7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1. Kajian Pustaka
2.1.1. Bahan Kemoterapeutik yang Diberikan Secara Lokal dalam Bidang
Periodontal
Bahan kemoterapeutik (chemotherapeutic agent) adalah zat kimia yang
mempunyai manfaat untuk terapi klinis. Manfaat terapi klinis tersebut dapat
bersifat sebagai anti mikroba atau antibiotika, anti inflamasi, anti septik, dan
analgesik sehingga bahan kemoterapeutik memiliki kemampuan mengurangi
jumlah bakteri yang terdapat di dalam inang dengan cara membunuh atau
menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain, baik secara spesifik maupun
berspektrum luas.2, 18
Tujuan penggunaan bahan kemoterapeutik
dalam perawatan periodontal
bertujuan untuk sebagai bahan penunjang (adjunctive agent) untuk
menghilangkan atau membunuh bakteri aerob dan anaerob yang hidup di daerah
supragingiva maupun subgingiva, dan membantu proses penyembuhan infeksi dan
inflamasi pada jaringan periodontal. 6
Penggunaan bahan kemoterapeutik dalam perawatan periodontal memiliki
indikasi sebagai perawatan pendahuluan dalam kasus gawat darurat (emergency)
yang menggantikan tindakan menyikat gigi, misalnya pada kasus abses
periodontal akut, gingivitis ulseratif nekrosis akut (ANUG), setelah bedah
periodontal, selama masa penyembuhan, dan pasien memiliki keterbatasan fisik
8
atau mental, sebagai premedikasi bagi pasien yang memiliki penyakit sistemik
sebagai profilaksis selama perawatan periodontal, mengontrol pembentukan plak,
dan sebagai terapi penunjang bagi perawatan poket periodontal. 3, 8, 10
Kontraindikasi pemberian bahan kemoterapeutik secara lokal dalam perawatan
periodontal adalah jika pemberian bahan kemoterapeutik secara lokal kurang
efektif atau sulit untuk mengaplikasikannya sehingga dibutuhkan pemberian
bahan kemoterapeutik secara sistemik, pada pasien ibu hamil dan menyusui, dan
pasien yang memiliki riwayat alergi, hipersensitif terhadap komponen bahan
kemoterapeutik. 3, 8, 10
Penggunaan bahan kemoterapeutik dalam perawatan periodontal dibagi dalam
2 grup yaitu bahan kemoterapeutik yang mencegah pembentukan plak
supragingiva dan bahan kemoterapeutik yang melawan bakteri subgingiva. 2, 19
Bermacam-macam bahan kemoterapeutik telah diteliti untuk mencegah
pembentukan plak supragingiva, yang terdiri dari enzim, antiseptik bisguanid,
antiseptik quaternary ammonium, antiseptik fenol, oxygenating agents, ion metal
dan bahan natural lainnya. Bentuk sediaan bahan kemoterapeutik jenis ini adalah
pasta gigi, obat kumur, gel, permen, spray, bahan irigasi, varnish. Bahan
antiseptik bisguanid yang paling sering diteliti adalah klorheksidin. Klorheksidin
sudah dikenal sebagai bahan antiseptik dengan spektrum mikroorganisme yang
luas dengan cara merusak dinding sel bakteri. Sebagai bahan kemoterapeutik
dalam terapi periodontal, klorheksidin telah terbukti secara in vitro efektif
terhadap bakteri Gram positif dan negatif, jamur, bakteri aerob dan anaerob. Efek
samping yang sering terjadi setelah penggunaan klorheksidin adalah terjadinya
9
pewarnaan ekstrinsik pada gigi dan lidah dan hilangnya sensasi rasa. Oleh karena
itu penggunaan klorheksidin sebaiknya untuk jangka waktu pendek yaitu sampai
dua minggu.
Salah satu bahan antiseptik quaternary ammonium adalah
cetylpyridinium chloride (CPC) yang dapat mencegah pembentukan plak. Tetapi
efektifitas CPC lebih rendah jika dibandingkan dengan klorheksidin. Salah satu
alasannya adalah CPC cepat hilang dari mukosa rongga mulut. Antiseptik fenol
juga dapat menurunkan akumulasi plak, tetapi efektivitasnya lebih rendah
dibandingkan klorheksidin.2, 3, 9, 10
Bahan kemoterapeutik untuk kontrol plak subgingiva diberikan secara lokal ke
dalam poket periodontal. Bentuk sediaan terdiri dari gel, chip, dan serat (fiber).
Beberapa hal yang perlu dimiliki oleh bahan kemoterapeutik subgingiva adalah
harus efektif melawan bakteri pada lesi periodontal, dapat mencapai daerah
infeksi dengan konsentrasi yang optimal dalam waktu yang cukup untuk bereaksi,
tidak perlu digunakan pada situasi ketika perawatan konvensional efektif, dan
efisiensi harus lebih baik daripada efek sampingnya. 2, 19
Gambar 2.1.: Bahan kemoterapeutik supragingiva 16
10
Keunggulan dari bahan kemoterapeutik yang diaplikasikan secara langsung ke
daerah subgingiva adalah bahan tersebut dapat mencapai konsentrasi terbesarnya
saat diletakkan di daerah infeksi (Gambar 2.2 A) dan mengurangi kemungkinan
terjadinya efek samping pada pemberian secara sistemik (gambar 2.2. B), aplikasi
bahan kemoterapeutik ke daerah subgingiva efektif digunakan untuk penyakit
periodontitis dengan kedalaman poket periodontal 5 hingga 7 mm. 10,11
Gambar 2.2. B: Alur pemberian bahan kemoterapeutik secara per oral. 6
Bahan (A) masuk ke dalam sistem pencernaan dan diserap di dalam usus (B). Bahan tersebut
dimodifikasi di dalam hati (C). Lalu disebarkan melalui sistem pembuluh darah (D) dan akhirnya
sampai pada jaringan periodontal (E) lalu bahan tersebut mencapai jaringan penghubung pada
poket periodontal.
Gambar 2.2. A: Alur pemberian bahan kemoterapeutik secara intrasulkular. 6
Bahan kemoterapeutik dengan konsentrasi yang tinggi dimasukkan secara langsung ke dalam
poket periodontal.
11
Contoh bahan kemoterapeutik berupa gel misalnya gel metronidazol benzoat
25% dan doksisiklin yang dikemas dalam suatu aplikator yang dilengkapi dengan
kanul yang tumpul, sehingga dengan mudah diaplikasikan ke daerah subgingiva.
Hasil bioassay menunjukkan bahan doksisiklin berada di dalam cairan krevikular
gusi selama tujuh hari setelah aplikasi gel ke daerah subgingiva. 3, 10, 19
Bentuk sediaan lainnya dapat berupa chip, seperti Perio Chip® yang
mengandung 2,5 mg klorheksidin dalam bentuk polimer yang terdiri dari 3,4 mg
gelatin hidrolisa, 0,5 mg gelatin dan 0,96 mg air murni. Chip ini nantinya akan
diaplikasikan ke dalam poket periodontal kemudian klorheksidin akan dikeluarkan
dalam waktu 24 jam setelah aplikasi sebesar 40% dan akan terus dikeluarkan
secara perlahan-lahan dan konstan selama 7 hari. Jumlah klorheksidin setelah 7
hari di dalam poket periodontal menunjukkan hasil yang baik sehingga mampu
mengurangi jumlah bakteri patogen dan mempertahankan kondisi tersebut selama
lebih dari 100 hari. 3, 10, 19
Gambar 2.3: Gel doksisiklin 6
12
Bentuk sediaan lainnya dapat berupa serat yang mengandung tetrasiklin yang
terbuat dari polymer ethylene vinyl acetate yang disaturasikan dengan 25%
tetrasiklin hidroklorit. Serat ini bersifat lentur dan diletakkan di dalam poket
periodontal. Serat tetrasiklin ini akan mencapai konsentrasi yang stabil di dalam
poket periodontal setelah 10 hari.3
Terapi oksigen adalah terapi yang menggunakan suatu bahan yang dapat
menghasilkan atau melepaskan oksigen. Proses oksidasi tersebut menghasilkan
efek bakterisid. 20
Gambar 2.4: Chip klorheksidin6
Gambar 2.5: Serat (fiber) tetrasiklin 6
13
Macam-macam bahan terapi oksigen yang digunakan dalam bidang kedokteran
gigi adalah hidrogen peroksida, buffered sodium peroksiborat, peroksikarbonat
dan klorin dioksida. Penelitian dalam penulisan karya ilmiah ini menggunakan
bahan klorin dioksida. 3,11
Klorin dioksida merupakan suatu senyawa kimia yang bersifat stabil, larut
dalam air, berwarna bening dan memiliki pH rendah sehingga dapat digunakan
sebagai bahan oksidasi yang kuat. Klorin dioksida telah digunakan secara luas
dalam berbagai bidang karena aman dan memiliki efek anti bakteri. Klorin
dioksida telah diterima oleh U.S. Food and Drug Administration (FDA) sebagai
bahan anti mikroba dan tidak menyebabkan pewarnaan gigi dan lidah. 21-24
Kimoto dkk., (2004) meneliti mengenai efek anti bakteri klorin dioksida dan
sitotoksisitas klorin dioksida terhadap sel rongga mulut manusia untuk
penggunaan umum pada rongga mulut dan perawatan dental implant. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa klorin dioksida tidak berbahaya terhadap sel
manusia dan dapat digunakan sebagai bahan anti bakteri untuk dental implant.25
Bentuk sediaan klorin dioksida yang digunakan dalam bidang kedokteran gigi
adalah berupa gel, obat kumur dan pasta gigi.
Gambar 2.6: Senyawa Klorin dioksida 26
14
2.1.2. Periodontitis Kronis
Periodontitis merupakan perluasan dari inflamasi gusi dan menyebar ke
jaringan pendukung gigi yang ditandai dengan adanya inflamasi gusi,
pembentukan poket periodontal, kerusakan progresif dari ligamen periodontal dan
tulang alveolar kemudian menyebabkan kegoyangan gigi sehingga pada akhirnya
akan menyebabkan kehilangan gigi secara bertahap. Gambaran klinis yang
membedakan periodontitis dengan gingivitis adalah pada periodontitis ditemukan
adanya kehilangan perlekatan epitel atau attachment loss (CAL). 1, 27
2.1.2.1. Klasifikasi Periodontitis Kronis
Klasifikasi periodontitis kronis terbagi berdasarkan lokasi dan tingkat
keparahan, yaitu: 6, 27
1) Berdasarkan Lokasi
(1) Lokalisata yaitu jika lokasi yang terlibat kurang dari 30 %.
(2) Generalisata yaitu jika lokasi yang terlibat lebih dari 30 %.
2) Berdasarkan Tingkat Keparahan
(1) Ringan yaitu jika mengalami CAL 1 – 2 mm
(2) Sedang yaitu jika mengalami CAL 3 – 4 mm
(3) Parah yaitu jika mengalami CAL 5 mm atau lebih.
2.1.2.2. Mekanisme Terjadinya Periodontitis Kronis
Patogenesis periodontitis dimulai dari adanya inflamasi gusi sebagai respon
dari akumulasi berbagai jenis bakteri yang terdapat di sulkus gusi. Sulkus gusi
15
normal akan berubah menjadi poket periodontal yang patologis. Pembentukan
poket periodontal merupakan awal dari inflamasi pada dinding jaringan lunak
sulkus gusi. 27
Iritasi plak dan inflamasi yang terus berlanjut dapat menyebabkan integritas
epitel perlekatan akan semakin rusak. Sel-sel epitel perlekatan mengalami
degenerasi dan terpisah sehingga perlekatannya ke permukaan gigi akan terlepas,
lalu berproliferasi ke arah jaringan ikat dan ke arah apikal pada permukaan akar
sehingga serabut dentogingiva dan serabut puncak tulang alveolar mengalami
kerusakan. Migrasi ke apikal dari epitel perlekatan akan terus berlangsung dan
epitel perlekatan ini akan terlepas dari permukaan gigi, membentuk poket
periodontal yang berisi sel-sel radang yang didominasi oleh sel plasma dan
limfosit. Poket periodontal akan menyebabkan jaringan ikat menjadi edema,
pembuluh darah mengalami dilatasi dan trombosis sehingga dinding pembuluh
darah pecah disertai dengan timbulnya perdarahan ke jaringan sekitarnya.
Keadaan ini terlihat adanya infiltrasi sel-sel radang dalam jumlah yang besar
meliputi sel-sel plasma, limfosit dan makrofag. Aliran cairan jaringan gusi dan
migrasi dari Polymorphonuclear (PMN) akan terus berlanjut dan ikut membantu
meningkatkan kalkulus subgingiva. 27
Penyebaran inflamasi ke puncak tulang alveolar ditandai dengan adanya
infiltrasi sel-sel inflamasi ke rongga trabekula sehingga rongga trabekula akan
bertambah besar. Resorpsi tulang dimulai dari daerah interproksimal yang
menjadi lebih lebar dan terbentuk kawah interdental jika proses resorpsi semakin
berlanjut, resorpsi akan meluas ke arah lateral sehingga semua daerah puncak
16
tulang alveolar akan mengalami resorpsi. Kerusakan ligamen periodontal dan
resorpsi puncak tulang alveolar akan menyebabkan poket periodontal menjadi
lebih dalam, lalu terlihat adanya supurasi dan pembentukan abses yang bervariasi,
gigi menjadi goyang dan akhirnya terlepas. 9
Gambaran klinis periodontitis kronis meliputi perubahan warna gusi yang
terlihat merah kebiruan, konsistensi gusi menjadi lunak, permukaan gusi menjadi
halus karena terjadi pengurangan stippling, tepi gusi membulat, interdental papil
tumpul dan ukuran gusi membesar, terjadi kecenderungan perdarahan,
peningkatan kedalaman poket periodontal yaitu lebih dari 2 mm di bagian fasial
dan lingual serta di bagian interdental lebih dari 3 mm, adanya eksudat purulen,
permukaan gigi menjadi kasar dan tampak adanya kalkulus. Pada periodontitis
kronis, kegoyangan gigi bervariasi dari nol sampai moderat.1, 27
2.1.2.3. Terapi Periodontitis Kronis
Etiologi primer penyakit periodontal adalah bakteri plak dan produk
metaboliknya, maka perawatan yang dilakukan harus mampu menghilangkan plak
Gambar 2.7.: Periodontitis Kronis Sedang 6
17
secara sempurna. Hal tersebut dapat dicapai dalam terapi periodontal fase 1 yang
merupakan langkah pertama dari tahapan prosedur perawatan periodontal yang
memiliki tujuan antara lain mengurangi atau menghilangkan faktor etiologi utama
yaitu bakteri plak. Dalam tujuan ini tercakup juga usaha mengontrol perubahan
karakteristik bakteri pada gingivitis dan periodontitis, meminimalkan pengaruh
faktor sistemik, dan menghilangkan serta mengontrol faktor lokal yang berperan
sebagai faktor resiko. 10, 27
Hasil yang diharapkan pada perawatan periodontal fase 1 adalah berhentinya
perkembangan penyakit, terciptanya lingkungan yang kondusif bagi kesehatan
periodontal, dan kembalinya gigi pada kondisi kesehatan yang stabil meliputi
kenyamanan, fungsi dan estetika yang dapat dipertahankan baik oleh pasien
maupun dokter gigi. 10
Terapi periodontal fase 1 memiliki beberapa istilah antara lain terapi inisial,
terapi periodontal non bedah, terapi yang berhubungan dengan penyebab, dan
terapi etiotropik. Semua istilah tersebut merujuk kepada prosedur yang dilakukan
untuk merawat infeksi gingiva dan periodontal, termasuk tindakan reevaluasi
terhadap jaringan. 10
Indikasi terapi fase 1 adalah untuk perawatan pendahuluan bagi pasien yang
memiliki poket periodontal, setelah perawatan periodontal fase 1 selesai hasil
perawatan dievaluasi kembali untuk pertimbangan intervensi bedah (fase
persiapan untuk terapi bedah periodontal), satu-satunya perawatan bagi pasien
gingivitis atau periodontitis kronis taraf ringan yang tidak memerlukan tindakan
bedah periodontal. 10
18
Terapi fase 1 merupakan aspek kritis dari perawatan periodontal. Data
penelitian klinis menunjukkan bahwa keberhasilan jangka panjang perawatan
periodontal sangat tergantung khususnya pada pemeliharaan terhadap hasil yang
dicapai melalui terapi fase 1 dibandingkan prosedur bedah tertentu. Terapi fase 1
juga memberikan kesempatan bagi dokter gigi untuk mengevaluasi respon
jaringan dan sikap pasien terhadap perawatan periodontal yang dilakukan
sehingga menentukan keberhasilan terapi. 9, 10
Berdasarkan pemahaman bahwa bakteri plak merupakan etiologi utama
inflamasi gusi, maka tujuan khusus terapi fase 1 untuk setiap pasien yaitu kontrol
plak yang efektif. Kontrol plak adalah kunci utama dari setiap prosedur terapi
periodontal, tetapi hanya efektif jika permukaan gigi bebas dari deposit yang kasar
atau kontur yang tidak teratur sehingga dapat dijangkau dengan alat bantu
pembersih rongga mulut. Perawatan fase 1 menitikberatkan pada persiapan
permukaan akar gigi yang dapat diakses oleh pasien untuk melaksanakan prosedur
kontrol plak, termasuk kontrol terhadap faktor-faktor lokal yang berpengaruh
antara lain penghilangan kalkulus secara sempurna, perbaikan restorasi atau alat
prostetik yang merusak gigi dan melukai jaringan periodontal, restorasi karies,
pergerakan gigi secara ortodontik, perawatan daerah dengan impaksi makanan,
perawatan trauma oklusi, ekstraksi gigi yang tidak ada harapan. 10
2.1.2.4. Prosedur Terapi Periodontal Fase I
Terapi periodontal fase I merupakan tahapan perawatan periodontal yang
dilakukan untuk menghilangkan faktor-faktor etiologi penyakit periodontal
19
sebelum dilakukan tindakan bedah periodontal. Beberapa tahap tindakan yang
dilakukan pada fase I sebagai berikut: 9, 10
Tahap 1: Instruksi kontrol plak
Instruksi kontrol plak harus dimulai sejak kunjungan pertama, yaitu
penggunaan sikat gigi mencakup metode menyikat gigi yang benar, frekuensi
menyikat gigi, lama menyikat gigi, sikat gigi yang digunakan dan prinsip
penyikatan gigi. Instruksi kontrol plak yang komprehensif selanjutnya meliputi
penggunaan alat bantu selain sikat gigi yaitu benang gigi maupun pembersih
daerah interdental lainnya. Konseling yang bersifat memotivasi pasien terhadap
faktor resiko yang berpengaruh terhadap penyakit periodontal (seperti merokok)
juga dimulai pada tahap ini.
Tahap 2: Eliminasi kalkulus supragingiva dan subgingiva
Kalkulus memiliki permukaan yang kasar sehingga menjadi tempat yang ideal
bagi perlekatan bakteri, oleh karena itu kalkulus harus dihilangkan agar kontrol
plak dapat dilaksanakan secara efektif.
Skeling supragingiva dapat dilakukan dengan menggunakan skeler manual, alat
kuret dan instrumen ultrasonik. Tindakan instrumentasi periodontal dapat
direncanakan dalam beberapa kali kunjungan dan untuk pasien dengan inflamasi
yang parah da disertai deposit kalkulus yang banyak, tindakan debridemen seluruh
mulut (full-mouth debridement) dapat dilakukan secara bertahap dalam dua
kunjungan atau lebih. Penggunaan anestesi lokal juga diperlukan bila
instrumentasi dilakukan pada sisi inflamasi yang lebih dalam, dan selanjutnya
20
dilakukan pemolesan yang bertujuan untuk menghilangkan permukaan kasar
setelah pembuangan sisa kalkulus supragingiva.
Tahap 3: Rekonturing restorasi dan mahkota yang bersifat merusak
Restorasi dengan permukaan yang kasar, overcontour, overhanging, atau
terlalu menekan ke daerah subgingiva dapat menyebabkan akumulasi bakteri
periodontal yang bersifat patogen sehingga menyebabkan terjadinya inflamasi
gusi, kehilangan perlekatan epitel dan kehilangan tulang alveolar. 6, 10
Restorasi
tersebut mempengaruhi efektifitas kontrol plak yang dilakukan pasien sehingga
harus dikoreksi dengan cara penggantian seluruh restorasi atau mahkota, atau
koreksi dengan menggunakan finishing bur atau file berlapis diamond (diamond-
coated files) yang dipasang pada handpiece khusus. Untuk restorasi yang
overhanging pada daerah subgingiva, memungkinkan melakukan tindakan bedah
flap yang sederhana untuk memfasilitasi akses akhiran restorasi. 6, 10
Tahap 4: Penumpatan karies
Langkah ini meliputi pembuangan karies secara sempurna kemudian dilakukan
penumpatan dengan restorasi sementara atau restorasi akhir. Kontrol terhadap
karies penting karena karies merupakan sumber infeksi sehingga perlu dilakukan
perawatan untuk memaksimalkan penyembuhan selama perawatan periodontal
fase 1. Karies khususnya pada daerah proksimal dan servikal gigi serta pada
permukaan akar, merupakan daerah reservoir bakteri dan dapat memberikan
pengaruh terhadap re-populasi bakteri plak. Kavitas yang terbentuk akibat proses
karies merupakan wadah yang baik dimana plak terlindung dari usaha eliminasi
21
secara mekanis. Oleh karena itu kontrol terhadap karies sangat penting, setidaknya
penumpatan sementara harus diselesaikan dalam terapi fase 1.
Tahap 5: Instruksi kontrol plak yang komprehensif
Tahap ini, pasien harus mempelajari cara membersihkan plak secara
menyeluruh dari daerah supragingiva dengan menggunakan sikat gigi, benang
gigi, dan metode tambahan lainnya.
Tahap 6: Perawatan akar subgingiva
Eliminasi kalkulus subgingiva dan root planing dilakukan untuk mendapatkan
kontur yang halus pada semua permukaan gigi. Alat yang biasa digunakan adalah
kuret dan membutuhkan tekanan yang cukup kuat serta kontrol instrumen yang
baik untuk mencegah terjadinya luka pada jaringan lunak karena konsistensi
kalkulus subgingiva umumnya lebih keras dan melekat erat pada permukaan akar
gigi. Tindakan root planing bertujuan untuk menghilangkan sementum nekrotik
atau permukaan akar gigi yang kasar, sehingga permukaan akar menjadi halus
yang dapat membantu terjadinya proses perlekatan kembali epitel jaringan
periodontal. 10, 28
Tahap 7: Reevaluasi jaringan
Jaringan periodontal diperiksa kembali untuk menentukan kebutuhan
perawatan lebih lanjut. Poket periodontal harus diukur ulang dan seluruh kondisi
anatomi dievaluasi untuk memutuskan perawatan bedah. Perawatan bedah
periodontal seharusnya dilakukan jika pasien sudah dapat melakukan instruksi
kontrol plak secara efektif dan gusi terbebas dari inflamasi. 10
22
2.1.2.5 Proses Penyembuhan Periodontitis Kronis
Reevaluasi kasus periodontal harus dilakukan dalam waktu 4 minggu setelah
penyelesaian prosedur skeling dan root planing. Hal ini berdasarkan pada
pemikiran bahwa selama waktu tersebut terjadi penyembuhan epitel dan jaringan
konektif serta pasien sudah cukup terampil dalam menjaga kebersihan gigi dan
mulutnya.10
Inflamasi gusi biasanya jauh berkurang atau hilang dalam waktu 3 sampai 4
minggu setelah eliminasi kalkulus dan iritan lokal. Penyembuhan yang terjadi
dapat berupa pembentukan epitelium junctional yang panjang dibandingkan
perlekatan baru epitel ke permukaan akar yang merupakan bentuk penyembuhan
yang lebih diharapkan. Epitelium junctional akan terlihat kembali dalam waktu 1
sampai 2 minggu. Penurunan populasi sel inflamasi yang bertahap, aliran cairan
krevikular gingiva, dan perbaikan jaringan konektif akan menghasilkan penurunan
tanda-tanda klinis inflamasi gusi yaitu berkurangnya warna kemerahan dan
pembengkakan. 10
Hipersensitifitas akar yang bersifat sementara dan resesi gusi sering menyertai
selama proses penyembuhan. Pasien harus diberitahukan mengenai kemungkinan
ini sejak awal perawatan untuk menghindari kondisi yang tidak meyenangkan.
Konsekuensi perawatan yang tidak terduga dan ketidaknyamanan dapat
mengakibatkan ketidakpercayaan pasien sehingga kehilangan motivasi untuk
melanjutkan terapi, sehingga memberikan informed consent kepada pasien
merupakan hal yang penting dan wajib dilakukan. 10
23
2.1.3. Efek Klorin Dioksida terhadap Periodontitis Kronis
Klorin dioksida merupakan sebuah molekul yang kecil, volatile, dan sangat
energetik yang merupakan derivat dari klorin dan telah banyak digunakan dalam
industri proses pembuatan makanan, perawatan dental waterline dan sebagai
bahan desinfeksi permukaan kulit.24
Penggunaan klorin dioksida dalam perawatan periodontal telah diteliti oleh
Splinder dan Splinder (1998) yang menyatakan bahwa klorin dioksida mampu
menurunkan indeks plak, indeks gusi, indeks BOP, PPD.14
Penelitian yang dilakukan oleh Al-bayaty, dkk. (2010) yang membandingkan
efek antibakteri gel klorin dioksida dengan gel hialuronat terhadap dental biofilm,
yaitu sebelum pemberian gel hialuronat dan gel klorin dioksida, semua bakteri
yang diteliti memiliki bentuk yang normal dan setelah pemberian gel hialuronat
tidak menunjukkan terjadinya perubahan morfologi bakteri, sedangkan setelah
pemberian gel klorin dioksida terjadi perubahan morfologi bakteri menjadi
menyusut dan tidak beraturan karena dinding sel bakteri mengalami ruptur. Hal
ini menunjukkan bahwa gel klorin dioksida memberikan efek antibakteri yang
lebih baik dibandingkan dengan gel hialuronat. 12
Penelitian lain yang dilakukan oleh Shinada, dkk. (2010) menunjukkan bahwa
terjadi penurunan jumlah plak, bau mulut (oral malodor atau halitosis) dan
jumlah bakteri Fusobacterium nucleatum pada saliva secara signifikan antara grup
eksperimental yang berkumur dengan klorin dioksida dengan grup kontrol setelah
7 hari. 21, 24
F. nucleatum merupakan bakteri Gram negatif anaerob yang menjadi
salah satu penyebab periodontitis kronis. Obat kumur yang mengandung klorin
24
dioksida juga dapat mengurangi jumlah bakteri Streptococcus mutans dan
lactobacilli. Sehingga penggunaan klorin dioksida dapat digunakan sebagai terapi
tambahan perawatan periodontal. 21, 29-31
Penelitian lain yang dilakukan oleh Paraskevas., dkk, mengenai perbandingan
antara obat kumur yang mengandung klorin dioksida dengan klorheksidin dalam
pembentukan plak setelah 3 hari menunjukkan bahwa obat kumur yang
mengandung klorheksidin menghambat pertumbuhan plak lebih signifikan
dibandingkan obat kumur yang mengandung klorin dioksida. Hasil kuosioner
pada penelitian tersebut menunjukkan bahwa subyek penelitian memilih
klorheksidin karena mudah digunakan dan lebih efektif, walaupun mereka lebih
memilih rasa obat kumur yang mengandung klorin dioksida dan merasakan
perubahan sensasi kecap lebih sedikit dibandingkan obat kumur yang
mengandung klorheksidin. 32
Penggunaan klorin dioksida juga dapat menurunkan PPD secara signifikan dari
PPD lebih dari 4 mm menjadi ≤ 3 mm dan menurunkan BOP secara signifikan
pada poket yg memiliki kedalaman ≥ 4 mm. 14, 31,
33
Mekanisme kerja klorin dioksida pada perawatan periodontal berhubungan
dengan bakteri yang menghasilkan Volatile sulfur compounds (VSCs), dimana
VSCs memegang peranan penting sebagai penyebab gingivitis dan periodontitis.
Keberadaan VSCs akan mengubah barrier epitel dan menyebabkan masuknya
toksin bakteri ke dalam epitel sampai ke jaringan yang lebih dalam lagi. Toksin
bakteri ini bertindak sebagai antigen yang dapat memulai respon imun inang dan
25
memulai reaksi inflamasi yang menyebabkan kerusakan jaringan dan membentuk
poket periodontal. 26, 34
Oksigen yang dihasilkan oleh klorin dioksida akan mempertahankan jumlah
oksigen di dalam saliva dan plak. Jika terdapat oksigen, bakteri anaerob tidak
dapat hidup. Bakteri anaerob berhubungan dengan periodontitis, sehingga dengan
membatasi pertumbuhan bakteri anaerob, dapat mencegah pembentukan poket
periodontal dan kehilangan perlekatan epitel. 26, 34
Klorin dioksida menghasilkan oksigen lalu mendegradasikan VSCs secara
kimiawi dengan cara memutuskan ikatan atom sulfur dengan oksigen. Penelitian
Shinada, dkk., (2010) menunjukkan bahwa klorin dioksida mengoksidasi VSCs
secara langsung dan anion klorit merupakan anti bakteri yang kuat. 21, 24
Klorin dioksida bekerja melalui reaksi oksidasi-reduksi dengan mengoksidasi
molekul sulfur. Hasil reaksi ini adalah natrium klorit, anion sulfat yang larut
dalam air, serta dua buah atom Hidrogen. Kedua atom ini bereaksi dengan larutan
buffer natrium sitrat dan membentuk asam sitrat. Hasil akhir reaksi adalah
senyawa yang aman. Reaksi ini akan meningkatkan Potensial Redoks (Eh)
sehingga konsentrasi oksigen semakin tinggi di dalam poket periodontal.
Peningkatan konsentrasi oksigen ini tidak menguntungkan untuk kelangsungan
hidup bakteri anaerob yang terdapat di dalam poket periodontal. Klorin dioksida
tidak mengandung alkohol dan tidak menyebabkan pewarnaan gigi seperti pada
penggunaan jangka panjang klorheksidin. 20, 35
Lynch dkk. Menyatakan bahwa reaksi antara klorin dioksida dengan L-sistein
(suatu senyawa thiol) adalah sebagai berikut 15, 22
:
26
1) RSH (misalnya: CH3SH / metil merkaptan ) + ClO2 RS + ClO2- + H
+
2) 2RS RSSR (misalnya: CH3SSCH3)
3) 4RSH + ClO2- 2RSSR + Cl
- + 2H2O
Klorin dioksida dapat berpenetrasi pada sel bakteri kemudian bereaksi dengan
asam amino vital yang terdapat pada sitoplasma bakteri sehingga menyebabkan
kematian bakteri. 31, 36, 37
2.2. Kerangka Pemikiran
Salah satu penyebab penyakit periodontal adalah bakteri Gram negatif anaerob
yang menghasilkan VSCs pada poket periodontal. Bakteri tersebut antara lain
adalah Treponema denticola, Porphyromonas gingivalis, Prevotella intermedia,
Bacteroides forsythus, F. nucleatum, A. Actinomycetemcomitans, Tannerella
forsythensis dan lain-lain yang dapat menghasilkan hidrogen sulfida (H2S), metil
merkaptan (CH3SH) dan dimetil sulfida ((CH3)2S) yang merupakan produk utama
dari VSCs. Bakteri-bakteri ini dapat diisolasi dari plak subgingiva pada pasien
gingivitis dan periodontitis, serta dari saliva dan dorsum lidah individu yang
sehat. Tingginya konsentrasi hidrogen sulfida dan rendahnya kadar oksigen
merupakan karakteristik poket periodontal pada periodontitis. 11, 21,34
Metil merkaptan memiliki efek yang melemahkan serat kolagen. Jika serat
kolagen terkena metil merkaptan kurang dari 24 jam, kerusakan serat kolagen
bersifat reversible, namun jika serat kolagen terkena metil merkaptan lebih dari 48
jam, maka kerusakannya bersifat irreversible. 26
27
Reaksi VSCs terhadap jaringan menghasilkan perubahan integritas jaringan,
meningkatkan permeabialitas dinding sel epitel sehingga toksin dan bakteri dapat
melewati epitel barier. Kerusakan jaringan selanjutnya memulai reaksi imun
pencetus gingivitis dan kerusakan jaringan periodontal, VSCs juga menginduksi
terjadinya apoptosis dan kerusakan DNA pada fibroblas gingiva. Penelitian
terdahulu menunjukkan bahwa klorin dioksida secara langsung mengoksidasi
VSCs. Klorin dioksida akan bereaksi dengan VSCs yang mengubah suasana
dalam poket periodontal menjadi lebih banyak oksigen, sehingga bakteri anaerob
tidak dapat tumbuh di dalam poket periodontal. 38, 39, 40
Penilaian efektifitas gel klorin dioksida terhadap kondisi jaringan periodontal
diperlukan parameter klinis. Parameter klinis yang dinilai pada penelitian ini
berupa pengukuran kedalaman poket periodontal (PPD), derajat perdarahan saat
probing (BOP), serta pengukuran kehilangan perlekatan epitel (CAL) yang diukur
pada saat sebelum dilakukan perawatan skeling dan root planing dan pada saat
kontrol 1 (satu) bulan setelah tindakan skeling dan root planing dilakukan.
2.3. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1) Terdapat perbedaan efektifitas gel klorin dioksida dan gel klorheksidin
terhadap penurunan kedalaman poket periodontal pada pasien periodontitis
kronis.
28
2) Terdapat perbedaan efektifitas gel klorin dioksida dan gel klorheksidin
terhadap penurunan indeks perdarahan saat probing pada pasien periodontitis
kronis.
3) Terdapat perbedaan efektifitas gel klorin dioksida dan gel klorheksidin
terhadap perbaikan kehilangan perlekatan epitel pada pasien periodontitis
kronis.
Top Related