TRAVELISTEdisi 1 | Juni-Juli 2011
Satisfying Your Craving for Travel!
InterviewAgustinus Wibowo,Seorang Musafir
Mendelik DinamikaSurabaya Utara
TalesJakarta Tak Melulu Pusat Perbelanjaan
Laput
Editorial Team
Editor In Chief Ferzya (@ )
Reporter Farhaniza (@ )Fikri (@ )
Art Director Lingga (@ )
Supporting Team
Project Leader Wana (@ )
Web Developer Lingga (@ )
Social Media Master Ferzya (@ )
Contributor team
Ary “siary” Hartanto (@ )Yudi Febri ( )Dwi Putri Ratnasari (@ ) Ayos Purwoaji (@ )Lusi Margiyani
Web: Email:
ferzyaya
lafflyunyahiumacan
linggabinangkit
wana23
linggabinangkit
ferzyaya
desainarykudaliarr
dwiputriratsaklampanyun
the-travelist.com [email protected]
@
REDAKSI
EDITORIAL NOTESFellow Travelers!
Jaman sekarang ini para traveler kok sepertinya dikotak-kotakkan
dengan berbagai istilah. Ada yang ngaku Backpaker, pejalan kere dengan
backpack sebesar pecahan gunung tambora. Ada yang ngaku Flashpaker,
yang ngaku mau kere tapi tetep update dengan sejuta gear imutnya. Serta
ratusan istilah lainnya yang kami lupa namanya. Kami tak mau membeda-
bedakan kalian. Apapun istilah yang dipakai, kita sama-sama pejalan. Kita
saudara seperjalanan.
Sebagai saudara yang baik, kami ingin berbagi kepada kamu. Dengan
media The-Travelist ini, kami akan berbagi dengan kamu. Kami secara garis
besar mempunyai dua fungsi. The-Travelist sebagai media berbagi dan media
pembelajaran.
Sebagai media berbagi, kami akan berusaha memberikan pengetahuan
kami tentang destinasi perjalanan yang menyenangkan. Tak harus menembus
rimba dan mengarungi lautan, di kota anda sendiripun sebenarnya banyak
tempat yang 'sexy' untuk dijelajahi.
Sebagai media pembelajaran, jelas, kami adalah media yang tumbuh
berkembang. Kami membuka kesempatan untuk para kontributor yang ingin
memasukkan tulisannya kesini. Rubrik Travelers Tale selalu dibuka untuk para
traveler yang mempunyai pengalaman yang berlebihan. Untuk para anak
muda yang ingin berkiprah di dunia penulisan perjalanan, kami sangat
menunggu tulisan dari kalian.
Hakikat seorang pejalan, selalu belajar ketika berjalan, dan selalu
berbagi pengalaman sepulang dari perjalanan. Maka The-Travelist ada untuk
para Traveler yang ingin belajar dan berbagi, karena kita bersaudara.
Cheers!
The-Travelist
Satisfying Your Craving for Travel!
Laput
DAFTAR ISI
Jakarta Tak Melulu Pusat Perbelanjaan
Interview
Traveler’s talesTarempa, Kota Penikmat Kopi
Mendelik DinamikaSurabaya Utara
Pulau Banda,Pulau Rempah Terbesar di Dunia
Review
Agustinus Wibowo,Seorang Musafir
02
22
56
44
36
10
38
28
Tak Melulu Pusat Perbelanjaan
Jakarta
Layaknya kebanyakan ibu kota di
dunia, Jakarta merupakan salah satu
kota dengan aktifitas yang cukup padat
dan salah satu destinasi yang cukup
pent ing selaku gerbang utama
memasuki Indonesia. Sayang, ke-
banyakan orang menjadikan Jakarta
sekedar tempat transit ataupun
sekedar untuk merasakan riuhnya
ibukota negara dengan ratusan mall
yang tersebar di seluruh ibukota.
2|3 | Travelist | Juni 2011-Juli
Tulisan oleh Ferzya & FarhanizaFoto oleh Ary “Siary” Hartanto
Laput
tersebut member i ar t i baginya;
Klenteng Kebajikan Emas.
Klenteng Petak Sembilan kini
merupakan klenteng tertua di Jakarta.
Tiap tahun, beribu-ribu warga Jakarta
datang ke klenteng ini untuk merayakan
Imlek, ya warga Jakarta disini tidak
hanya orang Cina itu sendiri, namun
warga-warga non-Tionghoa pun kerap
hadir untuk menyaksikan beragam tata
cara perayaan Imlek maupun hanya
untuk sekedar mengais rejeki dari
warga-warga yang merayakan dengan
memberi angpao.
4|5 | Travelist | Juni 2011-Juli
Pecinan – GlodokSebut saja pecinan di Glodok, Jakarta
Barat merupakan daerah yang menarik
untuk disinggahi, dengan klentengnya
yang bernama Kelenteng Jin De Yuan
atau Klenteng Petak Sembi lan.
Klenteng yang mulanya bernama Guan
Yin Ting (Paviliun Guang Yin) pada
tahun 1740 musnah terbakar oleh
padatnya api saat Tragedi Pemban-
taian Angke atau pembataian massal
Etnis Cina tanggal 14 November di
tahun yang sama. Akhirnya nama Jin De
Yuan menjadi nama tetap pada tahun
1755 setelah dilakukannya pemugaran
kembali oleh Kapitien Tionghoa, nama
wedding, fesyen, bahkan pembuatan
film. Namun, sayangnya kebanyakan
orang hanya mengenal Jakarta sebagai
pusat shopping dengan segudang
mallnya, dan Kota Tua sebagai bukti
peninggalan sejarah.
Padahal , tak sesempit i tu.
Jakarta, bukan hanya sekedar ibukota
padat yang dijejali kendaraan, tapi juga
dipadati oleh tempat menarik yang
wajib untuk dijelajah. Menjelajah
Jakartapun tidaklah sulit, kemudahan
transportasi dalam kota merupakan
fasilitas yang paling cocok untuk
digunakan.
Kota yang dulu disebut Batavia
oleh kaum kolonial, kini telah berubah
menjadi pusat pemerintahan sekaligus
pusat industri dengan pelabuhan yang
padat dan aktifitas shopping yang tidak
pernah mat i .Tinggalah Museum
Fatahillah yang terletak di Oud Batavia
atau kini lebih kenal dengan sebutan
Kota Tua Jakarta.
Jika dilihat sepintas, selain
mengunjungi mall, tempat yang sering
dikunjungi adalah Kota Tua Jakarta. Tak
hanya sekedar tempat tuk berjalan-
jalan dengan ontel, kota tua juga
menjadi tempat pemotretan untuk pre-
Laput
Kelenteng tertua di Jakarta ini
konon tidak hanya unik karena luas
bangunannya yang mencapai 3.000
meter persegi ataupun posisinya yang
membelakangi laut, namun karena di
Klenteng ini tidak secara khusus
memuja satu aliran atau agama saja,
namun berbagai agama seperti Tao,
Khonghucu dan Buddha.
Jika kita memasukinya, dan
berdiri di halaman luar, maka akan
terlihat tiga klenteng yang diper-
sembahkan untuk Leluhur Hakka, Raja
Neraka dan Dewa Pemberi Kekayaan.
Bangunan utama kelenteng Petak
Sembilan ini dikelilingi bangunan
lainnya, jika dilihat dari depan maka
bentuknya seperti aksara U terbalik.
Apabila masuk ke halaman kedua
dimuka kelenteng utama, jangan kaget
karena kita akan mendapati dua singa
yang berasal dari Provinsi Kangtung di
Tiongkok Selatan, konon kedua singa
ini dibuat pada tahun 1812.
Arsitektur pembuat kelenteng ini
sepertinya benar-benar mengerti
hakikat sebuah klenteng umum dan
sangat menujunjung tinggi filosofi Cina.
Hal ini terlihat dari lambang-lambang
yang terukir di dalam bangunan.
Contohnya saja pada jendela bundar di
gedung induk yang melambangkan Qi
Lin, binatang yang menyerupai unicorn
atau kuda bercula satu, binatang ini
dianggap lambang keberuntungan
yang luar biasa.
Jika diperhatikan lebih seksama,
di bagian kanan dan kiri bangunan
utama terdapat pintu samping yang
jarang dibuka. Ujung bumbungannya
mencuat ke atas dan terbelah dua
dalam gaya yang disebut “Gaya Ekor
Walet”, mungkin disebut seperti itu
karena bentuk ekornya yang terbelah
dua seperti ekor burung wallet. Unik-
nya, pada masa lalu, ujung bumbungan
seperti ini hanya boleh dipakai untuk
menghiasi bangunan klenteng dan
gedung-gedung pemuka masyarakat
Tionghoa seperti Majoor, Kapitein dan
Luitenant.
Saya takjub pada keindahan
arsitektur kelenteng ini dan hanya
terperangap melihat ukiran-ukiran luar
biasa yang terdapat di setiap bagian
kelenteng, baik di dalam maupun luar.
Setelah puas melihat bagian bagunan
utama, saya beralih ke gedung
samping kiri. Disini merupakan bekas
kamar-kamar para rahib, nama mereka
masih tertulis pada beberapa lempeng
batu. Dalam kamar pertama terpasang
altar paling tua dari seluruh kelenteng di
Jakarta. Kamar kedua diisi oleh Dewa
Tao Fu De Zheng Shen yakni Dewa bumi
dan kekayaan, ia merupakan dewa
6|7 | Travelist | Juni 2011-Juli
Laput
yang paling dihormati mengingat
pada jaman dahulu kaum Cina atau
Tionghoa bekerja sebagai pe-
dagang dan petani.
Dari semua hal yang terdapat
di klenteng Petak Sembilan ini
sebenarnya yang paling membuat
saya berdecak kagum adalah
betapa tegas klenteng ini meng-
ukuhkan dirinya sebagai klenteng
umum, hal ini terlihat dari papan
pujian yang digantung sejak tahun
1757 di atas ruang utama dengan
huruf Jin De Yuan terbaca se-
pasang syair di kiri dan kanan pintu,
dipandang dari dalam klenteng,
tulisan yang ditulis oleh ketua
klenteng pada waktu itu memiliki
arti: Pedupaan mas mengepulkan
awan kebahagian, semua tempat
terbuka, demikian pula dengan
alam Dharma. Gedung kebajikan
menampakkan atmosfir kejayaan
yang menyebar luas di alam
manusia.
8|9 | Travelist | Juni 2011-Juli
Laput
Laput10|11 | Travelist | Juni 2011-Juli
Dari Pecinan di sebelah barat Jakarta
sekarang kita beralih ke bagian pusat,
tepatnya daerah Menteng dengan
rincian Jalan Surabaya atau dikenal
juga dengan sebutan Surabaya Street.
Jalan yang konon katanya pernah
dikunjungi oleh Mick Jegger, Sharon
Stone bahkan Bill Clinton ini penuh
dengan barang-barang antik. Pengun-
jungnya dari kolektor-kolektor barang
antik, biasanya yang mereka cari
adalah barang- barang yang sulit
ditemukan di pasar antik lainnya seperti
guci porselen asli buatan Cina yang
sudah lama, lampu minyak buatan
Belanda, meriam buatan Portugis
hingga lampu kristal asli buatan
Cekoslovakia.
Pada akhir pekan biasanya
jalanan ini akan padat dipenuhi oleh
deretan mobil, baik dari warga Jakarta
maupun luar Jakarta. Sejak diresmikan
pada tahun 1974 oleh Gubernur DKI
Jakarta, Ali Sadikin, jalan Surabaya
kerap dikunjungi oleh berbagai
kalangan. Kalangan yang datang dari
luar negri biasanya berasal dari
Australia, Belanda, Spanyol, Jepang,
Jalan Surabaya – Menteng
12|13 | Travelist | Juni 2011-Juli
Thailand, Cina, Amerika dan Turki.
Sedangkan kalangan dari dalam
negeri biasanya penggemar barang
antik yang umurnya sudah separuh
baya. Uniknya, akhir-akhir ini ada
kalangan muda yang kerap datang
ke jalanan ini, biasanya mereka
adalah anak muda yang sedang
menggandrungi vinyl atau piringan
hitam. Adapun kalangan muda
lainnya dari anak-anak yang sedang
mengoleksi barang antik untuk
fesyen.
Ya, siapa sangka daerah yang
tadinya hanya terdiri dari pohon-
pohon dan pedagang-pedagang
yang tadinya berjualan dengan
berkeliling kota lama kini menjadi
salah satu tempat yang patut
dikunjungi apabila ke kota Jakarta.
Terletak di pusat kota, daerah ini
dekat dengan kompleks bioskop
Megaria, untuk mengunjunginya
pun tidak sulit karena banyaknya
kendaraan umum yang melewati
daerah ini.
Laput
laput2|3 | Travelist | Juni 2011
Dari jalan Surabaya, saya ingin melihat
kembali daerah yang dulunya menjadi salah
satu tempat mencari nafkah para pedagang
barang antik generasi pertama, maka saya
memutuskan untuk pergi ke Kota Tua, tempat
w isa ta yang marak d i jad ikan tempat
pemotretan.
Empat ratus delapan puluh empat (484)
tahun yang lalu Fatahillah datang ke Sunda
Kelapa mengusir bangsa Portugis lalu
mengganti namanya dengan Jayakarta. Hari itu
kemudian dikenang sebagai hari ulang tahun
jakarta, 22 Juni. Kota itu hanya seluas 15 hektar,
sekarang dikenal sebagai kawasan kota tua.
Baru-baru ini saya kembali mengunjungi
kawasan ini, ternyata banyak sekali perubahan
terjadi. Di halaman rumah walikota yang
sekarang berfungsi sebagai museum Fatahillah
diramaikan oleh kaki lima dan rental sepeda.
Tidak jauh dari sana ada model model cantik
berpose diikuti oleh model 'wanna be' di sudut
lainnya. Daerah ini terasa sangat hidup.
Selain menjadi tempat menghabiskan
waktu sore, daerah ini juga kerap menjadi
tempat untuk mengadakan acara-acara besar,
terutama untuk membangkitkan kesadaran
pergi kemuseum. Acara terakhir yang diadakan
adalah video mapping "Mystery of Batavia"
menceritakan tentang adanya harta karun yang
14|15 | Travelist | Juni 2011-Juli
Oud Batavia (Kota Tua)
Laput
laput2|3 | Travelist | Juni 2011
tersimpan di kota tua berupa karya besar seorang
seniman yang untuk menemukannya harus
menyatukan pecahan kunci yang tersebar entah
dimana, hingga akhirnya harta karun tersebut
berhasil dibuka dan ditemukanlah sebuah lukisan
bercerita tentang musibah yang akan terjadi di
jakarta.
Hebatnya, acara tersebut di prakasai oleh
kalangan muda, hal tersebut menandakan bahwa
kalangan muda menyadari potensi yang dapat
digali dari Oud Batavia ini. Tidak hanya kaum
muda yang kreatif memanfaatkan kembali
kawasan yang dulu mati ini, saat ini semakin
banyak ibu- ibu dan bapak-bapak yang
memanfaatkan ruang terbuka publik ini untuk
berbagai kegiatan mulai banyak pengajian besar,
acara amal, dan gathering.
Di kawasan kota tua kita dapat mengunjungi
pula beberapa museum disekitarnya, seperti
Museum Bank Mandiri dan Museum Fatahillah.
Kini DKI Jakarta memiliki lebih dari 40 museum,
namun sayang banyak diantaranya berada dalam
kondisi tidak layak, ketidaklayakan tersebut
membuat kita sebagai penduduk jakarta lebih
suka pergi ke Mall. Melihat hal tersebut, saat ini
sudah dimulai pembaruan museum, seperti yang
terlihat pada museum gajah dan museum bank
indonesia. Perlahan menampilkan sesuatu yang
menarik tidak sekedar koleksi dan tulisan, tapi
juga menambahkan video interaktif, penataan
yang menarik juga berbagai fasilitas tambahan
Kembali lagi ke cerita kota tua. Banyak yang
menganggap Oud Batavia ini sekedar tempat
16|17 | Travelist | Juni 2011-Juli
Laput
untuk dijadikan background foto, tapi
jauh didalamnya ada banyak legenda
tersimpan dan berbaur dengan fakta,
membuat cerita tentang kota tua
semakin menarik. Salah satunya
adalah menara Syahbandar yang
dulunya juga tugu nol kilometer bagi
Batavia sedikit demi sedikit menjadi
miring seperti menara Pisa, entah
karena kondisi tanah atau ada cerita
lainnya. Entahlah. Selain itu ada juga
cerita tentang kampung luar batang,
kampung itu disebut luar batang karena
adanya batas batang di kanal besar yang
hanya dibuka 2 kali seminggu untuk
memperbolehkan pedagang pribumi
masuk ke batavia dan bertransaksi. Ada
juga ruang rahasia di museum Fatahillah
yang menyimpan lukisan berharga belum
pernah dibuka sejak 35 tahun yang lalu.
Mungkin kota tua akan kembali jadi
daerah sibuk seperti zaman kejayaannya
dulu.
18|19 | Travelist | Juni 2011-Juli
Laput
Seorang arsitek pencinta fotografi dan kopi
Ary ‘Siary’ Hartanto
Calvin Damas Emil (@calvinemil) Freelance Photographer yang masih berusaha menyelesaikan kuliahnya di Jogja.
Nol Kilometer Jogja
Jepret20|21 | Travelist | Juni 2011-Juli
Interview22|23 | Travelist | Juni 2011-Juli
Seorang MusafirAgustinus Wibowo
Gus Weng adalah panggilan akrab seorang Agustinus Wibowo. Ia adalah pelajar IT saat pertama kali mencoba untuk menjelajahi dunia. Destinasi yang ia pilih pun 'tidak
biasa', sebenarnya apa sih yang membuat ia memilih destinasi tersebut?
Dalam buku Selimut Debu, Gus Weng menyebut diri adalah backpacker, tetapi editor anda menyebut anda explorer, bukan traveler. Sebenernya Gus Weng itu tipe traveler seperti apa?
Sebenarnya label-label itu tidak penting. Saya tidak menyebut diri saya
sebagai backpacker, tetapi kebetulan pada saat menulis perjalanan itu,
saya melakukan perjalanan dengan cara backpacking atau traveling secara
independen dengan anggaran minim, jadi saya adalah backpacker. Tetapi
bukan berarti ada tanda sama dengan antara Agustinus Wibowo dengan
backpacker. Demikian juga turis, traveler, explorer, observer, dan
sebagainya, buat saya itu adalah label-label saja. Ada backpacker yang
menolak dirinya disebut turis dan keukeuh minta disebut traveler. Buat saya
lucu juga, karena sebenarnya pada hakikatnya backpacker itu juga turis
–mencari hal-hal yang “eksotik” yang berbeda dari kehidupannya demi
kesenangannya sendiri.
Kalau memang dipaksa harus menyebut, mungkin saya lebih suka disebut
sebagai musafir. Ini adalah kata yang punya artian luas, karena musafir
bukan hanya melakukan perjalanan perpindahan tempat, tetapi juga
perpindahan dalam kehidupan. Kita semua adalah musafir dalam
kehidupan kita masing-masing, musafir yang selalu belajar dari kehidupan.
Gus Weng kan anak IT, kok malah kesasar di dunia travel, bisa ceritain sedikit?
Saya dulunya kuliah IT di Beijing, tapi sebelum lulus saya kebetulan sempat
ke Aceh untuk jadi sukarelawan bersama beberapa kawan jurnalis. Di sana
saya kemudian tergerak untuk menjadi jurnalis, karena saya melihat jurnalis
adalah pekerjaan yang mulia, jadi saya ingin berubah haluan dari insinyur
komputer menjadi jurnalis. Tentu ini adalah proses yang berat untuk
berpindah dari zona nyaman saya, menjajal kehidupan yang sama sekali
baru, apalagi saya tidak pernah punya latar belakang pendidikan di bidang
ini. Jadi setelah lulus saya memutuskan untuk melakukan perjalanan
keliling dunia seorang diri untuk belajar fotografi dan jurnalisme selama di
jalan, dan memimpikan bisa jadi jurnalis di Afghanistan –yang saat ini sudah
terwujud.
Interview24|25 | Travelist | Juni 2011-Juli
Perjalanan Gus Weng pertama kali kapan dan kemana?
Tahun 2002, ke Mongolia, waktu masih kuliah di Beijing. Perjalanannya cuma
3 minggu saja, berkemah keliling Mongolia dari utara ke selatan. Itu yang
kemudian membuat saya cinta traveling ala backpacker.
Sampai sekarang jumlah total perjalanan udah berapa, dan kemana?
Wah, saya tidak pernah menghitung jumlah perjalanan, karena menurut
saya perjalanan itu adalah “uncountable noun” atau kata benda yang tidak
bisa dihitung. Bagaimana kita bisa menghitung perjalanan? Saya pun tidak
lagi menghitung jumlah negara atau jumlah visa di paspor, karena menurut
saya itu absurd. Bagi saya perjalanan adalah proses pembelajaran, yang
membedakan adalah sedalam apa kita belajar, sedalam apa kita melepas
ego, jadi bukan dihitung dengan jumlah.
Kenapa malah milih solo traveling? Padahal traveler lain biasa travel in pair?
Karena dengan solo traveling kita mendapat lebih banyak kesempatan untuk
berinteraksi dengan penduduk/daerah yang kita kunjungi, atau dengan kata
lain lebih banyak kesempatan belajar. Kita juga lebih harus bertanggung
jawab kepada diri sendiri, dan ini penting untuk pembelajaran pembentukan
karakter juga.
Oiya, Gus Weng terkenal akan perjalanan ke Afgan dan Asia Tengah. Tetapi kenapa bukan memilih tuk keliling Indonesia saja? Padahal kalo cari thrill kan ada perang suku di Papua, ato hutan belantara di Kalimanatan?
Kebetulan karena memang saya dulu mahasiswa di Beijing, dan lulusnya
dengan uang ala kadarnya saya cuma bisa melakukan perjalanan dengan
jalan darat, dan Asia Tengah serta Afghanistan itu semua adalah negara
tetangga China. Tentu saya ingin keliling Indonesia. Tetapi pada saat ini,
mengingat usia yang masih muda, saya ingin melakukan perjalanan di mana
saya bisa belajar lebih banyak, misalnya perjalanan di Afghanistan yang
sangat berat itu, atau pada usia muda kita juga lebih cepat belajar bahasa.
Interview26|27 | Travelist | Juni 2011-Juli
Saat ini saya masih ingin belajar lebih banyak bahasa
baru dan budaya yang sama sekali asing. Bagaimana
pun juga indonesia adalah “rumah” saya, tentu saya
akan kembali untuk “menemukan” rumah saya, tetapi
dengan sudut pandang yang berbeda.
Gus Weng kan udah keliling Asia, juga udah nerbitin dua buku, berarti udah pengalaman kan soal travel writing. Menurut Gus Weng sendiri, tulisan travel yang baik tuh gimana?
Travel writing itu adalah potret dari serpihan kehidupan
yang bisa memberi gambaran yang lebih luas kepada
pembaca tentang kehidupan di satu lokasi atau
kehidupan kelompok masyarakat. Travel writer tidak
melakukan survei dengan ribuan responden untuk
menguatkan teori, travel writer hanya menulis
pengalaman dan perenungannya. Tetapi bagaimana
dari pengalaman yang personal itu bisa memberi
gambaran yang lebih luas? Di sini diperlukan kejelian
observasi sang penulis, serta kerendah-hatiannya
dalam menerima realita yang ada yang seringkali
bertentangan dengan konsep yang ada di benaknya.
Selain itu, travel writing bersifat timeless, tetap relevan
dibaca kapan pun. Travel writing bukan sekedar
promosi tempat wisata, tetapi pengalaman personal
sang penulis, di mana pembaca juga bisa meraba
bagaimana karakter sang penulis lewat tulisannya.
Tetapi di sini, penulis adalah pencerita, bukan tokoh
utama atau lakon tulisannya. Fokus tulisan tetap
berada di lokasi/masyarakat yang ia ceritakan.
Interview28|29 | Travelist | Juni 2011-Juli
Travel writing itu adalah potret dari serpihankehidupan yang bisa memberi gambaran yang lebihluas kepada pembaca tentang kehidupan di satulokasi atau kehidupan kelompok masyarakat
Kalo gitu contohnya penulis travel favorit Gus Weng?
V.S. Naipaul, Jasper Becker, Ryzard Kapuscinski,
Paul Theroux, dan sebagainya.
Dari foto-foto Gus Weng pas menjelajah Asia kelihatan banget kalo foto potretnya bisa dapet ekspresi manusia yang sangat natural, gimana si caranya biar bisa kayak gitu?
Kalau potret yang manusia yang bisa bercerita,
dibutuhkan pendekatan yang sangat erat dengan
subjek foto. Di sini dibutuhkan komunikasi, sehingga
sang subjek bukan hanya sekedar orang yang
dijepret oleh fotografer, tetapi orang yang dikenal
secara personal. Di foto-foto potret itu saya
mengobrol dulu dengan subjeknya, membina
kepercayaan, mengetahui sedikit banyak kisah
hidupnya, dan mengambil fotonya dalam keadaan
yang paling natural. Karena ketika si fotografer
sudah diterima subjek foto, foto yang dihasilkan
seolah-olah si fotografer seperti sudah tidak ada,
dan fotonya bisa jadi natural. Selain itu, komunikasi
juga penting untuk mengenal si subjek foto luar
dalam, sehingga bisa lebih jelas digambarkan
ekspresinya.
Kalo gitu fotografer acuan Gus Weng siapa?
Saya tidak terlalu punya acuan. Bagi saya fotografi
itu feeling, ungkapan seni juga. Saya hanya
memotret dengan perasaan sendiri saja. Saya tidak
terlalu punya acuan. Bagi saya fotografi itu feeling,
ungkapan seni juga. Saya hanya memotret dengan
perasaan sendiri saja.
Interview30|31 | Travelist | Juni-Juli 2011
Di sini dibutuhkan komunikasi, sehingga sang subjek bukan hanyasekedar orang yang dijepret oleh fotografer, tetapi orang yang dikenal secara personal
Terakhir ya Gus Weng. Menurut Gus Weng, traveling yg beretika itu seperti apa?
Traveling di mana si pejalan sudah
meluruhkan egonya, ia bukan lagi orang
yang “mau mengubah dunia” tetapi
“orang yang belajar dari dunia”. Kalau
orang masih ingin mengubah dunia, ia
akan menuntut ini itu, atau membuat
destinasi wisata yang sesuai dengan
kebutuhan hidupnya supaya nyaman.
Contohnya saja, di gunung-gunung di
Nepal sudah tersedia hotel yang
menyediakan hot shower , pizza ,
spaghetti, dan sebagainya, ini karena
tuntutan kebutuhan para turis yang
akhirnya jadi mengubah “dunia”. Kita
juga lihat berbagai “racun turisme” yang
ada di tempat-tempat wisata dunia di
mana pun. Kalau si pelaku perjalanan
bisa mengorbankan egonya, meluruhkan
dirinya, ia akan berusaha meminimalkan
pengaruh (negatif) keberadaannya
terhadap daerah/lingkungan yang
dikunjungi.
Interview32|33 | Travelist | Juni-Juli 2011
Jepret34|35 | Travelist | Juni-Juli 2011
Briano Kawenang (@b121ano) Mahasiswa jurusan marketing UGM, melanjutkan double degree program di University of Melbourne
Brighton Beach, MEL
Kota Penikmat KopiTarempa
Ketika saya pertama kali menginjakan kaki di Tarempa setelah turun dari
pompong (perahu motor) atau kapal laut, kesan pertama yang tertangkap
adalah orang Tarempa sangat menyukai aktifitas meminum kopi. Hampir di
setiap sudut terdapat warung kopi. Sejak pagi sampai sore warung-warung kopi
ini tak pernah sepi.
Tulisan dan Foto oleh Yudi Febri
38|39 | Travelist | Juni 2011-Juli
Travelers’Tales
Tarempa merupakan sebuah kota yang
terletak di Pulau Siantan, ia merupakan ibukota
Kabupaten Kepulauan Anambas. Sebuah ke-
pulauan yang terletak di sebelah timur negara
tetangga, Malaysia.
Mungkin memang benar apa yang dikatakan
oleh Andrea Hirata di novel Padang Bulan,
bahwasanya kopi sudah menjadi bagian hidup
orang Melayu. Di Warung kopi inilah segala sesuatu
bisa diobrolkan. Sembari meminum kopi, saya
mendengar obrolan yang bermula dari gosip
murahan, kelakuan anggota DPR, sampai perang di
belahan dunia sana. Semuanya habis dikupas
dengan berbagai sudut pandang.
Saya tidak menyangka mendapat kesem-
patan untuk menginjakkan kaki dan tentunya minum
kopi di kota Tarempa ini. Sebuah kota yang memiliki
teluk dan menjadi pelabuhan utama, tempat
singgah dan pusat informasi para wisatawan. Dari
Tarempalah wisatawan menuju Pulau Temawan,
Pulau Penjaul, Pengunungan Lintang sampai Air
Terjun Temurun, dan Air Terjun Air Bini.
Terkenal sebagai pelabuhan utama, maka tak
heran jika terdapat pangkalan TNI AL untuk
memantau dan menjaga perairan Indonesia, karena
kabupaten ini berbatasan langsung dengan negara
tetangga. Ternyata, di Pangkalan TNI AL ini terdapat
banyak kapal-kapal nelayan asing yang tertangkap
sedang mencuri ikan di peraiaran Indonesia. Akan
tetapi, hati-hati jika hendak memotret kapal
tangkapan nelayan asing di depan pos TNI AL tanpa
ijin, karena bisa ditahan oleh petugasnya yang
cukup ketat.
38|39 | Travelist | Juni 2011-Juli
Travelers’Tales
hati-hati jika hendak memotret kapal tangkapan nelayan asing di depan pos TNI AL tanpa ijin, karena bisa ditahan oleh petugasnya yang cukup ketat
Di Pelabuhan Tarempa-lah kapal
KM Bukit Raya berlabuh, dari Tanjung
Priok via Pontianak – Selat Lampa –
Tarempa, ataupun dari Tanjung Pinang
langsung. Ya, sejak terbentuknya
kepulauan Anambas sebagai ka-
bupaten, maka transportasi menuju
tempat ini semakin mudah. Terbukti
dengan terbukanya Airport di Tarempa
untuk maskapai Wings Air melalui
Batam ataupun Tanjung Pinang.
Memasuki Tarempa sepert i
kembali ke jaman 40-50-an. Bangunan
– bangunan seperti kios - kios, rumah-
rumah, dan warung kopi yang banyak
berjejer di sepanjang jalan dan sekitar
pasar masih banyak yang terbuat dari
kayu. Mungkin hanya bangunan pe-
merintah dan militer yang sudah
memakai semen dan batu. Kota ini
pada saat jaman penjajahan dahulu,
pernah menjadi Kota Keresidenan.
Pemekaran diri dari Kabupaten Natuna-
pun baru terlaksana pada tahun 2008.
Sebagaimana wilayah Propinsi
Kepulauan Riau lainnya, Kabupaten
Kepulauan Anambas sangat kaya akan
seni dan budaya. Tarempa sebagai ibu
kota kabupaten menjadi pusat ragam
budaya yang terutama berakar dari
budaya Melayu. Kini, berbagai sanggar
seni mulai bermunculan, dari seni tari,
seni musik hingga seni beladiri daerah
yang berupaya melestarikan budaya
tradisional.
Mayoritas penduduknya adalah
Suku Melayu seperti masyarakat pesisir
pada umunya, bersifat terbuka ter-
hadap pendatang, tetapi tidak dapat
dipungkiri bahwasanya Etnis Tionghoa,
Suku Bugis, Banten, Jawa, Minang,
Batak dan Sunda juga menetap di pulau
ini (dan juga tersatukan oleh kebiasaan
minum kopi di warung kopi).
Saya kembali menyeruput kopi
–yang rasa kopinya sebenarnya tidak
terlalu istimewa. Namun keistime-
waanya justru terdapat pada suasana-
nya yang mampu membuat orang
betah berlama-lama di sini. Secangkir
kopi bisa menjadi teman anda untuk
mengobrol berjam-jam. Entah sejak
kapan kebiasaan ini mulai ada.
Sepertinya tidak ada yang tahu atau
mungkin tidak ada yang peduli. Yang
jelas, kebanyakan pemilik warung kopi
adalah masyarakat dari Etnis Tionghoa.
Bermacam menu kopi disuguh-
kan dengan sebutan yang khas. Ada
Kopi O atau Kopi Obeng alias kopi
hitam dengan kadar gula yang melebihi
standar kemanisan kopi di Jawa. Ada
Kopi Cantik, yaitu kopi yang diseduh
didalam kaleng bekas susu yang
dibuka bagian atasnya. Kopi Cantik ini
merupakan langganan para nelayan
40|41 | Travelist | Juni 2011-Juli
Travelers’tales
yang akan melaut karena lebih mudah
dibawa.
Namun, tempat yang paling nya-
man untuk menikmati kopi ada di
sepanjang Jembatan Semen Panjang.
Sebuah jempatan yang berada diatas
laut yang jernih dan pemandangan
sekitar yang indah. Jembatan yang
menghubungkan antara kota Tarempa
dengan Desa Tanjung Momong ini
terletak di timur Pelabuhan Tarempa. Di
sepanjang jembatan tersebut terdapat
beberapa kafe yang cukup luas dan
menu yang lebih beragam.
Duduk di salah satu kafe ini serasa
berada di suatu kafe di sebuah sudut kota
kecil di Eropa. Hening, sepi, angin
berhembus sepoi-sepoi ditingkahi oleh
suara camar mengantarkan matahari
kembali ke peraduannya di Barat, sambil
menikmati secangkir kopi menghadap ke
lautan. Sungguh suatu pengalaman yang
tak terlupakan.
Adventurer, Fotografer & Antropolog yang mencintai Indonesia.
Yudi Febri
42|43 | Travelist | Juni 2011-Juli
Travelers’tales
Saya kembali menyeruput kopi –yang rasa kopinya sebenarnya tidak terlalu istimewa. Namun keistimewaanya justru terdapat pada suasananya yang mampu membuat orang betah berlama-lama di sini.
Mendelik Dinamika
Surabaya Utara
Hari itu kami tidak belanja apa-apa, hanya mengisi perut dengan es jagung
favorit di food court, sekaligus memuaskan hasrat saya sebagai fotografer abal-
abal pecinta pasar tradisional. Duduk bersandarkan dinding sebuah toko, kami
menikmati pisang goreng kipas panas yang sengaja dibeli untuk mengganjal
perut yang mulai keroncongan. Ragam jajanan tradisional dari Ca Kwe hingga
Bubur Madura membuat pengunjung di Pasar Atom tidak akan pernah didera
kelaparan.
44|45 | Travelist | Juni 2011-Juli
Tulisan dan Foto oleh Dwi Putri Ratnasari
Travelers’tales
Saya teringat kembali, enam
tahun lalu, sebuah pengumuman
kelulusan masuk perguruan tinggi
negeri menyeret badan saya pindah dari
kota kecil menuju si metropolitan,
Surabaya. Sebuah kota, yang di mata
saya, hanya identik dengan banjir yang
merepotkan, panas yang menyengat,
dan pusat perbelanjaan yang menja-
mur. Harus diakui, definisi ketiga adalah
hal pertama yang membuat saya betah
di kota ini. Berbagai macam great sale
dari jam normal hingga midnite pernah
saya rasakan.
Saat itu, Surabaya Utara bagaikan
itik buruk rupa bagi saya. Tidak ada
mall-mall kece. Tidak ada gig band-
band ternama. Tidak ada tempat
nongkrong ber-wi-fi yang menyediakan
lemon tea favorit. Tidak ada yang bisa
saya lakukan di daerah ini. Surabaya
Utara memang tidak seperti saudara-
saudaranya di Timur, Barat dan Selatan
yang tampak selalu diterangi oleh
gemerlap berbagai hiburan warga kota.
Hingga suatu hari saya tidak
s e n g a j a m e l i h a t s e b u a h s e s i
pemotretan prewedding di Jalan Karet,
ketika dipaksa mengantarkan Ibu
menuju pusat perbelanjaan paling nge-
hype (versi Ibu saya) yaitu Jembatan
Merah Plaza. Saya, yang memang
narsis dalam hal foto-fotoan, langsung
menggumam, “Eh, tempat apaan sih
ini?”.
Kalau cinta pada pandangan
pertama memang ada, maka bisa jadi
perbuatan saya yang bak ABG labil saat
itu adalah awal mula terciptanya
chemistry saya dengan Surabaya Utara,
sebuah kawasan kota tua yang ternyata
menyimpan berbagai budaya dan
tumpukan sejarah lawas.
Surabaya Utara memang identik
dengan wajah kota yang lusuh, tapi
justru itulah yang menggambarkan
betapa lawasnya daerah ini. Konon, di
sinilah awal mula peradaban dan
perekonomian Surabaya. Pedagang
asing dan barang-barang dari luar
daerah mengalir deras di sepanjang
Sungai Kalimas. Tak heran bila
Surabaya Utara juga terkenal dengan
kemajemukan penduduknya. Pemukim-
an warga lokal, kampung Arab, Pecinan
Kembang Jepun, hingga jejak-jejak
kolonialisme tumbuh subur mengelilingi
daerah ini. Entah sudah berapa ratus
tahun usia mereka.
Suatu hari, saya berjalan-jalan di
seputar Jalan Dukuh dan mampir di
sebuah klenteng tua bernama Hong
Tiek Hian konon dibangun oleh tentara
46|47 | Travelist | Juni 2011-Juli
Travelers’tales
Tartar pada zaman Kaisar Khu Bilai Khan pada
1899. Klenteng ini terdiri atas dua bangunan yang
terpisahkan sebuah gang menuju pemukiman
penduduk. Pada lantai atas dibangun sebuah
jembatan pendek untuk menghubungkan
bangunan yang satu dengan yang lain.
Bangunan bawah klenteng lebih terkesan
gelap karena penerangan hanya berasal dari
ratusan lilin berbagai ukuran untuk sembahyang.
Bau asap batang Hio dan kertas Kim yang dibakar
memenuhi tiap sudut ruangan klenteng dan
meninggalkan lapisan jelaga hitam pada
dindingnya. Hong Tiek Hian adalah tempat ibadah
bagi tiga agama, yaitu Buddha, Konghucu dan Tao.
Menarik, karena di sinilah satu-satunya
tempat di Surabaya untuk menikmati pertunjukan
wayang tradisional Tiongkok yaitu Potehi. Sama
halnya dengan wayang tradisional Indonesia,
Potehi juga dimainkan oleh dalang yang piawai
memainkan tangan untuk menggerakkan boneka-
boneka sambil menceritakan satu kisah dengan
iringan bunyi tetabuhan di balik sebuah panggung
kecil.
Bergerak ke Jalan Kapasan, sebuah klenteng
tua bernuansa merah menyala nampak kontras
dengan bangunan-bangunan ruko tua di
sekitarnya. Mereka menyebutnya Boen Bio, sebuah
kelenteng bagi umat Konghucu yang berdiri di Jalan
Kapasan sejak tahun 1907. Ketika melangkah
memasuki altar utama, mata saya langsung tertuju
pada sebuah foto potret mantan presiden
Indonesia yang juga dikenal sebagai Bapak
48|49 | Travelist | Juni 2011-Juli
Travelers’tales
Menarik, karena di sinilah satu-satunya tempat di Surabaya untuk menikmati pertunjukan wayang tradisional Tiongkok yaitu Potehi
Pluralisme, Gus Dur. Sebuah sentuhan kecil yang
bermakna besar dalam perjalanan klenteng dan
umatnya ini.
Saya masih ingat, pertama kali saya
bertandang di sini bertepatan dengan akan
diadakannya pementasan wayang kulit yang
digelar di kampung Kapasan Dalam yang lebih
terkenal dengan sebutan Kampung Kungfu.
Sejarah mengatakan bahwa para Buaya
Kapasan yakni para peranakan Tionghoa yang
jago-jago Kungfu itu, memang pernah hidup dan
tinggal di daerah belakang Klenteng Boen Bio ini.
Konon, kampung ini cukup ditakuti oleh
Pemerintah Belanda karena para Buaya Kapasan
memang sering me-repotkan dan tidak mau
patuh begitu saja pada aturan penguasa. Tengah
malam, tua muda di kampung ini, rajin berlatih
Kungfu secara diam-diam. Itulah yang me-
resahkan Pemerintah Kolonial, maka mereka
membangun sebuah pos polisi, yang hingga
sekarang masih berdiri di sektor V Kapasan,
untuk mengawasi gerak-gerik yang mengacu
pada pemberontakan para Buaya Kapasan.
Seorang mayor dari Cina pun juga
ditugaskan oleh Belanda untuk tinggal di dekat
Kampung Kungfu untuk menjaga stabilitas
keamanan kampung jagoan ini. Kediaman
mewah sang mayor masih dapat ditemukan
hingga sekarang, yaitu sebuah hotel yang masih
terjaga arsitektur aslinya bernama Hotel Ganefo,
terletak 100 meter dari klenteng Boen Bio.
50|51 | Travelist | Juni 2011-Juli
Travelers’tales
Foto oleh Ayos Purwoaji
Sejarah mengatakan bahwa para Buaya Kapasan yakni paraperanakan Tionghoa yang jago-jago Kungfu itu, memang pernah hidup dan tinggal di daerah belakang Klenteng Boen Bio ini.
Karena letak Hotel Ganefo yang
agak menjorok, maka saya jadi
terheran-heran sendiri ketika menyadari
ternyata ada bangunan jadul dengan
berbagai ornamen khas arsitektural
Indische yang masih terawat dengan
baik. Dua patung singa buatan Belanda
menyambut kedatangan saya di pintu
depan. Sebuah ukiran bertuliskan ora et
labora (pray and work) terpatri di atas
pintu masuk. Selanjutnya, deretan
cermin-cermin lawas dengan ukuran
super besar tampak bergelantungan di
lobby hotel. Di bagian belakang
terdapat sebuah pohon beringin yang
sangat rimbun, membuat saya berpikir
berulang kali untuk benar-benar
menginap di hotel ini. Dua ranjang besi,
kamar mandi ekstra besar, jendela
dengan model trails sejajar dan langit-
langit yang tinggi akan Anda nikmati jika
berminat menginap di salah satu kamar
hotel ini . Suasana yang ter lalu
menyeramkan untuk saya yang penakut
ini.
Mendengarkan cerita demi cerita
yang ada di sekitar klenteng dan
kampung ini memang menyenangkan.
Saking seringnya saya mampir ke
kampung Kapasan, seorang ketua
Karang Taruna kawasan ini yang
bernama Pak Gunawan sampai sudah
bisa menghapal wajah saya. Beliau pun
tidak sungkan memperlihatkan foto-foto
tua kampung ini pada tahun 60an.
Sangat menarik ketika mengetahui
bahwa dahulunya kampung ini juga
menggelar rekonstruksi peristiwa
sepuluh November. Saya melihat sosok
remaja Pak Gunawan mengenakan ikat
kepala berwarna merah-putih, siap
bertempur bersama kawan-kawannya
di dalam lembaran foto hitam putih.
Gara-gara sering menjelajah ke
Pecinan Surabaya Utara ini juga saya
beruntung bisa mengetahui jadwal
arak-arakan Dewi Laut dari klenteng tua
Hok An Kiong di Jalan Cokelat. Sebagai
festival hunter wannabe, maka saya
tidak perlu banyak berpikir lagi untuk
turut menonton kirab yang terakhir kali
dilakukan pada tahun 1964 itu.
Benar saja, acara keagamaan
tersebut berlangsung sangat meriah
karena diikuti ratusan umat dan sempat
menjadi tontonan banyak warga.
Mereka pasang tampang heran, ketika
tiba-tiba di hari Minggu pagi itu,
kawasan sepanjang Pecinan ini
dipenuhi segerombolan orang me-
makai ikat kepala berwarna merah,
membawa beberapa persenjataan
seperti tombak serta beramai-ramai
mengusung tandu. Ya maklum saja
52|53 | Travelist | Juni 2011-Juli
Travelers’tales
“Daripada dicereweti mantu,
mending datang ke sini tiap minggu,”
canda Pak Lim Oo Yen, disambut gelak
tawa beberapa lansia yang berkumpul
di sampingnya. See, there's a country
for old men here.
Saya percaya, bahwa jalan-jalan
tak melulu tentang destinasi mewah
yang jauhnya ratusan kilometer dari
rumah. Munculnya berbagai komunitas
independen seperti pecinta museum,
penggemar sejarah, bangunan tua dan
budaya adalah alternatif tepat untuk
menjadi traveler cerdas bin hemat,
bukan kere. Tak perlu repot meng--
gendong ransel puluhan liter, cukup
bermodal kamera pocket, sebotol air
mineral, stamina oke, rasa ingin tahu
yang besar, plus stok senyum yang
lebar, maka segeralah melakukan
ibadah city trip di tengah ruwetnya kota
metropolitan dan bersiaplah mene-
mukan cerita menarik di sudut-sudut
yang tak terduga.
Wanita penggemar traveling yang bekerja sebagai freelance travel writer dan memiliki mimpi untuk membuat dokumentasi lengkap tentang berbagai festival budaya di Indonesia.
Dwi Putri Ratnasari
kalau banyak yang bertanya-tanya ada
keramaian apa pagi itu, karena arak-
arakan ini sudah empat puluh tahun
lebih menghilang dari permukaan.
Saya memang terlalu berjodoh
dengan Pecinan Surabaya. Beberapa
kali, saya harus terlibat melakukan city
trip ke tempat-tempat yang belum
pernah saya duga benar-benar ada di
ujung Surabaya yang masih tetap ruwet
ini. Sebuah rumah perkumpulan marga
Liem, contohnya. Dua kali saya
mengunjungi tempat yang terletak tak
jauh dari Pasar Atom ini. Di mana ketika
memasuki ruangan demi ruangan, saya
serasa sedang melewati distrik-distrik di
Beijing. Hampir semua lansia masih
fasih bercakap menggunakan bahasa
Mandarin.
Pak Liem Oo Yen, menyambut
kedatangan saya dan mempersilahkan
saya untuk mencoba Chinese Calli-
graphy. Tapi daripada memalukan, saya
memilih menonton saja. Rumah tua ini
memang dipenuhi oleh para lansia
peranakan Tionghoa yang meng-
habiskan akhir minggu dengan
mempelajari banyak budaya leluhur.
Melukis, bernyanyi, dan bermain catur
tradisional menjadi salah satu cara
mereka untuk melepas penat, bertemu
kerabat serta sahabat.
54|55 | Travelist | Juni 2011-Juli
Travelers’tales
Pulau Rempah Terbesar di Dunia
Pulau Banda
56|57 | Travelist | Juni 2011-Juli
Tulisan dan Foto oleh Lusi Margiyani
Travelers’tales
Maluku memang tidak bisa dilepaskan dari
sejarah perdagangan rempah-rempah dunia.
Diantara banyak pulau di Maluku, meskipun Pulau
Banda tidak sebesar Pulau Seram namun
merupakan penghasil pala terbesar di propinsi ini.
Sejak tahun 600an Bangsa China sudah berdagang
di pulau ini. Menyusul kemudian Bangsa Moro
tahun 1500an, Bangsa Portugis tahun 1611 dan
diikuti Bangsa Inggris dan Belanda tahun 1621.
Pala merupakan komoditas yang laku keras di
pasaran dunia, khususnya di negara-negara Eropa.
Wajarlah kalau berbagai bangsa berlomba-lomba
untuk datang ke Pulau Banda. Bahkan ternyata
pada abad ke-15 tujuan awal Christopher
Columbus adalah mencari rempah-rempah di
Pulau Banda. Setelah munculnya pengetahuan
baru bahwa bumi itu bulat, Ratu Isabella dan Raja
Ferdinand dari Spanyol membiayai pelayaran ini
untuk mencapai pulau rempah. Namun, bukannya
Pulau Banda yang ditemukan tapi malah sebuah
benua baru, yang kemudian dinamakan Benua
Amerika.
Dengan demikian perdagangan antar bangsa
sudah terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama
di Banda.
Abad Gelap Masyarakat Banda
Dari buku Sejarah Banda Naira karangan Des
Alwi (anak angkat Bung Hatta ketika dalam masa
pengasingan di Banda) dan juga dari beberapa
peninggalan sejarah yang masih tersisa, sungguh
mengerikan nasib orang Banda saat penjajahan
Belanda dibawah bendera VOC (Vereenigde
58|59 | Travelist | Juni 2011-Juli
Travelers’tales
Melimpah ruahnya hasil rempah pala ini tidak selamanya memberikan kesejahteraan masyarakat Banda namun justru mengundang bencana karena kesrakahan dari bangsa-bangsa pendatang khususnya Inggris dan terutama Belanda.
Oostindische Compagnie). Puncak
kekejaman Bangsa Belanda adalah
ketika saat pemerintahan Gubernur
Jendral Jan Pieterszoon Coen. Awal
tahun 1621 Coen bertolak dari Batavia
ke Ambon, kemudian langsung
melanjutkan ke Pulau Banda.
Dalam buku tersebut dijelaskan
secara mendetail sejarah perdagangan
rempah-rempah di Banda berikut
kekejaman yang dilakukan Coen
kepada masyarakat Banda. Sekitar
60% orang Banda terbunuh (dibunuh),
sebagian dikirim ke Batavia sebagai
budak dan sebagain yang masih
tersisa lari ke Pulau Seram. Orang
Banda yang tersisa hanya kaum
perempuan dan anak-anak. Mereka
yang “dibuang” ke Batavia dalam
keadaan dirantai dan tidak diberi
makan. Padahal saat itu perjalanan dari
Banda ke Batavia menggunakan kapal
merupakan perjalanan yang panjang.
Akhirnya banyak tawanan yang
meninggal dan dibuang ke laut.
K e k e j a m a n V O C d i b a w a h
Gubernur Jendral Coen tidak hanya
sebatas membakar perkampungan,
menawan para penduduk, dan
melakukan pengejaran hingga banyak
orang Banda yang lebih baik mati
menceburkan diri ke laut daripada
ditangkap Belanda. Salah satu bentuk
kekejaman Belanda yang masih
dikenang karena kekejamannya adalah
peristiwa pembantaian orang-orang
kaya Banda yang ditebas tubuhnya
menjadi dua atau empat.
Peristiwa pembantaian orang
kaya Banda ini dalam buku Sejarah
Banda Neira diulas secara rinci
berdasarkan tul isan saksi mata
bernama Letnan Laut Nicolas van Waert
tanggal 8 Mei 1621. Ada sekitar 40an
orang kaya Banda yang dibawa ke
Benteng Nassau yang masing-masing
tangannya diikat di belakang. Para
algojo yang menebas tubuh-tubuh
tidak berdosa ini adalah 6 serdadu
Jepang. Empat ratus tahun kemudian
didirikan sebuah monumen untuk
mengenang para orang kaya Banda
yang merupakan pejuang bagi orang
Banda. Monumen ini terletak di Pulau
Neira, persisnya di sebelah kiri depan
Benteng Nassau. Di monument ini
tertulis nama-nama para pejuang yang
mati ditebas oleh algojo atas perintah
Gubernur Jendral Coen.
Sela in monumen di depan
Benteng Nassau, terdapat pula sebuah
lukisan yang menggambarkan peris-
tiwa sadis tersebut. Suasana mengeri-
kan sangat terasa ket ika saya
memandang dan membayangkan
peristiwa tersebut. Saya akhirnya
62|63 | Travelist | Juni 2011-Juli
Travelers’tales
memotret lukisan tersebut yang
dipajang di Museum Banda Naira yang
berada di dekat Pelabuhan Banda di
Pulau Neira.
Banyak peninggalan sisa-sisa
kejayaan Pulau Banda sebagai
penghasil pala terbesar di dunia yang
masih terlihat disini. Salah satunya
adalah sebuah lonceng besar yang
dahulu digunakan di Perk (perkebunan
pala) untuk penanda saatnya orang
bekerja atau istirahat. Selain itu ada
banyak benda-benda yang masih
tersimpan di Museum Banda Naira
diantaranya berupa timbangan, alat
untuk memetik pala, lukisan yang
menggambarkan transaksi perda-
gangan pala dengan bangsa luar, dan
benda-benda lainnya.
Buah Pala dari Banda
Sebelum saya pergi ke daerah ini,
saya hanya mengetahui bahwa biji pala
merupakan salah satu bumbu untuk
memasak soto. Namun ketika saya
berkeliling Pulau Ambon, Pulau Seram
dan Pulau Nusa Laut barulah melihat
secara langsung pohon pala berikut
buahnya.
Mulai dari bagian terluar buah
pala yaitu kulit (yang berupa daging
buah) biasa dibuat manisan pala atau
untuk sirup. Kemudian bunga pala yang
berwarna merah yang berada di dalam
kulit buah ini menjadi komoditi ekspor
yang sangat mahal dibandingkan kulit
buah atau biji palanya.
Di sepanjang jalan kota di Banda,
terutama jalan menuju Pelabuhan,
banyak sekali ditemui penjual aneka
oleh-oleh yang terbuat dari pala. Ada
yang berupa manisan kering maupun
basah, dengan aneka rasa, dan ada
juga yang berupa sirup yang bisa
langsung diminum.
Merupakan pemandangan yang
biasa di Banda bila melihat anak-anak
atau para ibu yang mengupas pala
untuk dijadikan manisan. Di pelabuhan,
terlihat orang-orang menaikkan berton-
ton buah pala ke kapal untuk dijual ke
pulau lain ataupun diekspor ke
berbagai negara. Memang di Banda,
khususnya di Pulau Banda Besar,
nyaris setiap jengkal tanah ditanami
pohon pala. Kebanyakan pohon yang
ada sudah berumur puluhan tahun.
Berdasarkan penuturan warga disitu,
buah pala baru mulai berbuah setelah
pohon berumur sepuluh tahun. Pohon
pala ini memang hanya cocok di
Maluku karena secara geografis dan
iklim sangat mendukung. Seingat saya
pohon pala ini hanya cocok hidup di
daerah pegunungan dengan suhu
tertentu dan berada di sekitar lautan.
60|61 | Travelist | Juni 2011-Juli
Travelers’talesTidak hanya biji saja
yangdapat dimanfaatkan,
ternyata seluruhbagian buah pala ini
juga bisadimanfaatkan
Pala tidak mengenal musim, boleh
dikata sepanjang tahun berbuah. Dari
sini dapat kita lihat betapa kekayaan
nusantara yang luar biasa. Bayangkan
saja harga bunga pala bisa mencapai
harga sekitar Rp. 220.000 per kilo.
Komoditi ini sampai dengan saat ini
masih laku keras di pasaran dunia dan
tiap tahunnya mengekspor ratusan kilo.
Wajarlah kalau di Banda terkenal
banyak orang kaya.
Seorang aktivis perempuan dan pemerhati masalah pendidikan anak, salah satu nominasi the Fearless Indonesian Women of the Year dari Majalah Kosmopolitan tahun 1999, sekarang bekerja sebagai Field Education Specialist (FES) di Save the Children di Maluku.
Lusi Margiyani
64|65 | Travelist | Juni 2011-Juli
Travelers’tales
Lumix DMC FS-62 adalah kamera 10 megapixel yang cocok untuk budget traveler. Kamera mungil ini dilengkapi dengan lensa buatan Leica dengan range setara 33-132mm di 35mm, dengan kualitas gambar yang cukup mengagumkan untuk level budget-travelcamera.
Kamera ini memiliki ukuran setipis 97 x 54.4 x 21.2mm dan berat seringan 136g dengan body yang terbuat dari metal. Fitur menarik yang dimiliki kamera ini adalah Fitur Auto ISO dengan batas ISO maksimum yang bisa kita atur, sangat handy.
Review66|67 | Travelist | Juni 2011-Juli
Sangat jarang kita menemukan buku panduan fotografi buatan lokal, apalagi buku panduan fotografi khusus untuk fotografi perjalanan.Salah satu yang menarik adalah Lonely Planet Travel Photography: A Guide to Taking a Better Pictures.
Pada bab yang lebih dalam, buku ini mulai membuat kita mempelajari tentang subjek yang sering kita temui pada perjalanan kita, mulai dari manusia, hewan, lanskap, sampai makanan.
Selain teknik fotografi, buku ini juga mengajarkan tentang post-production. Mulai dari cara mengedit foto, sampai cara kita menjual foto kita. Buku ini juga bisa diaplikasikan untuk kamera digital atau film, karena sebagian foto di buku ini merupakan foto dari kamera film.
Foto-foto yang indah diatas 352 halaman full-color menjadikan buku ini pilihan yang baik untuk anda belajar fotografi perjalanan plus menghias coffee table anda.
Pada tahun 1948, polaroid mengejutkan dunia dengan kamera instantnya. 60 tahun berselang, kini mereka mengeluarkan produk yang lagi-lagi mengagetkan.
Polaroid PoGo adalah sebuah printer foto portable yang menggunakan teknologi Zero Ink. Printer ini tidak menggunakan ink cartridge atau ribbon, tapi sebagai gantinya ia memerlukan kertas khusus berukuran 2x3 inchi dari ZINK Imaging.
Cukup dengan koneksi USB dari kamera digital, atau koneksi Bluetooth dari handphone anda, tunggu sekitar satu menit, maka foto anda telah tercetak. Memang, hasil cetak dari printer ini tidak terlalu tajam, tetapi ukurannya yang tidak lebih dari telapak tangan pria dewasa – 11,9 x 7,2 x 2,2 cm dan harganya yang cukup bersahabat – USD$ 39.99 membuat benda mungil ini adalah pilihan tepat untuk mengisi backpack anda.
Lumix DMC FS-62
Polaroid Pogo
Lonely Planet Travel Photography:A Guide to Taking a Better Pictures
Fo
to:
Inte
rnet
Fo
to:
Inte
rnet
Fo
to:
Inte
rnet
Kami sangat senang jika kamu mau menularkan semangat traveling melalui Travelist dengan cara:Mengirim artikel untuk rubrik travelers'tales atau foto untuk jepret dengan ukuran panjang sisi terpendek 2000px ke [email protected] dengan subjek:Kontributor artikel untuk travelers'talesAtauKontributor foto untuk jepret
Mari sebarkan virus traveling!