BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai salah satu bagian penting dari program-program pembangunan
nasional, sector pendidikan merupakan factor penentu pertumbuhan social-ekonomi
suatu Negara. Salah satu bentuk penting investasi SDM yang dapat dibuat oleh
sebuah Negara adalah penyediaan kesempatan pendidikan yang merata bagi warga
negaranya. Telah di temukan secara konsisten dari berbagai penlitian di sejumlah
Negara bahwa investasi SDM melalui pendidikan memiliki dampak yang paling
besar terhadap kemajuan Negara-negara industri baru. Untuk mendorong warga
Negara agar nenberikan sumbangan efektif terhadap pembangunan nasional harus
diyakini bahwa setiap anak Indonesia memiliki akses terhadap pendidikan yang
bermutu dan relevan dengan kebutuhan berbagai sector pembangunan. Salah satu
factor yang berpengaruh terhadap mutu dan relevansi pendidikan adalah besarnya
anggaran pendidikan karena factor ini memungkinkan suatu system pendidikan dapat
berkembang, misalnya karena gaji guru dan pegawai yang memadai, buku dan
sarana pendidikan yang memadai, serta sarana pendidikan seperti laboratorium,
buku, perpustakaan, dan alat pelajaran yang mampu memacu penguasaan ilmu-ilmu
murni dan trepan secara cepat.
Dewasa ini besarnya anggaran pendidikan telah menjadi salah satu sorotan
utama dari berbagai pembicaraan, baik di media massa, seminar, maupun masyarakat
luas. Dari pembicaraan yang berkembang, di antaranya maupun masyarakat luas.
Dari pembicaraan yang berkembang, diantarannya di persoalkan apakah pemerintah
benar-benar telah menempatkan investasi SDM pada proritas teratas sebagaimana
digariskan dalam GBHN 1993. Namun, tidak sedikit pula kalangan yang
mengkhawatirkan apakah kenaikan anggaran pendidikan yang secara tiba-tiba tidak
akan melahirkan akses yang buruk, terutama dilihat dari efisiensi penggunaannya.
1
Berbagai pihak yang lain menekankan bahwa anggaran pendidikan bukan
satu-satunya factor terpenting yang menentukan berhasilnya pengembangan kualitas
SDM. Namun, anggaran pendidikan yang besar pasti merupakan factor yang paling
mendasar untuk percepatan upaya peningkatan mutu pendidikan jika dapat
didayagunakan secara efisien.
Informasi mengenai keuangan pendidikan diproleh dari data dan informasi
yang bersumber dari (1) kuesioner sekolah yang dikumpulkan setiap tahun oleh Pusat
Informatika untuk Pengelolaan Pendidikan dan kebudayaan Balitbang Dikbud, (2)
data hasil survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas, 1995). Data-data tersebut telah
diolah dan dianalisis oleh Biro APKO Bappenas yang dibantu oleh suatu lembaga
konsultan ADB, yaitu Hickling (David Clarck 1997). Di samping itu, studi keuangan
pendidikan juga sudah dilakukan oleh Pusat Informatika Balitbang Dikbud yang
dibantu oleh salah satu seorang konsultan, Mathew Robertson (1996). Kedua studi
tersebut dibahas dan dibandingkan sehingga menggambarkan keadaan keuangan,
khususnya pendidkan persekolahan di Indonesia pada tahun 1995/96.
B.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Dan Investasi SDM : Suatu Perspektif
Pengembangan SDM yang berkualitas merupakan kegiatan antarbidang dan
antarsektor pembangunan di dalam suatu kerangka pemikiran para pemegang
kebijaksanaan negara yang berkeinginan untuk mencapai keunggulan (excellence)
dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) sebagai faktor terpenting
dalam meningkatkan daya saing produk industri trntuk mempercepat laju
pertumbuhan produktivitas nasional. Sebagai salah satu sektor dalam pengembangan
kualitas SDM, pembangunan pendidikan adalah faktor terpenting yang menentukan
keberhasilan pembangunan di era persaingan. Sistem pendidikan perlu diarahkan
pada perwujudan sistem yang mampu menyesuaik;rn cliri bahkan mungkin
mendorong Proses perubahar, yang terarah untuk mencapai ketahanan nasional yang
andai dalam nrenghadapi tantangan lingkungan yang tidak ramah (volaiile) dan terus
berubah, baik pada fingkungan lokal' lingkungan nasional, regional, maupun global.
Dalam era yang semakin terbuka, pola perjuangan suatu bangsa dalam
memperkokoh ketahanan nasional diperlukan pendekatan yang relevan dengan
tantangannya. Salah satu pendekatan yang dikenal dengan istilah pendekatan
kesejahteraan (prosperity approach) adalah suatu model yang cenderung semakin
penting, dalam menghadapi tantangan lingkungan-yang berdimensi ganda. Dengan
demikian, sistem pendidikan mertghadapi tantangan yang juga berdimensi ganda
dalam upaya untuk peningkatan SDM yang berkualitas. Dimensi-dirnensi ini sebut
saja ideologi, politik, ekonomi, dan sosial budaya (ipoleksosbud). Oleh karena itu,
sistem pendidikan sama sekali tidik dapat menjadi sistem tersendiri yang terpisah
dengan sistem-sistem lainnya dalam Proses pembangunan bangsa.
Dari dimensi politik dan ideologi, sistem pendidikan mampu menanamkan
sikap-sikap dan perilaku SDM yang demokratis sejalan dengan kepribadian bangsa
berdasarkan Pancasila dan Undang-Unlung Dusar 1945 serta kebanggaan berbangsa
sebagai sumber semangat perjuangan dalam berbagai bidang kehidupan.
3
Dari dimensi ekonomi dan iptek, sistem pendidikan mampu meningkatkan
kemampuan belajar warga negara untuk menguasai jenis-jenis keterampilan dan
keahlian yang sesuai dengan iptek yang terus berkembang sebagai syarat mutlak
untuk mencapai produktivitas. Dari dimensi sosial-budaya' sistem pendidikan atapun
menanamkan sikap dan perilaku yang rasional di dalam suatu sistembudaya
Indonesia yang kondusif. Khususnya dalam mengembangkan nilai-nilai kesehatan,
produktivitas, kemandirian, serta etos kerja industri. Dari dimensi hankamnas, sistem
pendidikan mampu menahan sikap, wawasan, dan perilaku bela negara, baik secra
fisik mapun non fisik.
1) Dimensi Konsep
Kebiiaksanaan pendidikan harus didasarkan pada prinsip atau konsep yang
telah diakui kebenarannya secara universal. Walaupun Indonesia memiliki sistem
pendidikan tersendiri (seperti pendidikan Islam: Pesantren dan Madrasah) dan
pendidikan asli Indonesia yang lebih mendasarkan diri pada pendidikan bela diri dan
kekebalan, model pendidikan Eropa cenderung lebih berkembang karena telah
dipakai sebagai model bagi seluruh penjuru muka bumi dan tampaknya sudah
menjadi pola pendidikan yang sudah baku.
Karena kebakuan model pendidikan Eropa ini, konsep-konsep pendidikan
yang dijadikan dasar untuk menyusun kebijaksanaan pendidikan masing-masing
negara sudah semakin universal. Perkembangan ilmu-ilmu kebiiaksanaan yang
berkembang didunia pendidikan, sampai saat ini, semakin didasarkan pada temuan-
temuan penelitian yang dilaksanakan di sejumlah negara. Sebagian dari temuan
tersebut sudah menjadi suatu keteraturan (regularity) dan bahkan menjadi suatu teori
yang diakui kebenarannya secara universal. Jika teori-teori kebijaksanaan pendidikan
sudah diakui secara universal menurut Thomas Khun (1953) dalam bukunya yang
sudah cukup tua, tetapi masih dianggap sebagai kajian ilmu pengetahuan yang
penting dengan judul The Structure Of Scientific Retsolution-Teori tersebut sudah
dapat diakui sebagai suatu paradigma (paradigm). Paradigma ini hanya dapai
berubah dalam waktu yang panjang (25-30 tahun) jika temuan-temuan baru dari
penelitian secara global telah mengarah pada suatu kecenderungan kebenaran yang
4
baru. Dari cerita ini dapat disirirpulkan bahwa konsep-konsep yang dijadikan
landasan oleh kebijaksanaan pendidikan cenderung sudah bersifat universal yang
sudah ada dalam literatur kebijaksanaan pendidikan di berbagai bagian dunia.
2) Dimensi Politik
Terbentuknya suatu kebijaksanaan pendidikan pada dasarnya merupakan
hasil dari suatu perjuangan politik dari berbagai kelompok kepentingan. Kesepakatan
politis yang diperoleh adalah landasan bagi para pengambil keputusan untuk
menetapkan kebijaksanaan dalam pembangunan pendidikan- Periuangan politik ini
wujudnya adalah perjuangan untuk meyakinkan berbagai golongan kepentingan dan
golongan penekan dalam suatu tatanan politik negara akan pentingnya suatu
kebijaksanaan pendidikan yang diusulkan oleh pemerintah.
Dilihat dari sisi politik, kebijaksanaan pendidikan terdiri atas tiga tingkatan
berikut ini. Pada tingkatan makro (macro level), sebagai salah satu jenis
kebijaksanaan publik, pendidikan nasional akan menyangkut kepentingan seluruh
rakyat. Dengan demikian, suatu kebijaksanaan harus sudah mendapatkan persetujuan
atau kesepakatan dari seluruh rakyat (di Indonesia kesepakatan dijelmakan dalam
berbagai institusi seperti MPR, DPR, atau DPRD sebelum ditetaPkan menjadi
kebijaksanaan pendidikan nasional).
Dalam tingkatan teknis (technical level), pelaksanaan kebijaksanaan nasional
harus diiabarkan menjadi strategi dan kebiaksanaan teknis dan pengelolaan. Pusat
dan daerah, Tingkatan kebijaksanaan teknis ini menyangkut pengembangan,
penyusunan, dan Penerapan model yang lebih teknis agar kebijaksanan nasional
dapat diwujudnyatakan. Hasil-hasil penelitian atau pengembangan mengenai
berbagai. Model pelaksanaan kebijaksanaan makro tersebut harus dilakukan jika
paradigma yang dijadikan landasan akan ditempatkan pada dimensi ruang, tempat,
dan waktu pada masyarakat tempat pendidikan diterapkan, sesuai ciri kebudayaan
dan kepribadian bangsanya. Untuk itu, tawar-menawar dengan berbagai kelompok
yang mewakili kepentingan atau golongan masyarakat (Misalnya BPPN, DPRD,
5
LSM) atau instansi-instansi pemerintah terkait diperlukan untuk memperoleh
dukungan secara politis.
Dalam tingkatan operasional (operational level). Penerapan program-program
penddikan di tingkat operasional harus merupakan pengejawantahan dari
kebiiaksanaan makro dan teknis tersebut. Namun, dalam pelaksanaan di lapangan,
dukungan secara politis juga diperlukan agar Program-Program pendidikan,
mendapat bantuan, dorongan sekaligus tidak mendapat rintangan dari berbagai
kelompok kepentingan yang secara langsung berpengaruh atau terkena dampak dari
pelaksanaan program yang bersangkutan.
B. Pendidikan dan Pengembangan SDM di Indonesia
Sesuai dengan permasalahan dan tantangan perubahan yang akan terjadi,
beberapa prioritas kebijaksanaan pembangunan pendidikan dan kebudayaan telah
tercermin dalam pidato-pidato Presiden, Mendikbud, naskah-naskah perencanaan
pemerintah, dan beberapa kebijaksanaan unit-unit utama Departemen Pendidikah dan
Kebudayaan. Pembangr.rnan di bidang pendidikan dilaksanakan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional, seperti tersebut dalam UU No.2/1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dalam rangka menciptakan kualitas SDM yang memiliki ciri
khas nasional lndonesia. Dengan kata lain, pernbangunan pendidikan nasional adalah
wahana untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan SDM
yang berkualitas. Agar pembangunan pendidikan meniadi wahana yang efektif dan
efisien dalam pengembangan SDM, argumentasi kebijaksanaan pembangunan
pendidikan dapat dilihat dari tiga orientasi pendidikan dalam kaitannya dengan
pengembangan kualitas SDM..
Berdasarkan undang-undang yang berlaku, sistem pendidikan telah
dilengkapi dengan perangkat-perangkat sistem yang secara langsung memberikan
Peran dalam pengembangan SDM. Sistem pendidikan memiliki bagian-bagian sistem
yang terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Berbagai cara memandang
bagian sistem pendidikan antara lain menurut jenjang (pendidikan dasar, pendidikan
6
menengah, dan pendidikan tinggi), menurut ienis (pendidikan umum, kejuruan,
profesional, dan agama), dan menurut penyelenggara (pemerintah atau swasta).
Bagian ini memandang sistem pendidikan dengan cara lain, yaitu dilihat dari
orientasinya terhadap pengembangan SDMTerdapat tiga cara memandang sistem
pendidikan iika dilihat dari orientasinya dalam pengembangan SDM, yaitu
pendidikan berorientasi terhadap: (1) upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, (2)
upaya mempersiapkan tenaga keria terampil dan ahli yang diperlukan dalam proses
memasuki era industrialisasi, serta (3) upaya membina dan mengembangkan
penguasaan berbagai cabang keahlian ilmu pengetahuan dan teknologi.
7
BAB III
TEORI DAN PERSPEKTIF DALAM INVESTASI SDM
A. Pengembangan SDM : Suatu Investasi Produktif
Walaupun tujuan masyarakat banyak sekali jenis dan nacamnya serta
mungkin tidak terhingga jumlahnya, kebijakan pembangunan nasional secara
sederhana telah mengelompokkan tujuan masyarakat tersebut ke dalam tiga jenis
berikut ini.
Pertama aadalah tujuan konsumtif. Salah satu kebutuhan dasar manusia
adalah ingin mencapai kepuasan hidupnya dengan jalan menikmati berbagai bentttk
kebutuhan yang dirasakan masa sekarang, baik secara fisik nauPun nonfisik. Tujuan
untuk menikmati keb.utuiran hidup yang dapat mencapai kepuasan yang secara
langsung dirasakan pada masa sekarang disebut dengan tujuan konsumtif
(consumption objectives)- Tujuan penikmatan atas konsumsi ini dalam batas bawah
adalah semata-mata untuk dapat bertahan hidup (survival) dengan mancapai
kebuhrhan fisik minimum (KFM) yang digunakan sebagai salah satu ukuran dalam
menentukan upah minimum dewasa ini' Dalam batas atasnya, kebutuhan konsurnsi
ini dapat mencapai apa yang disebut kebutuhan hidup minimum (KHM) yang bukan
sematamata mencakup kebutuhan fisik (seperti pangan, sandang, dan papan), tetapi
iuga meliputi kebutuhan hidup yang lebih tinggi tingkatannya seperti pendidikan,
kesehatan, rekreasi, dan pergaulan. Tujuan lainnya yang lebih tittgg tingkatannya
dari KFM dan KHM-seperti penghargaan, kehormatan, dan kekuasaan-sering tidak
diperhitungkan karena ununrnya hanya dapat dinikmati oleh segmen masyarakat
tertentu saja.
Kedua adalah tujuan investasi. Tuiuan masyarakat jenis ini bersifat lebih
berjangka panjang, tidak semata-mata mencapai kepuasan dengan menikmati
konsumsi pada masa sekarang, tetapi lebihfauh lagi, yaitu mencapai kesejahteraan
hidup di masa datang. Tujuan ini sering diwujudkan melalui upaya peningkatan
8
kemampuan berproduksi untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh
masyarakat untuk mencapai manfaat kesejahteraan atau di masa depan. Tujuan yang
bersifat ke depan ini sangat dipengaruhi oleh tingkat perubahan manusia itu sendiri.
Semakin modern tingkat peradaban manusia cenderung semakin berpikir jauh
kedepan sehingga tujuan untuk mencapai kesejahteraan yang lebih baik di masa
depan sudah merupakan salah satu kebutuhan hidupnya. Dalam ilmu ekonomi, ini
tujuan disebut sebagai tujuan investasi (investmeni objective).
Jenis tujuan ketiga dalam suatu masyarakat modern adalah adanya keadilan
dan pemerataan sehingga kehidupan manusia yang adil, makmur, damai, dan
tenteram, adalah merupakan salah satu kebutuhan pokok. Masyarakat yang maju
adalah masyarakat yang produktif dan dapat menghasilkan barang dan jasa yang
berguna serta menciptakan barang dan jasa yang yang seimbang dan adil dalam
hubungan antar manusia. Dengan demikian, salah satu tujuan penting dari kehidupan
modern adalah meningkatkan pola distribusi atau pemerataan pemilikan atau
penggunaan barang dan jasa secara adil dan merata di antara kerompok-kerompok
yang ada dalam masyarakat (equitability).
Berdasarkan keiginan majuan masyarakat tersebut, pendidikan sebagai salah
satu bentuk terpenting dalam investasi SDM juga dapat membantu mewujudkan
pemenuhan kebutuhan masyarakat, baik untuk mencapai tujuan konsumtif investasi,
maupun peningkatan pemerataan dan keadilan. Ketiga tujuan tersebut yang dapat
dicapai melalui pendidikan secara lebih terurai dapat dijelaskan dalam pembahasan
sebagai berikut.
Pendidikan ialah suatu bentuk konsumsi, yaitu suatu barang atau jasa yang
dibutuhkan secara langsung serta dapat menimbulkan kesejah teraan yang capat
dinikmati hari ini. Namun, jika pendidikan dianggap sebagai suatu bentuk konsumsi,
udah berarti bahrwa pendidikan itu tidak mengandung unsur lainnya seperti
produktifitas dan keadilan. Pendidikan sebagai mana terbentuk konsumsi itu sering
tidak kasat mata walaupun sebenarnya terjadi di mana-mana (ubiquities), seperti di
lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, tempat kerja, bahkan dalam setiap
9
pergaulan antara manusia. Konsep yang terkait dengan pendidikan sebagai suatu
bentuk korsumsi adalah apa yangdisebut sosialisasi. Di sini generasi muda secara
otomatis terdapatkan bimbingan secari generasi sebelumnya agar dapat memerankan
fungsinya sebagai anggota baru dalam suatu masyarakat atau organisasi. Sengaja
atau tidak, pendidikan itu diperlukan sebagaimana seseorang memerlukan suatu
konsumsi untuk tujuan-tuiu an survival.
Kriteria Investasi SDM yang sering dilakukan kriteria yang dianggap penting
dapat di kelompokkan kedalam empat kriteria yang dianggap penting yaitu :
1) Kriteria kebutuhan tenaga kerja termpil oleh berbagai sector lapangan kerja
yang menguasai keterampilan kejuruan dan keahlian teknologi, sesuai
dengan perkeinbangan iptek sehingga tujuan utama pembangunan
pendidikan hanya menambah penyediaan tenaga kerja terampil dan ahli.
2) Kriteria perluasan pendidikan dasar yang terbukti memiliki tingkat balikan
ekonomi (return) yang lebih tinggi sehubungan dengan rendahnya biaya
untuk jenjang pendidikan dasar. Munculnya kriteria ini disebabkan karena
hambatan bagi pertumbuhan tidak hanya berupa kekurangan tenaga kerja.
tetapi juga dirnensi-dimensi sosial kemampuan SDM, seperti wawasan
berpikir rasional, kemampuan belalar cepat, keinginan untuk berubah,
”melek” huruf, dan kemampuan belajar lain yang dapat dikembangkan
melalui pendidikan dasar.
3) Kriteria pengembangan sektor pedesaan yang memperlihatkan peranan
pendidikan massal (khususnya pendidikan dasar dan di luar sistem
persekolahan) di desa untuk meningkatkan produktivitas sektor-sektor
pedesaan. Kriteria ini peniing karena pendidikan yang terpakai bukan
sematarnata ada di dalarn sistem persekolahan, tetapi suclah merupakan
kegiatan penduduk yang secara otomatis timbul dan menyatu dengan sendi-
sendi kehidupan masyarakat sehari-hari.
4) Kriteria keadilan dan pemerataan yang menunjukkan pentingnya distribusi
kesempatan pendidikan dan bentukbentuk pengembangan SDM lainnya,
10
baik secara geografis, sosial' maupun ekonomis. sebagai suatu
bentuklnvestasi produktif, pendidikan harus dimiliki secara merata oleh
setiap lapisan masyarakat sehingga kesempatan berusaha atau kegiatan
produktif juga akan dimiliki secara merata di dalam masyarakat.
B. Teori Human Capital : Perkembangan Sejak zaman Neoklasik
1. Adam Smith (1776)
Pada abad ke-18, Smith telah mulai menganggap bahwa keterampilan tenaga
kerja merupakan kekuatan yang dominan bagi kemajuan industri. Di dalam
definisinya mengenai Fir-ed Cipital, Smith memasukkan unsur SDM (human capital)
di dalamnya. Menurut Smith, human capital terdiri atas kemampuan dan kecakapan
yang diperoleh semua anggota masyarakat. Perolehan kemampuan yang dapat
dilakukan melalui pendidikan, belajar sendiri, atau belajar sambil bekerja
memerlukan biaya yang harus dikeluarkan oleh yang bersangkutan. Biaya atau
pengorbanan tersebut dikeluarkan untuk mempermudah mencari pekerjaan, promosi
pekerjaan, serta memperoleh pendapatan yang layak.
Meskipun Adam Smith belum berangkat lebih jauh sampai dengan estimasi
nilai SDM pada masyarakat, ia teramat percaya bahwa perolehan keterampilan dan
kemarrrpuun ukur, menghasilkan tingkat balik (rate of return) yang tinggi terhadap
penghasilan seseorang. Pernyataan ini mengungkapkan lahirnya kontribusi manusia
bukan pada keterampilan dan kemampuannya, tetapi hanya ada pada individu
mereka.sendiri.
2. Van Tlrunm (1.STS)
Berdasarkan tulisannya pada tahun 1875, Heinrich Von Thunen merasa yakin
dan dapat rnenerima konsep human capital sepenuhnya. Ia mengatakan, tidak
diragukan lagi bahwa tingkat pelayanan (services) dari manusia merupakan bagian
terpenting dari aset nasional. Karena memperoleh pendidikan lebih tinggi, sebagai
proksi dari meningkatnya kemampuan dan keterampilan, ditambah lagi dengan
11
bentuk-bentuk mojar fisik yang lebih baik, seseorang akan memperoleh penghasilan
lebih baik. Dengan demikian, konsep human capital dapat merendahkan derajat
manusia itu sendiri.
3. Penikir-Pemikir LainnYa
Marshall menerima pendapat Adam Smith bahwa manusia terdidik mungkin
dapat disetarakan dengan harga mesin yang sangat mahal. Walaupun Alfred Marshall
(1961) secara eksplisit mengeluarkan unsur human capital dari definisinya mengenai
kesejahteraan (wealth), ia masih mengakui bahwa SDM merupakan suatu bentuk
capital. Marshall juga menekankan bahwa motivasi untuk memperoleh manfaat
merupakan pendorong bagi seseorang untuk menginvestasikan dirinya, sama halnya
dengan investasi fisik pada bidang-bidang lain.
C. Teori Humem Capitat Modern
Sejak human capital disusun secara sistematis dalam suatu kerangka ilmu
pengetahuan (body of knowledge) pada awal tahun 1960-an, perkembangannya
sangat menakjubkan sehingga berbagai kritik dan aliran pemikiran lain juga muncul
sebagai faktor pendorong untuk mempertahankan dan memperkaya khazanah ilmu
ekonomi SDM ini.
1. Kelahiran Teori Human Capital Modern
Pada saat berdirinya Bank Dunia (tahun 1944), belum berkembang pemikiran
yang menganggap bahwa SDM adalah barasal integral dari konsepsi capital dalam
rangka mendukung produktivitas (lihat sejarah pemikiran di atas). Keadaan ini terus
berlangsung sampai dengan tahun 1950-an ketika kebijaksanaan Bank Dunia mulai
memandang perlunya membiayai proyekproyek investasi yang dapat memberikan
langsung terhadap produktivitas, proyek-proyek investasi
2. perspektif dalam investasi SDM
3. Ruang lingkup Investasi SDM
12
a) Pendidikan Persekolah
b) pelatiahn Kerja
c) peningkatkan Gizi dan kesehatan
d) mobilitas Tenaga Kerja
4. Kritik terhadap Teori Human Capital
a) efek tidak langsung
Dimana dalam rangka pengukur manfaat sosial (social benefits) pendidikan,
earning seseorang sama sekali tidak mampu menggambarkan manfaat yang pada
kenyataannya mempengaruhi masyarakat secara keseluruhan, tetapi tidak dapat
diukur pada tingkat individual.
b) efek Kredensialisme
c) Asumsi ” Screening Device”
Disini menakankan bahwa pendidikan tidak langsung meningkatkan
produktivitas dan keterampilan lulusan sebagai calon pengawai. Dengan demikian,
pendidikan lebih memungkinkan untuk digunakan sebagi investasi individu, tetapi
masyarakat tidak banyak memproleh manfaat darinya. Artinya, pendidikan hanya
sebagai justifikasi yang dapat digunakan oleh majikan untuk menyeleleksi dan
menentukan gaji pegawai.
d) Regularitas ”Teori Human Capital”
5. Pengembangan SDM di Era Globalisasi
a) Jenis Pekerjaan dan kualifikasi Jabatan
13
Pertumbuhan kebutuhan akan tenaga-tenaga teknisi ini sudah barang tentu
akan menunjukkan berkembangnya kebutuhan akan pekerja yang lebih tinggi
pendidikannya. Hal ini terjadi terutama pada misyaiakat yang mulai beranjak ke era
industri yang sangat membutuhkan lebih banyak tenaga-tenaga teknisi yang terdidik.
Di dalam masyarakat industri, terdapat kecenderungan bahwa batas antara
pekerja teknisi dan tenaga profesional menjadi semakin kabur karena tenaga
profesional dibentuk dari para teknisi yang berpengalaman. Dengan demikian,
pengembangan SDM di tempat kerja-seperti pelatihan dalam jabatan akan
memainkan peranan yang sangat Penting dalam menyiapkan para teknisi yang
trampil agar menjadi tenaga profesional sebagai penggerak industri.
a) Berkembang pesatnya kebutuhan tenaga insinyur, teknolog, spesialis
dalam teknologi informasi, mekanik, dan tenaga-tenaga lainnya seperii
bengkel dan juru pasang.
b) Tumbuhnya kebutuhan tenaga manajerial tingkat tinggi, teknisi dagang,
dan pekerja jasa penunjang.
c) Menurunnya kebutuhan pekerja kasar, pengrajin, tenaga pelaksana yang
tidak terampil, serta buruh.
d) Berkurangnya kebutuhan tenaga tata usaha, tata laksala, dan tenaga
administratif lainnya.
e) Bertambahnya kebutuhan tenaga kerja industri jasa, khususnya akuntan,
administrari kurang, distributor, transportasi, dan periklanan.
f) Tumbuh dan berkembangnya Peranan para teknisi sejalan dengan
rnenurunnya Peranan pengrajin dan buruh kasar; sementara ih.r para
pekeria teknisi menggantikan peranan para pengrajin dalam klasifikasi
angkatan kerja industrial.
Secara umum, pergeseran ketenagakerjaan tersebut ditandai dengan
berkurangnya jenis-ienis pekerjaan kerah biru pada sektor-sektor, pertanian dan
14
bertambahnya jenis pekerjaan pada sektor industri pengolahan dalam komposisi
angkatan kerja. Pada saat yang sama peranan jenis-jenis pekerjaan atau jabatan kerah
putih akan terus berkembang dalam sektor-sektor industri dan jasa berteknologi
tinggi.
6. Jenis Pengetahttan d&n Keteratnpilan
Perubahan struktur pekerjaan dan jabatan tersebut akan mengakibatkan
terjadinya pergeseran kebutuhan akan jenis-jenis pengetahuan dan keterampilan
pekerja. Dalam era industri, jenis-jenis pekerjaan tradisional atau subsistensi yang
mengandalkan keterumpilan motoris akan terus berganti dengan jenis-jenis pekerjaan
yang berlandaskan pada otomatisasi dan pengolahan informasi. Jenis-jenis pekerjaan
dalam era teknologi yang diperkirakan akan berkembang ialah sebagai berikut.
a) Pekerja Pemikir (Mind Worker)
b) Kemampuan Belajar Mandiri (self-Training Skill)
c) Kompleksitas keahlian (Multisklling)
d) kemampuan mengolah informasi (information Handling Capacity)
7. Aspek Budaya Dalam SDM
Untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas sektor-sektor
ekonomi di kemudian hari, perlu diciptakan iklim produktivitas berkelanjutan yang
didukurng oleh "manusia produktif. Namun, banyak kalangan yang menjangga perlu
revitalisasi konsep manusia produktif. Cara berpikir yang berbeda dengan pola
pemikiran makro ekonomi, mungkin sangat diperlukan dalam membangun konsep
manusia produktif yang lebih realistis. Salah satunya adalah menggunakan
pendekatan berpikir manusia dalam proses pembudidayaan, yaitu pemahaman
terhadap struktur dan sistem nilai yang dimiliki oleh manusia sebagai pelaku
ekonomi dalam kaitannva Cengan produktivitas.
15
1) Tentang sistem Nilai Budaya
Sistem nilai budaya ini mengatur berbagai tata kelakuan manusia yang lain
yang tingkatannya lebih konkret, yaitu yang berwujud aturan-aturan khusus, hukum,
norma, dan adat kebiasaan dalam berbagai bidang kehidupan. sistem nilai budaya ini
merupakan bidang garapan ilmu perilaku (behavioral sciences) yang memusatkan
perhatiannya pada pengkajian kebudayaan dan masyarakat pada tingkatan primer,
serta terhadap manusia dan individu di dalam masyarakat pada tingkatan sekunder.
Oleh karena itu, sistem nilai budaya memiliki pengaruh yang sangat kuat dan
mengakar pada suatu sikap mental manusia secara perorangan dalam melakukan
kegiatannya sehari-hari.
2) Orientasi Nilai dan produktvitas SDM
David MacClelland memusatkan perhatiannya pada tiga orientasi nilai yang
perlu dibenahi dalam diri manusia dan masyarakat Indonesia agar lebih produktif di
kemudian hari, yaitu :
Berorientasi ke depin (futuie orientation);
Hasrat untuk mengeksplorasi lingkungan (efficary); dan
Orientasi terhadap hasil kerja (achievement orientation)
Terdapat keyakinan bahwa ketiga orientasi nilai tersebut memiliki kaitan
yang sangat erat dengan produktivitas manusia dan masyarakat Indonesia dalam era
industri dan persaingan global. Asumsinya, revolusi peningkatan produktivitas
nasional akan dapat dicapai dalam skala besar jika dilakukan perubahan dalam
orientasi nilai budaya manusia dan masyarakat.
Berdasarkan MacClelland dan para ahli budaya Indonesia seperti
Kuntjaraningrat, dalam buku ini akan dibahas tiga orientasi nilai yang perlu pendapat
perhatian, yaitu berorientasi ke depan institusi terhadap perubahan dan kemampuan
belajar secara terus-menerus.
16
a) Berorientasi ke Depan
b) Orientasi terhadap perubahan
c) Kemampuan Belajar terus-menerus
17
BAB III
MODEL-MODEL ANALISIS INVESTASI SDM
A. Overview Model Kebijakan pendidikan
Yang dimaksud dengan rnodel kebijakan adalah kerangka analisis yang
disusun berdasarkan suatu teori atau perspektif tertentu yang digunakan sebagai alat
untuk melakukan analisis kebijaksanaan pendidikan. Dilihat dari perspektif
kebijaksanan, pendidikan dapat diamati dari dua sudut pandang, yaitu s;sienr
pendidikan di satu pihak dan ntodel kebijakan pendidikan di lain pihak.
Sistem pendidikan adalah suatu institusi besar yang bergerak pada alam
kenyataan (the existing reality) didukung oleh beberapa institusi pendidikan atau
komponen sistem yang berfungsi berdasarkan mekanismenya sendiri-sendiri, tetapi
terintegrasi di dalam suatu kesatuan sistem untuk mewujudkan tujuan sistem
pendidikan nasional, Berfungsinya mekanisme sistern tersebut diatur oleh aturan
perundang-undangan serta dikendalikan oleh suatu sistem manajemen pendidikan
nasional.
Sebagai suatu realitas yang terjadi dalam alam kenyataan, sistem pendidikan
yang terjadi di lapangan sulit untuk diketahui secara keseluruhan dengan pasti sesuai
dengan aturan-aturan yang ada atau tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya yang
dapat diketahui di lapangan, misarnya mealui mekanisme pengawasan ialah
bagaimana aturan-aturan tersebut terlaksana di dalam mekanisme pengelolaan
seluruh bagian institusi pendidikan.
Model kebijakan pendidikan adalah suatu instirusi pendidikan yang
berkembang dalam alam pikiran manusia berdasarkan informasi yang dapat diketahui
secara terbatas oleh para analis kebijakan. Model sering juga didefinisikan sebagai
suatu realitas yang telah disederhanakan (the simprified reality) sejauh atau sedalam
yang diketahui oleh para pemikir kebijaksanaan. Pengetahuan manusia tentang
18
sistem pendidikan yang benar-benar terjadi di lapangan tidak pernah dimiliki secara
utuh, tetapi terbatas pada modelnya saja.
Namun, sebaik-baiknya model adalah model yang dibentuk dan
dikembangkan atas dasar data dan informasi di lapangan yang dikumpulkan serta
teknik-teknik analisisnya berdasarkan kerangka sistem besarnya sehingga dapat
mewakili realitas sistem secara keseluruhan.
Model kebijaksanaan pendidikan dikembangkan atas dasar suatu pemikiran
bahwa sistem pendidikan selalu terjadi sebagai akibat dari berfungsinya empat
komponen utama dari sistem pendidikan yang berkaitan satu sama lain. Keempat
komponen tersebut adalah (1) arus murid, (2) manajemen pendidikan, (3) kurikulum
dan pengajaran. dan (4) keluasan dan dampak pendidikan.
Dalam kerangka pengembangan model kebijaksanaan pendidikan, sesuai
dengan gambar tersebut, terdapat dua dimensi besar dalam sistem pendidikan, yaitu
dimensi konstan dan dimensi variabel. yang dimaksud dengan dimensi yang konstan
adalah suatu dimensi pendidikan yang tidak dapat secara langsung diintervensi oleh
pengambil keputusan atau pengelola prilaku., seperti keluaran atau dampak
pendidikan. Dimensi variabel ialah beberapa faktor pendidikan yang dapat
dikendalikan atau diubah- ubah oleh para pengambil keputusanatan pengelola
pendidikan, sesuai dengan tujuan dari kebijaksanaan pendidikan. Komponen (1), (2),
dan (3) adalah dimensi yang bergerak karena komponen-komponen tersebut dapat
dimanipulasi agar dapat mencapai tujuan untuk mengubah komponen (4) sebagai
konstanta.
B. Instrimen Kebijakan Pendidikan
Instrumen kebijakan adalah beberapa dimensi variabel yang dapat
dikendalikan oleh pemegang keputusan dan pengelola dalam rangka menggulirkan
berbagai kebijaksanaan dan prongram pendidikan. Di dalam sektor-sektor ekonomi,
suku bunga atau pajak merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dapat
dikendalikan dalam rangka menggulirkan suatu kebijaksanaan ekonomi sesuai
dengan tujuannya. Misalnya, peningkatan suku bunga deposito berjangka adalah
19
instrumen kebijaksanaan yang diterapkan jika pemerintah ingin mengumpulkan lebih
banyak dana dari tabungan masyarakat dan dalam waktu yang sama mengerem
investasi sehingga peredaran uang menjadi semakin kecil dan menurunkan suhu
perekonomian.
1) Arus Murid
1. Angka partisipasi Pendidikan (Enrolment ratio)
2. Angka kelulusan (Graduation Rate)
3. Angka melanjutkan (Transition Rate)
4. Angka mengulang Kelas (Repetition Rate)
5. Angka Putus Sekolah (Drop-out Rate)
2) Manajerial Pendidikan
1. Gru dan tenaga Pengajar
2. Sarana dan Prasarana
3. Biaya atau Anggaran
4. tenaga Teknis dan Administrasi Pendidikan
3) Kurikulum dan pengajaran
1. Kurikulum dan Program Pendidikan
2. Metode dan Proses Mengajar
20
C. Jenis-jenis Hasil Pendidikan
Hasil pendidikan adalah suatu dimensi pendidikan yang tidak mungkin atau
tidak boleh dikendalikan secara langsung oleh para pengambil keputusan atau
pengelola pendidikan. Hasil pendidikan adalah akibat dari adanya Proses pendidikan,
baik proses manajemarial maupun proses pengajaran, sebagai sistem yang dapat
dimanipulasi oleh Para Pengelola sistem pendidikan dengan jalan mengendalikan
beberapa intrumen kebijakan yang telah dibahas terdahulu. Hasil pendidikan, secara
garis besar, dibagi menjadi dua jenis yang berlainan, yaitu keluaran pendidikan
(educational output) dan dampak pendidikan (educational outcome).
Keluaran pendidikana dalah hasil yang secara langsung dapat dicapai setelah
berlangsungnya suatu sistem pendidikan pada suatu jenis atau jenjang pendidikan
tertentu. Keluaran pendidikan selalu dikaitkan secara internal di dalam sistem
pendidikan itu sendiri yang dapat diketahui melalui pengukuran, baik pengukurun
langsung maupun tidak langsung. Keluaran pendidikan sebagai hasil dari
pengukuran langsung antara lain adalah jumlah lulusan, jumlah lulusan yang
melanjutkan sekolah, dan sejenisnya, sedangkan hasil dari pengukuran tidak
langsung adalah nilai ujian akhir. Kedua jenis keluaran pendidikan tersebut sangat
penting diukur untuk mengetahui apakah sistem pedidikan secara internal berjalan
efisien atau tidak.
Dampak pendidikan adalah hasil pendidikan yang tidak secara langsung dapat
diketahui setelah proses pendidikan selesai.
Untuk mengetahui dampak pendidikan perlu ditunggu beberapa periode
waktu tertentu setelah lulusan pendidikan terjun ke dalam masyarakat, dunia kerja,
atau setelah menempuh pendidikan lebih lanjut. Dampak pendidikan selalu dikaitkan
secara eksternal dengan sistem-sistem lain, seperti sistem ekonomi, ketenaga kerjaan,
sosial-budaya, dan dampak politis. Contoh dampak pendidikan secara ekonomi ialah
peningkatan produktivitas dunia usaha sebagai akibat tenaga kerja terdidik yang
semakin terampil dan ahli sehingga pada gilirannva akan rnempengaruhi peningkatan
pertumbuhan ekonomi nasional. Contoh dampak pendidikan secara sosial-budaya
21
ialah kreativitas, kesehatan, disiplin, serta toleransi anggota masyarakat yang
semakin meningkat. sedangkan dampak politis dari pendidikan ialah partisipasi
politik masyarakat yang semakin sehat dan meluas, seperti halnya meningkatnya
kesadaran untuk membayar pajak atau meningkatnya kesadaran untuk ikut
berpartisipasi dalam berpolitik secara lebih bertanggung jawab.
Berdasarkan pembahasan mengenai instrurnen kebijakan pendidikan serta
hasil pendidikan tersebut, secara garis besar akan terdapat dua model kebijaksanaan
pendidikan, yaitu (1) model efisiensi internal (internal efficiency approach) yang
lebih menekankan pada pengamatan terhadap efisiensi dalam pengelolaan sistem
pendidikan dilihat secara langsung dari keluaran pendidikan dan (2) model efisiensi
eksternal (external efficiency approach), yaitu suatu pengamatan terhadap efisiensi
pendidikan secara eksternal atau yang sering juga disebut sebagai peleyanan
pendidikan, yang dilihat dari dampak pendidikan terhadap berbagai bidang
kehidupan.
Model analisis efisiensi internal bertujuan untuk melakukan kajian apakah
sistem pendidikan sudah berjalan efisien dilihat dari pendayagunaan dan pengelolaan
berbagai sumber dayanya sehingga sistem pendidikan dapat meningkatkan produk
tivitasnya. Analisis efisiensi internal pemahamannya sangat bergantung pada
berjalannya pendidikan pada teknis tanpa mengaitkan sistem pendidikan dengan
sistem lain dalam berbagai bidang kehidupan. Analisis efisiensi internal pendidikan
di antaranya adalah analisis arus murid pendekatan Kohort (student flow model) dan
analisis efektivitas biaya (cost effectiveness rnodel).
Model analisis efisiensi eksternal bertujuan untuk melakukan evaluasi
terhadap sistem pendidikan yang memiliki manfaat terhadqp berbagai bidang
kehidupan, seperti perturnbuhan ekonomi, penyerapan angkatan kerja, peringatan
disiplin masyarakat, peningkatan partisipasi politik, dan toleransi beragama.
sesungguhnyu pendekatan analisis efisiensi eksternal ini dapat dilihat dari berbagai
sudut pandang (iporeksosbud), tetapi dalam buku ini model analisis lebih dititik
beratkan pada sudut pandang ekonomi. Dilihat dari sudut pandang ekonomi,
pendekatan analisis efisiensi eksternal ini terdiri atas berbagai model analisis yang
22
satu sama lain memiliki landasan teori asumsi, harnbatan, serta teknik-teknik analisis
yang berlainan.
D. Konsep Efisiensi Pendidikan
Penggalaman model efisiensi pendidikan dapat mengoperasionalkan konsep
mutu pendidikan yang sementara ini lebih dinilai sebagai konsep yang abstrak. Sejak
tahun 1930-an, para teoretikus Neoklasik telah banyak mencurahkan perhatiannya
pada pengukuran dan pengujian secara empiris terhadap konsep efisiensi.
Mereka menekankan penggunaan model empiris kuantitatif yang didasarkan
pada analisis variabel-variabel yang diukur secara kuantitatif. Di bidang sosiologi
pendidikan. Para teoretikus Neoklasik menyatakan dirinya sebagai penganut paham
empiris metodologis (Karabel dan Halsey, 1979). Mereka mencurahkan perhatia
pada penguji dan analisis hasil-hasil (out comes) pendidikan dihubungkan dengan
sejumlah variabel bebas, yang semuanya diukur secara kuantitatif. Baik para
teoretikus Neoklasik maupun para penganut paham cmpiris metodologis memandang
pendidikan dari kacamata teknologis, yang menempatkan model efisiensi sebagai
perhatian terutama di dalam analisis.
Pada mulanya, efisiensi didefenisikan sebagai suatu keadaan yang
menunjukan bahwa tingkat keluaran secara optimal dapat dihasilkan dengan
menggunakan komposisi masukan (rnastrkan) yang minirnal, jika diungkapkan
dengan cara lain yakni rnemelihara suatu tingkat keluaran tertentu dengan tingkat
masukan yang tidak berubah atau yang lebih rendah (Windham, 1986; Levin, 1985).
Efisiensi ditunjukkan dengan pencapaian hasil yang setinggi-tingginya
(effective) dengan menggunakan tingkat masukan yang serendah-rendahnya. Dengan
demikian, konsep efektivitas, yakni pencapaian sasaran yang dihubungkan dengan
pendayagunaan terbaik sumber-sumber daya, adalah dasar dari konsepsi efisiensi
yang lebih luas lagi ialah yang berkenaan dengan upaya membandingkan biaya dari
sumber-sumber tersebut. Efektivitas berkenaan dengan penilaian tingkat pencapaian
tujuan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Penilaian efisiensi menambahkan
23
pertimbangan biaya dan pengorbanan untuk pencapaian tujuan-tujuan ini. Oleh
karena itu, efisiensi tidak dapat dibahas sebagai suatu konsep tersendiri yang
dilepaskan dari persoalan efektivitas. Tujuan yang lebih luas dari sistem pendidikan,
seperti akses dan keadilan, harus dipertimbangkan di dalam menilai efektivitas, sama
pentingnya dengan jenis keluaran pendidikan seperti prestasi belajar siswa.
Dua jenis efisiensi, yakni efisiensi teknis dan efisiensi ekonomis, sangat
sering dibahas. Efisiensi teknis menunjuk pada pencapaian tingkat atau kuantitas
tertentu atau keluaran fisik sebagai produk dari kombinasi semua jenis dan tingkat
masukan yang berbeda. Efisiensi ekonomis menunjuk pada penempatan ukuran-
ukuran kegunaan dan atau harga pada masukan yang digunakan dan keluaran yang
dicapai.
E. Pendekatan Efisiensi Internal dan Eksternal
Efisiensi adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan
hubungan antara masukan dan keluaran. Keputusan investasi pada suatu Program
atau proyek pendidikan, misalnya, perlu mempertimbangkan efisiensi ekstemal dan
efisiensi internal, yang meqaai p"rro"iu' adalah keluaran pendidikan terlalu kompleks
untuk memungkinkan kita mengambil satu indeks efisiensi,baik
efisiensi ekste5nal mauPun efisiensi internal' ;Efisiensi intemal berkaitan dengan
hubungan antar Ijaiam hal ini, keluaran pendidikan diukur sehubung:rn dengan
tujuan-tujuan kelembagaan secara internal daripada dengan tujuan-tujuan masyarakat
yang lebih luas. Memang kedua konsep tersebut sangat berkaitan saru sama lain,
tetapi dimtrngkinkan -\ -; untuk mencontohkan bahrva suatu sekolah benar-benai
sangat \', \ efisien dalam mengembangkan pengetahuan dan sikap, bagi para
lulusannya tetapi belum te.tu seluruhnya ber.ilai bagi masyarakat. Dalam keadaan
demikian, kriteria efisiensi internal dan efisiensi eksternal mungkin bertentangan satu
sarr,a lain dan sekolah akan dinilai memiliki efisiensi internal, tetapi ticak memiliki
efisiensi ekstemal. Efisiensi rang ideal adalah tatkala efisiensi eksternal kongruen
ciengan efisiensi internal.
24
-;" Sebalik")'u, pendid ikan .1 3 l.:.rrr masr.araka t biasanr.a digunakan untuk
mengukur efisiensi.eksternal, dengan mengukur keseimbangan antara biaya sosial
(social costs) dan manfaat sosial (social benefits), atau seberapa jauh pendidikan
dapat rreme-nuhi kebutuhan tenaga kerja. secara khusus, efisiensi ekst:rnal dari suatu
lembaga pendidikan dapat dinilai melalui seberapa baik lembaga pendidikan tersebut
mempersiapkan lulusan'ryi untuk melakukan peran-peran di masyarakat, seperti
ditunjukkan oleh prospek pekerjaan dan penghidupan dari para lulusannfa. ukuran-
ukuran tersebui bergantung pada kriteria eksternal daripada hasil-hasil yang
seluruhnya diperoleh di sekolah.
'. Karena efisiensi internal diukur dalam hubungannl/a dengan tujuan-tujuan
pendidikan, penilaian efisiensi akan be:rgantung pada bagaimana keluaran
pendidikan didefinisikan de,n diukur. Dengan kata lain, kualitas dan kuantitas
masukan dan keluaran harus dipertimbangkan. Namun, kualitas keluaran pendidikan
sangat sulit diukur. Lantas, bagaimana cara untuk mengukur kuali tas dan kuantitas
keluaran pendidikan.
1) Efisinsi Internal
Secara operasional, efisiensi internal dapat diukur dengan menggunakan
indicator-indikator efisiensi, baik secara kuantitatif maupun kualitatif
a. Inkatr Kualitatif
1. Tingkat Mengulang kelas
2. tingkat kelulusan
3. Tingkat Putus Sekolah
4. Lama Penyelesaian Studi
5. Angka siswa bertambah (retention rate)
25
b. Indikator-Indikator Kualitatif
2) Pendekatan Efisiensi Eksternal
a. Model Analisis pendidikan dan produktivitas
1. model fungsi produksi
2. Aplikasi model fungsi produksi
3. masalah keterbatasan model fungsi produksi
b. model investasi SDM melalui pendidikan
1. Mengukur manfaat Pendidikan
2. mengukur biaya pendidikan
3. menentukan nilai IRR
F. Model Analisis Ketenaga kerjaan
Mod.el Persediaan Angkatan Kerja TPAK yang menggunakan metode estimasi linear
dalam memperkirakan angkatan kerja berdasarkan kecenderungan masa lalu. Model
ini sangat berguna dalam memperkirakan jumlah angkatan kerja, secara keseluruhan
dalam beberapa titik waktu yang akan datang.
Model Persediaan Tenaga Kerja Keluaran pendidikan pendekatan Kohort
yang menggunakan pendekatan arus murid mulai dari pendudukkelompokusia
sekolah, ke setiap tingl.:at dan jenjang pendidikan, putus sekolah dan mengulang
kelas, sampai dengan keluaran setiap jenis dan jenjang pendidikan. Model ini sangat
bermanfaat dalam me'mperkirakan'strukhrr tena ga kerja keluaran pendidikan yang d
apat
26
digatrungkan dengan hasil model TPAK.
Model Kesempatan Kerja Sederhana RasioTetap sebagai salah satu cara
memperkirakan kebutuhan tenaga kerja berdasarkan perbandingan antara investasi
dengan tenaga kerja secara total (investment labor ratio). lvlod,:l Elastisitas
Kesempatan Kerja yang melakukan perkiraan kebutuhan tenaga kerja atas ciasar
elastisitas kesenrpatan kerja sektoral. Model ini dapat dipurakan jika tersedia data
time smes sehingga dapat memperhitungkan tingkat pendayagunaan teknologi dalam
dunia kerja berdasarkan rasio antara persentase pertambahan jumlah tenaga kerja
yang dibutuhkan dan persentase keluaran masing-masing sektor.
Model Kesempatan Kerja dengan menggurakan pendekatan fungsi produlcsi
yang memperkirakan kebutuhan tenaga kerja dengan nencari hubungan antarberbagai
variabel yang m€nuniang proses produksi. Dari perkiraan besarnya kontribusi
variabel tenaga kerja terhadap keluaran, jumlah
27
BAB IV
GAMBARAN SINGKAT SITEM PENDIDIKAN DI INDONEISA
A. Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 2/1989)
28
Pendidikan mengusahakan pembentukan manusia Pancasila sebagai manusia
pembangunan yang tinggi mutunya dan mamPu mandiri, ser ta memberi dorongan
bagi perkemb angan masyarakat, bangsa, dan negara lndonesia yang tenvujud dalam
ketahanan nasional yang tangguh dan mengandung makna terwuiudnya kemampuan
bangsa untuk dapat bersaing dalam era persaingan global. Pendidikan nasional
adalah usaha sadar yang memungkinkan bangsa Indonesia mempertahankan
kelangsungan hidupnya dan meqgembangkan dirinya secara terus-menerus dari satu
generasi ke generasi berikutnya. sistem pendidikan nasional sekaligus merupakan
alat dan tujuan yang amat penting dalam perjuangan mencapai cita-cita kemerdekaan
serta tujuan negara dan bangsa lndonesia.
Sistem pendidikan nasional harus dapat memberikan pendidikan Lagi setiap
warga negara Republik Indonesia agar masing-masing memperoleh sekurang-
kurangnya pengetahuan dan kemampuan dasar, yang meliputi kemampuan membaca,
menulis, dan berhitung, serta menggunakan bahasa lndonesia, yang diperlukan oleh
setiap warga negara untuk dapat berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bemegara.
Setiap warga negara lndonesia berhak memperoleh pendidikan, baik melalui
jalur pendidikan sekolah maupun melalui pendidikan luar sekolah sampai ke tingkat
yung ses.rai dengan kemampuannya. Sistem pendidikan nasional memberikan
kesempatan belajar seluas-luasnya kepada setiap warga negara sehingga tidak
dibenarkan adanya perbedaan atas dasar jinis kelamin, aga:na, ras, suku, latar
belakang sosial, dan tingkat kemarnpuan ekonomi dalam'p enerimaan murid baru.
Dalam UU ditetapkan segala bentuk satuan, jalur, jenis, dan jenjang
pendidikan beserta peraturan pelaksanaatulya, termasuk tujuan dan kriteria hasil
yang diharapkan dari semua jenis dan jenjang pendidikan.
a. Satuan Pandiilikan
Satuan pendidikan menyelenggarakan kegiatan belajarmengajar yang
dilaksanakan di sekolah atau di Iuar sekoiah. Satuan pendidikan sekolah merupakan
29
bagian dari pendidikan yang berjenjang dan berkesinambungan, sedangkan satuan
pendidikan luar sekolah meliputi keluarga, kelompok belajar, l*:T, dan satuan
pendidikan yang sejenis. Satuan pendidikan jarak jauh merupakan pendidikan yang
dalam menyelenggarakan kegiatan belajar-mengajar tidak harus menempati biigunan
tertentu. Ragarr sahran pendidikan tersebut mu*ur,gkir,kut setiap warga negara
melaksanakan pendidik* ou*rr i,idrrp.
b. alur Pmdidikan
Undang-Undang No.2 / 1 9g9 menetapkan bahwa pendidikan nasional
dilaksanakan melalui dua jalul yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan
luar sekolah
c. Jenis Pendidikan
Jenis pendidikan terdiri dari : pendidikan kejuruan, pendidikan umum,
pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan
akademik, dan pendidikan profesional.
d. Jenjang pendidikan
Adapun tingkatan-tingkatan pendidikannya yaitu :
Pendidikan dasar
Pendidikan menengah
Pendidikan Tinggi
e. Pendidikan luar biasa
f. Pendidikan Prasekolah
30
g. Pendidikan luar sekolah
31
32
BAB V
PEMBIAYAAN PENDIDIKAN DAN EFISIENSI INTERNAL
A. Simber Data keuangan Pendidikan
Informasi mengenai keu an gan pendidikan diperoleh dari data dan informasi
yang bersumber dari (1) kuesioner sekolah yang dikumpulkan setiap tahun oreh pusat
Informatika untuk Pengelola an Pendidikan dan Kebucrayaan,Balitbang Dikbud, (2)
data hasil survei oleh Bps yang disetut survei sosial Ekonomi Nasional (susenas,
1995). Data-data tersebut telah diolah dan dianalisis oleh Biro ApKo'Bappenas yang
dibantu oleh suatu lembaga konsultan ADB, yaitu Hickling (David clarck rg97).Di
samping itu, studi keuangan pendidikan juga sudah dilakukan oleh Pusat Informatika
Balitbang Dikbud y""g aruu"tu oleh salah seorang konsultan, Matherv Robertson
(j,gg6). Kedua studi tersebut dibahas dan dibandingkan sehingga menggambarkan
keadaan keuangan, khususnya pendidikan persliolahan di Indonesia pada tahun
1995/96.
B. Pendidikan sebagai Investasi pernerintah,
Masyarakat, dan Keluarga Begitu pentingnya investasi SDM melalui pendidikan
sehingga berbagai pihak, seperti pemerintah, masyarakat secara -t*-r^. keluarga, dan
individu hnggotu *"ryir"kat merasa berkepen tingan untuk merakukan investasi penai
aiut . Investasi secara umum dimaks'dkan untuk meningkatkan nilai tambah di
33
kemudian hari dari barang atau jasa yur,g dit^r,"*kan melalui berbagaibentuk upaya
dan pengorbanan yar,g ailaksanakan pada masa sekarang. Pemerintah berupaya
meningkatkan mutu pendidikan agar di kemudian hari akan diperoleh SDM yang
semakin menguasai keahlian dan ketera*pil"rr, dapat beierji secara profesional s_erta
dapat menghasilkan karya_Larya yang bermutu sehingga SDM tersebut d-apat
me*berik"r, i"rlu. dalam pembangunan bangsa
a. Investasi Oleh Pemerintah
Mencakup pembangunan dan pemeliharaan gedung-gedung sekolah dan
ruang kelas, penyediaan peralatan sekolah, pembiayan gaji guru, anggaran
peningkatan kualitas guru dan lainnya.
b. Investasi Oleh Swasta
c. Investasi oleh Rumah Tangga
34
BAB VII
ISU-ISU DAN AGENDA KEBIJAKSANAAN PENDIDIKAN LEBIH LANJUT
A. Perspektif depan pembangunan pendidikan nasional
Memasuki era pembangunhn masyarakat modern, pendidikan harus mampu
mengembangkan kualitas SDM paling sedikit dalam dua dimensi terpadu, yaitu
"menjadi manusia Indonesia dan memiliki kemarnpuan yang sesuai dengan tuntutan
masyarakat rnodern". Pendidikan harus manpu mengembangkan SDM Indonesia
yangbermutu, yaituyang mampu menunjang ketahanan bangsa dalam era global.
SDM yang bermutu paling tidak memiliki tiga kompetensi mendasar, yaitu (1)
kemam'puan
menguasai keahlian dalam cabang iptek; (2) kemampuan bekerja secara profesiona|
dan (3) kemampuan menghasilkan karya yang bermu tu. Ketiga kompetensi tersebut
harus terus dikembargkan dengan tetap berlandaskan ciri budaya dan kepribadian
pancasila dan UUD 1945
Pendidikan Moral bangsa dalam era Industri
Pendidikan dan pengentasan kemiskinan
Pendidikan menuju standar mutu internasional
35
Pendidikan dan peningkatan penguasaan iptek
Pendidikan kejuruan profesional dalam rangka Peragaman jenis jabatan
pekerjaan
Pendidikan dan tenaga kerja tingkat tinggi
Menuju profesional jabatan guru
B. Sistem pendidikan sebagai sistem tersendiri
Terdiri atas :
Efisiensi Internal Pendidikan
Pembiyaan Pendidikan
C. Pendidikan dan keterkaitan secara sektiral
Efisiensi Ekternal Investasi pendidikan
Pendidikan dan produktivitas tenaga kerja
Partisipasi tenaga kerja Wanita
D. Beberapa agenda kebijakasanaan pendidikan masa depan.
Dalam rangka meningkatkan efisiensi intemal dan eksternal pendidikan di
Indonesia berbagai langkah kebijakan pendidikan perlu dikemukakan implikasi atas
berbagai permasalahan pendidikan yang berkaitan dengan investasi SDlr{ seperti
36
adanya pengangguran terdidik darn tantangan'untuk meningkatkan mutu pendidikan,
dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertann,laju pertum:uhan kesernpatan kerja unluk tenaga kerja berpendidikan
SLTI' ke atas diperkirakan akan cukup besar sehingga keberhasilan pra gram lvajib
belaj ar sampai dengan sLTP (Dikdas 9 tahun) merrpakan Pemacu bagi peningkatan
produktivitas tenaga keria. Agar dapat memacu produktivitas masing-masing sektor,
dalam rangka pelaksanaan Program wajib belajar SLTP tersebut, peningkatan mulu
pendidikan perlu mendapat prioritas yang seimbang Cengan Program perluasanny-a'
Kedtta, dalam konteks pelaksanaan Wajar SLTR peningkatan relevansi
program pendid:rkarU8lTP sebaiknya diaratikan ke mutu pelaksanaan proses belajar-
rhengajar berdasarkan kurikulum yang mampu meningkatkan motivasi belajar anak
setinggi mungkin. Pendidikan pada tingkat sLTP tidak semata-mata t'Jrdiri atas
program "pendidikan umum", tetapi iuga program pendidikan keterampilan yang
setara dan sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja akan lulusan pendidikan yang
bersangkutan'
PengJmbangan keterampilan ini tidak semata-mata keterampilan untuk
bekerja, tetapi juga menekankan pengembangan kemampuan Peserta didik untuk
menguasai cara belajar sehingga dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan
keahlian atau keterampilan yang dibutu*rkan oleh lapangan keria tersebut'
Ketiga,untuk inernperkecil angka Pengangguran, diperlukan penyebarluasan
Pemahaman terhadap fungsi yang sebenamya dari pendidikan dasar kepacla
masr,arakat luas. Sesuai dengan fungsinya, perrdidikan ciasar ticiak seharusnya
berfungsi mempersiapkan ienaga kerja ieranipil 1'ang telah siap untuk bekerja. SD
clan SLTP sebagai bagian dari program pendidikan dasar berfurngsi
mempersia.p'rl3n lulusan uniuk belajar lebih lanjut, baik cli jenjang pendidikan iebih
tinggi, di pendidikan luar sekolah, maupun di tempat kerja. Lntuk nal tersebut,
progranr pendidikan SD dan SLTP periii juga menekankan pada pengembangan
motivasi dan kema;r,puan belajar yang dapat membekali lulusan dalam rrt€neuiS<-ri
37
pengetahuan tentang lapaneen keria daerah, rvarvasl: i'anil luas, kemampuan
terhadap pefmaSalahan lingkungan
Keentpaf, lebih besarn-va perkiraan angka pengangguran potensial SMU
sama sekali buka;"'. merupakan petunjuk yang mengharuskan bahrva SIr{U tersebut
perlu clibatasi perluasannya. Perluasan SMU dan Si\4K yang ie;jadi sampai saat ini
lebih dikendalikan oleh pasar daripada ciiprogranrl<an oleh pemerintah. Dengan kata
lain, motivasi rnasvar*!rt me:nilih SMU lebih kuat dibandingkan dengan nremiiih
SliK. Kuatnya motivasi belajar di Slvlu lebih ditentukan oleh pengaruh
kredesialisme sistenr pendidikan untuk melanjutkan pendidikan lebih besar
ketimbang ingin bekerja secara mandiri. Kemandirian dalarn pekerjban tampaknya
lebih kuat pada lulusan SMK. Berdasarkan hal tersebut beberapa usul kebijakan
dapat dikemukakan berikut ini.
1. Perluasan kesempatan belajar jenjang pendidikan menengah tetap
dipertahankan dengan laju perturnbuhan yang tetap sesuai dengan keadaan
sekarang. lv{otiv;isi lulusan SLTP untuk melanjutkan ke pendidikan
menengah kejuruan sebaiknya diiingkatkan, misalnya dengan
menyeba,rluaskan pemahaman bahrva lulusan SMK juga dapat melanjutkan
pendidikan
2. Orientasi penclidikan prarla jerrjarrg pcndiilik;rn nieneugair sebaiknya
diararhkan ke peningkaian kemandirian dalan"t pekerjaan, yaitu merltbina
iult:san uirir:k bekerja dan tid;rk bergantung pada kesempatan kerla di sektor
formal yar,g jumiahnya masih terbatas. Uniuk it,-t, orientasi pendidikan yang
terlalu sempit, yang hanya mengarairkan sisrt'a merniliki suatu jenis
keterampilan khusus, sebaiknya djhindrrrkan'
Berdasarkan hal tersebut, program pendidikan menengah kejuruan
seyogianya diarahkan ke pendidik;rn kejuruan dasar agar siap dikembangkan
kembali di dalam pekerjaan. Untuk mengurangi pengaruh kredesiaiisme, perltt
dilakukan pengaturan yang menetapkan L-ah"va kesem;-,i1;6n kerja, khususnya
38
sektor formal, tidak dapat diperoleh secara langsung hanya dengan memiliki iiazah
sekolah rnenengah.
Untuk itu, perlu dibuat suatu ketentuan yang mengatur bahwa lulusan sekolah
menengah tidak secara langsung dapat bekerja. Ijazah sekolah menengah sebaiknya
dijarlikan sebagai persyaratan minimai untuk menciapatkan keahlian khttsus melalui
pendidikan Iuar sekolah agar memperoleh sertifikat bekerja.
Perlu dikembangkan jasa masyarakat atatt lemlraga srvasta untuk
menyelengarakan pusat-pusat pelatihan dalam rangka memberikan orientasi
pekerjq;3 kepada ltdusan pendidikan menengah atau sarjana. Fungsi pusat-pusat
pelatihan seperti ini tidak semata-mata rnemberikarn keterampilan, yang lebih
penting ialah menyajikan informasi tentang lapangan keria yang tersedia dan
informasi tentang lapangan kerja potensial yang memungkinkan unttrk diciptakan
oleh para lulusan.
Orientasi pendidikan tinggi yang cenderung mengarah ke perkembangan
pendidikan tinggi akademis yang lebih cepat sebaiknya dicegah. Dengan demikian,
pemerintah seyogianya lebih melakukan perluasan kesempatan belajar bagi lulusan
sekolah menengah ke pendidikan tinggi profesional' Untuk itu, beberapa irsulan
kebijakan berikut ini perlu dipertimbangkan.
a) Memberikan keieluasaan kepada swasta dan dunia usaha untuk
menyelenggarakan pendidikan titgg profesional' baik melalui program
pendidikan strata mauPun program diPloma.
b) Perlu disusun Program pendidikan tinggi profesional yang berorimtasi pJa"
rcttttttttan lapangan keril dae3h "t"i t.r,uga keria profesional yang mamPu
mencipSkl kesempatl" f."4i di daerah, baik pada lapangan keria - pedesian
rnauPun perkotaan (sektor modern)'
c) Perlu adanya pengetatan izin operasi pendidikan tingtr slvasta yang
berorientasi akademis sehingga Programprogr"* p"ilaiailutt tinggi akademis
lebih banyak yang iltut su"itan oleh pihak pemerintah
39
Top Related