26
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Isi Kebijakan Pemanfaatan Kayu di Kabupaten Jayapura
Kebijakan perijinan pemanfaatan kayu pada hutan alam di Kabupaten
Jayapura dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) periode waktu, yaitu :
a. Kebijakan sebelum Otonomi Khusus (sebelum tahun 2001) :
Perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau
pemungutan hasil hutan kayu meliputi perijinan Hak Pengusahaan Hutan
(HPH)/Ijin Usaha Pemungutan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA),
Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK), Ijin Pemanfaatan Kayu Limbah (IPKL). Perijinan-
perijinan ini membutuhkan persyaratan administrasi dan tekhnis yang sulit untuk
dipenuhi oleh masyarakat adat. Misalnya dalam perijinan IPK, pemohon wajib
menyetor dana sebagai garansi bank yang jumlahnya sama dengan jumlah tarif
PSDH dan DR sesuai target produksi IPK. Persyaratan-persyaratan ini
membatasi masyarakat untuk dapat memanfaatkan perijinan yang ada.
b. Kebijakan saat Otonomi Khusus hingga Operasi hutan Lestari II (2001 – 2005)
Pada periode ini perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan
pemanfaatan atau pemungutan hasil hutan kayu berupa perijinan IPK, Ijin
Pemungutan Hasil Hutan (IPHH) di hutan produksi, dan perijinan yang dibangun
sesuai semangat UU Otsus Papua yaitu Ijin Pemanfaatan Kayu Masyarakat Adat
(IPK-MA)/Kopermas. Pada periode ini masyarakat adat banyak terlibat dalam
kegiatan pemanfaatan kayu sesuai perijinan IPK-MA.
c. Kebijakan saat Otonomi Khusus pasca Operasi hutan Lestari II (2005 – sekarang)
Pada periode ini perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan
pemanfaatan atau pemungutan hasil hutan kayu berupa perijinan IPK, dan IPHH.
Perijinan IPK-MA telah dicabut pemberlakuannya. Kegiatan pemanfaatan kayu
banyak diarahkan pada areal penggunaan lain (APL) seperti areal lahan usaha dua
transmigrasi dengan menggunakan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK).
Penghentian perijinan IPK-MA oleh Kementerian Kehutanan tidak diikuti oleh
kebijakan yang menjawab kelemahan-kelemahan IPK-MA dan penguatan
kelembagaan lokal. Kementerian Kehutanan justru membatasi perijinan pemanfaatan
kayu oleh masyarakat adat. Masyarakat hanya diberi kesempatan untuk
memanfaatkan kayu dengan menggunakan perijinan IPHH pada hutan produksi.
27
Kenyataan di lapangan IPHH tidak dipakai oleh masyarakat adat, masyarakat lebih
memilih untuk memanfaatkan kayu tanpa perijinan. Untuk mengetahui penyebab
masyarakat tidak memanfaatkan perijinan IPHH dalam kegiatan pemanfaatan kayu
maka dilakukan analisis terhadap isi kebijakan IPHH sesuai SK Menhut
No.6886/Kpts-II/2002 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemberian IPHH dan
perubahannya sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.46/Menhut/2009.
Analisis isi kebijakan menggunakan pendekatan terhadap Rule, Opportunity,
Capacity, Communication, Interest, Process, Ideology / ROCCIPI (Seidman, et al.
2001) disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 . Hasil Analisis Isi Kebijakan SK.Menhut 6886/2002 dan P.46/Menhut/2009
Isi PeraturanHasil Analisis
SK. Menhut 6886/2002 & P.46/Menhut/2009
Peraturan (Rule)
Inkonsisten &
Diskriminatif
IPHHK-HA tdk diperdagangkan, sementara aturan ini
mengacu pada PP No.6 /2007 yang menjelaskan : IPHHK
adalah izin untuk mengambil hasil hutan berupa kayu pada
hutan produksi melalui kegiatan pemanenan, pengangkutan,
dan pemasaran untuk jangka waktu dan volume tertentu.
Kayu dari perijinan lain seperti IUPHHK-HA, IPK, dapat
diperdagangkan namun memiliki persyaratan yang sulit
dipenuhi oleh masyarakat, sementara IPHHK-HA yang
persyaratannya dapat dipenuhi oleh masyarakat tidak diijinkan
untuk diperdagangkan.
Peluang
(Opportunity)
Disinsentif
Peraturan ini tidak memberikan manfaat (pendapatan) berupa
uang dan justru menambah biaya karena pemegang ijin IPHHK
wajib membayar PSDH.
Kapasitas
(Capacity)
Memadai
Dinas Kehutanan dapat menjalankan tugas administrasi sesuai
perijinan IPHH, hal ini dapat dilihat dengan kelancaran
pengurusan IPHH-bukan kayu (gaharu, kulit masohi).
Komunikasi
(Communication)
Sosialisasi peraturan ini telah dilakukan dan mendapat respon
yang baik dari masyarakat adat berupa pengurusan perijinan
IPHH-bukan kayu.
Kepentingan
(Interest)
Hak kepemilikan
kayu
Masyarakat adat menilai aturan ini tidak mengakui hak
kepemilikan mereka atas hutan adat, sehingga untuk
menggunakan kayu (kebutuhan sendiri tanpa dijual) dari areal
ulayatnya mereka harus memohon ijin kepada pemerintah.
28
Proses (Process)
Top-down
P.46/2009 tidak menjawab kelemahan SK Menhut 6886/2002
Proses pembentukan aturan ini tidak melalui tahapan
pembuatan kebijakan yang tepat. (prosedur pembuatan
kebijakan menurut Dunn, 1994, yaitu : Perumusan Masalah,
Peramalan, Rekomendasi, Pemantauan, Penilaian.).
Ideologi
(Ideology)
Mengalihkan
kegiatan
pemanfaatan kayu
ke pemanfaatan
hasil hutan bukan
kayu.
Hasil hutan bukan kayu tidak menyebar merata seperti halnya
kayu sehingga tidak semua masyarakat beralih dari kegiatan
pemanfaatan kayu ke pemanfataan hasil hutan bukan kayu.
Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan yang ditawarkan oleh
pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan) tidak menjadi solusi atas masalah
pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat. Kebijakan tersebut justru memberi peluang
untuk tidak ditaati karena tidak memberikan manfaat (disinsentif) terhadap kebutuhan
masyarakat. Kebijakan ini juga melemahkan kapasitas lembaga pemerintah di
lapangan khususnya Dinas Kehutanan karena masyarakat menilai kehutanan tidak
mampu mengakomodir kepentingan masyarakat adat. Masyarakat juga menilai
pemerintah mengabaikan keberadaan mereka bahkan mengingkari legitimasi sistem
hak kepemilikan yang ada sebelumnya atas sumber daya alam berbasis tanah adat.
Menurut Peluso (2006) negara sering memaksakan pelaksanaan hukum yang
rumusannya bertentangan dengan kepercayaan, hukum adat, dan desakan kebutuhan
materi. Masyarakat sering menanggapinya dengan perlawanan sebagai bentuk protes
terhadap hilangnya akses atas sumber daya.
5.2. Saluran Pemasaran
Pemasaran kayu di Kabupaten Jayapura dibedakan menjadi 2 (dua) bagian,
yaitu pemasaran kayu legal dan pemasaran kayu illegal. Kayu legal atau kayu yang
berasal dari kegiatan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) pemasarannya disesuaikan dengan
perjanjian kerjasama antara pemegang IPK dan industri kayu. Kayu illegal atau tanpa
ijin pemasarannya melibatkan beberapa pihak yaitu masyarakat adat, kelompok
penggesek, industri kayu, kios kayu, dan konsumen lainnya. Pihak-pihak ini
membentuk pola saluran pemasaran seperti pada Gambar 3.
29
Gambar 3. Pola Saluran Pemasaran Kayu Tanpa Ijin di Kabupaten Jayapura
Keterangan :
: Saluran Pemasaran 1 (Masyarakat adat – Kelompok penggesek –industri/kios kayu/konsumen lain)
: Saluran Pemasaran 2 (Masyarakat adat – industri/kios kayu/konsumenlain)
Masyarakat di Distrik Unurumguay dan Distrik Kaureh memasarkan kayu
dengan menggunakan saluran pemasaran 1. Masyarakat di kedua distrik ini banyak
berhubungan dengan kelompok-kelompok penggesek kayu. Kelompok penggesek
merupakan masyarakat pendatang dari Sulawesi Utara yang menetap sementara di
hutan dan warga transmigrasi (Jawa) yang ada di Distrik Nimbokrang. Kelompok
penggesek memiliki keterampilan dalam mengoperasikan gergaji rantai (chain saw)
dan hubungan kerjasama dengan industri maupun kios kayu, kadang merupakan
bentukan dari industri atau kios kayu. Penggesek biasanya terdiri dari operator gergaji
rantai, regu sarad/pemikul dari dalam hutan ke pinggiran jalan.
Pada saluran pemasaran 1, masyarakat adat memberikan ijin kepada kelompok
penggesek kayu untuk mengolah kayu pada areal hutan milik masyarakat adat. Pada
saluran pemasaran ini penggesek lebih berkepentingan dibandingkan masyarakat adat.
Hal ini dibuktikan dengan keaktifan mereka dalam mencari lokasi maupun
membangun kerjasama dengan masyarakat melalui negosiasi-negosiasi yang
memotivasi masyarakat adat untuk memberikan ijin pemanfaatan kayu pada areal
hutan masyarakat adat. Ijin yang diberikan oleh masyarakat adat umumnya berupa
ijin lisan (verbal), ada pula ijin tertulis yang telah disiapkan oleh kelompok penggesek
untuk ditanda tangani oleh masyarakat adat. Ijin tertulis inilah yang kemudian dipakai
oleh penggesek untuk mengamankan setiap kegiatan penebangan hingga
pengangkutan kayu ke industri atau kios kayu.
Masyarakat Adat Kel. Penggesek
• Industri Kayu;
• Kios Kayu;
• Konsumen lain
1
2
30
Setelah memperoleh ijin dari masyarakat adat, kelompok penggesek dapat
mulai melakukan kegiatan penebangan pohon, penggergajian, dan pengangkutan
kayu. Masyarakat adat menerima kompensasi sesuai laporan lisan tentang volume dan
jenis yang telah diambil dari areal hutannya. Kelompok penggesek memasarkan kayu
dalam bentuk kayu pacakan dengan jenis dan ukuran sesuai permintaan industri
maupun kios kayu. Jenis kayu merbau (Intsia,sp.) dijual ke industri kayu dengan
ukuran 3m x 14cm x 14cm, untuk yang dijual ke kios kayu selain merbau juga kayu
dari kelompok rimba campuran seperti matoa (Pometia sp.) dan lain-lain dengan
ukuran bervariasi yaitu 4m x 5cm x 10cm ; 4m x 5cm x 15cm; 4m x 10cm x 10cm .
Kelompok penggesek dalam melakukan kegiatannya mampu mencapai jarak ±
2 km dari pinggiran jalan. Pengerjaan pohon menjadi kayu pacakan dilakukan di
lokasi penebangan dengan menggunakan gergaji rantai. Pengangkutan kayu dari
lokasi penebangan ke pinggiran jalan menggunakan tenaga manusia (dipikul), ternak
(sapi), mobil jeep, dan motor yang telah dimodifikasi untuk digunakan pada rel yang
telah disiapkan. Dalam sehari setiap operator gergaji rantai mampu menghasilkan 1 –
2 meter kubik kayu pacakan jenis merbau. Jenis non merbau pengerjaannya lebih
mudah sehingga dalam sehari mampu mencapai 3 – 4 meter kubik.
Pengangkutan kayu dari pinggiran jalan ke industri atau kios kayu
menggunakan truk. Kapasitas angkut truk untuk kayu merbau ± 4 meter kubik dan
kayu non merbau ± 5 meter kubik. Dalam perjalanan truk akan melewati pemeriksaan
di pos polisi kehutanan dan beberapa pos keamanan (TNI/polisi). Di pos polisi
kehutanan pemeriksaan dilakukan terhadap surat angkutan kayu (faktur angkutan),
volume dan jenis kayu yang diangkut. Untuk menghindari pemeriksaan dan
kemungkinan penahanan kayu illegal dan truk pengangkut, supir truk atau pemilik
kayu biasanya membayar sejumlah uang di setiap pos yang dilewati. Jumlah biaya
yang dikeluarkan untuk melewati pos kehutanan, Pos TNI, dan Pos Polisi selama
perjalanan dari hutan hingga Kota Sentani berkisar antara Rp. 750.000 hingga Rp.
900.000,-. Biaya ini dapat bertambah jika dalam perjalanan ada pemeriksaan yang
dilakukan oleh oknum aparat kepolisian yang sedang melakukan patroli.
Masyarakat di Distrik Kemtuk memasarkan kayu mereka dengan
menggunakan saluran pemasaran 2. Masyarakat yang mengusahakan kayu di distrik
ini merupakan mantan karyawan perusahaan kehutanan/HPH yang mempunyai
pengalaman dalam mengoperasikan gergaji rantai dan mengenal pihak pihak pemilik
31
kios kayu dan konsumen lain . Konsumen lain yang membeli kayu dari masyarakat
berasal dari pelaksana pembangunan perumahan dan proyek pembangunan lainnya di
kabupaten dan kota Jayapura. Areal hutan yang dikelola masyarakat dapat mencapai ±
1 km dari pinggiran jalan dengan medan yang relatif datar. Pengangkutan kayu dari
dalam hutan ke pinggiran jalan menggunakan tenaga manusia (dipikul). Pemanfaatan
kayu biasanya dilakukan jika ada kebutuhan mendesak misalnya untuk kebutuhan
perayaan natal dan kebutuhan sekolah anak pada saat tahun ajaran baru. Tingginya
biaya angkutan dan pungutan oleh pihak berwenang yang tidak bertanggungjawab
menyebabkan masyarakat di distrik ini lebih memilih untuk menunggu pihak kios
kayu atau konsumen lain yang mendatangi mereka daripada membawa sendiri atau
mendatangi konsumen ke Kota Sentani. Masyarakat yang menggunakan saluran
pemasaran 2 jarang menjual kayu ke industri. Hal ini disebabkan menurut mereka
pengukuran yang dilakukan oleh tenaga pengukur kayu (grader) sering merugikan
mereka.
Kedua pola saluran pemasaran ini dan produk IPK menjadi sumber
pemenuhan kebutuhan kayu industri hasil hutan kayu untuk kepentingan ekspor dan
kebutuhan kayu lokal di kabupaten dan kota Jayapura. Kenyataan di lapangan sulit
sekali membedakan kayu yang berasal dari IPK dan kayu ilegal. Hasil pengamatan di
lapangan terdapat IPK yang tidak beroperasi namun memiliki dokumen-dokumen
penatausahaan kayu dari IPK ke beberapa industri yang ada di Kabupaten Jayapura.
Kondisi ini dapat terjadi karena rendahnya kredibilitas petugas kehutanan yang
bertugas di IPK, di pos pengendalian peredaran kayu, dan di industri kayu.
Rendahnya kredibilitas petugas disebabkan oleh kurangnya dukungan dana dan
fasilitas dari pemerintah. Dalam melaksanakan tugas fungsional sebagai petugas di
perusahaan (IPK/IUIHHK) pembiayaan berupa honor/insentif ditanggung oleh
perusahaan sehingga petugas ikut merasa bertanggungjawab untuk mengamankan
aktivitas perusahaan sekalipun melanggar aturan. Dwiyanto (2011) menjelaskan
bahwa salah satu masalah dalam birokrasi pemerintah adalah rendahnya penghasilan
aparatur birokrasi. Pemerintah bahkan sering membiarkan aparaturnya berburu rente
dari kewenangan pelayanan yang dimilikinya.
32
5.3. Analisis Pendapatan Masyarakat Adat dan Pemerintah Daerah
Beberapa Perijinan pemanfaatan kayu yang pernah beroperasi dan menjadi
sumber pendapatan di Kabupaten Jayapura adalah Hak Pengusahaan Hutan (HPH),
Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK), dan Ijin Pemanfaatan Kayu Masyarakat Adat (IPK-
MA). Pendapatan yang diterima oleh masyarakat adat atas kayu yang dipungut HPH
tidak dalam bentuk uang tunai tetapi berupa kegiatan-kegiatan HPH Bina
Desa/PMDH (bangunan sekolah, puskesmas, dan perkebunan). Pasca krisis moneter
tahun 1998 dan pemberlakukan Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) tahun
2001, 3 (tiga) HPH yang beroperasi di Kabupaten Jayapura menghentikan
kegiatannya (stagnasi). Penghentian kegiatan disebabkan pengaruh krisis moneter dan
banyak tuntutan masyarakat adat yang berhubungan dengan ganti rugi atas ulayat
hingga tuntutan kompensasi dalam bentuk uang sesuai volume kayu yang diproduksi.
Masyarakat adat Elseng, salah satu kelompok masyarakat adat di bagian Selatan
Kabupaten Jayapura menuntut ganti rugi atas kegiatan HPH dan melakukan
pemalangan terhadap areal konsesi HPH Risana Indah Forest Industri (RIFI) dan
beberapa alat berat.
Masyarakat mulai menerima kompensasi dalam bentuk uang tunai saat
pemberlakukan IPK-MA tahun 2002. Hasil wawancara dengan masyarakat adat
pengurus IPK-MA dan masyarakat pemilik ulayat areal IPK diperoleh informasi
tentang pendapatan masyarakat adat dari kegiatan IPK-MA dan IPK yang dapat
dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Pendapatan Masyarakat dari kegiatan IPK-MA dan IPK di Kab. Jayapura
No. Jenis PerijinanPendapatan Masyarakat Adat (Rp./m3)
Sblm OHL Pasca OHL
1.
2.
IPK-MA Sokuota
Dawemna
IPK-MA Sentosa
Standarisasi Kompensasi
Kep.Gubernur No. 184/
2004, yaitu :
K.Indah : 75.000
K.Merbau: 37.500
Non Merbau : 7.500
Biaya IPK-MA : 5.000
Bervariasi antara :
17.500 – 30.000
3.
4.
IPK VCMWI
IPK SMJ
-
-
-
-
Ket : OHL : Operasi Hutan Lestari dilakukan tahun 2005.
33
Pendapatan masyarakat adat (pemilik ulayat) disesuaikan dengan standar
kompensasi sesuai SK Bupati Jayapura Nomor 41/2002 dan SK Bupati Jayapura
Nomor 13 tahun 2005. Biaya IPK-MA (Fee IPK-MA) merupakan hasil negosiasi
antara pengurus IPK-MA dan pihak ketiga (investor). Pengurus IPK-MA (Ketua,
Sekretaris, Bendahara) juga menerima insentif bulanan selama IPK-MA beroperasi
yang besarnya bervariasi antara Rp.100.000,- hingga Rp.150.000,-. Hasil kajian
Yulianti (2005) menunjukkan bahwa pemilik Kopermas/IPK-MA adalah kelompok
yang paling sedikit menikmati manfaat dan keuntungan Kopermas. Kebijakan ini
juga dinilai gagal memenuhi fungsi keberlanjutan usaha (sustainability).
Pendapatan masyarakat dari kegiatan IPK-MA pasca OHL merupakan
pendapatan yang diperoleh dari hasil pelelangan kayu-kayu IPK-MA yang disita.
Pendapatan dari hasil lelang kayu IPK-MA bervariasi dan dipengaruhi oleh negosiasi
antara masyarakat adat dan pihak pemenang lelang. Negosiasi antara masyarakat dan
pemenang lelang biasanya berlangsung sebelum kegiatan lelang dilakukan. Posisi
masyarakat adat dalam negosiasi lemah sehingga mereka lebih banyak menerima
tawaran yang diberikan.
Kegiatan IPK VCMWI dan IPK SM tidak memberikan
pendapatan/kompensasi kepada masyarakat pemilik ulayat lokasi IPK. Hal ini
mungkin terjadi karena lokasi kedua IPK berada pada areal penggunaan lain (APL)
yang merupakan lokasi perkebunan kelapa sawit dan lokasi lahan usaha dua pada
areal transmigrasi. Hasil wawancara dan pengamatan di salah satu lokasi IPK
menunjukkan bahwa tidak terdapat kegiatan pemanfaatan kayu pada areal yang
dimaksud, bahkan rencana perkebunan tidak terealisasi. Hal ini membuktikan bahwa
investor sebenarnya hanya memburu dokumen-dokumen perijinan untuk melegalkan
kegiatan-kegiatan illegalnya. Casson (2003) menjelaskan bahwa kebanyakan
perusahaan di Irian Jaya (Papua) lebih berminat memungut kayu dari konsesi mereka
daripada benar-benar membangun perkebunan.
Pendapatan masyarakat adat dari kegiatan pemanfaatan kayu tanpa perijinan
dibedakan sesuai dengan saluran pemasaran seperti pada pembahasan sebelumnya.
Pendapatan masyarakat adat di Distrik Kemtuk diperoleh dari aktifitas masyarakat
secara langsung dalam memanfaatkan kayu, sedangkan di Distrik Unurumguay dan
Distrik Kaureh pendapatan masyarakat adat merupakan hasil kerjasama antara
masyarakat adat dan kelompok penggesek kayu. Pendapatan masyarakat adat dari
34
kegiatan pemanfaatan kayu di Distrik Kemtuk, Distrik Unurumguay, dan Distrik
Kaureh dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Pendapatan Masyarakat Adat dari Kegiatan Pemanfaatan Kayu di Kab
Jayapura.
No.Jenis Kayu dan Tujuan
Pemasaran
Pendapatan Masyarakat Adat (Rp/m3)
Kemtuk Unurumguay Kaureh
1. Merbau :
a. Industri kayu
b. Kios Kayu
c. Proyek Pembangunan
-
1.195.917
1.079.250
75.000
100.000
-
100.000
100.000
-
2. Non Merbau :
a. Kios Kayu
b. Proyek Pembangunan
291.300
341.300
40.000
-
40.000
-
Pendapatan masyarakat adat di Distrik Kemtuk lebih tinggi dari masyarakat di
Distrik Unurumguay dan Distrik Kaureh karena masyarakat di Distrik Kemtuk
mengusahakan kayu sendiri tanpa melibatkan pihak luar (kelompok penggesek). Di
Distrik Unurumguay dan Disrik Kaureh, perhitungan kompensasi antara kelompok
penggesek kayu dan masyarakat didasarkan atas jumlah pengangkutan dengan
menggunakan truk. Setiap pengangkutan kayu merbau masyarakat mendapat
kompensasi sebesar Rp.300.000,- dengan perhitungan/anggapan masyarakat bahwa
jumlah kayu yang diangkut sebanyak 3 m3. Untuk kayu non merbau masyarakat
memperolah Rp.200.000,- setiap truk, dengan anggapan masyarakat jumlah kayu
yang diangkut 5 m3. Perhitungan ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan standar
kompensasi sesuai aturan yang berlaku, namun sesungguhnya kondisi di lapangan
menunjukkan bahwa pendekatan perhitungan ini sangat merugikan masyarakat.
Masyarakat sering dikelabui, baik dengan jenis kayu maupun volume yang diangkut.
Kelompok penggesek juga sering menggunakan aparat keamanan dalam kegiatannya
sehingga masyarakat adat kadang sulit untuk melakukan protes atas kompensasi yang
diterima.
Perbedaan pendapatan masyarakat juga dipengaruhi oleh banyaknya pungutan
liar yang dilakukan aparat di setiap pos maupun yang sedang melakukan patroli.
Semakin jauh jarak pengangkutan kayu dari lokasi ke tempat tujuan pemasaran,
semakin banyak jumlah pos yang dilewati sehingga biaya pungutan liar semakin
tinggi. Biaya pungutan ini kadang sulit diprediksi karena pungutan tidak hanya
dilakukan oleh petugas di pos keamanan tapi juga oleh petugas yang sedang
35
melakukan patroli. Pengaruh pungutan ini dapat dilihat pada perbedaan pendapatan
masyarakat di Distrik Kemtuk yang menjual kayu ke kios kayu dan yang menjual
kepada pihak yang melakukan kegiatan pembangunan (proyek pembangunan). Untuk
proyek pembangunan, pembeli menjemput kayu ke Distrik Kemtuk, sehingga biaya
pengangkutan dan pungutan liar dapat dikurangi dan meningkatkan pendapatan
masyarakat.
Akses jalan dan jarak antara Distrik ke Kota Kabupaten Jayapura (Sentani)
juga mempengaruhi keputusan masyarakat dalam menentukan tujuan pemasaran
kayu. Masyarakat di Distrik Kemtuk memiliki akses (kerjasama) dengan kios kayu
maupun konsumen lain karena berada dekat dengan Kota Sentani. Konsumen lain
(developer pembangunan) lebih memilih untuk membeli kayu di lokasi-lokasi yang
dekat dengan kegiatannya (Sentani) untuk menghindari biaya transportasi yang tinggi
dan pungutan liar. Jarak antara masing-masing distrik ke Kota Sentani dapat dilihat
pada Lampiran 1.
Masyarakat di Distrik Kemtuk tidak menjual kayu ke industri karena jarak ke
industri yang jauh, harga yang diperoleh lebih rendah, dan penilaian terhadap volume
kayu sering merugikan masyarakat. Pasokan kayu untuk kebutuhan industri banyak
diperoleh dari Distrik Unurumguay dan Distrik Kaureh. Hasil perhitungan
menunjukkan bahwa penjualan kayu merbau dari kedua distrik tersebut ke industri
kayu di Distrik Unurumguay lebih menguntungkan dibandingkan penjualan ke kios
kayu di Kota Sentani. Hal ini disebabkan oleh tingginya biaya pungutan pada saat
kayu diangkut menuju Kota Sentani. Detail tentang biaya dan pendapatan yang
diperoleh masyarakat dari kegiatan pemanfaatan kayu di lokasi penelitian dapat
dilihat pada Lampiran 2.
Data realisasi penerimaan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana
Reboisasi (DR) dari kegiatan pemanfaatan kayu di Kabupaten Jayapura pada tahun
2005 s/d 2009 dapat dilihat pada Tabel 17.
36
Tabel 17. Realisasi Penerimaan Negara dari Kegiatan Pemanfaatan Kayu di Kab.Jayapura Tahun 2005 s/d 2009
Tabel 17 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi penerimaan PSDH dan DR dari
tahun 2005 (akhir pemberlakuan ijin IPK-MA) hingga tahun 2009. Perijinan
pemungutan kayu berupa IPK di Kabupaten Jayapura mengalami penurunan jumlah
namun penerimaan PSDH tahun 2009 meningkat, hal disebabkan oleh peningkatan
standarisasi PSDH untuk setiap kelompok jenis dan adanya pemisahan jenis kayu
merbau. Sekalipun kegiatan pemungutan kayu sesuai perijinan (IPK/IPK-MA)
menurun namun aktifitas illegal dalam pemanfaatan kayu dan dokumen tata usaha
kayu terus berlangsung. Hasil penelusuran dokumen dan wawancara dengan
masyarakat ditemukan adanya dokumen realisasi penyetoran PSDH dan DR yang
berasal dari kegiatan IPK yang belum aktif di lapangan. Modus ini dipakai untuk
memanipulasi dokumen agar dapat memanfaatkan kayu tanpa perijinan.
Kayu untuk kebutuhan lokal dipenuhi dari kegiatan tanpa perijinan (illegal)
sehingga tidak memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara (PSDH dan DR).
Data tentang peredaran kayu dari hutan ke Kota Sentani untuk kebutuhan kios kayu
dan kebutuhan lokal lainnya ditelusuri melalui pengamatan dan wawancara dengan
petugas di pos kehutanan serta pemilik dari beberapa kios kayu di Kota Sentani.
Estimasi kerugian negara dari pemanfaatan kayu tanpa perijinan dapat dilihat pada
Tabel 18.
No. TahunPemerintah Pusat Pemda Jayapura
PSDH (Rp.) DR (US $) PSDH (Rp.) DR (US $)
1. 2005 1.653.552.676 585.092,28 529.136.856,3 234.036,91
2. 2006 176.945.184 91.899,34 56.622.458,8 36.755,74
3. 2007 907.751.945 264.301,40 290.480.622,4 105.720,56
4. 2008 876.442.184 216.656,68 280.461.498,9 86.662,67
5. 2009 1.287.420.238 176.220,42 411.974.476,2 70.488,17
Sumber : Data Dinas Kehutanan Kab. Jayapura (diolah).
37
Tabel 18. Kerugian Negara dan Pemerintah Daerah dari Kegiatan Pemanfaatan
Kayu di Kab. Jayapura.
No.Kelompok
Jenis
Volume /
Bulan
(m3)
Kerugian Negara Kerugian Pemda
PSDH (Rp.) DR (US $)PSDH
(Rp.)DR (US $)
1. Merbau 200 30.000.000 2.600 9.600.000 1.040
2. Meranti 600 30.240.000 7.800 9.676.800 3.120
Jumlah 800 60.240.000 10.400 19.276.800 4.160
Hasil pencatatan di pos kehutanan menunjukkan bahwa rata-rata volume kayu
yang diangkut ke Kota Sentani sebanyak ± 800 m3 per bulan. Jumlah ini
sesungguhnya masih lebih rendah dibanding data rata-rata jumlah kayu yang diterima
8 (delapan) kios kayu yang berada di Kota Sentani yaitu sekitar ± 1.000 m3 per
bulan.
5.4. Analisis Para Pihak (Stakeholder Analisys)
Stakeholder dikategorikan sesuai dengan kepentingan dan pengaruh yang
mereka miliki terhadap kondisi pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat di Kabupaten
Jayapura. Terdapat 3 (tiga) kategori stakeholder, yaitu :
1. Stakeholder kunci merupakan stakeholder yang memiliki kewenangan legal
dalam hal pemberian ijin maupun pengambilan keputusan (Pemerintah Daerah
Kabupaten Jayapura).
2. Stakeholder utama merupakan stakeholder yang mempunyai kaitan kepentingan
langsung dengan kegiatan pemanfaatan kayu (Masyarakat adat dan swasta).
3. Stakeholder pendukung merupakan stakeholder yang tidak memiliki kepentingan
langsung namun memiliki kepedulian terhadap kegiatan pemanfaatan kayu
(DPRD dan LSM).
Hasil wawancara mendalam diperoleh informasi pendapat stakeholder tentang
kegiatan pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat di Kabupaten Jayapura. Pendapat
stakehoder tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.
Sebanyak 57,2% stake
oleh masyarakat adat karena be
1. Belum ada peraturan yang
memanfaatkan kayu pada
2. Kegiatan pemanfaatan ka
kebutuhan kayu lokal.
3. Undang-Undang Otonom
adat untuk memanfaatkan sum
Sebanyak 14,2% stak
kayu oleh masyarakat adat ka
peraturan atau perijinan. Se
pemerintah daerah terkesan
oleh masyarakat berjalan tanpa
tidak setuju dengan kegiatan
mereka kegiatan tanpa pe
pengawasan, pengendalian,
yang dimanfaatkan.
Tanggapan stakeholde
mengetahui adanya ketidakse
Jayapura. Belum terlihat ada
0,00%
10,00%
20,00%
30,00%
40,00%
50,00%
60,00%
70,00%
80,00%
90,00%
100,00%
Stakeholde Kunci
57,20%
14,2%
Gambar 4. PendapatMasyarak
akeholder kunci setuju terhadap kegiatan pemanf
na beberapa alasan, yaitu :
ang memberikan kesempatan kepada masyarakat
da areal ulayat.
n kayu oleh masyarakat adat digunakan untuk
onomi Khusus memberikan kesempatan kepada
kan sumberdaya alam dalam areal ulayatnya.
stakeholder kunci ragu-ragu terhadap kegiatan p
t karena menurut mereka kegiatan ini tidak didukung
Selain itu pengalaman kegiatan IPK-MA me
n sangat hati-hati bahkan membiarkan pemanf
tanpa perijinan. Sebanyak 28,6% stakeholder
an pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat kare
perijinan menyebabkan pemerintah sulit
n, dan program yang bersifat tehnis terhadap
holder kunci menunjukkan bahwa pemerintah da
ksesuain antara kebijakan dan kondisi pemanfaa
danya upaya yang dilakukan oleh pemerintah da
Stakeholde Kunci Stakeholder
Utama
Stakeholder
Pendukung
57,20%
100,0%
28,6%
14,2%
0,0%
71,4%
28,6%
0,0% 0,0%
pat stakeholder tentang Kegiatan Pemanfaatan Krakat Adat
38
anfaatan kayu
kat adat untuk
uk memenuhi
da masyarakat
n pemanfaatan
didukung oleh
menyebabkan
anfaatan kayu
der kunci yang
karena menurut
t melakukan
ap areal-areal
h daerah telah
nfaatan kayu di
h daerah (dinas
Setuju
Ragu-ragu
Tidak
Setuju
n Kayu oleh
39
kehutanan) untuk mencari solusi terhadap masalah kebijakan pemanfaatan kayu.
Mengindari penilaian negatif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat
menyebabkan Dinas Kehutanan lebih memilih untuk membiarkan masyarakat
memanfaatkan kayu tanpa perijinan. Kondisi ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak
berkepentingan seperti industri kayu dan kios kayu termasuk penunggang bebas (free
rider) untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum dan mengurangi pendapatan
masyarakat adat dan pemerintah.
Pendapat stakeholder utama seperti pada Gambar 4 dikemukakan dengan
alasan-alasan sebagai berikut :
1. Masyarakat adat mempunyai hak yang sama dengan para pendatang / perusahaan.
Mereka juga menganggap bahwa UU Otsus mendukung masyarakat adat untuk
memanfaatkan hutan.
2. Kegiatan yang dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, jumlah
kayu yang dimanfaatkan juga lebih sedikit dari jumah kayu yang pernah
dimanfaatkan oleh perusahaan/swasta bahkan kondisi ini juga menguntungkan
oknum pemerintah untuk melakukan pungutan liar.
3. Pemerintah juga telah mengetahui bahwa ada kegiatan pemanfaatkan kayu tanpa
ijin namun membiarkannya. Menurut mereka pembiaran oleh pemerintah sengaja
dilakukan karena perijinan untuk masyarakat ‘mungkin’ tidak menguntungkan
bagi pemerintah.
4. Kegiatan pemanfaatan kayu tersebut mendukung pembangunan karena digunakan
untuk pemenuhan kebutuhan kayu lokal.
Stakeholder utama khususnya masyarakat adat sesuai hasil analisis pendapatan
menunjukkan bahwa masyarakat banyak dirugikan dengan kegiatan pemanfaatan
kayu tanpa perijinan. Namun dari hasil wawancara menunjukkan bahwa seluruh
stakeholder utama termasuk masyarakat adat setuju dengan kondisi pemanfaatan kayu
yang sementara berjalan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat adat membutuhkan
pengakuan atas keberadaan dan hak akses terhadap sumberdaya hutan.
Stakeholder pendukung yang setuju dikemukakan dengan alasan Undang-
Undang Otonomi Khusus memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
memanfaatkan sumberdaya alam bagi kesejahteraan/memenuhi kebutuhan hidup.
40
Pendapat ragu-ragu dikemukakan dengan alasan :
1. Pemanfaatan kayu tanpa ijin oleh masyarakat adat merupakan bentuk konspirasi
antara pemerintah dan swasta untuk memenuhi kepentingan pihak swasta.
2. Kondisi tanpa perijinan tidak memberikan proses belajar tentang bagaimana
pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan. Kondisi ini justru merusak
kelembagaan adat dan masyarakat adat ikut terpengaruh dengan kebiasaan
eksploitatif yang dilakukan oleh perusahaan atau pihak luar.
Alasan yang dikemukakan stakeholder kunci, stakeholder utama, dan
stakeholder pendukung jelas menunjukkan bahwa pemanfaatan kayu oleh masyarakat
adat sekalipun tanpa perijinan tetapi ketiga stakeholder memahami adanya peluang
melalui otonomi khusus yang dapat mengakomodir kepentingan masyarakat adat.
Stakeholder kunci khususnya Dinas Kehutanan memahami adanya kelemahan
kebijakan dalam menjawab kebutuhan masyarakat. Pengalaman IPK-MA
membuktikan bahwa pemanfaatan sumber daya hutan sesuai Undang-Undang
Otonomi Khusus Papua harus tetap mengacu pada undang-undang atau peraturan
sektor kehutanan sekalipun peraturan tersebut bertentangan dengan semangat otonomi
khusus. Rancangan PERDA Kabupaten Jayapura untuk mengatasi masalah
pemanfaatan kayu oleh masyarakat mengalami kendala karena tidak memiliki
dukungan dari peraturan yang lebih tinggi (Peraturan Menteri Kehutanan). Butuh
keberanian dan profesinalisme dari aparatur di Kabupaten Jayapura untuk melakukan
terobosan-terobosan guna menjawab permasalahan trade offs kebijakan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Menurut Dwiyanto (2011) aparatur
pemerintah yang memiliki profesionalisme tinggi cenderung tidak toleran terhadap
proseduralisme yang membelenggu dan menjauhkan mereka dari kreativitas dan
inovasi.
5.5. Analisis Efektifitas Kelembagaan Adat
Menurut Berkes dan Farvar (1989) dalam Suharjito (1999), pandangan ilmiah
Barat menganggap common-property resources adalah sumberdaya yang tidak
dipertangungjawabkan kepada pribadi (private), tidak dimiliki oleh seseorang, open
access dan tersedia bebas bagi para pengguna. Sedangkan menurut pandangan
tradisional, common-property resources adalah sumberdaya yang dimiliki secara
komunal (communally owned resources). Masyarakat adat di lokasi penelitian
memiliki pandangan tentang sumberdaya alam milik bersama dalam suatu marga atau
41
dalam suku yang terdiri dari beberapa marga. Sumberdaya milik bersama ini
biasanya merupakan sumberdaya yang jumlahnya tidak terbatas misalnya sumber air.
Selain itu sumberdaya milik bersama dapat berupa sumberdaya bergerak seperti satwa
atau hewan buruan. Untuk sumberdaya yang tidak bergerak dan jumlahnya terbatas
seperti kayu masuk dalam kategori sumberdaya milik marga, yang dihubungkan
dengan lokasi tumbuhnya pohon/kayu tersebut dengan pemilik tanah adat/ulayat. Hal
ini menunjukkan bahwa common-property sumberdaya hutan/kayu pada lokasi
penelitian maupun pada umumnya di setiap tanah ulayat milik masyarakat adat di
Papua sifatnya tidak open access.
Masyarakat adat di Distrik Kemtuk, Distrik Unurumguay, dan Distrik Kaureh
percaya bahwa hutan memberikan manfaat yang besar kepada masyarakat. Semua
informan yakin bahwa hutan memberikan manfaat bagi kehidupan, apabila hutan
tidak ada maka keberlangsungan hidup mereka terganggu. Kepercayaan tersebut
didasarkan pada pengalaman hidupnya yang merasa manfaat hutan sebagai penyedia
bahan makanan (berburu, menyediakan sagu), dan didasarkan pada nasehat-nasehat
orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat, dan adat-istiadat yang ada dalam masyarakat.
Masyarakat adat yakin terhadap aturan tertulis dan aturan tidak tertulis dapat
berfungsi untuk menjaga dan mengatur kegiatan pemanfaatan kayu, namun tingkat
kepercayaannya berbeda-beda. Terhadap aturan tertulis (formal pemerintah) 20%
informan percaya bahwa aturan tertulis yang ada efektif untuk mengatur kegiatan
pemanfaatan kayu, sebagian informan (80%) ragu-ragu terhadap efektivitas aturan
tertulis. Sedangkan terhadap aturan tidak tertulis (aturan adat) 80% informan percaya
bahwa aturan tersebut efektif mengatur kegiatan pemanfaatan kayu, hanya 20%
informan yang ragu-ragu terhadap aturan tidak tertulis.
Tingkat kepercayaan masyarakat adat terhadap aturan tidak tertulis (aturan
adat) untuk mengelola sumber daya hutan khususnya untuk memanfaatkan kayu lebih
tinggi dari kepercayaannya terhadap aturan tertulis (formal). Hal ini dikarenakan
aturan tidak tertulis sudah berlaku secara turun-temurun dan terinternalisasi dalam
kehidupan masyarakat adat. Sedangkan aturan tertulis yang disusun oleh pemerintah
hanya sebagian kecil yang mengakomodir kepentingan masyarakat adat untuk
memanfaatkan kayu.
42
Kepatuhan seseorang terhadap aturan dapat diperlemah dan diperkuat oleh
kepatuhan orang lain terhadap aturan tersebut. Oleh karena itu penting untuk
meninjau kepercayaan seseorang bahwa orang lain mematuhi aturan (Suharjito dan
Saputro, 2008). Tingkat kepercayaan informan bahwa masyarakat lain mematuhi
batas ulayat dalam kegiatan pemanfaatan kayu 93,3% percaya sedangkan sebagian
kecil 6,7% ragu-ragu. Tingkat kepercayaan informan bahwa anggota masyarakat lain
dapat mematuhi aturan adat dalam pemanfaatan kayu diperkuat oleh tingkat
kepercayaan bahwa masyarakat adat dapat bekerjasama dalam menjaga batas-batas
ulayat. Sebagian besar informan (73,3%) percaya dan 26,7% informan ragu-ragu.
Sebagaimana dijelaskan Uphoff (2000) bahwa kepercayaan (trust) dan pembalasan
(reciprocation) merupakan cara untuk membangun hubungan dengan orang lain.
Informan yang ragu-ragu terhadap kepatuhan dan kemampuan bekerjasama menjaga
batas ulayat dalam kegiatan pemanfaatan kayu didasarkan atas kekhawatiran
kehadiran kelompok-kelompok masyarakat adat lain yang mulai banyak menetap dan
bersama-sama memanfaatkan hutan.
Tingkat kepercayaan masyarakat adat terhadap kegiatan pemanfaatan kayu
oleh IPK, dan IUPHHK/HPH tergolong rendah, yaitu 86,7% informan tidak percaya,
dan 13,3% informan ragu-ragu. Secara ringkas distribusi informan menurut tingkat
kepercayaannya terhadap manfaat hutan, fungsi aturan, kepatuhan, kerjasama, dan
hubungan dengan perusahaan disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19. Distribusi Informan menurut Tingkat Kepercayaan
No Kepercayaan informan terhadap Distribusi Informan (%)
Tidak
Percaya
Ragu-
ragu
Percaya
1 Manfaat hutan - - 100%
2 Fungsi aturan tertulis 80,0% 20,0%
3 Fungsi aturan tidak tertulis - 20,0% 80,0%
4 Kepatuhan terhadap batas ulayat dalam
pemanfaatan kayu
- 6,7% 93,3%
5 Kemampuan kerjasama warga masyarakat - 26,7% 73,3%
6 Perusahaan (IPK/IUPHHK) 86,7% 13,3% -
43
Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap HPH maupun IPK
disebabkan oleh aktivitas HPH/IPK yang kurang menghormati bahkan merusak
kearifan lokal yang telah ada dalam menjaga hubungan masyarakat dengan hutan.
Masyarakat adat juga melihat bagaimana perusahaan dapat dengan mudah
memanfaatkan kayu dalam jumlah yang banyak dan didukung oleh aparat
keamanan/militer yang selalu melihat masyarakat adat sebagai ancaman terhadap
perusahaan. Sekalipun masyarakat tidak percaya dengan kegiatan-kegiatan
IPK/IUPHHK namun tidak ada pilihan lain yang dapat dilakukan untuk menghindari
kerjasama dalam pemanfaatan kayu. Kondisi ini sejalan dengan pendapat Maring
(2010) yang menjelaskan bahwa konflik, perlawanan, dan kolaborasi merupakan
realitas yang silih berganti berlangsung di lapangan, melibatkan pihak-pihak yang
sama, tempat yang sama, dan terjadi pada kasus yang sama yaitu penguasaan hutan.
Di lokasi penelitian dan di Papua pada umumnya aturan adat merupakan
aturan verbal yang mempunyai kekuatan untuk mengikat setiap individu yang hidup
dalam wilayah hukum adat. Aturan adat yang kerapkali dijumpai berupa aturan-aturan
yang berhubungan dengan masalah perkawinan, upacara-upacara adat, dan hak ulayat.
Aturan adat tentang pemanfaatan kayu ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-
hari dan menyangkut kearifan lokal dalam memanfaatkan suatu jenis kayu menjadi
peralatan tertentu, misalnya untuk membuat perahu masyarakat menggunakan kayu
perahu (Octomeles sumatrana) atau untuk membuat rumah menggunakan kayu matoa
(Pometia spp). Dalam aturan adat diatur tentang zona-zona pemanfaatan, misalnya
areal hutan untuk berkebun, berburu, sumbet air, pemukiman (kampung lama) dan
sebagainya.
Tingkat pemahaman informan terhadap aturan adat yang mengatur zona
pemanfaatan hutan cukup beragam. 70% informan di Distrik Kemtuk cukup paham
dan 30% informan paham dengan zona pemanfaatan hutan. Di Distrik Kaureh 40%
informan cukup paham dan 60% informan paham dengan zona pemanfaatan hutan
secara adat. Informan yang dikategorikan cukup paham tentang zona pemanfaatan
adalah mereka yang mengetahui adanya aturan adat tentang zona pemanfaatan hutan
namun tidak bisa memberikan keterangan secara detail tentang zona-zona tersebut.
Kebanyakan dari mereka beralasan bahwa orang tua mereka lebih paham tentang hal
tersebut atau sebagai akibat tidak adanya transfer informasi dari generasi sebelumnya.
Informan di Unurumguay semuanya paham tentang zona pemanfaatan karena terjadi
44
transfer informasi yang baik dari generasi sebelumnya serta adanya inisiatif WWF
pada tahun 2006 yang membantu masyarakat secara partisipatif membuat peta ulayat
dan zona pemanfaatan. Distribusi informan menurut tingkat pemahaman terhadap
aturan adat disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20. Distribusi Informan menurut Tingkat Pemahaman terhadap Aturan Adat
InformanTingkat Pemahaman (%)
Tidak paham Cukup paham Paham
Distrik Kemtuk - 70% 30%
Distrik Unurumguay - - 100%
Distrik Kaureh - 40% 60%
Pemahaman terhadap aturan adat yang mengatur zona pemanfaatan di Distrik
Kemtuk dan Distrik Kaureh akan meningkat jika difasilitasi dengan kegiatan-kegiatan
yang mendukung tercapainya transfer informasi. Kegiatan tersebut dapat berupa
kegiatan pemetaan partisipatif yang melibatkan seluruh masyarakat adat atau wakil
marga.
5.6. Peta Permasalahan Berdasarkan Temuan Studi
Hasil analisis terhadap masalah yang dihadapi oleh masyarakat adat dalam
kegiatan pemanfaatan kayu dirumuskan kedalam bentuk peta permasalahan yang
ditampilkan pada Tabel 21.
Tabel 21. Peta Permasalahan Pemanfaatan Kayu oleh Masyarakat Adat
No. AnalisisPermasalahan Sintesis/Akar
MasalahMasyarakat Adat Pemerintah Daerah
1. Isi Kebijakan Perijinan yangditawarkan tidaksesuai dengankebutuhan masyarakatadat
Kebijakan yangada tidak memberiruang kepadaMasyarakat adatuntukmengusahakankayu secara legal.
Kebijakan yangada inkonsisten dandiskriminatif
2. SaluranPemasaran
1. Tidak didukungoleh legalitasproduk kayu.
2. Tingginya pungutanliar.
3. Kemampuankewirausahaan
Kebijakan yg adabelum mendukungpelaks programpemberdayaanmasy adat(wirausaha)
1. Legalitas2. Pemberdayaan
Masy3. Clean & good
governance
45
3. Pendapatan 1. Pendapatanmasyarakat adatrendahdibandingkandengan pelakupemasaran lain.
2. Produk illegalsehinggamenimbulkan biayatransaksi tinggi
Trade offskebijakan antaraKemenhut danPemdamempengaruhipendapatanPEMDA
1. Legalitas2. Keterampilan
Masyarakat
4. Stakeholder Dukungan stakeholderterhadap kegiatanpemanfaatan kayu olehmasyarakat adat sesuaiUU Otsus belummaksimal .
Lambatnya prosespenjabaranPerdasus ttgpengelolaan Hutanberkelanjutan diPapua.
Profesionalismestakeholder
5. EfektivitasKelembagaanAdat
Kebijakanpemanfaatan hutanmengabaikankelembagaan adat.
1. Minimnyapelibatankelembagaanadat sbg mitrapengelolahutan.
2. Aturan tehniskehutanandinilai lebihmampumenjagakelestarianhutan.
1. Kebijakan ygada mengabai-kan hubunganmasyarakatdengan hutan.
2. Kurangnyaperankelembagaanadat dalamkebijakanpengelolaanhutan.
Berdasarkan peta permasalahan jelas terlihat bahwa kebijakan pemanfaatan
kayu yang diberikan oleh Kementerian Kehutanan tidak sesuai dengan kebutuhan
masyarakat adat dan kebutuhan pembangunan di Papua. Kebijakan yang ada belum
mengakomodir kepentingan masyarakat adat untuk memanfaatkan kayu. Dibutuhkan
kejelasan terhadap hak kepemilikan (property right) masyarakat adat terhadap hutan.
Kebijakan yang berhubungan dengan hak kepemilikan perlu untuk disesuaikan
dengan karakteristik masyarakat adat yang masih hidup dalam kelompok-kelompok
adat dan masih percaya terhadap aturan-aturan adat.
Memperhatikan karakteristik masyarakat adat maka pengakuan terhadap hak
kepemilikan (property right) dapat diwujudkan dalam bentuk hak komunal (common
property) sebagai alternatif dalam pengelolaan hutan produksi. Melalui pengakuan
negara atas hak komunal (common property) dapat mendorong peningkatan kapasitas
kelembagaan adat. Pengakuan atas hak komunal juga akan meningkatkan
kepercayaan masyarakat adat terhadap pemerintah. Kondisi ini akan mempermudah
46
proses kolaborasi kebijakan pengelolaan hutan antara aturan tehnis kehutanan dan
aturan-aturan adat. Menurut Nugroho (2003) beberapa manfaat yang dapat diperoleh
jika ada pengakuan terhadap hak komunal dalam pengelolaan hutan khususnya
pemanfaatan kayu, yaitu :
1. Menghindari kendala kapasitas/kemampuan masyarakat, dengan jumlah
masyarakat yang terlihat banyak maka akan saling melengkapi (transfer) dalam
informasi maupun pengalaman pemanfaatan kayu.
2. Masuknya pihak di luar komunitas adat yang merugikan kepentingan kelompok
akan mudah terdeteksi karena semua anggota masyarakat memiliki kepentingan
dan hak yang sama.
3. Kelembagaan adat yang berhubungan dengan norma, sanksi, dan kepercayaan
dapat kembali diterapkan.
4. Distribusi manfaat dapat lebih adil sehingga kesejahteraan dalam kelompok
masyarakat dapat meningkat secara merata.
5. Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah dapat lebih efektif dan efisien, selain
itu dalam pengawasan pemerintah dapat memanfaatkan kelembagaan adat.
Alasan di atas tidak berarti bahwa hak komunal akan terbebas dari masalah,
beberapa hal yang mungkin muncul dalam pengakuan hak komunal yaitu adanya
struktur adat yang akan mempengaruhi proses dan keputusan secara komunal. Untuk
itu tetap dibutuhkan pemberdayaan dan pendampingan pemerintah kepada pemimpin
atau tokoh-tokoh adat dalam meningkatkan kapasitas pengetahuan dan keterampilan
termasuk dalam menghindari konflik internal dalam adat.
Top Related