Download - TB-paru-BTA +

Transcript
Page 1: TB-paru-BTA +

TB Paru

I. PENDAHULUAN

Tuberkolosis paru (TB) adalah seuatu penyakit infeksi kronik yang sudah

sangat lama dikenal pada manusia, misalnya dia dihubungkan dengan tempat tinggal di

daerah urban, lingkungan yang padat, dibuktikan dengan adanya penemuan kerusakan tulang

vertebra torak yang khas TB dari kerangka yang digali di Heidelberg dari kuburan zaman

neolitikum, begitu juga penemuan yang berasal dari mumi dan ukiran dinding piramid di

Mesir kuno pada tahun 2000-4000SM. Hipokrates telah memperkenalkan terminologi

phthisis yang diangkat dari bahasa Yunani yang menggambarkan tampilan TB paru ini (Amin

& Bahar, 2009). TB paru adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tubercolosis. Kuman batang aerobik dan tahan asam ini, dapat merupakan

organisme patogen maupun saprofit. Basil tuberkel ini berukuran 0,3x2 sampai 4mm, ukuran

ini lebih kecil daripada sel darah merah (Price, 2006).

Pada permulaan abad 19, insidensi penyakit tuberkolosis di Eropa dan Amerika

Serikat sangat besar. Angka kematian cukup tinggi yakni 400 per 100.000 penduduk, dan

angka kematian berkisar 15-30% dari semua kematian. Robert Koch mengidentifikasi basil

tahan asam M. tuberculosis untuk pertama kali sebagai bakteri penyebab TB dan

mendemonstrasikan bahwa basil ini bisa dipindahkan kepada binatang yang rentan, yang

akan memenuhi kriteria postulat Koch yang merupakan prinsip utama dari patogenesis

mikrobial (Amin & Bahar, 2009).

Pada tahun 1998, terdapat 18.361 kasus baru TB yang dilaporkan ke CDC.

Diperkirakan 10-15 juta orang akan terinfeksi TB. Lebih dari 80% kasus paru TB yang

dilaporkan pada tahun 1998 adalah berusia lebih dari 25 tahun, dan kebanyakan dari mereka

terinfeksi di masa lalu. Kira-kira 5-100 populasi yang baru terinfeksi akan berkembang

19

Page 2: TB-paru-BTA +

menjadi TB paru 1-2 tahun setelah terinfeksi (Price, 2006). Angka kejadian TB di Indonesia

menempati urutan ketiga terbanyak di dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan setiap

tahun terdapat 528.000 kasus TB baru dengan kematian sekitar 91.000 orang. Prevalensi TB

di Indonesia pada tahun 2009 adalah 100 per 100.000 penduduk dan TB terjadi pada lebih

dari 70% usia produktif (15-50 tahun) (WHO, 2010).

II. DEFINISI

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium

tuberculosis (Depkes, 2007). Menurut Bahar (2001) tuberkulosis paru adalah tuberkulosis

yang menyerang paru termasuk pleura dan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh

mycobacterium tuberculosis kompleks (Bahar, 2001).

III. EPIDEMIOLOGI

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia

ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis

sebagai “ Global Emergency” . Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8

juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil

Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan

menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari

seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per

100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per

100.000 pendduduk.9

Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap

tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB

terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per

20

Page 3: TB-paru-BTA +

100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000

penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus

TB yang muncul.9

Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India

dan China. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat

TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan

merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan

akut pada seluruh kalangan usia.9

Berikut ini adalah gambaran penyebaran penyakit Tuberkulosis di seluruh dunia

Gambar 1. Penyebaran Penyakit Tuberkulosis di Seluruh Dunia10

IV. ETIOLOGI

Penyakit TB disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium

tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak

berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Dinding M.

tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama

21

Page 4: TB-paru-BTA +

dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa

dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam

virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 – C90) yang

dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh

jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah

polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks

tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali

diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan

asam–alkohol (Jawetz, 2008).

Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid,

polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan

menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat

molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitifitas dan

spesifisitas yang berfariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen

M.tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik).

Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a,

protein MTP 40 dan lain lain (PDPI, 2002).

V. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

1. Patogenesis

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya

yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat

mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis

non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup

menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag

22

Page 5: TB-paru-BTA +

tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.

Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni

di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer

GOHN (Werdhani, 2002).

Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe

regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.

Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di

kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah

atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika

fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks

primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar

(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis) (Werdhani, 2002).

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami

resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis

perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan

enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan

paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini

(Werdhani, 2002).

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat

disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat

membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan

yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga

meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang

mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang

berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal

23

Page 6: TB-paru-BTA +

dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan

dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB

endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada

bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut

sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi (Werdhani, 2002).

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi

penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke

kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran

hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.

Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit

sistemik (Werdhani, 2002).

Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran

hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar

secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman

TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju

adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru

sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan

bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan

membatasi pertumbuhannya (Werdhani, 2002).

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh

imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus ini umumnya tidak

langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus

potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya

tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit

TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain (Werdhani, 2002).

24

Page 7: TB-paru-BTA +

Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata

akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB

masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan

timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB

diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit

bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya

penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu

(host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita (Werdhani, 2002).

Gambar 2. Patogenesis Tuberkulosis (Widodo, 2004).

2. Patofisiologi

a. Batuk Berdarah

25

Page 8: TB-paru-BTA +

Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan hipervaskularisasi dari

cabang-cabang arteri bronkialis yang berperanan untuk memberikan nutrisi pada jaringan

paru bila terjadi kegagalan arteri pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk

pertukaran gas. Terdapatnya aneurisma Rasmussen pada kaverna tuberkulosis yang

merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe masih diragukan. Teori terjadinya

perdarahan akibat pecahnya aneurisma dari Ramussen ini telah lama dianut, akan tetapi

beberapa laporan autopsi membuktikan bahwa terdapatnya hipervaskularisasi bronkus

yang merupakan percabangan dari arteri bronkialis lebih banyak merupakan asal dari

perdarahan pada hemoptoe (Rab, 2006).

b. Berkeringat malam hari

Keluarnya mediator-mediator inflamasi seperti TNF α yang berlabihan

dikarenakan ada infeksi bakteri akan menyebabkan hipotalamus meningkatkan set point

suhu tubuh sesaat, terjadilah demam. Untuk mempertahankan panas supaya tidak keluar

terjadi vasokonstriksi PD, tubuh menahan panas dengan cara menggigil untuk

menghasilkan panas tambahan. Gigil berhenti, set point suhu tubuh kembali normal,

26

Page 9: TB-paru-BTA +

Mekanisme pembersihan tidak efektif

Penggunaan otot abdomen

Reaksi radang

Inhalasi droplet

Bakteri ke alveolus

Sekret >>>

Reflek batuk

Nafsu makan ↓kenyang

↑ hormon leptin Mual, muntah

Reflek vagal

kemudian terjadi vasodilatasi. Hilangnya panas ke lingkungan dikeluarkan melalui

keringat (Dinarello and Bunn, 1997).

3. Penurunan Nafsu Makan

4. Berat Badan Menurun

27

M. tuberculosis

Inhalasi droplet

Bakteri mencapai alveolus

Basil berdistribusi (bakterimia)

Merangsang IL-1

Zat endogenpirogen

Prostaglandin

Page 10: TB-paru-BTA +

5. Suara ronkhi basah halus

Crackles halus atau ronki basah halus, disebabkan oleh terbukanya alveoli yang

tertutup waktu ekspirasi sebelumnya secara tiba-tiba, mungkin disebabkan tekanan antara

jalan nafas yang terbuka dengan yang menutup dengan cepat menjadi sama sehingga jalan

nafas perifer mendadak terbuka. Bunyi ini terjadi saat inspirasi, yang dapat terjadi saat

jalan nafas perifer mendadak terbuka pada waktu daerah-daerah kolaps (atelektasis)

terinflasi. Ronki basah halus yang terdengar pada daerah basal paru menunjukkan adanya

edema paru. Pada pneumonia lebih spesifik bila bunyi gemereletak ini didapatkan pada

akhir inspirasi (atau yang disebut krepitasi).

6. Suara ronkhi basah kasar

28

Berdistribusi ke hipotalamus

Menggeser set point anterior dari titik normal

Respon menggigil

Peningkatan suhu tubuh

Inefektif termoregulator

Peningkatan metabolisme tubuh pada penderita TB

Pemecahan cadangan makanan

Kebutuhan sel meningkat, nutrisi kurang dari tubuh

BB turun

Page 11: TB-paru-BTA +

Crackles kasar atau ronki basah kasar khas terjadi karena disebabkan oleh tekanan

inspirasi yang tinggi yang menyebabkan terjadinya pemasukan udara yang cepat ke dalam

unit-unit udara distal sehingga terjadi pembukaan yang cepat dari alveoli dan bronkus

yang mengandung sekret yang tertahan.

VI. KLASIFIKASI

Klasifikasi TB Paru berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu:

1. TB paru BTA positif

a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan

gambaran TB.

c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.

d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada

pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah

pemberian antibiotika non OAT.

2. TB paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB

paru BTA negatif harus meliputi:

a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif

b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran TB.

c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, dibagi menjadi:

29

Page 12: TB-paru-BTA +

1. Baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah minum

kurang dari 1 bulan

2. Kambuh (Relaps)

Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah

dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA

positif (apusan atau kultur).

3. Pengobatan setelah putus berobat (Default)

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA

positif.

4. Gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi

positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

5. Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari sarana pelayanan kesehatan yang memiliki

register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.

6. Lain-lain:

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini

termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif

setelah selesai pengobatan ulangan.

7. TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal,

default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan

secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis

spesialistik. (Permenkes RI, 2009).

VII. DIAGNOSIS

30

Page 13: TB-paru-BTA +

1. Anamnesis

Dari anamnesis bisa didapatkan gejala sebagai berikut:

a. Batuk > 2 minggu

b. Rasa nyeri pada dada

c. Sesak nafas

d. Batuk darah

e. Dahak berwarna kuning-kehijauan

f. Keringat pada malam hari

g. Demam

h. Malaise

i. Keringat malam

j. Anoreksia

k. Berat badan menurun

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan

konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus

atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu

kelainan pun terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik.

Secara anamnesis dan pemeriksaan fisik, TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa

(Amin & Bahar, 2009).

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Bakteriologik

Pemeriksaan bakeriologik merupakan salah satu hal yang penting dalam

penegakan diagnosis TB. Bahan untuk pemeriksaan ini dapat menggunakan dahak,

cairan pleura,dan bilasan bronkus. Cara pengambilan dahak dilakukan 3 kali yaitu

31

Page 14: TB-paru-BTA +

sewaktu, pagi, sewaktu (SPS). Penilaian tingkat infeksi TB berdasarkan hasil

pemeriksaan sputum menurut IUAT (International Union Against Tuberculosis)

adalah sebagai berikut:

1) Positif 1 (+) : ditemukan 10 – 99 sel BTA / 100 LP

2) Positif 2 (+ +) : ditemukan 1 – 10 sel BTA / 1 LP

3) Positif 3 (+ + +) : ditemukan lebih dari 10 sel BTA / 1 LP

b. Pemeriksaan Radiologis

Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk

menemukan lesi tuberkolosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih

dibandingkan pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal ia memberikan

keuntungan. Pada kasus TB anak dan TB milier, diagnosis dapat diperoleh melalui

pemeriksaan radiologis thorax, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif

(Amin & Bahar, 2009).

Secara patologis, manifestasi dini TB paru biasanya berupa suatu kompleks

kelenjar getah bening parenkim. Pada orang dewasa, segmen apeks dan posterior

lobus atas atau segmen superior lobus bawah merupakan tempat-tempat yang sering

menimbulkan lesi yang terlihat homogen dengan densitas yang lebih pekat (Price,

2006).

c. Tes Tuberkulin Intradermal (Mantoux)

Teknik standar (tes Mantoux) adalan dengan menyuntikkan tuberkulin (PPD)

sebanyak 0,1ml yang mengandung 5 unit (TU) tuberkulin secara intrakutan, pada

sepertiga atas permukaan volar atau dorsal lengan bawah setelah kulit dibersihkan

dengan alkohol. Untuk memperoleh reaksi kulit yang maksimum diperlukan waktu

antara 48-72jam sesudah penyuntikan dan reaksi harus dibaca dalam periode tersebut,

yaitu dalam cahaya yang terang dan posisi lengan bawah sedikit ditekuk (Price, 2006).

32

Page 15: TB-paru-BTA +

d. Pemeriksaan Laboratorium Darah

Pada saat tuberkolosis baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang

sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di

bawah normal. Laju endap darah mulai meningkat (Amin & Bahar, 2009).

Hasil dari pemeriksaan lab darah juga bisa didapatkan (namun nilainya tidak

spesifik):

1) Anemia ringan dengan gambaran normokrom dan normositer

2) Gama globulin meningkat

3) Kadar natrium darah menurun

4. Gold Standar Diagnosis

Gold standar untuk TB aktif adalah pemeriksaan biakan karena masih sangat sensitif.

Pemeriksaan biakan harus dilakukan pada semua sediaan. Mikobakteri tumbuh lambat dan

membutuhkan suatu media yang kompleks. Koloni matur, akan berwarna krem atau

kekuningan, seperti kutil dan bentuknya seperti kembang kol. Jumlah sekecil 10 bakteri/ml

media konsentrat yang telah diolah dapat dideteksi oleh media biakan ini (Price, 2006).

33

Page 16: TB-paru-BTA +

Gambar 3. Alur Diagnosis TB (PDPI, 2006).

VIII. PENATALAKSANAAN

Tujuan pengobatan TB adalah sebagai berikut:

1. Menyembuhkan penderita

2. Mencegah kematian

3. Mencegah kekambuhan

4. Menurunkan risiko penularan

Prinsip pengobatan TB adalah sebagai berikut:

1. Tahap Intensif

Diberikan tiap hari dengan pengawasan yang sangat ketat untuk mencegah adanya

kekebalan obat

34

Page 17: TB-paru-BTA +

2. Tahap lanjutan

Diberikan setiap 3x/minggu untuk membunuh kuman agar tidak kambuh

Berdasarkan penggunaanya OAT dibedakan menjadi dua :

1. Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid.

Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir,

sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini.

2. Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin, Kapreomisin dan

Kanamisin.

Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:

1. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas

Paduan obat yang dianjurkan :

a. 2 RHZE / 4 RH atau

b. 2 RHZE / 4R3H3 atau

c. 2 RHZE/ 6HE.

Paduan ini dianjurkan untuk:

a. TB paru BTA (+), kasus baru

b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas.

2. TB paru kasus kambuh

Pada TB paru kasus kambuh menggunakan 5 macam OAT pada fase intensif

selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji

resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 5 bulan atau lebih, sehingga paduan obat yang

diberikan : 2 RHZES / 1 RHZE / 5 RHE. Bila diperlukan pengobatan dapat diberikan

lebih lama tergantung dari perkembangan penyakit. Bila tidak ada / tidak dilakukan uji

resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (P2 TB).

35

Page 18: TB-paru-BTA +

3. TB Paru kasus gagal pengobatan

Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi dengan menggunakan

minimal 5 OAT (minimal 3 OAT yang masih sensitif), seandainya H resisten tetap

diberikan. Lama pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun. Sambil menunggu hasil uji

resistensi dapat diberikan obat 2 RHZES, untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji

resistensi.

a. Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat :

2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (P2TB)

4. TB Paru kasus putus berobat

Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai

dengan kriteria sebagai berikut :

a. Berobat 4 bulan, BTA saat ini negatif , klinik dan radiologik tidak aktif / perbaikan,

pengobatan OAT STOP. Bila gambaran radiologik aktif, lakukan analisis lebih lanjut

untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan

penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan

paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika telah

diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal.

b. Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan

obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika telah diobati

dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal.

c. Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan klinik dan radiologik

positif: pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama.

36

Page 19: TB-paru-BTA +

Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT

Pemantauan Hasil Pengobatan TB:

1. Akhir fase intensif :

Kategori I & III 1 minggu sebelum akhir bulan ke-2

Kategori II 1 minggu sebelum akhir bulan ke-3

2. Sebulan sebelum akhir pengobatan :

Untuk menilai hasil pengobatan pada kategori I & II

3. Akhir pengobatan :

Untuk menilai hasil pengobatan pada kategori I & II

Pemeriksaan ulang BTA 2 X (SP)

Hasil BTA 2x (-) : disebut negatif

Hasil BTA 1x / 2x (+) : disebut positif

Edukasi yang perlu diberikan pada pasien dan keluarga adalah sebagai berikut:

1. Jauhi dan bentuk lingkungan yang dapat meminimalisir faktor-faktor risiko penyebab TB

dan penyulit untuk penyembuhan TB, seperti keadaan rumah yang lembab, asupan

makanan yang bergizi, dsb.

2. Edukasi pasien agar selalu rutin meminum obat secara teratur untuk proses kesembuhan

yang maksimal.

37

Page 20: TB-paru-BTA +

3. Himbau pasien untuk tidak menularkan penyakitnya ke orang sekitarnya dengan cara

tidak batuk sembarangan, menutup mulut disaat batuk, dan tidak membuang dahak ke

sembarang tempat.

4. Edukasi PMO untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Pengawas Minum Obat (PMO)

sendiri adalah salah satu komponen dari DOTS yang berfungsi sebagai pengawasan

langsung kepada pasien untuk menjamin keteraturan pengobatan pasien.

Persyaratan PMO antara lain sebagai berikut:

a. Seseorang yang dikenal, dipercayai dan disetujui petugas/ penderita juga disegani,

dihormati oleh penderita

b. Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita

c. Bersedia membantu penderita dengan sukarela

d. Bersedia dilatih atau mendapat penyuluhan bersama penderita

Tugas PMO adalah:

a. Mengawasi penderita rutin minum obat sampai sembuh

b. Memotivasi penderita agar minum obat teratur

c. Mengingatkan penderita untuk control/ periksa dahak

d. Memberikan penyuluhan, mencari suspek TB, dan menganjurkan/ membawa ke petugas

kesehatan

Informasi yang disampaikan PMO ke pasien dan orang sekitarnya adalah:

a. TB bukan penyakit keturunan atau kutukan

b. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur

c. Pengobatan tahap intensif dan lanjutan

d. Pentingnya berobat secara teratur

e. Efek samping, dan tindakannya

f. Cara penularan dan pencegahan.

38

Page 21: TB-paru-BTA +

IX. PROGNOSIS

Pasien yang tidak diobati setelah 5 tahun akan (Depkes, 2005):

1. 50% meninggal

2. 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi

3. 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular.

X. KOMPLIKASI

Komplikasi Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan

komplikasi seperti: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis,TB usus. Menurut Dep.Kes

(2003) komplikasi yang sering terjadi pada penderita TB Paru stadium lanjut:

1. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan

kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.

2. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.

3. Bronkiectasis dan fribosis pada Paru.

4. Pneumotorak spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan Paru.

5. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya.

6. Insufisiensi Kardio Pulmoner.

XI. KESIMPULAN

1. Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis.

2. Berdasarkan hasil pemeriksaan sputum TB diklasifikasikan menjadi TB BTA positif dan

negatif.

3. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya TB diklasifikasikan menjadi TB kasus baru,

kambuh (relaps), putus berobat (default), gagal (failure), pindahan (transfer in) dan lain-

lain yang tidak memenuhi kriteria sebelumnya.

39

Page 22: TB-paru-BTA +

4. Penegakkan diagnosis TB dapat dilakukan melalui anamnesi, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang.

5. Gold standar untuk penegakkan diagnosis TB adalah pemeriksaan biakan.

6. Tujuan pengobatan kasus TB adalah menyembuhkan penderita, mencegah kematian,

mencegah kekambuhan dan menurunkan risiko penularan.

40

Page 23: TB-paru-BTA +

DAFTAR PUSTAKA

1. Amin, Z., A. Bahar. 2009. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

2. Bahar, A. 2001. Tuberkulosis Paru dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3.Jakarta: FKUI

3. Depkes R.I. 2003. Prosedur Tetap Pencegahan dan Pengobatan Tuberkulosis pada

Orang dengan HIV/AIDS. Depkes. RI. Jakarta.

4. Depkes RI, Ditjen PP & PL. 2005. Manual Pemberatasan Penyakit Menular.

5. Depkes RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.

6. Jawetz. 2008. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 23. Jakarta: EGC.

7. PDPI. 2002. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.

Jakarta.

8. PDPI. 2006. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.

Jakarta.

9. Price, A. Wilson. L. 2006. M. Tuberkulosis Paru dalam Patofisiologi Konsep

Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi VI. Jakarta: EGC.

10. Werdhani, Retno Asti. 2002. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi

Tuberkulosis. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, Dan Keluarga.

Jakarta: FKUI

11. Widodo, Eddy. 2004. Upaya Peningkatan Peran Masyarakat Dan Tenaga Kesehatan

Dalam Pemberantasan Tuberkulosis. Bogor: IPB.

.

.

41