SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA
PADA PASIEN PNEUMONIA
(Penelitian dilakukan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit
Universitas Airlangga Surabaya)
ALIN ANINDIA
DEPARTEMEN FARMASI KLINIS
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
2016
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
ii
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA
PADA PASIEN PNEUMONIA
(Penelitian dilakukan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit
Universitas Airlangga Surabaya)
ALIN ANINDIA
NIM. 051211133047
DEPARTEMEN FARMASI KLINIS
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
2016
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
iii
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
iv
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
v
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah dan Puji syukur telah saya panjatkan kepada Allah
SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga saya
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “STUDI PENGGUNAAN
ANTIBIOTIKA PADA PASIEN PNEUMONIA” dengan baik dan benar.
Tugas tersebut merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana
pada Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.
Dalam proses penyelesaian tugas ini, pastinya saya mendapat
banyak sekali bantuan dari berbagai pihak baik itu secara material dan
moral. Oleh karena itu saya tidak lupa untuk menyampaikan banyak terima
kasih yang sedalam – dalamnya kepada :
1. Ibu Samirah, S.Si., Apt., Sp.FRS. selaku dosen pembimbing utama dan
Arief Bakhtiar, dr., Sp.P. selaku dosen pembimbing serta yang dengan
sabar meluangkan waktu dan tenaganya dalam memberikan bimbingan,
motivasi, arahan, dorongan, serta semangat dalam menyelesaikan
skripsi ini.
2. Ibu Dr. Umi Athijah, M.S., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Airlangga yang telah memberikan kesempatan untuk
menyelesaikan program Sarjana S-1 Pendidikan Apoteker.
3. Ibu Dr. Budi Suprapti, M.Si., Apt. selaku Ketua Departemen Farmasi
Klinis beserta para anggota dosen dan staf karyawan, yang telah
memberikan kesempatan dan izin untuk dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Ibu Dra. Yulistiani, M.Si., Apt. dan Dewi Wara Shinta, S.Farm.,
M.Farm.Klin., Apt selaku dosen penguji yang telah memberikan saran
dan masukan hingga terselesaikan skripsi ini.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
vii
5. M. Ali Mukhtar dan Nailil Munah selaku orang tua yang telah
memberikan kasih sayang, restu, doa, serta dukungan sehingga saya
dengan lancar menempuh S-1 Pendidikan Apoteker.
6. Ibu Khoirotin Nisak, S.Farm., Apt selaku dosen wali atas segala
bimbingan dan perhatian selama menjalankan program S-1 Pendidikan
Apoteker.
7. Seluruh dosen dan staf pengajar Fakutas Farmasi Universitas Airlangga
atas bekal ilmu yang telah diberikan selama masa perkuliahan.
8. Seluruh karyawan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga khususnya
karyawan laboratorium Farmasi Klinis atas semua bantuan tenaga dan
waktu yang telah diberikan selama proses penelitian skripsi hingga
usai.
9. Teman-teman tim seperjuangan skripsi (Sandra, Anisah dan Rizky)
yang memberikan tenaga, waktu, ide, semangat, dorongan, dan
motivasi selama pengerjaan skripsi ini.
10. Firmansyah Rachman, teman spesial di hati saya yang sampai saat ini
telah menemani, menyemangati, serta mendoakan saya dalam proses
penyelesaian skripsi.
11. Sahabat-sahabat saya (Marina, Sandra, Rizky, dan Risqi), terima kasih
atas kebersamaannya dalam suka maupun duka, memberikan semangat,
dorongan, dan motivasi selama proses penyelesaian skripsi ini.
12. Teman – teman kelas B Amoksilin (Amoksilin B12) dan Angkatan
2012, yang selama ini telah mendukung, menerima, serta menemani
saya dalam suka dan duka selama awal perkuliahan hingga
penyelesaian skripsi ini.
13. Teman-teman skripsi Departemen Farmasi Klinis 2016, terima kasih
atas semangat serta dukungannya dan terima kasih atas bantuan selama
pengerjaan skripsi ini.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
viii
14. Sahabat – sahabat saya semasa SD, SMP, dan SMA yang telah
menyemangati dan mendoakan selama proses penyelesaian skripsi.
15. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung
memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih
untuk semuanya, semoga sukses.
Kebenaran dan kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Semoga
selalu mendapat rahmat dan ridho dari-Nya. Besar keinginan saya agar
skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi almamater dan dunia
kefarmasian tentunya.
Surabaya, 15 Agustus 2016
Penulis
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
ix
RINGKASAN
STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN PNEUMONIA
(Penelitian dilakukan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Universitas Airlangga Surabaya)
Alin Anindia
Pneumonia adalah infeksi jaringan paru (alveoli) bersifat akut yang
diakibatkan oleh inflamasi pada parenkim paru dan pemadatan eksudat pada jaringan paru. Bakteri penyebab paling umum adalah bakteri gram positif, Streptococcus pneumoniae. Berdasarkan klinis dan epidemiologis, pneumonia dapat dibedakan menjadi pneumonia komunitas (CAP) yang didapat di masyarakat dan pneumonia nosokomial (HAP) yang dimulai 48 jam setelah pasien dirawat di rumah sakit. Di Indonesia, Riskesdas melaporkan bahwa kejadian pneumonia mengalami peningkatan pada tahun 2007 dari 2,1% menjadi 2,7% pada tahun 2013. Sedangkan, tingkat resistensi antibiotika secara konsisten yang tertinggi adalah di Asia. Di Malaysia, pada tahun 2011 tingkat resistensi penisilin tertinggi sebesar 31,78%. Di Singapura, melaporkan tingkat tertinggi resistensi antibiotika eritromisin sebesar 52,9% dan sefuroksim sebesar 28,6%
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis profil terapi antibiotika yang diterima pasien pneumonia dan mengidentifikasi adanya Drug Related
Problems yang mungkin terjadi. Penelitian dilakukan secara prospektif-retrospektif dengan metode time limited sampling selama periode 1 Januari 2015 - 30 Juni 2016. Kriteria inklusi sampel penelitian ini adalah pasien pneumonia rawat inap baik CAP dan HAP usia ≥ 18 tahun, dengan atau tanpa komplikasi dan komorbid.
Hasil penelitian dari sampel 73 pasien menunjukkan bahwa pada pasien laki-laki lebih banyak mengalami CAP (53%) dan pada HAP lebih banyak terjadi pada pasien perempuan (60%) dengan distribusi usia tertinggi ≥ 60 tahun pada CAP dan HAP serta lama perawatan pada CAP < 7 hari dan pada HAP 7-14 hari. Gejala klinik yang sering terjadi adalah sesak napas dengan penyakit penyerta terbanyak adalah TB paru.
Terapi utama pasien pneumonia adalah antibiotika yang dapat digunakan tunggal atau kombinasi. Antibiotika tunggal yang sering digunakan adalah seftriakson untuk CAP (47%) dan HAP (40%), sedangkan kombinasi terbanyak pada CAP adalah seftazidim dengan levofloksasin (18%) dan pada HAP adalah levofloksasin dengan seftazidim atau dengan seftriakson (20%). Dosis dan frekuensi penggunaan antibiotika yang paling
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
x
banyak digunakan adalah seftriakson 2x1 g pada CAP (56%) dan HAP (40%), levofloksasin 1x750 mg pada CAP (44%) dan HAP (20%), seftazidim 3x1 g pada CAP (26%) dan HAP (40%). Pemberian antibiotika sebagian besar dengan rute intravena. Dalam penelitian ini ditemukan masalah terkait obat yaitu pemberian levofloksasin resisten tidak sesuai hasil kultur.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
xi
ABSTRACT
DRUG UTILIZATION STUDY OF ANTIBIOTICS IN PNEUMONIA PATIENT
(Study at Inpatient Unit of Airlangga University Hospital Surabaya)
Alin Anindia
Pneumonia is an acute infection of lung tissue caused by
inflammation of the lung parenchyma and compaction exudate in the lung tissue, caused by Streptococcus pneumoniae. Based on the clinical and epidemiological, pneumonia can be divided into Community-Acquired Pneumoniae (CAP) and Hospital Acquired Pneumoniae (HAP). In Indonesia, Riskesdas reported that the incidence of pneumonia increased from 2.1% in 2007 to 2.7% in 2013. Whereas, the highest level of antibiotics resistancy was in Asia. This study aimed to analyze the profile of patients received antibiotic treatment for pneumonia and identify the presence of Drug Related Problem (DRP). This study was conducted with prospective and retrospective with limited time sampling method during the period of January 1st 2015 to June 30th 2016. Inclusion criteria for this study sample was hospitalized pneumonia patients both CAP and HAP age ≥ 18 years, with or without complications and comorbidities. The results of 73 patients showed that male patients experienced more CAP (53%) and the HAP occurs more frequently in female patients (60%), with the highest age ≥ 60 years distribution in the CAP and HAP as well as the duration of treatment on CAP <7 days and the HAP 7-14 days. Single used antibiotic that is often used in treatment is ceftriaxone for the CAP (47%) and HAP (40%), while the highest combination on the CAP is ceftazidime with levofloxacin (18%) and the HAP is levofloxacin with ceftazidime or with ceftriaxone (20%). The most widely used dose and frequency of antibiotics usage was ceftriaxone 2x1g for CAP therapy (56%) and HAP (40%), levofloxacin 1x750mg for CAP (44%) and HAP (20%), ceftazidime 3x1g for CAP (26%) and HAP (40%). The administration of those antibiotics was mostly via the intravenous route. Drug related problems that found in this study were wrong drug (levofloxacin resistant) and antibiotic adverse drug reaction (gentamicin). Keyword: Drug Utilization Study, pneumonia, Community-Acquired
Pneumonia, Hospital-Acquired Pneumonia, retrospective, prospective,
antibiotic, Drug Related Problem.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .......................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.............. iii
LEMBAR PERNYATAAN BUKAN HASIL PLAGIARISME ........... iv
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................ v
KATA PENGANTAR ........................................................................ vi
RINGKASAN .................................................................................... ix
ABSTRACT ........................................................................................ xi
DAFTAR ISI ..................................................................................... xii
DAFTAR TABEL .............................................................................. xvi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................... xviii
DAFTAR SINGKATAN .................................................................... xix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah......................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................. 5
1.3 Tujuan penelitian ................................................................... 5
1.3.1 Tujuan Umum ................................................................. 5
1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................ 5
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Paru ....................................................................................... 6
2.1.1 Anatomi Paru .................................................................. 6
2.1.2 Anatomi Saluran Pernafasan ............................................ 7
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
xiii
2.1.3 Fisiologi Saluran Pernafasan ............................................ 9
2.1.4 Mekanisme Pertahanan Paru ............................................ 10
2.2 Pneumonia............................................................................. 13
2.2.1 Definisi Pneumonia ......................................................... 13
2.2.2 Epidemiologi ................................................................... 13
2.2.3 Etiologi ........................................................................... 14
2.2.4 Klasifikasi ....................................................................... 15
2.2.5 Patofisiologi .................................................................... 16
2.2.6 Gejala Klinik ................................................................... 17
2.2.7 Pemeriksaan Penunjang ................................................... 18
2.3 Tinjauan Tentang Terapi Pneumonia dan Evaluasi Terapi ...... 19
2.3.1 Terapi Antibiotika ........................................................... 19
2.3.1.1 Tinjauan Tentang Antibiotika .................................... 19
2.3.1.2 Pneumonia Komunitas .............................................. 20
2.3.1.3 Pneumonia Nosokomial............................................. 21
2.3.1.4 Jenis dan Dosis Antibiotika Pada Pneumonia Dewasa 24
2.3.1.5 Faktor-faktor Pemilihan Antibiotika .......................... 25
2.3.1.6 Faktor Modifikasi ...................................................... 27
2.3.2 Terapi Suportif ............................................................... 28
2.3.3 Evaluasi Terapi .............................................................. 29
2.4 Antibiotika ............................................................................ 30
2.4.1 Menghambat Sintesis Dinding Sel ................................... 30
2.4.1.1 Penisilin .................................................................... 30
2.4.1.2 Sefalosporin .............................................................. 34
2.4.1.3 Golongan β-laktam lain ............................................. 38
2.4.1.4 Glikopeptida ............................................................. 41
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
xiv
2.4.2 Menghambat Sintesis Protein Bakteri ............................... 43
2.4.2.1 Aminoglikosida ......................................................... 43
2.4.2.2 Tetrasiklin ................................................................. 44
2.4.2.3 Makrolida ................................................................. 46
2.4.2.4 Oksazolidinon ........................................................... 47
2.4.3 Menghambat Sintesis RNA Bakteri.................................. 48
2.4.3.1 Sulfonamida .............................................................. 48
2.4.3.2 Fluorokuinolon.......................................................... 50
2.4.3.3 Nitroimidazol ............................................................ 52
2.4.4 Kejadian Resistensi Antibiotika ....................................... 53
2.5 Drug Utilization Study (DUS) ................................................ 54
2.5.1 Tipe DUS ........................................................................ 54
2.6 Drug Related Problems (DRP) ............................................... 55
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL
3.1 Kerangka Konseptual ............................................................. 57
3.2 Bagan Kerangka Konseptual .................................................. 59
3.3 Bagan Kerangka Operasional ................................................. 60
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian ............................................................. 61
4.2 Populasi dan Sampel .............................................................. 61
4.2.1 Populasi .......................................................................... 61
4.2.2 Sampel ............................................................................ 61
4.3 Kriteria Inklusi dan Ekslusi .................................................... 61
4.3.1 Kriteria Inklusi ................................................................ 61
4.3.2 Kriteria Eksklusi.............................................................. 62
4.4 Definisi Operasional .............................................................. 62
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
xv
4.5 Bahan Penelitian .................................................................... 63
4.6 Metode Pengambilan Sampel ................................................ 63
4.7 Instrumen Penelitian .............................................................. 64
4.8 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................ 64
4.9 Prosedur Pengambilan Data ................................................... 64
4.10 Analisis Data ....................................................................... 64
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Demografi Pasien .................................................................. 65
5.2 Gejala Pneumonia .................................................................. 66
5.3 Faktor Modifikasi .................................................................. 67
5.4 Lama Perawatan .................................................................... 68
5.5 Penyakit Penyerta .................................................................. 69
5.6 Pemeriksaan Mikrobiologi ..................................................... 71
5.7 Penggunaan Antibiotika ......................................................... 72
5.8 Profil Outcome Terapi............................................................ 77
5.9 Identifikasi Drug Related Problems (DRP)............................. 78
BAB VI PEMBAHASAN ................................................................. 80
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan ........................................................................... 92
7.2 Saran ..................................................................................... 93
DAFTAR PUSTAKA......................................................................... 94
LAMPIRAN I .................................................................................... 102
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
II.1 Terapi Empirik Untuk Pneumonia Komunitas ........................... 20
II.2 Pasien Tanpa Faktor Risiko Patogen MDR, Onset Dini dan Semua
Derajat Penyakit ...................................................................... 22
II.3 Pasien Dengan Onset Lanjut Atau Terdapat Faktor Risiko Patogen
MDR Untuk Semua Derajat Penyakit ....................................... 22
II.4 Dosis Antibiotika Untuk Pasien Dengan Onset Lanjut Atau Terdapat
Faktor Risiko Patogen MDR .................................................... 23
II.5 Jenis dan Dosis Antibiotika Pada Pneumonia Dewasa ............... 24
II.6 Antibiotika Penisilin Untuk Terapi Pneumonia ......................... 33
II.7 Antibiotika Sefalosporin Untuk Terapi Pneumonia ................... 37
II.8 Antibiotika Karbapenem Untuk Terapi Pneumonia ................... 39
II.9 Antibiotika β-laktamase Inhibitor Untuk Terapi Pneumonia ...... 40
II.10 Antibiotika Glikopeptida Untuk Terapi Pneumonia ................... 42
II.11 Antibiotika Aminoglikosida Untuk Terapi Pneumonia .............. 44
II.12 Antibiotika Tetrasiklin Untuk Terapi Pneumonia ...................... 45
II.13 Antibiotika Makrolida Untuk Terapi Pneumonia ...................... 47
II.14 Antibiotika Sulfonamida Untuk Terapi Pneumonia ................... 50
II.15 Antibiotika Fluorokuinolon Untuk Terapi Pneumonia............... 51
V.1 Penggolongan Pneumonia Berdasarkan Klinis dan Epidemiologis 65
V.2 Faktor Modifikasi Pasien Pneumonia........................................ 68
V.3 Penyakit Penyerta Pada Pasien Pneumonia Komunitas .............. 69
V.4 Penyakit Penyerta Pada Pasien Pneumonia Nosokomial ............ 70
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
xvii
V.5 Hasil Kultur Dahak Pasien Pneumonia ..................................... 71
V.6 Kepekaan Antibiotika .............................................................. 72
V.7 Jenis Antibiotika Pasien Pneumonia ......................................... 73
V.8 Penggunaan Antibiotika Tunggal dan Kombinasi Pasien
Pneumonia..................................................................................... 74
V.9 Dosis Antibiotika pada Pasien Pneumonia Komunitas............... 75
V.10 Dosis Antibiotika pada Pasien Pneumonia Nosokomial ............. 76
V.11 Dosis Antibiotika Pasien Pneumonia dengan Gangguan Ginjal . 76
V.12 Profil Outcome Terapi pada Pasien Pneumonia Komunitas ....... 77
V.13 Profil Outcome Terapi pada Pasien Pneumonia Nosokomial ..... 78
V.14 DRP pada Pasien Pneumonia.................................................... 79
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Bagian-Bagian Saluran Pernafasan ................................................ 8
2.2 Bagian-bagian Alveolus ................................................................ 9
2.3 Mekanisme Pertahanan Paru ......................................................... 12
2.4 Pasien Yang Gagal Dengan Terapi Empirik .................................. 30
3.2 Bagan Kerangka Konseptual ......................................................... 59
3.3 Bagan Kerangka Operasional ........................................................ 60
5.1 Distribusi Pasien Pneumonia Berdasarkan Jenis Kelamin .............. 65
5.2 Distribusi Pasien Pneumonia Berdasarkan Usia ............................. 66
5.3 Gejala pada Pasien Pneumonia ...................................................... 67
5.4 Lama Perawatan Pasien Pneumonia .............................................. 69
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
xix
DAFTAR SINGKATAN
APC : Antigen Presenting Cells
ATS : American Thoracic Society
C3 : Komplemen tipe 3
CAP : Community Acquired Pneumonia
CSF : Cerebrospinal Fluid
DCFC : Decompensatio Cordis Functional Class
DMND : Diabetes Melitus Nefropati Disease
DMK : Dokumen Medik Kesehatan
DRP : Drug Related Problems
DUS : Drug Utilization Study
G3 : Generasi ketiga
G4 : Generasi keempat
HAP : Hospital Acquired Pneumonia
HCAP : Health Care Acquired Pneumonia
HHD : Hipertensi Heart Failure
ICU : Intensive Care Unit
IgA : Imunoglobulin A
IgM : Imunoglobulin M
IgG : Imunoglobulin G
IL-4 : Interleukin 4
IL-5 : Interleukin 5
IL-13 : Interleukin 13
KBM : Kadar Bakterisidal Minimal
KHM : Kadar Hambat Minimal
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
xx
LED : Laju Endap Darah
MDR : Multi Drug Resistant
MHC I : Major Histocompatibility Complex I
MHC II : Major Histocompatibility Complex II
MIC : Minimum Inhibitory Concentration
MODS : Multiple Organ Dysfunction Syndrome
MRSA : Metichillin Resistant Staphylococcus Aureus
MSSA : Metichillin Sensitive Staphylococcus Aureus
PBP : Penicillin Binding Protein
PJK OMI : Penyakit Jantung Koroner Old Miocard Infarc
PMN : Polimorfonuklear
PPOK : Penyakit Paru Obstruktif Kronik
RS : Rumah Sakit
TB : Tuberkulosis
TGF β : Transforming Growth Factor β
WHO : World Health Organization
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pneumonia adalah infeksi jaringan paru (alveoli) bersifat akut yang
diakibatkan oleh inflamasi pada parenkim paru dan pemadatan eksudat pada
jaringan paru. Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu
peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri,
virus, jamur, parasit (PDPI, 2014).
Penyebab utama pneumonia pada orang dewasa adalah infeksi
bakteri (Hippenstiel et al., 2006). Bakteri yang paling sering menyebabkan
pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, dan Mycobacterium
tuberculosis serta bakteri atipikal, seperti Mycoplasma pneumoniae dan
Chlamydia pneumoniae. Penyebab lain pneumonia selain bakteri adalah
virus dan jamur. Virus yang menyebabkan pneumonia antara lain
Respiratory Syncytial Virus (RSV), Human metapneumovirus,
Parainfluenza virus tipe 1 dan 3, adenoviruses, Influenza A or B, dan
rhinovirus (Scaparrotta et al., 2013).
Berdasarkan klinis dan epidemiologis pneumonia dapat dibedakan
menjadi pneumonia komunitas dan pneumonia nosokomial. Pneumonia
komunitas adalah peradangan akut pada parenkim paru yang didapat di
masyarakat. Pneumonia nosokomial adalah penyakit pneumonia yang
dimulai 48 jam setelah pasien dirawat di rumah sakit, yang tidak sedang
mengalami inkubasi suatu infeksi saat masuk rumah sakit (PDPI, 2014).
Di Amerika Serikat, The National Nosocomial Infection
Surveillance menemukan dari semua pasien dengan infeksi nosokomial
dengan ICU sebanyak 31% disebabkan oleh pneumonia. (Tores and
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
2
Cilloniz, 2015). Sebuah penelitian di Denmark, penderita pneumonia
dengan usia >50 tahun pada pria sebanyak 4,2% dan pada wanita sebanyak
3,4%. Hal ini menunjukkan bahwa risiko pneumonia pada pria lebih besar
dibandingkan wanita. Di Prancis, penderita pneumonia dengan HIV
sebanyak 12% (Torres et al., 2013). The Asian Network for Surveillance
of Resistant Pathogens (ANSORP) melakukan studi bahwa dari 955 orang
dewasa dari delapan negara, seperti India, Jepang, Korea Selatan, China,
Malaysia, Singapura, Taiwan dan Thailand mengalami CAP. Angka
kematian secara keseluruhan adalah 7,3% (Ivan et al., 2013).
Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) melaporkan
bahwa kejadian pneumonia sebulan terakhir mengalami peningkatan pada
tahun 2007 dari 2,1% menjadi 2,7% pada tahun 2013. Hasil Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) melaporkan bahwa prevalensi
pneumonia dari tahun ke tahun terus meningkat, yaitu 7,6% pada tahun
2002 menjadi 11,2% pada tahun 2007 (Anwar & Dharmayanti, 2014).
Terdapat sebelas provinsi (33,3%) yang mengalami kenaikan periode
prevalensi pneumonia pada tahun 2013 (Depkes RI, 2014).
Antibiotika merupakan terapi utama untuk penyakit pneumonia.
Pemberian antibiotika diharapkan mampu membunuh bakteri patogen dan
mencapai jaringan tempat bakteri patogen tumbuh. Penentuan antibiotika
yang tepat dapat mengurangi adverse drug reactions (American Thoracic
Society, 2005; Dahlan, 2014).
Sesuai dengan pedoman yang ada, terapi antibiotika
direkomendasikan untuk penyakit pneumonia baik pneumonia komunitas
(CAP) maupun pneumonia nosokomial (HAP). Untuk pasien CAP rawat
inap, diberikan terapi fluorokuinolon respirasi atau β-laktam+makrolida
atau doksisiklin. Jika tidak parah, diberikan ampisilin+makrolida (Mandell
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
3
et al., 2007; Richard and Tracy, 2011).
Terapi antibiotika empiris yang direkomendasikan untuk
pneumonia onset dini HAP tanpa faktor risiko patogen MDR digunakan β-
laktam/anti β-laktamase atau sefalosporin G3 atau fluorokuinolon. Untuk
pneumonia onset lanjut HAP dengan faktor ririsko patogen MDR digunakan
kombinasi terapi antibiotika spektrum luas untuk mengcover MDR basil
gram negatif dan untuk MRSA digunakan vankomisin (PDPI, 2003 ; PPA,
2009).
Antibiotika yang paling sering digunakan pada pasien pneumonia
adalah golongan β-laktam seperti sefalosporin dan golongan fluorokuinolon
(File Jr, 2002). Mekanisme kerja sefalosporin yakni menghambat
pertumbuhan bakteri dengan mengganggu reaksi transpeptidase dari sintesis
dinding sel bakteri. Lebih stabil terhadap bakteri β-laktamase dan karena itu
mempunyai aktivitas spektrum luas. Sefalosporin terbagi dalam empat
generasi, sefalosporin G1 lebih aktif terhadap bakteri gram positif dan
generasi selanjutnya lebih sensitif terhadap bakteri gram negatif.
Seftriakson dan seftazidim merupakan antibiotika golongan sefalosorin G3.
Seftriakson dan seftazidim tidak diserap baik di saluran pencernaan
sehingga harus diberikan secara parenteral. Seftriakson sebanyak 93-96%
terikat pada protein plasma <70 mcg/ml. Orang dewasa dengan fungsi ginjal
dan hati yang normal dengan distribusi paruh 0,12-0,7 jam dan paruh
eliminasi 5,4-10,9 jam. Seftazidim lebih aktif terhadap Pseudomonas
aeruginosa. Terikat pada protein serum kira-kira 5-24%. Seftazidim tidak
dimetabolisme dalam tubuh dan 80-90% dari dosis dieliminasi dalam urin
dalam waktu 24 jam. Rata-rata waktu paruh eliminasi setelah pemberian
seftazidim adalah 1,4-2 jam (McEvoy, 2011; Deck & Winston, 2015).
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
4
Selanjutnya, golongan fluorokuinolon seperti levofloksasin dengan
mekanisme kerja menghambat DNA-girase pada organisme yang rentan
sehingga menghambat relaksasi DNA superkoil dan meningkatkan
kerusakan untai DNA. Bioavailabilitas levofloksasin 99%. Konsentrasi
plasma maksimum dan minimum levofloksasin berturut-turut 6,4 μg/ml dan
0,6 μg/ml. Levofloksasin terikat pada protein serum kira-kira 24-38%.
Didistribusikan secara cepat dan luas ke dalam jaringan dan cairan tubuh,
termasuk kulit, dan paru (Rang et al., 2012).
Dalam studi di beberapa negara, tingkat resistensi antibiotika
secara konsisten yang tertinggi adalah di Asia. Penelitian terbaru di
Malaysia, pada tahun 2011 memperkirakan tingkat resistensi penisilin yang
tertinggi sebesar 31,78%. Di Singapura, dilaporkan tingkat tertinggi
resistensi antibiotika eritromisin sebesar 52,9% dan sefuroksim sebesar
28,6% (Ivan et al., 2013). Pada tahun 2003 sampai 2008 di Amerika Serikat,
dari 1300 pasien HCAP yang diteliti, 118 pasien mengalami resistensi
antibiotika. Bakteri yang mengalami resistensi antara lain MRSA
(Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus) sebanyak 49,2%,
Pseudomonas aeruginosa sebanyak 29,5%, Streptococcus pneumoniae
sebanyak 1,5%. Adanya resistensi antibiotika merupakan salah satu
penyebab terjadinya kegagalan terapi pada penyakit infeksi seperti pada
pneumonia (Karl et al., 2012).
Berdasarkan beberapa penelitian di berbagai negara terutama di
Indonesia angka prevalensi dan resistensi antibiotika pada pneumonia masih
tinggi. Selain itu, tidak tertutup kemungkinan efek samping penggunaan
antibiotika sering terjadi dan penggunaan obat lain juga harus diperhatikan
karena dapat meningkatkan peluang terjadinya Drug Related Problems
(DRP). Sebelumnya belum ada penelitian tentang penggunaan antibiotika
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
5
pada pasien pneumonia di Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA)
Surabaya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang studi
penggunaan antibiotika terhadap pasien pneumonia di Rumah Sakit
Universitas Airlangga (RSUA) Surabaya.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana pola penggunaan antibiotika pada pasien pneumonia di
Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA) Surabaya?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengkaji pola penggunaan antibiotika pada pasien pneumonia di
Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA) Surabaya
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengkaji pola terapi antibiotika (jenis, rute pemberian, dosis,
aturan pakai, dan lama penggunaan obat) pada pasien pneumonia
di Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA) Surabaya.
2. Mengidentifikasi Drug Related Problems (DRP) yang terjadi
setelah pemberian antibiotika meliputi kesesuaian dosis, interaksi
dan efek samping antibiotika.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
masukan dalam upaya meningkatkan pelayanan kefarmasian di rumah sakit.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Paru
2.1.1 Anatomi Paru
Paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut dan
letaknya di dalam rongga dada atau toraks. Kedua paru saling terpisah oleh
mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa pembuluh darah
besar. Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas paru) dan basis. Pembuluh
darah paru, saraf dan pembuluh limfe memasuki paru pada bagian hilus dan
membentuk akar paru (Ward et al., 2010).
Paru kanan dibagi menjadi tiga lobus oleh fisura interlobularis
sedangkan paru kiri dibagi menjadi dua lobus. Lobus-lobus tersebut dibagi
lagi menjadi beberapa segmen sesuai dengan segmen bronkusnya. Paru
kanan dibagi menjadi 10 segmen sedangkan paru kiri dibagi menjadi 9
segmen (Ward et al., 2010).
Setiap paru dilapisi oleh selaput tipis diantaranya pleura viseralis,
pleura parietalis, diafragma, perikardium, dan mediastinum. Suatu lapisan
tipis yang kontinyu mengandung kolagen dan jaringan yang elastis disebut
dengan pleura. Pleura ini melapisi rongga dada (pleura parietalis) dan
menyelubungi setiap paru (pleura viseralis). Pleura parietalis dihubungkan
oleh saraf interkostal dan saraf frenikus sedangkan pleura viseralis tidak
memiliki persarafan sensorik. Diantara pleura parietalis dan viseralis
terdapat suatu lapisan tipis yaitu cairan pleura yang berfungsi untuk
memudahkan kedua permukaan untuk bergerak selama pernafasan dan
untuk mencegah pemisahan toraks dan paru (Ward et al., 2010).
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
7
2.1.2 Anatomi Saluran Pernafasan
Saluran penghantar udara hingga mencapai paru dimulai dari
hidung, faring, laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus. Saluran pernafasan
dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia.
Gerakan bersilia mendorong lapisan mukus ke posterior di dalam rongga
hidung dan ke superior di dalam sistem pernafasan bagian bawah menuju
faring. Dari sini lapisan mukus akan tertelan atau dibatukkan keluar
(Alsagaff & Mukty, 2009; Ward et al., 2010).
Bronkus utama kanan dan kiri tidak simetris. Bronkus kanan lebih
pendek, lebih lebar dan merupakan kelanjutan dari trakea yang arahnya
hampir vertikal. Sebaliknya, bronkus kiri lebih panjang dan lebih sempit
dan merupakan kelanjutan dari trakea dengan sudut yang lebih tajam (Ward
et al., 2010).
Cabang utama bronkus kanan dan kiri membagi diri lagi menjadi
bronkus lobar, bronkus segmental dan bronkus subsegmental. Kemudian
percabangan ini berjalan terus menjasi bronkus yang ukurannya semakin
kecil sampai akhirnya menjadi bronkiolus terminalis, yaitu saluran udara
terkecil yang hampir tidak mengandung alveoli. Setelah bronkiolus
terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru (tempat
pertukaran gas). Asinus terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus
alveolaris dan sakus alveolaris (Alsagaff & Mukty, 2009; Ward et al., 2010).
Duktus alveolaris dan sakus alveolus merupakan perluasan
bronkioli respiratorius. Alveoli yang merupakan kantung- kantung
berdinding tipis tersusun berkelompok pada duktus alveolaris, sehingga
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
8
struktur yang membentuk keduanya juga serupa. Dinding alveoli yang
disebut juga alveolar-capillary membrane berperan dalam pertukaran gas
dari udara ke darah (Levitzky, 2007; Alsagaff & Mukty, 2009).
Alveolar-capillary membrane merupakan tempat pertukaran gas
secara pasif. Lapisan alveolus dan endotel kapiler dihubungkan oleh
jaringan interstitial yang terdiri dari jaringan elastis, retikuler, dan kolagen.
Serabut yang membentuk jaringan interstitiel dapat mencegah terjadinya
perluasan yang berlebihan dari alveoli serta memberi sifat elatis pada paru
(Levitzky, 2007; Alsagaff & Mukty, 2009).
Gambar 2.1 Bagian-Bagian Saluran Pernafasan (Saladin, 2014)
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
9
Gambar 2.2 Bagian-bagian Alveolus (Saladin, 2014)
Keterangan : a. Bagian alveolus dan peredaran darah b. Struktur alveolus c. Struktur membran pernafasan
2.1.3 Fisiologi Saluran Pernafasan
Sistem pernafasan atau sistem respirasi berfungsi untuk
menyediakan oksigen (O2) dan mengeluarkan gas karbondioksida (CO2)
dari tubuh. Penyediaan O2 dan pengeluaran CO2 merupakan fungsi yang
vital bagi kehidupan. Oksigen merupakan sumber tenaga bagi tubuh yang
harus disuplai terus-menerus sedangkan CO2 adalah bahan toksik yang
harus segera dikeluarkan dari dalam tubuh. Pertukaran O2 dan CO2
berlangsung secara difusi antara udara di dalam paru dengan darah di dalam
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
10
kapiler paru melalui dinding alveolus yang sangat tipis (Mc Phee, 2006;
Levitzky, 2007).
2.1.4 Mekanisme Pertahanan Paru
Mekanisme pertahanan utama dari saluran napas adalah epitel
permukaannya yang cukup istimewa yaitu epitel respiratorius atau epitel
bertingkat silindris bersilia dan bersel goblet. Epitel silindris bersilia
merupakan sel yang terbanyak. Silia ini terus bergerak untuk menangkap
dan mengeluarkan partikel asing. Sel goblet mukosa merupakan bagian
apikal mengandung droplet khusus yang terdiri dari glikoprotein (Ward et
al., 2010).
Selain itu, epitel respiratorius dilapisi oleh 5-10 μm lapisan mukus
gelatinosa (fase gel) yang mengambang pada suatu lapisan cair yang sedikit
lebih tipis (fase sol). Lapisan gel atau mukus dan cair atau sol mengandung
mekanisme pertahanan imunitas humoral dan seluler. Lapisan gel terdiri
atas glikoprotein, IgG, IgM, dan faktor komplemen. Lapisan cair terdiri atas
sekresi sekrosa, laktoferin, lisozim, inhibitor sekresi leukoprotease, dan
sekretorik IgA (Ward et al., 2010).
Mukus mengandung beberapa faktor yang dihasilkan oleh sel-sel
epitel dan sel lain atau yang berasal dari sel plasma: antiprotease seperti α1-
antitripsin yang menghambat aksi protease yang dilepaskan oleh bakteri
dan neutrofil yang mendegradasi protein. Protein surfaktan A, terlepas dari
aksinya pada tegangan permukaan, memperkuat fagositosis dan
mengopsonisasi bakteri dan partikel lain. Lisozim disekresi dalam jumlah
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
11
besar pada jalan napas dan memiliki sifat antijamur dan bakterisidal;
bersama dengan protein antimikroba, laktoferin, peroksidase, dan defensin
yang berasal dari neutrofil, enzim tersebut memberikan imunitas
nonspesifik pada saluran napas (Ward et al., 2010).
IgA merupakan salah satu bagian dari sekret hidung (10% dari
total protein sekret hidung). Bakteri yang sering mengadakan kolonisasi
pada saluran napas atas sering mengeluarkan enzim proteolitik dan bakteri
gram negatif mempunyai kemampuan untuk merusak IgA. Immunoglobulin
sekretori (IgA) adalah immunoglobulin utama dalam sekresi jalan napas dan
dengan IgM dan IgG mengaglutinasi dan mengopsonisasi partikel antigenik.
IgA juga menahan perlekatan mikroba ke mukosa. IgA sekretori terdiri dari
suatu dimer dua molekul IgA yang dihasilkan oleh sel-sel plasma (limfosit
B teraktivasi) dan suatu komponen sekretori glikoprotein. Kompleks IgA
sekretori kemudian dipindahkan ke permukaan luminal sel epitel dan
dilepaskan ke dalam cairan bronkial (Ward et al., 2010).
Makrofag adalah fagosit mononuklear yang berada di seluruh
saluran pernafasan. Bertugas sebagai penjaga di saluran napas, memberikan
perlindungan terhadap mikroorganisme yang dihirup dan partikel lainnya
dengan melalui fagositosis. Makrofag alveolar merupakan sel utama dalam
alveoli yang berfungsi dalam pembersihan protein surfaktan dan penekanan
respon imun yang tidak diperlukan dengan memproduksi sitokin anti-
inflamasi seperti interleukin-10 (IL-10) dan Transforming Growth Factor β
(TGF β). Namun, pada infeksi yang lebih parah, mereka dapat memulai
respon inflamasi (Ward et al., 2010; Dockrell et al., 2013).
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
12
Di dalam jaringan limfoid mukosa terdapat sel dendrit yang berasal
dari sumsum tulang. Sel dendrit berfungsi sebagai Antigen Precenting Cells
(APC) dan mengirim sinyal aktivasi kepada limfosit T untuk memulai
respon imun (immunostimulatory cells). Sel dendrit akan mengekspresikan
MHC II pada level yang tinggi serta MHC I dan reseptor komplemen tipe 3
(C3). Sinyal dari Th (CD4+) akan menginduksi limfosit untuk menghasilkan
sitokin. Aktivasi limfosit B dibantu oleh sel Th2 (IL-4, IL-5, IL-13) serta
membentuk diferensiasi sel B menjadi klon yang memproduksi antibodi
berupa sekterotik IgA (Kolls, 2013).
Gambar 2.3 Mekanisme Pertahanan Paru (Mc Phee, 2006)
Keterangan : A. Pertahanan imun B. Pertahanan non imun
A B
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
13
2.2 Pneumonia
2.2.1 Definisi Pneumonia
Pneumonia merupakan suatu penyakit infeksi pada parenkim paru
yang disebabkan oleh sejumlah bakteri yang berbeda, virus parasit, atau
jamur. Infeksi ini menyebabkan peradangan pada paru dan akumulasi
eksudat pada jaringan paru (Mc Phee, 2006). Selain itu pneumonia juga
didefinisikan sebagai peradangan parenkim paru, distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas
setempat (Dahlan, 2014).
2.2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, The National Nosocomial Infection
Surveillance menemukan dari semua pasien dengan infeksi nosokomial
dengan ICU sebanyak 31% disebabkan oleh pneumonia. Di Eropa, sebuah
studi di Italia melaporkan bahwa 9,1% dari semua pasien yang dirawat
berkembang infeksi nosokomial disebabkan oleh pneumonia (Tores and
Cilloniz, 2015). Sebuah penelitian di Denmark, penderita pneumonia
dengan usia >50 tahun pada pria sebanyak 4,2% dan pada wanita sebanyak
3,4%. Hal ini menunjukkan bahwa risiko pneumonia pada pria lebih besar
dibangdingkan wanita. Di Spanyol, penderita pneumonia dengan usia ≥65
tahun sebanyak 14% (Torres et al., 2013).
The Asian Network for Surveillance of Resistant Pathogens
(ANSORP) melakukan studi bahwa dari 955 orang dewasa dari delapan
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
14
negara, seperti India, Jepang, Korea Selatan, China, Malaysia, Singapura,
Taiwan dan Thailand mengalami CAP. Angka kematian secara keseluruhan
adalah 7,3%. Dalam studi lain dari 255 orang dewasa Asia mengalami
kematian akibat pneumonia pneumokokus resisten antibiotika sebesar
13,3% dan mengalami peningkatan menjadi 31,9% (Ivan et al., 2013).
Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) melaporkan
bahwa kejadian pneumonia sebulan terakhir mengalami peningkatan pada
tahun 2007 dari 2,1% menjadi 2,7% pada tahun 2013. Hasil Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) melaporkan bahwa prevalensi
pneumonia dari tahun ke tahun terus meningkat, yaitu 7,6% pada tahun
2002 menjadi 11,2% pada tahun 2007 (Anwar & Dharmayanti, 2014).
Terdapat sebelas provinsi (33,3%) yang mengalami kenaikan periode
prevalensi pneumonia pada tahun 2013 (Depkes RI, 2014).
2.2.3 Etiologi
Penyebab terbanyak pneumonia komunitas untuk pasien rawat
jalan disebabkan oleh bakteri misalnya Streptococcus pneumoniae,
Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus Influenzae, Chlamidophila
pneumoniae, dan virus respirasi. Untuk pasien rawat inap (non ICU)
disebabkan oleh bakteri misalnya Streptococcus pneumoniae, Mycoplasma
pneumoniae, Chlamidophila pneumoniae, Haemophilus Influenzae,
Legionella spp, aspirasi, dan virus respirasi. Untuk pasien rawat ICU
disebabkan oleh bakteri misalnya Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
15
influenzae, Staphylococcus aureus, Legionella spp, dan basil gram negatif
( Richard and Tracy, 2011; PDPI, 2014).
Patogen penyebab pneumonia nosokomial berbeda dengan
pneumonia komunitas. Pneumonia nosokomial dapat disebabkan oleh
kuman bukan Multi Drug Resistance (MDR) misalnya Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus Influenzae, Methicillin Sensitive Staphylococcus
aureus (MSSA) dan kuman MDR misalnya Pseudomonas aeruginosa,
Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter spp dan Gram
positif seperti Methicillin Resistance Staphylococcus aureus (MRSA).
Pneumonia nosokomial yang disebabkan jamur, kuman anaerob dan virus
jarang terjadi (ATS, 2005; Blackford et al., 2015)
2.2.4 Klasifikasi
Berdasarkan klinis dan epidemiologis pneumonia dapat
dikelompokkan menjadi 2 yaitu Pneumonia komunitas (Community
Acquired Pneumoniae), Pneumonia nosokomial (Hospital Acquired
Pneumoniae) (PDPI, 2014).
Pneumonia komunitas (Community Acquired Pneumoniae) adalah
peradangan akut pada parenkim paru yang didapat di masyarakat . Bakteri
yang sering didapat pada pneumonia komunitas adalah Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae, Mycoplasma pneumoniae,
Chlamidophila pneumoniae, Staphylococcus aureus, dan Klebsiella
pneumoniae, serta bakteri gram negatif lain seperti Legionella spp (Richard
and Tracy, 2011; PDPI, 2014).
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
16
Pneumonia nosokomial (Hospital Acquired Pneumoniae) adalah
penyakit pneumonia yang dimulai 48 jam setelah pasien dirawat di rumah
sakit, yang tidak sedang mengalami inkubasi suatu infeksi saat masuk
rumah sakit. Pneumonia nosokomial (HAP) dibagi lagi menjadi pneumonia
berhubungan dengan penggunaan ventilator atau Ventilator Acquired
Pneumonia (VAP) dan pneumonia yang didapat di pusat perawatan
kesehatan atau Health Care Associated Pneumoniae (HCAP). Organisme
yang paling sering menyebabkan terjadinya pneumonia nosokomial adalah
Streptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa, MSAA (Methicillin
Sensitive Staphilococcus Aureus), MRSA (Methicillin Resistant
Staphilococcus Aureus), Acinetobacter spp, Klebsiella pneumoniae, dan
Escherchia coli (ATS, 2005; Blackford et al., 2015).
2.2.5 Patofisiologi
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme
di paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila
terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat
berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Risiko infeksi di paru sangat
tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak
permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme
mencapai permukaan saluran napas diantaranya (1) Inokulasi langsung (2)
Penyebaran melalui pembuluh darah (3) Inhalasi bahan aerosol (4)
Kolonisasi di permukaan mukosa (PDPI, 2014).
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
17
Bakteri yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli
menyebabkan reaksi radang berupa edema dari seluruh alveoli disusul
dengan infiltrasi sel-sel PMN. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan
alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis
sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian difagosit (Soedarsono,
2010).
Pada waktu terjadi proses infeksi, akan tampak 4 zona pada daerah
peradangan, yaitu :
1. Zona luar : alveoli yang terisi dengan mikroorganisme dan cairan
edema.
2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari sel-sel PMN dan beberapa
eksudasi sel darah merah.
3. Zona konsolidasi yang luas : daerah dimana terjadi fagositosis yang
aktif dengan jumlah sel PMN yang banyak.
4. Zona resolusi : daerah tempat terjadi resolusi dengan mikroorganisme
yang mati, leukosit dan makrofag alveolar.
• Hepatisasi merah : daerah perifer tempat dimana terdapat edema
dan perdarahan.
• Hepatisasi abu abu : daerah konsolidasi luas.
(PDT, 2005 ; Soedarsono, 2010).
2.2.6 Gejala Klinik
Gejala klinik pada pneumonia komunitas biasanya ditandai dengan
demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat sampai ≥38°C (aksilia),
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
18
batuk dengan perubahan karakteristik sputum/purulen (batuk dengan dahak
mukoid atau purulen yang terkadang disertai dengan darah), nyeri dada, dan
sesak nafas, leukosit ≥ 10.000 atau 4.500, pada pemeriksaan fisik ditemukan
tanda-tanda konsolidasi, suara nafas bronki dan ronki (PDPI, 2014).
Pada penderita pneumonia nosokomial ditandai dengan foto toraks,
adanya terdapat infiltrat baru atau progresif, suhu tubuh > 38°C, sekret
purulen, leukositosis dan gangguan imun yang dapat dijumpai gangguan
kesadaran oleh hipoksia (PDPI, 2003; Dahlan, 2014).
Pada pneumonia virus ditandai dengan gejala demam, malaise, dan
mialgia yang berhubungan dengan batuk kering. Dapat diperoleh bentuk
manifestasi lain yang berupa infeksi paru seperti efusi pleura,
pneumotoraks/hidropneumo toraks (Dahlan, 2014).
2.2.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang terdiri dari dua macam, yaitu gambaran
radiologis dan data laboratorium. Untuk gambaran radiologis, foto toraks
merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis.
Namun, foto toraks saja tidak dapat secara khusus untuk menentukan
penyebab pneumonia, hanya menjadi petunjuk ke arah diagnosis etiologi.
Data laboratorium yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah
pemeriksaan jumlah leukosit untuk menandai adanya infeksi bakteri. Pada
pneumonia, terjadi peningkatan jumlah leukosit (lebih dari 10.000/μl
kadang-kadang mencapai 30.000/μl) dan pada hitung jenis leukosit terjadi
peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
19
pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Hal ini bertujuan untuk pra
terapi dan evaluasi terapi selanjutnya. Analisis gas darah dilakukan untuk
menilai tingkat hipoksia dan kebutuhan oksigen (Ward et al., 2010; Dahlan,
2014).
2.3 Tinjauan Tentang Terapi Pneumonia dan Evaluasi Terapi
Pengobatan pneumonia terdiri atas pemberian antibiotika dan
terapi suportif (Soedarsono, 2010). Pertama kali yang harus diperhatikan
pada penderita pneumonia adalah evaluasi terhadap fungsi pernafasan
sebelum diberikan terapi. Terapi awal pneumonia bakterial diberikan secara
empiris, dengan penggunaan antibiotika spektrum luas sebelum spesifik
patogen penyebab diketahui. Setelah diberikan antibiotika spektrum sempit
sesuai patogen penyebabnya, diharapkan dapat meminimalkan resistensi
(Blackford et al., 2015).
2.3.1 Terapi Antibiotika
2.3.1.1 Tinjauan Tentang Antibiotika
Antibiotika adalah zat antibakteri yang dihasilkan oleh berbagai
macam mikroorganisme (bakteri, jamur, dan actinomycetes) yang menekan
pertumbuhan mikroorganisme lainnya. Antibiotika berbeda dalam bentuk
fisik, kimia, efek farmakologi, spektrum antimikroba, dan mekanisme kerja
(Chambers, 2006).
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
20
2.3.1.2 Pneumonia Komunitas
Tabel II.1 Terapi empirik untuk Pneumonia Komunitas (Community
Acquired Pneumoniae) (Richard and Tracy, 2011; PDPI,
2014)
Rawat jalan Pasien yang sebelumnya sehat atau tanpa riwayat
pemakaian antibiotika 3 bulan sebelumnya
- Golongan β-laktam atau β-laktam + anti β-
laktamase atau
- Makrolid baru ( klaritromisin, azitromisin)
Pasien dengan komorbid atau mempunyai riwayat
pemakaian antibiotika 3 bulan sebelumnya
- Fluorokuinolon respirasi (levofloksasin 750
mg, moksifloksasin) atau
- Golongan β-laktam + anti β-laktamase atau
- β-laktam + makrolid
Rawat inap non
ICU
- Fluorokuinolon respirasi (levofloksasin 750
mg, moksifloksasin) atau
- β-laktam + makrolid
Rawat inap
intensif
Tidak ada faktor risiko infeksi pseudomonas
- β-laktam (sefotaksim, seftriakson, atau
ampisilin sulbaktam) + makrolid baru
atau fluorokuinolon respirasi intravena
(IV)
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
21
Pertimbangan
khusus
Bila ada faktor risiko infeksi pseudomonas
- Antipneumokokkal, antipseudomonas β-
laktam (piperacilin-tazobaktam,
sefepime, imipenem atau meropenem) +
levofloksasin 750 mg atau β-laktam
seperti tersebut diatas + aminoglikosida
dan azitromisin atau
- β-laktam seperti tersebut diatas +
aminoglikosida dan antipneumokokkal
Fluorokuinolon ( untuk pasien yang
alergi penisilin, β-laktam diganti dengan
aztreonam)
Bila curiga disertai infeksi MRSA
- Tambahkan vankomisin atau linezolid
2.3.1.3 Pneumonia Nosokomial
Terapi empirik untuk Pneumonia Nosokomial (Hospital Acquired
Pneumoniae)
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
22
Tabel II.2 Pasien Tanpa Faktor Risiko Patogen MDR, Onset Dini dan
Semua Derajat Penyakit (ATS, 2005; Blackford et al., 2015)
Patogen potensial Antibiotika yang digunakan
1. Streptocoocus pneumoniae
2. Haemophilus influenzae
3. MSSA
4. Antibiotika sensitif basil gram
negatif enterik :
- Escherichia coli
- Klebsiella pneumoniae
- Enterobacter spp
- Proteus spp
- Serratia marcescens
1. β-laktam + antiβ-laktamase
(Amoksisilin klavulanat)
2. Sefalosporin G3 nonpseudomonal
(Seftriakson, sefotaksim)
3. Kuinolon respirasi
(Levofloksasin, Moksifloksasin)
Tabel II.3 Pasien Dengan Onset Lanjut Atau Terdapat Faktor Risiko
Patogen MDR Untuk Semua Derajat Penyakit (ATS, 2005;
Blackford et al., 2015)
Patogen potensial Terapi Antibiotika kombinasi
Patogen MDR tanpa atau dengan
patogen yang telah disebutkan
diatas:
1. Pseudomonas aeruginosa
2. Klebsiella pneumoniae
3. Acinetobacter sp
1. Sefalosporin antipseudomonal
(sefepim, seftasidim, sefpirom) atau
Karbapenem antipseudomonal
(Meropenem, imipenem) atau β-
laktam/ penghambat β laktamase
(Piperasilin/tasobaktam) +
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
23
4. MRSA Fluorokuinolon antipseudomonal
(siprofloksasin atau levofloksasin)
2. Aminoglikosida (amikasin,
gentamisin atau tobramisin) +
Linesolid atau vankomisin atau
Teikoplanin
Tabel II.4 Dosis Antibiotika Untuk Pasien Dengan Onset Lanjut Atau
Terdapat Faktor Risiko Patogen MDR (ATS, 2005;
Blackford et al., 2015)
Antibiotika Dosis
Sefalosporin antipseudomonal
1. Sefepim
2. Seftasidim
3. Sefpirom
1-2 g setiap 8 – 12 jam
2 g setiap 8 jam
1 g setiap 8 jam
Karbapenem
1. Meropenem
2. Imipenem
1 g setiap 8 jam
500 mg setiap 6 jam / 1 g setiap
8 jam
Β-laktam/ penghambat β-laktamase
1. Piperasilin-tasobaktam
4,5 g setiap 6 jam
Aminoglikosida
1. Gentamisin
2. Tobramisin
7 mg/kg BB/hari
7 mg/kg BB/hari
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
24
3. Amikasin 20 mg/kg BB/hari
Kuinolon antipseudomonal
1. Levofloksasin
2. Siprofloksasin
750 mg/hari
400 mg setiap 8 jam
Vankomisin 15 mg/kg BB/12 jam
Linesolid
Teikoplanin
600mg setiap 12 jam
400mg/ hari
2.3.1.4 Jenis dan Dosis Antibiotika Pada Pneumonia Dewasa
Tabel II.5 Jenis dan Dosis Antibiotika Pada Pneumonia Dewasa (Blackford
et al., 2015)
Golongan
Antibiotika
Nama Antibiotika Dosis (Dosis
Total/Hari)
Penisilin Ampisilin-sulbaktam
Amoksisilin/amoksisilin-
klavulanat
Piperasilin/tasobaktam
6-12 g
0,75-1 g
12-18 g
Sefalosporin Seftriakson
Sefotaksim
Seftazidim
Sefepim
1-2 g
2-12 g
4-6 g
2-6 g
Makrolida Klaritromisin
Eritromisin
0,5-1 g
1-2 g
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
25
Azitromisin 500 mg/hari selama
sehari kemudian
250 mg/hari selama
4 hari
Florokuinolon Levofloksasin
Siprofloksasin
750 mg
1,2 g
Tetrasiklin Doksisiklin
Tetrasiklin HCl
100-200 mg
1-2 g
Aminoglikosida Gentamisin
Tobramisin
7,5 mg/kg
7,5 mg/kg
Karbapenem Imipenem
Meropenem
2-4 g
1-3 g
Lainnya Vankomisin
Linezolid
Klindamisin
2-3 g
1,2 g
1,8 g
2.3.1.5 Faktor-Faktor Pemilihan Antibiotika
a. Faktor Pasien
Cara pemberian obat berdasarkan tingkat keparahan ISNBA dan
keadaan umum (kesadaran), mekanisme imunologis, umur, defisiensi
genetik, kehamilan, alergi. Pasien berobat jalan dapat diberikan obat oral,
pasien rawat inap diberikan obat intravena.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
26
b. Faktor Antibiotika
Tidak mungkin mendapatkan satu jenis antibiotika yanga ampuh
untuk semua jenis kuman. Karena itu penting dipahami berbagai aspek
tentang antibiotika untuk efisiensi pemakaian antibiotika. Secara praktis
dipilih antibiotika yang ampuh dan secara empirik telah terbukti merupakan
obat pilihan utama dalam mengatasi kuman penyebab yang paling mungkin
pada pneumonia berdasarkan data antibiogram mikrobiologi dalam 6-12
bulan terakhir. Efektivitas antibiotika tergantung kepada kepekaan kuman
terhadap antibiotika ini, penetrasinya ke tempat lesi infeksi, toksisitas,
interaksi dengan obat lain dan reaksi pasien seperti alergi.
c. Faktor Farmakologis
Farmakokinetik antibiotika mempertimbangkan proses bakterisidal
dengan Kadar Hambat Minimal (MIC) yang sama dengan Kadar
Bakterisidal Minimal (KBM), dan bakteriostatik dengan KBM yang jauh
lebih tinggi daripada KHM. Farmakodinamik menilai kemampuan
antibiotika untuk melakukan penetrasi ke lokasi infeksi di jaringan dan
keampuhannya antibiotika hingga obat ini ampuh untuk dipakai terhadap
patogen penyebab. Antibiotika dengan Cmax/MIC rasio >8-10, atau AUC:
MIC Ratio diatas 100, akan dapat menekan terjadinya perkembangan
resistensi patogen. Hal ini penting terutama pada pengobatan pasien
immunocompromised (Dahlan, 2014).
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
27
2.3.1.6 Faktor Modifikasi
Dalam hal mengobati penderita pneumonia komunitas perlu
diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi, yaitu keadaan yang dapat
meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme patogen tertentu atau
spesifik misalnya Streptococcus pneumoniae yang resisten penisilin.
a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin
1. Umur lebih dari 65 tahun
2. Memakai obat-obat golongan β-laktam selama tiga bulan terakhir
3. Pecandu alkohol
4. Penyakit gangguan kekebalan
5. Penyakit penyerta yang multipel
b. Bakteri enterik Gram negatif
1. Penghuni rumah jompo
2. Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru
3. Mempunyai kelainan penyakit yang multipel
4. Riwayat pengobatan antibiotika
c. Pseudomonas aeruginosa
1. Bronkiektasis
2. Pengobatan kortikosteroid >10 mg/hari
3. Pengobatan antibiotika spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir
4. Gizi kurang
(ATS, 2001; PDPI, 2014).
Beberapa hal yang merupakan faktor modifikasi pada pneumonia
nosokomial diantaranya penyakit kronik (seperti penyakit jantung, PPOK,
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
28
diabetes, akhololisme, azotemia), perawatan di rumah sakit yang lama,
koma, pemakaian obat tidur, perokok, intubasi endotrakeal, malnutrisi, usia
lanjut, pengobatan steroid, riwayat pengobatan antibiotika, waktu operasi
yang lama, sepsis, syok hemoragik, infeksi berat di luar paru dan cidera
paru akut serta bronkiektasis (PDPI, 2003).
2.3.2 Terapi Suportif
Terapi suportif yang umum disesuaikan dengan kondisi pasien.
Diberikan terapi O2 untuk mencapai PaO2 80 – 100 mmHg atau saturasi 95-
96% berdasarkan pemeriksaan analisis gas darah. Humidifikasi dengan
nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental, disertai nebulizer untuk
pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme. Fisioterapi dada untuk
pengeluaran dahak, khususnya anjuran untuk batuk dan nafas dalam.
Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia, dan paru lebih
sensitif terhadap pembebanan cairan. Pemberian cairan pada pasien harus
diatur dengan baik, termasuk pada keadaan gangguan sirkulasi dan gagal
ginjal. Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan,
tetapi tidak bermanfaat pada keadaan renjatan septik. Pemberian obat
inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bla
terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal. Bila
terjadi gagal nafas, diberikan nutrisi yang cukup kalori terutama didapatkan
dari lemak (50%), untuk menghindari produksi CO2 yang berlebihan
(Glover and Reed, 2008; Dahlan, 2014).
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
29
2.3.3 Evaluasi Terapi
Setelah dilakukan terapi, pasien diharapkan mencapai outcome
terapi berupa kondisi pasien mengalami perbaikan yang bisa dilihat dari
data klinis, data laboratorium dan data radiologis berupa rontgen dada.
Selama terapi, pasien dimonitoring berdasarkan parameter klinis yang
sesuai untuk memastikan efektivitas dan keamanan regimen terapi. Pada
pasien dengan pneumonia komunitas atau pneumonia dengan tingkat
keparahan dari ringan sampai sedang, dilakukan evaluasi seperti frekuensi
batuk, penurunan produksi sputum, dan penurunan demam, serta gejala
konstitusional lainnya mulai dari malaise, mual, muntah, dan lesu
(Blackford et al., 2015).
Jika pasien membutuhkan terapi oksigen tambahan, perlu
dilakukan penyesuaian jumlah yang akan diberikan. Sebuah perbaikan dari
gejala ini harus diamati secara bertahap dan terus-menerus. Pengamatan
awal harus diamati dalam 2 hari pertama dan waktu untuk menyelesaikan
pengamatan biasanya tidak lebih dari 10 hari (5 sampai 7 hari). Pada pasien
dengan penyakit yang mendasari pneumonia atau substansial nosokomial
atau keduanya, parameter tambahan dapat diamati, seperti melihat jumlah
sel darah putih dan rontgen dada. Dilakukan pengamatan dalam waktu 2
hari setelah diberikan terapi antibiotika (Blackford et al., 2015).
Jika dalam waktu 2 hari dari mulai terapi antibiotika status klinis
pasien memburuk, dilakukan penyesuaian kembali secara kritis terapi
antibiotika. Pasien harus dievaluasi secara hati-hati untuk mencegah adanya
komplikasi penyakit yang lain. Selain itu, harus mempertimbangkan
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
30
kemungkinan untuk merubah terapi antibiotika dengan spektrum yang lebih
luas dari terapi sebelumnya. Selain itu, penggunaan terapi antifungi harus
dipertimbangkan (Blackford et al., 2015).
Jika setelah diberikan pengobatan secara empiris tidak ada
perbaikan, harus ditinjau kembali diagnosisnya, faktor-faktor pasien, obat-
obat yang telah diberikan dan bakteri penyebabnya.
Gambar 2.4 Pasien Yang Gagal Dengan Terapi Empirik (PDPI, 2014)
2.4 Antibiotika
2.4.1 Menghambat Sintesis Dinding Sel
2.4.1.1 Penisilin
Antibiotika β-laktam adalah agen antimikroba yang sering
digunakan. Golongan β-laktam umunya bersifat bakterisid dan sebagian
besar efektif terhadap organisme gram positif dan negatif. Mekanisme kerja
dari golongan ini yaitu menghambat pembentukan peptidoglikan yang
- Gagal jantung - Emboli - Keganasan - Reaksi Obat - Perdarahan
Pasien tidak respons dengan pengobatan empiris yang telah diberikan
Salah diagnosis Diagnosis sudah benar
Faktor pasien : - Kelainan lokal - Respon yang tidak adekuat - komplikasi
Faktor obat : - salah pilih obat - salah dosis/ pemberian obat -komplikasi - reaksi obat
Faktor patogen : - kuman resisten obat - Bakteri patogen yang lain - jamur atau virus
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
31
merupakan komponen dinding sel bakteri, dengan mengganggu reaksi
transpeptidasi dalam dinding sel bakteri Deck & Winston, 2015).
(1) Klasifikasi
a. Penisilin (misalnya, penisilin G)
Penisilin golongan ini paling aktif melawan bakteri gram positif,
kokus gram negatif, dan anaerob yang tidak memproduksi enzim β-
laktamase. Akan tetapi, penisilin ini mempunyai aktivitas rendah terhadap
batang gram negatif dan rentan terhidrolisis oleh enzim β-laktamase.
Penisilin G tidak stabil dalam keadaan asam sehingga digunakan secara
intramuskular atau intravena (Neal, 2012; Deck & Winston, 2015).
b. Antistafilokokal penisilin (misalnya, Nafsilin)
Penisilin golongan ini resisten terhadap stafilokokal β-laktamase.
Aktif terhadap stafilokokus dan streptokokus tetapi tidak aktif melawan
enterokokus, bakteri anaerob dan kokus gram negatif (Deck & Winston,
2015).
c. Penisilin spektrum luas (misalnya, Ampisilin dan Penisilin
antipseudomonal)
Penisilin golongan ini memiliki spektrum yang sama dengan
golongan penisilin, lebih aktif terhadap bakteri gram negatif tetapi relatif
rentan terhadap hidrolisis oleh enzim β-laktamase (Deck & Winston, 2015).
(2) Mekanisme Kerja
Mekanisme kerjanya dengan mencegah ikatan silang (cross-
linkage) antara rantai lurus polimer peptidoglikan yang menyusun dinding
sel bakteri yaitu berupa jembatan pentaglycine (Neal, 2012). Antibiotika β-
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
32
laktam memiliki struktur yang analog dengan substrat D-Alanil-D-Alanin
bakteri dan terikat kovalen pada sisi aktif oleh Penicillin-binding proteins
(PBPs). Setelah antibiotika β-laktam terikat pada PBP, reaksi transpeptidase
bakteri terhambat, sintesis peptidoglikan terhenti dan sel bakteri akan mati
(Deck & Winston, 2015).
(3) Farmakokinetika
Absorbsi obat secara peroral berbeda-beda pada masing-masing
penisilin, tergantung pada stabilitas terhadap asam dan ikatan protein.
Absorbsi nafsilin pada saluran cerna tidak teratur, sehingga tidak cocok
untuk pemberian peroral. Dikloksasilin, ampisilin, dan amoksisilin stabil
terhadap asam dan relatif diabsorbsi dengan baik, menghasilkan konsentrasi
serum dalam kisaran 4-8 mcg/ml setelah dosis oral 500 mg. Absorpsi
sebagian besar penisilin oral (kecuali amoksisilin) terganggu oleh makanan
sehingga harus diberikan setidaknya 1-2 jam sebelum atau sesudah makan.
Absorpsi pada pemberian parenteral terjadi secara utuh dan cepat.
Pemberian secara intravena lebih dipilih daripada rute intramuskular karena
iritasi dan nyeri lokal dari injeksi intramuskular dosis besar (Deck &
Winston, 2015).
Penisilin terdistribusi secara luas dalam jaringan tubuh dan
jaringan. Konsentrasi penisilin dalam sebagian besar jaringan serupa dengan
konsentrasinya dalam serum. Penisilin cepat diekskresi oleh ginjal, hanya
sebagian kecil diekskresi melalui jalur lain. Sekitar 10% ekskresi ginjal
terjadi melalui filtrasi glomerulus dan 90% di tubulus ginjal. Ampisilin dan
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
33
penisilin berspektrum luas diekskresi lebih lambat daripada penisilin G dan
mempunyai waktu paruh 1 jam (Deck & Winston, 2015).
(4) Efek Samping
Penisilin umumnya dapat ditoleransi dengan baik dan tidak
memiliki efek samping. Sebagian besar efek samping yang serius
berhubungan dengan hipersensitivitas. Determinan antigenik adalah produk
degradasi penisilin, terutama asam penisiloat dan produk dari hidrolisis
yang terikat pada protein host. Ruam kulit dan demam dapat terjadi.
Keadaan yang lebih serius adalah syok anafilaksis akut, yang meskipun
jarang dapat berakibat fatal. Ketika diberikan secara oral, penisilin,
terutama yang berspektrum luas, akan megganggu flora normal usus. Hal
tersebut dapat menyebabkan gangguan gastrointestinal (Rang et al., 2012).
Tabel II.6 Antibiotika Penisilin untuk Terapi Pneumonia (McEvoy, 2011)
Antibiotika Dosis dan Klirens Kreatinin
Amoksisilin Dosis: oral 875 mg tiap 12 jam atau 500 mg tiap 8 jam.
Adjustment dosis: - ClCR 10-30: 250 atau 500mg/12jam - ClCR <10: 250 atau 500mg/24jam
Ampisilin Dosis: oral 250 mg 4 kali sehari
Dikloksasilin Dosis oral : Pada infeksi ringan/sedang 125 mg setiap 6 jam. Pada infeksi berat 250 mg setiap 6 jam
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
34
Antibiotika Dosis dan Klirens Kreatinin
Oksasilin Dosis IV atau IM : Pada infeksi ringan/sedang 250-500 mg setiap 4-6 jam. Pada infeksi berat 1 g setiap 4-6 jam
Adjusment dosis : ClCR<10 perlu dilakukan adjusment dosis dan
frekuensi sesuai dengan kerusakan ginjal
2.4.1.2 Sefalosporin
Sefalosporin terbagi dalam empat generasi, berdasarkan spektrum
antibakterinya. Sefalosporin generasi pertama lebih aktif terhadap bakteri
gram positif dan generasi selanjutnya lebih sensitif terhadap bakteri gram
negatif (Deck & Winston, 2015).
(1) Klasifikasi
a. Sefalosporin Generasi Pertama
Yang termasuk dalam generasi ini adalah sefadroksil, sefazolin,
sefaleksin, sefalothin, sefapirin, dan sefradin. Obat-obat ini sangat aktif
terhadap bakteri gram positif kokus seperti pneumokokus, stafilokokus dan
streptokokus. Sefalosporin tidak aktif terhadap MRSA, Esherichia coli,
Klebsiella pneumonia, dan Proteus mirabilis sering peka, tetapi aktivitas
terhadap Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter, Serratia mercescent,
Citrobacter, dan Acinobacter lemah (Deck & Winston, 2015).
b. Sefalosporin Generasi Kedua
Yang termasuk dalam generasi ini adalah sefaklor, sefamandol,
sefonisid, sefuroksim, sefprozil, lorakarbef, dan seforanid sefamisin yang
terkait secara struktural, seperti sefosiktin, sefmetazol, dan sefotetan, yang
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
35
memiliki aktivitas terhadap bakteri anaerob. Generasi ini bersifat lebih aktif
terhadap bakteri gram negatif dibanding generasi pertama dan mempunyai
aktivitas terhadap bakteri anaerob. Sefuroksim dapat digunakan untuk terapi
pneumonia komunitas karena sefuroksim aktif terhadap β-laktamase yang
diproduksi oleh Klebsiella pneumonia, Haemophylus influenza, dan
Penicillin Resistant Pneumococci (Deck & Winston, 2015).
c. Sefalosporin Generasi Ketiga
Yang termasuk dalam generasi ini adalah sefoperazon, sefotaksim,
seftazidim, seftrizoksim, seftriakson, sefiksim, sefpodoksim, proksetil,
sefdinir, sefditoren pivoksil, seftibuten, dan moksalaktam. Sefalosporin
generasi ketiga mempunyai spektrum yang lebih luas terhadap bakteri gram
positif dan gram negatif dibandingkan dengan sefalosporin generasi kedua.
Beberapa dari golongan ini dapat menembus blood brain barrier.
Seftazidim dan sefoperazon merupakan golongan sefalosporin generasi
ketiga yang aktif terhadap Pseudomonas aeruginosa (Deck & Winston,
2015). Seftazidim memiliki aktivitas yang sangat baik terhadap
Pseudomonas dan bakteri gram negatif lainnya. Seftazidim lebih aktif
secara in vitro terhadap Pseudomonas daripada piperasilin. Seftriakson
memiliki aktivitas in vitro yang mirip dengan seftrizoksim dan sefotaksim
(Petri and Jr, 2011).
d. Sefalosporin Generasi Keempat
Sefepim merupakan salah satu contoh obat sefalosporin generasi
keempat. Obat ini lebih resisten terhadap hidrolisis oleh β-laktamase
kromosomal (yang diproduksi oleh enterobakter). Sefepim memiliki
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
36
aktivitas yang baik terhadap Pseudomonas aeruginosa, Enterobacteriaceae,
Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumoniae. Sefepim sangat
aktif terhadap Haemophilus dan Neisseria. Tidak seperti seftazidim,
sebagaimana sefepim memiliki aktivitas yang baik terhadap sebagian besar
strain Penicillin Resistant Streptococci, dan mungkin digunakan untuk
pengobatan infeksi Enterobacter (Deck & Winston, 2015).
(2) Mekanisme Kerja
Sefalosporin memiliki mekanisme dan aktivitas farmakologi yang
sama dengan penisilin. Sefalosporin lebih stabil terhadap enzim β-laktamase
dan memiliki spektrum antibakteri yang lebih luas, namun sefalosporin
tidak aktif terhadap enterokokus dan Listeria monocytogenes (Neal, 2012;
Deck & Winston, 2015).
(3) Efek Samping
Reaksi hipersensitivitas, sangat mirip dengan reaksi terhadap
penisilin, dan mungkin terjadicross sensitivity. Sekitar 10% dari individu
hipersensitiv terhadap penisilinakan memiliki reaksi alergi terhadap
sefalosporin. Nefrotoksisitastelah dilaporkan (terutama sefradine), seperti
drug-induced alcohol intolerance.Diare umum terjadi dandapat disebabkan
oleh C. difficile (Rang et al., 2012).
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
37
Tabel II.7 Antibiotika Sefalosporin untuk Terapi Pneumonia (McEvoy,
2011)
Antibiotika Dosis dan Klirens Kreatinin
Sefotaksim Dosis: IV atau IM 1 g setiap 6-8 jam Adjustment dosis (IV):
- ClCR ≥20 : 1-2g/8jam - ClCR <20 : 0,5-1g/8jam
Sefepim Dosis: IV 1-2 g tiap 12 jam selama 10 hari Adjustment dosis:
- ClCR 30-60 : 500mg/24jam (dosis awal 500mg); 1g/24jam (dosis awal 1g); 2g/24jam (dosis awal 2g)
- ClCR 11-29 : 500mg/24jam (dosis awal 500mg); 500mg/24jam (dosis awal 1g); 1g/24jam (dosis awal 2g)
- ClCR <11 : 250mg/24jam (dosis awal 500mg); 250mg/24jam (dosis awal 1g); 500mg/24jam (dosis awal 2g)
Seftazidim Dosis: 0,5-1 g tiap 8 jam Adjustment dosis: ClCR ≤50mL/menit dosis
inisial 1 g dan dilanjutkan - ClCR 31-50 : 1g/12jam - ClCR 16-30 : 1g/24jam - ClCR 6-15: 500mg/24jam - ClCR <5: 500mg/48jam
Seftriakson Dosis: IV atau IM 1 g tiap 12 atau 24 jam
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
38
2.4.1.3 Golongan β-laktam lain
a. Karbapenem (misalnya, meropenem, imipenem dan
ertapenem)
Mengandung cincin β-laktam yang berfusi dan sistem cincin lima
anggota yang berbeda dengan penisilin karena tidak jenuh dan mengandung
atom karbon sebagai pengganti atom sulfur. Golongan ini mempunyai
aktivitas spektrum luas dibandingkan dengan sebagian besar antibiotika β-
laktam lainnya (Petri and Jr, 2011).
Imipenem memiliki spektrum yang luas, aktif terhadap banyak
basil gram negatif, termasuk Pseudomonas aeruginosa, bakteri gram positif
dan anaerob. Resisten terhadap sebagian besar laktamase kecuali
metalolaktamase. Imipenem diinaktivasi oleh dehidropeptidase dalam tubuli
ginjal sehingga konsentrasi dalam urin rendah. Dalam penggunaan klinik,
imipenem digunakan bersama dengan inhibitor dehidropeptidase renal,
yakni cilastatin (Petri and Jr, 2011).
Meropenem memiliki aktivitas in vitro mirip dengan imipenem,
dengan aktivitas Pseudomonas aeruginosa tahan imipenem tetapi lebih aktif
terhadap bakteri aerob gram negatif, lebih lemah terhadap bakteri gram
positif. Sangat resisten terhadap enzim β-laktamase. Penggunaan dengan
meropenem menunjukkan efek terapetik yang sebanding dengan imipenem.
Ertapenem lebih lemah daripada imipenem dan meropenem dalam
aktifitasnya melawan Pseudomonas aeruginosa dan jenis acinetobakter
(Neal, 2012; Deck & Winston, 2015).
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
39
Tabel II.8 Antibiotika Karbapenem untuk Terapi Pneumonia (McEvoy,
2011)
Antibiotika Dosis dan Klirens Kreatinin
Imipenem-
Cilastatin
Dosis: IM 500 atau 750 tiap 12 jam, max 1500mg/hari
Adjusment dosis : ClCR<20 perlu dilakukan adjusment dosis dan frekuensi sesuai dengan kerusakan ginjal
Meropenem Dosis: 1 g tiap 8 jam Adjustment dosis:
- ClCR >50: 1g/8jam - ClCR 26-50: 1g/12jam - ClCR 10-25: 500mg/12jam - ClCR <10: 500mg/24jam
b. Monobaktam
Obat yang memiliki cincin β-laktam monosiklik. Golongan ini
relatif resisten terhadap enzim β-laktamase dan aktif terhadap batang gram
negatif. Tidak aktif terhadap bakteri gram positif atau anaerob. Aztreonam
adalah satu-satunya mononaktam yang tersedia di USA dan memiliki
spektrum antibakteri yang menyerupai aminoglikosida. Pasien yang alergi
terhadap penisilin tidak memberikan reaksi alergi terhadap aztreonam (Neal,
2012; Deck & Winston, 2015). Aztreonam hanya memiliki aktivitas
terhadap bakteri gram negatif, tidak mempunyai aktivitas terhadap bakteri
gram positif dan bakteri anaerob. Akan tetapi, aktivitas terhadap
Enterobacteriaceae sangat baik, seperti pada Pseudomonas aeruginosa.
Aztreonam dapat diberikan secara intramuskular atau intravena. Konsentrasi
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
40
puncak aztreonam pada plasma rata-rata mendekati 50 μg/mL setelah dosis
1 g intramuskular (Petri and Jr, 2011).
c. β-laktamase inhibitor (misalnya, asam klavulanat, sulbaktam
dan tazobaktam)
Golongan ini memiliki struktur yang menyerupai molekul β-laktam
tetapi mempunyai efek antibakterinya yang sangat lemah. Merupakan
inhibitor yang kuat dan bisa melindungi antibiotika golongan penisilin
terhadap inaktivasi oleh enzim β-laktamase. Kombinasi penisilin-β-
laktamase inhibitor diindikasikan untuk pengobatan empiris untuk infeksi
akibat patogen dan infeksi gabungan antara aerob dan anaerob, misalnya
pada keadaan infeksi intraabdominal (Deck & Winston, 2015).
Tabel II.9 Antibiotika β-laktamase Inhibitor untuk Terapi Pneumonia
(McEvoy, 2011)
Antibiotika Dosis dan Klirens Kreatinin
Amoksisilin -
klavulanat
Dosis oral : 500 mg setiap 12 jam atau 250 mg setiap 8 jam. Untuk infeksi berat 875 mg setiap 12 jam atau 500 mg setiap 8 jam
Adjusment dosis : - ClCR 10-30 : 250-500 mg setiap 12 jam - ClCR<10: 250-500 mg setiap 24 jam
Ampisilin -
Sulbaktam
Dosis IV atau IM : 1.5 g (1 g ampisilindan0.5 g sulbaktam) hingga 3g (2g ampisilin dan 1g sulbaktam) diberikan secara IV setiap 6 jam
Adjusment dosis : - ClCR ≥30 : 1.5g (1 g ampisilin dan 0.5 g
sulbaktam) hingga 3g (2g ampisilin dan 1g
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
41
sulbaktam) setiap 6-8 jam. - ClCR 15-29 : 1.5 g (1 g ampisilin dan 0.5 g
sulbaktam) hingga 3g (2g ampisilin dan 1g sulbaktam) setiap 12-24 jam
Piperasilin -
tazobaktam
Dosis : IV 3.375g (3 g piperacillin dan 0.375 g tazobaktam) setiap 6 jam selama 7-10 hari. Nosokomial Pneumonia : IV 4.5g (4g piperasilin dan 0.5g tazobaktam) setiap 6 jam selama 7-14 hari; dapat dikombonasi dengan aminoglikosida.
Adjusment dosis : - ClCR 20-40 : 2.25 g setiap 6 jam - ClCR <20 : 2.25 g setiap 8 jam
2.4.1.4 Glikopeptida
(1) Mekanisme kerja
Glikopeptida adalah peptida nonribosomal siklik atau polisiklik
terglikosilasi yang dihasilkan oleh kelompok actinomycetes. Target
golongan ini adalah bakteri gram positif yang mekanismenya menghambat
sintesis dinding sel dengan berikatan secara kuat pada ujung D-Ala-D-Ala
pada pentapeptida peptidoglikan yang baru terbentuk. Vankomisin terikat
kuat pada D-Alanil-D-Alanin dari pentapeptida peptidoglikan. Hal ini
menghambat transglikosilase, mencegah ikatan silang sehingga
peptidoglikan menjadi lemah dan terjadi lisis. Membran sel yang rusak
meningkatkan efek antibakterinya (Deck & Winston, 2015).
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
42
(2) Farmakokinetika
Vankomisin kurang diabsorbsi di saluran cerna dan diberikan per
oral hanya untuk terapi enterokolitis akibat C. difficile yang disebabkan
oleh penggunaan antibiotika berlebihan. Dosis parenteral harus diberikan
secara intravena (500 mg tiap 6 jam atau 1 g tiap 12 jam). Infus intravena
selama 1 jam dalam dosis 1 g menghasilkan kadar dalam darah sebesar 15-
30 mcg/mL selama 1-2 jam. Obat ini didistribusikan secara luas dalam
tubuh. Obat ini 90% diekskresikan melalui filtrasi glomerulus. Pada
keadaan insufisiensi ginjal, dapat terjadi akumulasi vankomisin yang nyata
(Deck & Winston, 2015).
(3) Efek Samping
Termasuk demam, ruam dan flebitis lokaldi tempat penyuntikan.
Ototoksisitas dan nefrotoksisitas dapat terjadi, dan reaksi hipersensitivitas
kadang-kadang muncul (Rang et al., 2012).
Tabel II.10 Antibiotika Glikopeptida untuk Terapi Pneumonia (McEvoy,
2011)
Antibiotika Dosis dan Klirens Kreatinin
Vankomisin Dosis IV : 500 mg setiap 6 jam atau 1 g setiap 12 jam
Adjusment dosis : - ClCR <1.5 : dosis normal setiap 12 jam - ClCR 1.5-5 : dosis normal selama 3-6 hari - ClCR >5 : dosis normal selama 10-14 hari
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
43
2.4.2 Menghambat Sintesis Protein Bakteri
2.4.2.1 Aminoglikosida
(1) Mekanisme Kerja
Mekanisme kerjanya adalah aminoglikosida berikatan dengan
reseptor pada subunit 30S protein ribosom bakteri. Sintesis protein ribosom
dihambat oleh aminoglikosida dihambat melalui tiga cara yaitu menganggu
kompleks inisiasi pembentukan peptida, menyebabkan kesalahan
pembacaan mRNA yang menyebabkan penggabungan asam amino yang
salah ke dalam peptida, dan menguraikan polisom menjadi monosom yang
tidak berfungsi (Deck & Winston, 2015). Aminoglikosida bersifat
bakterisida, aktif terhadap banyak bakteri gram negatif dan beberapa bakteri
gram positif (Neal, 2012).
(2) Farmakokinetika
Aminoglikosida diabsorbsi dalam jumlah yang sangat sedikit dari
saluran cerna yang utuh, hampir seluruh jumlah obat yang masuk peroral
diekskresikan ke dalam feses. Setelah suntikan intramuskular,
aminoglikosida diabsorbsi dengan baik dan mencapai kadar puncak di
dalam darah dalam waktu 30-90 menit. Aminoglikosida biasanya diberikan
secara intravena dalam infus selama 30-60 menit, setelah fase distribusi
singkat terlampaui, aminoglikosida akan mencapai kadar dalam serum yang
mendekati kadar aminoglikosida serum yang dicapai pada pemberian
intramuskular. Waktu paruh normal untuk aminoglikosida dalam serum
adalah 2-3 jam, yang meningkat 24-48 jam pada pasien dengan gangguan
ginjal cukup berat (Deck & Winston, 2015).
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
44
Tabel II.11 Antibiotika Aminoglikosida untuk Terapi Pneumonia (McEvoy,
2011)
Antibiotika Dosis dan Klirens Kreatinin
Gentamisin Dosis: IM/IV 3-5 mg/kg/hari dalam dosis terbagi Adjustment dosis :
- ClCR >60: 7mg/kg/hari - ClCR 30-60: 7mg/kg/36jam
Amikasin Dosis: IV 20 mg/kg/hari Adjustment dosis:
- ClCR >60: 20 mg/kg/hari - ClCR 30-60: 20 mg/kg/36jam
2.4.2.2 Tetrasiklin
(1) Mekanisme Kerja
Mekanisme kerjanya adalah menghambat ikatan antara tRNA dan
asam amino. Bersifat bakteriostatik dan memiliki spektrum antibakteri yang
luas. Tetrasiklin berikatan secara reversibel pada subunit 30S ribosom
bakteri, mencegah ikatan aminoasil-tRNA pada lokasi reseptor di kompleks
mRNA ribosom yang mencegah penambahan asam amino ke peptida yang
sedang terbentuk. Tetrasiklin bekerja aktif terhadap banyak bakteri gram
positif, gram negatif, Chlamydia (uretritis non spesifik, trakoma,
psittakosis), rickettsia (Q-fever), mikoplasma, dan protozoa (Neal, 2012).
Doksisiklin, minosiklin, dan tigesiklin memiliki ketahanan resistensi yang
lebih baik dibanding tetrasiklin lainnya (Deck & Winston, 2015).
(2) Farmakokinetika
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
45
Absorpsi doksisiklin setelah pemberian peroral adalah 95-100%.
Tigesiklin oral memiliki absorpsi yang buruk maka harus diberikan melalui
rute intravena. Absorpsi tetrasiklin terganggu oleh adanya makanan (kecuali
doksisiklin dan minosiklin), produk susu, antasid, dan pH alkali (Deck &
Winston, 2015). Dosis pemberian tetrasiklin 1-2 g sehari dalam 2-4 dosis
terbagi. Durasi pengobatan biasanya 1-4 minggu (McEvoy, 2011).
(3) Efek Samping
Efek yang tidak diinginkan yang paling umum adalah gangguan
saluran pencernaan (mual, muntah, dan diare). Efek ini disebabkan oleh
iritasi lokal langsung di saluran cerna dan dapat ditangani degan
memberikan obat bersama dengan makanan. Selain itu, tetrasiklin juga
dapat merubah flora normal usus, karena golongan ini merupakan chelating
agent Ca2+ , tetrasiklin dapat terdeposit pada tulang dan gigi, menyebabkan
perubahan warna dan kadang-kadang hipoplasia pada gigi dan deformitas
tulang. Golongan ini sebaiknya tidak diberikan kepada anak-anak, wanita
hamil atau ibu menyusui (Rang et al., 2012).
Tabel II.12 Antibiotika Tetrasiklin Untuk Terapi Pneumonia (McEvoy,
2011)
Antibiotika Dosis
Tigesiklin Dosis inisial 100 mg, kemudian dilanjutkan dengan 50 mg setiap 12 jam, selama 5-14 hari
Doksisiklin Dosis oral : 100 mg setiap 12 jam pada hari pertama diikuti 100 mg setiap 12-24 jam.
Dosis IV : 200 mg pada hari pertama diikuti 100-200 mg per hari
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
46
2.4.2.3 Makrolida
Makrolida adalah sekelompok senyawa yang saling terkait erat dan
memiliki ciri khas adanya cincin lakton makrosiklik (biasanya mengandung
14 atau 16 atom) tempat melekatnya gula deoksi (Deck & Winston, 2015).
Bisa digunakan sebagai alternatif untuk penderita yang sensitif terhadap
penisilin, terutama infeksi yang disebabkan oleh streptokokus, stafilokokus,
pneumokokus, dan klostridia (Neal, 2012). Obat prototipe golongan ini,
eritromisin, yang tersusun dari 2 gugus gula yang melekat pada cincin
lakton 14-atom. Klaritromisin dan azitromisin adalah turunan semisintesis
eritromisin (Deck & Winston, 2015).
Klaritromisin diturunkan dari eritromisin melalui penambahan satu
gugus metil dan memiliki stabilitas asam serta absorpsi oral lebih baik
daripada eritromisin. Mekanisme kerjanya sama dengan eritromisin, yakni
inhibitoris atau bakterisidal. Inhibisi sintesis protein terjadi melalui ikatan
dengan RNA ribosom 50S, yang mencegah reaksi translokasi aminoasil dan
pembentukan kompleks inisiasi. Klaritromisin dan eritromisin hampir
identik dalam hal aktivitas. Streptokokus dan stafilokokus yang resisten
terhadap eritromisin juga resisten terhadap klaritromisin (Deck & Winston,
2015).
Azitromisin merupakan senyawa cincin makrolida lakton 15-atom,
turunan dari eritromisin melalui penambahan nitrogen termetilasi ke dalam
cincin lakton. Spektrum aktivitas dan penggunaan klinisnya hampir identik
dengan klaritromisin. Azitromisin efektif terhadap M. avium kompleks dan
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
47
T. gondii. Azitromisin sangat aktif terhadap klamidia (Deck & Winston,
2015).
Tabel II.13 Antibiotika Makrolida untuk Terapi Pneumonia (McEvoy,
2011)
Antibiotika Dosis
Klaritromisin Dosis: - Tablet atau suspensi oral 250 mg tiap 12 jam
selama 7 hari untuk H. influenza atau 7-14 hari untuk S. pneumoniae, C. pneumoniae atau M. pneumonia
- Tablet extended-release 1 g 1 kali sehari selama 7 hari
Azitromisin Dosis: - Tablet atau suspensi oral 500 mg dosis
tunggal dalam hari pertama, diikuti 250 mg tiap hari untuk hari ke-2 sampai ke-5
- Suspensi oral lepas lambat 2 g dosis tunggal - IV kemudian oral: inisiasi dengan IV 500
mg sekali sehari untuk ≥ 2 hari, kemudian sulih terapi oral 500 mg sekali sehari sampai lengkap 7-10 hari terapi.
2.4.2.4 Oksazolidinon
Linezolid adalah anggota oksazolidinon, suatu golongan antibakteri
sintesis baru. Obat ini aktif terhadap organisme gram positif termasuk
stafilokokus, streptokokus, enterokokus, kokus anaerob gram positif dan
batang gram positif. Obat ini merupakan agen bakteriostatik, kecuali pada
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
48
streptokokus akan bersifat bakterisidal. Linezolid menghambat sintesis
protein dengan mencegah pembentukan kompleks ribosom yang mengawali
sintesis protein. Lokasi ikatannya yang unik yaitu pada RNA ribosomal 23S
pada subunit 50S, menyebabkan tidak memiliki resistensi silang dengan
obat golongan lainnya (Deck & Winston, 2015).
Bioavailabilitas linezolid setelah pemberian peroral adalah 100%
dan waktu paruhnya 4-6 jam. Obat ini dapat menjadi pilihan untuk terapi
infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif yang resisten terhadap
banyak obat. Dosis oral linezolid yakni 400 mg setiap 12 jam selama 10-14
hari (McEvoy, 2011). Efek samping yang tidak diinginkan termasuk
trombositopenia, diare, mual, dan pusing (Rang et al., 2012).
2.4.3 Menghambat Sintesis RNA Bakteri
2.4.3.1 Sulfonamida
(1) Mekanisme Kerja
Mekanisme kerjanya dengan menghambat sintesis asam folat
bakteri secara reversibel. Beberapa jenis bakteri membutuhkan asam para-
amino benzoat (p-amino benzoic acid/PABA) dari luar untuk membentuk
asam dihidrofolat, suatu bahan esensial dalam sintesis asam nukleat.
Sulfonamida memiliki struktur analog dengan PABA yang secara
kompetitif menghambat enzim dihidropteorat sintetase dan mencegah
produksi asam folat yang digunakan dalam sintesis DNA bakteri.
Sulfonamida menghambat bakteri gram positif dan negatif, nokardia,
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
49
Chlamydia trachomatis dan beberapa jenis protozoa (Neal, 2012; Deck &
Winston, 2015).
(2) Farmakokinetika
Kebanyakan sulfonamida diberikan secara oral (kecuali sulfalazin)
dan diserap dengan baik dan terdistribusi secara luas ditubuh. Obat dapat
masuk ke dalam inflammatory exudates dan menembus plasenta dan sawar
darah otak. Golongan ini dimetabolisme terutama di hati dan produk
utamanya adalah turunan asetat yang tidak memiliki aktivitas antibakteri
(Rang et al., 2012).
Kombinasi sulfonamida dengan penghambat dihidro folat
reduktase (trimetoprim) menghasilkan aktivitas yang sinergik karena
menghambat sekuensial dari asam folat. Sulfonamida jarang digunakan
sebagai terapi tunggal, biasanya dalam kombinasi tetap dengan trimetroprim
(sulfametoksazol-trimetroprim) yang dapat diberikan secara intravena. Obat
ini aktif terhadap S.aureus dan MRSA (Deck & Winston, 2015).
(4) Efek Samping
Efek samping serius yang memerlukan terapi adalah hepatitis,
reaksi hipersensitivitas (ruam termasuk Sindrom Stevens-Johnson dan
necrolysis toksik epidermal , demam, reaksi anafilaktik, depresi sumsum
tulang dan gagal ginjal akut. Efek samping moderat termasuk mual, muntah,
sakit kepala dan depresi mental (Rang et al., 2012).
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
50
Tabel II.14 Antibiotika Sulfonamida Untuk Terapi Pneumonia (McEvoy,
2011)
Antibiotika Dosis dan Klirens Kreatinin
Sulfametoksazol -
Trimetoprim
Fixed dose combination : 800 mg sulfametoksazol dan 160 mg trimetoprim
Adjusment dosis ClCR 15 – 30 : 50% dari dosis normal
2.4.3.2 Fluorokuinolon
(1) Mekanisme Kerja
Mekanisme kerjanya dengan menghambat enzim DNA girase. Hal
ini akan mencegah proses relaksasi DNA supercoil positif yang diperlukan
dalam proses replikasi dan transkripsi pada keadaan normal. DNA bakteri
berbentuk double strands panjang yang tidak mungkin muat dalam sel
bakteri, untuk itu dibentuk menjadi supercoil (gulungan). Fluoroinolon
berpenetrasi cukup baik ke dalam jaringan dan sel (Neal, 2012; Deck &
Winston, 2015). DNA girase merupakan target utama fluorokuinolon untuk
sebagian besar bakteri gram negatif (seperti E.coli) (Petri and Jr, 2011).
(2) Farmakokinetika
Pada pemberian oral, fluorokuinolon diserap dengan baik
(bioavailabilitasnya 80-95%) dan terdistribusi secara luas dalam cairan
tubuh dan jaringan. Waktu paruhnya dalam serum berkisar dari 3-10 jam.
Waktu paruh golongan ini relatif lama memungkinkan diberikan dalam
dosis sekali sehari. Penyerapan oralnya diganggu oleh kation divalen,
termasuk kation yang terkandung dalam antasida (Deck & Winston, 2015).
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
51
(3) Efek samping
Efek samping yang terkadang timbul akibat pemberian
fluorokuinolon seperti siprofloksasin dan levofloksasin antara lain
gangguan saluran cerna (mual, muntah, diare, nyeri perut), pusing, gelisah,
insomnia, rash (Rang et al., 2012).
Tabel II.15 Antibiotika Fluorokuinolon untuk Terapi Pneumonia (McEvoy,
2011)
Antibiotika Dosis dan Klirens Kreatinin
Siprofloksasin Infeksi ringan hingga sedang - Dosis oral : 500 mg setiap 12 jam selama 7-
14 hari - Dosis IV : 400 mg setiap 12 jam selama 7-14
hari Infeksi berat
- Dosis oral : 750 mg setiap 12 jam selama 7-14 hari
- Dosis IV : 400 mg setiap 8 jam selama 7-14 hari
Infeksi ringan, sedang, aau Pneumonia nosokomial Dosis IV : 400 mg setiap 8 jam selama 10-14 hari
Adjusment dosis : - ClCR 30-50 : 250-500 mg setiap 12 jam - ClCR 30-50 (dengan infeksi berat) : 750 mg
setiap 12 jam - ClCR 5-29 : 250-500 mg setiap 18 jam - ClCR 5-29 (dengan infeksi berat): 750 mg
setiap 18 jam
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
52
Antibiotika Dosis dan Klirens Kreatinin
Levofloksasin Dosis: oral atau IV - 500 mg tiap 24 jam selama 7-14 hari - 750 mg tiap 24 jam selama 5 hari untuk S.
pneumonia, H. influenza, C. pneumonia, atau M. pneumonia
Adjustment dosis: - ClCR ≥50: 750mg/24 jam - ClCR 20-49: 750mg/48jam - ClCR < 20: 750 mg satu kali, kemudian
500mg/48jam Moksifloksasin Dosis: oral atau IV 400 mg 1 kali sehari selama 7-
14 hari
2.4.3.3 Nitroimidazol
Termasuk dalam golongan ini adalah metronidazol. Golongan ini
mempunyai spektrum yang luas dan aktif terhadap bakteri anaerob dan
beberapa jenis protozoa. Mekanisme kerjanya obat ini berdifusi ke dalam
mikroorganisme dimana gugus nitro mengalami reduksi. Selama proses
reduksi ini intermediet rekatif kimia terbentuk yang akan menghambat
sintesis DNA atau merusak DNA (Neal, 2012). Setelah pemberian oral,
metronidazol akan diabsorbsi dengan baik dan mencapai konsentrasi puncak
plasma pada 1-2 jam setelah pemberian. Efek samping yang sering terjadi
adalah mual, diare, stomatitis, dan neuropati perifer dalam penggunaan
jangka panjang (Deck & Winston, 2015). Dosis pemberian IV sebesar 7.5
mg/kgBB setiap 6 jam (McEvoy, 2011).
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
53
2.4.4 Kejadian Resistensi Antibiotika
Dalam penggunaan antibiotika ada kemungkinan terjadi resistensi
suatu mikroba terhadap antibiotika. Resistensi merupakan suatu keadaan
atau sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroba oleh anti mikroba atau
antibiotika. Dalam studi di beberapa negara di dunia, tingkat resistensi
antibiotika secara konsisten yang tertinggi adalah di Asia. The Asian
Network for Surveillance of Resistant Pathogens (ANSORP) baru-baru
ini melakukan studi mengenai resistensi antibiotika terhadap Streptococcus
pneumoniae. Selain itu, sebuah penelitian terbaru di Malaysia, pada tahun
2011 memperkirakan tingkat resistensi penisilin menunjukkan tingkat yang
tinggi sebesar 31,78%. Di Singapura, dilaporkan tingkat tertinggi resistensi
antibiotika eritromisin sebesar 52,9% dan sefuroxim sebesar 28,6% (Ivan et
al., 2013).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Karl pada tahun 2003
sampai 2008 di Amerika bahwa dari 1300 pasien HCAP yang diteliti, 118
pasien mengalami resistensi CAP. Bakteri yang mengalami resistensi
antara lain MRSA (Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus) sebanyak
49,2%, Pseudomonas aeruginosa sebanyak 29,5%, Enterobacteriaceae
sebanyak 11,4%, bakteri gram negatif non enterik sebanyak 8,3%,
Streptococcus pneumoniae sebanyak 1,5%. Adanya resistensi antibiotika
merupakan salah satu penyebab terjadinya kegagalan terapi pada penyakit
infeksi seperti pada pneumonia (Karl et al., 2012).
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
54
2.5 Drug Utilization Study (DUS)
Drug Utilization Study (DUS) didefinisikan oleh World Health
Organization (WHO) sebagai studi pemasaran, distribusi, peresepan dan
penggunaan obat dalam masyarakat yang dititikberatkan di bidang
kesehatan, sosial, dan ekomoni (Lee et al., 2013). Tujuannya adalah untuk
mengetahui dan memfasilitasi penggunaan obat yang baik dan benar oleh
masyarakat (WHO, 2003).
Bagian yang perlu perhatian khusus dari DUS terletak pada faktor-
faktor yang berpengaruh dan terlibat dalam peresepan, peracikan,
pemberian, dan penggunaan obat. Sedangkan DUS secara umum bertujuan
untuk mengidentifikasi dan menganalisis masalah yang meliputi
kepentingan, penyebab, dan konsekuensinya, menetapkan keputusan dalam
memecahkan masalah dan memperkirakan dampak dari tindakan yang
dilakukan.
2.5.1 Tipe DUS
a. Kualitatif
Studi kualitatif digunakan untuk menilai kelayakan pemanfaatan
obat, biasanya dengan menghubungkan data resep untuk alasan peresepan
obat. Kriteria yang telah ditentukan eksplisit diciptakan terhadap aspek-
aspek kualitas, kebutuhan medis, dan kesesuaian resep obat. Kriteria
penggunaan obat mungkin didasarkan pada parameter seperti indikasi
penggunaan, dosis harian, dan lama terapi (Lee et al., 2013).
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
55
b. Kuantitatif
Studi kuantitatif digunakan untuk memperkirakan penggunaan obat
berdasarkan usia, jenis kelamin, kelas sosial, jenis penyakit dan
karakteristik yang lain, serta dapat juga digunakan untuk mengkalkulasi
reaksi efek samping obat; untuk memonitor penggunaan obat dengan
kategori terapi yang spesifik dimana masalah-masalah utama bisa
diantisipasi; untuk memonitor efek dari aktivitas obat, sebagai marker untuk
perkiraan kasar dari prevalensi penyakit; untuk merencanakan pemasukan,
produksi, dan distribusi obat serta memperkirakan untuk belanja obat (Lee
et al., 2013).
Dengan mempelajari pola penggunaan pada pasien, dapat
diidentifikasi suatu Drug Related Problems (DRP) yang berhubungan
dengan penggunaan obat oleh pasien.
2.6 Drug Related Problems (DRP)
Drug Related Problems merupakan kejadian yang tidak diinginkan
yang terjadi pada penggunaan obat oleh pasien. Berdasarkan penyebabnya,
DRP dikategorikan menjadi tujuh kategori, yaitu (Cipolle et al., 2007) :
a. Pasien membutuhkan obat baru atau tambahan obat
b. Pasien mendapatkan obat yang tidak dibutuhkan
c. Pasien mendapatkan obat yang salah
d. Pasien mendapatkan obat yang benar dengan dosis yang terlalu kecil
e. Pasien mendapatkan reaksi samping dari obat yang digunakan
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
56
f. Pasien mendapat obat yang benar dengan dosis yang terlalu besar
g. Pasien tidak patuh dalam penggunaan obat
Dalam mempelajari pola penggunaan obat juga dapat diidentifikasi
terjadinya interaksi obat. Penggunaan obat secara kombinasi akan
meningkatkan risiko terjadinya interaksi obat. Interaksi obat mungkin dapat
meningkatkan absorbsi, distribusi, atau ekskresi salah satu obat oleh obat
lain atau kombinasi kerja dari kedua obat.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
57
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konseptual
Pneumonia merupakan keadaan infeksi jaringan paru (alveoli)
bersifat akut yang diakibatkan oleh inflamasi pada parenkim paru dan
pemadatan eksudat pada jaringan paru. Terjadi karena adanya infeksi
bakteri, virus atau jamur tetapi paling banyak terjadi infeksi pada bakteri.
Infeksi terjadi karena mekanisme pertahanan paru mengalami kerusakan
atau penurunan kekebalan tubuh. Ketika mekanisme pertahanan dari paru
turun dengan dibarengi masuknya organisme-organisme penyebab
pneumonia seperti Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, Mycobacterium
tuberculosis.
Pengobatan pada penderita pneumonia biasanya diberikan terapi
antibiotika yang efektif terhadap organisme tertentu. Antibiotika yang
digunakan harus tepat sasaran dan rasional untuk menghindari resistensi
bakteri. Resistensi bakteri dapat menjadi ancaman pelayanan kesehatan
yang diberikan, karena dapat menyebabkan kegagalan dalam pengelolaan
penderita penyakit infeksi. Pemilihan antibiotika sangat bergantung pada
identifikasi bakteri penyebab pneumonia, ada atau tidaknya faktor
modifikasi dan resistensi.
Untuk pasien pneumonia nosokomial tanpa faktor risiko MDR,
seperti Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, MSSA, dan
antibiotika sensitif basil gram negatif enterik digunakan β-laktam dengan
anti β-laktamase atau sefalosporin generasi tiga nonpseudomonal atau
kuinolon respirasi.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
58
Untuk pasien pneumonia nosokomial dengan faktor risiko MDR,
seperti Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter sp
digunakan sefalosporin antipseudomonal atau karbapenem antipseudomonal
atau β-laktam dengan fluorokuinolon antipseudomonal dan aminoglikosida,
untuk MRSA digunakan vankomisin.
Untuk pasien pneumonia komunitas rawat inap non-ICU,
digunakan fluorokuinolon respirasi atau β-laktam dengan makrolida,
ertapenem untuk pasien tertentu, dengan doksisiklin adalah alternatif untuk
makrolida. Fluorokuinolon biasanya digunakan untuk pasien yang alergi
terhadap penisilin.
Perubahan peta medan kuman dan resistensi dapat mempengaruhi
regimentasi antibiotika empiris pada pasien pneumonia. Pemberian berbagai
terapi mengarah pada perlunya peran farmasis dalam perencanaan
penyediaan obat dan pemahaman yang tepat tentang cara penggunaannya.
Oleh karena itu, perlu dilakukan studi penggunaan obat (Drug Utilization
Study) pada pasien pneumonia dengan tujuan untuk melihat profil terapi.
Adanya penggunaan obat lain juga harus diperhatikan tentang Drug Related
Problems yang terjadi.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
59
3.2 Bagan Kerangka Konseptual
Gambar 3.2 Bagan Kerangka Konseptual
Perubahan peta medan kuman Resistensi
Drug Utilization Study (DUS)
Drug Related Problems (DRP)
Pneumonia Mekanisme pertahanan
alveolus menurun
Inflamasi akut parenkim paru dan pemadatan eksudat
pada alveolus
Etiologi
Streptococcus
pneumoniae
Haemophilus influenzae
Staphylococcus aureus
Klebsiella pneumoniae
Manajemen terapi
Antibiotika Obat lain
Pertimbangan data klinik, laboratorium, dan faktor modifikasi
CAP IRNA non ICU
CAP IRNA dengan ICU
Sefalosporin G3 + makrolida atau β-laktam/penghambat β-laktamase + makrolida atau fluorokuinolon
Sefalosporin G3 /penghambat β-laktamase + fluorokuinolon/ makrolida
HAP tidak ada faktor risiko MDR
HAP ada faktor risiko MDR
β-laktam/ Sefalosporin G3 nonpseudomonal/ Kuinolon respirasi
Antibiotika anti pseudomonal /β-laktam dan aminoglikosida, MRSA vankomisin
Streptococcus
pneumoniae,Haemophilus
influenzae, MSSA, basil gram negatif
Pseudomonas
aeruginosa, Klebsiella
pneumoniae, Acinetobacter sp
Haemophilus
influenzae,
Staphylococcus aureus, basil gram negatif
Streptococcus
pneumoniae,
Chlamidophila
pneumoniae
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
60
3.3 Bagan Kerangka Operasional
Gambar 3.3 Bagan Kerangka Operasional
Kriteria inklusi : pasien rawat inap dengan diagnosis
pneumonia baik CAP dan HAP usia ≥ 18 tahun, dengan atau
tanpa komplikasi dan komorbid
Data pasien, klinik, laboratorium dan
mikrobiologi
Terapi antibiotika
Jenis, dosis, rute pemberian, interval
pemberian, interaksi obat
Pengumpulan dan pemindahan data ke lembar pengumpulan data
Rekapitulasi data
Analisis data
Pasien dengan diagnosis pneumonia
Kriteria eksklusi : pasien dengan diagnosis
pneumonia rawat inap < 3 hari seperti pasien rujukan
dan pulang paksa
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
61
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian observasional
deskriptif prospektif dan retrospektif karena peneliti tidak memberikan
perlakuan atau intervensi tertentu kepada subyek penelitian dan
pengumpulan data dilakukan dari peristiwa yang sedang terjadi maupun
yang sudah terjadi serta dianalisis secara deskriptif untuk mendeskripsi
secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi tertentu.
4.2 Populasi dan Sampel
4.2.1 Populasi
Populasi penelitian adalah seluruh pasien di Rumah Sakit
Universitas Airlangga dengan diagnosis pneumonia.
4.2.2 Sampel
Sampel penelitian adalah pasien dengan diagnosis akhir
pneumonia yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Universitas
Airlangga yang memenuhi kriteria inklusi.
4.3 Kriteria Inklusi Dan Eksklusi
4.3.1 Kriteria Data Inklusi
Pasien rawat inap di Rumah Sakit Universitas Airlangga Surabaya
dengan diagnosis pneumonia baik CAP dan HAP usia ≥ 18 tahun, dengan
atau tanpa komplikasi dan komorbid.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
62
4.3.2 Kriteria Data Eksklusi
Pasien dengan diagnosis pneumonia rawat inap < 3 hari (seperti
pulang paksa dan dirujuk ke rumah sakit lain) dan pneumonia pada
penderita yang terinfeksi HIV di Rumah Sakit Universitas Airlangga
Surabaya.
4.4 Definisi Operasional
Rekam Medik adalah catatan mengenai hal ihwal pasien semenjak
datang di rumah sakit (masuk rumah sakit), mendapatkan
perawatan dan pengobatan sampai pasien dipulangkan.
Pasien Penumonia adalah pasien pneumonia (CAP dan HAP) usia
≥ 18 tahun, yang dirawat di ruang Rawat Inap dan yang sudah
KRS selama periode 1 Januari 2015 – 30 Juni 2016 dengan atau
tanpa komplikasi dan komorbid.
Antibiotika adalah semua jenis antibiotika yang diterima oleh
pasien pneumonia (CAP dan HAP) berdasarkan golongannya
untuk mengobati infeksi bakteri.
Dosis antibiotika adalah jumlah antibiotika yang diberikan pada
satu kali pemberian.
Lama penggunaan antibiotika adalah lama penggunaan antibiotika
pada pasien yang menjalani rawat inap di rumah sakit.
Data klinis adalah data yang berhubungan dengan gejala klinis
yang ditunjukkan pasien pneumonia selama dirawat yang meliputi
tekanan darah, suhu tubuh, denyut nadi dan frekuensi pernafasan.
Data laboratorium adalah data hasil analisis pemeriksaan
laboratorium pasien pneumonia selama di rumah sakit yang
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
63
berhubungan dengan adanya infeksi bakteri pneumonia meliputi
leukosit, LED.
Data mikrobiologi adalah data pemeriksaan sputum/dahak, darah,
urine, dan pus dari pasien.
Drug Related Problems adalah semua permasalahan yang terkait
obat baik yang terjadi dalam terapi pasien pneumonia meliputi
kesesuaian dosis, interaksi antar antibiotika atau dengan obat lain,
efek samping dan lain-lain selama pasien di rawat di rumah sakit.
Efek samping adalah suatu kejadian yang tidak diinginkan pasien
akibat dari penggunaan terapi antibiotika yang diketahui dari
kondisi pasien pneumonia berupa timbulnya gejala dan disertai
perburukan data klinis dan data laboratorium.
Outcome terapi adalah hasil dari terapi yang diinginkan berupa
pasien pneumonia sembuh total atau menuju ke arah perbaikan
dilihat dari data klinis dan data penunjang meliputi data lab dan
data radiologis.
4.5 Bahan Penelitian
Rekam medik pasien rawat inap di Rumah Sakit Universitas
Airlangga dengan diagnosis pneumonia.
4.6 Metode Pengambilan Sampel
Metode pengambilan sampel penelitian menggunakan metode time
limited sampling. Jumlah sampel tergantung pada rentang waktu yang telah
ditentukan.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
64
4.7 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah lembar pengumpul data untuk masing-
masing sampel.
4.8 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di : Ruang rawat inap dan Rekam
Medik di Rumah Sakit Universitas
Airlangga Surabaya
Penelitian dilakukan pada : 10 April 2016 – 30 Juni 2016
4.9 Prosedur Pengumpulan Data
Semua data dari rekam medik kesehatan yang memuat identitas
pasien, riwayat penyakit pasien, data klinik, data laboratorium, diagnosis
dan terapi obat yang diterima pasien (macam dan kombinasi obat, dosis,
rute pemakaian, interval pemberian, frekuensi, efek samping dan lama
penggunaan) dipindahkan ke dalam lembar pengumpulan data kemudian
direkapitulasi ke tabel induk. Setelah direkapitulasi, dilakukan pengolahan
dan analisis data.
4.10 Analisis Data
a. Mendeskripsikan pola penggunaan antibiotika terhadap pasien
pneumonia yang disajikan dalam bentuk tabel, diagram, dan
uraian.
b. Mengkaji jenis, rute pemakaian, dosis, aturan pakai, lama
penggunaan obat dan distribusi kasus pneumonia di rumah sakit.
c. Mengidentifikasi adanya Drug Related Problems (DRP) yang
terjadi, diantaranya dalam hal kesesuaian dosis antibiotika dan
kemungkinan adanya interaksi obat.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
65
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Demografi Pasien
Data dari hasil penelitian diperolah pasien pneumonia yang
menjalani perawatan di ruang rawat inap Rumah Sakit Universitas
Airlangga yang sesuai dengan kriteria inklusi selama periode 1 Januari 2015
– 30 Juni 2016 sebanyak 73 pasien terdiri dari 68 pasien pneumonia
komunitas dan 5 pasien pneumonia nosokomial. Distribusi pasien
pneumonia baik pneumonia komunitas (CAP) dan pneumonia nosokomial
(HAP) berdasarkan jenis kelamin dan usia dapat dilihat pada gambar 5.1
dan 5.2.
Tabel V.1 Penggolongan Pneumonia Berdasarkan Klinis dan Epidemiologis
Penggolongan Pneumonia Jumlah Pasien
Pneumonia Komunitas 68
Pneumonia Nosokomial 5
Jumlah 73
Gambar 5.1 Distribusi Pasien Pneumonia Berdasarkan Jenis Kelamin
53%
47%
Pneumonia Komunitas
Laki-laki
Perempuan
40%
60%
Pneumonia Nosokomial
Laki-laki
Perempuan
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
66
Gambar 5.2 Distribusi Pasien Pneumonia Berdasarkan Usia
5.2 Gejala Pneumonia
Gejala yang dialami oleh pasien pneumonia antara lain sesak,
batuk, demam, perubahan karakteristik sputum, dan nyeri dada. Gejala
pneumonia yang muncul berdasarkan data hasil penelitian dapat dilihat pada
gambar 5.3.
0.00%
50.00%
100.00%
30-39 40-49 50-59 ≥60
Jum
lah
Pasi
en
Usia
Pneumonia Komunitas
1,5% 4,4% 20,6%
73,5%
0%
20%
40%
60%
30-39 40-49 50-59 ≥60
Jum
lah
Pasi
en
Usia
Pneumonia Nosokomial
20% 20% 20%
40%
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
67
Gambar 5.3 Gejala pada Pasien Pneumonia
5.3 Faktor Modifikasi
Faktor modifikasi adalah kondisi yang dapat meningkatkan risiko
infeksi dengan mikroorganisme patogen tertentu/spesifik. Tidak semua
pasien pneumonia komunitas mempunyai faktor modifikasi. Faktor
modifikasi pasien pneumonia komunitas dapat dilihat pada Tabel V.2.
0%
10%
20%
30%
40%
50%
Sesak nafas Batuk Demam Dahak
Frek
uens
i
Gejala
Pneumonia Komunitas
*Satu pasien bisa lebih dari satu gejala
40%
30,5%
19% 10,5%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
Sesak nafas Batuk Demam Dahak
Frek
uens
i
Gejala
Pneumonia Nosokomial
*Satu pasien bisa lebih dari satu gejala
43%
29%
14% 14%
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
68
Tabel V.2 Faktor Modifikasi Pasien Pneumonia
Pneumonia Komunitas (CAP)
Faktor Modifikasi Frekuensi Persentase (%)
Usia > 65 tahun 34 50
Sepsis 19 28
Penyakit jantung dan paru 52 76
Penyakit metabolik (DM, penyakit hati, dan ginjal) 31 46
Pneumonia Nosokomial (HAP)
Faktor Modifikasi Frekuensi Persentase (%)
Usia > 65 tahun 2 40
Sepsis 2 40
Penyakit jantung dan paru 5 100
Penyakit metabolik (DM, penyakit hati, dan ginjal) 4 80
*Satu pasien bisa menderita lebih dari satu faktor modifikasi
5.4 Lama Perawatan
Lama perawatan pasien pneumonia di ruang rawat inap Rumah
Sakit Universitas Airlangga dapat dilihat dari data rekam medik. Sebagian
besar pasien pneumonia untuk Pneumonia Komunitas (CAP) dirawat
selama <7 hari (53%), sedangkan untuk Pneumonia Nosokomial (HAP)
dirawat selama 7-14 hari (100%). Lama perawatan pasien pneumonia dapat
dilihat pada gambar 5.4.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
69
Gambar 5.4 Lama Perawatan Pasien Pneumonia
5.5 Penyakit Penyerta
Berdasarkan diagnosis yang ditetapkan, dapat diketahui ada
tidaknya penyakit penyerta pada pasien pneumonia. Penyakit penyerta
terbanyak yang diderita pasien pneumonia komunitas (CAP) dan pneumonia
nosokomial (HAP) adalah TB paru. Penyakit penyerta pada pasien
pneumonia dapat dilihat pada Tabel V.3 dan V.4.
Tabel V.3 Penyakit Penyerta Pada Pasien Pneumonia Komunitas
Penyakit Penyerta Frekuensi Persentase (%)
TB Paru 20 29
Diabetes Melitus 18 26
Sepsis 17 25
PPOK ekserbasi akut 16 24
Efusi Pleura 6 9
DCFC 6 9
DMND 6 9
Anemia 5 7
Hipertensi 4 6
1,5% 0%
20% 40% 60%
Lama Perawatan
Jum
lah
Pas
ien
Pneumonia Komunitas
53% 44%
1,5%
100%
0%
50%
100%
150%
< 7 hari 7-14 hari
Jum
lah
Pa
sie
n
Lama Perawatan
Pneumonia Nosokomial
0%
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
70
Penyakit Penyerta Frekuensi Persentase (%)
HHD 4 6
HipoK 4 6
Asma ekserbasi akut 3 4
PJK OMI anteroseptal 3 4
Stroke Infark Trombotik 3 4
Asma Bronchiale 2 3
Infeksi Saluran Kemih 2 3
Edema paru 2 3
Syok septik 2 3
HipoNa 2 3
Asidosis Metabolik 2 3
Vomiting 2 3
Ensefalopathy 1 2
Gagal nafas 1 2
HipoAlb 1 2
*Satu pasien bisa menderita lebih dari satu penyakit penyerta
Tabel V.4 Penyakit Penyerta Pada Pasien Pneumonia Nosokomial Penyakit Penyerta Frekuensi Persentase (%)
TB Paru 4 80
Diabetes Melitus 3 60
Sepsis 2 40
Hipertensi 2 40
DCFC 1 20
DMND 1 20
Efusi pleura 1 20
Asidosis Metabolik 1 20
Infeksi Saluran Kemih 1 20
HipoK 1 20
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
71
Penyakit Penyerta Frekuensi Persentase (%)
PJK OMI anteroseptal 1 20
*Satu pasien bisa menderita lebih dari satu penyakit penyerta
5.6 Pemeriksaan Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi tidak dilakukan pada semua pasien
pneumonia. Berdasarkan hasil penelitian dari 73 pasien, sebanyak 10 pasien
pneumonia komunitas melakukan pemeriksaan kultur dengan 3 pasien
memberikan hasil adanya pertumbuhan mikroorganisme. Pada pasien
pneumonia nosokomial hanya 1 pasien yang melakukan pemeriksaan kultur
yang dapat dilihat pada Tabel V.5.
Tabel V.5 Hasil Kultur Dahak Pasien Pneumonia
Pneumonia Komunitas (CAP)
Hasil Kultur Jumlah Pasien Persentase (%)
Tidak ada pertumbuhan kuman aerob 7 11
Streptococcus viridians 1 2
Pseudomonas aeruginosa 1 2
Staphylococcus koagulase negatif 1 2
Pneumonia Nosokomial (HAP)
Hasil Kultur Jumlah Pasien Persentase (%)
Tidak ada pertumbuhan aerob 1 20
Berdasarkan hasil kultur 3 pasien pneumonia komunitas yang
menunjukkan adanya pertumbuhan mikroorganisme, dapat diketahui
antibiotika yang sensitif, intermediate, atau resisten terhadap
mikroorganisme tersebut dapat dilihat pada Tabel V.6.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
72
Tabel V.6 Kepekaan Antibiotika
Bakteri Sensitif Intermediate Resisten Σ Pasien
Streptococcus
viridans
Klindamisin, linezolid,
vankomisin, kloramfenikol
Trimetoprim – Sulfametoksazol,
eritromisin
Penisilin, oksasilin, gentamisin,
levofloksasin, siprofloksasin
1
Pseudomonas
aeruginosa
Piperasilin-tazobaktam,
seftazidim, amikasin, gentamisin, doripenem, meropenem, imipenem,
levofloksasin, siprofloksasin
Aztreonam
ampisilin, amoksisilin-klavulanat,
trimetoprim-sulfametoksazol,
kloramfenikol
1
Staphylococcus
koagulase
negatif
Linezolid, kloramfenikol,
tetrasiklin, penisilin, eritromisin, gentamisin,
Trimetoprim – Sulfametoksazol
-
Oksasilin, klindamisin,
levofloksasin, siprofloksasin
1
5.7 Penggunaan Antibiotika
Antibiotika yang diterima oleh pasien pneumonia bervariasi baik
tunggal maupun kombinasi. Penggunaan antibiotika tunggal atau kombinasi
tergantung pada kondisi pasien. Dosis antibiotika yang digunakan juga
harus diperhatikan agar dapat memberikan efek yang maksimal. Jenis
antibiotika yang digunakan dan penggunaan antibiotika tunggal atau
kombinasi dapat dilihat pada Tabel V.7 dan V.8. Penggunaan dosis
antibiotika dapat dilihat pada Tabel V.9 dan V.10.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
73
Tabel V.7 Jenis Antibiotika Pasien Pneumonia
Pneumonia Komunitas (CAP)
Antibiotika Frekuensi Persentase (%)
Sefalosporin
Seftriakson 44 65
Seftazidim 19 28
Sefiksim 6 9
Fluorokuinolon Levofloksasin 44 65
Siprofloksasin 1 2
Karbapenem Meropenem 6 9
Makrolida Azitromisin 3 4
Aminoglikosida Gentamisin 1 2
Linkomisin Klindamisin 1 2
Pneumonia Nosokomial (HAP)
Antibiotika Frekuensi Persentase (%)
Sefalosporin Seftriakson 3 60
Seftazidim 2 40
Fluorokuinolon Levofloksasin 3 60
Keterangan: - Satu pasien dapat menerima lebih dari satu macam antibiotika
(tunggal/kombinasi) - Persentase dihitung berdasarkan jumlah pasien yang mendapatkan antibotika
tersebut dengan jumlah total CAP 68 pasien dan HAP 5 pasien
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
74
Tabel V.8 Penggunaan Antibiotika Tunggal dan Kombinasi Pasien
Pneumonia
Pneumonia Komunitas (CAP)
Jenis Antibiotika Frekuensi Persentase (%)
Tunggal
Seftriakson 32 47
Levofloksasin 17 25
Seftazidim 6 9
Meropenem 4 6
Sefiksim 3 4
Siprofloksasin 1 2
Kombinasi dua antibiotika
Seftazidim + Levofloksasin 12 18
Seftriakson + Levofloksasin 10 15
Sefiksim + Levofloksasin 3 4
Seftriakson + Azitromisin 2 3
Levofloksasin + Meropenem 1 2
Levofloksain + Azitromisin 1 2
Seftazidim + Klindamisin 1 2
Gentamisin + Meropenem 1 2
Pneumonia Nosokomial (HAP)
Jenis Antibiotika Frekuensi Persentase (%)
Tunggal
Seftriakson 2 40
Seftazidim 1 20
Levofloksasin 1 20
Kombinasi dua antibiotika
Seftriakson + Levofloksasin 1 20
Seftazidim + Levofloksasin 1 20
Keterangan: - Satu pasien dapat menerima lebih dari satu macam antibiotika
(tunggal/kombinasi)
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
75
- Persentase dihitung berdasarkan jumlah pasien yang mendapatkan antibotika tersebut dengan jumlah total CAP 68 pasien dan HAP 5 pasien
Tabel V.9 Dosis Antibiotika pada Pasien Pneumonia Komunitas
Antibiotika Frekuensi dan Dosis Rute Dosis Pustaka* Σ
Pasien (%) Ket.
Seftriakson 2x1 g iv
1 g tiap 12 atau 24 jam, maks 4g/hari (iv/im)
38 56 sesuai
2x2 g iv 1 2
Levofloksasin
1x750 mg iv 500 mg tiap 24 jam
(po/iv) 750 mg tiap 24 jam
(po/iv)
30 44
sesuai 1x500 mg iv 12 18
1x500 mg po 6 9
Seftazidim 3x1 g iv 0,5-1 g tiap 8 jam
(iv/im) 2 g tiap 8 jam (iv)
18 26 sesuai
Sefiksim 2x100 mg po 200-400 mg/hari (po) 6 9 sesuai
Meropenem 3x1 g iv
0,5-1 g tiap 8 jam (iv)
6 9 sesuai
Azitromisin 1x500 mg po 1x500 mg/ hari selama 3 hari (po) 3 4 sesuai
Klindamisin 4x300 mg po 150 – 300 mg setiap 6 jam (po) 1 2 sesuai
Gentamisin 1x160 mg iv 5-7 mg /kgBB/ hari (iv) Maks. 240-360 mg/hari 1 2 sesuai
Siprofloksasin 2x400 mg iv 400 mg setiap 12 jam (iv) 1 2 sesuai
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
76
Tabel V.10 Dosis Antibiotika pada Pasien Pneumonia Nosokomial
Antibiotika Frekuensi dan Dosis Rute Dosis Pustaka* Σ
Pasien (%) Ket.
Seftriakson 2x1 g iv 1 g tiap 12 atau 24 jam, maks 4 g/hari (iv/im) 2 40 sesuai
Levofloksasin 1x750 mg iv 500 mg tiap 24jam
(po/iv) 750 mg tiap 24jam
(po/iv)
1 20 sesuai
1x500 mg iv 1 20
Seftazidim 3x1 g iv 0,5-1 g tiap 8 jam
(iv/im) 2 g tiap 8 jam (iv)
2 40 sesuai
* pustaka: McEvoy, gerald k., 2011. ahfs drug information essentials: point-of-care drug
information for health care professionals. bethesda: american society of health-system pharmacists inc.
Tabel V.11 Dosis Antibiotika Pasien Pneumonia dengan Gangguan Ginjal
No. Pasien Antibiotika Frekuensi
dan Dosis Rute Klirens Kreatinin Dosis Pustaka* Ket.
2 Levofloksasin 750 mg setiap 2 hari sekali iv 31,86 ClCR 20-49:
750mg/48jam sesuai
14 Levofloksasin 750 mg setiap 2 hari sekali iv 32,97 ClCR 20-49:
750mg/48jam sesuai
27 Levofloksasin 750 mg setiap 2 hari sekali iv 26,54 ClCR 20-49:
750mg/48jam sesuai
57 Levofloksasin 750 mg setiap 2 hari sekali iv 20,94 ClCR 20-49:
750mg/48jam sesuai
* Pustaka: McEvoy, Gerald K., 2011. AHFS Drug Information Essentials: Point-of-Care
Drug Information for Health Care Professionals. Bethesda: American Society of Health-System Pharmacists Inc.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
77
5.8 Profil Outcome Terapi
Profil outcome terapi pasien pneumonia dapat dilihat dari
perubahan parameter infeksi dan gejala klinis pasien setelah mendapatkan
terapi antibiotika. Profil outcome terapi dapat dilihat pada Tabel V.12 dan
V.13.
Tabel V.12 Profil Outcome Terapi pada Pasien Pneumonia Komunitas
Parameter Infeksi dan Gejala Klinik Pasien Nilai Jumlah
Pasien
Sebelum Terapi Antibiotika
Setelah Terapi Antibiotika
Nilai rata - rata Nilai rata - rata
Leukosit (103/µL) Normal
Diatas normal
4,0 -12,0
> 12
17 23
8,41 18,75
7,58 15,70
Suhu (°C) Dibawah normal
Normal Diatas normal
< 36,0
36,0-38,0 > 38,0
9 28 3
35,58 37,83 38,85
34,61 36,52 38,10
Nadi (kali/menit) Normal
Diatas normal
60 - 90
>90
16 24
79
105,81
76,21
102,33
Laju pernapasan (kali/menit)
Normal Diatas normal
12 - 20 > 20
13 27
19,94 24,83
18,22 23,15
Keterangan: - Data outcome terapi didapat dari pasien yang memiliki dua data parameter
infeksi/gejala klinik yaitu saat sebelum dan setelah terapi antibiotika - Jumlah pasien yang sebelum dan sesudah mendapatkan terapi antibotika
dengan jumlah total CAP 40 pasien
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
78
Tabel V.13 Profil Outcome Terapi pada Pasien Pneumonia Nosokomial
Parameter Infeksi dan Gejala Klinik Pasien Nilai Jumlah
Pasien
Sebelum Terapi Antibiotika
Setelah Terapi Antibiotika
Nilai rata - rata Nilai rata - rata
Leukosit (103/µL) Normal
Diatas normal
4,0 - 12,0
> 12,0
3 2
9,98 17,38
8,54 14,76
Suhu (°C) Dibawah normal
Normal Diatas normal
< 36,0
36,0-38,0 > 38,0
1 4 -
35,7 37 -
34,9 36 -
Nadi (kali/menit) Normal
Diatas normal
60 - 90
>90
3 2
85,7 111,5
78,7 104,5
Laju pernapasan (kali/menit)
Normal Diatas normal
12 - 20 > 20
2 3
19 24
18 21,7
Keterangan: - Data outcome terapi didapat dari pasien yang memiliki dua data parameter
infeksi/gejala klinik yaitu saat sebelum dan setelah terapi antibiotika - Jumlah pasien yang sebelum dan sesudah mendapatkan terapi antibotika
dengan jumlah total HAP 5 pasien
5.9 Identifikasi Drug Related Problems (DRP)
Terapi yang diterima oleh pasien pneumonia kemungkinan dapat
menimbulkan Drug Related Problem seperti interaksi antibiotika antara obat,
dan obat dengan makanan. Kemungkinan interaksi, mekanisme terjadinya
interaksi, efek yang timbul, mula terjadinya, tingkat keparahan dan
dokumentasi dapat dilihat pada Tabel V.14.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
79
Tabel V.14 DRP pada Pasien Pneumonia
* Pustaka: Stockley, I. H., and Sweetman, S. C., 2008. Stockley’s Drug Interactions 8th Edition. London. Royal Pharmaceutical Society of Great Britain.
Kategori DRP
No pasien
Antibiotika Problem Cara Mengatasi
DRP potensial
Terapi yang tidak efekfif (Ineffective
drug)
63 Levofloksasin
Penggunaan levofloksasin tidak
sesuai hasil kultur dan sensitivitas (resisten)
Penggantian antibiotika
disesuaikan dengan hasil kultur dan uji
sensitivitasnya untuk menghindari
resistensi
DRP potensial Efek obat yang tidak diinginkan (Adverse
Drug
Reaction)
63 Gentamisin
Efek samping gentamisin
menyebabkan nefrotoksisitas
Memantau kadar kreatinin serum
setelah pemberian gentamisin sebagai
indikator untuk melihat ada tidaknya efek akut pada ginjal
Kategori DRP
No pasien
Antibiotika Mekanisme Interaksi Cara Mengatasi
DRP potensial Interaksi
obat (Drug
Interaction)
63 Gentamisin
dengan furosemid
Furosemid meningkatkan induksi
kerusakan ginjal aminoglikosida dengan
menurunkan klirens kreatinin dari gentamisin sehingga mempotensiasi
efek peningkatan gentamisin serum dalam
darah
Memantau kadar kreatinin serum
setelah pemberian gentamisin sebagai
indikator untuk melihat ada tidaknya efek akut pada ginjal
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
80
BAB VI
PEMBAHASAN
Penelitian tentang penggunaan antibiotika pada pasien pneumonia
bertujuan untuk mengetahui profil antibiotika yang diterima oleh pasien
pneumonia. Penelitian ini dilakukan secara prospektif dan retrospektif pada
pasien dengan diagnosis pneumonia yang dirawat di ruang rawat inap
Rumah Sakit Universitas Airlangga. Pada pasien pneumonia yang masuk
rumah sakit (MRS) selama periode 1 Januari 2015 - 30 Juni 2016,
didapatkan sampel sebanyak 73 pasien yang memenuhi kriteria inklusi yang
terdiri dari 68 pasien pneumonia komunitas dan 5 pasien pneumonia
nosokomial.
Berdasarkan hasil penelitian (gambar 5.1), diperoleh data
demografi pasien dengan distribusi jenis kelamin pasien pneumonia baik
pneumonia komunitas (CAP) untuk laki-laki sebanyak 36 pasien (53%) dan
perempuan sebanyak 32 pasien (47%), sedangkan pneumonia nosokomial
(HAP) untuk laki-laki sebanyak 2 pasien (40%) dan perempuan sebanyak 3
pasien (60%). Pasien pneumonia komunitas lebih banyak terjadi pada laki-
laki karena laki-laki lebih cenderung sering merokok daripada perempuan
(Baik et al., 2000). Sedangkan distribusi berdasarkan usia (gambar 5.2),
diketahui pasien dengan usia ≥ 60 tahun menunjukkan jumlah terbesar pada
pneumonia, untuk pneumonia komunitas sebanyak 50 pasien (73,5%),
sedangkan untuk pneumonia nosokomial sebanyak 2 pasien (40%).
Berdasarkan Permenkes 2014, batasan usia lanjut di Indonesia adalah lebih
dari 60 tahun. Pada usia lanjut terjadi penurunan fungsi organ tubuh dan
respons imun seiring dengan proses penuaan sehingga lebih mudah terkena
infeksi (High, 2015).
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
81
Gejala yang sering muncul pada pasien pneumonia adalah sesak
nafas baik pneumonia komunitas sebanyak 42 pasien (40%) dan pneumonia
nosokomial sebanyak 3 pasien (43%). Adanya peradangan alveolar dan
edema menghasilkan area ventilasi rendah dan perfusi normal. Untuk
mempertahankan ventilasi yang cukup, maka pasien harus meningkatkan
respiratory rate (Conroy et al., 2009). Gejala lainnya yang muncul (gambar
5.3) antara lain batuk pada CAP (30,5%) dan HAP (29%). Demam pada
CAP (19%) dan HAP (14%). Dahak pada CAP (10,5%) dan HAP (14%).
Mekanisme batuk yang terjadi pada pneumonia dimulai dari iritasi dari
ujung saraf di laring dan trakea dari post nasal drip.
Pelepasan mediator pro inflamasi di lokasi replikasi bakteri. Paparan dari
ujung saraf sekunder untuk kerusakan epitel saluran napas. Hal tersebut
meningkatkan efek neuropeptida seperti substansi P sekunder menurun di
endopeptidase netral pada permukaan sel epitel. Deformasi reseptor iritan
oleh akumulasi sekresi dan debris menyebabkan saluran napas mengalami
hiperresponsif dan bronkospasme (Boushey and Pek, 2003). Faktor
modifikasi dapat meningkatkan risiko infeksi tetapi tidak semua pasien
pneumonia mempunyai faktor modifikasi. Berdasarkan hasil penelitian,
penyakit jantung dan paru merupakan faktor modifikasi terbanyak pada
pneumonia komunitas (76%) maupun pneumonia nosokomial (100%). Hal
ini disebabkan pada penyakit paru seperti TB dapat menimbulkan
komplikasi yaitu pneumonia, karena selain disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis pasien juga diduga terinfeksi bakteri enterik
Gram negatif (PDPI, 2014).
Lama perawatan pasien pneumonia beragam karena bersifat
individual berdasarkan respons pengobatan dan komorbid (PDPI, 2014).
Sebagian besar pasien pneumonia komunitas dirawat selama <7 hari dengan
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
82
jumlah 36 pasien (53%), sisanya 7-14 hari sebanyak 30 pasien (44%), 1
pasien dirawat selama 15-21 hari (1,5%), dan 1 pasien lainnya (1,5%)
dirawat selama >21 hari. Sedangkan untuk pneumonia nosokomial semua
pasien dirawat selama 7-14 hari (100%) (gambar 5.4). Berdasarkan PDPI
2014, lama pengobatan 7-10 hari pada pasien yang menunjukkan respons
dalam 72 jam pertama. Namun, menurut hasil penelitian sebagian basar
pneumonia komunitas dirawat selama <7 hari, lebih cepat memberikan
respons perbaikan kondisi. Biasanya pasien pneumonia yang dirawat 14 hari
sudah menunjukkan perbaikan kondisi. Untuk pasien yang dirawat > 14 hari,
ada beberapa faktor yang menyebabkan pasien tersebut harus dirawat lebih
lama seperti adanya sepsis berat, MODS, usia lanjut (> 65 tahun), dan efusi
pleura.
Penyakit penyerta pada pasien pneumonia baik pneumonia
komunitas maupun pneumonia nosokomial beragam. Berdasarkan data hasil
penelitian diperoleh, penyakit penyerta terbanyak adalah TB paru pada CAP
sebanyak 20 pasien (29%) dan HAP sebanyak 4 pasien (80%). Indonesia
berada pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi di dunia.
Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660.000 dan estimasi
insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat
TB diperkirakan 61.000 kematian per tahunnya (WHO, 2010). TB paru
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis ditansmisikan dari penderita
ke orang sehat melalui batuk atau bersin. Salah satu gejala dari TB paru
adalah penurunan berat badan dan keringat malam. Terapi yang digunakan
untuk mengobati TB paru adalah OAT (Peloquin, 2008). Penyakit penyerta
yang dialami pasien lainnya dapat dilihat pada tabel V.3 dan V.4.
Terapi antibiotika empiris segera diberikan setelah diagnosis
ditegakkan dan diperlukan juga pemeriksaan mikrobiologi dengan
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
83
pewarnaan dan kultur dengan spesiemen dahak. Namun, tidak semua pasien
pneumonia dilakukan pemeriksaan mikrobiologi. Hal tersebut dapat
disebabkan karena sebagian besar pasien mengikuti jaminan kesehatan
seperti BPJS yang tidak bisa mengcover semua biaya sehingga hanya
dilakukan terapi empiris dan pemeriksaan mikrobiologi hanya dilakukan
pada beberapa pasien dengan kondisi yang tidak menunjukkan perbaikan
klinis.
Kultur bakteri dilakukan untuk mengetahui etiologi penyebab
pneumonia. Sebanyak 73 pasien pneumonia, hanya sebagian kecil pasien
melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Berdasarkan data penelitian hasil
kultur 10 pasien pneumonia komunitas, sebanyak 7 pasien menunjukkan
hasil tidak ada pertumbuhan kuman aerob, sedangkan untuk pneumonia
nosokomial, hanya 1 pasien dengan hasil tidak ada pertumbuhan kuman
aerob. Dari hasil kultur pneumonia komunitas, 3 pasien menunjukkan
adanya pertumbuhan mikroorganisme. Mikroorganisme yang menginfeksi
dari masing-masing pasien adalah Pseudomonas aeruginosa,
Staphylococcus koagulase negatif, dan Streptococcus viridans (tabel V.5).
Data dari beberapa rumah sakit di Indonesia tahun 2012 menunjukkan
bahwa penyebab terbanyak pneumonia komunitas di ruang rawat inap dari
bahan sputum adalah kuman Gram negatif seperti Klebsiella pneumoniae,
Acinetobacter baumanii, Pseudomonas aeruginosa sedangkan gram positif
seperti Streptococcus pneumoniae, Streptococcus viridans, Staphylococcus
aureus ditemukan dalam jumlah sedikit (PDPI, 2014). Hal ini akan
mempengaruhi regimen terapi antibiotika yang diberikan. Berdasarkan hasil
kultur tersebut, dapat diketahui antibiotika apa saja yang masih sensitif,
intermediate, atau resisten yang akan menjadi pertimbangan pemilihan
antibiotika (tabel V.6). Terapi antibiotika secara empiris harus didasarkan
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
84
pada tata surveilans bakteri patogen penyebab infeksi di rumah sakit
setempat (Depkes, 2011).
Berdasarkan parameter farmakokinetika, antibiotika dibagi menjadi
dua kelompok. Kelompok yang pertama adalah time dependent bactericidal
action. Antibiotika yang termasuk kelompok ini adalah β-laktam (penisilin,
sefalosporin, karbapenem, dan monobaktam), linkosamid, makrolid,
oksazolidinon, vankomisin dan tigesiklin. Peningkatan konsentrasi
antibiotika tidak akan meningkatkan efek bakterisidal. Namun, untuk
menghambat pertumbuhan bakteri konsentrasi antibiotika harus tetap berada
diatas MIC dan durasi paparan antibiotika harus maksimal. Kelompok yang
kedua adalah concentration dependent bactericidal action. Antibiotika yang
termasuk kelompok ini adalah aminoglikosida dan florokuinolon. Efek
bakterisidal pada kelompok ini bergantung pada konsentrasi. Konsentrasi
puncak dalam serum (Cmax) akan menimbulkan efek bakterisidal yang
maksimum. Apabila konsentrasi menurun, maka aktivitas bakterisidal akan
menurun (Levison and Levison, 2009; Depkes, 2011).
Antibiotika yang diterima pasien beragam sesuai dengan kondisi
pasien baik dalam penggunaan tunggal maupun kombinasi. Satu pasien
dapat menerima lebih dari satu macam antibiotika. Pada tabel V.7 jenis
antibiotika yang paling banyak digunakan pada pneumonia adalah
seftriakson (golongan sefalosporin generasi 3) dan levofloksasin (golongan
fluorokuinolon), pada pneumonia komunitas dengan jumlah 44 pasien (65%)
dan pneumonia nosokomial dengan jumlah 3 pasien (60%).
Seftriakson menjadi antibiotika terbanyak yang digunakan baik
pada pneumonia komunitas dan pneumonia nosokomial. Mekanisme kerja
seftriakson adalah menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan
mengikat satu atau lebih penicillin-binding proteins (PBPs) yang
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
85
menghambat langkah akhir transpeptidase dari sintesis peptidoglikan pada
dinding sel bakteri, kemudian menghambat dinding sel bakteri (Rang et al.,
2012). Seftriakson merupakan antibiotika berspektrum luas yang efektif
terhadap sebagian besar bakteri aerob, baik gram positi atau gram negatif,
dan memiliki aktivitas terhadap sebagian bakteri anaerob gram negatif,
lebih aktif terhadap enterobacteriaceae, termasuk strain yang memproduksi
β-laktamase (Depkes, 2011). Bentuk sediaan seftriakson adalah injeksi
kering 1 g direkonstitusi dengan larutan 10 ml NaCl 0,9%. Seftriakson
diberikan melalui infus intermiten dalam 100 ml NaCl 0,9 % selama 15
sampai 30 menit (Gray et al., 2011).
Selain itu, levofloksasin juga menjadi antibiotika terbanyak yang
digunakan baik pada pneumonia komunitas dan pneumonia nosokomial.
Mekanisme kerja levofloksasin adalah menghambat DNA-girase pada
organisme yang rentan sehingga menghambat relaksasi DNA superkoil dan
meningkatkan kerusakan untai DNA (Rang et al., 2012). Levofloksasin
lebih poten secara farmakodinamik dibandingkan dengan siprofloksasin
(Lister and Sanders, 1999). Bioavailabilitas levofloksasin 99%. Konsentrasi
plasma maksimum dan minimum levofloksasin berturut-turut 6,4 μg/ml dan
0,6 μg/ml. Levofloksasin terikat pada protein serum kira-kira 24-38%.
Didistribusikan secara cepat dan luas ke dalam jaringan dan cairan tubuh,
termasuk kulit, dan paru (McEvoy, 2011). Levofloksasin juga mempunyai
penetrasi yang baik ke dalam jaringan paru. Kadar levofloksasin di dalam
jaringan paru pada umumnya 2 sampai 5 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan kadar dalam plasma. Levofloksasin dimetabolisme dalam jumlah
kecil dan sebagian besar diekskresi melalui urin dalam bentuk utuh dan
sisanya melalui feses. Rata-rata waktu paruh eliminasi plasma setelah
pemberian levofloksasin adalah 6-8 jam (Fish and Chow, 2005). Bentuk
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
86
sediaan levofloksasin adalah 5 mg/mL dalam 100 mL botol infus. Berikan
infus intravena selama 30 menit untuk 250 mg atau 60 menit untuk 500 mg
(Gray et al., 2011).
Antibiotika kedua yang sering digunakan adalah seftazidim.
Mekanisme kerja seftazidim sama dengan seftriakson. Seftazidim dipilih
karena karena aktif terhadap Pseudomonas aeruginosa dan tidak diberikan
pada pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal (Depkes, 2014; Deck
& Winston, 2015). Seftazidim tidak diserap baik di saluran pencernaan
sehingga harus diberikan secara parenteral. Terikat pada protein serum kira-
kira 5-24%. Seftazidim tidak dimetabolisme dalam tubuh dan 80-90% dari
dosis dieliminasi dalam urin dalam waktu 24 jam. Rata-rata waktu paruh
eliminasi setelah pemberian seftazidim adalah 1,4-2 jam (Norrby et al.,
1999; McEvoy, 2011). Bentuk sediaan seftazidim adalah injeksi kering 1 g
direkonstitusi dengan larutan 10 ml NaCl 0,9 %. Larutan injeksi seftazidim
disuntikkan perlahan-lahan selama 3-5 menit dan infus intermiten dalam
100 ml NaCl 0,9 % selama 15 sampai 30 menit (Gray et al., 2011).
Antibiotika ketiga yang sering digunakan adalah meropenem dan
sefiksim masing-masing sebanyak 6 pasien (9%) (tabel V.7). Mekanisme
kerja meropenem sama seperti seftazidim. Meropenem dipertimbangkan
sebagai antibiotika alternatif, tidak digunakan sebagai terapi lini pertama
untuk pneumonia komunitas. Meropenem digunakan jika penyebab
pneumonia komunitas adalah Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella, atau
bakteri Gram negatif lainnya dan bakteri anaerob (Mandell et al., 2007).
Pada penelitian ini, sebagian besar meropenem diberikan pada pasien
pneumonia komunitas sebagai pengganti antibiotika yang diberikan
sebelumnya karena kondisi pasien yang belum menunjukkan tanda-tanda
perbaikan klinis. Sedangkan untuk sefiksim (golongan sefalosporin generasi
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
87
3) memiliki aktivitas yang besar terhadap bakteri Gram negatif (Deck &
Winston, 2015). Sefiksim biasanya diberikan pada pasien pneumonia
komunitas sebagai sulih terapi. Perubahan antibiotika intravena ke oral
harus memperhatikan ketersediaan antibiotika oral yang efektifitasnya
mampu mengimbangi efektifitas antibiotika intravena yang digunakan
(PDPI, 2014).
Antibiotika tunggal yang paling banyak digunakan pada
pneumonia komunitas dan pneumonia nosokomial adalah seftriakson (tabel
V.8). Dipilih karena termasuk golongan antibiotika dengan spektrum luas.
Seftriakson tidak diserap baik di saluran pencernaan sehingga harus
diberikan secara parenteral. Tingkat protein yang mengikat tergantung
konsentrasi. Sebanyak 93-96% terikat pada protein plasma <70 mcg/ ml,
84-87% pada 300 mcg/ml, dan ≤ 58% pada 600 mcg/ml. Seftriakson
dimetabolisme sebagian kecil di usus setelah eliminasi empedu. Orang
dewasa dengan fungsi ginjal dan hati yang normal dengan distribusi paruh
0,12-0,7 jam dan paruh eliminasi 5,4-10,9 jam (McEvoy, 2011).
Kombinasi antibiotika yang paling sering digunakan pada
pneumonia komunitas dan pneumonia nosokomial adalah kombinasi
seftazidim + levofloksasin (tabel V.8). Berdasarkan pedoman pneumonia
komunitas, kombinasi sefalosporin + fluorokuinolon diberikan jika dicurigai
penyebabnya Pseudomonas aeruginosa. Kombinasi seftazidim dan
levofloksasin memberikan efek sinergis terhadap Pseudomonas aeruginosa
(Deck & Winston, 2015). Kombinasi seftriakson + azitromisin pada pasien
no.4 dan 51 dan levofloksain + azitromisin pada pasien no.18 diberikan
karena dicurigai pasien terinfeksi bakteri atipikal. Azitromisin diindikasikan
untuk pneumonia yang disebabkan oleh bakteri atipikal dengan manifestasi
khusus yakni pasien mengalami pusing dan badan terasa linu. Bakteri
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
88
atipikal yang sering dijumpai adalah Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia
pneumoniae, Legionella spp (PDPI, 2014). adanya Kombinasi seftazidim
dengan klindamisin diberikan pada pasien no. 23 karena hasil kultur
menunjukkan dari semua antibiotika yang diuji sensitifitasnya, klindamisin
menunjukkan sensitifitas terhadap bakteri Streptococcus viridans. Sama
seperti kombinasi gentamisin dengan meropenem, merupakan hasil kultur
yang menunjukkan dari semua antibiotika yang diuji sensitifitasnya,
gentamisin memberikan hasil sensitifitas terhadap bakteri Staphylococcus
koagulase negatif.
Kombinasi antibiotika diberikan pada pasien dengan kondisi
pneumonia berat atau adanya faktor modifikasi. Penggunaan kombinasi
antibiotika ditujukan untuk meningkatkan aktivitas antibiotika pada infeksi
spesifik (efek sinergis) dan memperlambat atau mengurangi risiko
timbulnya bakteri resisten (Depkes, 2011). Pada pasien pneumonia
nosokomial, penggunaan antibiotika secara tunggal dan kombinasi. Untuk
pasien no. 53, 60, 66 diberikan antibiotika tunggal karena pasien terinfeksi
bakteri pada onset dini (< 5 hari) dan diduga tanpa faktor risiko MDR.
Sedangkan, pasien no. 32 dan 68 diberikan kombinasi antibiotika karena
pasien terinfeksi bakteri pada onset lanjut (> 5 hari) dan diduga terdapat
faktor risiko MDR (ATS, 2005; Blackford et al., 2015).
Dosis antibiotika yang digunakan pada pasien pneumonia telah
sesuai dengan pustaka (tabel V.9 dan V.10). Sebagian besar dosis
seftriakson yang diberikan pada pasien adalah 1 g diberikan setiap 12 jam
(CAP= 56% dan HAP= 40%). Pada pasien no. 51 diberikan dengan dosis 2
g diberikan setiap 12 jam. Dosis ini sesuai karena dosis maksimal yang
diperbolehkan adalah 4g/hari (McEvoy, 2011). Dosis levofloksasin yang
diberikan kepada pasien sebagian besar adalah 750 mg diberikan setiap 24
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
89
jam (CAP= 44% dan HAP= 20%). Regimen levofloksasin dosis tinggi (750
mg), memperbesar aktivitas antibakterial yang bergantung pada konsentrasi,
menurunkan potensi resistensi, dan meningkatkan kepatuhan pasien
(Noreddin and Elkhatib, 2010). Seperti pada pasien no. 2, 14, 27, 57
dilakukan penyesuaian dosis levofloksasin yang diberikan 750 mg setiap 2
hari (tabel V.11). Hal tersebut dikarenakan pasien mengalami gangguan
ginjal yaitu kadar kreatinin meningkat sehingga antibiotika levofloksasin
berada dalam tubuh lebih lama, menyebabkan kemungkinan terjadinya
nefrotoksik (Simmons and Hopkins, 2009).
Dosis seftazidim yang diterima oleh sebagian besar pasien adalah 1
g diberikan setiap 8 jam (CAP= 26%, HAP= 40%). Dosis ini sesuai karena
dosis maksimal yang diperbolehkan adalah 6g/hari (McEvoy, 2011).
Seftazidim dan antibiotika yang termasuk dalam golongan β-laktam bersifat
time dependent. Lamanya antibiotika berada dalam darah dalam kadar
diatas konsentrasi hambat minimum (KHM) sangat penting untuk
memperkirakan outcome klinik atau kesembuhan (Depkes, 2011). Dosis
antibiotika lain yang diterima pasien pneumonia komunitas adalah sefiksim
100 mg diberikan setiap 12 jam (9%), meropenem 1 g diberikan setiap 8
jam (9%), dosis tersebut sesuai dengan pustaka (BNF, 2014). Azitromisin
500 mg diberikan setiap 24 jam (4%), siprofloksasin 400 mg diberikan
setiap 12 jam (2%). Dosis diatas sudah sesuai pustaka (McEvoy, 2011).
Lama penggunaan azitromisin selama 3 hari sudah sesuai dengan pustaka
(McEvoy, 2011). Untuk dosis antibiotika yang merupakan penggantian
setelah hasil kultur keluar adalah klindamisin 300 mg diberikan setiap 6 jam
dan gentamisin 160 mg diberikan setiap 24 jam, dosis tersebut juga sudah
sesuai. Begitu pula dengan pneumonia nosokomial, dosis antibiotika
seftriakson, seftazidim dan levofloksasin yang digunakan juga sesuai
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
90
pustaka (McEvoy, 2011). Antibiotika seftriakson, seftazidim, levofloksasin,
siprofloksasin, meropenem, dan gentamisin diberikan secara intravena
karena pertimbangan kondisi infeksi pneumonia yang berat sehingga pasien
harus diobati sesegera mungkin setelah didiagnosis (BTS, 2009).
Monitoring terapi antibiotika pasien pneumonia, diharapkan terjadi
perbaikan kondisi yang dilihat dari parameter infeksi meliputi data klinik
seperti penurunan suhu tubuh, respiratory rate (RR), dan denyut nadi.
Selain itu, perbaikan kondisi juga dapat dilihat dari data laboratorium
seperti penurunan leukosit. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel V.12 dan
V.13) pasien yang mengalami leukositosis sebanyak 40 pasien. Rata - rata
leukosit pasien pneumonia komunitas saat sebelum terapi antibiotika adalah
18,75(103/µl) dan setelah terapi antibiotika adalah 15,70(103/µl). Sedangkan,
pada pasien pneumonia nosokomial, rata - rata leukosit pasien saat sebelum
terapi antibiotika adalah 17,38(103/µl) dan setelah terapi antibiotika adalah
14,76(103/µl). Hal tersebut menunjukkan bahwa rata - rata pasien
mengalami penurunan leukosit meskipun tidak mencapai nilai normal. Hal
tersebut disebabkan pasien mengalami penyakit penyerta atau komplikasi
selain pneumonia. Untuk parameter lainnya juga mengalami penurunan.
Dapat disimpulkan bahwa setelah mendapatkan terapi antibiotika, pasien
pneumonia mengalami penurunan reaksi inflamasi pada tubuh, yang
ditunjukkan dengan penurunan nilai parameter infeksi (kondisi klinis
membaik).
Pasien pneumonia tidak hanya mendapatkan terapi antibiotika saja,
tetapi juga mendapatkan terapi obat lain yang disesuaikan dengan kondisi
pasien. Dari keseluruhan obat yang diterima pasien, dapat diidentifikasi
DRP yang terjadi. Dalam pemilihan antibiotika sebagai terapi, ada beberapa
pasien mendapatkan antibiotika yang tidak sesuai (Ineffective drug) dan
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
91
efek samping dari antibiotika yang digunakan. Pasien no. 63 berpotensi
mengalami DRP efek samping dari gentamisin. Efek samping dari
gentamisin antara lain menyebabkan ototoksisitas (gangguan pendengaran),
dan nefrotoksisitas (gangguan ginjal). Cara untuk mengatasinya dengan
memantau kadar kreatinin serum setelah pemberian gentamisin sebagai
indikator untuk melihat ada tidaknya efek akut pada ginjal (Stockley and
Sweetman, 2008). Untuk pasien no. 63 juga berpotensi mengalami DRP
terapi antibiotika yang tidak efektif (Ineffective drug). Penggunaan
antibiotika levofloksasin tidak tepat karena berdasarkan hasil kultur yang
keluar, levofloksasin merupakan antibiotika yang resisten terhadap pasien
tersebut, namun tetap diberikan. Akibatnya antibiotika tersebut mengalami
resistensi berulang, sekaligus berpotensi menimbulkan efek samping dan
reaksi alergi. Selain itu, pasien no.63 juga berpotensi mengalami DRP
interaksi antibiotika dengan obat lain yakni gentamisin dengan furosemid,
namun interaksinya tidak terlalu signifikan. Mekanisme interaksinya
furosemid meningkatkan induksi kerusakan ginjal aminoglikosida dengan
menurunkan klirens kreatinin dari gentamisin sehingga mempotensiasi efek
peningkatan gentamisin serum dalam darah (Stockley and Sweetman, 2008).
Cara mengatasinya dengan memantau kadar kreatinin serum setelah
pemberian gentamisin sebagai indikator untuk melihat ada tidaknya efek
akut pada ginjal (tabel V.14).
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
92
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dari 73 pasien pneumonia terdiri dari
68 pasien pneumonia komunitas dan 5 pasien pneumonia nosokomial yang
dirawat di ruang Rawat Inap Rumah Sakit Universitas Airlangga (1 Januari
2015 – 30 Juni 2016) dapat disimpulkan:
1. Antibiotika empiris yang diberikan pada pasien pneumonia komunitas
adalah seftriakson (47%), levofloksasin (25%), seftazidim +
levofloksasin (18%), seftriakson + levofloksasin (15%), seftazidim
(9%), meropenem (6%), sefiksim + levofloksasin (4%), sefiksim (4%),
seftriakson + azitromisin (3%). Pemberian antibiotika sebagian besar
dengan rute intravena.
2. Antibiotika empiris yang diberikan pada pasien pneumonia
nosokomial adalah seftriakson (40%), seftazidim (20%),
levofloksasin (20%), seftriakson + levofloksasin (20%), seftazidim +
levofloksasin (20%). Pemberian antibiotika sebagian besar dengan
rute intravena.
3. Dosis dan frekuensi penggunaan antibiotika yang paling banyak
digunakan adalah seftriakson 2x1 g pada CAP (56%) dan HAP (40%),
levofloksasin 1x750 mg pada CAP (44%) dan HAP (20%), seftazidim
3x1 g pada CAP (26%) dan HAP (40%). Dosis dan frekuensi
penggunaan antibiotika pada pasien pneumonia telah sesuai dengan
pustaka.
4. DRP (Drug Related Problem) yang potensial terjadi adalah kesalahan
pemberian antibiotika (Ineffective drug) levofloksasin yang ternyata
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
93
resisten, adanya efek samping dari gentamisin (nefrotoksisitas) dan
interaksi obat antara gentamisin dan furosemid.
7.2 Saran
1. Perlu dilakukan monitoring terhadap ketepatan penggunaan
antibiotika terhadap pasien pneumonia, karena penggunaan
antibiotika yang tidak tepat dapat meningkatkan risiko terjadinya
resistensi.
2. Pemeriksaaan mikrobiologi dan uji sensitivitas perlu dilakukan
pada pasien pneumonia yang tidak menunjukkan perbaikan kondisi
klinis.
3. Mengingat kompleksnya terapi antibiotika serta obat lain yang
diterima penderita pneumonia dan risiko terjadinya DRP (Drug
Related Problems), diperlukan peran aktif farmasis dalam
melakukan pelayanan farmasi klinis sebagai bagian dari tim
kesehatan.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
94
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff H., Mukty A., 2009. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya :
Airlangga University Press. Hal. 122-135. American Thoracic Society/Infectious Diseases Society of America. 2001.
Guidelines for the Management of Adults with Community-acquired Pneumonia. US: Am J Respir Crit Care Med Vol 163. p. 1730–1754.
American Thoracic Society/Infectious Diseases Society of America. 2005.
Guidelines for the Management of Adults with Hospital-acquired, Ventilator-associated, and Healthcare-associated Pneumonia. US: Am J Respir Crit Care Med Vol 171. p. 388–416.
Anwar, A. Dharmayanti, I., 2014. Pneumonia pada Anak Balita di Indonesia.
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 8, Mei. Hal. 359-365.
Baik, I., Curhan, G.C., Rimm, E.B., Bendich, A., Willet, W.C., and Fawzi,
W.W., 2000. A Prospective Study of Age and Lifestyle Factors inRelation to Community-Acquired Pneumonia in US Men and Women. Arc Intern Med. Vol 160, p. 3082-3088.
Blackford, Martha G., Glover, Mark L., and Reed, Michael D., 2015.
Respiratory Tract Infections Lower, In : DiPiro, Joseph T., Wells, B. G., Schwinghammer, Terry L., DiPiro, Cecily V. (Eds.). Pharmacotherapy Handbook 9th Edition. New York: McGraw-Hill. p. 410-417.
Boushey, H. A., and Pek, W. Y., 2003. Cough in Lower Airway Infections,
In : Chung, K. F., Widdicombe, J. G., and Boushey, H. A. Cough: Causes, Mechanisms and Therapy. UK. Blackwell Publishing Ltd. p. 83-86.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
95
BTS. 2009. Guidelines for the Management of Community Acquired
Pneumonia in Adults: update 2009. Thorax An Intrnational Journal of Respiratory Medicine. Vol 64 Suppl III, p. iii1-iii55.
Chambers, Henry. F., 2006. Chemotherapy Of Microbial Diseases-General
Principles Of Antimicrobial Therapy, In : Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis Of Therapeutics. 11th Ed. New York: McGraw-Hill.
Cipolle, R.J., Strand, L.M., and Morley, P.C., 2007. Pharmaceutical Care
Practice: The Clinician’ Guide. 2nd Ed. New York : McGraw-Hill. Conroy, et al., 2009. Atlas of Pathophysiology. 3th Ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins. p. 101-102. Da Cunha, G. R., Caierão, J., Pedro, A. d’Azevedo, Cícero, A. G. D., 2014.
Antimicrobial Resistnce in Streptococcus Pneumonia : Mechanisms and Current Epidemiology. Clin Biomed Res. 34(2) p. 97-112.
Dahlan, Zul, 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 6,
Jakarta : Balai Penerbit FKUI, hal 1608-1624. Deck, Daniel H. and Winston, Lisa G., 2015. Aminoglycosides &
Spectinomycin. In: Katzung, Bertram G., Masters, Susan B., and Trevor, Anthony J. (Eds.). Basic and Clinical Pharmacology, 13th Ed. New York : McGraw-Hill. p. 799-806.
Deck, Daniel H. and Winston, Lisa G., 2015. Beta-Laktam & Other Cell-
Wall- & Membrane-active Antibiotics. In: Katzung, Bertram G., Masters, Susan B., and Trevor, Anthony J. (Eds.). Basic and Clinical Pharmacology, 13th Ed. New York : McGraw-Hill. p. 769-787.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
96
Deck, Daniel H. and Winston, Lisa G., 2015. Sulfonamides, Trimetorpim & Quinolons. In: Katzung, Bertram G., Masters, Susan B., and Trevor, Anthony J. (Eds.). Basic and Clinical Pharmacology, 13th Ed. New York : McGraw-Hill. p. 807-814.
Deck, Daniel H. and Winston, Lisa G., 2015. Tetracyclines, Macrolides,
Clindamycin, Chloramphenicol, Streptogramins, & Oxazolidinones. In: Katzung, Bertram G., Masters, Susan B., and Trevor, Anthony J. (Eds.). Basic and Clinical Pharmacology, 13th Ed. New York : McGraw-Hill. p. 788-798.
DepKes RI., 2014. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta :
Kementerian Kesehatan RI. Hal. 139-140. Departemen Kesehatan RI. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI. 2014. Keputusan Direktur Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Nomor HK.02.03/III/1346/2014 tentang Pedoman Penerapan Formularium Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 79 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Geriatri di Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Dockrell, D. H. , Paul J. Collini, and Helen M. Marriott., 2013.
Alveolar Macrophages. In: A. Prince (ed.). Mucosal Immunology of Acute Bacterial Pneumonia. New York: Springer Science&Business Media. p. 1-48.
Fish, D. N., and Chow, A. T., 2005. The Clinical Pharmacokinetics of
Levofloxacin. Adis International limited. p. 101-119.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
97
Glover, M. L., and Reed, M. D., 2008. Lower Respiratory Tract Infection,
In : DiPiro, Joseph T., Hamilton, Cindy W., Schwinghammer, Terry L., Wells, Barbara G. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 7th Ed., New York: McGraw-Hill. p. 1761-1778.
Gray, A., Wright, J., Goodey, V., and Bruce, L., 2011. Injectable Drugs
Guide. UK. Royal Pharmaceutical Society of Great Britain. High, K., 2015. Evaluartion of Infection in the Older Adult. Diakses dari
http://www.uptodate.com/contents/evaluation-of-ifection-in-the-older-adult pada tanggal 8 agustus 2016
Hippenstiel, S. Opitz, B., Schmeck, B., Suttort, N., 2006. Lung Epithelium
as a sentinel and effector system in pneumonia molecular mechanisms of pathogen recognition and signal transduction. www.respiratory-research.com diakses tanggal 27 November 2015. p. 1-17.
Ivan, F. H., Tantawichien, T., Huang Tsai, Y., Patil, S., Zotomayor, R.,
2013. Regional epidemiology of invasive pneumococcal disease in Asian adults: epidemiology, disease burden, serotype distribution, and antimicrobial resistance patterns and prevention. Singapore : International Journal of Infectious Diseases (ELSIVIER) p. 364–373.
Karl J. Madaras-Kelly., Richard E. Remington., Vincent S. Fan., Kevin L.
Sloan., 2012. Predicting Antibiotic Resistance to Community-Acquired Pneumonia Antibiotics in Culture-Positive Patients With Healthcare-Associated Pneumonia. Northwestern United States : Journal of Hospital Medicine Vol.7 No 3. p. 195-202.
Kolls, J. K., 2013. CD4 T-Cell Immunity in the Lung. In: A. Prince (ed.).
Mucosal Immunology of Acute Bacterial Pneumonia. New York: Springer Science&Business Media. p. 67-82.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
98
Lacy, C.F., Armstrong, L.L., Goldman, M.P., and Lanco, L.L., 2007. Drug Information Handbook. 17th Ed. : Lexi-Comp.
Lee, D., Sumit R. Majumdar., Helene L. Lipton. 2013. Special Applications
of Pharmacoepidemiology, In : Strom, B. L., Kimmel, S. E., Hennessy, S. (Eds.). Textbook of Pharmacoepidemiology. 2nd Edition. John Wiley & Sons, Ltd. p. 339-406.
Levison, M. E., and Levison, J. H., 2009. Pharmacokinetics and
Pharmacodynamics of Antibacterial Agents. USA. Infect Dis Clin N Am (23). p. 791–815.
Levitzky, M. G., 2007. Pulmonary Physiology. 7th Edition. New York:
McGraw-Hill. p. 1-10. Mandell, L. A.., Richard G. Wunderink., Antonio Anzueto., John G.
Bartlett., G. Douglas Campbell., Nathan C. Dean., Scott F. Dowell., Thomas M. File, Jr., Daniel M. Musher., Michael S. Niederman., Antonio Torres., and Cynthia G. Whitney., 2007. Infectious Diseases Society of America/American Thoracic Society Consensus Guidelines on the Management of Community-Acquired Pneumonia in Adults. IDSA/ATS Guidelines for CAP in Adult: 44 (Suppl 2). p. 27-72.
McEvoy, Gerald K., 2011. AHFS Drug Information Essentials: Point-of-
Care Drug Information for Health Care Professionals. Bethesda: American Society of Health-System Pharmacists Inc.
Mc Phee, S. J., W. F. Ganong., (Eds.). 2006. Pathophysiology of Disease
An Introduction to Clinical Medicine. 1st Ed., Stamf rd, Connecticut : Appleton and Lange.
Neal, Michael J., 2012. Medical Pharmacology at a Glance, Ed. 7th . Great
Britain : MPG Books Ltd. p. 80-85.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
99
Noreddin, A.M. and Elkhatib, W.F., 2010. Levofloxacin in the treatment of Community-Acquired Pneumonia. Expert Review of Anti-infective Therapy. Vol. 8 No. 5, p. 500-514.
Norrby, S. R., Burman, L. A., Linderholm, H., and Trollfors, B., 1999.
Ceftazidime: Pharmacokinetics Inpatients and Effects On The Renal Function. Sweden. Journal of Antimicrobial Chemotherapy. (10) p. 199-206.
PDT. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian Bag/SMF Ilmu
Penyakit Paru. Edisi ke-3. Surabaya: RSUD Dr. Soetomo, Hal 15-20.
Peloquin, C.A., 2008. Tuberculosis. In:Dipiro, J.T., Talbert, R.L, Yee, G.C.,
Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posey, L.M. (Eds.). Pharmacotherapy A Phatophysiologic Approach. 7th Ed. New York: Mc Graw Hill. p. 1839-1856.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2014. Pneumonia Komunitas.
Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal. 1-52.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2003. Pneumonia
Nosokomial. Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal. 1-32.
Petri, William A. And Jr., 2011. Penicillins, Cephalosporins, and other β-
lactam Antibiotics. In: Brunton, L., Chabner, B., and Knollman, B. (Eds.). Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics. 12th Ed. New York: Mc Graw Hill.
Rang, H. P., Dale, M. M. & Ritter, J. M., 2012. Rang & Dale’s
Pharmacology.. 7th penyunt. London: Elsevier Inc.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
100
Richard R. Watkins., Tracy L. Lemonovich., 2011. Diagnosis and Management of Community-Acquired Pneumonia in Adults. American Academy of Family Physician. 83(11) p.1299-1306.
RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.2009. Pedoman Penggunaan Antibiotika
RSUD Dr. Soetomo. RSUD Dr. Soetomo. Saladin, K. S. 2014. Human Anatomy, 4th Ed., New York: McGraw-Hill
Education. p. 631-652. Scaparrotta, A. Attanasi, M., Di Pillo, A., Chiarelli, F., 2013. Pediatric
Lower Respiratory Infections. www.esciencecentral.org/ebooks. p.1-27.
Simmons, W. D., and Hopkins, A. M. 2009. Clinical Directive for Renal
Function-Based Dose Adjustments in Adults. UWHC Center for Drug Policy.
Soedarsono, 2010. Pneumonia. In : Alsagaff, Hood; Wibisono, M. Yusuf;
Winariani. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Graha Masyarakat Ilmiah Kedokteran Universitas Airlangga, hal. 153-183.
Stockley, I. H., and Sweetman, S. C., 2008. Stockley’s Drug Interactions
8th Edition. London. Royal Pharmaceutical Society of Great Britain.
Torres A., Cillóniz C., 2015. Clinical Management of Bacterial Pneumonia.
Springer International Publishing Switzerland. p. 7-28. Torres A., Willy E. P., Giovanni V., Francesco B., 2013. Risk factors for
community-acquired pneumonia in adults in Europe: a literature review. Europe. [email protected]. p. 1057–1065.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
101
Ward, Jeremy P.T., Ward, Jane, Leach, Richard M., Wiener, Charles M., 2010. The Respiratory System At a Glance. 3rd Edition. England: Willey-Blackwell. p. 80-81.
WHO, 2003. Introduction of Drug Utilization Study. Geneva: World
Health Organization. p. 8-19.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
102
Lampiran I
Tabel Induk
Identitas Pasien Tanggal MRS
Data Klinik Data Laboratorium Terapi Antibiotika
Terapi Lain
Pasien no.2 Tn. RBT (L) Status Pembiayaaan: BPJS - ASKES Usia : 62 tahun Lama Perawatan: 9 hari Keadaan KRS: mulai membaik Keluhan utama : Penurunan kesadaran RPS: penurunan kesadaran sejak tadi siang jam 11.00, lemas, kejang(-),mual muntah(-) RPD: DM(+), infeksi paru(+)
11-05-2016
Suhu: 37,5oC Nadi: 72x/menit RR: 20x/menit TD: 181/75mmHg
Data Laboratorium: Hb: 12,8g/dl; HCT: 38,6%; Trombosit: 734x10^3/L Leukosit: 17,6 x103/µL BUN: 30,3 mg/dL; Krea: 1,89 mg/dL; Na: 140 mmol/L; K: 3,6 mmol/L Data Radiologi: Kesimpulan : pneumonia
Seftriakson 2x1 gram (iv)
Infus PZ 500cc/24 jam Furosemid 1-0-0 (iv) Omeprazole 2x40 mg (iv) Prosogan 2x1 (iv) Lantus 0-0-14 unit (sc) Lisinopril 10mg-0-0 (po) Sonde diabetasol 6x100 cc (po) Sukralfat 3xCII (po) Paracetamol 3x500 mg (po)
12-05-2016
Suhu: 37,9oC Nadi: 73x/menit RR: 20x/menit TD: 190/93mmHg
Data Laboratorium: BUN: 26,2 mg/dL; Krea: 1,83 mg/dL; Alb: 3,24 g/dL
Terapi tetap Infus PZ 500cc/24 jam Furosemid 1-0-0 (iv) Omeprazole 2x40 mg (iv) Prosogan 2x1 (iv) Lantus 0-0-16 unit (sc) CDP colin 2x500 mg (iv) Alinamin F 2x1 amp (iv) Lisinopril 10mg-0-0 (po) Sonde diabetasol 6x100 cc (po) Sukralfat 3xCII (po)
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
103
Riwayat pengobatan: glibenklamid Alergi : - Diagnosis: CAP+ DM+ HHD+ HT st II+DCFC II+ sepsis+ stroke infark trombolik
Amlodipin 0-0-10 mg (po) Paracetamol 3x500 mg (po)
13-05-2016
Suhu: 37,9oC Nadi: 89x/menit RR: 21x/menit TD: 170/100 mmHg
Data Laboratorium: Hb: 12,0g/dl; HCT: 36,5%; Trombosit: 620x10^3/L Leukosit: 16,23 x103/µL BUN: 25 mg/dL; Krea: 1,87 mg/dL
Terapi tetap Infus PZ 500cc/24 jam Furosemid 1-0-0 (iv) Omeprazole 2x40 mg (iv) Lantus 0-0-20 unit (sc) CDP colin 2x500 mg (iv) Alinamin F 2x1 amp (iv) Lisinopril 10mg-0-0 (po) Sonde diabetasol 6x100 cc (po) Sukralfat 3xCII (po) Amlodipin 10-0-10 mg (po) Paracetamol 3x500 mg (po) ASA 1x100 mg (po)
14-05-2016
Suhu: 36,2oC Nadi: 84x/menit RR: 20x/menit TD: 178/99mmHg
Seftriakson 2x1 gram (iv) Levofloksasin 1x750 mg (iv)
Infus PZ 500cc/24 jam Furosemid 1x1 (po) Omeprazole 2x40 mg (iv) Lantus 0-0-20 unit (sc) CDP colin 2x500 mg (iv) Alinamin F 2x1 amp (iv) Lisinopril 10mg-0-0 (po) Sonde diabetasol 6x150 cc (po) Amlodipin 10-0-10 mg (po) Paracetamol 3x500 mg (po) ASA 1x100 mg (po) Valsartan 0-80mg-0 (po)
15-05-2016
Suhu: 37,7oC Nadi: 75x/menit RR: 24x/menit
Seftriakson 2x1 gram (iv)
Infus PZ 500cc/24 jam Furosemid 1x1 (po) Omeprazole 2x40 mg (iv)
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
104
TD: 175/76mmHg
Lantus 0-0-24 unit (sc) CDP colin 2x500 mg (iv) Alinamin F 2x1 amp (iv) Lisinopril 10mg-0-0 (po) Sonde diabetasol 6x150 cc (po) Amlodipin 10-0-10 mg (po) Paracetamol 3x500 mg (po) ASA 1x100 mg (po) Valsartan 0-80mg-0 (po) Bisoprolol 20mg-0-0 (po)
16-05-2016
Suhu: 37,2oC Nadi: 68x/menit RR: 20x/menit TD: 171/85mmHg
Seftriakson 2x1 gram (iv) Levofloksasin 1x750 mg (iv)
Infus PZ 500cc/24 jam Furosemid 1x1 (po) Omeprazole 2x40 mg (iv) Lantus 0-0-24 unit (sc) CDP colin 2x500 mg (iv) Alinamin F 2x1 amp (iv) Lisinopril 10mg-0-0 (po) Sonde diabetasol 6x150 cc (po) Amlodipin 10-0-10 mg (po) Paracetamol 3x500 mg (po) ASA 1x100 mg (po) Valsartan 0-80mg-0 (po) Bisoprolol 20mg-0-0 (po) Simvastatin 0-0-20 mg (po)
17-05-2016
Suhu: 37oC Nadi: 66x/menit RR: 20x/menit TD: 170/87mmHg
Data Laboratorium: Hb: 11,2 g/dl; HCT: 34,7%; Trombosit: 441x10^3/L Leukosit: 15,77 x103/µL
Seftriakson 2x1 gram (iv)
Infus PZ 500cc/24 jam Furosemid 1x1 (po) Omeprazole 2x40 mg (iv) Lantus 0-0-16 unit (sc) CDP colin 2x500 mg (iv)
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
105
Alinamin F 2x1 amp (iv) Lisinopril 10mg-0-0 (po) Sonde diabetasol 6x150 cc (po) Amlodipin 10-0-10 mg (po) Paracetamol 3x500 mg (po) ASA 1x100 mg (po) Valsartan 0-80mg-0 (po) Bisoprolol 20mg-0-0 (po) Simvastatin 0-0-20 mg (po)
18-05-2016
Suhu: 35,6oC Nadi: 57x/menit RR: 20x/menit TD: 171/87mmHg
Seftriakson 2x1 gram (iv) Levofloksasin 1x750 mg (iv)
Terapi tetap
19-05-2016
Suhu: 36oC Nadi: 59x/menit RR: - TD: 149/70mmHg
Seftriakson 2x1 gram (iv)
Terapi tetap
Pasien no.14 Ny. WES (P) Status Pembiayaaan: BPJS - Mandiri Usia : 58 tahun Lama Perawatan: 8 hari Keadaan KRS: membaik
22-03-2016
Suhu: 35,9oC Nadi: 83x/menit RR: 28x/menit TD: 125/72mmHg
Data Laboratorium: Hb: 9,4 g/dl; HCT: 31,1%; Trombosit: 411x10^3/L Leukosit: 19,92 x103/µL BUN: 31,2 mg/dL; Krea: 1,85 mg/dL; Na: 137 mmol/L; K: 5,1 mmol/L Data Radiologi:
Seftriakson 2x1 gram (iv)
Infus PZ 1000cc/24 jam O2 nasal 2 lpm ASA 1x100 mg (po) D.40% 3 flash (iv) Simvastatin 0-0-20 mg (po) Ambroxol 3x30 mg (po)
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
106
Keluhan utama : nyeri perut RPS: nyeri di perut kiri sejak hari ini, batuk(+), mual(+), muntah(-), BAB(-) sejak 3 hari yang lalu RPD: DM (+), HT(-) Riwayat pengobatan: Diatab 3x2 tab, OMZ 2x1 tab, ambroxol 3x1 tab, furosemid tab 1-0-0 Alergi : - Diagnosis: Pneumonia (CAP) + DMND + PJK omi anteroseptal
Kesimpulan : Cardiomegali dengan sclerotic arcos aorta dan edema paru, Efusi pleura kiri
23-03-2016
Suhu: 36,2oC Nadi: 88x/menit RR: 21x/menit TD: 150/92mmHg
Terapi tetap Infus PZ 1000cc/24 jam O2 nasal 2 lpm Lantus 0-0-8 unit (sc) ASA 1x100 mg (po) D.40% 3 flash (iv) Simvastatin 0-0-20 mg (po) Ambroxol 3x30 mg (po)
24-03-2016
Suhu: 36oC Nadi: 86x/menit RR: 24x/menit TD: 131/49mmHg
Terapi tetap Infus PZ 500cc/24 jam O2 nasal 2 lpm Lantus 0-0-10 unit (sc) ASA 1x100 mg (po) Simvastatin 0-0-20 mg (po) Ambroxol 3x30 mg (po) Tuzalos 3x1 tab (po)
25-03-2016
Suhu: 35,8oC Nadi: 92x/menit RR: - TD: 149/83mmHg
Data Laboratorium: Hb: 8,3 g/dl; HCT: 27,5%; Trombosit: 442x10^3/L Leukosit: 15,33 x103/µL
Seftriakson 2x1 gram (iv) Levofloksasin 1x750 mg (iv)
Terapi tetap
26-03-2016
Suhu: 36,2oC Nadi: 95x/menit RR: - TD: 143/81mmHg
Data Radiologi: Kesimpulan : - Cardiomegali dengan
congetive pulmonum - Masih tampak efusi
Seftriakson 2x1 gram (iv)
Infus PZ 500cc/24 jam O2 nasal 2 lpm Lantus 0-0-8 unit (sc) ASA 1x100 mg (po) Simvastatin 0-0-20 mg (po)
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
107
pleura bilateral Ambroxol 3x30 mg (po) Tuzalos 3x1 tab (po) Laxadyne syr 3xCI (po)
27-03-2016
Suhu: 36,4oC Nadi: 93x/menit RR: - TD: 128/67mmHg
Seftriakson 2x1 gram (iv) Levofloksasin 1x750 mg (iv)
Terapi tetap
28-03-2016
Suhu: 36,3oC Nadi: 99x/menit RR: 20x/menit TD: 150/92mmHg
Seftriakson 2x1 gram (iv)
Terapi tetap
29-03-2016
Suhu: 36,4oC Nadi: 88x/menit RR: 20x/menit TD: 155/83mmHg
Data Laboratorium: Hb: 9,9 g/dl; HCT: 32,3%; Trombosit: 546x10^3/L Leukosit: 17,23 x103/µL BUN: 32,2 mg/dL; Krea: 1,80 mg/dL
Seftriakson 2x1 gram (iv) Levofloksasin 1x750 mg (iv)
Terapi tetap
Pasien no.27 Tn. TCL (L) Status Pembiayaaan: BPJS - Mandiri Usia : 61 tahun Lama Perawatan: 7 hari
26-12-2015
Suhu: 37,1oC Nadi: 93x/menit RR: 26x/menit TD: 149/77mmHg
Data Laboratorium: Hb: 9,7 g/dl; HCT: 25,5%; Trombosit: 534x10^3/L Leukosit: 15,62 x103/µL SGOT: 71 U/L; SGPT: 26 U/L; BUN: 21 mg/dL; Krea: 2,48
Seftriakson 2x1 gram (iv) Levofloksasin 1x750 mg (iv)
Infus NaCl 3% 500cc/24 jam O2 nasal 4 lpm Antrain 3x1 amp (iv) Nebul combivent+ bisolvon 20 tetes/6 jam Ondansentron 3x8 mg (iv) Prosogan 2x1 (iv) Kapsul garam 3x1 (po)
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
108
Keadaan KRS: membaik Keluhan utama : sesak nafas RPS: sesak nafas, badan lemas sudah 1 hari, pingsan 1 hari SMRS, mual muntah(-) RPD: DM(-), HT(+) Riwayat pengobatan: Amlodipin 10mg Alergi : - Diagnosis: Pneumonia (CAP) + anemia + hiponatremia
mg/dL; Na: 101 mmol/L; K: 2,7 mmol/L Data Radiologi: Kesimpulan : Cor prominent, pneumonia
Sukralfat syr 3xCI (po)
27-12-2015
Suhu: 36,7oC Nadi: 100x/menit RR: 24x/menit TD: 122/67mmHg
Data Laboratorium: Na: 117 mmol/L
Seftriakson 2x1 gram (iv)
Terapi tetap
28-12-2015
Suhu: 36,5oC Nadi: 102x/menit RR: 24x/menit TD: 136/74mmHg
Seftriakson 2x1 gram (iv) Levofloksasin 1x750 mg (iv)
Infus NaCl 3% 500cc/24 jam O2 nasal 4 lpm Nebul combivent+ bisolvon 20 tetes/6 jam Ondansentron 3x8 mg (iv) Prosogan 2x1 (iv) Kapsul garam 3x1 (po) Sukralfat syr 3xCI (po) Gliseril guaikolat 3x1 tab (po) Spasmium 3x1 tab (po)
29-12-2015
Suhu: 36,8oC Nadi: 96x/menit RR: 22x/menit TD: 138/80mmHg
Data Laboratorium: Na: 130 mmol/L
Seftriakson 2x1 gram (iv)
Terapi tetap
30-12-2015
Suhu: 36,5oC Nadi: 96x/menit RR: 22x/menit
Seftriakson 2x1 gram (iv) Levofloksasin
Infus PZ (PZ:D5 = 1:2) 1500cc/24 jam O2 nasal 4 lpm
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
109
TD: 137/76mmHg
1x750 mg (iv) Nebul combivent+ bisolvon 20 tetes/6 jam Ondansentron 3x8 mg (iv) Prosogan 2x1 (iv) Kapsul garam 3x1 (po) Sukralfat syr 3xCI (po) Gliseril guaikolat 3x1 tab (po) Spasmium 3x1 tab (po) Laxadine syr 3xCI (po)
31-12-2015
Suhu: 36,5oC Nadi: 102x/menit RR: 20x/menit TD: 145/80mmHg
Seftriakson 2x1 gram (iv)
Infus PZ (PZ:D5 = 1:2) 1500cc/24 jam O2 nasal 4 lpm Nebul combivent+ bisolvon 20 tetes/6 jam Ondansentron 3x8 mg (iv) Prosogan 2x1 (iv) Kapsul garam 3x1 (po) Gliseril guaikolat 3x1 tab (po) Spasmium 3x1 tab (po) Laxadine syr 3xCI (po)
01-01-2016
Suhu: 36,2oC Nadi: 96x/menit RR: 24x/menit TD: 128/80mmHg
Seftriakson 2x1 gram (iv) Levofloksasin 1x750 mg (iv)
Terapi tetap
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ALIN
Top Related