Konjungtivitis ViralYenti Puspita Sari*
*mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
10-2009-012
Kelompok C-1
Alamat korespondensi : Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
E-mail: [email protected]
Pendahuluan
Konjungtivitis merupakan peradangan pada konjungtiva yang disebabkan oleh
virus, bakteri, jamur, parasit, alergi, iritasi, alergi, bahan kimia, maupun karena
suatu penyakit idiopatik. Konjungtivitis viral akut merupakan penyakit yang
umum dan merupakan self-limited disease. ini dapat disebabkan oleh adenovirus,
enterovirus, ataupun virus herpes simpleks. Gambaran umum dari konjungtivitis
viral yaitu mata merasa seperti ada benda asing, hiperemi konjungtiva bulbi,
lakrimasi, pseudoptosis, kemosis, hipertrofi papil, folikel, membran dan
pseudomembran, granulasi, flikten, adenopati preaurikular.1 Pada tinjauan pustaka
ini akan dibahas mengenai konjungtivitis viral akut.
Skenario
Seorang anak laki-laki berusia 8 tahun datang dibawa ibunya ke UGD dengan
keluhan kedua mata merah sejak 5 hari yang lalu disertai keluar air mata berwarna
merah seperti berdarah. Adanya riwayat kontak dengan dengan teman sekelasnya
dengan keluhan serupa. Tidak ada riwayat trauma. Pemeriksaan fisik: kesadaran
compos mentis, subfebris, adanya limfadenopati preaurikular. Status oftalmologi:
kedua palpebra edema, perdarahan subkonjungtiva, injeksi konjungtiva dengan
reaksi folikel, membrane warna keputihan pada konjungtiva palpebra. Visus ODS:
20/20.
1
Anamnesis
Pada anamnesis, ditanyakan nama, umur, jenis kelamin, keluhan utama, riwayat
penyakit dahulu, riwayat penyakit sekarang, riwayat sosial, riwayat keluarga, dan
riwayat obat.
Keluhan utama biasanya mata merah, berair, terasa seperti ada benda asing di
mata. Untuk mencari tahu riwayat penyakit sekarang perlu ditanyakan apakah
pasien menggunakan kacamata/lensa kontak, apakah ada penurunan tajam
penglihatan, apakah terasa gatal atau tidak, sakit atau tidak, warna sekret mata,
kelopak terasa lengket atau tidak, merasa silau (fotofobia) atau tidak. Tanyakan
juga mengenai ada atau tidaknya demam, sakit kepala, pembengkakan kelenjar,
batuk, bersin-bersin, pilek, sakit ketika menelan, suara serak, dan sakit telinga.
Pada riwayat sosial dan keluarga, perlu ditanyakan apakah pasien merokok, baru
pergi ke daerah mana, dan ada tidaknya orang-orang terdekat yang mengalami
gejala yang sama.
Pada riwayat penyakit dahulu ditanyakan apakah sering menderita penyakit serupa
secara berulang. Pada riwayat obat, ditanyakan apakah menggunakan obat-obatan
tertentu dan apakah alergi terhadap suatu obat tertentu.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang diperlukan meliputi survei umum keadaan pasien, tingkat
kesadaran, ekspresi wajah dan aktivitas motorik, tanda-tanda vital, pemeriksaan
kelenjar limfe servikal dan preaurikuler, dan pemeriksaan mata. Bila dicurigai ada
infeksi fokal seperti ada faringitis, maka pemeriksaan telinga, hidung, dan
tenggorok diperlukan.
Pemeriksaan mata yang dilakukan antara lain:
Ketajaman visus, menggunakan kartu Snellen
Lapang pandang, dengan tes konfrontasi
2
Palpebra, dilihat apakah ada edema, warna kemerahan, lesi, arah bulu
mata, dan kemampuan palpebra untuk menutup sempurna
Apparatus lakrimalis, dilihat apakah ada pembengkakan pada daerah
kelenjar lakrimalis dan sakus lakrimalis
Konjungtiva dan sclera, dilihat warnanya dan vaskularisasinya, cari setiap
nodulus atau pembengkakan. Pada konjungtiva tarsus superior dicari
kelainan seperti folikel, membran, papil, papil raksasa, pseudomembran,
sikatriks, dan simblefaron. Pada konjungtiva tarsus inferior dicari kelainan
seperti folikel, papil, sikatriks, hordeolum, kalazion. Pada konjungtiva
bulbi dilihat ada tidaknya sekret. Bila ada amati warna sekret, kejernihan,
dan volume sekret. Kemudian cari ada tidaknya injeksi konjungtival, siliar,
atau episklera, perdarahan subkonjungtiva, flikten, simblefaron, bercak
degenerasi, pinguekula, pterigium, dan pseudopterigium.
Kornea, lensa, dan pupil, dengan cahaya yang dipancarkan dari temporal
dilihat apakah ada kekeruhan (opasitas) pada lensa melalui pupil, apakah
ada bayangan berbentuk bulan sabit pada sisi medial, kemudian dilihat
ukuran, bentuk dan kesimetrisan pupil.
Gerakan ekstraokular, dengan mengikuti gerakan jari pemeriksa yang
membentuk huruf H di udara, lihat apakah ada nistagmus, lid lag, dan
tanyakan apakah ada rasa nyeri saat pergerakan.2
Fundus okuli, dengan oftalmoskop dilihat papil saraf optik, retina dan
macula lutea. Untuk papil, dinilai batas papil, warna papil, ekskavasinya,
dan cup/disc ratio. Untuk retina, dinilai pembuluh arteri dan vena,
kemudian adanya eksudat, perdarahan, atau sikatrik. Untuk macula lutea,
dilihat refleks cahaya pada macula.
Pada konjungtivitis, hasil pemeriksaan fisik biasanya ditemukan visus yang
normal, hiperemi konjungtiva bulbi, lakrimasi, eksudat, pseudoptosis akibat
kelopak mata yang bengkak, kemosis, hipertrofi papil, folikel, membran,
psudomembran, granulasi, flikten dan adenopati preaurikular.3
3
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu pemeriksaan sekret mata untuk
mengetahui penyebab sekret, yaitu dengan pewarnaan Gram untuk
mengidentifikasi organism bakteri atau pulasan Giemsa untuk menetapkan jenis
dan morfologi sel. Dari pulasan Giemsa ini didapatkan kemungkinan penyebab
sekret seperti terdapatnya:
Limfosit dan monosit pada infeksi virus
Leukosit PMN pada infeksi bakteri
Eosinofil dan basofil pada alergi
Sel epitel dengan badan inklusi pada sitoplasma basofil pada klamidia
Sel raksasa multinuclear pada herpes
Sel Leber – makrofag raksasa oleh trakoma1
Selain itu dapat dilakukan teknik amplifikasi asam nukleat seperti PCR yang
sensitive dan spesifik untuk virus DNA. Kultur virus dan isolasi adalah referensi
standar tapi mahal dan hasilnya lama (beberapa hari-minggu), dan membutuhkan
media transport yang spesifik. Sensitivitas bervariasi tapi spesifisitas sekitar
100%. Dapat juga dilakukan tes imunokromatografi memerlukan waktu 10 menit
untuk mendeteksi antigen adenovirus di air mata, sensitifitas dan spesifisitasnya
baik sekali.4
Diagnosis Banding
Dari hasil anamnesis adanya mata merah visus normal dan air mata warna merah,
dan hasil pemeriksaan fisik adanya demam subfebris, limfadenopati preaurikular,
kedua palpebra edema, perdarahan subkonjungtiva, injeksi konjungtiva dengan
reaksi folikel, membrane warna keputihan pada konjungtiva palpebra kasus di
atas, maka mengarah pada diagnosis banding sebagai berikut. Lihat tabel 1.
Tabel 1. Perbedaan secara sederhana kondisi pasien dengan diagnosis kerja dan banding
4
Tanda & gejala Pasien Konj. viral Konj.bakterial Konj.
alergik
Anamnesis Onset 5 hari yang
lalu (akut)
akut Akut periodik
Mata merah + + + +
Sekret air Air, serous Purulen,
mukopurulen,
hiperpurulen
air
Visus Normal Normal Normal Normal
Riwayat kontak + + + + (thd
alergen)
Riwayat trauma - - - -
Gatal Tidak
diketahui
+ + +++
Kelopak lengket Tidak
diketahui
- ++ -
Pemeriksaan
fisik
Demam +
(Subfebris)
kadang Kadang Tidak
pernah
Limfadenopati
preaurikuler
+ + Jarang _
Edema
palpebra
+ + + +
Perdarahan
subkonjungtiva
+ + - -
Injeksi
konjungtiva
+ + + +
Folikel + + + -
Membran + +/- +/- -
Pemeriksaan
penunjang
Pemeriksaan
penunjang
Pewarnaan
Gram sekret
mata
Tidak
diketahui
Tidak
ditemukan
kuman
penyebab
Ditemukan
kuman
penyebab
Tidak
ditemukan
kuman
penyebab
Pewarnaan
Giemsa sekret
mata
Tidak
diketahui
Limfosit
dan
monosit
Leukosit PMN Eosinofil
dan basofil
Keterangan:
5
- : tidak ada/ jarang
+ : umumnya ada
++ : ada, cukup sering
+++ : ada, sangat sering
Dari tabel diagnosis banding di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa tanda dan
gejala yang dialami oleh pasien mengarah pada diagnosis konjungtivitis viral.
Diagnosis Kerja
Diagnosis kerja ditetapkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Dari kasus di atas, hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang cukup jelas, yaitu adanya onset 5 hari yang lalu, mata merah visus normal
dengan demam subfebris, limfadenopati preaurikular, kedua palpebra edema,
perdarahan subkonjungtiva, injeksi konjungtiva dengan reaksi folikel, membrane
warna keputihan pada konjungtiva palpebra kasus di atas, maka mengarah pada
diagnosis kerja konjungtivitis viral akut.
Definisi
Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva atau radang selaput lender
yang menutupi belakang kelopak dan bola mata, yang ditandai dengan hiperemi
konjungtiva bulbi (injeksi konjungtiva), lakrimasi, eksudat, edema palpebra,
hipertrofi papil, folikel, membran, pseudomembran, granulasi, flikten, mata
merasa seperti benda asing, dan adenopati preaurikular. Konjungtivitis dibedakan
menjadi 2 bentuk yaitu:
Konjungtivitis akut, onset mendadak, durasi kurang dari 4 minggu
Konjungtivitis kronik, durasi lebih dari 4 minggu.
Etiologi
Penyebab konjungtivitis dapat dibedakan berdasarkan 2 kategori besar, yaitu:
a) Infeksius
6
Bakteri, seperti Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Staphylococcus aureus, Neisseria meningitidis
Virus, seperti jenis adenovirus, virus herpes simpleks tipe 1 dan tipe 2,
picornavirus (enterovirus dan virus coxsackie)
Parasit, seperti Ascaris lumbricoides
Fungi, seperti Coccidioides immitis, Candida Sp.
b) Non-infeksius
Iritasi persisten, seperti mata kering karena kekurangan air mata
Alergi terhadap suatu bahan tertentu, seperti serbuk sari
Bahan kimia atau iritan seperti asap, sinar ultraviolet, angin
Tidak jelas, seperti sindrom Steven-Johnson dan psoriasis5
Berdasarkan kasus di atas, terdapatnya riwayat kontak dengan orang yang
memiliki keluhan serupa mengindikasikan suatu penyakit yang infeksius. Sekret
mata yang berupa air disertai adanya folikel, demam subfebris, limfadenopati
preaurikular dan onset penyakit 5 hari yang lalu lebih mempertegas bahwa
penyakit tersebut merupakan konjungtivitis folikular viral akut.
Konjungtivitis folikular viral akut dapat disebabkan oleh beberapa jenis virus,
antara lain:
Adenovirus tipe 3 dan 7 dan serotipe lain yang menyebabkan demam
faringkokonjungtivitis
Adenovirus tipe 8 dan 19 yang menyebabkan keratokonjungtivitis epidemi
Virus herpes simpleks yang menyebabkan konjungtivitis herpetik
Enterovirus tipe 70, (atau lebih jarang) virus coxsackievirus tipe A24
(kedua jenis ni merupakan family picornaviridae) yang menyebabkan
konjungtivitis hemoragik akut
Konjungtivitis folikular viral kronik dapat disebabkan oleh beberapa jenis virus
antara lain:
Virus moluskum kontagiosum yang menyebabkan konjungtivitis
moluskum kontagiosum
7
Virus varicella-zooster yang menyebabkan konjungtivitis herpetik dan
konjungtivitis varisela-zoster
Virus Morbili/measles/campak yang menyebabkan keratokonjungtivitis
campak1,3
Epidemiologi dan Faktor Risiko
Konjungtivitis viral adalah penyakit mata yang umum di Amerika Serikat dan
seluruh dunia. Karena sangat umum, dan karena banyak kasus tidak mendapatkan
perhatian medis, keakuratan statistik frekuensi dari penyakit ini tidak tersedia.
Infeksi virus seringkali terjadi pada epidemi dalam keluarga, sekolah, kantor, dan
organisasi militer. Konjungtivitis viral tidak mempunyai predileksi jenis kelamin,
dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan dengan perbandingan yang sama.
Konjungtivitis viral dapat mengenai semua umur, tergantung dari etiologi virus
penyebab. Biasanya, adenovirus menyerang pasien usia 20-40 tahun. Virus herpes
simpleks dan infeksi varisela-zoster primer biasanya mengenai anak kecil dan
bayi. Herpes zoster oftalmikus berasal dari reaktivasi infeksi laten virus varisela-
zoster dan dapat muncul pada semua usia. Khasnya, picornavirus menyerang
anak-anak dan dewasa muda yang kelas sosioekonominya rendah. Epidemi
tersebar melalui rute mata-tangan-mata.6,7
Virus masuk ke mata melalui benda-benda yang terkontaminasi, seperti tangan,
waslap/handuk, kosmetik, lensa kontak, bulu mata palsu, air yang terkontaminasi.
Karena itu risiko konjungtivitis ada pada orang yang jarang mencuci tangan,
sering mengucek mata, menggunakan lensa kontak, menggunakan peralatan
pribadi seperti handuk secara bersama-sama, berenang, dan menggunakan
kosmetik mata.8
Patogenesis
8
Konjungtiva merupakan lapisan mukosa yang melapisi permukaan palpebra
bagian dalam dan sclera. Lapisan konjungtiva dari luar ke dalam adalah:
Epitel konjungtiva, terdiri dari epitel superficial yang mengandung sel
goblet yang menghasilkan musin yang menyusun lapisan terdalam dari air
mata, dan epitel basal.
Stroma konjungtiva, terdiri dari lapisan adenoid yang mengandung
jaringan limfoid, dan lapisan fibrosa yang terdiri dari jaringan ikat, yang di
atas tarsus jaringan ini padat dan di tempat lain jaringan ini longgar.
Kelenjar pada konjungtiva terdiri atas kelenjar Krause dan kelenjar Wolfring yang
menyerupai kelenjar air mata. Pembuluh darah pada konjungtiva berasal dari
a.siliaris posterior dan a.palpebralis. Pembuluh darah yang memperdarahi
konjungtiva adalah a.konjungtiva posterior dan a.siliar anterior. Syaraf pada
palpebra berasal dari n.oftalmikus (cabang n.trigeminus). Pembuluh limfe
palpebra sangat banyak.9
Infeksi konjungtivitis terjadi karena turunnya daya tahan tubuh hospes dan adanya
kontaminasi eksternal. Epitel yang menutupi bagian yang terpajan dari sclera dan
konjungtiva merupakan rute masuknya beberapa virus. Infeksi konjungtivitis virus
diperkirakan disebabkan oleh droplet atau transfer langsung dari jari ke
permukaan konjungtiva palpebra. Setelah masa inkubasi yang kurang lebih antara
5-12 hari, penyakit akan memasuki fase akut. Baik infeksi bakteri atau virus
menginisiasi kaskade inflamasi leukosit atau limfositik yang menarik sel darah
merah dan sel darah putih ke area tersebut. Sel darah putih ini mencapai
permukaan konjungtiva dan berakumulasi di sana melalui kapiler yang telah
berdilatasi dan sangat permeabel.10 Tanda-tanda inflamasi pada konjungtivitis
antara lain:
Hiperemia dan injeksi konjungtiva: karena pelebaran a.konjungtiva
posterior, dari bagian perifer konjungtiva bulbi menuju kornea dan ikut
bergerak apabila konjungtiva bulbi digerakkan. Warna merah cerah
mengindikasikan konjungtivitis bakterialis dan warna merah muda
mengindikasikan konjungtivitis alergik. Hiperemia tanpa infiltrasi selular
9
mengindikasikan iritasi oleh penyebab fisik, seperti angin, sinar matahari,
asap, dll., tetapi kadang-kadang dapat terjadi dengan penyakit yang
berkaitan dengan instabilitas vascular seperti acne rosacea.
Lakrimasi: air mata yang keluar berlebihan sebagai hasil dari sensasi
adanya benda asing, rasa terbakar, dan gatal.3
Sekret: sekret mukopurulen, purulen, dan hiperpurulen pada infeksi
bakteri, air dan serous pada infeksi virus. Pada infeksi bakteri atau
klamidia, palpebra biasanya sulit dibuka karena sekret yang lengket.1
Pseudoptosis : terjadi akibat kelopak yang membengkak, biasa terdapat
pada trakoma dan keratokonjungtivitis epidemik.
Hipertrofi papil: merupakan reaksi konjungtiva non spesifik yang terjadi
karena konjungtiva terikat ke dasar tarsus atau limbus oleh fibril-fibril.
Ketika seberkas pembuluh darah yang membentuk substansi papilla
(bersama-sama dengan unsur-unsur selular dan eksudat) mencapai
membran dasar epithelium, bercabang-cabang dari papilla seperti jari-jari
dalam kerangka paying. Eksudat dari proses inflamasi berakumulasi
diantara fibril-fibril, menumpuk di konjungtiva menjadi timbunan. Pada
penyakit nekrosis seperti trakoma, eksudat dapat diganti oleh jaringan
granulasi atau jaringan ikat. Papil yang merah mengindikasikan infeksi
klamidia atau bakteri. Papil raksasa yang disebut juga papil cobblestone
biasa terdapat pada keratokonjungtivitis kernel karena gambarannya yang
padat, permukaannya rata, polygonal, dan warnanya merah muda. Jika
terdapat pada tarsus superior, keratokonjungtivitis vernal dan
konjungtivitis papil raksasa diasosiasikan dengan senstitivitas akibat
pemakaian lensa kontak, sedangkan pada tarsus inferior dicurigai
keratokonjungtivitis atopic.
Kemosis: edema konjungtiva mata, sangat memperkuat konjungtivitis akut
alergik tapi dapat terjadi juga pada infeksi akut gonokokal atau
mengingokokal dan khususnya pada konjungtivitis adenovirus. Kemosis
pada konjungtiva bulbi terlihat pada pasien dengan trichinosis.
10
Folikel: folikel terdiri dari hyperplasia limfoid fokal di dalam lapisan
limfoid konjungtiva dan biasanya mengandung inti germinal. Secara
klinis, folikel bentuknya bulat, avaskular dengan struktur putih atau abu-
abu. Folikel paling banyak terlihat pada kasus konjungtivitis viral, pada
semua kasus konjungtivitis klamidia kecuali konjungtivitis inklusi
neonatal, pada beberapa kasus konjungtivitis parasit, dan beberapa kasus
konjungtivitis toksik karena pengobatan topikal seperti idoxuridine,
dipivefrin, dan miotikum. Folikel pada fornix inferior dan pada tepi tarsus
mempunyai nilai diagnostic yang terbatas, tapi ketika folikel terdapat pada
tarsus, khususnya tarsus superior, konjungtivitis klamidia, viral, atau
toksik harus dicurigai.
Pseudomembran dan membran: merupakan hasil dari proses eksudatif.
Pseudomembran merupakan bekuan di permukaan epithel, dan ketika
diangkat, epitel tetap intak. Membran merupakan bekuan di seluruh epitel,
dan jika diangkat akan terjadi perdarahan. Pseudomembran dan membran
dapat bersama-sama dengan keratokonjungtivitis epidemik, konjungtivitis
herpes simpleks primer, diftheri, cicatricial pemphigoid, dan eritema
multiforme mayor. Dapat juga terjadi pada chemical burns, khususnya
alkali burns.
Granuloma: selalu mengenai stroma dan paling sering akibat kalazion.
Penyebab lainnya yaitu sarcoidosis, sifilis, cat-scratch disease dan
jarangnya koksidioidomikosis. Sindrom okuloglandular Parinaud termasuk
granuloma konjungtiva dan limfadenopati preaurikular yang mencolok,
dan penyakit ini membutuhkan biopsi untuk menegakkan diagnosis.3
Flikten: merupakan tonjolan berupa serbukan sel-sel radang kronik di
bawah epitel konjungtiva atau kornea, berupa suatu mikro-abses, dimana
permukaan epitel mengalami nekrosis. Warna flikten keputih-putihan,
padat dengan permukaan yang tidak rata. Di sekitarnya diikuti pembuluh-
pembuluh darah. Flikten umumnya kecil, tetapi sering pula lebih besar dari
1 mm. Di atas flikten tidak terdapat pembuluh darah. Flikten paling sering
didapatkan di limbus.5
11
Adenopati preaurikular: merupakan tanda penting konjungtivitis.
Terlihatnya pembesaran kelenjar limfe preaurikular terdapat pada sindrom
okuloglandular Parinaud, dan jarang pada keratokonjungtivitis epidemik.
Nodus limfe preaurikular yang besar atau kecil dan sedikit lunak tedapat
pada konjungtivitis herpes simpleks primer, keratokonjungtivitis epidemik,
konjungtivitis inklusi, dan trakoma. Nodus limfe preaurikuler yang kecil
tapi tidak lunak terdapat pada demam faringokonjungtivitis dan
konjungtivitis hemoragik akut. Kadang-kadang, limfadenopati
preaurikular dapat dilihat pada anak-anak dengan infeksi kelenjar meibom.
Manifestasi Klinis
Secara umum, gejala penting dari konjungtivitis adalah adanya rasa benda asing di
mata, rasa tercakar atau terbakar, rasa penuh di sekitar mata, gatal, dan fotofobia.
Adanya gejala ini diasosiasikan dengan pembengkakan dan hipertrofi papil yang
normalnya bersamaan dengan hiperemia konjungtiva. Jika ada rasa sakit, mungkin
kornea juga terkena.
Manifestasi pada konjungtivitis folikular viral akut
1) Demam faringkonjungtivitis
Demam faringokonjungtivitis ditandai dengan demam 38.3-40oC yang berakhir 4-
5 hari, faringitis dengan keterlibatan khas jaringan limfoid faring, dan
konjungtivitis folikular pada satu atau kedua mata.7 Folikel sering sangat
mencolok pada konjungtiva dan mukosa faring. Penyakit ini dapat unilateral atau
bilateral. Injeksi dan lakrimasi sering terjadi, dan dapat terjadi keratitis epitel
superficial transien dan kadang-kadang opasitas subepitelial. Limfadenopati
preaurikular yang tidak lunak merupakan karakteristiknya. Sindrom ini dapat
tidak lengkap, hanya satu atau dua dari tanda kardinal. (demam, faringitis, dan
konjungtivitis).
2) Keratokonjungtivitis epidemik
12
Keratokonjungtivitis epidemik biasanya bilateral. Onsetnya sering dimulai hanya
pada satu mata, dan mata yang pertama akan lebih parah. Terdapat injeksi
konjungtiva, nyeri moderat, lakrimasi, diikuti 5-14 hari fotofobia, keratitis
epithelial, dan opasitas subepitel. Sensasi kornea normal. Limfadenopati
preaurikular yang lunak merupakan karakteristiknya. Edema palpebra, kemosis,
hiperemia konjungtiva menandai fase akut, dengan folikel dan perdarahan
subkonjungtiva sering terjadi dalam 48 jam. Pseudomembran (dan kadang-kadang
membran) dapat muncul dan diikuti oleh scar yang rata atau pembentukan
simblefaron. Konjungtivitisnya akan bertahan sampai 3-4 minggu seringkali.
Opasitas subepitelial difokuskan di kornea sentral, dan dapat bertahan beberapa
bulan tapi dapat sembuh tanpa scar. Keratokonjungtivitis epidemik pada orang
dewasa terbatas hanya pada mata eksternal, tapi pada anak-anak mungkin terjadi
gejala sistemik infeksi virus seperti demam, sakit tenggorokan, otitis media, dan
diare.
3) Konjungtivitis herpes simpleks
Konjungtivitis herpes simpleks, biasanya penyakit pada anak-anak kecil, ditandai
dengan injeksi unilateral, iritasi, discharge mukoid, nyeri, dan fotofobia ringan.
Keadaan ini terjadi selama infeksi primer HSV atau selama episode rekuren dari
herpes okular. Penyakit ini sering diasosiasikan dengan keratitis herpes simpleks,
dimana kornea menunjukkan lesi epithelial diskret yang biasanya bersatu untuk
membentuk ulkus yang bercabang epitel single atau multipel (dendritik). Terdapat
folikel, atau jarangnya, pseudomembranosa pada konjungtivitisnya. (pasien yang
menerima antiviral topikal dapat berkembang menjadi konjungtivitis folikular
yang dapat dibedakan karena konjungtivitis folikular herpetik onsetnya akut).
Vesikel herpetik kadang-kadang dapat muncul pada kelopak dan tepi kelopak,
diasosiasikan dengan edema palpebra yang berat. Biasanya ada nodus kecil
kelenjar limfe preaurikular yang lunak. Jika konjungtivitisnya folikular, reaksi
inflamasi yang predominan adalah mononuclear, tapi jika pseudomembranosa,
reaksi predominannya polimorfonuklear. Ditemukannya sel epitel multinuclear
raksasa mempunyai nilai diagnostik. Diagnosis dikesankan oleh adanya vesikel
13
herpes pada kelopak mata, diagnosis ditegakkan dengan isolasi virus.
Konjungtivitis herpes simpleks dapat bertahan sampai 2-3 minggu, dan jika
pseudomembranosa dapat menyisakan bekas garis atau scar dan gangguan
penglihatan. Komplikasi mencakup ikut terkenanya kornea dan adanya vesikel di
kulit. Walaupun herpes virus tipe 1 merupakan penyebab mayor kasus-kasus pada
mata, tipe 2 adalah penyebab umum pada bayi baru lahir dan jarang pada dewasa.
Pada bayi baru lahir, mungkin terdapat penyakit yang menyeluruh seperti
ensefalitis, korioretinitis, hepatitis, dll. Setiap infeksi HSV pada bayi baru lahir
harus diobati dengan antiviral sistemik (asiklovir) dan di monitor di rumah sakit.
4) Konjungtivitis hemoragik akut
Penyakit ini mempunyai karakterisik masa inkubasi yang pendek (4-48 jam) dan
penyakitnya berlangsung selama 5-7 hari. Tanda dan gejala umumnya yaitu
sakit/nyeri, fotofobia, terasa ada benda asing, lakrimasi yang banyak, hiperemi,
edema palpebra, dan perdarahan subkonjungtiva. Kadang-kadang kemosis juga
terjadi. Perdarahan subkonjungtiva biasanya difus, tapi dapat punctata saat onset,
dimulai dari konjungtiva bulbi superior dan menyebar ke inferior. Kebanyakan
pasien mengalami limfadenopati preaurikular, folikel pada konjungtiva, dan
keratitis epithelial. Uveitis anterior pernah dilaporkan; demam, malaise, dan
mialgia di seluruh tubuh telah diobservasi pada 25% kasus; dan paralisis motorik
di ekstremitas bawah juga terjadi pada kasus yang jarang di India dan Jepang. 3
Penatalaksanaan
Penyakit ini dapat sembuh sendiri sehingga pengobatan hanya simptomatik.
a) Medikamentosa
Untuk demam dapat diberikan parasetamol oral (tablet atau sirup) dengan
dosis untuk anak usia 6-12 tahun yaitu 150-300 mg/kali dengan
maksimum 1.2 g/hari, diberikan 3 kali sehari selama 3 hari. Pengobatan
antibiotika spektrum luas, sulfasetamid dapat dipergunakan untuk
mencegah infeksi sekunder. Sulfasetamid dapat diberikan dalam bentuk
tetes mata 10% (atau salep mata 10%), diberikan 4 kali sehari 1-2 tetes
14
pada masing-masing mata. Jika memberikan golongan sulfonamide,
pastikan tidak ada alergi terhadap sulfa. Bila ada alergi sulfa, dapat
digunakan tetes mata gentamisin 0.3% (atau salep mata 0.3%) setiap
delapan jam.11 Prednisolon 0.5% empat kali sehari diperlukan untuk
konjungtivitis adenovirus yang terdapat membran atau pseudomembran. 1,4
b) Non-medikamentosa
Dapat diberikan kompres untuk demam. 4
Komplikasi
Komplikasi meliputi keratitis punctata dengan infiltrat subepitelial, superinfeksi
bakteri, ulserasi kornea dengan keratokonjungtivitis dan infeksi kronik. Keratitis
epitelial dapat menyertai konjungtivitis viral. Erosi epitelial punctata yang
diwarnai dengan fluoresein umumnya diasosiasikan dengan keratitis viral. Pada
kasus infeksi adenoviral, Kelainan pada stromal dapat sampai bulanan hingga
tahunan. Pada kasus seperti ini, infiltrat di subepitelial dapat menyebabkan reaksi
antigen antibodi. Jika mengenai axis visual dapat menyebabkan penurunan
penglihatan dan atau penglihatan kabur/buram.
Prognosis
Kebanyakan kasus konjungtivitis viral adalah akut, benign, dan self-limited,
walaupun infeksi kronik pernah dilaporkan. Sekuele jangka panjang pada mata
tidak lazim. Infeksi biasanya sembuh spontan dalam 2-4 minggu. Infiltrat
subepitelial dapat berlangsung sampai beberapa bulan, dan jika mengenai axis
visual dapat menyebabkan penurunan penglihatan dan atau penglihatan
kabur/buram. 6
Preventif
Tindakan preventif yang penting adalah menjaga kebersihan untuk mencegah
penularan penyakit ini, antara lain:
Cuci tangan sesering mungkin. Jangan menyentuh atau menggosok mata.
15
Jangan menggunakan handuk/waslap/selimut bersana-sama dengan orang
lain.
Hindari berenang di kolam renang jika sedang menderita konjungtivitis
Jangan pernah menggunakan obat mata yang diresepkan untuk orang lain.
Jangan menggunakan lensa kontak selama gejala masih ada8
Kesimpulan
Konjungtivitis viral akut merupakan suatu self-limited disease yang menular, yang
ditandai dengan mata merasa seperti ada benda asing, hiperemi konjungtiva bulbi,
lakrimasi, pseudoptosis, kemosis, hipertrofi papil, folikel, membran dan
pseudomembran, granulasi, flikten, adenopati preaurikular. Penyakit ini dapat
dicegah penularannya dengan menjaga kebersihan dan menghindari kontak tangan
dengan mata.
Daftar Pustaka
1. Ilyas, S., Yulianti, S.R. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-4. Cetakan ke-1.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2006.h.35-6, 109-48.
2. Bickley, Lynn S. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan
Bates. Edisi ke-8. Jakarta; EGC; 2009.h.147-57.
3. Riordan-Eva, P., Whitches, J.P. [editor]. Vaughan & asbury’s oftalmologi
umum [terjemahan]. Edisi ke-17. Jakarta: EGC; 2009.h.97-124.
4. Kanski, J.J., Bowling, B. Clinical ophthalmology: a systematic approach
[e-book]. Edisi ke-7. China: Elsevier Saunders; 2011.
5. Ilyas, S., Mailangkay, H.H.B.,Taim, H., Saman, R.R., Simarmata, K,
Widodo, P.S. [editor]. Ilmu penyakit mata untuk dokter umum dan
mahasiswa kedokteran. Jakarta: CV Sagung Seto; 2002.h.91-106.
6. Scott, I.U. Viral conjunctivitis. Edisi 20 September 2011. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1191370-overview#showall, 9
Maret 2012
7. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. Nelson textbook of pediatrics. Edisi
ke- 18. USA: Elsevier Saunders; 2007.h.1115-6, 1458-9.
16
8. McKesson Health Solutions LLC. Viral or bacterial conjunctivitis. Edisi
2003. Diunduh dari:
http://www.cumc.columbia.edu/student/health/pdf/C/Conjunctivitis.pdf , 9
Maret 2012.
9. Morosidi, S.A., Paliyama, M.F. Ilmu penyakit mata. Jakarta: FK Ukrida;
2011.h.14.
10. Patophysiology of acute conjunctivitis. Edisi 21 Juli 2011. Diunduh dari:
http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/68/basics/pathophysi
ology.html, 12 maret 2012.
11. Genrich, J.L., Chan, P.D. Pediatric drug reference: dosages, side effects,
and drug interactions [e-book]. USA: Current Clinical Strategies
Publishing; 2004.h.35.
17