1 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
Media Publikasi dan Informasi Dunia Reptil dan Amfibi
Volume VI No 1, Februari 2013
Leptophryne cruentata
di Selabintana, TNGP
Plus :
Bincang-bincang dengan Jaime Garcia-Moreno
Monitoring Tahunan Katak di TNGP
Papuaku Sumber Pengetahuanku
Konservasi Penyu di Kupang, NTT
Monitoring dan Relokasi telur Penyu di Papua
Burung yang bersahabat dengan Buaya
Herpetofauna obat
2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
Daftar Isi :
Bincang-bincang; Jaime Garcia-Moreno 4
Monitoring tahunan katak Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango, Jawa Barat 6
Observasi dan Monitoring Kodok Merah-Bleeding
Toad di Resort Selabintana Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango 9
Papuaku adalah sumber pengetahuanku 12
Upaya konservasi penyu dan ancamannya di Ku-
pang, Nusa Tenggara Timur 16
Kegiatan monitoring dan relokasi telur Penyu di Pan-
tai Inggrisau dan Mambasiui, Papua 22
Burung-burung yang bersahabat dengan buaya 26
Herpetofauna obat 30
Informasi: Buku baru 34
Pustaka tentang penangkaran Amfibi 35
Warta Herpetofauna
media informasi dan publikasi dunia amfibi dan reptil
Penerbit :
Perhimpunan Herpetologi Indonesia
Pimpinan redaksi :
Mirza Dikari Kusrini
Redaktur:
Luthfia N. Rahman
Tata Letak & Artistik :
Arief Tajalli
Luthfia N. Rahman
Sirkulasi :
KPH “Python” HIMAKOVA
Alamat Redaksi :
Kelompok Kerja Konservasi Amfibi dan Reptil Indone-
sia, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata
Fakultas Kehutanan – IPB
Foto cover luar :
Odorrana hosii oleh Arief Tajalli
Foto cover dalam :
Polypedates colletti oleh Arief Tajalli
WARTA HERPETOFAUNA
3 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
Selamat Tahun Baru 2013!
Edisi pertama Warta Herpetofauna di tahun 2013 ini
diwarnai artikel dari Indonesia barat hingga Indonesia
timur. Kegiatan praktikum mahasiswa di Universitas
Negeri Papua hingga upaya konservasi penyu di Ku-
pang dan Papua yang populasinya terus terancam
oleh kegiatan perdagangan dan konsumsi masyara-
kat dikemas dalam bahasa dan gambar yang
menarik. Selain itu, informasi terbaru mengenai Kodok
Merah-Leptophryne cruentata–ikut melengkapi edisi
ini. Monitoring dan observasi spesies endemik Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango ini menunjukkan
penyebaran populasi kodok ini lebih luas daripada
dugaan semula. Makin meningkatnya survey di ber-
bagai lokasi bisa jadi akan memberikan informasi tam-
bahan mengenai jenis ini maupun jenis-jenis lain.
Selamat membaca!
REDAKSI MENERIMA SEGALA BENTUK TULISAN, FOTO, GAMBAR, KARIKATUR, PUISI ATAU INFO
LAINNYA SEPUTAR DUNIA AMFIBI DAN REPTIL.
BAGI YANG BERMINAT DAPAT MENGIRIMKAN LANGSUNG KE ALAMAT REDAKSI
Berkat Kerjasama:
4 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
BINCANG-BINCANG
JAIME GARCÍA-MORENO Direktur Eksekutif Amphibian Suvival Alliance (ASA)
Wawancara oleh: Mirza D. Kusrini
Telah lebih dari satu dekade kepunahan
amfibi telah menjadi isu yang hangat di kalan-
gan peneliti. Sebagai upaya untuk mencegah
kepunahan yang makin serius, pada September
2005 Species Survival Commission IUCN men-
gadakan pertemuan puncak para ahli amfibi
sedunia yang menghasilkan dokumen Amphib-
ian Conservation Action Plan (ACAP) atau Ren-
cana Aksi Konservasi Amfibi global. Dokumen
berisi arahan rencana lima tahun kegiatan kon-
servasi untuk mencegah kepunahan ini terdiri
dari sebelas tema dengan perkiraan anggaran
yang diperlukan.
Bulan Juni 2011, Amphibian Survival Al-
liance (ASA) diluncurkan sebagai sebuah kon-
sorsium berbagai lembagai di bidang konservasi
amfibi dengan harapan bisa menjalankan ACAP
secara global. Pada bulan Oktober 2012, di
sela-sela pertemuan World Congress IUCN di
Jeju, Mirza D. Kusrini (MDK) berkesempatan
berbincang-bincang dengan Jaime Garcia-
Moreno (JGM), Direktur Eksekutif Amphibian
Survival Alliance. Berikut wawancara yang dila-
kukan dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan
ini.
MDK: Bisakah Anda menceritakan sedikit men-
genai latar belakang Anda? Bagaimana Anda
terlibat dengan ASA?
JGM: Secara formal saya ahli biologi. Perker-
jaan saya sebelumnya banyak menelaah biologi
evolusi, menggunakan marker molekuler untuk
menjawab pertanyaan yang berhubungan den-
gan ekologi, evolusi dan konservasi pada
mamalia dan burung—terutama burung-burung
tropis dari pegunungan di Amerika Selatan.
Saya bekerja di berbagai universitas dan lem-
baga penelitian di Eropa dan Amerika Serikat.
Di tahun 2005 saya diminta untuk ikut serta
dengan Conservation International (CI) seba-
gai Direktur Biodiversity Assessments and Spe-
cies Conservation untuk program CI di Mek-
siko dan Amerika Tengah. Wilayah ini sangat
kaya akan amfibi dan memiliki berbagai ma-
salah yang berhubungan dengan penurunan
populasi, jadi saya turut serta membangun pen-
Jaime Farcia-Moreno. Foto diambil dari profil LinkedIn
5 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
yadartahuan masalah amfibi dan memulai aksi
konservasi amfibi di wilayah ini, Tahun-tahun
berlalu dan saya masih melakukan hal yang
sama, namun untuk seluruh dunia!
MDK: Tujuan utama ASA adalah menjalankan
Rencana Aksi Konservasi Amfibi Global atau
ACAP. Bagaimana rencana ASA menjalankan
ACAP ini? Sepertinya ini tugas yang sangat besar
untuk dijalankan sendirian?
JGM: Aspirasi ASA adalah mengamankan masa
depan amfibi dk mencoba melakukan ini adalah
mempraktekkkan apa yang sudah ditulis dalam
ACAP. Ada beberapa hal yang perlu diklarfikasi:
disatu sisi ACAP adalah dokumen yang sangat
luas dan umum dimana detilnya harus ditambah
secara local; hal ini hanya bisa dilakukan oleh
mitra local. Kedua, ASA adalah aliansi global,
dimana mitra-mitra dalam aliansi ini yang melak-
sanakan kegiatan aksi konservasi. Jadi bukan
saya dan Phil Bishop (Peneliti Utama ASA) atau
staf ASA lainnya yang akan melaksanakan berba-
gai kegiatan—kami hanya sekedar coordinator
yang mencoba mengidentifikasi berbagai isu dan
cara untuk menghadapio berbagai masalah, si-
nergi antara berbagai mantra, mencari celah un-
tuk intervensi, dan lainnya. ASA bukanlah unit
koordinasi, namun semua lembaga mitra di se-
mua tingkat— dan terutama di tingkat lokal
yang dapat melaksanakan apa yang perlu dilaku-
kan dalam rangka memperbaiki situasi amfibi di
seluruh dunia.
MDK: Kongres IUCN di Jeju juga mengeten-
gahkan lokakarya mengenai amfibi. Bagaimana
usaha konservasi amfibi di Asia menurut Anda?
JGM: Seperti di wilayah lain, hal ini merupakan
pertarungan keras. Sangat sedikit penyadarta-
huan tentang amfibi—belum lagi masalah yang
dihadapi oleh Asia. Dan hal ini terjadi di saat
dimana agenda konservasi mengarah menjauh
dari konservasi jenis tradisional, dan pada saat
yang sama terdapat krisis ekonomi di berbagai
belahan dunia sehingga menyulitkan usaha untuk
memusatkan perhatian pada masalah lingkun-
gan. Bukannya (saya) mengatakan agenda keber-
lanjutan lingkungan salah, namun hal ini tidak
membantu jenis-jenis yang sudah sangat teran-
cam dan perlu untuk menjadi perhatian serta ha-
rus langsung di respons untuk menghindar dari
kepunahan.
MDK: Menurut anda apa tantangan terbesar
bagi konservasi amfibi di Asia?
JGM: Ada beberapa hal, namun menurut saya
yang paling di atas mungkin penyadartahuan.
Amfibi dikesampingkan oleh berbagai orang—
termasuk organisasi-organisasi konservasi utama!
(Selanjutnya) Perusakan dan degradasi habitat
bisa menjadi masalah di beberapa lokasi, dan
dampak pemanenan berlebih dari berbagai jenis
yang berukuran besar yang diambil dari alam
untuk kebutuhan pasar.
MDK: Dalam cara bagaimana menurut Anda
ASA dapat membantu usaha konservasi amfibi di
Asia?
JGM: Seperti dimanapun, ASA disini untuk men-
jadi katalis kerjasama, membantu mengarus
utamakan konservasi amfibi dan menidentifikasi
kesempatan untuk aksi. Kami akan bekerja sama
dengan mitra kami dari Asia untuk membantu
mereka menghubungkan satu sama lain dan
menjangkau para pihak di luar pemain umum
agar amfibi berada apada layar radar mereka.
Dan kami akan terus bekerja meningkatkan sum-
berdaya yang diperlukan untuk kosnervasi am-
fibi dalam rangka membesarkan respons terha-
dap krisis.
6 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
MONITORING TAHUNAN KATAK
TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PAN-
GRANGO, JAWA BARAT
M onitoring amfibi khususnya katak me-
rupakan salah satu program yang saat
ini sedang digalakkan oleh Taman Na-
sional Gunung Gede Pangrango (TNGP) di Jawa
Barat selain program monitoring satwa liar lain-
nya. Program ini dilakukan secara berkelanjutan
untuk mengetahui dan memantau keanekaraga-
man serta penyebaran spesies katak di setiap
wilayah pengelolaan di TNGP. Pada tahun 2012,
kegiatan monitoring dilakukan di Resort Cibodas,
Resort Selabintana dan Resort Bodogol dengan
dipimpin oleh petugas Pengendali Ekosistem Hu-
tan (PEH) TNGP dan didampingi oleh anggota
Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH) Hi-
makova, Fakultas Kehutanan IPB.
Monitoring di setiap lokasi dilakukan pada
waktu yang berbeda mengikuti jadwal dari petu-
gas TNGP, yaitu pada tanggal 4 Juni 2012 di Resort
Rhacophorus margaritifer
Odorrana hosii
Oleh:
Luthfia N. Rahman, Rika Sri Wahyuni, Faith
Fitrian, Raden Tirtayasa, Mirza D. Kusrini
Dept. KSHE Fahutan IPB
Philautus aurifasciatus
7 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
Pak Ace, salah seorang PEH di Taman Nasional Gunung Gede pangrango dan Afnelasari, mahasiswa KSHE mengu-kur kataj-katak yang diperoleh saat monitoring. Katak dilepas kembali ke habitat semula setelah identifikasi dan proses pengukuran selesai
Selabintana, 11 Juli 2012 di Resort Cibodas, dan
tanggal 12 September 2012 di Resort Bodogol.
Monitoring di Resort Selabintana dilakukan di 2
lokasi, yaitu di Danau Cigunung Guruh dan air ter-
jun Cibeureum, di Resort Bodogol dilakukan di
sepanjang aliran Sungai Cisuren dan Sungai Ci-
kaweni, dan di Resort Cibodas dilakukan di sepan-
jang jalur interpretasi Ciwalen sampai ke Curug Ci-
walen.
Pencarian katak dilakukan di lokasi yang meru-
pakan habitat katak, seperti di sepanjang aliran
sungai, sekitar air terjun, danau, kubangan-
kubangan air, bawah bebatuan dan vegetasi di
kanan-kiri sungai. Metode yang digunakan untuk
monitoring adalah Visual Encounter Survey (VES) di
malam hari dengan waktu pencarian (time search)
10 jam per lokasi (2 hari pengamatan).
Dari hasil pengamatan di seluruh resort, ditemu-
kan 15 spesies Katak yang termasuk dalam 5 famili.
Hasil monitoring ini semakin melengkapi data
monitoring katak di TNGP yang telah dilakukan
oleh tim IPB sejak tahun 2003. Bisa dikatakan
TNGP merupakan salah satu taman nasional yang
memiliki data amfibi lumayan lengkap. Adanya la-
poran hasil penelitian yang dilakukan peneliti dari
Queensland, Australia yaitu David Liem (1971) di
tahun 1960an membuat data yang ada makin ber-
makna untuk melihat kecenderungan perubahan
populasi dalam jangka panjang.
Hasil monitoring ini juga menemukan Kodok
Merah (Leptophryne cruentata) di Resort Selabin-
tana, tepatnya daerah sekitar Curug Cibeureum
8 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
No Famili Spesies Selabintana Cibodas Bodogol
1 Bufonidae Ingerophrynus aspera √ - √
2 Leptophryne cruentata √ - -
3 Leptophryne borbonica - - √
4 Dicroglossidae Fejervarya limnocharis √ - -
5 Limnonectes macrodon - - √
6 Limnonectes microdiscus - √ -
7 Limnonectes kuhlii √ - √
8 Megophryidae Leptobrachium hasseltii √ √ √
9 Megophrys montana - √ -
10 Ranidae Huia masonii √ √ √
11 Hylarana chalconota √ √ √
12 Odorrana hosii √ √ √
13 Hylarana nicobariensis √ - -
14 Rhacophoridae Rhacophorus margaritifer √ √ √
15 Philautus aurifasciatus - √ -
Total 10 8 9
Dari hasil pengamatan di seluruh resort, ditemukan 15 spesies Katak yang termasuk dalam 5 famili. Berikut adalah daftar spesies yang ditemukan tersebut :
Daftar spesies yang ditemukan pada kegiatan inventarisasi Amfibi di TNGP tahun 2012
dengan jumlah yang cukup banyak yaitu 7 individu
per pengamatan. Penemuan ini meluaskan lokasi
penyebaran Kodok Merah di TNGP yang selama ini
hanya tercatat di Resort Cibodas, yaitu di daerah
Curug Cibeureum dan Rawa Denok (Kusrini et al.
2007). Curug Cibeureum di Resort Selabintana me-
rupakan lokasi yang masih jarang dikunjungi oleh
masyarakat sehingga dapat dianggap areal terse-
but masih terbebas dari limbah dan aktivitas
manusia sehingga memungkinkan jika Kodok
Merah dapat hidup di lokasi tersebut.
Referensi :
Kusrini MD, Endarwin W, Yazid M, Ul-Hasanah AU, Sholihat N dan Darmawan B. 2007. The Am-
phibians of Mount Gede-Pangrango National Park. Frogs Of Gede-Pangrango: A Follow Up Project For The Conservation Of Frogs In West Java Indonesia Book 1: Main Report. Mirza D. Kusrini (ed.): 11-31.
Leptophryne cruentata. Foto oleh Rika Sri Wahyuni
9 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
OBSERVASI DAN MONITORING KODOK MERAH – BLEED-
ING TOAD (Leptophryne cruentata) DI RESORT SELABIN-
TANA SUKABUMI, BALAI BESAR TAMAN NASIONAL
GUNUNG GEDE PANGRANGO
B aru Halimun atau yang lebih dikenal
dengan nama Pondok Halimun, me-
rupakan salah satu kawasan wisata
yang terletak di Resort PTN Selabintana, Seksi
PTN III Selabintana, Bidang PTN Wilayah II Suka-
bumi-Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango (BBTNGGP). Secara geografis kawasan
wisata alam Resort Selabintana berada di lembah
yang diapit oleh dua buah punggungan besar ler-
eng selatan Gunung Gede Pangrango, berada di
koordinat 106°67'41" BT dan 06°50'60" LS dengan
ketinggian sekitar 1.200 mdpl. Di kawasan Baru
Halimun ini terdapat lokasi Camping Ground
serta Air Terjun Cibeureum dengan jarak ± 3 km
dari Information Center.
Himpunan Relawan Volunteer Panthera se-
bagai salah satu mitra BBTNGGP yang berdomisili
di Kawasan Wisata Baru Halimun Resort PTN Se-
labintana Sukabumi, saat ini mencoba dan beru-
paya untuk mengembangkan program-program
monitoring, observasi serta penelitian berbagai
jenis fauna yang ada di kawasan ini. Salah satunya
adalah observasi dan monitoring Amfibi.
Oleh: Firmansyah
Himpunan Relawan Volunteer Panthera
Email : [email protected]
10 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
Selama kegiatan observasi yang telah berlang-
sung dalam kurun waktu satu tahun (November
2011 hingga Desember 2012), telah tercatat 16
jenis amfibi yang ada di kawasan ini. Salah
satunya adalah Kodok Merah-Bleeding Toad
(Leptophryne cruentata) yang menurut catatan,
jenis ini sangat jarang dijumpai dan sudah terma-
suk kedalam daftar merah IUCN dengan status
kritis (Critically Endangered Species).
Salah satu habitat Kodok Merah berada yaitu
Air Terjun Cibeureum, Selabintana, Sukabumi,
yang masuk ke dalam zona pemanfaatan di Re-
sort Selabintana. Kawasan ini cukup ramai dikun-
jungi oleh wisatawan lokal Sukabumi serta wisa-
tawan dari luar Sukabumi.
Observasi dan penghitungan dilakuan setiap
hari Minggu mulai pukul 08.00 – 14.00. Jarak
antara individu yang satu dengan yang lainnya
terkadang tidak terlalu jauh, antara 2 hingga 5
meter. Dari sekian kali melakukan pengamatan
secara langsung di habitat Kodok Merah tersebut,
jumlah populasi yang teramati memang tidak be-
gitu banyak. Namun dibutuhkan metode yang
tepat untuk menghitung berapa ppopulasi yang
sebenarnya di bulan-bulan berikutnya.
Aliran sungai Air Terjun Cibeureum Selabin-
tana Sukabumi merupakan habitat yang sesuai
untuk Kodok Merah, sesuai dengan catatan Iskan-
dar (1998) yang menyebutkan bahwa habitat
Kodok Merah terdapat di sungai-sungai kecil atau
sungai yang mengalir lambat di pegunungan. Se-
mentara untuk perilaku dari Kodok Merah ini
belum teramati secara jelas, karena observasi
yang dilakukan masih pada siang hari.
Atas: Aliran Sungai dari Air Terjun Cibeureum, merupakan habitat bagi Kodok Merah .
Halaman sebelumnya: Seekor lalat yang berada di atas kepala Kodok Merah,
11 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
Bulan September 2012 Oktober 2012 November 2012 Desember 2012 Januari 2013
Minggu
ke- I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
∑ yang
teramati 2 0 2 2 2 2 0 2 4 4 0 4 5 5 0 5 3 2 6 0
Catatan yang telah dilakukan mengenai jumlah populasi Kodok Merah dalam rentang waktu Sep-
tember 2012 hingga Januari 2013 yaitu :
Namun, ada beberapa catatan hasil dari ob-
servasi mengenai mangsa yang selalu dimakan
oleh Kodok Merah, yaitu lalat-lalat yang suka
berkerumun di atas batu serta nyamuk.
Sebuah tantangan yang cukup berat dan
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
terus memonitoring dan mengobservasi Kodok
Merah ini. Perilaku ketika musim kawin, perilaku
ketika musim hujan dan kemarau serta perilaku
lainnya yang dilakukan pada waktu aktifnya di
malam hari, masih menjadi misteri pada kegiatan
observasi ini.
Referensi :
Ario, A. 2010. Buku Panduan Lapangan Mengenal
Satwa Taman Nasional Gunung Gede Pan-
grango. Conservation Indonesia. Jakarta.
Iskandar, D. T. 1998. Amfibi Jawa dan Bali. Puslitbang
Biologi –LIPI
Amplexus: Salah satu aktivitas Kodok Merah yang terlihat
12 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
―Papuaku adalah sumber pengetahuanku‖
Sebuah tampilan kecil pembelajaran herpetofauna di Papua
Oleh : Keliopas Krey, Denisa Taran, Remus Bonepay
Prodi Biologi, Universitas Negeri Papua
Hai, rekan-rekan! Ini adalah cerita
singkat kami dari Papua, sebuah
wilayah di ujung timur NKRI. Kami be-
lajar mengenal herpetofauna sambil
rekreasi melalui praktikum lapang
mata kuliah Herpetologi, Program
Studi Biologi, Universitas Negeri Papua
(UNIPA). Tepatnya di bulan April 2011.
Kali ini kami memilih pulau Mansinam
di Kabupaten Manokwari, Papua Barat
sebagai tempat belajar Herpetofauna.
Banyak hal yang kami pelajari tentang
herpetofauna khususnya spesies asli Papua
yang menghuni Pulau Mansinam. Kami juga
belajar menggunakan beberapa metode pen-
gumpulan data, cara penanganan herpet teru-
tama ular, cara kerja preservasi spesimen dan
juga bagaimana menggunakan GPS.
Walaupun waktunya sangat singkat, kami
bisa mempelajari bagaimana persiapan hingga
pelaksanaan observasi nokturnal dan diurnal.
Banyak catatan kami tentang kehidupan liar
beberapa spesies reptil dan amfibi di Pulau
Mansinam.
Berikut beberapa gambar aktivitas kami
di lokasi praktikum.
Latihan menghitung sisik ular
13 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
Peta Pulau Mansinam, Manokwari, Papua Barat
Diskusi tentang ular Latihan memotret ular
14 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
Nactus sp
Lamprolepis smaragdina
Cyrtodactilus sarmowaiensis Stegonotus cuculatus
Laticauda colubrina
15 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
Selama praktikum, kami menemukan ka-
tak Platymantis papuensis (Ranidae), Litoria in-
frafrenata (Hylidae), beberapa Scincidae seperti
Lamprolepis smaragdina, Sphenomorphus simus,
dan Emoia spp. Selain itu kami juga menjumpai
cicak (Gekkonidae) Cyrtodactilus sarmowaien-
sis, Nactus sp., ular Laticauda colubrina
(Hydropidae) dan Stegonotus cuculatus
(Colubridae).
Sampai disini dulu cerita kami tentang aktifitas
belajar herpetofauna di Papua. Sampai ketemu
pada cerita kami selanjutnya. Akhirnya kami titip
pesan salam konservasi reptil dan amfibi Papua :
PELIHARA HUTAN PAPUA!
PELIHARA RUMAH REPTIL DAN AMFIBI PAPUA!
Mahasiswa Biologi-UNIPA, peserta praktikum lapang
16 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
Upaya Konservasi Penyu dan Ancamannya
di Kupang, Nusa Tenggara Timur
Oleh : Oki Hidayat Balai Penelitian Kehutanan Kupang Email : [email protected]
17 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
Sebagai provinsi kepulauan dengan
wilayah laut yang luas, Nusa Tenggara
Timur menyimpan potensi
keanekaragaman laut yang cukup
besar. Salah satunya adalah reptil
langka yang keberadaannya semakin
terancam yaitu penyu.
18 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
Dari enam jenis penyu yang terdapat di
Indonesia, jenis Penyu Lekang (Lepidochelys
olivacea) diketahui berbiak di Kupang (Pulau
Timor), tepatnya di Pantai Bena dan Menipo.
Penyu lekang merupakan anggota Famili
Cheloniidae, Marga Lepidochelys. Di Indonesia
selain dikenal dengan nama Penyu Lekang,
penyu ini juga populer dengan nama penyu abu-
abu. Pemberian nama tersebut didasarkan pada
warna cangkang penyu dewasa yaitu abu-abu.
Tubuh bagian atas penyu ditutup oleh karapas
dan bagian bawah ditutup plastron. Kedua
bagian tersebut disusun oleh sisik-sisik dengan
lapisan zat tanduk yang keras (Carr, 1952 dalam
Prihanta, 2007).
Pantai Bena memiliki garis pantai
sepanjang 13 km, terletak di Kawasan Konservasi
Taman Buru Dataran Bena, Kecamatan
Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah
Selatan. Sedangkan Pantai Menipo terletak di
Pulau Menipo, dahulu kawasan ini merupakan
Suaka Margasatwa namun kini telah berubah
menjadi Taman Wisata Alam (TWA). Meskipun
berstatus TWA, Menipo jarang dikunjungi oleh
wisatawan karena akses yang sulit serta belum
adanya fasilitas pendukung. Kedua kawasan
tersebut memiliki letak yang berdekatan,
lokasinya dibatasi oleh muara Sungai Noelmina.
Upaya Konservasi
Pelestarian Penyu Lekang di TB Dataran
Bena dan TWA Menipo telah dilakukan sejak
Tukik hasil penetasan di Taman Buru Dataran Bena
19 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
Papan peringatan di TWA Menipo
tahun 2008. Rangkaian kegiatan tersebut
berupa (1) Pengumpulan telur; (2) Penyeleksian
telur, telur yang dipilih adalah telur yang
berkualitas baik ngan ciri berdiameter lebih dari
3 cm, bulat, bercangkang keras, warna putih
bersih; (3) Pengeraman telur dalam bak
penampungan yang telah dipenuhi pasir dengan
kedalaman 30 cm, suhu 28°C - 30°C; (4)
Pengecekan harian untuk mempertahankan suhu
bak penampung pada kisaran suhu tersebut.
Kondisi bak penampung untuk pengeraman telur
dibuat sealami mungkin, mirip dengan kondisi
aslinya. Dalam penanaman, telur ditandai agar
posisinya sama dengan sarang alaminya. Masa
inkubasi telur selama 45 – 60 hari. Satu minggu
setelah menetas tukik baru dilepas kembali ke
laut. Angka keberhasilan untuk penetasan semi
alami tersebut diatas 85% dibandingkan dengan
penetasan alami yang hanya mencapai 50%.
Kegiatan penetasan tersebut mengurangi
ancaman telur-telur penyu dari predator
(kepiting, semut, biawak), air laut dan manusia.
Hingga bulan September 2012, tim pelestari
Penyu Lekang Balai Besar Konservasi
Sumberdaya Alam Provinsi Nusa Tenggara Timur
(BKSDA NTT) telah berhasil melepaskan 50.241
tukik ke laut (Nugrahaeni, 2012).
Untuk melindungi keberadaan penyu
yang semakin terancam berbagai upaya telah
dilakukan oleh pemerintah, salah satunya
dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No
7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa. Dalam peraturan
pemerintah tersebut ditetapkan semua jenis
penyu dilindungi. Karena status perlindungannya
termasuk satwa dilindungi maka jika merujuk ke
Pasal 21 Undang-undang No.5 Tahun 1990
seharusnya segala upaya untuk
mengeksploitasinya (menangkap, melukai,
membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan) termasuk
sarang dan telurnya selain untuk keperluan
20 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
Penjual daging Penyu Lekang di Pasar Oesapa
penelitian, ilmu pengetahuan, dan atau
penyelamatan jenis baik dalam keadaan hidup
maupun mati merupakan tindakan yang
terlarang. Namun kenyataannya hingga saat ini
masih jauh dari apa yang diharapkan. Kegiatan
eksploitasi terhadap reptil laut ini masih
berlangsung hingga saat ini.
Ancaman terhadap keberadaan penyu di Kupang
Merupakan sebuah pengalaman yang
mengesankan ketika bisa melihat penyu langsung
di alam. Perjumpaan tersebut terjadi pada
tanggal 3 Juni 2012 di Perairan Teluk Kupang.
Dua ekor Penyu Lekang dewasa terlihat naik ke
permukaan kemudian melakukan proses
perkawinan, proses tersebut berlangsung sangat
cepat, hanya sekitar 1 menit penyu tersebut naik
ke permukaan kemudian turun kembali
berenang ke dalam lautan. Perjumpaan ini
membawa sebuah informasi ilmiah yang
menarik, hal tersebut telah menggambarkan
bahwa Teluk Kupang merupakan salah satu
habitat penting bagi penyu di NTT.
Upaya perlindungan untuk jenis Penyu Lekang
telah dilakukan sejak tahun 1980 berdasarkan
Keputusan Menteri Pertanian No. 716/Kpts-
Um/10/1980, jauh sebelum PP No.7 Tahun 1990
dibuat. Namun upaya ini belum juga mampu
melindungi penyu lekang ini dari eksploitasi. Hal
yang cukup menyedihkan bagi nasib Penyu
Lekang ini terjadi tidak jauh dari lokasi
perjumpaannya pada tanggal 3 Juni 2012. Pesisir
Pantai Oesapa tepatnya di Pasar Oesapa, pasar
yang berada di pinggir pantai ini menjadi saksi
bisu sebagai lokasi perdagangan ilegal Penyu
Lekang. Penyu tersebut dijual dalam bentuk
bagian-bagian tubuh yang telah terpotong. Para
penjual tanpa rasa takut menggelar dagangan
ilegalnya di atas terpal plastik. Ternyata bagi
masyarakat setempat daging penyu masih
menjadi daya tarik tersendiri sebagai bahan
makanan. Hanya dalam waktu kurang dari
setengah jam daging-daging tersebut habis
terjual, bahkan untuk bagian kepala yang telah
dibuang karena tidak ada yang mau membelinya
pun masih dipungut oleh salah seorang nelayan
21 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
Penjual daging dan telur penyu di Pasar Oepura. Foto oleh: Siswadi
untuk diambil daging dan otaknya. Sungguh
miris dan sangat memprihatinkan.
Pemandangan lain yang lebih memprihatinkan
juga terdapat di sudut pertigaan jalan Oepura
Kota Kupang. Di lokasi tersebut pada waktu-
waktu tertentu pedagang ikan juga menjual
daging penyu bahkan telur penyu juga turut
mereka jual.
Meski tidak rutin namun dalam satu
tahun mereka bisa menjual daging dan telur
penyu tersebut hingga 4 kali. Bagian tubuh yang
dijual berupa sirip, kaki dan bagian dalam
karapas. Masyarakat setempat pada umumnya
cukup tertarik dengan barang ilegal tersebut.
Kenyataan diatas menjadi sebuah titik
hitam bagi upaya pelestarian penyu di NTT.
Ketidaktahuan serta kurangnya kesadaran
masyarakat tentang penyu harus mendapatkan
perhatian yang serius. Pendekatan persuasif
merupakan cara bijak yang dapat dilakukan
untuk menumbuhkan kesadaran dengan
menginformasikan akan pentingnya penyu bagi
kehidupan. Selain itu upaya peningkatan
pengawasan bagi pelanggar hukum dan
kepastiannya harus ditegakkan untuk
menimbulkan efek jera bagi oknum masyarakat
yang masih membandel setelah proses persuasif
dilakukan, agar diwaktu yang akan datang tidak
ada lagi perdagangan ilegal penyu di wilayah
Kupang.
PUSTAKA
Prihanta, W. 2007. Problematika Kegiatan
Konservasi Penyu di Taman Nasional Meru
Betiri. Laporan Penelitian. Universitas
Muhammadiyah Malang. Tidak
dipublikasikan.
Nugrahaeni, S. 2012. Pelestarian In Situ Penyu
Lekang. Buletin Cervus Timorensis. Edisi II
Tahun 2012. BKSDA NTT, Kupang
22 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
KEGIATAN MONITORING DAN RELOKASI TELUR PENYU
DI PANTAI INGGRISAU DAN MAMBASIUI, PAPUA
Oleh: Akmal Firdaus dan Suratman Baharudin
Saireri Paradise Foundation
Pantai Inggrisau dan Mambasiui merupakan
pantai peneluran penyu utama di Yapen timur,
Papua. Di pantai tersebut kita bisa menjumpai 4
jenis penyu yang bertelur yaitu Penyu belimbing
(Dermochelys coriacea), Penyu hijau (Chelonia
mydas), Penyu sisik (Erethmochelys imbricata)
dan Penyu abu (Lephidochelys olivacea).
Dibandingkan dengan jenis lainnya, Penyu abu
merupakan jenis penyu yang paling sering
ditemukan di kedua lokasi tersebut.
Pantai Inggrisau membentang dari muara
sungai Kasuarai hingga ke tanjung Omiai, dengan
panjang sekitar 3,8 km dan lebar rata-rata 38,5
m. Pasir yang ada di Inggrisau adalah pasir hitam
dan kondisi fisik pantai yang landai. Sedangkan
Pantai Mambasiui membentang dari kampung
Sawendui ke arah barat sampai ke Kapibopi.
Panjang pantai sekitar 2,5 km dengan lebar rata-
rata 17,13 m. Pasir yang ada di pantai ini adalah
pasir putih. Permasalahan yang mengancam
kelestarian penyu di pantai Inggrisau dan
Mambasiui adalah pemangsaan telur oleh
predator alami khususnya anjing dan Soa-soa
(Varanidae) serta tingginya tingkat perburuan
telur disarang dan penyu dewasa oleh manusia.
Mengingat pentingnya kelestarian penyu untuk
menjaga keseimbangan ekologi dan tingginya
permasalahan yang mengancam populasi penyu
yang bertelur di pantai Inggrisau dan Mambasiui,
maka sejak Mei 2012 dilakukan kegiatan
monitoring dan relokasi telur ketempat yang
lebih aman.
Pantai Mambasiui
23 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
DESKRIPSI KEGIATAN MONITORING DAN RELOKASI
Kegiatan monitoring dimulai sejak pukul
21.00 sampai dengan pukul 03.00 WIT. Selama
kegiatan tersebut pemantau tidak boleh
menyalakan api atau menyalakan senter ke arah
pantai karena dikhawatirkan akan mengganggu
penyu yang mau bertelur. Jika pada saat
monitoring pemantau menemukan penyu yang
bertelur, maka pemantau tersebut harus
mengamankan induk penyu hingga kembali ke
pantai kemudian mencatat beberapa data seperti
jenis penyu dan waktu ditemukan. Pemantau
akan merelokasi telur jika memenuhi kriteria
seperti yang dijelaskan dalam bagan di samping.
Jika direlokasi, maka pemantau akan
menggali telur tersebut dan memindahkannya
secara hati-hati ke dalam ember yang telah
disediakan. Jika sarang telur ditemukan telah
lebih dari dua jam setelah peneluran maka
bagian atas telur ditandai dengan spidol sehingga
waktu menyusun telur di sarang relokasi tidak
terbalik. Kegiatan ini untuk meminimalisir
kegagalan penetasan telur disarang relokasi.
Pantai Inggrisau
24 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
SARANG RELOKASI YANG DIGUNAKAN
Sarang relokasi yang ada telah mengalami
perubahan sebanyak tiga kali. Sarang yang yang
pertama terbuat dari bambu dengan ukuran
sarang 2 x 2 m. Karena dinding bambu yang
kurang kuat dan dibuat tidak terlalu tinggi
sehingga anjing bisa masuk ke sarang oleh karena
itu dibuat sarang relokasi yang kedua, sarang
tersebut berukuran 2 x 4 m dan terbuat dari
papan setinggi 1,7 m. Karena pada bulan Mei
sampai dengan Juli jumlah telur yang diamankan
cukup banyak dan sarang relokasi telah penuh
maka dibangun lagi sarang relokasi ketiga dengan
ukuran 4 x 8 m dan tinggi 1,5 m. Saat ini hanya
sarang relokasi ketigalah yang digunakan.
HASIL KEGIATAN MONITORING DAN
RELOKASI TELUR
Selama kegiatan monitoring di Mambasiui,
pemantau menemukan total 11 induk penyu yang
bertelur dengan total jumlah telur sebanyak 836
butir. Semua sarang telur yang ada di pantai
Mambasiui aman dari gangguan predator alami
maupun manusia, namun berada di daerah
pasang surut air laut (supratadial). Berdasarkan
kriteria yang ditetapkan maka sarang tersebut
harus direlokasi ke tempat yang tidak terkena
pasang surut air laut. Sarang relokasi yang baru
tidak dikumpulkan di satu tempat, melainkan
hanya dipindahkan saja dari posisi semula sekitar
5 meter s.d. 10 meter ke darat.
Tabel hasil kegiatan monitoring dan relokasi di pantai Mambasiui
Nama Penyu Jumlah
Induk Jumlah telur
Jumlah Telur
di Relokasi
Jumlah Tukik
Menetas
Persentase
Penetasan (%)
Penyu Belimbing 3 142 142 115 80,81
Penyu Abu 3 254 254 211 83,83
Penyu Hijau 3 245 245 187 76,32
Penyu Sisik 2 195 195 115 58,97
Jumlah 11 836 836 628 75,12
Sarang relokasi permanen ukuran 8 x 4 m
25 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
Jumlah sarang telur yang ditemukan di
Inggrisau sebanyak 45 sarang dengan jumlah
telur sebanyak 4381 butir. Pantai Inggrisau sering
dijadikan akses jalan antar kampung oleh
masyarakat setempat. Karena kebiasaan
masyarakat mengkonsumsi telur penyu masih
ada, maka sarang telur yang ada di pantai
dikategorikan tidak aman dari gangguan
manusia maupun binatang
peliharaan (anjing). Selain
itu, di pantai ini juga
banyak ditemukan Soa-soa
(Varanidae) sebagai
predator alami. Oleh
karena itu, semua sarang
telur yang ada di relokasi
ke sarang relokasi yang
telah dipersiapkan
sebelumnya.
Dari data kedua
pantai tersebut, terlihat
bahwa tingkat keberhasilan
penetasan di Mambasiui
lebih tinggi dari di Inggrisau.
Hal ini diduga karena jarak
pengangkutan telur yang terlalu jauh sehingga
dimungkin terjadi goncangan yang menyebabkan
kerusakan pada perkembangan embrio penyu.
Selain itu, tenaga pemantau yang melakuka
kegiatan relokasi juga masih belum memahami
semua teknis dan prosedur kegiatan relokasi yang
benar.
Tabel hasil kegiatan monitoring dan relokasi di pantai Inggrisau
Jenis Penyu Jumlah Induk
Jumlah Telur
Jumlah Telur di Relokasi
Jumlah Tukik Menetas
Persentase Penetasan
Penyu Belimbing 3 215 215 127 59,07
Penyu Abu 34 3.597 3.597 1.776* 49,37
Penyu Hijau 3 173 173 96 55,49
Penyu Sisik 5 396 396 136 34,34
Jumlah 45 4381 4381 2135* 48,73*
Keterangan: *) Masih ada telur yang belum menetas
Sarang telur yang telah direlokasi di sarang relokasi
26 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
K eputusan koloni burung
air di salah satu sudut
Kota Medan ini ter-
golong unik. Satwa terbang itu
memilih bersarang di atas mulut-
mulut buaya yang sedang men-
ganga.
Herpetologer Mania, sebagai salah satu ko-
munitas pengamat amfibi di Kota Medan mengun-
jungi Taman Buaya Asam Kumbang – taman
buaya terbesar di Sumatera –melihat kondisi itu
tidak hanya sepintas lalu.
Minggu, 6 Januari 2013 yang lalu, kami ke-
mudian mencatat peristiwa itu dengan rapi. Tem-
pat berbiak (nesting area) burung-burung ini seka-
ligus menambah catatan lokasi berbiak burung air
yang sebelumnya ada empat menjadi lima lokasi
di Sumatera Utara, dengan catatan tempat berbiak
di penangkaran yang terletak di Jl. Bunga Raya,
Kecamatan Medan Selayang, Kota Medan ini
menjadi yang terekstrim di antara lokasi lainnya.
Awalnya kami tidak berpikir menyaksikan
hubungan unik di penangkaran seluas dua hektar
itu. Kami hanya ingin mengunjungi tempat terse-
but sebagai kebutuhan refreshing-nya seorang pe-
cinta amfibi dan reptil. Buaya-buaya dari jenis
buaya muara (Crocodylus porosus) dan sinyulong
(Tomistoma schlegelii) dapat menghibur pengun-
Burung-Burung yang ―Bersahabat‖
dengan Buaya
Oleh:
Akhmad Junaedi Siregar, Chairunas Adha Putra, Desy Hikmatullah
Herpetologer Mania
27 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
jung sekaligus menggambarkan perkembangan
pertumbuhan reptil buas itu mulai dari juvenil
hingga yang berumur 30 tahun sebagai yang ter-
tua.
Agar lebih menarik, pengelola menawarkan
atraksi buaya dengan harga Rp 50.000 sekali
pertunjukkan. Di situ, pengunjung dapat melihat
buaya lebih dekat dan menyaksikan persaha-
batan yang aneh antara monyet dengan buaya.
Monyet memberi makan buaya, buaya men-
ganga menunggu suapan. Di samping itu, pen-
gunjung bisa memberi makan buaya berupa be-
bek seharga Rp. 30.000/ekor bebek ke dalam
kolam utama tempat induk buaya berkumpul.
Keganasan buaya saat melahap bebek tersebut
memberikan hiburan tersendiri bagi pengunjung.
Buaya memanglah seekor buaya. Dia
menangkap apapun yang bergerak di permukaan
air berlumut itu. Siapapun akan ketakutan
berada di dekat kolam pekat berpenghuni reptil
ganas, kecuali burung-burung air yang bersarang
hingga satu meter di atas permukaan air kolam.
Burung-burung itu mempertaruhkan keselamatan
anaknya, sekali terpeleset nyawa anak burung
melayang.
Di tengah Kota Medan yang padat dengan
perumahan, sementara sawah tidak lagi memiliki
ruang kosong bagi satwa air tentu membuat bu-
rung-burung air hanya memiliki sedikit pilihan.
Mereka memutuskan bersarang di atas kolam
buaya meskipun berbahaya. Kini terdapat lebih
dari seribu ekor burung air di sana. Terdapat dua
spesies burung air yang berhasil kami identifikai
yakni kuntul kerbau (Bubulcus ibis) dan kowak
malam kelabu (Nycticorax nycticorax). Jenis
kuntul kerbau jauh lebih dominan dibanding
kowak malam kelabu. Kedua jenis burung terse-
but diketahui memiliki anak di sarangnya ditan-
28 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
29 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
Suasana di Penangkaran buaya Asam Kumbang, Sumut
dai dengan bulu juvenilnya masing-masing.
Menurut pengelola, burung-burung terse-
but mulai datang sekitar enam tahun yang lalu
sedangkan penangkaran dikembangkan pada ta-
hun 1959. Burung-burung itu datang secara indi-
vidual dan jumlahnya bertambah karena berhasil
berkembangbiak di lokasi itu. Dalam waktu sing-
kat, populasi burung-burung itu semakin padat
sehingga harus bersaing untuk mendapatkan
tempat bersarang. Populasi burung berkembang
seperti populasi buaya yang terus meningkat
hingga menimbulkan masalah tersendiri.
Dikatakan bahwa sesekali anak burung
jatuh ke kolam. Buaya di bawahnya akan lang-
sung merespon layaknya predator. Biasanya,
anak burung yang jatuh adalah burung yang
kurang sehat atau yang kalah bersaing dengan
saudaranya, sehingga secara alami terjadi seleksi
yang ketat untuk mengisi ruang di dalam koloni
burung itu. Burung-burung yang hidup saat ini
adalah burung-burung yang bertahan dari se-
leksi.
Nah, yang menarik adalah burung-burung
itu berkembang baik di atas bahaya yang tinggi.
Anak-anak burung dikenalkan pada bahaya sejak
menetas sehingga mereka berkembang lebih
kompetitif. Ternyata apa yang kami lihat sekilas
tidaklah buruk. Buaya dan burung tersebut hidup
secara normal mengikuti hukum-hukum alam.
Foto-foto oleh Akhmad
Junaedi Siregar
30 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
Pada saat ini kebanyakan obat-obat yang
dihasilkan umumnya berasal dari senyawa yang
diisolasi dari bagian tertentu tumbuhan seperti
akar, batang, kulit batang, buah dan daun
(Karim dkk., 2012; Chrystomo dkk., 2012).
Berbagai senyawa peptida atau protein yang
diisolasi dari herpetofauna (katak/kodok, ular,
kadal, kura-kura dan buaya) sebenarnya dapat
berpotensi sebagai obat yang tidak kalah
ampuh dengan senyawa yang berasal dari
tumbuhan obat.
Penelitian pengembangan dan peman-
faatan senyawa bioaktif yang berasal herpeto-
fauna sebagai bahan obat masih sangat kurang
diteliti oleh mahasiswa atau peneliti di Indone-
sia, hal ini dapat terlihat dalam penelitian-
penelitian beberapa mahasiswa yang meneliti
tumbuhan obat jauh lebih banyak dibandingkan
dengan penelitian pemanfaatan herpetofauna
dalam bidang kesehatan. Penelitian herpeto-
fauna lebih banyak difokuskan pada inventa-
risasi, keragaman, taksonomi, distribusi dan
ekologi hewan-hewan tersebut, sedangkan ap-
likasinya dalam bidang kesehatan masih sangat
sedikit, padahal keanekaragaman herpetofauna
di Indonesia relatif tinggi. Kemungkinan masih
sangat berpeluang besar untuk menemukan sen-
yawa bioaktif yang baik dan baru yang dapat
dikembangkan menjadi obat untuk menyem-
buhkan berbagai jenis penyakit yang ada di
negera kita ini. Hal ini menjadi suatu tantangan
dan peluang para mahasiswa, herpetologis, atau
peneliti di Indonesia untuk mengembangkan
penelitiannya dalam bidang kesehatan ini
(Karim dkk, 2012ab).
Sejauh ini, laporan penelitian mengenai
senyawa bioaktif dari kulit katak di Indonesia
terbatas pada tiga spesies yaitu kodok buduk
Bufo melanostictus (Barlian dkk., 2011), katak
pohon Jawa Rhacophorus margaritifer dan
kodok merah Leptophryne cruentata (Kusrini
dkk., 2011). Hasil penelitian tersebut menunjuk-
kan bahwa ketiga jenis katak ini memiliki seny-
awa bioaktif yang berfungsi sebagai anti jamur
dan anti bakteri.
Senyawa bioaktif yang diisolasi dari sek-
resi kulit (skin) katak atau kodok, bisa (venom)
dari ular dan air liur kadal dapat menyem-
buhkan berbagai jenis penyakit seperti kanker,
diabetes mellitus (gula darah), hypertensi
(tekanan darah tinggi), jantung, stroke, penyakit
HERPETOFAUNA OBAT Aditya Krishar Karim dan Mirza D. Kusrini
a
© Aditya Krishar Karim, 2011
b
Gambar 1. a). Jenis kodok Bufo melanostictus, b). Kunyit (Curcuma longa)
31 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
hemostatis, TBC, arthritis, penyakit infeksi yang
disebabkan bakteri, jamur dan virus, selain itu da-
pat meningkatkan kapasitas organ reproduksi
(afrodisiak) dan stamina (tonik) (Casewell dkk.
2012, Gomes dkk., 2010; Karim dkk, 2012b, Vyas
dkk, 2013 ). Hal ini memungkinkan juga akan
ditemukan beberapa senyawa baru yang diisolasi
dari herpetofauna seperti bisa ular yang dapat
menyembuhkan penyakit seperti HIV/AIDS
(Meenakshisundaram dkk., 2009).
Salah satu contoh herpetofauna seperti
kodok Bufo melanostictus (Gambar 1a), jenis
kodok ini menghasilkan senyawa peptida BM-
ANF1 (Bufo melanostictus-antineoplastic factor-1;
BM 79 kDa) dapat menghambat sel kanker kolon
(HCT-116), sedangkan senyawa Curcumin yang
diisolasi dan diekstrak dari suatu tumbuhan obat
Curcuma longa atau lebih kita kenal sebagai kun-
yit, dimanfaatkan sehari-hari sebagai bumbu masa-
kan (Gambar 1b), ternyata memiliki aktivitas yang
sama yaitu dapat menghambat sel kanker kolon
(HCT-116). Giri dkk., (2009) melaporkan kombi-
nasi kedua senyawa ini curcumin dan BM-ANF1
dapat menghambat pertumbuhan sel kanker ko-
lon (HCT-116) lebih baik dibandingkan efek dari
masing-masing senyawa itu kalau sendiri. Kombi-
nasi kedua senyawa ini dapat menghambat sel
kanker dengan menghambat CDK2 (Cyclin de-
pendent protein-2 pada fase S dalam siklus sel)
dan CDK4 (pada fase G1 dari siklus sel) dan men-
ingkatkan pengaturan inhibitor CDKs yaitu p21
(Protein-21) dan p27, selain itu Gomes dkk.,
(2007) melaporkan bahwa senyawa BM-ANF1
yang diisolasi dari ekstrak kulit katak Bufo
melanostictus juga dapat menghambat pertumbu-
han Leukemia (U937dan K562 leukemic cell line),
dan HepG2 (liver carcinoma cell line; Hepa-
toma).Senyawa alkaloid banyak terdapat pada
tumbuhan dan mungkin terdapat pada jumlah
yang tinggi pada bagian tertentu tumbuhan
seperti pada akar, batang, daun, biji atau kulit
batang. Beberapa senyawa golongan alkaloid ini
memiliki aktivitas antikanker seperti Vinca
alkaloids, Vinblastine, Vincristine, Vinleusina,
Gambar 2. a). Struktur alkaloid yang ditemukan pada ekstrak kulit katak, b). Jenis Katak Dendrobates pumilio (Sumber Daly dkk., 2002;
Denrobates pumilio: http://flickrhivemind.net/Tags/dendrobate).
32 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
Vinrosidina, Vinkristina dan Vinorelbine yang
diisolasi dari tumbuhan Vinca rosea dan
Catharanthus roseus (famili Apocynaceae) dan
telah banyak digunakan sebagai obat antitumor
dan antikanker yang potensial dan sangat efektif
pada pengobatan kemoterapi untuk penyakit
Leukimia dan Hodgkin’s (Himes dkk., 1976; Azimi
dkk., 2008).
Alkaloid juga ditemukan pada beberapa
jenis katak, kurang lebih 800 alkaloid ditemukan
pada ekstrak kulit katak (Daly dkk., 2005). Salah
satunya adalah katak Dendrobates pumilio
(Strawberry Poison Dart Frog) termasuk famili
Dendrobatidae (Gambar 2). Jenis katak ini banyak
ditemukan di pulau Bastimentos, Bocas, Panama,
Costa Rica dan diketahui mengandung level yang
tinggi dua alkaloid PTXs (pumiliotoxins) yaitu
PTXs 307A dan 323A (Daly dkk., 2002; 2005).
Alkaloid juga didapatkan pada kulit beberapa
jenis katak yang termasuk dalam genus Mantella
(Gambar 3), seperti M. aurantiaca, M. baroni, M.
betsileo, M. crocea, M. laevigata, M.
madagascariensis, M. milotympanum (merah dan
hijau), M. nigricans, M. cf nigricans, M. pulchra
dan M. viridis (Andriantsiferana dkk., 2005; Clark
dkk., 2006).
Apakah alkaloid yang dihasilkan dari kulit
katak ini juga memiliki aktivitas antikanker atau
bahkan dapat menyembuhkan penyakit yang lain-
nya? Pemberdayaan dan penelitian tentang herpe-
tofauna sebagai sumber obat untuk menemukan
senyawa bioaktif baru adalah salah satu alternatif
yang dapat memecahkan permasalahan dalam
bidang kesehatan pada masa kini dan yang akan
datang.
Penelitian dan pemanfaatan herpetofauna
sebagai sumber bahan obat yang dilakukan secara
sistematis, berkelanjutan dan terpadu perlu men-
dapat perhatian guna memenuhi kebutuhan ba-
han-bahan bioaktif baru dalam bidang kesehatan,
a b
d c
Gambar 3. Beberapa Jenis Katak Mantella spp a). M. madagascariensis, b). M. baroni, c). M. laevigata dan d). M. nigricans
(Sumber Schaefer dkk., 2002, Foto oleh M.Vences)
33 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
pertanian, bioindustri dan lain-lain. Oleh karena
itu penelitian-penelitian masih sangat diperlukan
untuk menemukan senyawa yang potensial yang
diisolasi dari herpetofauna sehingga menjadi ka-
jian atau topik penelitian yang menarik terutama
untuk menemukan berbagai senyawa yang dapat
dikembangkan sebagai obat untuk menyem-
buhkan berbagai jenis penyakit yang ada dine-
gara kita ini, selain itu akan ditemukan obat-obat
yang berasal dari herpetofauna dan menjadi
‖Herpetofauna obat‖.
Pustaka
Andriantsiferana, M., Andriamaharavo, N.R.,
Razafindrabe, C.R., Harisoa, C., Rasendra,
P., Garraffo, M., Spande, T.F., and Daly,
J.W. 2005. New Lipophilic Alkaloids from
Mantella Frogs Collected in Madagascar.
11th NAPRECA Symposium Book of
Proceedings, Antananarivo, Madagascar.
p169-186.
Azimi, A.A., Hashemloian, B.D., Ebrahimzadeh,
H., and Majd, A. 2008. High In vitro Pro-
duction of Anti-Canceric Indole Alkaloids
from Periwinkle (Catharanthus roseus) Tis-
sue Culture. African J Biotech. 7(16): 2834-
2839.
Barlian A., Anggadiredja K., Kusumorini A. 2011.
Damage in fungal morphology underlies
the antifungal effect of lyophilisate of
granular gland secretion from duttaphrynus
melanostictus frog. Journal of Biological
Science 11(3): 282-287
Casewell N. R., Huttley G.A., Wüster W. 2012.
Dynamic evolution of venom proteins in
squamate reptiles.Nature Communications
3. doi:10.1038/ncomms2065
Clark, V.C, Rakotomalala, V., Ramilijaona, O.,
Abrell, L., and Fisher, B.L. 2006. Individual
Variation in Alkaloid Content of Poison
Frogs of Madagascar (Mantella; Mantelli-
dae). J Chem Ecol. 32(10): 2219-2233.
Chrystomo, L.Y., Karim, A.K., Terada, K., and
Nohno, T. 2012. Evaluation of In vitro An-
tiproliferative Activity of Eupatorium ri-
parium Reg. Leaves Benzene Extract Againts
293A and HCT-116. Jurnal Bahan Alam In-
donesia. 8(1): 54-57.
Daly, J.W., Kaneko, T., Wilham, J., Garraffo,
H.M., Spande, T.F. Espinosa, A, and Don-
nelly, M.A. 2002. Bioactive Alkaloids of
Frog Skin: Combinatorial Bioprospecting
Reveals That Pumiliotoxins Have an Ar-
thropod Source. PNAS. 99 (22): 13996-
14001.
Daly, J.W., Spande, T.F., and Garraffo, H.M.
2005. Alkaloids from Amphibian Skin: A
Tabulation of Over Eight-Hundred Com-
pounds. J Nat Prod. 68: 1556-1575.
Gomes, A., Giri, B., Kole, L., Saha, A., Debnath,
A., and Gomes A. 2007. A Crystalin Com-
pounds (BM-ANF1) From India Toad (Bufo
melanostictus) Skin Extract, Induced Anti
Proliferation and Apoptosis in Leukemic
dan Hepato Cell Line Involving Cell Cycle
Protein. Toxicon. 50: 835-849.
Giri, B., Gomes, A., Sengupta, R., Banerjee, S.,
Nautiyal, J., Sarkar, F.H., and Majumdar,
A.P.N. 2009. Cucurmin Synergizes The
Growth Inhibitory Properties of Indian
Toad (Bufo melanostictus) Skin derived Fac-
tor (BM-ANF1) in HCT-116 Colon Cancer
Cell. Anticancer Res. 29: 395-402.
Gomes, A., Bhattacharjee, P., Mishra, R., Biswas,
A.K., Dasgupta, S.C., Giri, B. 2010. Antican-
cer Potential of Animal Venom and Toxins.
Indian. J Exp Biol. 48: 93-103.
Himes, R.H., Kersey, R.N., Heller-Bettinger, I.,
and Samson, F.E. 1976. Action of the Vinca
Alkaloids Vincristine, Vinblastine, and De-
sacetyl Vinblastine Amide on Microtubules
In Vitro. Cancer Res. 36: 3798-3802.
Karim, A.K., Sismindari, Asmara, W. and Is-
trayati. 2012. Cytotoxic Activity of Tegari
(Dianella nemorosa Lam.) Methanol Extract
Against HeLa Cells. 2012. Indonesian J Bio-
tech. 17(1): 1-9.
Karim, A.K., Wasaraka, Z.A., Chrystomo, Y.L.
34 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
dan Indrayani, E. 2012a. Peran Herpeto-
fauna dalam Bidang Kesehatan: Peluang
dan Tantangan. J Biologi Papua. 4(1): 38-
46.
Karim, A.K., Chrystomo, Y..L, Wasaraka, Z.A.
dan Indrayani, E. 2012b. Herpertofauna
Kaitannya dalam Pengembangan Senyawa
Antitumor, Antikanker dan Antimikroba.
Seminar Nasional Taksonomi Fauna ke IV
dan Konggres Masyarakat Zoologi Indone-
sia ke I. 7-8 November 2012, Universitas
Soedirman, Purwokerto.
Kusrini M. D., Artika I. M., Handini M. E. 2011.
Prevalensi serangan jamur Batrachochy-
trium dendrobatidis pada berudu dan ke-
beradaan bahan aktif pada kulit katak seba-
gai mekanisme pertahanan alami terhadap
mikroorganisme. Laporan penelitian hibah
fundamental dibiayai DIPA IPB nomor: 22/
i3.24.4/spp/pf/2011. Bogor, Institut Perta-
nian Bogor: 36.
Meenakshisundaram R., Sweni S. and Thiru-
malaikolundusubramanian P. 2009. Hy-
pothesis of snake and insect venoms against
human immunodeficiency virus: A review.
AIDS Research and Therapy 6(25):
doi:10.1186/1742-6405-6-25.
Schaefer, H.C., Vences M., and Veith, M. 2002.
Moleculer Phylogeny of Malagasy Poison
Frog; Genus Mantella (Anura; Mantellidae)
Honoplastic Evolution of Colour Patterns in
Aposematic Amphibians. Org Divers Evol. 2
(2): 109-117.
Vyas V. K., Brahmbhatt K., Bhatt H. and Parmar
U. 2013. Therapeutic potential of snake
venom in cancer therapy: Current perspec-
tives. Asian Pac J Trop Biomed 3(12): 156-
162.
Buku Baru
Akhir tahun 2012, Balai Taman Nasional Alas Purwo, Jawa
Timur menerbitkan buku panduan Herpetofauna (amfibi dan
reptil) Taman Nasional Alas Purwo yang merupakan seri pan-
duan potensi kawasan TN Alas Purwo, Buku setebal 128 hala-
man yang ditulis oleh M. Farikhin Yanuarefa, Gendut Hari-
yanto dan Joko Utami ini memberikan panduan prkatis men-
genali berbagai jenis amfibi dan reptil yang ada di dalam kawa-
san. Disajikan dengan gambar-gambar yang menarik, buku ini
mudah dicerna dan sa-ngat bermanfaat bagi para pecinta
hidupan liar.
Contoh halaman pada buku panduan lapang
herpetofauna TN Alas Purwo
Cover depan buku
35 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
PUSTAKA TENTANG PENANGKARAN AMFIBI
Berikut disajikan beberapa pustaka mengenai penangkaran amfibi. Beberapa dari pustaka-pustaka ini
bisa di download dari internet. Jika diperlukan, hubungi Mirza D. Kusrini untuk mendapatkan file dari
pustaka yang ada di bawah ini :
Álvarez R, Real M. 2006. Significance of initial
weight of post-metamorphosis froglets for
growth and fattening of Rana perezi Seoane,
1885, raised in captivity. Aquaculture (2006)
255: 429–435
Banks CB, Lau MWN, Dudgeon D. 2008. Captive
management and breeding of Romer’s tree
frog Chirixalus romeri. Int. Zoo Yb. (2008)
42: 99–108
Browne RK, Wolfra K, García G, Bagaturov MF,
Pereboom ZJJM. 2011. Zoo-based amphibian
research and conservation breeding programs.
Amphibian and Reptile Conservation 5(3): 1-
14.
Browne RK, Zippel K. 2007. Reproduction and
larval rearing of amphibians. ILAR Journal 48
(3): 214-234.
Browne RK, Odum RA, Herman T, Zippel K.
2007. Facility design and associated services
for the study of amphibians. ILAR Journal 48
(3): 188-202.
Davis A. K. and Maerz J. C. 2011. Assessing stress
levels of captive-reared amphibians with
hematological data: Implications for
conservation initiatives. Journal of
Herpetology 45(1): 40-44.
Edmonds D, Rakotoarisoa JC, Dolch R, Pramuk J,
Gagliardo R, Andreone F, Rabibisoa N,
Rabemananjara F, Rabesihanaka S,
Robsomanitrandrasana E. 2012. Building
capacity to implement conservation breeding
programs for frogs in madagascar: Results
from year one of mitsinjo’s amphibian
husbandry research and captive breeding
facility. Amphibian and Reptile Conservation
5(3): 57-69.
Forzan MJ, Helen GBS, Peter S. 2008. Chytridio-
mycosis In An Aquarium Collection Of Frogs:
Diagnosis, Treatment, And Control. Journal
Of Zoo And Wildlife Medicine 39(3): 406–
411.
Environmental Protection Agency. The
Department of Environment and Heritage
Protection. No Year. Code of pactice captive
reptile and amphibian husbandry. Brisbane, ,
Queensland Australia: 45. http://
www.derm.qld.gov.au/register/p00061aa.pdf
Densmore CL, Green DE. 2007. Diseases of
amphibians. ILAR Journal 48(3): 235-254.
Gentz E. J. 2007. Medicine and surgery of
amphibians. ILAR Journal 48(3): 255-259.
Griffiths RA, Pavajeau L. 2008. Captive Breeding,
Reintroduction, and the Conservation of Am-
phibians. Conservation Biology 22 (4): 852–
861
Johnson ML, L Berger, L Philips, R Speare. 2003.
Fungicidal effects of chemical disinfectants,
UV light, desiccation and heat on the amphib-
ian chytrid Batrachochytrium dendrobatidis.
Diseases of Aquatic Organisms 57: 255–260.
Kinne O, Kunert J, Zimmermann W. 2006. Breed-
36 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 1 FEBRUARI 2013
ing, rearing and raising the red-bellied toad
Bombina bombina in the laboratory. Endang
Species Res 1: 11–23.
Miles J, Williams J, Hailey A. 2004. Frog farming:
Investigation of biological and mechanical
agents to increase the consumption of pel-
leted food by adult Rana temporaria. Apllied
herpetology 1: 271-286.
Murray K, Skerratt L, Marantelli G, Berger L,
Hunter D, Mahony M, Hines H. 2011.
Guidelines for minimising disease risks
associated with captive breeding, raising and
restocking programs for australian frogs. A
report for the australian government
department of sustainability, environment,
water, population and communities. Brisbane,
Queensland, James Cook University: 49.
Narayan E, Christi K, Morley C. 2004. Provision
of egg-laying sites for captive breeding of the
endangered Fijian ground frog Platymantis
vitianus, University of the South Pacific, Suva,
Fiji. Conservation Evidence (2004) 4: 61-65
———. 2007. Improvement in ex-situ egg hatcha-
bility of Fijian ground frog Platymantis vi-
tianus by laboratory incubation of egg masses,
University of the South Pacific, Suva, Fiji.
Conservation Evidence (2007) 4: 25-27
———. 2007. Captive management of newly
hatched Fijian ground frog Platymantis vi-
tianus froglets: lessons learnt from an unan-
ticipated invertebrate predator invasion,
Suva, Fiji. Conservation Evidence (2007) 4:
58-60
Pessier AP, Mendelson JR. 2010. A manual for
control of infectious diseases in amphibian
survival assurance colonies and reintroduction
programs
Poole VA, Grow S. 2012. Amphibian husbandry
resource guide. Edition 2.0. Association of
Zoos & Aquariums. Silver Spring, MD238. pp
Pough FH. 2007. Amphibian biology and
husbandry. ILAR Journal 48(3): 203-212.
Pramuk JB, Gagliardo R. 2012. General Amphib-
ian Husbandary. Di dalam : Poole VA, S.
Grow, editor. Amphibian Husbandary Re-
source Guide National Akuarium. Edition 2.0.
Association of Zoos and Akuariums, Silver
Spring, MD. pp. 238.
Robert DV. 1997. The Questions and Answer
Manual of Reptiles and Amphibians. England:
Andromeda Oxford Limited.
Wildenhues M, Rauhaus A, Bach R, Karbe D, Van
der Straeten K, Hartwig ST, Ziegler T. 2012.
Husbandry, captive breeding, larval develop-
ment and stages of the Malayan horned frog
Megophrys nasuta (Schlegel, 1858)
(Amphibia: Anura: Megophryidae). Amphib-
ian and Reptile Conservation 5(3):15-28.
Woodhams DC, Bosch J, Briggs CJ, Cashins S,
Davis LR, Lauer A, Muths E, Puschendorf R,
Schmidt BR, Sheafor B, Voyles J. 2011.
Mitigating amphibian disease: Strategies to
maintain wild populations and control
chytridiomycosis. Frontiers in Zoology 8(8).
Woodhams DC, Corina CG, Laura KR, Louise AR,
Brianna L, Cherlyl JB, Vance TV and Jamie V.
2012. Treatment of Amphibians Infected With
Chytrid Fungus: Learning From Failed Trials
With Itraconazole, Antimicrobial Peptides,
Bacteria, And Heat Theraphy. Dis Aquat Org
98: 11–25.