URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108
98
Simbol Kuan Im di Kuil (Budha Mahayana) China Selatan
Oleh
Anas Ahmadi/[email protected]
Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya
sedang belajar di Fakultas Bahasa dan Budaya Universitas Huaqiao, China
Abstrak
Dalam penelitian ini dipaparkan tentang simbol Kuan Im di Kuil (Budha
Mahayana) China selatan. Teori yang digunakan adalah struktural-antropologi dan
psikologi. Penelitian yang berpendekatan kualitatif ini menggunakan data dari
artsitektur Kuil Kuan Im. Teknik pengumpulan data (1) pengamatan, (2) pemotretan, (3)
perekaman, dan (4) pewawancaraan.
Berdasarkan tujuan penelitian, hasil penelitian disimpulkan sebagai berikut.
Pertama, struktur yang dimunculkan dalam simbolisme Kuan Im adalah struktur diadik
yang terbagi dalam oposisi (i) kuil berpagoda---kuil tanpa pagoda, (ii) maskulin---
feminim, (iii) kuat---lembut, (iv) tertutup (introversi)---terbuka (ekstroversi), dan (v)
anima ---animus. Kedua, Fungsi mediasi kolektif dari simbolisme tersebut adalah Kuan
Im mempunyai simbolisme/figurasi dan hal itu menunjukkan bahwa Kuan Im memang
yang paling tinggi dan melampaui dewa ataupun dewi. Karena itu, ia bisa
mewujud/menjadi apa saja untuk membantu umat manusia di bumi.
Kata kunci: simbol, kuan im, struktural-antropologi, psikologi
Abstract
In this research explained about symbol Kuan Im in (Mahayana Buddhist) Temple
southern China. The theory used is structural-anthropology and psychology. This qualitative
approach research uses data from architecture Kuan Im Temple. Data collection techniques (1)
observation, (2) photographing, (3) recording, and (4) interviewing.
Based to the purpose of the research, the result shows that. First, the structure of which
appear in the symbolism of Kuan Im is a dyadic structure is divided in opposition (i) --- berpagoda
temple pagoda temples without, (ii) --- masculine feminine, (iii) strong --- soft, (iv) closed
(introversion) --- open (extroversion), and (v) --- anima animus. Second, the collective mediation
function of the symbolism is Kuan Im having symbolism / figuration and it shows that the Kuan
Im is the most high god or goddess and beyond. Because of that, he could have come into/be
anything to help humanity on earth.
PENDAHULUAN
Selama ini penelitian yang menggunakan konteks agama sudah banyak
dilakukan. Penelitian konteks keagamaan merujuk pada konseptualisasi Russel
(2000; Morris, 2003b) bukanlah menghormati atau mencerca, tetapi lebih pada
sikap kritis. Salah satu peneliti yang melakukan hal tersebut, misal, Alan
URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108
99
Dundes ketika ia meneliti unsur folklor dalam Quran (2003) dan folklor dalam
Bible (1999). Dundes tidak memaparkan konsepsi benar atau salah, melainkan
konsepsi telaah kritis terhadap dua kitab suci tersebut.
Berkait dengan penelitian keagamaan, peneliti mengaji salah satu tokoh
yang diagungkan dan dimitologikanm yakni Kuan Im (ejaan Indonesia). Dalam
konteks ini, kajian dispesifikasikan pada masalah simbol Kuan Im yang terdapat
di kuil (Budha Mahayana)1 China Selatan. Selama ini Kuan Im di Indonesia
dilegendakan sebagai sosok dewi. Kisah Kuan Im pernah muncul di Indonesia
dalam ‚Legenda Kera Sakti‛ yang ditayangkan oleh ANTV sekitar tahun 1990an
kemudian ditayang-ulangkan dalam versi yang berbeda di Indosiar. Dalam
legenda tersebut, Kuan Im digambarkan sebagai sosok yang welas asih yang
memberikan bantuan pada si Kera Sakti yang nakal dan selalu berbuat
kerusakan di bumi dan di (istana) langit. Pada beberapa segmen di film tersebut,
Kuan Im disebut dewi.
Kuan Im sebagai sosok yang diagungkan dan dilegendakan (mitologis)
memunculkan tafsir yang berbeda. Ada pandangan yang menguatkan bahwa
Kuan Im adalah laki-laki. Ada pandangan yang menguatkan bahwa Kuan Im
adalah Perempuan. Ada pula pandangan yang menguatkan bahwa Kuan Im
semula adalah laki-laki dan memanifestasikan diri menjadi perempuan. Sampai
saat ini, sepanjang amatan peneliti, para peneliti yang membahas Kuan Im
terpapar sebagai berikut.
Pertama, Blofeld (1978:40) mengungkapkan bahwa Boddisatva (Kuan Im)
di India dimanifestasikan laki-laki. Namun, ketika (dalam perjalannya) ke China
Bodhisatva (Kuan Im) dimanifestasikan menjadi perempuan. Argumen ini
didasarkan pada beberapa fakta yang berupa artsitektur India yang
1 Ada dua versi mengenai eksistensi Kuan Im. Pertama, versi yang menyatakan bahwa Kuan Im
berkait dengan Budha (Mahayana). Kedua, versi yang menyatakan bahwa Kuan Im tidak berkait
dengan Budha (Mahayana). Penulis lebih sependapat dengan yang pertama sebab beberapa praktisi
yang menulis Kuan Im mengaitkan Kuan Im dengan Budha.
URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108
100
menggambarkan bahwa Boddisatva (Kuan Im) di India laki-laki, sedangkan
Boddisatva (Kuan Im) di China adalah seorang perempuan.
Kedua, Chün-Fangyü (2001) memaparkan bahwa Kuan Im semula adalah
Avalokitersvara yang melakukan transformasi diri menjadi sosok yang
diperempuankan Kuan Im. Legenda Miaoshan hampir disamakan dengan
legenda Kuan Im. Selain itu, Chun-Fangyu mengungkapkan bahwa dari 33
bentuk (form) Kuan Im terdapat tujuh form yang mengarah pada
pemfeminiman, yakni (1) biksuni (nun), (2) perempuan awam/desa (lay woman),
(3) istri dari laki-laki tua (wife of an elder), (4) wanita penghuni/penjaga rumah
(householder girl), (5) wanita pekerja/pejabat (official girl), (6) perempuan brahma
(brahmin), and (7) perempuan (girl). Pemfeminiman ataupun pentransformasian
Kuan Im tersebut merupakan keajaiban (miracle) yang memesona.
Ketiga, Dudbridge (2004) yang penelitiannya tidak jauh beda dengan
Idema hanya saja, Dudbridge mengaji mulai dari awal mula munculnya Kuan
Im mulai dari 1500 SM sampai dengan abad ke 16—17 Masehi. Selanjutnya,
Dudbridge membuat anatomi struktur legenda Kuan Im dan diakhir
pembahasan dia memberikan interpretasi terhadap legenda Kuan Im.
Keempat, Idema (2008) melakukan penelitian dengan mengumpulkan
legenda-legenda tentang Kuan Im, baik yang berupa cerita rakyat (folktale)
ataupun arsitektur. Berdasarkan hasil penelitian, Kuan Im dalam cerita rakyat
atau arsitektur digambarkan dengan 33 bentuk. Dari 33 bentuk tersebut, Kuan
Im digambarkan dalam bentuk merepresentasikan laki-laki dan juga bentuk
yang merepresentasikan perempuan.
Kuan Im dalam konteks ini sebenarnya terpilah menjadi tiga, yakni Kuan
Im dalam konteks keagamaan (religion), Kuan Im dalam konteks legenda (legend)
masyarakat China, dan Kuan Im dalam konteks seni (arts). Perpaduan keduanya
menjadi sangat menarik untuk dikaji dari perspektif struktural-antropologi
Claude Lévi-Strauss. Lévi-Strauss (sendiri) juga pernah meneliti seni (arts)
masyakat Asia-Amerika. Temuan Lévi-Strauss menunjukkan bahwa terdapat
URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108
101
teknik pemisahan (split) (1963:245) dalam seni Asia-Amerika. Seni pemisahan
tersebut terdapat pada arsitektur patung, lukisan, dan motif.
Bertolak dari paparan di muka, sepanjang amatan peneliti belum pernah
ada yang meneliti Kuan Im dari perspektif Struktural-Antropologi C. Levis-
Strauss (dan dihubungkaitkan dengan psikologi Jungian). Berkait dengan hal
tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini, yakni (1) bagaimanakah
struktur yang terdapat di Kuil Kuan Im di China Selatan dan (2) bagaimanakah
mediasi kolektif yang dimunculkan dari struktur Kuil Kuan Im di China Selatan?
Adapun tujuan penelitian, yakni (1) memaparkan struktur yang terdapat di Kuil
Kuan Im di China Selatan dan memaparkan mediasi kolektif yang dimunculkan
dari struktur Kuil Kuan Im di China Selatan.
LANDASAN TEORI
Struktural-Antropologi Claude Lévi-Strauss
Seni (arts) merupakan bagian dari wilayah kajian antropologi. Karena itu,
seni bisa ditinjau dari perspektif antropologi, salah satunya adalah struktural-
antropologi. Teori tersebut dikembangkan oleh Claude Lévi-Strauss. Teori ini
digunakan oleh para antropolog untuk menelaah budaya dan juga cerita rakyat
(folkltale)/sastra lisan (oral literature). Sebagai teori, struktural-antropologi
dipandang dan diakui sebagai teori yang holistis oleh beberapa pakar, misal
Geertz (2002) dan juga Morris (2003). Keholistisitasan tersebut disebabkan
pemadupadanan konsep struktur dan antropologi. Dengan demikian, cara
penghampiran data melalui perpaduan keduanya.
Lévi-Strauss berpandangan bahwa struktur bersifat teoretis dan
eksplanatoris. Struktur yang bersifat teoretis tidak ada kaitannya dengan realitas
empiris. Struktur tidak langsung ada pada pengertian-pengertian tersebut dan
berada di balik apa yang kita amati, sembari menghasilkan. Jadi, struktur tidak
dapat diamati, tapi menghasilkan atau menyebabkan yang dapat diamati.
Hubungan yang dibayangkan oleh Claude Lévi Strauss di sini mirip dengan
URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108
102
yang diisyaratkan oleh Saussure antara langue dan parole (Strinati, 2007:107).
Karena itu, Claude Lévi Strauss mampu membedah hubungan triadik yang
estetis antara myth dengan musik dan puisi (Wiseman, 2007:160--163).
Pemikiran itulah yang membedakan antara Claude Lévi Strauss dengan para
antropolog pendahulunya.
Budaya dalam berbagai belahan dunia sebenarnya memiliki ‘kemiripan ‘
yang disebabkan konstruksi pikiran yang sama (Strauss, 2001:14;2005:278). Lévi-
Strauss mengungkapkan bahwa unsur universalisasi (universalization) dan
partikularisasi (partikularization) ada dalam budaya, baik seni ataupun mitologi
(Strauss, 1962:161) sehingga melahirkan oposisi biner. Konsep oposisi biner
dalam budaya merupakan refleksi mental yang universal (Dundes, 2007:123)
begitu pula dengan mytheme, dan ceritheme sehingga analisis struktural-
antropologi menjadi lebih kokoh. Oposisi biner tersebut bisa berkait dengan
hidup-mati, laki-perempuan, atas-bawah, kiri-kanan, masak-mentah dan
menghasilkan mediasi (King & Wilder, 2012:172) yang berfungsi bagi
masyarakat kolektif.
Legenda/seni yang memiliki homologi dengan konteks sosial-budaya
merupakan mediasi masyarakat untuk mengatasi konflik (Barnauw 1982:254;
Letcovitz 1989:62-63). Masyarakat mencari solusi untuk mengatasi konflik yang
terdapat pada sosial-budaya mereka dengan cara menyalurkannya pada cerita.
Penyaluran tersebut dilakukan dalam wujud ketidaksadaran antropologis.
Karena itu, mediasi yang mereka lakukan kadang-kadang tidak disadari. Dengan
demikian, cerita yang tidak berstruktur tersebut bisa memunculkan mediasi-
mediasi yang mempunyai fungsi bagi masyarakat pendukungnya (Ahmadi,
2012:7). Dalam konteks ini, mediasi tersebut bisa muncul melalui logika-logika
cerita yang tersembunyi dibalik struktur-struktur cerita/seni.
Dalam konteks ini, teori Struktural-Antropologi dihubungkaitkan dengan
Psikologi-Jungian untuk memahami aspek-aspek yang bersifat psikologis. Hal ini
URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108
103
dilakukan agar analisis struktural-antropologi tidak hanya terhenti pada konteks
budaya, melainkan dikaitkan juga dengan psikologi agar lebih holistis.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dengan
cara memaparkan data-data yang diperoleh penulis dari lapangan, referensi, dan
wawancara. Sumber data dan data yang digunakan berupa arsitektur yang
berkait dengan Kuan Im di dua kuil Kuam Im yang terletak di Xiamen, Provinsi
Fujian, China selatan. Teknik pengumpulan data penelitian ini, meliputi langkah
berikut (1) pengamatan (menggunakan pengamatan terlibat), (2) pemotretan
(menggunakan kamera Sony cybershot), (3) perekaman (menggunakan alat bantu
rekam Huwei recorder voice), dan (4) pewawancaraan (menggunakan wawancara
tidak terstruktur pada biksu kuil Kuan Im dan penganut Budha). Teknik analisis
data, yakni (1) identifikasi, (2) klasifikasi, (3) analisis, (4) penyimpulan, dan (5)
verifikasi.
PEMBAHASAN
Sejarah Pelahiran Kuan Im (Guanyin) di China
Avalokiteÿvara dikenal luas oleh orang Cina sebagai Guanyin. Ia terlahir
di tanah suci (pure land) tempat Buddha Sakyamuni (Paul, 1979:254). Di
Indonesia ia dikenal dengan Kuan Im/Kwan Im. Ia dianggap sebagai dewi yang
welas asih (Goddess of compassion) dan Dewi pengampun (Goddess of Mercy).
Sebagai dewi welas asih ia pun bersumpah tak akan ke nirvana sebelum
umatnya tercerahkan (enlightened) (Irons, 2008:223). Pemujaan terhadapnya
tampaknya diperkenalkan ke Cina di akhir abad pertama Masehi. Di sekitar abad
ke-6 Masehi, dia dipuja di seluruh negeri. Perwujudan Avalokiteÿvara sebelum
dinasti Sung (960--1126) jelas-jelas berbentuk maskulin. Tetapi setelah periode itu
Sang Bodhisattva selalu dipuja dengan bentuk feminin Perubahan itu tidak
URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108
104
begitu bersifat seksual tetapi cuma simbolis bagi orang China, feminin
melambangkan yin (homonim dari nama Chinanya). Dengan kata lain,
perwujudan kasih sayangnya (karuna) dianggap oleh mereka sebagai bentuk
feminin (keibuan) (Mahäthera, 2007:22). Namun, Blofeld (1978:40)
mengungkapkan bahwa Boddisatva (Kuan Im) di India dimanifestasikan laki-
laki, tetapi (dalam perjalannya) di China Bodhisatva (Kuan Im) dimanifestasikan
menjadi perempuan. Ada tafsiran bahwa Kuan Im yang difigurasikan dengan
tangan seribu (di China) merupakan manifestasi dari dewa Siwa di India.
Namun beberapa praktisi mengatakan bahwa hal tersebut tidaklah sepenuhnya
benar.
Adapun paparan yang menunjukkan bahwa dari 1500 SM sudah ada
legenda Kuan Im. Pada masa itu, sosok Kuan Im muncul dengan nama kecil
Miaoshan (anak raja Miaozhuang). Miaoshan mempunyai dua kakak, Miaoyin
dan Miaoyuan. Ketika besar, Miaoshan diminta oleh sang raja menikah. Namun,
ia tidak mau. Karena murka, sang raja memerintahkan anak buahnya
mengurung Miaoshan di biara. Kemurkaan sang raja memuncak karena
Miaoshan tetap tidak mau menikah. Ia pun memerintahkan pasukan kerajaan
untuk membakar Miaoshan beserta dengan 500 biarawati. Setelah pembakaran,
500 biarawati tersebut hilang tanpa jejak. Hanya tinggal Miaoshan yang duduk
tegak sambil membaca sutra dan api tidak bisa membakarnya. Setelah itu, ia
ditolong oleh dewa bumi. Selanjutnya, dalam tahapan pencerahan, Miaoshan
berkunjung ke neraka (Dudbridge, 2004:45—47). Versi lain, misal di Wikipedia
(Maret, 2014) dituliskan bahwa Miaoshan meninggal dan arwahnya dibawa ke
neraka.
Setelah berkunjung ke neraka, Miaoshan sangat sedih sebab ia melihat
banyak sekali orang yang susah. Ia pun menolongnya. Namun, selalu saja masih
banyak orang yang belum tertolong. Akhirnya, Kuan Im terjatuh dan meninggal.
Kemudian, Budha Amitabha menghidupkan kembali Miaoshan dengan memiliki
kelebihan tangan seribu agar bisa membantu umat yang menderita (Mahäthera,
URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108
105
2007). Kemudian, Kuan Im kembali ke alam fana dan membantu umat manusia
yang hidup dalam derita.
Orang yang tidak terbiasa dengan hagiologi Buddhis seringkali
dibingungkan oleh masalah jenis kelamin Kuan Im yang sering diwujudkan
berjubah putih dengan rambut panjang tergelung tinggi dan bermahkota. Bentuk
gambaran itu jelas-jelas feminin kecuali bahwa dia memiliki dada maskulin!
Inilah sejauh hal pemanusiaan Kuan Im —manusia tidak boleh lupa bahwa dia
adalah perwujudan karuôä, yang melampaui jenis kelamin! Agar sejalan dengan
filosofi keseimbangan yin-yang, menganggap bahwa Kuan Im itu androginus
(Mahäthera, 2007:23).
Kuil Kuan Im di China Selatan
Kuil Kuan Im Berpagoda
Kuil Kuan Im berpagoda (tingkat delapan) ini terletak di lereng gunung.
Kuil ini terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, bagian luar, terdapat patung
(ukuran besar) Budha tidur, patung singa penjaga (yang merupakan manifestasi
dari dewa), arsitektur pahatan batu yang mengisahkan Kuan Im, altar pemujaan.
Kedua, bagian dalam (tempat pemujaan) terdapat patung (ukuran besar) Kuan
Im Tangan Seribu yang terletak dibagian ruang utama. Di ruang tersebut Kuan
Im digambarkan memiliki tangan seribu. Tangan Kuan Im memegang benda-
benda duniawiah. Adapun pada bagian sisi kanan belakang terdapat dua
patung dewa.
URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108
106
Gambar 1: Kuil Kuan Im Berpagoda
Dok. Penulis
Kuil (Kuan Im) Tangan Seribu (gambar 1) merupakan kuil yang dibangun
sekitar tahun 1990an. Pembangunan kuil tersebut di area pegunungan sebab
(Mahäthera, 2007:23) dalam filosofi Cina kuna, gunung (dianggap sebagai ‘naga’)
adalah tempat keramat —tempat yang amat baik untuk mendirikan patung
suci.Penganut Buddha Mahayana cenderung menyukai kuil-kuil yang tinggi di
area pengunungan sebab menunjukkan kemahayanaan. Kebiasaan ini juga
merupakan simbolisme bahwa Avalokita yang berarti ‘melihat ke bawah (dari
ketinggian)’ dalam artian pengamatan penuh kasih sayang.
Kuil Kuan Im tanpa Pagoda
Kuil Kuan Im tanpa pagoda sama halnya kuil Kuan Im berpagoda
terletak di lereng gunung. Kuil ini juga terbagi menjadi dua bagian. Pertama,
bagian depan, dibagian ini terdapat altar pemujaan, pahatan dari batu motif
bunga teratai (lotus) yang menyimbolkan Kuan Im. Bagian dalam, ruang
pemujaan. Di dalamnya terdapat patung (ukuran besar) Kuan Im. Di ruang
URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108
107
tersebut Kuan Im digambarkan feminim, berambut panjang, membawa daun
panjang.
Gambar 2: Kuil Kuan Im tanpa Pagoda
Dok. Penulis
Kuil Kuan Im (gambar 2), menurut Bikshu Wang Wei Li (50 th)2,
merupakan kuil yang dibangun pada tahun 1994. Usianya masih muda. Karena
itu, di bagian belakang kuil (bagian kanan) masih dibangun beberapa gedung
untuk sarana pemujaan. Adapun di bagian belakang (bagian kiri) masih proses
pemangkasan tanah tebing yang rencananya akan dibangun gedung juga.
Struktur Diadik
Kuil Kuan Im yang pertama (Kuan Im Tangan Seribu) memiliki pagoda.
Simbolisme dari pagoda ialah visualisasi dari penis (phallic[phallus]), kekuatan
(streght), dan isolasi (Seaman, 2006:221;Levis & Oliver, 2009:332; Freud,
2001:289). Simbolisme pagoda yang menjulang merupakan simbol kelaki-lakian,
keperkasaan, dan kekuatan. Karena itu, kuil tersebut adalah kuil Tangan Seribu.
2 Wawancara tanggal 20 Maret 2014 di Xiamen, Fujian, China Selatan
URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108
108
Kuan Im dengan Tangan Seribu mampu membantu segala derita umat manusia.
dalam konteks ini, Tangan Seribu lebih mengarah pada pemaskulinan.
Penguatan maskulin tersebut dikuatkan oleh pagoda.
Adapun kuil Kuan Im yang kedua tidak berpagoda. Di sekitar area kuil
tersebut terdapat artsitektur lotus (teratai/seroja) yang ada di area pagar dan
area dalam. Lotus merupakan visualisasi dari kebahagiaan, romantisme,
pertumbuhan/perkembangan/mekar, dan kebijaksanaan/kelembutan/welas asih
yang universal (Seaman, 2006:126;Watson, 1993:53).
Gambar 3: Salah satu pahatan dari batu yang menggambarkan Kuan Im
duduk di lotus (Kuil Kuan Im tanpa Pagoda)
Dok. Penulis
Dalam pandangan masyarakat China, lotus lebih mengarah pada unsur
feminim daripada maskulin. Lotus warna putih bersih dan mampu hidup
dilumpur bahkan pada saat tanah kering pun lotus masih bisa bertahan hidup.
Selain warna putih, lotus juga ada yang berwarna merah. Lotus jenis ini adalah
lotus yang disukai masyarakat China sebab mitosnya warna merah mengandung
keberuntungan. Namun, untuk lotus yang terdapat di Kuan Im dipertahankan
lotus putih.
URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108
109
Gambar 4: Simbol Lotus di Kuil Kuan Im tanpa Pagoda
Dok. Penulis
Jika ditelusuri secara historis, simbol lotus bukanlah murni berasal dari
Buddha, Kuan Im. Simbol lotus muncul (D’Alviella, 2000:31 & 157) dari Mesir
(Egypt) Kuna (sekitar 3150 SM), adapun ajaran Buddha ditengarai baru muncul
sekitar 2000an SM (Morris, 2006:2). Simbol lotus tersebut ditengarai juga
digunakan oleh agama Hindu dalam bentuk yang agak berbeda, yakni trisula.
Namun, unsur kemiripan dengan simbol lotus masih ada. Simbol tersebut
mengalami migrasi dan transformasi seiring dengan pengguna dan
perkembangan zaman.
Gambar 5: Simbol Lotus Zaman Mesir Kuna (3150 SM)
Dok. D’Alviella
Struktur Diadik
Pada kuil pertama dan kuil kedua menghasilkan struktur diadik tampak
seperti berikut.
URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108
110
Kuil berpagoda—kuil tanpa pagoda
Maskulin —feminim
Kuat—lembut
Tertutup (introversi)—terbuka (ekstroversi)
Anima-Animus
Kuil Kuan Im (Tangan Seribu) berpagoda dan Kuil Kuan Im tidak
berpagoda merupakan bentuk oposisi biner yang mutlak sebab pagoda
dioposisikan dengan tidak berpagoda. Dalam konteks ini, tidak ada istilah
‘semipagoda’. Karena itu, oposisi biner yang dimunculkan dalam bentuk
struktur diadik (dua). Pemunculan unsur maskulin pada kuil pertama
disebabkan adanya (1) patung Kuan Im (Tangan Seribu)
digambarkan/dikesankan seperti laki-laki. Patung Kuan Im (Tangan Seribu)
dibuat model perkasa dan kuat yang sebenarnya kesan-kesan tersebut lebih
mengarah pada bentuk maskulin; dan (2) pagoda yang menyimbolkan penis
(phallus) dan kekuatan yang disimbolkan juga oleh tangan seribu.
Struktur tersebut dioposisikan dengan unsur feminim pada kuil kedua
yang disebabkan adanya (1) patung Kuan Im yang digambarkan berwajah
‘kesan’ cantik dengan menggunakan pakaian putih, berambut panjang, dan
memegang daun panjang. Patung tersebut lebih mengarah pada bentuk feminim;
dan (2) bentuk (form) artsitektur lotus yang menyimbolkan kefeminiman. Jika
pagoda merupakan kekuatan (strengthness), dioposisiskan dengan lotus
merupakan kelembutan (compassion). Selanjutnya, kuil berpagoda menyimbolkan
dunia ketertutupan/isolasi. Hal ini menunjukkan bahwa manusia yang berserah
diri pada Budha, haruslah bisa menenangkan diri dari hasrat duniawiah agar
bisa menuju nirvana (dunia langitan) dengan mudah. Simbol ini dioposisikan
dengan lotus yang menyimbolkan keterbukaan. Manusia haruslah terbuka dan
menolong sesama, tidak hanya berkutat pada tempat isolasi saja, melainkan juga
URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108
111
harus menjadi manusia yang membumi (tidak hanya memikirkan diri sendiri).
Dalam Istilah psikologi-Jungian, ketertutupan dihubungkaitkan dengan
introversi dan keterbukaan dihubungkaitkan dengan ekstroversi. Keduanya,
saling mengisi dan memcocokkan sehingga memunculkan kekuatan yang
seimbang (balance of power). Selain itu, konsep anima (jiwa perempuan yang ada
di jiwa laki-laki) dan animus (jiwa laki-laki-laki yang ada di jiwa perempuan)
(Jung, 1989:144) saling bersinggungan akhirnya melahirkan hal yang adekuat.
Dengan demikian, adekuasi akan memunculkan kekuatan yang sangat tinggi
dan suci (sacred).
Fungsi Mediasi Kolektif
Fungsi mediasi kolektif (collective mediation) yang tersembunyi dibalik
struktur-struktur Kuil Kuan Im yakni, Kuan Im bukanlah perempuan dan
bukanlah laki-laki, tetapi Kuan Im bisa disimbolkan perempuan dan bisa
disimbolkan laki-laki. Karena itu, penyebutan Kuan Im dengan Dewi Lotus
sebab Kuan Im berada di kuil lotus, sedangkan penyebutan Kuan Im dengan
Dewa Tangan Seribu bukanlah sebuah masalah. Hal ini disebabkan Kuan Im
dalam konteks pemanifestasian bisa ‘meng-Ada’ (being) apa saja. Kuan Im
adalah yang Satu. Jika mengikuti pemikiran Jungian (Jung, 1981:355), istilah
tersebut disebut mandala3 sebuah lingkaran utuh yang tak terpecahkan. Ada
kesatuan yang utuh yang tidak terpecahkan. Dia adalah yang ‘Ada’ yang berada
dalam keti-‘Ada’-an (nothingness). Penganut Buddhism, misal Shu Hui4 (26 th)
ataupun Wang Li Cheng5 (25 th) memercayai bahwa Kuan Im memiliki bentuk
(form) yang berbeda dalam artian ‘malih rupa’. Bagi mereka, dengan adanya
simbolisme/figurasi memunjukkan bahwa Kuan Im memang yang paling tinggi
3 Istilah mandala yang digunakan oleh Carl G. Jung sebenarnya mengadaptasi dari Hinduism.
Namun, jauh sebelum itu, konsep mandala sudah muncul pada zaman Yunani Kuna. 4 Wawancara tanggal 21 Maret 2014 di Xiamen, Fujian, China Selatan
5 Wawancara tanggal 22 Maret 2014 di Xiamen, Fujian, China Selatan
URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108
112
dan melampaui dewa ataupun dewi. Karena itu, ia bisa mewujud/menjadi apa
saja untuk membantu umat manusia di bumi.
Selain itu, pemunculan Kuan Im yang dimaskulinkan menyimbolkan
bahwa laki-laki itu kuat dan perkasa. Hal ini berkaitan dengan kultur budaya
masyarakat China yang mengarah pada budaya Patriarkhi. Dengan begitu,
kaum perempuan terkesan dimarginalkan, baik secara langsung ataupun tidak
langsung. Hal ini tampak dalam kehidupan keseharian bahwa sepasang suami-
istri lebih menyukai anak mereka lahir laki-laki bukan perempuan. Bahkan,
baru-baru ini (tahun 2013) diberitakan ada seorang ibu yang membuang anaknya
ke kloset karena anak tersebut perempuan. Berita lainnya, bayi perempuan
digorok oleh orang tuanya, dibuang ke tong sampah, ditinggalkan di rumah
sakit, dan dititipkan ke panti asuhan. Bahkan, berdasarkan hasil riset Tsomo et.al
(2004:2) menunjukkan bahwa di dalam struktur ke-Budha-an pun para biksuni
belum mendapatkan posisi yang layak/tinggi jika dibandingkan dengan biksu.
Karena itu, pemunculan Kuan Im yang difeminimkan dengan simbolisme lotus
yang memiliki artian lemah lembut dan welas asih sebenarnya
merepresentasikan bahwa perempuan pun juga bisa menjadi pemimpin bukan
hanya kaum laki-laki saja.
SIMPULAN
Berdasarkan paparan yang disampaikan di muka, penelitian ini dapat
disimpulkan sebagai berikut. Pertama, struktur yang dimunculkan dalam
simbolisme Kuan Im adalah struktur diadik yang terbagi dalam oposisi (i) kuil
berpagoda---kuil tanpa pagoda, (ii) maskulin---feminim, (iii) kuat---lembut, (iv)
tertutup (introversi)---terbuka (ekstroversi), dan (v) anima ---animus.
Kedua, simbolisme Kuan Im mempunyai fungsi mediasi kolektif bagi
masyarakat pendukungnya. Fungsi mediasi kolektif dari simbolisme tersebut
adalah Kuan Im mempunyai simbolisme/figurasi dan hal itu menunjukkan
bahwa Kuan Im memang yang paling tinggi dan melampaui dewa ataupun
URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108
113
dewi. Karena itu, ia bisa mewujud/menjadi apa saja untuk membantu umat
manusia di bumi. Selain itu, pemunculan Kuan Im yang dimaskulinkan
menyimbolkan bahwa laki-laki itu kuat dan perkasa. Hal ini berkaitan dengan
kultur budaya masyarakat China yang mengarah pada budaya Patriarkhi.
Dengan begitu, kaum perempuan terkesan dimarginalkan, baik secara langsung
ataupun tidak langsung. Karena itu, pemunculan Kuan Im yang difeminimkan
dengan simbolisme lotus yang memiliki artian lemah lembut dan welas asih
sebenarnya merepresentasikan bahwa perempuan pun juga bisa menjadi
pemimpin bukan hanya kaum laki-laki saja.
URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108
114
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Anas. 2012. Sastra dan Psikologi. Surabaya: Unesapress.
Barnauw, V. 1982. Etnology. Illinois: Dorsey Press.
Blofeld, J. 1978. Boddhisatva of Compassion. London: Shambala.
Chün-Fangyü. 2001. Kuan-Yin. New York: Columbia University Press.
Dudbridge, D. 2004. The Legend of Miaoshan. London: Oxford.
Dundes, Alan. 1999. Folklore in the Bible.USA: Rowmann & Littlefileld.
_________. 2003. Folklore in the Quran. USA: Rowmann & Littlefileld.
D’Alviella, C. 2000. The Simbols: Migration and Universality. London: Constable.
Freud, S. 2001. Tafsir Mimpi. Yogyakarta: Jendela.
Geertz, Clifford. 2002. Hayat dan Karya. Terj. Yogyakarta: LkiS.
Idema, W. 2008. Two Precious Scroll Narrative of Guanyin and her Acoltyes.
Honolulu: Kuroda Institute Book.
Irons, E.A. 2008. Encyclopedia of Buddhism. New York: Infobase Publishing.
Jung, C.G. 1981. The Archetypes and the Collective Unconsciousness. USA:
Roudledge.
__________. 1989. Memperkenalkan Psikologi Analitis. Terj. Jakarta: Gramedia.
King, V. & Wilder, W. 2012. Antropologi Modern Asia Tenggara. Terj. Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
‚Kuan Im‛ (id.wikipedia.org./wiki/kuan_im),diunduh tanggal 20 Maret 2014.
Letcovit, J. 1989. ‚Structuralism-Semiotics‛. Douglas Atkins and Laura (ed).
Contemporary Literary. Hlm. 60-70. British: Massachusetts Press.
Levis, J.R. & Oliver, D.E. 2009. The Dream Encyclopedia. USA: Visible Ink.
Levi-Strauss, Claude. 1962. Savage Mind. London: Nicholson Ltd.
__________. 1963. Structural-Anthropology. New Yorks: Basic Book.
__________. 2001. Myth and Meaning. New York: Routledge.
__________. 2005. Antropologi Struktural. Terj. Yogyakarta: Kreasi
Mahäthera, P. 2007. Avalokitesvara. Yogyakarta: Karania.
Morris, Brian. 2006. Religion and Anthropology. New York: Cambridge.
__________. 2003. Antropologi Agama. Terj. Yogyakarta: AK Grup.
Paul, A.D. 1979. Women in Buddhism. London: University of California Press.
Russel, B. 2002. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Seaman, J. 2006. Dictionary Dream. USA: Penguin Group.
Strinati, D. 2007. Popular Cultural. Terj. Yogyakarta: Jejak
Tsomo, L.et.al. 2004. Buddhist Women and Social Justice. USA: New York Press.
Watson, B. 1993. The Lotus Sutra. New York: Columbia University Press.
Top Related