i
Sintesis Bahan Superkonduktor fase Nd-Ba-Cu-O fase 123 dengan Bahan Dasar Nd2O3, Ba(OH)2.8H2O dan CuO
DRS. MADE SUMADIYASA, M. SI.
NIP. 196401161992031002
JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2014
Penelitian Mandiri
ii
iii
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL…………………………………………………………………………….…i
HALAMAN PENGESAHAN
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 2
1.3 Batasan Masalah ................................................................................. 2
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................ 2
1.5 Manfaat ............................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. STRUKTUR KRISTAL ……………………………………………… 4
2.1.1 Stuktur YBCO-123………………………………………………….. 5
2.1.2. Superkonduktor Nd-Ba-Cu-O fase Nd-123 ………………………... 7
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Sistematika Penelitiab ………………………………………………… 9
3.1.1. Bahan dan Peralatan ………………………………………………. 9
3.1.2 Penimbangan Bahan Awal …………………………………………. 10
3.2. Proses Sintesis dan Karakterisasi ……………………………………. 11
3.2..1 Sinteseis ……………………………………………………………. 12
3.2.2 Karakterisasi ……………………………………………………….. 13
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Karakterisasi XRD (X-ray difraction) Nd1Ba2Cu3O7-δ ………… 18
4.2 Pengukuran Suhu Kritis ………………………………………………. 24
BAB V KESIMPULAN ………………………………………………………... 26
DAFTARPUSTAKA…………………………………………………………… 27
4
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Bahan yang dapat bersifat superkonduktif pada suhu di atas 77 K sering disebut
sebagai superkonduktor bersuhu tinggi (HTS = high temperature superconductor). Penemuah
superkonduktor bersuhu tinggi dawali pada tahun 1986, dimana J. G. Bednonz dan K. A.
Muller menemukan bahan dari campuran sistem La-Ba-Cu-O yang superkonduktif pada suhu
sekitar 33 K. Selanjutnya, K. Wu dan P. Chu (1987) berhasil membuat bahan superkonduktor
keramik dari campuran Y-Ba-Cu-O (sistem YBCO) dengan rumusan stoikiometri
Y1Ba2Cu3O7-δ yang ber-Tc ~ 92 K. Superkonduktor tersebut dapat bersifat Sebagai
superkonduktor pada suhu 77 K, yaitu pada suhu didih nitrogen cair.
Bahan superkonduktor yang sejenis dengan sistem YBCO, adalah sistem NBCO
(Nd-Ba-Cu-O) dengan rumusan stoikiometri Nd1Ba2Cu3O7-δ (fase NBCO-123).
Superkonduktor ini telah dapat disintesis dengan suhu kritis, Tc = 96 K oleh S.I. Yoo, (1994),
dan dengan Tc = 98,7 K oleh P. Yossefov (1997). Tampak superkonduktor jenis NBCO
memiliki Tc lebih tinggi dari pada sfase YBCO-123. Hal ini menyebabkan peneliti sangat
berminat meneliti lebih lanjut baik dalam kaitannya dengan proses pembentukan (sintesis)
fase/kristal tunggalnya, peningkatan unjuk kerjanya (performance) maupun mempelajari
sifat-sifatnya untuk berbagai aplikasinya..
Dalam pembuatan bahan superkonduktor baik sistem YBCO maupun NBCO
biasanya bila disintesis dengan reaksi padatan sumber kation Ba-nya adalah dari BaCO3.
Oleh karena itu sintesis selalu didahului dengan proses kalsinasi pada suhu tertentu untuk
melepaskan atau menguapkan karbonatnya. Apakah tidak ada alternatif lain sebagai sumber
Ba yang bukan senyawa karbonat, misalnya dari Ba(OH)2.8H2O. Dilihat dari harganya,
senyawa dalam bentuk serbuk Ba(OH)2.8H2O 99,995% adalah $ 66,00 per 25 gram,
sedangkan 25 gram BaCO3 99,999% adalah $ 75,50 (Aldrich, 1997). Tampak harga BaCO3
hampir 14% lebih mahal. Dengan demikian bila superkonduktor YBCO maupun NBCO
dapat dibuat (secara konvensional) dengan sumber Ba dari Ba(OH)2.8H2O akan lebih murah
hampir 14% dibandingkan bila menggunakan BaCO3.
Bahan superkonduktor yang dibuat secara konvensional dengan reaksi padatan
pencampuran pada umumnya dilakukan dengan penggerusan di dalam mortar dengan pastel.
Pencampuran dilakukan dalam bentuk serbuk kering secara manual dengan waktu tertentu
sampai campuran rata (homogen) antara 6 – 10 jam. Ini tentu saja sangat melelahkan. Untuk
2
itu diperlukan metoda pencampuran yang mudah sedemikian rupa sehingga campuran dapat
menjadi homogen. Dalam hubungannya dengan sintesis superkonduktor sistem BPSCCO,
pencampuran dengan media alkohol telah berhasil dilakukan dalam pembuatan fase
(Bi,Pb)2Sr2Ca1Cu2Oδ (Çelebi dkk, 2002).
1.2 RUMUSAN MASALAH
Masalah yang akan diteliti di dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai :
1. Bagaimana pengaruh penggantian bahan BaCO3 dengan Ba(OH)2.8H2O terhadap
pembentukan fase Nd1Ba2Cu3O7-δ
2. Bagaimana pengaruh media alkohol pada pencampuran awal pada pembentukan fase
Nd1Ba2Cu3O7-δ.
1.3 BATASAN MASALAH
Sesuai dengan keterbatasan dana, peralatan sintesis dan peralatan karakterisasi serta
memperhatikan rumusan masalah di atas, maka penelitian yang akan dilakukan terbatas pada:
1. Sampel dibuat dari Nd2O3, BaCO3 dan CuO tanpa media alkohol.
2. Sampel dibuat dari Nd2O3, Ba(OH)2.8H2O dan CuO
a. Tanpa media alkohol
b. Dengan media alkohol
3. Karakterisasi terbatas pada:
a. Pengamatan efek Meissner
b. Pengukuran XRD
c. Pengukuran Tc
1.4 . TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui pengaruh penggantian bahan Ba(OH)2.8H2O) sebagai pengganti (BaCO3)
dalam pembentukan superkonduktor fase Nd1Ba2Cu3O7-δ.
2. Mendapatkan sinstesis yang efektif untuk pembuatan superkonduktor fase
Nd1Ba2Cu3O7-δ dengan bahan dasar Ba(OH)2.8H2O)
3. Mendapatkan superkonduktor fase Nd1Ba2Cu3O7-δ dari bahan yang lebih murah
melalui penggantian bahan Barium karbonat BaCO3 dengan Ba(OH)2.8H2O.
3
1.5 MANFAAT
Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh informasi tentang proses pembuatan
bahan superkonduktor fase Nd1Ba2Cu3O7-δ baik dari aspek bahan awal maupun sintesisnya.
Bagi peneliti diperoleh pengalaman melakukan penelitian baik dari aspek sintesis maupun
karakterisasi sebagai dasar lelakukan penelitian-penelitian lebih lanjut.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. STRUKTUR KRISTAL
2.1 .1 Stuktur Y-Ba-Cu-O fase-123
Salah satu bahan superkonduktor bersuhu tinggi (HTS = Hight Temperature
Superconductor) adalah superkonduktor sistem Y-Ba-Cu-O (YBCO), dan yang paling
dikenal adalah fase Y1Ba2Cu3O7-δ. Superkonduktor ini dapat memiliki Tc ~ 92 K (diatas titik
didih nitrogen cair, 77 K) sering disingkat sebagai “YBCO-123”.
Struktur satu satuan sel (unit cell) dari superkonduktor cuprat seperti superkonduktor
YBCO-123 dapat digambarkan sebagai tumpukan dari struktur perovskite. Struktur
perovskite memiliki simetri kubus dengan rumusan ABX3 (A. Kumar, 2008), Gambar 2.4.
Kubus tersusun dari tiga atom yang berbeda A, B dan X dengan perbandingan 1:1:3. Atom A
dan B adalah kation logam (positif) dan atom X adalah anion bukan-logam (negatif). Kation
A memiliki ukuran atom yang paling besar berada pada pusat kubus, kation B menempati
kedelapan sudut kubus dan anion X terletak pada titik tengah setiap rusuk kubus, seperti
ditunjukkan pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Struktur ideal perovskite ABX3 (A. Kumar, 2008, Sang Il Kim, 2007)
Satu satuan sel Y1Ba2Cu3O7-δ terdiri dari tiga tumpukan satuan sel perovskite dengan
kandungan oksigen yang tidak lengkap (pseudocubic perovskite) sebagaimana diperlihatkan
pada Gambar 2.4b (Sang Il Kim, 2007). Dalam satu satuan sel (unit cell) perovskite lokasi B
ditempati oleh kation logam Cu dikelilingi oleh enam ion oksigen yang menempati posisi X.
Posisi kation logam A pada pusatnya ditempati oleh atom yttrium Y atau Ba. Atom Ba
berada pada bagian atas dan bawah satuan sel, sedangkan Y berada pada bagian tengahnya.
5
Dengan demikian Y dan Ba sepanjang sumbu c bertumpuk dalam urutan Ba-Y-Ba. Pada
perbatasan terdapat bidang segi empat planar CuO4. Tegak lurus dengan bidang CuO2 adalah
rantai CuO4. Atom Y berada di antara bidang CuO2 dan atom Ba berada di antara rantai CuO4
di dalam struktur lapisan : (CuO)(BaO)(CuO2)(Y)(CuO2)(BaO)(CuO).
Gambar 2.5. Struktur YBa2Cu3O7 di mana dalam satu satuan selnya terdiri atas dua lapisan rantai bidang Cu-O dan dua bidang Cu-O berkoordinasi pentahedral dengan anion oksigen. Atom Cu(1) yang terhubung dalam pita di mana terjadi rantai O(1)-Cu(1)-O(1). Tegak lurus arah tersebut Cu(l) memiliki dua tempat oksigen yang kosong, menghasilkan struktur yang lebih ortorombik dari pada tetragonal.
Struktur kristal superkonduktor YBCO-123 dapat dalam simetri tetragonal atau
orthorombik, tergantung pada kandungan oksigennya, sesuai dengan rumusan umum
superkonduktor YBCO-123, yaitu Y1Ba2Cu3O7-δ dimana 0 ≤ δ ≤ 1. Besar parameter kisi
dapat berubah tergantung pada nilai-δ. Untuk nilai δ ≥ 0,6 struktur kisinya adalah tetragonal.
Untuk nilai δ < 0,6 struktur kisi adalah orthorhombik, dan bahan dalam keadaan
superkonduktif pada suhu >77 K. Dalam komposisi Y1Ba2Cu3O6 (δ = 1), struktur kisinya
adalah tetragonal dimana tempat O(1) pada lapisan Cu (1) adalah kosong sehingga tidak ada
rantai oksigen.
6
Dalam arah sumbu-c, blok bidang CuO2 disebut sebagai blok superkonduktif
(superconducting blocks). Sedangkan blok di antaranya adalah isolator dan berperan sebagai
penampung muatan (charge reservoirs). Bidang CuO2 adalah dalam keadaan mengkerut
sehingga posisi atom Cu tidak benar-benar sebidang dengan atom oksigen. Sudut kritis
Cu(2)-O(3A)/O(3B)-Cu(2) adalah ≈ 167,30 (Ghorbani, S. R., 2002)
Karena perbedaan struktur tersebut maka pola puncak-puncak (peaks) hasil XRD-nya
sedikit berbeda, seperti diperlihatkan pada Gambar 2.6. Pada saat struktur orthorombik
tampak terjadi pemecahan puncak-puncak (peaks) pada sudut 2θ = 27.6, 32.5, 47. Pucak-
puncak tersebut juga mengalami redidtribusi intensitas.
Gambar 2.6 Pola XRD fase tetragonal dan orthorhombik fase Y-123
(Aravinda M. 1987)
2.1.2. Superkonduktor Nd-Ba-Cu-O fase Nd-123
Superkonduktor sejenis dengan sistem YBCO-123 adalah sistem NBCO (Nd-Ba-Cu-
O) dengan rumusan stoikiometri Nd1Ba2Cu3O7-δ yang mana sering disingkat sebagai
“NBCO-123”.. Superkonduktor sistem NBCO memiliki Tc yang lebih tinggi dari pada
sistem YBCO-123. Sistem NBCO telah dapat disintesis dengan metode reaksi padatan
dengan formula Nd1 + x Ba2-xCu3O7-δ. Dapat juga disintesis dengan menggunakan metode sol-
gel (Schoofs, B., 2007), dan dengan metode pelelehan dapat menunjukkan Tc ~ 98,7 K
(Yossefov, P., 1997). Karena jari-jari ionik dari Ba2+ lebih besar dibandingkan dengan ion
7
neodymium, maka Nd dapat menggantikan posisi Ba (substitusi Nd+3 untuk Ba2+). Kelarutan
Nd3+ di tempat Ba2+ memberikan efek bagi sistem campuran NBCO : mempengaruhi sifat-
sifat struktur kristalnya, modus pertumbuhannya dan sifat superkonduktifitasnya.
Dari strukturnya, superkonduktor NBCO-123 memiliki struktur serupa dengan
struktur YBCO-123 sebagaimana telah dibicarakan di atas, yaitu dapat dalam struktur
orthorombik atau tetragonal, tergantung pada kandungan oksigennya. Strukturnya terdiri atas
tiga satuan struktur perovskite. Seperti tampak pada Gambar 2.7, dua bidang CuO2 yang
dipisahkan oleh atom Nd disebut sebagai blok aktif berada pada bagian tengah satu satuan sel.
Atom Cu pada bagian atas dan bawahnya membentuk rantai dengan oksigen yang berperan
sebagai reservoir muatan (charge reservoir).
(a)
(b)
Gambar 2.7 Struktur kristal NdBa2Cu3O7−δ.: (a) Struktur NdBa2Cu3O6;
(b) Struktur NdBa2Cu3O7(M. Z. Balbag,
http://www.ch.ic.ac.uk/rzepa/mim/century/html/ybco_text.htm)
Ketergantungan sifat dan struktur NBCO-123 (Nd1+xBa2-xCu3O7-δ) dari gangguan
kation penyusunnya telah dipelajari oleh banyak kelompok peneliti (Kramer, J., 1994,
Giovannelli, F., 2004). Struktur Nd1+xBa2-xCu3O7-δ adalah ortorombik jika x adalah
mendekati 0. Ketika nilai x meningkat, sekitar x = 0,2, struktur Nd1 + x Ba2-xCu3O7-δ menjadi
tetragonal. Suhu transisi, Tc adalah maksimum pada x sekitar x = 0, dan menurun dengan
meningkatnya doping neodymium. Superkonduktivitas menjadi hilang ketika x adalah lebih
besar dari pada 0,4.
8
Pergantian Nd3+ untuk Ba2+ yang berlebihan mengurangi konsentrasi hole dan
menurunkan Tc material. Hubungan Tc dengan konsentrasi hole adalah dalam bentuk
persamaan
Tc =Tcmax(1− 82.5(p − 0.16)2) (2.1)
dengan p = konsentrasi hole per atom Cu pada bidang CuO2 (Ghorbani, S.R., 2002). Ini
memperlihatkan bahwa ada hubungan antara konsentrasi hole dan sifat-sifat superkonduktor.
Dari hasil pengukuran dan analisis difraksi sinar-X dikombinasikan dengan analisis Rietveld
struktur fase NdBa2Cu3O7-δ adalah isomorphik dengan simetri orthorhombik YBa2Cu3O7-δ
yang mana adalah superkonduktor ber-Tc tinggi. Dengan bertambahnya x orthorhombik
terdistorsi menjadi tetragonal pada x = 0,2 dimana isomorphik dengan simetri tetragonal dari
YBa2Cu3O7-δ
9
BAB III
METODE PENELITIAN
Sebagaimana dengan rumuusan masalah dalam penelitian ini, maka pada penelitian
ini akan dibuat fase Nd1Ba2Cu3O7-δ dari bahan awal Nd2O3, Ba(OH)2.8H2O (sebagai
pengganti karbonat (BaCO3) dan CuO. Sintesis akan dilakukan dengan metoda reaksi padatan
melalui pencampuran awal dengan media alkohol. Kalsinasi akan dilakukan pada 900oC
selama 10 jam dan sintering pada 910oC (Hakuraku dkk, 1999) selama 3 x 15 jam di dalam
lingkungan atmosfer udara di dalam tungku. Secara lebih rinci diberikan dalam uraian
berikut.
3.1 SISTEMATIKA PENELITIAN
3.1.2. Bahan dan Peralatan
Langkah-langkah dan peralatan yang digunakan dalam sintesis superkonduktor
(NBCO-123) dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
A. Alat-alat yang diperlukan, meliputi:
1. Neraca analitik (penimbangan bahan baku)
2. Oven/pamanas Furnace Nabertherm yang dilengkapi dengan kontrol suhu
3. Gelas beker
4. Hot-plate magnetic stirer
5. Mortar dan pastel (alat untuk menggerus sampel)
6. Krusibel (tempat sampel ketika dipanaskan)
7. Pencetak pelet
8. Aluminium foil (pembungkus untuk melindungi bahan baku)
9. Alat pres hidrolik (alat penekan pembuatan pelet)
10. Tisu (membersihkan alat yang digunakan)
11. Termos flask (tempat nitrogen cair saat dilakukan karakterisasi)
12. Peralatan demonstrasi efek Meissner
13. Peralatan untuk mengukur Tc
B. Bahan yang digunakan
1. Nd2O3
2. Ba(OH)2.H2O
3. BaCO3
4. CuO
10
5. Alkohol methanol (CH3OH)
6. Nitrogen cair
7. HCl
C. Pembuatan beberapa sampel Nd1Ba2Cu3O7-δ
D. Karakterisasi sampel
Ø Uji efek Meissner
Untuk mengetahui apakah sampel telah superkonduktif pada suhu di atas 77K.
Ø Difraksi sinar-X (XRD) di Teknik Sipil Unud (ITS/UNM)
Untuk mengetahui apakah telah terbentuk fase Nd1Ba2Cu3O7-δ dan mengestimasi
prosentase fase tersebut yang terbentuk melalui perhitungan fraksi volume.
Ø Uji suhu kritis (Tc)
Untuk mengetahui pada suhu berapa ( diatas 77 K) sampel mulai berubah (bertransisi)
dari keadaan normal menjadi bersifat superkonduktif atau sebaliknya.
3.1.2 Penimbangan Bahan Awal
Superkonduktor dengan rumus kimia Nd1Ba2Cu3O7-δ (fase NBCO-123) dibat dari
bahan awal serbuk Nd2O3, Ba(OH)2.8H2O, BaCO3 dan CuO. Untuk membandingkan akan
dibuat sampel berbahan dasar Ba(OH)2.8H2O, dan BaCO3. Untuk smpel dari barium karbonat
BaCO3 tanpa media pelarut alcohol. Perbandingan stokiometrinya sebagai berikut ini:
2732133221 232 COOCuBaNdCuOBaCOONd +→++
Berdasarkan stoikiometri di atas diperoleh perbandingan mol Nd : Ba : Cu = 1 : 4 : 6,
sehingga untuk membuat 1 mol Nd1Ba2Cu3O7-δ diperlukan:
½ mol Nd2O3 = 168,2385 gr = 20,9889 %
2 mol BaCO3 = 394,6814 gr = 49,2393 %
3 mol CuO = 238,6377 gr = 29,7717 %
Sampel A dibuat dengan berat 4 gram, maka bahan yang ditimbang adalah
Nd2O3 = 20,9889 % x 4 gr = 0,8396 gr
BaCO3 = 49,2393 % x 4 gr = 1,4772 gr
CuO = 29,7717 % x 4 gr = 1,1909 gr
A. Sampel dari barium hidroxida Ba(OH)2.8H2O tanpa media pelarut alkohol
Perbandingan stokiometrinya sebagai berikut ini:
OHOCuBaNdCuOOHOHBaONd 27321223221 1838.)(2 +→++
11
Berdasarkan stoikiometri di atas diperoleh perbandingan mol Nd : Ba : Cu, = 1 : 4 : 6,
sehingga untuk membuat 1 mol Nd1Ba2Cu3O7-δ diperlukan:
½ mol Nd2O3 = 168,2385 gr = 16,2111 %
2 mol Ba(OH)2.8H2O = 630,9244 gr = 60,7944 %
3 mol CuO = 238,6377 gr = 22,9946 %
Sampel B dibuat dengan berat 4 gram, maka bahan yang ditimbang adalah
Nd2O3 = 16,2111 % x 4 gr = 0,6484 gr
Ba(OH)2.8H2O = 60,7944 % x 4 gr = 2,4318 gr
CuO = 22,9946 % x 4 gr = 0,9198 gr
B. Sampel dari barium hidroxida dengan media pencampur alkohol
Perbandingan stokiometrinya sebagai berikut ini: OHOCuBaNdalkoholCuOOHOHBaONd 2732122322
1 1838.)(2 +→+++ Berdasarkan stoikiometri di atas diperoleh perbandingan mol Nd : Ba : Cu = 1 : 4 : 6,
sehingga untuk membuat 1 mol Nd1Ba2Cu3O7-δ diperlukan:
½ mol Nd2O3 = 168,2385 gr = 16,2111 %
2 mol Ba(OH)2.8H2O = 630,9244 gr = 60,7944 %
3 mol CuO = 238,6377 gr = 22,9946 %
Dibuat sampel C1 dengan berat 4 gram untuk sampel tanpa kalsinasi dan sampel C2 dengan
berat 4 gram untuk sampel dengan kalsinasi. Untuk itu dibuat campuran dengan berat 8 gram,
sehingga bahan yang ditimbang :
Nd2O3 = 16,2111 % x 8 gr = 1,2968 gr
Ba(OH)2.8H2O = 60,7944 % x 8 gr = 4,8636 gr
CuO = 22,9946 % x 8 gr = 1,8396 gr
3.2. Proses Sintesis dan Karakterisasi
3.2..1 Sinteseis
Skema proses sintesis superkonduktor Nd1Ba2Cu3O7-δ di dalam penelitian ini
sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 3.1. Sintesis supekonduktor Nd1Ba2Cu3O7-δ adalah
menggunakan metode reaksi padatan dengan rute pencampuran awal dengan media alkohol
langkah-langkahnya sebagai berikut :
1. Mempersiapkan bahan awal (serbuk) Nd2O3, BaCO3, Ba(OH)2.8H2O, CuO dan
larutan alkohol sesuai dengan komposisi sebagimana yang telah dijelaskan dalam sub
bab 3.2.1.
12
2. Penimbangan (serbuk) Nd2O3, BaCO3, Ba(OH)2.8H2O dan CuO menggunakan neraca
analitik dengan ketelitian 4 angka dibelakang koma.
3. Sampel yang dibuat sebanyak 4 sampel:
A. Sampel dari BaCO3 tanpa media pencampur alkohol
Pencampuran dilakukan di dalam mortar dengan pastel : serbuk digerus dengan
pastel selama sekitar 6 jam.
s
Gambar 3.1 Digram Alir Sintesis Supekonduktor Sistem Nd-Ba-Cu-O fase123
Penimbangan bahan (serbuk) Nd2O3, Ba(OH)2.8H2O,
BaCO3 dan CuO
Pencampuran dengan penggerusan di dalam mortar
dengan pastel (selama ±6 jam)
Kalsinasi (Tk = 900oC, tk = 20
Pembuatan Pelet (diameter 1,5 cm)
Sintering Ts = 910oC, ts = 15 jam dalam atmosfer udara di dalam
tungku
Pendinginan sesuai dengan udara di dalam tungku
Karakterisasi : Uji efek Meissner, XRD, Tc
Penimbangan bahan (serbuk) Nd2O3, Ba(OH)2.8H2O dan CuO
Pencampuran dengan alkohol diaduk dengan magnetic stirer
(selama 24 jam)
Penguapan Tuap=1200C, tuap= ±10 jam
sehingga terbentuk kerak kering
Penggerusan selama ±4 jam
Campuran dibagi 2 : C1 dan C2
Penggerusan selama ±4 jam C2
C1
2 kali
13
B. Sampel dari Ba(OH)2.8H2O tanpa media pencampur alcohol
Pencampuran dilakukan di dalam mortar dengan pastel : serbuk digerus
dengan pastel selama sekitar 6 jam.
C. Sampel dari Ba(OH)2.8H2O pencampuran dengan media alkohol
D. Semua bahan awal dimasukkan ke dalam gelas beaker yang ditempatkan di
atas hot-plate magnetic stirer. Kemudian ditambahkan alkohol sedikit demi
sedikit sambil dilakukan pengadukan secara megnetik sampai diperoleh
campuran/suspense yang homogen (sekitar 24 jam).
E. Setelah 24 jam dilakukan dilakukan penguapan pada suhu 120oC sampai
terbentuk bongkahan kerak kering.
F. Seluruh bongkahan kerak diambil dari gelas kemudian digerus di dalam
mortar dengan pastel selama 4 jam sehingga diperoleh campuran yang halus
G. Sampel kemudian dibagi menjadi 2 bagian yang sama, sebagai sampel C1 dan
C2.
H. Sampel A, B dan C1 dikalsinasi pada suhu 900oC pada tungku dengan
atmosfer udara selama10 jam.
I. Sampel didinginkan sesuai dengan pendinginan udara di dalam tungku.
J. Sampel selanjutnya digerus kembali di dalam mortar dengan pastel selama 4
jam, sehingga diperoleh campuran yang sangat halus.
K. Hasil penggerusan : sampel A, B dan C1 dan sampel C2 selanjutnya dicetak
menjadi pellet. Ini dilakukan dengan memasukan sampel ke dalam cetakan
berdiameter 1,5 cm kemudian menekannya dengan menggunakan alat pres
hidrolik pada tekanan sekitar 400 kPa.
L. Pelet kemudian disintering di dalam tungku pada suhu sintering 910oC selama
15 jam dengan atmosfir udara di dalam tungku.
M. Sampel didinginkan sesuai dengan pendinginan udara di dalam tungku
N. Langkah F sampai M diulang sebanyak 2 kali, dan sampel siap untuk
dikarakterisasi.
3.2.2 Karakterisasi
A. Pengukuran XRD (X-Ray Difraction) :
Pengukuran dilakukan pada sudut 2θ = 40 – 600 sebagaimana lazim dilakukan dalam
pengukuran XRD. Ini ditujukan untuk mendapatkan pola difraksi (spektrum) untuk dianalisis
sehingga dapat diketahui telah terbentuk atau tidaknya kristal fase NBCO-123, dan fase lain
14
sebagai pengotornya. Untuk itu dilakukan perbandingan antara pola difraksi hasil pengukuran
dengan referensi Gambar 2.6 dan/atau hasil refinemen
B. Refinemen
Hasil difraksi sinar-x selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan program
Rietica (refinement). Refinement dilakukan dengan analisis Rietveld yangmana merupakan
sebuah metode pencocokan tak linier kurva pola difraksi terhitung (melalui sebuah model)
dengan pola difraksi terukur yang berdasarkan pada data struktur kristal dengan
menggunakan metode kuadrat terkecil (least square).
Analisa Rietveld tidak lain adalah problema optimasi fungsi non-linier dengan
.........(constrains) atau dalam bahasa matematik dinyatakan dengan, 2)]()([)( cyoywxf iii −= ∑ (4.1)
Tanda Σ menunjukan penjumlahan yang dilakukan disemua titik pada pola difraksi
dari titik ke-i hingga ke-N. Sedangkan )(/1 oyw ii = adalah faktor terbobot (weighting
factor), sedangkan )(oy i dan )(cy i berturut-turut adalah intensitas terukur pada titik data ke-
i dan intensitas yang terhitung.
Ukuran yang menunjukan derajat kesesuaian antara profil difraksi hasil perhitungan
dengan profil difraksi hasil pengamatan dinyatakan dengan faktor profil (Rp), faktor profil
terbobot (Rwp), indeks goodness-of-fit (GoF) dan faktor Bragg (RB), yang didefinisikan
sebagai berikut:
)(|)()(|
oycyoyR
i
iip Σ
−Σ= (4.2)
2/12
2/12
)]([)]()([
oywcyoywR
ii
iiiwp Σ
−Σ= (4.3)
−
=∑
iii yw
PNR 2exp (4.4)
=
expRR
GoF wp (4.5)
∑∑ −
=
ii
iici
B I
IIR
|| (4.6)
15
Tanda N adalah jumlah titik data, P adalah jumlah parameter yang terlibat dalam
sebuah penghalusan, Ii dan Iic adalah intensitas-intensitas terpadu terukur dan terhitung untuk
sebuah faktor Bragg.. Nilai GoF (Goodnes fitting) yang terkecil menunjukan baiknya
persesuaian antara pola difraksi hasil pengamatan dan pola difraksi hasil perhitungan.
Dari difraktoram (spekrum difraksi) yang telah ditandai sebagai fase NBCO-123 dan
impuritas sesuai dengan Tabel Match dilakukan perhitungan fraksi volume bagi fase NBCO-
123 yang terbentuk dengan persamaan
%100123 xpuncakseluruhIntensitas
NBCOfaseIntensitasFV −= (3.1)
Dengan perhitungan ini dapat diketahui berapa besar tingkat fraksi fase NBCO-123 yang
terbentuk di dalam sampel, apakah sampel berfase tunggal, yaitu FV~100%, atau sampel
NBCO-123 bercampur dengan fase lain FV < ~100 (polikristal). Pengukuran XRD akan
dilakukan di Teknik Sipil Unud atau ITS Surabaya.
C. Pengukuran Suhu Kritis
Dari pengertian suhu kritis, yaitu suhu di mana bahan tepat berubah dari bahan
bersifat resistif menjadi bersifat superkonduktif bila dilakukan pengukuran resistifitas dari
suhu tinggi menuju suhu rendah. Atau sebaiknya, suhu kritis adalah suhu di mana bahan
tepat mulai berubah dari bersifat superkonduktif menjadi bahan yang resistif, bila dilakukan
pengukuran resistifitas dari suhu rendah ke suhu tinggi. Jadi dalam pengukuran Tc, yang
dilakukan adalah pengukuran resistifitas sebagai fungsi suhu, artinya pada suhu berapa
resistifitas bahan menjadi nol bila dilakukan pengukuran resistifitas dari suhu tinggi ke suhu
rendah.
Dengan memperhatikan hukum Ohm, hubungan antara resistansi dan voltase pada
arus tertentu (tetap) adalah dirumuskan dengan persamaan
RiV ×= (3.2)
dengan V = votase, i = arus, dan R resistansi dari bahan pada saat dilakukan pengukuran.
Oleh karena itu pada dasarnya resistansi R suatu bahan pada kondisi tertentu dapat diukur
melalui pengukuran voltase V, dengan memberikan arus I tetap pada bahan. Ini pada
prakteknya dapat dilakukan dengan menggunakan metode empat titik elektroda (four point-
probes) dc linier (Yamashita, M., 1987). Untuk sampel berbentuk bulk ini didasarkan pada
konfigurasi sebagaimana diberikan pada Gambar 3.2.
16
Gambar 3.2 Konfigurasi Empat Titik Elektroda Linier
Bahan superkonduktor “bulk” atau lapisan tipis, melalui elektroda A dan D diberi arus DC
konstan, I. Voltase V diukur melalui pasangan elektroda B dan C. Dengan menggunakan
parsamaan 3.1, bila tebal bahan superkonduktor adalah t dan jarak antara elektroda adalah
sama sebesar d, maka besar resistivitas bahan superkonduktor pada suhu tertentu dapat
dihitung dengan menggunakan persamanan, tIVF
AD
BCc=ρ Ohm-cm (3.3)
dengan Fc tak berdimensi,
DCBACDAB
DBCABDACc dddd
ddddF ln211
π=− (3.4)
Termos
Sampel Sensor Suhu
Bantalan Sampel
Gambar 3.3 Skema Rangkaian Alat Ukur Tc
Sumber Arus DC
Indikator Suhu Mikrovoltmeter
17
Memalui perhitungan dengan menggunakan persamaan 3.2 dengan melakukan
pengukuran voltase pada berbagai suhu maka akan diperoleh resistifitas sebagai fungsi suhu.
Skema rangkaian sebagaimana tampak pada Gambar 3.3. Elektroda dari kawat tembaga
diletakkan pada permukaan sampel berjajar dengan jarak yang sama dari kiri ke kanan, yang
secara berurutan disebut sebagai elektroda A, B, C, D (Gambar 3.2). Elektroda dikontakkan
pada sampel dengan menggunakan pasta perak/paladium-silver. Elektroda B dan C
dihubungkan dengan alat ukur Mikrovoltmeter, sedangkan elektroda A dan D dihubungkan
pada sumber arus dc.
Dalam metoda ini resistivitas ditentukan dari pengukuran perbedaan potensial VBC
antara dua elektroda B dan C pada arus tetap IAD pada berbagai suhu. Di dalam termos,
dengan menggunakan nitrogen cair suhu sampel dapat diturunkan suhunya dari 300 K
menjadi 77 K. Setelah beberapa saat suhu sampel akan konstan pada suhu sekitar 77 K,
kemudian naik secara perlahan. Sampel diberi arus konstan IAD = 10 mA dan setiap saat
dilakukan pengukuran beda potensial VBC mulai dari 77 K, sehingga diperoleh data beda
potensial pada berbagai suhu. Kemudian dari data tersebut dan dengan persamaan 3.2 dan 3.3
dapat dihitung resistivitas pada berbagai suhu.
Selanjutnya dibuat grafik resistivitas terhadap suhu. Bila sampel bersifat
superkonduktif pada suhu tertentu maka akan dapat diperoleh kurva yang turun secara linier
dari suhu tinggi ke suhu rendah dan mulai turun secara tajam pada suhu tertentu, yang mana
disebut sebagai suhu mulai (on-set) transisi yang ditandai sebagai Tcon-set, Kemudian kurva
pada suhu tertentu tepat pada titik dimana resistifitas sama dengan nol, ini disebut sebagai
suhu kritis (resistifitas nol) yang ditandai sebagai Tc0. Pengukuran dilakukan pada semua
sampel sehingga dapat diperoleh informasi sifat-sifat superkonduksi (Tc) sampel : Tcon-set
dan/atau Tc0-nya.
18
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Karakterisasi XRD (X-ray difraction) Nd1Ba2Cu3O7-δ
Dari Gambar 4.1a dapat dilihat bahwa hasil XRD yang mana memperlihatkan pola
difrakansi yang hampir sama, baik pola puncak-puncaknya maupun posisi sudut difraksi 2θ-
nya. Dengan membandingkan spectra XRD tersebut dengan spectra XRD referensi Gambar
2.6. sebagian besar puncak-puncak-nya dapat ditandai sesuai dengan bidang (hkl) difraksi
dari fase Nd1Ba2Cu3O7-δ. sebagaimana diperikan pada Gambar 4.1b. Tampak puncak-puncak
yang terbentuk cukup tajam yang mana menunjukkan FWHM yang kecil. Ini
mengindikasikan bahwa di dalam sampel telah terbentuk fase dengan tingkat kekristalan
(crystalinity) yang baik.
19
Gambar 4.1a Hasil pengukuran spektrum difrasksi sinar-x sampel Nd1Ba2Cu3O7-δ
Selanjutnya, hasil XRD dilakukan refinemen dengan menggunakan program Rietica,
dan hasil refinement dengan pendekatan Group ruang : Pmmm No.47 α = β = γ = 90o
diperoleh parameter kisi :
Sampel A : a = 3,902043(9) Å, b = 3,894315(1) Å, c = 11,759287(9) Å
Rwp = 15,44 Rp = 11,72 Rexp = 10,26 χ2 = 2,265 RB = 3,41
Sampel B : a = 3,906749(7) Å, b = 3,907300(2) Å, c = 11,785063(5) Å
Rwp = 14,70 Rp = 11,26 Rexp = 11,02 χ2 = 1,779 RB = 4,22
Sampel C1 : a = 3,908993(5) Å, b = 3,900118(0) Å, c = 11,760716(2) Å
Rwp = 14,98 Rp = 11,07 Rexp = 11,54 χ2 = 1,68 RB = 3,08
20
Sampel C2 : a = 3.913080(6) Å, b = 3.877295(6) Å, c = 11.753564(1) Å
Rwp = 20,67 Rp = 15,48 Rexp = 10,83 χ2 = 3,645 RB = 16,70
Gambar 4.1b Hasil pengukuran spektrum difraksi sinar-x Nd1Ba2Cu3O7 oleh Aravinda dan sampel
Nd1Ba2Cu3O7-δ
Kecocokan (fitting) pola difraksi antara hasil pengamatan dengan perhitungan
dikatakan baik jika besar goodness of fit (GoF) χ2 kurang dari 1,8. Dari hasil refinement yang
telah dilakukan besar goodness of fit χ2 sampel A adalah χ2 = 2,265. Untuk sampel yang
menggunakan Ba(OH)2.8H2O sebagai sumber Ba-nya, yaitu sampel B goodness of fit χ2
adalah 1,779 dan C1 adalah 1,680. Sedangkan besar χ2 yang paling besar adalah 3,645
didapatkan pada sampel C2 dimana sampel disintesis tanpa melalui proses kalsinasi.
Dari refinemen juga didapatkan parameter kisi fase Nd1Ba2Cu3O7-δ. Dari hasil
refinement memperlihatkan bahwa semua sampel memiliki parameter kisi yang berbeda.
21
Perbedaan parameter kisi tersebut mengakibatkan adanya perbedaan keorthorombikan
(orthorhombicity) struktur kisi.
Ini sesuai dengan simetri Nd1Ba2Cu3O7-δ yang mana dapat dalam bentuk simetri
orthorombik atau tetragonal (W. Wong-Ng dkk., 2006, P. Benzi dkk.,, 2004, H. Shaked dkk.,
1990). Hal ini menujukkan bahwa fase Nd1Ba2Cu3O7-δ dapat disintesis dengan menggunakan
Ba(OH)2.8H2O sebagai pengganti Ba2CO3 baik tanpa alkohol maupun dengan alkohol
sebagai media pencampuran awalnya. Untuk mensintesis fase Nd1Ba2Cu3O7-δ dengan
menggunakan Ba(OH)2.8H2O sebagai sumber Ba-nya sebaiknya dilakukan melalui proses
kalsinasiDari hasil refinement memperlihatkan bahwa semua sampel memiliki parameter kisi
yang berbeda.
Tampak sampel B memiliki parameter kisi-c yang paling besar dan memiliki
perbedaan parameter kisi a dan b yang kecil, memiliki keorthorombikan yang paling kecil
atau distorsi keorthorombikan yang paling besar. Ini mengindikasikan bahwa fase
Nd1Ba2Cu3O7-δ yang terbentuk pada sampel B adalah mendekati simetri tetragonal.
Sementara itu sampel C2 memiliki parameter kisi-c yang paling kecil dan memiliki
keorthorombikan yang paling besar sehingga memiliki struktur kisi yang paling orthorombik
Perbedaan parameter kisi mengakibatkan adanya perbedaan keorthorombikan
(orthorhombicity) struktur kisi. Secara matematik keorthorombikan didefinisikan sebagai
(Sujinapram, S. 2011),
)( 5.0)(100
ababd
+−
= (4.1)
Persamaan tersebut sering digunakan untuk menggambarkan perubahan keorthorombikan
satu satuan sel (unit cell) YBCO-123 dalam kaitannya dengan kandungan oksiginnya.
Penurunan keorthorhombikan d adalah berkaitan dengan peningkatan kekosongan oksigen
pada rantai Cu-O. Dengan menggunakan persamaan 4.1 dapat diperoleh tingkat
keothorombikan seperti pada Tabel 4.2. Tabel 4.2. Hasil perhitungan keorthorombikan
Sampel Keorthorhombikan, d
A 0,1982 B 0,0173 C1 0,2273 C2 0,9187
.
Dari refinement didapatkan parameter kisi fase Nd1Ba2Cu3O7-δ yang terbentuk, yaitu
nilai parameter a dan b relatif sama sehingga fase yang terbentuk adalah cendrung dalam
22
simetri tetragonal. Hal ini tampak dari kecilnya keorthorobikan sebagaimana diberikan pada
Tabel 4.2. Ini sesuai dengan simetri dari fase Nd1Ba2Cu3O7-δ yang mana pada dasarnya dapat
memiliki struktur kisi dalam simetri orthorombik atau tetragonal (W. Wong-Ng dkk., 2006,
P. Benzi dkk., 2004, H. Shaked dkk., 1990).
Untuk kasus Y1Ba2Cu3O7-δ adanya perbedaan parameter kisi adalah berhubungan
dengan kandungan oksigen (besar δ) di dalam struktur kisi kristal (M. Ishikawa et al, 1988).
Struktur kisi kristal dari fase Y1Ba2Cu3O7-δ yang terbentuk dapat dalam simetri tetragonal
atau orthorombik tergantung pada kandungan oksigennya. Fase Y1Ba2Cu3O7-δ dengan
struktur kisi orthorombik II dan tetragonal II adalah superkonduktif pada suhu lebih rendah
dari pada 77 K.
Hubungan antara parameter kisi-c dengan kandungan oksigen untuk fase
Y1Ba2Cu3O7-δ dirumuskan sebagai (P. Benzi, 2004)
Å)(856,5250,757 c−=−δ (4.2)
Sedangkan untuk Nd1Ba2Cu3Oy dimana y = 7 – δ berlaku hubungan pendekatan secara linier
(W. H. Tang, 1999)
Å)(132,0674,12 yc −= (4.3)
Untuk sampel powder parameter kisi-c adalah bertambah dengan berkurangnya
kandungan oksigen y. Dengan menggunaan persamaan 4.3 maka dapat dihitung. Dengan
menggunakan persamaan tersebut diperoleh besar penyimpangan kandungan oksigen δ
seperti pada Tabel 4.3. Sesuai dengan klasifikasi M. Ishikawa et al, 1988 maka fase
Nd1Ba2Cu3O7-δ pada sampel A, C1 dan C2 adalah orthorombik II, sedangkan sampel B
adalah tetragonal II.
Tabel 4.3 Kandungan oksigen
Sampel Kandungan Oksigen δ
A 6,9296 B 6,7344
C1 6,9188 C2 6,9730
Keberadaan fase Nd1Ba2Cu3O7-δ yang terbentuk di dalam sampel dapat diungkapkan
dalam bentuk besaran fraksi volume. Untuk itu, terlebih dahulu dilakukan pencocokan
(matching) antara hasil pengukuran dengan refinemen. Fraksi volume dihitung dengan
menggunakan persamaan
23
%100123×
−=
TotalIntensitasNBCOIntensitasFV
(3.2)
Hasil perhitungan diberikan pada Tabel 4.3
Tabel 4.3. Fraksi Volume Sampel FV (%)
A 97,718 B 96,958 C1 94,741 C2 93,993
Tampak semua sampel memberikan fraksi volume lebih besar dari pada 90%, ini
mengindikasikan bahwa fase Nd1Ba2Cu3O7-δ dapat dibuat dengan menggunakan bahan dasar
Ba(OH)2.8H2O sebagai pengganti BaCO3. Sintesis dapat dilakukan baik dengan tanpa alkohol
maupun dengan alkohol sebagai media pencampuran awal. Sintesis tanpa proses kalsinasi
memiliki χ2 yang paling besar dan fraksi volume yang paling kecil. Dengan demikian, sintesis
tanpa proses kalsinasi tidak memberikan dampak yang lebih baik dalam pembentukan fase
Nd1Ba2Cu3O7-δ
Dari hasil pengukuran XRD-nya, pola puncak-puncak spektrum dalam
difraktogramnya sudah memperlihatkan puncak-pucak difraksi dari fase Nd1Ba2Cu3O7-δ
(referensi ICSD Collection Code 78453). Berdasarkan hasil refinement sampel telah
memperlihatkan fraksi volume dari fase Nd1Ba2Cu3O7-δ lebih dari 90%. Ini mengindikasikan
bahwa Ba(OH)2.8H2O dapat menggantikan BaCO3 sebagai sumber kation Ba dalam
pembentukan fase Nd1Ba2Cu3O7-δ. Fraksi volume sampel A dan B perbedaannya hanya 0,77
%. Fraksi volume sampel C1 berbeda hampir 2% dari sampel B, dan hampir 3% untuk sampel
C2. Dengan demikian dari fraksi volume fase Nd1Ba2Cu3O7-δ yang terbentuk dapat
diungkapkan bahwa fase Nd1Ba2Cu3O7-δ dapat disintesis dengan menggunakan
Ba(OH)2.8H2O sebagai pengganti Ba2CO3 yang baik tanpa alkohol maupun dengan
pencampuran awal dengan media alkohol (berkonsentrasi 96%). Sintesis tanpa pemberian
kalsinasi memberikan dampak yang kurang baik dalam pembentukan fase Nd1Ba2Cu3O7-δ.
4.2 Pengukuran Suhu Kritis
Dalam penelitian ini sampel diberi arus sebesar sebesar 1 mA dan jarak antara
elektroda adalah 2,5 mm dengan tebal sampel 2,10 sampai 2,95 mm. Besaran terukur dalam
pengukuran ini adalah suhu dan tegangan (voltage) sampel. Pengukuran ini dilakukan dari
24
Gambar 4.2 Hasil pengukuran resistivitas terhadap suhu
suhu rendah ke suhu tinggi secara manual. Selanjutnya hasil pengukuran dibuat grafik
resistivitas ρ sebagai fungsi suhu (T). Hasilnya sebagaimana tampak pada Gambar 4.2. Dari
gambar tersebut nampak bahwa seluruh sampel belum memperlihatkan adanya transisi
superkonduksi baik Tc0 maupun Tc0n-set di atas suhu 77 K. Ini diduga sebagai akibat dari
masih belum terpenuhinya kandungan oksigen yang diperlukan. Pola kurva ρ versus T
seperti Gambar 4.2 diperlihatkan juga oleh superkonduktor fase Y1Ba2Cu3O7-δ ber-Tc rendah
(M. Ishikawa, dkk., 1988, M. Aravinda dkk., 1987). Terdapat ketergantungan besar Tc pada
oksigen yang dikandungannya. Pada fase non-superkonduktif dan fase ber-Tc sangat rendah
atom oksigennya secara acak terdistribusi pada posisi O(1) dan O(5) sehingga struktur
terdistorsi menuju sistem tetragonal. Sementara itu superkonduktor fase YBCO ber-Tc tinggi
dimana 0 ≤ δ ≤ 0,2 adalah memiliki simetri orthorombik I. Oleh karena itu, pada umumnya
dalam mensintesis superkonduktor fase YBCO ber-Tc tinggi dilakukan pengaturan
kandungan oksigen. Ini dilakukan dengan cara mensintesis superkonduktor fase YBCO di
dalam ruangan ber-atmosfer gas oksigen, atau dengan pemberian perlakuan akhir (annealing,
post-treatment) dengan gas oksigen setelah proses sintering.
Superkonduktor sistem NBCO memiliki struktur yang sangat serupa dengan sistem
YBCO dimana atom Y diganti dengan Nd. NdBa2Cu3O7-δ adalah isomorphik dengan simetri
superkonduktor YBa2Cu3O7-δ. Dengan demikian sifat-sifat resistivitas seperti sistem YBCO
adalah kemungkinan terjadi juga pada sifat-sifat resistivitas fase Nd1Ba2Cu3O7-δ. Oleh karena
0
5
10
15
20
25
30
35
0
5
10
15
20
25
30
35
77 87 97 107 117 127 137 147 157 167 177 187 197
ρ(Ω
.m x
10-5
)
T (K)
Sampel A
Sampel C2
Sampel B
Sampel C1
25
itu, dengan memperhatikan penyimpangan kandungan oksigen δ pada Tabel 4.2 maka
kandungan oksigen pada fase Nd1Ba2Cu3O7-δ adalah belum cukup untuk dapat terbentuknya
fase Nd1Ba2Cu3O7-δ ber-Tc tinggi. Dengan demikian fase Nd1Ba2Cu3O7-δ yang dihasilkan
dalam penelitian ini adalah ber-Tc rendah.
26
V. KESIMPULAN
Dari penelitian ini sebagaimaana telah diuraikan di atas dapat diperoleh kesimpulan
bahwa
1. Hasil refinement dengan pendekatan simetri orthorombik Pmmm No.47 memberikan
goodness of fit (GoF) yang cukup kecil yaitu 2,265, 1,779, 1,680 dan 3,645 untuk masing-
masing sampel A, B, C1 dan C2. Ini mengindikasikan dalam sampel telah terbentuk fase
Nd1Ba2Cu3O7-δ
2. Dalam penelitian ini telah dapat disintesis fase Nd1Ba2Cu3O7-δ dengan fraksi volume di
atas 90% yaitu, 97,718%, 96,958%, 94,741% dan 93,993% masing-masing untuk sampel
A, B C1 dan C2. Ini mengindikasikan bahwa untuk mensintesis bahan superkonduktor
fase Nd1Ba2Cu3O7-δ dapat menggunakan Ba(OH)2.8H2O sebagai pengganti Ba2CO3 baik
dalam metode reaksi padatan konvensional maupun dengan metoda basah dengan alkohol
sebagai media pelarutnya.
3. Fase Nd1Ba2Cu3O7-δ yang terbentuk pada sampel adalah dalam simetri orthorombik, akan
tetapi tidak memperlihatkan sifat-sifat superkonduksi (Tc) pada suhu di atas 77K. Ini
diduga berkaitan dengan belum terpenuhinya kandungan oksigen yang diperlukan untuk
fase Nd1Ba2Cu3O7-δ be-Tc tinggi,
27
DAFTAR PUSTAKA
A. Kumar, A.S Verma, and S.R. Bhardwaj. 2008. Prediction of Formability in Perovskite-Type Oxides. The Open Applied Physics Journal, 1 , 11-19.
Aravinda M. Kini, Urs Geiser, Huey-Chuen I. Kao, K. Douglas Carlson, Hau H. Wang, Marilyn R. Monaghan, Jack M. Williams. 1987. High- T, Superconductors: Selective Preparation and Characterization of Tetragonal and Orthorhombic (93 K Superconductor) Phases of YBazCu3O7-δ. Inorg. Chem., 26 , 1836-1637.
Balbag M. Z., Özbas. Ö. Cenik, M. I. 1983. Physical Properties of Superkonduktor Compounds Containing Yttrium, Afyon Kocatepe Univeristy. Journal of Science 8 (1) , 80 – 85.
Giovannelli F., Ferreti. M., Bardeau, J. F., Hervieu1, M., Monot-Laffez, I. 2004. Structural investigation of solid solution in Nd1+xBa2-xCu3O7-y. Supercond. Sci. Technol, 17, 8.
Holf, R. 2003. Material Aspect of High Temperature Superconductor. Berlin, Germany: For Schungszentrum Karlsrube Institute Fur Testkorperphysik.
Istanto. 2003. Sintesa Superkonduktor Sistem YBCO-123 dengan Barium hydroxide sebagai Pengganti Barium Karbonat dengan Metode Reaksi Padatan. Bukit Jimbaran: Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Udayana.
Kramer J., Yoo, S. I., McCallum, R. W., Yelon, W. B., Xie, H. and Allenspach, P.. 1994. Hole filling, charge transfer and superconductivity in Nd1+xBa2-xCu3O7-δ. Physica C , 219, 145.
Pavuna, M. C. 1992. Introduction to Superconductivity and High Tc Materials. Singapore: World Scientific Publishing Co.Pte. Ltd.
S. Celebi, A. M. 2002. Study of Nd Subtitution in Bi-(Pb)-Sr-Ca-Cu-O high-Tc superconductors. Journal of Alloys and Compounds 337s , 237-242.
S., R. Ghorbani. 2002. Structural and Electrical Transport Properties of Doped Nd-123 Superconductors, Doctoral Dissertation, Royal Institute of Technology, Solid State Physics, Department of Physics & IMIT. Stockholm , 1-5.
Schoofs B., Van de Vyver D., Vermeir, P., Schaubroeck, J. , Hoste , S., Herman, G. and Van Driessche, I. 2007. Characterisation of the sol–gel process in the superconducting NdBa2Cu3O7−y system. J. Mater. Chem. , 17, 1714.
Suardana Putu, Winardi. 2010. Sinstesis dan Karakterisasi Nano Partikel Oksida RE1Ba2Cu3O7 (RE=Nd, Eu, Gd) Menggunakan Metode Palarutan Asam Kuat. Denpasar: Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Udayana.
Sang Il Kim, 2007, The Critical Current Density of YBa2Cu3O7-x Coated Conductors, Doctor of
Philosophy, University of Wisconsin – Madison
28
Vlack, L. H. 1985. Elements of Materials Science and Engineering 5th Edition. USA: Addison-Wesley Publishing Company,.
Wuff, A. C. 2009. Investigate of Rare Earth (RE123) Cuprate Superconducting Thin Films Grown by Laser Ablation and Sol Gel Techniques. Denmark: Superconducting Group-Tecnical University Denmark.
Y. Hakuraku, S. M. 1998. NdBa2Cu3O7-y thin Film Deposited by Stoikiometric Target Sputtering. Superconduc. Sci. Technol. 11, 179-182.
Yamashita, M. 1987. Resistivity Corection Factor for Four-Probe Method on Circular Semiconductor I. Japan: J. Appl. Phys. 26, 1150 .
Zakullah, K. 2009. Preparation and Characterization of Bi-Based High Tc-Superconductor. Ghulan Ishaq Khan: Ghulan Ishaq Khan Institute of Egeneering Sciences and Technology.
Top Related