Skenario B
Nona A, umur 20 tahun, datang ke Unit Gawat Darurat (UGD) dengan
keluhan utama sembab seluruh tubuh yang bertambah sejak dua minggu sebelum
masuk rumah sakit, sembab timbul mula-mula saat bangun tidur, di daerah kelopak
mata, kemudian berkembang ke seluruh tubuh. Buang air kecil berkurang, buang air
besar tidak ada keluhan.
Satu tahun yang lalu, penderita sering mengeluh nyeri sendi terutama pada jari
tangan dan kaki, nyeri hilang timbul. Penderita juga mengeluh demam yang tidak
terlalu tinggi, demam hilang timbul, rambut sering rontok, sariawan yang tanpa
sembab, muka kemerahan terutama daerah pipi dan bertambah merah bila terkena
matahari.
Nona A telah minum obat nyeri bila keluhan muncul tetapi tidak ada
perubahan.
Pemeriksaan fisik : keadaan umum sakit berat, sensorium kompos mentis. HR
100x/menit (reguler), RR 28x/menit (cepat dan dalam), temperatur 37,5oC, TD
170/100 mmHg. Keadaan spesifik didapatkan edema anasarka, stomatitis, ascites,
edema pada ekstremitas.
Pemeriksaan lab : Hb 9,5 gr%, WBC 8.000/mm3, LED 105 mm/hour, ureum
138mg/dl, kreatinin 3,2 mg/dl, albumin 2,5 g/dl, kolesterol 268 mg/dl, protein urin ++
+.
I. KLARIFIKASI ISTILAH
1. Sembab : Penumpukan cairan abnormal pada ruang
interstisial tubuh manusia
1
2. Nyeri : Perasaan tidak enak, disebabkan
rangsangan dari ujung-ujung syaraf sensorik
pada suatu organ
3. Sariawan (stomatitis) : Radang difus pada
mukosa mulut
4. Sensorium : Keadaan individu terhadap
kesadaran seseorang
5. Kompos mentis : Kejernihan pikiran,
waras (kesadaran penuh)
6. Edema anasarka : Penumpukan cairan
abdominal pada ruang interstisial seluruh tubuh
7. Ascites: Pengumpulan cairan serosa di rongga
abdomen
8. Ekstremitas : Alat gerak tubuh manusia
9. Ureum : Produk akhir nitrogen utama dari
metabolismeprotein yang dibentuk di dalam hati
dari asam amino dan dari senyawa amoniak
10. Kreatinin : Bentuk anhidrida dari kreatin
(asam amino pada jaringan intervertebrata,
khususnya pada otot) dipakai sebagai indikator
diagnostik fungsi ginjal
11. Albumin : Protein yang larut dalam air dan
juga dalam konsentrasi larutan garam yang
sedang
2
12. Kolesterol : Sterol yang merupakan
prekursor asam empedu dan hormon steroid
serta merupakan unsur penting dalam membran
sel, disintesis di dalam hati dan jaringan lain,
dan sebagian diabsorbsi dari sumber makanan
oleh lipoprotein spesifik dalam plasma
13. Trigliserida : Senyawa terdiri dari tiga
molekul asam lemak
II. IDENTIFIKASI MASALAH
Nona A, umur 20 tahun :
1. Sembab seluruh tubuh yang bertambah sejak dua minggu sebelum masuk
rumah sakit, sembab timbul mula-mula saat bangun tidur, di daerah
kelopak mata, kemudian berkembang ke seluruh tubuh. Buang air kecil
berkurang, buang air besar tidak ada keluhan.
2. Satu tahun yang lalu, mengeluh nyeri sendi terutama pada jari tangan dan
kaki, nyeri hilang timbul.
3. Demam yang tidak terlalu tinggi, demam hilang timbul
4. Rambut sering rontok, sariawan yang tanpa sembab, muka kemerahan
terutama daerah pipi dan bertambah merah bila terkena matahari.
5. Telah minum obat nyeri bila keluhan muncul tetapi tidak ada perubahan.
6. Pemeriksaan fisik : keadaan umum sakit berat, sensorium kompos mentis.
HR 100x/menit (reguler), RR 28x/menit (cepat dan dalam), temperatur
3
37,5oC, TD 170/100 mmHg. Keadaan spesifik didapatkan edema anasarka,
stomatitis, ascites, edema pada ekstremitas.
7. Pemeriksaan lab : Hb 9,5 gr%, WBC 8.000/mm3, LED 105 mm/hour,
ureum 138mg/dl, kreatinin 3,2 mg/dl, albumin 2,5 g/dl, kolesterol 268
mg/dl, protein urin +++.
III. ANALISIS MASALAH
1. a. Bagaimana patogenesis edema yang terjadi pada Nona A?
b. Mengapa muncul pertama kali pada kelopak mata saat bangun tidur lalu
menyebar ke seluruh tubuh?
c. Mengapa produksi BAK berkurang, sedangkan produksi BAB normal?
2. a. Bagaimana patogenesis nyeri sendi?
b. Mengapa pada Nona A, nyeri sendi terjadi pada jari tangan dan kaki?
c. Mengapa nyeri hilang timbul?
3. a. Bagaimana patogenesis demam yang terjadi pada kasus?
b. Mengapa pada Nona A, terjadi demam hilang timbul dan tidak terlalu
tinggi?
4. Bagaimana mekanisme timbulnya gejala pada kasus :
a. Rambut rontok
c. Sariawan
d. Muka kemerahan, terutama di pipi dan bertambah merah jika terpapar
matahari?
4
5. a. Apa saja obat penghilang rasa nyeri?
b. Apa efek samping dari obat tersebut?
6. a. Apa diagnosis banding penyakit Nona A?
b. Apa diagnosa sementara penyakit Nona A berdasarkan gejala-gejala,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium?
c. Bagaimana patogenesis penyakit tersebut?
d. Bagaimana penatalaksanaan penyakit tersebut?
e. Apa saja bentuk komplikasi penyakit tersebut?
f. Bagaimana prognosis dari penyakit tersebut?
IV. HIPOTESIS
Nona A menderita Lupus Erythematosis Systemic (LES) disertai
dengan gangguan ginjal akibat respon autoimun
5
V. KERANGKA KONSEP
6
Pemeriksaan lab Pemeriksaan fisik
Factor imunitas, genetic, dan atau lingkungan
Penyakit autoimun
Nona A, 20 th
Hematologi:
Anemia, kadar LED tinggi, uremia, kadar kreatinin tinggi, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, proteinuria
Takikardi, takipnoe, demam, hipertensi, edema anasarca, stomatitis, ascites.
Lupus eritematosus sistemik
VI. Merumuskan Keterbatasan Pengetahuan dan Learning Issues
Pokok
Bahasan
What I
Know
What I don`t Know What I have to
prove
How I
will
Learn
1. Penyakit
autoimun
Pengertian
Kriteria autoimun
Faktor pada autoimunitas
Faktor lingkungan pada
autoimunitas
Mekanisme kerusakan
jaringan
Macam-macam penyakit
autoimunitas
Nona A
menderita
penyakit
autoimun
Diktat,
literatur,
Internet
2. Hipersensit
ivitas
Pengertian Jenis-jenis
Mekanisme
reaksi pada
hipersensitivitas
Nona A
mengalami
hipersensitivitas
3. Lupus
eritematos
us sistemik
Pengertian Etiologi
faktor risiko
patogenesis
Nona A
menderita
Lupus
7
Gangguan ginjal Nyeri sendi Rambut rontok
sariawan Butterfly rash
demam
edema BAK ↓
manifestasi
klinis
mekanisme
tanda dan gejala
diagnosis
penatalaksanaa
n
komplikasi
prognosis
eritematosus
sistemik.
VII. SINTESIS
PENYAKIT AUTOIMUN
Autoimunitas
Respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan mekanisme yang
gagal berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T, atau keduanya.
Penyakit autoimun
Kerusakan jaringan/ gangguan fungsi fisiologis yang ditimbulkan oleh respon
autoimun
Kriteria autoimun
8
1. autoantibodi atau sel T autoreaktif dengan spesifisitas untuk organ yang terkena
ditemukan pada penyakit
2. autoantibodi dan atau sel T ditemukan di jaringan dengan cedera
3. ambang autoantibodi atau respon sel T menggambarkan aktivitas penyakit
4. penurunan respons autoimun memberikan perbaikan penyakit
5. transfer antibodi atau sel T ke pejamu sekunder menimbulkan penyakit autoimun
pada resipien
6. imunisasi dengan autoantigen dan kemudian induksi respons autoimun
menimbulkan penyakit
Faktor imun pada autoimunitas
a. sequestered antigen
o self antigen yang karena letak anatominya tidak terpajan dengan sel B/
sel T
o inflamasi → perubahan anatomik dalam jaringan → memajankan
sequestered antigen
b. gangguan presentasi
bila terjadi kegagalan sel Ts atau Tr → sel Th dirangsang → autoimunitas
c. ekspresi MHC-II yang tidak benar
o pada kasus IDDM (insulin dependent diabetes mellitus)
9
o ekspresi kadar MHC-I dan MHC-II yang terlalu tinggi
o normalnya : MHC-I sedikit, dan MHC-II tidak ada
o ekspresi MHC-II yang tidak pada tempatnya → diekspresikan APC →
mensensitasi sel Th terhadap peptida dari sel beta → mengaktifkan sel beta/
Tc/ Th1 terhadap self antigen
d. aktivasi sel B poliklonal
oleh virus (EBV), LPS, dan malaria → merangsang sel B secara langsung →
autoimunitas
e. peran CD4 dan reseptor MHC
o CD4 → efektor utama pada penyakit autoimun
o MHC dan TCR yang dapat mengikat antigen sel sendiri → rentan
terhadap autoimunitas
f. keseimbangan Th1 dan Th2
sel Th1 → memacu perkembangan autoimunitas
sel Th2 → menghambat terjadinya dan perkembangan penyakit autoimun
g. sitokin pada autoimunitas
10
o mekanisme kontrol terhadap sitokin patogenik : sitokin sementara dan
reseptornya, produksi antagonis sitokin dan inhibitornya.
o Gangguan mekanismenya → upregulasi/produksi sitokin tidak benar →
efek patofisiologik
o Sitokin (IL-1, TNF) : - translasi faktor etiologis → kekuatan patogenik
- mempertahankan inflamasi fase kronis
- destruksi jaringan
Faktor lingkungan yang berperan pada autoimunitas
a. kemiripan molekular dan infeksi
infeksi → kemiripan molekular non-self antigen dan self-antigen → tubuh
memproduksi antibodi → antibodi menyerang self antigen → autoimunitas
b. hormon
o wanita lebih cenderung menderita penyakit autoimun dibanding pria
o wanita memproduksi lebih banyak antibodi dibanding pria → respon pro-
inflamasi Th1 → autoimun
o estrogen → awitan penyakit
11
c. obat
pada penyakit atoimun tertentu, antibodi menghilang bila obat dihentikan
d. radiasi UV
o radiasi UV → Pemicu inflamasi kulit dan kadang LES
o menimbulkan modifikasi struktur radikal bebas self antigen → ↑
imunogenesitas
e. oksigen radikal bebas
radikal bebas oksigen → inflamasi → kerusakan self molekul
Mekanisme kerusakan jaringan
Terjadi melalui antibodi (tipe II dan III), tipe IV → mengaktifkan sel CD4/ CD8
Kerusakan organ, disebabkan oleh:
- autoantibodi mengikat tempat fungsional self-antigen
- autoantobodi menyerupai/ menghambat efek ligan endogen untuk
sel protein → gangguan fungsi tanpa terjadinya inflamasi/
kerusakan jaringan
organ spesifik → respon autoimun terutama terhadap
organ tunggal/ kelenjar
penyakit autoimun sistemik → jaringan dengan spektrum luas
12
Contoh penyakit autoimun
i. systemic lupus erythematosus
ii. rheumatoid atrhritis
iii. grave’s disease
iv. type 1 diabetes mellitus (IDDM)
v. dll.
HIPERSENSITIVITAS
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap
antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya.
I. Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut waktu timbulnya reaksi
b. reaksi cepat
terjadi dalam hitungan detik. Ikatan silang antara alergen dan IgE pada
permukaan sel mast menginduksi pelepasan mediator vasoaktif. Manifestasi
reaksi cepat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis lokal.
c. reaksi intermediet
tejadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam. Reaksi ini
melibatkan pembentukan kompleks IgG dan kerusakan jaringan melalui aktivasi
13
komplemen dan atau sel NK/ ADCC. Reaksi intermediet diawali oleg IgG dan
kerusakan jaringan pejamu yang disebabkan oleh sel neutrofil atau sel NK.
d. reaksi lambat
terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan antigen yang
terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH, sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan
sel efektor makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan.
II. Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut gell dan coombs
Tipe I (Reaksi IgE)
Ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast dan basofil
melepas mediator vasoaktif
Manifestasi khas: anafilaksis sistemik dan lokal seperti rinitis, urtikaria, alergi
makanan dan ekzem.
Tipe II (Reaksi sitotoksik IgG atau IgM)
Ab terhadap antigen permukaan sel menimbulkan destruksi sel dengan
bantuan komplemen atau ADCC.
Manifestasi khas : reaksi transfusi, eritroblastosis fetalis, anemia hemolitik
autoimun.
Tipe III (reaksi kompleks imun)
14
Kompleks Ag-Ab mengaktifkan komplemen dan respons inflamasi melalui
infiltrasi masif neutrofil.
Manifestasi khas: reaksi lokal seperti Arthus dan sistemik seperti serum sickness,
vaskulitis dengan nekrosis, glomerulonefritis, AR dan LES.
Tipe IV (reaksi seluler)
Sel Th yang disensitasi melepas sitokin yang mengaktifkan makrofag atau
sel Tc yang berperan dalam kerusakan jaringan. Sel Th 2 dan Tc menimbulkan
respons sama.
Manifestasi khas: dermatitis kontak, lesi tuberkulosis dan penolakan tandur.
Reaksi Hipersensitivitas Tipe III
Kompleks imun di sirkulasi→ diikat dan diangkut eritrosit → menuju hati dan
limpa → kompleks imun dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear
Kompleks besar → mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofag
Kompleks kecil dan larut → sulit dimusnahkan
15
1. kompleks imun mengendap di pembuluh darah
kompleks imun (antigen + IgM/IgG3/IgA) → diendapkan di membran basal vaskular
dan membran basal ginjal → reaksi inflamasi lokal dan luas → agregasi trombosit,
aktivasi makrofag, perubahan permeabilitas vaskular, aktivasi sel mast, produksi dan
pelepasan mediator inflamasi dan bahan kemotaktik serta influks neutrofil →
kerusakan jaringan setempat.
2. kompleks imun mengendap di jaringan
hal ini dikarenakan ukuran kompleks imun yang kecil. Permeabilitas vaskular yang
meningkat disebabkan histamin yang dilepas oleh sel mast.
lokal
Bentuk Reaksi sistemik
16
a. reaksi lokal
reaksi terbatas hanya pada tempat tertentu
kompleks imun
trombosit komplemen makrofag
↓
mikro- amin anafilaktosin lisis pelepasan IL-1&O2 reaktif
trombi vasoaktif ↓ → menarik neutrofil
mastosit ↓
↓ melepas granul
Amin vasoaktif
↓
↑ permeabilitas vaskular, vasodilatasi
b. rekasi sistemik
antibodi yang berperan → IgM dan IgG
komplemen → melepas anafilaktosin (C3a dan C5a) → memacu sel mast dan
basofil melepas histamin
kompleks imun mudah diendapkan di tempat-tempat dengan tekanan darah
yang meninggi dan disertai putaran arus, misalnya: kapiler glomerulus
kompemen → agregasi trombosit → amin vasoaktif → vasodilatasi, ↑
permeabilitas vaskular, dan inflamasi
17
neutrofil → melepas granulnya → merusak jaringan
makrofag → melepas berbagai mediator dan enzim-enzim → merusak
jaringan
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang
melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis bervariasi dari yang ringan
sampai berat. Pada keadaan awal, sering sekali sukar dikenal sebagai LES, karena
manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan.
Etiologi
18
Sampai saat ini penyebab LES belum diketahui. Diduga faktor genetik,
infeksi, dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi LES.
Sistem imun tubuh tidak dapat membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh →
dihasilkan antibodi yang terus menerus → antibodi berperan dalam pembentukan
kompleks imun → mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakan
multiorgan.
Faktor Risiko
1. faktor risiko genetik
Meliputi jenis kelamin (frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering
daripada pria dewasa), umur ( lebih sering pada usia 20-40 tahun), etnik, dan faktor
keturunan (frekuensinya 20 kali lebih sering dalam keluarga dimana terdapat anggota
dengan penyakit tersebut)
2. faktor risiko hormon
Estrogen menambah risiko LES, sedangkan andogen mengurangi risiko ini
3. Sinar ultraviolet
Sinar ultraviolet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang
efektif, sehingga LES kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit
mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut
maupun secara sistemik melalui peredaran di pembuluh darah
4. Imunitas
Pada pasien penderita LES terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi
terhadap sel T.
19
5. Obat
Obat tertentu dalam persentase kecil sekali pada pasien tertentu dan diminum
dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat. Jenis obat yang dapat
menyebabkan lupus obat adalah :
Obat yang pasti menyebabkan lupus obat : klorpromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.
Obat yang mungkin dapat menyebabkan lupus obat : dilantin,
penisilamin, dan kuinidin.
Hubungannya belum jelas: garam emas, beberapa jenis antibiotik,
griseofulvin.
6. infeksi
pasien LES cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakit
ini kambuh setelah infeksi.
7. stress
stress berat dapat mencetuskan LES pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini.
Patogenesis penyakit
Self antigen → kelainan pada APC dan sel B → menstimulasi sel Th 1 → diikat oleh
sel B pada reseptornya → reaksi antibodi terhadap self antigen → terbentuk ikatan
antibodi antigen → mengendap di membran basalis vaskular dan glomerulus →
merusak organ target (glomerulus, sel endotel, trombosit) → symptom
Manifestasi Klinis
20
Keluhan utama dan pertama LES adalah atralgia (pegal dan linu di dalam
sendi). Dapat juga timbul artritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer. Artritis
biasanya ahnya berlangsung selama beberapa hari. Lokasi artritis akut biasanya di
sendi tangan, pergelanagn tangan, dan lutut, biasanya simetris. Artritis dapat
berpindah-pindah atau tetap di satu sendi dan jadi menahun. Pasien mengeluh lesu,
lemas, dan capai sehingga menghalanginya beraktivitas. Demam, pegal linu seluruh
tubuh, nyeri otot, dan penurunan berat badan.
Terlihat kelainan kulit spesifik berupa bercak malar menyerupai kupu-kupu di
muka dan eritema umum yang menonjol. Pasien menjadi fotosensitif dan LES
kambuh bila terjemur sinar matahari cukup lama. Kulit yang terkena sinar matahari
menunjukkan kelainan subakut yang bersifat rekurens, berupa bercak menonjol,
kemerahan, dan menahun. Terdapat kelainan kulit menahun berupa bercak diskoid
yang bermula sebagai eritema pupul atau plak bersisik. Sisik ini menebal dan melekat
disertai hipopigmentasi sentral. Terutama terjadi di daerah yang terkena sinar
matahari dan dapat menimbulkan kebotakan di kepala.
Dapat pula terjadi kelainan darah berupa anemia hemolitik, kelainan ginjal,
pneumonitis, kelainan jantung, kelainan gastrointestinal misalnya pankreatitis,
gangguan saraf seperti nyeri kepala dan konvulsi, dan kelainan psikiatri misalnya
psikosis atau sindrom organik otak.
GANGGUAN GINJAL
Mekanisme :
Hipersensitivitas sel B
Kegagalan supresi CD 8,T suppressorDan sel NK trhdp aktivitas sel B………. ……penurunan produksi IL-1 dan IL-2
Menghasilkan antibody berlebih
21
yang tidak spesifik
↓ ← Penurunan jumlah CR 1
Terbentuk komplek imun berlebihan
↓
Mengalir dalam sistemik dan menempel
pada jaringan atau organ
↓
Mengendap di membran basalis glomerulus
↓
fagositosis IgG2 dan IgG3 terhadap komplek imun
tidak adekuat
↓
komplek imun menumpuk di ginjal
↓
Aktivasi komplemen
↓
Reaksi inflamasi
Aktivasi makrofag, sel mast, pelepasan mediator inflamasi, agregasi trombosit
bahan kemotaktik, serta influks neutrofil
↓
22
Merusak endotel dan membran basalis glomerulus amin vasoaktif
↑ permeabilitas vaskular
↓
Protein lolos ke filtrat glomerulus
↓
Masuk ke dalam urine
↓
Proteinuria
↓
Hipoalbuminemia
↓ tekanan osmotik kapiler ↑ lipid serum
↓ ↓
Transudasi ke dalam interstisium hiperlipidemia
↓ volume plasma (hipovolemia)
Mekanisme renin-angiotensin aktif ↓ RPF dan GFR
23
↓
↑ sekresi aldosteron
↑ ureum dan kreatinin
dalam darah
hipertensi ← Retensi Na dan air
↓
Penumpukan cairan di interstisial
↓
EDEMA ANASARCA
(bagan 1)
Mekanisme sembab : (lihat bagan 1)
LES → gangguan ginjal → kerusakan glomerulus
↓
Permeabilitas kapiler meningkat terhadap protein
24
↓
Proteinuria
Selektif non-selektif
↓ ↓
Albuminuria Imunoglobulinuria
Proteinuria masif
↓
Hipoalbuminemia
↓
Penurunan tekanan onkotik plasma
↓
Cairan pindah dari intravaskuler ke jaringan interstisium
↓
Edema Hipovolemia
↓
Ginjal, meningkatkan retensi Na dan air
Volume intravaskuler membaik meningkat cairan ECF
tetapi mendukung terjadinya
hipoalbuminemia
25
edema
(bagan 2)
Adapun sembab muncul pertama kali di kelopak mata karena :
Hipoproteinemia → tekanan hidrostatik yang tinggi dan tekanan osmotik yang rendah
di kelopak mata → edema subkutan → bersifat lebih difus dan berat karena terletak
di jaringan ikat longgar → edema periorbital
Dinamika cairan edema ini juga sangat bergantung pada gravitasi sehingga
disaat nona A melakukan aktivitas sehari-harinya, cairan edema ini cenderung
menumpuk pada ektremitas bawah.
Mekanisme buang air kecil berkurang : (lihat bagan 1 dan 2)
LES
↓
Gangguan ginjal
↓
hipovolemia
Mekanisme renin-angiotensin aktif ↓ RPF dan GFR
↓
↑ sekresi aldosteron
26
Retensi Na dan air
↓
Eksresi air menurun
↓
Buang air kecil berkurang
(Bagan 3)
GANGGUAN PERSENDIAN
a. Struktur sendi
Sendi adalah semua persambungan tulang, baik yang memungkinkan tulang-
tulang tersebut dapat bergerak satu sama lain, ataupun tidak dapat bergerak satu sama
lain. Secara anatomic, sendi dibagi menjadi 3, yaitu :
1. Sinartrosis : sendi yang tidak memungkinkan tulang-tulang yang berhubungan
dapat bergerak satu sama lain. Contoh : tulang tengkorak.
27
2. Diartrosis (Sendi Sinovial) : sambungan antara 2 tulang atau lebih yang
memungkinkan tulang-tulang tersebut bergerak satu sama lain.
Di antara tulang-tulang yang bersendi tersebut terdapat rongga yang disebut
kavum artkulare. Sendi ini tersusun atas bonggol sendi (kapsul artikulare),
bursa sendi dan ikat sendi (ligamentum). Berdasarkan bentuknya diartrosis
dibagi dalam beberapa sendi, yaitu :
a. Sendi Engsel / Ginglymus : interfalang, articulation cubiti, articulation
talocrularis, dan sebagainya.
b. Sendi Pasak : gerak rotasi pada radioulnaris
c. Articulatio ellipsoidea : fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, kecuali rotasi
pada artculatio radiocarpalis
d. Sendi Pelana : fleksi, ekstensi, abduksi, aduksi, rotasi pada
carpometacarpalis.
e. Sendi Peluru : fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, rotasi medial. Rotasi
lateral, dan sirkumduksi pada artculatio humeri dan articulation coxae.
3. Amfiartrosis : sendi yang memungkinkan tulang-tulang yang saling
berhubungan dapat bergerak secara terbatas, misalnya sendi sakroiliaka dan
antarcorpus vertebrae.
b. Rawan Sendi
Pada sendi synovial (diartrosis), tulang-tulang yang saling berhubungan
dilapisi rawan sendi. Rawan sendi dibentuk oleh sel rawan sendi (kondrosit) dan
matrix rawan sendi. Kondrosit berfungsi menyintesis dan memelihara matrix rawan
sehingga fungsi bantalan rawan sendi tetap terjaga dengan baik. Matrix rawan sendi
terutama terdiri dari air, proteoglikan, dan kolagen. Bersama-sama dengan asam
hialuronat, proteoglikan membentuk agregat yang dapat menghisap air di sekitarnya
28
sehingga mengembang sedemikian rupa dan membentuk bantalan yang baik sesuai
dengan fungsi rawan sendi.
Kolagen merupakan molekul protein yang sangat kuat, berfungsi sebagai
kerangka bagi rawan sendi yang akan membatasi pengembangan berlebihan agregat
proteoglikan.
Rawan sendi merupakan jaringan yang avaskular, oleh sebab itu makanan
diperoleh dengan jalan difusi. Beban yang intermiten pada rawan sendi sangat baik
bagi difusi nutrient untuk rawan sendi.
Pada rawan sendi yang normal, proses degradasi dan sintesis matriks selalu
terjadi. Salah satu enzim proteolitik yang dihasilkan oleh kondrosit dan berperan pada
degradasi kolagen dan proteoglikan adalah kelompok enzim metaloprotease, seperti
kolagenase dan stromelisin. Berbagai sitokin juga berperan pada proses degradasi dan
sintesis matriks. Interleukin-1 (IL-1) yang dihasilkan oleh makrofag berperan pada
degradsi kolegen dan proteoglikan. Growth Factors factor-1 (IGF-1) berperan
merangsang sintesis proteoglikan dan menghambat kerja IL-1.
Rawan sendi merupakan salah satu jaringan sumber keratin sulfat, oleh sebab
itu keratin sulfat dalam serum dan cairan sendi dapat digunakan sebagai penanda
kerusakan rawan sendi.
c. Persarafan Sendi
Capsula articularis dan ligamentum mendapat banyak persarafan sensoris.
Sebuah sarah saraf sensoris yang menyarafi sendi, juga menyarafi otot-otot yang
menggerakkan sendi dan kulit di sekitar insersio (perlekatan otot rangka yang
pergerakannya lebih banyak) otot-otot tersebut. Serabut saraf simpatis mengatur
suplai darah ke sendi.
MEKANISME NYERI
4 proses :
1. Transduksi / aktivasi reseptor.
29
2. Transmisi
3. Modulasi
Pada kornu dorsalis medulla spinalis.
4. Persepsi
Pesan nyeri direlai ke otak dan menghasilkan pengalaman yang tidak
menyenangkan.
NYERI INFLAMASI
Pada proses fagositosis oleh sel polimorfonuklear, terjadi pengingkatan
konsumsi Oksigen dan produksi radikal Oksigen bebas seperti Anion superoksida
(O2-) dan hydrogen peroksida (H2O2). Kedua radikal oksigen ini akan membentuk
radikal hidroksil reaktif yang dapat menyebabkan depolimerasi hialuronat sehingga
dapat merusak rawan sendi dan menurunkan viskositas cairan sendi.
Bagan nyeri inflamasi pada sendi
30
Impuls dari neuron aferen primer kornu dorsalis medulla spinalis batang otak dan talamus
APCAntigen sendiri
Aktivasi sel TFagositosis oleh makrofag
Produksi radikal oksigen
Aktivasi sel T
(bagan 4)
Secara histologist, sendi yang terserang menunjukkan sinovitis kronis, yang ditandai
dengan :
1. Hyperplasia dan proliferasi sel synovial (sel-sel penyusun membrane
synovial);
2. Infiltrat sel peradangan perivaskular padat (sering kali membentuk folikel
limfoid) dalam sinovium yang tersusun atas sel CD4+, sel plasma, dan
makrofag;
3. Peningkatan vaskularitas akibat angiogenesis (pertumbuhan pembuluh darah);
4. Neutrofil dan agregat fibrin yang mengalami organisasi pada permukaan
synovial dan dalam ruang sendi;
5. Peningkatan aktivitas osteoklas pada tulang di bawahnya sehingga terjadi
penetrasi synovial dan erosi tulang.
31
Pelepasan sitokin
Aktivasi sel B untuk memproduksi Ab
Kompleks imun (Ab-Ag) pada sendi (jaringan tulang, tulang rawan)
Aktivasi sel-sel inflamasi pada jaringan
Pelepasan mediator inflamasi
Efek-efek inflamasi (dolor/nyeri; function laesa/hilangnya fungsi)
NYERI SENDI PADA INTERFALANG
Pada kasus tahap morfologi hanya sampai pada tahap ke empat. Pada
Systemis Lupus Erythematosus serangan pada sendi biasanya tidak disertai dengan
perubahan anatomis atau deformitas yang mencolok seperti yang dialami Nona A
dengan manifestasi klinik nyeri sendi yang hilang timbul. Hal ini bergantung pada
sifat autoantibody, kompleks imun yang mengendap pada sendi, perjalanan dan
lamanya penyakit.
DEMAM
Patogenesis demam:
Infeksi
↓
Reaksi imun (antigen-antibodi)
↓
Pirogen eksogen
↓
Merangsang pirogen endogen (leukosit)
↓
Produksi sitokin (IL 1, IL-6,TNF)
↓
Pelepasan asam arakidonat
↓
↑ sintesis prostaglandin E2
↓
32
Mencapai hipotamalus
↓
↑ set point pada termostat hipotalamus
↓
Penyimpanan panas tubuh dan ↑ pembentukan panas
↓
demam
(bagan 5)
RAMBUT SERING RONTOK
Ada berbagai macam alopecia tetapi yang berkaitan dengan kondisi
autoimun seperti Lupus dan alergi adalah Alopecia areata. Alopecia areata adalah
suatu penyakit autoimun (sistem imun yang menyerang folikel rambut) dimana
folikel menjadi sangat kecil, produksi rambut lambat dan kehilangan rambut untuk
berbulan-bulan atau bertahun – tahun.
Patogenesis:
Autoimunitas
↓
Kompleks imun (Ab-Ag)
↓
Mengendap pada membran basalis vaskular folikel rambut
33
↓
Reaksi inflamasi
↓
Aktivasi makrofag, sel mast, pelepasan mediator inflamasi, bahan kemotaktik, serta influks neutrofil
↓
Gangguan jaringan ikat
↓
Folikel rambut menjadi sangat kecil
↓
Produksi folikel rambut berkurang
↓
Pertumbuhan rambut terganggu
↓
Rambut rontok
(bagan 6)
SARIAWAN (STOMATITIS)
Patogenesis :
Autoimunitas
↓
Kompleks imun (Ab-Ag)
↓
34
Mengendap pada mukosa mulut
↓
Reaksi inflamasi
↓
Aktivasi makrofag, sel mast, pelepasan mediator inflamasi, bahan kemotaktik, serta influks neutrofil
↓
Kerusakan jaringan pada mukosa mulut
↓
Sariawan (stomatitis)
(bagan 7)
MUKA KEMERAHAN DAN HIPERSENSITIFITAS TERHADAP
CAHAYA MATAHARI
cahaya matahari memiliki sinar ultraviolet (UV), sinar UV merusak sel dari
kulit (keratinosit) dan menyebabkan sel menjadi mati.Pada orang sehat tanpa lupus ,
sel yang mati ini akan dibuang dengan cepat dan inflamasi yang diinduksi oleh
matahari akan menginduksi kerusakan kulit dengan cepat (sun burn), dimana pada
pasien lupus , sel kulit lebih sensitif terhadap sunburn dan dengan adanya
peningkatan kejadian yang menyebabkan kematian sel (apoptosis) yang tidak
dibersihkan secara efisien akibatnya isi dari sel yang mati dapat dilepaskan dan
menyebabkan inflamasi.Selain itu sel tersebut memiliki DNA dan molekul- molekul
termasuk Ro yang secara normal tidak terpapar pada sel imun sehingga menyebabkan
35
reaksi imun.Akibatnya orang yang menderita lupus akan mengalami ruam
photosensitivity.
PEMERIKSAAN FISIK
Interpertasi :
Sensorium kompos mentis → sadar sepenuhnya
HR : 100x/menit → takikardi (normal : 60-80x/menit)
RR : 28x/menit → takipnoe (normal : 16-24x/menit)
Temperatur : 37.5 C → demam (normal : 36.8-37.2 C)
TD : 170/100 mmHg → hipertensi (normal : 120/80 mmHg)
Mekanisme Takikardi:
Hipovolemi → ↓ suplai darah pada organ vital → rangsangan saraf simpatis →
vasodilatasi lokal → ↑ curah jantung → takikardi (mekanisme pertahanan tubuh
untuk mencukupi perfusi jaringan)
Selain itu, kenaikan suhu tubuh juga berperan dalam peningkatan denyut jantung.
Frekuensi jantung meningkat kira-kira 10 denyut per menit untuk setiap kenaikan
suhu sebesar 1 derajat fahrenheit (18 denyut per derajat celcius).
Mekanisme Takipnoe:
36
Kenaikan suhu → mekanisme pertahanan dari sistem kadiovaskular
(takikardi, hipertensi) → sistem kardiovaskular tidak mampu mengatasinya →
mekanisme pertahanan dari sistem respiratory → takipnoe
Anemia → ↓ perfusi oksigen ke jaringan → respon tubuh dengan
mempercepat frekuensi pernapasan (takipnoe)
Hiperpnoe → untuk memperbanyak jumlah oksigen yang masuk ke dalam tubuh agar
mencapai batas normal oksigen.
Penumpukan cairan pada ruang di paru – paru (efusi pleura) dapat turut
campur tangan dengan pengembangan paru – paru. Inflamasi dari kantung udara
( pneumonitis) atau disfungsi dan luka pada jaringan penyokong antara kantung udara
( penyakit paru – paru intersial) dapat menyebabkan kesulitan bernafas.Hipertensi
pulmonary dapat juga menyebabkan nafas pendek yang biasanya terjadi pada saat
pendesakan.
Mekanisme asites:
Edema → cairan terkumpul di rongga potensial abdomen (pengumpulan cairan efusi
di peritoneum) → asites
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Intepretasi :
Hb : 9,5 gr% → anemia (normal pada wanita : 12-14 gr%)
WBC : 8000/mm → normal ( normal : 4000-10000/mm)
LED : 105 mm/hour → tinggi (normal wanita : 0-20 mm/hour)
37
Ureum : 138 mg/dl → uremia (normal : 15 mg/dl)
Kreatinin : 3,2 mg/dl → tinggi (normal : 1,5 mg/dl)
Albumin : 2,5 g/dl → hipoalbuminemia (normal : 3,5-5,5 g/dl)
Kolesterol : 268 mg/dl → tinggi (normal : 150 mg/dl)
Trigliserida : 235 mg/dl → tinggi (normal :125 mg/dl)
Protein urin +++ → proteinuria
Mekanisme anemia :
Autoantibodi → berikatan dengan glycoprotein II dan III di dinding eritrosit
→ kerusakan eritrosit
Autoantibodi → bereaksi dengan antigen sitoplasmik eritrosit → aktivasi sel
Ts → apoptosis
Mekanisme peningkatan LED :
Kadar immunoglobulin yang tinggi
Autoimunitas → Tubuh kehilangan self-tolerance → peningkatan immunoglobulin →
menyerang self-antigen
Kadar immunoglobulin yang tinggi dalam darah akan meningkatkan LED (semakin
tinggi immunoglobulin, maka akan semakin tinggi LED)
Kadar plasma darah yang rendah
Kadar plasma darah rendah → hipersensitivitas tipe III
38
o Kompleks imun → aktivasi komplemen → melepas anafilaktosin (C3a dan
C5a) → memacu sel mast dan basofil melepas histamin → ↑ permeabilitas
vaskuler, vasodilatasi
o Aktivasi komplemen → agregasi trombosit → amin vasoaktif → ↑
permeabilitas vaskular, vasodilatasi → ↑ plasma yang keluar
Selain itu, kondisi nona A yang mengalami edema juga merupakan sebab utama
rendahnya kadar plasma darah dalam tubuh nona A.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi Laju Endap Darah (LED) adalah
faktor eritrosit, faktor plasma dan faktor teknik. Jumlah eritrosit/ul darah yang kurang
dari normal, ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan eritrosit yang mudah
beraglutinasi akan menyebabkan Laju Endap Darah (LED) cepat. Walau pun
demikian, tidak semua anemia disertai Laju Endap Darah (LED) yang cepat. Pada
anemia sel sabit, akantositosis, sferositosis serta poikilositosis berat, laju endap darah
tidak cepat, karena pada keadaan-keadaan ini pembentukan rouleaux sukar terjadi.
Pada polisitemia dimana jumlah eritrosit/µl darah meningkat, Laju Endap Darah
(LED) normal.
Pembentukan rouleaux tergantung dari komposisi protein plasma.
Peningkatan kadar fibrinogen dan globulin mempermudah pembentukan roleaux
sehingga Laju Endap Darah (LED) cepat sedangkan kadar albumin yang tinggi
menyebabkan Laju Endap Darah (LED) lambat.
Laju Endap Darah (LED) terutama mencerminkan perubahan protein plasma
yang terjadi pada infeksi akut maupun kronik, proses degenerasi dan penyakit
limfoproliferatif. Peningkatan laju endap darah merupakan respons yang tidak
spesifik terhadap kerusakan jaringan dan merupakan petunjuk adanya penyakit.
39
Bila dilakukan secara berulang laju endap darah dapat dipakai untuk menilai
perjalanan penyakit seperti tuberkulosis, demam rematik, artritis dan nefritis. Laju
Endap Darah (LED) yang cepat menunjukkan suatu lesi yang aktif, peningkatan Laju
Endap Darah (LED) dibandingkan sebelumnya menunjukkan proses yang meluas,
sedangkan Laju Endap Darah (LED) yang menurun dibandingkan sebelumnya
menunjukkan suatu perbaikan.
Mekanisme uremia dan peningkatan kreatinin : (lihat bagan 1)
Hipovolemia → ↓ RPF dan GFR → ↓ laju ekskresi ureum dan kreatinin → akumulasi
ureum dan kreatinin dalam cairan tubuh
Mekanisme proteinuria : (lihat bagan 1)
Kerusakan pada membran basalis glomerulus → ↑ permeabilitas vaskular → protein
lolos ke filtrat glomerulus → masuk ke dalam urin → proteinuria
Mekanisme hipoalbuminemia : (lihat bagan 1)
Kerusakan pada membran basalis glomerulus → ↑ permeabilitas vaskular → protein
lolos ke filtrat glomerulus → masuk ke dalam urin → proteinuria → tingginya kadar
protein dalam urin, rendahnya kadar protein dalam darah → hipoalbuminemia
Mekanisme hiperlipidemia ( ↑ kolesterol dan trigliserida): (lihat bagan 1)
Hipoalbuminemia → ↑ lipid serum → hiperlipidemia
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada pasien LES meliputi :
40
ANA (anti nuclear antibody). Tes ANA memiliki sensitivitas yang tinggi
namun spesifisitas yang rendah
Anti dcDNA (double stranded). Tes ini sangat spesifik untuk LES, biasanya
titernya akan meningat sebelum LES kambuh.
Antibodi anto-S (smith). Antibodi spesifik terdapat pada 20-30% pasien
Anti-RNP (ribonukleoprotein) anti-ro/anti-SS-A, anti-La (antikoagulan lupus)/
anti-SSB, dan anti antikardiopilin. Titernya tidak terkait dengan kambuhnya
LES.
Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik)
Tes sel LE. Kurang spesifik dan juga posotif pada artritis reumatoid, sindrom
sjogren, skleroderma, obat, dan bahan-bahan kimia lain
Anti ssDNA (single stranded)
Pasien dengan angi ssDNA cenderung menderita nefritis
DIAGNOSIS
41
DIAGNOSIS BANDING
42
Gejala LES skleroder
ma
Rheumatoid
arthritis
polimyocytis Syndrome
sjogren
Sel LE + _ _ _ _
Nyeri sendi + + + + +
Eritema + + _ + +
Proteinuria + + _ _ +
Hipertensi + + _ _ +
Edema + + _ _ +
Fenomena
ryenod
+ + + + _
Rambut
rontok
+ + _ _ _
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pasien LES
1. Konseling
Penyuluhan dan intervensi psikososial terutama pada pasien yang baru
terdiagnosis.
Pada umumnya, pasien SLE mengalami fotosensitifitas, sehingga pasien
harus selalu diingatkan agar tidak terlalu banyak terpapar sinar matahari
43
dan memakai baju lengan panjang, topi, payung, sunblock bila akan
berjalan di siang hari
Karena infeksi sering terjadi pada pasien SLE, maka pasien harus selalu
diingatkan bila mengalami demam yang tak jelas penyebabnya.
Pengaturan kehamilan sangat penting pada pasein SLE terutama pada
pasien yang mendapat obat-obat antimalaria atau siklofosfamid yang
kontraiindikasi bagi pasien yang mengalami kehamilan.
2. Medikamentosa
a. Terapi Konservatif
Artritis, Atralgia, dan Mialgia. Merupakan keluhan yang paling
sering dijumpai pada pasien SLE. Pada keluhan yang ringan dapat diberikan
analgetik sederhana atau obat anti-inflamasi non-steroid. Efek sampingnya
terhadap system gastrointestinal, hepar, dan ginjal harus diperhatikan,
misalnya dengan memeriksa kadar kreatinin serum secara berkala. Bila
analgetik dan obat anti-inflamasi non-steroid tidak memberikan respon yang
baik, dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah dengan
dosis tidak lebih dari 15 mg setiap pagi. Metotreksat dosis rendah (7,5-15
mg/minggu), juga dapat dipertimbangkan untuk mengatasi arthritis pada
pasien SLE.
Lupus Kutaneus. Sekitar 70% pasien SLE akan mengalami
fotosensitifitas. Eksaserbasi akut akan timbul bila pasien terkena sinar
ultraviolet, inframerah, panas, dan terkadang sinar fluoresensi. Hendaknya
diberikan sunscreen/sunblock. Sebagian besar sunscreen topical berupa krem ,
minyak lotio atau gel yang mengandung PABA dan esternya, benzofenon,
salisilat, dan sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet A dan B.
Sunscreen harus dipakai kembali setelah mandi atau berkeringat. Obat-obatan
antimalaria sadngat baik untuk mengatasi lupus kutaneus. Antimalaria
44
mempunyai egek sunblocking, antiinflamasi dan immunosupresan. Efek
imunosupresan berhubungan dengan ikatannya pada membrane lisosomal
sehingga menggangu metabolism rantai α dan β HLA kelas II. Selain itu
antimalaria juga mengurang I pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF (Tumor Necrosis
Factor)-α oleh makrofag dan IL-2 dan IFN-γ oleh sel T. antimalaria juga
mengikat melanin dan berperan sebagai sunscreen.
Fatiq dan Keluhan Sistemik. Fatiq dapat timbul akibat terapi
glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan dan demam dapat juga
timbul akibat pemberian quinakrin. Dokter harus bersikap simpatik dalam
mengatasi keluhan ini.seringkali tidak membutuhkan terapi spesifik, cukup
dengan menambah waktu istirahat dan mengatur jam kerja.
Serositis. Nyeeri dada dan nyeri abdomen pada pasien SLE dapat
merupakan tanda serositis. Pada beberapa pasien keadaan ini dapat diatasi
dengan salisilat, obat antiinflamasi non-steroid, antimalaria atau
glukokortikoid dosis rendah (15mg/hari). Pada keaadaan berat harus diberikan
glukokortikoid sistemik untuk mengontrol penyakitnya.
b. Terapi Konservatif
Terapi agresif yang dimulai dengan pemberian glukokortikoid dosis
tinggi harus segera dimulai bila timbul manifestasi serius dari SLE. Walaupun
demikian pemberian glukokortikoid berefek panjang seperti deksametason
sebaiknya dihindari. Pemberian prednisone lebih banyak disukai karena lebih
mudah dalam mengatur dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral sebainya
diberikan dengan dosis tunggal pada pagi hari. Pada manifestasi minor SLE ,
seperti arthritis, serositis, dan gejala konstitusional, dapat diberikan prednison
0,5 mg/KgBB/hari. Sedangkan pada manifestasi mayor dan serius dapat
diberikan prednisone 1-1,5 mg/KgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon
45
intravena 1 gram atau 15mg/KgBB selama 3-5 hari dapat dipertimbangkan
sebagai pengganti glukokortikoid oral dosis tinggi kemudian dilanjutkan
dengan prednisone oral 1-1,5 mg/KgBB/hari. Setelah pemberian
glukokortikoid dosis tinggi selama 6 minggu maka harus mulai dilakukan
penurunan dosis secara bertahap, dimulai dengan 5-10% setiap minggu bila
tidak timbul eksaserbasi akut. Setelah prednisone mencapai 30mg/hari, maka
penurunan dosis dilakukan 2,5 mg/minggu, dan setelah dosis prednisone
mencapai 10-15 mg/ hari penurunan dosis dilakukan 1mg/minggu.
Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 250 ml NaCl 0,9%
selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter /24 jam setelah
pemberian obat, banyak digunakan secara luas pada terapi SLE. Siklofosfamid
diindikasikan pada:
Pasien SLE yang membutuhkan steroid dosis tinggi (steroid sparing
agent)
Pasien SLE yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi
Pasien SLE kambuh yang telah diterapi dengan steroid jangka lama
atau berulang
Glomerulonefritis difus awal
SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid
Penuruna laju filtrasi glomerulus atau peningkatan konsentrasi serum
tanpa danya faktor-faktor ekstrarenal lainnya.
SLE dengan manifestasi susunan saraf pusat
Pada pasien dengan penurunan fugsi ginjal sampai 50%, dosis
siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/m2. Setelah pemberian
ssiklofosfamid, jumlah leukosit darah harus terus dipantau. Bila jumlah
leukosit mencapai 1500/ml, maka dosis siklofosfamid berikutnya diturunkan
46
25%. Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan
dosis siklofosfamid yang tidak adekuat sehingga dosisnya harus ditingkatkan
10% pada pemberian berikutnya. Siklofosfamid selama 6 bulan dengan
interval selama 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama
pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan
memperhatikan aktivitas lupusnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi alopesia,
nausea dan vomitus, sistitis hemoragika, keganasan kulit, penekananan fungsi
ovarium dan azoospermia.
Imunopsupresan lainnya yang dapat digunakan untuk pengobatan SLE
adalah Siklosporin-A dosis rendah (3-6 mg/KgBB/hari) dan mofetil
mikofenolat. Siklosporin-A dapat diberikan pada pasien SLE baik tanpa
manifestasi enal maupun dengan nefropati membranosa. Selama pemberian
harus diperhatikan tekanan darah pasien dan kadar kreatinin darah. Bila kadar
kreatinin darah meningkat 20% dari kadar kreatinin darah sebelum pemberian
Siklosporin-A, maka dosisnya harus diturunkan.
47
Diet
Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar pasien
memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan adalah yang
mengandung cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah garam. Pasien disarankan
berhati-hati dengan suplemen makanan dan obat tradisional.
Aktivitas
Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga diperlukan untuk
mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh
48
berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan dengan kekambuhan. Pasien
disarankan untuk menghindari sinar matahari, bila terpaksa harus terpapar matahari
harus menggunakan krim pelindung matahari (waterproof sunblock) setiap 2 jam.
Lampu fluorescence juga dapat meningkatkan timbulnya lesi kulit pada pasien LES.
KOMPLIKASI PENYAKIT
komplikasi pada organ-organ dalam tubuh seperti ginjal (glomerulonefritis
proliferatif, gagal ginjal), gagal paru-paru, radang selaput otak, gagal jantung, nyeri
sendi (atralgia), buta, anemia, dan lain-lain.
PROGNOSIS
Dengan diagnosis dini dan penatalaksanaan yang mutakhir maka 80-90%
pasien dapat mencapai harapan hidup 10 tahun dengan kualitas hidup yang hampir
normal.
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, Karnen Gana. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ketujuh. Jakarta: Balai
49
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Fakultas Kedokteran UI. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta
Fakultas Kedokteran UI. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Jakarta
Fakultas Kedokteran UI. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Jakarta : Media Aeculapius
Guyton, Arthur C. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC
Kamus Kedokteran Dorland
Katzung, Betram. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik Jilid 3. Jakarta : Salemba
Medika
Kumar ,Stanley L.Robbins, dkk. Buku ajar Patologi Edisi 7. Jakarta : EGC
Price Sylvia dan Lorraine Wilson. 2000. Buku Ajar Patofisiologi Jilid 1. Jakarta:
EGC
http://duniaveteriner.com
http://www.klikdokter.com
www.nlm.nih.com
www.medicastore.com
www.mediapenunjangmedis.dikirismanto.com
http://en.wikipedia.org/wiki/lupus
http://www.diskes.jabarprov.go.id/
50