UNIVERSITAS INDONESIA
HUBUNGAN UPACARA KEMATIAN DAN
ARSITEKTUR KREMATORIUM
Studi Kasus Krematorium Nirwana, Jawa Barat
NASKAH RINGKAS
Kusuma Erlina
NPM 1006660415
FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN ARSITEKTUR
DEPOK
JULI 2014
Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014
Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014
Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014
Hubungan Upacara Kematian dan Arsitektur Krematorium;
Studi Kasus Krematorium Nirwana, Jawa Barat
Kusuma Erlina, Gunawan Tjahjono
Departemen Arsitektur
Universitas Indonesia, Depok 16242, Indonesia
Abstrak
Kematian adalah tahapan hidup yang pasti dilalui oleh setiap makhluk hidup. Upacara kematian merupakan
suatu peristiwa yang menunjukkan tindakan atas „yang meninggalkan‟ dan „yang ditinggalkan‟. Tulisan ini
bertujuan untuk menunjukkan bahwa kematian merupakan sesuatu yang sangat berarti dan dapat diwadahi dalam
suatu arsitektur. Arsitektur terbentuk karena adanya peristiwa yang menempati ruang, begitu pula dengan
arsitektur kematian yang terbentuk karenanya adanya peristiwa upacara kematian di dalamnya. Krematorium
sebagai arsitektur yang menfasilitasi upacara kematian kremasi memunculkan laut sebagai komponen menghuni
baru yang tidak terdapat pada teori Heidegger.
The Relation of Funeral Ceremony and Crematorium;
A Study Case of Nirwana Crematorium, West Java
Abstract
Death is a life stages through which every human must face. Funeral ceremony is an event of „the one living‟ and
„the left behind‟. This writing aim to tell that death is a meaningful stage in our life and can be accomodated
within architecture. The architecture is formed because of the events that take place in spaces. The architecture
of death formed by funeral ceremony as the events. Crematorium as the architecture for cremation ceremony
indicated sea as a new dwelling components that are not in Heidegger‟s theory.
Key Words: Architecture; Creamatorium; Cremation; Death; Dwelling; Funeral Ceremony
1. Pendahuluan
Sabbe Sankhara Anicca, segala yang berkondisi tidaklah kekal. Kematian merupakan
perwujudan dari ketidakkekalan. Setiap makhluk hidup akan menghadapi kematian.
Ketidakkekalan menunjukkan adanya tahapan yang harus dilalui yakni awal, sekarang, dan
nanti. Merujuk pada „nanti‟ yang menunjukkan keberadaan dunia yang telah mati dan dunia
yang ditinggalkan, kematian bukanlah kondisi yang hanya terjadi pada kehidupan „yang
meninggalkan‟ tetapi juga mempengaruhi „yang ditinggalkan‟ seperti keluarga dan kerabat.
Upacara kematian menjadi tindakan „yang ditinggalkan‟ atas „yang meninggalkan‟. Berkaitan
dengan hal ini, upacara kematian sering kali dianggap sebagai cara untuk dapat membantu
atau mempermudah jiwa dari orang yang meninggal untuk dapat dengan mudah memasuki
dan melanjutkan dunia mereka selanjutnya.
Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014
Salah satu arsitektur yang menfasilitasi upacara kematian adalah krematorium.
Krematorium menyediakan ruang-ruang yang dapat menfasilitasi upacara kematian kremasi
(pembakaran tubuh jenazah hingga menjadi abu). Seiring berjalannya waktu, arsitektur
krematorium tidak hanya menyediakan ruang-ruang pembakaran saja tetapi juga fasilitas
pendukung lainnya seperti ruang berkumpul dan beristirahat bagi „yang ditinggalkan‟,
penitipan abu jenazah, pelarungan abu jenazah maupun ruang upacara sebelum dilakukan
pelarungan abu jenazah. Kebutuhan ruang upacara kematian menjadi faktor pendukung
perkembangan suatu arsitektur krematorium. Dengan latar belakang inilah, tulisan ini akan
mnejelaskan bagaimana hubungan upacara kematian dan arsitektur krematorium. Apakah
ruang yang terbentuk pada saat dilakukan upacara kematian akan menpengaruhi arsitektur
dari suatu krematorium?
2. Hubungan Arsitektur dan Upacara Kematian
Kata arsitektur berasal dari bahasa Yunani yaitu arkhitekton yang berarti kepala
tukang bangunan. „Arkhi‟ berarti kepala dan „tekton‟ yang berarti tukang/batu/bangunan.
Arsiktektur merupakan suatu proses membangun atau membentuk sesuatu. Dalam skripsi
Feby Hendola Kaluara yang berjudul „Makna Ruang Kematian pada Masyarakat Cyburbia
Jakarta” disebutkan bahwa untuk membentuk ruangan (room) dan tempat (place), arsitek
perlu mengetahui makna ruang (space) dan aktivitas apa yang mungkin terjadi di dalamnya.1
Hal ini serupa dengan apa yang disampaikan Bernard Tschumi dalam bukunya yang berjudul
Event-Cities yaitu “Architecture is as much about the events that take place in spaces as
about the spaces themselves.”2 Keberadaan peristiwa pada suatu ruanglah yang membentuk
suatu arsitektur. Peristiwa tersebut menjadi aksi atau program yang hendak dicapai dari suatu
arsitektur. Hal ini yang juga terjadi pada arsitektur yang mewadahi upacara kematian.
Peristiwa yang menjadi program dari suatu arsitektur yang mewadahi kematian adalah
momen dari „yang meninggalkan‟ dan „yang ditinggalkan‟.
Yi-Fu Tuan dalam bukunya yang berjudul Space and Place (1997) menjelaskan
bahwa dalam mendefinisikan atau memberi makna pada suatu ruang tidak mungkin dapat
dilakukan tanpa adanya keberadaan objek dan tempat untuk mendefinisikan ruang tersebut
(Yi-Fu Tuan 1997:17). Pertama, objek yang dimaksud di sini adalah dwellers, seperti yang
1 Kaluara, Feby Hendola. Makna Ruang Kematian pada Masyarakat Cyburbia Jakarta. Depok: Universitas
Indonesia, 2012, Hal. 15. 2 Tschumi, Bernard. Event-Cities. England: The MIT Press, 1999, Hal. 11.
Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014
dituliskan dalam tulisannya yang berjudul Building, Dwelling, Thinking, „„We do not dwell
because we have built, but we build and have built because we dwell, that is, because we are
dwellers‟‟ (Heidegger, 1971:146). Sebagai manusia, kita akan mencoba memenuhi kebutuhan
kita akan menghuni (dwelling) sehingga kita akan membangun sesuatu. Hal ini akan terus
berulang seiring dengan perubahan ide atau pola pikir. Heidegger juga menjelaskan bahwa
terdapat empat komponen menghuni yaitu earth, sky, divinities, dan mortals (Heidegger,
1971:147). Mereka yang dapat disebut mortal adalah yang dapat meninggal. Hal ini
menunjukkan adanya ketidakabadian atau proses menghadapi kematian pada kehidupan.
Manusia termasuk ke dalam makhluk fana karena manusia akan menghadapi kematian.
Dalam proses tersebut, mortal tidak akan terlepas dari keberadaan earth, sky, dan
divinities. Bumi menjadi tempat segala kehidupan manusia terjadi. Saat mereka menghuni di
bumi, mereka akan menyadari bahwa mereka juga berada di bawah langit. Ketika menyadari
ketidakabadian, mereka juga akan menyadari akan keberadaan keilahian (hal berhubungan
dengan the Godhead). Pada tulisan Building, Dwelling, Thinking, Heidegger tidak
menjelaskan secara terperinci apakah yang dimaksud dengan divinites memiliki kesamaan
dengan sosok Tuhan dalam suatu agama/kepercayaan tertentu. Jika dikaitkan dengan dasar
kegiatan menghuni maka pendefinisian ruang tergantung dari bagaimana cara manusia
menghuni agar dapat menjaga dan mempertahankan keempat komponen tersebut. Kedua,
tempat untuk mendefinisikan ruang yang dimaksud di sini dapat berupa lokasi arsitektur
dibangun. Heidegger menjelaskan bahwa ruang mendapatkan menjadi sesuatu dari lokasi dan
bukan dari ruang3. Lokasi menentukan bagaimana ruang pada suatu arsitektur terbentuk
sesuai dengan program (peristiwa).
3. Pendekatan Penulisan
Penelitian yang dilakukan ini dimulai dengan meninjau literatur mengenai keberadaan
„yang meninggalkan‟ dan „yang ditinggalkan‟ pada upacara kematian kremasi bangsa Yunani
Kuno dan umat Hindu di India. Selanjutnya, hasil tinjauan literatur upacara kematian dan
konsep menghuni Martin Heidegger direfleksikan pada hasil observasi krematorium Nirwana,
Jawa Barat. Dengan demikian, dapat ditelusuri bagaimana keterkaitan upacara kematian
dengan arsitektur krematorium Nirwana.
3 Heidegger, Martin. Poetry, Language, Thought. New York: Harper & Row, 1971 Hal. 152.
Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014
4. Upacara Kematian Kremasi dan Arsitektur Krematorium Nirwana
4.1 Upacara Kematian
No. Keterangan
Upacara Kematian Kremasi
Bangsa Yunani
Kuno
Umat Hindu
di India
1. Upacara dengan kepercayaan tertentu Ѵ Ѵ
2. Lokasi upacara kematian yang berbeda-beda
pada setiap tahapan Ѵ Ѵ
3. Tidak disediakan wadah (fasilitas) yang
dikhususkan untuk upacara kematian Ѵ Ѵ
4. Cara pengremasian Api Tradisional Api Tradisional
5. Perlakuan abu jenazah Dikuburkan Dilarung
6. Momen mengantar sebagai upacara kematian Ѵ Ѵ
Tabel 3.1 Perbandingan Upacara Kematian Kremasi Bangsa Yunani Kuno dan Umat Hindu di India
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014)
Gambar 4.1 Diagram Penggunaan Ruang pada Upacara Kematian Bangsa Yunani Kuno
(Sumber: http://www.youtube.com/watch?v=OR3geATu0zI, diedit dengan Photoshop, 2014)
Pada upacara kematian bangsa Yunani Kuno, ritual persiapan tubuh jenazah,
pengremasian, dan pengenangan dilakukan di tiga tempat yang berbeda. Ritual pengremasian
dilakukan di ruang terbuka, „yang meninggalkan‟ berada di tengah sedangkan „yang
ditinggalkan‟ mengelilinginya. Tidak ada perlakuan khusus pada tempat pengremasian karena
„yang ditinggalkan‟ akan meninggalkan tempat pengremasian dan baru kembali keesokan
harinya untuk mengambil sisa tulang dan abu jenazah. Sisa tulang dan abu jenazah akan
dikuburkan dan „yang ditinggalkan‟ akan kembali ke tempat penguburan untuk mengenang
„yang meninggalkan‟ ataupun ritual upacara peringatan kematian. Berdasarkan hasil analisis,
terbentuknya dan pemisahan ruang bagi „yang ditinggalkan‟ dan „yang meninggalkan‟ terjadi
karena mengikuti peristiwa yang terjadi (upacara kematian). Selain itu, arsitektur untuk
pengenangan juga terbentuk untuk menfasilitasi upacara peringatan yang akan dilakukan.
Satu hal yang harus diperhatikan, iring-iringan „yang ditinggalkan‟ dalam mengantar „yang
meninggalkan‟ juga termasuk ke dalam tahapan upacara kematian yang merupakan momen
mengantar sekaligus transisi sebelum „yang ditinggalkan‟ menuju dunia selanjutnya.
Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014
Gambar 4.2 Diagram Penggunaan Ruang pada Upacara Kematian di India
(Sumber: http://mailerindia.com/hindu/veda, diedit dengan Photoshop, 2014)
Upacara kematian umat Hindu di India menyerupai upacara kematian bangsa Yunani
Kuno. Ritual persiapan tubuh jenazah, pengremasian, dan pengenangan dilakukan di tiga
tempat yang berbeda. Persiapan tubuh dilakukan di rumah, setelah itu jenazah akan dibawa ke
ruang terbuka untuk ritual pengremasian. Letak „yang meninggalkan‟ berada di tengah
sedangkan „yang ditinggalkan‟ mengelilinginya. „Yang ditinggalkan‟ akan meninggalkan
tempat pengremasian dan akan kembali keesokan harinya untuk mengambil sisa tulang dan
abu jenazah. Sisa tulang dan abu jenazah akan dilarung ke sungai Gangga dan „yang
ditinggalkan‟ akan kembali ke sunggai Gangga untuk mengenang „yang meninggalkan‟
ataupun ritual upacara peringatan kematian. Serupa dengan upacara kematian bangsa Yunani
Kuno, ruang bagi „yang meninggalkan‟ dan „yang ditinggalkan‟ terbentuk menyesuaikan
peristiwa yang terjadi (upacara kematian). Pada upacara kematian umat Hindu di India juga
terdapat iring-iringan untuk mengantar „yang meninggalkan‟ menuju tempat pengremasian.
4.2 Krematorium Nirwana
Krematorium Nirwana yang berlokasi di Marunda-Muara Tawar, Jawa Barat didirikan
pada tanggal 31 Mei 2000. Mayoritas yang melakukan pengremasian di krematorium Nirwana
adalah umat beragama Buddha dan Nasrani dibandingkan dengan umat beragama Hindu.
Krematorium yang sudah berdiri selama 14 tahun ini menyediakan jasa pengremasian
menggunakan api tradisional (kayu bakar), oven biasa, dan oven otomatis. Krematorium
Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014
Nirwana mengusung konsep „One Stop
Service’ yang menyediakan jasa
kedukaan terlengkap di Indonesia. Jasa
yang ditawarkan pada krematorium
Nirwana meliputi jasa pengremasian,
penitipan abu jenazah, pelarungan abu
jenazah di laut, dan ruang duka.
Krematorium Nirwana memiliki luas
tanah sekitar 12 Hektar. Krematorium ini
berbatasan langsung dengan tepi laut.
Krematorium Nirwana terbagi menjadi
beberapa bangunan yang terpusat pada sisi barat seperti bangunan pembakaran dengan kayu
bakar, bangunan pembakaran dengan oven, tempat penitipan abu Buddhis, tempat penitipan
abu Nasrani, kantor, gudang kayu bakar, dermaga, tempat parkir, dan pos jaga. Pada sisi utara
kawasan telah disediakan sebidang tanah yang akan digunakan untuk membangun tempat
penitipan abu jika tempat abu yang sudah disediakan telah penuh.
Gambar 4.4 Diagram Ritual di Krematorium Nirwana
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014)
Saat akan memasuki krematorium Nirwana, kita akan disambut gerbang berwarna
hijau dengan papan nama krematorium dan sepasang patung batu singa. Letak krematorium
yang berada tepat di ujung jalan memudahkan masyarakat untuk menemukan krematorium
ini. Tepat di sebelah kanan setelah memasuki gerbang, kita akan menemui pos jaga. Dari pos
jaga inilah biasanya rombongan pelayat akan diarahkan untuk memarkirkan kendaraannya di
Gambar 4.3 Site Plan Krematorium Nirwana
(Sumber: Google Maps diedit dengan Photoshop, 2014)
Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014
tempat parkir yang sdah disediakan. Krematorium ini menyediakan sirkulasi kendaraan yang
dapat langsung menuju ruang duka dan ruang pembakaran. Hal ini untuk mempermudah
mobil jenazah agar dapat langsung mengantarkan peti mati ke ruang yang telah disediakan.
Penyatuan tempat parkir pada sisi barat krematorium bertujuan agar lalu lalang kendaraan
maupun kendaraan yang diparkirkan tidak menganggu upacara dan aktivitas di dalam
krematorium. Selain itu, mobil jenazah dapat langsung menuju tempat pembakaran tanpa
harus terganggu dengan keberadaan kendaraan pelayat. Pelayat dan peziarah dapat mengakses
bangunan-bangunan yang terdapat di dalam kawasan krematorium dengan berjalan kaki
karena bangunan-bangunan di krematorium ini terpusat pada wilayah yang sama terkecuali
ruang ritual pelarungan abu dan dermaga. Di bawah ini adalah diagram ritual di krematorium
Nirwana.
Gambar 4.5 Organisasi Ruang di Krematorium Nirwana
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014)
Berdasarkan diagram di atas, peletakan ruang-ruang yang terkait dengan ritual upacara
kematian dibuat saling berdekatan dan mengikuti rangkaian upacara. Hal ini memudahkan
pelayat untuk menuju dan menemukan bangunan-bangunan di dalam krematorium. Saat
memasuki krematorium, kita akan dengan mudah menemukan kantor pengelola sehingga
mempermudah mengurus kepentingan saat berada di krematorium tersebut. Kita dapat
melihat bahwa ruang-ruang yang menjadi titik fokus utama (dalam kedekatan) pada
krematorium Nirwana adalah ruang pembakaran, ruang duka, dan tempat penitipan abu
sedangkan dermaga terletak agak jauh tetapi tetap dapat dituju dengan berjalan kaki. Letak
ruang duka yang berhadapan langsung dengan ruang pembakaran bertujuan untuk
mempermudah aktivitas upacara sebelum pengremasian. Intensitas waktu ziarah yang tidak
Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014
sesering pengremasian dapat menjadi salah satu pertimbangan mengapa kemudahan
pencapaian ruang saat ritual pengremasian lebih diutamakan dibanding dengan berziarah.
4.2.1 Bangunan Pembakaran dan Ruang Duka
Krematorium Nirwana menyediakan pembakaran dengan kayu bakar dan oven.
Bangunan pembakaran berada di satu bangunan yang sama dengan ruang duka. Letaknya
tepat berhadap-hadapan dengan ruang duka seperti pada gambar di atas. Ruang duka dan
ruang pembakaran dipisahkan selasar selebar 8 m. Selasar tersebut berfungsi sebagai sirkulasi
peti jenazah sekaligus tempat untuk melakukan ritual sebelum proses pengremasian.
Bangunan ini memiliki tinggi 45 cm dari permukaan tanah sehingga mobil tidak dapat
berhenti langsung di depan ruang pembakaran dan peti mati harus diangkat. Meskipun
demikian, kemudahan penjangkauan mobil jenazah ke ruang pengremasian dapat
menghilangkan atau mengurangi pengalaman dari upacara kematian yakni iring-iringan „yang
meninggalkan‟ sebelum dikremasikan. Hal ini disebabkan terbatasnya ruang yang dapat
digunakan untuk melakukan iring-iringan dan seolah-olah „yang meninggalkan‟ akan
langsung dimasukkan ke dalam ruang pengremasian sesampai di krematorium.
Gambar 4.6 Denah dan Potongan Bangunan Pembakaran dan Ruang Duka
(Sumber: Dokumentasi Pribadi diedit dengan Photoshop, 2014)
Gambar di atas merupakan potongan dari bangunan pembakaran dan ruang terbuka.
Ruang pembakaran berada di ketinggian yang sama dengan ruang duka. Hal ini
mempermudah sirkulasi saat melakukan upacara dari ruang duka menuju ruang pembakaran.
Ruang pembakaran di krematorium Nirwana berupa ruang-ruang tertutup sehingga kita tidak
akan menyadarinya saat melintas. Lubang ventilasi udara untuk jalannya asap berada di sisi
Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014
belakang bangunan. Berbeda dengan ruang pembakaran lainnya, ruang pembakaran dengan
oven otomatis hanya ditutupi dengan kaca sehingga pelayat dapat melihat mesin yang
digunakan untuk pembakaran sekaligus proses pengangkatan sisa fragmen tulang. Orientasi
bangunan yang berada di krematorium Nirwana berada di sisi barat. Hal ini bertujuan agar
arah kepala jenazah menghadap barat saat melakukan upacara kematian. Dalam agama
Buddha, arah barat merupakan letak dari Nirwana (tempat pemberhentian terakhir). Selain itu,
lebih kecilnya luas bidang sisi yang menghadap arah barat dan timur dapat mengurangi
pemanasan dari sinar matahari.
Di dekat pintu ruang pengremasian terdapat tempat untuk melakukan sembahyang
dewa dan penancapan dupa. Hal ini bertujuan agar „yang ditinggalkan‟ dapat meminta izin
kepada dewa bumi sebelum melakukan pengkremasian pada „yang meninggalkan‟. Perbedaan
ketinggian tempat sembahyang dengan tinggi lantai selasar bertujuan sebagai penanda
perbedaan fungsi sekaligus penghormatan kepada dewa. Dalam tradisi Buddhis, dupa dan
perlengkapan upacara lainnya akan dinyalakan selama pengremasian atau upacara peringatan
berlangsung. Oleh karena itu, keberadaan tempat sembahyang diperlukan pada setiap ruang
pengremasian agar dalam waktu yang bersamaan dapat dilakukan beberapa upacara kematian
dan tidak menganggu atau saling menunggu satu sama lainnya. Orientasi bangunan dan
keberadaan tempat upacara kematian tradisi Buddhis menunjukan tradisi Buddhis pada
arsitektur krematorium Nirwana.
4.2.2 Tempat Penitipan Abu
Gambar 4.7 Penitipan Abu Jenazah Buddhis dan Nasrani di Krematorium Nirwana
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014)
Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014
Tempat penitipan abu di krematorium Nirwana terbagi menjadi dua yakni tempat
penitipan abu Buddhis dan Nasrani. Pemisahan ini dikarenakan adanya perbedaan ritual
upacara. Besaran kedua tempat ini sama yakni (6,5x12) m dengan kapasitas sekitar 1500 rak
penempatan abu. Setiap rak berdimensi (40x40x40) cm. Pada beberapa sisi terdapat rak
dengan ukuran dua kali lipat dari ukuran biasa. Pemilihan besaran dapat disesuaikan dengan
kebutuhan keluarga. Rak yang belum terisi memiliki latar berwarna putih sedangkan rak yang
sudah terisi memiliki latar berwarna coklat. Pada bagian tengah ruangan dibiarkan kosong
untuk tempat melakukan upacara ritual maupun tempat persembahan.
Pada tempat penitipan abu Buddhis, ruangan dibuat terbuka dan tidak menggunakan
pendingin ruangan dikarenakan ritual upacara yang menggunakan dupa. Saat memasuki
ruangan ini, kesan tradisi Buddhis sangat terasa melalui keberadaan patung-patung dewa yang
diletakkan di depan ruangan serta di rak penitipan abu. Wangi dupa yang dibakar akan
langsung tercium ketika baru memasuki ruangan. Pencahayaan di dalam ruang terang
sehingga tidak menciptakan kesan menyeramkan. Pada hari-hari besar, keluarga pelayat akan
berganti menggunakan meja persembahan yang terletak di selasar untuk upacara peringatan
kematian. Meja persembahan tidak diletakkan di dalam bangunan agar tidak menganggu
sirkulasi peziarah dan menghindari tebalnya asap pembakaran. Di sisi luar ruangan,
disediakan tempat pembakaran khusus untuk membakar barang-barang persembahan. Kesan
berbeda akan terasa saat memasuki ruang penitipan abu khusus Nasrani. Di sini kita hanya
akan menemukan simbol-simbol agama nasrani yakni salib dan patung malaikat yang berada
di depan ruangan. Tidak terdapat tempat untuk menancapkan abu ataupun benda-benda
persembahan sehingga ruangan dapat menggunakan pendingin ruangan. Meskipun demikian,
nuansa religius, khusuk, dan khidmad tetap terasa. Peletakan simbol-simbol keagamaan di sisi
kanan dan kiri pintu masuk bertujuan sebagai identitas dari rumah abu tersebut. Simbol-
simbol keagamaan di dalam ruang penitipan abu diletakkan di sisi rak yang berhadapan
dengan pintu masuk. Hal ini bertujuan agar pelayat dapat langsung menyadari keberadaan
simbol-simbol tersebut baik untuk penghormatan sebelum masuk ke dalam ruangan maupun
menjaga sikap selama berada di dalam ruangan.
4.2.3 Bangunan Penunjang
Sebelum menaburkan abu ke laut, bagi keluarga yang melaksanakan upacara kematian
dengan tradisi Buddhis, mereka akan melakukan upacara terlebih dahulu sebelum pelarungan
Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014
abu sekaligus meminta izin kepada dewa laut. Pada krematorium ini disediakan bangunan
khusus untuk melakukan ritual upacara. Tempat yang berukuran (4x4) m ini menyediakan
bangunan untuk sembahyang (menancapkan dupa) dan peletakan benda persembahan yang
menghadap ke laut. Ruang ritual yang terbuka tidak dapat nyaman digunakan saat sedang
hujan. Ketinggian ruang ritual yang berada 90 cm di atas permukaan tanah ditujukan sebagai
penanda perbedaan fungsi ruang dan sebagai tanda penghormatan bagi dewa laut. Selain itu,
atap yang digunakan untuk menaungi patung dewa laut dibuat seperti bangunan bergaya
arsitektur Tiongkok. Para peziarah juga dapat menggunakan bangunan ini untuk
memperingati upacara kematian sanak keluarga mereka yang abunya dilarungkan ke laut.
Dari bangunan ini, kita hanya perlu berjalan satu menit untuk mencapai dermaga. Tidak ada
perlakuan khusus pada dermaga dan bahkan dermaga terlihat kurang terawat karena terdapat
sampah-sampah di sekitar dermaga. Kondisi ini akan menganggu kenyamanan „yang
ditinggalkan‟ saat melakukan upacara kematian.
5 Analisis
Lokasi krematorium yang berada di dekat tepi laut menunjukkan adanya usaha untuk
menfasilitasi peristiwa upacara kematian yakni pelarungan abu ke laut setelah proses
pengremasian selesai. Bagi sebagian orang, laut dianggap sebagai cara bagi fisik „yang
meninggalkan‟ untuk kembali ke asalnya yakni alam dan sebagai perantara atau jalan bagi
jiwa „yang meninggalkan‟ untuk menuju dunia selanjutnya. Di sisi lain, pengremasian selalu
identik dengan asap pembakaran. Pemilihan lokasi krematorium yang berada di dekat tepi laut
menjadi salah satu cara untuk mengurangi dampak dari asap pembakaran karena asap cepat
terurai oleh hembusan angin laut. Selain itu, lokasi krematorium yang berjauhan dari
perumahan merupakan pilihan yang tepat karena krematorium tidak hanya dirancang untuk
dapat menfasilitasi kegiatan di dalamnya tetapi juga mempertimbangkan kondisi di sekitarnya
(asap pembakaran tidak menganggu aktivitas masyarakat sekitar).
Menganggapi pernyataan Martin Heidegger mengenai empat komponen dalam
kegiatan menghuni yakni bumi, langit, makhluk fana, dan keilahian. Pembahasan mengenai
krematorium Nirwana menunjukkan adanya komponen baru yang dapat ditambahkan terkait
dengan upacara pengremasian yakni laut. Keberadaan laut sebagai komponen menghuni tidak
bertujuan menunjukkan ada sesuatu yang terlewatkan oleh Heidegger. Namun, hal ini
menunjukkan bagaimana suatu konteks atau kondisi latar belakang tertentu akan
Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014
mempengaruhi cara menghuni seseorang (makhluk fana). Laut menjadi komponen tambahan
bagaimana manusia merefleksikan ketidakabadiannya melalui peristiwa kematian (kremasi)
ke dalam suatu arsitektur.
Dalam ritual upacara kremasi, pelarungan abu jenazah ke laut bukanlah sesuatu yang
harus dilakukan karena „yang ditinggalkan‟ dapat memilih untuk menyimpan abu tersebut.
Pemilihan laut sebagai tempat pelarungan abu jenazah dapat terkait dengan tradisi yang telah
dilakukan. Agama Hindu merupakan agama yang pertama kali memasuki Indonesia. Seperti
yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, pelarungan abu jenazah di laut menjadi salah
satu tahapan dalam upacara kematian ngaben (kremasi). Tahapan tersebut yang dapat turun
temurun terjadi meskipun dengan tata upacara kematian dengan kepercayaan yang berbeda.
Selain itu, letak geografis Indonesia yang dikelilingi lautan memungkinkan pelarungan abu
jenazah di laut dapat tetap dilakukan. Di sisi lain, konteks sangat mempengaruhi suatu
peristiwa yang terjadi. Laut dapat menjadi komponen yang tidak berarti dalam menghuni di
suatu konteks yang lain. Namun, terkait upacara kematian kremasi di Indonesia, laut dapat
menjadi komponen tambahan dalam menghuni.
Peletakan arsitektur krematorium, kedekatan antar bangunan, sirkulasi kendaraan,
sirkulasi dan jarak tempuh antar bangunan sesuai dan sudah merefleksikan rangkaian upacara
kematian pengremasian. Upacara kematian pengremasian menjadi fokus utama pada
krematorium Nirwana karena intensitas upacara yang lebih sering dilakukan dibanding
dengan upacara peringatan kematian yang terjadi pada waktu-waktu tertentu. Arsitektur
krematorium Nirwana juga menfasilitasi kebutuhan ruang terkait dengan tahapan-tahapan
yang terjadi pada kematian seperti tahapan perpisahan, transisi, dan pengabungan. Kematian
tidak hanya berurusan dengan „yang meninggalkan‟ tetapi keberadaan dan ritual upacara yang
dilakukan „yang ditinggalkan‟ juga turut membantu „yang meninggalkan‟ untuk dapat
melakukan perjalanannya berikutnya. Oleh karena itu, suatu tempat pengremasian ataupun
krematorium harus dapat menfasilitasi kebutuhan „yang meninggalkan‟ sekaligus „yang
ditinggalkan‟.
Dalam suatu upacara kematian, tahapan yang dilalui tidak hanya berhubungan dengan
pengremasian tubuh jenazah saja tetapi juga tahapan transisi dan penggabungan. Keberadaan
„yang ditinggalkan‟ untuk mengantar „yang meninggalkan‟ menuju dunianya berikutnya
menjadi suatu hal yang biasa dalam suatu upacara kematian. Namun, krematorium Nirwana
kurang memperhatikan momen mengantar dalam upacara kematian seperti sebelum proses
Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014
pengremasian dan pelarungan abu jenazah ke laut seperti yang sudah dijelaskan pada
pembahasan sebelumnya. Padahal momen tersebut merupakan salah satu tahapan bagi „yang
ditinggalkan‟ melepaskan „yang meninggalkan‟ untuk meninggalkan dunia mereka sekarang
ini dan menuju dunia selanjutnya.
6. Kesimpulan
Krematorium Nirwana merupakan jenis bangunan yang mewadahi upacara kematian.
Arsitektur krematorium Nirwana sudah merefleksian peristiwa upacara kematian sebagai
program atau aksi dari krematorium. Namun, masih terdapat peristiwa upacara kematian yang
masih kurang diwadahi pada arsitektur krematorium Nirwana yakni momen mengantarkan
dan transisi. Tahapan upacara kematian dan keberadaan „yang meninggalkan‟ serta „yang
ditinggalkan‟ menjadi faktor pembentuk ruang pada arsitektur krematorium. Krematorium
tidak hanya berhubungan dengan pembakaran „yang meninggalkan‟ tetapi merepresentasikan
pengalaman, nilai atau arti dari upacara kematian. Krematorium harus dapat memenuhi
kebutuhan ruang upacara kematian penggunanya karena ruang tersebut merupakan ruang
transisi, pemberhentian, dan berkumpulnya „yang ditinggalkan‟ sebelum melepaskan orang
terkasih mereka yang meninggal untuk meninggalkan dunianya sekarang ini dan menuju
dunia selanjutnya.
Dapat disimpulkan bahwa suatu karya arsitektur (bangunan) tidak akan menjadi karya
arsitektur tanpa ada keberadaan peristiwa, manusia, dan lokasi. Peristiwa menjadi sebuah
program atau aksi yang hendak dicapai. Di dalam suatu peristiwa terdapat manusia yang
menjadi pengguna, pembentuk sekaligus pendefinisi ruang. Begitu pula dengan lokasi, yang
juga akan menjadi pembentuk ruang agar sesuai dengan peristiwa. Selain itu, keberadaan
krematorium sebagai arsitektur yang mewadahi upacara kematian kremasi (di Indonesia)
menunjukkan laut sebagai komponen menghuni tambahan terkait teori Martin Heidegger.
Penambahan komponen ini tergantung dari konteks atau kondisi suatu upacara atau peristiwa
terjadi.
Daftar Referensi
Asatidz, Dewan. Mengkremasi Mayat Muslim. http://www.pesantrenvirtual.com
(diakses 5 Maret 2014).
Gennep, Arnold Van. The Rites of Passage. United States: Univeristy of Chicago Press, 1960.
Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014
Heidegger, Martin. Poetry, Language, Thought. New York: Harper & Row, 1971.
Kristiatmo, Thomas. Memahami Wahyu Kristiani melalui Heidegger. 26 Februari 2010.
http://journal.unpar.ac.id/index.php/melintas/article, Hal. 195-196. (diakses 26 Juni
2014).
Kaluara, Feby Hendola. Makna Ruang Kematian pada Masyarakat Cyburbia Jakarta. Depok:
Universitas Indonesia, 2012.
Pramudya, Wahyu.” Analisis Pola Hermeneutik Jusuf B. S. , H. L. Senduk dan
Herlianto.”ebook browse. 1 April 2008. http://ebookbrowsee.net/dikubur-atau-
dikremasi-pdf-d197940986 (diakses 10 Maret 2014).
Santoso, Andi, Nike, dan Suryanto. Krematorium di Semarang. Semarang: Universitas
Katolik Soegijapranata Semarang, 1989.
Tschumi, Bernard. Event-Cities. England: The MIT Press, 1999.
Tuan, Yi-Fu. Space and Place. London: Univeristy of Minnesota Press, 1997.
_____. Designing a Place for Goodbye: The Achitecture of Crematoria in the Netherlands,
(n.d.). 18 April 2014. http://dissertations.ub.rug.nl/FILES.
Alkitab Online Kristiani Indonesia. http://www.jesoes.com/ (diakses 21 Mei, 2014).
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud (Pusat Bahasa).
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 2012. http://kbbi.web.id/ (diakses 5 Maret 2014).
Cremation Association of North America. What is Cremation?. 2000.
http://www.cremationassociation.org/?page=WhatIsCremation (diakses 5 Maret
2014).
CCIV 244. Cremation as Reflective of the Roles of Fire and Burning in Greek Mythology.
https://cciv244sp2013.site.wesleyan.edu/project-2/cremation- as-reflective-of-the-
roles-of-fire-and-burning-in-greek-mythology/ (diakses 5 Maret 2014).
Living in Crete. Cultural Information – Funeral & Bereavement in Crete.
http://www.livingincrete.net/bereavement2.html (diakses 5 Maret 2014).
Mailerindia. Hindu Death Rituals and Beliefs.
http://mailerindia.com/hindu/veda/index.php?death (diakses Maret 15, 2014).
Tafsir Al Quran Al Karim. Tafsir Thaha Ayat 38-55. 2013.
http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-thaha-ayat-38-55.html (diakses 10 Maret
2014).
Wilkinson Dyment. Cremation: Present and Past in the Western World.
http://www.wilkdym.com/History-of-Cremation-vessels.html (diakses 5 Maret 2014).
Youtube. http://www.youtube.com/watch?v=OR3geATu0zI (diakses 30 April 2014).
Hubungan upacara..., Kusuma Erlina, FT UI, 2014
Top Related