BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Teori ialah prinsip kasar yang menjadi dasar pembentukan sesuatu ilmu
pengetahuan. Dasar teori ini yang akan di kembangkan pada ilmu pengetahuan agar
dapat di ciptakan pengetahuan baru yang lebih lengkap dan detail sehingga dapat
memperkuat pengetahuan tersebut.Teori juga merupakan satu rumusan daripada
pengetahuan sedia ada yang memberi panduan untuk menjalankan penyelidikan dan
mendapatkan maklumat baru. Sehingga ada ahli yang mengemukakan asumsinya
terhadap kebutuhan adanya sebuah rumusan teori. Menurut Snelbecker (di situs
www.teknologi-pembelajaran.com) menjelaskan sejumlah asumsi dijadikan dasar
untuk menentukan gejala yang diamati dan atau teori yang dirumuskan. Asumsi-
asumsi itu adalah:
1. Pertambahan penduduk akan senantiasa terjadi meskipun dengan derajat
perbandingan yang kian mengecil. Perkembangan penduduk ini membawa
implikasi makin banyaknya mereka yang perlu memperoleh pendidikan.
2. Terjadinya perubaha-perubahan mendasar dan bersifat menetap di bidang sosial,
politik, ekonomi, industri, atau secara luas kebudayaan, yang menghendaki re-
edukasi atau pendidikan terus-menerus bagi semua orang.
3. Penyebaran teknologi ke dalam kehidupan masyarakat yang makin meluas.
Masyarakat mengandung budaya dan teknologi, yang memengaruhi segenap
bidang kehidupan, termasuk di dalamnya bidang pendidikan.
Makin terbatasnya sumber-sumber tradisional sehingga harus diciptakan sumber-
sumber baru dan sementara itu memanfaatkan sumber yang makin terbatas itu secara
lebih berdaya guna dan berhasil guna. Termasuk dalam sumber tradisional ini adalah
sumber insani untuk keperluan pendidikan.
Pendidikan senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Mutu pendidikan kian
hari kian dituntut untuk selalu meningkat. Meningkatkan mutu pendidikan tidak
hanya merupakan tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab pendidik
sebagai ujung tombak pendidikan. Pendidik berkewajiban menciptakan suasana
pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis serta
mempunyai komitmen secara professional untuk meningkatkan mutu pendidikan
(Undang-Undang Pendidikan Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003). Hal itu
dikarenakan selain harus menciptakan suasana pendidikan bermakna, menyenangkan,
kreatif, dinamis, dan dialogis juga harus mendesain materi, dan proses pembelajaran
yang mengantarkan siswanya memiliki kompetensi seperti yang dirumuskan dalam
kurikulum. Maka dari itu guru harus mengetahui dan memahami tentang teori-teori
belajar dan hendaknya dapat mengaplikasikan teori-teori belajar dalam pembelajaran
agar dapat tercapainya kompetensi yang telah ditargetkan.
Secara empiris calon pendidik masih banyak yang belum menguasai prinsip dan
teori belajar dan pembelajaran. Calon pendidik belum memahami berbagai teori dan
prinsip belajar dan pembelajaran. Padahal untuk mengaplikasikannya para colon
pendidik haruslah menguasai dan memahami terlebih dahulu teori-teori tersebut.
Belum dikuasainya materi dasar tersebut disebabkan karena kurang banyak membaca
buku teori, sumber-sumber belajar tentang teori belajar masih terbatas dan materi ini
masih termasuk materi baru bagi calon pendidik.
Jadi jika guru tidak menguasai kompetensi tersebut hal ini akan berdampak pada
penjabaran kemampuan-kemampuan dalam standar kompetensi tersebut hal ini akan
berdampak pada penjabaran kemampuan-kemampuan dalam standar kompetensi dan
kompetensi dasar yang harus dikuasai. Untuk itu, di dalam amkalah ini akan
dijabarkan tentang berbagai teori belajar dan pembelajaran.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hakikat anak menurut pandangan teori belajar
konstruktivisme?
2. Bagaimana hakikat pembelajaran menurut teori belajar konstruktivisme?
3. Apa pengertian Teori Konstruktivisme dan siapa saja tokoh – tokohnya?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui hakikat anak menurut pandangan teori belajar
konstruktivisme.
2. Untuk mengetahui hakikat pembelajaran menurut teori belajar
konstruktivisme.
3. Untuk mengetahui pengertian Teori Konstruktivisme beserta tokoh –
tokohnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Anak Menurut Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori
belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga
disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori
belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam
tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan
intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi
ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan
atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989:
159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui
asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran.
Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya
informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988:
133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi
pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi
skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara
pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif
anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi
dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan
proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan
keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat
dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi
ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.
Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan
konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222)
mengajukan karakteristik sebagai berikut:
(1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan,
(2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa,
(3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi
secara personal,
(4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan
pengaturan situasi kelas,
(5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran,
materi, dan sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir
yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan
akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif
untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-
laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas
yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan
faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap
perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut
tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan:
(1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu
terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami
urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama,
(2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental
(pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan
kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan
(3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan
(equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi
antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial
yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam
interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam
belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi,
1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti
konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang
penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak
(Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut:
(1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan
individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan
setiap persoalan yang dihadapi,
(2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang
memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta
didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui
belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari
dan
(3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang
sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan
teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi
pengetahuan pada diri peserta didik.
B. Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar
konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru
ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur
pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata
lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai
ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga
penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran
aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah
pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna.
Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua
prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama,
pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur
kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu
pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan
anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian
ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4)
mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu
didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk
mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang
akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori
belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam
kaitannya dengan pembelajaran, yaitu:
(1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang
mereka miliki,
(2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti,
(3) strategi siswa lebih bernilai, dan
(4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar
pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler
(1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan
pembelajaran, sebagai berikut:
(1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan
bahasa sendiri,
(2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya
sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif,
(3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru,
(4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki
siswa,
(5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan
(6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada
kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan
siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru.
Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan
mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
C. Teori Konstruktivisme
Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompok dalam teori
pembelajaran konstruktivis (constructivist theories of learning). Teori konstruktivis
ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan
informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan
merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar benar-benar
memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan
masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah
dengan ide-ide. Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori
pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner
(Slavin dalam Nur, 2002: 8).
Mengikut Bruner (1999), pembelajaran secara konstruktivisme berlaku dimana
siswa membina pengetahuan dengan menguji ide dan pendekatan berasaskan
pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki, mengimplikasikannya pada satu
situasi baru dan mengintegerasikan pengetahuan baru yang diperoleh dengan binaan
intelektual yang sudah ada.
Menurut Mc Brien dan Brandt (1997), konstruktivisme adalah satu pendekatan
pembelajaran berasaskan kepada penelitian tentang bagaimana manusia belajar.
Kebanyakan peneliti berpendapat setiap individu membina pengetahuan dan
bukannya hanya menerima pengetahuan dari orang lain.
Brooks dan Books (1993) pula menyatakan konstruktivisme berlaku apabila siswa
membina makna tentang dunia dengan mensintesis pengalaman baru pada apa yang
mereka telah faham sebelum ini. Mereka akan membentuk peraturan melalui
cerminan tentang tindak balas mereka dengan objek dan ide. Dalam teori
konstruktivisme, penekanan diberikan lebih pada siswa daripada guru. Ini karena
siswalah yang bertindak balas dengan bahan dan peristiwa dan memperoleh
kepahaman tentang bahan dan peristiwa tersebut. Justru, siswa membina sendiri
konsep dan membuat penyelesaian kepada masalah (Sushkin 1999). Pada teori
menekankan pada siswa untuk mencari cara sendiri untuk setiap penyelesaian
masalah. Sehingga dapat ditemukan cara yang sesuai dengan dirinya.
1) Teori Jean Piaget bersifat konstruktivist kognitif
Menurut Piaget perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik yaitu
proses yang didasarkan atas mekanisme biologis yaitu perkembangan sistem syaraf.
Dengan bertambahnya umur maka susunan syaraf seseorang akan semakin komplek
dan ini memungkinkan kemampuannya meningkat (Traves dalam Toeti 1992:28).
Oleh karena itu proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap
perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya. Perjenjangan ini bersifat hierarkis
yaitu melalui tahap-tahap tertentu sesuai dengan umurnya. Seseorang tidak dapat
mempelajari sesuatu diluar kemampuan kognitifnya.
Ada empat tahap perkembangan kognitif anak yaitu:
1. Tingkat Sensorimotor (0-2 tahun)
Anak mulai belajar dan mengendalikan lingkungannya melalui kemampuan panca
indra dan gerakannya. Perilaku bayi pada tahap ini semata-mata berdasarkan pada
stimulus yang diterimanya. Sekitar usia 8 bulan, bayi memiliki pengetahuan object
permanence yaitu walaupun objek pada suatu saat tak terlihat di depan matanya, tak
berarti objek itu tidak ada. Sebelum usia 8 bulan bayi pada umumnya beranggapan
benda yang tak mereka lihat berarti tak ada. Pada tahap ini, bayi memiliki dunianya
berdasarkan pengamatannya atas dasar gerakan/aktivitas yang dilakukan orang-orang
di sekelilingnya.
2. Tahap Preoporational (2-7 tahun)
Pada tahap ini anak sudah mampu berpikir sebelum bertindak, meskipun
kemampuan berpikirnya belum sampai pada tingkat kemampuan berpikir logis. Masa
2-7 tahun, kehidupan anak juga ditandai dengan sikap egosentris, di mana mereka
berpikir subyektif dan tidak mampu melihat obyektifitas pandangan orang lain,
sehingga mereka sukar menerima pandangan orang lain. Ciri lain dari anak yang
perkembangan kognisinya ada pada tahap preporational adalah ketidakmampuannya
membedakan bahwa 2 objek yang sama memiliki masa, jumlah atau volume yang
tetap walau bentuknya berubah-ubah. Karena belum berpikir abstrak, maka anak-anak
di usia ini lebih mudah belajar jika guru melibatkan penggunaan benda yang konkrit
daripada menggunakan hanya kata-kata.
3. Tahap Concrete (7-11 thn)
Pada umumnya, pada tahap ini anak-anak sudah memiliki kemampuan memahami
konsep konservasi (concept of conservacy), yaitu meskipun suatu benda berubah
bentuknya, namun masa, jumlah atau volumenya adalah tetap. Anak juga sudah
mampu melakukan observasi, menilai dan mengevaluasi sehingga mereka tidak se-
egosentris sebelumnya. Kemampuan berpikir anak pada tahap ini masih dalam bentuk
konkrit, mereka belum mampu berpikir abstrak, sehingga mereka juga hanya mampu
menyelesaikan soal-soal pelajaran yang bersifat konkrit. Aktifitas pembelajaran yang
melibatkan siswa dalam pengalaman langsung sangat efektif dibandingkan penjelasan
guru dalam bentuk verbal (kata-kata).
4. Tahap Formal Operations (11 tahun ke atas)
Pada tahap ini, kemampuan siswa sudah berada pada tahap berpikir abstrak.
Mereka mampu mengajukan hipotesa, menghitung konsekuensi yang mungkin terjadi
serta menguji hipotesa yang mereka buat. Kalau dihadapkan pada suatu persoalan,
siswa pada tahap perkembangan formal operational mampu memformulasikan semua
kemungkinan dan menentukan kemungkinan yang mana yang paling mungkin terjadi
berdasarkan kemampuan berpikir analistis dan logis.
Sehingga pada yang terakhir inilah merupakan kesempurnaan dari penerimaan
pembelajaran yang baik dan mengembangkan potensi diri yang sempurna.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap
perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut
tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan:
(1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu
terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami
urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama,
(2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental
(pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan
kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan
(3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan
(equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi
antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
2) Teori Jerome Bruner bersifat proses sosial yang aktif
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang
ditentukan oleh caranya melihat lingkungan. Tahap pertama adalah tahap enaktif,
dimana siswa melakukan aktifitas-aktifitasnya dalam usahanya memahami
lingkungan. Tahap kedua adalah tahap ikonik dimana ia melihat dunia melalui
gambar-gambar dan visualisasi verbal. Tahap ketiga adalah tahap simbolik, dimana ia
mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika dan
komunikasi dilkukan dengan pertolongan sistem simbol. Semakin dewasa sistem
simbol ini samakin dominan.
Menurut Bruner untuk mengajar sesuatu tidak usah ditunggu sampai anak
mancapai tahap perkembangan tertentu. Yang penting bahan pelajaran harus ditata
dengan baik maka dapat diberikan padanya. Dengan lain perkataan perkembangan
kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan jalan mengatur bahan yang akan
dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya. Penerapan
teori Bruner yang terkenal dalam dunia pendidikan adalah kurikulum spiral dimana
materi pelajaran yang sama dapat diberikan mulai dari Sekolah Dasar sampai
Perguruan tinggi disesuaikan dengan tingkap perkembangan kognitif mereka. Cara
belajar yang terbaik menurut Bruner ini adalah dengan memahami konsep, arti dan
hubungan melalui proses intuitif kemudian dapat dihasilkan suatu kesimpulan
(discovery learning).
3) Teori Ausubel
Menurut Ausubel belajar haruslah bermakna, dimana materi yang dipelajari
diasimilasikan secara non-arbitrari dan berhubungan dengan pengetahuan yang telah
dimiliki sebelumnya. Menurut Reilly & Lewis, (1983) ada dua persyaratan untuk
membuat materi pelajaran bermakna yaitu:
Pilih materi yang secara potensial bermakna lalu diatur sesuai dengan tingkat
perkembangan dan pengetahuan masa lalu;
Diberikan dalam situasi belajar yang bermakna;
Ausubel mengatakan bahwa ada dua jenis belajar, yaitu belajar bermakna
(meaningful learning) dan belajar menghafal (rote learning). Bahan pelajaran yang
dipelajari haruslah bermakna. Belajar bermakna adalah suatu proses di mana
informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai
seseorang yang sedang belajar. Belajar akan bermakna bila siswa mengaitkan
informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif
seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep konsep dan generalisasi-
generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa.
Lebih lanjut Ausubel (dalam Kartadinata, 2001) mengemukakan, seseorang
belajar dengan mengasosiasikan fenomena, pengalaman dan fakta-fakta baru ke
dalam skemata yang telah dipelajari.
4) Konstruktivisme Psikologis Sosiokultural Menurut Vygotsky
Hal terpenting dari teori ini adalah pentingnya interaksi antara aspek internal dan
eksternal pembelajaran dengan menekankan aspek lingkungan sosial pembelajaran.
Vygotsky yakin bahwa pembelajaran terjadi ketika siswa bekerja menangani tugas-
tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas itu masih berada dalam jangkauan
kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona perkembangan proksimal
(zone of proximal development).
Sumbangan teori Vigotsky adalah penekanan pada bakat sosio budaya dalam
pembelajaran. Menurutnya, pembelajaran terjadi ketika siswa bekerja dalam zona
perkembangan proksima (zone of proximal development). Zona perkembangan
proksima adalah tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan
seseorang pada ketika pembelajaran berlaku. Secara terperinci, yang dimaksudkan
dengan “zona per-kembangan proksima” adalah jarak antara tingkat per-kembangan
sesungguhnya dengan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan
sesungguhnya adalah kemampuan pemecahan masalah secara mandiri sedangkan
tingkat per-kembangan potensial adalah kemampuan pemecahan masalah di bawah
bimbingan orang dewasa melalui kerja sama dengan rakan sebaya yang lebih mampu.
Oleh yang demikian, maka tingkat perkembangan potensial dapat disalurkan melalui
model pembelajaran koperatif.
Ide penting lain juga diturunkan Vygotsky ialah konsep pemenaraan (scaffolding)
(Nur 2000), yaitu memberikan sejumlah bantuan kepada siswa pada tahap-tahap awal
pembelajaran, kemudian menguranginya dan memberi kesempatan kepada siswa
untuk mengambil alih tanggungjawab sekadar yang mereka mampu. Bantuan tersebut
berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah pada langkah-langkah
pemecahan, memberi contoh ataupun hal-hal lain yang memungkinkan siswa tumbuh
sendiri.
Vygotsky mengemukakan hukum dan beberapa konsep Sebagai berikut:
a. Konsep Spontan
Konsep spontan adalah hasil generalisasi dan internalisasi pengalaman pribadi
sehari-hari. Konsep spontan tidak diperoleh melalui pembelajaran secara sistematis,
sehingga bisa keliru.
b. Konsep Ilmiah
Konsep ilmiah adalah generalisasi atas pengalaman manusia yang dibakukan
dalam ilmu pengetahuan dan diajarkan melalui pembelajaran yang sistematis,
sehingga lebih terjamin kebenarannya
c. Hukum Genetik dari Perkembangan (Genetic Law of Development)
Menurut Vygotsky setiap kemampuan pembelajar tumbuh dan berkembang
melewati dua tataran. Pertama tataran sosial. Pada tataran ini pengetahuan dibangun
melalui interaksi sosial di antara orang-orang yang membentuk lingkungan sosial
pembelajar. Tumbuh kembangnya kemampuan pembelajar pada tataran ini disebut
sebagai kategori interpsikologis atau intermental. Kedua tataran psikologis di dalam
diri pembelajar. Pada tataran ini terjadi proses internalisasi, sehingga terbangun
konsep baru. Tumbuh kembangnya kemampuan pembelajar pada tataran ini disebut
sebagai kategori intrapsikologis atau intramental.
d. Zone of Proximal Development (ZPD)
ZPD dapat dipandang sebagai sejenis wilayah penyangga di mana dalam
wilayah ini pembelajar dapat mencapai taraf perkembangan yang lebih tinggi. Dalam
wilayah ini, fungsi-fungsi atau kemampuan-kemampuan yang belum matang namun
sedang dalam proses menjadi matang, akan menjadi matang lewat interaksi dan
bimbingan orang dewasa atau berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih
kompeten.
e. Scaffolding
Pada ZPD seorang pembelajar membutuhkan bimbingan, bantuan dari orang
dewasa atau teman sebaya yang lebih kompeten agar dapat mencapai taraf
perkembangan yang lebih tinggi. Proses membimbing dan membantu ini disebut
scaffolding atau topangan.
f. Mediasi
Interaksi sosial dapat berlangsung jika dimediasikan dengan alat-alat
psikologis (psychological tools) berupa bahasa, tanda dan lambang atau semiotika.
Vygotsky sangat menekankan fungsi mediasi dari bahasa.
BAB III
KESIMPULAN
A. SIMPULAN
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami
bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu
berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.
Siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya
berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak
diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu
pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
1) Teori Jean Piaget bersifat konstruktivist kognitif :
a. Sensorimotor (0-2 tahun)
b. Pre-operations (3-7 tahun)
c. Concrete operations (8-11 tahun)
d. Formal operations (12-15 tahun)
2) Teori Jerome Bruner bersifat proses sosial yang aktif:
- pelajar bina idea atau konsep baru berdasarkan pengetahuan yang lalu &
sedia ada.
- Pelajar pilih maklumat, bina hipotesis, & buat keputusan dlm proses
mengintegrasikan & menyusun pengalaman mereka ke dalam struktur
mental yang sedia ada.
3) Teori Ausubel
- Melihat pembelajaran bermakna berlaku tidak semestinya secara
pembelajaran penemuan tetapi lebih kpd pembelajaran ekspositori.
- Pelajar belajar secara proses deduktif iaitu membina konstruk secara
menyusun maklumat daripada keseluruhan kepada spesifik.
4) Konstruktivisme Psikologis Sosiokultural Menurut Vygotskya. Konsep Spontanb. Konsep Ilmiahc. Hukum Genetik dari Perkembangan (Genetic Law of Development)d. Zone of Proximal Development (ZPD)e. Scaffoldingf. Mediasi
DAFTAR PUSTAKA
http://www.teachersrock.net/teori_kon.htm
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/08/20/teori-belajar-konstruktivisme/
http://anwarholil.blogspot.com/2008/04/teori-belajar-konstruktivisme.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_perkembangan_kognitif
http://massofa.wordpress.com/2008/09/12/677/
http://veronikacloset.files.wordpress.com/2010/06/konstruktivisme.ppt
http://file.upi.edu/Direktori/B%20-%20FPIPS/JUR.%20PEND.%20SEJARAH/
195704081984031%20-%20DADANG%20SUPARDAN/MAKALAH
%20%20KONSTRUKTIVISM1.pdf
http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2035486-pandangan-
konstruktivisme-tentang-belajar-dan/
TUGAS MATA KULIAH TEKNOLOGI PEMBELAJARAN
“TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME”
Disusun oleh:
1. Amelia Rachmawati (K4309008)
2. Anisa Yosa PEP (K4309009)
3. Fila Istina Machid (K4309031)
4. Nurul Qomariyah (K4309061)
5. Triyatni (K4309081)
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
2010
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur selalu kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Berkat limpahan
karunia-Nya serta anugerah yang diberikan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik dan lancar.
Kami membuat makalah yang berjudul “Teori Belajar Konstruktivisme” ini sebagai
tugas dalam mata kuliah Teknologi Pembelajaran.
Kami menyadari bahwa makalah ini tidak akan selesai dengan baik dan lancar tanpa
saran dan batuan dari semua pihak. Untuk itu, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Suciati sebagai dosen dari mata kuliah Teknologi Pembelajaran.
2. Orang tua kami yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada kami selama ini.
3. Teman-teman prodi Pendidikan Biologi Angkatan 2009.
4. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.
Penyusun mengakui dan menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna,
tetapi harapan kami makalah ini dapat membagi ilmu kami yang hanya sedikit ini. Dan
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, agama, bangsa dan negara ini. Dan karena
kekurangan yang ada pada makalah ini, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun.
Surakarta, 5 Desember 2010
Penyusun
Top Related