Download - terjemahan jurnal

Transcript

Injeksi Mitomycin C praoperasi dibandingkan Transplantasi Autograft

Limbal Konjungtiva untuk Pencegahan Pterygium Berulang

Sameh S. Mandour, Hassan G. Farahat, and Hala M. Mohamed

Abstrak

Tujuan: Untuk mengevaluasi hasil pasca operasi dan tingkat kekambuhan setelah eksisi

pterigium primer, menggunakan injeksi Mitomycin C (MMC) sebelum operasi dibandingkan

dengan transplantasi autograft limbal konjungtiva (LCAT).

Metode: Sembilan puluh satu subjek dengan pterigium primer dibagi kedalam 2 kelompok. Grup

mata A (48 subjek) diberikan injeksi subpterygial MMC 0,015% satu bulan sebelum dilakukan

operasi (eksisi). Grup mata B (43 subjek) dilakukan operasi eksisi pterygium dilanjutkan dengan

teknik LCAT. Pterygium yang mengalami pertumbuhan 1 mm atau lebih dianggap sebagai

kekambuhan.

Hasil: Periode follow-up adalah 24 bulan. Di grup mata A, dilaporkan kekambuhan terjadi pada

2 subjek (4,2%) dengan tingkat komplikasi 16,80%. Sementara di grup mata B, kekambuhan

terjadi pada 4 subjek (9,3%) dengan tingkat komplikasi sebesar 11,63%. Dilaporkan tidak ada

komplikasi pasca operasi yang serius. Tidak ada perbedaan signifikan secara statistik antara 2

kelompok mengenai tingkat kekambuhan serta tingkat komplikasi.

Kesimpulan: Kedua teknik yang digunakan dalam penelitian ini terbukti efektif dalam

mengurangi tingkat kekambuhan setelah eksisi pterigium nasal primer dengan komplikasi pasca

operasi yang minimal. Injeksi MMC preoperative secara teknis lebih mudah, dengan waktu

operasi yang lebih singkat dan perlindungan terhadap konjungtiva yang sehat. Namun, LCAT

adalah suatu tahapan prosedur dan bebas dari tambahan terapi farmakologis atau radiasi.

Pendahuluan

Kekambuhan setelah eksisi pterigium merupakan tantangan untuk ophthalmologist dan

ini dianggap sebagai komplikasi postoperative yang paling umum. Beberapa teknik telah

dikembangkan dalam percobaan untuk mengatasi tingginya kekambuhan pasca operasi. Namun,

tak satupun terbukti benar-benar efektif. Di antara modalitas pasca operasif B-iradiasi,

autografting konjungtiva, tambahan mytomicin C (MMC) intraoperatif atau postoperatif, dan

transplantasi membran amnion (AMT).

Kami tunjukkan pengalaman kami untuk mengontrol kekambuhan pterygium pasca

operasi dengan menggunakan 2 teknik yang berbeda pada 2 kelompok pasien dengan pterygium

nasal primer. Kemudian kami membandingkan hasil pasca operasi pada kedua kelompok.

Metode

Penelitian ini menggunakan metode prospective randomized yang dilakukan pada 91

mata dari 91 pasien dengan pterigium nasal primer yang berobat di Rumah Sakit Universitas

Menoufia di Shebin El Kom dan Manshiet Soltan selama periode Oktober 2005 sampai Oktober

2008.

Para pasien secara acak dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama telah menjalani

eksisi pterigium nasal primer dengan bare scleral 1 bulan setelah injeksi mitomycin C

subkonjungtiva sebanyak 0.1ml dari 0.15mg/mL MMC ke dalam badan pterigium. Kelompok

kedua menjalani transplantasi autograft konjungtiva limbal setelah eksisi pterigium. Semua

operasi dilakukan oleh satu dokter bedah (Hassan G. Farahat).

Semua pasien dalam penelitian adalah yang memiliki pterigium nasal primer yang

menutupi permukaan kornea tanpa patologi okular lainnya. Pemeriksaan mata yang

komprehensif dilakukan untuk menguji ketajaman visual yang terbaik, pemeriksaan slit-lamp,

tonometry Goldmann applanation, pemeriksaan fundus, dan pemeriksaan motilitas okular

dilakukan pada semua pasien dalam penelitian. Persetujuan diambil dari semua pasien dan

penelitian telah disetujui oleh kelembagaan. Semua langkah-langkah dalam penelitian sesuai

dengan prinsip-prinsip Deklarasi Helsinki.

Teknik Bedah

Kelompok (A). Persiapan MMC; Mutamycin (Bristol-Myers Squibb-) vial berisi 5 mg

bubuk mitomycin dilarutkan dengan air steril 33 ml untuk mendapatkan konsentrasi 0.15mg/mL

untuk injeksi.

Teknik injeksi MMC: anestesi topikal (Benoxinate hidroklorida 0,4%) diinjeksikan

pertama kali pada mata dilanjutkan dengan injeksi subconjunctival 0.1ml dari 0.15mg/mL MMC

ke pterigium pada limbus menggunakan syringe insulin dengan jarum 27-gauge. Aplikator

dengan ujung kapas diaplikasikan pada tempat injeksi setelah penarikan jarum untuk mencegah

refluks dari obat yang disuntikkan. Selanjutnya dilakukan pembilasan permukaan mata dengan

saline untuk menghilangkan sisa dari MMC.

Setelah injeksi, pasien menerima terapi topical (tetes mata)-gabungan antibiotik dan

steroid- diteteskan 1 tetes 4 kali sehari dan deksametason salep mata 0,1% dioleskan sebelum

tidur selama 1 minggu. Pasien dilihat pada 1 hari, 1 minggu, dan 1 bulan setelah injeksi MMC

subconjunctival. Sebuah pemeriksaan mata lengkap dilakukan setiap kunjungan. Satu bulan

setelah injeksi, pasien menjalani eksisi bare sclera.

Teknik eksisi bare sclera: anestesi topikal diberikan, dilanjutkan dengan membuka

kelopak mata dengan spekulum. Lidocaine 2% subkonjungtival dengan epinefrin 1:100.000

disuntikkan di bawah badan pterigium menggunakan jarum 27-gauge.

Sebuah Bard Barker knife No 15 atau crescent knife digunakan untuk membedah kepala

pterigium dimulai 0.5 mm dari tepi temporal sampai limbus. Sebuah gunting tumpul Wesscot

digunakan untuk mengurangi reseksi konjungtiva dan untuk membedah pterigium 5 mm dari

limbus meninggalkan dasar perifer untuk menghindari kerusakan tendon rektus medial. Eksisi

pterigium tidak memperpanjang atau melibatkan plica semilunaris. Ketika sklera terbuka lebar,

konjungtiva dijahit ke episkleral 3mm dari limbus menggunakan benang vicryl 8/0.

Grup (B). Anestesi topikal dilanjutkan anastesi peribulbar (Lidocaine 2% dengan

epinefrin 1:100.000) digunakan dalam semua kasus LCAT. Setelah palpebra dibuka dengan

spekulum, episcleral superior dan inferior dijahit (menggunakan silk 7/0) 2mm dari limbus

digunakan untuk menguatkan bolamata dan untuk membantu bola mata berputar ke temporal.

Batas pterygium diukur dan ditandai. Digunakan pisau Bard Barker No 15 atau crescent

knife untuk membedah kepala pterygium 0.5 mm mulai temporal sampai limbus. Sebuah gunting

blunt Wesscot digunakan untuk merusak reseksi konjungtiva yang direncanakan untuk

membedah pterigium 5 mm dari limbus meninggalkan dasar perifer untuk menghindari

kerusakan tendon rektus medial (Gambar 1.a).

Gambar 1. Transplantasi autograft limbal konjungtiva. (A) skleral bed setelah eksisi pterigium.

(B) menandai graft konjungtiva limbal di kuadran superotemporal (C) cangkokan ditempatkan

pada bare sclera (D) menguatkan cangkokan pada tempatnya.

Gambar 2. Postoperatif 1 bulan setelah

eksisi pterigium (Grup A)

Gambar 3. Postoperatif 24 bulan setelah

eksisi pterigium (Grup A)

Gambar 4. Bagian mikroskop cahaya dari pterigium, 1 bulan setelah injeksi subconjunctival

mitomycin C menunjukkan epitel utuh (panah hitam). Jaringan subepitel menunjukkan fibrosis

padat (abu-abu panah), tersebar sel-sel inflamasi kronis (panah putih), dan pembuluh darah

tersumbat.

Badan pterigium dipotong diukur dengan calliper. Conjunctivo-limbal graft diambil dari

temporal atas konjungtiva bulbar pada mata yang sama seluas 0.5 mm lebih lebar dari badan

pterigium yang diukur; dimensi graft digaris (ditandai) dengan spidol bedah (Gambar 1.B).

Konjungtiva menggelembung dengan lidokain 2% dengan 1:100.000 epinefrin. Konjungtiva

dibedah dengan gunting blunt Wesscot dari sisi forniks menuju limbus.

Sebuah pisau Bard Barker No 15 atau pisau crescent knife digunakan untuk

memperpanjang diseksi dari limbus dan diperluas sampai 0.5 mm dari perifer kornea. Sebelum

cangkokan dipisahkan, dijahit dengan benang nylon 10/0 monofilamen yang dimasukkan di

sudut limbal cangkokan dan dengan benang vicryl 8/0 dibuat jahitan yang disisipkan di sudut

konjungtiva dari cangkokan. Cangkokan dipindahkan ke tempat dimana pterigium telah di insisi

(Gambar 1C) lalu dijahit ke kornea dengan benang nylon 10/0 dan dijahit ke konjungtiva dengan

benang vicyrl 8/0 (Gambar 1D).

Perawatan pasca operasi termasuk pemberian antibiotik topikal pada mata sebanyak 4

kali satu tetes sehari dan deksametason 0,1% salep mata sebelum tidur sampai semua tanda-tanda

peradangan menghilang, rata-rata selama 4 minggu. Sebuah bantalan mata diberikan sampai

reepitelialisasi lengkap. Jahitan dilepaskan setelah luka sembuh atau jika benangnya sudah

menjadi longgar.

Pada kedua kelompok, pasien diperiksa 1 hari pasca operasi kemudian setelah 1 minggu

(Gambar 2) untuk evaluasi penyembuhan dan deteksi dini komplikasi postoperasi. Pasien

diperiksa ulang pada 1, 3, 6, 9, dan 12 bulan pasca operasi, lalu setiap 6 bulan ditahun berikutnya

(Gambar 3). Setiap kontrol postoperasi dilakukan pemeriksaan mata lengkap. Dinilai sebagai

pterigium berulang jika ada pertumbuhan fibrovaskular diatas kornea sebesar 1 mm atau lebih.

Analisis statistik menggunakan SPSS versi 15 (SPSS Sains, Chicago, IL) menggunakan

uji chi-square dan t-test dengan tingkat signifikansi sebesar 95%.

Hasil

Sembilan puluh satu subjek yang terdaftar dalam penelitian ini, dibagi dalam dua

kelompok, Grup A 48 subjek dan grup B 43 subjek. Terdapat 24 (50%) laki-laki dan 24 (50%)

perempuan dalam grup A dan 22 (51.16%) laki-laki dan 21 (48,84%) perempuan di grup B. Usia

subjek berkisar antara 25 sampai 65 tahun pada grup A dan 22 sampai 60 tahun di grup B.

Rata-rata perpanjangan pterygia ke kornea adalah 3.04 - 1.08 mm di grup A dan 3.44 -

1.21mm di grup B. Rata-rata lebar pterigium pada limbus adalah 4.46 - 1.44mm di grup A dan

5,06-1,39 di grup B.

Pterygia yang kurang vaskular dan kurang meradang selama 1 bulan follow-up terdapat

pada grup A. Masa follow- up pada grup A berkisar 24-38 bulan dengan rata-rata 29,5-4,3 bulan.

Pada kelompok B berkisar 24-42 bulan dengan rata-rata 30,3-4,1 bulan.

Ketajaman visual pada grup A meningkat 1-2 baris pada 18 subjek (37,5%), sedangkan

pada kelompok B peningkatan ketajaman visual 1-3 baris terdapat pada 11 subjek (25,58%).

Sisanya tidak menunjukan peningkatan ketajaman visus.

Di grup A, kekambuhan dilaporkan ditemukan pada 2 subjek (4,2%). Interval waktu dari

operasi sampai kambuh adalah 5 bulan dan 6 bulan pada masing-masing subjek.

Sementara di grup B, kekambuhan dilaporkan ditemukan pada 4 subjek (9,3%). Interval

waktu dari operasi untuk kambuh adalah 4,5-1,6 bulan. Tidak ada perbedaan signifikan secara

statistic antara 2 kelompok mengenai tingkat kekambuhan (P = 0,536) (Tabel 1).

Mengenai komplikasi pasca operasi, digrup A, ada perdarahan subconjunctival pada 6

subjek (12,6%). Vaskularisasi konjungtiva dilaporkan pada 2 subjek (4,2%) tapi itu jauh dari

limbus dan tidak dianggap sebagai kekambuhan. Tidak ada pasien yang berkembang menjadi

defek epitel persisten, dellen, atau tanda-tanda pencairan scleral selama follow-up pasca operasi.

Pada kelompok B, ditemukan hematoma dibawah graft pada 3 subjek (6,98%) dan granuloma

Tenon pada 2 subjek (4,65%). Hematoma yang terjadi didrainase melalui sayatan 1mm pada

cangkokan pada hari pertama postoperasi. Granuloma dieksisi 2 minggu pasca operasi. Tidak

ada komplikasi serius pasca operasi yang dilaporkan. Tidak ada perbedaan yang signifikan

secara statistik antara 2 kelompok mengenai tingkat komplikasi (P = 0,386) (Tabel 1).

Diskusi

Karena tingginya tingkat kekambuhan setelah eksisi pterigium menggunakan teknik bare

sclera yaitu 30-80%, berbagai modalitas pengobatan lain telah diusulkan. Tambahan terapi

setelah eksisi bare sklera dengan MMC efektif dalam mengurangi kekambuhannya (0,5-16%).

MMC bertindak sebagai alkylating agent penghambat fibroblast yang poten. Menyebabkan

kerusakan permanen pada sel. Selain itu juga menghambat migrasi fibroblast dan sintesis

kolagen dan karena itu mempengaruhi penyembuhan luka. MMC digunakan untuk diterapkan

baik intraoperatif atau postoperatif.

Penerapan MMC pada saat operasi memberikan keuntungan secara langsung memasukan

obat ke badan pterygium. Namun, kontak langsung MMC dengan kornea dan endotelium

konjungtiva menyebabkan persisten kornea atau defek konjungtiva. Selain itu, MMC yang

kontak langsung dengan kornea memiliki efek negatif pada endotelium kornea. Efek samping

yang sama telah terlihat pascaoperasi pada MMC dalam bentuk tetes mata. Selain itu, ahli bedah

harus bergantung pada pasien dalam cara pemakaian obat yang benar dirumah.

Injeksi MMC preoperatif dosis rendah disarankan oleh Donnenfeld et al. yang mencatat

tingkat kekambuhan 6% pada penelitiannya. Mereka menyuntikan 0,015% (0,15 mg / mL) MMC

subconjunctival satu bulan sebelum eksisi pterigium dengan bare sclera pada 36 pasien yang

difollow-up selama 24 bulan. Kami mengadopsi teknik ini dalam kelompok pertama dari seri

kami dengan tingkat kekambuhan 4,2% selama periode follow-up 24 bulan.

Injeksi MMC pra operasi memiliki keuntungan lebih tepatnya titrasi obat dan pengiriman

langsung ke bagian patologi tanpa kontak dengan permukaan kornea. Obat ini diterapkan secara

langsung ke fibroblas aktif dalam ruang subconjunctival, di mana ia dapat bekerja secara

langsung pada sel-sel yang bertanggung jawab untuk timbulnya kekambuhan pterigium tanpa

merusak permukaan epitel sel induk, yang tidak memainkan peran dalam pembentukan atau

kekambuhan pterigia. Hal ini dapat mengurangi kesulitan penyembuhan jangka panjang yang

berhubungan dengan MMC. Keuntungan lain injeksi MMC pra operasi adalah bahwa secara

teknis mudah dengan durasi operasi yang singkat.

Dalam studi ini, evaluasi histopatologi pada 30 spesimen pterygia pra-perawatan dengan

injeksi MMC subconjunctival 1 bulan sebelum eksisi menunjukkan epitel konjungtiva normal

dalam kebanyakan kasus (Gambar 4). Epitel konjungtiva menjadi tipis pada 4 kasus dan

ditemukan sel goblet multiple pada 6 kasus. Temuan ini memperjelas keamananan pengaruh

injeksi 0.1ml dari 0.15mg/mL MMC 1 bulan sebelum eksisi pterigium pada epitel konjungtiva

dan hasilnya sama dengan yang diperoleh oleh Donnenfeld et al. dan Chang et al.

Bukti klinis dan laboratorium menunjukkan bahwa stem sel kornea terletak di limbus.

Lokalisasi disfungsi stem sel kornea dengan hilangnya penghalang terhadap limbal konjungtiva

telah diusulkan sebagai faktor patogen pertumbuhan dan kekambuhan pterygium. Penemuan

peran stem sel limbal dalam pemeliharaan dan stabilitas permukaan kornea telah dirasionalkan

dengan penggunaan transplantasi autograft konjungtiva limbal (LCAT).

LCAT telah berhasil digunakan untuk memperbaiki disfungsi limbal, bertindak sebagai

penghalang terhadap invasi konjungtiva dari kornea menggunakan prinsip inhibisi kontak. Itu

pertama kali dilakukan oleh Kenyon et al. yang melaporkan tingkat kekambuhan 7,9% pada

pasien dengan pterygia primer. Sejak saat itu, hasil kurang mengesankan yang terungkap dengan

tingkat kekambuhan berkisar antara 16% sampai 25,9% .

Teknik ini diadopsi pada kelompok kedua. Tingkat kekambuhan dilaporkan adalah 9,3%

yang tercatat lebih rendah dari dalam kasus dilakukan dengan konjungtiva autograft saja. Tingkat

yang rendah ini sebanding dengan kelompok pertama dalam penelitian serta hasil yang dicatat

dalam seri lain menggunakan teknik yang berbeda seperti konjungtiva autografting, AMT, dan

aplikasi antimetabolit adjuvan. Namun, secara teknis sulit dan memakan waktu prosedur. Selain

itu, mengorbankan bagian dari konjungtiva sehat dan memprakarsai pembentukan jaringan

fibrosa di lokasi cangkok donor. Hal ini dapat mempengaruhi hasil prosedur bedah yang

membutuhkan konjungtiva sehat jika diperlukan di masa depan bagi pasien.

Kami menyimpulkan bahwa kedua teknik yang digunakan dalam penelitian ini terbukti

efektif dalam mengurangi tingkat kekambuhan setelah eksisi pterigium nasal primer dengan

komplikasi yang minimal dalam jangka pendek dan jangka menengah pascaoperasi. Injeksi

MMC preoperatif secara teknis lebih mudah, dan waktu operasi lebih singkat dibandingkan pada

LCAT, dan pemeliharaan terhadap konjungtiva sehat. Namun, LCAT merupakan prosedur yang

satu tahap dan kontras dengan injeksi MMC praoperasi yang mengharuskan pasien datang

pertama untuk injeksi, dan ia harus menunggu selama 1 bulan sebelum eksisi pterigium tersebut.

Selain itu, LCAT memiliki keuntungan yaitu bebas dari terapi farmakologis atau radiasi adjuvan.