1
MAKALAH DISKUSI TOPIK
TRAUMA KAPITIS
Disusun oleh :
Mutia Oktavia
110103000098
Pembimbing :
dr. Maysam Irawati, Sp.S
KEPANITRAAN KLINIK
SMF NEUROLOGI RSUP FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2
2014
BAB 1
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
No. RM : 01302272
Nama : Tn. ACO
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 54 tahun
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Agama : Islam
Status Perkawinan : Sudah menikah
Alamat : Jl. Plered V No. 3 Rt.001 Rw. 010 Antapani
Tengah Bandung
Pendidikan : S1
Masuk RS : 04 Juni 2014
Pengambilan Data : 08 Juni 2014
II. ANAMNESIS
(Dilakukan auto- dan allo-anamnesis tanggal 08 Juni 2014)
a. Keluhan Utama
Pasien datang dengan penurunan kesadaran post KLL sejak 30 menit
SMRS.
3
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS Fatmawati dengan penurunan kesadaran
setelah mengalami kecelakaan lalu lintas sejak 30 menit SMRS.
Kecelakaan terjadi ketika pasien sedang mengendarai motor dan
diserempet oleh mobil. Setelah itu pasien oleng dan jatuh. Keluarga tidak
mengetahui pasti kejadian kecelakaan tersebut karena pasien sedang
mengendarai motor sendiri. Namun dari keterangan orang sekitar yang
membawa pasien ke RS, saat terjatuh helm pasien terlepas dan pasien
ditemukan tergeletak dijalan dengan kepala yang banyak luka dan
berdarah. Tidak diketahui pasti apakah saat itu pasien sedang melaju
kencang, atau mobil yang menyerempet motor pasien sedang melaju
kencang atau tidak. Tidak diketahui pasti apakah kepala pasien terbentur
apa dan terbentur dibagian mana. Saat dibawa ke RS pasien dalam
keadaan pingsan dan tidak sadar, keluar darah dari hidung.
Saat di IGD pasien sempat tersadar sebentar namun tidak lama
pingsan kembali selama kurang lebih 1 jam dan terbangun dalam keadaan
hanya mengerang kesakitan dan gelisah. Pasien terlihat mengalami
kelemahan pada lengan dan tungkai sebelah kanan. Pasien merasa mual
dan sempat muntah, tidak menyemprot. Pasien terlihat memegang
kepalanya dan mengerang sakit.
Keluhan kejang, perdarahan dari telinga maupun mulut dan pusing
berputar tidak dialami pasien saat di IGD.
Saat ini pasien masih mengeluh sakit kepala yang memberat, biru-
kehitaman pada mata sebelah kiri dan pasien masih terlihat gelisah. Pasien
tidak ingat dengan keluarganya dan hanya berkomunikasi dengan
mengatakan keluhan-keluhan yang dialaminya seperti sakit, pegal, haus
dan lain-lain.
4
Keluhan demam, bicara pelo, mulut mencong, pandangan ganda,
gangguan penglihatan, gangguan pendengaran dan sulit menelan
disangkal pasien.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami riwayat trauma sebelumnya. Pasien
memiliki riwayat hipertensi sejak 3 tahun yang lalu dan minum obat
teratur. Pasien tidak pernah mengalami stroke sebelumnya. Pasien
mempunyai riwayat operasi sinus dan polip 5 tahun yang lalu. Pasien
tidak ada alergi obat dan sedang tidak mengkonsumsi obat-obatan lain
saat ini. Pasien tidak mempunyai riwayat gangguan dalam pembekuan
darah.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Dikeluarga tidak ada yang mempunyai riwayat alergi obat.
e. Riwayat Kebiasaan
Pasien mempunyai kebiasaan merokok 1 bungkus sehari sejak usia 20
tahun, namun sudah sejak 5 tahun yang lalu berhenti merokok. Pasien
tidak mempunyai kebiasaan minum alkohol dan memakai narkoba.
III.PEMERIKSAAN FISIK (pada tanggal 08 Juni 2014)
a Keadaan Umum : tampak sakit sedang
b Kesadaran : somnolen
c Sikap : berbaring
5
d Koperasi : kurang kooperatif
e Keadaan gizi : BB = 65 , TB = 160 , BMI = 25.39
f Tekanan darah : kanan=kiri 110/70 mmHg
g Nadi : 80 x/menit
h Suhu : 37oC
i Pernapasan : 20 x/menit
j Pemeriksaan Lokal
Trauma Stigmata : Terdapat multiple vulnus
ulceratum pada kepala bagian frontal dan temporal yang sudah
diperban dan terdapat memar pada bahu kiri.
Pulsasi Aa. Carotis : Teraba kanan = kiri, regular, equal
Pembuluh Darah Perifer : CRT < 2 detik
Kelenjar Getah Bening : Tidak teraba membesar
Columna Vertebralis : Lurus ditengah
k Status Generalis
Kulit : Warna sawo matang, sianosis -, ikterik -
Kepala : Normosefali, rambut hitam, distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, ptosis -/-
lagoftalmus -/-, pupil bulat isokor, 3mm/3mm,
RCL +/+, RCTL +/+, raccoon eye -/+
Telinga : Normotia +/+, membrane timpani intak +/+,
darah -/-, serumen -/-, battle sign -
Hidung : Deviasi septum -, sekret -/-, darah -/-
Tenggorok : Faring hiperemis -, tonsil T1-T1 tenang.
Leher : nyeri dan jejas tidak ada, trakea lurus di tengah,
tidak teraba pembesaran KGB dan kelenjar tiroid.
Jantung : BJ I-II regular, murmur -, gallop -
Paru : pergerakan dada simetris saat statis dan dinamis,
vesikular +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : supel, buncit, BU + Normal, Nyeri tekan -, hepar
dan lien tidak teraba
6
Ekstremitas : deformitas pada bahu kiri proyeksi clavikula, luka
terbuka tidak ada, pulsasi, sensibilitas, dan motorik baik, akral
hangat, edema -/-
IV. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
GCS : E4M6V4 = 14
Tanda rangsang meningeal
Kanan Kiri
Kaku Kuduk Tidak dilakukan
Laseque >70° >70°
Kernig >135° >135°
Brudzinski I - -
Brudzinski II - -
Saraf-saraf kranialis
N. I Tidak bisa dinilai
N. II Tidak bisa dinilai
N. III, IV
dan VI
Ptosis : -/-
Pergerakan Bola Mata : kesan baik ke segala arah
Nistagmus : -/-
Pupil : Isokhor/Isokhor
Bentuk : Bulat/Bulat
Ukuran Ø : 3mm/3mm
RCL +/+, RCTL +/+
Refleks Akomodasi : Tidak dapat dinilai
N. V Cabang Motorik : Tidak bisa dinilai
Cabang Sensorik
Opthalmika : Tidak bisa dinilai
Maxilla : Tidak bisa dinilai
Mandibularis : Tidak bisa dinilai
Refleks kornea : +/+
7
N. VII Motorik : dengan rangsang nyeri kesan simetris
Pengecapan lidah : tidak dapat dinilai
N. VIII Gangguan pendengaran dan keseimbangan : Tidak
dapat dinilai
N. IX dan
X
Motorik : tidak valid dinilai
Sensorik : tidak valid dinilai
N. XI m.trapezius dan m. sternokleidomastoideus : tidak
dapat dinilai
N. XII Pergerakan Lidah : kesan simetris
Sistem Motorik
Kekuatan motorik : kesan hemiparesis kanan
Gerakan Involunter
Tremor : -
Chorea : -
Atetose : -
Mioklonik : -
Tics : -
Trofik : Eutrofi/Eutrofi
Tonus : Normotonus/Normotonus
Sistem Sensorik : tidak bisa dinilai
Fungsi Cerebellar dan Koordinasi : Tidak bisa dinilai
Ataxia :
Tes Rhomberg :
Disdiadokinesia :
Jari-Jari :
Jari-Hidung :
Tumit-Lutut :
Rebound Pheomenon :
Hipotoni :
Fungsi Luhur : tidak dapat dinilai
8
Astereognosia :
Apraksia :
Afasia :
Fungsi Otonom : on DC
Refleks-refleks Fisiologis
Bisep : +2 +2
Trisep : +2 +2
Radius : +2 +2
Dinding Perut : + +
Otot Perut : + +
Patela : +2 +2
Aciles : +2 +2
Kremaster : Tidak diperiksa
Sfingter Ani : Tidak diperiksa
Refleks-refleks Patologis
Hoffman Tromner : - -
Babinsky : - -
Chaddock : - -
Gordon : - -
Gonda : - -
Schaeffer : - -
Klonus Lutut : - -
Klonus Tumit : - -
V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal 04/06/2014
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 13.1 g/dl 11,7 – 15,5 g/dl
Hematokrit 38 % 33 – 45 %
Lekosit 21.0 ribu/ul 5.000 – 10.000
Trombosit 242 ribu/ul 150 – 440 ribu/ul
9
Eritrosit 4.06 juta/ul
SGOT 34 U/l 0 – 34 U/l
SGPT 23 U/l 0 – 40 U/l
Ureum 21 mg/dl 20 – 40 mg/dl
Kreatinin 1.0 mg/dl 0,6 – 1,5 mg/dl
GDS 127 mg/dl 70 – 140 mg/dl
Na 141 mmol/L 135 – 147 mmol/L
K 3.79 mmol/L 3,10 – 5,10 mmol/L
Cl 112 mmol/L 95 – 108 mmol/L
Tanggal 06/06/2014
APTT 32.8 detik 27.4 – 39.3 detik
Kontrol APTT 31.5 detik
PT 12.9 detik 11.3 – 14.7 detik
Kontrol PT 13.5 detik
INR 0.94
VI. PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
CT-Scan kepala 04 Juni 2014
10
Kesan :
Epidural haematoma temporal kiri
Kontusio cerebri temporal kanan – kiri
Perdarahan subarachnoid
Curiga epidural haematome temporal kanan
Oedema cerebri kiri
Haemato sinus ethmoidalis dupleks
Fractur wing sphenoid kiri, temporal kiri dan zygomaticus kiri.
VII. RESUME
Datang seorang laki-laki, Tn. ACO, 54 tahun ke IGD RS Fatmawati
dengan penurunan kesadaran setelah mengalami kecelakaan lalu lintas
sejak 30 menit SMRS. Pasien mengalami benturan dikepala dan pingsan >
10 menit, interval lucid, amnesia retrograde, keluar darah dari hidung,
merasa mual dan sempat muntah, tidak menyemprot dan kelemahan pada
11
lengan dan tungkai sebelah kanan setelah sadar. Saat ini pasien mengeluh
sakit kepala yang memberat, terlihat gelisah. Pasien mempunyai riwayat
hipertensi sejak 3 tahun yang lalu, terkontrol.
Pemeriksaan Fisik :
KU tampak sakit sedang, kesadaran somnolen, TD 110/70 mmHg, HR
80 x/menit, RR 20 x/menit, suhu subfebris, trauma Stigmata : Terdapat
multiple vulnus ulceratum pada kepala bagian frontal dan temporal yang
sudah diperban dan terdapat memar pada bahu kiri, raccoon eye -/+.
Laboratorium : Leukositosis
CT Scan kepala : Epidural haematoma temporal kiri, Kontusio cerebri
temporal kanan – kiri, Perdarahan subarachnoid, Curiga epidural
haematome temporal kanan, Oedema cerebri kiri, Haemato sinus
ethmoidalis dupleks, Fractur wing sphenoid kiri, temporal kiri dan
zygomaticus kiri.
VIII. DIAGNOSIS
• Diagnosis klinis : penurunan kesadaran, sefalgia sekunder,
hemiparese dekstra, EDH, SAH, kontusio temporal bilateral, fraktur basis
cranii, fraktur Tertutup Clavicula sinistra
• Diagnosis etiologis : Cedera Kepala sedang
• Diagnosis topis : -
IX. PENATALAKSANAAN
12
1. Non medikamentosa
- Observasi ABC (airway, breathing, circulation)
- Elevasi kepala 30˚
- GV maksimal 2 hari sekali
- Rawat inap
- Pasang kateter dan NGT
- Konsul ortophedi, bedah syaraf
- Konsul THT
2. Medikamentosa
- IVFD NaCl + Ikaneuron 5000 mg + Tramadol 100 mg / 8 jam
- Aminofluid 1 x 500 mg iv
- Manitol 20% 4 x 100 cc iv
- Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr iv
- Asam Traneksamat 3 x 500 mg iv
- Citicolin 2 x 500 mg iv
- Ketorolac 3 x 30 mg iv
- Ondancentron 3 x 8 mg iv
VI. PROGNOSA
Quo Ad vitam : dubia ad malam
Quo Ad functionam : dubia ad bonam
Quo Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB 2
13
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Trauma kapitis atau cedera kepala adalah ruda paksa tumpul/tajam
pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara.
Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu
lintas.
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat
bersifat temporer ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation
of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan
bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan /
benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik.
2.2. FISIOLOGI CEDERA KEPALA
Tekanan Intrakranial
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan
perubahan tekanan intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi
otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap penderita. Tekanan
intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan gangguan fungsi otak dan
mempengaruhi kesembuhan penderita. Jadi kenaikan tekanan intrakranial
(TIK) tidak hanya merupakan indikasi adanya masalah serius dalam otak,
tetapi justru merupakan masalah utamanya. TIK normal pada saat
istirahat kira-kira 10 mmHg (136 mmH2O). TIK lebih tinggi dari 20
mmHg dianggap tidak normal dan TIK lebih dari 40mmHg termasuk ke
14
dalam kenaikan TIK berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala
semakin buruk prognosisnya.
Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat
terus bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat
pengaliran CSS dan darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi
maka TIK secara cepat akan meningkat.
Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min
atau 16% dari cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang
cukup. Aliran darah otak (ADO) normal ke dalam otak pada orang
dewasa antara 50-55 ml per 100 gram jaringan otak per menit. Pada anak,
ADO bisa lebih besar tergantung pada usainya. ADO dapat menurun 50%
dalam 6-12 jam pertama sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan
koma. ADO akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada
penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa
hari atau minggu setelah cedera. Mempertahankan tekanan perfusi
otak/TPO (MAP-TIK) pada level 60-70 mmHg sangat di rekomendasikan
untuk meningkatkan ADO.
Doktrin Monro-Kellie
Konsep utama doktrin Monro-Kellie adalah bahwa volume
intrakranial selalu konstan, karena rongga kranium pada dasarnya
merupakan rongga yang tidak mungkin terekspansi. TIK yang normal
tidak berarti tidak adanya lesi massa intrakranial, karena TIK umumnya
tetap dalam batas normal sampai kondisi penderita mencapai titik
dekompensasi dan memasuki fase ekspansional kurva tekanan-volume.
Tekanan perfusi otak (TPO)
Tekanan perfusi otak merupakan indikator yang sama penting dengan
TIK. TPO mempunyai formula sebagai berikut: TPO = MAP – TIK
15
Maka dari itu, mempertahankan tekanan darah yang adekuat pada
penderita cedera kepala adalah sangat penting, terutama pada keadaan
TIK yang tinggi. TPO kurang dari 70mmHg umunya berkaitan dengan
prognosis yang buruk pada penderita cedera kepala.
Aliran darah ke otak (ADO)
Aliran darah ke otak normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan
otak/menit. Bila ADO menurun sampai 20-25ml/100 gr/menit, aktivitas
EEG akan hilang dan pada ADO 5 ml/100 gr/menit, sel-sel otak
mengalami kematian dan terjadi kerusakan menetap. Pada penderita
trauma, fenomena autoregulasi akan mempertahankan ADO pada tingkat
konstan apabila MAP 50-160 mmHg. Bila MAP < 50mmHg ADO
menurun curam, dan bila MAP >160mmHg terjadi dilatasi pasif
pembuluh darah otak dan ADO meningkat. Mekanisme autoregulasi
sering mengalami gangguan pada penderita cedera kepala. Akibatnya
penderita tersebut sangat rentan terhadap cedera otak sekunder karena
iskemi sebagai akibat hipotensi yang tiba-tiba.
Bila mekanisme kompensasi tidak bekerja dan terjadi kenaikan
eksponensial TIK, perfusi otak sangat berkurang, terutama pada penderita
yang mengalami hipotensi. Maka dari itu, bila terdapat TIK meningkat,
harus dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah yang adekuat tetap
harus dipertahankan.
2.3. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA
Pada cedera kepala, kerusakan otak terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera
pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat
disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun
oleh proses akselerasi deselerasi gerakan. Berat atau ringannya suatu
16
daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma kapitis bergantung
pada :
Besar dan kekuatan saat benturan
Arah dan tempat saat benturan
Sifat dan keadaan kepala sewaktu menerima bantuan
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan
countercoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada
tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah
yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut
countercoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan
berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan
densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi
semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan
dari benturan (countercoup). Cedera sekunder merupakan cedera yang
terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap
lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak,
kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan
intrakranial dan perubahan neurokimiawi.
17
2.4. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Klasifikasi
cedera kepala, yaitu berdasarkan :
Patologi
a. Komosio serebri
Komosio cerebri adalah keadaan cedera dimana kesadaran tetap
tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat
sementara dalam berbagai derajat. Bentuk yang paling ringan dari
komosio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa
amnesia.
b. Kontusio serebri
Pada kontusio serebri terjadi kerusakan jaringan otak berupa
terputusnya kontinuitas jaringan. Kriteria untuk mendiagnosis
kontusio serebri adalah adanya riwayat benturan kepala diserta
pingsan yang cukup lama (> dari 10 menit), selain itu dapat
ditemukan adanya defisit neurologis, dapat pula terjadi kejang dan
penurunan kesadaran.
c. Laserasio serebri
Gangguan fungsi neurologicdisertai kerusakan otak yang berat
dengan fraktur tengkorak terbuka.
Derajat berdasarkan GCS
Kategori GCS Gambaran Klinik CT Scan otak
Minimal 15 Pingsan (-), defisit neurologik
(-)
Normal
Ringan 13-15 Pingsan < 10 menit, defisit
neurologik (-)
Normal
Sedang 9-12 Pingsan > 10 menit s/d 6 jam,
defisit neurologik (+)
Abnormal
Berat 3-8 Pingsan > 6 jam, defisit Abnormal
18
neurologik (+)
Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium
dan lesi intrakranial.
1. Fraktur cranium
Fraktur cranim dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan
dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau
tertutup. Fracture dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan
CT Scan dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis
frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak
menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih
rinci.tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye
sign), ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS (Rhinorrhea,
otorrhea) dan paresis nervus fasialis.
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya
hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena
robeknya selaput duramater. Keadaan ini membutuhkan tindakan
dengan segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa
benturan yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya
tulang tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih
banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi
yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear
mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada
pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura
kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400
kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar.
Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien
untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan.
2. Lesi Intrakranial
19
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,
walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan.Lesi fokal
termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau
hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa,
secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan
perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis.
1. Epidural Hematom
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di
ruang potensial antara tabula interna dan duramater dengan cirri
berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung.Paling sering
terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat
robeknya pembuluh meningeal media.Perdarahan biasanya
dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari
perdarahan vena pada sepertiga kasus.Kadang-kadang, hematoma
epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-
oksipital atau fossa posterior.
Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu
diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera.Bila
ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan
darah yang terjadi tidak berlangsungg lama.Keberhasilan pada
penderita pendarahan epidural berkaitan langsung denggan status
neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan
pendarahan epidural dapat menunjukan adanya “lucid interval”
yang klasik dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-
tiba meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah
memnang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli
bedah saraf.
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens
yang tidak selalu homogeny, bentuknya biconvex sampai
planoconvex, melekat pada tabula interna dan mendesak ventrikel
ke sisi kontralateral ( tanda space occupying lesion ). Batas dengan
20
corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan
dapat diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga
tampak lebih jelas.
2. Subdural Hematom
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di
antara duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi
dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan
cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena
bridging antara korteks serebral dan sinus. Subdural hematom
terbagi menjadi akut dan kronis.
1) SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle (seperti bulan
sabit) dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan
epidural hematom. Batas medial hematom seperti bergerigi.Adanya
hematom di daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga
menunjukan adanya hematom subdural.
2) SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi,
kalsifikasi yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan,
oleh karenanya tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak
area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk
bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada
prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens,
yang semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi
isodens, bahkan akhirnya menjadi hipodens.
3. Kontusi dan hematoma intraserebral.
Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya,
kontusi otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural
akut. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan
temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk
serebelum dan batang otak.Perbedaan antara kontusi dan
hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya.
21
Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara
lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam
jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi
atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula
pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi
yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi
perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi
lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat
bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.
4. Cedera difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat
cedera akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang
sering terjadi pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah
keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun
terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam
berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan
kerap kali tidak diperhatikan.Bentuk yang paling ringan dari
komosio ini adalah keadaan bingguung dan disorientasi tanpa
amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama
22
sekali.cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan
binggung disertai amnesia retrograde dan amnesia antegrad.
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan
menurunnya atau hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai
dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan
ukuran beratnya cidera. Dalam bebberapa penderita dapat timbul
defisist neurologis untuk beberapa waktu. Defisit neurologis itu
misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi
serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca
komosio yang dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah
keadaan dimana pendeerita mengalami koma pasca cedera yang
berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau
serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang
dalam dan tetap koma selama beberapa waktu. Penderita sering
menuunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih
sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup.
Penderita seringg menunjukan gejala disfungsi otonom seperti
hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat
cedeera aksonal difus dan cedeera otak kerena hiipoksiia secara
klinis tidak mudah, dan memang dua keadaan tersebut seringg
terjadi bersamaan.
Dalam beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk
dalam bahasan cedera kepala. Karenanya akan dibahas juga
mengenai trauma wajah ini, yang meski bukan penyebab kematian
namun kecacatan yang akan menetap seumur hidup perlu menjadi
pertimbangan.
23
2.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Foto polos kepala
Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cedera
kepala diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan
kegunaan yang sekarang makin ditinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas
lebih dari 5 cm, Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum,
Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap,
Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos
kepala meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut
tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka
dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.
b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Indikasi CT Scan adalah :
1. Nyeri kepala menetap atau muntah – muntah yang tidak menghilang
setelah pemberian obat–obatan analgesia/anti muntah.
2. Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat
lesi intrakranial dicebandingkan dengan kejang general.
3. Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor – faktor ekstracranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi
shock, febris, dll).
4. Adanya lateralisasi.
5. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal
fraktur depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
6. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
7. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
8. Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan
pada 24 - 72 jam setelah injuri.
c. MRI.
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
Dibutuhkan waktu lebih lama dibandingkan CT Scan sehingga tidak sesuai
dalam situasi gawat darurat.
24
d. PET dan SPECT
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak. Positron Emission
Tomogrphy (SPECT) dapat memperlihatkan abnormalitas pada fase akut
dan kronis meskipun CT Scan atau MRI dan pemeriksaan neurologis tidak
memperlihatkan kerusakan.
e. Lumbal Punksi.
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
2.6. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili
tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala
sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga
dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penatalaksanaan
cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala
ringan, sedang, atau berat.
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder.
Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara
lain airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang
kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala
khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting
untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak.
Survei Primer ( Primary Survey)
o Jalan Napas. Memaksimalkan oksigenasi dan ventilsi. Daerah tulang
servikal harus dimobilisasi dalam posisi netral menggunakan stiffneck
collar pada kecurigaan fraktur servikal.
o Pernapasan
o Sirkulasi. Resusitasi cairan intravena, yaitu cairan isotonic, seperti
Ringer Laktat atau Normal Salin (20 ml/kgBB) jika pasien syok,
transfusi darah 10-15 ml/kgBB harus dipertimbangkan.
o Defisit Neurologis. Status neurologis dinilai dengan menilai tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Tingkat kesadaan dapat
25
diklasifikasikan menggunakan GCS. Anak dengan kelainan neurologis
yang berat, seperti anak dengan nilai GCS< 8 harus diintubasi.
o Kontrol pemaparan/lingkungan. Semua pakaian harus dilepas sehingga
semua luka dapat terlihat. Anak- anak sering datag dengan keadaan
hipotermi ringan karena permukaan tubuh mereka lebih luas. Pasien
dapat dihagatkan engan alat pemancar panas, selimut hangat, maupun
pemberian cairan intravena (yang telh dianatkan sampai 39 oC.
Survei Sekunder
Observasi ketat penting pada jam- jam pertama sejak kejadian cedera.
Bila telah dipastikan penderit CKR tidak memiliki masal dengan jalan
napas, pernapasan dan sirkulasi darah, maka tindakan selanjutnya adalah
penanganan luka yang dialami akibat cedera disertai obervasi tanda vital
dan defisit neurologis.
Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit.
Indikasi rawat antara lain:
a. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
b. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
c. Penurunan tingkat kesadaran
d. Nyeri kepala sedang hingga berat
e. Intoksikasi alkohol atau obat
f. Fraktura tengkorak
g. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
h. Cedera penyerta yang jelas
i. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan
j. CT scan abnormal.
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan
untuk memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang
dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena,
hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan
antikonvulsan.
26
A. Kritikal- GCS 3-4
Perawatan di Unit Intensif Neurologi (Neurological ICU)/ICU.
B. Trauma Kapitis Sedang dan Berat – GCS 5-12
1. Lanjutkan penanganan ABC
2. Pantau tanda vital ( suhu, pernafasan, tekanan darah), pupil, GCS,
gerakan ekstremitas
3. Cegah kemungkinan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial,
dengan cara:
- Posisi kepala ditinggikan 30 derajat
- Bila perlu dapat diberikan Manitol 20%. Dosis awal 1 gr/kgBB,
berikan dalam waktu ½ -1 jam, drip cepat, dilanjutkan
pemberian dengan dosis 0,5 gr/kgBB drip cepat, ½ -1 jam,
setelah 6 jam dari pemberian pertama dan 0,25 gr/kgBB drip
cepat, ½-1 jam setelah 12 jam dan 24 jam pemberian pertama
- Berikan analgetika, dan bila perlu dapat diberikan sedasi
jangka pendek
4. Atasi komplikasi
- Kejang: profilaksis OAE selama 7 hari untuk mencegah
immediate dan early seizure pada kasus resiko tinggi
- Infeksi akibat fraktur basis kranii/fraktur terbuka:
profilaksis antibiotik selama 10-14 hari
- Demam
5. Pemberian cairan dan nutrisi adekuat
6. Neuroprotektan (citicolin)
C. Trauma Kapitis Ringan (Komosio Serebri)
1. Rawat 2 x 24 jam
2. Tidur dengan posisi kepala ditinggikan 30 derajat
3. Obat- obat simptomatis seperti analgesik, antiemetic sesuai
indikasi dan kebutuhan.
27
Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan
operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis
pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum
digunakan panduan sebagai berikut:
1. Epidural Hematom
Lebih dari 40 cc dengan midline shifting pada daerah temporal/
frontal/ parietal dengan fungsi batang otak masih baik
Lebih dari 30 cc pada daerah fossa posterior dengan tanda- tanda
penekanan batang otak atau hidrosefalus dengan fungsi batang otak
masih baik
Epidural hematom progresif
2. Subdural Hematom
SDH luas (>40 cc/ 5 mm) dengan GCS > 6, fungsi batang otak
masih baik.
SDH dengan edema serebri/ kontusio serebri disertai midline shift
dengan fungsi batang otak masih baik.
3. Perdarahan intraserebral pasca trauma
Penurunan kesadaran progresif
Hipertensi dan bradikardi dan tanda- tanda gangguan nafas
Perburukan defisit neurologi fokal
4. Fratur impresi melebihi 1 diploe
5. Fraktur kranii dengan laserasi serebri
6. Fraktur kranii terbuka
7. Edema serebri berat yang disertai tanda peningkatan TIK.
2.7. PROGNOSIS
Dengan penanganan dan terapi yang agresif, terutama pada anak-anak
biasanya memiliki daya pemulihan yang baik. Penderita yang berusia
lanjut biasanya pemulihannya lebih lambat. Selain itu lokasi terjadinya lesi
pada bagian kepala pada saat trauma juga sangat mempengaruhi kondisi
kedepannya bagi penderita.
DAFTAR PUSTAKA
28
Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah.
Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press of Yogyakarta
American College of Surgeons, 1997, Advance Trauma Life Suport.
United States of America: Firs Impression
Boies adam., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.
Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta:
penerbit buku kedokteran EGC
Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif.
Sumatra Utara: USU Press.
Kluwer wolters, 2009, Trauma and acute care surgery, Philadelphia:
Lippicott Williams and Wilkins
Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal.
Perdossi.2006
Mardjono mahar, Sidharta priguna. Neurologi Klinis Dasar.Cetakan ke 9.
Dian Rakyat.2003.Bab.VIII Mekanisme trauma susunan saraf. Hal 248-63.
Proceeding Updates In Neuroemergencies II. Hotel Aston Atrium. 28
Februari. FKUI. Penatalaksanaan kedaruratan cedera kranio serebral. Hal
51-72.
Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif.
Sumatra Utara: USU Press.