Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya ISSN : 2088-8155
JURNAL
Perhotelan dan Pariwisata
SUSUNAN PENGURUS JURNAL PERHOTELAN DAN PARIWISATA
Penanggung jawab Ketua Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya
Ketua Penyunting I Ketut Eli Sumerta
Wakil Ketua Penyunting Herindyah Kartika Yuni
Dewan Penyunting I Ketut Sutapa Wisnu Bawa Tarunajaya Nyoman Sudiarta Nengah Subadra Ni Luh Sayang Telagawati
STIPAR Triatma Jaya
STP Nusa Dua Bali
STP Nusa Dua Bali
Universitas Udayana
STIPAR Triatma Jaya
STIE Triatma Mulya
Pemimpin Redaksi I Made Bayu Wisnawa
Tata Usaha Putu Agus Prayogi
Katerina Evi Tandirerung
Sirkulasi & Distribusi I Wayan Arta Artana
Design & Lay Out Ronald Hardi
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari – Juni 2018, Vol.8 No.1
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya ISSN : 2088-8155
JURNAL
Perhotelan dan Pariwisata
DAFTAR ISI STRATEGI PENGEMBANGAN SITUS BERSEJARAH SEBAGAI
BISNIS PARIWISATA WARISAN BUDAYA
NURUDDIN (01-15)
ANALISA PERSEPSI WISATAWAN TERHADAP JAWA BARAT
SEBAGAI DESTINASI WISATA
NONO WIBISONO, I NENGAH SUBADRA (16-34)
VIHARA DHARMA GIRI SEBAGAI DAYA TARIK WISATA ROHANI
DI KABUPATEN TABANAN
NI KADEK WIDYASTUTI (35-57)
POTENSI DESA GUMANTAR DI KABUPATEN LOMBOK UTARA
SEBAGAI DESA WISATA
I PUTU GEDE, SYECH IDRUS, I NENGAH SUBADRA (58-72)
PERBANDINGAN SWOT ANALISIS SEBELUM DAN SESUDAH PELIBATAN
MAHASISWA INDONESIA PADA PROGRAM EDUTOURISM DI
UNIVERSITAS DHYANA PURA
NI LUH CHRISTINE PRAWITA SARI SUYASA, PUTU CHRISMA DEWI (73-92)
PENGEMBANGAN POTENSI WISATA DI DESA TANGKUP DENGAN KONSEP
PARIWISATA PEDESAAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
PUTU AGUS PRAYOGI, I K. ELI SUMERTA, N.L.K. JULYANTI PARAMITA SARI
(93-110)
POTENSI WISATA BUDAYA PADA DAYA TARIK WISATA LEMBU PUTIH
DESA TARO GIANYAR BALI
L.K. HERINDIYAH K. YUNI, I MADE BAYU WISNAWA, I NENGAH ARISTANA
(111-122)
KONSERVASI BUDAYA SEBAGAI PEMERTAHANAN NILAI DAN KOMODITAS
NI WAYAN MEKARINI (123-134)
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari – Juni 2018, Vol.8 No.1
Copyright © STIPAR Triatma Jaya, Januari – Juni 2018
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya Badung
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 1
STRATEGI PENGEMBANGAN SITUS BERSEJARAH
SEBAGAI BISNIS PARIWISATA WARISAN BUDAYA
Nuruddin
Dosen Universitas Airlangga
ABSTRACK
History of human life in the past, one of it, can be seen from the documents left
behind. The tourism business sector seems to be the most viable option to develop
it. The approach can be done is to manage the historic remains to be cultural
heritage tourism. Gresik is one of the old towns in the archipelago whose histories
can be known up to now, one of them is a relic of a site that tells about Lasem
village, as Desa Perdikan (independent village) of Majapahit Kingdom. The
historical remain in this case is Situs Ndalem.
The research approach used in this study is qualitative. The methods of
collecting data in this study are carried out by systematic observation technique,
semi-structured interviews with the determination of informants using purposive
technique and documentation technique. The technique and method of data
analysis in this study is started with data reduction, data presentation, and
drawing conclusion which will be described in this article.
The effective strategy to increase and make the historic site as a cultural
heritage tourism is with intensive strategy which consist of product development,
market penetration, and market development. This study aims to review the
historical site as a tourism destination, focusing on Situs Dalem. The reason is the
historical values which were very important in the past time, because it involved
the economic system of the great kingdom at that time. The hope, through this
study of tourism of historical sites can be known by the present generation as a
reflection, education, and the step to the future. Another goal is as solution for the
ancient buildings which can be maintained and found in modern life and modern
facilities and give productive value for economy of the surrounding community.
Keywords: Sites, Attraction, Strategy, Tourism of Cultural Heritage
LATAR BELAKANG
Sejarah kehidupan umat manusia
di masa lalu, salah satunya dapat
dilihat dari dokumen yang
ditinggalkannya. Hal itu jika dan
hanya bagi mereka yang sudah
mengenal atau mempunyai keahlian
dalam seni tulis. Namun jika hal itu
tidak memungkinkan, peristiwa dan
aktivitas masyarakat di masa lampau
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nuruddin
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 2
dapat dipahami dari hasil
kebudayaan yang ditinggalkannya,
baik yang berupa material maupun
immaterial. Hasil kebudayaan yang
berupa immaterial dapat berupa
upacara adat, seni tari, bahasa, dan
yang lainnya. Adapun peninggalan
masa lalu yang berupa material dapat
berwujud benda, struktur dan
bangunan. Peninggalan tersebut
kemudian seringkali disebut sebagai
Cagar Budaya.
Agar peninggalan sejarah umat di
masa lalu berdaya guna, perlu
dilakukan upaya-upaya sehingga
dapat bermanfaat bagi kehidupan
masyarakat. Menurut Undang-
undang Nomor 11 tahun 2010
tentang Cagar Budaya (pasal 85)
bahwa pemerintah, pemerintah
daerah dan setiap orang dapat
memanfaatkan cagar budaya untuk
kepentingan agama, sosial,
pendidikan, ilmu pengetahuan,
teknologi, kebudayaan dan
pariwisata (Anonim, 2014). Sektor
bisnis pariwisata nampaknya menjadi
opsi yang paling memungkinkan jika
dikaitkan dengan undang-undang di
atas. Adapun pendekatan yang dapat
dilakukan adalah menjadikan tinggalan
bersejarah tersebut menjadi wisata
warisan budaya.
Gresik merupakan salah satu kota
tua di nusantara yang kesejarahannya
dapat diketahui hingga sekarang.
Sejarah mencatat bahwa kota yang
terletak di pantai timur utara pulau
Jawa tersebut peranannya sudah
dapat dilihat sejak abad ke-11 M,
yakni ditemukannya makam Siti
Fathima Binti Maimun berangka
tahun 1082 M 9 (Tim Penyusun,
2003:11). Di era Kerajaan Majaphit
(abad 13 M – 15 M), dalam Prasasti
Changgu (1358) yang dikeluarkan
Raja Hayam Wuruk misalnya, salah
satu desa di Gresik yang bernama
Madanten menjadi salah satu Desa
Panambangan di seluruh mandala
Pulau Jawa (Nur Efendi, 2015:265),
yakni sebagai daerah tempat
penyeberangan yang kebetulan desa
tersebut berada di tepi Bengawan
Solo.
Pada era yang sama, tidak jauh
dari daerah yang disebut Madanten,
Kerajaan Majapahit juga menjadikan
salah satu daerah di Gresik sebagai
wilayah penting kerajaan, yakni Desa
Lasem, sekarang berada di
Kecamatan Sidayu Gresik. Desa
tersebut tersebut menjadi daerah
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nuruddin
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 3
perdikan karena ada seseorang yang
bertugas untuk mengurusi segala
pajak di daerah pantura. Berdasarkan
kajian keilmuan (arkeologi), agaknya
nama itu bukan hanya sekadar mitos,
sebab pada tahun 1970-an telah
ditemukan sebuah prasasti yang di
dalamnya memuat adanya aktivitas
pekerjaan di bidang perpajakan
(Khoiri, 2016). Adapun tinggalan
sejarah yang masih dapat dilihat yang
menceritakan aktivitas lampau adalah
Situs Ndalem.
Studi ini bertujuan untuk
mengkaji situs bersejarah di Gresik
sebagai daya tarik wisata, dengan
fokus pada Situs Ndalem sebagai
peninggalan sejarah di era Kerajaan
Majapahit. Situs yang berada dekat
dengan Jl. Raya Daendles tersebut
meliputi pagar ber-relief, masjid
kuno, dan komplek sumur tua. Alasan
pemilihannya adalah karena nilai-
nilai kesejarahannya sanagat penting
karena menyangkut sistem
perekenomiansebuah kerajaan
kesohor di nusantara selama berabad-
abad. Harapannya, melalui kajian
pariwisata nilai sejarah yang melekat
situs diketahui oleh generasi sekarang
sebagai bahan renungan, edukasi, dan
pijakan di masa mendatang.
Tujuan lain dari pemanfaatan situs
bersejarah menjadi bisnis pariwisata
adalah sebagai solusi agar bangunan
kuno dapat bertahan di tengah
kehidupan dan fasilitas yang serba
modern dan tetap bernilai produktif
bagi perekonomian masyarakat
sekitar. Secara spesifik, kajian ini
menguraikan pemanfaatan Situs
Ndalem di Gresik sebagai bisnis
wisata warisan budaya dengan jalan
menguraikan keberadaan situs,
potensi pariwisata, dan metentukan
strategi yang efektif untuk
menjadikannya sebagai wisata
warisan budaya di Kota Gresik.
KONSEP TEORI DAN METODE
Kajian ini menggunakan
beberapa konsep yang terkait
langsung dengan studi, yakni situs
bersejarah, daya tarik wisata, strategi
pengembangan dan wisata warisan
budaya. Situs menurut Undang-
undang cagar Budaya No 11 tahun
2010, pasal 1 ayat 5, dapat dimaknai
sebagai lokasi yang berada di darat
dan/atau di air yang mengandung
Benda Cagar Budaya, Bangunan
Cagar Budaya, dan/atau Struktur
Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nuruddin
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 4
manusia atau bukti kejadian pada
masa lalu (Anonim, 2014).
Adapun Heritage Tourism
merupakan sebuah konsep pariwisata
yang memanfaatkan lingkungan
binaan sebuah kota yang memiliki
nilai historis dan berfungsi sebagai
sarana pendidikan serta rekreasi
masyarakat, aktivitas ini sekaligus
sebagai sarana pelestarian (Janus,
2009). Sementara menurut Undang-
undang, Heritage sendiri dimaknai
sebagai warisan budaya bersifat
kebendaan berupa benda cagar
budaya, bangunan cagar budaya,
struktur cagar budaya, situs cagar
budaya, dan kawasan cagar budaya
di darat dan atau di air yang perlu
dilestarikan keberadaannya karena
memiliki nilai penting bagi sejarah,
ilmu pengetahuan, pendidikan,
agama, dan atau kebudayaan melalui
proses penetapan (Anonim, 2014).
Menurut Stephanie K. Marrus
dalam Umar (Umar, 2001:31),
strategi dapat dimaknai sebagai suatu
proses penentuan rencana oleh para
pemimpin puncak dengan fokus pada
tujuan jangka panjang yang disertai
penyusunan suatu cara atau upaya
agar tujuan organisasi dapat
diwujudkan. Hamel dan Prahalad
(dalam Umar, 2001:31), menjelaskan
strategi sebagai tindakan yang
bersifat senantiasa meningkat dan
terus-menerus dan dilakukan
berdasarkan sudut pandang tentang
harapan para pelanggan di masa
depan.
Menurut Freddy Rangkuti
(Rangkuti, 2014:6), strategi dapat
dikelompokkan menjadi beberapa
tipe: 1) Strategi Manajemen, starategi
ini meliputi strategi yang dapat
dilakukan oleh manajemen dengan
orientasi pengembangan strategi
secara makro; 2) Strategi Investasi,
berorientasi pada investasi ; dan 3)
Strategi Bisnis, sering juga disebut
strategi bisnis secara fungsional
karena strategi ini berorientasi pada
fungsi-fungsi kegiatan manajemen,
misalnya strategi pemasaran, strategi
produksi atau operasional, strategi
distribusi, strategi organisasi dan
strategi-strategi yang berhubungan
dengan keuangan.
Pengembangan pariwisata dapat
dimaknai sebagai suatu rangkaian
upaya untuk mewujudkan
keterpaduan dalam penggunaan
berbagai sumber daya pariwisata
dengan aspek di luar pariwisata yang
berkaitan secara langsung maupun
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nuruddin
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 5
tidak langsung demi
pengembangan pariwisata
(Swarbrooke, 1996:99). Karena
itulah pengembangan pariwisata
dapat dilihat dari beberapa aspek,
yakni: 1) pengembangan keseleruhan
dengan tujuan baru; 2) membuat
atraksi baru meskipun semula sudah
ada; 3) pengembangan baru secara
keseluruhan dengan membuat atraksi
yang semakin global dengan pangsa
pasar baru; 4) membuat kegiatan
baru di sekitar lokasi destinasi utama.
Pendekatan yang digunakan
dalam kajian ini adalah kualitatif
yang fokus pada Situs Bersejarah di
Lasem Sidayu Gresik. Metode dan
teknik pengumpulan data dalam
kajian ini dilakukan dengan teknik
observasi sistematik, teknik
wawancara semi terstruktur dengan
penentuan informan menggunakan
teknik purposif dan teknik
dokumentasi. Informan tersebut
terdiri dari pemegang kekuasan di Desa
Lasem Sidayu Gresik, juru kunci situs,
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Gresik, Tim Cagar Budaya Gresik.
Teknik dan metode analisis data
dalam kajian diawali dengan reduksi
data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan yang kemudian
dipaparkan dalam artikel ini.
Lokasi Strategis dan Potensi
Perekonomian Kota Gresik
Secara umum lokasi Kota Gresik
sangat strategis, sehingga menjadi
daerah persinggahan bagi mereka
yang mau menuju ke pusat-pusat ibu
kota propinsi, baik Jawa Timur, Jawa
Tengah, Jawa Barat, dan DKI. Di
sektor maritim, posisi Kota Gresik
juga semakin strategis karena telah
dibangun pelabuhan internasional.
Beberapa tahun terakhir
perkembangan industri dan
perdagangan di Kota Gresik juga
sangat pesat dan jumlahnya
mencapai ratusan buah, baik itu
berskala nasional maupun
internasional. Perkembangan di
sektor industri tentunya juga
diimbangi dengan arus urbanisasi
masyarakat ke Gresik yang sangat
pesat, sehingga potensi peningkatan
pendapatan perekonomian warga
sekitar cukup terbuka, salah satunya
di bidang perumahan, industri
makanan dan hiburan.
Potensi yang demikian harus
dapat dimanfaatkan dengan
melakukan pembenahan di beberapa
sektor yang dapat mendukung dan
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nuruddin
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 6
menjaga eksistensi Kota Gresik di
tengah-tengah arus globalisasi yang
semakin pesat, sehingga dengan
posisinya yang strategis juga
berdampak positif bagi sektor
pariwisata yang mengedepankan
tinggalan budaya masyarakat. Upaya
itu juga diharapkan mampu
memelihara kultur budaya dan
meningkatkan taraf hidup masyarakat
lokal, yakni dengan melestarikan dan
memanfaatkan situs bersejarah
sebagai destinasi wisata.
Posisi Situs Ndalem yang berada
di Desa Lasem Kecamatan Sidayu
letaknya juga sangat strategis, yakni
berada di jalur pantura atau yang kita
kenal dengan Jalan Raya Daendels,
yang diapit oleh beberapa kota
penting antara lain Lamongan dan
Tuban di bagian barat, Kota Gresik,
Suarabaya, dan madura di bagian
timur. Infrastruktur atau jalan menuju
ke lokus juga sudah sangat dekat dan
cukup memadahi, sehingga potensi
untuk dikunjungi wisatwan manca
daerah juga sangat besar.
Situs Bersejarah sebagai Wisata
Warisan Budaya
Keberadaan Situs Ndalem yang
ada di Desa Lasem Sidayu Gresik
adalah salah bukti adanya kehidupan
di masa lalu yang cukup gemilang.
Betapa tidak, menurut cerita tutur
yang berkembang di masyarakat
bahwa era Keemasan Kerajaan
majaphit, daerah tersebut menjadi
salah satu wilayah dengan status
Desa Perdikan. Status tersebut
diberikan atas dasar keberadaan
seseorang yang tinggal di daerah
tersebut yang bertugas sebagai
pegawai urusan pajak. Masyarakat
sekitar kemudian menyebutnya
dengan nama Mbah Ajeg yang
makamnya tidak jauh dari Situs
Ndalem.
Tanah Perdikan atau Merdikan
pada awalnya merupakan penyebutan
istilah pembebasan tanah yang
digunakan pada masa feodal atas
tanah-tanah yang dimiliki oleh
kerajaan kemudian diberikan kepada
orang-orang yang menjaga tanah
tersebut. Selain itu istilah tersebut
juga digunakan sebagai tanah yang
dibebaskan dari pajak, karena ada
proses negosiasi tertentu, misalnya
penaklukan, perjanjian, hutang dan
lain sebagainya (Koentjaraningrat,
1994). Sumber lain menyebut, Desa
Lasem merupakan pusat kantor pajak
dari Kerajaan Majapahit untuk
wilayah pantai utara. Sebagai kepala
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nuruddin
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 7
kantornya bernama Mbah Ajeg, yang
secara khusus bertugas untuk
mengurus pajak di masyarakat, pada
masa pemerintahan Hayam Wuruk.
Untuk meningkatkan ekonomi Mbah
Ajeg juga dipercaya melakukan
transaksi perdagangan tidak hanya
antar wilayah bahkan sampai ke luar
negeri, yakni menjalin hubungan
dengan Tiongkok (Dukut, 2004).
Secara resmi pada tahun 1983
keberadaan situs tersebut sudah
terdaftar pada Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Pusat,
hal itu dapat dibuktikan dengan
munculnya surat Keputusan Direktur
Direktorat Perlindungan dan
Pembinaan Peninggalan Sejarah dan
Purbakala Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan tentang
Pengangkatan Juru Kunci dan
Pemeliharaan Peninggalan Sejarah
dan Purbakala Jawa Timur
(Tjakrasasmita, 1983). Berdasarkan
penelusuran ke lapangan, ada
beberpa temuan yang berada di Situs
Ndalem, yakni pagar ndalem, situs
struktur masjid kuno, dan komplek
sumur tua.
Situs Pagar Ndalem
Sebagai Desa Perdikan, di Desa
Lasem telah ditemukan sebuah situs
berupa pagar yang terbuat dari batu.
Masyarakat sekitar situs kemudian
menyebutnya sebagai Pagar Ndalem.
Pagar kuno tersebut tersusun dari
batu bata warna merah dengan
ketinggian yang beragam, antara 1
hingga 2 meter. Nampak dari sisi
depan, panjang pagar di sisi kiri
pintu masuk adalah 2 meter,
sedangkan pada sisi kananya panjang
pagar (yang tersisa) adalah 4 meter.
Pada sisi bagian dalam Pagar
Ndalem juga masih terlihat jelas
bahwa bangunan itu adalah menjadi
pembatas bagi adanya kehidupan di
dalam pagar dengan dunia di luar
pagar. Sangat mungkin bahwa di
dalam Pagar Ndalem terdapat
aktivitas kehidupan, sebab dalam
lokasi tersebut juga masih ada puing-
puing bangunan masjid, sisa dapur
kuno, dan komplek sumur kuno.
Dalam pagar kuno tersebut juga
terdapat penampakan yang beda,
sebab pada bagian yang berdekatan
dengan pintu masuk terdapat relief.
Penampakan dalam relief adalah
berupa gambar wayang, yang sangat
mungkin sebagai bagian pengaruh
dari budaya agama Hindu-Budha.
Gambaran itu dapat dimaknai
sebagai peralihan peradaban antara
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nuruddin
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 8
masa kerajaan Hindu-Budha ke era
Islam. Hal itu dikarenakan gambaran
dari relief tersebut tidak
menggambarkan secara kongkrit
seorang manusia atau binatang,
bahkan kepala dari gambar tersebut
menyerupai gambaran ikan. Di dalam
ajaran Islam penggunan gambaran
mahluk hidup juga tidak
dinampakkan, sehingga hubungan itu
mempunyai makna adanya akulturasi
budaya Islam dan Hindu-Budha.
Gambar 1
Pagar Ndalem dari
arah depan.
Gambar 2
Bagian dalam dari
Situs Pagar Ndalem.
Gambar 3
Relief yang berada pada bagian dalam
Pagar Ndalem.
Situs Masjid Kuno
Dalam Situs Ndalem juga
ditemukan peninggalan puing-puing
bangunan menyerupai masjid.
Temuan itu dapat dimaknai bahwa
sarana ibadah tersebut sangat
mungkin muncul di era setelah
Majapahit mulai mengalami
kemunduran. Sebab, masuk dan
berkembang-pesatnya islamisasi di
Jawa bersamaan dengan periode
akhir Kerajaan Majapahit. Bahkan
keberadaan makam-makam kuno di
sekitar situs juga menjadi bukti
bahwa hal itu atas pengaruh Islam.
Kubur panjang di sebelah utara Situs
Ndalem juga menjadi bukti bahwa
pengaruh Islam sudah cukup kuat,
sedangkan keberadaan Makam
Petilasan Joko Tingkir juga menjadi
bukti pahwa saat itu Kerajaan
Majaphit sudah semakin melemah.
Dalam situs yang menyerupai
masjid tersebut berupa puing-puing
bangunan semacam pondasi masjid.
Di bagian depan terdapat pintu
berukuran 60 cm. Panjang puing
bangunan bagian dalam adalah 7
meter, sedangkan lebar bangunan
bagian dalamnya adalah 5.80 meter.
Ketebalan tembok di semua bagian
sisinya adalah 60 cm, sedangkan
bangunan yang menyerupai ruang
mimbar adalah 60 cm. Di bagian
depan situs “Masjid” juga terdapat
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nuruddin
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 9
undag menuju pintu keluar. Undag
pertama lebarnya 110 cm, undag
kedua dan seterusnya masing-masing
70 cm. Di sisi luar puing bangunan
yang menyerupai masjid terdapat
pembatas bangunan (semacam pagar
bangunan), yang ukuran panjangnya
adalah 12.40 m, sedangkan lebarnya
adalah 11.40 m. Sementara itu
ukuran panjang undag tersebut
adalah yang pertama 320 cm, yang
kedua 240 cm, yang ketiga 220cm,
dan keempat adalah 180 cm.
Gambar 4
Nampak dari depan Situs Masjid
Kuno
Situs Sumur Tua
Sebagai bukti adanya kehidupan
di masa lalu sebagai pendukung
peradaban, di sekitar situs puing
masjid kuno juga terdapat beberapa
benda peninggalan. Diantaranya
adalah komplek sumur tua yang
berada di sisi utara situs masjid kuno.
Keberadaan sumur dapat dimaknai
sebagai sarana pendukung kegiatan
masyarakat di sekitar situs.
Mengingat letaknya yang
bersebelahan dengan puing masjid
kuno, dapat artikan bahwa sangat
mungkin jika sumur tersebut adalah
sarana pendukung untuk bersuci.
(Fadlil, 2016: Agustus). Analaisis itu
kemudian dapat berubah setelah ada
temuan lain di dekat sumur tua,
yakni terdapat situs lain yang
dimungkinkan sebagai sarana
pendukung kehidupan masyarakat,
misalnya temuan berupa tempat
membersihkan piring, beberapa batu
yang menyerupai tungku
pembakaran, dan batu berlubang
yang mungkin diperuntukkan
menumbuk sesuatu.
Gambar 5
Sumur Kuno yang
berada di Utara
situs masjid
Gambar 6
Bejana air untuk
mencuci yang
berada di tepi
sumur tua.
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nuruddin
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 10
Gambar 7
Tempat bejana ditemukan
Pariwisata adalah salah satu jalan
pelestarian pada Situs Ndalem yang
meliputi pagar ndalem, struktur
masjid kuno dan komplek sumur tua.
Upaya tersebut memerlukan usaha
dan kerjasama dari berbagai pihak.
Pengembangan daya tarik wisata
menuntutnya tidak hanya memiliki
keunikan, tetapi layak untuk
dikunjungi bagi wisatawan. Ketiga
situs peninggalan bersejarah tersebut
diharapkan dapat menjadi pelengkap
terhadap daya tarik wisata di Kota
Gresik yang sudah mapan, seperti
Wisata Religi Sunan Giri dan Sunan
Maulana Malik Ibrahim yang sudah
dilengkapi dengan berbagai
infrastruktur yang mendukungnya
sebagai destinasi wisata. Peninggalan
bersejarah yang berupa Pagar
ndalem, struktur masjid kuno dan
komplek sumur tua saat ini hanya
menjadi daya tarik wisata khusus bagi
beberapa kalangan yang memiliki
ketertarikan khusus kepada sejarah
dan kebudayaan. Mereka yang
datang umumnya yang mencintai
sejarah dan budaya yang bersifat
tradisonal.
Strategi Pengembangan Situs
Ndalem sebagai Wisata Warisan
Budaya
Sebelum menentukan strategi
dalam mengembangkan Situs
Ndalem di Desa Lasem Sidayu
Gresik sebagai daya tarik wisata
warisan budaya, terlebih dahulu
dijabarkan beberapa faktor yang
melingkupinya, meliputi faktor
attraction, accessibility, amenities,
available packages, activities,
ancillary service dan ditambah
dengan faktor promosi wisata.
1. Faktor Atraksi Wisata
Perkembangan daya tarik
wisata dapat diukur melalui
peningkatan jumlah wisatawan
serta didukung pula dengan
penataan daya tarik wisata yang
baik. Situs Ndalem di Desa
Lasem Sidayu Gresik sebagai
situs bersejarah kondisinya saat
ini terawat dengan baik,
lingkungan di sekitarnya juga
selalu bersih, sehingga
memungkinkan pengunjung atau
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nuruddin
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 11
wisatawan untuk berlama-lama
menghabiskan waktu di
lingkungan Situs Ndalem.
Meskipun tersedia tanah yang
lapang, namun atraksi wisata
buatan di sekitar situs belum
tersedia, seperti peragaan
permainan adat yang ada di
sekitar situs yang juga bisa
dipraktekan oleh wisatawan.
Selama ini bagi warga desa,
lokasi tersebut hanya sering
dijadikan sebagai tempat
berkumpul dan melaksanakan
beberapa kegiatan organisasi
pemuda. Pengembangan Situs
Ndalem di Desa Lasem Sidayu Gresik
sebagai wisata warisan budaya
telah dikunjungi oleh wisatawan
lokal maupun luar kabupaten
yang jumlahnya ratusan orang
dalam tiap bulannya. Namun
patut disayangkan bahwa hingga
kini belum ada bagian yang
secara khusus mencatat jumlah
pengunjung.
2. Faktor Aksesibilitas
Kawasan Situs Ndalem yang
terdiri dari pagar ndalem, struktur
masjid kuno, dan komplek sumur
tua berlokasi tidak jauh dari
masing-masing tinggalan. Akses
menuju kawasan tersebut dapat
menggunakan angkutan umum
seperti bus, lyn, taksi, dan becak.
Selain itu moda transportasi
untuk mencapai Kota Gresik
telah cukup lengkap dan terdapat
terminal nasional sebagai transit
angkutan umum menuju Kota
Lamongan, Tuban, Bojonegoro,
Lasem, rembang, Semarang
hingga Pulau Sumater. Selain
moda transportasi darat yang
sangat lengkap, di Kota Gresik
juga sudah tersedia pelabuhan
yang cukup representatif yang
menghubungkan pulau-pulau di
nusantara. Bahkan sejak tahun
2015 telah dibangun pelabuhan
bertaraf internasional dan dalam
waktu yang tidak lama akan
diresmikan.
3. Faktor Fasilitas Penunjang
Pariwisata
Pembangunan industri
pariwisata berawal dari adanya
permintaan konsumen, sehingga
hadir produsen untuk memenuhi
permintaan tersebut. Kebutuhan
wisatawan tidak hanya berupa
daya tarik wisata tetapi juga
kebutuhan jasa. Guna
mengantisipasi jumlah kunjungan
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nuruddin
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 12
wisatwan dari luar daerah, maka
diperlukan fasilitas penunjang
berupa tempat penginapan, bisa
berupa hotel, motel, atau home
stay. Selain itu fasilitas
penunjang lain yang juga harus
disediakan adalah sarana makan,
baik berupa restoran maupun
rumah makan yang terjangkau
dan berkualitas. Pramuwisata
juga menjadi salah satu kebutuhan
wisatawan, oleh karena itu di
lokasi sekitar situs harus ada
pramuwisata yang mempunyai
lisensi madya (menengah), serta
mampu berbahasa nasional dan
asing dengan baik dan benar.
4. Faktor Ketersediaan paket Wisata
Industri pariwisata tidak bisa
lepas dari adanya biro perjalanan
wisata sebagai salah satu pihak
yang mendatangkan wisatawan
ke daerah tujuan wisata. Oleh
karena itu diperlukan adanya
paket wisata yang dipasarkan
oleh pihak yang terkait atau dapat
bekerja sama dengan biro
perjalanan di Kota Gresik,
sehingga keberadaannya semakin
dikenal banyak kalangan dan hal
itu akan berdampak pada
peningkatan kunjungan wisatwan
ke lokasi situs.
5. Faktor Pelayanan Pendukung
Ancillary service merupakan
pelayanan pendukung yang
dibutuhkan wisatawan selama
berada di daerah tujuan wisata.
Pelayanan pendukung berupa
layanan telekomunikasi,
perbankan, pos, penukaran uang
dan kesehatan yang berstandar
nasional harus ada. Faktanya, di
sekitar situs tinggalan belum ada
fasilitas yang dimaksudkan di
atas. Guna mendukung
terbentuknya siata tinggalan
budaya yang bagus, fasilitas
tersebut harus segera dipenuhi
sebagai bagian dari pelayanan
terhadap pengunjung.
6. Faktor Promosi Wisata
Kawasan Situs Ndalem
sebagai wisata peninggalan
budaya saat ini tidak banyak
dipromosikan. Kegiatan promosi
hanya dilakukan oleh Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan Kabupten Gresik
kepada para tamu kabupaten. Kegiatan
educational tour bagi siswa
sekolah juga belum banyak
dilakukan, hanya ada beberapa
sekolah di sekitar situs saja yang
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nuruddin
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 13
melakukan kunjungan, baik
secara rombongan maupun
individu. Selain itu belum ada
promosi yang dilakukan oleh
pihak-pihak yang terkait. Oleh
karena itu dalam waktu dekat,
promosi harus segera dilakukan
oleh masyarakat sekitar atau
pihak-pihak yang terkait.
Strategi yang Efektif
Strategi yang dimaksud dalam
artikel ini adalah gagasan-gagasan
yang diperuntukkan bagi masing-
masing bangunan bersejarah dalam
pemanfaatannya sebagai wisata
warisan budaya. Strategi yang
digunakan untuk penelitian ini adalah
strategi intensif yang terdiri dari
pengembangan produk, penetrasi
pasar dan pengembangan pasar.
Strategi intesif dipilih sebagai
strategi pengembangan karena ketiga
bangunan bersejarah tersebut
memiliki potensi sebagai produk
pariwisata sehingga memerlukan
usaha-usaha intensif untuk dapat
bersaing dengan daya tarik wisata
lainnya di berbagai daerah di
Indonesia.
Langkah - langkah dalam
implementasi strategi pengembangan
produk pada Situs Ndalem adalah
dengan cara pengembangan
kawasan di sekitar situs
disesuaikan dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Gresik
serta aturan zonasi oleh Balai
Pelestarian Cagar Budaya. Situs
Ndalem sebagai kawasan cagar
budaya belum disusun zonasi cagar
budaya oleh pihak yang berwenang
di Kabupaten Gresik, sehingga
pembangunan di sekitarnya dapat
disesuaikan dengan langkah-langkah
pelestarian bangunan. Upaya
pembatasan dengan menentukan
zonasi sangat memungkinkan, sebab
ruang dan lingkungan di sekitar situs
cukup luas dan dapat disinergikan
dengan pertumbuhan lingkungan
sekitarnya. Oleh karena itu
pengembangan Kabupaten Gresik
seharusnya dapat bersinergi dengan
keberadaan bangunan cagar budaya.
Adapun langkah - langkah
implementasi pada strategi
penetrasi dan pengembangan pasar
terhadap Situs Ndalem adalah:
perbaikan terhadap pelayanan
informasi website yang tersedia
dalam berbagai bahasa,
pengelompokan daya tarik wisata
sesuai dengan jenis, seperti wisata
warisan budaya, alam atau minat
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nuruddin
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 14
khusus sehingga dapat menarik pasar
wisatawan baru; menjalin kerjasama
dengan mitra kerja dari berbagai
travel fair yang telah dihadiri;
pembuatan newsletter yang
dikirimkan melalui email sehingga
kegiatan promosi yang terus-menerus
dapat dilakukan; menjalin kerjasama
dengan biro perjalanan wisata dan
organisasi pariwisata; dan
peningkatan standarisasi pelayanan
sumber daya manusia dan fasilitas
umum yang berstandar di sekitar
kompleks kawasan situs.
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah diuraikan dapat disimpulkan
bahwa pemanfaatan beberapa situs
yang ada di Koplek Ndalem di
Lasem Sidayu Gresik dapat berfungsi
sebagai daya tarik wisata. Beberapa
bangunan bersejarah tersebut adalah
pagar ber-relief, situs masjid kuno,
dan komplek sumur tua, yang
dahulunya sebagai pusat
pemerintahan kuno di era kerajaan
Majapahit, sebagai lambang
kehidupan sosial pemerintahan
tradisonal. Pemanfaatan kawasan
Situs Ndalem pada awalnya
adalah sebagai pusat tontonan
warga sekitar desa yang
kebetulan mengunjungi sanak
saudaranya di desa tersebut.
Pemanfaatannya kemudian hanya
dijadikan sebagai saranan wisata
religi, karena di sekitar situs juga
terdapat makam kuno yang
dikeramatkan, yang dimungkinkan
pendukung peradaban di situ.
Perkembangan selanjutnya semakin
banyak wisatwan yang mulai tertarik
pada nilai-nilai sejarah dan budaya
atas tinggalan bersejarah tersebut.
Strategi yang efektif untuk
meningkatkan dan menjadikan situs
bersejarah tersebut sebagai wisata
warisan budaya adalah dengan
strategi intensif yang terdiri dari
strategi pengembangan produk,
penetrasi pasar dan pengembangan
pasar. Strategi tersebut dapat berupa:
kerja sama dengan sekolah-sekolah
di sekitar situs dan kepala dinas yang
terkait agar ada program kunjungan
bagi siswa sekolah tingkat dasar
maupun menengah di Gresik;
penetapan aturan tentang zonasi dan
peraturan pemerintah daerah;
peningkatan aktivitas antara budaya
lokal-wisatawan; peningkatan
sumber daya manusia yang terkait
dengan kualitas layanan; perbaikan
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nuruddin
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 15
akses jalan menuju situs; dibuat
target pengembangan pasar;
pengadaan fasilitas galeri yang
memberikan penjelasan tetang
kesejarahan dan struktur yang
mendukung Situs Ndalem; struktur
pengelola situs juga harus diperjelas,
sehingga menjadi media komunikasi
antara konsumen yang mempunyai
kepentingan dengan situs
peninggalan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2010 Tentang
Cagar Budaya. Pemerintah
Republik Indonesia
Koentjaraningrat, 2000, Kebudayaan
Mentalitas dan Pembangunan,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Nur Efendi, Peran Bengawan Solo
Pada Perekonomian
majaphitAbad XIV-XVI,
AVATAR e-Journal Pendidikan
Sejarah, UNESA, Volume 2, No.
3, Oktober 2014.
Rangkuti, Freddy. 2014. Analisis
SWOT: Teknik Membedah
Kasus Bisnis. Jakarta: PT.
Gramedia
Swarbrooke, John. 1996.
Development and Management
of Visitor Attractions. Oxford:
Butterworth-Heinemann.
Satrio, Janus.2009.Pelestarian
Kawasan Purbakala Antara
Konsep Dan Realita. Buletin Tata
Ruang ISSN: 1978–1571 Edisi
November - Desember 2009.
Direktorat Peninggalan Purbakala
Departermen Kebudayaan Dan
Pariwisata.
Tim Penyusun, 2003. Gresik dalam
Perspektif Sejarah, Gresik:
Pemkab
Umar, Husein (2001). Strategic
Management in Action. PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Widodo, Dukut Imam (ed.), Grisse
Tempoe Doeloe, Gresik:
Pemerintah Kabupaten Gresik.
Wawancara:
Khoiri, kepala Desa Lasem Sidayu
Gresik, wawancara pada tanggal
14 Mei 2016
Muchammad Fadhil, sesepuh Desa
Lasem Sidayu Gresik,
wawancara pada 28 Februari
2016.
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 16
ANALISA PERSEPSI WISATAWAN TERHADAP JAWA BARAT
SEBAGAI DESTINASI WISATA
Nono Wibisono *1
Jurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Bandung
I Nengah Subadra *2
Program Studi Pariwisata, Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya
ABSTRACK
Perception is an important issue in this era as it influences the sustainability
of the tourism destination. Additionally, it also influences the tourists in decision
making process before visiting the destination. This research is aimed at exploring
the the tourist’s perception towards West Java as a tourism destination.
The research uses quantitative approach undertaken in some tourism sits in
West Java such as Bandung City, Bandung Regency and Bogor City. The data
were collected through survey of 200 respondents and analysed using descriptive
analysis to see the tourist’s perception. Menawhile, the mean of the gender on
perception of the tourism destination was using T test.
The research shows that the tourists perception towards tourism object is
sufficianly significant with a total mean of 5.28. Meanwhile, for each item,
weather reaches mean of 6.1, to follow with scenery (mean of 5.8) and atmosphere
(mean of 5.7). Further, there is not significant difference between perception of
male and female tourists towards perception of West Java as a tourism
dentination of 0.73 with a significance score of 0.393 (>0.05).
Keywords: competition, tourist perception, West Java
PENDAHULUAN
Di era persaingan yang semakin ketat
diantara destinasi wisata,
menyebabkan setiap destinasi wisata
harus dapat memberikan kesan yang
menyenangkan di hati wisatawan,
salah satunya dengan cara
menciptakan persepsi yang baik
terhadap wisatawan. Untuk itu
pemasar destinasi harus
mencurahkan waktu dan energi agar
dapat memperbaiki atau
mempertahankan persepsi destinasi.
Banyak literatur mengatakana bahwa
jika destinasi wisata ingin
mempunyai keunggulan komparatif,
destinasi harus menciptakan persepsi
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nono Wibisono, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 17
yang baik; yaitu dengan cara
meningkatkan produk atau layanan
pariwisata, maupun atribut destinasi
sehingga dapat memberikan kesan
yang baik, sehingga menimbulkan
persepsi yang positif di dalam
pikiran wisatawan (Echtner &
Ritchie, 2003; Beerli & Martin,
2004; Assaker et al, 2011, Qu, et al,
2011). Selain itu, diasumsikan juga
bahwa 'persepsi ' adalah salah satu
faktor penentu bagi wisatawan untuk
memilih destinasi dan juga sebagai
factor yang bisa menciptakan daya
saing destinasi (Govers & Go, 2003;
Dwyer & Kim, 2003). Dengan
demikian, secara umum, 'persepsi'
destinasi sangat mempengaruhi
wisatawan didalam menentukan
pilihan destinasi wisata sebelum
berkunjung (Fakeye & Crompton,
1991; Bigne, Sanchez & Sanchez,
2001: Jorgensen, 2004; Lee, Lee, &
Lee, 2005). Dengan demikian,
menciptakan 'persepsi yang positif‟
merupakan hal yang sangat penting
bagi keberlanjutan destinasi wisata.
Dalam konteks pemasaran
pariwisata menciptakan persepsi
yang positif merupakan salah satu
strategi pemasaran yang penting
dilakukan oleh destinasi wisata. Ford
& Heaton (2000), mengatakan bahwa
persepsi diciptakan untuk menjadi
satu pembeda produk pariwisata,
layanan maupun atribut dari
pesaingnya yang ditawarkan ke
wisatawan. Akibatnya, secara
konvensional pemahaman tentang
'persepsi ' penting dilakukan untuk
pengembangan pemasaran destinasi
yang sukses, dan juga bisa digunakan
untuk menentukan posisi tujuan
wisata. Hal ini sejalan dengan
penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Echtner & Ritchie
(1993) yang mengatakan bahwa
'menciptakan dan mengelola persepsi
yang positif sangat penting untuk
penentuan posisi dan strategi
pemasaran yang efektif'.
Banyak penelitian sebelumnya
tentang persepsi destinasi wisata
dilakukan, namun hal ini cenderung
didominasi oleh destinasi wisata
yang telah mapan (lihat Echtner &
Ritchie, 1993, 2003; Fakeye &
Crompton, 1991; Gartner, 1996;
Baloglu & Mc Cleary, 1999; Jenkins
1999; Gallarza, 2002; Tasci et al,
2007; Guthrie & Anderson, 2010;
Agapito et al, 2013). Di sisi lain,
untuk destinasi Jawa Barat,
penelitian ini masih relatif terbatas
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nono Wibisono, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 18
(Wibisono, 2015). Dengan demikian,
penelitian ini mencoba untuk
memberikan kontribusi terhadap
persepsi objek wisata ini, dan juga
sebagai bahan untuk memberikan
informasi dalam rangka membangun
program promosi Jawa Barat sebagai
tujuan wisata.
IDENTIFIKASI MASALAH
Persepsi destinasi wisata
biasanya dianggap sebagai faktor
penentu bagi keberhasilan destinasi
wisata manapun. Namun, sebagian
besar penelitian ini dilakukan dari
perspektif destinasi yang telah mapan
atau populer. Oleh karena itu,
pemahaman tentang persepsi
destinasi wisata semakin kompleks
karena persepsi setiap orang berbeda,
dan juga banyaknya sumber
informasi dan media yang
digunakan. Demikian pula, banyak
sumber informasi yang berkaitan
dengan pariwisata Jawa Barat
memiliki pandangan serta persepsi
yang berbeda dimata wisatawan
ketika mereka melihat Jawa Barat
sebagai tujuan wisata. Dengan
demikian, penelitian ini memiliki dua
tujuan sebagai berikut:
1. Menganalisa persepsi terhadap
Jawa Barat sebagai destinasi
wisata dari wisatawan yang
pernah berkunjung
2. Membandingkan persepsi Jawa
Barat sebagai destinasi wisata
berdasarkan jenis kelamin
pengunjung
LATAR BELAKANG TEORI
Konsep Citra Destinasi
Citra destinasi merupakan isu
yang sangat menarik bagi setiap
peneliti di bidang pariwisata, karena
dari hasil penelitian tersebut telah
menunjukkan bahwa citra destinasi
mempunyai dampak yang signifikan
terhadap proses pengambilan
keputusan turis untuk memilih dan
melakukan kunjungan ke tempat
wisata (Beerli & Martin, 2004;
Bigne, Sanchez & Sanchez, 2001;
Kim & Richardson, 2003; Pike 2007;
Qu et al, 2011). Jenkins (1999)
menambahkan bahwa dari perspektif
pemasaran pariwisata, citra destinasi
berkaitan dengan pengambilan
keputusan, penjualan produk dan
layanan wisata, dan juga dapat
digunakan untuk mengetahui target
pasar. Dengan demikian, citra akan
memainkan peran yang penting
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nono Wibisono, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 19
dalam pikiran pengunjung sebelum
mengunjungi tujuan wisata
(McCartney et al, 2008). Untuk itu
menciptakan citra yang berbeda dan
positif merupakan fundamental aspek
untuk keberlanjutan dan keberhasilan
destinasi wisata di era kompetisi
global.
Definisi Citra Destinasi
Istilah „citra destinasi' memiliki
sejumlah makna dan arti, dan tidak
mempunyai definisi yang tepat yang
bisa digunakan, dan setiap ahli
mempunyai konsep/arti yang berbeda
(Gallarza ddk, 2002). Literatur yang
terkait dengan istilah citra destinasi
secara tradisional dikaitkan dengan
keyakinan, gagasan, dan kesan yang
di miliki seseorang berdasarkan
pemrosesan informasi dari berbagai
sumber yang menghasilkan
konstruksi mental yang diterima
secara internal (Crompton, 1979;
Gartner, 1993; Baloglu & Brinberg,
1997). Selanjutnya Murphy dkk
(2000) mendefinisikan citra destinasi
sebagai 'sejumlah asosiasi dan
potongan informasi yang terhubung
pada destinasi yang didasarkan pada
persepsi tentang karakteristik nyata,
dan pada saat bersamaan dikaitkan
dengan dimensi psikologis yang
diwujudkan oleh perasaan dan sikap
terhadap destinasi. Kim &
Richardson (2003) menambahkan
bahwa citra destinasi adalah
keseluruhan kesan, kepercayaan,
gagasan, harapan, dan perasaan yang
terakumulasi pada ke suatu
tempat/objek dari waktu ke waktu.
Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa citra merupakan kumpulan
dari sejumlah besar asosiasi dan
potongan informasi yang terhubung
terhadap suatu objek tertentu.
Kemudian citra destinasi bukan
hanya persepsi atau kesan individu
tapi juga merupakan kombinasi
antara entitas fisik dan entitas sosio
budaya, yang dipengaruhi secara
sengaja oleh upaya pemasaran seperti
melalui media/koran, brosur juga
dapat terbentuk melalui interpretasi
logis dan emosional pengunjung
melalui kunjungan yang sebenarnya
(Govers & Go, 2003).
Komponen Citra Destinasi
Kerangka teoritis mengenai citra
destinasi dikembangkan oleh Echtner
& Ritchie (1993), yang berfokus
pada karakteristik psikologis dan
fungsional dari citra destinasi.
Menurut mereka, model citra
destinasi dapat dibagi menjadi tiga
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nono Wibisono, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 20
elemen yang berhubungan. Pertama,
elemen yang berwujud (fungsional)
adalah karakteristik citra yang dapat
diamati atau diukur secara langsung,
seperti harga, infrastruktur
transportasi, dan jenis akomodasi
yang berkaitan dengan aspek yang
lebih nyata, Kedua, aspek tidak
berwujud (psikologis), meliputi,
kebaikan staf, keamanan, atmosfir
tempat, serta reputasi dan aspek ini
lebih sulit untuk diamati dan diukur.
Kemudian atribut umum yang
dimiliki oleh setiap destinasi wisata
seperti sarana tranportasi, tipe
akomodasi, dan harga, sedangkan
unik atribut menggambarkan sesuatu
yang yang unik/special yang dimiliki
oleh destinasi wisata, yang dapat
membedakan destinasi wisata yang
satu dengan destinasi wisata yang
lain (Stepchenkova, 2005).
Gambar 2.1.
Kombinasi komponen citra destinasi
Sumber: Echtner & Ritchie (2003).
Atribut Destinasi
Bagi peneliti di bidang pariwisata
menentukan atribut destinasi yang
pas sangatlah sulit, karena setiap
setiap destinasi mempunyai
karakteristik yang berbeda satu
dengan yang lain. Untuk itu
berdasarkan sejumlah literatur
pariwisata mengatakan bahwa tidak
ada elemen destinasi tunggal dan
pas; melainkan tergantung pada
konteksnya. Oleh karena itu, jika
peneliti ingin melakukan penelitian
tentang citra destinasi maka mereka
biasanya menggunakan destinasi
wisata yang sesuai dengan tujuannya.
Misalnya, Chi et al (2008)
menggunakan atribut seperti:
lingkungan perjalanan, daya tarik
alam, hiburan, daya tarik sejarah,
infrastruktur, aksesibilitas, relaksasi,
aktivitas di luar ruangan, harga, dan
nilai. Selanjutnya, Beerli & Martin
(2004) mengidentifikasi semua
elemen menjadi sembilan atribut
seperti rekreasi, sumber daya alam,
infrastruktur, budaya, sejarah dan
seni, lingkungan sosial, infrastruktur,
politik dan ekonomi, dan suasana
tempat. Tabel (2.1) menggambarkan
dimensi dan atribut destinasi.
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nono Wibisono, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 21
Tabel 2.1:
Dimensi dan atribut
destinasi wisata
Natural Resources
Weather
Temperature
Rainfall
Humidity
Hours of
sunshine
Beaches
Quality of sea
water
Sandy or rocky
beaches
Length of the
beaches
Overcrowding
of beaches
Richness of scenery
Protected nature
reverses
Lakes,
mountains,
deserts, etc.
Variety and
uniqueness of flora
and fauna
General infrastructure
Development and quality
of roads, airports and ports
Private and public transport
facilities
Development of health
services
Development of
telecommunications
Development of
commercial infrastructures
Extent of building
development
Tourist infrastructure
Hotel and self catering
accommodation
Number of beds
Categories
Quality
Restaurants
Numbers
Categories
Quality
Bars, discotheques and
clubs
Ease of access to
destination
Excursions at the
destination
Tourist centres
Network of tourist
information
Tourist leisure and
recreation
Theme parks
Entertainment ands
ports activities
Golf, fishing,
hunting, skiing,
scuba, etc.
Water parks
Zoos
Trekking
Adventure
activities
Casinos
Night life
Shopping
Culture, history and art
Museums, historical
buildings, monuments, etc.
Handicraft
Gastronomy
Folklore
Religions
Customs and ways of life
Political and economic
factors
Political stability
Political tendencies
Economic development
Safety
Crime rate
Terrorist attacks
Prices
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nono Wibisono, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 22
Natural environment
Beauty of the scenery
Beauty of the cities
and towns
Cleanliness
Overcrowding
Air and noise
pollution
Traffic congestions
Social environment
Hospitality and friendliness
of the local residents
Underprivileged and
poverty
Quality of life
Language barriers
Atmosphere of the places
Luxurious place
Fashionable place
Place with fame and
reputation
Place oriented toward
families
Exotic place
Mystic place
Relaxing place
Stressful place
Happy, enjoyable place
Pleasant place
Boring place
Attractive or interesting
place
Source adapted from Beerli & Martin (2004).
Persepsi Wisatawan
Persepsi, menurut Oxford
Genuine Dictionary (Ranjanthran &
Mohammed, 2010) berasal dari
istilah latin percepio yang berarti
menerima, mengumpulkan, dan
tindakan yang ada dalam pikiran
atau akal. Schiffman & Winsenblit
(2015) menyebutkan bahwa persepsi
adalah „the process by which people
select, organize, and interpret stimuli
into a meaningful and coherent
picture of the world’. Jobber (2004)
dan Solomon et al (2002)
menyimpulkan bahwa persepsi
adalah proses multifaset dimana
orang memilih, mengatur dan
menafsirkan inspirasi sensoris dan
rangsangan ke dalam gambaran
dunia yang komprehensif oleh
individu. Hawkins dkk, (2003),
menyebutkan ada tiga faktor utama
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nono Wibisono, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 23
dalam proses persepsi, yaitu;
persepsi selektif, terorganisir, dan
pribadi. Pertama, selektif mengacu
pada kebutuhan dan sikap individu.
Kedua, individu cenderung mengatur
rangsangan berdasarkan kriteria
psikologis, dan akhirnya, rangsangan
secara subjektif yang ditafsirkan oleh
individu. Dengan demikian, setiap
orang memiliki persepsi yang
berbeda tentang suatu objek
tergantung pada kebutuhan dan
minatnya. Misalnya, dua orang
dengan motivasi yang sama dan
dalam situasi yang sama memandang
sesuatu tentunya berbeda, misalnya
seorang wisatawan melihat tempat
wisata bagus dengan pemandangan
yang indah sementara wisatawan
lain mungkin memiliki pandangan
yang berbeda.
Dalam konteks pemasaran,
persepsi merupakan isu strategis
yang sangat penting yang harus
diperhatikan oleh suatu destinasi (Lin
et al, 2005; Marino, 2008). Tujuan
mengetahui persepsi adalah agar
destinasi dapat mengetahui posisinya
diantara destinasi wisata yang lain,
misalnya jika suatu destinasi
memiliki persepsi positif dari sudut
pandang wisatawan, wisatawan
tersebut akan membuat keputusan
untuk memilih mengunjungi
destinasi. Sebaliknya, jika mereka
memiliki persepsi negatif tentang
destinasi, mungkin mereka tidak
ingin mengunjungi tempat itu.
Dengan demikian setiap wisatawan
memiliki persepsi yang berbeda
berdasarkan pengalaman, informasi,
atau kualitas pelayanan yang
diberikan oleh pihak destinasi.
Selanjutnya, persepsi dalam
konteks pariwisata merupakan
cermin dan evaluasi berasarkan
pengalaman visual yang wisatawan
dapatkan dari destinasi yang mereka
kunjungi (Ranjanthran &
Mohammed, 2010). Oleh karenanya,
persepsi pengunjung dirasakan dan
dipengaruhi oleh persepsi subjektif,
serta perilaku setelah berkunjung
(Prebensen, 2007). Dengan
demikian, persepsi merupakan
elemen kunci yang tidak hanya dapat
meningkatkan daya saing destinasi,
tetapi juga dapat digunakan untuk
pembentukan citra destinasi (Echtner
& Ritchie, 2003; Galarza, et al, 2002;
Prebensen, 2007).
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nono Wibisono, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 24
METODE PENELITIAN
Metode Penelitian
Metode penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif.
Alasan memilih metode ini, karena
metode kuantitatif mampu
menghasilkan temuan yang jauh
lebih tepat dan hasilnya objektif
(Barton, 2000; Johnson &
Onwuegbuzie, 2004). Untuk
mengukur keseluruhan persepsi
penelitian ini menggunakan analisa
deskriptif. Tujuan dari analisa
deskriptif untuk memperoleh
deskripsi atau gambaran tentang
karakteristik tertentu (variabel
tertentu) dari suatu subjek yang
sedang menjadi perhatian dalam
penelitian, sedangan untuk
menganalisa perbedaaan persepsi
berdasarkan jenis kelamin (gender)
digunakan analisa T test.
Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data
merupakan suatu prosedur yang
sistimatis untuk memperoleh data
yang diperlukan (Byman, 2012).
Dalam penelitian ini pengumpulan
data dilakukan dengan cara survey,
yaitu menyebarkan kuesioner secara
langsung kepada responden. Lokasi
penelitian dilakukan di beberapa
daerah objek wisata yang ada di Jawa
Barat seperti Kota Bandung, Kota
Bogor, dan kabupaten Pangandaran
Penelitian dilakukan mulai bulan
Agustus sampai dengan bulan
Oktober 2017, dengan jumlah
responden 200.
HASIL DAN DISKUSI
4.1 Karakteristik Responden
Karakteristik
demografi
Jumlah responden (N = 200)
N %
Gender
Male 110 55
Female 90 45
Usia
17-24 years 33 16,5
25-34 years 69 34,5
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nono Wibisono, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 25
35-44 years 52 26
45-59 years 43 21,5
60 years 3 1,5
Tingkat pendidikan
Secondary school 2 1
High school 32 16
College 13 6,5
University 152 76
Other 1 0,5
Pendapatan
Rp.24.000.000 76 38
Rp.25.000.000-
34.000.000
31 15,5
Rp.35.000.000-
44.000.000
34 17
Rp.45.000.000-
54.000.000
17 8,5
>Rp.55.000.000 42 21
Pekerjaan
Student 21 10,5
Government 45 22,5
Professional 92 46
Entrepreneur 21 10,5
Retired 5 2,5
Other 16 8
Satus perkawinan
Single 67 33,5
Married 131 65,5
Divorced 1 0,5
Separated 1 0,5
Sumber : Hasil analisa (2017)
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nono Wibisono, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 26
Dari total 200 responden yang
digunakan (lihat tabel 4.1) terlihat
bahwa mayoritas responden adalah
laki-laki (55%) dan diikuti oleh
perempuan (45%). Selanjutnya
berdasarkan tingkat usia responden
terlihat bahwa pengunjung ke objek
wisata di dominasi oleh usia remaja
dan dewasa diantara usia 25 – 34
tahun (34. 5%), dengan latar
belakang pendidikan universitas
(76%). Hal ini menunjukkan bahwa
daerah wisata tersebut sangat
digemari oleh wisatawan muda
dengan tingkat pendidikan yang
cukup tinggi, dengan status menikah
(65.5%). Kemudian bila dilihat dari
jenis pekerjaan, terlihat bahwa
mayoritas pengunjung bekerja
sebagai pegawai swasta/profesional
(46%), diikuti oleh pegawai
pemerintahan (22.5). Untuk tingkat
pendapatan sebagian besar
pengunjung memperoleh penghasilan
sebesar Rp. 24 juta pertahun (38%),
di ikuti oleh timgkat menengah Rp.
35.000.000 - 44.000.000 (17%). Dari
hasil analisa ini dapat disimpulkan
bahwa wisatawan yang berkunjung
ke destinasi wisata di Jawa Barat di
dominasi oleh wisatawan muda
dengan tingkat usia produktif, serta
dengan latar belakang pendidikan
yang cukup tinggi, sehingga dapat
dikatakan sebagai wisatawan yang
berkualitas di masa yang akan
datang.
Persepsi Keseluruhan
Untuk mendeskripsikan tentang
gambaran persepsi wisatawan
terhadap destinasi wisata Jawa Barat
penelitian ini menggunakan
pertanyaan. Pertanyaan
dikembangkan dengan menggunakan
7 poin skala Likert mulai dari 1
(sangat tidak setuju) sampai 7
(sangat setuju). Analisa deskriptif
dilakukan untuk mengidentifikasi
item yang paling penting dari
persepsi wisatawan. Adapun tujuan
dari analisa deskriptif adalah untuk
mendapatkan gambaran mengenai
persepsi wisatawan terhadap objek
penelitian. Selanjutnya, untuk
mengukur persepsi, penelitian ini
menggunakan 23 item tentang
persepsi. Tabel berikut (4.2)
menggambarkan hasil analisa tentang
persepsi wisatawan terhadap objek
wisata Jawa Barat, mulai dari
ranking tertinggi sampai yang
terendah.
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nono Wibisono, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 27
Tabel 4.2:
Keseluruhan persepsi objek wisata
Jawa Barat
Attributes N Mean Std.
Deviation
Climate 200 6,1350 ,82473
Scenery 200 5,9700 ,86187
Relaxing 200 5,9000 ,96679
Atmosphere 200 5,8600 ,78963
Values 200 5,6050 ,97660
Friendly 200 5,5400 1,06964
Recreation 200 5,3750 1,20066
Foods 200 5,3700 1,36470
Access 200 5,3700 1,10871
Accomqual 200 5,3200 1,22273
Prices 200 5,2900 1,22614
Safety 200 5,2850 1,11805
History 200 5,2100 1,50907
Adventure 200 5,2100 1,24646
Servqual 200 5,2050 1,13109
Shopping 200 5,1800 1,49290
Entertain 200 5,1300 1,34989
Publictransp 200 4,9300 1,36175
Infrastructure 200 4,9250 1,29529
Museums 200 4,8950 1,52499
TICs 200 4,6150 1,41662
Cultural 200 4,5400 1,52974
Cleanliness 200 4,4050 1,41100
Valid N
(listwise) 200
Average 5,2724 1,21735
Berdasarkan hasil analisa deskriptif
terhadap konstruk yang
dikembangkan dalam penelitian ini,
terlihat bahwa dari hasil analisa
terlihat secara keseluruhan persepsi
Jawa Barat sebagai objek wisata
mempunyai nilai yang positif yaitu
dengan nilai rata-rata (mean 5.28).
Dimensi yang kuat terdiri dari
„climate„, „scenery‟, „relaxing‟ and
‟atmosphere‟. Selanjutnya atibut
„value‟, „friendly people‟, „food‟ dan
„recreation‟ juga mempunyai nilai
yang cukup tinggi, yang dapat di
identifikasikan bahwa Jawa Barat
merupakan tempat wisata yang
menyenangkan. Selanjutnya, atribut
lainnya seperti accessibility,
accommodation, prices, safety,
history, adventure, shopping, dan
entertain menunjukkan kesan yang
cukup positif. Sebaliknya, atribut lain
seperti public transportation,
infrastructure, museums, tourism
information centre (TICs), dan
cultural, (mean antara 4.93 - 4.54)
menunjukkan sebagai kelemahan;
atribut lain dengan nilai mean yang
paling rendah adalah „cleanliness‟
(mean score 4.40). Dari hasil ini
terlihat bahwa persepsi wisatawan
terhadap Jawa Barat sebagai objek
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nono Wibisono, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 28
wisata cukup menyenangkan sebagai
tempat rekreasi, walaupun masih ada
kekurangannya. Kemudian hasil
analisa juga menggambarkan bahwa
cuaca, pemandangan alam, relaks,
dan atmospir merupakan atribut
kunci tempat wisata dan sebagai
bagian dari citra destinasi wisata
yang mempunyai dampak yang
significant serta memberikan
kontribusi yang positif terhadap
destinasi wisata. Hal ini sesuai
dengan pendapat peneliti sebelumnya
Lee et al (2005; Chi & Qu, 2011),
yang mengatakan bahwa destinasi
wisata yang menyenangkan akan
tercipta melalui kunjungan ke tempat
wisata, dan menghasilkan kesan
yang positif. Dengan kata lain
persepsi akan timbul melalui
kunjungan langsung ke tempat
wisata.
Selanjutnya, untuk memelihara
dan meningkatkan persepsi
wisatawan terhadap destinasi wisata
DMO harus mengetahui secara jelas
tentang objek wisatanya dari persepsi
dan harapan wisatawan, dengan
demikian akan berdampak terhadap
posisi destinasi wisata (Govers,
2005).
Jadi dengan mengetahui persepsi
wisatawan, DMO dapat menyiapkan
cara promosi yang tepat, maupun
memberikan pelayanan yang
menyenangan sehingga apa yang
diinginkan wisatawan dapat
terpenuhi.
Membandingkan Persepsi
Wisatawan Berdasarkan Jenis
Kelamin
Untuk membandingkan nilai
mean dari dua kelompok yang
berbeda digunakan uji independen T
tes. Dengan menggunakan uji
Levene merupakan salah satu
menganalisis perbedaan dari mean
kelompok dikurangi dari masing-
masing skor individu dalam
kelompok (Bryman and Cramer,
2011). Akibatnya perbedaan kedua
fungsi ini bisa berupa either one
tailed or two tailed. Selain itu, uji T
dilakukan untuk mengukur
perbedaan rata-rata antara jenis
kelamin wisatawan. Berdasarkan
hasil analisa menunjukkan bahwa
dari 200 responden; laki-laki dan
perempuan menunjukkan ada sedikit
perbedaan persepsi, dimana laki-laki
memiliki skor rata-rata 5,21, dan
perempuan memiliki skor rata-rata 5,
34 (lihat tabel 4.3).
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nono Wibisono, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 29
Independent Samples Test
Levene's
Test for
Equality
of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig.
(2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95%
Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Citra Equal
variances
assumed
,732 ,393 -
1,292
198 ,198 -,12574 ,09734 -
,31769
,06622
Equal
variances
not
assumed
-
1,312
197,659 ,191 -,12574 ,09580 -
,31465
,06318
Tabel di atas menunjukkan
bahwa secara statistik tidak terdapat
perbedaan skor varians yang
signifikan untuk kedua kelompok
responden, dapat dilihat bahwa F =
0,732 dengan signifikan 0,393 (>
Sig0.05). Selain itu, dengan
menggunakan asumsi untuk uji beda
dengan varians Equal yang
diasumsikan, dapat disimpulkan
bahwa t skor adalah -1,292 dengan
tingkat signifikansi 0,198 (di atas
nilai cut-off 0, 05), dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa dari 2
(dua) kelompok responden
menunjukkan bahwa kedua
kelompok jenis kelamin tersebut
mempunyai persepsi yang sama
terhadap persepsi destinasi.
Table. 4.3
Group Statistics
N Gender
N Mean
Std.
Deviation Std. Error Mean
Citra Male 110 5,2158 ,73136 ,06973
Female 90 5,3415 ,62316 ,06569
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nono Wibisono, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 30
KESIMPULAN
Destinasi wisata Jawa Barat
merupakan suatu fenomena baru, di
bandingkan dengan destinasi wisata
lain seperti Bali maupun Jogyakarta.
Namun telah berkembang sampai
pada titik dimana terus didukung dan
di dorong oleh pemerintah provinsi
maupun pemerintah daerah, karena
sektor ini memiliki pengaruh yang
sangat besar dalam memberikan
kontribusi ekonomi maupun sosial.
Dari hasil penelitian terlihat bahwa
persepsi Jawa Barat sebagai destinasi
wisata secara keseluruhan
mempunyai kesan positif, dan bisa di
gambarkan sebagai destinasi yang
memiliki pemandangan alam yang
indah dan alami, yang di
kombinasikan dengan cuaca yang
nyaman, serta budaya lokal yang
menyenangkan termasuk
penduduknya ramah dan makanan
lokal yang beraneka ragam, namun
demikian agar objek wisata ini terus
berkembang maka perlu ditingkatkan
persepsinya dimata wisatawan.
Selanjutnya, untuk meningkatkan
dan keberlanjutan destinasi wisata di
pasar tertentu, aktivitas pemasaran
harus dilakukan secara
komprehensif, tidak saja tentang
kekuatan persepsi destinasi, tetapi
juga pengkombinasian antara
pengetahuan tentang persepsi dan
pengalaman. Hal ini sesuai dengan
pendapat Dioko dkk (2010), yang
mengatakan bahwa pemasar destinasi
wisata perlu menciptakan dan
mengembangkan persepsi destinasi
berdasarkan pengetahuan tentang apa
yang ada dalam pikiran wisatawan,
sehingga secara aktif dapat
mengarahkan pemahaman tentang
persepsi yang pada akhirnya dapat
digunakan sebagai positioning
destinasi. Oleh karena itu untuk
mendapatkan persepsi secara utuh
dan jelas, penelitian selanjutnya
harus menganalisa tentang
pengalaman serta ekspektasi
wisatawan.
DAFTAR PUSTAKA
Agapito, D., Oom do Valle, P and
Mendes, J da Costa (2013). The
Cognitive-Affective-Conative
Model of Destination. Journal of
Travel & Tourism Marketing. 30
(2), pp. 471-481
Assaker, G., Vinci, V.E and
O‟Connor, P. (2011). Examining
the effect of novelty seeking,
satisfaction, and destination
image on tourists‟ return pattern:
A two factor, non linier latent
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nono Wibisono, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 31
growth model. Tourism
Management. 32, pp. 890-901.
Baloglu, Seyhmus and Brinberg,
David (1997). Affective Images
of Tourism Destinations. Journal
of Travel Research, 35 ( 4), 11-
15.
Baloglu, S. and McCleary, K.W.
(1999). ``US international
pleasure travelers' images of four
Mediterranean destinations: a
comparison of visitors and
nonvisitors'', Journal of Travel
Research, 38 (2), pp. 144-152.
Barton, E. (2000). More
methodological matters: Againts
the negative argumentation. Col.
Comparison Commun, 1, 399-
416.
Beerli, A and Martin, C. (2004).
Factor in influencing destination
image. Annals of tourism image
research, 31, pp. 657- 681.
Bigné, Enrique J., Sánchez, Isabel M.
and Sánchez, Javier (2001)
Tourism Image, Evaluation
Variable and After Purchase
Behaviour: Inter-relationship.
Tourism Management, 22 (6), pp.
607-616.
Bigne, J. E., Sanchez, I., and
Andreau, L. (2009). The role of
variety seeking in short and long
run revisit intention in holiday
destinations. International
Journal of Culture, Tourism and
Hospitality Research, 3 (2) pp.
103-115.
Bryman, A (2012). Social research
methods 4edition. Oxford:
University Press Inc.
Bryman, A,. and Cramer, D. (2011).
Quantitative Data Analysis with
IBM SPSS 17, 18 & 19 A guide
for social scientists London :
Routledge.
Chi, C.G.Q and Qu, H. (2008).
Examining the structural
relationships of destination
image, tourist satisfaction, and
tourist loyalty. An integrated
approach. Tourism Management
Journal, 29 (4), pp. 624-636.
Dioko. L., Harill, R., and Cardon,
Peter, W. (2010). Brand China:
Tour Guide Perceptions and
Implications for Destination
Branding and Marketing.
Tourism Analysis, 15, 1-12.
Dwyer, L. and C Kim (2003).
„Destination Competitiveness:
Determinats and Indicators,
Current Issues in Tourism, 6 (5),
pp. 369-414.
Echtner C. M. and Ritchie J. R. Brent
(1993). The Measurement of
Destination Image: An empirical
Assessment, Journal of Travel
Research, 31, pp. 3-13.
Echtner, C. M. and Ritchie,
J.R.Brent. (2003). “The Meaning
and Measurment of destination
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nono Wibisono, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 32
Image”. The Journal of Tourism
Studies, 14 (1), pp. 37-48.
Fakeye, P.C. and Crompton, J.L.
(1991). Image differences
between prospective, first
time,and repeat visitors to the
Lower Rio Grande Valley.
Journal of Travel Research, 30
(10), pp. 10 – 16.
Ford, R.C., and Heaton, C.P. (2000).
Managing the guest experience in
hospitality. Albany, New York:
Delmar Thomson Learning.
Gallarza, M.G., Saura, I.G and
Garcia, H.C. (2002) Destination
Image: Towards Conceptual
Framework. Annals of Tourism
Research, 29 (1), pp. 56-72.
Gartner, W. C. (1996). Tourism
Development: Principles,
Processes and Policies. New
York: John Wiley & Sons Inc.
Govers, R. and Go, F. (2003).
Deconstruction destination image
in the trasformation age.
Information Technology and
Tourism, 6 (1), pp. 13-29.
Guthrie, C., and Anderson, A.
(2010). Visitor narratives:
researching and illuminating
actual destination experience.
Emerald, Qualitative Market
Research: An International
Journal, 13 (2), pp. 110-129.
Hawkins, D. I., Best, R.J., and
Coney, K.A. (2003). Consumer
Behaviour: Building marketing
strategy 9 th edition. Boston:
McGraw-Hill
Jenkins, O.H. (1999). Understanding
and measuring tourist destination
images. The international journal
of Tourism Research, 1, pp. 1-15
Jobber, D. (2004). Principles and
Practice of Marketing 4th
edn.London: Mac GrawHill
International, Ltd.
Johnson, B, and Christensen, L.
(2004). Educational research –
Quantitative and Qualitative and
Mixed approach (2nd edition)
London:Sage
Jorgensen, L.G. (2004). Unique
Singapore. An analysis of a
destination image and the
language of tourism. The Aarhus
Scholl of Business. Available
from:http://pure.au.dk/portal/files
/2156/000134297-134297.pdf
Kim, H and Richardson, S.L (2003)
Motion Picture Impacts on
Destination Images. Annals of
Tourism Research, 30 (1), pp.
216-237.
Lin, C.H., Sher, P.J., and Shih, H.Y.
(2005). Past progress and future
directions in conceptualizing
customer perceived value.
International Journal of Service
Industry Management, 16 (4).
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nono Wibisono, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 33
Lee, C., Lee, Y. and Lee, B. (2005).
Korea‟s destination image
formed by the 2002 world cup.
Annals of Tourism Research, 32
(4), pp. 839-858.
Marino, E. (2008). The Strategic
Dimension of Destination Image,
An Analysis of the French
Riviera Image from the Italian
Tourists Perceptions. Available
from:
http://www.esade.edu/cedit/pdfs/
papers/pdf10.pdf.
McCartney, Glenn, Butlter, Richard,
and Bennet, M. (2008). A
strategic use the communication
mix in the destination image.
Journal of Travel Research, 47
(2), pp. 183-198
Prebensen, Nina, K.( 2007).
Exploring tourists‟ images of
distant destination. Tourism
Management, 28 (3), 747-756.
Pike, Steven. (2002). Destination
image analysis. A review of 142
papers from 1973-2000 Tourism
Management, 23 (5), pp. 541-
549.
Pike, Steven.(2007) Destination
image literature 2001 – 2007,
Acta Turistica, 19 (2), pp. 107-
125.
Qu, H., Kim, L.S and Im, Holly, H.
(2011). A model destination
branding: Integrating the
concepts of the branding and
destination image. Tourism
Management, 32, 465-476.
Schiffman, L.G., and Wisenblit, J.L
(2015). Customer Behavior.
Global Editon. Eleventh Edition.
Boston: Pearson, Always
Learning.
Ranjanthran, M., and Mohammed, B.
(2010). Domestic Tourism:
Perception of domestic on
tourism product in Penang Island.
Asia Journal of Tourism
Research.
Available from:
http://www.ipublishing.co.in/ajm
rvol1no1/EIJMRS1061.pdf
Solomon, M., Bamossy, G., and
Askegaard, S. (2002). Consumer
Behaviour: A European
perspective. New Jersey:
Englewood Cliffs, Prentice Hall.
Sekaran, U (2013). Research
methods for business (edisi
bahasa Indonesia) Jakarta:
salemba empat
Stepchenkova, S. (2005). Russia‟s
Destination Image among
American Pleasure Travleers.
Master Thesis, Purdue
University. Available
from:http://plaza.ufl.edu/svetlana
.step/research/MSthesis.pdf.
Tasci, A. D. A., and W.C, Gartner.
(2007). “Destination image and
its functional relationships.”
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Nono Wibisono, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 34
Journal of Travel Ressearch, 45
(4), pp. 413-425.
Wibisono, N (2015). Destination
image; perception, experience,
and behavioural intent in the
context of West Java, Indonesia
as a tourist destination. Thesis,
University of Lincoln, England.
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 35
VIHARA DHARMA GIRI SEBAGAI DAYA TARIK WISATA ROHANI
DI KABUPATEN TABANAN
Ni Kadek Widyastuti
Program Studi D4. Manajemen Perhotelan Universitas Dhyana Pura
ABSTRACT
The uniqueness of Bali that characterizes itself making it as the major tourist
destination. Vihara Dharma Giri into a tourist attraction that is also a spiritual
tour is located in Pupuan Street, Pupuan Sub-District, Tabanan District, Bali
Province. Vihara Dharma Giri is famous for its uniqueness and other than as a
place of worship for Buddhists, there is also a large and very phenomenal
sleeping Buddha statue, supported by the natural atmosphere surrounding, it is
still natural and the cool weather around the Vihara Dharma Giri.
The study was conducted in Vihara Dharma Giri is located in Pupuan Street,
Pupuan Sub-District, Tabanan District, Bali Province.. As informants are some
the foundation of the Vihara Dharma Giri. The study is conducted by purposive
sampling technique. As the respondents, there were 30 foreign and domestic
travelers. Sampling is done by accidental sampling technique. The results
showed the potential of Vihara Dharma Giri as a spiritual tourist attraction are
the natural dan cultural attractions. Tourists visiting motivation are dominated
by attraction of art and culture because of its buildings and historical place
13.3% of respondents. Indicator of the perception in terms of tourist attractions
variables, that gaining excellent ratings is the architecture, with an average score
of 4.3. Art and culture 4.6, spiritual 4.3. Indicator of the accessibility variable
that gain the excellent assessment is the location of objects with an average score
of 4,6. Variables of the amenities/ fasilities indicator place of worship, toilet, and
parking area, gaining good assessment with an average score 3,8, but tourist
perception for the some hotels arround the Tabanan District still needs to be
improved. The last variable is tourism organizations/managers and indicator that
gain excellent perception is the cleanliness and safety with a score average of
4.5. Based on the research results, the existence of Vihara Dharma Giri as a
tourist attraction in Tabanan District overall got good perception assessment and
must be followed up indicators that is considered bad by the respondents, in order
to improve the assessment perception of visitors.
Keywords: Potential, Motivation, Perception.
PENDAHULUAN
Berkembangnya pariwisata di
Indonesia memberikan manfaat yang
cukup besar dalam perekonomian
suatu negara. Sejak tahun 1978
pemerintah terus berusaha untuk
mengembangkan kepariwisataan. Hal
ini dituangkan dalam TAPMPR
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Kadek Widyastuti
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 36
No.IV/MPR/1978 bahwa pariwisata
perlu ditingkatkan dan diperluas
untuk meningkatkan devisa,
memperluas lapangan kerja dan
memperkenalkan kebudayaan.
Pengembangan pariwisata yang telah
dilakukan baik oleh pemerintah
maupun swasta telah meningkatkan
jumlah kedatangan wisatawan di
Indonesia. Kunjungan wisatawan
akan merangsang interaksi sosial
dengan penduduk di sekitar sesuai
dengan kemampuan mereka dalam
beradaptasi baik dibidang
perekonomian, kemasyarakatan
maupun kebudayaan (Soebagyo,2012
: 17 ). Dibandingkan dengan negara –
negara yang sekarang menjadikan
sektor pariwisata sebagai penghasil
devisa utamanya seperti Hawai dan
Thailand, Indonesia memiliki
beberapa kelebihan yang dapat
memberikan sumbangan yang cukup
bermakna pada pemasukan devisa
Indonesia. Dikatakan demikian,
karena Indonesia memiliki hampir
semua jenis wisata seperti cultural
tourism, recuperational tourism,
commercial tourism, sport tourism,
political tourism, social tourism, and
religion tourism (Yoeti, 1987:114-
115). Pemerintah Indonesia sendiri
telah melakukan berbagai usaha
untuk meningkatkan citra
pariwisatanya, berbagai sarana dan
prasarana baru pariwisata terus
dibangun, diperbaiki, dan
diperbaharui, promosi objek wisata
yang belum berkembang secara
teratur dilakukan, serta objek wisata
baru secara bertahap dikembangkan.
Salah satu diantaranya objek wisata
baru yang mulai dikembangkan
adalah pariwisata religi atau rohani.
Banyak daerah tujuan wisata di
Indonesia, salah satunya adalah pulau
Bali yang dikenal dengan keindahan
alam serta adat istiadatnya.
Perkembangan pariwisata di Bali
yang sangat pesat menjadikannya
sebagai tolok ukur untuk sebagian
kota wisata lain yang ada di
Indonesia. Walaupun terjadi
peningkatan jumlah wisatawan yang
berkunjung ke Bali, tapi Pemerintah
Provinsi Bali terus berupaya
memberikan perhatian kepada
pariwisata di Bali. Yang
menyebabkan Bali sebagai salah satu
tujuan wisata utama adalah, karena
Bali memiliki keunikan budaya yang
menjadi ciri khas daerah Bali itu
sendiri. Modal kepariwisataan
(tourism assets) sering juga disebut
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Kadek Widyastuti
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 37
sumber daya kepariwisataan (tourism
resource).. Adapun modal atraksi
yang menarik kedatangan wisatawan
diantaranya adalah : alam,
kebudayaan, dan sumber daya
manusia itu sendiri. Bali sebagai
daerah tujuan wisata selama ini
diyakini telah mengalami beberapa
perkembangan dengan semakin
bervariasi dan bertambahnya daya
tarik dan atraksi wisata yang
ditawarkan dan diharapkan mampu
meningkatkan tingkat kunjungan
wisatawan (Putra, 2008 : 22). Suatu
daerah dapat menjadi tujuan wisata
apabila ada sesuatu yang dapat
dikembangkan menjadi atraksi
wisata. Potensi ini akan menjadikan
peluang pada pengembangan daya
tarik wisata yang ada di Bali. Modal
kepariwisataan itu mengandung
potensi untuk dikembangkan menjadi
atraksi wisata. Menentukan potensi
kepariwisataan disuatu daerah harus
berpedoman pada apa yang dicari
oleh wisatawan itu sendiri. Menurut
Ismayanti (2009 : 147) daya tarik
wisata merupakan fokus utama
penggerak pariwisata di sebuah
destinasi. Dengan kata lain daya tarik
wisata sebagai penggerak utama
yang memotivasi wisatawan untuk
mengunjungi suatu tempat. Daya
tarik wisata terdiri dari wisata
rekreasi, wisata agro, wisata belanja,
wisata budaya, wisata alam, wisata
kuliner dan wisata religi yang
merupakan indikator yang
berkontribusi paling kuat dalam
membentuk kepuasan konsumen. Hal
ini dapat dipahami bahwa atribut
daya tarik wisata sebagai pembentuk
kualitas layanan, mampu
memberikan kepuasan yang tinggi
pada wisatawan dan dapat
mengindikasikan bahwa indikator
daya tarik obyek wisata tersebut
merupakan atribut yang paling kuat
dalam pikiran wisatawan (Martaleni :
2011)
Saat ini tren wisata rohani atau
spiritual mendapat perhatian lebih
dari wisatawan, ini terbukti dengan
kunjungan wisata rohani atau
spiritual yang terus meningkat. Hal
ini disebabkan karena wisatawan
tidak hanya mencari kesenangan
semata tetapi mereka juga mencari
kesenangan batin. Wisata religi
sangat identik dengan wisata berbasis
keyakinan dan merupakan bagian
dari wisata budaya. Telah terjadi
pergeseran tren kepariwisataan dari
“sun, sand, and sea” menjadi
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Kadek Widyastuti
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 38
“serenity, sustainability and
spirituality“. Terjadinya peningkatan
tren wisata religi saat ini karena
setiap orang ingin memenuhi
kebutuhan rohaniahnya dengan
mendatangi tempat – tempat yang
menurut mereka suci sehingga
mereka bisa melakukan doa, atau
meditasi dengan menenangkan diri.
Potensi daya tarik wisata di
Indonesia yang dapat menarik
wisatawan melalui konsep wisata
religi sangat terbuka.
Keanekaragaman agama dan
keyakinan yang dimiliki Indonesia
menjadi modal untuk menjadi wisata
religi atau rohani seperti tempat
ziarah atau prosesi peribadatan yang
memiliki keunikan tersendiri. Pada
saat ini, pengembangan wisata religi
di sejumlah daerah di Indonesia
sudah mulai dijalankan dan akan
terus berkembang.
Pulau Bali sebagai destinasi
wisata yang memiliki potensi yang
sangat besar untuk dikembangkan
sebagai tujuan wisata rohani, apalagi
dengan mayoritas hindu serta
memiliki situs cukup banyak yang
dapat ditawarkan kepada wisatawan
yang ingin belajar nilai – nilai luhur
yang universal. Budaya Bali
tampaknya juga menjadi daya tarik
yang paling dominan dalam
perkembangan kepariwisataan di
Bali. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa 61% wisatawan yang
berkunjung ke Bali karena ingin
menikmati keunikan budaya, 32%
disebabkan oleh keindahan alam atau
panorama yang mempesona, dan
sisanya mencari hal – hal lain (
Mantra 1992 :9 ).
Salah satu daya tarik wisata yang
juga menjadi wisata spiritual yang
ada di Bali yaitu Vihara Dharma Giri
yang berlokasi di Jl Raya Pupuan,
Tabanan, Bali. Vihara Dharma Giri
merupakan tempat suci
persembahyangan bagi umat Budha.
Seperti halnya bangunan suci wihara
pada umumnya yang memiliki ciri –
ciri khas dalam bentuk bangunan
yaitu berbentuk stupa, pagoda, altar,
lonceng dan patung budha. Bagitu
pula dengan Vihara Dharma Giri
selain memiliki patung sang Budha
yang duduk bersila, terdapat juga
patung budha tidur berwarna putih
yang dibangun begitu besar dan
megah serta sangat fenomenal dan
didukung dengan pemandangan alam
yang indah dikawasan ini, sehingga
patung Budha tidur ini menjadi salah
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Kadek Widyastuti
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 39
satu daya tarik wisata baru di
kawasan Tabanan Bali. Suasana di
sekitar kawasan vihara ini sangat
sejuk dan damai, sehingga sangat
cocok sebagai tempat berdoa maupun
meditasi untuk menjernihkan pikiran
serta berwisata rohani. Bagi
wisatawan yang berkunjung, tidak
diperbolehkan untuk membuat
keributan agar umat budha yang
melakukan persembahyangan tidak
terganggu, begitu pula wisatawan
yang berkunjung tidak diperbolehkan
untuk mengenakan celana pendek
dan bagi wanita yang sedang
menstruasi atau sedang berhalangan
juga dilarang untuk masuk ke areal
wihara. Ada beberapa tempat dalam
vihara yang tidak diperkenankan
untuk mengenakan alas kaki seperti
sendal atau sepatu karena merupakan
tempat suci. Selain sebagai tempat
peribadahan umat budha, vihara ini
juga dapat dikunjungi sebagai
alternatif wisata di Kabupaten
Tabanan. Wisatawan yang
berkunjung tidak hanya umat Budha
saja yang datang dan ingin
melakukan persembahyangan tetapi
wisatawan domestik dan
mancanegara yang beragama selain
Budha juga banyak berkunjung ke
Vihara Dharma Giri karena ingin
mengetahui budaya dan seni yang
terdapat di dalam wihara apalagi
dengan adanya patung dalam ukuran
besar yang megah dengan warna
putih bersih dan posisinya
melukiskan Budha yang sedang tidur
dengan memangku kepala di satu
tangan dan jarang bisa ditemui di
wihara – wihara lain yang ada di Bali
selain di Vihara Dharma Giri,
sehingga hal ini juga yang menjadi
daya tarik tersendiri bagi wisatawan
yang ingin berkunjung ke Vihara
Dharma Giri ataupun banyak
wisatawan yang hanya ingin sekedar
mengabadikan atau berfoto di depan
patung sang Budha apalagi ditambah
dengan pemandangan di sekitar
patung Budha yang masih alami
sehingga mengundang wisatawan
yang ingin berkunjung ke Vihara
Dharma Giri. Banyak hal yang
menarik wisatawan untuk
berkunjung ke Vihara Dharma Giri
selain melakukan persembahyangan
dan doa untuk menenangkan pikiran
bagi yang beragama budha juga
adanya papan kayu yang diisi dengan
tulisan dan kata – kata bijak yang
dipasang di tiap – tiap pohon yang
merupakan cuplikan Dhammapada
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Kadek Widyastuti
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 40
atau himpunan sabda – sabda sang
Budha dalam kitab suci umat Budha.
Tulisan – tulisan ini tidak saja
sebagai hiasan yang di pajang begitu
saja tetapi lebih mengarah ke
spiritual dan juga pengingat untu
golongan manusia terutama beberapa
umat yang datang bersembahyang ke
Vihara Dharma Giri. Sama seperti
wihara lainnya, Vihara Dharma Giri
juga sering digunakan untuk beragam
upacara keagamaan untuk umat
Budha seperti puja bhakti, waisak
serta upacara hari raya umat Budha
lainnya.
RUMUSAN MASALAH
Bertitik tolak dari latar belakang
yang telah dikemukakan di atas,
maka permasalahan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut.
1. Apa potensi wisata yang dimiliki
oleh Vihara Dharma Giri sebagai
daya tarik wisata di Kabupaten
Tabanan ?
2. Apa motivasi wisatawan untuk
berkunjung ke Vihara Dharma
Giri sebagai salah satu pilihan
daya tarik wisata di Kabupaten
Tabanan?
3. Bagaimana persepsi wisatawan
terhadap Vihara Dharma Giri
sebagai salah satu daya tarik
wisata di Kabupaten Tabanan ?
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis keberadaan Vihara
Dharma Giri sebagai salah satu daya
tarik wisata Kabupaten Tabanan dari
perspektif wisatawan yang
berkunjung.
LANDASAN TEORI
Dalam penelitian ini ada
beberapa teori yang digunakan yang
relevan dalam menganalisis persepsi
wisatawan terhadap Vihara Dharma
Giri sebagai usaha daya tarik wisata
di Kota Tabanan. Teori - teori yang
digunakan adalah teori motivasi,
teori persepsi, dan teori the tourist
qualities of a destination.
Teori Motivasi
Motivasi adalah hasil proses yang
bersifat internal atau ekternal bagi
seseorang individu yang
menimbulkan sikap entusias dan
persistensi untuk mengikuti arah
tindakan – tindakan tertentu
(Winardi, 2002 : 25).
Menurut Sharpley (1994) dan
Wahab (1975) (dalam Pitana Gayatri
2005 : 58) motivasi merupakan hal
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Kadek Widyastuti
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 41
yang sangat mendasar dalam studi
tentang wisatawan dan pariwisata
karena motivasi merupakan trigger
dari proses perjalanan wisata,
walaupun motivasi ini acapkali tidak
disadari secara penuh oleh wisatawan
itu sendiri.
Menurut Abraham Maslow
(1943) pada intinya manusia
memiliki lima tingkat atau hierarki
kebutuhan di antaranya fisik
(fisiological need), rasa aman,
(security need), sosial (social need),
penghargaan atau pengakuan (esteem
need), dan mewujudkan jati diri (self
actualization need). Jika kebutuhan
yang paling dasar yaitu kebutuhan
fisik sudah terpenuhi maka manusia
akan mencari kebutuhan pada tingkat
berikutnya dan seterusnya.
Mengacu pada teori hirarki
kebutuhan Maslow, (Intosh,
1972:52) mengelompokkan motivasi
– motivasi dasar yang mendorong
wisatawan melakukan perjalanan
dapat dikelompokkan menjadi empat
kategori sebagai berikut :
Physical motivators (motivasi –
motivasi yang bersifat fisik),
meliputi yang berhubungan dengan
istirahat fisik (relaksasi),
kenyamanan, berpartisipasi dalam
kegiatan olah raga, bersantai dan
sebagainya, termasuk motivasi yang
berhubungan langsung dengan
kesehatan jasmani seseorang.
Keseluruhan motivasi – motivasi ini
memiliki satu kesamaan yaitu
pengurangan ketegangan melalui
aktivitas – aktivitas yang
berhubungan dengan faktor – faktor
fisik.
Cultural motivator (motivasi-
motivasi kebudayaan),
diidentifikasikan dengan keinginan
wisatawan untuk mengetahui musik,
seni, sejarah, tari-tarian, lukisan –
lukisan, agama dan aktivitas-
aktivitas budaya dari negara – negara
lain.
Interpersonal motivators
(motivasi –motivasi yang bersifat
pribadi) yang mencakup keinginan
untuk bertemu dengan orang –orang
baru, mengunjungi teman dan
keluarga, pelarian dari rutinitas hidup
yang membosankan, atau untuk
membangun pertemuan –pertemuan
baru dan seterusnya.
Status dan prestige motivators
(motivasi karena status atau prestise)
yaitu motivasi – motivasi yang
berkaitan dengan kebutuhan –
kebutuhan kepercayaan diri dan
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Kadek Widyastuti
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 42
pengembangan pribadi. Dalam
kategori ini adalah perjalanan-
perjalanan yang berkaitan dengan
bisnis, menghadiri konvensi, belajar,
pemenuhan hobi dan pendidikan,
seringkali ketertarikan pekerjaan atau
profesi. Motivasi – motivasi seperti
keinginan untuk diakui, diketahui,
penghargaan dan reputasi yang baik
dapat diraih dengan melakukan
perjalanan.
Motivasi utama seseorang untuk
melakukan perjalanan wisata
didorong oleh, motivasi fisik,
budaya, motivasi antar orang,
pengembangan status dan pribadi
(McIntoch dan Goeldner, 1986 : 124-
125; Swarbrooke dan Horner, 1999 :
53-54). Pengertian dari masing-
masing motivasi tersebut adalah :
1. Motivasi fisik, motivasi yang
berhubungan dengan kebutuhan
untuk beristirahat, mengurangi
ketegangan dan penyegaran pada
tubuh dan pikiran melalui
aktifitas fisik seperti
berpartisipasi dengan olah raga,
bersantai atau dapat juga
berhubungan dengan kesehatan.
2. Motivasi budaya, yaitu adanya
keinginan utuk melihat dan
mempelajari mengenai kota lain
seperti musiknnya, makanan,
sejarah, agama, dan kesenian.
3. Adanya keinginan untuk bertemu
dengan orang baru, mencari
teman, melarikan diri dari
rutinitas disebut motivasi antar
pribadi.
4. Motivasi pengembangan status
dan pribadi adalah motivasi yang
lebih mementingkan kebutuhan
akan ego dan pengembangan
pribadi, seperti keinginan untuk
dikenal, dihormati, dan
diperhatikan. Teori motivasi ini
digunakan untuk menjawab
pokok permasalahan mengenai
motivasi wisatawan untuk
memilih mengunjungi Vihara
Dharma Giri sebagai daya tarik
wisata.
Teori Persepsi
Persepsi adalah suatu proses
pengenalan atau identifikasi sesuatu
dengan menggunakan panca indra.
Kesan yang diterima individu sangat
tergantung pada seluruh pengalaman
yang telah diperoleh melalui proses
berpikir, dan belajar, serta
dipengaruhi oleh faktor yang berasal
dari alam individu. (http:/teori
psikologi.blogpot.com./2008/05/ di
kutip pada tanggal 29-07-2013).
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Kadek Widyastuti
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 43
Definisi persepsi menurut Assael,
1994 : 720 (dalam Suradnya dkk,
2002:2), diartikan sebagai “the
process by which people select,
organize, and interpret sensory
stimuli into a meaningful and
coherent picture” atau dengan kata
lain “the way consumers view an
object (e.g., their mental picture of a
brand or the traits they attribute to
the brand”. Dengan demikian
persepsi seseorang akan sangat
tergantung kepada masing – masing
individu menyeleksi,
mengorganisasikan dan
menginterpretasikan stimulus yang
mempengaruhi inderanya ke dalam
gambaran yang nyata. Atau dengan
kata lain persepsi bersifat subyektif,
dalam arti bahwa wisatawan yang
berbeda dihadapkan kepada stimulus
yang sama, besar kemungkinan
keputusan yang diambilnya akan
berbeda pula.
Pendapat ini serupa dengan
pendapat Robbins dan Judge (2008 :
175), yang mendefinisikan persepsi
sebagai proses di mana individu
mengatur dan menginterpretasikan
kesan – kesan sensoris mereka guna
memberikan arti bagi lingkungan
mereka. Namun apa yang diterima
seseorang pada dasarnya bisa
berbeda dari realitas objektif.
Walaupun seharusnya tidak perlu ada
perbedaan tersebut sering timbul.
Sejumlah faktor berperanan dalam
membentuk bahkan terkadang
mengubah persepsi antara lain adalah
; (a) faktor yang terletak dalam diri
pembentuk persepsi, (b) faktor dalam
diri objek atau target yang diartikan,
dan, (c) faktor situasi di mana
persepsi tersebut dibuat.
Persepsi diidentifikasikan sebagai
suatu proses di mana individu
memilih, mengorganisasikan,
mengartikan stimulus yang diterima
melalui alat indranya menjadi suatu
makna (Rangkuti, 2003 : 33).
Selanjutnya Rangkuti menjelaskan
bahwa persepsi berkaitan dengan
cara mendapatkan pengetahuan
khusus tentang kejadian pada waktu
tertentu. Persepsi dapat terjadi kapan
saja, yaitu saat stimulus
menggerakkan indra. Persepsi
mencakup penerimaan stimulus,
pengorganisasian stimulus, dan
penafsiran stimulus yang telah
diorganisasikan dengan cara
mempengaruhi prilaku dan
membentuk sikap.
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Kadek Widyastuti
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 44
Schiffman - Kanuk (dalam
Widjaja, 2009: 32) mendefinisikan
persepsi sebagai suatu proses di
mana individu menyeleksi,
mengorganisasi, dan menerjemahkan
stimulasi menjadi sebuah arti.
Pernyataan ini ditegaskan lagi oleh
Rangkutti (2003 : 32) yang
mengemukakan bahwa persepsi
pelanggan didefinisikan sebagai
suatu proses dimana individu
memilih, mengorganisasikan serta
mengartikan stimulus yang diterima
melalui inderanya menjadi suatu
makna. Meskipun demikian makna
dari proses persepsi tersebut juga
dipengaruhi pengalaman masa lalu
individu yang bersangkutan.
Dengan demikian konsep
persepsi dapat diartikan dengan suatu
proses individu untuk
menginterpretasikan stimulus yang
diterima oleh indera untuk diberi
makna secara subyektif yang
dipengaruhi oleh faktor dari dalam
diri dan dari luar individu tersebut.
Teori The Tourist Qualities of a
Destination
Menurut Burkat dan Medlik
(1976 : 44) bahwa seberapa penting
unit geografis sebagai sebuah
destinasi wisatawan, atau seberapa
penting ia secara potensial yang
ditentukan oleh tiga faktor utama
yaitu atraksi, aksesibilities, dan
fasilitas yang diterminologikan
sebagai kualitas wisatawan terhadap
sebuah destinasi.
Atraksi wisata adalah suatu
perwujudan dari ciptaan manusia,
tata hidup seni budaya, serta sejarah
bangsa, dan tempat atau fenomena
alam yang mempunyai daya tarik.
Atraksi wisata dapat berupa sumber
daya alam, budaya, etnisitas, ataupun
hiburan (latupapua, 2011).
Atraksi di sini dapat dibedakan
menjadi dua yaitu obyek wisata (site
attraction) dan atraksi wisata (event
attraction). Obyek wisata bersifat
statis, terikat pada tempat, dapat
dijamah (tangible) seperti : pantai,
gunung, danau,pemandangan alam ,
taman nasional. Sedangkan Atraksi
wisata (event attraction) bersifat
dinamis, mencerminkan adanya
gerak, tidak terikat tempat dan tidak
dapat dijamah seperti : adat istiadat ,
pakaian tradisional, seni budaya yang
melekat pada kehidupan masyarakat,
upacara ritual keagamaan.
(http://caretourism.wordpress.com
diakses tanggal 29 Juli 2013).
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Kadek Widyastuti
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 45
Menurut Kuncoro, 2001 (dalam
Nandi, 2008) bahwa atraksi wisata
dikelompokkan menjadi dua yaitu,
(1) atraksi sumber daya alam adalah
setiap ekosistem dan segala isinya.
Sumberdaya alam fisik dan hayati
merupakan atraksi wisata yang dapat
dikembangkan untuk objek wisata
alam. (2) Atraksi buatan manusia
meliputi atraksi budaya (agama,
budaya modern, museum, galeri,
seni, situs arekeologi, bangunan),
tradisi (kepercayaan, animisme
budaya, festival) dan peristiwa
olahraga (olimpiade, piala dunia,
turnamen).
Atraksi - atraksi dapat berbentuk
atraksi – atraksi situs (contohnya
kongres – kongres, pameran dan
acara – acara olah raga), yang
keduanya memiliki sebuah pengaruh
gravitasional pada orang – orang
bukan penduduk. Selanjutnya dapat
diartikan aksesibilitas adalah sebuah
fungsi dari jarak antar pusat – pusat
populasi, yang berbentuk pasar
wisatawan, dan dari transportasi
eksternal dan komunikasi –
komunikasi yang memungkinkan
sebuah destinasi untuk dijangkau.
Fasilitas – fasilitas di destinasi
mencakup akomodasi, cattering,
hiburan, dan juga transportasi
internal dan komunikasi –
komunikasi, yang memungkinkan
wisatawan untuk berkeliling selama
ia tinggal. Jelas bahwa fasilitas –
fasilitas menyumbang banyak pada
resor – resor yang terkenal sebagai
destinasi wisatawan, kebalikannya
pada area – area yang kurang dalam
penyediaan akomodasi – akomodasi
tertentu bagi pengunjung.
Sebuah destinasi wisatawan
harus juga memiliki sebuah
organisasi kepariwisataan, dengan
tujuan untuk menyediakan kerangka
kerja dimana pariwisata dapat
beroperasi untuk mengembangkan
produk wisata dan untuk
mempromosikannya dalam pasar –
pasar wisatawan yang sesuai, yang
dapat menentukan tingkat
kepentingan dan kesuksesan dari
sebuah destinasi.
METODELOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan
beberapa konsep diantaranya :
potensi wisata, daya tarik wisata,
motivasi wisatawan, persepsi
wisatawan. Teori yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teori
motivasi yang merupakan hasil
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Kadek Widyastuti
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 46
proses yang bersifat internal atau
eksternal bagi seorang individu yang
menimbulkan sikap entusias dan
persistensi untuk mengikuti arah
tindakan – tindakan tertentu
(Winardi, 2002:25).
Penelitian ini berlokasi di Jalan
Raya Pupuan, Tabanan, Bali. Metode
dan tehnik pengumpulan data melalui
observasi, wawancara, dokumentasi
dan penyebaran angket pada 30
responden dengan menggunakan
metode accidental sampling.
Responden yang digunakan dalam
penelitian ini adalah wisatawan yang
mengunjungi Vihara Dharma Giri
untuk berwisata rohani baik
wisatawan asing maupun nusantara.
Jenis dan Teknik Pengumpulan
Data
Jenis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data kuantitatif
dan kualitatif.
Data kuantitatif adalah data yang
dinyatakan dalam bentuk angka yang
berhubungan dengan penelitian ini.
Data kualitatif yaitu data yang
dinyatakan dalam bentuk keterangan
– keterangan dan uraian – uraian baik
dari pihak pengelola Vihara Dharma
Giri maupun wisatawan yang
digunakan sebagai responden dalam
penelitian ini seperti motivasi
wisatawan, persepsi wisatawan serta
data lainnya.
Adapun teknik pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian ini
adalah :
Observasi merupakan teknik
yang dilakukan dengan cara
mengadakan pengamatan secara
langsung untuk melihat dari dekat
kejadian yang terjadi dilokasi
penelitian. Dalam melakukan
pengamatan, peneliti berbaur dengan
masyarakat untuk mengamati secara
langsung kegiatan sehari – hari yang
dijadikan objek penelitian.
Wawancara merupakan teknik
pengumpulan data yang dilakukan
dengan melakukan tanya jawab atau
wawancara langsung dengan
beberapa narasumber seperti :
masyarakat lokal, wisatawan asing
atau domestik yang berkunjung ke
Vihara Dharma Giri. Melalui
informasi yang didapat akan dapat
digunakan menjawab permasalahan
yang ada dalam penelitian ini.
Penyebaran Angket adalah tehnik
pengumpulan data yang dilakukan
dengan menyiapkan daftar pertayaan
yang akan diberikan atau disebarkan
kepada responden wisatawan dengan
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Kadek Widyastuti
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 47
tujuan mencari informasi yang
lengkap mengenai permasalahan
yang dihadapi oleh obyek penelitian.
Dokumentasi merupakan tehnik
pengumpulan data dengan
mempelajari dokumen – dokumen
yang berhubungan dengan ritual
maupun kegiatan yang dilakukan
wisatawan yang berkunjung ke
Vihara Dharma Giri juga peraturan –
peraturan pemerintah tentang
kepariwisataan, literature – literature
yang berkaitan dengan budaya suatu
daerah untuk dijadikan daya tarik
wisata.
Teknik Penentu Sampel
Dalam penelitian ini yang
menjadi bahan pertimbangan dalam
pengumpulan data adalah pemilihan
informan. Teknik sampling yang
digunakan adalah purposive sample.
Purposive sample adalah teknik
penentu sampel dengan
pertimbangan tertentu (Sugiyono,
2009 : 85). Selanjutnya menurut
Arikunto (2010 : 183) pemilihan
sampel secara Purposive pada
penelitian ini akan berpedoman pada
ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik
tertentu, dimana responden yang
digunakan dalam penelitian ini
adalah wisatawan yang mengunjungi
Vihara Dharma Giri selama
penelitian. Karakteristik wisatawan
dipaparkan berdasarkan jenis
kelamin, tingkat usia, pekerjaan,
daerah asal, dan frekuensi
kunjungan wisatawan di Vihara
Dharma Giri
Tehnik Analisis Data
Deskriptif - kualitatif
Penelitian ini
mengidentifikasikan potensi serta
menganalisis persepsi dan motivasi
wisatawan terhadap Vihara Dharma
Giri sebagai daya tarik wisata di
Kabupaten Tabanan dengan
menggunakan teknik analisis
deskriptif kualitatif terhadap data
informasi kualitatif yang dikatagorik
dengan menggunakan skala likert.
Sugiono (1997 : 73)
mengemukakan bahwa skala likert
merupakan skala pengukuran yang
diberikan pembobotan secara gradasi
dari nilai yang positif hingga negatif.
Skala likert digunakan untuk
mengukur sikap, pendapat dan
persepsi sekumpulan atau seseorang
tentang fenomena sosial yang
selanjutnya disebut sebagai variabel
penelitian.
Dengan menggunakan skala
likert, variabel yang akan diukur
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Kadek Widyastuti
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 48
dijabarkan menjadi dimensi, dimensi
akan dijabarkan menjadi sub variabel
kemudian sub variabel dijabarkan
lagi menjadi indikator - indikator
yang dapat diukur. Indikator –
indikator yang terukur ini dapat
dijadikan titik tolak untuk membuat
item instrumen yang berupa
pertanyaan atau pernyataan yang
perlu dijawab oleh responden. Setiap
jawaban dihubungkan dalam bentuk
pertanyaan atau dukungan sikap yang
diungkapkan dengan kata – kata
sebagai berikut :
Pengukuran Persepsi dan Motivasi
Wisatawan Terhadap Daya Tarik
Wisata Rohani Vihara `Dharma
Giri Dengan Skala Likert
Skore Kisaran
Skore
Kriteria
1 1 - < 1,8 Sangat
Buruk
2 1,8 - < 2,6 Buruk
3 2,6 - < 3,4 Cukup
4 3,4 - < 4,2 Baik
5 4,2 – 5,0 Sangat Baik
Sumber : Modifikasi Skala Likert
HASIL DAN PEMBAHASAN
Vihara Dharma Giri merupakan
daya tarik wisata rohani yang
berlokasi di daerah Pupuan Tabanan
Bali dengan jarak tempuh kurang
lebih 2 jam dari kota Denpasar.
Vihara Dharma Giri berada di
ketinggian, sehingga vihara ini
memiliki nuansa religius yang cukup
terasa. Suasana yang sepi serta udara
yang dingin membuat pikiran
menjadi lebih segar dan tenang
sehingga baik digunakan oleh
wisatawan yang ingin berdoa dan
meditasi untuk menenangkan pikiran.
Potensi Vihara Dharma Giri
sebagai Daya Tarik Wisata Rohani
di Kabupaten Tabanan.
Potensi wisata adalah segala
sesuatu yang dimiliki oleh daerah
tujuan wisata, dan merupakan daya
tarik agar orang-orang mau datang
berkunjung ke tempat tersebut
(Mariotti dalam Yoeti 1996:160-
162). Sedangkan pengertian potensi
wisata menurut Sukardi (1998:67),
potensi wisata adalah segala sesuatu
yang dimiliki oleh suatu daerah
untuk daya tarik wisata dan berguna
untuk mengembangkan industri
pariwisata di daerah tersebut.
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Kadek Widyastuti
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 49
Sementara Sujali dalam Amdani
(2008:21) menyebutkan bahwa
potensi wisata sebagai kemampuan
dalam suatu wilayah yang mungkin
dapat dimanfaatkan untuk
pembangunan, seperti alam, manusia
serta hasil karya manusia itu sendiri.
Potensi yang dimiliki Vihara
Dharma Giri sebagai daya tarik
wisata rohani di Kabupaten Tabanan
yaitu potensi wisata alam, dan
potensi wisata budaya. Potensi alam
adalah sesuatu hal yang dapat
dijadikan sebagai bahan atau sumber
yang akan dikelola baik melalui
usaha yang dilakukan manusia
maupun yang dilakukan melalui
tenaga mesin dimana dalam
pengerjaannya potensi dapat juga
diartikan sebagai sumber daya yang
ada disekitar kita (Kartasapoetra,
1987 : 56).
Sedangkan menurut Mariotti
dalam Yoeti (1996:161) yang
dimaksud wisata alam adalah
keadaan, jenis flora dan fauna suatu
daerah, bentang alam seperti pantai,
hutan, pegunungan dan lain- lain
(keadaan fisik suatu daerah). Potensi
alam yang dimiliki Vihara Dharma
Giri adalah pemandangan alam yang
indah dan asri disekitar kawasan
Vihara Dharma Giri serta suasana
yang nyaman , terdapat hamparan
hutan yang luas dan masih terjaga
kealamiannya.
Potensi wisata budaya menurut
Yoeti (1996 : 162) adalah semua
hasil cipta, rasa dan karsa manusia
baik berupa adat istiadat, kerajinan
tangan, kesenian, peninggalan
sejarah berupa bangunan.
Potensi wisata budaya yang
dimiliki oleh Vihara Dharma Giri
sebagai daya tarik wisata adalah
adanya hasil cipta berupa patung
Budha, baik yang duduk bersila
maupun patung Budha tidur dengan
ukuran besar berwarna putih yang
fenomenal, juga sepanjang jalan
menuju patung sang Budha terdapat
tulisan kata – kata bijak yang dikutip
dari ajaran sang Budha termasuk
ajaran tentang toleransi umat
beragama. Di kawasan ini selain
sebagai wisata rohani bagi wisatawan
yang ingin bersemedi untuk
mendapat ketenangan juga banyak
wisatawan nusantara maupun
mancanegara yang berfoto atau foto
selfie khususnya di kawasan patung
Budha tidur dengan latar belakang
alam pegunungan yang hijau dan
suasana alam.
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Kadek Widyastuti
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 50
Motivasi Wisatawan untuk
Mengunjungi Vihara Dharma Giri
sebagai Daya Tarik Wisata Rohani
di Kabupaten Tabanan.
Pada dasarnya motivasi terbentuk
karena adanya kebutuhan (need) dari
diri manusia itu sendiri. Apabila
kebutuhan dasar yaitu kebutuhan
fisik sudah dapat terpenuhi, maka
manusia akan mencari kebutuhan
pada tingkat berikutnya begitu
seterusnya. Motivasi inilah yang
mendorong wisatawan untuk
memilih suatu daya tarik wisata
yang ingin dikunjungi, salah satunya
adalah Vihara Dharma Giri. Motivasi
wisatawan yang berkunjung ke
Vihara Dharma Giri bervariasi,
motivasi yang paling dominan
mendorong para wisatawan untuk
mengunjungi Vihara Dharma Giri
adalah motivasi karena faktor atraksi
seni dan budaya juga karena
bangunan dan tempat sejarah, yaitu
Sebanyak 13,3% responden.
Bangunan suci Vihara Dharma Giri
terkenal dengan keunikannya, sama
halnya dengan wihara pada
umumnya yang terdapat patung sang
budha yang duduk bersila juga
terdapat patung sang Budha tidur
dengan ukuran yang besar berwarna
putih yang terlihat megah dan
spektakuler dengan pemandangan
alam yang indah di kawasan ini.
Selain bangunan Vihara Dharma
Giri dan keunikannya yang
memotivasi wisatawan untuk
berkunjung adalah wisata spiritual
dengan memanjatkan doa untuk
mendapat ketenangan maupun
bersembahyang pada altar yang
merupakan tempat utama dari Vihara
Dharma Giri. Kawasan wisata Vihara
Dharma Giri merupakan kawasan
atau areal suci agama Budha,
sehingga wisatawan yang berkunjung
diharapkan menjaga sopan santun
termasuk dalam berpakaian tidak
disarankan bercelana pendek, jika
sudah terlanjur disediakan juga kain
untuk dikenakan oleh wisatawan
sehingga tetap sopan. Menurut teori
hierarki kebutuhan Maslow dalam
Mc. Intosh (1972 :52) yang
mengelompokkan motivasi menjadi
empat kategori yaitu motivasi fisik
(Physical Motivators) yang
merupakan segala motivasi yang
berhubungan dengan istirahat fisik,
kenyamanan, olah raga, bersantai,
juga termasuk motivasi yang
berhubungan langsung dengan
kesehatan jasmani selanjutnya
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Kadek Widyastuti
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 51
motivasi Kebudayaan (Cultural
Motivators) merupakan keinginan
wisatawan asing maupun nusantara
yang menjadi responden dalam
penelitian ini untuk mengetahui
tentang keunikan dan sejarah , tari
tarian, adat istiadat dan aktivitas –
aktivitas budaya. Selanjutnya
motivasi Pribadi (Interpersonal
Motivators) motivasi yang bersifat
pribadi mencakup keinginan untuk
bertemu dengan orang – orang baru
maupun mengunjungi teman dan
keluarga, pelarian dari rutinitas hidup
yang membosankan, atau
membangun pertemanan baru.
Terakhir Motivasi Status atau
Prestise (Status and Prestige
Motivators) motivasi karena status
atau prestise merupakan motivasi –
motivasi yang berkaitan dengan
kebutuhan – kebutuhan kepercayaan
diri dan pengembangan pribadi.
Motivasi – motivasi seperti
keinginan untuk diakui, perhatian,
penghargaan dan reputasi yang baik
dapat diraih dengan melakukan
perjalanan.
Persepsi Wisatawan Terhadap
Vihara Dharma Giri Sebagai Daya
Tarik Wisata di Kabupaten
Tabanan.
Persepsi wisatawan terhadap
Vihara Dharma Giri sebagai daya
tarik wisata dihubungkan dengan
teory The Tourist Qualities of
Destination dari Burkart dan Medlik,
dikategorikan menjadi 4 variabel
yaitu atraksi, aksesibilities,
amenities/ fasilitas – fasilitas, dan
organisasi wisatawan/ pengelola.
Persepsi Wisatawan Terhadap
Atraksi di Vihara Dharma Giri.
Atraksi di Vihara Dharma Giri
meliputi beberapa variabel yang
menjadi penilaian terhadap persepsi
wisatawan yang berkunjung ke
Vihara Dharma Giri diantaranya
arsiteksur, pemandangan alam, seni
dan budaya, spiritual dan fotografi.
Sebagian besar wisatawan yang
berkunjung ke Vihara Dharma Giri
memiliki persepsi yang sangat baik
(skor 4,3) terhadap arsitektur
bangunan Vihara Dharma Giri yang
memiliki keunikan tersendiri.
Apalagi dengan adanya patung
Budha tidur ( sleeping Budha) yang
menjadi ikon pada Vihara Dharma
Giri sehingga wisatawan yang
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Kadek Widyastuti
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 52
berkunjung merasa seperti berada di
Thailand yang juga memilki daya
tarik wisata patung Budha tidur,
selain itu di kawasan Vihara Dharma
Giri juga terdapat patung Budha
duduk diatas lingkaran badan ulardan
bunga teratai, berpayung 7 buah ular
kobra.
Persepsi Wisatawan Terhadap
Aksesibilitas Vihara Dharma Giri
Aksesibilitas yang dimaksudkan
disini adalah transportasi eksternal
yaitu jasa angkutan umum dan
komunikasi – komunikasi, yang
memungkinkan sebuah destinasi
untuk dijangkau. Adapun persepsi
para responden terhadap aksesibilitas
Vihara Dharma Giri sebagai daya
tarik wisata di Kabupaten Tabanan
terhadap lokasi Vihara dharma Giri
melalui kuesioner yang dibagikan
kepada wisatawan yang berkunjung
mendapat penilaian sangat baik
dengan skor 4,6 karena lokasinya
yang mudah dijangkau yaitu di jalan
Raya Pupuan, dengan jarak tempuh
kurang lebih 1 jam dari arah kota
Tabanan, apalagi jika melihat
karakteristik responden berdasarkan
daerah asal wisatawan yang banyak
berkunjung di Vihara Dharma Giri
adalah wisatawan nusantara.
Persepsi Wisatawan Terhadap
Amenitas/ Fasilitas – fasilitas
Vihara Dharma Giri.
Amenitas adalah fasilitas –
fasilitas yang ada di destinasi seperti
akomodasi, hiburan juga transportasi
internal yaitu fasilitas transportasi
yang disediakan yang dapat
memberikan kemudahan pada
wisatawan untuk berkeliling selama
ia tinggal di destinasi tersebut.
Fasilitas – fasilitas ini dapat
memberikan kontribusi bagi
perkembangan suatu daya tarik
wisata seperti restaurant, pasar oleh
– oleh dan hotel – hotel atau
penginapan – penginapan yang
dibangun disekitarnya, sedangkan
sebaliknya apabila suatu daya tarik
wisata tidak dilengkapi dengan
fasilitas – fasilitas yang dibutuhkan
oleh wisatawan maka destinasi
tersebut akan susah berkembang.
Persepsi wisatawan terhadap
fasilitas pendukung pariwisata yang
ada di Vihara Dharma Giri seperti
tempat beribadah, kamar
mandi/MCK, area parkir mendapat
penilaian baik dengan skor 3,8 tetapi
persepsi wisatawan terhadap hotel –
hotel yang berada di sekitar Kota
Tabanan mendapat penilaian cukup
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Kadek Widyastuti
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 53
dengan skor 3,2 dikarenakan fasilitas
hotel tersebut masih perlu
ditingkatkan.
Persepsi Wisatawan Terhadap
Organisasi Kepariwisataan
/Pengelola Usaha Daya Tarik
Wisata Vihara Dharma Giri.
Menurut teori The Tourist
Qualities of A Destination dari
Burkart dan Medlik (1976 : 42)
organisasi kepariwisataan yang
dalam hal ini adalah pihak
pemerintah, Desa dan Kecamatan
Pupuan serta yayasan pengelola
Vihara sebagai pengelola Vihara
Dharma Giri. Sebuah destinasi
wisata harus memiliki sebuah
organisasi kepariwisataan, dengan
tujuan untuk menyediakan kerangka
kerja dimana pariwisata dapat
beroperasi untuk mengembangkan
produk wisata dan untuk
mempromosikannya dalam pasar –
pasar wisatawan yang sesuai, dan
dapat menentukan tingkat
kepentingan dan kesuksesan dari
sebuah destinasi.
Pihak Desa dan Kecamatan
Pupuan dan yayasan pengelola
Vihara memiliki peranan yang
sangat penting sebagai pelaku utama
dalam pengelolaan aktivitas seni
budaya dan atraksi – atraksi yang
ditawarkan sebagai daya tarik wisata
di Vihara Dharma Giri. Masyarakat
setempat juga berperanan sangat
penting dalam mengembangkan
Vihara Dharma Giri sebagai daya
tarik wisata. Pihak – pihak inilah
yang bersinergi dalam
mengembangkan Vihara Dharma
Giri sebagai daya tarik wisata sesuai
fungsi dan tugasnya masing –masing.
Persepsi wisatawan yang berkunjung
terhadap kebersihan dan keamanan di
Vihara Dharma Giri mendapat
penilaian sangat baik dengan skor 4,5
tetapi untuk indikator promosi dan
informasi untuk wisatawan mendapat
penilaian cukup dengan skor 3,2 dan
hal ini kiranya menjadi masukkan
bagi pengelola Vihara Dharma Giri
sendiri supaya menjadi perhatian
untuk lebih menekankan promosi
maupun dalam memberikan
informasi untuk wisatawan.
SIMPULAN DAN SARAN
Potensi yang dimiliki oleh Vihara
Dharma Giri sebagai daya tarik
wisata di Kabupaten Tabanan yaitu
potensi wisata alam, dan potensi
wisata budaya. Potensi wisata alam
antara lain pemandangan alam yang
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Kadek Widyastuti
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 54
indah dan asri disekitar kawasan
Vihara Dharma Giri serta suasana
yang nyaman, serta terdapat
hamparan hutan yang luas dan masih
terjaga kealamiannya.
Potensi wisata budaya yang
dimiliki oleh Vihara Dharma Giri
sebagai daya tarik wisata adalah
adanya hasil cipta berupa patung
Budha, baik yang duduk bersila
maupun patung Budha tidur dengan
ukuran besar berwarna putih yang
fenomenal, juga sepanjang jalan
menuju patung sang Budha terdapat
tulisan kata – kata bijak yang dikutip
dari ajaran sang Budha termasuk
ajaran tentang toleransi umat
beragama.
Motivasi wisatawan berkunjung
ke Vihara Dharma Giri bervariasi
diantaranya meningkatkan
pengetahuan, mendapatkan
pengalaman terhadap budaya baru,
melihat – lihat, nostalgia, spiritual
fulfillment, suasana romantik,
suasana yang eksotik, cuaca,
bangunan dan tempat sejarah, atraksi
dan seni budaya. Motivasi yang
paling dominan mendorong
wisatawan mengunjungi Vihara
Dharma Giri adalah motivasi karena
faktor atraksi seni dan budaya juga
karena bangunan dan tempat sejarah
Persepsi wisatawan terhadap
Vihara Dharma Giri sebagai daya
tarik wisata di Kabupaten Tabanan
terhadap atraksi, aksesibilitas,
amenitas maupun organisasi
kepariwisataan / pengelola usaha
daya tarik wisata Vihara Dharma Giri
secara keseluruhan mendapat
penilaian baik, hanya ada beberapa
indikator yang mendapat penilaian
cukup yaitu pada variabel amenities/
fasilitas disekitar kawasan Vihara
Dharma Giri untuk indikator hotel
dan variabel organisasi
kepariwisataan / yayasan pengelola
Vihara Dharma Giri pada indikator
promosi dan informasi untuk
wisatawan yang masih perlu untuk
mendapat perhatian bagi pengelola
Vihara Dharma Giri.
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah diuraikan sebelumnya, maka
dapat dikemukakan beberapa saran
yaitu Keberadaan Vihara Dharma
Giri sebagai daya tarik wisata rohani
di Kabupaten Tabanan hendaknya
dipertahankan dan dikembangkan
karena membawa misi konservasi
dan eksistensi budaya dan spiritual
perlu untuk tetap dipertahankan
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Kadek Widyastuti
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 55
supaya tidak terpengaruh dengan
budaya luar sehingga tetap menjadi
daya tarik wisata yang tidak dapat di
temukan di tempat lain. Sehingga
Vihara Dharma Giri selain menjadi
tempat beribadah umat Budha juga
tetap bisa menjadi daya tarik wisata
khusunya wisata rohani bagi
wisatawan yang berkunjung.
Sehingga kunjungan wisatawan
yang melakukan wisata rohani
dengan memanjatkan doa dengan
menenangkan diri dan beribadah di
tempat suci Vihara Dharma Giri
semakin meningkat dan
mendatangkan pendapatan untuk
pemerintah kota Tabanan umumnya
dan Vihara Dharma Giri khususnya.
Hendaknya memperhatikan
pendapat maupun masukan –
masukan dari pengunjung yang
menilai beberapa indikator dengan
penilaian cukup dan perlu
mendapatkan perhatian seperti
fasilitas hotel di kawasan sekitar kota
Tabanan dan promosi yang perlu
digalakkan sehingga semakin banyak
wisatawan baik domestik maupun
mancanegara yang mengenal Vihara
Dharma Giri sebagai tempat wisata
rohani.
DAFTAR PUSTAKA
Amdani, S. 2008. Analisis Potensi
Obyek Wisata Alam Pantai Di
Kabupaten Gunung Kidul.
Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Burkart, A.J and Medlik, S. 1976.
Tourism Past, Present and
Future. London : Heinemann
Damanik, Janianton & Weber,
helmut F.2006. Perencanaan
Ekowisata, Yogyakarta : Andi
Damardjati, 2004. Dasar – dasar
Pariwisata. Yogyakarta : Andi
Offset.
Gunn,C.A.1994 Tourism Planning
Basic Concept Cases. Third
Edition.Washington D.C – USA :
Taylor & Francis
Mahadewi, Eka. 2004 Atraksi
Budaya dan Event Pariwisata (
Kasus Bali). Jurnal Pariwisata.
Vol 1: No 4. Aceh : Akademi
Pariwisata Muhammadiah Aceh.
Mantra, IB. 1992. Bali : Masalah
Sosial Budaya dan Modernisasi,
Denpasar, Upada Sastra.
Marpaung. 2002. Pengantar
Kepariwisataan. Bandung:
Alfabeta
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Kadek Widyastuti
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 56
Martaleni. 2011. Pertumbuhan
Pariwisata Global: Tantangan
untuk pemasaran Daerah Tujuan
Wisata (DTW). Jurnal
Manajemen Teori dan Terapan.
Tahun 4, No 2. Malang :
Fakultas Ekonomi Universitas
Gajayana Malang.
McIntosh, W. Robert dan Charles R.
Goeldner, 1986. Tourism :
Principles, Practices,
Philosophies, John Wiley &
Sons.Inc.
Nurhana, Dini. 2013. Pengembangan
Wisata Bali Barat. (Diunduh 29
Juli 2013). Sumber : URL:
http://caretourism.wordpress.com
/Strategi Pengembangan. html.
Irianto. 2011. Dampak Pariwisata
Tehadap Kehidupan Sosial dan
Ekonomi Masyarakat di Gili
Trawangan Kecamatan
Pemenang Kabupaten Lombok
Utara. Jurnal Bisnis dan
Kewirausahaan. Vol 7: No 5.
Mataram : STIE Mataram.
Ismayanti. 2009. Pengantar
Pariwisata. Jakarta : PT.
Grasindo
Pendit, Nyoman S. 1999. Ilmu
Pariwisata Sebuah Pengantar
Perdana. Jakarta : PT Pradnya
Paramita.
Pitana I Gede dan Gayatri. 2005.
Sosiologi Pariwisata.
Yogyakarta: CV Andi Offset.
Pradnyani, Ayu, Ketut. 2012.
“Persepsi Wisatawan
Mancanegara Terhadap Fasilitas
dan Daya Tarik Wisata di
Kawasan Wisata Senggigi
Kabupaten Lombok Barat”
(tesis). Denpasar : Universitas
Udayana
Putra, Cahaya, D, Kadek. 2008.
Strategi Public Relations
Pariwisata Bali. Jurnal Ilmu
Komunikasi. Vol 5 : No 1. Bali :
Politeknik Negeri Bali.
Rahayu, Kania, Sofiantina. 2011.
“Persepsi Wisatawan Domestik
(Bogor) Terhadap The Island of
Paradise” (tesis). Denpasar :
Universitas Udayana.
Robbins, Stephen P. dan Judge,
Timothy A. 2008. Perilaku
Organisasi, Edisi 12. Jakarta:
Salemba Empat.
Spillane, James J. 1994. Pariwisata
Indonesia: Siasat Ekonomi &
Rekayasa Kebudayaan. Kanisius.
Yogyakarta.
Sugiyono, 1997. Statistika Untuk
Penelitian. Bandung : Alfabeta.
Sukardi, Nyoman. 1998. Pengantar
Pariwisata. STP Nusa Dua Bali.
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Kadek Widyastuti
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 57
Winardi. 2002. Motivasi dan
Pemotivasian dalam Manajemen.
Jakarta: Raja
Yoeti, Oka A. 1983. Komersialisasi
Seni Budaya dalam Pariwisata,
Bandung: Angkasa.
Yoeti, Oka A. 2001. Strategi
Pemasarann Daerah Tujuan
Wisata Menyongsong Penerapan
Otonomi Daerah. Jurnal
Pariwisata Vol 1 : Nomor 2.
Januari Stiepari Yapari-Aktripa.
Bandung
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 58
POTENSI DESA GUMANTAR DI KABUPATEN LOMBOK UTARA
SEBAGAI DESA WISATA
I Putu Gede 1*
Syech Idrus 2*
Sekolah Tinggi Pariwisata Mataram
I Nengah Subadra 3*
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya
ABSTRACT
The problem that mostly faced by village tourisms in Lombok is the inability to
collaborate the use of natural, social and cultural potencies and local people’s
creativities which cause village tourisms in Lombok have no identity and
characteristic from one village tourism to another, thus there seems to be similarity
and sameness in their developments. This problem has caused village tourisms in
Lombok are not interested by tourists. It needs innovations and collaborations
between the uniqueness of the village and creativity of local people to formulate
typical identity/characteristic and able to increase the quality of village tourism
products.
His research is aimed at developing a creative economy-based village tourism
model by collaboration nature resource, uniqueness of social-cultural of the
community and creativity of the local people. The formulated model is expected to
be able to: (1) empower local people, (2) diversify village tourism product, (3)
create a village tourism model (4) producing qualified and highly marketable
village tourism product.
The specific research objectives include (1) identifying potency consisting
natural tourism potency, cultural tourism, local people creativity; (2) eliciting
internal environmental condition which identified from the strength and weakness,
and also external environmental condition which identified from opportunity and
threat of tourism potencies in Gumantar Village; (3) formulating creative economy-
basis village tourism development model; (4) empowering local people in village
tourism development.
Keywords: village tourism, village potency, creative economy.
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
I Putu Gede, Syech Idrus, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 59
PENDAHULUAN
Penggelontoran dana desa oleh
pemerintah melalui Kementerian
Desa dan kolaborasi kementrian
Pariwisata menjadi berkah bagi desa
yang memiliki potensi pariwisata
untuk mengembangkan desanya.
Pariwisata saat ini sedang
gencar-gencarnya mengembangkan
desa wisata di seluruh Indonesia
melalui Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Mandiri Pariwisata. Tahun 2009
dalam rintisannya, PNPM Mandiri
Pariwisata diberikan kepada 104
desa di 17 propinsi yakni Sumut,
Sumbar, Riau, Banten, DKI Jakarta,
Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Lombok,
NTB, NTT, Kalsel, Kalteng, Sulut,
Sulsel, dan Sulawesi Tenggara. Dana
yang dianggarkan untuk 104 desa itu
jumlahnya hampir Rp10 miliar, di
mana masing-masing desa
mendapatkan Rp 50 juta hingga Rp
100 juta. Pada tahun 2010,
pemerintah membangun 200 desa
wisata di seluruh Indonesia,
sedangkan untuk tahun 2011
menargetkan pembangunan 450 desa
wisata di seluruh Indonesia melalui
dukungan dana Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Mandiri. Program pembangunan
desa wisata ini dipercaya oleh
pemerintah, karena sektor pariwisata
merupakan salah satu instrument
yang sangat efektif dalam upaya
mendorong pembangunan daerah,
pemberdayaan masyarakat serta
meningkatkan ekonomi masyarakat.
Program PNPM Mandiri pariwisata
ini berupaya membantu masyarakat
yang tinggal di sekitar wilayah
destinasi pariwisata. Desa-desa yang
ada di Indonesia yang menjadi
sasaran PNPM Mandiri Pariwisata
adalah desa-desa yang memiliki
potensi pengembangan kegiatan
kepariwisataan, dekat dengan Objek
Daerah Tujuan Wisata (ODTW),
maupun fasilitas pendukung
pariwisata (budpar, 2010).
Perkembangan pariwisata di
Daerah Lombok belum mampu
memberikan pemerataan yang
berkeadilan bagi seluruh
masyarakatnya, ini tercermin dari
ketidak seimbangan pengembangan
pariwisata di Lombok. Selama ini di
Lombok hanya terfokus
pengembangan pariwisata di
Lombok Barat sedangkan untuk
pengembangan pariwisata di
Lombok utara, timur, dan tengah
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
I Putu Gede, Syech Idrus, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 60
masih belum maksimal
dikembangkan. Kabupaten Lombok
Utara dikenal sebagai salah satu icon
pengembangan pariwisata di Pulau
Lombok yang sedang naik daun.
Wilayah kabupaten tersebut
merupakan pusat kebudayaan islam
kuno watu telu dan beragam bentuk
kesenian lainnya. Selain itu melihat
potensi pariwisata alam dan budaya
di Kabupaten Lombok Utara juga
tidak kalah menarik dengan
kabupaten lainnya di Lombok.
Pengembangan pariwisata di
Kabupaten Lombok Utara cenderung
lebih menonjolkan suasana pedesaan
dan keaslian sosial budaya
masyarakat lokal. Selama ini,
pengembangan wisata sifatnya
menoton pada objek-objek wisata
yang sudah terkenal dan belum
adanya suatu inovasi dalam
mengkolaborasi antara potensi alam,
budaya maupun kreatifitas
masyarakat setempat, begitu juga
dibeberapa daya tarik wisata lainnya
yang ada di pulau Lombok sudah
ada kecenderungan mulai ditinggal
wisatawan. Salah satu terobosan
inovasi yang perlu dilakukan untuk
meningkatkan kualitas daya tarik
adalah mampu membuat inovasi
dengan mengkolaborasi potensi alam,
budaya dan kreatifitas masyarakat
setempat.
Penelitian yang dilakukan di
Desa Gumantar Kabupaten Lombok
Utara akan dijadikan satu bentuk
inovasi pengembangan pariwisata
yang mampu mengakomodir potensi
alam, budaya dan kreatifitas
masyarakat lokal, yaitu dengan
mengembangkan model desa wisata
berbasis ekonomi kreatif. Desa
Gumantar layak dikembangkan
sebagai desa wisata berbasis
ekonomi kreatif karena didasari : 1)
letaknya yang sangat Strategis
karena terletak dekat dengan
Kawasan Wisata Rinjani, 2)
memiliki modal tradisi local genius
dan religious yang dipelihara sangat
kuat, 3) masyarakat lokal memiliki
kreatifitas tinggi dalam bidang
kerajinan anyaman sebagai salah
satu produk lokal yang
dikembangkan sebagai cendramata
bagi wisatawan. Di sisi lain, Desa
Gumantar terkenal dengan desa adat
kuno selain desa Bayan. Tersedianya
tradisi kuno dan bbeberapa kerajinan
masyarakat merupakan modal yang
sangat kuat mengembankan Desa
Gumantar sebagai desa wisata
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
I Putu Gede, Syech Idrus, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 61
berbasis ekonomi kreatif.
Melihat deskripsi di atas,
idealnya pengembangan Desa Wisata
di Desa Gumantar memiliki nilai jual
tinggi untuk dijadikan daya tarik
wisata unggulan, namun secara
realita berkata lain, belum mampu
dikembangkan dan dikelola sebagai
Desa wisata yang professional, baik
dari aspek manajemen, SDM,
maupun pemanfaatan potensi desa.
Untuk itulah, penelitian ini sangat
penting dilakukan, sehingga
pengembangan Desa Gumantar
sebagai desa wisata yang berbasis
ekonomi kreatif dapat dijadikan
model pengembangan desa wisata
lainnya di Lombok.
TEORI DAN METODE
Ekonomi Kreatif
Untuk membahas masalah dalam
penelitian ini terdapat teori yang
sesuai untuk membahas
permasalahan tersebut yaitu Konsep
teori ekonomi kreatif merupakan
sebuah konsep ekonomi di era
ekonomi baru yang mengintensifkan
informasi dan kreativitas dengan
mengandalkan ide dan stock of
knowledge dari Sumber Daya
Manusia (SDM) sebagai faktor
produksi utama dalam kegiatan
ekonominya. Struktur perekonomian
dunia mengalami transformasi
dengan cepat seiring dengan
pertumbuhan ekonomi, dari yang
tadinya berbasis Sumber Daya Alam
(SDA) sekarang menjadi berbasis
SDM, dari era pertanian ke era
industri dan informasi Departemen
Perdagangan Republik Indonesia
(2008) merumuskan ekonomi kreatif
sebagai upaya pembangunan
ekonomi secara berkelanjutan
melalui kreativitas dengan iklim
perekonomian yang berdaya saing
dan memiliki cadangan sumber daya
yang terbarukan, sedangkan menurut
UNDP (2008) yang merumuskan
bahwa ekonomi kreatif merupakan
bagian integratif dari pengetahuan
yang bersifat inovatif, pemanfaatan
teknologi secara kreatif, dan budaya.
seperti Gambar berikut.
Ruang Lingkup Ekonomi Kreatif
Sumber : UNDP, 2008
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
I Putu Gede, Syech Idrus, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 62
Lingkup kegiatan dari ekonomi
kreatif dapat mencakup banyak
aspek. Departemen Perdagangan
(2008) mengidentifikasi setidaknya
14 sektor yang termasuk dalam
ekonomi kreatif, yaitu ,Periklanan,
Arsitektur, Pasar barang seni,
Kerajinan (handicraft), Desain,
Fashion, Film, video, dan fotografi,
Permainan interaktif, Musik, Seni
pertunjukan, Penerbitan dan
percetakan, Layanan komputer dan
piranti lunak, Radio dan televisi, dan
Riset dan pengembangan
Ekonomi Kreatif dan
Pengembangan Wisata
Ekonomi kreatif dan sektor
wisata merupakan dua hal yang
saling berpengaruh dan dapat saling
bersinergi jika dikelola dengan baik
(Ooi, 2006). Konsep kegiatan wisata
dapat didefinisikan dengan tiga
faktor, yaitu harus ada something to
see, something to do, dan something
to buy (Yoeti, 1985). Something to
see terkait dengan atraksi di daerah
tujuan wisata, something to do
terkait dengan aktivitas wisatawan di
daerah wisata, sementara something
to buy terkait dengan souvenir khas
yang dibeli di daerah wisata sebagai
memorabilia pribadi wisatawan.
Dalam tiga komponen tersebut,
ekonomi kreatif dapat masuk melalui
something to buy dengan
menciptakan produk-produk inovatif
khas daerah.
Pada era tradisional, souvenir
yang berupa memorabilia hanya
terbatas pada foto polaroid yang
menampilkan foto sang wisatawan di
suatu obyek wisata tertentu. Seiring
dengan kemajuan teknologi dan
perubahan paradigma wisata dari
sekedar “melihat” menjadi
“merasakan pengalaman baru”, maka
produk-produk kreatif melalui sektor
wisata mempunyai potensi yang
lebih besar untuk dikembangkan.
Ekonomi kreatif tidak hanya masuk
melalui something to buy tetapi juga
mulai merambah something to do
dan something to see melalui paket-
paket wisata yang menawarkan
pengalaman langsung dan interaksi
dengan kebudayaan lokal.
Dalam pengembangan ekonomi
kreatif melalui sektor wisata yang
dijelaskan lebih lanjut oleh Yozcu
dan İçöz (2010), kreativitas akan
merangsang daerah tujuan wisata
untuk menciptakan produk-produk
inovatif yang akan memberi nilai
tambah dan daya saing yang lebih
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
I Putu Gede, Syech Idrus, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 63
tinggi dibanding dengan daerah
tujuan wisata lainnya. Dari sisi
wisatawan, mereka akan merasa
lebih tertarik untuk berkunjung ke
daerah wisata yang memiliki produk
khas untuk kemudian dibawa pulang
sebagai souvenir. Di sisi lain,
produk-produk kreatif tersebut
secara tidak langsung akan
melibatkan individual dan pengusaha
enterprise bersentuhan dengan sektor
budaya. Persentuhan tersebut akan
membawa dampak positif pada
upaya pelestarian budaya dan
sekaligus peningkatan ekonomi serta
estetika lokasi wisata.
Potensi wisata tersebut dapat
dikembangkan melalui ekonomi
kreatif. Ekonomi kreatif di sini tidak
hanya melibatkan masyarakat atau
komunitas sebagai sumber daya yang
berkualitas, tetapi juga melibatkan
unsur birokrasi dengan pola
entrepreneurship (kewirausahaan).
Konsep pelibatan birokrasi dalam
ekonomi kreatif adalah bahwa
birokrasi tidak hanya
membelanjakan tetapi juga
menghasilkan (income generating)
dalam arti positif (Barringer, 1994).
Model Pengembangan Ekonomi
Kreatif Sebagai Penggerak Sektor
Wisata
Pengembangan ekonomi kreatif
sebagai penggerak sektor wisata
memerlukan sinergi antar
stakeholder yang terlibat di
dalamnya, yaitu pemerintah,
cendekiawan, dan sektor swasta
(bisnis). Model pengembangan
ekonomi kreatif sebagai penggerak
sektor wisata dapat diadaptasi dari
model-model desa atau kota kreatif.
Desa atau kota kreatif bertumpu pada
kualitas sumber daya manusia untuk
membentuk (bisa dalam bentuk
design atau redesign) ruang-ruang
kreatif (UNDP, 2008). Pembentukan
ruang kreatif diperlukan untuk dapat
merangsang munculnya ide kreatif,
karena manusia yang ditempatkan
dalam lingkungan yang kondusif
akan mampu menghasilkan produk-
produk kreatif bernilai ekonomi.
Festival budaya, merupakan salah
satu bentuk penciptaan ruang kreatif
yang sukses mendatangkan
wisatawan. Penjelasan lebih lanjut
terdapat pada Bagan Model Sinegitas
Stakeholders Ekonomi Kreatif Sub-
Sektor Kerajinan dapat dilihat pada
Gambar 2.2 berikut.
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
I Putu Gede, Syech Idrus, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 64
Dalam konteks kepariwisataan,
diperlukan ruang-ruang kreatif bagi
para pengrajin untuk dapat
menghasilkan produk khas daerah
wisata yang tidak dapat ditemui di
daerah lain. Salah satu tempat yang
paling penting bagi seorang
pengrajin untuk bisa menghasilkan
karya adalah bengkel kerja atau
studio. Bengkel kerja atau studio
sebagai ruang kreatif harus
dihubungkan dengan daerah wisata
sehingga tercipta linkage atau
konektivitas. Konektivitas tersebut
diperlukan untuk mempermudah
rantai produksi (Evans, 2009). Dari
segi ekonomi kreatif, produk
kerajinan dalam bentuk souvenir
dapat terjual sementara dari sektor
wisata, wisatawan memperoleh suatu
memorabilia mengenai daerah wisata
tersebut. Konektivitas atau linkage
antara ekonomi kreatif dan wisata
dapat berbentuk outlet penjualan
yang terletak di daerah wisata.
Dengan kata lain, wisata menjadi
venue bagi ekonomi kreatif untuk
proses produksi, distribusi, sekaligus
pemasaran. Seperti dijelaskan pada
gambar 2.3 bagan linkage antara
ekonomi kreatif dan sektor wisata
Gambar 2.2.
Bagan Model Sinergitas Stakeholders Ekonomi
Kreatif Sub-Sektor Kerajinan (sumber: Departemen
Perdagangan Rep. Indonesia, 2008)
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
I Putu Gede, Syech Idrus, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 65
Hal lain yang perlu diperhatikan
dalam implementasi model linkage
tersebut adalah penetapan lokasi
outlet yang harus diusahakan berada
di tempat strategis dan dekat dengan
tempat wisata.
Pemberdayaan Masyarakat
Partisipasi masyarakat sangat
perlu dalam pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan pariwisata yang tidak
melibatkan masyarakat sering
menyebabkan adanya rasa
terpinggirkan di antara masyarakat
setempat. Akibat lebih jauh adalah
adanya konfrontasi antara
masyarakat lokal dengan kalangan
industri, yang pada akhirnya
mengancam keberlanjutan
pembangunan pariwisata itu sendiri.
Untuk bisa meningkatkan
partisipasi masyarakat, maka sangat
diperlukan agar program-program
pembangunan atau inovasi-inovasi
yang dikembangkan mengandung
unsur-unsur:
1). Memberikan keuntungan secara
relatif, terjangkau secara
ekonomi dan secara ekonomis
dianggap biaya yang dikeluarkan
lebih kecil dari hasil yang
diperoleh (relative advantage).
2). Unsur-unsur dari inovasi
dianggap tidak bertentangan
dengan nilai-nilai dan
kepercayaan setempat
(compatibility).
3). Gagasan dan praktek baru yang
dikomunikasikan dapat dengan
mudah dipahami dan
dipraktekkan (complexity and
practicability).
4). Unsur inovasi tersebut mudah
diobservasi hasilnya lewat
demontrasi atau praktek peragaan
(observability).
Partisipasi masyarakat
merupakan suatu keharusan di dalam
setiap pembangunan, agar
pembangunan tersebut dapat
berkelanjutan. Hal ini khususnya
benar pada pembangunan yang
Gambar 2.3
linkage antara ekonomi kreatif dan sektor wisata
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
I Putu Gede, Syech Idrus, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 66
multidimensi. Woodly (dalam
Pitana, 2006) menyatakan bahwa
“Local people participation is a
prerequisite for sustainable
tourism”.
Dalam konsep pemberdayaan
terdapat tiga komponen yang harus
ada, yaitu:
1. Enabling setting, yaitu
memperkuat situasi kondisi
ditingkat lokal menjadi baik,
sehingga masyarakat lokal bisa
berkreativitas.
2. Empowering local community,
artinya setelah local setting
tersebut disiapkan, masyarakat
lokal harus ditingkatkan
pengetahuan dan ketrampilannya,
sehingga mampu memanfatkan
setting dengan baik. Hal ini
antara lain dilakukan dengan
melalui pendidikan, pelatihan,
dan berbagai bentuk
pengembangan SDM lainnya.
3. Socio-political support, yaitu
diperlukan adanya dukungan
sosial, dukungan politik,
networking, dan sebagainya.
Meskipun mengakui bahwa ada
banyak hal positif pada
pembangunan skala besar, dan ada
beberapa kelemahan pembangunan
skala kecil, banyak ahli yang
menyarankan agar pariwisata yang
dikembangkan adalah pariwisata
skala kecil. Karena hanya pada skala
kecil partisipasi masyarakat dapat
ditingkatkan.
Pengembangan Desa Wisata
Desa wisata adalah suatu wilayah
pedesaan yang menawarkan
keseluruhan suasana yang
mencerminkan keaslian pedesaan,
dilihat dari segi kehidupan sosial
budayanya, adat istiadat
kesehariannya, arsitektur bangunan
dan struktur tata ruang desa, serta
mempunyai potensi untuk
dikembangkan berbagai komponen
kepariwisataan, misalnya atraksi,
makanan minuman, cinderamata, dan
kebutuhan wisata lainnya.
Sedangkan Edward Inskeep
(1999:166) bahwa Village Tourism,
where small groups of tourist stay in
or near traditional, often remote
villages and learn about village life
and the local environmen (wisata
pedesaan dimana sekelompok kecil
wisatawan tinggal dalam atau dekat
dengan suasana tradisional, sering di
desa-desa yang terpencil dan belajar
tentang kehidupan pedesaan dan
lingkungan setempat).
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
I Putu Gede, Syech Idrus, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 67
Pengembangan dari desa wisata
harus direncanakan secara hati-hati
agar dampak yang timbul dapat
dikontrol. Pada prinsipnya dalam
pengembangan desa wisata yang
dilakukan, hendaknya
memperhatikan aspek-aspek sebagai
berikut :
1. Pengembangan fasilitas-fasilitas
wisata dalam skala kecil beserta
pelayanan di dalam atau dekat
dengan desa.
2. Fasilitas-fasilitas dan pelayanan
tersebut dimiliki dan dikerjakan
oleh penduduk desa, salah satu
bisa bekerja sama atau individu
yang memiliki.
3. Pengembangan desa wisata
didasarkan pada salah satu
“Sifat” budaya tradisional yang
dekat dengan alam dengan
pengembangan desa sebagai
pusat pelayanan bagi wisatawan
yang mengunjungi atraksi
tersebut.
Potensi Desa Gumantar sebagai Desa Wisata
Tabel Matrik SWOT
Strategi Pengembangan Desa Wisata Gumantar di Kabupaten Lombok Utara
Faktor Internal
Kekuatan
(strength, S)
1. Potensi Wisata budaya
yang bersejarah
2. Objek dan daya Tarik
wisata alam yang
terlindungi dan
original
3. Akses jalan menuju
desa aspal lapen
4. Fasum Wisata
tersedia dengan
kondisi baik
5. Sumber daya Manusia
tersedia dengan
pendidikan
6. Dekat dengan daya
tarik lainnya
Kelemahan
(Weaknesses, W)
1. Potensi Wisata,
Belum dikelola
dengan baik serta
minimnya partisipasi
masyarakat,
2. Minim kesadran
masyarakat
mempertahankan
keaslian belum ada
kesadaran untuk
menggali potensi
lain.
3. Akses jalan yang
belum baik menuju
4. Aminities Wisata
masih sangat terbatas
5. Sumber daya
manusia pengelola
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
I Putu Gede, Syech Idrus, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 68
Faktor Eksternal
masih terbatas
dengan pendidikan
yang rata-rata
rendah.
Peluang
(Opportunities, O)
1. Potensi ekonomi
masyarakat
menjanjikan dengan
sumber daya alam
yang kaya seperti,
Ada Kelompok Tani
terorganisir dengan
baik
2. Sosial Budaya
berupa Gotong
royong masih
dimiliki masyarakat,
Rasa kebersamaan
dan kekeluargaan
masih sangat kental,
Kelompok sadar
wisata masih eksis
3. Kebijakan
pemerintah daerah
dengan Penetapan
sebagai desa wisata
bukti keberpihakan
pemeritah, Bantuan
untuk dana desa,
Akses jalan, listrik
dan bantuan UMKM
4. Situasi keamanan
desa terpelihara
baik,Ada
siskambling
5. Belum ditemukan
partai politik masuk
desa
6. Teknologi pertanian
sudah masuk desa
terutama penggunaan
traktor,
Telekomunikasi
sudah masuk desa
Strategi SO
Strategi yang
menggunakan kekuatan
unruk dijadikan peluang
1. Pengembangan
Gumantar sebagai
desa wisata berbasis
ekonomi kreatif ( S
1,2 : O 2,3)
2. Pengembangan
Gumantar sebagai
jalur treking Rinjani
alternatif (S 1,2,2,3 :
O
3. Revitalisasi ODT
mesjid kuno dan desa
Beliq ( S 2, 5 : 3, 4 )
Stratgi WO
Strategi Meminimalkan
kelemahan untuk
memanfaatkan peluang
1. Meningkatkan
perencanaan dan
pemetaan potensi
wisata ( W 1 : O
1,2,3,4,6 )
2. Meningkatkan
amenities
pendukukung (W 3,4
: O 2, 3,4,6)
3. Meningkatkan
kreativitas dan
inovasi masyarakat
(W 2,5 :O 1, 2,3,6)
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
I Putu Gede, Syech Idrus, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 69
Ancaman (Threats, T)
1. Penghijon bagi hasil
pertanian dan
perkembunan sudah
masuk, Rentenir
untuk jasa keangan
koperasi yang
2. Budaya hedonis
muncul seiring
dengan pengaruh
pengunjung ke Desa
Gumantar
3. Kebijakan
pemerintah yang
langsung menyentuh
kehidupan
masyarakat belum
banyak
4. Potensi gangguan
akan ada seiring desa
gumantar
berkembang,
Pencurian, ternak ,
hasil kebun
berpotensi
meningkat
5. Gejolak politik akan
berpotensi pada saat
pemilihan Kades dan
Kaling karena
memiliki fungsi
strategis di
masyarakat dalam
pengelolaan dana
desa yang besar
6. Masuknya sosial
media menjadi
peluang dalam
memecah rasa
persaudaraan
Srategi ST
Strategi yang
menggunakan kekuatan
untuk mengatasi ancaman
1. Perencanaan
Gumantar berdasarkan
pendekatan budaya
lokal (S 1, : T 1)
2. Kemasan Fasilitas
Wisata standar
ODTW ( S 4 : T 2,4 )
3. Menjadikan Gumantar
sebagi role model
desa wisata ( S
3,4,5:T3,4,5,6)
4. Peningkatan daya
saing (S 2,4: T4,6)
Strategi WT
Strategi yang
meminimalkan
kelemahan untuk
menghindari ancaman
1. Meningkatkan
partisipasi masyarakat
(W 2: T1)
2. Memperluas akses
ruang kreatif dan
sarana prasarana desa
wisata (W 3, 4, 5 :
T4, 5 , 6)
Komponen Pengembangan Desa
Wisata
Komponen yang harus ada dalam
pengembangan Desa Wisata
Gumantar yang dapat dirumuskan
dalam forum Group Diskusi (FGD)
ada empat (4) meliputi
Pengembangan Destinasi Pariwisata,
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
I Putu Gede, Syech Idrus, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 70
Kelembagaan, Pembangunan
Industri Pariwisata, dan Pemasaran
karena kondisi Desa Gumantar
masih pada Pembangunan desa
potensial dari tiga kondisi desa
lainnya seperti desa yang sudah
memulai dan desa wisata yang
sudah lepas landas dengan indikator
perencanaan seperti bagan dibawah
ini :
Pembangunan
Destinasi
Pariwisata
Kelembagaan
Pembangunan
Industri
Pariwisata
Pemasaran
1. Pembangunan
fisik daya tarik
wisata
2. Peningkatan
penyedian Fsum
dasar
3. Peningkatan
kemudahan dan
ketersediaan
informasi
4. Pembangunan
infrastruktur
pendukung
5. Perbaikan dan
peningkatan
akses dalam desa
6. Peningkatan
aksesibilitas ke
destinasi lain
dalam area yang
lebih luas
7. Peningkatan
peran serta
masyarakat
dalam
pembangunan
desa wisata
1. Mendorong
peran serta
kelembagaan
lokal (pemuda,
pokdarwis, dan
Dsa)
2. Mendorong
penguatan
kelembagaan
swadaya
masyarakat
3. Mendorong
terbentuknya
forum
komunikasi
pariwisata
4. Peningkatan
SDM pengelola
dan pelaku
usaha
masyarakat desa
5. Penetapan
peraturan terkait
insentif dan
disinsentif
6. Penyediaan
fasilitas
pariwisata
berbasis usaha
rakyat melalui
koperasi
1. Pembangunan
dan penguatan
usaha
pariwisata
melalui
koperasi
2. Peningkatan
kualitas
produk dan
daya saing
industri
pariwisata
3. Penetapan
Peraturan
daerah dalam
pengembangan
berbasis
ekonomi
pedesaan
4. Peningkatan
sumber daya
manusia
1. Promosi
Destinasi
wisata sebagai
daya tarik dan
produk wisata
2. Promosi
produk industri
pariwisata
berbasis lokal
3. Penyelenggara
an even
prommosi
4. Peningkatan
kerjasama
promosi
dengan pelaku
lainnya baik
dalam desa
maupun
dengan
destinasi desa
lainnya
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
I Putu Gede, Syech Idrus, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 71
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analiss data
dapat disimpulkan Strategi
Pengemabangan Desa Wisata
Gumantar di Kabupaten Lombok
Utara diharapkan mampu menjadi
desa wisata model dalam
pengembangan ekonomi kreatif
dalam upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakal lokal
adalah sebagai berikut :
1. Berdasarkan hasil inventarisasi
dan identifikasi potensi wisata
alam, wisata budaya dan
kreatifitas masyrakat lokal Desa
Gumantar masih diperlukan
adanya campur tangan
pemerintah , pengusaha jasa dan
stakeholder pariwisata dalam
pengembangan menjadikan
Gumantar sebagai Desa Wisata
dengan manajemen pengelolaan
yang profesional, efesien dan
efektif dan profesional yang
berada pada kwdran 5
2. Berdasarkan hasil identifikasi
dari kondisi lingkungan internal
dan eksternal Desa Gumantar
mmemiliki Potensi untut
dijadikan Desa Wisata dengan
walaupun dengan Jarak tempuh
yang cukup jauh dari objek dan
daya tarik wisata yang ada di
Kabupaten Lombok Utara
maupun pusat wisata ada di
Kabupaten Lombok Barat,
Lombok Tengah dan Kota
Mataram dengan partisipasi
masyarakat, tokoh agama dan
tokoh masyarakat Desa
Gumantara akan menjadi
berkembang, banyak dikunjungi
wisatawan baik nusantara
maupun mancanegara.
3 Berdasarkan potensi wisata
alam, wisata budaya dan
kreatifitas masyarakat dapat
dikembangkan atraksi wisata di
lokasi Air terjun Tio Mumbak
dan Tio purit sebagai ODTW
baru, Agrowisata Pertanian,
Ekowisata Tanah adat , Hutan
Rakyat seluas 7 ha yang terjaga
dengan baik, dan Joging Track.
Wisata Budaya yang berpotensi
menjadi objek dan atraksi wisata
adalah Mesjid Kuno, Desa Adat
Beleq, Awig-awig Desa Adat,
dan Atraksi perkawinan adat.
Serta Kreatifitas Masyarakat
Lokal yang sangat berpotensi
dalam meningkatkan
kesejahteraan dari tanaman
masyarakat berupa pisang
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
I Putu Gede, Syech Idrus, I Nengah Subadra
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 72
dengan vegetasinya, jagung, dan
kelapa baik untuk bahan olahan
maupun cindramata
REFERENSI
Barringer, Richard, et.al., 1994. The
Creative Economy in Maine :
Meansurement & Analysis. The
Southern Maine Review,
University of Southern Maine.
Budpar. 2010. www.budpar.go.id.
Perkembangan Desa Wisata di
Indonesia. Departemen
Perdagangan Republik Indonesia.
2008. Pengembangan Ekonomi
Kreatif Indonesia 2025 : Rencana
Pengembangan Ekonomi Kreatif
Indonesia 2009-2025.
Evans, Graeme L. 2009. From
Cultural Quarters to Creative
Cluster-Creative Speces in The
New Economy.
Edward Inskeep. 1999. Tourism
Planning and Integrated and
Sustainable Development
Approach. New York: Van
Nostrand Reinhold.
Ooi, Can-Seng. 2006. Tourism and
the Creative Economy in
Singapore.
__________. 2006. “Kepariwisataan
Lombok Dalam Wacana Otonomi
Daerah”. Puslitbang
Kepariwisataan.
Rangkuti, Freddy.. 2002. Analisis
SWOT Teknik Membedah Kasus
Bisnis. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama.
Umar, Husein. 2002. Strategic
Management in Action. Jakarta :
PT. Gramedia Pustaka Utama.
UNDP. 2008. Creative Economy
Report 2008.
UNDP and WTO. 1981. Tourism
Development Plan for Nusa
Tenggara, Indonesia. Madrid:
World Tourism Organization.
Hal. 69.
Yoeti, Oka A. 1985. Pengantar Ilmu
Pariwisata . Bandung. Angkasa
Yozcu, Ozen Kirant dan Icoz, Orhan.
2010. A Model Proposal on the
Use of Creative Tourism
Experiences in Congress
Tourism and the Congress
Marketing Mix. PASOS. Vol. 8
Special Issue 2010.
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 73
PERBANDINGAN SWOT ANALISIS SEBELUM DAN SESUDAH
PELIBATAN MAHASISWA INDONESIA PADA PROGRAM
EDUTOURISM DI UNIVERSITAS DHYANA PURA
Ni Luh Christine Prawita Sari Suyasa*1
Hotel Management Study Program
Putu Chrisma Dewi *2
English Literature Study Program
Universitas Dhyana Pura, Bali, Indonesia
ABSTRACT
Education Tourism (Edutourism) is tourism with niche market that is
considered as an interest program for students that takes place in Bali.
Universitas Dhyana Pura is the only University located in Badung Regency have
offer such program since 2008 which aims to give education based on the study
background of each participants. Throughout the program, students will get
involved in various learning activities that include excursion, culture, and
Indonesion Language.
This article aims to analyse the SWOT comparison between the impact to the
program before and after the Indonesian students’ involvement. Data were
collected through interview and questionnaire. After the strength, weaknesses,
opportunities, and threats were identified, then analysis done by using descriptive
qualitative method. IFAS & EFAS (Rangkuti, 2002) matric determined through
scoring and rating by using Analytic Hierarchy Process. It was using theory of
marketing, culture acculturation, and SWOT.
The result shows that participation of Indonesian students has given benefit
not only for the Indonesian but also for foreign students. The positive impact not
only felt throughout off-campus activities but also learning activities on campus
site. Therefore, through participation of Indonesian students hopefully other
Indonesian will be attracted to get involved in the Edutourism program.
Keyword : Analysis SWOT, culture acculturation, marketing
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertumbuhan pariwisata Provinsi
Bali yang sangat pesat, apalagi
dilihat dari kunjungannya
berdasarkan data Kanwil
Departemen Kehakiman dan HAM
Provinsi Bali (2015) menyatakan
rata-rata pertumbuhan kedatangan
wisatawan mancanegara ke
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Luh Christine Prawita Sari Suyasa, Putu Chrisma Dewi
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 74
Indonesia dari tahun 2007 sampai
2014 adalah 8.68% per tahun.
Dengan berbagai tujuan wisata,
belakangan ini dibutuhkan jenis
pariwisata alternatif bagi wisatawan,
termasuk dalam hal pendidikan dan
pembelajaran yang dikemas
sedemikian rupa untuk memberikan
pengalaman khusus yang memiliki
makna baik pendidikan maupun
hiburan (Suyasa, 2014). Salah satu
cara mempromosikan pariwisata Bali
terhadap masyarakat mancanegara
adalah melalui Educational Tourism
atau sering dikenal dengan
EduTourism.
Salah satu perguruan tinggi
berlokasi di Pulau Bali yang telah
melaksanakan program EduTourism
ini adalah Universitas Dhyana Pura
(Undhira). Program ini merupakan
program jangka pendek yang
berdurasi lima bulan (satu semester)
yang dikenal dengan program
Intrapreneurship in Another
Perspective (IAP). Program IAP ini
yang telah berjalan dari tahun 2008
merupakan program yang mendalami
kewirausahaan berwawasan sosial
(social entrepreneurship) yang
bertumpu pada kekuatan masing-
masing individu pelaku dan bukan
semata-mata melihat keuntungan,
tetapi apa yang mereka dapat
kontribusikan kepada masyarakat
sekitar sebagai bagian dari kehidupan
sosialnya serta berkesinambungan
(Speelman, 2008).
Penelitian ini merupakan lanjutan
penelitian Suyasa (2014) yang
berjudul “Strategi Pemasaran
Program EduTourism di Universitas
Dhyana Pura Bali”. Dalam penelitian
yang menggunakan: 1) Metode
analisis matriks IFAS dan EFAS
yang menghasilkan strategi umum
(general strategic); 2) Analsisis
SWOT menghasilkan strategi
alternatif; serta 3) analisis QSPM
yang menghasilkan urutan strategi
prioritas sampai yang kurang
prioritas sebagai formulasi program
pemasaran EduTourism di
Universitas Dhyana Pura Bali.
Penelitian tersebut menemukan
bahwa Program EduTourism
Universitas Dhyana Pura Bali ada
pada fase “Tumbuh & Bina”, seperti
terlihat pada matrik IFAS & EFAS,
sehingga banyak peluang yang dapat
diraih untuk memenangkan pasar
(Suyasa, 2014).
Salah satu strategi alternatif
pelaksanaan program EduTourism di
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Luh Christine Prawita Sari Suyasa, Putu Chrisma Dewi
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 75
Universitas Dhyana Pura Bali yang
direkomendasikan oleh penelitian
Suyasa (2014) adalah diperlukannya
pelibatan mahasiswa Universitas
Dhyana Pura (Undhira) dalam
program tersebut yang dilakukan
melalui penghitungan konversi angka
kredit semester sesuai dengan
program studi dan pemberian
dispensasi waktu untuk mengikuti
program international. Rekomendasi
hasil penelitian tersebut disampaikan
kepada manajemen Universitas
Dhyana Pura Bali dan disetujui,
sehingga dari tahun akademik
2014/2015 mulai adanya pelibatan
mahasiswa Undhira yang dapat
dilihat pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1
Jumlah Mahasiswa yang
Mengikuti Program EduTourism
di Universitas Dhyana Pura
Tahun
Asal Negara
2014/
2015
(Orang)
2015/
2016
(Orang)
2016/20
17
(Orang)
Belanda
(Van Hal
Larenstein
University)
1 - -
Jerman
(Heilbronn
University)
6 5 7
Swedia
(Dalarna
University)
- - -
Jepang (St.
Andrews
University)
- 10 -
Indonesia
(Universitas
Dhyana
Pura)
7 6 6
Total 14 21 13
Sumber: Biro Program Internasional
Undhira, 2016
Tabel diatas menunjukkan bahwa
dari tahun akademik 2015/2016
keterlibatan mahasiswa asing dari
Belanda, Swedia, dan beberapa
negara Eropa tidak ada dikarenakan
berakhirnya MoU dan beberapa
perubahan kebijakan pada negara
tersebut terutama berkaitan dengan
pajak pasca krisis ekonomi dunia
2008-2009. Walaupun berkurangnya
keterlibatan mahasiswa berasal dari
negara-negara tersebut, program ini
tetap diminati oleh mitra dari Jerman
(Heilbronn University) dan mulai
diminati oleh mahasiswa Indonesia
dan mahasiswa Jepang (St. Andrews
University). Mahasiswa Jepang
hanya dapat mengikuti program ini
pada semester ganjil dikarenakan
periode semester yang berbeda
dengan periode semester di
Indonesia.
Dari dimulainya pelibatan
mahasiswa Undhira, belum pernah
dilakukan analisis faktor-faktor
internal/eksternal dalam program
IAP sebagai Educational Tourism di
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Luh Christine Prawita Sari Suyasa, Putu Chrisma Dewi
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 76
Undhira. Oleh karena itu dianggap
perlu untuk melakukan analisis
perbandingan SWOT program
EduTourism di Undhira sebelum dan
sesudah keterlibatan mahasiswa lokal
dari Indonesia, sehingga program ini
dapat berkesinambungan dan dapat
memberikan pengaruh positip
terhadap pendidikan di Universitas
Dhyana Pura.
Rumusan Masalah
1. Apakah faktor-faktor internal dan
eksternal pelibatan mahasiswa
Undhira dalam analisis SWOT
program EduTourism di
Universitas Dhyana Pura?
2. Bagaimanakah perbandingan
analisis SWOT sebelum dan
setelah pelibatan mahasiswa
Undhira pada program
EduTourism di Universitas
Dhyana Pura?
METODE PENELITIAN
Dalam pelaksanaan penelitian ini
dilakukan beberapa tahapan
pelaksanaan, yang diawali dengan
wawancara mahasiswa Indonesia
maupun asing yang terlibat dalam
program Edutourism untuk
mendapatkan perspektif akan
pelibatan mahasiswa Indonesia.
Selanjutnya dilakukan penyusunan
kuisioner untuk mendapatkan
indikator SWOT terhadap mahasiswa
yang pernah terlibat. Dari hasil
tersebut dilakukan penyusunan
kuisioner SWOT yang disebarkan
kepada mahasiswa yang pernah dan
sedang terlibat dalam program
Edutourism dari tahun 2014.
Kuisioner disebar kepada 48
mahasiswa dan mendapatkan hasil
kembali sebanyak 70% respondent
yaitu 36 respondent. Untuk mencari
matriks EFAS & IFAS maka
digunakan Matriks perbandingan
berpasangan sesuai dengan bobot dan
rating yang telah dihitung. Sehingga
menghasilkan faktor pengukur IFA
& EFA untuk melilhat posisi matriks
SWOT. Setelah itu dilakukan
perbandingan analisis SWOT
sebelum dan sesudah untuk mencari
strategi alternative untuk memajukan
program Internasional di Universitas
Dhyana Pura.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Faktor – faktor Internal Dan
Eksternal Pelibatan Mahasiswa
Indonesia
1. Faktor Internal Kekuatan
a. Program Intrapreneurship in
Another Perspective (IAP) Lebih
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Luh Christine Prawita Sari Suyasa, Putu Chrisma Dewi
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 77
Dikenal Oleh Mahasiswa
Indonesia (UNDHIRA)
Sebelum adanya pelibatan
mahasiswa Indonesia, program
Edutourism hanya diperuntukkan
mahasiswa asing yang ingin
menempuh pendidikan di
Undhira. Namun setelah
dilakukan riset dan adanya
temuan bahwa pelibatan
mahasiswa Indonesia sangat
diperlukan, maka Biro
Internasional mulai
mensosialisasikan program IAP
kepada mahasiswa Indonesia
untuk menarik minat guna ikut
terlibat dalam program.
Sosialisasi yang diadakan secara
periodik berhasil untuk menarik
minat mahasiswa Indonesia yang
memiliki kemampuan bahasa
inggris, sehingga kemudian
program menjadi lebih dikenal
oleh mahasiswa Indonesia di
Undhira.
b. Kemampuan Bahasa Inggris
Mahasiswa UNDHIRA
Meningkat Pesat
Mahasiswa yang memiliki
keinginan untuk berpartisipasi
dalam program IAP adalah
mahasiswa yang memiliki
kemampuan bahasa inggris bagus
terlihat dari nilai Kartu Hasil
Studi. Dalam program ini
mahasiswa dituntut untuk dapat
membaca buku, jurnal, dan
material lainnya sebagai bahan
diskusi dan presentasi di kelas.
Untuk membuat suasana
akademis dan membuat diskusi
tersebut menjadi menarik, setiap
mahasiswa harus mempersiapkan
diri. Persiapan diri tersebutlah
yang membuat mahasiswa
UNDHIRA berusaha keras dalam
mengasah kemampuannya
berbahasa inggris dan melalui
partisipasinya di program IAP
setiap individu melihat bahwa
keterlibatannya mampu
memberikan hasil sesuai usaha
yang dilakukan. Mahasiswa
dituntut pada akhir semester
membuat Individual Project atau
Group Project, sehingga hal ini
menjadi penyemangat setiap
mahasiswa untuk tidak hanya
pintar berbahasa inggris melalui
presentasi ataupun percakapan,
namun juga harus mampu
menulis dan membuat
implementasi atas project yang
dibuat. Semua kegiatan diataslah
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Luh Christine Prawita Sari Suyasa, Putu Chrisma Dewi
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 78
yang membuat setiap mahasiswa
mengalami peningkatan yang
luar biasa.
c. Pertukaran informasi antara
mahasiswa asing dengan
mahasiswa lokal
Melalui komunikasi aktif
baik di dalam maupun di luar
kelas, baik antar individu
maupun antar Negara
mengakibatkan pertukaran
informasi terjadi sangat cepat.
Pertukaran informasi mengenai
Negara dan adat istiadat yang
dilakukan dalam program
Intercultural hour yang
dilakukan setiap hari Rabu dua
minggu sekali mampu
memberikan pengetahuan kepada
mahasiswa antar Negara.
Informasi ini juga sangat
membantu bagi mahasiswa yang
berkeinginan untuk melakukan
program pertukaran pelajar.
d. Proses pembelajaran di kelas
yang lebih efektif dikarenakan
ada berbagai cara pandang
berdasarkan kebangsaan.
Adat istiadat setiap Negara
adalah hal yang unik yang tidak
dapat dibandingkan. Proses
pembelajaran lebih efektif
dikarenakan cara pandang setiap
mahasiswa berbeda sesuai
dengan negaranya. Contohnya,
mahasiswa Indonesia dan Jepang
tampak kurang aktif dalam
mengemukakan pendapat namun
ketika ditanya mereka mampu
untuk menjawab, sedangkan
mahasiswa Eropa akan berlomba-
lomba dalam menjawab
pertanyaan. Sudut pandang setiap
Negara juga Nampak berbeda,
dikarenakan mahasiswa dari
Negara Eropa lebih bersifat
individualistik sedangkan
mahasiswa Asia lebih bersifat
kolektif.
e. Duta promotor kampus dengan
pihak luar
Mahasiswa asing yang
terlibat dalam program IAP
merupakan duta UNDHIRA
terhadap pihak eksternal.
Keberadaan mereka di Bali
mampu membuat UNDHIRA
lebih dikenal di masyarakat luas.
Terutama saat melakukan
penelitian kemasyarakat yang
tidak selalu bertempat di
Kabupaten Badung, sehingga
masyarakat di pelosok pun
semakin mendengar nama
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Luh Christine Prawita Sari Suyasa, Putu Chrisma Dewi
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 79
UNDHIRA. Sejalan dengan
kegiatan yang dilaksanakan
mahasiswa sering memposting
gambar pada media sosial yang
membuat Undhira semakin
terkenal.
2. Faktor – faktor Internal
Kelemahan
a. Mahasiswa yang terlibat dalam
IAP mendapatkan lebih banyak
manfaat positive daripada
mahasiswa lainnya.
Mahasiswa UNDHIRA yang
terlibat dalam program IAP
adalah mahasiswa yang lebih
banyak mendapatkan manfaat
positif dari mahasiswa
UNDHIRA lainnya dalam hal
menguasai materi dengan bahasa
inggris, mampu berdiskusi
dengan berbagai studi kasus,
yang bertujun mengasah creative
thinking masing – masing
peserta, kegiatan excursio.
Program excursion memberikan
wawasan mahasiswa lokal
tentang destinasi yang dituju dan
secara langsung mereka bisa
belajar untuk memandu
wisatawan sekaligus mendapat
kesempatan menikmati
keindahan alam tanpa adanya
biaya tambahan yang harus
dibayar. Namun dikarenakan
partisipasi mahasiswa
UNDHIRA dari jumlah tergolong
sedikit, sehingga dirasa bahwa
mahasiswa tertentu saja yang
mendapatkan kesempatan dan
menerima manfaatnya
b. Perbedaan Budaya
Adakalanya perbedaan
budaya dapat meningkatkan
akulturasi budaya (Schmidt,
2007), namun pada penelitian ini
perbedaan budaya dirasa
merupakan suatu kelemahan
dikarenakan perbedaan budaya
kadang mengakibatkan terjadinya
miss komunikasi yang
berdampak terhadap komunikasi
antar mahasiswa. Mahasiswa
Eropa cenderung lebih
individualistis, spontan, tepat
waktu sedangkan mahasiswa
Asia cenderung kolektifitas,
kurang agresif, sering datang
terlambat sehingga hal tersebut
membuat terjadi pembicaraan
antar kelompok mahasiswa
berdasarkan warga Negara. Salah
satu contoh yang sangat
mencolok adalah cara
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Luh Christine Prawita Sari Suyasa, Putu Chrisma Dewi
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 80
berpakaian. Mahasiswa Undhira
berpakaian lebih formal daripada
mahasiswa asing, walaupun
sudah sering diingatkan. Namun
hal tersebut tetap harus
diingatkan kembali.
c. Kurangnya minat mahasiswa
untuk ikut dalam program IAP
karena proses pembelajaran yang
dianggap lebih sulit.
Persyaratan akademik untuk
terlibat dalam program IAP
adalah: 1) Memiliki GPA
kumulatif minimal 3.00; 2)
Mampu berbahasa inggris baik
tulis maupun lisan dengan baik.
Berdasarkan persyaratan
tersebut mengharuskan
mahasiswa yang memiliki
kemampuan berbahasa inggris
baik lisan maupun tulisan
sehingga dapat mengikuti
pelajaran di dalam maupun luar
kelas. Dikarenakan pembelajaran
setiap hari menggunakan bahasa
inggris, sehingga mahasiswa
mengatakan program ini menjadi
lebih susah dibandingkan dengan
program lainnya. Kegiatan
belajar mengajar mengharuskan
mahasiswa untuk melakukan
presentasi dan penulisan paper.
Salah satu penilaian program
adalah pembuatan proyek
individu serta proyek
implementasi yang dapat
diimplementasikan kepada
masyarakat sekitar. Hal – hal
diatas yang dirasa lebih sulit bagi
mahasiswa UNDHIRA untuk
turut berpartisipasi dalam
program.
d. Mahasiswa UNDHIRA harus
melaksanakan beban belajar lebih
berat dikarenakan tidak
sepenuhnya mata kuliah yang
dapat di transfer
Mahasiswa UNDHIRA yang
berpartisipasi dalam program
IAP tetap harus mengambil mata
kuliah di kelas regular apabila
modul pembelajaran yang
diberikan di program IAP tidak
relevan dengan mata kuliah yang
diberikan pada masing-masing
program studi. Kantor Biro
Program Internasional
UNDHIRA selalu berkoordinasi
dengan prodi masing-masing.
Sampai tahun ini mahasiswa
berasal dari Program studi sastra
inggris dan manajemen. Ada
beberapa mahasiswa Indonesia
yang harus mengambil program
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Luh Christine Prawita Sari Suyasa, Putu Chrisma Dewi
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 81
kelas malam dan regular
sehingga kegiatan belajar di
program Internasional dapat
berjalan dengan baik. Namun
proses tersebut dirasa berat
apabila banyak mata kuiah yang
tidak dapat ditransfer.
e. Kurang fokus pada mata kuliah
inti yang tidak dapat ditransfer.
Melaksanakan semua mata
kuliah pada program regular
dengan program IAP dalam satu
semester selain dirasakan lebih
berat, mahasiswa UNDHIRA
sering tidak fokus pada mata
kuliah regular. Beban presentasi
dan tugas bacaan pada program
IAP menyita waktu mahasiswa
itu sendiri dikarenakan semua
output harus dalam bahasa
inggris dimana dirasakan dua kali
lebih berat daripada hanya
mengikuti program regular.
3. Faktor – faktor Eksternal Peluang
a. Kesempatan mengikuti program
pertukaran.
Mahasiswa UNDHIRA yang
pernah berpartisipasi dalam
program Internasional
mendapatkan kesempatan yang
lebih besar mengikuti proses
perekrutan program pertukaran.
Hal tersebut dikarenakan bahwa
salah satu syaratnya memiliki
kemampuan berbahasa inggris
baik tulisan dan lisan yang baik.
Saat ini UNDHIRA memiliki
program exchange dengan
Momoyama Gakuin University
(MGU), dan pada setiap semester
ganjil beberapa mahasiswa MGU
terlibat dalam program IAP.
Aktivitas dan pertukaran
informasi mengenai adat istiadat,
proses belajar mengajar dan
bahasa di Jepang merupakan
informasi yang sering mereka
diskusikan bahkan mahasiswa
UNDHIRA bisa belajar bahasa
Jepang dari native speaker.
b. Kesempatan mengikuti program
overseas training.
Seperti yang telah diuraikan
diatas, selain adanya peningkatan
kemampuan berbahasa asing,
mahasiswa khususnya program
Manajemen diberikan
kesempatan untuk mengambil
training di luar negeri.
Kemampuan bahasa inggris dan
pertukaran informasi dan
motivasi pribadi mahasiswa
untuk memiliki pengalaman di
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Luh Christine Prawita Sari Suyasa, Putu Chrisma Dewi
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 82
luar negeri mendorong
mahasiswa untuk ikut dalam
program overseas training.
c. Internasionalisasi bahasa
Indonesia oleh mahasiswa asing
Pembelajaran Bahasa
Indonesia bagi mahasiswa asing
yang dilakukan setiap minggu
mendorong internasionalisasi
Bahasa Indonesia di kancah
dunia. Selama durasi lima bulan
beradaptasi di Indonesia,
mahasiswa asing mampu
melakukan percakapan sehari-
hari. Kemampuan berbahasa
inilah mereka bawa kembali ke
negaranya dan berdasarkan
interview dengan siswa asing,
mengatakan bahwa kemampuan
berbahasa tersebut memberikan
mereka nilai lebih dibandingkan
dengan mahasiswa lainnya yang
hanya mampu berbahasa Negara
asal. Dengan lebih dikenalnya
Bahasa Indonesia oleh
mahasiswa asing yang
diharapkan mampu untuk di
sebarkan di Negara asing,
sehingga Internasionalisasi
Bahasa Indonesia lebih mudah
tercapai.
d. Pengaturan Waktu.
Padatnya kegiatan belajar
setiap mahasiswa dalam kedua
program baik regular maupun
IAP, yang sebelumnya menjadi
kendala ternyata mampu
memberikan nilai lebih bagi
setiap mahasiswa dalam hal
pengaturan waktu. Waktu
Indonesia yang sering dijuluki
„Jam karet‟ oleh mahasiswa
asing, lambat laun tidak ada lagi.
Dengan ketepatan waktu yang
dilakukan oleh setiap individu
yang terlibat dalam program IAP
mampu mengubah cara pandang
mahasiswa UNDHIRA dalam
mengatur waktu dengan baik.
Terlebih lagi adalah mengatur
waktu untukd dapat
menyelesaikan tugas tugas pada
kedua program.
e. Meningkatkan daya saing dalam
menghadapi MEA
Kesempatan kesempatan
yang didapat melalui partisipasi
dalam program IAP memberikan
nilai tambah yang dapat
mendorong mahasiswa
UNDHIRA bersaing dengan
mahasiswa asing lainnya.
Persaingan yang terjadi bukan
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Luh Christine Prawita Sari Suyasa, Putu Chrisma Dewi
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 83
hanya dalam kegiatan belajar
mengajar di kelas namun juga
membuka kesempatan dalam
menghadapi Masyarakat
Ekonomi Asean.
4. Faktor – faktor Eksternal
Ancaman Pelibatan Mahasiswa
Indonesia
a. Pergeseran perilaku
Dengan adanya akulturasi
adaptasi yang dialami oleh
mahasiswa dari berbagai Negara,
maka sering kali dirasakan
adanya perubahan perilaku
terhadap mahasiswa yang
terlibat. Sebagai contoh:
Mahasiswa UNDHIRA menjadi
lebih tepat waktu untuk datang ke
kelas, peningkatan minat baca,
dan peningkatan kepedulian akan
alam sekitar. Selain itu
mahasiswa juga lebih tertarik
untuk menikmati keindahan alam
dengan cara bepergian bersama
pada waktu waktu tertentu untuk
lebih memperkenalkan Bali
kepada mahasiswa asing.
Begitupun sebaliknya adanya
pergeseran perilaku dari
mahasiswa asing terlihat dari cara
berpakaian. Cara berpakaian
untuk kuliah sangat berbeda
antara Indonesia dengan Negara
asing pada musim panas.
Indonesia merupakan Negara
khatulistiwa sehingga cuaca
selalu panas. Pihak yang terlibat
dalam program IAP di awal
semester harus selalu
mengingatkan untuk memakai
pakaian kuliah sesuai dengan
standar UNDHIRA, tidak
memakai yang sesuai dengan
aturan di Universitasnya, seperti:
sandal jepit, celana pendek, dan
baju kaos tanpa kerah. Dengan
cara mengingatkan setiap saat,
maka mahasiswa asing lambat
laun mengikuti tata tertib
berpakaian sesuai dengan
peraturan yang telah ditetapkan.
b. Keamanan dan kenyamanan
tinggal berkurang
Program IAP adalah paket
program yang dikemas termasuk
akomodasi. Pada tahun 2017,
akomodasi mahasiswa berlokasi
di luar areal kampus dimana
mahasiswa asing seharusnya
diberikan tempat tinggal. Namun
karena adanya pembangunan
gedung baru yang sehingga ini
menyebabkan keamanan dan
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Luh Christine Prawita Sari Suyasa, Putu Chrisma Dewi
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 84
kenyamanan mahasiswa asing
dirasakan kurang, disebabkan
oleh penempatan akomodasi
tercampur dengan tamu
komersial lainnya.
c. Permintaan akan persamaan
fasililtas dengan Universitas asal
Universitas Dhyana Pura
yang baru berumur enam (6)
tahun selalu berusaha
meningkatkan kualitas baik dari
segi pendidikan namun dari segi
sarana dan prasarana. Beberapa
fasilitas seperti internet dan
kebersihan merupakan hal – hal
yang sering diminta oleh
mahasiswa asing untuk dapat
ditingkatkan.
5. Matriks IFAS dan EFAS
Analisis didasarkan kepada
hasil wawancara dan pengisi
kuisioner dari kalangan pengajar,
fasilitator dan mahasiswa di
lingkungan Universitas Dhyana
Pura yang terlibat dalam program
Educational Tourism dari tahun
2014.
Dalam analisis berikut ini dapat
dilihat kondisi internal dan eksternal
program setelah pelibatan mahasiswa
Indonesia berdasarkan pendapat dari
responden baik untuk angka bobot
maupun rating seperti terlampir pada
Tabel 3.1 dan Tabel 3.2.
Tabel 3.1
Internal Factor Analysis Summary
(IFAS)
Sumber: Diadaptasi dari Rangkuti,
2002
No Faktor Strategis Internal
Kekuatan
Skor
1 Program Intrapreneurship in
Another Perspective Lebih
Dikenal Oleh Mahasiswa
Indonesia (UNDHIRA)
0.20
2 Kemampuan Bahasa Inggris
Mahasiswa UNDHIRA
Meningkat Pesat
0.21
3 Pertukaran informasi antara
mahasiswa asing dengan
mahasiswa lokal
0.32
4 Proses pembelajaran di kelas
yang lebih efektif dikarenakan
ada berbagai cara pandang
berdasarkan kebangsaan
0.21
5 Duta promotor kampus dengan
pihak luar
0.15
Jumlah Skor 1.09
No Faktor Strategis Internal
Kelemahan
Skor
1 Mahasiswa yang terlibat dalam
IAP yang mendapatkan lebih
banyak manfaat positive
daripada mahasiswa lainnya
0.40
2 Perbedaan Budaya 0.33
3 Kurangnya minat mahasiswa
untuk ikut dalam program IAP
karena proses pembelajaran
yang dianggap lebih susah
0.30
4 Mahasiswa Undhira harus
melaksanakan beban belajar
lebih berat dikarenakan tidak
sepenuhnya mata kuliah yang
dapat di transfer
0.27
5 Kurang focus pada mata kuliah
inti yang tidak dapat ditransfer
0.36
Jumlah Skor 1.66
Jumlah Total Internal Skor 2.75
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Luh Christine Prawita Sari Suyasa, Putu Chrisma Dewi
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 85
Tabel 3.2
Eksternal Factor Analysis Summary
(IFAS)
Sumber: Diadaptasi dari Rangkuti,
2002
Catatan: Pembobotan menggunakan
metode perbandingan berpasangan
Dari perhitungan total skor pada
masing-masing faktor, maka dapat
dilihat ringkasan pada tabel 3.3
Tabel 3.3
Hasil Pengukuran Faktor Internal dan
Eksternal
Faktor
Internal
Skor Faktor
Eksternal
Skor
Kekuatan 1.09 Peluang 2.8
Kelemahan 1.66 Ancaman 0.77
Total 2.75 3.57
Berdasarkan Tabel 3.3 hasil
pengukuran faktor internal dan
eksternal dapat digambarkan pada
matriks IE seperti ditunjukkan pada
Gambar 3.1
Gambar 3.1
Posisi Faktor Internal – Eksternal
Pelibatan Mahasiswa Indonesi Pada
Program Educational Tourism di
Unviersitas Dhyana Pura
Dari gambar 3.1 menunjukkan
bahwa posisi pelibatan mahasiswa
Indonesia pada program Educational
Tourism di Universitas Dhyana Pura
No Faktor Strategis
Eksternal Peluang
Skor
1 Kesempatan mengikuti
program exchange
0.72
2 Kesempatan mengikuti
program overseas
training
0.64
3 Internasionalisasi bahasa
Indonesia oleh
mahasiswa asing
0.30
4 Pengaturan Waktu 0.42
5 Meningkatkan daya
saing dalam menghadapi
MEA
0.72
Jumlah Skor 2.8
No Faktor Strategis
Eksternal Ancaman
Skor
1 Pergeseran perilaku 0.18
2 Keamanan dan
kenyamanan tinggal
berkurang
0.27
3 Permintaan akan
persamaan fasililtas
dengan Universitas asal
0.32
Jumlah Skor 0.77
Jumlah Total Eksternal
Skor 3.57
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Luh Christine Prawita Sari Suyasa, Putu Chrisma Dewi
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 86
berada pada posisi Tumbuh dan Bina
dengan konsentrasi via horizontal.
Konsentrasi melalui Integrasi
Horizontal adalah suatu kegiatan
untuk memperluas perusahaan
dengan cara membangun di lokasi
yang lain, dan meningkatkan jenis
produk serta jasa (Rangkuti,
2006:44).
Dikarenakan finansial, sumber
daya manusia, dan tempat yang
belum memadai untuk dilakukannya
program yang sama pada tempat
yang berbeda, maka strategi saat ini
yang dapat dilakukan adalah
meningkatkan produk serta jasa.
Peningkatan produk dan jasa dapat
dilakukan melalui lebih melakukan
pelibatan mahasiswa Indonesia. Hal
tersebut selain bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan
mahasiswa Indonesia dalam berpikir
kreatif terutama menggunakan
bahasa inggris, juga digunakan
sebagai ajang promosi kampus.
Sehingga strategi untuk
meningkatkan pelibatan mahasiswa
Indonesia pada program IAP dapat
dilakukan dengan mengajak serta dan
meminta bantuan (joint venture)
semua organisasi mahasiswa di
Universitas Dhyana Pura untuk turut
terlibat maupun melakukan promosi
program IAP untuk menarik minat
mahasiswa lainnya.
Perbandingan Analisis SWOT
Sebelum dan Sesudah Pelibatan
Mahasiswa Indonesia
Pada Tabel 3.4 dibawah ini dapat
faktor-faktor Internal dan Eksternal
pada SWOT Sebelum dan sesudah
dilakukan pelibatan mahasiswa
Indonesia
Tabel 3.4
Faktor-Faktor Internal dan Eksternal
pada SWOT Sebelum dan sesudah
dilakukan pelibatan mahasiswa
Indonesia
Sebelum Pelibatan
Internal Eksternal
Strength
Kekuatan
Opportunity
Kesempatan
- Lokasi
kampus
- Fasilitas
kampus dan
akomodasi
- Paket
program
yang
dikemas
dengan
penyediaan
akomodasi
- Fasilitator
dan staff
- Harga yang
terjangkau
khusus bagi
mahasiswa
Eropa
- Meningkatnya
kunjungan-
kunjungan dari
institusi
pendidikan dari
luar negeri
- Meningkatnya
jumlah partner
kerjasama dalam
bidang edukasi
- Semakin
digalakkannya
pariwisata minat
khusus oleh
Kementerian
Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif
- Meningkatnya
kesadaran
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Luh Christine Prawita Sari Suyasa, Putu Chrisma Dewi
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 87
- Proses
pembelajara
n
Bagi setiap
orang yang
terlibat
didalamnya
berwisata sambil
belajar
- Globalisasi
informasi yang
mendorong calon
wisatawan
berkunjung
- Pertumbuhan
ekonomi yang
menarik
wisatawan untuk
berkunjung
Weaknesses /
Kelemahan
Threat / Ancaman
- Promosi
yang kurang
maksimal
- Kurangny
saluran
distribusi
program
Educational
Tourism
-Hubungan
kerjasaama
- Harga
program
yang kurang
standar
untuk semua
negara
- Belum
terlibatnya
mahasiswa
Undhira
sendiri
dalam
program ini
- Tidak
memiliki
sarana
pembelajaran
kebudayaan
- Bertambahnya
kompetitor
sejenis
- Krisis ekonomi
di daerah Eropa
- Meningkatnya
biaya-biaya
pengurusan
administrasi
mahasiswa asing
- Kurangnya
keamanan
Indonesia
- Inkonsistensi
aturan dan
pelaksanaan
terhadap
mahasiswa asing
Sesudah Pelibatan
Eksternal Internal
Opportunity
Kesempatan
Strength
Kekuatan
- Kesempatan
mengikuti
program exchange
- Kesempatan
mengikuti
program overseas
training
- Internasionalisasi
bahasa Indonesia
oleh mahasiswa
asing
- Pengaturan Waktu
- Meningkatkan
daya saing dalam
menghadapi MEA
- Program
Intrapreneurs
hip in
Another
Perspective
`Lebih
Dikenal Oleh
Mahasiswa
Indonesia
(UNDHIRA)
- Kemampuan
Bahasa
Inggris
Mahasiswa t
Pesat
- Pertukaran
informasi
antara
mahasiswa
asing dengan
mahasiswa
lokal
- Proses
pembelajaran
di kelas yang
lebih efektif
dikarenakan
ada berbagai
cara pandang
berdasarkan
kebangsaan
- Duta
promotor
kampus
dengan pihak
luar
Threat / Ancaman
Weaknesses /
Kelemahan
- Pergeseran
perilaku
- Keamanan dan
kenyamanan
tinggal
- Mahasiswa
yang terlibat
dalam IAP
yang
mendapatkan
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Luh Christine Prawita Sari Suyasa, Putu Chrisma Dewi
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 88
berkurang
- Permintaan akan
persamaan
fasililtas dengan
Universitas asal
-
lebih banyak
manfaat
positive
daripada
mahasiswa
lainnya
- Perbedaan
Budaya
- Kurangnya
minat
mahasiswa
untuk ikut
dalam
program IAP
- karena proses
pembelajaran
yang dianggap
lebih susah
- Mahasiswa
Undhira harus
melaksanakan
beban belajar
lebih berat
dikarenakan
tidak
sepenuhnya
mata kuliah
yang dapat di
transfer
- Kurang focus
pada mata
- kuliah inti
yang tidak
dapat
ditransfer
Pada Tabel 3.4 dapat diuraikan
perbandingan sebelum dan sesudah
pelibatan mahasiswa Indonesia
sebagai berikut:
1. Faktor Internal – Kekuatan
Sebelum pelibatan mahasiswa
Indonesia yang menjadi kekuatan
adalah lokasi, fasilitas, paket
program yang dikemas dengan
akomodasi, harga yang sangat
terjangkau bagi mahasiswa,
sehingga penguatan yang
dilakukan lebih banyak pada
fasilitator, sarana prasarana dan
pengemasan program sehingga
menarik bagi mahasiswa asing.
Setelah pelibatan mahasiswa
Indonesia, program IAP lebih
dikenal di Undhira dan menarik
minat mahasiswa lokal sendiri
untuk terlibat dalam
meningkatkan kemampuan
terutama dalam berbahasa
Inggris. Dengan kemampuannya
berbahasa Inggris yang lebih
baik, mahasiswa memiliki
keberanian untuk berdiskusi dan
proses pertukaran informasi
terutama transfer knowledge
menjadi lebih menguntungkan.
Transfer informasi dan
pengetahuan lebih menarik ketika
berbeda individu memiliki
perbedaan cara pandang dapat
menghasilkan pembicaraan yang
dapat menempatkan mahasiswa
pada perspective yang berbeda.
Melalui hal tersebut mahasiswa
Undhira yang terlibat dalam
program IAP memiliki
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Luh Christine Prawita Sari Suyasa, Putu Chrisma Dewi
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 89
keberanian untuk mengikuti
ajang kompetisi baik yang
bersifat akademik maupun non-
akademik di tingkat lokal
maupun nasional. Dari tahun
2014, mahasiswa telah berhasil
meraih penghargaan seperti :
a. Young Entrepreneur pada
Undhira Innovation Award
2014
b. Peserta Pertukaran Pelajar ke
Momoyama Gakuin
University Jepang 2014
c. Juara I, Panahan Atlet Pra-
PON Bali 2014
d. Pencetus Ide Kompetisi Ide
Bisnis di Universitas Dhyana
Pura 2015
e. Seleksi Mahasiswa
Berprestasi Kopertis Wilayah
VIII 2015
f. Putri Kampus Universitas
Dhyana Pura tahun 2015
g. Peserta Program Internship
ke Jepang dalam bidang
Hospitality 2015
h. Pemenang Duta Bahasa
Provinsi Bali 2016
i. Pemenang Karya Ilmiah
Kopertis Wilayah VIII tahun
2017
2. Faktor Internal – Kelemahan
Sebelum pelibatan mahasiswa
Indonesia kelemahan program
adalah kurangnya promosi
sehingga program kurang dikenal
oleh partner Perguruan Tinggi di
dalam maupun di luar negeri.
Salah satu kelemahan yang
paling mendasar adalah belum
adanya pelibatan mahasiswa
Undhira dan Undhira belum
memiliki sarana pembelajaran
kebudayaan, sedangkan salah
satu aspek untuk belajar di luar
Negara asal adalah mengetahui
kebudayaan Negara yang dituju
lebih dalam.
Namun setelah pelibatan
mahasiswa Indonesia kesulitan
dalam belajar, transfer kredit, dan
kurang fokus pada perkuliahan
inti sesuai dengan program studi
sangat dirasakan. Sehingga
mahasiswa memiliki beban yang
lebih besar daripada sebelum
mengikuti program IAP. Secara
umum, mahasiswa Undhira
belum merasakan dampak positif
secara signifikan dengan adanya
program IAP di kampus. Hal
tersebut dikarenakan transfer
knowledge lebih banyak terjadi
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Luh Christine Prawita Sari Suyasa, Putu Chrisma Dewi
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 90
antar mahasiswa yang terlibat di
program IAP saja, walaupun
secara komunikasi sosial
mahasiswa lainnya juga terlibat.
3. Faktor Eskternal – Kesempatan
Sebelum pelibatan mahasiswa
Indonesia program IAP yang
bertempat di Pulau Bali, yang
memiliki kekuatan pada lokasi,
mampu menarik perhatian
perguruan tinggi partner untuk
berkunjung ke Universitas
Dhyana Pura Selain itu
Kementerian Pariwisatadan
Ekonomi Kreatif saat itu sedang
menggalakkan pariwisata minat
khusus dengan tujuan
meningkatkan kunjungan
wisatawan ke Indonesia pada
umumnya. Hal tersebut disambut
baik oleh wisatawan karena
banyak juga dari kunjungan
wisatawan ke Bali dengan minat
untuk belajar dan berwisata.
Setelah pelibatan mahasiswa
Indonesia, program IAP
digunakan sebagai kelas untuk
meningkatkan kemampuan diri
sehingga dapat terlibat dalam
proses seleksi program
pertukaran pelajar ke Luar Negeri
dan mengikuti program On The
Job Training di Luar Negeri.
Kesempatan dan pengalaman
yang didapatkan juga mampu
meningkatkan daya saing
mahasiswa di dalam masyarakat
ekonomi ASEAN. Bukan hanya
mahasiswa Indonesia saja yang
dapat menikmati kesempatan,
namun juga pembelajaran Bahasa
Indonesia yang dilakukan setiap
minggu juga mampu
memperkenalkan Bahasa
Indonesia ke kancah
Internasional.
4. Faktor Eksternal – Ancaman
Sebelum pelibatan mahasiswa
Indonesia, ancaman yang paling
mendasar adalah bertambahnya
kompetitor dari perguruan tinggi
yang menawarkan program
Edutourism ditambah lagi
perguruan tinggi partner yang
berada di Eropa saat itu namun
setelah pelibatan mahasiswa
Indonesia, ancaman terbesar
adalah terjadinya pergeseran
perilaku dari mahasiswa
Indonesia yang lebih cenderung
meninggalkan adat
ketimurannya. Dari komunikasi
sosial yang dilakukan antar
mahasiswa baik dilakukan di
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Luh Christine Prawita Sari Suyasa, Putu Chrisma Dewi
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 91
dalam maupun di luar kampus
terkadang mengakibatkan
kenyamanan tinggal mahasiswa
asing berkurang. Terkadang
sarana dan prasarana dianggap
belum selaras dengan Universitas
asal sehingga adanya permintaan
untuk penyediaan hal yang sama.
KESIMPULAN
Program Edutourism melalui
pelibatan mahasiswa Indonesia lebih
banyak memberikan dampak positif
kepada mahasiswa Indonesia sendiri
daripada mahasiswa asing. Hasil ini
dihitung dari Matriks memiliki posisi
IFE (2.75) dan EFE (3.57) pada
posisi Tumbuh dan Bina dengan
konsentrasi via horizontal melalui
meningkatkan jasa dari pelibatan
mahasiswa Indonesia. Peningkatan
jasa tersebut dapat dilakukan dengan
cara membuat program dimana
mahasiswa Indonesia dapat terlibat
dari penjemputan airport pada awal
ketibaan di Bali, pendampingan
selama belajar di Bali sehingga masa
“kangen rumah” terobati, sampai
pada kepulangan mahasiswa ke
Negara asal.
Keuntungan yang didapat oleh
mahasiswa Indonesia adalah
peningkatan kemampuan
berkomunikasi, berpikir dalam
bahasa Inggris. Selain itu mahasiswa
Indonesia mampu bersaing dalam
tingkat lokal maupun nasional serta
menggunakan kesempatan yang ada
untuk mengikuti ajang pertukaran
mahasiswa ke Luar Negeri ataupun
program Magang. Dampak positif
yang juga dirasakan oleh mahasiswa
asing adalah perasaan lebih diterima
di komunitas mahasiswa Indonesia
dikarenakan mereka dapat berteman
dengan berbagai kalangan
mahasiswa bukan hanya dengan
mahasiswa pada program
Internasional saja. Sesuai dengan
teori Akulturasi Budaya, mahasiswa
asing mengalami lebih sedikit
homesick daripada sebelum adanya
pelibatan mahasiswa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Ankomah, P. K. and Larson, T.R.
1992. Education Tourism: A
Strategy to Strategy to
Sustainable Tourism
Development in Sub-Saharan
Africa. Available from:
unpan1.un.org/intradoc/groups/p
ublic/documents. Diakses pada 5
Mei 2017 pukul 09.00
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Luh Christine Prawita Sari Suyasa, Putu Chrisma Dewi
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 92
Homans, George C. 2007. History,
Theory, and Method. USA:
Routledge
Kotler, Philip. 2002. Marketing
Management. 10th
ed. Jakarta:
PT. Penhallindo, Jakarta.
Kurtz, David L. 2008. Principles of
Contemporary Marketing. South-
western: Thomson
Ritchie, Brent W. 2003. Aspects of
Tourism. Managing Educational
Tourism. England: Channel View
Publications.
Schmidt, Wallace. V and team. 2007.
Communicating Globally.
Interculture Communication and
International Business.
California: Sage Publications,
Inc.
Suyasa, Ni Luh Christine. 2014.
Strategi Pemasaran Program
Educational Tourism di
Universitas Dhyana Pura Bali.
Tesis. Denpasar: Universitas
Udayana
Speelman, Nicholaas. 2008.
Intrapreneurship In Another
Perspective Brosur. Netherland
Teske, Raymond H.C, Jr, and
Nelson, Bardin. H. 1974.
Aculturation and Assimilation A
Clarification. American
Ethnologist Journal Vol. 1 (pp:
351-367)
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 93
Ni Luh Komang Julyanti Paramita Sari *3
STIE Triatma Mulya
ABSTRACT
Tourism Development in an area is required to be developed in a sustainable
manner and can provide maximum benefits to the community. This kind of
development aims to make the community benefit directly from the development of
tourism in the region. The village of Tangkup located in Karangasem regency has
tourism potential which if developed will become the attraction for the tourists.
With an unspoiled natural landscape, cultural arts are still maintained and added
with the existence of the river flow that stretches across the village boundary,
making the Village Tangkup suitable to be developed into one tourist destination
in Karangasem regency. Tourism development in Tangkup Village is by using the
concept of rural tourism and community empowerment Tourism activities to be
developed in Tangkup Village are trekking tours, cultural tourism and
agricultural tourism where in its development will empower the local community.
Keywords: development, sustainable, community empowerment
PENDAHULUAN
Sebagai salah satu sektor dalam
pembangunan di Indonesia,
pariwisata merupakan sektor yang
paling dinamis didalam mengikuti
berbagai perubahan di dalam
perkembangan global. Hal ini dapat
dilihat dari terjadinya pergeseran
orientasi motivasi kunjungan
wisatawan dari mass tourism menjadi
suatu bentuk kunjungan
individual/kelompok kecil yang
memiliki minat pada hal-hal yang
bersifat khusus. Jika kita melihat
pola konsumsi wisatawaan terutama
wisatawan mancanegara maka
dewasa ini banyak bermunculan
wisatawan minat khusus yang
PENGEMBANGAN POTENSI WISATA DI DESA TANGKUP DENGAN
KONSEP PARIWISATA PEDESAAN DAN PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT
I Ketut Eli Sumerta*2
STIPAR Triatma Jaya
Putu Agus Prayogi*1
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Putu Agus Prayogi, I Ketut Eli Sumerta, N.L. Komang Julyanti Paramita Sari
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 94
berorientasi tidak hanya tertarik pada
keindahan alam semata tetapi lebih
cenderung terhadap suatu interaksi
baik terhadap budaya, masyarakat
maupun alam setempat. Bentuk dari
interaksi yang maksimal dari unsur
tersebut dapat direalisasikan melalui
keunikan yang dimiliki oleh suatu
daerah. Keunikan tersebut dapat
dapat dilihat dari bentuk kebiasaan,
aktivitas sehari-hari, ritual serta pola
hidup masyarakat yang harmonis
dengan alam.
Pengembangan Pariwisata di
suatu daerah dituntut agar mampu
dikembangkan secara berkelanjutan
dan dapat memberikan manfaat yang
maksimal terhadap masyarakat.
Pengembangan semacam ini
bertujuan agar masyarakat
memperoleh manfaat secara langsung
dari pengembangan kepariwisataan
di daerahnya. Jika model
pengembangan pariwisata ini bisa
diterapkan maka perkembangan
pariwisata tidak lagi hanya
terkonsentrasi di suatu wilayah saja,
tetapi pengembangan pariwisata bisa
dilaksanakan secara merata.
Provinsi Bali sebagai salah satu
Daerah Tujuan Wisata di Indonesia
juga mengalami permasalahan yang
sama di dalam pengembangan
kepariwisataanya. Selama ini
pengembangan pariwisata di Provinsi
Bali masih terkonsentrasi di Wilayah
Bali Bagian Selatan, sedangan
Wilayah Bali lainnya hanya sebagai
pendukung dalam pengembangan
Kepariwisataan di Pulau Bali.
Pengembangan pariwisata semacam
ini tentunya akan memberikan
dampak yang tidak baik tidak hanya
di Wilayah Bali Selatan tetapi juga
memberikan dampak negatif di
Wilayah Bali lainnya. Salah satu
contoh dampak negatif di Wilayah
Bali Bagian Selatan adalah semakin
tingginya tingkat kepadatan
penduduk yang tentunya menjadi
salah satu penyebab masalah sosial.
Sedangkan di Wilayah Bali lainnya
akan menimbulkan dampak negatif
berupa semakin berkurangnya
sumber daya manusia yang produktif
sebagai akibat dari terkonsentrasinya
penduduk usia produktif di Wilayah
Bali Selatan.
Permasalahan semacam ini
tentunya harus segera dicari jalan
pemecahannya sehingga
pengembangan pariwisata di Provinsi
Bali betul-betul mampu memberikan
dampak secara langsung terhadap
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Putu Agus Prayogi, I Ketut Eli Sumerta, N.L. Komang Julyanti Paramita Sari
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 95
Masyarakat Bali secara umum. Salah
satu upaya didalam pengembangan
pariwisata yang bisa memberikan
manfaat secara langsung ke pada
masyarakat adalah pengembangan
Pariwisata Pedesaan. Bentuk
pengembangan pariwisata pedesaan
(rural tourism) dengan bentuk
produk yang unik serta ramah
lingkungan merupakan solusi yang
tepat bagi pengembangan
kepariwisataan di Provinsi Bali.
Pengembangan pariwisata pedesaan
juga bisa dijadikan sebagai alternatif
pilihan dari produk wisata
konvensional yang mulai
ditinggalkan oleh wisatawan.
Berlandaskan semangat didalam
pemerataan pengembangan
pariwisata serta menyikapi keinginan
wisatawan untuk mencari sesuatu hal
yang baru dan unik maka konsep
pengembangan pariwisata pedesaan
merupakan salah satu sarana untuk
menyatukan kedua elemen tersebut.
Dengan konsep pengembangan
pariwisata pedesaan di harapkan para
wisatawan yang berkunjung ke desa
tersebut dapat menikmati alam
pedesaan yang masih bersih dan
alami serta bisa merasakan
kehidupan dengan suasana pedesaan
beserta adat istiadat yang berlaku.
Pengalaman seperti ini tentunya akan
memberikan suatu hal yang unik bagi
para wisatawan. Selain itu konsep
pengembangan pariwisata pedesaan
akan memberikan dampak secara
langsung bagi masyarakat desa
dimana masyarakat akan dilibatkan
mulai dari perencanaan sampai
dengan pengelolaan kegiatan
pariwisata tersebut. Namun tentunya
konsep pengembangan pariwisata
pedesaan akan sulit diterapkan jika
tidak didukung oleh berbagai pihak,
baik itu oleh pemerintah, swasta
maupun masyarakat itu sendiri.
Berdasarkan hal tersebut maka
pengembangan pariwisata pedesaan
dengan pemberdayaan masyarakat
merupakan solusi yang tepat dalam
pengembangan kepariwisataan di
Provinsi Bali.
Desa Tangkup yang terletak di
Kabupaten Karangasem memiliki
potensi wisata yang apabila
dikembangkan akan menjadi daya
tarik bagi para wisatawan. Dengan
bentangan alam yang masih alami,
seni budaya yang masih terjaga
kelestariaannya serta ditambah
dengan adanya aliran sungai yang
membentang di batas desa,
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Putu Agus Prayogi, I Ketut Eli Sumerta, N.L. Komang Julyanti Paramita Sari
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 96
menjadikan Desa Tangkup cocok
untuk dikembangkan menjadi
salahsatu daerah tujuan wisata di
Kabupaten Karangasem. Namun
didalam perkembangannya potensi
wisata di Desa Tangkup belum
dikembangkan secara optimal, yang
baru dikembangkan hanya aliran
Sungai Telaga Waja yang dijadikan
sebagai tempat rafting.
Pengembangan ini pun belum
memberikan manfaat yang optimal
bagi masyarakat di Desa Tangkup,
karena lebih cenderung memberikan
keuntungan ke pada pihak kapitalis
(investor). Seharusnya masyarakat
bisa menikmati hasil yang lebih dari
pengembangan potensi wisata yang
mereka miliki.
Tulisan ini memiliki tujuan untuk
mengkaji keterlibatan masyarakat
lokal dalam pengembangan
pariwisata pedesaan serta mengkaji
model pengembangan pariwisata
pedesaan dengan pemberdayaan
masyarakat. Pengembangan
pariwisata dengan pemberdayaan
masyarakat merupakan model
pengembangan yang memberikan
peluang kepada masyarakat pedesaan
untuk berpartisipasi dalam
pembangunan pariwisata. Model ini
merupakan sebuah kegiatan
pengembangan pariwisata yang
dilakukan sepenuhnya oleh
masyarakat. Ide kegiatan dan
pengelolaan dilakukan seluruhnya
oleh masyarakat secara partisipatif,
dan manfaatnya dirasakan langsung
oleh masyarakat itu sendiri.
TINJAUAN PUSTAKA
Pariwisata Pedesaan
Wisata Pedesaan atau village
tourism telah dikenal secara luas
sebagai salah satu bentu produk
wisata yang dikembangkan di
kawasan atau area pedesaan (country
side) di berbagai tempat di dunia,
sebagai bentuk kegiatan wisata yang
membawa wisatawan pada
pengalaman untuk melihat dan
mengapresiasi keunikan kehidupan
dan tradisi masyarakat di pedesaan
dengan segala potensinya (Dinas
Pariwisata Jogja, 2014).
“Village Tourism is accepted as a
sector with a high potential for
economic development and
employment generation”. Pariwisata
Pedesaan merupakan konsep
pengembangan dengan potensi yang
tinggi didalam pembangunan
ekonomi dan penciptaan lapangan
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Putu Agus Prayogi, I Ketut Eli Sumerta, N.L. Komang Julyanti Paramita Sari
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 97
pekerjaan. Pariwisata pedesaan
menawarkan sesuatu yang bersifat
tradisional yang tidak tersentuh
sesuatu yang modern (Smitha s,
2014).
Dalam pengembangan pariwisata
di Indonesia, kegiatan wisata
alternatif perlu menjadi perhatian
yang sangat penting, khususnya
terkait dengan keragaman budaya
dan keunikan alam yang dimilikinya.
Sejalan dengan pemikiran tersebut,
maka pengembangan pariwisata
pedesaan (village tourism) menjadi
alternatif yang dipandang sangat
strategis untuk menjawab sejumlah
permasalahan dalam pembangunan
kepariwisataan. Melalui
pengembangan pariwisata pedesaan,
maka suatu kawasan pariwisata akan
memiliki keragaman atau
diversifikasi produk yang akan
membuka peluang untuk menarik
minat kunjungan wisatawan.
Pengembangan pariwisata pedesaan
juga dianggap mampu
meminimalkan urbanisasi
masyarakat dari pedesaan ke
perkotaan dikarenakan mampu
menciptakan aktifitas ekonomi di
wilayah pedesaan yang berbasis pada
kegiatan pariwisata. Daya produktif
potensi lokal termasuk didalamnya
adalah potensi-potensi wilayah
pedesaan akan dapat didorong untuk
tumbuh dan berkembang dengan
memanfaatkan sumber daya yang
dimiliki oleh desa, sehingga akan
dapat menjadi instrumen yang efektif
dalam mendorong pengembangan
bidang sosial budaya dan ekonomi
masyarakat pedesaan. Lebih lanjut,
akan dapat didorong berbagai upaya
untuk melestarikan dan
memberdayakan potensi keunikan
berupa budaya lokal dan nilai-nilai
kearifan lokal (local wisdom) yang
ada di masyarakat yang cenderung
mengalami ancaman kepunahan
akibat arus globalisasi yang sangat
gencar dan telah memasuki wilayah
pedesaan. Sejalan dengan
mengemukanya agenda
pembangunan pariwisata
berkelanjutan (sustainable tourism
development) sebagai respon atas
kepedulian yang semakin tinggi akan
lingkungan, serta nilai manfaat
pariwisata bagi masyarakat, maka
pengembangan pariwisata pedesaan
merupakan salah satu bentuk konsep
wisata alternatif (alternative
tourism). Lebih darisatu dekade
terakhir, pengembangan pariwisata
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Putu Agus Prayogi, I Ketut Eli Sumerta, N.L. Komang Julyanti Paramita Sari
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 98
pedesaan yang di tuangkan dalam
bentuk desa wisata berjalan begitu
pesat dan menyebar di hampir
seluruh wilayah provinsi di
Indonesia, terlebih dengan adanya
dorongan program PNPM Mandiri
Pariwisata, banyak desa wisata baru
bermunculan diberbagai daerah yang
mencoba untuk menangkap peluang
perkembangan kepariwisataan serta
minat pasar untuk mencari destinasi
wisata alternatif diluar
destinasidestinasi populer yang
sudah banyak dikenal dalam konteks
wisata massal (mass tourism) dan
wisata konvensional (Dinas
Pariwisata Jogja, 2014).
Pengembangan pariwisata
pedesaan umumnya dilakukan di
daerah/kawasan desa yang masih
memegang teguh tradisi dan budaya
yang masih asli disamping memiliki
kondisi alam yang masih alami.
Secara umum desa-desa yang masih
memegang teguh tradisi dan budaya
asli biasanya lingkungan alam di
desa tersebut masih terjaga
kealamiannya. Seakan-akan antara
budaya asli dengan alam menjadi hal
yang tidak terpisahkan dengan
kondisi masyarakat di pedesaan.
Pengembangan pariwisata pedesaan
harus mampu mendorong tradisi dan
budaya lokal menjadi daya tarik
utama dengan didukung oleh kondisi
alam yang masih terjaga
kealamiannya. Untuk mempermudah
didalam pengawasan atau didalam
melakukan kontrol maka
pengembangan pariwisata pedesaan
harus dilakukan dengan
pengembangan yang terbatas (small
scale development) dengan
memperhatikan daya dukung yang
ada (crraying capacity) dan
keberlanjutan (sustainability) serta
mampu memberikan manfaat
ekonomi baik secara langsung
maupun tidak langsung kepada
masyarakat setempat. Hal ini
menyebabkan pengembangan
pariwisata pedesaan harus menitik
beratkan pada pemberdayaan
masyarakat (community based
tourism).
Partisipasi Masyarakat
Didalam pengembangan konsep
pariwisata pedesaan masyarakat lokal
memiliki peran yang sangat penting
mengingat sumber daya dan
keunikan tradisi dan budaya yang
melekat pada masyarakat tersebut
merupakan unsur penggerak utama di
dalam kegiatan pariwisata pedesaan.
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Putu Agus Prayogi, I Ketut Eli Sumerta, N.L. Komang Julyanti Paramita Sari
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 99
Masyarakat lokal memiliki peran
sebagai tuan rumah sekaligus
menjadi pelaku penting dalam
pengembangan konsep pariwisata
pedesaan mulai tahap perencanaan,
pengawasan, dan implementasi.
Ilustrasi yang dikemukakan Wearing
(2001) tersebut menegaskan bahwa
masyarakat lokal berkedudukan sama
penting dengan pemerintah dan
swasta sebagai salah satu pemangku
kepentingan dalam pengembangan
pariwisata. Di lain pihak, komunitas
lokal (masyarakat lokal) yang
tumbuh dan hidup berdampingan
dengan suatu objek wisata menjadi
bagian dari sistem ekologi yang
saling kait mengait. Dalam
perkembangannya partisipasi
masyarakat lokal tidak saja menjadi
kewajiban tetapi juga menjadi hak
bagi masyarakat tersebut.
Adiyoso (2009) menegaskan
bahwa partisipasi masyarakat
merupakan komponen terpenting
dalam upaya pertumbuhan
kemandirian dan proses
pemberdayaan. Menurut Timothy
(1999) ada dua perspektif dalam
melihat partisipasi masyarakat dalam
pariwisata. Kedua perspektif tersebut
adalah (1) partisipasi masyarakat
lokal dalam proses pengambilan
keputusan, dan (2) berkaitan dengan
manfaat yang diterima masyarakat
dari pembangunan pariwisata.
Timothy menekankan perlunya
melibatkan masyarakat dalam
pengambilan keputusan dengan
mengakomodasi keinginan dan
tujuan masyarakat lokal dalam
pembangunan serta kemampuannya
dalam menyerap manfaat pariwisata.
Masyarakat yang berada di wilayah
pengembangan harus didorong untuk
mengidentifikasi tujuannya sendiri
dan mengarahkan pembangunan
pariwisata untuk meningkatkan
pemenuhan kebutuhan masyarakat
lokal. Selain mengikutsertakan
masyarakat lokal dalam pengambilan
keputusan, Timothy memandang
pentingnya mengikutsertakan
pemangku kepentingan, yaitu
pemerintah, swasta, dan anggota
masyarakat lainnya untuk turut ambil
bagian dalam pengambilan keputusan
dan melihat pentingnya pendidikan
kepariwisataan bagi masyarakat lokal
untuk meningkatkan kapasitas
masyarakat, terutama dalam
menerima manfaat pariwisata.
Dengan demikian, perencanaan
pembangunan pariwisata harus
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Putu Agus Prayogi, I Ketut Eli Sumerta, N.L. Komang Julyanti Paramita Sari
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 100
mengakomodasi keinginan dan
kemampuan masyarakat lokal untuk
berpartisipasi serta memperoleh nilai
manfaat yang maksimal dari
pembangunan pariwisata. Partisipasi
masyarakat lokal sangat dibutuhkan
dalam pengembangan desa wisata
karena masyarakat lokal sebagai
pemilik sumber daya pariwisata yang
ditawarkan kepada wisatawan.
Secara umum partisipasi dapat
dimaknai sebagai hak warga
masyarakat untuk terlibat dalam
proses pengambilan keputusan pada
setiap tahapan pembangunan, mulai
dari perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan pelestarian.
Masyarakat bukanlah sekadar
penerima manfaat atau objek belaka,
melainkan sebagai subjek
pembangunan.
Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat
merupakan suatu upaya agar
masyarakat bisa mandiri didalam
mengelola potensi yang dimiliki oleh
daerahnya. Kemandirian masyarakat
merupakan suatu kondisi yang
dialami oleh masyarakat yang
ditandai dengan kemampuan
memikirkan, memutuskan serta
melakukan sesuatu yang dipandang
tepat demi mencapai pemecahan
masalah-masalah yang dihadapi
dengan mempergunakan daya
kemampuan yang dimiliki
(Widjajanti, 2011). Masyarakat yang
mengikuti proses belajar yang baik,
secara bertahap akan memperoleh
daya, kekuatan atau kemampuan
yang bermanfaat dalam proses
pengambilan keputusan secara
mandiri. Berkaitan dengan hal ini,
Sumodiningrat (2000) menjelaskan
bahwa keberdayaan masyarakat yang
ditandai adanya kemandiriannya
dapat dicapai melalui proses
pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat dapat
diwujudkan melalui partisipasi aktif
masyarakat yang difasilitasi oleh
pemerintah ataupun pihak terkait
lainnya. Sasaran utama dari kegiatan
pemberdayaan masyarakat adalah
masyarakat usia produktif yang
belum memiliki mata pencaharian
tetap sehingga mereka mampu
meningkatkan kesejahteraannya dan
secara tidak langsung dapat
meningkatkan perputran roda
perekonomian masyarakat. Tujuan
akhir dari proses pemberdayaan
masyarakat adalah untuk
memandirikan warga masyarakat
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Putu Agus Prayogi, I Ketut Eli Sumerta, N.L. Komang Julyanti Paramita Sari
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 101
agar dapat meningkatkan taraf hidup
keluarga dan mengoptimalkan
sumberdaya yang dimilikinya.
Pemberdayaan dapat diartikan
sebagai suatu pelimpahan atau
pemberian kekuatan (power) yang
akan menghasilkan hierarki kekuatan
dan ketiadaan kekuatan, seperti yang
dikemukakan Simon (1993) bahwa
pemberdayaan merupakan suatu
aktvitas refleksi, suatu proses yang
mampu diinisiasikan dan
dipertahankan hanya oleh agen atau
subyek yang mencari kekuatan atau
penentuan diri sendiri (self-
determination) dalam Widjajanti,
2011.
Sumber Daya Pariwisata
Dalam pengembangan
kepariwisataan disuatu daerah
diperlukan sumber daya yang
memadai sebagai modal dasar
didalam pengembangan
kepariwisataan tersebut. Sumber
daya yang dimaksud adalah
sumberdaya pariwisata. Dalam
konteks pariwisata, sumber daya
diartikan sebagai segala sesuatu yang
mempunyai potensi untuk
dikembangkan guna mendukung
pariwisata, baik secara langsung
maupun tidak langsung (Pitana dan
Diarta, 2009:68). Menurut Wilkinson
(1994, dalam Pitana dan Diarta,
2009: 69) Sumber daya yang terkait
dengan pengembangan pariwisata
umumnya berupa sumber daya alam,
sumber daya budaya, sumber daya
minat khusus, di samping sumber
daya manusia.
Sumber Daya Alam
Menurut Darmanik dan Weber
(Pitana dan Diarta, 2009:70) sumber
daya alam yang dapat dikembangkan
menjadi atraksi wisata alam adalah :
a. Keajaiban dan keindahan alam
(topografi)
b. Keragaman Flora
c. Keragaman Fauna
d. Kehidupan satwa liar
e. Vegetasi alam
f. Ekosistem yang belum terjamah
manusia
g. Rekreasi Perairan (danau, sungai,
air terjun, pantai)
h. Lintas Alam (trekking, rafting dan
lain-lain)
i. Objek megalitik
j. Suhu dan kelembaban udara yang
nyaman
k. Curah Hujan yang normal, dan
lain sebagainnya.
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Putu Agus Prayogi, I Ketut Eli Sumerta, N.L. Komang Julyanti Paramita Sari
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 102
Sumber Daya Manusia
Dalam pengembangan
kepariwisataan disuatu daerah,
sumber daya manusia merupakan
sumber daya yang sangat penting
dalam pengembangan dan
pengelolaan kepariwisataan di daerah
tersebut. Keberadaan sumber daya
manusia yang memiliki kemampuan
di bidang pariwisata ataupun jasa
pelayanan akan menentukan
keberhasilan didalam pengembangan
kepariwisataan di suatu daerah,
Sumber daya manusia ini dapat
meliputi perseorangan ataupun
kelembagaan seperti misalnya
keberadaan lembaga pengelola
pariwisata.
Sumber Daya Budaya
Dalam konteks pengembangan
pariwisata budaya di Indonesia,
keberadaan sumber daya budaya di
suatu daerah memiliki peranan yang
sangat penting. Salah satu motivasi
perjalanan wisata didalam
mengunjungi derah tujuan wisata
adalah untuk melihat dan
mempelajari cara hidup dan budaya
yang dimiliki oleh masyarakat
setempat. Menurut Pitana dan Diarta
(2009:75-76) sumber daya budaya
yang dapat dikembangkan menjadi
daya tarik wisata adalah :
a. Bangunan bersejarah, situs,
monumen, museum, galeri seni,
situs budaya kuno dan
sebagainya.
b. Seni dan patung kontemporer,
arsitektur, tekstil, pusat kerajinan
tangan dan seni, pusat desain,
studio artis, industri film dan
penerbit, dan sebagainnya.
c. Seni pertunjukan, drama,
sendratari, lagu daerah, teater
jalanan, eksibisi foto, festival dan
event khusus lainnya.
d. Peninggalan keagamaan seperti
pura, candi, masjid, situs dan
sejenisnya.
e. Kegiatan dan cara hidup
masyarakat lokal, sistem
pendidikan, sanggar, teknologi
tradisional, cara kerja dan sistem
kehidupan setempat.
f. Perjalanan (trekking) ke tempat
bersejarah menggunakan alat
transportasi unik (berkuda, dokar,
cikar, dan sebagainya).
g. Mencoba kuliner (masakan)
setempat. Melihat persiapan, cara
membuat, menyajikan dan
menyantapnya merupakan atraksi
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Putu Agus Prayogi, I Ketut Eli Sumerta, N.L. Komang Julyanti Paramita Sari
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 103
budaya yang sangat menarik bagi
wisatawan.
PEMBAHASAN
Profile Desa Tangkup
Desa Tangkup mewilayahi 4
Banjar Dinas yang terdiri dari :
Br.Dinas Sangkungan, Br.Dinas
Tabu, Br. Dinas Tangkupanyar dan
Br.Dinas Tangkup Desa. Desa
Tangkup adalah salah satu Desa di
Kecamatan Sidemen yang memiliki
luas wilayah 2,667 Km2 yang terbagi
atas 4 Banjar Dinas yaitu :
1. Br. Dinas Sangkungan:75,617 Ha
2. Br. Dinas Tabu : 40,208 Ha
3. Br. Dinas Tangkupanyar :
119,680 Ha
4. Br. Dinas Tangkupdesa : 31,115
Ha
Dengan total luas 266,620 Ha.
Desa Tangkup terletak di
Wilayah Kecamatan
Sidemen,Kabupaten Karangasem
dengan luas 266,620 Ha, bila ditinjau
dari segi geografisnya Desa Tangkup
memiliki iklim tropis yang
dipengaruhi oleh angin musin
kemarau dan musin hujan, ketinggian
tempat berkisar kurang lebih 500-700
meter dari permukaan laut, Topografi
Desa Tangkup keseluruhan wilayah
merupakan dataran rendah
dengan kemiringan 0,5% curah
hujan rata – rata pertahun 2000 –
3000 mm,keadaan suhu rata-rata 36
C dengan batas-batas wilayah :
1. Sebeleh Utara : Desa Sangkan
Gunung
2. Sebelah Timur : Desa Wisma
Kerta.
3. Sebelah Selatan : Sungai Unda
4. Sebelah Barat : Sungai Telaga
Waja
Dilihat dari iklimnya dan kondisi
geografisnya Desa Tangkup memiliki
struktur perekonomian yang
mengarah ke bidang pertanian dan
perkebunan . Apabila memasuki usia
panen, masyarakat Desa Tangkup
akan menjual hasil kebun mereka ke
daerah Klungkung maupun dijadikan
konsumsi pribadi. Walaupun
masyarakat Desa Tangkup lebih
banyak bermata pencaharian sebagai
petani, namun kebanyakan dari
mereka hanya mengelola sawah yang
dimiliki orang lain yang tidak berasal
dari Desa Tangkup, sehingga
menurut kepala desa setempat, mata
pencaharian yang dominan di Desa
Tangkup adalah sebagai buruh tani.
Selain menjadi buruh tani, setiap
keluarga yang ada di Desa Tangkup
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Putu Agus Prayogi, I Ketut Eli Sumerta, N.L. Komang Julyanti Paramita Sari
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 104
juga membuat kerajinan tangan
berupa kain tenun, dimana pengerajin
tenun yang ada di Desa Tangkup
telah memiliki pengepul sendiri yang
bekerjasama dengan masing-masing
kepala keluarga yang ada di desa
tersebut. Harga tenun pun telah
dipatok oleh para pengepul, dan hasil
tenun tersebut dibawa ke daerah
Klungkung untuk dipasarkan.
Apabila kerajinan ini dikembangkan
lagi dan diberikan brand tersendiri
yang berasal dari Desa Tangkup,
tentu harga tenun akan menjadi lebih
tinggi dibandingkan apabila hasil
tenun tersebut diambil pengepul dan
dipasarkan di daerah Klungkung.
Sebelah Barat Desa tangkup di
batasi oleh aliran Sungai Telaga
Waja yang memiliki arus deras. Air
yang mengalir deras dengan
beberapa jeram yang curam serta
bebatuan di sepanjang sungai,
menjadikan Sungai Telaga Waja
sebagai spot rafting yang paling
menantang di Bali. Selain menguji
andrenalin, jalur rafting di Sungai
Telaga Waja juga menawarkan
pemandangan alam yang sangat
indah. Sepanjang jalur rafting
wisatawan akan disuguhkan
pemandangan sawah dan beberapa
spot air terjun yang menawan. Tidak
mengherankan Sungai Telaga Waja
menjadi primadona bagi wisatawan
yang gemar melakukan kegiatan
rafting. Pengembangan Pariwisata
Pedesaan di Desa Tangkup Sumber
Daya Pariwisata di Desa Tangkup
Sebagai salah satu desa yang
pemanfaatan lahanya di dominasi
oleh sektor pertanian, Desa Tangkup
memiliki beberapa sumber daya
pariwisata yang bisa dikembangkan
menjadi daya tarik wisata. Adapun
sumber daya pariwisata yang dimiliki
antara lain :
1. Sumber Daya Alam
a. Pertanian dan perkebunan
Sebagian besar lahan di Desa
Tangkup dimanfaatkan untuk
sektor pertanian dan
perkebunan. Untuk lebih
jelasnya mengenai pemanfaatan
lahan di Desa Tangkup dapat
dilihat pada Tabel 1 berikut :
Tabel 1.
Pemanfaatan Lahan di Desa Tangkup
No Jenis Pemanfaatan Luas (Ha)
1 Sawah 131.00
2 Tegalan 4.00
3 Pekarangan 22.75
4 Perkebunan 106.75
5 Kuburan 1.50
6 Lainnya 14.00
Sumber: Profile Desa Tangkup, 2014
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Putu Agus Prayogi, I Ketut Eli Sumerta, N.L. Komang Julyanti Paramita Sari
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 105
Berdasarkan Tabel 1 diatas
dapat kita lihat bahwa
pemanfaatan lahan di Desa
Tangkup lebih banyak
digunakan untuk areal
pertanian dan perkebunan.
Perkebunan di dominasi oleh
tanaman sayur, cengkeh dan
kopi. Dengan lahan pertanian
dan perkebunan yang luas
menjadikan Desa Tangkup
memiliki sumber daya
pertanian dan perkebunan yang
cocok untuk dikembangkan
menjadikan daya tarik wisata.
Gambar 1.
Areal Pertanian di Desa Tangkup
Sumber : Penelitian 2015
b. Daerah Perbukitan
Desa Tangkup memiliki
bentangan daerah perbukitan
yang terdapat di bagian utara
desa yang banyak dimanfaatkan
untuk perkebunan oleh
masyarakat setempat. Tanaman
yang paling banyak di tanam di
daerah perbukitan ini adalah
Tanaman Kopi. Kondisi
perbukitan yang agak curam
dan dibatasi oleh lembah
menawarkan pemandangan
alam yang sangat mempesona.
Gambar 2.
Pemandangan terasering sawah
Dari atas perbukitan di Desa
Tangkup
Sumber : Penelitian, 2015
c. Aliran Sungai
Desa Tangkup memiliki aliran
sungai yang membentang
disebelah barat desa. Sungai
Telaga Waja yang membentang
di sebelah Barat Desa memiliki
daya tarik berupa aliran sungai
yang deras dan berbatu serta
pemandangan alam di
sepanjang aliran sungai yang
menawarkan keindahan
terasering sawah dan beberapa
air terjun yang merembes pada
tebing-tebing yang ada di
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Putu Agus Prayogi, I Ketut Eli Sumerta, N.L. Komang Julyanti Paramita Sari
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 106
sepanjang aliran sungai.
Dengan kondisi air yang sangat
jernih dimana selama ini sudah
dimanfaatkan menjadi aktifitas
wisata rafting. Bahkan aktifitas
rafting di Sungai Telaga Waja
merupakan jalur rafting
terpanjang dan paling deras di
Bali.
Gambar 3.
Aliran Sungai Telaga Waja
Sumber : Penelitian, 2015
2. Sumber daya budaya
Selain memiliki sumber daya
alam, Desa Tangkup juga
memiliki sumber daya budaya
yang apabila dikembangkan
dengan baik akan menjadi daya
tarik bagi para wisatawan. Salah
satu sumber daya budaya yang
dimiliki oleh Desa Tangkup
adalah Budaya Tenun yang sudah
diwarisi secara turun temurun oleh
masyarakat di Desa Tangkup
terutama oleh kaum wanita.
Hampir sebagian besar
masyarakat terutama kaum wanita
masih melakukan aktifitas tenun
disela-sela aktifitas mereka sehari-
hari. Walaupun tidak dijadikan
sebagai sumber pendapatan utama,
hasil tenun masyarakat mampu
menambah penghasilan bagi
masyarakat itu sendiri.
Gambar 4
Aktifitas tenun di Desa Tangkup
Sumber : dok Desa Tangkup, 2015
Bukti lain yang bisa kita lihat
dari masih terjaganya tradisi dan
budaya di Desa Tangkup adalah
sebagian besar bangunan suci
(Pura) masih terjaganya
arsitekturnya dari jaman dulu.
Pakem bangunan suci dari jaman
dahulu masih terjaga dengan baik,
perbaikan beberapa bangunan
pura yang mengalami kerusakan
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Putu Agus Prayogi, I Ketut Eli Sumerta, N.L. Komang Julyanti Paramita Sari
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 107
hanya sebatas melalui kegiatan
restorasi dengan mengikuti pola
yang sudah ada.
Gambar 5.
Pura Pesimpangan
Sumber : Penelitian 2015
Pengembangan Pariwisata
Pedesaan Dengan Pemberdayaan
Masyarakat di Desa Tangkup
Pengembangan pariwisata
pedesaan umumnya dilakukan di
daerah/kawasan desa yang masih
memegang teguh tradisi dan budaya
yang masih asli disamping memiliki
kondisi alam yang masih alami.
Secara umum desa-desa yang masih
memegang teguh tradisi dan budaya
asli biasanya lingkungan alam di
desa tersebut masih terjaga
kealamiannya. Seakan-akan antara
budaya asli dengan alam menjadi hal
yang tidak terpisahkan dengan
kondisi masyarakat di pedesaan.
Desa Tangkup merupakan salah satu
desa yang masih memegang teguh
tradisi dan budaya yang dimilikinya.
Masyarakat masih memegang teguh
hukum adat yang dan tetap
menjalankan awig-awig desa yang
telah mengatur kehidupan
masyarakat dari dulu. Masih kuatnya
hukum adat yang berlaku di
Masyarakat Desa Tangkup secara
tidak langsung berdampak pada
masih terjaganya tradisi dan budaya
yang telah diwariskan secara turun-
temurun. Beberapa kesenian
tradisional seperti kesenian Wayang
Wong, Drama Gong, seni ukir, Seni
tenun, Seni Gamelan dan seni tari
masih kita temui di Desa Tangkup.
Pengembangan pariwisata
pedesaan harus mampu mendorong
tradisi dan budaya lokal menjadi
daya tarik utama dengan didukung
oleh kondisi alam yang masih terjaga
kealamiannya. Untuk mempermudah
didalam pengawasan atau didalam
melakukan kontrol maka
pengembangan pariwisata pedesaan
harus dilakukan dengan
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Putu Agus Prayogi, I Ketut Eli Sumerta, N.L. Komang Julyanti Paramita Sari
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 108
pengembangan yang terbatas (small
scale development) dengan
memperhatikan daya dukung yang
ada (crraying capacity) dan
keberlanjutan (sustainability) serta
mampu memberikan manfaat
ekonomi baik secara langsung
maupun tidak langsung kepada
masyarakat setempat. Hal ini
menyebabkan pengembangan
pariwisata pedesaan harus menitik
beratkan pada pemberdayaan
masyarakat (community based
tourism).
Dengan berbagai sumber daya
yang dimiliki oleh Desa Tangkup,
maka aktifitas wisata yang bisa
dikembangkan dengan
pemberdayaan masyarakat di Desa
Tangkup adalah sebagai berikut :
1. Wisata trekking
Dengan sumber daya alam
yang dimiliki berupa daerah
perbukitan dan areal persawahan,
maka Desa Tangkup dapat
mengembangkan wisata trekking
dengan memanfaatkan daerah
perbukitan dan areal persawahan
tersebut. Berdasarkan kegiatan
penelitian yang telah dilakukan,
kegiatan trekking di areal
perbukitan memiliki dua
alternatif jalur yang dapat dilalui.
Yang pertama melalui areal
perbukitan sebelah barat desa
menuju areal perbukitan
disebelah utara desa serta yang
kedua melalui sisi utara desa.
Dilihat dari fasilitas yang tersedia
jalur trekking bisa dengan
memanfaatkan jalan setapak yang
telah tersedia. Dimana jalan
setapak ini biasa digunakan oleh
masyarakat setempat untuk
melintas di daerah perbukitan.
Jalur ini perlu ditambahkan
petunjuk jalan serta fasilitas
istirahat sementara yang bisa
dimanfaatkan nantinya oleh
wisatawan yang akan mengikuti
kegiatan ini.
Aktivitas trekking dengan
memanfaatkan areal sawah bisa
dilakukan melalui sisi timur desa,
tepatnya disekitaran areal
persawahan di depan areal Pura
Dalem Desa Tangkup.Untuk jalur
wisata treeking di areal
persawahan ini bisa
memanfaatkan jalan lintas ke
Pura Dalem yang telah selesai di
perbaiki, sehingga menambah
kenyamanan bagi para wisatawan
yang akan melakukan aktivitas
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Putu Agus Prayogi, I Ketut Eli Sumerta, N.L. Komang Julyanti Paramita Sari
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 109
trekking nantinya. Dalam
pengembangan wisata trekking di
Desa Tangkup nantinya akan
memberdayakan masyarakat
setempat khususnya generasi
muda sebagai lokal guide. Jika
kita lihat dari segi kemampuan
berkomunikasi, generasi muda ini
memiliki kemampuan
komunikasi yang baik mengingat
sebagaian besar generasi muda di
Desa Tangkup bekerja di sektor
pariwisata. Hal ini tentunya
memberikan keuntungan
tersendiri bagi pengembangan
aktivitas trekking tersebut.
2. Wisata Budaya
Salah satu wisata budaya
yang bisa dikembangkan di Desa
Tangkup adalah aktivitas tenun.
Wisatawan yang berkunjung akan
diajarkan bagaimana cara
membuat kain tenun secara
tradisional. Para wisatawan akan
dilibatkan dalam proses
pengerjaan kain tenun dengan
ditemani dan diarahkan oleh
masyarakat setempat (kaum
wanita). Sebelumnya kaum
wanita yang akan dipersiapkan
menemani wisatawan ini akan
diberikan pelatihan khusus
terutama kemampuan
berkomunikasi dengan bahasa
asing, sehingga secara tidak
langsung mereka mampu menjadi
mentor bagi para wisatawan yang
akan belajar membuat kain tenun.
Tahap awal kegiatan ini adalah
menyiapkan beberapa rumah
yang akan dijadikan tempat untuk
melakukan aktivitas tenun
tersebut.
Selain kegiatan tenun,
wisatawan akan diajak untuk
melihat beberapa hasil
kebudayaan masyarakat setempat
seperti menyaksikan tarian-tarian
tradisional (wayang wong) yang
akan dipentaskan di balai desa
setiap akhir kegiatan.
3. Wisata Pertanian
Dengan sumber daya
pertanian yang melimpah Desa
Tangkup cocok mengembangkan
wisata pertanian dengan
memanfaatkan areal pertanian
yang telah ada. Beberapa
aktivitas bisa ditawarkan ke pada
para wisatawan seperti kegiatan
bercocok tanam dan kegiatan
pengolahan sawah secara
tradisional. Tentunya kegiatan
semacam ini sangat menarik bagi
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Putu Agus Prayogi, I Ketut Eli Sumerta, N.L. Komang Julyanti Paramita Sari
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 110
para wisatawan yang berkunjung.
Kegiatan ini bisa
memberdayakan masyarakat
petani sebagai pemandu
wisatawan didalam melakukan
aktivitas di areal pertanian. Para
petani sebelumnya akan
diberikan pelatihan mengenai
cara berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa asing yang
baik dan benar. Hal ini bertujuan
agar kegiatan wisata ini bisa
memberikan manfaat yang
langsung ke pada masyarakat
petani di Desa Tangkup.
DAFTAR PUSTAKA
Ismayanti, 2010. Pengantar
Pariwisata. Jakarta : Grasindo
Jurnal Ekonomi Pembangunan
Volume 12, Nomor 1, Juni 2011,
hlm.15-27 MODEL
PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT Kesi Widjajanti
Fakultas Ekonomi Universitas
Semarang Jalan Soekarno-Hatta
Semarang 50196 Indonesia
Telepon +62-024-670275
Kasuma, I Putu Agus Wira, 2012.
Karakteristik Ruang Tradisional
Pada Desa Adat Penglipuran,
Bali Characteristic of Traditional
Space in the Traditional Village
of Penglipuran,
Bali.http://puskim.pu.go.id/publik
asi/jurnal/jurnal-permukiman-
vol7-no1-april 2012
Mudana, I Wayan, 2015.
Pemberdayaan Masyarakat di
Daerah Tujuan Wisata Desa
Pemuteran dalam Rangka
Pengembangan Pariwisata
Berkelanjutan.Jurnal Ilmu Sosial
dan Humaniora ISSN :2303-2898
Vol.4,No.2 Oktober 2015.
Universitas Pendidikan Ganesha
Pujaastawa, dkk. 2005. Pariwisata
Terpadu (Alternatif Model
Pengembangan Pariwisata Baali
Tengah). Denpasar: Universitas
Udayana
Smitha S 2014. Village Tourism in
Kerala. International Journal of
Management and Commerce
Innovations ISSN 2348-7585
(Online) Vol. 2, Issue 2, pp: (15-
20), Month: October 2014 -
March 2015
Syafi, Muhammad, Djoko
Suwandono,2015. Hlm.51-60
Perencanaan Desa Wisata Dengan
Pendekatan Konsep Community
Based Tourism (CBT) di Desa
Bedono, Kecamatan Sayung,
Kabupaten Demak. Jurnal Ruang
ISSN: 1858-3881 Vol 1, No.2
2015.Semarang :Universitas
Diponegoro
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 111
POTENSI WISATA BUDAYA PADA DAYA TARIK
WISATA LEMBU PUTIH DESA TARO GIANYAR BALI
L.K. Herindiyah K. Yuni *1
I Made Bayu Wisnawa *2
Dosen STIE STIPAR TRIATMA JAYA
I Nengah Aristana *3
Dosen STIE TRIATMA MULYA
ABSTRACT
This research was conducted in Banjar Taro, Taro village,Tegalalang
district,Gianyar regency, Bali. The residents of the village believe that there is an
area which is considered as sacred place for the Hindus of the village which is
believed as the dwelling place ofthe sacred animal which becomes the tourism
attraction namedLembuPutih (White Ox).
However, this tourism attraction is still less-known which can be seen from the
total visitation of 10 to 20 visitors per week. This research used a purposive
sampling technique by determining the informants based on the specific purposes,
certain considerations, and the researchers’ considerations. The information was
determined to suit the research and had criteria of; (1) they have a deep
knowledge on the research topic, (2) they had experienced or often experience or
having a certain experience toward the research object, (3) they are involved in
the activities related to the research object. In determining the tourist informants,
the accidental method was used by gathering information from the tourists who
incidentally were at the location at the time the research was being conducted at
LembuPutih tourism attraction. The techniques of gathering data were interview,
literature study, and documentation.
The results showed that there were cultural potentials owned by the Lembu
Putih tourism attraction at Taro village which covered: (1) Local carving.The
local carving in form ofman-made paras stone which is known as paras Taro
which is used to make many carvings such as statues,candibentar (Balinese
gate),and Hindus worshiping places. (2) Tradition. The local residents strongly
hold their cultural tradition which is full of religious values of Hindu which is the
major religion in Taro village. Another activity which is often done in this place is
yoga/meditation because of its peaceful environment and fresh air. (3)Taro
history.This village has a history which is tightly related to the coming of
RsiMerkandya who came from Java to see a holy light which came out of a tree,
therefore, the village was named as Taro which comes from the word Taru (tree).
There are white oxens which are unique and can only be found in this village.They
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 112
are considered as a sacred animal and are used for ngasti ceremony, in which
they willencircle the Puri area as a means of a cleansing ceremony. Thus, villages
of the region have a tight and strong historical relation one to another. It made
those villages to be able to maintain their belief, their worshiping places, and
their sacred places as potentials which should be maintained. (4)Religion. From
the religious aspect, the whole residents are devout Hindu, strongly hold the
spiritual values and the customs which become the strength in maintaining the
cultural tourism which develop and support the LembuPutihas a tourism
attraction.
However, there are still many obstacles faced in developing the potentials such
as(1) human resources, (2) lack of promotion and publication, (3) inadequate
public facilities, (4) lack of the whole society involvement.
The efforts to solve the problems are: (1) cooperating with academicians and
practitioners in giving understanding and counselingrelated to tourism
awareness(2). Giving chances to the developers/investors especially the local
developers who are willing to develop the tourism potentials in Taro village, (3)
expanding the cooperation with travel agents by giving brochures to certain travel
agents.(4) Increasing the comfort of the visitors by building adequate public
facilities which are more representative such as fixing the road so that it can be
accessed easily by car, cleaning the toilet facilities, and providing shops or warung
which sell drinks and snacks.
Key word: tourism potential, culture, white oxen.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bali dengan segala keunggulan
alam dan budaya seperti tidak
pernah berhenti memberi manfaat
dari berbagai segi keidupan
masyarakatnya. Gianyar sebagai
salah satu kabupaten di Bali yang
terkenal sebagai kota seni yang
sangat kaya akan keragaman
potensi alam dan budaya. Tidak saja
Ubud dan Sukawati yang kaya dan
seni ukir seni lukis, dan seni
kerajinan lainya, Desa Taro
merupakan salah satu wilayah di
Kabupaten Gianyar yang tidak kalah
potensial menyimpan kekayaan
budaya. Masyarakatnya yang
memegang erat nilai – nilai
keagamaan dan adat isitiadat
menjadi salah satu daya tarik wisata
tersendiri bagi wisatawan.
Dibangunnya objek wisata Elephan
Safari Park, Taro Adventure
membuktikan bahwa Desa ini sudah
dilirik dan diperhitungkan di mata
pebisnis pariwisata. Potensi alam
berupa hutan wisata, kontur tanah
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
L.K. Herindiyah K. Yuni, I Made Bayu Wisnawa, I Nengah Aristana
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 113
yang dimanfaatkan untuk keranjinan
Paras Buatan yang dikenal dengan
Paras Taro telah dikenal di seluruh
Bali bahkan diluar Bali dijdikan
gapura, patung, serta sarana/tempat
pemujaan bagi umat Hindu. Namun
Kekayan alam dan potensi wisata
yang cukup banyak tersebut belum
membawa dampak ekonomi yang
maksimal bagi masyrakat lokal,
hal ini diketahui dari hasil
penelitian yang telah dilakukan
Kartikayuni (2014) yang
menunjukkan bahwa efek multiplier,
hanya 2% dari penduduk dari
pariwisata di Desa Taro masih
sangat rendah.
Dari Potensi budaya Desa taro
menyimpan keyakinin dan
kepercayaan akan adanya satu
kawasan y ang dianggap suci bagi
pemeluk agama Hindu di desa
tersebut yang diyakini sebagai hewan
suci yakni daya tarik wisata Lembu
Putih. Berlokasi di Banjar Taro, desa
Taro Kecamatan Tegalalang,
Kabupaten Gianyar.
Keberadannya yang tergolong
baru mempengaruhi tingkat
popularitas nya yang masih minim,
terbukti kunjungan per hari masih
berkisar 10 – 20 orang dikarenakan
tempat ini belum dikenal oleh
mayarakat luas . Namun keradaan
Lembu Putih ini bagi penduduk
setempat dan di kalangan masyarakat
diyakini sebaga kenadaraan Suci
Dewa Wisnu sehingga di kawasan ini
dilindungi dan dikelola sebagai
tempat persembahyangan bagi umat
Hindu yang berkunjung. Namun
demimkian tempat ini sangat terbuka
bagi masyarakat umum,
olehkarenanya fasilitas yang
didiukung dengan luas areal …… ha,
dilengkapi dengan berbgai tanaman
obat- obatan herbal memberi edukasi
dan manfaat sendiri bagi
pengunjung, tempta bersisitrahat
yang berupa “wantilan” toilet umum
dan loket tiket menunjukkan bahwa
pengelola mulai serius
memplublikasikan tempat ini untuk
kepentingan wisatawan/pengunjung.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas maka
ada rumusan masalahnya adalah:
1. Bagaimanakah potensi budaya
yang dimiliki daya tarik wisata
Lembu Putih Desa Taro
Gianyar?
2. Kendala apa yang dihadapi
dalam pengembangan daya tarik
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
L.K. Herindiyah K. Yuni, I Made Bayu Wisnawa, I Nengah Aristana
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 114
wisata Lembu Putih sebagai
daya tarik wisata di Desa Taro,
Gianyar?
3. Upaya – upaya apa yang
dilakukan untuk mengatasi
kendala – kendala yang dihadapi
dalam pengembangannya?
KAJIAN PUSTAKA
Konsep budaya
Banyak peneliti mengemukakan
bahwa budaya merupakan hal yang
sulit dan kompleks untuk
didefiniskan (Williams, 1976;
Reisinger dan Turner, 2013; Subadra,
2015). Menurut Koentjaraningrat
(1996) menyatakan bahwa
kebudayaan adalah seluruh system
gagasan dan rasa, tindakan, serta
karya yang dihasilkan manusia dalam
kehidupan bermasyarakat yang
dijadikan miliknya dengan
belajar.Dalam hal ini kebudayaan
merupakan keseluruhan dari pikiran
manusia, pekerjaan dan hasil dari
pekerjaan yang disempurnakan
melalui proses pembelajaran. Ada
tujuh elemen kebudayaan yaitu : 1)
bahasa, 2) system pengetahuann, 3)
organisasi social, 4) system ekonomi,
5) system teknologi, 6) system
kepercayaan, 7) seni. Masing –
masing elemen tersebut memiliki
karakteristik yakni terus menerus
dipelajari dan dapat berubah.
Pendekatan Koentjaraningrat
terhadap konsep budaya dapat
diadopsi dalam konteks kekinian.
Sebagai contoh dahulu Pura di Bali
hanya berfungsi sebagai tempat
persembahyangan tapi saat ini
bertabah fungsinya menjadi daya
tarik wisata dimana wisatawan boleh
berkunjung ke Pura. Sementara
menurut Herbig dan Dunphy (1998)
lebih menekankan proses
pembelajaran budaya dalam
kehidupan social masyarakat. Hal ini
berkaitan dengan proses
komodifikasi budaya yang terjadi di
Bali saat ini akibat perkembangan
kepariwisataan. (Picard, 1996,
Cohen, 1996, Subadra, 2015).
Konsep yang ditawarkan
Hofstede (1991) memberikan
pendalaman terhadap konsep budaya
dari Koentjaraningrat, di mana dalam
konsep Hofstede menjelaskan
kebudayaan dalam empat dimensi
yakni 1) symbol, 2) hero, 3) ritual,
4) value. Symbol hero dan ritual
bersifat tangible sedangkan value
bersifat intangible. Symbol dapat
berupa kata – kata, gambar – gambar,
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
L.K. Herindiyah K. Yuni, I Made Bayu Wisnawa, I Nengah Aristana
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 115
gerak gerik dan objek visual lainnya
yang memiliki arti yang spesifik dan
dimengerti oleh komunitas lokal.
Hero merupakan model perilaku
budaya untuk keseluruhan yang
hidup atau mati nyata atau tidak
nyata yang memberikan karakteristik
dari budaya itu sendiri. Ritual
merujuk pada keseluruhan aktivitas
yang menyeluruh yang penting
dalam kehidupan sosial (misalnya
cara orang – orang bertegur sapa dan
menghormati satu dengan lainnya
dalam komunitas local). Value
adalah sesuatu yang paling bernilai
dari budaya yang merupakan inti
daripada budaya itu sendiri. Sebagai
contoh dalam hal ini adalah norma –
norma seperti etika – etika yang
dipraktekkan sebgai pedoman hidup
dalam komunita slokal
Pariwisata Budaya
Menurut Geria (1995:103 ) dalam
Wisnawa (2012) bahwa pariwisata
budaya dalah salah satu jenis
pariiwata yang mengandalkan
potensi kebudayaan sebagai daya
tarik yang paling dominan serta
sekaligus memebri identitas bagi
pengembangan pariwisata tersebut.
Dalam kegiatan pariwisata tersebut
sepuluh elemen budaya yang menjadi
daya tarik wisata yakni : 1)
kerajinan, 2) tradisi, 3) sejarah dari
daerah dari suatu tempat/daerah, 4)
arsitektur, 5) makanan tradisional, 6)
seni dan musik, 7) cara hidup suatu
masyarakat, 8) agama, 9) bahasa, 10)
pakaian local/tradisional (Sawn and
William,1997) dalam Wisnawa
(2012). Perda No 2 tahun 2012
menyatakan bahwa kepariwisataan
budaya Bali pasal 1 menyatakan
bahwa kebudayaan adalah
keseluruhan gagasan, perilaku, dan
hasil karya manusia dan atau
kelompok manusia baik bersifat
dimaupun non fisik yang diperoleh
melalui proses belajar dan adaptasi
terhadap lingkungannya (Perda no 2
tahun 2012 pasal 1 ayat 12).
Potensi wisata
Damardjati,(2016:86) dalam
Salestinus Johan (2016), potensi
pariwisata adalah segala hal dan
keadaan baik yang nyata dan dapat
diraba, maupun yang tidak dapat
diraba yang digarap, diatur,
disediakan sedemikian sebagai
kemampuan, factor dan unsur yang
diperlukan atau menentukan bagi
usaha pengembangan kepariwisatan
baik berupa suasana, kejadian, benda
maupun layanan atau jasa. Spilanne
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
L.K. Herindiyah K. Yuni, I Made Bayu Wisnawa, I Nengah Aristana
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 116
dalam dalam Ismayanti (2011:55-56)
potensi adalah kemampuan yang
mempunyai kemungkinan untuk
dikembangkan, kekuatan,
kemampuan, dan kesanggupan daya.
Menurut Sujali (1989) potensi wisata
adalah kemampuan dalam suatu
wilayah yang mungkin dapat
dimanfaatkan untuk pembangunan,
mencakup alam dan manusia serta
hasil karya manusia itu sendiri.
Potensi dibagai menjadi potensi
internal dan ekternal. Potensi internal
objek wisata yakni adalah potensi
wista yang dimiliki objek itu sendiri
yang meliputi komponen kondisi
fisik objek, kualitas objek dan
dukungan bagi pengembangan.
Potensi Eksternal Objek wisata
adalah potensi wisata yang
mendukung pengembangan suatu
objek wisata yang terdiri dari
aksesibilitas, fasilitas penunjang dan
fasilitas pelengkap.
Daya Tarik Wisata
Menurut perda no 2 tahun 2012,
Daya Tarik Wisata adalah segala
sesuatu yang memiliki keunikan,
keindahan, dan nilai yang berupa
keanekaragaman kekayaan alam,
budaya, dan hasil buatan manusia
yang menjadi sasaran atau tujuan
kunjungan wisatawan. Pendit (1994)
mendefinisikan daya tarik wisata
sebagai segala sesuatu yang menarik
dan bernilai untuk dikunjungi dan
dilihat. Menurut undang – undang
parwisata no 10 tahun 2009 daya
tarik wisata dijelaskan sebagai
segala sesuatu yang memiliki
keunikan, keindahan, dan nilai yang
berupa kenekaragaman kekayaan
alam, budaya dan hasil buatan
manusia yang menjadi sasaran atau
kunjungan wisatawan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan
tehnik purposive sampling yaitu cara
penentuan infroman berdasarkan
tujuan tertentu dan pertimbangan
tertentu dan atas pertimbangan
peneliti. Informasi yang ditetapkan
sesuai dengan penelitiannya dan
memiliki kriteria antara lain: (1)
mereka yang mengetahui kedalaman
informasi sehubungan dengan
masalah yang diteliti, (2) mereka
yang pernah dan sering menikmati
dan memiliki pengalaman tersendiri
terhadap objek yang diteliti (3)
mereka yang turut terlibat dalam
kegiatan pada objek yang diteliti.
,Dalam menentukan informan
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
L.K. Herindiyah K. Yuni, I Made Bayu Wisnawa, I Nengah Aristana
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 117
wisatawan menggunakan metode
accidental yaitu cara penentuan
informan dengan mengambil
wisatawan yang kebetulan berada di
lokasi penelitian pada saat penelitian
dilaksanakan pada daya tarik wisata
Lembu Putih. Tehnik pengumpulan
data dalam penelitian ini dilakukan
dengan wawancara, studi
kepustakaan, dan dokumentasi.
HASIL DANPEMBAHASAN
Gambaran umum
Desa Taro adalah sebuah Desa
yang berada dibawah Kecamatan
Tegalalang, Kabupaten Gianyar,
Bali. Dengan lokasi yang sangat
strategis yakni berada di antara
Kintamani dan Ubud yang
merupakan jalur emas wisata di Bali,
maka Desa Taro selalu dilalui oleh
wisatawan yang melakukan
perjalanan wisata ke Bali Tengah.
Desa adat Taro berjarak kurang
lebih 40 Kilometer dari Denpasar.
Desa Taro yang dahulu kala disebut
Desa Sarwada terletak di tengah
Pulau Bali, sangat erat kaitannya
denga Rsi Markandya, yang melihat
dalam wilayah desa terdapat sinar
sehingga membuat Rsi Markandya
ingin tinggal di Desa Taro. Secara
Geografis Desa Taro merupakan
bagian dari Munduk Gunung Lebah
yakni dataran tinggi yang
membujur dari Utara (berbatasan
dengan Desa Apuan, Kintamani)
ke Selatan (berbatasan dengan Desa
Kelusa, Tegallalang) yang di apit
dua aliran sungai. Tukad Oos Ulu
Luh merupakan batas Barat dengan
Desa Puhu, Payangan dan Tukad
Oos Ulu Muani di batas Timur
dengan Desa Sebatu, Tegallalang.
Berikut ini adalah lokasi Desa
Taro yang berada di tengah Pulu
Bali, seperti gambar 1.1.
Gambar 1.1
Letak Desa Taro di Tengah Pulau
Bali
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
L.K. Herindiyah K. Yuni, I Made Bayu Wisnawa, I Nengah Aristana
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 118
Gambar 1.2
Obyek Wisata Lembu Putih
Desa Taro, Tegallalang, Gianyar,
Bali
Potensi wisata Lembu Putih
Daya tarik wisata Lembu Putih
ini didukung oleh potensi alam yang
menunjang bagi pengembangannya.
1) Potensi Flora merupakan habitat
lembu yang kulitnya berwarna putih
adalah spesies yang sangat langka
bahkan satu satunya di Bali.
Keberadaan lembu yang berwarna
putih ini diyakini oleh umat Hindu
adalah perwujudan dari kendaraan
Dewa Siwa (LEm Nandini).
Mengingat penduuk adalah penganut
agama dan pendukung adata isitiadat
yang taat maka keberaadan lembu
putih ini sangat dihargai, dipelihara
dan tempat ini disucikan sehingga
menjadi tempat persembahyangan
yang disakralkan. 2) Potensi Fauna,
areal yang sangat luas dilengkapi
dengan berbagai tanaman tradisional
antara lain kunyit putih, kumis
kucing, pohon adas, pohon kayu
putih, dan tanaman herbal lainnya
yang diyakini bisa menjadi obat –
obatan bagi penyembauhan berbagai
penyakit. Pengunjung yang datang
kesana sampai saat ini lebih banyak
untuk melukat, bersembahyang dan
berobat yang dengan menggunakan
sarana air kencing dan air susu dari
Lembu Putih tersebut. Banyaknya
pengunjung yang mengalami
kesembuhan juga membantu
menjadikan tempat ini semakin lama
semakin dikenal. 3) Potensi Budaya
yang dimiliki Objek wisata lembu
putih meliputi
1. Kerajinan Lokal berupa paras
buatan yang dikenal dengan paras
Taro telah diproduksi menjadi
berbagai kerajinan seperti patung,
candi bentar, tempat
persembahyangan umat
Hindu.Pengelolaan dan produksi
dikelola secara langsung oleh
penduduk local dengan
memanfaatkan sumber daya alam
berupat tanah merah yang
dimanfaatkan dan diproduksi
menjadi bahan baku dan barang
kerajinan local.produksi yang
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
L.K. Herindiyah K. Yuni, I Made Bayu Wisnawa, I Nengah Aristana
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 119
cukup tinggi oleh hampir semua
penduduk local.
2. Tradisi. Penduduk local
menjunjung tinggi tradisi budaya
yang sarat akan nilai – nilai
kegamaan yakni agama Hindu
yang mayoritas dipeluk oleh
masyarakat di Desa Taro.
Aktivitas lain yang sering
dilakukan di tempat ini adalah
yoga/semedi karena didukung
atmosfir yang tenang dan udara
yang sejuk.
3. Sejarah daerah Taro. Desa ini
memiliki perjalanan historis
yang erat kaitannya dengan
kedatangan Rsi Merkandya yang
datang dari Jawa melihat sinar
suci di sebuah pohon, maka desa
itu diberi nama Taro berasal dari
kata Taru (pohon).Di Desa ini
juga terdapat sapi putih yang
unik dan tidak ditemukan di
tempt lain, oleh masyarakat
dikeramatkan dan digunakans
sebagai sarana upacara ngasti
dan digunakan untuk
mengeleilingi are puri sebgaai
penyusian dalam upacara
tersebut.Desa Taro menjadi Desa
bagi umat Hindu karean
keberadaan Pura Gunung Raung
sebagai salah satu pura terbesar
di Bali dan diyakini sebagai
tempat bersemedi Rsi Mekandya
setelah perjalanannya dan
membangun pemujaan di Pura
Gunung Raung Jawa Timur dan
kemudian Pura Besakih. Pura ini
terletak di perbatasan dua desa
yakni Taro dan Puakan. Itulah
sebabnya desa- desa di kawasan
tersbut memiliki hubungan
historis yang sangat erat dan kuat
satu dengan lainnya. Hal ini
yang menjadikan semua desa
tersebut mampu menjaga
keyakinan, tempat ibadah dan
tempat – tempat yang
dikeramatkan tersebut sebagai
potensi yang harus dilestarikan.
4. Agama, dari sisi agama,
keseluruhan penduduk adalah
penganut agama Hindu yang taat.
Menjunjung tinggi nilai – nilai
spiritual dan adat isitiadat
menjadi kekuatan (strength)
dalam melestarikan wisata
budaya yang berkembang dan
mendukung keberadaan wisata
lembu putih tersebut.upacara
yang dilakukan oleh penduduk
setempat antara lain; setiap enam
bulan sekali tepatnya pada hari
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
L.K. Herindiyah K. Yuni, I Made Bayu Wisnawa, I Nengah Aristana
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 120
tumpek kandang dilaksnakan
upacara namun tidak
diperbolehkan menngunakan
gamelan/music dan inilah
keunikan dari kehiatan ritual
tersebut. Kepercayaan dan
teguhnya keyakinan umat
penyungsung pura di objek ini
menjadi factor penyokong yang
kuta bagi pelestarian wisata di
Desa Taro sebagai daya tarik
wisata budaya.
Kendala – kendala yang Dihadapi
Dalam Pengembangannya
Dalam menjadiakan wisata
lembu putih sebagai daya tarik
wisata budaya yang ada beberapa
kendala yang dihadapi pengelola
antara lain:
1. Sumber daya manusia (SDM).
Sumber daya manusia
merupakan pelaku utama dalam
pengembangan sya tarik wisata.
Pengelolaannya terkesan apa
adanya disebabkan karena
kurangnya SDM di bidang
pariwisata yang dipekerjakan
dalam mengelola daya tarik
wisata tersebut. Dikelola oleh
hanya enam orang yang bertugas
sebagai petugas kebersihan
sekaligus sebagai guide jika ada
tamu yang mengunjungi tempat
tersebut.
2. Kurangnya promosi dan
publikasi. Tidak memiliki
website cukup memp engaruhi
minimnya tingkat popularitas
tempat ini hal ini sangat
berhubungan dengan
ketersediaan dana karena
pengunjung tidak dikenakan tarif
kunjungan dan hanya bersifat
sukarela/punia. Hal ini sangat
berpengaruh terhadap sumber
pendapatan dan alokasi dana
untuk pembuatan media promosi
seperti brosur, website serta
baliho di sepanjang ruas jalan
umum.
3. Fasilitas Umum belum memadai.
Kondisi jalan menuju lokasi
masih rusak, toilet umum belum
yang kotor dan sangat tidak
nyaman untuk pengunjung. Tidak
tersedia warung atau kios
menjual makanan dan minuman
ringan untuk pengunjung.Hal ini
menjadi kelemahan dan
kekurangan dalam menarik minat
pengunjung.
4. Kurangnya keterlibatan seluruh
masyarakat. Benyak kegiatan
pendukung yang sebenaranya
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
L.K. Herindiyah K. Yuni, I Made Bayu Wisnawa, I Nengah Aristana
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 121
bisa dilakukan oleh penduduk
setempat misalnya menjadi
pemandu local, penjual barang
kerajinan local dan penjual
makanan dan minuman, namun
hal ini belum terlihat di objek
tersebut sehingga terkesan
masyarakat hanya menjadi
penonton dan tidak turut
berperan dalam pengembangan
daya tarik wisata ini.
Upaya Dalam Mengatasi Kendala
Dalam Pengembangannya
Melihat potensi yang dimiliki
Desa Taro ini pihak pemerintah
dalam hal ini kepala Desa mulai
mendorong pembangunan dan
pengembangan potensi wista yang
dimiliki. Berbagai upaya mulai
dilakukan antara lain: 1) bekerjasama
dengan pihak akademisi dan praktisi
dalam memberi pemahaman dan
penyuluhan – penyuluhan tentang
sadar wisata sering dilakukan untuk
memberi pemahaman pada warga
untuk berperan aktif dalam
pengembangan potensi wisatanya
terutama dari segi sapta pesona.2).
Membuka kesempatan bagi para
pengembang/investor terutama
pengembang lokal yang ingin
membangun dan mengembangkan
potensi wista di Desa Taro hal ini
bisa dilihat dari berkembangnya
sarana penunjang sebagai
pemenuhan kebutuhan wisatawan
antara lain usaha ATV, trekking, dan
cycling yang melintasi kawasan Desa
Taro dan telah dikeola oleh
maysrakat sendiri. Hal ini
merupakan salah satu upaya untuk
mempublikasikan potensi wisata ini
di kalangan umum.3) Membuka
kerjasama yang lebih luas dengan
tavel agent dengan menempatkan
brosur – brosur di travel agent
tertentu. 4) Meningkatkan
kenyamanan pengunjung dengan
cara membangun fasilitas umum
yang lebih memadai dan
representatif antara lain memperbaiki
jalan masuk sehingga nyaman
dilewati mobil, membersihkan
fasilitas toilet, menyediakan warung
- warung yang menjual minuman dan
makanan ringan.
DAFTAR PUSTAKA
Cohen, E.1996. Phenomenology of
Tourist
experience.In:Apostolopoulos,Y;
Geriya W, 1995 Pola partisipasi dan
pemberdayaan desa adat dalam
perkembanagan pariwisata
Denpasar.
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
L.K. Herindiyah K. Yuni, I Made Bayu Wisnawa, I Nengah Aristana
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 122
Hofstede, G. 1991 Cultures and
Organization:Sofware of Mind.,
New York:Mc Graw Hill.
Herbig,P.dan Dunphy,S,
1998.Culture and
Innovation.Journal of
Crossculture Management.
Volume 5 no 4 PP. 13 – 21.
Koentjaraningrat, 1996.Pengantar
Antroplogi 1, Jakarta. Rineka
Cipta
Perda No 2 tahun 2012, tentang
kepariwisataan budaya Bali.
Picard.N.1996.Bali:Cultural Tourism
and Touristic Culture .Singapore;
Archipelago Press.
Reisinger, Y and LW. Turner (2013).
Cross Culture and Behavior
Tourism:concept and analysis.
Great Britain:Butter Worth
Heinemann
Subadra, I Nengah . 2015. Preserving
the Sanctity of Templesites in
Bali: Challenge from
Tourism.Desertation.UK:Univers
ity of Lincoln.
Wisnawa, Bayu, 2012 Pariwisata
Bali dan global,
http://madebayu.blogspot.co.id/2
012/02/pariwisata-budaya.html
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 123
KONSERVASI BUDAYA SEBAGAI PEMERTAHANAN
NILAI DAN KOMODITAS
Ni Wayan Mekarini
Dosen dpk STIPAR Triatma Jaya
ABSTRACT
Cultural conservation are aimed not only for to preserving norms or values but
also as commodity. These issue would be the central topic since Bali categorized
as international tourist destination, specifically cultural-based tourism. The
problems covers cultural conservation for (a) preserving values and local wisdom
and also (b) commodity which is bring additional income for local people. Data
was taken by interviewing informants who familiar with the fenomena. The
research found out that in term of values conservation, it is a strong
consciousness to follow the previous tradition which is done by the ancestors. It is
a habit to copy it as the local identity to be proud of. So visitor are lucky to meet
them all. The conservation showed tourists that Balinese people still adopting the
similar norms and tradition as those who live before them. In the other hand,
tradition is conserved as commodity for getting financial support. This
performance attracts visitor and make them wonders how life so unique in modern
world. Tradition assigned to give experiences for visitor who taking part in. In
brief, cultural conservation is held for both sides for keeping values as well as
financial aspect. This regulation would run smoothly with Balinese after
accommodating some considerations, including personal choise to be or take part
in gobal style since the pride and responsibility is on the people shoulders.
Key words: conservation, values, commodity, cultural-based, pride.
PENDAHULUAN
Indonesia sedang memupuk-
suburkan budaya dan tradisi daerah
sebagai mata rantai bagi keluhuran
kebudayaan Nasional. Setiap wilayah
dianjurkan menjaga dan melestarikan
budaya daerah bahkan
menghidupkan kembali tradisi yang
pernah ada agar tetap terwariskan
kepada generasi mendatang.
Konservasi budaya berkaitan dengan
upaya memelihara dan mengawetkan
tradisi sebagai asset. Tampaknya
terdapat niat yang kuat untuk
mendampingkan budaya daerah dan
nilai Nasionalis kebangsaan berdiri
sama tinggi mempersatukan
masyarakat Indonesia berdasarkan
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Wayan Mekarini
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 124
jiwa dan semangat bersatu dalam
kebhinekaan.
Semua pihak menyadari bahwa
perkembangan jaman selalu
membawa dampak dualisme yang
harus disadari dengan seksama. Hal
serupa juga terjadi pada dunia
pariwisata yang demikian pesat
khususnya di Badung selatan dan
barat. Dari sisi positif,
perkembangan pariwisata terbukti
menyumbang bagi kemajuan sektor
ekonomi melalui penyerapan tenaga
kerja dan efektifitas fungsi lahan
tidur. Eksistensi pariwisata Bali
bahkan diakui menjadi generator
penggerak dalam pembangunan
ekonomi dan perubahan sosial
budaya (Pitana, 2005). Hal itu dapat
dilihat pada kebertahanan sektor
pariwisata manakala dunia sedang
diguncang tragedi WTC atau perang
dingin. Pada desa-desa yang
bersinggungan dengan pariwisata
tampak hampir setiap sektor ikut
bergulir ditarik oleh pariwisata itu
sendiri. Semua sektor bergerak
sejalan dengan tingkat kunjungan
wisatawan dari berbagai belahan
dunia yang datang dengan beraneka
harapan dan dukungan. Masyarakat
menjawab harapan wisatawan
sebagai kesempatan usaha.
Kesempatan membuka kios bagi
anggota masyarakat yang memiliki
akses di jalan raya; menyediakan
kamar-kamar sewaan bagi mereka
yang memiliki tempat berlebih;
menyediakan ruko sederhana bagi
mereka yang bermodal menengah;
membuka home stay yang dilengkapi
sarapan sederhana bagi mereka yang
memiliki lahan cukup luas tentu
sangat diminati wisatawan. Bagi
masyarakat buruh kasar terbuka luas
kesempatan bekerja dalam
pembangunan hotel atau villa yang
tiada habisnya untuk digarap dari
waktu ke waktu. Mengambil bagian
sebagai karyawan kontrak atau
satuan pengaman juga terbuka bagi
penduduk setempat. Dengan
demikian, tentu tidak ada alasan
untuk menjadi pengangguran atau
menjadi miskin di tengah kemajuan
ekonomi yang menggiurkan.
Hamparan lahan tidur yang
sebelumnya tidak mendatangkan
uang sepeserpun, kini dapat
sedemikian menyumbang pendapatan
keluarga baik dengan dikontrakkan
atau sistem patungan (join venture).
Hal itu terjadi hanya karena geliat
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Wayan Mekarini
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 125
pariwisata yang kian merapati
kehidupan masyarakat desa.
Sesungguhnya keputusan
berwisata mencerminkan kebutuhan
untuk keluar dari rutinitas sekaligus
keberanian menghabiskan sejumlah
uang untuk memperoleh penyegaran
(refreshing). Setelah berbulan-bulan
melakukan pekerjaan dengan
berbagai kondisi yang harus
dihadapi, seseorang dapat saja
merasa tertekan dan membutuhkan
penyegaran. Berwisata menjadi
pilihan sejalan dengan harapan
menikmati suasana baru akan
memberi kesenangan dan semangat
baru agar pekerjaan yang
dilaksanakan menghasilkan produk
yang lebih kreatif, inspiratif, artistik,
berwawasan luas dan futuristik.
Dengan kata lain, wisatawan
membawa harapan yang harus
terpenuhi sepanjang melaksanakan
perjalanan wisata yang diminati.
Demi pemenuhan harapan itulah,
biasanya masyarakat berupaya
menyediakan seluruh kebutuhan
pelanggan sekalipun harus
mengubah pandangan yang
sebelumnya dianggap tabu.
Peran pariwisata yang
membukakan pintu bagi berbagai
kesempatan kerja dan berwirausaha
demi penghasilan layak tentu tidak
dapat ditangkis oleh pihak manapun.
Oleh karena itu, pariwisata kerap
dimetaforakan sebagai bread (roti)
and breath (nafas). Itu bisa berlaku
di seluruh wilayah hingga sudut
dunia yang diinisiasi oleh pariwisata.
Kondisi itu menyemarakkan
kesempatan kerja di bidang-bidang
terkait pariwisata bagi penduduk asli
Bali maupun pendatang yang
memilih menetap di pulau Bali.
Dengan demikian, bersentuhan
dengan wisatawan merupakan
pemandangan keseharian. Lebih
jauh, dengan berkutat menyediakan
kebutuhan para wisatawan itulah
sebagian besar penduduk
memperoleh penghidupannya. Jika
dilihat dari sisi sebaliknya tentu
tergambar jelas suatu kehidupan
borjuis yang menjauhkan diri dari
pekerjaan bermandi keringat dan
matahari di pesawahan sebagaimana
dilakukan oleh generasi-generasi
sebelumnya. Permasalahan yang
dirumuskan terkait dengan (a)
konservasi budaya sebagai
pemertahanan nilai dan (b)
konservasi budaya sebagai
komoditas pariwisata yang
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Wayan Mekarini
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 126
dilestarikan sebagai sesuatu yang
laku dijual.
KAJIAN PUSTAKA DAN
KONSEP
Pariwisata tidak dapat dilepaskan
dari masyarakat dimana destinasi
wisata itu berada. Oleh sebab itu
pendekatan sosiologis menjadi
alternatif yang kerap
diarusutamakan. Pendekatan
sosiologis melihat fenomena sosial
secara prosesual, komparatif, dan
bersifat emik. Sudut pandang
demikian ditujukan agar analisis
menjadi lebih komprehensif dan
bermakna (Cohen, 1979). Kajian
prosesual merupakan kajian yang
memperhatikan aspek waktu dan
rangkaian proses. Kajian komparatif
mempertimbangkan perbandingan
dari satu situasi dengan situasi yang
berbeda, sementara perspektif emik
mengakomodir pandangan dari
berbagai aktor yang terlibat,
termasuk aspek hubungan wisatawan
dengan masyarakat lokal.
Ciri pendekatan Sosiologis
melihat bahwa berwisata
mengindikasikan adanya pergerakan
manusia dalam dimensi ruang dan
waktu. Pergerakan itu umumnya
dilakukan sebagai kegiatan di luar
waktu kerja sebagai kegiatan di luar
rutinitas sehari-hari. Kegiatan
berwisata bersifat temporary untuk
menikmati tempat atau atraksi tanpa
keinginan memperoleh kehidupan di
tempat tersebut. Pergerakan massal
dapat menjadi wahana sosialisasi
baru bertemunya manusia di tempat
tertentu berdasarkan khayalan,
fantasi atau image (Urry, 1990). Jika
hendak mencermati dampak sosial
budaya pariwisata maka pernyataan
Turner dan Ash (1976) menjadi
penting untuk diperhatikan.
Dinyatakan bahwa Tourism is
everywhere, the enemy of
authenticity and cultural identity
‘Pariwisata ada dimana saja dan
mengikis autentisitas dan identitas
budaya’. Apalagi Bali yang berstatus
destinasi internasional dengan
sebagian besar masyarakatnya
memperoleh kehidupan dari
pariwisata tentu menahan kikisan
yang terjadi tidaklah menjadi hal
mudah.
METODE PENELITIAN
Penelitian Konservasi Budaya
sebagai Pemertahanan Nilai dan
Komoditas ini bersifat penelitian
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Wayan Mekarini
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 127
lapangan yang mencermati
perubahan sosiologis masyarakat di
lokasi penelitian. Penelitian
dilaksanakan pada latar alamiah dan
bersifat etnosinkronis, dalam arti
deskripsi bersifat tentatif dan berlaku
pada masyarakat tertentu. Ciri
sinkronik merujuk pada penelitian
yang bertujuan untuk
menggambarkan suatu fenomena
pada waktu tertentu dan bagaimana
fenomena tersebut diungkapkan
(Bungin, 2008: 181). Penelitian ini
difokuskan pada perubahan dalam
dimensi ruang dan waktu yang
terjadi di kabupaten Badung
khususnya masyarakat Badung
bagian barat yang mulai dimasuki
arus wisatawan sebagai luapan dari
daerah Seminyak, Peti Tenget dan
Batu Belig. Data dikumpulkan dari
berbagai desa transisional yang
dimasuki kemajuan pariwisata,
seperti daerah Berawa Canggu,
Padang Linjong Pererenan maupun
Seseh dan Mengening Cemagi. Data
dikumpulkan dengan teknik
observasi, simak dan wawancara
dengan informan, diantaranya
pemuka adat/ agama dan warga desa.
Keterangan informan dijadikan data
utama selanjutnya dikaji untuk
mengidentifikasi persoalan yang
dihadapi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Selain sebagai lokomotif
perubahan, pariwisata membentuk
bentangan kepentingan yang dari dua
kutub yang bersebrangan. Perbedaan
tampak dari ekspektasi setiap
penggiat dan warga di destinasi
wisata itu sendiri. Di satu sisi ada
kepentingan yang menuntut
pemertahanan budaya lokal berikut
pelestariannya, sedangkan di sisi
lainnya terdapat tuntutan menjadi
anggota masyarakat modern yang
tanpa batas kenegaraan. Tarikan
menjadi modern dikehendaki oleh
jaman yang tengah dimotori
kemajuan teknologi, informasi dan
kebutuhan menjadi eksis di dunia
global. Dengan menyediakan layanan
kepada wisatawan tentu pengaruh
dan harapan wisatawan mesti
diperhatikan demi pembentukan
image positif. Tarik ulur dan saling
menekan garis masing-masing
kepentingan terjadi antara kehendak
menjaga kelokalan dikontraskan
dengan kesiapan memasuki zona
global didengungkan ke setiap sudut
wilayah dunia. Setiap pihak tidak
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Wayan Mekarini
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 128
ingin disebut ketinggalan jaman
maupun gagap teknologi.
1. Budaya sebagai pemertahanan
nilai
Kuatnya magnit pariwisata
tidak mampu menahan
perubahan perilaku dan gaya
hidup masyarakat. Bila wilayah
Kabupaten Badung selatan
seperti Nusa Dua, Kuta, Legian,
dan Seminyak telah dikenal
sebagai destinasi wisata sejak
lama, kini daerah wisatawan
merembes ke Badung barat
dengan daya tarik yang tak kalah
kuatnya dari destinasi yang telah
terkenal sebelumnya. Daya tarik
ombak pantai yang besar kerap
diburu oleh peselancar pemula.
Wisatawan menggemari posisi
lokasi strategis diapit oleh Tanah
Lot di bagian barat dan Seminyak
di bagian timur. Dari sisi
keamanan, pemerintah desa
setempat menyediakan layanan
keamanan bagi wisatawan
dengan titik pengamanan di
lengkapi CCTV di setiap sudut
desa. Penelitian Wirateja dan
Kartika Yuni (2016) tentang
tantangan Bali dalam
mempertahankan pariwisata
budaya di era globalisasi
menyebutkan bahwa kebudayaan
Bali sangat toleran dengan
berbagai aktivitas wisatawan.
Salah satu bentuk toleransi yang
peneliti temukan di lokasi
penelitian adalah kebebasan
bergerak dan menikmati
kebudayaan. Wisatawan leluasa
pergi ke tempat-tempat yang
dikehendaki tanpa gangguan.
Wisatawan memiliki kebebasan
menikmati dan mengagumi
kebudayaan exotic yang belum
pernah dilihat sebelumnya. Pantai
berpasir hitam yang dinilai
bernuansa gelap bahkan
memberikan wadah berekreasi
terbebas dari keramaian. Tidak
jarang para wisatawan diijinkan
bersentuhan dengan penduduk
setempat untuk mengenal
kebiasaan etnis Bali dalam
kegiatan keseharian. Bermula
dari kedekatan dengan karyawan
hotel, wisatawan bahkan
diundang menghadiri acara
tertentu di desa maupun
keluarganya. Tentu itu menjadi
pengalaman langka yang sulit
diperoleh secara cuma-cuma.
Akses jalan yang memadai
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Wayan Mekarini
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 129
ditambah suasana tenang
pedesaan digemari wisatawan. Di
sisi lain, pergerakan besar
pembangunan hotel dan villa
megah membuat masyarakat
terpukau, termasuk daya
keindahan landscape taman,
gemerlap lampu dan transaksi
uang asing. Banyak warga
memimpikan kehidupan mewah
yang selama ini belum pernah
dialami. Disinilah awal identitas
lokal mulai terkaburkan. Anggota
masyarakat tergiur penghasilan
tinggi dengan membuka villa
yang dibangun dengan menjual
sebagian tanah warisannya.
Sayangnya, tidak banyak yang
sigap melengkapi diri dengan
ilmu manajemen yang memadai
sehingga aspek keuangan
menjadi tidak terkontrol.
Parahnya lagi, banyak yang
mengadaptasi kebiasaan
wisatawan, seperti bepergian atau
plesiran yang menguras dana
sekaligus mengabaikan
kepentingan keluarga.
Bersama dengan perubahan
akibat masuknya arus wisatawan,
berbagai fasilitas umum dipugar
dan diperbaharui. Tempat suci
diperluas dihiasi dengan berbagai
pelinggih yang sebelumnya tidak
ada. Balai banjar dibangun
bertingkat, gang-gang dipasang
paving hingga jauh ke dalam.
Singkatnya, dana pemerintah dan
atau dana masyarakat ditanam ke
dalam infrastuktur yang mudah
terlihat.
Berdasarkan de Villiers
(dalam Pitana, 2005) tourism
activities that harm the
environment or have a negative
impact on society, will destroy
the very product they are selling.
Secara bebas dapat
diterjemahkan bahwa kegiatan
pariwisata yang merendahkan
masyarakat atau berdampak
negatif terhadap lingkungan
akan merusak nilai setiap produk
yang dijualnya. Artinya,
pertumbuhan pariwisata sudah
selayaknya bertumbuh bersama-
sama dengan masyarakat sekitar
atau mendapat dukungan
masyarakat. Pariwisata yang
mengekspos keterbelakangan
masyarakat akan ditolak oleh
setiap orang. Pada kenyataannya,
terjadi hal yang sedikit berbeda.
Masyarakat tidak melakukan
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Wayan Mekarini
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 130
penolakan tetapi beradaptasi
dengan lingkungan baru.
Masyarakat terbukti mampu
mengakomodir perkembangan
pariwisata yang merapati desa
kelahirannya. Wajah desa ditata
sebagai langkah awal, satuan
pengaman dibentuk dan
kebersihan mulai diperhatikan.
Hal itu menjadi nilai plus yang
patut dihargai tinggi. Akan tetapi,
pelestarian budaya religius dan
kemasyarakatan itu juga
berdampak terhadap
pemeliharaan, dalam arti luas.
Sesuatu yang dibangun besar dan
megah membutuhkan dana tidak
sedikit bagi upacara dan
pemeliharaan. Lalu perlu ditilik
motivasi pelestariannya.
Berdasarkan hasil wawancara,
pelestarian dilatarbelakangi oleh
iming-iming dana besar yang
dikembalikan pemerintah kepada
masyarakat. Dana pajak
dibagikan kepada masyarakat
sekaligus berpesan agar budaya
setempat dipertahankan. Dari
sisi lain, tampak masyarakat
dimanjakan dengan dana
perolehan dari pemerintah
sehingga pembangunan yang
dirancang disusun sedemikian
lengkap dan megah.
Sesungguhnya perlu dikaji
latar belakang atas pendanaan
yang bernuansa konservasi
budaya. Jika dilihat sebagai
subsidi pembangunan semata
tentu permasalahan menjadi tidak
rumit. Kerumitan mulai
terungkap manakala konservasi
budaya disandingkan dengan
komoditas. Terdapat partisipasi
pemerintah yang terancang dalam
sistem besar agar keberlanjutan
dapat diwariskan hingga nanti.
Kehilangan suatu bentuk budaya
menjadi kelalaian kita bersama.
Dalam sudut pandang itu, tampak
keinginan membiarkan
masyarakat stagnan di posisi
semula, baik pemikiran maupun
pandangan. Jika tidak boleh
disebut gemar hidup dalam
nuansa kenangan, tampak
masyarakat tidak keberatan
mengulang masa lalu menjadi
kebanggaan masa kini.
Dibaurkan kebanggaan egoistik
karena ditonton oleh wisatawan,
masyarakat bermain dalam suka
cita semu. Setiap keberatan
disembunyikan jauh di sudut
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Wayan Mekarini
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 131
digantikan kegembiraan bersama
yang memesona.
Sebagai ilustrasi kesemuan
terlihat pada keceriaan manakala
melaksanakan kegiatan
bergotong royong atau kegiatan
sosial lainnya. Banyak anggota
masyarakat yang terpaksa
membuat ijin palsu demi
memenuhi kewajiban
kemasyarakatan. Tampilan yang
gembira mampu
menyembunyikan kegalauan
karena tentu akan ditegur atasan.
Kegiatan serupa juga menutup
kemungkinan untuk menerima
promosi jabatan. Penolakan kerap
disebabkan oleh kesulitan
memohon ijin meninggalkan
pekerjaan untuk kegiatan sosial
yang frekuensinya cukup banyak.
Lebih parah lagi, banyak yang
terpaksa berhenti bekerja demi
kehadiran di kegiatan sosial.
Tradisi membuka bazar juga
menunjukkan kesemuan yang
mencengangkan. Atas nama
pelipatan keuntungan, gadis
penghibur didatangkan dari café
atau hiburan malam dibimbing
masuk ke banjar sebagai
peneman minum minuman
beralkohol. Ijin operasi lewat
tengah malam mengindikasikan
kehidupan malam mulai diterima.
Sebagai hasilnya, tidak sedikit
pemuda usia sekolah
menghabiskan waktu malamnya
di luar rumah. Tentu itu baru
awal dari perjalanan panjang
yang berdampak pada mogok
belajar, anti sosial, kehilangan
fokus, malas, dan gemar
menghibur diri. Tidak lama
kemudian, penampilan diubah
sejajar dengan figur yang
dikhayalkan. Dalam proses ini,
ruang pikir sudah bergulir
mendekati dunia individual yang
dihiasi lukisan tattoo, pearching,
clings dan sejenisnya. Perbedaan
yang mencolok menjadi pusat
perhatian dan dicontoh kaum
muda.
Atas nama konservasi,
kebiasaan nenek moyang ratusan
tahun yang silam harus dialami
pula oleh generasi masa kini. Jika
tidak boleh disebut stagnan,
dipilih istilah pelestarian bahkan
penghidupan kembali tradisi
yang mulai redup. Bagi
pemegang kendali kebijakan
tentu hal itu menjadi penopang
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Wayan Mekarini
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 132
keunggulan wisata budaya. Akan
tetapi, mesti dipikirkan kesemuan
yang diderita oleh masyarakat
pelaksana kebijakan. Mendobrak
kebijakan pasti tidak etis. Oleh
sebab itu, nilai heritage harus
dikembalikan pada kondisi dan
kehendak anggota masyarakat
yang memiliki hak personal.
2. Budaya sebagai komoditas
Menurut Lanfant (1995)
kondisi destinasi pariwisata
cenderung terjepit dan
termarginalkan. Pemeliharaan
tradisi dianjurkan mengingat itu
dapat dijadikan komoditas yang
laku djual. Tradisi yang dimiliki
sutu daerah ternyata mampu
mendatangkan tambahan
pendapatan. Oleh karenya, tradisi
itu harus dilestarikan sebagai
salah satu komoditas yang laku
keras. Dengan dasar finansial,
istilah konservasi hingga invensi
tradisi yang mulai kehilangan
popularitas dihidupkan kembali.
Pada pandangan yang sama pula,
pariwisata membuka ruang yang
dapat memposisikan masyarakat
terhanyut dalam gelombang
budaya global. Tarik menarik
kepentingan dapat menimbulkan
erosi identitas dan menerima
budaya baru. Masyarakat
termarginalkan dan membuka
kesenjangan lebar, mewarisi nilai
leluhur atau mengadopsi pola-
pola baru. Akulturasi tidak dapat
dihindari dan dikhawatirkan
merongrong nilai yang dijunjung
hingga dapat tercerai berai.
Penelitian menunjukkan
pendanaan berbagai
pembangunan desa secara
terselubung ditujukan sebagai
komoditas. Tingkat kunjungan
wisatawan dapat ditunjang jika
budaya yang adiluhung warisan
nenek moyang tetap eksis. Jika
setiap pengunjung terpukau
menikmati tradisi dan budaya
lokal tentu pengeluarannnya kian
besar di daerah wisata. Oleh
sebab itu, masyarakat dimotivasi
memunculkan keberagaman
komoditas yang dapat dijual dan
mendatangkan devisa negara.
Tradisi unik disemarakkan
sebagai daya tarik yang memberi
pengalaman tersendiri bagi
wisatawan. Tidak jarang
wisatawan diundang
berpartisipasi untuk memperoleh
feel yang tidak dapat ditemukan
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Wayan Mekarini
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 133
di lain tempat. Tingginya
kunjungan wisatawan juga
membuka peluang bagi berbagai
pajak penghasilan dan pajak
operasional hotel, restaurant,
transportasi dan lain-lain.
Sebagian darinya dikembalikan
kepada masyarakat pendukung
budaya. Tentu itu regulasi yang
baik sepanjang dilakukan tanpa
pembodohan masyarakat bawah
maupun tidak menghambat
kemajuan anggota masyarakat.
Dinamisitas masyarakat harus
dibiarkan bertumbuh agar
pemertahanan nilai kelokalan dan
langkah lurus menggapai
kehidupan global dapat tercapai
secara bersamaan.
SIMPUAN DAN SARAN
Konservasi budaya sebagai
pemertahanan nilai dan komoditas
menjadi issu sentral mengingat Bali
mengusung pariwisata berbasis
budaya. Pada sisi pemertahanan nilai
terdapat keinginan melestarikan
tradisi dan kebiasaan lama yang
dilakukan generasi terdahulu. Hal itu
menghasilakn kisah hidup dalam
kenangan seperti museum hidup
yang tentu saja membuat wisatawan
terpukau. Mereka hampir tidak
percaya ada masyarakat di belahan
dunia yang melakukan tradisi unik
warisan jaman dulu. Pada aspek
komoditas, tradisi budaya dianjurkan
untuk dibina dan dilestarikan sebagai
item barang komoditas yang laku
dijual. Konservasi budaya sebagai
pemertahanan nilai dan komoditas
diyakini dapat berjalan
berdampingan apabila disertai
pertimbangan matang terhadap
berbagai faktor, di antaranya hak
personal untuk memilih pola hidup
yang lebih baik sejalan
perkembangan dunia. Jika
dimungkinkan, disarankan agar
pilihan menjadi pewaris tradisi atau
beradaptasi sesuai kemajuan jaman
dirancang dinamis sebagai
penghargaan hak setiap anggota
masyarakat. Hal itu penting karena
seluruh kegiatan konservasi menjadi
kebanggaan dan beban yang harus
dipikul oleh masyarakat pendukung
tradisi bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
Cohen, E. 1988. Authencity and
Commoditization in Tourism.
Annals of Tourism Research 15
(3) : 371-386.
Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya;
Ni Wayan Mekarini
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Januari - Juni 2018, Vol. 8, No. 1 hal. | 134
Fairclough, N. 1995. Critical
Discourse Analysis: The Critical
Study of Language. New York:
Longman Publishing.
Halliday, M.A.K. 1985. Language as
Social Semiotic. London: Edward
Arnold.
Halliday, M.A.K. 1973. Exploration
in the Functions of Language.
London: Edward Arnold.
Kress, G. 1985. Ideological Structure
in Discourse. Dalam Dijk, T,. ed.
Dimension of Discourse.
Volume 2. Amsterdam:
Academic Press.
Lanfant, et al. 1995. (eds).
International Tourism: Identity
and Change. London, New Delhi:
International Sociology.
Pitana, G. dan Gayatri, PG. 2005.
Sosiologi Pariwisata.
Yogyakarta: ANDI.
Tony Barners. 1998. Kaizen
Strategies for Successful
Leadership.(Penj. Widjokongko).
Batam: Interaksara.
Turner, L. and John Ash. 1976. The
Golden Hordes: Internasional
Tourism and Pleasures Periphery.
New York: St. Martin’s Press.
Urry. J. 1990. The Tourist Gaze:
Leisure and Travel an
Contemporary Societies. London:
Newbury Park.
Wirateja dan Kartika Yuni. 2016.
Tantangan Bali dalam
Mempertahankan Pariwisata
Budaya di Era Globalisasi. Jurnal
Perhotelan dan Pariwisata Vol. 6
Nomor 2 Tahun 2016. Badung:
STIPAR Triatma Jaya.
Top Related