x
RINGKASAN DESERTASI
A. Latar Belakang Masalah
Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945 secara tegas menggariskan
bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalam pembukaan adalah mewujudkan
“cita hukum” (rechtsidee), yang tidak lain adalah Pancasila...Cita hukum dapat dipahami
sebagai konstruksi pikiran yang merupakan keharusan untuk mengarahkan pada cita-cita
yang diinginkan masyarakat. Disini tampak jelas bahwa Pancasila sebagai rechsidee
sangat memperhatikan harapan dan cita-cita masyarakat. Tidak terkecuali Lingkungan
hidup yang baik dan sehat merupakan hak warga negara Indonesia, yang ketentuannya
diatur dalam Pasal 28 H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Lingkungan hidup merupakan sumber daya alam yang dibutuhkan manusia dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi kebutuhannya manusia tidak lepas dari
pembangunan, baik itu pembangunan fisik, maupun pembangunan non fisik. Untuk
pembangunan fisik, seringkali dalam pelaksanaannya terjadi persoalan yang melibatkan
permasalahan sosial dan lingkungan. Permasalahan sosial dan lingkungan hidup
menjadikan proyek pembangunan PLTU yang diharapkan bisa menyuplai listrik di Pulau
Jawa dan Bali, jadi tertunda. Bagi masyarakat yang sedang membangun, hukum selalu
dikaitkan dengan usaha-usaha untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat kearah
yang lebih baik. Menghadapi keadaan yang demikian maka peranan hukum semakin
menjadi penting dalam mewujudkan itu. Fungsi hukum tidak cukup hanya sebagai
kontrol sosial, melainkan lebih dari itu. Fungsi hukum yang diharapkan dewasa ini adalah
melakukan usaha untuk menggerakkan rakyat agar bertingkah laku sesuai dengan cara-
cara baru untuk mencapai suatu tujuan yang dicita-citakan. Pembangunan yang
dilakukan oleh bangsa Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kesejahterahan dan mutu
hidup rakyat.
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 2 X 1000 MW di Desa
Ujung Negoro, Karanggeneng (Kecamatan Kandeman), dan Ponowareng (Kecamatan
Tulis) yang rencananya sudah dilaksanakan mulai tahun 2011, sejak dimenangkan
tendernya oleh J. Power, Itochu dan Adaro yang kemudian membentuk PT. Bhimasena
Power Indonesia, yang diperkirakan mulai beroperasi pada tahun 2016, mengalami
berbagai hambatan, sehingga mundur dari schedule yang sudah ditetapkan.
Keterlambatan ini disebabkan karena pembebasan tanah yang dilakukan oleh PT.
Bhimasena Power Indonesia mengalami kendala berupa penolakan dari masyarakat
untuk menjual tanahnya guna kepentingan Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap
(PLTU) di Kabupaten Batang.
Praktek perencanaan pembangunan proyek PLTU ini pada kenyataannya banyak
menemui berbagai kendala. Setelah ijin diberikan kepada pihak investor, tanpa adanya
koordinasi dan tanpa sepengetahuan pemerintah daerah setempat langsung terjun kelokasi
dengan membawa berbagai peralatan survei seperti peta lokasi, alat-alat berat, datang ke
warga secara langsung bermaksud membeli tanah tanah rakyat dan lain-lain kegiatan
xi
diluar sepengetahuan pemerintah daerah. Pendekatan langsung yang dilakukan oleh
investor tanpa peran aparatur pemerintahan setempat pada akhirnya hanya menuai konflik
dan berdampak pada tertundanya mega proyek PLTU di Kabupaten Batang. Warga
membutuhkan pendekatan yang dekat dengan budaya setempat dengan penjelasan yang
rasional terhadap dampak proyek PLTU. Tata cara kearifan lokal yang masih lekat
dengan warga desa sekitar area rencana pembangunan proyek PLTU membuat warga
tidak bisa menerima model-model pendekatan yang langsung dan to the point. Padahal
sosialisasi ini sudah dimulai sejak 2011 namun dinilai tidak efektif untuk melunakkan hati
masyarakat. Sosialisasi yang dilakukan sebelumnya, investor datang ke masyarakat dan
langsung menetapkan harga tanahnya membuat warga ketakutan dan menutup diri dari
pihak luar yang tidak dikenal. Sejumlah warga menolak pembangunan PLTU dengan
alasan karena proyek tersebut merusak lingkungan dan sebagian lainnya mengaku
kehilangan mata pencahariannya sebagai petani penggarap. Sumber daya alam yang ada
di desa Ujung Negoro, Karanggeneng, Ponowareng dan sekitarnya merupakan daya
dukung yang memberikan kehidupan masyarakat setempat dalam memenuhi kebutuhan
sehari-harinya. Mulai dari bertani, mencari ikan di laut, dan segala aktivitas nya. Kondisi
desa yang masih hijau, asri dan juga persawahan yang produktif, membuat beberapa
warga cukup berat menjual tanahnya.
Pembangunan dengan argumentasi untuk memberi kesejahterahan terhadap
masyarakat, termasuk masyarakat adat, justru seringkali dilakukan dengan
mengorbankan nilai-nilai kearifan lokal yang masih terpelihara...Pembangunan yang
hanya dilakukan dengan memandangnya dari sisi ekonomi jangka pendek telah
mengorbankan aspek-aspek kelestarian...perlu ditanamkan kembali melalui perspektif
ilmu pengetahuan yang bersifat holistik, bahwa alam tidak pada tempatnya jika hanya
dipandang dari aspek ekonomi saja. Alam adalah harta karun untuk dimanfaatkan secara
bijaksana, bukan untuk dieksploitasi. Bahwa hidup selaras dengan alam akan menentukan
kualitas hidup manusia. Manusia harus memelihara lingkungan hidupnya, karena
disitulah sumber hidupnya. Dengan kata lain dalam hal lingkungan hidup, generasi saat
ini dalam menikmati sumber daya alam dan keragaman hayati, harus pula dapat dinikmati
oleh generasi yang akan datang dengan kualitas dan kuantitas yang sama. Dalam
pengelolaan lingkungan harus disandarkan pada beberapa prinsip-prinsip yang diatur
dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
yang di dalamnya juga mengandung nilai keadilan.
“Mega proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Kabupaten Batang
merupakan pembangunan yang bertujuan mensejahterahkan masyarakat berupa
kemudahan dalam hal energi listrik untuk daerah Jawa dan Bali juga program CSR dari
PT. Bhimasena Power Indonesia diharapkan bisa memberikan kesejahterahan bagi
masyarakat desa terdampak. Program CSR dari PT. Bhimasena Power Indonesia
mencakup bidang ekonomi, Pendidikan, Kesehatan, dan sosial budaya. Dengan program
CSR tersebut diharapkan bisa memberikan kesejahterahan bagi warga terkena dampak,
sehingga mereka bisa hidup dengan sejahterah.
PLTU Jawa Tengah 2 X 1000 MW merupakan proyek infrastruktur pertama
Kerjasama Pemerintah Swasta atau dibangun dengan skema Public Private Partnership
xii
(PPP) serta menjadi bagian dari Master Plan percepatan dan perluasan pembangunan
ekonomi Indonesia. Pembangkit ini diharapkan menjadi lokomotif dalam perkembangan
ekonomi Jawa. Selain itu PLTU ini direncanakan menggunakan teknologi terkini yang
lebih ramah lingkungan dan efisien yakni Ultra Super Critical. PLTU Batang
berkontribusi menyuplai listrik sebesar 5,7 persen untuk sistem Jawa-Bali sehingga bisa
mendukung rasio elektrifikasi di Jawa.
Namun demikian, pembangunan apapun itu harus seiring dengan Filsafat Dasar
Negara (Filosifishe Gronslag) bangsa Indonesia yaitu Pancasila dan amanat UUD Negara
Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 H ayat (1) “Setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan dan Pasal 33 ayat (4 )
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,
serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Untuk itu
UUD 1945 terkenal dengan istilah yang populer “konstitusi hijau” harus diperhatikan
dalam semua aktivitas yang berhubungan dengan pembangunan, tidak terkecuali, Proyek
Pembangkit Listrik Tenaga Uap di Kabupaten Batang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut : (1) Apakah pengelolaan lingkungan hidup dalam Pembangunan Pembangkit
Listrik Tenaga Uap (PLTU) saat ini belum berkeadilan? (2) Apa saja dampak negatif
yang timbul dalam Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Terhadap pengelolaan
lingkungan hidup saat ini? (3) Bagaimanakah rekonstruksi pengelolaan lingkungan hidup
dalam Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di masa yang akan datang
yang berbasis nilai keadilan ?
C. Kerangka Teori Disertasi
1. Teori Keadilan Islam dan Teori Keadilan Pancasila Sebagai Grand Theory
a. Teori Keadilan Islam
1. QS. An-Nahl : 90, yang artinya :
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan,memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
2. QS. Al-Maidah : 8, yang artinya :
“ Hai orang-orang yan g beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebe naran) Karena Allah, menjadi saksi dengan
adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil
itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakw alah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerj akan.”
xiii
3. QS. Ar-Rahman : 7, yang artinya :
“ Dan Allah Telah meninggikan langit dan dia meletakkan neraca (keadilan).”
4. QS. asSyuura (42) ayat 15, yang artinya:
“Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah:“Aku beriman kepada semua kitab yaig diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kebali (kita)”
5. QS. an-Nisaa ayat 135, yang artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah walaupun terhadap dirimu sendiri atau Ibu, Bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia, kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemasalahatanya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dan kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau dengan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Segalanya apa yang kamu lakukan.”
Sedangkan larangan untuk melakukan perusakan di muka bumi terhadap
sumber daya alam, diatur di dalam A1-Qur’an Surat Ar-rum 30 : 41, yang artinya:
“Telah tampak kerusakan didarat dan dilaut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
b. Teori Keadilan Pancasila,
Pancasila sebagai dasar filsafat atau falsafah memperoleh sumber nilai dalam
konteks perjalanan dinamis sejarah kebudayaan bangsa. Pembentukan sumber nilai
yang tercakup kedalam sistem falsafah kebangsaan, berjalan dalam sejarah yang
Panjang, yang melibatkan bukan saja kaum cendekia dan primus interparish,
melainkan juga masyarakat. Komitmen keadilan menurut alam pemikiran Pancasila
berdimensi luas. Peran negara dalam perwujudan keadilan sosial, setidaknya ada
dalam kerangka : 1. Perwujudan relasi yang adil disemua tingkat sistem
(kemasyarakatan), 2. Penhembangan struktur yang menyediakan kesetaraan
kesempatan, 3. Proses fasilitasi akses atas informasi yang diperlukan, layanan yang
diperlukan dan sumber daya yang diperlukan, 4. Dukungan atas partisipasi bermakna
atas pengambilan keputusan bagi semua orang. Yang dituju dari gagasan keadilan ini
juga tidak terbatas pada pemenuhan kesejahterahan yang bersifat ekonomis, tetapi
juga terkait dengan usaha emansipasi dalam rangka pembebasan manusia dari
pemberhalaan terhadap benda, pemuliaan martabat kemanusiaan, pemupukan
solidaritas kebangsaan dan penguatan kedaulatan rakyat.
Dengan Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, manusia diakui dan
diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajiban-kewajiban asasinya,
xiv
tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, dan kepercayaan, jenis kelamin,
kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. Karena itu dikembangkanlah sikap
saling mencintai sesame manusia, sikap tenggang rasa dan “tepa salira” serta sikap
tidak semena-mena terhadap orang lain. Kemanusiaan yang adil dan beradab berarti
menjunjung tinggi nilai-nilai kmanusiaan, gemar melakukan kegiatan-kegiatan
kemanusiaan, dan berani membela kebenaran dan keadilan. Pancasila dinyatakan
sebagai jiwa bangsa Indonesia, sebagai kepribadian bangsa Indoensia, sebagai
pandangan hidup bangsa Indonesia, dan sebagai pedoman hidup bangsa Indoinesia.
Hal ini sesuai dengan kenyatan sehari-hari bangsa Indonesia. Nilai-nilai dalam
Pancasila digali dari bangsa Indonesia sendiri yakni dalam nilai adat istiadat,
kebudayaan, dan religi dari kehidupan bangsa.
2. Teori Sibernetika Talcott Parson sebagai Midle Theory
Dunia budaya dengan masukan nilai-nilai ke dalam sistem sosial merupakan
salah satu sumber daya bagi bekerjanya sistem sosial itu...bahwa tanpa masukan nilai-
nilai itu sistem sosial (dalam hal ini melalui norma sosialnya) tidak bisa mulai bekerja.
Sumber Daya yang dibutuhkan oleh sistem sosial tidak hanya datang dari bidang
budaya melainkan juga bidang-bidang yang lain dalam masyarakat. Salah satu dari
bidang yang demikian itu adalah : ekonomi. Bidang ekonomi ini melakukan adaptasi
terhadap lingkungan kehidupan manusia yang bersifat bio-fisis. Tanpa fungsi adaptasi
yang dilakukan oleh ekonomi ini masyarakat tidak bisa mempertahankan hidupnya
ditengah-tengah lingkungannya. Kegiatan ekonomi inilah yang bisa mengubah
berbagai sumber daya yang ada disekitar manusia sehingga berguna untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya. Kegiatan ini misalnya : pertanian,
pertambangan, perdagangan, industri alat-alat produksi dan sebagainya.
3. Teori hukum pembangunan sebagai Applied theory
Teori ini mulai diperkenalkan oleh Mochtar Kusumaatmadja, pakar hukum
internasional, ketika menjadi pembicara dalam Seminar Nasional pada tahun 1973.
Pandangan Mochtar Kusumaatmadja tentang fungsi dan peranan hukum dalam
pembangunan nasional, kemudian dikenal sebagai teori Hukum Pembangunan,
diletakkan di atas premis yang merupakan inti ajaran atau prinsip sebagai berikut :
a). Semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan oleh perubahan
dan hukum berfungsi agar dapat menjamin bahwa perubahan itu terjadi
dengan cara yang teratur. Perubahan yang teratur menurut Mochtar, dapat
dibantu oleh perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau kombinasi
keduanya. Beliau menolak perubahan yang tidak teratur dengan menggunakan
kekerarasan semata-mata.
b). Baik perubahan maupun ketertiban (atau keteraturan merupakan tujuan awal
dari masyarakat yang sedang membangun, maka hukum menjadi suatu sarana
(bukan alat) yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan;
c). Fungsi hukum dalam masyarakat adalah mempertahankan ketertiban melalui
kepatian hukum dan juga hukum (sebagai kadiah sosial) harus dapat mengatur
(membantu) proses perubahan dalam masyarakat;
xv
d). Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the
living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan
pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu;
e). Implementasi fungsi hukum tersebut di atas hanya dapat diwujudkan jika
hukum dijalankan oleh suatu kekuasaan, akan tetapi kekuasaan itu sendiri
harus berjalan dalam batas rambu-rambu yang ditentukan di dalam hukum itu.
D. Paradigma Penelitian
Dalam desertasi ini menggunakan paradigma critical theory melihat bahwa, unsur
kebenaran melekat pada “ historical situatedness of the inquiry.” Situasi historis yang
meletakkan dasar kegiatan penelitian bersifat kontekstual, meliputi situasi sosial,
politik, kebudayaan ekonomi, etnik dan gender. Disamping itu peneliti juga harus
mengembangkan sikap “conscientization” yaitu sikap yang hati-hati dalam kegiatan
penelitian, karena kegiatan penelitian dapat mengungkap ketidaktahuan dan salah
pengertian. Tidak semua asumsi dan teori memuat kebenaran sehingga dalam proses
kegiatan penelitian dapat dicapai wawasan baru dalam bentuk cara berpikir tertentu.
E. Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah socio legal research,
karena untuk mengetahui gambaran menyeluruh tentang Rekonstruksi Pengelolaan
Lingkungan Hidup Dalam Pembangunan PLTU di Kabupaten Batang. ”... Studi hukum
sebagai law in action merupakan studi ilmu sosial yang non doktrinal dan bersifat
empiris. Dalam studi sosial, hukum tidak dikonsepsikan sebagai suatu gejala normatif
yang mandiri (otonom), tetapi sebagai institusi sosial yang dikaitkan secara riil dengan
variable-variable sosial yang lain. F. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Kabupaten Batang, terletak pada 60 51’46 sampai 70 11’47 Lintang Selatan dan
antara 109 0 40’ 19 sampai 1100 03’06 Bujur Timur di Pantai Utara Jawa Tengah dan
berada pada jalur utama yang menghubungkan Jakarta – Surabaya. Luas Daerah
78.864,16 Ha. Batas-batas wilayahnya sebelah utara Laut Jawa, sebelah timur Kabupaten
Kendal, sebelah selatan Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara, sebelah
barat kota dan Kabupaten Pekalongan. Posisi tersebut menempatkan wilayah Kabupaten
Batang, utamanya ibu kota pemerintahannya pada jalur ekonomi pulau jawa sebelah
utara. Arus transportasi dan mobilitas yang tinggi di jalur pantura memberikan
kemungkinan Kabupaten Batang berkembang cukup prospektif disektor jasa transit dan
transportasi.
1. Program CSR dari PT. Bhimasena Power Indonesia cukup banyak, diantaranya
adalah :
1. program pengembangan ekonomi, yaitu :
1. Pengembangan Kelompok Usaha Bersama
2. Pengembangan Lembaga keuangan Mikro
3. Penciptaan Lapangan kerja sementara
4. Kompensasi Sosial
5. Lahan pengganti
xvi
6. Penciptaan Wirausaha baru
2. Dukungan Peningkatan Kualitas Kesehatan : Dukungan Pelayanan Program
Posyandu, Penguatan kelembagaan Kesehatan Desa, Dukungan Peningkatan
Kesehatan Lingkungan dan Kampanye Penyadartahuan Kesehatan
3. Dukungan Peningkatan Kualitas Pendidikan : Dukungan sekolah Adiwiyata,
Program peningkatan literasi, dan Pengembangan Sekolah
4. Program Dukungan Kegiatan Sosial, Budaya dan Lingkungan : Penyadartahuan
kebersihan lingkungan, .Restorasi ekosistem, Managemen sampah, dan
Program Sosial.
Berdasarkan penelitian dan hasil wawancara, dengan warga terdampak,
untuk CSR Kelompok usaha bersama saat ini banyak yang sudah tidak berjalan,
namun demikian untuk Koperasi simpan pinjam masih ada meskipun tidak
maksimal. Diujung negoro pembuatan krupuk usek juga masih berjalan,
namun demikian untuk yang lainnya banyak yang sudah tidak berjalan. Untuk
CSR bidang Pendidikan dan Kesehatan masih berjalan dengan baik. Dan saat
ini untuk nelayan di desa ujung negoro dan sekitarnya juga cukup banyak yang
bekerja di PLTU, meskipun hanya tenaga kasar. Namun demikian desa roban
timur boleh dikatakan seluruh warganya masih berprofesi sebagai nelayan
(cantrang) berangkat habis subuh pulang siang sekitar jam 13.00. Sehingga
keadaan masyarakat terdampak memang kondisinya berbeda-beda.
Sementara ini kesulitan dalam penelitian memang masih ada Ketika
penulis memasukkan surat ijin penelitian ke PT. Bhimasena Power Indonesia,
perwakilan yang ada di Batang untuk melakukan wawancara, sampai saat ini
juga belum terlaksana. Hal ini dikarenakan proses pembangunan masih berjalan
dan pihak PT. Bhimasena belum bisa untuk dilakukan penelitian. Hal ini
disampaikan oleh pihak yang ditunjuk oleh kantor perwakilan PT. Bhimasena
Power Indonesia di Batang. Selanjutnya juga bagi warga yang menolak
menjual tanahnya untuk PLTU, juga tertutup memberikan informasinya.
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenag Uap di Kabupaten Batang,
membuat petani dan nelayan kehilangan mata pencahariannya, meskipun sudah
mendapat kompensasi tanah seluas 70 Ha, namun tanah tersebut tidak
produktif, merupakan tanah kering dan hanya cocok untuk menanam polowijo,
dan tidak dapat digunakan untuk menanam padi. Hal ini tidak semua warga
petani mau bercocok di tanam dilahan tersebut, sehingga banyak yang
kehilangan mata pencaharian sebagai petani.
Dalam wawancara dengan Ketua dan Anggota Go Green (NGO) yang
mengikuti dan mendampingi warga terkena dampak, bahwa dengan adanya
pembangunan Pembangkit listrik Tenaga Uap di Kabupaten Batang, bagi petani
tidak tambah kesejahterahannya, namun sebaliknya malah membuat mereka
jatuh miskin. Hal ini karena pekerjaan mereka sebagai petani, termasuk petani
penggarap tidak dapat bekerja lagi sebagai petani. Uang hasil ganti rugi yang
telah diterima setelah habis , maka gak ada lagi pemasukan, karena lahan untuk
xvii
pertanian sudah gak ada. Dengan demikian sebagian dari mereka ada yang
merantau keluar kota untuk mencukup kebutuhan hidupnya.
Wawancara dengan salah satu responden, bahwa lahan pengganti
pertanian jauh dari domisili warga terdampak, meski awalnya difasilitasi mobil
untuk mengangkut,namun warga terdampak tetap tidak mau menggarap lahan
pengganti tersebut (hanya sedikit petani yang menggarap). Hak Guna Usaha
untuk pertanian padahal (sawah) untuk bercocok tanam. Dari lahan kering
tersebut memang ada yang bisa dijadikan untuk bercocok tanam tapi hanya
sedikit. Sedangkan mobil pengangkut petani ke lahan pengganti (mobil
grandmax) dialihkan fungsinya dengan dihibahkan kedesa untuk ambulance.
Sedangkan bagi petani penggarap dan semua orang yang menggunakan ladang
pertanian (sawah) untuk kehidupannya sekarang mereka sudah tidak ada lahan
pertanian bercocok tanam lagi dan kesulitan untuk mencari pekerjaan. Ketika
mereka kerja di PLTU juga akan bergiliran dengan warga yang lain, sehingga
cukup banyak penggangguran. Sedangkan secara lahir banyak rumah yang
tadinya gak bagus sekarang sudah bagus, namun demikian mereka karena
menjual asset tanah /sawah bukan dari hasil kerja mereka. Sehingga kedepan
pemerintah daerah harus dilibatkan membuat konsep kesejahterahan bagi
warga terdampak.
Sementara itu dalam wawancara dengan beberapa warga nelayan di
Desa Roban Timur, dapat diketahui bahwa penghasilan mereka sekitar 150
nelayan sekarang setelah adanya PLTU pendapatannya berkurang. Hal ini
dikarenakan para nelayan tidak dapat mencari ikan di tempat sekitar PLTU,
karena banyak semacam terumbu karang buatan yang ada disekitar PLTU.
Sehingga nelayan sekarang mencari ikannya lebih jauh (artinya solar sebagai
bahan bakar perahu) juga lebih banyak dan pendapatan ikannya ditempat yang
lebih jauh tersebut tidak sebanyak ditempat sekitar PLTU. Dan nelayan di Desa
Roban Timur itu juga meminta mesin perahu dalam Bahasa mereka namanya
(dumpeng) ke PT. Bhimasena Power Indonesia, namun belum dipenuhi.
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis akan menganalisis
permasalahan yang pertama : pembangunan pembangkit listrik tenaga uap di
Kabupaten Batang tidak berbasis nilai keadilan, Melihat beberapa konsep
keadilan Islam sebagaimana tersebut di atas, pembangunan Listrik Tenaga
Uap di Kabupaten Batang, tidak berbasis nilai-nilai keadilan. Hal ini
dikarenakan masyarakat terkena dampak, khususnya yang mempunyai lahan
untuk lokasi PLTU tidak semuanya ikhlas menjual tanahnya kepada PT.
Bhimasena Power Indonesia, kedua juga dalam ganti rugi tanah, harganya
berbeda-beda, hal inilah yang memicu ketidakadilan, sehingga diantara warga
yang menjual tanahnya menginginkan harga tanah yang sama. Kemudian
keberadaan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap di Kabupaten
Batang, menurut hasil wawancara dengan Ketua Go Green sebenarnya tidak
mendesak diperlukan, mengingat di Jawa Tengah Listrik sudah surplus 40%
(empat puluh prosen). Artinya sebenarnya listrik di Jawa Tengah sudah
cukup tersedia bagi masyarakat. Pembangunan PLTU di Kabupaten Batang
akan disandingkan dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila ke dua :
Kemanusiaan yang adil dan beradab dan sila kelima Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Adil merupakan sesuatu yang sangat mudah
diucapkan namun sulit untuk dilakukan, karena harus berkomitmen dalam
mewujudkannya. Dalam hal ini pembangunan PLTU, adil secara hukum
positif namun tidak adil dari apa yang dirasakan masyarakat terkena dampak.
Hal ini yang menjadikan pembangunan PLTU tersendat sampai saat ini.
Masyarakat pro dan kontra dalam penanganan pembangunan PLTU,
menjadikan pihak yang kontra, bahkan sampai saat ini berdasarkan penelitian
kepada responden, masih berharap dibatalkan pembangunan PLTU nya.
Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia, dan merupakan
sumber dari segala sumber hukum. Sila-sila dalam Pancasila merupakan satu kesatuan
yang bulat dan utuh. Demikian pula keadilan Pancasila dari sila pertama Ketuhanan
Yang Maha Esa, sila kedua kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Sila ketiga
Persatuan Indonesia, sila keempat Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat
Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan dan sila kelima Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan sistem filsafat yang sarat dengan nilai-nilai
keadilan dan moral.
Sila keadilan sosial bilamana dikembalikan kepada dasar kerokhanian yaitu
sifat kodrat manusia yang monodualis yaitu keseimbangan yang dinamis. Oleh karena
itu konsekwensinya kepentingan individu (perseorangan) (kepentingan khusus) dan
kepentingan umum harus dalam suatu keseimbangan yang dinamis, yang harus sesuai
dengan keadaan, waktu dan perkembangan zaman...maka dapat disimpulkan bahwa
“kepentingan khusus (perseorangan) sendiri pada hakekatnya tidak sama sekali
diserahkan keapada perseorangan sendiri berdasarkan asas kekuasaannya sendiri atau
sebaliknya sama sekali diselenggarakan oleh negara, akan tetapi negara memelihara
baik kepentingan umum maupun kepentingan warga negara perseorangan, yang
dalam prinsip yang menjadi pemelihara perseorangan sendiri. Negara memberikan
kesempatan dan memberikan bantuan yang sebaik-baiknya kepada perseorangan.
Baik secara sendiri-sendiri atau bersama sama untuk berusaha sendiri memenuhi
keinginan, kebutuhan dan kepentingannya sendiri.
Berdasarkan analilis hasil penelitian, Pembangunan Pembangkit Listrik
Tenaga Uap di Kabupaten Batang, belum mencerminkan nilai-nilai keadilan yang
hidup di masyarakat. Hal ini bisa dianalisis dengan teori keadilan Islam. Bahwa adil
adalah memberikan kepada masing-masing orang apa yang menjadi haknya. Dalam
pembangunan pembangkit listrik tanaga uap di Kabupaten Batang, masih sekitar 10%
lahan yang tidak dijual kepada BPI kemudian pemerintah menitipkan uang melalui
pengadilan, guna pembayaran ganti rugi tanah. Kerasnya penolakan yang dilakukan
warga sekitar PLTU, membuat pembangunan PLTU terbengkalai beberapa tahun.
Warga sekitar takut kehilangan mata pencahariannya sebagai petani dan nelayan.
Ketakutan warga sekitar membuat perlawanan penolakan, bahkan sesame warga yang
xviii
xix
pro dan kontra sendiri mereka tidak saling menyapa. Dan ketika pihak yang pro punya
hajatan, pihak yang kontra tidak memenuhi undangan. Misalnya kondangan dan
khitanan sekalipun meskipun berdekatan mereka tidak akan menghadiri undangan.
Sesama saudara pun saling bermusuhan. Bahkan unsur kekerasan sesama warga dan
aparat pun sering terjadi. Kondisi mencekam tersebut, terjadi hampir selama lima
tahun. Dinamika Pembangunan listrik tenaga uap di Kabupaten Batang, selain terkait
dinamika sosial, juga adanya penggantian lahan pertanian dari Bhimasena Power
Indonesia (BPI) kepada warga yang terkana dampak, khususnya warga desa
ponowareng, karanggeneng, dan ujung negoro. Namun penggantian lahan di desa
Segayung tersebut tidak sebagaimana yang diharapkan petani penggarap, karena jenis
lahannya kering, sehingga tidak dapat digunakan untuk menanam padi. Lahan kering
tersebut hanya dapat untuk menanam palawijo, misalnya kacang tanah. Dengan lahan
yang tidak produktif untuk menanam padi maka hanya sedikit petani penggarap yang
mau mengelola/ menanam palawijo di tanah tersebut. Kesulitan air dilahan itu
kelihatan dengan jelas, bahwa irigasi yang digunakan untuk perairan lahan kelihatan
kering. Dari perspektif teori keadilan Islam. Pembangunan pembangkit listrik tenaga
uap di Kabupaten Batang belum sebagaimana yang tercermin dari sisi keadilannya.
Yang pertama adil, mensyaratkan masing-masing pihak menerima apa yang telah
menjadi kesepakatan. Pertentangan antara Warga yang terkena dampak, meskipun pro
dan kontra terhadap pembangunan PLTU di Batang, namun tidak sedikit pihak yang
kontra yang menentang sampai dengan saat ini. Bahkan ada yang pihak kontra masih
berharap agar Pembangunan Pembangkit Tenaga uap di Kabupaten Batang di tiadakan.
Bahkan warga yang tidak mau menjual tanahnya kepada BPI sampai saat inipun masih
bertahan untuk tidak mengambil uangnya di Pengadilan Negeri Batang.
Namun demikian dalam penelitian baik hasil wawancara dengan warga yang
kontra maupun NGO Go Green, dapat diketahui bahwa kehidupan warga sekitar PLTU
yang dulunya petani dan petani penggarap, kehidupannya sekarang sudah tidak sama
dengan ketika masih mendapat uang ganti rugi pembangunan Pembangikit Listrik
Tenaga Uap, karena mereka sekarang sudah tidak punya uang yang dapat menghidupi
kehidupan mereka lagi. Sedangkan warga yang profesinya nelayan, disekitar
masyarakat yang terkena dampak, bahkan dari Roban sekarang sudah mulai khawatir,
bagaimana mereka nantinya dalam mencari ikan di laut. Apakah ikan-ikan dan biota
laut lainnya akan bisa bertahan, terkait dengan adanya PLTU tersebut. Menurut Go
Green ketika sudah operasional PLTU di Batang, dipastikan ikan dan biota laut lainnya
pasti akan binasa, termasuk terumbu karang yang merupakan Kawasan yang dilindungi
di Kawasan ujung negoro. Mengingat lingkungan adalah kebutuhan mutlak bagi
kehidupan makhluk hidup di bumi, maka diperlukan perlindungan bagi lingkungan
agar tidak rusak atau tercemar. Mengapa lingkungan harus dilindungi adalah
pertanyaan mendasar dan tidak mudah untuk dijawab. Pertanyaan mengapa lingkungan
harus dilindungi adalah pertanyaan mengenai tujuan peradaban manusia di atas bumi.
xx
Investasi apapun bentuknya tetap harus memprioritaskan kelestarian
lingkungan hidup dalam arti menjaga ketersediaan sumber daya alam, khususnya
sumber daya alam yang tidak terbarukan. Hal ini merupakan keharusan yang tak bisa
ditawar lagi, mengingat pentingnya sumber daya alam yang tidak dapat diperharui
dalam menopang kelangsungan hidup manusia. Pembangunan Pembangkit Listrik
Tenaga Uap di Batang, jelas merusak ekosistem yang ada, diantaranya biota laut
seperti ikan, dan terumbu karang di pantai ujung negoro dipastikan akan musnah.
Dalam teori keadilan Islam, ditegaskan bahwa manusia sebagai pemimpin di muka
bumi haruslah menjaga lingkungan dengan sebaik-baiknya, tidak boleh merusak alam,
karema alam diperuntukkan untuk memenuhi segala kebutuhan ummat manusia.
Sumber daya alam merupakan asset bagi manusia dalam kehidupannya. Untuk itu
manusia harus seefektif mungkin dalam menggunakan sumber daya alam yang ada.
Perspektif ketidakadilan dalam sudut pandang Islam dalam pembangunan pembangkit
listrik tenaga uap di Kabupaten Batang, yang pertama :
1. Hilangnya lahan dan mata pencaharian petani dan petani penggarap di sekitar
lokasi/warga yang dampak
2. Penggantian ganti rugi lahan yang berbeda-beda dari mulai 30.000, 100.000,
hingga 400.000.
3. Terancamnya mata pencaharian nelayan, karena ketika PLTU beroperasi dipastikan
biota laut akan musnah juga
4. Masalah sosial yang berkepanjangan
Tahap pembebasan tanah menurut pak Anton, aktivis desa Ujung Negoro ada
tiga tahap: a. Calo (yang memberli PT. BPI tetapi sebelum harga resmi diumumkan
b. Sesudah harga resmi diumumkan 100.000/M2 dengan pajak
c. Setelah tidak ada yang menjual tanah, orang diluar PT. BPI membeli
dengan harga Rp. 400.000 tanpa pajak, dan PT. BPI memberi klarifikasi
tidak pernah membeli tanah dengan harga Rp. 400.000 M2. Sedangkan
terkait CSR memang banyak, namun demikian masih kurang efektif,
Misalnya KUB, ternak lele, buat Kue, membuat krupuk usek dan sebagainya. Harapannya usulan ketrampilan hidup dari warga terdampak,
bukan dari PT. Bhimasena Power Indonesia, sehingga kedepan untuk kelangsungan hidup petani dan nelayan perlu keterlibatan pemerintah daerah
dalam membuat konsep kesejahterahan bagi warga terdampak.
Kemudian dari sisi keadilan Pancasila, dimana Pancasila sangat menghormati
keadilan individual maupun keadilan sosial. Hak-hak individu di negara hukum
Pancasila ini mendapat tempat yang penting. Due process of law, dimana semua
tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum (undang-undang). Hal ini merupakan
perbedaan mendasar antara ideologi Pancasila yang merupakan ideologi terbuka
dengan ideologi tertutup. Di dalam ideologi terbuka semua hak individu maupun hak
komunal diakui eksistensinya. Namun dalam ideologi tertutup, hanya hak komunal
saja yang mendapat tempat. Inilah yang komprehensif dalam arti dan makna ideologi
xxi
Pancasila, yang mana didalam sila-sila Pancasila terdapat nilai-nilai keadilan yang
terejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Pancasila menuntut,
untuk setiap orang agar diberikan haknya masing-masing, dengan demikian hak
perorangan juga dilindungi oleh nilai keadilan Pancasila. Sehingga Pemerintah sendiri
pun tidak bisa sewenang-wenang dalam kebijakannya kepada masyarakat. Karena
dalam negara hukum Pancasila hak-hak individu sangat dijunjung tinggi.
Konsep kemanusiaan yang adil dan beradab, mengandung makna bahwa
manusia Indonesia haruslah bersikap adil dalam segalanya, ini tentu saja
konsekwensinya bahwa nilai sila Kemanusiaan yang adil dan beradab itu juga
dilaksanakan oleh negara republik Indonesia. Sehingga negara dalam kebijakan
apapun harus mendasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Keadilan Pancasila
Mensyaratkan bahwa semua pihak harus mendapat kesepakatan dalam berbagai
kegiatan yanag menyangkut anatara hak dan kewajiban. Termasuk dalam
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap di Kabupaten Batang.
Dari hasil wawancara dengan Ketua Go Green dapat diketahui bahwa bahwa
pembangunan PLTU di Kabupaten Batang tidak mencerminkan rasa keadilan
masyarakat sekitar (warga terkena dampak) karena memang kehidupan
masyarakatnya tidak lebih baik dari sebelumnya. Bahkan cenderung miskin karena
memang sudah tidak bisa menjadi buruh tani/ pun menikmati panennya bagi yang
mempunyai sawah. Sehingga sampai saat ini, meskipun sudah ada kompensasi dari
PT Bhimasena Power Indonesia, namun lahan yang disediakan tidak dapat untuk
bercocok tanam padi. Lahan tersebut hanya cocok untuk palowijo. Sehingga tidak
banyak petani terkena dampak yang mengolah lahan pengganti tersebut. Dari proses
pembebasan lahan yang harga tanah per meternya berbeda-beda dan dengan kuatnya
kemauan warga yang tidak mau menjual tanahnya, hingga proses konsinyasi, dan
dinamika pembangunan Proyek Pembangkit Tenaga Uap dengan bahan bakar batu
bara, dapat ditari kesimpulannya bahwa pembangunan Pembangkit Listrik tenaga Uap
di Kabupaten Batang tidak sesuai dengan nilai -nilai keadilan Islan dan Nilai-Nilai
keadilan Pancasila. Hal ini bisa kita lihat ketika pemaksaan kehendak atau kemauan
sepihak dalam hal ini PT. Bhimasena Power Indonesia untuk membuat Proyek
Pembangkit Listrik Tenaga Uap yang sempat mendapat penolakan keras dari warga
sekitar, maka hal ini tidak sesuai dengan nilai-nilai keadilan Islam. Dimana Islam
sangat menghormati hak-hak individu warga negara. Kemudian kalau disandingkan
hak-hak manusia dalam tinjauan Islam dan Undang-Undang Dasar 1945, sangat
menarik dimana diantara keduanya tidak ada yang bertentangan.
Sebenarnya cerita masyarakat yang ada pembangunan Pembangkit Listrik
tenaga Uap tidak jauh berbeda satu sama lain. Yang jelas kehidupan nelayan untuk
mencari ikan sudah tidak bisa dilakukan disekitar PLTU, sehingga mereka (para
nelayan) harus mencari ikan ketempat yang agak jauh dari lokasi PLTU. Kemudian
keragaman hayatipun, terutama terumbu karang juga tidak akan bisa dilestarikan.
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap dengan bahan bakar batubara
(meskipun tergolong murah) namun tidak ramah lingkungan, bahkan berdampak
negative bagi kesehatan manusia. Faktor investasi dan ekonomi dalam pembangunan
pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) memang menajadi alasan utama selain faktor
untuk mensejahterahkan rakyat. Namun kesejahterahan masyarakat, tidak harus
dibayar mahal dengan dampak negative bakan bakar batu bara untuk beroperasinya
PLTU. Kesejahterahan masyarakat memang wajib di upayakan namun dalam rangka
meraih kesejahrerahan tersebut, harus diupayakan dengan pembangunan yang
berkelanjutan. Dimana dalam pembangunan berkelanjutan, masyarakat kan bisa
menikmatinya baik saat ini, maupun di waktu mendatang. Begitu pula keragaman
hayatinya harus bisa dinikmati generasi yang akan datang. Dengan demikian
kesejahterahan masyarakat berbanding lurus dengan hak atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat.
Persepsi warga terkena dampak, membandingkan proyek Pembangkit Listrik
Tenaga Uap yang ada dibeberapa daerah, misalnya Cirebon, cilacap, rembang, Paiton,
dan lainnya. Dimana kehidupan petani maupun nelayan sudah tidak bisa seperti
dahulu. Nelayan semakin jauh dan sulit mencari ikan. Dan menurut salah satu nelayan
di Reban, mereka bakal kesulitan mencari ikan disekitar PLTU, karena tentu saja
ikannya akan mati. Namun demikian perjuangan mencari ikan, akan tetap
dilaksanakan, meskipun tempat mencari ikannya sangat jauh. Selain warga terkena
dampak di Desa Ponowareng, Desa Karanggeneng, dan Desa Ujungnegoro, juga yang
wilayahnya dekat dengan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap, adalah Desa
Roban, mayoritas penduduk Desa Roban adalah Bertani dan nelayan. Biasanya kaum
nelayan secara turun temurun sudah mewarisi bakat sebagai nelayan. Salah satu
nelayan Desa Roban adalah Pak Bismo, pak Bismo melakukan pekerjaan sebagai
nelayan sudah lama sejak kecil, orang tuanya juga nelayan Pak MUI, Keluarga besar
pak Mui dengan anak-anaknya menggantungkan hidup dari nelayan. Pak Mui
mempunyai 4 orang anak, dimana kedua anak lelakinya semuanya sebagai nelayan.
Mereka dalam mencari ikan harus ditempat yang sangat jauh, dari lokasi PLTU, tentu
saja BBM nya untuk perahu juga semakin banyak. Namun mereka kini pasrah karena
pembangunan PLTU sudah berjalan. Selama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga
Uap, nelayan di Roban Timur pendapatannya semakin berkurang dan jarak tempuh
semakin jauh. Ini merupakan salah satu dampak Pembangunan Pembangkit Listrik
Tenaga Uap, dimana ikan-ikan tidak bisa bertahan hidup setelah proses bekerjanya
mesin PLTU. Dan masih banyak lagi keluarga nelayan di Desa Roban yang nantinya
akan kesulitan terkait mata pencaharian sebagai nelayan. Artinya salah satu kearifan
lokal penduduk nelayan berlahan-lahan akan tergeser, dengan hadirnya Pembangkit
Listrik Tenaga Uap yang akan menyuplai listrik Jawa dan Bali.
xxii
G. Rekonstruksi UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
SEBELUM REKONSRUKSI SESUDAH REKONSTRUKSI
Pasal 2
Perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dilaksanakan
berdasarkan asas :
a. Tanggung jawab negara;
b. Kelestarian dan keberlanjutan;
c. Keserasian dan kesimbangan;
d. Keterpaduan;
e. Manfaat;
f. Kehati-hatian;
g. Keadilan;
h. Ecoregion;
i. Keanekaragaman hayati;
j. Pencemar membayar;
k. Partisipatif;
l. Kearifan lokal;
m. Tata kelola pemerintahan yang baik
n. Otonomi daerah
Pasal 2
Perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dilaksanakan
berdasarkan asas :
a. Tanggung jawab negara;
b.Kelestarian dan keberlanjutan;
c.Keserasian dan kesimbangan;
d.Keterpaduan;
e.Manfaat;
f.Kehati-hatian;
g.Keadilan;
h.Ecoregion;
i.Keanekaragaman hayati;
j.Pencemar membayar;
k.Partisipatif;
l.Kearifan lokal;
m.Tata kelola pemerintahan yang baik
n.Otonomi daerah
o.Pemanfaatan tanah negara
Pasal 3
Perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup bertujuan
a.melindungi wilayah negara kesatuan
Republik Indonesia dari pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup
b.menjamin keselamatan, kesehatan, dan
kehidupan manusia
c.menjamin kelangsungan kehidupan
makhluk hidup dan kelestarian
ekosistem
d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan
e. mencapai keserasian,keselarasan, dan
keseimbangan lingkungan hidup
f. menjamin terpenuhinya keadilan
generasi masa kini dan masa depan g. menjamin pemenuhan dan
Pasal 3
Perlindungan dan pemngelolaan
lingkungan hidup bertujuan
a.melindungi wilayah negara kesatuan
Republik Indonesia dari pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup
b.menjamin keselamatan, kesehatan, dan
kehidupan manusia
c.menjamin kelangsungan kehidupan
makhluk hidup dan kelestarian
ekosistem
d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan
e. mencapai keserasian,keselarasan, dan
keseimbangan lingkungan hidup
f. menjamin terpenuhinya keadilan
generasi masa kini dan masa depan g. menjamin pemenuhan dan
xxiii
h. perlindungan hak atas ligkungan
hidup sebagai bagian dari hak asasi
manusia mengendalikan pemanfaatan
sumber daya alam secara sederhana
i. Mewujudkan pembangunan
berkelanjutan
j. mengantisipasi issue global
h. perlindungan hak atas ligkungan
hidup sebagai bagian dari hak asasi
manusia mengendalikan pemanfaatan
sumber daya alam secara sederhana
i. Mewujudkan pembangunan
berkelanjutan
j. mengantisipasi issue global
k. Merehabilitasi
sosial akibat
pencemaran lingkungan
Pasal 4
Perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup meliputi :
a. Perencanaan
b. Pemanfaatan
c. Pengendalian
d. Pemeliharaan
e. Pengawasan
f. Penegakan hukum
g. Keadilan
Pasal 4
Perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup meliputi :
a. Perencanaan
b. Pemanfaatan tanah negara
c. Pengendalian
d. Pemeliharaan
e. Pengawasan
f. Penegakan hukum
g. Keadilan
h. Rehabilitasi sosial dampak
pencemaran lingkungan
H. Simpulan dan Saran
1. Simpulan
a. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kabupaten Batang,
tidak mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat, karena banyak dari petani
yang sebenarnya tidak mau menjual sawahnya kepada PT. Bhimasena Power
Indonesia. Kehidupan petani yang mereka lakukan memang sudah sejak turun
temurun, jadi memang keahlian mereka adalah bercocok tanam padi. Ketika
mereka tidak mempunyai sawah, nyaris mereka tidak mempunyai pekerjaan lagi,
Namun sebagian dari petani dan nelayan juga sebagai pekerja (helper) di PLTU.
Area Pembangkit Listrik Tenaga Uap mayoritas adalah tanah produktif
(persawahan). Dan ketika proses pembebasan tanahnya harga yang diperoleh pun
berbeda -beda. Sejak awal ada yang 30.000 per M, 50.000 per M, 100.000 per M,
bahkan sampai ada yang 400.000 per M. Selanjutnya ketika sawah sudah dijual
ke PT Bhimasena maka para Petani sudah tidak bisa bercocok tanam lagi.
Kemudian hasil penjualan tanah semakin lama semakin habis, untuk memenuhi
kehidupan mereka, maupun membeli mobil, membangun rumah dan kebutuhan
xxiv
xxv
lainnya. sehingga kehidupan yang mereka tidak bertambah sejahtera, namun
menurun kesejahterannya.
b. Dampak negatif Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap di Kabupaten
Batang, penuh dinamika, sejak sosialisasi maupun proses pembangunannya.
Dalam keseharian kalau kita amati dampak negatif yang berkenan dengan proses
pembangunan PLTU, seperti debu, kepadatan transportasi truck, mobil dan bus
Pegawai PLTU yang menuju lokasi PLTU. Kebisingan suara proses
pembangunan juga dampak sosialnya cukup luas, meskipun berangsur bertambah
membaik, interaksi antara warga sekitar dampak yang pro dan yang kontra dalam
pembangunan PLTU Kabupaten Batang, pada awalnya sangat mencekam, tidak
saling sapa, bahkan sesama saudara atau tetangga. Namun demikian sekarang
keadaan sudah mulai membaik, meski masih ada sisa-sisa pertikaian dimasa lalu.
Bahkan orang punya hajatan (sunatan, perkawinan) pun tidak akan didatangi,
bila sedang berseteru masalah pembangunan PLTU. Sedangkan terkait
kehidupan petani yang sudah tidak punya sawah lagi juga banyak yang hidupnya
pasa-pasan saja, karena mereka memang tidak punya keahlian untuk bekerja di
profesi lainnya.
c. Rekonstruksi pengelolaan lingkungn hidup dalam pembangunan PLTU berbasis
nilai keadilan adalah merekonstruksi Pasal 2 menjadi penambahan ( huruf
o. Pemanfaatan tanah negara) Pasal 3 menjadi ( huruf k. merehabilitasi sosial
akibat pencemaran lingkungan) dan Pasal 4 UU No. 32 Tahun 2009 menjadi
( huruf b. Pemanfaatan tanah negara dan huruf h. Rehabilitasi sosial dampak
pencemaran lingkungan).
2. Saran
a. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu menyempurnakan Pasal 2, Pasal
3, dan Pasal 4 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan
Lingkungan Hidup.
b. Pemerintah/pengambil keputusan dalam Mega Proyek Pembangunan Pembangkit
Lisrik Tenaga Uap (PLTU) di Kabupaten Batang, seharusnya memperhatikan
aspirasi masrakat sekitar terkena dampak, rembug desa dan dengan tokoh agama,
tokoh masyarakat dan tokoh pemuda seharusnya dilakukan sebelum
pembangunan PLTU, sehingga tidak muncul pihak pro dan kontra dalam
pembangunan PLTU, sehingga pembangunan PLTU mendapat dukungan penuh
dari masyarakat. Keadilan bagi warga masyarakat terkena dampak harus lebih
diprioritaskan lagi misalnya CSR baik dalam tenaga kerja maupun dalam bentuk
fisik lainnya.
c. Dampak yang ditimbulkan Pembangunan PLTU, di Kabupaten Batang, selain
dampak yang bersifat fisik, misalnya banyaknya debu, kebisingan, juga alat
transportasi bus dan mobil pegawai PT. Bhisemasena Power Indonesia. Juga
dampak sosial, dimana antar warga diharapkan semakin cair hubungan sosialnya,
sehingga tidak ada ketegangan maupun permusuhan diantara warga terkena
dampak. Dengan kata lain hubungan warga masyarakat bisa kembali baik seperti
sebelum adanya pembangunan Pembangkit Listrik tenaga Uap (PLTU) di
xxvi
Kabupaten Batang. Pembangunan PLTU harus memprioritaskan kesehatan manusia
dan kelestarian lingkungan hidup. Sehingga konsep pembangunan berkelanjutan
bisa dirasakan manfaatnya baik bagi generasi sekarang maupun generasi yang akan
datang. Pembangunan berkelanjutan mutlak harus dijalakan dalam pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Uap di Kabupaten Batang menuju kelangsungan hidup
manusia yang sehat dan bermartabat.
I. Implikasi Kajian Disertasi
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kabupaten
Batang berdasarkan analisis merupakan kegiatan yang tidak mencerminkan rasa
keadilan bagi masyarakat terkena dampak khususnya, dalam hal ini petani dan
warga sekitar dampak. Selain tidak mencerminkan rasa keadilan juga dalam
tahapan pembangunan menimbulkan berbagai dampak fisik dan non fisik, termasuk
meluasnya dampak sosial bagi masyarakat terkena dampak. Dampak fisik, terlihat
jelas bahwa lahan pertanian untuk bercocok tanam padi, sudah tidak ada lagi,
meskipun warga petani terkena dampak mendapat kompensasi, namun lahan
pertanian tersebut tidak dapat untuk bercocok tanam padi, hanya bisa untuk
bertanam palawijo. Selain itu juga kehidupan nelayan menjadi kurang
penghasilannya karena tangkapan ikannya jauh berkurang setelah ada PLTU
tersebut. Kemudian dampak sosial non fisik, juga masih terasa meskipun sudah
tidak seperti awal adanya pembangunan PLTU, sedikit banyak masih ada
ketidakharmonisan dalam bermasyarakat, terkait pihak yang mendukung proyek
PLTU dan yang menolaknya.
Dalam pembangunan apa pun, termasuk Pembangunan Pembangkit Listrik
Tenaga Uap (PLTU) harus memprioritaskan dari sisi kesehatan, karena
pembangunan bertujuan untuk bisa memberikan kesejahterahan bagi manusia, tidak
sebaliknya. Kalau pembangunan justru membuat masyarakat tidak sejahtera dan
tidak sehat, ini harus ditinjau ulang dalam pelaksanaanya. Dengan demikian
pembangunan pembangkit listrik tenaga uap di Kabupaten Batang harus
komprehensif melihat dari berbagai perspektif, khususnya dampak negatif harus
ditekan sekecil mungkin, untuk itu perlu dimaksimalkan rehabilitasi sosial karena
dampak pembangunan pembangkit Listrik Tenaga Uap. Selanjutnya harus
memprioritaskan kesehatan manusia, kelestarian lingkungan hidup, dan sumber
daya alam, yang mana semua itu sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup
manusia. Manusia akan sehat bilamana dalam lingkungan yang sehat, dan manusia
akan tidak sehat bilamana dalam lingkungan yang tidak sehat, misalnya polusi
udara yang mencemari lingkungan sekitarnya.
xxvii
DESERTATION SUMMARY
A. BACKGROUND PROBLEMS
The opening of the CONSTITUTION of the Republic of Indonesia 1945
expressly outlines that the points of thought contained in the opening are the realization of
"the Mind of the Law" (Rechtsidee), which is nothing but Pancasila... The legal ideals can
be understood as a construction of the mind that is imperative to direct the ideals that the
community wants. Here it seems obvious that Pancasila as Rechsidee very attentive to
the expectations and ideals of society. There is no exception that a good and healthy
environment is the right of an Indonesian citizen, whose conditions are governed by
article 28 of the Constitution of the Republic of Indonesia year 1945. The environment is
a natural resource that needs human beings in fulfilling its life needs. In fulfilling the
needs of human beings do not escape from development, whether physical development,
or non-physical development. For physical development, often in the implementation of
problems involving social and environmental problems. The social and environmental
issues made the PLTU development project expected to supply electricity in Java and Bali
Island, so delayed. For the developing community, the law is always associated with
efforts to improve the lives of the community towards a better. Facing such
circumstances, the role of the law is increasingly important in realizing it. The legal
functions are not enough just as social control, but rather than that. The legal function
expected today is to make efforts to move the people to behave in accordance with new
ways to achieve a dicita-citakan goal. The development of the Indonesian people aims to
improve the Kesejahterahan and quality of life of the people.
2 X 1000 MW development of steam power Plant (PLTU) in Ujung Negoro
Village, Karanggeneng (subdistrict Kandeman), and Ponowareng (subdistrict Tulis)
which has been implemented in the year 2011, since it was won Tendernya by J. Power,
Itochu and Adaro which then formed PT. Bhimasena Power Indonesia, which is expected
to start in the year 2016, experiencing various obstacles, so withdraw from the schedule
that has been set. This delay is due to the land acquisition by PT. Bhimasena Power
Indonesia have constraints in the form of rejection from the community to sell the land for
the benefit of the Steam Power Project (PLTU) in Batang Regency.
The practice of building the PLTU project is in fact many obstacles. After the
permission is given to the investor, without coordination and without the knowledge of
local governments directly plunge the location by carrying a variety of survey equipment
such as site map, heavy equipment, come to citizens directly intend to buy land of people
and other activities outside the knowledge of local governments. The direct approach by
investors without the role of local government apparatus was ultimately only reaping the
conflict and impacting the delay of the PLTU mega project in Batang District. Residents
need a close approach to local culture with a rational explanation of the impact of the
PLTU project. The Ordinance of local wisdom that is still closely related to the villagers
around the area of PLTU project development plan makes the citizens can not accept
direct models of approach and to the point. Whereas this socialization has been started
since 2011 but is judged ineffective to soften the hearts of society. Socialization
xxviii
conducted earlier, investors came to the community and immediately set the price of land
making the citizens frightened and shut away from the outside the unknown. Some
people reject the development of PLTU, because the project has damaged the
environment and others claim to lose its livelihood as a farmer. Natural resources in the
village of Ujung Negoro, Karanggeneng, Ponowareng and surrounding area is a support
that gives the life of local people to fulfill their daily needs. Starting from farming,
looking for fish in the sea, and all its activities. The condition of the village is still green,
beautiful and also productive rice fields, making some citizens quite heavy selling land.
Development with the argument to give Kesejahterahan to the community,
including indigenous peoples, is precisely often done at the expense of local wisdom
values that are still preserved... The development that is only done by viewing it from the
short-term economic side has sacrificed aspects of sustainability... Need to be implanted
back through a holistic science perspective, that nature is not in place if only viewed from
the economic aspect alone. Nature is a treasure trove to be utilized wisely, not for
exploitation. That living in harmony with nature will determine the quality of human life.
Man must preserve his life environment, because that is where the source of his life. In
other words in terms of the environment, the current generation in enjoying natural
resources and biodiversity, must also be enjoyed by generations to come with the same
quality and quantity. In environmental management should be held on several principles
stipulated in LAW No. 32 year 2009 on protection and environmental management in
which it also contains the value of justice.
"The development of Steam power Plant Project (PLTU) in Batang District is a
development aimed at the welfare of the community in the form of convenience in
electrical energy for the area of Java and Bali CSR programs of PT. Bhimasena Power
Indonesia is expected to provide kesejahterahan for affected village communities. PT.
Bhimasena Power Indonesia's CSR Program covers economic, educational, health, and
socio-cultural fields. With the CSR program is expected to give Kesejahterahan to
affected residents, so that they can live with Sejahterah.
Central Java HYDROPOWER 2 X 1000 MW is the first infrastructure project of
private government cooperation or built with Public Private Partnership (PPP) scheme as
well as part of the Master Plan acceleration and expansion of Indonesia's economic
development. This plant is expected to be a locomotive in Java economic development.
In addition, the PLTU is planned to use the latest technology that is more environmentally
friendly and efficient namely Ultra Super Critical. The Batang PLTU contributes to
supplying 5.7 percent electricity to the Java-Bali system so as to support electrification
ratio in Java.
Nevertheless, any development that must be in line with the basic philosophy of
State (Filosifishe Gronslag) of Indonesia namely Pancasila and the mandate of the
CONSTITUTION of the Republic of Indonesia year 1945 article 28 H paragraph (1)
"Every person has the right to live prosperous born and inner, residing, and obtain a good
and healthy living environment and are entitled to health care services and article 33
paragraph (4) The national economy is organized based on economic democracy with the
principle of togetherness , equitable efficiency, sustainability, environmental insight, self-
reliance, and by maintaining a balance of progress and national economic unity. For that
UUD 1945 famous with the popular term "green Constitution" should be considered in all
activities related to development, no exception, Project steam power plant in Batang
district.
B. FORMULATION OF PROBLEMS
Based on the background above, can be formulated the following problems: (1)
is the environmental management in the development of steam power plants (PLTU) is
not currently in fairness? (2) What are the negative impacts of the development of the
steam power plant on current environmental management? (3) How is the reconstruction
of environmental management in the development of steam power Plant (PLTU) in the
future based on the value of justice?
C. FRAMEWORK OF DISSERTATION THEORY
1. Islamic Justice Theory and Pancasila theory as Grand Theory
A. Islamic Justice theory
1. QS. An-Nahl: 90, which means:
"Verily, Allah shall have (you) fair and commit virtue, give to relatives, and
Allah forbid from evil, evil and hostility. He gives you instruction that you may
take heed. "
2. QS. Al-Maidah: 8, which means:
"Hey people of faith, you shall be those who always uphold the cause of Allah,
to be witnesses justly. And do not your hatred against a tribe, encourage you to
be unjust. Is true, because it is just closer to the Takwa. And fear Allah, indeed,
Allah knows what you have been. "
3. QS. Ar-Rahman: 7, which means:
"And God has raised up the heavens, and he laid the balance (justice)."
4. QS. asSyuura (42) verse 15, which means:
"So be it (they are to that religion) and remain as commanded you and do not
follow their passions, and say," I have faith in all the book of Yaig, and I shall
be commanded to be righteous among you. " For us our charity and for you
your charity. There is no quarrel between us and you God collecting between us
and in-law Tobali (US) "
5. QS. An-NISAA verse 135, which means:
"Hey Those who believe, be ye the very people of justice, to be witnesses of
God even against yourself or your mother, father and your kindred. If it is rich
or poor, Allah knows more about the problem. Then do not follow lust because
you want to stray and righteousness. And if you turn the invert (words) or
witness, then indeed Allah knows everything you do. "While the prohibition to
do destruction on Earth to natural resources, is governed in the A1-Qur'an letter
Ar-Rum 30:41, which means:
"There seemed damage on land and sea because of the deeds of human
hands, so that God felt to them part of their deeds, that they might return (to the
right way)".
xxix
xxx
B. Pancasila Theory of Justice,
Pancasila as the basis of philosophy or philosophy derive a source of
value in the context of dynamic journey of cultural history of the nation. The
establishment of a value source that is included in the national philosophical
system, running in a long history, involving not only the scholars and the
Interparish Primus, but also the community. The commitment of justice
according to Pancasila's mind is broadly dimensional. The role of the country in
the realization of social justice, at least in the framework: 1. The realization of a
fair relationship at all levels of the system (community), 2. The development of
structures that provide equality of opportunity, 3. The process of facilitating
access to necessary information, required services and required resources, 4.
Support for participation is meaningful to the decision making for everyone.
The idea of justice is also not limited to the fulfillment of Kesejahterahan
which is economical, but also related to emancipation efforts in the framework
of human liberation from idolatry to objects, glorification of humanitarian
dignity, fertilization of national solidarity and strengthening the sovereignty of
the people.
With the fair and civilized humanity, mankind is recognized and treated
in accordance with its dignity and dignity as a creature of God Almighty, as the
same degree, the same rights and obligations of its origin, without discriminate
tribes, descendants, religions, and beliefs, sex, social standing, skin tone and so
on. Because it developed the attitude of mutual love of people, a sense of
tolerance and "Tepa Salira" and attitude not arbitrarily to others. Fair and
civilized humanity means upholding the human values, keen on humanitarian
activities, and daring to defend truth and justice. Pancasila is declared as the
soul of the nation of Indonesia, as a personality of the people of Indonesia, as a
view of the life of the Indonesian nation, and as guidelines for the life of This is
in accordance with the daily comfort of the Indonesian nation. The values in
Pancasila were excavated from the Indonesian people themselves, namely in
the value of customs, culture, and religion of the life of the nation.
2. Cybernetika Talcott theory Parson as Midle Theory
The cultural world with input values into the social system is one of the
resources for the social system's work... That without input values it's social system
(in this case via its social norms) can not start working. The resources required by the
social system not only come from the cultural field but also other areas in society.
One of those areas is this: economics. This economic field adapts to human life
environment that is bio-Phisycs. Without the adaptation function done by this
economy, the community could not sustain its life amid its environment. This
economic activity that can change the various resources that exist around the human
so it is useful to maintain its survival. This activity is for example: agriculture,
mining, trade, industrial production tools and so on.
xxxi
3. Legal theory of development as Applied theory
This theory was introduced by Mochtar Kusumaatmadja, an international legal
expert, when he was a speaker at the national Seminar in 1973. Mochtar
Kusumaatmadja's view on the function and role of law in national development, then
known as the theory of the law of development, is placed on the premise which is the
essence of the doctrine or principle as follows:
a). All communities that are building up are always characterized by change and the
law serves to guarantee that the change happens in a regular way. Regular changes
according to Mochtar, may be assisted by legislation or court judgments or a
combination of both. He resisted irregular changes using sheer adjustment.
b). Neither change nor order (or regularity is the initial purpose of the developing
community, then the law becomes a means (not a tool) which cannot be ignored in
the development process;
c). The functioning of the law in the community is to maintain order through the
legal and judicial jurisdiction (as social Kadiah) should be able to regulate (help) the
process of change in society;
d). Good law is the law in accordance with the living Law in society, which is
certainly appropriate or is a reflection of the prevailing values in the society;
e). The implementation of the above legal functions can only be realized if the law
is executed by a power, but the power itself must walk within the boundaries of the
signs specified in the law.
D. Paradigm Research
In this desertation using the critical theory paradigm saw that, the element of truth
was inherent in the "historical situatedness of the inquiry." The historical situation that
lays the foundation of research activities is contextual, covering social, political,
economic, ethnic and gender situations. Besides, researchers must also develop the
attitude of "conscientization" that is careful attitude in research activities, because
research activities can uncover ignorance and misunderstandings. Not all assumptions and
theories contain truth so that in the process of research activities can be achieved new
insight in the form of a certain way of thinking.
E. Approach method
The approach used in this research is socio legal research, because to know the
overall picture of reconstruction of environmental management in PLTU development in
Batang district. ”... Legal studies as a law in action are non-doctrinal and empirical social
sciences studies. In social studies, the law was not conceptualed as a self-sufficient
normative (autonomous) symptom, but as a socially associated social institution with
other social variables.
F. Results of research and discussion
Batang District, located at 60 51 ' 46 to 70 11 ' 47 south latitude and between 109
0 40 ' 19 to 1100 03 ' 06 East longitude on the north coast of Central Java and is on the
main line that connects Jakarta – Surabaya. Total area 78,864.16 Ha. The boundaries of
its territory is north of the Java Sea, east of Kendal District, south of Wonosobo Regency
and Banjarnegara Regency, west of the city and Kabupaten Pekalongan. The position
xxxii
placed Batang District, primarily the capital of the government in the North Java
economic route. The flow of transportation and high mobility on the Pantura line provides
the possibility of Batang Regency developing quite a prospective sector of transit and
transport services.
1. The CSR Program of PT. Bhimasena Power Indonesia is quite a lot, including:
1. Economic development program, namely:
1. Joint Venture Group Development
2. Development of microfinance institutions
3. Temporary employment creation
4. Social compensation
5. Substitute Land
6. Creation of new entrepreneurship
2. Support Improvement of health quality: Posyandu Program support, strengthening the
institutional health of the village, support for environmental health enhancement and
health care campaign
3. Education Quality Improvement Support: Adiwiyata School support, literacy
enhancement, and school development Program
4. Support Program of social, cultural and environmental activities: environmental
hygiene. Ecosystem restoration, garbage management, and social programs.
Based on research and interview results, with the affected residents, for the
CSR Group joint venture today many are already not running, but so for cooperatives
keep the loan still there even though not maximal. At the end Negoro making crackers
Usek also still running, but so for the other many who have not walked. For CSR the
field of education and health is still running well. And now for fishermen in the village
of Negoro and surrounding ends also quite a lot of working in the PLTU, although
only a rude force. Nevertheless, the village of East Roban can be said to all its citizens
still as a fisherman (Cantrang) to depart from Dawn back in the afternoon around
13.00. So that the condition of society affected is different condition.
While this difficulty in the research is still there when the author entered a
research permit to PT. Bhimasena Power Indonesia, representatives who are in Batang
to conduct interviews, so far has not been done. This is because the development
process is still running and the party of PT. Bhimasena has not been able to do
research. This is conveyed by the party appointed by the representative office of PT.
Bhimasena Power Indonesia in Batang. Furthermore, for people who refuse to sell
their land for PLTU, also closed to provide information.
The construction of Tenag Uap power plant in Batang Regency, making
farmers and fishermen lose their livelihood, although it has been compensated for land
area of 70 Ha, but the land is not productive, is dry land and only suitable for planting
polowijo, and can not be used for planting rice. It is not all farmers want to fit in the
cultivation, so that many people lose their livelihood as farmers. In interviews with the
chairman and Go Green members (NGO) who follow and accompany the citizens
impacted, that by the development of steam power plant in Batang District, for farmers
do not add kesejahterahannya, but instead make them fall poor. This is because their
xvxxiii
job as a farmer, including a husbandmen farmer can not work anymore as a farmer.
Money for the compensation that has been received after depleted, then no more
income, because the land for farming is not there. Thus some of them are wandering
out of the city to mencukup the needs of his life.
An interview with one of the respondents, that the farm's substitute land was far
from the domicile of the affected citizen, although initially facilitated the car to
transport, but the affected citizen still did not want to scratch the substitute land (few
farmers were working). The right to use agriculture for farming. From the dry land,
there is a place that can be used for planting but only a few. While the car transport
farmer to the land of replacement (car Grandmax) diverted function with the village
for ambulance. As for the farmer and the people who use the farm farms (rice fields)
for their life now they have no farmland planted anymore and difficulty to find a job.
When they work in the PLTU will also take turns with the other residents, so quite a
lot of feeddown. Whereas by birth many houses that were not good now have been
good, but they are because it sells land assets/fields not from the results of their work.
So the fore local government should be involved to create a Kesejahterahan concept
for affected citizens.
Meanwhile, in interviews with some fishermen in the village of East Roban, it
can be known that their income was about 150 fishermen now after the presence of
PLTU revenue is reduced. This is because the fishermen can not find fish in the place
around the PLTU, because there are many kinds of artificial coral reefs that exist
surrounding the PLTU. So that fishermen are now looking for it further (meaning solar
as a fuel boat) also more and its income in the farther place is not as much in place
around the PLTU. And fishermen in the East Roban village also requested a boat
machine in their language name (Dumpeng) to PT. Bhimasena Power Indonesia, but
not yet fulfilled.
Based on this, the author will analyze the problem first: the development of
steam power plants in Batang Regency is not based on the value of justice, see some
concepts of Islamic justice as mentioned above, the development of steam power in
Batang district, not based on the values of justice. This is because people are affected,
especially those who have land for the location of PLTU not all willing to sell the land
to PT. Bhimasena Power Indonesia, the second also in the soil compensation, the price
varies, this is what triggers the injustice, so that among the people who sell the land
want the same ground price. Then the existence of the steam power plant development
in Batang district, according to the results of interviews with the head of Go Green is
actually not urgent necessary, considering in Central Java electricity has been surplus
40% (forty procents). The fact that electricity in Central Java is sufficient for the
community. The development of PLTU in Batang Regency will be paired with the
values of Pancasila, especially please to the two: the fair and civilized humanity and
the fifth social justice for the whole people of Indonesia. Fair is something very easy to
say but difficult to do, because it must commit to make it happen. In this case the
development of PLTU, a legally fair positive yet unfair of what the perceived
community is affected. This is what makes the construction of PLTU to be stuck to the
xxxiv
present. Community pros and cons in handling PLTU development, making the
counter party, even to date based on the research to the respondent, still hopes to be
canceled the construction of its PLTU.
Pancasila is the life view of Indonesia, and is the source of all legal resources.
Sila in Pancasila is a unified and intact unity. Similarly, the justice of Pancasila from
the first sila the almighty Godhead, please both the humanity of the just and the
civilized, please the third unity of Indonesia, please the fourth of the people who are
led by wisdom in the vicarious policy and the fifth social justice for all Indonesians is
a system of philosophy that is full of values of fairness and moral.
Please social justice when returned to the foundation of Kerokhanian namely
the monodualist human nature that is a dynamic balance. Consequently the
consequence of individual interests (special interests) and public interest must be in a
dynamic balance, which must match the circumstances, timing and development of the
Times... It can be concluded that "his own special interest in the essence is not at all
submitted to individual self-awareness based on the principle of his own power or
otherwise held entirely by the state, but the state maintains both the public interest and
the interests of the individual citizen, which is in the principle of being the sole
proprietorship himself. Countries provide opportunities and provide the most
appropriate assistance to individuals. Either individually or together to strive for
themselves to fulfill their own desires, needs and interests.
Based on the analysis of the research, the development of steam power plant in
Batang District, has not reflected the values of justice that lives in the community. This
can be analyzed by the theory of Islamic justice. That just is to give each person what
is his or her right. In the construction of the steam tank power plant in Batang district,
still about 10% of land that is not sold to BPI then the government deposited money
through the court, for the payment of land compensation. The severity of the rejection
made by residents around the PLTU, made the construction of the PLTU neglected
several years. People around fear of losing their livelihood as farmers and fishermen.
Fear of residents around making resistance to rejection, even sesame citizens who are
pros and cons themselves they do not greet each other. And when the Pro party has a
hajatan, the counter party does not fulfill the invitation. For example, the conjunction
and circumcision even though they will not attend the invitation. Fellow siblings are
hostile to each other. Even the violent elements of fellow citizens and apparatus often
occur. Such gripping conditions, occurring almost five years. The dynamics of the
development of steam power in Batang District, in addition to social dynamics, also
the replacement of agricultural land from Bhimasena Power Indonesia (BPI) to the
affected citizens, especially the villagers Ponowareng, Karanggeneng, and the Negoro.
However, the land change in Segayung village is not as expected by the farmer,
because of the dry species, so it can not be used for planting rice. Dry land can only
plant Palawijo, for example Peanut. With unproductive land to plant rice, there are few
farmers who want to manage/plant Palawijo in the land. The difficulty of water in the
field was clearly visible, that the irrigation used for the land water seemed dry. From
the perspective of Islamic justice theory. The construction of a steam power plant in
xxxxv
Batang district has not been reflected by the side of its justice. The first is fair,
requiring each party to accept what has become an agreement. The conflict between
the affected citizens, although the pros and cons to the development of the PLTU in
Batang, but not a few parties that counter oppose to the present. There is even a
counter-party still hopes that the steam power plant development in Batang district was
held. Even citizens who do not want to sell their land to the BPI until the time of
program still remain to not take his money at the District Court of Batang.
Nevertheless, in the research on the results of interviews with residents who
cons and NGO Go Green, it can be known that the life of residents around the PLTU
who used to be farmers and farmers, the life now is not the same as when still get the
money damages development of steam power generation, because they now have no
money that can live their lives anymore. While the citizens who are fishermen, around
the affected communities, even from Roban now have begun to worry, how they later
in search of fish in the sea. The fish and other marine creatures will be able to survive,
associated with the PLTU. According to Go Green when it is operational PLTU in
Batang, certain fish and other marine biota will be destroyed, including the coral reefs
that are protected area in the area of the Negoro. Given that the environment is an
absolute necessity for the life of living beings on Earth, it is necessary for protection
for the environment to be undamaged or polluted. Why the environment should be
protected is a fundamental question and not easy to answer. The question of why the
environment should be protected is a question concerning the purpose of human
civilization on Earth.
Investment in any form should still prioritize environmental sustainability in
the sense of maintaining the availability of natural resources, especially natural
resources that are not renewable. This is a must that can not be asked again, given the
importance of natural resources that can not be haraam in sustaining the survival of
human beings. The construction of steam power plant in Batang, obviously damaging
the existing ecosystem, including marine biota such as fish, and the coral reefs on the
edge of the Negoro beach is certainly destroyed. In the theory of Islamic justice,
affirmed that man as leader on Earth must maintain the environment with the most,
must not damage nature, natural karema is intended to fulfill all needs of human
beings. Natural resources are assets for people in their lives. For that man should be as
effective as possible in using existing natural resources. The perspective of injustice in
the Islamic viewpoint in the construction of steam power plants in Batang District, the
first:
1. Loss of land and livelihoods of farmers and farmers around the location/citizen who
impacts
2. Change of land damages that vary from from 30,000, 100,000, to 400,000.
3. Threatened by the livelihoods of fishermen, because when the PLTU operates the
marine biota will perish also
4. Prolonged social problems
xxxvi
The Land liberation stage according to Mr. Anton, activist of Edge Negoro village
There are three phases:
A. Calo (who buying PT. BPI but before the official price is announced
B. After the official price is announced 100,000/M2 with tax
C. After no one sells the land, people outside PT. BPI bought with the price of Rp.
400,000 without tax, and PT. BPI clarifying never buy land at the price of Rp. 400,000
M2. While related CSR is a lot, but still less effective, eg KUB, catfish, make cake,
make crackers Usek and so on. Hopefully, the proposal of life skills of the citizens
affected, not from PT. Bhimasena Power Indonesia, so the fore for the survival of
farmers and fishermen need local government involvement in making the concept of
Kesejahterahan for the affected citizens.
Then from the justice side Pancasila, where Pancasila strongly respects the individual
justice and social justice. The rights of individuals in the law state of Pancasila gained
an important place. Due process of law, where all governmental actions must be based
on the law (law). This is a fundamental difference between the Pancasila ideology
which is an open ideology with a closed ideology. In the open ideology all rights of
individuals and communal rights recognized the existence. But in closed ideology,
only communal rights are the ones that get places. This is comprehensive in the sense
and meaning of ideology Pancasila, which in the Sila-please Pancasila there are values
of justice that are realized in the daily life of the Indonesian nation. Pancasila
demands, for each person to be given their own rights, thus the right of the individual
is also protected by the value of the Pancasila justice. So that the government itself can
not be arbitrary in its policy to the community. Because in the state of law Pancasila
the rights of individuals are highly esteemed.
The concept of a just and civilized humanity, containing the meaning that the
Indonesian man should be fair in everything, this is the consequence of the
significance that the value of the fair and civilized humanity is also implemented by
the Republic of Indonesia. So that the country in any policy should base on the values
of Pancasila. Pancasila's justice requires that all parties must be agreed in various
activities concerning the rights and obligations. Included in the construction of steam
power plant in Batang district.
From the interview with head of Go Green, it can be noted that the
development of PLTU in Batang District does not reflect the sense of justice of the
surrounding community (citizens affected) because indeed the life of the community is
not better than before. Even tend to be poor because it can not be a farm worker/also
enjoy the harvest for those who have rice fields. So until now, although there are
already compensation from PT Bhimasena Power Indonesia, but the land provided is
not available for planting rice. The land is only suitable for palowijo. So that not many
farmers are affected by the processing of the land of such substitutes. From the process
of land acquisition, the price per meter vary and with the willingness of citizens who
do not want to sell their land, to the process of consignment, and the dynamics of the
development of steam power project with coal fuel, can be found in conclusion that the
construction of steam power plant in Batang District does not match the values of Islan
justice and the values of Pancasila. This we can see when the impartiality of will or
willingness in this case PT. Bhimasena Power Indonesia to create a steam power
project that had got a hard rejection of the local people, then this is not in accordance
with the values of Islamic justice. Where Islam is very respectful of the individual
rights of citizens. Then if the rights were assumed in the Islamic Review and the
Constitution 1945, it is interesting that between the two is not contradictory.
Actually the story of society that exists steam power plant development is not
much different from each other. A clear fisherman's life to find fish is not to be done
around the PLTU, so they (the fishermen) have to find fish somewhere a bit far from
the PLTU location. Then the diversity of hayatipun, especially coral reefs will not be
preserved. The construction of a steam power plant with coal fuels (although relatively
inexpensive) but not environmentally friendly, even negatively impacts human health.
The investment and economic factors in the development of steam power plants
(PLTU) are also main reasons other than factors to the people's welfare. But
Kesejahterahan community, do not have to be paid expensive with the negative impact
of coal burn to operate PLTU. Kesejahterahan Community is obliged to strive but in
order to achieve the success, must be sought with sustainable development. Where in
sustainable development, people can enjoy it both now and in the future. So also the
diversity of life should be able to be enjoyed generations to come. Thus
Kesejahterahan society is directly proportional to the right to good and healthy living
environment.
The perception of citizens was affected, comparing the steam power plant
project in some areas, such as Cirebon, Cilacap, Rembang, Paiton, and others. Where
the life of farmers and fishermen can not be as before. Fishermen are getting farther
and harder to find fish. And according to one of the fishermen in the Reban, they had
difficulty finding the fish around the PLTU, because of course it would die. However,
the struggle for fish, will still be implemented, although the place to find it is very far.
In addition to the affected residents in the village Ponowareng, Karanggeneng village,
and Ujungnegoro village, also whose territory close to the development of steam
power plant, is the village Roban, the majority of villagers Roban is farming and
fishermen. Usually fishermen have inherited talent as a fisherman. One of the
fishermen of Roban village is Mr. Bismo, Mr. Bismo does the job as a fisherman has
been a long time since childhood, his parents are also the fisherman Pak MUI, the Big
family Pak Mui with his children hang the life of fishermen. Mr. Mui had 4 children,
of whom both his sons were all fishermen. Those in search of fish should place very
far, from the location of PLTU, of course the FUEL for the boat is also more and more.
But they are now resigned because the construction of the PLTU is already running.
During the construction of the steam power plant, fishermen in east Roban his income
is increasingly reduced and the mileage farther away. This is one of the impacts of the
development of the steam power plant, where fish cannot survive after the work of the
PLTU machine. And there are many more family fishermen in Roban village that will
be difficult to have related livelihoods as fishermen. This means that one of the local
xxxvii
xxxxviii
wisdom of fishermen Berlahan-lahan will be shifted, with the presence of steam power
plant that will supply the electricity of Java and Bali.
G. RECONSTRUCTION ACT NO. 32 YEAR 2009 ON ENVIRONMENTAL
BEFORE REKONSRUKSI AFTER
RECONSTRUCTION
SESUDAH REKONSTRUKSI
Pasal 2
Environmental protection and
management are implemented on the
basis of:
A. State responsibilities;
B. preservation and sustainability;
C. harmony and balance;
D. Alignment;
E. Benefits; F. Prudence;
G. Justice;
H. Ecoregion;
I. Biodiversity;
J. Polluters pay;
K. Participatory;
L. Local wisdom;
M. Good governance
Pasal 2
Environmental protection and
management are implemented on the
basis of:
A. State responsibilities;
B. conservation and sustainability;
C. harmony and balance;
D. Alignment;
E. Benefits;
F. Prudence;
G. Justice;
H. Ecoregion;
I. Biodiversity;
J. Polluters pay;
K. Participatory;
L. Local wisdom;
M. Good governance
N. Regional autonomy O. Land utilization
Pasal 3
Environmental protection and
Management aims
A. Protecting the territory of the unitary
Republic of Indonesia from pollution
and/or environmental damage
B. Ensure safety, health, and human life
C. Ensure the survival of living creatures
and the sustainability of ecosystems
D. Preserve environmental function
E. Achieving harmony, harmony, and
environmental balance
F. Ensuring the fulfillment of justice of
Pasal 3
Environmental protection and governance
aims
A. Protecting the territory of the unitary
Republic of Indonesia from pollution
and/or environmental damage
B. Ensure safety, health, and human life
C. Ensure the survival of living creatures
and the sustainability of ecosystems
D. Preserve environmental function
E. Achieving harmony, harmony, and
environmental balance
F. Ensuring the fulfillment of justice of
xxxxix
the present and future generations
G. ensure compliance and
H. Protection of the rights of life as a part
of human rights controlling the utilization
of natural resources simply
I. Creating sustainable development
J. Anticipating global issues
the present and future generations
G. ensure compliance and
H. Protection of the rights of life as a part
of human rights controlling the
utilization of natural resources simply
I. Creating sustainable development
J. Anticipating global issues
K. Rehabilitate social due to
environmental pollution
Pasal 4
Environmental protection and
management include:
A. Planning
B. Utilization of
C. Control
D. Maintenance
E. Supervision
F. Law enforcement
G. Justice
Pasal 4
Environmental protection and
management include:
A. Planning
B. Land utilization of State
C. Control
D. Maintenance
E. Supervision
F. Law enforcement
G. Justice
H. Social rehabilitation impacts
environmental pollution
H. Simpulan and advice
1. Simpulan
a. The development of steam power Plant (PLTU) in Batang District, does not reflect
the sense of justice for the community, because many of the farmers who actually
do not want to sell their fields to PT. Bhimasena Power Indonesia. The lives of
farmers that they do have been since hereditary, so it is their skill to have rice
planting. When they do not have rice fields, almost they do not have a job
anymore, but some of the farmers and fishermen are also as workers (helpers) in
the PLTU. The majority of steam power areas are productive land. And when the
land liberation process of the obtained price is different. Since the beginning there
are 30,000 per M, 50,000 per M, 100,000 per M, even until there is a 400,000 per
M. Next when the rice field has been sold to PT Bhimasena then the farmers are
not able to plant anymore. Then the results of land sales are getting out longer, to
fulfill their lives, as well as buying cars, building houses and other necessities. So
that the life they did not prosper, but decreased Kesejahterannya.
xl
b. The negative impact of the development of steam power plant in Batang District,
full of dynamics, since the socialization or construction process. In daily life if we
observe negative impacts that are pleasing to the development process of PLTU,
such as dust, transport density of trucks, cars and buses of PLTU officers to the
location of PLTU. Sound noise development process is also a social impact is
quite widespread, although the increasing increases, the interaction between
citizens around the impact of the pros and the cons in the construction of the
PLTU Batang District, at first very gripping, not mutually greet, even a fellow
brother or neighbor. But now the situation has begun to improve, although there
are still remnants of the dispute in the past. Even people have a celebration
(circumcision, marriage) will not be visited, if there is trouble building PLTU.
While related to the life of farmers who have not had more rice fields are also a lot
of life, because they do not have the skills to work in other professions.
c. Reconstruction of environment management in the development of PLTU based
on the value of justice is reconstructing article 2 into addition (Letter O. Land
Utilization) Article 3 become (letter K. Rehabilitate social due to environmental
pollution) and article 4 UU No. 32 year 2009 become (letter B. Land utilization
and letter H. Social rehabilitation impacts environmental pollution).
2. Suggestion
a. The Government and the House of Representatives need to complete article 2,
article 3, and article 4 of the LAW No. 32 year 2009 on protection and
management of the environment.
b. The government/Decision maker in the development of project Mega Lisrik Steam
Power Plant (PLTU) in Batang district, should observe the aspirations of masrakat
around affected, Rembug village and with religious figures, community leaders
and youth figures should be done before the development of PLTU, so do not
appear pro and cons in the development of PLTU, so the development of PLTU
Justice for affected citizens should be prioritized again for example CSR both in
labor and in other physical forms.
c. The impact of PLTU development, in Batang District, in addition to the physical
impact, such as the number of dust, noise, also transportation equipment bus and
car officers PT. Bhisemasena Power Indonesia. Also the social impact, where the
citizens are expected to become increasingly fluid social relations, so that there is
no tension or animosity among the citizens affected. In other words, public
relations can be back either as before the construction of the steam power Plant
(PLTU) in Batang district. The development of PLTU should prioritize human
health and environmental sustainability. So that the concept of sustainable
development can be felt benefits both for the present generation and future
generations. The absolute sustainable development must be built in the
development of steam power plant in Batang district to the survival of healthy and
dignified human beings. Human beings who are healthy and dignified.
xli
I. Implications of dissertation studies
The development of the steam power Plant (PLTU) in Batang district based on
analysis is an activity that does not reflect a sense of fairness for the affected community
in particular, in this case farmers and residents around the impact. In addition to not
reflecting the sense of fairness also in the stages of development raises a variety of
physical and non physical impacts, including the widespread social impact to the affected
community. Physical impact, it is obvious that agricultural land for planting rice, no
longer exists, although the farmer affected by the farmers get compensated, but the
agricultural land is not able to be suitable for rice planting, only able to plant Palawijo. In
addition, the life of fishermen became less income because the capture was much reduced
after the PLTU. Then the non physical social impact, also still feels even though it is not
like the beginning of the development of PLTU, there is still a lot of disharmony in
society, related parties that support the PLTU project and which rejected it.
In any development, including the development of steam power Plant (PLTU)
should prioritize from the health side, because the development aims to be able to provide
kesejahterahan for humans, not vice versa. If the development makes the community
unprosperous and unhealthy, this should be reviewed in the implementation. Thus the
construction of steam power plants in Batang District should be comprehensive view
from various perspectives, in particular the negative impact should be suppressed as small
as possible, for it needs to be maximized social rehabilitation due to the development
impact of steam power plant. Furthermore, it should prioritize human health,
environmental sustainability, and natural resources, all of which are very beneficial for
human survival. People will be healthy when in a healthy environment, and humans will
be unhealthy when in an unhealthy environment, such as air pollution that pollutes the
surrounding environment.
x
GLOSARIUM
Rekonstruksi : Upaya reorientasi dan reevaluasi serta
penyusunan kembali, nilai-nilai hukum,
sosiologis, politk, sosio filosofis dan sosio
cultural.
Pembangunan : Setiap upaya yang dikerjakan secara terencana
untuk setiap upaya yang dikerjakan secara
terencana untuk melaksanakan perubahan yang
memiliki tujuan utama untuk memperbaiki dan
menaikkan taraf hidup, kesejahterahan dan
kualitas manusia
PLTU : Pembangkit Listrik Tenaga Uap
Berbasis : Menjadikan sesuatu sebagai asas/dasar.
Nilai : Harga, kadar, mutu, sifat-sifat yang penting bagi
kemanusiaan, sifat atau kualitas dari sesuatu yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia baik lahir
maupun batin.
Keadilan : Kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai
sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang.
Nilai Keadilan : Sifat atau kualitas dari kondisi kebenaran ideal
secara moral mengenai sesuatu hal,baik yang
menyangkut benda maupun orang.
DAFTAR TABEL, GAMBAR DAN BAGAN
A. TABEL
TABEL 1 SUB-SUB SISTEM DENGAN FUNGSI PRIMERNYA…67
TABEL 2 PENELITIAN TERDAHULU .............................................. 80
TABEL 3 JUMLAH KECAMATAN DI KAB. BATANG .................. 170
TABEL 4 REKONSTRUKSI UU NO. 32 TAHUN 2009 TENTANG
PENGELOLAAN DAN PERLINDUNGAN
LINGKUNGAN HIDUP ..................................................... 312
B. GAMBAR
GAMBAR 1 PLTU BATU BARA KAB. BATANG JAWA TENGAH..141
GAMBAR 2 LOKASI PLTU KAB. BATANG ........................................ 144
GAMBAR 3 ENERGI MEKANIK MENJADI ENERGI LISTRIK ........ 152
GAMBAR 4 PROSES KERJA PLTU BATU BARA ............................... 156
GAMBAR 5 SIKLUS KERJA PLTU BATU BARA ............................... 158
C. BAGAN
BAGAN
1 KERANGKA PEMIKIRAN ................................................. 73
BAGAN 2 STRUKTUR PROYEK PLTU KAB. BATANG JAWA
TENGAH ............................................................................ 143
xi
Top Related