakitnya.

Standar 10

Respon pengobatan pada pasien TB milier dan efusi pleura atau TB paru

BTA negatif dapat dinilai dengan foto toraks.

16

Page 17: ISTC makalah

Standar 17

Pelaksanaan pelaporan seharusnya difasilitasi dan dikoordinasikan oleh

dinas kesehatan setempat, sesuai dengan kesepakatan yang dibuat.

17

Page 18: ISTC makalah

III. PENUTUP

KESIMPULAN

1. Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis dengan gejala yang sangat bervariasi.

2. Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu

gejala lokal dan gejala sistemik.

3. Alasan utama muncul dan meningkatnya beban tuberkulosis ini antara

lain disebabkan oleh kemiskinan penduduk, perubahan demografik

dengan meningkatnya penduduk dunia, perlindungan kesehatan yang

tidak mencukupi terutama di negara- negara miskin, kurangnya

pengetahuan tentang tuberkulosis, kurangnya biaya untuk berobat,

sarana diagnostik dan pengawasan kasus tuberkulosis dimana terjadi

deteksi dan tatalaksana kasus yang tidak adekuat, dan terakhir adanya

epidemi HIV terutama di Afrika dan Asia. Indonesia merupakan

negara dengan prevalensi tuberkulosis ke-3 tertinggi di dunia setelah

China dan India.

4. International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan

standar yang melengkapi pedoman program penanggulangan

tuberkulosis nasional yang konsisten dengan rekomendasi WHO.

Standar tersebut bersifat internasional dan diperkenalkan pada bulan

Februari 2006 dan direvisi 2009 serta dilaksanakan di Indonesia.

5. Tujuan ISTC adalah mendeskripsikan secara luas pada praktisi,

masyarakat bagaimana prosedur penatalaksanaan seseorang yang

18

Page 19: ISTC makalah

memiliki penyakit tuberkulosis maupun yang dicurigai mengidap

tuberkulosis. ISTC sendiri memfasilitasi pada masyarakat bagaimana

melayani pasien dengan hasil sputum positif maupun negatif

tuberkulosis, dan tuberkulosis ekstrapulmoner akibat MDR-

tuberkulosis, tuberkulosis dengan kombinasi infeksi HIV dan faktor

komorbid lainnya. Hal ini dilakukan untuk mencegah penyebaran

penyakit tuberkulosis dan menjaga kesehatan masyarakat.

6. ISTC memuat hal-hal apa (what) yang seharusnya dilakukan dokter

dalam mengelola pasien TB, sedangkan pedoman organisasi profesi

berisi panduan bagaimana (how) mengelola pasien TB. ISTC berisi 17

standar yang terdiri dari 6 standar diagnosis, 9 standar terapi, dan 2

standar kesehatan masyarakat.

19

Page 20: ISTC makalah

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M.K., dan Setiati S

(eds). 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Hal : 988-1000.

2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2006. Pedoman Diagnosis

dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta : Indah Offset

Citra Grafika.

3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI). 2007. Pedoman

Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Departemen Kesehatan

Republik Indonesia

4. Martini, T. 2010. Standar Internasional Untuk Penanggulangan TB.

Proseding dalam symposium TB Update 2010. Diakses dari

http://dokteraep.blogspot.com/2010/05/standar-internasional-

untuk_28.html. (29 Desember 2010)

5. TBCTA. 2009. International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) 2nd

Edition. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. The Hauge.

6. International Standards For Tuberculosis Care 2nd Edition. 2009.

www.istcweb.org.

20