SINTESIS, KARAKTERISASI, DAN PREDIKSI IN SILICO AKTIVITAS SENYAWA METOKSI
KUERSETIN SEBAGAI KANDIDAT ANTIDIABETES
SYNTHESIS, CHARACTERIZATION, AND IN SILICO ACTIVITY PREDICTION OF METHOXY QUERCETIN
AS ANTIDIABETIC CANDIDATE
ALVIONITA ANGGRAINY C.H. N111 14 070
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2018
ii
SINTESIS, KARAKTERISASI, DAN PREDIKSI IN SILICO AKTIVITAS SENYAWA METOKSI KUERSETIN SEBAGAI KANDIDAT ANTIDIABETES
SYNTHESIS, CHARACTERIZATION, AND IN SILICO ACTIVITY PREDICTION OF METHOXY QUERCETIN AS ANTIDIABETIC
CANDIDATE
SKRIPSI
untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar sarjana
ALVIONITA ANGGRAINY C.H. N111 14 070
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2018
iii
SINTESIS, KARAKTERISASI, DAN PREDIKSI IN SILICO AKTIVITAS SENYAWA METOKSI KUERSETIN SEBAGAI KANDIDAT ANTIDIABETES
ALVIONITA ANGGRAINY C.H.
N111 14 070
Pada Tanggal: 16 Mei 2018
iv
v
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
sebagai persyaratan untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Farmasi
Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak
mengalami hambatan. Namun, berkat doa dan bantuan dari berbagai pihak
skripsi ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu perkenankanlah penulis
mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang kepada:
1. Bapak Muhammad Aswad, M.Si., Ph.D., Apt. selaku pembimbing utama
yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk memberikan bimbingan,
arahan, serta memotivasi dan memberikan wawasan baru bagi penulis
selama melakukan penelitian dan penyusunan skripsi.
2. Bapak Andi Affandi, S.Si., M.Sc., Apt. selaku pembimbing pertama yang
telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk memberikan petunjuk,
bimbingan, nasehat, dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi.
3. Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin serta
seluruh dosen dan staf Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.
4. Bapak Usmar, S.Si., M.Si., Apt selaku penasehat akademik yang telah
memberikan nasehat, motivasi dan arahan dalam hal akademik selama
masa studi penulis.
vii
5. Ibu Adriana Pidun, B.Sc. selaku Laboran Kimia Farmasi yang telah
membantu dalam menyelesaikan penelitian, serta memberi nasehat dan
motivasi selama penyusunan skripsi.
6. Ayahanda dan ibunda tercinta Noviantius dan Alce M. Pongsibidang atas
dukungan materi, kasih sayang, dan ketulusan hati dalam mendoakan
penulis, serta saudari penulis Mixelia Ade Novianty atas perhatian dan
dukungan yang di berikan kepada penulis.
7. Kak Natalia Rombe, Zindy Regita Wulandari, Silvani Rezy Pata’dungan,
Aprilia Holi, Selin Ariani, Bianca Emanuela, Asniaty Alik, Oktaviandono
Yuspin, kak Susan, kak Indria, dan kak Yosefa untuk setiap dukungan dan
doa yang diberikan kepada penulis.
8. Rekan penelitian Marzel Lebang, Firda, Dike Dandari Sukmana, dan
Hardianti Lestari atas kerjasamanya dalam melakukan penelitian, dalam
menasehati satu sama lain dan saling mengajar.
9. Teman-teman Korps Asisten Kimia Farmasi yang telah bersedia untuk
bekerjasama, bertukar ide dan pengalaman, serta memberikan dukungan
kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir.
10. Teman-teman angkatan 2014 HIOSIAMIN, terima kasih atas
kebersamaan dalam suka duka selama masa perkuliahan. Semoga kelak
menjadi orang-orang yang sukses dibidang masing-masing.
Penulis sadar skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu
kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan oleh penulis untuk
perbaikan kedepannya.
viii
ix
ABSTRAK
ALVIONITA ANGGRAINY C.H. Sintesis, Karakterisasi, dan Prediksi In Silico Aktivitas Senyawa Metoksi Kuersetin Sebagai Kandidat Antidiabetes (dibimbing oleh Muhammad Aswad dan Andi Affandi)
Kuersetin merupakan salah satu senyawa flavonoid yang dilaporkan memiliki beragam aktivitas farmakologi dan sangat berpotensi untuk dikembangkan dalam bidang pengobatan. Namun, kuersetin memiliki masalah dalam hal kestabilan metabolik sehingga perlu dilakukan modifikasi struktur untuk memperoleh turunan kuersetin yang lebih stabil dan efektif untuk aplikasi klinis. Penelitian tentang sintesis dan karakterisasi senyawa metoksi kuersetin dengan metode eterifikasi serta prediksi aktivitas sebagai kandidat antidiabetes secara in silico terhadap enzim Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4) telah dilakukan. Kuersetin sebagai senyawa awal dideprotonasi menggunakan kalium karbonat di dalam dimetilformamida dilanjutkan dengan penambahan metil iodida kemudian dimurnikan dengan metode kromatografi kolom dan dideteksi dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Produk yang diperoleh dikarakterisasi dengan beberapa metode spektroskopi yang meliputi UV-Vis, FT-IR, 1H-NMR serta ESI-MS. Hasil menunjukkan bahwa produk yang diperoleh adalah metoksi kuersetin dengan yield sebesar 78%. Prediksi aktivitas senyawa metoksi kuersetin terhadap enzim DPP-4 (PDB ID: 2RGU) dilakukan melalui simulasi docking molekuler menggunakan perangkat lunak Autodock Vina untuk memprediksi aktivitas antidiabetes senyawa metoksi kuersetin dengan linagliptin dan kuersetin sebagai pembanding. Hasil prediksi menunjukkan bahwa metoksi kuersetin memiliki aktivitas antidiabetes lebih baik dibanding kuersetin. Kata kunci: Eterifikasi, enzim DPP-4, in silico, kuersetin, metoksi kuersetin
x
ABSTRACT
ALVIONITA ANGGRAINY C.H. Synthesis, Characterization, and In Silico Activity Prediction of Methoxy Quercetin as Antidiabetic Candidate (supervised by Muhammad Aswad and Andi Affandi)
Quercetin is a flavonoid compound that has been reported with a wide range of pharmacological activities and highly potential for development in the field of medication. However, quercetin had a problem in term of metabolic stability, so that structural modification is necessary to obtain more stable and effective quercetin derivative for clinical applications. Research on synthesis and characterization of methoxy quercetin by etherification method and in silico activity prediction as an antidiabetic candidate against Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4) enzyme has been conducted. Quercetin as the starting material was deprotonated using potassium carbonate in dimethylformamide followed by addition of methyl iodide then purified by column chromatography and detected by Thin Layer Chromatography (TLC). The product then was characterized by several spectroscopic methods including UV-Vis, FT-IR, 1H-NMR and ESI-MS. The result showed that the product obtained was methoxy quercetin with 78% yield. Activity prediction of methoxy quercetin against DPP-4 enzyme (PDB ID: 2RGU) was performed through molecular docking simulation using Autodock Vina software to predict antidiabetic activity of methoxy quercetin with linagliptin and quercetin as comparator. Result of prediction showed that methoxy quercetin had antidiabetic activity better than quercetin. Keywords: Etherification, DPP-4 enzyme, in silico, quercetin, methoxy quercetin
xi
DAFTAR ISI
halaman
UCAPAN TERIMA KASIH vi
ABSTRAK ix
ABSTRACT x
DAFTAR ISI xi
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR LAMPIRAN xvii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4
II.1 Kuersetin dan Turunannya 4
II.2 Isosterisme dan Bioisosterisme 5
II.2.1 Isosterisme 5
II.2.2 Bioisosterisme 6
II.3 Simulasi Docking Molekuler 7
II.4 Diabetes Mellitus 8
II.5 Enzim Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4) 9
II.6 Eterifikasi 9
II.7 Purifikasi 10
II.7.1 Kromatografi Kolom 10
xii
II.8 Analisis Produk Sintesis 11
II.8.1 Kromatografi Lapis Tipis 11
II.8.2 Spektrofotometri Ultraviolet-Visible (UV-Vis) 13
II.8.3 Spektroskopi Fourier Transform Infra Red (FT-IR) 17
II.8.4 Spektroskopi Proton Nuclear Magnetic Resonance (1H-NMR) 20 II.8.5 Spektroskopi Carbon Nuclear Magnetic Resonance (13C-NMR) 23 II.8.6 Spektroskopi Electro Spray Ionization Mass (ESI-MS) 24 BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN 26
III.1 Alat dan Bahan 26
III.2 Sintesis Senyawa Metoksi Kuersetin 27
III.3 Purifikasi Senyawa Hasil Sintesis 28
III.3.1 Kromatografi Kolom 28
III.4 Karakterisasi 28
III.4.1 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum (UV-Vis) 28
III.4.2 Penentuan gugus fungsi (FT-IR) 28
III.4.3 Penentuan jumlah proton (1H-NMR) 29
III.4.4 Penentuan bobot molekul (ESI-MS) . 29
III.5 Prediksi Aktivitas Senyawa Terhadap Enzim DPP-4 29
III.5.1 Pengumpulan Data 29
III.5.2 Preparasi Protein Target dan Ligan 29
III.5.3 Simulasi dan Validasi Docking 30
III.6 Prediksi log P . 30
xiii
III.7 Pengumpulan Data dan Analisis Data 30
III.8 Pembahasan Hasil 31
III.9 Pengambilan Kesimpulan 31
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 32
IV.1 Skema Reaksi Sintesis Metoksi Kuersetin 32
IV.2 Yield Senyawa Hasil Sintesis 32
IV.3 Sifat Fisik Senyawa Hasil Sintesis 32
IV.4 Hasil Karakterisasi 34
IV.5 Hasil Simulasi Docking 39
IV.6 Hasil Prediksi Nilai Logaritma Koefisien Partisi
(log P) 45
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 47
V.1 Kesimpulan 47
V.2 Saran 47
DAFTAR PUSTAKA 48
LAMPIRAN 1 51
LAMPIRAN 2 53
LAMPIRAN 3 56
LAMPIRAN 4 61
LAMPIRAN 5 62
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel halaman
1. Pita Serapan Spektrum Infra Merah 19
2. Skema Reaksi Sintesis Metoksi Kuersetin 32
3. Yield Senyawa Hasil Sintesis . 32
4. Sifat Fisik Senyawa Hasil Sintesis 32
5. Profil KLT dan Spektrofotometri UV-Vis 34
6. Hasil Pengukuran FT-IR 35
7. Hasil Pengukuran 1H-NMR 37
8. Hasil Simulasi Docking 39
9. Hasil Prediksi log P 45
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar halaman
1. Struktrur kuersetin 4
2. Mekanisme subtitusi nukleofilik pada eterifikasi 10
3. Profil Kromatografi Lapis Tipis (UV 254 dan 366) 53
4. Spektra Spektrofotometri UV-Vis 56
5. Spektra FT-IR 57
6. Spektra 1H-NMR 58
7. Spektra ESI-MS 59
8. Pose tumpang tindih ligan asli (native ligand) linagliptin
dengan ligan hasil docking 41
9. Interaksi antara linagliptin dengan enzim DPP-4 . 42
10. Interaksi antara kuersetin dengan enzim DPP-4 43
11. Interaksi antara metoksi kuersetin dengan enzim DPP-4 45
12. Prediksi log P 60
13. Proses sintesis (refluks) 54
14. Monitoring reaksi (KLT) 54
15. Purifikasi (Kromatografi kolom) 54
16. Penguapan pelarut (Rotary evaporator) 54
17. Spektrofotometer UV-Vis 55
18. Spektrofotometer FT-IR 55
xvi
19. Spektrometer Nuclear Magnetic Resonance (NMR) 55
20. Spektrometer Electro Spray Ionization Mass (ESI-MS) 55
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Skema Kerja 51
2. Gambar Penelitian 53
3. Spektra dan Prediksi log P 56
4. Mekanisme Reaksi 61
5. Perhitungan 62
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kuersetin merupakan salah satu senyawa turunan flavonoid golongan
flavonol yang memiliki banyak aktivitas farmakologi seperti antioksidan,
antikanker, antikolesterol, antiinflamasi, antidiabetes, antivirus, antipirai,
antiasma, antialergi, serta antiosteoporosis (Lakhanpal et al, 2007).
Banyaknya aktivitas farmakologi yang dimiliki kuersetin merupakan peluang
yang besar untuk pengembangan kuersetin dalam bidang pengobatan (Baby
et al, 2016). Namun, bioavailabiltas oral yang rendah, klirens dan
metabolisme yang sangat cepat, serta mudah terdegradasi secara enzimatik
menjadi masalah dalam penggunaan kuersetin sebagai agen terapeutik.
Penelitian sebelumnya telah banyak difokuskan pada modifikasi struktur
kuersetin untuk memperoleh turunan kuersetin yang lebih stabil dan efektif
untuk diaplikasikan secara klinis (Massi et al, 2017).
Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan dalam modifikasi
struktur terkait penemuan dan pengembangan obat yaitu melalui
penggantian bioisoster yang merupakan penerapan dari ilmu kimia
medisinal. Penggantian bioisoter dilakukan dengan memodifikasi struktur
kimia senyawa yang berkhasiat obat dengan melibatkan unit atau kelompok
senyawa yang memiliki sifat fisikokimia dan efek biologis yang mirip,
misalnya penggantian antara hidrogen dengan fluorin dan penggantian
2
oksigen dengan sulfur atau selenium karena memiliki elektron valensi yang
sama (Brown, 2017; Patani, 1996).
Beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk memodifikasi struktur
kuersetin meliputi modifikasi kelompok fenolik (O-alkilasi atau eterifikasi dan
O-asilasi atau esterifikasi), modifikasi karbonil C-4, serta fungsionalisasi
pada cincin A dan B (Massi et al, 2017). Modifikasi pada kelompok fenolik
dengan teknik O-alkilasi atau eterifikasi dapat dilakukan atas penggantian
isoster monovalen (Brown, 2017). Penyisipan kelompok metoksi pada
senyawa flavon dilakukan dengan menggunakan metil atau kelompok alkil
lainnya agar turunannya secara metabolik lebih stabil (Walle et al, 2009).
Struktur senyawa yang telah dimodifikasi dapat diuji lebih lanjut untuk
memperoleh gambaran mengenai prediksi aktivitas yang kemungkinan
dimiliki oleh senyawa tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
memprediksi aktivitas suatu senyawa yaitu dengan metode komputasional
atau in silico yang dapat memperhitungkan interaksi antara protein dan ligan.
Simulasi docking suatu molekul terhadap struktur reseptor sangat penting
dalam konteks penemuan obat baru (Kroemer, 2007).
Dalam penelitian ini, struktur senyawa kuersetin dimodifikasi dengan
pendekatan bioisosterisme menjadi senyawa metoksi kuersetin dan secara
in silico diprediksi sebagai kandidat antidiabetes dengan target protein
berupa enzim Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4). Simulasi docking molekuler
dilakukan dengan melihat interaksi antara senyawa metoksi kuersetin
terhadap sisi aktif pada enzim DPP-4. Pemilihan protein target didasari oleh
3
fakta yang dikemukakan World Health Organization bahwa penyakit
Diabetes Mellitus (DM) termasuk dalam kategori 3 besar penyakit penyebab
kematian di dunia. Selain itu, berdasarkan data International Diabetes
Federation, prevalensi DM secara global akan meningkat sekitar 10,4% pada
tahun 2040 dan Indonesia termasuk dalam 10 besar negara dengan tingkat
penderita DM tertinggi di dunia dengan prediksi sekitar 10 juta jiwa
(Firănescu, A.G, 2016). Hal tersebut merupakan tantangan bagi para peneliti
dalam bidang kesehatan untuk menemukan upaya penanganan DM, salah
satunya dengan penemuan atau pengembangan obat terkait DM.
I.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana melakukan sintesis dan karakterisasi senyawa metoksi
kuersetin?
2. Bagaimana memprediksi aktivitas senyawa metoksi kuersetin terhadap
aktivitas enzim DPP-4 secara in silico?
I.3 Tujuan Penelitian
1. Melakukan sintesis dan karakterisasi senyawa metoksi kuersetin dengan
teknik eterifikasi atau O-alkilasi pada kuersetin.
2. Memprediksi aktivitas senyawa metoksi kuersetin terhadap enzim DPP-4
sebagai kandidat antidiabetes secara in silico.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Kuersetin dan Turunannya
Kuersetin (3,5,7,3’,4’-pentahidroksiflavon; 2-(3’,4’-dihidroksifenil)-
3,5,7-trihidroksi-kromon-4-on) merupakan senyawa berkhasiat obat yang
dominan terdapat di alam, khususnya di dalam tubuh tumbuhan. Kuersetin
adalah senyawa polifenol turunan flavonoid, golongan flavonol yang terdiri
dari dua cincin aromatik yang dihubungkan oleh tiga atom karbon yang
membentuk cincin heterosiklik, memiliki lima gugus hidroksil pada C-3, 5, 7,
3’, 4’, ikatan rangkap antara C-2 dan C-3, serta jembatan eter dan gugus
karbonil C-4 pada cincin heterosiklik. Struktur kuersetin dapat dilihat pada
Gambar 1 (Massi et al, 2017).
Gambar 1. Struktur kuersetin
Kuersetin memiliki aktivitas sebagai antioksidan, antikanker,
antikolesterol, antiinflamasi, antidiabetes, antiviral, antipirai, antiasma,
antialergi, antiosteoporosis, serta masih banyak aktivitas lainnya (Lakhanpal
et al, 2007). Bioavailabiltas oral yang rendah, metabolisme dan klirens yang
sangat cepat, serta mudah terdegradasi secara enzimatik menjadi masalah
O
OH
O
OH
OH
OH
HO
5
yang menghambat penggunaan kuersetin sebagai agen terapeutik (Massi et
al, 2017).
Pengembangan kuersetin dalam bidang pengobatan dilakukan untuk
memperoleh senyawa turunan kuersetin yang lebih stabil dan lebih
berkhasiat. Modifikasi senyawa kuersetin melibatkan kelompok sulfur
berperan sebagai agen antiproliferasi (Massi et al, 2017). Substitusi unsur
brom pada struktur kuersetin di posisi C-6 dan C-8 menghasilkan senyawa
6,8-dibromo kuersetin yang berdasarkan hasil uji in silico menunjukkan
peningkatan afinitas sekitar 20% terhadap sisi pengikatan pada enzim alfa
glukosidase. Hal tersebut menunjukkan prediksi potensi turunan kuersetin
terbrominasi sebagai kandidat antidiabetes yang lebih baik dari kuersetin (M.
Aswad et al, 2012).
II.2 Isosterisme dan Bioisosterisme
II.2.1 Isosterisme
Istilah isosterisme pertama kali diperkenalkan oleh Langmuir (1919)
yang berarti molekul yang memiliki jumlah dan susunan elektron yang sama
dan memiliki sifat fisikokimia yang mirip. Grimm (1925) menetapkan hukum
perpindahan hidrida untuk menjelaskan konsep isoster, dimana penambahan
hidrida ke suatu atom menghasilkan pseudoatom dengan sifat fisik yang
sama seperti yang ada di kolom tepat di belakangnya dalam tabel periodik.
Erlenmeyer (1932) memperluas definisi dari isosterisme dengan
memasukkan unsur, ion, atau molekul dengan jumlah elektron yang sama
6
pada tingkat valensi. Erlenmeyer menyatakan bahwa unsur dalam kolom
tabel periodik yang sama adalah isoster (Brown, 2017; Patani, 1996).
II.2.2 Bioisosterisme
Istilah bioisosterisme diperkenalkan pertama kali oleh Friedman
(1952) yang menjelaskan bahwa bioisoster merupakan substansi terkait
secara struktural dengan sifat biologis yang mirip maupun antagonis. Istilah
bioisosterisme kemudian diperluas oleh Thornber, yaitu kelompok atau
molekul yang memiliki kesamaan kimia dan fisika yang menghasilkan sifat
biologis yang mirip. Bioisoster klasik menurut teori Alfred Burger (1970)
dibagi menjadi beberapa kategori yang berbeda, yaitu (Brown, 2017; Patani,
1996):
1. Atom atau kelompok monovalen
Atom atau kelompok yang isoster karena memiliki valensi yang sama, yaitu
bervalensi satu. Dapat dibagi menjadi beberapa kelompok berikut: (a)
penggantian fluorin-hidrogen; (b) pertukaran amino-hidroksil; (c) pertukaran
tiol-hidroksil; (4) pertukaran kelompok fluorin, hidroksil, amino, dan kelompok
metil (Hukum Perpindahan Hidrida Grimm); (5) pertukaran kelompok kloro,
bromo, tiol, dan hidroksil (Erlenmeyer).
2. Atom atau kelompok divalen
Atom atau kelompok yang isoster karena memiliki valensi yang sama, yaitu
bervalensi dua. Dapat dikelompokkan menjadi dua sub kelompok: (a)
Bioisoster divalen yang melibatkan pertukaran atom dalam ikatan rangkap,
seperti C=C, C=N, C=O, dan C=S. (b) Bioisoster divalen dimana substitusi
7
dari atom yang berbeda menghasilkan perubahan dua ikatan tunggal seperti
dalam rangkaian; C-C-C, C-NH-C, C-O-C, C-S-C.
3. Atom atau kelompok trivalen
Atom atau kelompok yang isoster karena memiliki jumlah valensi yang sama,
yaitu bervalensi tiga. Kelompok yang termasuk bioisoster trivalen adalah –
CH=, -P=, -As=, -Sb=, dan –N=.
4. Atom tetrasubstitusi
Kelompok yang termasuk bioisoster tetrasubstitusi yaitu =C=, =Si=, =N+=,
=P+=, =As+=, dan =Sb+=
5. Ekivalen cincin
Bioisoster ekivalen cincin merupakan sub kelas akhir dari bioisoster
klasik. Substitusi isosterik klasik ketika diterapkan dalam sistem cincin
menghasilkan analog heterosiklik yang berbeda yang dapat menjadi
bioisoster yang efektif. Kelompok yang termasuk bioisoster ekivalen cincin
yaitu –CH=CH-, =CH-, -O-, -S-, -CH2-, -S-, =N-, dan -NH-.
II.3 Simulasi Docking Molekuler
Di era yang semakin modern, studi penemuan dan pengembangan
obat juga mengalami banyak kemajuan, salah satunya dengan metode
komputasional. Studi penemuan obat yang merujuk pada pemanfaatan
komputer dikenal dengan istilah in silico atau virtual screening, yang dapat
memperhitungkan interaksi antara protein dan ligan. Docking suatu molekul
terhadap struktur reseptor sangat penting dalam konteks penemuan obat
baru. Proses algoritma virtual screening sangat cepat dalam memposisikan
8
molekul kandidat obat ke dalam sisi aktif dari target, bahkan hanya dalam
hitungan detik (Kroemer, 2007).
Docking komputasional selalu membutuhkan dua komponen, yang
mana dikarakterisasi sebagai “searching” dan “scoring”. “Searching”
mengacu pada fakta bahwa setiap metode docking harus mengeksplorasi
konfigurasi ruang yang dapat dijangkau untuk interaksi di antara kedua
molekul. “Scoring” mengacu pada fakta bahwa setiap prosedur docking
mengevaluasi dan mengurutkan konfigurasi yang dihasilkan oleh proses
pencarian (Abraham DJ, 2003). Aktivitas molekul yang telah di docking
diurutkan berdasarkan hasil analisis komponen sterik dan elektrostatik
secara komputasi. Hasil docking mencakup prediksi afinitas antara molekul
terhadap target (Kroemer, 2007).
II.4 Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang ditandai
dengan meningkatnya kadar glukosa darah yang melebihi batas normal
(hiperglikemia) akibat kekurangan insulin, baik kuantitatif maupun kualitatif.
Hiperglikemia postprandial adalah tanda awal pada DM tipe 2, yang dapat
memicu terjadinya stres oksidatif melalui pembentukan radikal bebas
berlebih yang dapat mengganggu pertahanan antioksidan endogen dalam
tubuh (Tapan E, 2005).
9
II.5 Enzim Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4)
Enzim Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4) merupakan sebuah enzim
yang secara alami ada di dalam tubuh yang akan menurunkan aktivitas 2
jenis hormon inkretin utama di dalam tubuh yaitu glucagon-like peptide-1
(GLP-1) dan glucose-dependent insulinotropic polypeptide (GIP). Hormon
inkretin utama ini bersifat insulinotropik kuat dan sekresinya akan meningkat
dengan pemberian glukosa secara oral. Apabila kedua hormon ini dihambat
oleh enzim DPP-4, maka aktivitasnya dalam merangsang eksresi insulin juga
akan terhambat. Upaya untuk menjadikan GLP-1 bertahan lama didalam
darah dapat dilakukan dengan menekan enzim DPP-4 yakni dengan DPP-4
inhibitor sehingga meningkatkan aktivitas GLP-1 dan meningkatkan ratio
insulin terhadap glukagon pada penderita diabetes tipe 2. Adapun obat yang
dapat menghambat aktivitas enzim DPP-4 yaitu vildagliptin, sitagliptin,
saxagliptin serta linagliptin (Thornberry, 2009).
II.6 Eterifikasi
Senyawa organik yang termasuk dalam golongan eter dicirikan
dengan adanya atom oksigen yang terikat pada dua gugus alkil maupun aril.
Struktur eter secara sederhana dituliskan sebagai R-O-R’, dimana R dan R’
merupakan alkil atau aril. Sintesis suatu eter dapat dilakukan dengan
melakukan dehidrasi pada alkohol alifatik maupun aromatik (Wade, L.G,
2017).
Sintesis eter Williamson merupakan metode sintesis suatu eter
melibatkan reaksi antara alkil halida dengan alkoksida atau fenoksida. Pada
10
reaksi sintesis Williamson, suatu alkohol yang direaksikan dengan natrium
hidroksida atau kalium hidroksida akan menghasilkan alkoksida, sedangkan
pada fenol yang cenderung bersifat lebih asam, akan diubah menjadi
fenoksida dengan penambahan alkali hidroksida atau kalium karbonat.
Alkoksida maupun fenoksida akan bereaksi dengan alkil halida melalui
mekanisme substitusi nukleofilik untuk membentuk eter seperti yang
diperlihatkan pada Gambar 2 (Laue, T. and Plagens, A. 2005).
Gambar 2. Mekanisme subtitusi nukleofilik pada eterifikasi (Laue, T. and Plagens, A.
2005)
Eterifikasi pada senyawa fenolik dapat dilakukan dengan merefluks
senyawa fenolik dengan metil iodida, menggunakan dimetilformamida
sebagai pelarut dan kalium karbonat sebagai basa. Berdasarkan literatur,
metode tersebut dilaporkan dapat memberikan produk sintesis yang baik,
ditunjukkan dengan yield yang tinggi (Brieger, et al,1968).
II.7 Purifikasi
II.7.1 Kromatografi kolom
Kromatografi kolom merupakan salah satu jenis kromatografi adsorbsi
yang terdiri dari fasa diam dan fasa gerak. Fasa diam berupa padatan
(alumina, silika gel, karbon aktif, dan lainnya) sedangkan fasa gerak berupa
cairan (etanol, aseton, dan lainnya). Pemisahan komponen senyawa
menggunakan kromatografi kolom berkaitan dengan perbedaan antara gaya-
11
gaya antar molekul dalam sampel dengan fasa gerak dan antara komponen
senyawa dengan fasa diam (Rubiyanto D, 2016).
Prinsip pemisahan senyawa menggunakan kromatografi kolom yaitu
cuplikan senyawa akan terbawa oleh aliran fasa gerak melewati fasa diam
yang ada di dalam kolom. Selama proses tersebut, komponen senyawa akan
turun mengikuti aliran fasa gerak dan terjadi interaksi berupa adsorbsi
komponen senyawa oleh fasa diam yang berupa padatan. Eluat merupakan
istilah untuk menyebut hasil fraksinasi menggunakan kromatografi kolom.
Eluat diperoleh dengan menampung cairan yang menetes dari ujung kolom
bagian bawah. Pemisahan senyawa yang sempurna dapat dilakukan dengan
pemilihan fasa diam dan fasa gerak yang sesuai, dimana pemilihan dilakukan
dengan memperhatikan faktor polaritas dan kelarutan (Rubiyanto D, 2016).
Jalur-jalur penyerapan yang ideal dengan teknik kromatografi kolom adalah
(Rubiyanto D, 2016):
1. Konstituen-konstituen yang terpisah dari campuran dapat teramati di
dalam kolom yang berupa pita warna, reaksi dengan indikator/pereaksi kimia,
disinari dengan lampu UV.
2. Komponen dilarutkan atau dielusi dengan mengalirkan pelarut lain untuk
mengeluarkannya dari dalam kolom.
II.8 Analisis Produk Sintesis
II.8.1 Kromatografi lapis tipis
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan salah satu teknik
kromatografi dimana prinsipnya berdasarkan adsorbsi. Perbedaan antara
12
KLT dengan teknik kromatografi lain yaitu konfigurasi KLT berbentuk planar.
Pada KLT, fasa diam (adsorben) yang digunakan berupa padatan yang
diaplikasikan berbentuk datar pada permukaan kaca atau plat aluminium
yang berperan sebagai penyangga. Jenis padatan yang dapat digunakan
pada plat KLT beserta penggunaannya antara lain silika gel, alumina,
kielsghur serta selulosa. Sedangkan fasa gerak (eluen) berupa zat cair yang
juga lazim digunakan pada kromatografi kolom maupun kromatografi kertas.
Sifat-sifat ideal pelarut yang digunakan dalam KLT antara lain (Rubiyanto D,
2017):
1. Tersedia dalam bentuk yang sangat murni dengan harga yang memadai
2. Tidak bereaksi dengan komponen dalam sampel maupun fasa diam
3. Memiliki viskositas dan tegangan permukaan yang sesuai
4. Memiliki titik didih yang rendah untuk memudahkan pengeringan setelah
pengembangan
5. Mempunyai kelarutan yang ideal pada berbagai campuran solvent.
6. Tidak toksik dan mudah pembuangan limbahnya
Karakter yang diinginkan dalam pemilihan fasa gerak yang kompetitif untuk
KLT antara lain adalah parameter kelarutan, indeks polaritas, dan kekuatan
pelarut.
Dalam KLT, nilai Rf (Retardation factor) dinyatakan sebagai
perbandingan jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik awal hingga
mencapai titik akhir terhadap jarak yang ditempuh oleh eluen dari titik awal
hingga mencapai titik akhir. Dalam analisis kualitatif, nilai Rf senyawa yang
13
belum diketahui dibandingkan dengan nilai Rf senyawa standar untuk
menentukan jenis senyawa yang sedang dianalisis. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi nilai Rf antara lain: struktur kimia senyawa yang dipisahkan,
sifat dari adsorben dan derajat aktivitasnya, ketebalan dan kerekatan
permukaan adsorben, kemurnian pelarut, derajat kejenuhan uap pelarut
dalam bejana pengembang (chamber), jumlah cuplikan, serta temperatur
(Rubiyanto D, 2017).
II.8.2 Spektrofotometri Ultraviolet-Visible (UV-Vis)
Spektrofotometer adalah alat yang terdiri dari spektrometer dan
fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang
gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya
yang ditransmisikan atau diabsorbsi. Spektrofotometer digunakan untuk
mengukur energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan,
direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang
(Gandjar IG, 2007).
Spektrofotometer UV-Vis terdiri atas suatu sistem optik yang dapat
menghasilkan sinar monokromatis pada rentang panjang gelombang 200-
800 nm. Komponen penyusun instrumen spektrofotometer UV-Vis yaitu
sumber-sumber lampu (lampu deuterium untuk daerah UV serta lampu
halogen kuarsa atau lampu tungsten untuk daerah visible), monokromator,
dan optik-optik. Sinar yang digunakan dalam spektrofotometri meliputi sinar
ultraviolet (UV) dengan kisaran panjang gelombang 200-400 nm serta sinar
tampak (visible) dengan kisaran panjang gelombang 400-800 nm.
14
Penyerapan sinar UV dan sinar tampak pada umumnya dihasilkan
oleh eksitasi elektron-elektron yang berikatan, sehingga panjang gelombang
yang mengabsorpsi dapat dihubungkan dengan ikatan yang mungkin
terdapat dalam suatu molekul. Ada tiga macam proses penyerapan energi
UV dan sinar tampak yaitu (Gandjar IG, 2007):
1. Penyerapan oleh transisi elektron ikatan dan elektron anti ikatan (elektron
sigma, 𝜎; elektron phi, 𝜋; dan elektron anti ikatan (non-bonding electron), n)
2. Penyerapan oleh transisi elektron d dan f dari molekul kompleks
3. Penyerapan oleh perpindahan muatan
Sinar ultraviolet dan sinar tampak memberikan energi yang cukup
untuk terjadinya transisi elektronik. Transisi-transisi elektronik akan
meningkatkan energi molekuler dari keadaan dasar ke satu atau lebih tingkat
energi tereksitasi. Transisi elektronik yang terjadi di antara tingkat-tingkat
energi di dalam suatu molekul ada empat, yaitu (Gandjar IG, 2007):
1. Transisi sigma-sigma star (δ→δ*)
Energi yang diperlukan untuk transisi ini besarnya sesuai dengan energi sinar
yang frekuensinya terletak di antara ultraviolet vakum (kurang dari 180 nm).
Jenis transisi ini terjadi pada daerah ultraviolet vakum sehingga kurang
begitu bermanfaat untuk analisis dengan cara spektrofotometri ultraviolet-
visibel. Contoh dari transisi ini adalah kelompok alkana.
2. Transisi n-sigma star (n→δ*)
Jenis transisi ini terjadi pada senyawa organik jenuh yang mengandung
atom-atom yang memiliki elektron bukan ikatan (elektron n). Energi yang
15
diperlukan untuk transisi jenis ini lebih kecil dibandingkan transisi δ→δ*
sehingga sinar yang diserap mempunyai panjang gelombang lebih panjang,
sekitar 150-250 nm. Contoh transisi ini yaitu pada nitrogen, oksigen dan
halogen.
3. Transisi n-phi star(n→π*)
Energi yang diperlukan untuk transisi ini dalam daerah 200-700 nm. Dengan
bertambahnya kepolaran pelarut, akan menyebabkan pergeseran biru
(hipsokromik) yaitu pergeseran pita serapan ke arah panjang gelombang
yang lebih pendek. Transisi ini terjadi pada senyawa karbonil (C=O) atau nitril
(C=N).
4. Transisi phi-phi star (π→π*)
Dengan bertambahnya kepolaran pelarut, akan menyebabkan pergeseran
merah (batokromik) yaitu pergeseran pita serapan ke arah panjang
gelombang yang lebih panjang. Merupakan transisi yang paling cocok untuk
analisis dengan cara spektrofotometer ultraviolet-visible, sebab memiliki
panjang gelombang antara 200-700 nm. Transisi ini terjadi pada elektron
diorbital π, yaitu pada alkena dan alkuna.
Kromofor merupakan atom maupun gugus yang terdapat dalam suatu
senyawa organik yang mampu menyerap sinar ultraviolet dan sinar tampak.
Contoh kromofor yaitu alken, alkin, karbonil, karboksil, amido, azo, nitro,
nitroso, serta nitrat. Auksokrom merupakan gugus fungsional yang memiliki
elektron bebas yang dapat memberikan transisi n→π*, seperti –OH, -O, -NH2
dan –OCH3. (Gandjar IG, 2007).
16
Spektra UV-Vis yang diperoleh dari analisis spektrofotometri dapat
memberikan informasi berupa data kualitatif maupun kuantitatif. Pada aspek
kualitatif, data yang diperoleh adalah panjang gelombang maksimal,
intensitas, efek pH dan pelarut. Sedangkan data kuantitatif yang diperoleh
adalah transmitan (T) dan absorbansi. Hukum Lambert-Beer menjadi dasar
yang penting dalam aspek kuantitatif spektrofotometri UV-Vis, dapat ditulis
dengan persamaan (Gandjar IG, 2007):
A = a.b.c (g/liter); A = ε. b. c (mol/liter); A = A11.b.c (g/100 ml)
Keterangan:
A = absorban c = konsentrasi
a = absorptivitas ε = absorptivitas molar
b = ketebalan kuvet (cm) A11 = absorptivitas spesifik
Absorptivitas (a) merupakan konstanta yang tidak tergantung pada
konsentrasi, ketebalan kuvet dan intensitas radiasi yang mengenai larutan
sampel. Absorptivitas tergantung pada suhu, pelarut, struktur molekul dan
panjang gelombang radiasi. Satuan a ditentukan oleh satuan b dan c. Jika
satuan c dalam molar (M) maka absorptivitas disebut dengan absorptivitas
molar (ɛ) dengan satuan M-1cm-1. Jika c dinyatakan dengan persen
berat/volume (g/100 mL) maka absorptivitas dapat ditulis dengan E1%1cm
atau
sering kali ditulis dengan A1%1cm
.
17
II.8.3 Spektroskopi Fourier Transform-Infra Red (FT-IR)
Spektroskopi inframerah adalah teknik yang didasarkan pada vibrasi
atom dalam suatu molekul. Spektrum inframerah umumnya diperoleh
dengan cara melewatkan radiasi infra merah melalui sampel dan fraksi
ditentukan melalui energi tertentu yang diserap. Energi dimana setiap puncak
dalam spektrum muncul sesuai dengan frekuensi getaran yang terjadi pada
molekul (Stuart B, 2004).
Daerah infra merah pada spektrum elektromagnetik dibagi menjadi
tiga daerah yaitu (G.H Jeffery, 1989):
1. Dekat (overtone) 0.8-2.5𝜇m (12500-4000 cm-1)
2. Pertengahan (vibrasi-rotasi) 2.5-50𝜇m (4000-200 cm-1)
3. Jauh (rotasi) 50-1000 𝜇m(200-10 cm-1)
Daerah serapan inframerah yang umumnya digunakan dalam analisis yaitu
pada bilangan gelombang 4000-400 cm-1 atau 2.5-25 𝜇m (G.H Jeffery, 1989).
Pada spektrum inframerah pertengahan (4000-400 cm-1), daerah 1400-4000
cm-1 merupakan daerah peregangan (stretching) yang dapat
mengidentifikasi gugus fungsi. Sedangkan daerah dibawah 1500 cm-1
merupakan daerah perenggangan sekaligus bengkokan (bending), sehingga
cukup sulit untuk mengidentifikasi gugus fungsi pada daerah ini. Namun
setiap senyawa organik memiliki serapan khas pada daerah ini, sehingga
daerah ini disebut daerah sidik jari (finger print region). Spektrum inframerah
pertengahan (4000-400 cm-1) terbagi menjadi empat sub daerah yaitu daerah
peregangan X-H (4000-2500 cm-1), daerah ikatan rangkap tiga (2500-2000
18
cm-1), daerah ikatan rangkap (2000-1500 cm-1) dan daerah sidik jari/ finger
print (1500-600 cm-1) (Fessenden RJ, 1982; Stuart B, 2004 ).
Inti atom terikat oleh ikatan kovalen mengalami vibrasi atau osilasi,
dengan cara yang mirip dengan dua bola yang dilekatkan pada pegas. Ketika
molekul menyerap radiasi infra merah, energi yang diserap menyebabkan
peningkatan amplitudo vibrasi atom yang berikatan. Molekul-molekul itu
kemudian dalam keadaan vibrasi tereksitasi. Agar molekul menunjukkan
absorbsi inframerah, molekul harus memiliki ciri khas tertentu, yaitu momen
dipol listrik dari molekul harus berubah selama bervibrasi. Vibrasi yang terjadi
melibatkan perubahan panjang ikatan/peregangan (stretching) dan/atau
pembengkokan sudut ikatan (bending) (Stuart B, 2004).
Spektrum inframerah merupakan plot antara intensitas cahaya yang
terukur dengan sifat cahaya. Sumbu x dari spektrum inframerah diplot
dengan bilangan gelombang, semakin ke kanan bilangan semakin kecil.
Sumbu y dari spektrum inframerah diplot dengan nilai absorbansi yang
menyatakan jumlah cahaya yang diserap oleh molekul. Spektrum absorbansi
sampel dihitung dari tinggi atau luas puncak spektrum absorban yang
berbanding lurus dengan konsentrasi. Selain itu plot sumbu y dapat diplot
dalam satuan yang disebut persen transmitan (%T). Absorbansi dan persen
transmitan (%T) berhubungan secara matematis satu sama lain. Karena
absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi, unit absorbansi digunakan
untuk analisis kuantitatif. Spektrum absorbansi juga sesuai untuk analisis
kualitatif. Ukuran puncak pada spektrum %T tidak berbanding lurus dengan
19
konsentrasi, sehingga spektrum ini tidak boleh digunakan untuk analisis
kuantitatif, namun dapat digunakan untuk analisis kualitatif (Stuart B, 2004).
Posisi puncak dalam spektrum inframerah berkorelasi dengan struktur
molekul yang dianalisis. Sejumlah spektrum infra merah telah diukur dan
posisi puncak molekul yang diketahui telah berhasil diidentifikasi dapat
digunakan untuk mengidentifikasi molekul dalam sampel yang tidak diketahui
(G.H Jeffery, 1989):
Tabel 1. Pita serapan spektrum infra merah
Kelompok Bilangan
gelombang (cm-1)
Panjang
gelombang (𝝁m)
C−H (alifatik) 2700-3000 3,33-3,70
C−H (aromatik) 3000-3100 3,23-3,33
O−H (fenolik) 3700 2.70
O−H (fenolik, ikatan hidrogen) 3300-3700 2,70-3,03
C-O 1000-1050 0.95-1
C−O (eter siklik) 1250-900 9,52-10,00
C=O (keton) 1705-1725 5,80-5,86
C=O (keton terkonjugasi) 1650-1830 5,46-6,06
C−C 750-1100 9,09-13,33
C=C 1620-1630 5,99-6,17
H3C−, −CH2− 1350-1480 6,76-7,41
C−O−C 1100 9,09
Sumber: G.H. Jeffery, J. Bassett, J. Mendham, and R.C. Denney. Vogel’s Textbook Of
Quantitative Chemical Analysis 5th ed. John Wiley & Sons, Inc. New York. 1989. 741-745.
Spektroskopi Fourier-Transform Infrared (FT-IR) didasarkan pada
interferensi radiasi antara dua berkas sinar inframerah untuk menghasilkan
interferogram. Pada akhirnya akan dihasilkan sinyal yang dinyatakan
sebagai fungsi dari perubahan jarak antara kedua berkas. Dua domain jarak
20
dan frekuensi saling dipertukarkan dengan metode matematis transformasi
Fourier. Radiasi yang muncul dari sumber dilewatkan melalui interfereter ke
sampel sebelum mencapai detektor. Setelah amplifikasi sinyal, dimana
kontribusi frekuensi tinggi telah dieliminasi oleh filter, data dikonversi ke
bentuk digital oleh konverter analog-ke-digital dan dipindahkan ke komputer
untuk transformasi Fourier (Stuart B, 2004).
II.8.4 Spektroskopi Proton-Nuclear Magnetic Resonance (1H-NMR)
Spektroskopi NMR didasarkan pada penyerapan gelombang radio
oleh inti suatu molekul organik pada saat berada di dalam medan magnet
yang kuat. Inti atom pada berbagai unsur dapat dikelompokkan sebagai yang
mempunyai spin atau tidak mempunyai spin. Inti atom yang memiliki spin
akan menimbulkan medan magnet kecil yang diberikan oleh suatu
momen magnetik nuklir, suatu vektor. Dalam kimia organik, isotop yang
dilaporkan memiliki spin yaitu 1H, 13C, dan 19F. Isotop yang paling sering
digunakan dalam spektroskopi NMR adalah 1H dan 13C (Fessenden RJ,
1982).
Dalam spektroskopi NMR, suatu medan magnet dihasilkan oleh
medan magnet tapal kuda permanen atau suatu elektromagnet. Kuat
medan magnet luar dilambangkan dengan H0, dan arahnya dinyatakan oleh
sebuah anak panah. Bila molekul yang mengandung atom hidrogen
ditempatkan dalam medan magnetik luar, maka momen magnetik dari tiap
inti hidrogen atau proton, mengambil salah satu dari dua sikap yaitu
paralel atau anti paralel terhadap medan luar. Dalam keadaan paralel, arah
21
momen magnetik proton sama dengan arah medan luar. Sedangkan dalam
keadaan anti paralel, momen magnetik proton berlawanan arah dengan
medan luar. Keadaan paralel suatu proton lebih stabil (berenergi lebih
rendah) dibandingkan dengan keadaan anti paralel. Bila dikenai gelombang
radio yang frekuensinya cocok, momen magnetik dari sebagian kecil proton
paralel akan menyerap energi dalam membalik atau jungkir balik (flip)
menjadi keadaan antiparalel yang energinya lebih tinggi. Banyaknya energi
yang diperlukan untuk membalik momen magnetik sebuah proton dari
paralel ke antiparalel bergantung sebagian pada besarnya H0. Semakin
besar nilai H0, maka inti atom lebih bertahan untuk dijungkir balikkan,
sehingga memerlukan radiasi dengan frekuensi yang lebih tinggi. Gabungan
khusus antara kuat medan magnet luar dan radio frekuensi menyebabkan
suatu proton berpindah dari keadaan paralel menjadi antiparalel maka
diikatakan proton itu dalam resonansi. Resonansi nuklir magnetik
merupakan istilah yang berarti “inti mengalami resonansi dalam medan
magnet” (Fessenden RJ, 1982).
Semua proton akan berada dalam resonansi pada kombinasi yang
sama antara H0 dan frekuensi radio. Medan magnet yang dihasilkan oleh
proton dalam molekul tertentu adalah kombinasi dari dua medan, yaitu
medan magnet luar terapan (H0) dan medan magnet molekuler terinduksi,
medan magnet kecil yang diinduksi dalam molekul oleh H0. Setiap proton
atau kelompok proton pada molekul organik mempunyai lingkungan kimia
yang spesifik sehingga harga δ juga akan spesifik. Kelompok proton
22
adalah sejumlah proton yang mempunyai harga δ yang sama. Adapun pola
pemisahan proton dalam NMR adalah (Fessenden RJ, 1982):
a. Singlet
Sebuah proton yang tidak memiliki proton tetangga yang secara
magnetik tak ekuivalen dengannya, akan menunjukkan sebuah peak
tunggal, yang disebut singlet dalam spektrum NMR. Contoh: spektrum NMR
p-metoksibenzaldehid, yang menunjukkan dua singlet, satu singlet
mengiterpretasikan proton –OCH3 dan satu singlet lainnya menunjukkan
proton –CHO.
b. Doublet
Sebuah proton yang memiliki satu proton tetangga yang tidak ekivalen
dengannya akan memberikan suatu isyarat yang terbelah menjadi satu peak
rangkap atau disebut doblet. Contoh: spektrum NMR p-metoksibenzaldehid,
menunjukkan sepasang doblet pada bagian aromatik.
c. Triplet
Sebuah proton (Ha) yang memiliki dua proton tetangga yang saling ekivalen
satu sama lain namun tidak ekivalen dengannya, maka isyarat NMR
dari Ha adalah triplet. Jika kedua proton tersebut ditandai dengan Hb,
ekuivalen, maka keduanya memberikan satu sinyal terpisah oleh Ha
menjadi suatu doublet. Contoh: Spektrum 1,1,2-trikloroetana (Cl2CHCH2Cl)
menunjukkan dua proton tetangga (triplet).
23
d. Kuartet
Suatu senyawa yang mengandung gugus metil dan satu proton (Ha) pada
karbon didekat gugus metil. Proton ini tak ekuivalen dengan proton-proton
metil. Ketiga proton metil (Hb) yang ekuivalen mempunyai satu proton
tetangga dan muncul sebagai sebuah doblet dalam spektrum. Isyarat
yang ditimbulkan oleh Ha muncul sebagai suatu kuartet karena Ha
memiliki tiga proton tetangga. Contoh: Spektrum 2-feniletil asetat
menunjukkan kelompok etil (-CH2CH3) yang menunjukkan pola NMR khas
untuk triplet dan kuartet.
II.8.5 Spektroskopi Carbon-Nuclear Magnetic Resonance (13C-NMR)
Spektroskopi 13C NMR memberikan informasi tentang kerangka
karbon. Spektrum 13C berbeda dari spektrum 1H dalam beberapa hal.
Pergeseran kimia 13C terjadi pada kisaran yang lebih lebar dibandingkan
kisaran pergeseran kimia inti 1H. Keduanya diukur terhadap standar yang
sama yaitu TMS (tetrametilsilan), yang semua karbon metilnya ekuivalen dan
memberikan sinyal yang tajam. Absorpsi 13C diperoleh pada angka 0-200
ppm di bawah medan TMS, dimana 0-50 ppm (C alkil), 50-100 ppm (C
alkuna), 100-150 ppm (C alkena dan aromatik), 150-200 ppm (C ester,
amida, karboksilat, aldehid, dan keton) (Fessenden RJ, 1982).
Setiap karbon yang beresonansi dipecah menjadi suatu multiplet,
tergantung pada jumlah proton yang terikat. Karbon tersier (R3CH) muncul
sebagai doublet (d), karbon sekunder (R2CH2) muncul sebagai triplet (t), dan
karbon primer (RCH3) muncul sebagai kuartet (k) (Fessenden RJ, 1982).
24
II.8.6 Spektroskopi Electro Spray Ionization Mass (ESI-MS)
Spektrometri massa adalah teknik analisis yang dapat memberikan
informasi kualitatif (struktur) dan kuantitatif (massa molekul atau konsentrasi)
pada molekul analit setelah konversi ke dalam bentuk ion. Ion suatu molekul
terionisasi untuk mendapatkan muatan positif atau negatif. Ion kemudian
masuk melalui penganalisis massa dan sampai pada berbagai bagian
detektor sesuai dengan rasio massa per muatan (m/z). Setelah ion
melakukan kontak dengan detektor, sinyal yang dihasilkan akan dicatat oleh
sistem komputer. Komputer menampilkan sinyal secara grafis sebagai
spektrum massa yang menunjukkan kelimpahan relatif dari sinyal sesuai
dengan rasio m/z (Ho CS, 2003).
Electro spray Ionization menggunakan energi listrik untuk membantu
pengalihan ion dari larutan ke dalam fase gas sebelum dianalisis dengan
spektrometri massa. Spesies ionik dalam larutan dapat dianalisis dengan
ESI-MS dengan sensitivitas yang tinggi. Senyawa netral juga dapat diubah
menjadi bentuk ion dalam larutan atau dalam fase gas dengan protonasi atau
kationisasi. Perubahan ionik dari larutan ke dalam fasa gas oleh ESI
melibatkan tiga tahap yaitu penyebaran semprotan bermuatan, diikuti oleh
penguapan pelarut dan pelepasan ion (Ho CS, 2003).
Pada kuat medan dan voltase yang sama, partikel dengan m/z
tinggi, memiliki jari-jari yang lebih besar, sedangkan partikel dengan yang
m/z rendah, mempunyai jari-jari yang lebih kecil. Oleh karena itu, aliran
partikel bermuatan positif yang melewati tabung analisator akan
25
membentuk suatu pola. Jika voltase pempercepat dikurangi perlahan-lahan
dan secara sinambung, kecepatan semua partikel akan berkurang, dan jari-
jari lintasan semua partikel juga berkurang. Dengan teknik ini, partikel
berturut-turut mengenai detektor dimulai dengan m/z tertinggi (Fessenden
RJ, 1982).
26
BAB III
PELAKSANAAN PENELITIAN
III.1 Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas
(Pyrex®), neraca analitik (Satorius®), labu alas bulat, magnetic stirrer (Wiggen
Hauser®), crystallizing dish, lemari asam, alat refluks (Duren®), mikropipet
(Socorex®), pipet volume, pipa kapiler (Nesco®), chamber, lampu UV 254 nm
dan 366 nm (Wiggen Hauser®), kolom, Rotary Evaporator (Heidolph®),
spektrofotometer Inframerah-Fourier Transform Infra Red (Shimadzu®),
spektrofotometer Nuclear Magnetic Resonance (JEOL Oxford® 𝛼-500),
Spektrofotometer UV-Vis (Agilent®), Spektrofotometer massa-Electro Spray
Ionization-Mass Spectrophotometer (Thermo®), termometer, waterbath (HH-
S6 waterbath®), hairdryer, eksikator, perangkat keras (hardware) berupa satu
set komputer dengan spesifikasi serta perangkat lunak (software) sistem
operasi Windows 7 Ultimate, Marvin Sketch®16.9.12, AutoDock Tools®4.2,
AutoDock Vina®1.1.2, YASARA®1.5.4, ChemDraw Ultra 7.0.1 dan Discovery
Studio 3.5 Client.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kuersetin
(Sigma-Aldrich®), metil iodida (Merck®), kalium karbonat (Merck®),
magnesium sulfat (Merck®), dimetilformamida (Merck®), diklorometan
(Merck®), asam klorida (Merck®), air suling, aseton (teknis) , kloroform
27
(teknis), metanol p.a (Merck®), deuterokloroform-d6 (Merck®), silika gel G-60
(Merck®), lempeng silika GF254 (Merck®), es batu.
Data struktur protein target yaitu enzim Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-
4) dan situs pengikatannya dari hasil penelitian sebelumnya yang diperoleh
melalui Protein Data Bank (PDB) dengan PDB ID:2RGU beserta ligan aslinya
yaitu linagliptin. Diperlukan pula struktur tiga dimensi ligan yang digambar
dengan Marvin sketch®16.9.12 dan geometrinya telah dioptimasi sebagai
senyawa uji.
III.2 Sintesis senyawa metoksi kuersetin
Kuersetin (305 mg, 1.0 mmol) dilarutkan di dalam labu alas bulat
menggunakan pelarut dimetilformamida (5 mL) sambil diaduk secara
kontinyu menggunakan magnetic stirrer dan direfluks, dilakukan di dalam
lemari asam. Selama proses pengadukan, ditambahkan kalium karbonat
(830 mg, 6.0 mmol) dan metil iodida (994 mg, 7.0 mmol) secara perlahan.
Campuran senyawa diaduk selama 10 jam. Proses reaksi dimonitor
menggunakan kromatografi lapis tipis dengan eluen kloroform:metanol
(20:1). Kemudian campuran diencerkan dengan diklorometan (20 mL) dan
ditambah asam klorida (0.1 M, 10 mL). Lapisan organik dipisahkan
menggunakan corong pisah, kemudian dicuci dengan air (3x10 mL).
Dikeringkan dengan penambahan magnesium sulfat anhidrat, kemudian
disaring dan diambil filratnya, dikeringkan menggunakan rotary evaporator
(Lu K, 2013).
28
III.3 Purifikasi senyawa hasil sintesis
III.3.1 Kromatografi kolom
Senyawa sintetik dilarutkan dengan kloroform:metanol (20:1).
Kemudian dimasukkan ke dalam kolom yang berisi suspensi silika gel G-60.
Selanjutnya dialiri dengan eluen kloroform:metanol (20:1) dan eluat
ditampung menggunakan vial. Hasil kolom ditotol pada plat KLT. Noda yang
memiliki nilai Rf (Retardation factor) yang sama disatukan, kemudian eluen
diuapkan dengan rotary evaporator.
III.4 Karakterisasi
III.4.1 Penentuan panjang gelombang maksimum (UV-Vis)
Senyawa sintetik dibuat pada konsentrasi 10 ppm menggunakan
pelarut metanol p.a. Kemudian dimasukkan ke dalam kuvet berukuran 1x1
cm dan diukur absorbansi serta panjang gelombang maksimum pada
rentang 200-800 nm. Pengerjaan dilakukan di tempat gelap. Pengerjaan
serupa juga dilakukan terhadap kuersetin sebagai pembanding.
III.4.2 Penentuan gugus fungsi (FT-IR)
Senyawa sintetik digerus bersama-sama dengan kalium bromida,
kemudian dipres menjadi pelet, menyerupai cakram tipis. Pelet yang
terbentuk dimasukkan ke dalam alat FT-IR, diletakkan di plat optik FTIR,
kemudian instrumen di running untuk mengukur serapan IR dari senyawa
sintetik. Pengerjaan serupa juga dilakukan terhadap kuersetin sebagai
pembanding.
29
III.4.3 Penentuan jumlah proton (1H-NMR)
Senyawa sintetik dilarutkan dengan pelarut khusus NMR yaitu DMSO-
d6 di dalam tube NMR dan dicukupkan volumenya, lalu ditempatkan dalam
alat spektroskopi NMR untuk pengukuran jumlah proton. Selanjutnya data
spektrum akan direkam oleh alat detektor NMR. Pengerjaan serupa juga
dilakukan terhadap kuersetin sebagai pembanding.
III.4.4 Penentuan bobot molekul (ESI-MS)
Senyawa sintetik dilarutkan dengan metanol p.a. kemudian
diinjeksikan ke dalam kolom menuju ruang pengion, kemudian ion-ion yang
dihasilkan akan menuju tabung analyzer mass dan ditentukan massanya.
Data spektrum massa akan direkam pada alat detektor ESI-MS.
III.5 Prediksi Aktivitas Senyawa Terhadap Enzim Dipeptidyl
Peptidase-4 (DPP-4)
III.5.1 Pengumpulan Data
Data struktur protein target diambil melalui Protein Data Bank
(http://www.rscb.org) dengan PDB ID: 2RGU. Data ini merupakan hasil teknk
biofisika seperti kristalografi X-ray maupun spektroskopi NMR dari protein
tersebut yang meliputi struktur dengan sisi aktif dan sequence. Data disimpan
dalam fomat .pdb.
III.5.2 Preparasi Protein Target dan Ligan
Preparasi protein target dilakukan dengan menggunakan YASARA®
1.5.4 dan AutoDock Tools® 4.2 dengan cara memprotonasi dan menentukan
koordinat dari protein target. Hasil preparasi disimpan dalam format .pdbqt.
30
Preparasi ligan dilakukan dengan menggunakan YASARA® 1.5.4 dan
AutoDock Tools® 4.2 dengan cara memprotonasi dan mengecek rotatable
bond dari molekul ligand. Hasil preparasi disimpan dalam format .pdbqt.
III.5.3 Simulasi dan Validasi Docking
Docking dilakukan dengan mengarahkan model molekul ligan yang
telah teroptimasi pada bagian aktif enzim DPP-4 (PDB ID: 2RGU). Ligan uji
di-docking pada sisi pengikatan enzim DPP-4 menggunakan Autodock
Vina®1.1.2 dengan lima kali replikasi. Kemudian dilakukan kalkulasi
pengikatan antara ligan dan protein target pada berbagai pose yang akan
muncul sebagai energi interaksi. Molekul dengan energi interaksi yang
rendah menunjukkan afinitas kestabilan yang tinggi. Kalkulasi energi
interaksi dan visualisasi pengikatan antara ligan dan enzim DPP-4
divisualisasi dengan Discovery Studio 3.5 Client.
Validasi docking dilakukan dengan cara mengukur Root Mean Square
Deviation (RMSD) menggunakan YASARA®11.3.2.
III.6 Prediksi Nilai Logaritma Koefisien Partisi (log P)
Prediksi nilai logaritma koefisien partisi (log P) dilakukan dengan cara
mengecek nilai log P dari senyawa kuersetin dan metoksi kuersetin
menggunakan ChemDraw Ultra 7.0.1. Semakin tinggi nilai log P
menunjukkan sifat lipofilisitas semakin besar.
III.7 Pengumpulan dan Analisis Data
Setelah pengujian selesai, semua data dikumpulkan dan dianalisis.
31
III.8 Pembahasan Hasil
Dilakukan pengkajian terhadap hasil penelitian dengan
membandingkan hasil data dengan literatur yang mendukung.
III.9 Pengambilan Kesimpulan
Kesimpulan yang dilaporkan yaitu perolehan yield beserta
karakteristik senyawa sintetik yang diperoleh, konfirmasi hasil kebenaran
senyawa sintetik yang diperoleh berdasarkan hasil karakterisasi, serta
prediksi aktivitas senyawa sebagai inhibitor enzim DPP-4 dan prediksi nilai
log P.
32
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Skema Reaksi Sintesis Metoksi Kuersetin
Tabel 2. Skema reaksi sintesis metoksi kuersetin
Kuersetin Metoksi Kuersetin
IV.2 Yield Senyawa Hasil Sintesis
Tabel 3. Yield senyawa hasil sintesis
Starting material
(kuersetin) Theoretical yield Actual yield Yield
1 mmol 1 mmol 0,78 mmol 78%
305 mg 372,373 mg 290,45 mg
IV.3 Sifat Fisik Senyawa Hasil Sintesis
Tabel 4. Sifat fisik senyawa hasil sintesis
Senyawa Sifat fisik
Pemerian Kelarutan Bau
Kuersetin Serbuk ringan, halus,
berwarna kuning
Mudah larut dalam
etanol dan kloroform Tidak berbau
Metoksi kuersetin
Serbuk halus,
berwarna kuning
pucat
Mudah larut dalam
etanol dan kloroform Tidak berbau
33
Salah satu teknik modifikasi struktur kuersetin yaitu melalui teknik O-
alkilasi atau disebut eterifikasi. Eterifikasi pada senyawa kuersetin dilakukan
dengan subtitusi atom hidrogen pada kelima gugus hidroksil dengan gugus
metil. Dalam tahap ini, terjadi transformasi pada gugus hidroksil (-OH)
menjadi metoksi (-OCH3). Transformasi gugus hidroksil menjadi metoksi
berdasarkan konsep isoster monovalen antara hidrogen dengan kelompok
metil (Brown, 2017).
Mekanisme reaksi eterifikasi atau O-Alkilasi pada senyawa kuersetin
mirip dengan mekanisme reaksi sintesis eter Williamson (Gambar 2). Tahap
awal reaksi eterifikasi pada kuersetin yaitu kelompok fenolik akan mengalami
deprotonasi dalam suasana basa membentuk ion fenoksida. Penambahan
kalium karbonat yang bersifat basa lemah sudah mampu untuk
mendeprotonasi hidrogen pada kelompok fenolik sehingga tidak diperlukan
basa kuat. Selanjutnya, melalui reaksi subtitusi nukleofilik, ion fenoksida
akan bereaksi dengan alkil halida. Alkil halida yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metil iodida (CH3I). Ion fenoksida yang bersifat
nukleofilik berikatan dengan karbon pada gugus metil iodida sehingga terjadi
perubahan gugus hidroksil (-OH) menjadi gugus metoksi (-OCH3) (Laue, T.
and Plagens, A. 2005).
Deteksi awal produk hasil sintesis dapat diketahui dari hasil analisis
kromatografi lapis tipis (KLT) menggunakan plat silika GF254 sebagai fasa
diam dan campuran kloroform:metanol (20:1) sebagai eluen, serta
penampak noda UV 254 nm dan 366 nm. Purifikasi menggunakan
34
kromatografi kolom dengan silika gel sebagai fasa diam dan campuran
kloroform:metanol (20:1) sebagai cairan pengelusi dilakukan untuk
menghilangkan sisa senyawa awal (kuersetin) sehingga didapatkan produk
berupa senyawa metoksi kuersetin. Senyawa sintetik yang diperoleh
sebanyak 290,45 mg dengan yield 78%. Karakteristik senyawa berupa
serbuk halus berwarna kuning pucat, mudah larut dalam etanol dan
kloroforom, tidak berbau. Selanjutnya, dilakukan karakterisasi untuk
konfirmasi senyawa sintetik yang diperoleh.
IV.4 Hasil Karakterisasi
Karakterisasi senyawa hasil sintesis sangat penting untuk dilakukan
karena melalui data karakterisasi dapat dilakukan konfirmasi apakah
senyawa sintetik yang diperoleh telah sesuai dengan yang diharapkan atau
tidak. Dalam penelitian ini digunakan beberapa instrumen analisis untuk
karakterisasi senyawa, seperti spektrofotometer UV-Vis, spektrofotometer
Fourier Transform–Infra Red (FT-IR), Spektroskopi Electro-Spray Ionization
Mass (ESI-MS), dan spektroskopi proton resonansi nuklir magnetik (1H-
NMR).
Tabel 5. Profil KLT dan Spektrofotometri UV-Vis
Karakterisasi Kuersetin Metoksi kuersetin
KLT
Nilai Rf : 0,02
Eluen :
Kloroform:metanol (20:1)
Penampakan noda:
-UV 254 : Spot noda kuning
-UV 366 : Tidak berfloresensi
Nilai Rf : 0,55
Eluen :
Kloroform:metanol (20:1)
Penampakan noda:
-UV 254 : Berfloresensi
-UV 366 : Berfloresensi
35
Karakterisasi Kuersetin Metoksi kuersetin
UV-Vis
Λmax Λmax
371 nm
255 nm
212 nm
340 nm
248 nm
204 nm
Analisis kualitatif suatu senyawa dapat dilakukan dengan kromatografi
lapis tipis (KLT) dengan melihat nilai Rf. Nilai Rf diperoleh dengan
membandingkan jarak tempuh senyawa dengan jarak tempuh eluen.
Berdasarkan data yang diperoleh (Tabel 5), senyawa metoksi kuersetin
bersifat lebih non-polar dibandingkan dengan senyawa kuersetin. Hal
tersebut ditunjukkan oleh nilai Rf metoksi kuersetin yang lebih besar
dibandingkan dengan nilai Rf kuersetin. Profil KLT senyawa kuersetin dan
metoksi kuersetin diperlihatkan pada Gambar 3.
Analisis UV-Vis digunakan untuk mengetahui karakteristik suatu
senyawa terhadap sinar UV maupun sinar tampak (Visible) yang diukur pada
panjang gelombang (λ) 200−800 nm. Aspek kualitatif yang diperhatikan
adalah panjang gelombang maksimum (Tabel 5). Berdasarkan literatur,
spektra senyawa flavonoid menunjukkan dua pita serapan atau puncak pada
rentang 200-400 nm karena senyawa flavonoid mempunyai sistem aromatik
terkonjugasi. Kedua pita atau puncak tersebut yaitu pita I (300-380 nm) dan
pita II (240-280 nm). Pita I muncul sebagai serapan pada daerah cincin B,
yaitu sistem sinamoil. Sedangkan pita II muncul sebagai serapan pada
daerah cincin A, yaitu sistem benzoil (Mabry TJ et al, 1970). Berdasarkan
literatur, kuersetin memiliki dua panjang gelombang, sekitar 372 nm (Pita I)
36
dan 256 nm (Pita II). Hasil karakterisasi UV-Vis menunjukkan bahwa setelah
gugus hidroksil kuersetin berubah menjadi gugus metoksi, terjadi pergeseran
biru atau disebut hipsokromik, baik pada pita I dan pita II. Spektra panjang
gelombang maksimum senyawa kuersetin dan metoksi kuersetin
diperlihatkan pada Gambar 4.
Tabel 6. Hasil pengukuran FT-IR
Senyawa Bilangan gelombang (cm-1) Intensitas Kemungkinan
gugus fungsi
Kuersetin
3323,35; 3408,22 Kuat O-H
2941,44 Lemah C-H Aromatik
1517,98 Sedang C=C
1012,63; 1168,86;
1257,59 Kuat C-O
1610,56; 1666,5 Kuat C=O
Metoksi
Kuersetin
1157,29 Kuat C-O-C
1450,47 Kuat -CH3
2929,87 Lemah C-H Aromatik
1514,12 Sedang C=C
1020,34; 1053,13; 1107,14 Kuat C-O
1604,77; 1627,92 Kuat C=O
Analisis menggunakan FT-IR menunjukan adanya perbedaan spektra
IR dari senyawa kuersetin dan metoksi kuersetin (Gambar 5). Adapun
perbedaan spektra yang muncul akibat adanya perubahan ikatan maupun
gugus fungsi pada kuersetin setelah disintesis menjadi senyawa metoksi
kuersetin. Gugus fungsi hidroksil pada kuersetin berganti menjadi gugus
metoksi. Perbedaan yang terlihat yaitu pada puncak yang
menginterpretasikan gugus hidroksil yang muncul di bilangan gelombang
3323,35 cm-1 dan 3408,22 cm-1 dengan intensitas yang kuat. Sedangkan
37
pada spektra metoksi kuersetin tidak ditemukan adanya gugus hidroksil
karena pada bilangan gelombang 3444,87 cm-1 hanya terdapat puncak
dengan intensitas lemah. Tetapi pada bilangan gelombang 1157,29 cm-1
diperoleh puncak dengan intensitas kuat yang diduga gugus metoksi dan
diperkuat dengan adanya puncak dengan intensitas kuat pada bilangan
gelombang 1450,47 cm-1 yang diinterpretasikan sebagai gugus metil.
Sedangkan pada spektra kuersetin tidak menunjukkan adanya puncak
dengan intensitas yang kuat yang menunjukkan gugus metoksi.
Tabel 7. Hasil pengukuran 1H-NMR
Senyawa Nilai Proton Pola puncak Coupling constant
Kuersetin
7,68 ppm
7,54 ppm
6,88 ppm
6,40 ppm
6,18 ppm
12,49 ppm
10,77 ppm
9,58 ppm
9,33 ppm
1
1
1
1
1
1
1
1
2
Doublet
Doublet of doublet
Doublet
Doublet
Doublet
Singlet
Singlet
Singlet
Doublet
2 Hz
6,4; 2,4 Hz
8,8 Hz
1,6 Hz
1,6 Hz
-
-
-
10,44 Hz
Metoksi Kuersetin
7,67 ppm
7,14 ppm
6,82 ppm
6,49 ppm
3,89 ppm
3,85 ppm
3,75 ppm
2
1
1
1
3
9
3
Triplet
Doublet
Singlet
Singlet
Doublet
Doublet
Singlet
8,4 Hz
8,4 Hz
-
-
16,8 Hz
16,8 Hz
-
Spektra 1H-NMR menginterpretasikan jumlah proton atau hidrogen
yang terdapat dalam senyawa hasil sintesis. Senyawa kuersetin dianalisis
menggunakan pelarut DMSO-d6 pada frekuensi 400 MHz menggunakan
38
standar internal tetrametilsilan (TMS). Berdasarkan hasil karakterisasi 1H-
NMR (Tabel 7), pada spektra senyawa kuersetin terdeteksi lima hidrogen
yang terikat pada atom karbon aromatik, yaitu 1H NMR (DMSO-d6) 7,68 (d,
J=2 Hz, 1H), 7,54 (dd, J=6,4; 2,4 Hz, 1H), 6,88 (d, J= 8,8 Hz, 1H), 6,40
(d, J=1,6 Hz, 1H) dan 6,18 (d, J=1,6 Hz, 1H). Selain itu, terdeteksi lima
hidrogen yang terikat pada gugus hidroksil, yaitu 1H NMR (DMSO-d6) 12,49
(s, 1H), 10,77 (s, 1H), 9,58 (s, 1H), dan 9,33 (d, J=10,44 Hz, 2H).
Terdapat puncak pada 0,0 ppm yang menunjukkan standar TMS.
Sedangkan pada 2,50 ppm hingga 3,33 ppm menunjukkan puncak yang
menunjukkan pelarut DMSO-d6.
Senyawa metoksi kuersetin dianalisis menggunakan pelarut DMSO-
d6 pada frekuensi 400 MHz menggunakan standar internal tetrametilsilan
(TMS). Jika dibandingkan dengan spektra senyawa kuersetin, terjadi
perbedaan pada spektra senyawa metoksi kuersetin (Gambar 6), karena
adanya pergeseran yang dapat diakibatkan oleh perubahan gugus fungsi
hidroksil menjadi metoksi. Berdasarkan hasil karakterisasi 1H-NMR (Tabel
7), pada spektra senyawa metoksi kuersetin terdeteksi lima hidrogen yang
terikat pada atom karbon aromatik, yaitu 1H NMR (DMSO-d6) 7,67 (t, J=8,4
Hz, 2H), 7,14 (d, J=8,4 Hz, 1H), 6,82 (s, 1H), dan 6,49 (s,1H). Selain
itu, terdeteksi lima belas hidrogen yang terikat pada gugus metoksi senyawa
metoksi kuersetin, yaitu 1H NMR (DMSO-d6) 3,89 (d, J=16,8 Hz, 3H),
3,85 (d, J=16,8 Hz, 9H), dan 3,75 (s, 3H). Terdapat puncak pada 0,0 ppm
yang menunjukkan standar TMS. Sedangkan pada 2,50 ppm hingga 3,33
39
ppm menunjukkan pelarut DMSO-d6. Selain itu, terdapat dua puncak yang
diduga merupakan bagian dari impurity senyawa hasil sintesis, yaitu pada
7,95 ppm dan 8,32 ppm.
Data spektra ESI-MS menunjukan bahwa senyawa sintetik yang
diperoleh adalah metoksi kuersetin dengan nilai m/z = 372,120745 g/mol
(spektra [M+1H] = 373,12857 g/mol, spektra [2M+Na+] = 767,23175) dan
rumus molekul C20H20O7. Perhitungan massa dilakukan dengan
menjumlahkan hasil perkalian antara masing-masing unsur dengan massa
molekul pasti (exact molecular mass), dimana C=12, H=1,007825,
O=15,994915 serta Na=22,989770. Spektra ESI-MS metoksi kuersetin
diperlihatkan pada Gambar 7.
IV.5 Hasil Simulasi Docking
Tabel 8. Hasil simulasi docking
LIGAN ENERGI IKATAN
(kkal/mol)
IKATAN HIDROGEN
ASAM AMINO PANJANG IKATAN
(Å)
Linagliptin -9,2 Tyr631 2,28
Kuersetin -7,0
Glu205
Arg125
Tyr662
2,29
1,43
2,23
Metoksi Kuersetin -7,1 Ser630 2,52
Prediksi aktivitas senyawa metoksi kuersetin terhadap target enzim
Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4) telah dilakukan. Hasil menunjukkan bahwa
senyawa tersebut diprediksi sebagai inhibitor enzim DPP-4 yang berperan
dalam meningkatkan efektivitas kerja dari hormon inkretin seperti GLP-1 dan
40
GIP yang berperan dalam memicu sekresi insulin bagi penderita DM tipe 2.
Hal tersebut dapat dilihat dari energi interaksi yang dihasilkan terhadap
residu asam amino pada sisi aktif enzim DPP-4 (Tabel 8). Namun,
mekanisme aksi dari senyawa tersebut sebagai inhibitor enzim DPP-4 belum
bisa dipastikan, karena docking molekuler hanya melihat interaksi antar
permukaan ligan dengan residu asam amino, sehingga dibutuhkan pengujian
lanjutan. Hasil docking memberi prediksi bahwa senyawa metoksi kuersetin
memiliki kemiripan dengan kuersetin dalam hal energi interaksi terhadap sisi
aktif enzim DPP-4, dapat dilihat dari nilai energi interaksi yang hampir sama
dan mendekati nilai energi interaksi dari linagliptin yang merupakan obat
golongan DPP-4 inhibitor. Namun, terdapat perbedaan yang dapat dilihat dari
residu asam-asam amino yang berikatan pada masing-masing ligan
(linagliptin, kuersetin, dan metoksi kuersetin). Hal ini memprediksikan bahwa
senyawa metoksi kuersetin memiliki potensi aktivitas penghambatan
terhadap enzim DPP-4, seperti linagliptin dan kuersetin yang pada penelitian
sebelumnya telah dilaporkan dapat berperan sebagai inhibitor enzim DPP-4
dalam penanganan DM tipe 2, namun mekanisme aksi metoksi kuersetin
belum bisa diketahui secara jelas.
Simulasi docking molekuler dilakukan menggunakan AutoDock
Vina1.1.2 untuk melihat interaksi yang kemungkinan terjadi antara senyawa
uji dengan protein target. Dilakukan preparasi terlebih dahulu terhadap ligan
dan protein target yaitu dengan melakukan protonasi untuk melihat
kemungkinan adanya ikatan hidrogen yang terbentuk. Penentuan koordinat
41
protein target dilakukan dengan mengatur gridbox pada binding site.
Pengukuran nilai Root Mean Square Deviation (RMSD) dilakukan dengan
melihat hasil tumpang tindih ligan copy linagliptin setelah dilakukan docking
terhadap situs pengikatan Enzim DPP-4 dibandingkan dengan struktur tiga
dimensi Linagliptin (native ligand) pada posisi pengikatan yang sama dari
hasil kristalografinya, diperoleh nilai RMSD sebesar 1,1625 Å. Nilai RMSD
menunjukkan perbedaan koordinat antara kedua ligan. Semakin kecil nilai
RMSD, semakin mirip kedua ligan yang ditumpang tindihkan. Nilai RMSD
yang masih dapat diterima yaitu <2 Å (Castro-Alvarez, A., 2017). Pose
tumpang tidih antara linagliptin (native ligand) dengan linagliptin (hasil
docking) diperlihatkan pada Gambar 8.
Gambar 8. Pose tumpang tindih ligan asli (native ligand) linagliptin dengan ligan hasil docking
42
Hasil docking senyawa linagliptin terhadap enzim DPP-4 (PDB ID:
2RGU) dengan Autodock Vina®1.1.2 menghasilkan energi ikatan sebesar -
9,2 kkal/mol. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat adanya interaksi
antara linagliptin dengan enzim DPP-4 yang ditandai adanya ikatan
hidrogen dan ikatan van der Waals dengan residu asam amino pada sisi
pengikatan. Terdapat 1 ikatan hidrogen yaitu pada asam amino Tyr631.
Terdapat ikatan van der Waals dengan residu asam amino Tyr752, Arg125,
Glu205, Gly741, Gly632, dan Ser630. Selain itu juga terdapat interaksi lain
berupa interaksi pi-alkil dengan asam amino Tyr666, Phe375 , Val711 dan
Val656, interaksi pi-sigma dengan Tyr662, serta interaksi pi-pi dengan Tyr547
dan Trp629. Interaksi antara linagliptin dengan enzim DPP-4 diperlihatkan
pada Gambar 9.
Gambar 9. Interaksi antara linagliptin dengan residu enzim DPP-4
43
Hasil docking senyawa kuersetin terhadap enzim DPP-4 (PDB ID:
2RGU) dengan Autodock Vina®1.1.2 menghasilkan energi ikatan sebesar -
7,0 kkal/mol. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat adanya interaksi
antara kuersetin dengan enzim DPP-4 yang ditandai adanya ikatan
hidrogen dan ikatan van der Waals dengan residu asam amino pada sisi
pengikatan. Terdapat 3 ikatan hidrogen yaitu pada asam amino Glu205,
Arg125, dan Tyr662. Terdapat ikatan van der Waals dengan residu asam
amino Asn710, His740, Ser630, Trp629, Glu206, Gly632, dan Tyr 544. Selain itu
juga terdapat interaksi lain berupa interaksi pi-pi dengan Tyr547. Interaksi
antara kuersetin dengan enzim DPP-4 diperlihatkan pada Gambar 10.
Gambar 10. Interaksi antara kuersetin dengan residu enzim DPP-4
44
Hasil docking senyawa metoksi kuersetin terhadap enzim DPP-4
(PDB ID: 2RGU) dengan Autodock Vina®1.1.2 menghasilkan energi ikatan
sebesar -7,1 kkal/mol. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat adanya
interaksi antara metoksi kuersetin dengan enzim DPP-4 yang ditandai
dengan adanya ikatan hidrogen dan ikatan van der Waals dengan residu
asam amino pada sisi pengikatan enzim DPP-4. Terdapat 1 ikatan hidrogen
yaitu pada asam amino Ser630 dengan panjang ikatan 2,52 Å. Panjang
ikatan menunjukkan jarak antara residu asam amino dengan atom dari ligan
yang saling berikatan. Semakin pendek panjang ikatan, menunjukkan
interaksi antar residu yang berikatan semakin kuat dan menghasilkan nilai
energi interaksi tertentu. Terdapat ikatan van der Waals antara metoksi
kuersetin dengan residu asam amino Glu206, Tyr666, Tyr662, Tyr631, His740,
dan Lys554. Selain itu, terdapat interaksi lain berupa interaksi pi-pi antara
cincin A dan C metoksi kuersetin dengan Tyr547 dan interaksi pi-amida
antara cincin B metoksi kuersetin dengan Trp629. Interaksi pi-pi merupakan
interaksi antar dua molekul yang memiliki struktur planar dan memiliki ikatan
pi, seperti interaksi antar senyawa aromatik maupun heterosiklik. Interaksi
antara metoksi kuersetin dengan enzim DPP-4 diperlihatkan pada Gambar
11.
45
Gambar 11. Interaksi antara metoksi kuersetin dengan residu enzim DPP-4
IV.6 Hasil Prediksi Nilai Logaritma Koefisien Partisi (log P)
Tabel 9. Hasil prediksi log P
Senyawa log P
Kuersetin 0,35
Metoksi kuersetin 1,76
Hasil prediksi nilai log P pada struktur senyawa kuersetin dan
metoksi kuersetin menunjukkan perbedaan terkait sifat lipofilisitas kedua
senyawa tersebut (Tabel 9). Sifat kepolaran suatu senyawa juga
ditunjukkan dari prediksi log P. Semakin besar nilai log P menunjukkan
suatu senyawa bersifat lebih non polar atau lipofilik (Siswandono dan
Soekardjo, 2008). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa senyawa
metoksi kuersetin lebih non polar dibanding kuersetin, yang berarti memiliki
46
sifat lipofilisitas yang lebih baik dibanding kuersetin. Sifat lipofilisitas yang
semakin baik menunjukkan absorpsi senyawa semakin baik, dimana salah
satu syarat suatu senyawa dapat mencapai target yaitu harus dapat
diabsorpsi dengan baik (Chairn D, 2012; Kokate, A et al, 2008). Hal ini
mendukung hasil penelitian sebelumnya yang melaporkan bahwa
penyisipan gugus metoksi pada senyawa flavon yang menggantikan gugus
hidroksil akan meningkatkan kestabilan metabolik, dalam hal ini mencakup
aspek absorpsi atau permeabilitas. Hasil prediksi nilai log P senyawa
kuersetin dan metoksi kuersetin diperlihatkan pada Gambar 12.
47
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan
Telah diperoleh senyawa metoksi kuersetin melalui eterifikasi pada
kelima gugus hidroksil kuersetin. Karakterisasi dan elusidasi struktur yang
dilakukan terhadap senyawa tersebut dengan beberapa metode
spektroskopi (UV-VIS, FT-IR, 1H-NMR, dan ESI-MS) menyatakan bahwa
senyawa yang diperoleh adalah metoksi kuersetin dengan yield sebesar
78%. Berdasarkan telaah in silico, metoksi kuersetin diprediksi sebagai
kandidat antidiabetes yang berperan sebagai inhibitor aktivitas enzim
Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4). Senyawa metoksi kuersetin memiliki
prediksi log P lebih besar dibanding kuersetin yang menunjukkan tingkat
lipofilisitas yang tinggi sehingga diprediksi memiliki permeabilitas yang lebih
baik dibanding kuersetin.
V.2 Saran
Dilakukan eksperimen secara in vitro menggunakan senyawa
sintetik metoksi kuersetin terhadap enzim Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4)
untuk membuktikan hasil prediksi berdasarkan hasil telaah in silico yang
telah dilakukan.
48
DAFTAR PUSTAKA
Abraham DJ. (Editor). 2003. Burger’s Medicinal Chemistry and Drug Discovery. 6th ed. John Wiley and Son Inc. USA. p.289-290. Available as PDF file.
Aswad, M., Tjang Ricky Tjandra, and Gemini Alam. 2012. Molecular Docking
Study of α−Glucosidase with Quercetin Derivatives. In: 2nd International Conference for Science and Technology. (proceeding).
Baby B, Antony P, Al Halabi W, Al Homedi Z, Vijayan R. 2016. Structural
Insights Into The Polypharmacological Activity Of Quercetin On Serine/Threonine Kinases. Drug Design, Development And Therapy.10:3109-3123.
Brieger, G., Hachey, D., and Nestrick, T. 1968. Convenient O-Alkylation of
Phenols. Journal of Chemical and Engineering Data. 13(4): 581-582.
Brown, N. (Editor). 2012. Bioisosterism in Medicinal Chemistry. Wiley-VCH Verlag & Co. KGaA, Boschstr. Germany. p. 1-14. Available as PDF file.
Cairns, D. 2012. Essentials of Pharmaceutical Chemistry. 4th ed.
Pharmaceutical Press. London. p.29-39. Available as PDF file.
Castro-Alvarez, A., Costa, A.M. and Vilarrasa, J. 2017. The Performance of Several Docking Programs at Reproducing Protein–Macrolide-Like Crystal Structures. Molecules. 22(1): 136.
Fessenden, R.J. and Joan S. Fessenden. 1982. Organic Chemistry. 2nd ed. Willard Grant Press. Massachusetts. p.328-355, 934-936. Available as PDF file.
Firănescu, A.G., Popa, A., Sandu, M.M., Protasiewicz, D.C., Popa, S.G. and
Moţa, M. 2016. The Global Prevalence and Incidence of Diabetes Mellitus and Pulmonary Tuberculosis. Romanian Journal of Diabetes Nutrition and Metabolic Diseases. 23(3): 319-326.
Gandjar IG dan Rohman A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta. 220-296.
49
G.H. Jeffery, J. Bassett, J. Mendham, and R.C. Denney. 1989. Vogel’s Textbook Of Quantitative Chemical Analysis. 5th ed. John Wiley & Sons, Inc. New York. p.741-745. Available as PDF file.
Ho CS, Lam CW, Chan MH, Cheung RC, Law LK, Lit LC, Ng KF, Suen MW,
Tai HL. 2003. Electrospray Ionisation Mass Spectrometry: Principles and Clinical Applications. The Clinical Biochemist Reviews. 24(1):3-12.
Kroemer, R.T. 2007. Structure-Based Drug Design: Docking and
Scoring. Current Protein and Peptide Science. 8(4): 312-328. Kokate, A., Li, X. and Jasti, B. 2008. Effect of Drug Lipophilicity and
Ionization on Permeability Across the Buccal Mucosa: A Technical Note. AAPS PharmSciTech. 9(2): 501-504.
Laue, T. and Plagens, A. 2005. Named Organic Reactions. 2nd ed. John
Wiley & Sons, Ltd. England. p.291-293. Available as PDF File.
Lakhanpal, P. and Rai, D.K., 2007. Quercetin: a versatile flavonoid. Internet
Journal of Medical Update. 2(2): 22-37. Lu K, Chu J, Wang H, Fu X, Quan D, Ding H, Yao Q, Yu P. 2013.
Regioselective Iodination of Flavonoids By N-Iodosuccinimide Under Neutral Conditions. Tetrahedron Letters. 54(47):6345-6348.
Mabry T.J, Markham KR, and Thomas MB. 1970. The Systematic
Identification of Flavonoid. Springer-Verlag. New York. Massi, A., Bortolini, O., Ragno, D., Bernardi, T., Sacchetti, G., Tacchini, M.
and De Risi, C., 2017. Research Progress in the Modification of Quercetin Leading to Anticancer Agents. Molecules. 22(8): 1-27.
Patani, G.A. and LaVoie, E.J. 1996. Bioisosterism: A Rational Approach in
Drug Design. Chemical reviews. 96(8): 3147-3176. Rubiyanto, Dwiarso. 2016. Teknik Dasar Kromatografi. Deepublish.
Yogyakarta. 23-27. Rubiyanto, Dwiarso. 2017. Metode Kromatografi: Prinsip Dasar, Praktikum,
dan Pendekatan Pembelajaran Kromatografi. Deepublish. Yogyakarta. 26-39.
Siswandono dan Soekardjo, B. 2008. Kimia Medisinal. Airlangga Universy
Press. Surabaya. 259-262.
50
Stuart, Barbara. 2004. Infrared Spectroscopy: Fundamentals and
Applications. John Wiley & Sons, Inc. New York. Available as PDF file. Tapan, Erik. 2005. Kesehatan Keluarga: Penyakit Degeneratif. PT Elex
Media Komputindo. Jakarta. 61-63. Thornberry, N.A. and Gallwitz, B. 2009. Mechanism of Action Of Inhibitors
of Dipeptidyl-Peptidase-4 (DPP-4). Best Practice & Research Clinical Endocrinology & Metabolism. 23(4): 479-486.
Wade, L.G. 2017. Ether. (Online).
(https://www.britannica.com/science/ether-chemical-compound)
Walle, T. 2009. Methylation of Dietary Flavones Increases Their Metabolic
Stability and Chemopreventive Effects. International Journal of Molecular Sciences. 10(11): 5002-5019.
51
LAMPIRAN 1 SKEMA KERJA
• Sintesis dan Karakterisasi Metoksi Kuersetin
Pengadukan kontinyu 10 jam, refluks Monitoring KLT (kloroform:metanol (20:1)
Diambil lapisan organik Dicuci dengan air suling (3x10 mL)
Disaring, dikeringkan
Purifikasi (kromatografi kolom, kloroform:metanol (20:1))
Senyawa murni
Penentuan bobot
molekul dengan ESI-MS
Penentuan jumlah
hidrogen dengan 1H-NMR
Kuersetin (305 mg; 1 mmol) + dimetilformamida (5 mL) + kalium karbonat (828 mg; 6 mmol) + metil iodida (994 mg; 7 mmol)
Diklorometan (20 mL) + asam klorida (0,1 M; 10 mL)
Lapisan organik + magnesium sulfat
Karakterisasi
Penentuan panjang
gelombang maksimum
dengan spektrofotometri
UV-Vis
Penentuan gugus fungsi
dengan FT-IR
Interpretasi data
Kesimpulan
52
• Prediksi Aktivitas Senyawa
Pengambilan data
Pemodelan molekul
Docking molekul pada protein target
Validasi dan Kalkulasi nilai scoring
Analisis data
Pembahasan
Kesimpulan
53
LAMPIRAN 2 GAMBAR PENELITIAN
Gambar 3. Profil KLT (UV 254) Gambar 3. Profil KLT (UV 366)
Keterangan :
Q = Kuersetin (starting material)
MQ = Metoksi kuersetin (produk sintesis)
Eluen = kloroform:metanol (20:1)
54
Gambar 13. Proses sintesis
(Refluks)
Gambar 14. Monitoring reaksi (KLT)
Gambar 15. Purifikasi (Kromatografi
Kolom)
Gambar 16. Penguapan pelarut
(Rotary evaporator)
55
Gambar 17.Spektrofotometer UV-Vis Gambar 18. Spektrofotometer FT-IR
Gambar 19. Spektrometer Nuclear
Magnetic Resonance (NMR)
Gambar 20. Spektrometer
Electrospray Ionization Mass (ESI-
MS)
56
LAMPIRAN 3
SPEKTRA DAN PREDIKSI LOG P
• Spektra Spektrofotometri UV
(a)
(b)
Gambar 4. Spektra Spektrofotometri UV-Vis (a) Kuersetin; (b) Metoksi kuersetin)
57
• Spektra FTIR
(a)
(b)
Gambar 5. Spektra FT-IR (a) Kuersetin; (b) Metoksi kuersetin)
O-H
C-H Aromatik
C=O
C-H Aromatik
C=O
C-O-C
-CH3
58
• Spektra 1H-NMR
(a)
(b)
Gambar 6. Spektra 1H-NMR (a) Kuersetin; (b) Metoksi kuersetin
59
• Spektra ESI-MS
Gambar 7. Spektra ESI-MS Metoksi kuersetin
M+H+
M+Na+
2M+Na+
C20H20O7 Exact mass = 372,120745 g/mol [M] Molecular weight = 372,373 g/mol
60
• Prediksi log P
(a)
(b)
Gambar 12. Prediksi log P (a) kuersetin; (b) metoksi kuersetin
O
OH
OH
OH
OOH
HOBoiling Point: 1135,37 [K]Melting Point: 970,62 [K]
Gibbs Energy: -606,34 [kJ/mol]Log P: 0,35
O
O
O
O
OO
O
CH3
H3C
CH3
CH3
CH3
Boiling Point: 967,13 [K]Melting Point: 680,50 [K]
Gibbs Energy: -372,46 [kJ/mol]Log P: 1,76
61
LAMPIRAN 4
MEKANISME REAKSI
Kuersetin Ion fenoksida
Ion fenoksida Metoksi kuersetin
O
O
O
O
O
O
O O
O
O
O
O
O
O
CH3
CH3
CH3
CH3
H3CCH3I
DMF
62
LAMPIRAN 5
PERHITUNGAN
Perhitungan yield senyawa metoksi kuersetin
Bobot kuersetin (starting material) = 305 mg
Massa molekul relatif (Mr) kuersetin = 302,238 g/mol
mmol kuersetin = Bobot kuersetin
Mr kuersetin
= 305
302,238
= 1 mmol
1 mmol kuersetin setara dengan 1 mmol metoksi kuersetin
Massa molekul relatif (Mr) metoksi kuersetin = 372,373 g/mol
Theoretical yield metoksi kuersetin = Mr metoksi kuersetin x mmol metoksi kuersetin
= 372,373 x 1
= 372,373 mg (1 mmol)
Actual yield metoksi kuersetin = 290,45 mg (0,78 mmol)
Yield metoksi kuersetin = Actual yield
Theoretical yield𝑥100%
= 0,78
1x100%
= 78 %
63