i
STUDI KASUS PERUSAHAAN MULTINASIONAL DALAM
POLITIK GLOBAL :
ANALISIS PENYEBAB TERJADINYA KETIMPANGAN RELASI
KUASA ANTARA PEMERINTAH DAERAH BADUNG DENGAN
INTERNATIONAL CHAIN HOTEL DALAM MENYIKAPI
KASUS KRISIS AIR BERSIH DI KABUPATEN BADUNG
TAHUN 2011-2018
OLEH
Putu Ratih Kumala Dewi, S.H., M.Hub.Int.
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
ii
DAFTAR ISI
COVER………………………………………………………………………………..i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………ii
KATA PENGANTAR………………………………………………………………iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang……………………………………….………………….…...1
1.2 Rumusan Masalah……………….…………………….………………….….5
1.3 Tujuan Penulisan………………………………………………………….….5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Neo-Marxisme dan Relasi Kuasa ………………………………………………. 6
2.2 Ancaman Krisis Air Bersih dan operasional International Chain Hotel di
Bali…………………………….……………………………………………….… 8
BAB III KESIMPULAN
1.1 Kesimpulan………………………………………………………………........... 23
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………… 25
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala rahmat-NYA makalah
yang berjudul STUDI KASUS PERUSAHAAN MULTINASIONAL DALAM POLITIK
GLOBAL : ANALISIS PENYEBAB TERJADINYA KETIMPANGAN RELASI KUASA
ANTARA PEMERINTAH DAERAH BADUNG DENGAN INTERNATIONAL CHAIN
HOTEL DALAM MENYIKAPI KASUS KRISIS AIR BERSIH DI KABUPATEN
BADUNG TAHUN 2011-2018 ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa penulis juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya dalam penyelesaian makalah ini.
Dan harapan penulis semoga makalah yang disusun untuk bahan ajar pada mata kuliah
Perusahaan multinasional dalam politik global ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, selain itu untuk ke depannya semoga dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah ini agar menjadi lebih baik lagi dari yang sekarang dan dapat
berkembang menjadi diktat atau buku ajar. Karena keterbatasan pengetahuan maupun
pengalaman, penulisi yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca sekalian
demi kesempurnaan makalah ini.
Denpasar ,20 Oktober 2018
Penyusun
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dari waktu ke waktu perekonomian dunia telah mengalami berbagai
perkembangan yang cukup pesat. Salah satu bukti perkembangan perekonomian dunia
yaitu dengan munculnya aktor baru dalam perekonomian internasional yaitu MNCs atau
Multi-National Company. Salah satu MNCs yang berada di Bali adalah International
Chain Hotel (ICH), International Chain Hotel merupakan hotel yang headquarternya
berada di luar negeri dan biasanya memiliki anak cabang di negara lainnya. Rata-rata
pembangunan International Chain Hotel bertambah dua kali lipat setiap tahunnya. Hal
tersebut berakibat pada penggunaan air semakin bertambah kuantitasnya. Saat ini
penggunaan air tanah saja sudah mencapai batas maksimal dimana melebihi angka
28.867.200m3 setiap tahun. Masyarakat Badung hanya memakai sebanyak 7.661.000m
3
dan sisanya digunakan oleh akomodasi pariwisata termasuk International Chain Hotel.
Padahal maksimal pemakaian air tanah hanya 25.800.000m3. Maka dari itu pemakaian
air tanah telah melebihi batas maksimal sebanyak 3.067.200m3. Dimana pemakai
terbanyak berada di wilayah Badung seperti Kecamatan Kuta dan Kuta Selatan (K22,
NusaBali, 2018). Banyaknya penggunaan air tidak serta merta membuat kebutuhan akan
air menjadi cukup, saat ini Badung masih mengalami kekurangan air bersih. Di Badung
tingkat kekurangan air bersih mencapai 163 liter per detik. Hal tersebut sejalan dengan
semakin meningkatkan jumlah pembangunan International Chain Hotel dan akomodasi
penunjang pariwisata yang tidak terkontrol (Travelnews, 2018).
2
Pembangunan International Chain Hotel yang diikuti oleh konsumsi air bersih
dalam jumlah besar menjadi salah satu faktor terjadinya krisis air bersih di Kabupaten
Badung. Meningkatnya jumlah pembangunan International Chain Hotel di Badung
menimbulkan suatu kompetisi antara International Chain Hotel dengan masyarakat
sekitar. Dalam memenuhi kebutuhan air bersih, hotel berbintang menggunakan tiga
jenis sumber air, yaitu air dari PDAM, air tanah dan air olahan limbah. Data Bali
International Chain Hotel Association (BHA) dan Howarth HTL memperlihatkan
bahwa semakin mahal atau semakin banyak bintang International Chain Hotel maka
penggunaan air pun semakin tinggi. International Chain Hotel dengan tariff US $440
mengkonsumsi air lebih 4m3 atau 4.000 liter per orang. Sedangkan International Chain
Hotel dengan harga kurang dari US $59, mengonsumsi air hampir 1.000 liter per
orangnya. Angka tersebut jauh dari data konsumsi air masyarakat yang hanya 183 liter
per hari (Suriyani, 2018).
Masalah air kemudian juga menjadi serius dengan munculnya pariwisata yang
pada saat ini telah menjadi salah satu sektor penting bagi pelaksanaan pembangunan di
tingkat lokal, regional dan Internasional yang dapat memberikan peningkatan bagi
pendapatan devisa negara, memperluas lapangan kerja, dan memperkenalkan alam dan
kebudayaan Indonesia kepada masyarakat dunia. Manajemen pengelolaan air juga
menimbulkan sejumlah konflik di beberapa negara tak terkecuali Bali yang sedang
dalam peningkatan populasi dan tekanan pariwisata, termasuk Kabupaten Badung.
Melihat data ini tentu adanya dampak dengan jumlah pemakaian air yang dibutuhkan.
Dampaknya terhadap kuantitas dan kondisi air, baik itu air irigasi maupun air bersih
yang ditandai dengan berbagai permasalahan.
3
Air merupakan sumber penting bagi seluruh kehidupan di dunia dengan kata lain
air adalah “organ di dunia”. Bahkan isu tentang air bukan menjadi isu baru lagi,
awalnya terdapat dua hal penting yang berkaitan tentang air yaitu bahwa eksploitasi
yang terkait dengan lingkungan dapat menghentikan pertumbuhan ekonomi. Kedua
tentang adanya krisis pangan, sehingga dilakukan upaya menjamin kecukupan pangan
yang serasi dengan pembaharuan kembali sumber daya alam termasuklah sumber daya
air (Trisnawati, 2010). Bahkan baru-baru ini Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-
bangsa (PBB) memperingatkan bahwa dunia dalam bahaya krisis air global. Laporan
bersama Bank Dunia dan PBB menyatakan saat ini 40 persen populasi dunia mengalami
kelangkaan air. Laporan yang disusun berdasarkan penelitian selama dua tahun tersebut
mengatakan 700 juta orang akan menderita akibat kelangkaan air parah (CNN
Indonesia, 2018). Bertajuk "An Agenda for Water Action", dokumen tersebut
merupakan kumpulan hasil panel tinggi soal air. Dokumen tersebut berisikan bahwa
ekosistem basis kehidupan, keamanan pangan, keberlanjutan energi, kesehatan
masyarakat, pekerjaan, kota semua terancam apabila tidak ada pengelolaan air yang
baik dimulai dari sekarang
Untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat Badung membeli tangki air
dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Mangutama dengan harga satu
tangki berukuran 5000 liter seharga Rp.250.000 sampai Rp.300.000, namun apabila
jarak rumah lebih jauh maka harga akan semakin mahal. Sebanyak 100 Kepala
Keluarga (KK) di Pecatu membeli air bersih dan menghabiskan dana sebesar 3 juta
setiap bulannya. Tak hanya di Pecatu, masyarakat di kawasan Badung lainnya juga
membeli air dengan rincian Kuta Selatan 12.491 pelanggan, Kuta Utara 23.950
pelanggan, Kuta 16.878 pelanggan, Abiansemal 6.366 pelanggan, Mengwi 3.932
4
pelanggan, dan Petang 2.878 pelanggan (Denpost 2018). Pihak PDAM bahkan mengaku
bahwa mereka sampai membeli air dari sistem penyediaan air minum kabupaten
lainnya. Hasil-hasil penelitian tentang air dari para ahli lingkungan, ahli ilmu sosial
budaya, atau peneliti kaitan air dan pariwisata. Hasil penelitian mereka biasanya
menegaskan bahwa air telah tercemar, sumur penduduk mengalami instrusi air laut, air
sumur penduduk melampaui baku mutu air kelas I, krisis air sudah di depan mata, dan
industri pariwisata mengkonsumsi air lebih banyak dari penduduk local. Kelangkaan air
ini merupakan masalah penting, khususnya di Badung yang banyak digunakan oleh
International Chain Hotel. Masalah air sering terjadi baik antara masyarakat lokal,
International Chain Hotel dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Guna mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah telah melakukan beberapa
upaya, seperti pengolahan air limbah domestik melalui Pilot Test Unit di Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL) Suwung, optimalisasi IPAL PT. BTDC untuk
mengelola dan mengolah limbah domestik yang berasal dari akomodasi pariwisata di
bawah naungan PT. BTDC, membangun bendungan dan waduk air, serta melakukan
optimalisasi Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Sementara, International Chain
Hotel melakukan upaya pengolahan limbah domestik untuk kebutuhan internal dan
memberikan sumbangan sosial ke masyarakat. Anomali yang terjadi kemudian adalah,
adanya ketimpangan relasi kuasa dimana hingga saat ini belum ada upaya bersama
antara kedua pemangku kepentingan tersebut untuk mengatasi masalah gejala krisis air
bersih di Badung. Padahal akar permasalahannya adalah International Chain Hotel yang
semakin banyak menyerap air, namun pemerintah seakan menutup mata dengan adanya
fakta tersebut.
5
1.2 Rumusan Masalah
Apa penyebab terjadinya ketimpangan relasi kuasa antara pemerintah daerah Badung
dengan International Chain Hotel dalam menyikapi permasalahan krisis air bersih di
Kabupaten Badung Tahun 2011-2018?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penelitian
Dalam membuat penelitian ini penulis memiliki tujuan eksplorasi. Tujuan eksplorasi
yaitu mencari penyebab dari permasalahan krisis air dan ketimpangan relasi kuasa,
kemudian memberikan informasi bahwa dalam mengatasi krisis air bersih di Kabupaten
Badung telah terjadi ketimpangan relasi kuasa antara pemerintah daerah dan
International Chain Hotel. Selain itu untuk memberi pengertian bahwa krisis air bersih
yang terjadi di Kabupaten Badung perlu mendapat perhatian khusus. Perlu adanya peran
bersama antara International Chain Hotel dan pemerintah dalam menyelesaikan konflik
ini.
2. Manfaat
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis sebagai sumbangan
informasi kepada masyarakat ataupun akademisi mengenai terjaidnya ketimpangan
kuasa yang harus diperbaiki dan krisis air bersih harus ditangani oleh pemerintah
bersama dengan International Chain Hotel.
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis yaitu dapat menjadi
pembanding untuk penelitian selanjutnya.
6
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Neo-Marxisme dan Relasi Kuasa
Asumsi dasar dari neomarxisme itu sendiri adalah dunia ini bukan
terbagi berdasarkan sovereignity yang dimiliki oleh negara sehingga menentukan
batas-batasnya dalam sistem internasional. Tetapi yang diasumsikan oleh
neomarxisme adalah sistem internasional yang terpilah berdasarkan kelas. Yaitu
kelas kapitalis-eksploiter (dalam marxisme adalah borjuis) dan kelas negara
dunia ketiga atau negara periphery (dalam marxisme adalah proletar) yang
menjadi obyek eksploitasi karena memiliki sumber daya alam yang tidak
dimiliki oleh negara bermodal (kapital). Terjadi ketergantugan antara negara
yang kuat (leading sector) dengan negara yang miskin (legging sectors) dimana
perspektif ini cenderung untuk berfokus pada masalah pusat dan modal
internasional sebagai penyebab kemiskinan dan keterbelakangan, daripada
masalah pembentukan kelas-kelas.
Neo-marxisme memuncul dua teori yang memiliki pengaruh besar, yaitu
teori ketergantungan (dependency theory) yang berpendapat bahwa
perekonomian di Asia, Afrika, dan Amerika Latin berada di ‘pinggiran’ dalam
perekonomian global dan mereka bergantung pada negara-negara kapitalis di
Eropa Barat dan Amerika Utara yang berada di ‘pusat’ sistem. Artinya, negara
pinggiran tersebut hanya memproduksi bahan mentah maupun barang setengah
jadi, dan bukan barang jadi, sedangkan negara pusat sudah bisa memproduksi
barang manufaktur seperti kulkas, televisi dan lain sebagainya. Teori lain ialah
7
teori sistem-dunia, dimana pada teori ini memandang bahwa kapitalisme
digerakkan oleh dorongan dari setiap pengusaha baik individu maupun
perusahaan besar yang berusaha untuk memaksimalkan keuntungan mereka,
maka dari itu timbul kecenderungan mendasar untuk memperluas volume
produksi menjadi sangat besar dalam perekonomian dunia.
Relasi kuasa adalah hubungan berdasarkan kepentingan (vested interest)
antara berbagai kelompok atau entitas yang berada dalam satu entitas wilayah.
Istilah “relasi kuasa” adalah terjemahan dari konsep dalam bahasa Inggris
“power relation”. Kata kunci dari konsep ini adalah “power’, sebuah istilah
penting dalam berbagai disiplin ilmu termasuk dan terutama belakangan ini
dalam Hubungan Internasional. Michel Foucault menegaskan bahwa power atau
kuasa bersifat ubiquitous atau ada dimana-mana, dan semua kuasa mencakup
perjuangan untuk memediasi, menciptakan makna, dan melakukan kontrol
(dalam Hamrun, 2015).
Kuasa atau kekuasaan didefinisikan oleh Van Dijk sebagai kepemilikan
yang dimiliki oleh suatu kelompok (atau anggotanya) untuk mengontrol
kelompok (anggota) dari kelompok lain (dalam Dona Fauziah, 2017). Kontrol
itu, seperti juga halnya disampaikan oleh Faucault dan Gramsci, bisa dilakukan
secara langsung lewat kekuatan fisik, tetapi juga bisa secara tidak langsung atau
cara-cara persuasif. Kepemilikan akan kekuasaan ditentukan oleh berbagai hal
seperti sumber-sumber daya, uang, status, dan pengetahuan. Kontrol bisa
dilakukan lewat mempengaruhi secara tidak langsung lewat penyebaran
pengetahuan. Siapa memiliki modal modal seperti di atas lebih banyak identic
dengan memiliki kekuasaan lebih besar, lebih kuat, lebih berpengaruh.
8
Kata “relasi” dalam konsep relasi kuasa mengacu pada pengertian
hubungan atau interaksi berdasarkan kekuatan yang bentuk-bentuk dan
akibatnya ditentukan oleh akumulasi kekuasaan yang dimiliki kelompok atau
anggota kelompok dalam berhubungan dengan kelompok lain. Dalam relasi
kuasa, kelompok yang memiliki modal lebih besar cenderung memiliki
kekuasaan atau daya kontrol atau daya dominasi lebih besar atas kelompok lain.
Akan tetapi ini tidak mutlak, terutama kalau dilihat dari kemampuan suatu
kelompok yang tampak lemah sebetulnya mampu mengajukan nilai tawar
(bargaining position) jika mereka memiliki kemampuan untuk menunjukkan
modal-modal yang mereka miliki. Persoalan sering terjadi bahwa satu kelompok
menyadari bahwa mereka memiliki modal yang bisa dipakai dasar untuk
melakukan negosiasi.
2.2 Ancaman Krisis Air Bersih dan operasional International Chain Hotel di Bali
Semakin berkembangnya ekspansi kapitalis dewasa ini salah satunya
adalah melalui Multinational Corporation (MNC) yang bergerak pada berbagai
sektor, termasuk sektor pariwisata. Salah satu MNC yang bergerak pada bidang
pelayanan jasa pariwisata adalah International Chain Hotel (ICH). ICH dapat
dikategorikan sebagai perusahaan multinasional karena adanya sistem penjualan
produk atau jasa layanan yang bersifat lintas batas negara. ICH merupakan
jaringan hotel yang memiliki standar manajemen dan mekanisme-mekanisme
tertentu (terutama dalam hal properti) yang mana setiap anak perusahaan wajib
mengikuti peraturan atau standar yang telah ditetapkan oleh induk perusahaan
9
yang umumnya berbasis di suatu headquarter yang memiliki wewenang untuk
memantau sistem dan prosedur yang dilaksanakan oleh anak perusahaan (dalam
Anggun Saputri, Kadek Naraiswari, 2017).
Sumber: Sumber: https://blogs.ntu.edu.sg/hp331-2015-20/water-
resources/
Banyaknya International Chain Hotel di Kabupaten Badung tidak
terlepas dari kondisi geografisnya yang menawarkan keindahan panorama alam
dan budaya. Banyak objek wisata yang dapat dinikmati di Kabupaten Badung
diantaranya pantai kuta, Pantai Pandawa, Pantai Legian, Pantai Seminyak, dan
Pantai Batu Bolong. Tidak hanya keindahan pantai yang menjadi daya tarik
wisatawan untuk datang berkunjung ke wilayah Badung, ada pula keindahan
budaya yang banyak dikunjungi wisatawan yaitu Pura Uluwatu, di sana
wisatawan dapat menikmati keindahan alam dari atas tebing, Sangeh yang
sangat khas dengan hutan dan populasi monyet serta Puri Taman Ayun yang
menyuguhkan keindahan khas Kerajaan Mengwi. Akibat banyaknya kunjungan
wisatawan tersebut menarik minat investor untuk berbondong-bondong
membangun International Chain Hotel di wilayah Badung dengan melihat
10
banyaknya keuntungan yang akan diperoleh. Selain itu ada tuntutan dari
pemerintah Indonesia untuk terus meningkatkan kunjungan wisatawan ke Bali
setiap tahunnya. Kunjungan wisatawan harus berbanding lurus dengan
akomodasi pariwisata yang memadai termasuk hotel.
Tabel 1.
Beberapa International Chain Hotel di Kawasan Badung
No. Nama Hotel Headquarter Cabang di Badung
1. Ritz-Carlton Hotel
Company
Chevy Chase The Ritz Carlton Bali
2. Novotel Hotels Evry, Paris - Novotel Hotel Benoa
- Novotel Hotel Ngurah
Rai
3. Alila Hotels & Resorts Singapore Alila Villas Uluwatu Bali
4. Swiss-Belhotel
International
Hongkong - Swiss-Bel Hotel
Rainforest
- Swiss-Bel Hotel
Legian
- Swiss-Bel Hotel
Petitenget
- Swiss-Bel Arjuna
Kuta
5. Four Seasons Hotels and
Resorts
Toronto, Canada Four Season Hotel
6. Conrad Hotels & Resorts McLean, Virginia, Amerika
Serikat
Conrad Hotels Bali
7. Hyatt Hotels Corporation Chicago, Illinois, Amerika
Serikat
Grand Hyatt Bali
8. Marriott International Bethesda, Maryland,
Amerika Serikat
- Fairfield Legian
- Courtyard Nusa
Dua
9. Sofitel Hotels and Resorts Paris, Prancis Sofitel Bali
10. Shangri-La Hotels and
Resorts
Hongkong Shangri-La Hotel And Spa
Kuta
Sumber: data diolah dari berbagai sumber
Jumlah hotel di Badung baik hotel berbintang maupun non bintang pada
tahun 2015 mencapai 1.365 dan meningkat menjadi 2.079 pada tahun 2017.
11
Dengan peningkatan yang sangat pesat tersebut, 40% nya merupakan
International Chain Hotel yang didominasi oleh brand asal negara-negara maju,
seperti Amerika Serikat, Perancis, Cina dan Singapura. Sejalan dengan
banyaknya International Chain Hotel meningkatkan konsumsi air di Badung. Di
Badung industri pariwisata terutama hotel menyedot banyak sekali air tawar.
Banyak masyarakat sulit mendapatkan air bahkan mengalami kekeringan karena
harus berebut air dengan perusahaan air atau perusahaan minuman air (Suamba,
2017). Krisis air bersih di Badung turut membawa hotel berbintang yang
menggunakan sistem international chain di kawasan Badung sebagai pihak yang
sudah seharusnya turut bertanggung jawab.
Sumber: Bali Tourism,
Water Scarcity https://blogs.ntu.edu.sg/hp331-2015-20/water-resources/
Berdasarkan data dari website Bali Tourism, Water Scarcity diatas dapat
dilihat bahwa terdapat 4 golongan yang menggunakan air di Bali yaitu
Masyarakat (Family Compound), turis tidak menginap di hotel/villa (Tourist in
12
Coumpound), turis menginap di Villa (Tourist in Villa), turis menginap di Hotel
(Tourist in Hotel). Di mana konsumsi air lebih banyak oleh tamu hotel
dibanding dengan masyarakat lokal sendiri. Masyarakat bahkan hanya
mengonsumsi air kurang dari 600 liter perharinya, turis yang tidak menginap di
hotel ataupun villa hanya mengonsumsi sebanyak 700 liter perhari. Untuk turis
yang menginap di villa mengonsumsi air sebanyak 2500 liter perhari, dan turis
yang menginap di hotel mengonsumsi kurang lebih 3200 liter perhari.
Jika kita lihat melalui peta wilayah Bali terlihat bahwa daerah Badung
menjadi area dengan eksploitasi dan krisis air tanah yang sangat parah. Bahkan
warga Badung tidak bisa lagi menikmati air tanah dikarenakan sumur-sumur
warga banyak yang mengalami kekeringan, akibatnya warga Badung harus
membeli air dari PDAM. Tak jarang juga masyarakat berebut air PDAM dengan
International Chain Hotel, karena selain menggunakan air tanah mereka juga
menggunakan air dari PDAM. Warga memprotes layanan air PDAM yang
kerap bermasalah, air yang mengalir ke rumah warga berintensitas kecil dan
sering tersendat. Masalah ini sudah lama dirasakan oleh masyarakat, mereka
merasa rugi membayar air tiap bulannya karena di nilai tidak sebanding dengan
layanan yang di berikan. Hal tersebut kemudian menimbulkan protes dari
masyarakat terhadap pemerintah Badung. Badung sendiri menjadi salah satu
area dengan krisis ketersediaan air tanah terparah di Bali.
PDAM adalah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang bergerak di
bidang pelayanan air minum. BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau
sebagian besar modalnya dimiliki oleh daerah (Hukum Online, 2017).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 1987 tentang desentralisasi
13
tanggung jawab pemerintah pusat disebutkan bahwa tanggung jawab untuk
menyediakan suplai air bersih adalah pada pemerintah daerah. Sebagai
perwujudannya, penyediaan sebagian besar kebutuhan air bersih di Indonesia
dilakukan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), yang terdapat di setiap
provinsi, kabupaten, dan kotamadya di seluruh Indonesia. Berdasarkan Peraturan
Daerah Kabupaten Badung Nomor 6 Tahun 2005 tentang Perusahaan Air
Minum adalah Perusahaan Milik Pemerintah Daerah Sebagai salah satu alat
kelengkapan Otonomi daerah, yang diselenggarakan atas asas ekonomi
perusahaan dalam kesatuan sistem pembinaan ekonomi indonesia berdasarkan
Pancasila yang menjamin kelangsungan demokrasi ekonomi yang berfungsi
sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang dipimpin oleh
suatu direksi di bawah pengawasan badan pengawas (Made Banda, 2017).
Mengingat keberadaan PDAM dibiayai oleh pemerintah daerah yang
bersumber dari uang masyarakat (public fund) maka dalam pengelolaanya
diharapkan PDAM memperhatikan aspek transparansi dan akuntabilitas, baik
dalam aspek pengelolaan keuangan, aspek operasional dan aspek
administrasinya, karena ketiga aspek dimaksud sangat menetukan kinerja
pengelolaan perusahaan termasuk di dalamnya adalah Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM) (KOMPIP,2017). Namun dari permasalahan tersebut PDAM
terkesan memihak kepada pihak asing dan mencari keuntungan semata
dikarenakan biasanya jumlah air yang ICH beli lebih banyak dibanding
masyarakat, pemerintah juga tidak ada tindakan untuk menyelesaikan
permasalahan ini padahal PDAM sendiri dibiayai oleh uang rakyat dan menjadi
tanggung jawab pemerintah daerah.
14
Sumber: Suryawan, 2017
Melalui grafik dari Suryawan, 2017 diatas terlihat bahwa setiap
tahunnya Badung mengalami penurunan kuantitas air bersih. Dapat dikatakan
bahwa pada tahun 2011-2018 kuantitas air bersih di Badung mencapai angka di
bawah -75m3 pertahunnya. Melihat permasalahan yang terjadi tersebut
pemerintah daerah terus berkontribusi dengan membangun bendungan air dan
bekerja-sama dengan PDAM untuk mendapatkan air dari daerah lain di Bali
seperti Gianyar, Tabanan dan Denpasar. Wakil Ketua I DPRD Badung, Nyoman
Karyana ‘Koprok’ mengusulkan agar Pemerintah Kabupaten Badung
mengadopsi sistem pengolahan air laut atau Sea Water Reverse Osmosis
(SWRO), untuk mengatasi permasalahan yang sudah bertahun-tahun tersebut.
Dengan mengadopsi SWRO, permasalahan air bersih di Badung diyakininya
akan terselesaikan. Usulan adanya SWRO dinilai sangat memungkinkan
diterapkan oleh Direktur Utama PDAM Tirta Mangutama Badung, Made
Subarga Yasa. Namun hal tersebut harus tetap didahului dengan langkah
pengkajian yang matang, termasuk mangsa pasarnya ke depan. Namun usulan
tersebut belum dapat terlaksana dengan baik dikarenakan semua harus dilakukan
sesuai aturan main dan regulasi yang ada (Gede Adi Yuliantara, 2016).
Kabupaten Badung juga menginvestasikan dana sebesar Rp. 65 Miliar
untuk membangun jaringan pipa instalasi yang akan mengalirkan air bersih dari
15
Sistem Penyediaan Air Minum ke kawasan Badung (Dinas Cipta Karya
Kabupaten Badung, 2014). Rupanya krisis air bersih yang dialami masyarakat
Badung di dengar oleh ICH, karena banyaknya masyarakat yang melakukan
protes terhadap ICH, maka ICH sberupaya membantu masyarakat dengan
melakukan tindakan sosial seperti Beach Cleaning Day di Pantai Kuta,
berpartisipasi dalam Bali Beach Clean Up Program, donasi bantuan untuk
masyarakat kurang mampu, dan menyelenggarakan charity gala dinner untuk
mendukung program UNICEF Check Out for Children for its WASH (Water,
Sanitation and Hygiene).
ICH selaku aktor bisnis hanya berpedoman pada pengejaran keuntungan.
ICH merasa bahwa mereka juga termasuk ke dalam konsumen air bersih di
Kabupaten Badung, maka itu persepsi yang muncul hanyalah sebatas kewajiban
membayar pajak dan menjaga lingkungan di areal bisnis mereka. Melihat
kondisi krisis air bersih yang terjadi di Badung, pemerintah tidak pernah
melakukan pembicaraan dengan pihak ICH untuk membahas penyelesaian
konflik ini. Pemerintah hanya menjalankan beberapa tugasnya, namun
pemerintah tidak juga menampik bahwa salah satu faktor terbesar penyebab
krisis air ini adalah tingginya konsumsi air bersih dari ICH. Begitupun dengan
sebaliknya pihak ICH juga merasa tidak perlu bertanggung jawab terhadap krisis
air ini, terlihat dari tidak adanya usaha kerja-sama maupun kordinasi dengan
pemerintah daerah dalam menyikapi krisis air bersih.
Jika kita tinjau dari peraturan nasional, yaitu Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, menyebutkan bahwa pemerintahan
daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
16
otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan
peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selain itu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang lingkungan hidup
mengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, berisikan bahwa pemerintah
pusat memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam
melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-
masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Oleh karena itu, lembaga yang mempunyai
beban kerja berdasarkan Undang-Undang ini tidak cukup hanya suatu organisasi
yang menetapkan dan melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan, tetapi
dibutuhkan suatu organisasi dengan portofolio untuk menetapkan,
melaksanakan, dan mengawasi kebijakan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Selain itu, lembaga ini diharapkan juga mempunyai ruang
lingkup wewenang untuk mengawasi sumber daya alam untuk kepentingan
konservasi. Untuk menjamin terlaksananya tugas pokok dan fungsi lembaga
tersebut dibutuhkan dukungan pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja
negara yang memadai.
Dari kedua Undang-Undang Nasional tersebut telah memberikan
kewenangan kepada pemerintah secara lebih luas. Hal ini menunjukkan
seharusnya masih ada dominasi peran pemerintah dalam penguasaan dan
pengelolaan sumber daya alam untuk memperoleh pendapatan daerah secara
17
maksimal. Hal tersebut selanjutnya menimbulkan persepsi bahwa permasalahan
yang menyangkut sumber daya alam merupakan ranah dan tanggung jawab
pemerintah. Hal tersebut menjadikan ICH tidak merasa turut serta bertanggung
jawab dalam menangani masalah krisis air bersih, karena merasa itu tugas dan
tanggung jawab dari pemerintah. Tidak hanya itu, Peraturan Daerah (PERDA)
Kabupaten Badung Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan juga belum di implementasikan secara optimal dan ditemukan masih
adanya beberapa kelemahan dalam implementasi. Padahal dalam PERDA itu
menyebutkan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang selanjutnya disingkat
TJSP adalah kewajiban setiap perusahaan untuk membiayai dan/atau
memfasilitasi program pemerintah daerah yang terkait dengan peningkatan
kualitas kehidupan masyarakat baik dalam bidang sosial, ekonomi maupun
lingkungan alam berdasarkan azas kesetaraan dan keadilan. Perusahaan yang
dimaksud adalah badan usaha yang bergerak dalam suatu bidang usaha yang
didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan maupun perjanjian yang
melakukan kegiatan usaha dengan menggunakan modal, serta bertujuan
memperoleh keuntungan, dari pengertian tersebut ICH termasuk ke dalamnya.
Sikap perusahaan yang merasa tidak bertanggung jawab, juga disebutkan dalam
ketentuan umum Pasal 1, Pemangku kepentingan adalah semua pihak, baik
dalam lingkungan perusahaan maupun di luar lingkungan perusahaan, yang
mempunyai kepentingan baik langsung maupun tidak langsung yang bisa
mempengaruhi atau berpengaruh dengan keberadaan, kegiatan dan perilaku
perusahaan yang bersangkutan. Maka dapat dilihat bahwa ICH juga memilki
peran dalam mengatasi permasalahan krisis air bersih.
18
Namun implementasi dari PERDA tersebut belum berjalan dengan baik
dikarenakan tiga hal. Pertama, adanya skala prioritas pembangunan daerah yang
menitikberatkan perhatian terhadap isu pengentasan kemiskinan dan
peningkatan kualitas hidup masyarakat membuat tanggung jawab sosial yang
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan, termasuk hotel berbintang yang
menggunakan sistem chain, terbatas pada isu sosial-kemanusiaan. Kedua, Forum
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Forum TJSP) yang sejatinya dapat menjadi
penghubung antara pemerintah daerah dan hotel-hotel berbintang tersebut tidak
berfungsi secara efektif. Ketiga, sistem pelaporan TJSP yang belum tersusun
secara sistematis sehingga evaluasi terhadap pelaksanaan TSP tidak dapat
dilakukan secara optimal.
Setelah melihat sikap pihak pemerintah ataupun pihak ICH terhadap
permasalahan dan implementasi Undang-Undang dan PERDA, belum ada
hubungan kerja-sama yang terjadi dari kedua pihak tersebut. Antara pemerintah
daerah dan ICH tidak ada persepsi dan kepentingan bersama hal tersebutlah
yang kemudian menyebabkan ketimpangan relasi kuasa, dimana peran antara
pemerintah daerah dan ICH tidak berjalan sebagaimana mestinya. Neo-Marxism
menyatakan bahwa pada dasarnya pemerintah daerah sebagai representasi
negara memiliki peran sebagai pengatur dan pengendali hubungan antar borjuis
serta memiliki hak dan tanggung jawab untuk menekan pluralitas dan aktivitas
borjuis. Begitupun dengan kasus ini harus ada kontrol dari pemerintah untuk
membatasi penggunaan air oleh ICH, sehingga masyarakat juga mendapatkan
akses air tanah maupun PDAM, kontrol dari pemerintah juga berguna untuk
mencegah ataupun kemudian menangani krisis air bersih.
19
Berdasarkan konsep Neo-Marxisme, permasalahan yang terjadi ini
dikarenakan adanya ketergantungan negara berkembang terhadap kapitalisme
global melalui MNCs. Ketergantungan yang dimaksud adalah adanya transfer of
surplus berupa keuntungan atau kontribusi yang diberikan oleh hotel-hotel
berbintang yang menggunakan sistem international chain terhadap pemerintah
daerah. Karena seperti yang kita ketahui Badung merupakan daerah pariwisata
terbesar di Bali, dan juga terdapat banyak ICH. Melalui pajak hotel pendapatan
daerah yang ditargetkan oleh pemerintah dalam realisasinya selalu melewati
target sampai pada tahun 2017. Berdasarkan data Badan Pendapatan Daerah
Badung tahun 2017 terdapat 10 penggolongan pajak yang menjadi Pendapatan
Asli Daerah Badung (PAD) yaitu BPHTB, PBB, reklame, mineral bukan logam
atau batuan, penerangan, air tanah, hiburan, parkir, restoran, dan hotel. Dimana
pajak hotel menjadi kontributor terbesar PAD Kabupaten Badung, pada tahun
2017 total pendapatan yang diperoleh melalui hotel mencapai angka Rp.
2,029,984,253,567.13 dari target yang ingin dicapai pemerintah yang hanya Rp.
1. 923.900.459.945.00. Untuk pendapatan BPHTB hanya sebesar Rp.
494,205,941,260.05, reklame sebesar Rp. 4,840,850,519.00, PBB Rp.
202,880,033,173.00, mineral bukan logam atau batuan Rp. 117,135,000.00,
penerangan Rp. 133,418,468,059.00, Air tanah Rp. 59,787,613,324.50, hiburan
Rp. 58,424,310,663.18, parkir Rp. 21,496,917,525.00 dan restoran hanya Rp.
473,851,245,400.88. Jika kita melihat table pendapatan di bawah terlihat bahwa
Hotel memberikan pendapatan terbesar jauh lebih banyak dibanding jenis pajak
lainnya (Dispenda Kabupaten Badung 2017). Dalam diagram terlihat hanya
Hotel yang mampu menembus target 2 triliun sedangkan jenis pajak lainnya
20
bahkan tidak mencapai 1 Triliun. Hal tersebut menunjukkan adanya bentuk
ketergantungan antara host government dengan ICH sehingga secara tidak
langsung host government dibuat enggan untuk meminta pertanggung-jawaban
hotel-hotel tersebut terhadap dampak lingkungan yang terjadi akibat aktivitas
bisnisnya.
Sumber: Badan Pendapatan Daerah Badung
https://badungkab.go.id/instansi/bapenda/pad
Kondisi tersebut sejalan dengan penerapan core dan periphery yang
mana ICH merupakan core dan host government merupakan periphery. ICH
menyediakan penerapan teknologi dan pengelolaan yang baik dalam industri
akomodasi pariwisata yang membuat pengelolaan hotel semakin sistematis. Hal
ini menarik minat pengunjung untuk menginap di hotel tersebut melalui
penggunaan brand hotel yang berskala internasional. Brand-brand tersebut pada
umumnya sudah dikenal oleh publik sebagai brand dengan standar-standar
internasional sehingga tidak diragukan lagi fasilitas dan pelayanannya. Hal ini
tentu saja berdampak pada meningkatnya keuntungan dan pajak hotel yang
selanjutnya dapat diklasifisikan sebagai transfer of surplus berupa kontribusi
21
terhadap pendapatan daerah. Namun di sisi lain, eksploitasi terhadap periphery
tidak dapat dihindari. Eksploitasi yang dimaksud berupa eksploitasi sumber daya
alam dan penaklukan dari sisi kekuatan politik. Hal tersebutlah yang
menyebabkan semakin berkurangnya kuantitas dan kualitas air bersih di
Badung, dan tidak ada tindakan dari pemerintah untuk menegur ataupun
meminta pertanggung jawaban ICH. Pemerintah merasa sangat memerlukan
pajak yang diberikan oleh ICH, karena sampai dengan saat ini Badung menjadi
daerah yang memiliki pendapatan terbesar di Bali.
Pendapat Neo-Marxis yang kedua adalah dalam teori sistem-dunia, jika
melihat dari kasus ini baik ICH ataupun pemerintah berusaha untuk
memaksimalkan keuntungan mereka. Dari sisi pemerintah adalah saat
pemerintah berusaha meminta pertanggung jawaban dari pihak ICH, maka tidak
menutup kemungkinan bahwa ada tindakan penarikan investasi di kabupaten
Badung hal tersebut kemudian berdampak pada berkurangnya jumlah
pembayaran pajak dari ICH dan juga akan lebih banyak biaya yang dikeluarkan
untuk mengatasi masalah krisis air bersih. Maka dari itu pemerintah merasa akan
lebih baik untuk melakukan penambahan bendungan di wilayah lain atau
mengambil air dari kabupaten lain dibanding berusaha memperbaiki masalah.
Kemudian dari pihak ICH berpikir bahwa TJSP untuk menangani krisis air
bersih ini akan menimbulkan banyak kerugian, dikarenakan proses pemulihan
akan lebih lama dibanding membuat sesuatu yang baru. Maka dari itu pemilihan
TJSP berupa donasi ataupun kegiatan social dianggap lebih mudah, praktis,
modal sedikit dan tidak membutuhkan pengelolaan yang lama dibandingkan
turut serta dalam menyelesaikan permasalahan krisis air bersih. Selain itu,
22
perusahaan juga akan lebih mudah untuk mencapai image building di mata
masyarakat sekitar. Terkait dengan tujuan perusahaan yang mencari keuntungan,
maka secara logika tidak ada alasan bagi pihak ICH untuk ikut serta mengatasi
krisis air bersih.
Saat kita memandang relasi kuasa antara pemerintah daerah dan ICH
dilihat dari Undang-Undang Nasional dan Peraturan Daerah Badung, pemerintah
daerah memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur, mengendalikan dan meminta
pertanggung jawaban dari pihak ICH mengenai krisis air bersih ini. Pemerintah
seharusnya bisa menekan ICH, namun fakta yang terjadi justru sebaliknya, ICH
yang menekan dan mengendalikan pemerintah. Sudah seharusnya host country
bisa menekan kaum borjuis, termasuk ke dalam pelaksanaan tanggung jawab
social perusahaan. ICH seharusnya sudah tau melalui PERDA yang mereka
sepakati sebelum membangun perusahaan dalam suatu daerah, mereka memiliki
kewajiban untuk melaksanakan tanggung jawab terhadap masalah di kawasan
investasi yang muncul sebagai dampak kehadirannya juga dapat disinergikan
sebagai sebuah bentuk kontribusi. Hal tersebut dapat diimplementasikan dalam
aktivitas bisnisnya, termasuk dalam menjalankan upaya bersama dengan host
government dan strategi pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan. Dari
analisa tersebut sudah terbukti bahwa adanya ketimpangan relasi kuasa antara
pemerintah daerah dan ICH dalam menangani krisis air.
23
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan data-data dan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa
terjadinya ketimpangan relasi kuasa antara pemerintah Badung dan
International Chain Hotel dimana peran antara pemerintah daerah dan ICH
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Power kontrol yang seharusnya dipegang
oleh pemerintah, justru dikuasi oleh ICH. Hal tersebut dikarenakan ada
beberapa penyebab yaitu, pertama belum ada persepsi dan tujuan bersama yang
ingin dicapai oleh kedua belah pihak untuk mengatasi krisis air bersih. Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 di
mana pemerintah pusat sudah memberikan tanggung jawab dalam mengatur
daerahnya termasuk dalam permasalahan lingkungan melalui TJSP, namun
dalam implementasinya tidak berjalan seharusnya. ICH menganggap diri
mereka hanya sebagai konsumen dan permasalahan yang menyangkut sumber
daya alam merupakan ranah dan tanggung jawab pemerintah. Seharusnya
pemerintah mendominasi dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam
untuk memperoleh pendapat daerah secara maksimal, namun merasa belum
mampu.
Faktor kedua adalah ketergantungan (dependency), pemerintah Badung
bergantung pada pajak yang dibayarkan oleh hotel terutama ICH yang menjadi
sumber pendapatan terbesar Kabupaten Badung. Maka dari itu kontrol dan
tekanan yang harusnya dapat dilakukan oleh pemerintah terhadap ICH untuk
24
ikut memiliki tanggung jawab terhadap krisis air bersih menjadi terbalik. Data
menyebutkan bahwa pendapatan daerah badung terbesar bersumber dari hotel,
dimana ICH termasuk di dalamnya. Sesuai dengan konsep Neo-Marxisme
terjadi pada kasus ini, dimana pemerintah yang dikontrol oleh ICH, Yaitu ICH
sebagai kelas kapitalis eksploiter (dalam marxisme adalah borjuis) dan
Pemerintah sebagai kelas negara dunia ketiga atau negara periphery (dalam
marxisme adalah proletar) yang menjadi obyek eksploitasi karena memiliki
sumber daya alam yang tidak dimiliki oleh negara bermodal (kapital). Hal
tersebut terjadi karena ICH memiliki power dan modal, kelompok yang
memiliki modal lebih besar cenderung memiliki kekuasaan atau daya kontrol
atau daya dominasi lebih besar atas kelompok lain.
Faktor ketiga adalah keuntungan, baik ICH ataupun pemerintah berusaha
untuk memaksimalkan keuntungan mereka. Dimana apabila ICH ikut serta
menangani krisis air akan membutuhkan biaya dan waktu yang panjang.
Sedangkan pemerintah juga berpikir demikian dibuktikan dengan tidak ada
penyelesaian masalah dengan pihak ICH karena berpikir akan mengurangi
investasi masuk ke Badung apabila ICH diberikan tekanan dalam mengatasi
masalah ini. Sampai saat ini tidak ada kerja-sama antar kedua belah pihak untuk
menyelesaikan konflik ini. Perusahaan yang seharusnya menjalankan TJSP,
hanya sebatas pada tanggung jawab sosial seperti pengentasan kemiskinan
tanpa memperhatikan permasalahan krisis air.
25
DAFTAR PUSTAKA
Anggun Saputri, Kadek Naraiswari, 2017, “Relasi Bisnis dan Politik: Studi
Kasus Gejala
Krisis Air Bersih di Badung Selatan, Bali”, dalam jurnal of International
Relations Volume 3, Nomor 3, hal. 29-37.
Denpost, “Krisis Air Di Pecatu, diakses dari
http://denpostnews.com/2015/10/15//krisis-air-
di-pecatu/, 30 Agustus 2018.
Dinas Cipta Karya Kabupaten Badung, 2014, “Atasi Krisis Air Bersih Kuta
Selatan,
Badung Investasikan 65 Milyar”, diakses melalui
http://ciptakarya.badungkab.go.id/berita-202-
Atasi+Krisis+Air+Bersih+Kuta+Selatan,+Badung+Investkan+65+Milyar+, 3
November 2018.
Dona Fauziah, 2017, Ekonomi Politik: Relasi Pemerintah Daerah Dan
Masyarakat Kasus
Pertambangan Emas Tanpa Izin Di Desa Petapahan Kecamatan Gunung Toar
Kabupaten Kuantan Singingi Tahun 2013-2015, Jurnal FISIP Volume 4 No. 1
Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Riau.
Gede Adi Yuliantara, 2016, “Atasi Krisis Air di Kuta Selatan”, diakses
melalui
https://www.posBali.id/atasi-krisis-air-di-kuta-selatan/, 3 November 2018
Hamrun, 2015, Relasi Kuasa Pengelolaan Taman Hasanuddin Makassar, Tesis,
Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin Makassar. Hal 32.
26
Hikmah ,Trisnawati, 2010, Dalam Jurnal “Dampak Perkembangan
Infrastruktur Pariwisata
Terhadap Konflik Air Di Kabupaten Badung Dan Tabanan”.
Hukum Online, 2017, “Apakah Pegawai PDAM Termasuk PNS?”, diakses
melalui
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt58b8d4b3d0e5a/apakah-pegawai-
pdam-termasuk-pns, 5 November 2018.
I Made Banda Prawira, I Ketut Sudiarta dan Cokorda Dalem Dahana,
2017,
“Kewenangan Perusahaan Daerah Air Minum Atas Pengelolaan Air Bersih Di
Kabupaten Badung” dalam Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana
Denpasar file:///C:/Users/USER/Downloads/7760-1-13596-1-10-20140107.pdf.
K22, “Penggunaan Air Tanah Melebihi Ambang Batas”, Nusa Bali, diakses dari
https://www.nusaBali.com/berita/735/penggunaan-air-tanah-lebihi-ambang-
batas/halaman/1, 30 Agustus 2018.
KOMPIP, 2017, “Tentang PDAM”, diakses melalui
http://prowater.kompip.org/tentang-
pdam, 5 November 2017.
Lexy J Moleong, 2005, “Metodologi Penelitian Kualitatif, Rosdakarya”,
Bandung, Hal 15.
Luh De Suriyani, “Bali Terancam Krisis Air Mengapa?”, Mongabay, diakses
dari
http://www.mongabay.co.id/2015/04/15/Bali-terancam-krisis-air-mengapa/, 30
Agustus 2018.
27
Olivia, Yessi, 2013, “Level Analisis Sistem dan Teori Hubungan
Internasional”, diakses dari
https://www.academia.edu/18412629/Level_Analisis_Sistem_dan_Teori_Hubu
ngan_Internasional, 8 November 2018.
Suamba, IB Putu. 2017. “Air dalam Peradaban Bali”, Makalah dalam Rembug
Sastra
Purnama Badrawada di Pura Agung Jagatnatha, Denpasar, Bali, Purnama Sada,
Jumat, 9 Juni 2017.
Suryawan, Agung.W.A.A 2008, “Analisis Kebutuhan Akomodasi dan
Transportasi
Pariwisata di Bali”, Pusat penelitian dan Kebudaayaan UNUD & Bali.
Travelnews, “Badung Masih Kekurangan Air Bersih”, diakses dari http://Bali-
travelnews.com/2016/10/07/Badung-masih-kekurangan-air-bersih/, 30
Agustus 2018.
Top Related