1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Polemik mengenai kerugian keuangan negara dalam aktivitas bisnis terutama
yang dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan lain-lain muncul
ketika Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(selanjutnya disebut UU Tipikor) mencantumkan, kerugian keuangan negara
merupakan salah satu unsur dari tindak pidana korupsi (Pasal 2 dan Pasal 3).
Penyusun undang-undang ini tidak mengantisipasi bakal terjadi polemik tersebut
dengan pertimbangan bahwa korupsi identik dan melekat pada jabatan Negara juga
melekat pada penerimaan dan pengeluaran dana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN)/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP).
Polemik mengenai kerugian keuangan negara sering hanya mempersoalkan
definisi tentang kerugian keuangan negara implisit di dalamnya terkait definisi
keuangan negara. Dalam konteks UU Tipikor, kerugian keuangan negara merupakan
akibat dari perbuatan yang bersifat melawan hukum (unsur pertama) dan terdakwa,
orang lain atau korporasi telah turut menikmati keuntungan dari perbuatan melawan
hukum, sehingga negara dirugikan. Intinya adalah kerugian keuangan negara tidak
mutatis mutandis telah terbukti tindak pidana korupsi jika tidak terbukti unsur
melawan hukum, apalagi unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
korporasi, apalagi tidak terbukti pula unsur menyalahgunakan kewenangan,
TINJAUAN YURIDIS KREDIT MACET DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANAKORUPSI DAN PERBANKANDIKAITKAN DENGAN KEUANGAN NEGARAARIS PRANATAUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2
kesempatan, atau sarana yang ada pada terdakwa karena jabatan atau kedudukannya.
Dalam konteks pembuktian unsur kerugian keuangan Negara, polemik beralih kepada
persoalan definisi keuangan negara, bukan pada kerugian keuangan negara.
Sebenarnya, tidak ada relevansi antara persoalan kerugian keuangan negara dengan
keuangan negara di sisi lain. Hal ini disebabkan persoalan terakhir berada pada ranah
hukum administrasi keuangan negara yang telah diatur baik dalam UU RI Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (selanjutnya disebut UU Keuangan Negara),
UU RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (selanjutnya disebut UU
Perbendaharaan Negara), UU RI Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan UU Nomor 15 Tahun 2006
tentang Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya disebut UU BPK).
Sekalipun terdapat dua persoalan hukum yang berbeda satu sama lain, tetapi
kedua persoalan tersebut berkaitan ketika sampai pada pembuktian mengenai
kerugian keuangan negara. Hal ini disebabkan karena baik penyidik, penuntut, atau
hakim memerlukan penjelasan mengenai arti istilah keuangan negara dari ahli hukum
keuangan negara untuk membantu memperjelas dalam kaitan siapa bertanggung
jawab terhadap apa. Di sinilah letak kekeliruan para aktor yang berpolemik karena
mereka hanya fokus pada unsur kerugian keuangan negara tanpa mempertimbangkan
secara hati-hati dan teliti unsur lain dalam tindak pidana korupsi sebagaimana telah
diuraikan di atas. Kekeliruan tafsir hukum yang disebabkan perbedaan optik pandang
para ahli hukum keuangan dan ahli hukum administrasi, ahli hukum perdata, dan ahli
hukum pidana terjadi disebabkan rumusan ketentuan mengenai definisi keuangan
negara yang sangat luas. Di sinilah letak kekisruhan dan polemik berkepanjangan
terkait aktivitas bisnis di Indonesia sehingga tidak jelas atau tidak dapat membedakan
TINJAUAN YURIDIS KREDIT MACET DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANAKORUPSI DAN PERBANKANDIKAITKAN DENGAN KEUANGAN NEGARAARIS PRANATAUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3
lagi yang termasuk risiko bisnis dan risiko akibat perbuatan melawan hukum yang
berindikasi pidana.1
Terjadinya kerugian keuangan negara seringkali menjadi alasan pengenaan
tindak pidana korupsi kepada Bankir yang bersangkutan. Memang apabila merujuk
kepada UU Keuangan Negara, modal dan keuangan BUMN masuk dalam lingkup
keuangan negara sehingga masuk dalam lingkup Tindak Pidana Korupsi berdasarkan
UU Tipikor. Dalam praktek, tindak pidana ini dikenakan kepada bankir terlepas
apakah kerugian negara tersebut merupakan hasil Business Judgement Rule (BJR)
atau bukan, tetapi yang penting telah merugikan keuangan negara.
Seringkali dalam proses penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang
perbankan pada Bank BUMN aparat penegak hukum merujuk pada Undang-undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak pada Undang-Undang Perbankan. Hal ini
disebabkan tindakan aparat penegak hukum tersebut tidak diimbangi dengan
pemahaman konsep badan hukum, jika tidak dipahami benar apa konsekuensi yuridis
penyertaan modal oleh negara dalam bentuk kekayaan negara yang dipisahkan.
Disamping itu, sebagian besar Bank BUMN sudah go public, sehingga sahamnya
sudah sebagian dimiliki oleh masyarakat atau tidak 100% (seratus persen) dimiliki
oleh pemerintah (dalam hal ini Kementerian BUMN). Akibatnya tindakan aparat
penegak hukum untuk memberantas korupsi pada Bank BUMN ternyata bertentangan
dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(selanjutnya disebut UU Perseroan Terbatas), Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003
tentang BUMN (selanjutnya disebut UU BUMN), dan Undang-Undang Nomor 10
1 Isra Basra dalam Website www.academia.edu/6400303/Tugas_Hukum_Keuangan_Negara. diunduh
15 Juni 2016.
TINJAUAN YURIDIS KREDIT MACET DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANAKORUPSI DAN PERBANKANDIKAITKAN DENGAN KEUANGAN NEGARAARIS PRANATAUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4
Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan).
Bank BUMN tunduk pada UU BUMN. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003
Pasal 4 ayat (1) berbunyi “Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan
negara yang dipisahkan.” Bahwa pendefinisian keuangan Negara dalam Pasal 1 jo
Pasal 2 huruf (g) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
yang memasukkan kekayaan perusahaan Negara sebagai kekayaan Negara adalah
tidak benar. Dalam hal ini antara UU Keuangan Negara dengan UU BUMN berlaku
asas "Lex Specialist Derogat Legi Generale". Dalam hal ini, UU BUMN berlaku
sebagai ketentuan yang khusus menyangkut BUMN.
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 dikeluarkannya setelah UU Nomor 17
Tahun 2003, maka berlaku asas “Lex Posterior Derogat Legi Priori”, yang berarti
bahwa aturan yang baru mengesampingkan aturan yang lama. Asas ini dipergunakan
ketika terdapat pertentangan antara aturan yang derajatnya sama, sehingga pengertian
keuangan negara tunduk pada undang-undang yang lebih baru yaitu UU BUMN.
Selain tunduk pada UU BUMN, bahwa dalam operasional dan melakukan
kegiatan usahanya Bank BUMN juga tunduk pada UU Perseroan Terbatas dan UU
Perbankan, mengingat Bank BUMN berbadan hukum perseroan.
Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan hukum Indonesia ditandai oleh
semakin meningkatnya perkara korupsi, yang diajukan ke pengadilan atas dasar
adanya kerugian negara. Hal ini tentu terkait dengan perkembangan tafsir atas
tindakan merugikan keuangan negara. Pemahaman tentang kerugian negara dan
kerugian daerah dapat dilihat dari perspektif Hukum Administrasi sesuai ketentuan
UU Perbendaharaan Negara dan pengertian dalam Hukum Pidana sesuai ketentuan
TINJAUAN YURIDIS KREDIT MACET DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANAKORUPSI DAN PERBANKANDIKAITKAN DENGAN KEUANGAN NEGARAARIS PRANATAUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5
dalam UU Tipikor. Dua ketentuan tersebut sebenarnya saling melengkapi karena UU
Tipikor sebenarnya tidak mengatur tentang apa yang dimaksud dengan “kerugian
negara”. Undang Undang tersebut hanya menegaskan tentang unsur-unsur yang dapat
menyebabkan terjadinya kerugian negara. Menurut ketentuan tersebut telah terjadi
perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu dengan adanya UU Perbendaharaan
Negara yang mendefinisikan tentang pengertian kerugian negara semakin
memperjelas tentang dasar formil adanya kerugian negara.
Dua ketentuan undang-undang tersebut memperjelas pokok persoalan. Hal ini
dapat dipahami dari Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yang menjelaskan bahwa
kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara”
menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya
tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah
dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Oleh karena itu pengertian kerugian
negara yang diatur dalam UU Perbendaharaan Negara menjadi dasar formil untuk
mengukur telah terjadinya tindak pidana korupsi.
Dalam prakteknya, pengelola pemerintahan baik di pusat maupun di daerah
yang melakukan tindakan melawan hukum dan mengakibatkan kerugian
negara/daerah dapat dikenakan penggantian atas kerugian negara dimaksud. Dalam
bidang pemerintahan pihak yang dapat menjadi subjek penggantian kerugian
negara/daerah adalah pihak yang mempunyai kewenangan terkait dengan pengelolaan
keuangan negara meliputi Presiden, menteri keuangan, menteri/pimpinan lembaga,
kepala daerah, bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, dan pejabat lain yang
mendapat kewenangan dalam pengelolaan keuangan negara/daerah. Berdasarkan
kewenangan yang diberikan menurut ketentuan hukum administrasi. Menurut hukum
TINJAUAN YURIDIS KREDIT MACET DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANAKORUPSI DAN PERBANKANDIKAITKAN DENGAN KEUANGAN NEGARAARIS PRANATAUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6
administrasi dikenal 3 (tiga) cara memperoleh wewenang yaitu atribusi, delegasi dan
mandat.
Selain itu dalam hal kerugian negara maka negara bertindak selaku pihak
penggugat terhadap persero, perusahaan umum atau perseroan terbatas lainnya yang
menimbulkan kerugian terhadap keuangan negara dalam kedudukan selaku pihak
penggugat. Berhubung negara merupakan badan hukum publik berarti harus diwakili
untuk melakukan perbuatan berupa menggugat persero, perusahan umum, atau
perseroan terbatas lainnya yang menimbulkan kerugian negara. Secara yuridis wakil
negara untuk melakukan perbuatan hukum pada umumnya, dan khususnya menggugat
persero, perusahaan umum, atau perseroan terbatas lainnya adalah kejaksaan
sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia. Kejaksaan bertindak untuk dan atas nama negara atau pemerintah, namun
terlebih dahulu dilengkapi dengan surat kuasa khusus dari penyelenggara negara
terutama yang berwenang mengelola keuangan negara. Dalam hal tertentu, terjadinya
kerugian negara/daerah dapat terkait dengan tindak pidana. Pasal 64 UU
Perbendaharaan Negara menyatakan bahwa: (1) Bendahara, pegawai negeri bukan
bendahara, dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian
negara/daerah dapat dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi pidana, dan (2)
Putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi. Ketentuan Pasal 4 UU
Tipikor menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Dalam konteks kerugian negara maka dikenal sanksi pokok dan tambahan.
Sanksi pokok adalah mengganti kerugian yang dialami oleh negara pada saat
TINJAUAN YURIDIS KREDIT MACET DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANAKORUPSI DAN PERBANKANDIKAITKAN DENGAN KEUANGAN NEGARAARIS PRANATAUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7
pengelolaan keuangan negara karena secara subtansial penyelesaian kerugian negara
perlu dilakukan untuk mengembalikan kekayaan negara yang hilang atau berkurang
serta meningkatkan disiplin dan tanggungjawab para pegawai negeri/pejabat negara
pada umumnya dan para pengelola keuangan negara pada khususnya. Sanksi
tambahan dapat sanksi administratif atau sanksi pidana sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Dalam hal penggantian kerugian negara maka tentu
saja yang paling diutamakan adalah sanksi untuk mengganti kerugian negara. Sanksi
tersebut masuk sebagai sanksi administrasi. Setelah itu baru dikenakan jenis sanksi
administrasi lainnya atau sanksi pidana.
Prinsipnya penggantian kerugian negara adalah memulihkan kembali kekayaan
negara yang hilang. Oleh karena itu mekanisme yang digunakan adalah hukuman
administrasi. Ketentuan yang menegaskan bahwa uang pengganti dapat diganti
hukuman penjara pada dasarnya tidak memulihkan kembali kekayaan negara yang
hilang. Untuk mengidentifikasi apakah dapat dikatakan adanya kerugian negara
adalah dengan adanya ketentuan yang mengatur tentang besaran bunga atau
penghasilan yang seharusnya diterima oleh negara dalam batas waktu yang
ditentukan. Sepanjang diketemukan adanya perbuatan melawan hukum atas ketentuan
tersebut dan sesuai dengan unsur-unsur dalam Pasal 1 butir 22 UU Perbendaharaan
Negara maka dapat dikategorikan telah terjadi kerugian negara. Denda tentu harus
dipahami sebagai jenis hukuman administrasi. Hasil denda tersebut masuk dalam kas
negara. Oleh karena itu dengan tidak terpenuhinya denda tersebut dan telah memenuhi
TINJAUAN YURIDIS KREDIT MACET DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANAKORUPSI DAN PERBANKANDIKAITKAN DENGAN KEUANGAN NEGARAARIS PRANATAUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8
unsur Pasal 1 butir 22 UU Perbendaharaan Negara maka dapat dikategorikan telah
terjadi kerugian negara.2
Perihal di atas tentu tidak terlepas dengan posisi negara sebagai badan hukum
publik. Hal ini untuk membedakan dengan badan hukum privat. Dalam ilmu hukum
ada dua jenis badan hukum dipandang dari segi kewenangan yang dimilikinya yaitu:
Pertama: badan hukum publik (personne morale) yang mempunyai kewenangan
mengeluarkan kebijakan publik, baik yang mengikat umum atau algemeen binded
(misalnya UU Perpajakan) dan tidak mengikat umum (misalnya UU APBN). Kedua:
badan hukum privat (personne juridique) tidak memiliki kewenangan mengeluarkan
kebijakan publik yang bersifat mengikat masyarakat umum.3 Badan hukum
memerlukan syarat yuridis formal dan empat syarat materiil yaitu: (1) mempunyai
kekayaan terpisah; (2) mempunyai tujuan tertentu; (3) mempunyai kepentingan
tertentu; dan (4) mempunyai organisasi teratur.4
Dalam konteks negara sebagai badan hukum publik, kedudukan hukum dari
kepunyaan negara itu harus diadakan dalam kepunyaan privat dan kepunyaan publik.
Hukum yang mengatur kepunyaan privat ini sama sekali tidak berbeda dengan hukum
yang mengatur kepunyaan perdata biasa yaitu hukum perdata. Sementara itu, hukum
yang mengatur kepunyaan publik diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan
tersendiri.5
Penjelasan negara dalam posisi sebagai badan hukum publik atau sebagai badan
hukum privat sangat penting dalam menentukan adanya tindakan merugikan
2 Agus Ngadino dan Iza Rumesten RS, Makalah: Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Perspektif
Hukum Administrasi, hlm. 1-5 3 Arifin P. Soeria Atmadja, 2010, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum: Praktik dan Kritik,
(Jakarta: Fakultas Hukum UI), hlm. 93. 4 Ibid, hlm. 94. 5 Ibid, hlm. 95.
TINJAUAN YURIDIS KREDIT MACET DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANAKORUPSI DAN PERBANKANDIKAITKAN DENGAN KEUANGAN NEGARAARIS PRANATAUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9
keuangan negara. Dengan adanya perbedaan peranan negara, yang dipresentasikan
oleh pemerintah, sebagai badan hukum privat (misalnya perseroan terbatas), maka
kerugian badan hukum privat yang disebabkan adanya penyimpangan dana perseroan
seperti halnya korupsi tidak dapat disebut sebagai merugikan negara, dalam arti
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebagaimana diatur dalam
undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Menurut Atmadja, apabila dikaitkan dengan definisi keuangan negara, satu hal
pertama yang perlu dipahami dan dikemukakan adalah apa yang dimaksud dengan
keuangan negara tersebut?. Keterkaitan definisi keuangan negara dalam mengetahui
aspek hukum kerugian negara disebabkan definisi tersebut pada hakekatnya secara
langsung membatasi ruang lingkup kerugian negara.6
Selain itu hal menjadi menarik terkait dengan masalah keuangan negara adalah
terkait dengan adanya tindakan melawan hukum dalam wilayah administratif dan
pidana. Penilaian mengenai apakah suatu perbuatan termasuk perbuatan melawan
hukum, tidak cukup apabila didasarkan pada pelanggaran terhadap kaidah hukum,
tetapi juga dinilai dari sudut pandang kepatutan. Fakta bahwa seseorang telah
melakukan pelanggaran terhadap suatu kaidah hukum dapat menjadi faktor
pertimbangan untuk menilai apakah perbuatan yang menimbulkan kerugian tadi
sesuai atau tidak dengan kepatutan yang seharusnya dimiliki seseorang dalam
pergaulan dengan sesama warga masyarakat.7
Oleh karenanya Moegni Djohodirdjo mengartikan perbuatan melawan hukum
sebagai suatu perbuatan atau kealpaan, yang bertentangan dengan hak orang lain, atau
6 Ibid, hlm. 98. 7 Setiawan, Empat Kriteria Perbuatan Melanggar Hukum dan Perkembangannya Dalam Yurisprudensi,
Varia Peradilan Nomor 16, Desember 1986.
TINJAUAN YURIDIS KREDIT MACET DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANAKORUPSI DAN PERBANKANDIKAITKAN DENGAN KEUANGAN NEGARAARIS PRANATAUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan baik dengan
kesusilaan baik, maupun dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan
hidup terhadap orang lain atau benda.8
Perbuatan Melawan Hukum sebagai suatu konsep tidak hanya perbuatan yang
bertentangan dengan undang-undang saja, tetapi berbuat atau tidak berbuat yang
melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum, bertentangan
dengan kesusilaan maupun sifat berhati-hati sebagaimana patutnya dalam lalulintas
masyarakat.9
Pada dasarnya perbuatan melawan hukum di Indonesia diterjemahkan dari
istilah Belanda yaitu “onrechtmatige daad”. Menurut Djojodirdjo, dalam istilah
“melawan” melekat sifat aktif dan pasif, sifat aktif dapat dilihat apabila dengan
sengaja melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain, jadi
sengaja melakukan gerakan sehingga nampak dengan jelas sifat aktifnya dari istilah
“melawan” tersebut. Sebaliknya apabila ia dengan sengaja diam atau dengan lain
perkataan apabila ia dengan sikap pasif saja sehingga menimbulkan kerugian pada
orang lain, maka ia telah “melawan” tanpa harus menggerakkan badannya.10
Menurut Badrulzaman bahwa syarat-syarat yang harus ada untuk menentukan
suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut: 1) Harus
ada perbuatan, yang dimaksud dengan perbuatan ini baik yang bersifat positif ataupun
negatif, artinya setiap tingkah laku berbuat atau tidak berbuat; 2) Perbuatan itu harus
8 M. A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Padnya Paramita, 1982), hlm. 26. 9 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung:
Alumni, 1996), hlm. 147-148. 10 M.A. Moegni Djojodirdjo, Op.cit, hlm. 13.
TINJAUAN YURIDIS KREDIT MACET DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANAKORUPSI DAN PERBANKANDIKAITKAN DENGAN KEUANGAN NEGARAARIS PRANATAUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11
melawan hukum; 3) Ada kerugian; 4) Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan
melawan hukum dengan kerugian; dan 5) Ada kesalahan (schuld).11
Dalam tinjauan terhadap penerapan fungsi positif dari ajaran perbuatan melawan
hukum materiil tidak jarang mengalami kekeliruan esensial dan mendasar sifatnya.
Seringkali badan yudikatif telah mencampuradukkan, bahkan menganggap sama
antara unsur “menyalahgunakan wewenang” dan “melawan hukum”, bahkan tanpa
disadari badan peradilan menerapkan asas perbuatan melawan hukum materiil dengan
fungsi positif tanpa memberikan kriteria yang jelas untuk dapat menerapkan asas
tersebut, yaitu melakukan pemidanaan berdasarkan asas kepatutan dengan
menyatakan para pelaku telah melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik,
tanpa bisa membedakannya dengan persoalan “beleid” yang tunduk pada Hukum
Administrasi Negara.12
Makna unsur “menyalahgunakan wewenang” tidaklah sama dengan unsur
“melawan hukum” khususnya terhadap pemahaman kajian dalam tindak pidana
korupsi. Implisitas makna tersebut bahwa menyalahgunakan wewenang adalah tersirat
sebagai melawan hukum (meskipun menimbulkan perdebatan yang meluas, apakah
melawan hukum ini diartikan secara formal atau termasuk pula materiil). Namun
demikian tidaklah berarti memenuhi unsur “melawan hukum” berarti pula memenuhi
unsur “menyalahgunakan wewenang”. Kedua unsur ini jelas berbeda, baik dari sisi
“material feit” maupun “strafbarefeit”, karena itu penempatan kedua ketentuan ini
11 Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit, hlm. 146-147. 12 Indriyanto Seno Adji, “Prospek Hukum Pidana Indonesia pada Masyarakat Yang Mengalami
Perubahan”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta: 19 Februari 2004, hlm. 27.
TINJAUAN YURIDIS KREDIT MACET DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANAKORUPSI DAN PERBANKANDIKAITKAN DENGAN KEUANGAN NEGARAARIS PRANATAUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
merupakan pasal-pasal terpisah dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia.13
Menurut Jean Rivero dan Waiine seperti yang dijelaskan oleh Indriyanto Seno
Adji, penyalahgunaan kewenangan dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam
tiga wujud yaitu: Pertama: penyalahgunaan wewenang untuk melakukan tindakan-
tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan
kepentingan pribadi, kelompok atau golongan. Kedua: penyalahgunaan kewenangan
dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan
umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh
Undang-undang atau peraturan-peraturan lain. Ketiga: penyalahgunaan kewenangan
dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya digunakan untuk mencapai
tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.14
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, pada
hari Senin, 25 Pebruari 2013 kembali menggelar sidang kasus kredit macet Bank Riau
Kepulauan Riau (Kepri), dengan terdakwa Zulkifli Thalib, mantan Dirut Bank Riau
Kepri. Sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi Ad-charge
(meringankan). Kuasa Hukum terdakwa, Agung Budiharta, menghadirkan saksi ahli
hukum perbankan, Erman Rajagukguk, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas
Indonesia (UI), dan Eko Sembodo, Mantan Kepala BPK Riau, ahli keuangan negara.
Dalam kesaksiannya dihadapan Majelis Hakim yang diketuai Ida Bagus
Dwiyantara, Erman Rajagukguk mengatakan keuangan perusahaan milik pemerintah
daerah adalah bukan keuangan negara. Dasarnya adalah bank milik pemerintah daerah
13 Indriyanto Seno Adji, “Overheidsbeleid & Asas Materiale Wederrechteleijkheid Dalam Perspektif
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, Makalah disampaikan pada Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminalogi Ke XI Tahun 2005 di Hotel Hyatt Surabaya 13-16 Maret 2005, hlm. 31.
14 Ibid, hlm. 22.
TINJAUAN YURIDIS KREDIT MACET DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANAKORUPSI DAN PERBANKANDIKAITKAN DENGAN KEUANGAN NEGARAARIS PRANATAUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
berbentuk Perseroan Terbatas sesuai Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007, maka ia
berbadan hukum. Suatu badan hukum sebagai subjek hukum mempunyai harta
kekayaan sendiri terpisah dari harta kekayaan pemegang saham, Komisaris, maupun
Direksi. Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor77/PUU-IX/2011 menyatakan
piutang Bank BUMN setelah berlakunya UU Perbendaharaan Negara, UU BUMN
dan UU Perseroan Terbatas, adalah bukan lagi piutang negara.15
"Bila mana suatu bank milik Pemerintah Daerah yang berbentuk perseroan
terbatas memiliki kredit macet, maka bank tidak dapat dikatakan telah merugikan
negara. Apalagi kerugian satu bank dihitung dalam satu tahun buku, bukan dari satu
kredit macet, satu triwulan kredit macet, atau satu semester kredit macet. Kecuali
direksi menerima suap, jika tidak terbukti maka tidak. Kredit macet itu risiko bisnis".
Menurut Erman Rajagukguk, kalaupun pemegang saham merasa rugi atas satu kredit,
maka pemegang saham bisa menuntut perdata para pengurus bank. Ini sesuai dengan
undang-undang Perseroan Terbatas. 16
Lebih lanjut Erman Rajagukguk menjelaskan bahwa bila direksi mengambil
kebijakan take over untuk penyelamatan bank, pendapat saya, ini tidak melanggar UU
Perseroan Terbatas maupun UU Perbankan. Jika kredit itu macet, itu risiko bisnis,
bukan korupsi. Hutang negara yang sudah diserahkan ke BUMN atau Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD), sudah tidak lagi merupakan hutang negara. Jika BUMN atau
BUMD itu terjadi permasalahan dengan pihak ketiga (kreditor). Kebijakan pimpinan
tidak termasuk tindak pidana korupsi. Korupsi itu, menerima sesuatu dalam bentuk
15 Saksi Ahli Sebut Kredit Macet Bukan Pidana Korupsi, Website riauterkini.com, 25 Pebruari 2013
diunduh 30 Juli 2016. 16 Ibid
TINJAUAN YURIDIS KREDIT MACET DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANAKORUPSI DAN PERBANKANDIKAITKAN DENGAN KEUANGAN NEGARAARIS PRANATAUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14
uang atau barang. Akan tetapi kalau kebijakan yang salah sehingga merugikan, itu
belum bisa dikatakan korupsi.17
Jika kebijakan itu diambil secara kolegial dalam artian seluruh direksi dan
komisaris, karena untuk menghindari masalah yang lebih parah, serta dengan itikad
baik, maka ini tidak bisa dikatakan merugikan, karena ini keputusan bisnis, atau
istilahnya Business Judgment Rule (BJR).
Direksi dalam kebijaksaannya pun dapat melanggar anggaran dasar perusahaan,
jika memang mendesak. Dimanapun perseroan terbatas dengan anggaran dasarnya,
tidak ada sanksi pidana kalau itu dilanggar. Jika untuk penyelamatan atau kerugian
lebih lanjut, peraturan boleh disimpangi, karena itu kebijakan perusahaan. Ini satu
tindakan, tidak umum. Jika ada yang merasa dirugikan dapat digugat perdata, tapi
bukan tindak pidana.
Menurut Erman Rajagukguk, meskipun pemegang sahamnya adalah negara atau
pemerintah, karena ini badan hukum privat yang mengelola bisnis, maka ini tidak bisa
dikatakan sama, karena negara artinya sudah masuk dalam bisnis privat. Perseroan
terbatas mempunyai harta tersendiri, maka tidak perlu diperiksa BPKP.18
Sementara itu saksi ahli berikutnya, Eko Sembodo, juga memberikan
keterangan, seharusnya tidak dapat dikatakan kedit macet menimbulkan kerugian,
tanpa memperhitungkan jaminannya, maka harus dihitung hal-hal lain untuk
mendukung kredit yang diberikan. Kalau ada jaminan dan bisa dilelang, maka itu
tidak disebut total lost. Menghitung kerugian negara itu harus jelas perhitungannya.19
17 Ibid 18 Ibid 19 Ibid
TINJAUAN YURIDIS KREDIT MACET DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANAKORUPSI DAN PERBANKANDIKAITKAN DENGAN KEUANGAN NEGARAARIS PRANATAUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
15
Kekurang hati-hatian, kekurang telitian, dan kekurang cermatan dalam
memberikan kredit kepada debitur sehingga menyebabkan kredit bermasalah atau
kredit macet tidak serta merta menyebabkan kerugian negara sehingga dewan
komisaris atau direksi atau pegawai Bank BUMN tersebut dikenakan UU Tipikor. Hal
ini harus memperhatikan UU Perbankan khususnya pada Pasal 49 ayat (2) huruf b
yang berbunyi: “Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang dengan
sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan
ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda
sekurang-kurangnya Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).20
Berangkat dari latar belakang masalah sebagaimana digambarkan secara singkat
di atas, maka penulis mengadakan sebuah penelitian secara normatif lebih lanjut
untuk dituangkan di dalam sebuah tesis dengan mengambil judul Tinjauan Yuridis
Kredit Macet Dalam Perspektif Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan
Perbankan Dikaitkan Dengan Keuangan Negara.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah seperti diuraikan di atas, maka perumusan
masalahnya adalah sebagai berikut:
20 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan khususnya pada Pasal 49 ayat (2) huruf b
TINJAUAN YURIDIS KREDIT MACET DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANAKORUPSI DAN PERBANKANDIKAITKAN DENGAN KEUANGAN NEGARAARIS PRANATAUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16
1. Apakah kredit macet menyebabkan kerugian keuangan Negara, sedangkan Neraca
dan Rugi/Laba pada tahun yang sama pada saat pemberian kredit tersebut Bank
BUMN memperoleh keuntungan?
2. Apakah karena ketidaktelitian dan/atau ketidakhati-hatian direksi dan/atau dewan
komisaris Bank BUMN dalam memberikan kredit dapat dikenakan Tindak Pidana
Korupsi?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian tentang “Tinjauan Yuridis Kredit Macet dalam Perspektif Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi dan Perbankan Dikaitkan dengan Keuangan Negara”
dalam penulisan tesis ini bertujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaruh kredit macet terhadap kerugian keuangan negara.
2. Untuk mengetahui akibat ketidaktelitian dan/atau ketidak hati-hatian direksi
dan/atau dewan komisaris dalam memberikan kredit sehingga kredit macet dapat
dikenakan Tindak Pidana Korupsi.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari tulisan ini sangat berguna, baik secara teoritis
maupun praktis yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Dalam penelitian ini, penulis berharap hasilnya akan mampu memberikan
sumbangan bagi pembangunan hukum bisnis antara lain mengenai “Tinjauan Yuridis
Kredit Macet Dalam Perspektif Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan
Perbankan Dikaitkan dengan Keuangan Negara”.
TINJAUAN YURIDIS KREDIT MACET DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANAKORUPSI DAN PERBANKANDIKAITKAN DENGAN KEUANGAN NEGARAARIS PRANATAUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
17
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan dan referensi
bagi kalangan praktisi dan akedemisi untuk perkembangan dan pelaksanaan
hukum akibat kredit macet dalam perspektif undang-undang tindak pidana korupsi
dan perbankan dikaitkan dengan keuangan negara.
b. Hasil penelitian ini juga bermanfaat bagi para mahasiswa dan akademisi yang
ingin mengetahui dan mempelajari lebih lagi mengenai hukum akibat kredit macet
dalam perspektif undang-undang tindak pidana korupsi dan perbankan dikaitkan
dengan keuangan negara.
c. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menambah masukan dan wawasan baru
bagi masyarakat dan khususnya pegawai bank BUMN mengenai pentingnya
hukum akibat kredit macet dalam perspektif undang-undang tindak pidana korupsi
dan perbankan dikaitkan dengan keuangan negara.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pengetahuan penulis, penelitian yang membahas mengenai
penerapan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan korelasinya
terhadap status kekayaan negara yang dipisahkan sudah pernah dilakukan oleh Ida
Bagus Komang Dwijaksara21 dalam tesisnya yang berjudul Tinjauan Yuridis
Terhadap Penerapan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pada
21 Ida Bagus Komang Dwijaksara, 2008, Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pada PT. Persero, Tesis, Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
TINJAUAN YURIDIS KREDIT MACET DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANAKORUPSI DAN PERBANKANDIKAITKAN DENGAN KEUANGAN NEGARAARIS PRANATAUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
18
PT.Persero, Dian Yustisia Anggraini22 dalam tesisnya yang berjudul Tinjauan Yuridis
Penerapan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam Menangani
Tindak Pidana di Bidang Perbankan Pada Bank BUMN dan Mohammad Iqbal
Firdaozi23 dalam tesisnya yang berjudul Implementasi Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Jo. Undang-Undang N0. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Terhadap Tanggungjawab dan Kedudukan Direksi dan Dewan
komisaris Perusahaan (Studi Kasus PT. Bank Mandiri Tbk).
Selain itu juga terdapat beberapa makalah tentang penerapan Undang-Undang
Tipikor dalam menangani tindak pidana perbankan yang didiskusikan dalam berbagai
seminar, salah satunya adalah seminar dan diskusi yang diselenggarakan oleh Center
for Finance, Investment, and Securities Law (CFISEL) tentang “Penggunaan Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Tindak Pidana di Bidang
Perbankan”. Hasil seminar ini kemudian diterbitkan dalam prosiding yang juga
penulis jadikan sebagai salah satu rujukan dalam penyusunan tesis ini.24
Tanpa bermaksud mengekor karena penulis dalam membuat judul tesis tersebut
di atas tanpa melihat tesis orang lain terlebih dahulu, jadi dengan dasar pemikiran
sendiri. Disamping itu, penulis juga mempunyai ketertarikan terhadap isu tersebut,
dan dalam penelitian ini penulis ingin menganalisis penerapan Undang-undang mana
yang lebih tepat dalam menangani komisaris, direksi atau pegawai Bank BUMN yaitu
22 Dian Yustitia Anggraini, 2008, Tinjauan Yuridis Penerapan Undang-Undang Pemberatasan Tindak
Pidana Korupsi Dalam Menangani Tindak Pidana Perbankan pada Bank BUMN, Tesis, Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
23 Mohammad Iqbal Firdaozi, 2009, Implementasi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang N0. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Tanggungjawab dan Kedudukan Direksi dan Dewan komisaris Perusahaan (Studi Kasus PT. Bank Mandiri Tbk.), Tesis, Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
24 Dian Yustitia Anggraini, Op. cit, hlm. 4
TINJAUAN YURIDIS KREDIT MACET DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANAKORUPSI DAN PERBANKANDIKAITKAN DENGAN KEUANGAN NEGARAARIS PRANATAUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
19
Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Undang-undang
Perbankan dalam kaitannya dengan permasalahan kredit macet.
Landasan penulis melakukan penulisan tesis ini adalah sebagai mahasiswa yang
berpijak pada disiplin ilmu hukum, juga dilandasi ketertarikan penulis mengenai
permasalahan yang terkait kredit macet, keuangan negara, UU Perbankan dan UU
Tindak Pidana Korupsi.
Untuk lebih mempertajam pembahasan permasalahan dalam penelitian ini
penulis melakukan pendekatan kasus. Menurut Marzuki, pendekatan kasus (case
approah) dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang
berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan hakim pun bahkan bilamana perlu juga
dikritisi dengan dijadikannya tujuan penelitian, yaitu dalam penelitian yang
bersifat case study atau yang menggunakan case approach.25
25 Peter Mahmud Marzuki, Resume: Penelitian Hukum, https://pakarhukumindonesia.com/2015/06/ 10/resume-penelitian-hukum-by-peter-mahmud-marzuki/ diunduh 26 November 2016
TINJAUAN YURIDIS KREDIT MACET DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANAKORUPSI DAN PERBANKANDIKAITKAN DENGAN KEUANGAN NEGARAARIS PRANATAUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Top Related