TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH
Wilayah adalah Daerah yang memiliki karakteristik yang sama
baik secara alam maupun manusia yang memiliki batas
administratif yang jelas sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan
dalam undang-undang yang berlaku. Perbedaan Antara
Perencanaan Wilayah Dan Perencanaan Sektoral
1. Perencanaan Wilayah
Lebih menitik beratkan pada ruang (spasial)
Perkembangan wilayah lebih di titik beratkan pada sektor
ekonomi
Mengenal wilayah dengan potensi, kendala, dan masalah dari
wilayah tersebut
Menggunakan asas desentrlisasi
Bertujuan untuk pembangunan wilayah
Harus ada keterpaduan antar sektoral atau lembaga
2. Perencanaan Sektoral
Perencanaan sektoral lebih menitik beratkan pada aspatial
bukan keruangan
Ruang lingkup terdiri atas pertanian, industri, pertambangan,
listrik, air, perdagangan dan jasa , keuangan dan perbankan
Tidak melihat pada wilayah atau karekteristik wilayah
diabaikan
Menggunakan asas dekonsentrasi (top down )
Bertujuan untuk pengembangan daerah
Tidak melihat dimensi kepentingan yang sangat penting
A. Teori-Teori Pengembangan Wilayah
Dalam mengembangan suatu wilayah diperlukannya
beberapa teori-teori yang dijadikan sebagai dasar atau acuan dalam
pengembangan wilayahnya. Teori pengembangan wilayah
merupakan teori-teori yang menjelaskan bagaimana wilayah
tersebut akan berkembang, faktor-faktor yang membuat wilayah
tersebut berkembang, dan bagaimana proses perkembangannya.
Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Teori Export Base
Teori ini menjelaskan bahwa tumbuh dan berkembangnya
suatu wilayah merupakan fungsi dari tumbuh dan berkembangnya
aktivitas export base/basis ekspor. Aktivitas ekonomi suatu wilayah
dilihat dari aktivitas ekonomi dasar (export base) dan aktivitas
ekonomi penunjang (service).
Teori export base yaitu teori ekonomi, pertama kali
dikembangkan oleh Douglas C. North pada tahun 1955. Menurut
North, pertumbuhan wilayah jangka panjang bergantung pada
kegiatan industri expornya. Suatu wilayah memiliki sektor ekspor
karena sektor itu menghasilkan keuntungan dalam memproduksi
barang dan jasa, mempunyai sumber daya yang unik untuk
memproduksi barang dan jasa, mempunyai lokasi pemasaran yang
unik, dan mempunyai beberapa tipe keuntungan transportasi. Teori
Teori export base mengandung daya tarik intuitif dan
kesederhanaan, seperti halnya dianggap sebagai dasar teori,
berdasarkan konsep beberapa sektor ekonomi eksternal ke dalam
wilyah untuk menstimulasikan perubahan secara cepat perubahan
pendapatan wilayah bergantung pada perubahan permintaan
ekspor.
Kekuatan utama dalam pertumbuhan wilayah adalah
permintaan eksternal akan barang dan jasa, yang dihasilkan dan
diekspor oleh wilayah tersebut. Permintaan eksternal ini
mempengaruhi pengguanaan modal, tenaga kerja, dan teknologi
untuk menghasilkan komoditas ekspor. Dengan kata lain,
permintaan komoditas ekspor akan membentuk keterkaitan
ekonomi, baik kebelakang (kegiatan produksi) maupun kedepan
(sektor pelayanan).
Adapun penekanan teori ini adalah pentingnya keterbukaan
wilayah yang dapat meningkatkan aliran modal dan teknologi yang
dibutuhkan untuk kelanjutan pembangunan wilayah. Teori export
base mengandung daya tarik intuitif dan kesederhanaan. Teori ini
memandang bahwa pada dasarnya aktifitas ekonomi dalam suatu
wilayah terbagi menjadi aktifitas basic (suatu aktifitas ekonomi
yang cenderung menjadi aktifitas eksport) dan aktifitas lokal
(aktifitas sosio-ekonomi yang melayani aktifitas basic dianggap
sebagai tumbuh-kembangnya suatu wialyah). Termasuk pula dalam
teori ini , bagaimana peran SDA dalam perencanaan wilayah.
Kelemahan dari teori ini adalah hanya mengandalkan pada satu
sektor saja. Teori export base adalah:
Teori yang membahas atau membagi wilayah kedalam dua
barisan yaitu sektor basis ( ekspor) dan non basis (pendukung
ekspor)
Wilayah akan berkembang bila ekspor atau memiliki sektor
basis multiplier (bangkitan ekonmi yang ditimbulkan aktivitas
sektor basis sebagai pertumbuhan wilayah)
Sedangkan sektor non basis merupakan pendukung dari sektor
basis
Teori export base berasal dari teori lokasi dimana terdapat dua
prinsip penting dalam teori lokasi, yaitu :
1. Minimisasi ongkos (transport)
2. Maksimasi keuntungan
Aglomerasi merupakan keuntungan pemakaian bersama-
sama input (bahan baku) dan prasarana/infrastruktur yang sama.
Terbentuknya kota dalam teori lokasi dikarenakan oleh pemusatan
kegiatan ekonomi. Terbentuknya pertumbuhan wilayah menurut
teori lokasi terdiri atas:
a. Wilayah terdiri dari satu wilayah kecil dan sifatnya
(pengelompokan masyarakat) masih bertani.
b. Adanya pengembangan sektor transportasi, ada hubungan
masyarakat dengan masyarakat lainnya (interaksi rasional),
ada pengelompokan baru.
c. Perkembangan sektor transportasi antar rasional.
d. Tahap industrialisasi atau aglomerasi industri
e. Eksport-import merupakan comperative adventage
(keuntungan dari wilayah )
Gambar 2Sektor Eksport Base
Suatu wilayah akan berkembang dengan baik, jika wilayah
tersebut mempunyai sektor export base, sebab :
secara ekonomi keuntungannya meningkat
secara spasial akan membentuk nodal-nodal
Teori export base terdiri atas sektor basis dan sektor non basis.
Dimana sektor basis merupakan sektor penunjang yaitu :
1. industri penunjang penyediaan bahan baku
2. industri jasa perdagangan (perbankan, diklat)
3. industri penyedia industri untuk konsumsi lokal (pedagang
eceran)
Keterkaitan antara sektor non basis dan basis menggunakan
metode multiplier effect yaitu bangkitan atau pengaruh yang
ditimbulkan oleh sektor basis, dan sejauh mana sektor basis
mempengaruhi sektor non basis.
M= sektor non basissektor basis
Prinsip export base adalah:
1. Suatu wilayah akan maju atau berkembang, maka wilayah
tersebut akan berorientasi pada eksport/permintaan dari luar
(adanya sektor basis)
2. Adanya sektor non basis maka akan ada effect multiplier
berlipat ganda, aktivitas yang timbul dari aktivitas basis
Jenis multiplier terdiri atas:
1. Multiplier lokal yaitu keuntungan yang diperoleh daerah itu
sendiri
2. Multiplier non lokal, yaitu keuntungan yang diperoleh bukan
oleh daerah itu sendiri
Wilayah berkembang karena :
1. Proses multiplier (teori economic base)
2. Proses linkage (kleterkaitan) yaitu teori input output
3. Mobilitas sektor produksi dan perdagangan antar wilayah
(teori neo klasik)
4. Siklus produksi (teori siklus produksi)
5. Timbulnya wiraswasta lokal (teori lokal ekonomi development)
Kelemahan dari teori export base adalah :
Sumber : resume mata kuliah perencanaan wilayah
Gambar 3Effect Multiplier
1. Tidak menjelaskan keterkaitan antara satu sektor dengan
sektor lainnnya, sebab dalam export base menghitung
/melihat perekonomian secara agregat
2. Tidak bisa menghitung effect yang dikeluarkan dari suatu
investasi
3. Di satu wilayah, perkembangannya hanya diandalkan pada
sektor basis
4. Hanya melihat dari segi demand side
Cara untuk mengetahui suatu sektor masuk dalam basic atau
non basic, menggunakan lingkage system (sistem keterkaitan).
Diamana lingkage system yaitu: bersifat antar daerah, bagaimana
keterkaitan antar daerah terjadi, sehingga masing-masing daerah
Sumber : resume mata kuliah perencanaan wilayah
Gambar 4Proses Multiplier
mampu untuk mengambil keuntungan (ekonomi) dari adanya
keterkaitan tersebut.
Penyebab adanya lingkage system adalah dari sumber daya
yang diambil dari tiap daerah terbatas, sehingga setiap wilayah
tersebut harus memilih untuk spesialisasinya pada barang dan jasa
yang mempunyai keunggulan tinggi, bila dibandingkan dengan
daerah lain. Barang/jasa yang menjadi unggulan di daerah tersebut
(basis) disebut leading sector.
Linkage system mempelajari tentang aliran-aliran produksi,
baik barang/jasa yang potensial, sehingga lingkage system akan
mampu menjawab permasalahan tentang bagaimana posisi
potensial/aktual suatu daerah terhadap interegional, sehingga
dapat memberikan basis/ dasar untuk memunculkan aliran, baik
inter-regional maupun intra-regional dari barang/jasa untuk
memperoleh perekonomian daerah. Metoda yang digunakan dalam
linkage adalah LQ (Location Quotiens) merupakan metoda yang
statis dalam membandingkan suatu daerah dengan daerah yang
lebih luas (referensi yang mencakup daerah tersebut).
Yang dibandingkan dalam LQ adalah :
1. Tenaga kerja, industri, atau sektor tertentu
2. Output/produk dari industri/sektor tertentu
asumsi daerah dalam LQ :
1. Wilayah itu sendiri (wilayah yang kecil)
2. Wilayah diluar wilayah tersebut (daerah yang lebih luas)
LQ= Xa / Xa'Xb / Xb'
Keterangan :
Xa = jumlah tenaga kerja/output yang dihasilkan oleh
industri atau sektor tertentu diwilayah yang lebih kecil
Xa’ = jumlah total tenaga kerja/output yang dihasilkan oleh
industri atau sektor tertentu di wilayah yang lebih kecil
Xb = jumlah tenaga kerja/output yang dihasilkan oleh
industri atau sektor tertentu di wialyah yang lebih besar
Xb’ = jumlah total tenaga kerja/output yang dihasilkan oleh
industri atau sektor tertentu di wilayah yang lebih besar
Dimana nilai LQ :
LQ < 1 merupakan sektor non basis, daerah tersebut
mempunyai ukuran spesifikasi lebih kecil (under
representatif), bila dibandingkan dengan daerah referensinya
(daerah yang lebih besar pada industri/ sektor x (sektor
penunjang)
LQ > 1 merupakan sektor basis, daerah tersebut
mempunyai ukuran spesifikasi lebih besar (over
representatif), bila dibandingkan dengan daerah referensinya
(daerah yang lebih besar pada industri/ sektor x (sektor
penunjang)
LQ = 1 memiliki ukuran sama (bukan basis ataupun non
basis)
2. Teori Pentahapan
Pandangan teori tersebut menekankan bahwa suatu
wilayah/negara akan mengalami pertumbuhan secara linier. Teori
pentahapan ini dikembangkan oleh sependuduk ahli ekonomi.
a. Rostow
Yang mengatakan bahwa : Pentingnya Investasi dan Inovasi.
Menyatakan bahwa suatu wilayah / negara tumbuh dan
berkembang melalui tahapan/fase yang sama, yaitu tradisional–
prakondisi tinggal landas–tinggal landas–menuju kematangan–
sampai dengan tingkat konsumsi masa tinggi. Misalnya: dari
pertanian di kembangkan industri yang memerlukan investasi dan
modal untuk dikembangkan lagi menjadi perdagangan dan jasa.
Dimana faktor investasinya adalah keterampilan sedangkan modal
adalah teknologi dan infrastruktur .
Teori pembangunan ekonomi ini muncul pada awalnya
merupakan artikel yang dimuat dalam Economic Journal (1956),
selanjutnya dikembangkan dalam buku yang berjudul The Stages of
Economics, (1960). Teori pembangunan Rostow ini termasuk
dalam teori linier tahapan pertumbuhan ekonomi, yang
memandang proses pembangunan sebagai suatu tahap-tahap yang
harus dialami oleh seluruh negara. Proses pembangunan sebagai
suatu urutan tahap-tahap yang harus dilalui oleh seluruh negara.
Industrialisasi merupakan salah satu kunci dari perkembangan
Menurut Walt W. Rostow, pembangunan ekonomi atau
transformasi suatu masyarakat tradisional menjadi suatu
masyarakat modern merupakan proses yang multidimensi.
Pembangunan ekonomi bukan saja pada perubahan dalam struktur
ekonomi, tetapi juga dalam hal proses yang menyebabkan:
1) Perubahan reorientasi organisai ekonomi
2) Perubahan masyarakat
3) Perubahan penanaman modal, dari penanam modal tidak
produktif ke penanam modal yang lebih produktif
4) Perubahan cara masyarakat dalam membentuk kedudukan
sesependuduk dalam sistem kekeluargaan menjadi
ditentukan oleh kesanggupan melakukan pekerjaan
5) Perubahan pandangan masyarakat yang pada mulanya
berkeyakinan bahwa kehidupan manusia ditentukan oleh
alam
Dalam dimensi ekonominya menurut Rostow, semua
masyarakat dikelompokkan ke dalam salah satu dari lima tahap
pertumbuhan, yakni:
a. Masyarakat tradisional (the traditional society)
b. Prasyarat pra-lepas landas (precondition for take-off)
c. Lepas landas (take-off)
d. Tahap menuju kematangan (the drive to maturity)
e. Masyarakat berkonsumsi tinggi (the age of high mass
consumption)
Konsep dasar Teori Tahapan Pertumbuhan Rostow:
1. Ada pentahapan pembangunan yang harus dilalui oleh seluruh
negara:
a. Masyarakat tradisional (the traditional society) /fungsi
produksi yang terbatas, didasarkan pada teknologi dan
ilmu pengetahuan yang sederhana dan sikap masyarakat
primitif, serta berpikir irasional /meliputi masyarakat yang
sedang dalam proses peralihan, yaitu suatu periode yang
sudah mempunyai prasyarat-prasyarat untuk lepas landas.
b. Prasyarat untuk take-off (Pre conditions for take-off
/tinggal landas)
c. Take off /dimotori oleh teknologi industri dan pertanian,
pembagunan prasarana serta tumbuhnya kekuatan politik
yang sangat peduli akan modernisasi dan pertumbuhan
ekonomi
d. Tahap menuju kematangan (drive to maturity) /didasari
oleh pertumbuhan industri yang beraneka ragam dan telah
terkait dengan pasar internasional.
e. Komsumsi Masal (High Mass Consumption) /pendapatan
per kapita yang tinggi dan persoalaan telah beralih dari
pertumbuhan industri ke kesejahteraan sosial yang lebih
tinggi (Walfare State).
2. Perlu peranan pemerintah pada proses tersebut (perencanaan).
Rostow membagi sektor-sektor ekonomi dalam tiga sektor
pertumbuhan:
a) Sektor primer /sektor pertanian
b) Sektor Supplemen /sektor yang tumbuh sebagai
pertumbuhan sektor primer seperti pertambangan dan
pengakutan.
c) Sektor tarikan (derived sector)/industri dan perumahan.
b. Douglass North
Menyatakan bahwa suatu wilayah / negara tumbuh dan
berkembang mengikuti pola definitif (tahapan yang jelas, yaitu :
subsistansi ekonomi– perdagangan dan spesialisasi lokal –
perdagangan antar wilayah–industrilisasi– spesialisasi pada industri
tersier (jasa).
c. Gunnar Myrdal
Pada pertengahan tahun 1950-an, Gunnar Myrdal (1957)
melontarkan thesis tentang keterbelakangan yang terjadi di negara-
negara berkembang. Menurut Myrdal adanya hubungan ekonomi
antara negara maju dengan negara belum maju yang telah
menimbulkan ketimpangan internasional dalam pendapatan per
kapita dan kemiskinan di negara yang belum maju.
Adapun faktor utama yang menyebabkan ketimpangan ini
adalah adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, adanya
pasar yang luas dan konsentrasi modal keuangan di negara maju.
Kemakmuran kumulatif timbul di negara maju dan kemiskinan
kumulatif dialami rakyat di negara miskin. Dengan perkataan lain,
hubungan ekonomi antara negara maju dengan negara miskin
menimbulkan efek balik (backwash effect) yang cenderung
membesar terhadap negara miskin. Myrdal (1957) mengemukakan
pemikirannya mengenai prakondisi struktural yang harus dimiliki
oleh negara sedang berkembang dalam melaksanakan proses
pembangunan, antara lain adalah sebagai berikut :
1. Sebagian besar rakyat di negara sedang berkembang berada
dalam situasi kekurangan gizi yang parah dan berada dalam
kondisi yang menyedihkan baik dalam tingkat kesehatan,
fasilitas pendidikan, perumahan dan sanitasi
2. Sebagian besar rakyat di negara sedang berkembang berada
dalam situasi kekurangan gizi yang parah dan berada dalam
kondisi yang menyedihkan baik dalam tingkat kesehatan,
fasilitas pendidikan, perumahan dan sanitasi.
3. Adanya struktur sosial yang sangat timpang sehingga alokasi
sumber-sumber ekonomi yang produktif sangat banyak untuk
keperluan memproduksi barang-barang mewah (conspicuos
consumption).
Menurut Myrdal, upaya untuk memberantas kemiskinan di
negara yang belum maju harus dilakukan dengan campur tangan
pemerintah terutama dalam mempengaruhi kekuatan pasar bebas.
Kemudian tentang teori keunggulan komparatif yang
digunakan oleh ahli ekonomi neoklasik tidak dapat dijadikan
petunjuk untuk proses alokasi sumber-sumber ekonomi. Harus ada
perlindungan atas industri-industri rakyat yang belum berkembang
dari persaingan dengan luar negeri.
3. Teori Neo klasik
Suatu negara/ wilayah berkembang berdasarkan tahapan –
tahapan mulai dari tradisional – pratradisional sampai pada tahap
moderinisasi, dengan pemikiran dasar bahwa mekanisme pasar
berkembang untuk mencapai keseimbangan, ekonomi merupakan
aspek penting dalam pengembangannya dan proses perkembangan
ekonomi dapat diramalkan.
Dalam kaitan dengan negara–negara yang sudah
berkembang. Teori pertumbuhan ekonomi pada pertengahan abad
ke-20 pada dasarnya bersumber pada Karya Tinbergen (1942)
dan Harrod (1939) kedua ahli ekonomi ini melihat bahwa dalam
pertumbuhan nasional. Modal (investasi) merupakan bagian dari
output nasional. Akan tetapi mereka mempunyai pandangan yang
berbeda terhadap peran teknologi dalam pertumbuhan nasional.
Tinbergen yakin bahwa teknologi dapat diganti (disubstitusi) oleh
buruh/pegawai dan modal (capital), sedangkan Harrod percaya
bahwa buruh dan modal bersifat saling melengkapi satu dengan
lainnya (perfectly complementary to each other).
Ahli ekonomi lainnya, Kaldor (1957, 1961, 1962) mengajukan
teori pertumbuhan ekonomi pada negara-negara yang sudah maju,
yang berbeda dari apa yang dikemukakan oleh Tinbergen dan
Harrod. Pada dasarnya model kaldor adalah kombinasi dari teori
Keynes tentang saving, yaitu rate of groth adalah sama dengan
produk rete keuntungan (profit rate) dan kecenderungan untuk
menabung profit tersebut (the propensity to save out of profits),
dan teknologi.
Pada tahun 1954 W.A. Lewis memperkenalkan sebuah teori
tentang pembangunan ekonomi pada kotak jumlah labor yang tidak
terbatas. Lewis beragumentasi bahwa baik teori Keynes ataupun
teori Neo-klasik tentang pertumbuhan ekonomi yang ada pada saat
itu tidak dapat diterapkan pada negara-negara dengan surplus
buruh yang tidak terbatas.
Basis model Lewis adalah bahwa ekonomi nasional negara-
negara yang terbelakang dapat dibagi menjadi dua sektor, yaitu
tradisional (agricultire) dan modern (industrial) sektor.
Pertumbuhan dalam sektor-sektor industri dapat menyerap surplus
tenaga kerja dalam sektor pertanian, sampai terjadi suatu
keseimbangan baru (eqilibrium) dengan asumsi bahwa tingkat upah
pada sektor industri lebih tinggi dari pertanian (Lewis, 1958).
Sampai di sini, dapat dikatakan bahwa teori Neo-klasik
tentang pertumbuhan ekonomi, baik untuk negara yang sudah dan
sedang berkembang, mencoba menjelaskan saling-ketergantungan
antara komponen-komponen pertumbuhan ekonomi, seperti model,
tabungan, buruh, teknologi dan pertumbuhan penduduk. Menurut
teori-teori ini, mekanisme pasar (eqilibrium mechanism) bekerja
untuk mengoreksi ketidakseimbangan (disequilibirum) masyarakat
yang sedang berkembang adalah faktor penggerak utama bagi
pengembangan masyarakat tersebut (Rimmer dan Forbes, 1982).
Dalam hal ini model-model, teknik-teknik dan ideal-ideal yang telah
dikembangkan di masyarakat yang telah maju dapat digunakan
untuk masyarakat yang sedang berkembang. Kedua, pertumbuhan
ekonomi merupakan tujuan utama, dan ketiga, pengunaan teknik-
teknik statistik dapat memberikan jawaban (Mc Gee, 1978). Dalam
teori neoklasik terdapat:
Terdapat istilah keseimbangan jangka panjang
Campur tangan pemerintah tidak di perlukan, karena seiring
dengan berjalannya waktu pasti akan terjadi keseimbangan
antar wilayah
Teori neoklasik merupakan reaksi dari teori klasik dimana
pertumbuhan ekonomi suatu negara tergantung pada kekuatan
pasar yaitu : modal (Capital), tenaga kerja (labour), teknologi
dengan rumus :
Yt = Kt + Lt+Tt
Keterangan :
Yt = tingkat pertumbuhan ekonomi negara tahun t
Kt = jumlah/stok modal tahun t/tingkat pertumbuhan
modal
Lt = jumlah tenaga kerja tahun t
Tt = tingkat teknologi tahun t
= tingkat produksi yang dihasilkan dengan
penambahan/unit kapital/ kontribusi kapital terhadap output
= tingkat produksi yang dihasilkan dengan
penambahan satu unit tenaga kerja/kontribusi tenaga kerja
terhadap output
Asumsi + = 1
= 1 - Yt = Kt x L1-
Perbedaan antara klasik dan neo klasik adalah :
1. Klasik dalam hal rasio, modal dan produksi tetap/berbanding
lurus
2. Neo klasik dalam hal rasio, modal dan produksi berubah
tergantung berapa besar kita memberi proporsi modal dan
tenaga kerja
Pertumbuhan wilayah (Regional Growth) bisa dilihat dari :
Output PDRB (satuan yang digunakan untuk menggambarkan
output)
Output /tenaga kerja
Output/penduduk total
Gambar 5Perbandingan Klasik Dan Neo Klasik
PDRB/nilai tambah dipengaruhi oleh : teknologi (peningkatan
teknologi bisa menekan ongkos produksi), modal (dari dan dalam
wilayah itu sendiri atau dari luar ilayah itu sendiri), dan tenaga
kerja. Dalam konteks wilayah, output/PDRB digambarkan dengan
batasan:
Faktor produksi dalam teori neo klasik terdiri dari tenaga kerja
dan modal. Faktor yang mempengaruhi perpindahan modal adalah :
biaya produksi, pajak, fasilitas, infrastruktur, dan kelengkapan
wilayah yang meliputi :
Perpindahan arus modal
Output(Pertumbuhan Wilayah)
Teknologi Capital Tenaga Kerja
Dalam (Investasi Penduduk dari Dalam)
Luar (Investasi Penduduk dari luar)
Tabungan Tingkat untuk mengembalikan utangPajak, infrastruktur, pemasaran.
Dalam jumlah penduduk yang mau bekerja/usia produktif di wilayah tersebut
LuarPerbedaan upah
Gambar 6Pertumbuhan Wilayah
Perpindahan arus tenaga kerja
Masalah yang timbul adalah : wilayah tidak selamanya sama
(ada yang maju dan ada yang terbelkang , perbedaan tingkat upah
(ada yang tinggi dan ada yang rendah). Pada negara maju, pasti
terdapat ketidakmerataan pembangunan pada daerahnya sebab
modal dan tenaga kerja terkonsentrasi pada satu wilayah tertentu
saja. Terdapat proses yang alami. Yaitu ada ketidakmerataan arus
modal dan tenaga kerja, serta pada suatu wilayah akan tercpai
kemerataan.
Diversensi pada awal perkembangan wilayah yaitu
konversensi wilayah setelah mencapai tingkat equilibrium pada
suatu titik ( tingkat upah tidak akan naik dan kebijaksanaan
pemerintah). Neo klasik sebagai mobilitas faktor produksi dan
perdagangan antar wilayah.
4. Keynessian Theory (Keseimbangan)
Model negara ditempatkan di wilayah teori pertumbuhan
wilayahnya berbicara mengenai keuntungan aglomerasi,
lokasi dan pola migrasi penduduk
Terdapat campur tangan pemerintah
Teori ini lahir pada tahun 1930 untuk menjawab krisis ekonomi
dunia .
Perusahaan
Negara
Rumah Tangga
Upah/sewa
Pajak Pajak
Gambar 7Sistem Ekonomi Tertutup
Model keseimbangan yaitu pendapatan = pengeluaran dengan
rumus:
Y = C + i + G + (x-m)
Keterangan :
C = konsumsi I = Investasi G = Government
(APBD/APBN)
X = eksport M = import
5. Commulative Causative (Keynes, Myrdal)
Pengeluaran RT berupa konsumsi
Pengeluaran Pemerintah Gaji
Negara
Perusahaan
Luar Negeri
Rumah Tangga
Ekspor
ImportImport
Import
Gambar 8Sistem Ekonomi Terbuka
Berbicara tentang interfensi atau interaksi (akan ada
gaya dari inti ke pinggiran) antara wilayah inti dengan wilayah
pinggiran
Verdoorn Effect : suatu wilayah yang telah berkembang akan lebih
berkembang, akumulasi dan terus menerus mengalami
perkembangan yang sangat pesat.
Memperluas wilayah dengan basis keuangan
Meningkatkan sektor pelayanan
Meningkatkan tenaga kerja
Meningkatkan pelayanan lokal
Meningkatkan populasi dan tenaga kerja Memperluas supply
lokal
Pembangunan infrastruktur
Lokasi wilayah ekspor yang baru
Meningkatkan aglomerasi ekonomi
Sumber : resume mata kuliah perencanaan wilayah
Gambar 9Commulative Causative
Untuk mengetahui seberapa besar ketimpangan suatu
wilayah dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut.
Vw=V i(Yi−Y ')fi /n
Y '
Keterangan :
Vw = ketimpangan wilayah Yi = pendapatan perkapita daerah Y’ = pendapatan perkapita negara Fi = jumlah penduduk daerah i n = jumlah penduduk nasional
6. Teori Daerah/Wilayah Inti
Friedmann (1964) menganalisis aspek-aspek tata
ruang, lokasi, serta persoalan-persoalan kebijakan dan
perencanaan pengembangan wilayah dalam ruang lingkup
yang lebih general. Pusat-pusat besar pada umumnya
berbentuk kota-kota besar, metropolis atau megapolis,
dikategorisasikan sebagai daerah inti, dan daerah-daerah
yang relatif statis sisanya merupakan, subsistem-subsistem
yang kemajuan pembangunannya ditentukan oleh lembaga-
lembaga di daerah inti dalam arti bahwa daerah-daerah
pinggiran berada dalam suatu hubungan ketergantungan
yang substansial. Daerah inti dan wilayah pinggiran bersama-
sama membentuk sistem spasial yang lengkap.
Pada umumnya daerah-daerah inti melaksanakan fungsi
pelayanan terhadap daerah-daerah sekitarnya. Beberapa
daerah inti memperlihatkan fungsi yang khusus, misalnya
sebagai pusat perdagangan atau pusat industri, ibu kota
pemerintah, dan sebagainya.
Hubungan dengan peranan daerah inti dalam
pembangunan spasial, Friedmann mengemukakan lima buah
preposisi utama, yaitu sebagai berikut (N.M. Hansen; 1972,
96-99 dalam Adisasmita; 119):
1. Daerah inti mengatur keterhubungan dan ketergantungan
daerah-daerah di sekitarnya melalui sistem supply, pasar dan
daerah administrasi.
2. Daerah inti meneruskan secara sistematis dorongan-dorongan
inovasi ke daerah-daerah di sekitarnya yang terletak dalam
wilayah pengaruhnya.
3. Sampai pada suatu titik tertentu pertumbuhan daerah inti
cenderung mempunyai pengaruh positif dalam proses
pembangunan sistem spasial, akan tetapi mungkin pula
mempunyai pengaruh negatif jika penyebaran pembangunan
wilayah inti kepada daerah-daerah di sekitarnya tidak berhasil
ditingkatkan, sehingga keterhubungan dan ketergantungan
daerah-daerah di sekitanya terhadap daerah inti menjadi
berkurang.
4. Dalam suatu sistem spasial, hirarki daerah-daerah inti
ditetapkan berdasar pada kedudukan fungsionalnya masing-
masing meliputi karakteristik-karakteristiknya secara
terperinci dan prestasinya.
5. Kemungkinan inovasi akan ditingkatkan ke seluruh daerah
sistem spasial dengan cara mengembangkan pertukaran
informasi.
Teori ini memiliki kelemahan yaitu :
Teori ini tidak membahas masalah pemilihan lokasi optimum
industri dan tidakpula menentukan jenis investasi apa yang
sebaiknya ditetapkan di pusat-pusat urban, oleh karena itu
mereka di klasifikasikan sebagai tanpa tata ruang.
Dominannya pusat-pusat urban dapat menimbulkan dampak
negatif yaitu munculnya susunan-susunan ketergantungan
dualistik menimbulkan akibat-akibat yang mendalam bagi
pembangunan nasional.
7. Model Gravitasi Sebagai Faktor Penting Penentu Lokasi
Model gravitasi adalah model yang paling banyak
digunakan untuk melihat besarnya daya tarik dari suatu
potensi yang berada pada suatu lokasi. Model ini sering di
gunakan untuk melihat kaitan potensi suatu lokasi dan
besarnya wilayah pengaruh dari potensi tersebut. Dalam
perencanaan wilayah, model ini sering dijadikan alat untuk
melihat apakah lokasi berbagai fasilitas kepentingan umum
telah berada pada tempat yang benar. Selain itu, apabila kita
ingin membangun suatu fasilitas yang baru maka model ini
dapat digunakan untuk menentukan lokasi yang optimal.
Artinya, fasilitas itu akan digunakan sesuai dengan
kapasitasnya. Model gravitasi berfungsi ganda, yaitu sebagai
teori lokasi dan sebagai alat dalam perencanaan.
Teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang
(spatial order) kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki
alokasi geografis dari sumber-sumber yang potensial, serta
hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap
keberadaan berbagai macam usaha/kegiatan lain baik
ekonomi maupun sosial (Tarigan, 2006:77).
Terkait dengan lokasi maka salah satu faktor yang
menentukan apakah suatu lokasi menarik untuk dikunjungi
atau tidak adalah tingkat aksesibilitas. Tingkat aksesibilitas
adalah tingkat kemudahan untuk mencapai suatu lokasi
ditinjau dari lokasi lain di sekitarnya (Tarigan, 2006:78).
Menurut Tarigan, tingkat aksesibilitas dipengaruhi oleh jarak,
kondisi prasarana perhubungan, ketersediaan berbagai
sarana penghubung termasuk frekuensinya dan tingkat
keamanan serta kenyamanan untuk melalui jalur tersebut.
Dalam analisis kota yang telah ada atau rencana kota, dikenal
standar lokasi (standard for location requirement) atau
standar jarak (Jayadinata, 1999:160) seperti terlihat pada
Tabel berikut:
Tabel 1Standar Jarak Dalam Kota
No
Prasarana Jarak dari tempat tinggal (berjalan kaki)
1 Pusat tempat kerjaPusat kota (dengan pasar, dan sebagainya)Pasar lokal
20 sampai 30 menit30 sampai 45 menit¾ km atau 10 menit
2 Sekolah Dasar ¾ km atau 10 menit3 Sekolah Menengah Pertama 1 ½ km atau 20 menit4 Sekolah Lanjutan Atas 20 atau 30 menit
5 Tempat bermain anak-anak dan taman lokal
¾ km atau 20 menit
6 Tempat olah raga dan pusat lalita (rekreasi)
1 ½ km atau 20 menit
7 Taman untuk umum atau cagar (seperti kebun binatang, dan
30 sampai 60 menit
No
Prasarana Jarak dari tempat tinggal (berjalan kaki)
sebagainya Sumber: Chapin dalam Jayadinata (1999:161)
8. Teori Penempatan Lokasi Pusat Pelayanan Kota
Penempatan lokasi suatu pusat pelayanan kota pada
prinsipnya harus mempertimbangkan aspek keruangan dengan
cermat. Hal tersebut berlaku bagi semua hirarki struktur pusat
pelayanan kota, mulai dari tingkat pusat kota, sub pusat kota atau
pusat bagian wilayah kota, sampai kepada pusat lingkungan,
penempatan lokasi yang tepat akan dapat mewujudkan sistem
pelayanan kota yang baik dan efisien. Secara umum, pusat
pelayanan tersebut harus ditempatkan pada lokasi yang sentral.
Terdapat beberapa teori yang berkaitan dengan lokasi pusat
pelayanan kota,yaitu:
Pendapat Christaller (1933) dalam teori tempat pusat:
Konsumen (penduduk pengguna fasilitas) akan berusaha
mencari pusat pelayanan yang terdekat. Hal ini berarti bahwa
pusat pelayanan tersebut harus ditempatkan pada daerah
kosentrasi permukiman penduduk. Setiap pusat pelayanan akan
saling terhubung oleh suatu jaringan heksagonal. Dalam konteks
dunia modern saat ini, pendapat Christaller ini dapat diartikan
bahwa lokasi pusat pelayanan kota harus sedekat mungkin
dengan daerah kosentrasi permukiman penduduk. Sementara
itu, jaringan heksagonal dapat diartikan sebagai jaringan
pergerakan yang menghubungkan antara bagian wilayah kota
yang satu dengan yang lainnya. Jadi, pusat pelayanan kota
harus berlokasi di simpul-simpul pertemuan jaringan pergerakan
yang satu dengan yang lainnya. Sehingga pusat pelayanan
tersebut dapat dengan mudah dicapai penduduk.
Pendapat Rushton (1979):
Lokasi yang paling optimum untuk sebuah pusat pelayanan kota
adalah lokasi yang paling mudah diakses/dicapai oleh penduduk.
Terdapat beberapa kriteria yang dapat mendefinisikan kaidah
most accecible ini, seperti kriteria minimasi jarak total, kriteria
minimasi jarak rata-rata, kriteria minimasi jarak terjauh, kriteria
pembebanan merata, kriteria batas ambang, serta kriteria batas
kapasitas.
B. Konsep Pertumbuhan Wilayah
Jenis konsep pertumbuhan wilayah terdiri atas :
Develop from above
Develop from below
LED (Local Economic Development)
1. Konsep Development From Above (Top Down),
Berorientasi pada kota besar, berasal dari teori neo klasik
(Capital Factor) mobilitas faktor. Jenis-jenis teori ini terdiri
atas :
1. Intermediate City
2. Sistem Kota-kota
3. Backwash Effect (Penyedotan sumber daya dari desa ke kota)
4. Growth Pole , didasari oleh adanya unbalance growth.
Balance adalah cenderung membagi investasi yang sama
pada setiap daerah. Unbalance growth difokuskan pada daerah-
daerah yang memiliki linkage yang besar karena perkembangannya
berbeda-beda maka investasi diarahkan pada satu titik saja.
Primate city (kota yang sangat besar) memiliki masalah yaitu kota
menjadi tidak efisien lagi, sehingga penduduk mencari rumah di
pinggiran kota dan akan membutuhkan ongkos transport yang
besar untuk menuju tempat kerja serta waktu yang relatif lama.
Penyelesaian dengan membuat intermediate city (kota kecil dan
kota menengah atau kota baru). Fungsi intermediate city yaitu agar
sebaran aktivitas primate city dapat menyebar ke intermediate city
dan konsep/sistem perkotaan terpadu.
Aktivitas yang dikembangkan adalah ekonomi, sosial dan
budaya, dan lain sebagainya. Akan tetapi tidak mudah
memindahkan aktivitas tersebut. Oleh karena itu dapat melalui
insentif dan disinsentif, kebijakan yang tepat serta rencana yang
komperhensif. Ide dasar intermediate city adalah menciptakan kota
terpadu dan menciptakan keterkaitan antar kota sesuai dengan
fungsinya masing-masing (tercipta sistem koleksi dan distribusi)
Kota Jenjang II
Kota Jenjang I
Primate City
Gambar 10Primate City
menghasilkan sistem perkotaan yang mencakup sistem
transportasi, termasuk didalamnya jaringan jalan regional.
Ciri utama dari Growth Pole adalah :
a. Konsep Leading Industries (perusahaan skala besar) tercipta
linkage yang sangat kuat dan efektifitas tinggi.
b. Polarisasi yaitu terciptanya aglomerasi dan memperkecil
suatu sektor yang memiliki keterkaitan dengan banyak sektor
untuk mengefisiensikan prasarana.
c. Spreed Effect yaitu terjadinya perkembangan ke daerah
pinggiran karena polarisasi tidak efisiensi lagi, misalnya
penyebaran penduduk ke pinggiran kota.
Dalam growth pole pertumbuhan yang terjadi dalam
suatu wilayah hanya terjadi di titik titik tertentu . kutub-kutub
pertumbuhan dengan asumsi :
a. Perkembangan wilayah tidak terjadi pada setiap tempat,
hanya terjadi pada titik-titik tertentu.
b. Wilayah berkembang karena adanya sistem transportasi
c. Perkembangan antar titik-titik tersebut tidak sama, tegantung
teknologi, komunikasi dan transportasi.
Faktor pendorong mobilitas yaitu transportasi karena
perkembangannya berbeda, maka investasi diarahkan pada
satu titik saja.
Kritik yang timbul dari top down : tidak memperhatikan
keunikan antar daerah, cenderung tidak dapat mendorong
partisipasi masyarakat, masyarakat seringkali hanya dapat
menerima, dan cenderung mengakibatkan polarisasi
dibandingkan spreed effect.
2. Konsep Development from below (Bottom Up)
Muncul dari pendekatan development from below,
sangat memperhatikan keunikan antar daerah (sumber daya
manusia, sumber daya alam, institusi/kelembagaan, budaya
dan ekonomi), masyarakat ikut berpartisipasid alam proses
perencanaan. Prosesnya adalah sebagai berikut:
1. Masalah akses masyarakat terhadap tanah (harus ada
pembahasan kepemilikan tanah)
2. Pendekatan basic need, ada interaksi pemeritnah untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang ada di
daearah pinggiran
3. Menentukan nilai tambah komoditi pertanian
4. Pemilihan teknologi, mencari bentuk-bentuk teknologi yang
sesuai dengan keunikan tiap daerah, dan bsia digunakan oleh
masyarakat.
5. Infrastruktur pedesaan (jaringan jalan, listrik, dll)
6. Sektor unggulan yang akan dikembangkan
7. Keterlibatan tokoh-tokoh masyarakat untuk berpartisipasi dalam
proses pembangunan
Development from below terdiri atas konsep agropolitan
yang merupakan respon atas kegagalan dari industrialisasi
konsepnya mengembangkan sektor-sektor pertanian dengan
mengembangkan konsep daya lahan dan adanya partisipasi
dari masyarakat. dengan ciri agropolitan dengan ciri
agropolitan yaitu : ekpor bahan baku, investasi dari luar
negeri dan pinjaman dari luar negeri (subtitusi import) serta
investasi sektor pertanian. Pada tahun 1970-an terdapat
kebijakan orientasi ekspor, beberapa karakteristik yang
dikembangkan adalah impor teknologi, low cost labour,
capital insentif, high production standard. Indikasi dari
dualisme adalah:
Urbanisasi di kota-kota
Konsentrasi populasi di beberapa tempat (spasial)
Ketidakmerataan pendapatan, pengangguran tinggi dan
kemiskinan
Ketergantungan dari luar negeri
3. Konsep LED (Local Economic Development)
Konsep pengembangan Local Economic Development (LED),
merupakan konsep pengembangan wilayah yaitu pembuatan Networking
(jaringan) antara aktor (Stakeholder) yang ada di pusat (Centre) dengan aktor
yang ada di pinggiran atau pedesaan (Hinterland).
Adapun untuk definisi Pembangunan Ekonomi Lokal (Local
Economic Development) lain dari para pakar/ahli sebagai berikut:
Menurut World Bank :
Pembangunan Ekonomi Lokal adalah proses dimana pemerintah lokal dan
organsisasi masyarakat terlibat untuk mendorong, merangsang, memelihara,
aktivitas usaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan
Menurut International Labour Organization (ILO):
Pembangunan Ekonomi Lokal adalah proses partisipatif yang mendorong
kemitraan antara dunia usaha dan pemerintah dan masyarakat pada wilayah
tertentu, yang memungkinkan kerjasama dalam perancangan dan pelaksanaan
strategi pembangunan secara umum, dengan menggunakan sumber daya local
dan keuntungan kompetitif dalam konteks global, dengan tujuan akhir
menciptakan lapangan pekerjaan yang layak dan merangsang kegiatan ekonomi.
Menurut A. H. J. Helming :
Pembangunan Ekonomi Lokal adalah suatu proses dimana kemitraan yang
mapan antara pemerintah daerah, kelompok berbasis masyarakat, dan dunia
usaha mengelola sumber daya yang ada untuk menciptakan lapangan pekerjaan
dan merangsang (pertumbuhan) ekonomi pada suatu wilayah tertentu.
Menekankan pada kontrol lokal, dan penggunaan potensi sumber daya manusia,
kelembagaan dan sumber daya fisik.
Menurut Bank Dunia, ILO, Blakely & Bradshaw
Pembangunan Ekonomi Lokal adalah usaha mengoptimalkan sumber daya lokal
yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal dan organisasi
masyarakat untuk mengembangkan ekonomi pada suatu wilayah.
Dari sisi masyarakat, Pengembangan Ekonomi Lokal diartikan sebagai
upaya untuk membebaskan masyarakat dari semua keterbatasan yang
menghambat usahanya guna membangun kesejahteraannya. Kesejahteraan
tersebut dapat diartikan secara khusus sebagai jaminan keselamatan bagi adat
istiadat dan agamanya, bagi usahanya, dan bagi harga dirinya sebagai mausia.
Semua jaminan tersebut tidak dapat diperoleh dari luar sistem masyarakat
karena tidak berkelanjutan, dan oleh karena itu harus diupayakan dari sistem
masarakat itu sendiri yang kerap kali disebut kemandirian.
Dengan demikian, pembangunan ekonomi lokal merupakan upaya
pemberdayaan masyarakat ekonomi dalam suatu wilayah dengan
bertumpukan kepada kekuatan lokal, baik itu kekuatan nilai lokasi, sumber
daya alam, sumber daya manusia, teknologi, kemampuan manajemen
kelembagaan (capacity of institutions) maupun asset pengalaman
(Haeruman, 2001).
Adapun definisi Pembangunan Ekonomi Lokal tersebut memfokuskan
kepada:
Peningkatan kandungan lokal
Pelibatan stakeholders secara substansial dalam suatu kemitraan strategis
Peningkatan ketahanan dan kemandirian ekonomi
Pembangunan bekeberlanjutan
Pemanfaatan hasil pembangunan oleh sebagian besar masyarakat lokal
Pengembangan usaha kecil dan menengah
Pertumbuhan ekonomi yang dicapai secara inklusif
Penguatan kapasitas dan peningkatan kualitas sumber daya manusia
Pengurangan kesenjangan antar golongan masyarakat, antar sektor dan antar
daerah
Pengurangan dampak negatif dari kegiatan ekonomi terhadap lingkungan.
Dalam konteks mikro, Local Development Economic
merupakan kritik terhadap pendekatan growth pole dan ide
dasarnya yaitu pemberdayaan masyarakat (pengembangan
wirausaha pada masyarakat lokal). Inti dari teori ini adalah
bagaimana cara menumbuhkan wiraswasta lokal,
menumbuhkan/pendayagunaan lembaga-lembaga pada
tingkat lokal dan institusi lokal, yang harus diberdayakan
adalah :
lembaga keuangan (dapat memberikan kredit/pinjaman pada
masyarakat lokal)
lembaga pelatihan /balai pelatihan (memebrikan
keterampilan-keterampilan yang potensial untuk membangun
daerah tersebut)
penelitian (hasil dari penelitian harus dikoordinasikan dengan
lembaga lainnya)
Quality Control
Industri Proses Produksi Hasil Produsi Market
Petani Komoditas
Hasil Panen
lembaga pemasaran
Gambar 11Ilustrasi Konsep Pengembangan Ekonomi Lokal
Tabel 2Kelebihan Dan Kelemahan Pengertian Local Economic Development
No.
Pembuat Definisi Fokus Kelebihan Kelemahan
1. The World Bank Meningkatkan daya saing Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan
Meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomiBerorientasi kepada pemerataan
Berorientasi bukan hanya kepada tujuan yaitu pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja akan tetapi juga kepada proses
Tidak dijelaskan: aspek kelokalannya Kelayakan lapangan kerja
bagaimana proses pelibatan stakeholder tersebut apakah harus partisipatif atau tidak.aspek lokasi dimana PEL tersebut dilaksanakan atau terjadi.
2. Blakely dan Bradshaw
Menciptakan lapangan pekerjaan
Berorientasi bukan hanya kepada tujuan akan tetapi juga kepada proses
Tidak dijelaskan: Kelayakan lapangan kerja keberlanjutan dari penciptaan
lapangan pekerjaan tersebut. Aspek pemerataan aspek
kelokalannya bagaimana proses pelibatan stakeholder tersebut apakah harus partisipatif atau tidak
Tidak menjelaskan aspek lokasi3. ILO Proses harus partisipatif
Lokasi PEL pada wilayah tertentu
Menciptakan lapangan
Berorientasi kepada output dan proses.
Pelibatan stakeholder harus partisipastif
Tidak menjelaskan keberlanjutan pembangunan
aspek pemerataan aspek lokasi dimana PEL
Keterangan:
Penghasil Bahan Baku
Pengumpul Bahan Baku serta Sentra Produksi Lokal
Kota Kecil/Pusat Kegiatan Lokal
Kota Sedang/Besar (market)
Jalan & Dukungan Sapras
Batas Kws Lindung, budidaya, dll
No.
Pembuat Definisi Fokus Kelebihan Kelemahan
pekerjaan yang layak Merangsang kegiatan
ekonomi
Sifat kelokalan ditunjukkan dari penggunaan sumber daya lokalAspek lokasi ditunjukkan bahwa PEL dilakukan pada wilayah tertentu.
tersebut dilaksanakan atau terjadi.
4. A. H. J. Helming Kemitraan antar stakeholder
Kontrol lokal Merangsang
pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan
Berorientasi kepada output dan proses.
Aspek lokasi ditunjukkan bahwa PEL dilakukan pada wilayah tertentu.
Sifat kelokalan ditunjukkan dari penggunaan sumber daya lokal
Tidak mencantumkan keberlanjutan pembangunan
Tidak menjelaskan aspek pemerataan bagaimana proses pelibatan stakeholder tersebut apakah harus partisipatif atau tidak
Kelayakan lapangan kerja tersebut
4. Konsep Pengembangan Wilayah Dari Sudut Pandang
Agropolitan Dan Selective Spatial Closure
Latar Belakang Strategi Pengembangan Wilayah dalam
perspektif Development from Below
Pendekatan konsep pengembangan wilayah yang
berbasis pada kekuatan ekonomi dan sumber daya lokal,
merupakan suatu respon terhadap pendekatan yang bersifat
top-down. Mekanisme pola ketergantungan (dependency)
serta struktur hubungan produksi dan distribusi yang berbeda
antara core dan periphery, yang sangat kontras dengan
pemikiran sistem integrasi pusat-pusat dalam suatu lingkup
sistem jaringan, tidak memungkinkan terjadinya proses
‘penjalaran’ atau yang dikenal dengan trickling down effects.
Berkaitan dengan dependency serta distorsi yang terjadi
antara wilayah core dan periphery (kesenjangan wilayah),
Myrdall (1957), Hirschman (1958), dan Friedmann (1966),
mengatakan bahwa ekonomi wilayah yang terintregasi dan
terkait dengan basis ekonomi dunia yang tidak seimbang
akan menimbulkan dua kecenderungan fenomena. Pertama,
aktivitas pembangunan yang mengarah pada gejala polarisasi
atau backwash effect. Dan kedua, leakage atas pemanfaatan
sumber daya vital suatu wilayah untuk kepentingan
metropolis (core atau leading region) maupun negara lain.
Permasalahan juga ditekankan pada kesulitan untuk
menstimulate keterkaitan ekonomi antara industri-industri di
pusat dengan daerah belakangnya, serta ketimpangan
opurtunitas yang dimiliki dalam segi skala ekonomi, potensi
perubahan struktur sumber daya manusia dan teknologi oleh
core dan periphery. Sehingga gejala yang umum terjadi
adalah mobilitas kapital, tenaga kerja dan sumber daya
terakumulasi di kutub-kutub pertumbuhan ( growth pole )
sementara akibat pengaruh leakages eksternal maupun
internal yang terjadi, wilayah periphery makin tertinggal.
Bertolak dari konsepsi pemikiran bahwa leakages atas
proses produksi lokal akan meminimisasi pertumbuhan
ekonomi wilayah tersebut, teori Development From Below
mensyaratkan adanya suatu tahapan dalam internalisasi
sumber daya untuk menghasilkan produk bagi pemenuhan
konsumsi masyarakat lokal, misalnya melalui cara
pengembangan industri padat karya skala kecil. Atau secara
ekstrem dapat dikatakan melakukan perubahan di dalam
institusi dan keterkaitan hubungan struktur ekonomi. Hal ini
didukung pendapat Hirschman (1957), bahwa
pengembangan wilayah atas suatu periphery hanya dapat
dilakukan dengan melindunginya dari pengaruh polarisasi
wilayah. Ditinjau dari sudut pandang ekonomi wilayah, usaha
internalisasi yang dilakukan dalam bentuk komponen elemen-
elemen produksi (sumber daya maupun investasi)
dimaksudkan untuk memaksimalkan efek mulitiplier lokal
terhadap sektor-sektor perekonomian wilayah melalui kontrol
backwash effects yang terjadi dengan bertumpu pada
karakter dasar wilayah tersebut.
Konsep Pemikiran Development from Below
Proses internalisasi potensi lokal wilayah merupakan awal
bagaimana suatu wilayah dapat berkembang. Menurut perspektif
teori ini, terdapat berbagai strategi pendekatan pengembangan
wilayah, yaitu pendekatan pengembangan territorial, fungsional,
dan pendekatan agropolitan. Secara umum pendekatan-
pendekatan tersebut memfokuskan pada upaya melepaskan diri
dari ketergantungan terhadap wilayah pusat.
Perbandingan pendekatan pengembangan wilayah berdasarkan
konsep Development from Below :
1. Hubungan (linkage) dengan Wilayah Lain
Pengembangan territorial memiliki keterkaitan terbesar terhadap
wilayah lain, dalam hal ini wilayah yang secara fungsional
hirarkhinya lebih tinggi dari wilayah tersebut, sehingga setiap
perubahan yang terjadi di wilayah luar akan turut mempengaruhi
perkembangan internal region. Sedangkan pendekatan
pengembangan Agropolitan meniadakan sama sekali linkage
dengan region lain. Dalam hal ini berarti wilayah tersebut
berkembang secara independen tanpa mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh region lain.
2. Kemungkinan Wilayah Penerapan
Pengembangan territorial dan fungsional tidak mensyaratkan
secara tegas potensi tertentu yang harus dimiliki oleh suatu
wilayah. Sementara itu pendekatan pengembangan agropolitan
secara tegas mensyarakatkan potensi sumber daya alam yang
tinggi, terutama bagi negara-negara yang tertinggal
pembangunannya (negara dunia ketiga).
3. Perhatian atas Aspek Penunjang
Teritorial dan fungsional terlampau fokus kepada upaya
mengembangkan wilayah tanpa mempersiapkan infrastruktur
lain yang mendukung sektor tertentu yang akan dikembangkan.
Agropolitan mempersiapkan secara matang aspek-aspek lain
yang akan menunjang sektor yang dikembangkan. Misalnya
untuk suatu distrik agropolitan yang berbasis sektor pertanian,
maka akan ditunjang pula dengan sektor industri yang
menghasilkan alat-alat pertanian, perdagangan yaitu
perdagangan yang memasarkan hasil-hasil industri dan
pertanian itu; dan sektor jasa lainnya yang secara keseluruhan
menunjang berkembanganya sektor pertanian.
4. Sistem Manajemen
Dalam pengembangan teritorial, keterkaitan antara pusat dan
pinggiran dimanifestasikan dengan sistem birokrasi
desentralisasi dan dekonsentrasi yang masih memungkinkan
adanya interaksi kontrol-pertanggungjawaban antara pusat
dengan daerah. Sementara itu agropolitan distrik mempunyai
wewenang penuh untuk mengontrol pemanfaatan sumber daya
alamnya. Pada bagian lain, pendekatan pengembangan
fungsional lebih mengalami proses birokrasi yang kompleks.
5. Tuntutan Adanya Leading Core
Pada konsepsi pengembangan agropolitan tidak dituntut adanya
leading core, dalam artian jika semua wilayah memiliki
homogenitas dalam struktur perekonomian, konsepsi ini dapat
dikembangkan. Namun, dalam pengembangan teritorial dan
fungsional, mekanisme pengembangan wilayah dapat terjadi jika
sudah terdapat leading core dalam sistem perwilayahannya.
Agropolitan dan Selecive Spatial Closure Sebagai Konsep
Pengembangan Wilayah
Agropolitan District Growth merupakan suatu kebijakan
“tertutup” dalam strategi pengembangan wilayah. Pada
dasarnya konsep pengembangan wilayah Agropolitan
(Friedmann dan Douglass, 1976) berawal dari tingkat
perkembangan yang berbeda dan keterkaitan yang tidak
simetris yang mengarah pada terjadinya leakage sehingga
menyebabkan terjadinya distorsi antara rural dan urban.
Pengembangan rural yang berkelanjutan dengan basis
pemenuhan kebutuhan dasar merupakan salah satu saran
dari pendekatan Agropolitan.
Oleh karena itu dibentuk unit- unit rural- urban yang
independen di dalam satu “Agropolitan District”. Hubungan
rural- urban dalam district tersebut didasarkan pada
keterkaitan yang saling menguntungkan, serta kesamaan
peran dalam interaksi skala territorial yang terkecil. Persepsi
ini didukung oleh Taylor (1979) yang mengatakan bahwa
dalam konteks ini ukuran kota yang kecil akan mengurangi
terjadinya leakage dari wilayah agraris yang muncul akibat
adanya keterkaitan antar wilayah. Karakteristik- karakteristik
dari unit- unit Agropolitan (prasyarat) yang dapat dijadikan
sebagai dasar asumsi pengembangan teori ini adalah :
1. Ukuran wilayah yang relatif kecil
2. Lokasi; terletak di hinterland negara- negara dunia ketiga
3. Kedaan sosial-budaya, politik, dan ekonomi relatif identik
secara keruangan.
4. Tingkat kemandirian tinggi yang didasarkan pada partisipasi
aktif masyarakat serta kerjasama di tingkat lokal termasuk di
dalamnya pemenuhan kebutuhan dan pengambilan keputusan
oleh masyarakat lokal.
5. Diversifikasi lapangan pekerjaan baik pertanian maupun non-
pertanian dengan penekanan pada pertumbuhan industrialisasi
rural area
6. Adanya fungsi industri di wilayah urban-rural yang terkait pada
sumber daya dan struktur ekonomi lokal
7. Adanya teknologi yang mengacu pada pemanfaatan sumber
daya lokal.
8. Jumlah penduduk berkisar antara 50.000 – 150.000
9. Pembatasan jarak antar unit yang memungkinkan terjadinya
kecenderungan commuting.
Upaya menghindari ketergantungan (berupa impor faktor
produksi ataupun barang-barang kebutuhan dasar – basic needs)
antara periphery dengan core region diwujudkan melalui tindakan
atau strategi pengembangan dalam menutup peluang terjadinya
interaksi dengan hal-hal sbb :
Adanya pengendalian ketat terhadap pemanfaatan sumber daya
alam. Hal ini dilakukan dengan memberikan kesempatan
sebesar-besarnya terhadap sektor yang dapat meningkatkan
kualitas lokal secara kontinyu, dan menjadi basis ekonomi yang
permanen, yang dimungkinkan untuk sektor yang
memanfaatkan sumber daya yang dapat diperbarui (renewable
resources). Bentuk perhatian lebihnya adalah dengan
menyediakan fasilitas training bagi tenaga kerjanya, pemberian
subsidi, dan akses perkreditan. Sementara itu bagi sektor
lainnya akan dikembangkan ke arah yang mendukung sektor
utama di atas.
Meminimasi hubungan fisik antara core region dan periphery
region. Dalam hal ini berarti pembangunan jaringan infrastruktur
yang menghubungkan kedua region tersebut tidak diperhatikan
dan titik berat pembangunan infrastruktur jaringan jalan
difokuskan di dalam wilayah itu sendiri.
Adanya kebersediaan pelaku ekonomi, dalam hal ini pemilik
modal untuk selalu menginvestasikan modalnya di wilayah
sendiri meskipun rate of return wilayah lain nilainya lebih besar.
Adanya populasi yang homogen, mengingat fondasi dari
agropolitan development adalah kebudayaan asli masyarakat
setempat maka wilayah tersebut mungkin akan menerapkan
kebijakan ketat atas arus migrasi masuk.
Pembangunan infrastruktur lain dan pengembangan sektor lain
yang menunjang pertumbuhan sektor utama. Dengan syarat,
keterkaitan antar sektor- sektor tersebut berada pada satu
wilayah agropolitan district.
Pengembangan perencanaan pengembangan wilayah
Agropolitan diarahkan pada strategi yang pada dasarnya
bertujuan untuk mencapai kondisi tertentu dan keuntungan
dari ‘penutupan’ wilayah, yaitu:
1. Menginternalkan efek multiplier dan pengaruh- pengaruh
eksternal melalui penekanan pada keterkaitan lokal dan fungsi
yang saling melengkapi antara pertanian dan industri sehingga
akan meningkatkan pendapatan masyarakat lokal.
2. Kebijaksanaan penyamarataan kepemilikan aset produktif
diantaranya, lahan, modal, dan public goods, serta
kebijaksanaan redistribusi pendapatan.
Regional leakage dan ‘Bottom-Up Strategies’: Menuju
Strategi Selective Spatial Closure. Konsepsi pengembangan
wilayah selective spatial closure ( Stohr dan Todtling, Some
Anti-Thesis to Current Regional Development Doctrine,1979)
merupakan aplikasi pendekatan yang bersifat teritorial dan
fungsional dari Development From Below yang secara
essensial didasarkan pada pemanfaatan sumber daya wilayah
yang terintegrasi pada skala keruangan yang berbeda dan
merupakan aplikasi bentuk pengembangan yang ditujukan
umumnya pada wilayah yang terbelakang ( periphery ) akibat
implementasi serta pengaruh dari polarisasi wilayah ( Lo dan
Salih, 1981). Inti dari konsep, yang pada dasarnya harus
disesuaikan dengan latar belakang dan kondisi wilayah
tersebut, adalah adanya kontrol aliran faktor produksi atau
kontrol hubungan eksternal yang bersifat merugikan terhadap
pengembangan wilayah. Pengembangan yang berbasiskan
teritorial ini, tetap akan memenuhi eksternal demand dan
memanfaatkan sumber daya ekternal (dari luar wilayahnya),
dengan pertimbangan bahwa tingkat pemenuhan dan
pemanfaatan tersebut tidak mengurangi tingkat utilitas dari
kebutuhan dasar masyarakat lokal serta mobilisasi sumber
daya wilayah yang tersedia.
Pengendalian tersebut berkaitan dengan adanya
fenomena ketergantungan (dependensi) antara wilayah
periphery dengan core, maupun bentuk dependency yang
berakar dari hierarki sistem perekonomian dunia.
Ketergantungan ini terwujudkan dengan adanya beberapa
sektor impor maupun ekspor yang secara langsung
mempengaruhi laju pertumbuhan wilayah tersebut.
Konkritnya, semakin banyak sektor impor maka semakin
besar ketergantungan wilayah periphery terhadap wilayah
core ataupun terhadap ruang lingkup linkage skala ekonomi
yang lebih luas. Sedangkan kinerja sektor ekspor yang
berlebihan berpengaruh secara langsung pada ketersediaan
sumber daya bagi pemenuhan kebutuhan lokal, dan hal ini
dapat dikatakan sebagai suatu bentuk dari backwash effect
akibat pengaruh pola dependency ekonomi.
Selective spatial closure berusaha memilah dengan
mempertimbangkan tingkat kemampuan atau kontribusi
masing-masing sektor tersebut terhadap perkembangan
wilayah itu (periphery). Dalam artian, meskipun sektor yang
terpilih untuk dikembangkan tersebut memiliki
kecenderungan untuk meningkatkan terjadinya proporsi
leakages ( dengan pertimbangan tidak besar pengaruhnya
terhadap mobilitas lokal sumber daya wilayah ), tetapi secara
fungsional memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap
pertumbuhan ekonomi wilayah dan membangkitkan efek
mulitiplier lokal karena keterkaitannya yang tinggi, sektor
tersebut dapat dimungkinkan menjadi sektor utama yang
menumpu perkembangan wilayah. Seleksi lainnya dilakukan
dengan cara melihat potensi lokal yang mungkin
dikembangkan dalam hal ini dengan menilai kemungkinan
pemanfaatan faktor produksi lokal yang dapat mensubstitusi
faktor produksi yang semula menjadi input bagi salah satu
sektor di periphery dan input itu berasal dari luar (core
region).
Pada perspektif dependensi, ketergantungan wilayah
periphery terhadap wilayah core dapat dihilangkan dengan
memutuskan sama sekali hubungan antar kedua wilayah tersebut.
Artinya jika suatu wilayah periphery ingin berkembang, wilayah
tersebut harus memutuskan semua hubungan dengan wilayah core.
Perspektif ini berbeda dengan selective spatial closure, dimana
pada perspektif ini terjadi pemilihan hubungan, input maupun
output faktor produksi.
Sebagai gambaran aplikasi konsep selective spatial closure,
misalnya suatu wilayah periphery memiliki tiga sektor
pengembangan, yaitu pertanian, tekstil, dan sepatu. Ketiga sektor
tersebut memiliki hubungan dengan wilayah core. Dalam perspektif
dependensi, jika wilayah periphery ingin berkembang, maka
wilayah tersebut harus memutuskan hubungan terhadap wilayah
core. Namun, teori selective spatial closure memilah- milah sektor
yang paling besar memberi kontribusi dan dapat membangkitkan
pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut, misalnya sektor tekstil;
dengan keterkaitan sektor tersebut terhadap industri hulu dan hilir
maka sektor ini menjadi sektor utama pengembangan wilayah
tersebut, walaupun terjadi leakage dengan wilayah core.
Proses seleksi lainnya diilustrasikan melalui adanya suatu
‘pre-condition’. Misalnya, sektor tekstil yang menjadi andalan
perkembangan wilayah namun input produksinya berupa kapital
intensif yang berasal dari core region. Tindakan pemutusan
hubungan dengan wilayah pusat dapat dilakukan apabila terdapat
faktor produksi yang mensubstitusi input produksi, misalnya kapital
intensif disubstitusi dengan labor intensif apabila wilayah ini
mempunyai tenaga kerja yang murah. Proses seleksi di atas
kemudian ditindaklanjuti dengan membandingkan tingkat
kemampuan masing-masing sektor untuk men-generate
perkembangan wilayah.
Pada dasarnya, implementasi program di dalam
kebijaksanaan selective spatial closure didasarkan atas upaya
meningkatkan taraf tingkat self sufficiency suatu wilayah, dengan
memandang peran dan posisinya di dalam kontelasi serta hierarki
sistem perwilayahan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka
diperlukan adanya perkembangan ataupun perubahan bentuk pada
sistem fiskal dan transfer sumber daya (Lo dan Salih, 1981),
dengan fokus utama dimana wilayah tersebut dapat menerima
beberapa pengaruh dorongan pertumbuhan dari basis ekspor
melalui ‘filter’ strategi small open model economy guna
menghindari ketergantungan terhadap sistem perekonomian
nasional maupun internasional (Fei dan Ranis, 1973).
Integrasi keruangan nasional kerap dinilai sebagai suatu
langkah pengembangan yang positif. Namun dari sudut pandang
penganut paham selective spatial closure, hal ini akan men-create
bentuk-bentuk linkages proses produksi yang pada akhirnya akan
merugikan wilayah yang ‘terisap’. Karena itu langkah awal yang
perlu dipersiapkan di dalam membentuk pondasi wilayah yang kuat
adalah perbaikan struktur keterkaitan hubungan perekonomian,
yang dilandasi ‘interrelasi yang seimbang’ antara core dan
periphery serta perbaikan struktur perekonomian wilayahnya.
Hubungan struktural dalam lingkup internasional secara
langsung maupun tidak akan mempengaruhi pemilihan kebijakan di
wilayah yang lingkupnya lebih kecil. (Lo dan Salih, Blaikie).
Dengan berdasarkan pemahaman tersebut berarti perbaikan
struktur internal wilayah (dalam skala nasional) untuk mencapai
tingkat self-sufficient tidak akan efektif jika tidak disertai dengan
perbaikan hubungan eksternalnya dalam lingkup perekonomian
internasional.
Langkah strategi pengembangan selanjutnya terletak pada
faktor struktur kelembagaan, yang mengarah pada tuntutan azas
desentralisasi dimana fungsi pengambilan keputusan lokal sangat
essensial sifatnya. Tiga prasyarat keberhasilan strategi
pengembangan selective spatial closure menurut Boisier, adalah :
1. Pembentukan kelembagaan baru; hal ini mensyaratkan adanya
sumber daya manusia yang baru yang belum tentu ada di
wilayah periphery sehingga jika pelaksanaan pembentukan
institusi ini berhasil, diperlukan pendekatan metodologi dan teori
baru yang diperoleh melalui penambahan kuantitas sumber
dayanya dan pelatihan tertentu.
2. Pemahaman yang meluas di tengah msyarakat setempat,
mengenai tujuan dari setiap aktivitas pembangunan, guna
terciptanya tingkat kreativitas yang ditinggi di tengah
masyarakat. Untuk itu biasanya diperlukan suatu proyek
perangsang kreativitas dari pemerintah yang masih bernuansa
top-down.
3. Membangkitkan hasil nyata dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya. Hal ini sebenarnya cukup berat untuk dipenuhi
sebab strategi ini memerlukan transformasi struktural yang
besar, seperti land reform, yang seringkali menimbulkan efek
terhambatnya proses produksi.
Beberapa Kritik Terhadap Konsep Agropolitan dan Selective
Spatial Closure
Kritik dan Evaluasi Perspektif Agropolitan
Secara umum, konsep pengembangan agropolitan dinilai terlalu
utopian. Hal ini terlihat dalam asumsi- asumsi yang mendasarinya.
Berikut ini dijabarkan beberapa kritik terhadap asumsi- asumsi
tersebut :
Salah satu asumsi konsep pengembangan Agropolitan adalah
keberadaan penduduk yang homogen/ identik. Aplikasinya
berarti wilayah tersebut berhak memilah- milah penduduk yang
tinggal di region tersebut. Dalam lingkup yang sesungguhnya,
proses pemilahan itu sulit, bahkan hampir tidak mungkin, untuk
dapat diwujudkan.
Kritik lainnya adalah adanya asumsi bahwa terdapat
kebersediaan individu (pelaku investasi) wilayah lokal untuk
selalu menginvestasikan modalnya di lokal wilayah tersebut. Hal
ini tidak mungkin terjadi dalam pengembangan wilayah yang
sesungguhnya, dimana setiap investor akan mempertimbangkan
aspek skala ekonomi yaitu menempatkan investasi di wilayah
yang memiliki rate of return lebih tinggi dibandingkan wilayah
lain, dalam hal ini berarti tidak selalu wilayah lokal yang menjadi
pilihan investasi jika wilayah lokal tersebut tidak memiliki rate of
return yang menunjang perhitungan aspek skala ekonomi.
Kritik lain diajukan oleh sependuduk ahli, Forkenbrock, yang
berpendapat bahwa wilayah Agropolitan akan sulit berkembang
karena tingkat aksesibilitas yang rendah. Wilayah Agropolitan
pada konsepnya memang tidak mengembangkan infrastruktur
ekternal, hal ini akan mengurangi tingkat aksesibilitasnya
terhadap wilayah lain, sehingga wilayah ini akan sulit
berkembang.
Adanya asumsi kontrol terhadap sumber daya, yaitu sumber
daya yang memiliki kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan
wilayah akan difasilitasi dengan berbagai insentif sedangkan
sebaliknya, sumber daya yang lain dibiarkan tidak berkembang.
Sedangkan dalam pertimbangan pemilihan investasi ditinjau
keterkaitan antar sektor, dalam hal ini berarti sependuduk
investor akan menanamkan modalnya dengan melihat
keterkaitan dengan sumber daya lain yang mungkin terdapat di
wilayah lain. Jika demikian berarti telah terjadi leakage,
sedangkan hal ini tidak diperbolehkan dalam konsep
pengembangan wilayah Agropolitan.
Terkait dengan teori dependensi, timbul argumen bahwa proses
internalisasi, peningkatan akses menuju pengembangan sumber
daya, dan keuntungan tidak mungkin dapat dicapai dalam
kondisi terjadinya proses polarisasi dalam skala nasional dan
internasional.
Argumentasi kedua, maksimasi keuntungan spread effect tidak
mungkin dapat dicapai seluruhnya hanya dengan melalui
kegiatan ekonomi lokal dikarenakan adanya keterbatasan
kekuatan dan daya saing ekonomi lokal tersebut.
Beberapa kendala yang timbul dalam implementasi kebijakan
perkembangan wilayah Agropolitan diantaranya : (Lo dan Salih,
1981)
1. Adanya penetrasi kekuatan internasional dan antar wilayah
terhadap ekonomi wilayah yang melemahkan posisi dan daya
saing dari produsen lokal.
2. Tidak adanya keinginan untuk mendesentralisasikan proses
pengambilan keputusan di tingkat pemerintah lokal.
3. Keterbatasan kualitas sumber daya pengambil keputusan di
tingkat lokal.
4. Tidak adanya keseimbangan aset dan distribusi pendapatan
5. Adanya berbagai kelas dalam masyarakat lokal yang
kemudian mengacu pada perbedaan akses secara sosial dan
politik.
Kritik dan Evaluasi Perspektif Selective Spatial Closure
Selective Spatial Closure pada pendekatan tertentu
serupa dengan konsep Agropolitan. Hal yang membedakan
dan menjadi karakteristik perspektif ini bahwa wilayah masih
membuka diri untuk melayani permintaan luar serta di dalam
memanfaatkan sumber daya dari luar (small open economy).
Kritik yang muncul sehubungan dengan hal tersebut adalah :
1. Berkaitan dengan teori dependensi bahwa suatu wilayah,
dalam konstelasinya yang lebih luas jika sudah membuka diri
terhadap sistem perekonomian dunia luar pada kenyataannya
akan sulit untuk melepaskan diri dari pola keterkaitan tersebut,
sehingga tahapan proses penyeleksian sebenarnya tidak rasional
karena wilayah lokal akan terus bergantung pada wilayah lain
yang tingkat pertumbuhannya relatif lebih cepat. Satu- satunya
kemungkinan untuk melepaskan diri adalah dengan
memutuskan hubungan dengan wilayah luar.
2. Proses small open economy akan membuka kemungkinan
berpindahnya sumber daya manusia lokal ke wilayah lain yang
tingkat pertumbuhannya lebih cepat, hal ini dikarenakan adanya
daya tarik yang lebih tinggi (tingkat upah, penyediaan fasilitas,
dll), sehingga pengembangan ekonomi lokal tidak dapat dicapai
karena kurangnya sumber daya lokal yang merupakan prasyarat
berlangsungnya selective spatial closure.
3. Dalam tataran konsep pengembangan selective spatial closure
proses pengendalian input- output dan proses substitusi faktor
produksi digambarkan sangat mudah. Dalam tataran praktisnya,
terdapat faktor lain yang dapat menghambat proses
pengendalian tersebut, misalnya adanya intervensi pemerintah
berupa kontrol terhadap faktor produksi atau penentuan alokasi
faktor produksi.
4. Wilayah dikondisikan dengan situasi tertentu sehingga kondisi
pasar persaingan sempurna, dalam hal ini antara local market
dan national and international market diabaikan, dengan
demikian berarti mekanisme pasar tidak berjalan.
Konsep Agropolitan
Agropolitan dapat didefinisikan sebagai kota pertanian
atau kota di daerah lahan pertanian atau pertanian di daerah
kota. Sedang yang dimaksud dengan agropolitan adalah kota
pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya
sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani,
mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan
pertanian (Agribisnis) diwilayah sekitarnya. Kota agropolitan
berada dalan kawasan sentra produksi pertanian (selanjutnya
kawasan tersebut disebut sebagai kawasan Agropolitan. Kota
pertanian dapat merupakan Kota Menengah, Kota Kecil, Kota
Kecamatan, Kota Perdesaan atau kota nagari berfungsi
sebagi pusat pertumbuhan ekonomi yang mendorong
pertumbuhan pembangunan pedesaan dan desa-desa
hinterland di wilayah sekitarnya. Kawasan agropolitan yang
telah berkembang memliki ciri-ciri sebagai berikut .:
Mayoritas masyarakatnya memperoleh pendapat dari
kegiatan agribisnis
Didominasi oleh kegiatan pertanian, termasuk didalamnya
usaha industry (pengolahan) pertanian, perdagangan hasil-
hasil pertanian, perdagangan agrobisnis hulu(sarana
pertanian dan permodalan), agrowisata dan jasa pelayanan.
Relasi antara kota dan daerah-daerah hinterlandnya bersifat
interpendensi yang harmonis dan saling membutuhkan.
Kawasan pertanian mengembangkan usaha budidaya(on
farm) dan produk olahan skala rumah tangga(off farm) dan
kota menyediakan penyediaan sarana pertanian, modal,
teknologi, informasi pengolahan hasildan pemasaran hasil
produksi pertanian.
Pola kehidupan masyarakatnya sama dengan kehidupan kota
karena prasarana dan sarana yang dimilikinya tidak berbeda
dengan di kota. Batasan kawasan agropolitan ditentukan oleh
skala ekonomi dan ruang lingkup ekonomi bukan oleh
batasan administratif. Penetapan kawasan agropolitan
hendaknya dirancang secara lokal dengan memperhatikan
realitas perkembangan agrobisnis yang ada disetiap daerah.
Persyaratan Kawasan Agropolitan
Wilayah yang akan dikembangkan menjadi kawasan
agropolitan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Memiliki sumberdaya lahan dengan agroklimat yang sesuai
untuk mengembangkan komoditi unggulan.
Memiliki prasarana dan sarana yang memadai untuk
mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis
yaitu:
o Pasar (pasar untuk hasil pertanian, sarana pertanian,
pasar jasa pelayanan, dan gudang
o Lembaga keuangan (perbankan dan non perbankan)
o Kelembagaan petani (kelompok tani, koperasi dan
asosiasi) yang berfungsi sebagai Sentra Pembelajaran
dan Pengembangan Agribisnis (SPPA)
o Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang berfungsi
sebagai Klinik Konsultasi Agribisnis (KKA)
o Pengkajian teknologi agribisnis
o Prasarana transportasi, irigasi dan semua yang
mendukung usaha pertanian
Memiliki prasarana dan sarana umum yang memadai
Memiliki prasarana dan sarana kesejahteraan sosial
(kesehatan, pendidikan, rekreasi dan sebagainya)
Kelestarian lingkungan hidup (sumber daya alam, sosial
budaya dan keharmonisan relasi kota dan desa)
Konsep Struktur Tata Ruang Agropolitan
Secara umum struktur hirarki sistem kota-kota
agropolitan dapat digambarkan sebagai berikut :
Orde yang paling tinggi (kota tani utama) dalam lingkup wilayah
agropolitan skala besar sebagai :
Kota perdagangan yang berorientasi ekspor ke luar daerah
Pusat berbagai kegiatan final manufacturing industri
pertanian (packing),stok pergudangan dan perdagangan
bursa komoditas.
Pusat berbagai kegiatan tertier agro-bisnis, jasa perdagangan,
asuransi pertanian, perbankan dan keuangan.
Pusat berbagai pelayanan (general agro-industry services)
Orde kedua (pusat distrik agropolitan) yang berfungsi sebagai
:
o Pusat perdagangan wilayah yang ditandai dengan
adanya pasar-pasar grosir dan pergudangan komoditas
sejenis
o Pusat kegiatan agro-industri berupa pengolahan barang
pertanian jadi dan setengah jadi serta kegiatan agro-
bisnis.
o Pusat pelayanan agro-industri khusus (special agro-
industry services), pendidikan, pelatihan dan pemuliaan
tanaman unggulan. Orde ketiga (pusat satuan kawasan
pertanian)
Pusat perdagangan lokal yang ditandai dengan adanya pasar
harian
Pusat koleksi komoditas pertanian yang dihasilkan sebagai
bahan mentah industry
Pusat penelitian, pembibitan dan percontohan komoditas
Pusat pemenuhan pelayanan kebutuhan permukiman
pertanian
Koperasi dan informasi pasar barang perdagangan
Dilihat dari sektor transportasi, adanya konsep
agropolitan dapat memberikan arahan pengembangan
pembangunan jaringan jalan sesuai hirarki perkotaan, dimulai
dari pedesaan menuju kota kecil dihubungkan oleh jalan lokal.
Kota kecil ini dapat berfungsi sebagai pengumpul hasil
pertanian dari pedesaan, merupakan kota orde ketiga dalam
sistem kota-kota agropolitan.
Berikutnya adalah dari kota kecil menuju kota
menengah, dihubungkan oleh jalan kolektor. Di sini kota
menengah sudah berfungsi sebagai pusat grosir, yang
mengumpulkan hasil pertanian bersumber dari kota kecil,
serta menjadi pusat pelayanan kegiatan agro industri.
Terakhir dari kota menengah menuju kota besar yang
dihubungkan oleh jaringan jalan arteri. Sebagai kota orde
tertinggi barang yang diangkut dari kota-kota menengah
semakin banyak, sehingga dibutuhkan prasarana jalan dan
jenis kendaraan yang lebih besar. Oleh karena itu penyediaan
jaringan jalan arteri sangat diperlukan. Dengan hirarki kota
dan hirarki jalan yang jelas, akan dapat mengurangi risiko
kerusakan jalan akibat penggunaan jalan yang tidak sesuai
ukuran kendaraan maupun volume kendaraan.
5. Konsep Growth Pole
Sejarah Konsep Growth Pole
Menurut Miyoshi (1997) sejarah konsep growth pole
dapat dibagi dalam beberapa tahap. Tahap pertama adalah
kelahiran konsep growth pole, tahap kedua penerapan konsep
growth pole secara geografis, tahap ketiga konsep growth
pole sebagai penyebab ketidakseimbangan wilayah, dan
tahap keempat, menuju perbaikan konsep growth pole. Di
Indonesia konsep growth pole juga memberikan dampak,
akan diulas pada bagian akhir sub bab ini.
Konsep ‘growth pole’ atau dikenal sebagai konsep
‘kutub pertumbuhan’ dibangun oleh Perroux pada tahun
1955. Konsep ini bersumber dari faktor-faktor aglomerasi dan
teori-teori lokasi terdahulu (Glasson-Sitohang, 1977 : 153).
Konsep ini mempunyai dasar dari ekonomi makro, oleh
karenanya dasar utama adalah konsentrasi pertumbuhan
ekonomi pada ruang tertentu (yang sebelumnya digambarkan
oleh Perroux pada ruang abstrak). Model struktur ruang yang
muncul sebelumnya adalah teori tempat sentral (central place
theory). Model ini banyak dikritik, dan konsep growth pole
merupakan jawaban atas kritik terhadap teori tempat sentral
tersebut. Dalam praktek konsep growth pole cenderung lebih
jauh daripada dasar teoritiknya sendiri. Disebabkan karena
adanya beberapa ketidakselarasan kecil dalam karya Perroux
semula, maka telah terjadi banyak kekaburan dalam literatur
yang muncul kemudian. Dalam perkembangannya terdapat
banyak definisi sebanyak pengarang yang menulis teori ini.
Konsep growth pole berkembang pesat dan digunakan
sebagai dasar pengambilan kebijakan (disebut strategi growth
pole) baik pada negara-negara sedang berkembang pada
tahun 1960an maupun negara maju, yang menerapkan dan
mendiskusikannya dengan serius pada tahun 1970an.
(Miyoshi 1997 : 2)
Pada tahap kedua, penekanan konsep growth pole
adalah pada penerapan konsep growth pole dalam
“perencanaan wilayah” yang dibahas dalam berbagai artikel.
Ahli-ahli ekonomi yang banyak membahas tentang growth
pole dan mengaitkannya dengan perencanaan wilayah antara
lain Boudeville dan Hirschman dan lain-lain. Menurut
Boudeville (Miyoshi 1997 : 4) definisi growth pole adalah
“satu set perluasan industri-industri yang berlokasi di suatu
wilayah urban dan menyebabkan pembangunan kegiatan
ekonomi lebih jauh melalui pengaruh zonanya”. Friedmann
(1966) menyatakan bahwa pola pembangunan wilayah di
Amerika seyogyanya diterapkan pada semua negara sedang
berkembang. Ini berarti konsep growth pole juga diikuti oleh
banyak negara berkembang di dunia pada masa tersebut.
Gore (1984) menyimpulkan bahwa ahli ekonomi wilayah
pada tahun 1960an berkaitan dengan konsep growth pole
mempunyai pandangan yang sama , antara lain pertumbuhan
terjadi secara bertahap, mereka percaya strategi growth pole
dapat mencapai berbagai tujuan kebijakan wilayah dan
hubungan antar wilayah secara empiris dapat dibuktikan
kebenarannya.
Pada tahap ketiga, beberapa ahli ekonomi wilayah
menjelaskan bahwa konsep growth pole menjadi penyebab
ketidakseimbangan wilayah. Seperti Stohr dan Todtling
(1977) menyusun suatu studi kasus dan menyimpulkan
bahwa strategi growth pole tidak dapat membawa
pembangunan ke wilayah belakangnya (hinterland). Strategi
ini mungkin sukses dalam mengurangi disparitas
interregional, tetapi spread effect terhadap wilayah
sekitarnya sangat lemah, bahkan menyebabkan terjadinya
disparitas intra-regional. Pendapat Stohr dan Todtling
didukung oleh Polenske (1988) yang menjelaskan dua
pemikiran pada teoris growth pole yang menyatakan bahwa
dominasi perusahaan-perusahaan tertentu adalah faktor
positif dalam proses pembangunan, karena dibutuhkan untuk
menolong sejumlah besar penduduk, maka para teoris
dependency menyatakan bahwa dominasi membawa
pengambilalihan produk surplus di suatu wilayah tidak
digunakan oleh penduduk setempat, tetapi untuk para
kapitalis.
Pada tahap keempat, setelah banyak kritik dilontarkan
terhadap konsep growth pole, maka beberapa ahli ekonomi
wilayah melakukan berbagai perbaikan dan dukungan
tedrhadap konsep ini. Richardson dan Richardson (1974)
menyatakan bahwa kekecewaan terhadap kebijakan pusat
pertumbuhan (growth pole) pada banyak negara bukan
merupakan bukti bahwa prinsip polarisasi salah, hal ini karena
adanya optimisme yang berlebihan dan waktu yang singkat
dalam menerapkan konsep ini. Bahkan Higgins (1988)
menyatakan bahwa strategi growth pole bukan kesalahan
teori Perroux, tetapi kesalahan suatu versi yang
memutarbalikkan penerapan teori ini melalui disiplin ilmu
para ilmuwan tersebut.
Konsep Growth Pole
Perroux berpendapat bahwa fakta dasar dari
perkembangan spasial,sebagaimana halnya dengan
perkembangan industri adalah bahwa “pertumbuhan tidak
terjadi di sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara
serentak; pertumbuhan itu terjadi pada titik-titik atau kutub-
kutub perkembangan, dengan intensitas yang berubah-ubah;
perkembangan ini menyebar sepanjang saluransaluran yang
beraneka ragam dan dengan efek yang beraneka-ragam
terhadap keseluruhan perekonomian”. (Glasson – Sitohang,
1977 : 153).
Perroux juga mengindikasikan bahwa pembangunan
harus disebabkan/ditimbulkan oleh suatu konsentrasi
(aglomerasi) tertentu bagi kegiatan ekonomi dalam suatu
ruang yang abstrak. (Miyoshi, 1997 : 3). Boudeville
mendefinisikan kutub pertumbuhan (growth pole) sebagai
“sekelompok industri yang mengalami ekspansi yang
berlokasi di suatu daerah perkotaan dan mendorong
perkembangan kegiatan ekonomi lebih lanjut ke seluruh
daerah pengaruhnya”. (Glasson – Sitohang, 1977 : 108).
Ia juga membangun konsep growth pole sebagai suatu model
perencanaan yang bersifat operasional, yang menerangkan
suatu kondisi dimana pertumbuhan akan tercipta pada
wilayah yang menimbulkan adanya kutub (polarized region).
Menurut Glasson (Glasson – Sitohang, 1977 : 155) konsep-
konsep ekonomi dasar dan perkembangan geografik
berkaitan dengan teori growth pole, didefinisikan sebagai
berikut :
Konsep “leading industries” dan perusahaan-perusahaan
propulsip, menyatakan pada pusat kutub pertumbuhan
terdapat perusahaan-perusahan propulsip yang besar, yang
termasuk dalam “leading industries” yang mendominasi unit-
unit ekonomi lainnya.
Konsep polarisasi, menyatakan bahwa pertumbuhan yang
cepat dari leading industries mendorong polarisasi dari unit-
unit ekonomi lainnya ke dalam kutub pertumbuhan.
Konsep “spread effect” atau “trickling down effect”
menyatakan bahwa pada waktunya, kualitas propulsip
dinamik dari kutub pertumbuhan akan memencar keluar dan
memasuki ruang di sekitarnya.
6. Konsep Central Place Theori
Konsep ini dikembangkan oleh Christaller yang
mengungkapkan bahwa dengan adanya investasi industri
yang terdapat di wilayah pusat kota. dia melakukan studi di
Jerman mengenai hirarki pusat pelayanan kegiatan jasa pada
tujuh tingkat hirarki pelayanan, mulai dari desa kecil hingga
kota metropolitan. Hasil dari studi ini merupakan suatu
kemajuan yang berarti bagi teori lokasi, dan bagi teori
penyediaan pusat pelayanan penduduk dimana teori ini
mengungkapkan suatu titik pada suatu kota yang memiliki
peran sebagai pusat dari segala kegiatan kota. teori ini
mengungkapkan beberapa asumsi dasar tentang wilayah
yaitu (Tarigan, 2005 : 79):
a. wilayah tersebut datar dan juga memiliki sumber daya alam
yang merata
b. pergerakkan dimungkinkan dapat dilakukan kesegala arah
c. penduduk tersebar secara merata diseluruh wilayah dan
mempunyai daya beli yang sama
d. konsumen bertindak rasional (minimasi jarak dan minimasi
biaya)
Untuk menggambarkan wilayah-wilayah yang saling
bersambungan atau saling meluaskan, Christaller memakai
bentuk heksagon, lingkaran-lingkaran yang mencerminkan
wilayah-wilayah pemasaran yang saling tumpah tindih
kemudian dibelah dua dengan garis lurus. Maksudnya agar
penduduk dapat berbelanja dapat memilih tempat (kota) yang
paling dekat dengan lokasi tempat tinggalnya. Dalam teorinya
, Christaller mengemukakan tiga jenis struktur heksagonal
yaitu:
a. didaerah yang pusatnya ada sebuah tempat yang dikelilingi
oleh enam tempat terletak disudut-sudutnya, semuanya
masing-masing sepertiganya termasuk daerah. Jadi
keseluruhannya ada 1 + 6 x 1/3 = 3. Struktur ini sesuai
dengan apa yang disebut , Christaller sebagai asas K=3.
b. Didaerah yang pusatnya ada sebuah tempat yang dikelilingi
oleh enam tempat,tetapi tidak terletak disudut-sudutnya.
Setiap beban tempat ini sepenuhnya termasuk daerah sendiri
yang sepenuhnya lagi termasuk daerah tetangga. Jadi X
adalah 1 + 6 x 1/2 =4, ini disebut sebagai asas pengangkutan
K=4.
c. Didaerah yang sama, tetapi didalamnya ada tujuh tempat.
Nilai
K = 6 + 1 x 1 =7, nilai ini disebut asas pemerintahan (K=7).
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
pembentukkan sistem tata ruang yang jelas ke dalam tingkat
hirarki pusat-pusat, merupakan suatu keharusan mutlak
dalam wilayah bersangkutan dapat berkembang dengan
cepat. Ketidak jelasan tata ruang, terutama di wilayah yang
relatif terbelakang merupakan penyebab ketimpangan laju
pertumbuhan ekonomi. Keadaan ini dapat mendorong
pertumbuhan yang tidak mengarah kepada penciptaan sistem
ekonomi regional secara terpadu, terdiri atas kota pasar yang
menghubungkan pusat-pusat perdesaan dan perkotaan.
7. Konsep Integral Fungsional Ruang
Konsep ini beranggapan bahwa sistem terpadu
bergantung pada pusat pertumbuhan yang mempunyai fungsi
yang berbeda, mempunyai peranan penting dalam
memfasilitasi pengembangan penyebaran wilayah. Hal ini
didasarkan bahwa di beberapa negara berkembang pasangan
utama pertumbuhan ekonomi adalah sektor pertanian bukan
sektor industri. Elemen penting dalam pengkomersilan sektor
pertanian adalah sistem permukiman yang terpadu serta
berkesinambungan yang baik, dimana lokasi-lokasi yang
berhubungan dengan kepentingan umum dapat dijangkau
secara efektif dan efisien, sehingga penduduk desa
mempunyai akses yang kuat.
Johnson berpendapat, bahwa penempatan pusat kota
secarta sistematik tidak menjamin keberhasilan
komersialisasi sektor pertanian tetapi lebih mendukung
terhadap penyatuang ruang secara menyeluruh pada tempat-
tempat yang terkait dengan proses industri. Brian Berry
mengungkapkan bahwa pada ekonomi pasar, sistem
penyatuan pusat-pusat kota biasanya muncul dan sering
dengan pertumbuhan ekonomi karena hal ini sangat
diperlukan tetapi bukan merupakan keadaan yang suffisien
bagi tercapainya pemerataan pembangunan (Terjemahan
Buku Applied Methods Of Regional Analisis Oleh Rondinelli,
1985 :4).
Fisher dan Rushton menyatakan berdasarkan atas
penelitian mereka di indonesia dan india bahwa
pembangunan sistem terpadu dari pelaksanaan perdagangan
dan produksi sangat menguntungkan bagi pemerintah yang
berusaha untuk meningkatkan pembangunan wilayah serta
penduduk wilayah tersebut. Seperti halnya uraian dibawah ini
tentang pentingnya hirarki terpadu pusat-pusat pelayanan,
yaitu:
a. Pelayanan yang nyaman dan efisien (adalah menggunakan
dan mengefisienkan untuk para pembeli karena itu digunakan
untuk kepuasan dari beberapa kebutuhan yang berbeda
dalam tingkat yang sama disebuah desa).
b. Mengurangi jumlah kendaraan (hal itu mengurangi jumlah
transportasi yang dibutuhkan untuk menghubungkan desa
dengan fasilitas karena dari jumlah tingkat angkutan yang
memadai antara lokasi pusat pelayanan mereka dan tingkat
pelayanannya penting dimana transportasi umum harus
memadai).
c. Mengurangi panjang jalan yang harus diperbaiki ( hal ini
mengurangi jarak yang dibutuhkan dalam pengembangan
sebelum semua desa dihubungkan dengan tempat yang
memiliki fasilitas untuk akses yang mereka butuhkan).
d. Ongkos murah (mengurangi harga dalam penyediaan layanan
untuk fasilitas mereka karena harga ini dapat dibagi kedalam
beberapa fasilitas untuk akses yang dialikasikan di tempat
yang sama).
e. Lebih mudah memonitor kegiatan yang terpusat di tempat-
tempat tertentu (memberikan kesempatan yang lebih
ekonomis dan efektif dalam memonitor aktifitas yang
diregulasikan dalam pasar dan pusat pelayanan).
f. Informasi menjadi lebih lengkap (memfasilitasi perubahan
informasi dan dipilih anggota diantara aktifitas yang
memadai)
g. Pembangunan lebih difokuskan pada tempat-tempat tertentu
yang mendukung terhadap peningkatan pertumbuhan
ekonominya (hal ini memfokuskan usaha pada perkembangan
region dalam beberapa tempat dengan lokasi yang strategis
sumberdaya dan ini meningkatkan kemungkinan dibeberapa
wilayah secara spontan penambahan aktifitas umum untuk
kebutuhan wilayah mereka sendiri).
Hal lain (Bromley) yang perlu dicatat juga dari sistem
integrasi penggabungan untuk pengembangan regional
adalah bahwa daerah pusat adalah sebuah elemen dalam
fungsi rural dan ekonomi regional, berbagai bentuk yang
dispesialisasikan dari produksi dan konsumsi. Bentuk fasilitas
dari interaksi dan perubahan. Roy dan Partial mencatat
bahwa dalam analisis mereka tentang daerah pusat di india
bahwa pengembangan jasa dan pengembangan area jasa di
sekitar mereka.
Desentralisasi memusat investasi dalam penggabungan
dengan ukuran berbeda dan karakteristik yang integrasi
fungsional mencatat bahwa:
a. Membuka skala ekonomi spilover dan efek yang menyebar
tertiggal disekitar daerah pedesaan.
b. Membantu mengorganisasikan ekonomi diwilayah pedesaan
mengenai supply, pemasaran, administrasi dan sistem jasa
pengiriman. Hal itu memungkinkan peningkatan dan
mengubah kesempatan pekerjaan.
c. Bantuan dan kreatifitas yang menarik dan inovasi
perpendudukan dan enterpreneur dan nilainya, sikap dan
perilaku mencerminkan dapat membuat lingkungan yang
kondusif untuk inovasi yang lebih baik.
d. Penyediaan kembali dari sistem investasi dapat digunakan
untuk pengembangan yang akan datang dan untuk membuat
perbandingan keuntungan suatu lokasi dan kesempatan yang
lebih baik untuk pertumbuhan yang akan datang mengenai
efek penyebabnya.
e. Membuat penekanan dan permintaan untuk memperluas
layanan baru fasilitas infrastruktur termasuk membuat
sebuah aliran yang terus-menerus dari pertumbuhan dan
ekspansi.
f. Membuat fisik dan lingkungan ekonomi menjadi
penggabungan dan meningkatkan sistem akses ke daerah
pusat.
g. Menarik sistem ekonomi dan aktivitas sosial dan komoditi
baru.
8. Konsep Pendekatan Desentralisasi Wilayah
Dengan didasarkan pada asumsi bahwa pusat
pertumbuhan kota adalah parasit yang disebabkan karena
mereka mengeksploitasi potensi desa, sehingga para
penanam modal tidak langsungmenanamkan modalnya di
daerah penghasil tetapi lebih terpusat pada pusat kota. akan
tetapi kemudian ada yang berpendapat bahwa kota kecil
bukan merupakan parasit, sebab banyak hal-hal yang
bermanfaat yang berfungsi bagi pengembangan wilayah yang
juga dihasilkan diwilayah tersebut.
Ketika urbanisasi terjadi, terpusatnya penduduk di kota
didasarkan pada prinsip pertukaran interaksi, maka secara
teori, otonomi, penutupan wilayah dan pembatasan wilayah
sulit dilaksanakan. Preston berpendapat bahwa pengaruh
negatif di desa sangat kecil sekali sehingga memungkinkan
ditawarkannya kesempatan ekonomi terbaru bagi
masyarakat. hal yang paling penting yang berpengaruh
terhadap pengembangan sektor pertanian adalah adanya
kontak pribadi diantara para petani tersebut. Penelitian
lainnya menyebutkan bahwa penduduk desa dapat bersaing
secara sehat dengan penduduk kota dan jaringan antara kota
dan desa merupakan suatu kesempatan utama bagi
pendapatan penduduk desa. Richardson berpendapat bahwa
kota kecil merupakan penopang perekonomian daerah
sangatlah besar, sebabkemajuan sangat tergantung pada
fungsi desa. Desa dapat berfungsi dengan baik jika
kebijaksanaan terhadap desa diformulasikan dan di
implementasikan secara tepat.
Top Related