BAB I
PENDAHULUAN
Undescendcus testis (UDT) atau biasa disebut Kriptorkismus merupakan
kelainan bawaan genitalia yang paling sering ditemukan pada anak laki-laki.
Sepertiga kasus anak-anak dengan UDT adalah bilateral sedangkan dua-
pertiganya adalah unilateral. Insiden UDT terkait erat dengan umur kehamilan,
dan maturasi bayi. Insiden meningkat pada bayi yang lahir prematur dan menurun
pada bayi-bayi yang dilahirkan cukup bulan. Peningkatan umur bayi akan diikuti
dengan penurunan insiden UDT. 1,2
Insidensnya 3 – 6% pada bayi laki-laki yang lahir cukup bulan dan
meningkat menjadi 30% pada bayi prematur. Dua pertiga kasus mengalami UDT
unilateral dan UDT bilateral. Setelah 100 tahun penelitian mengenai UDT, masih
terdapat beberapa aspek yang menjadi kontroversial. Faktor predisposisi
terjadinya UDT adalah prematuritas, berat bayi baru lahir yang rendah, kecil
untuk masa kehamilan, kembar dan pemberian estrogen pada trimester pertama. 1,2
Testis yang belum turun ke kantung skrotum dan masih berada dijalurnya
mungkin terletak di kanalis inguinalis atau di rongga abdomen, yaitu terletak
diantara fossa renalis dan annulus inguinalis internus. Testis ektopik mungkin
berada diperineal, di luar kanalis inguinalis yaitu diantara aponeurosis oblikus
eksternus dan jaringan subkutan, suprapubik, atau di regio femoral.1,3
UDT dapat kembali turun spontan ke testis sekitar 70 – 77% pada usia
bulan. Beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan testis ke dalam skrotum,
antara lain: (1) adanya tarikan dari gubernakulum testis (suatu pemadatan
mesenkim yang kaya akan matriks ekstraseluler) dan refleks dari otot kremaster,
(2) perbedaan pertumbuhan gubernakulum dengan pertumbuhan badan, dan (3)
dorongan dari tekanan intraabdominal. 1,2
Penegakan diagnosis dari UDT selain dari anamnesis dan pemeriksaan
fisik, juga diperlukan tindakan radiologis, salah satunya adalah Ultrasonography
(USG). Dikarenakan hal tersebut, referat mengenai gambaran USG dari
undecenden testis ini disusun. 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Undescended testis (UDT) adalah suatu kondisi dimana testis tidak
dijumpai pada tempat yang semestinya yaitu di dalam skrotum. Dalam hal ini
mungkin testis tidak mampu mencapai skrotum tetapi masih berada pada jalurnya
yang normal, keadaan ini disebut kriptorkismus, atau pada proses desensus, testis
tersesat (keluar) dari jalurnya yang normal, keadaan ini disebut sebagai testis
ektopik. 1,2
2.2. Epidemiologi
UDT merupakan kelainan genitalia kongenital tersering pada anak laki-
laki. Pada bayi prematur sekitar 30,3% dan sekitar 3,4% pada bayi cukup bulan.
Bayi dengan berat lahir <900 gram seluruhnya mengalami UDT, sedangkan
dengan berat lahir <1800 gram sekitar 68,5 % UDT. Dengan bertambahnya umur
menjadi 1 tahun, insidennya menurun menjadi 0,8 %, angka ini hampir sama
dengan populasi dewasa.1,2,6
2
Tabel 1. Data prevalensi UDT berdasarkan umur oleh Scorer dan
Farrington ( 1971)
Dua pertiga kasus mengalami UDT unilateral dan sisanya UDT bilateral.
Dengan bertambahnya usia, testis mengalami desensus secara spontan sekitar 70-
77% biasanya pada usia 3 bulan, sehingga pada saat usia 1 tahun angka kejadian
UDT turun menjadi 1% dibandingkan saat lahir 3,7%. Setelah usia 1 tahun, testis
yang letaknya abnormal jarang dapat mengalami desensus testis secara spontan.1,2
2.3. Embriologi dan Proses Penurunan Testis
Pada minggu keenam umur kehamilan primordial germ cells mengalami
migrasi dari yolk sac ke-genital ridge. Dengan adanya gen SRY (sex determining
region Y), maka akan berkembang menjadi testis pada minggu ke-7. Testis yg
berisi prekursor sel-sel Sertoli besar (yang kelak menjadi tubulus seminiferous dan
sel-sel Leydig kecil) dengan stimulasi FSH yang dihasilkan pituitary mulai aktif
berfungsi sejak minggu ke-8 kehamilan dengan mengeluarkan MIF (Müllerian
Inhibiting Factor), yang menyebabkan involusi ipsilateral dari duktus mullerian.
MIF juga meningkatkan reseptor androgen pada membran sel Leydig. Sel- Pada
minggu ke-10-11 kehamilan, akibat stimulasi chorionic gonadotropin yang
dihasilkan plasenta dan LH dari pituitary sel-sel Leydig akan mensekresi
3
testosteron yang sangat esensial bagi diferensiasi duktus Wolfian menjadi
epididimys, vas deferens, dan vesika seminalis.1,6,7
Penurunan testis dimulai pada sekitar minggu ke-10. Walaupun
mekanismenya belum diketahui secara pasti, namun para ahli sepakat bahwa
terdapat beberapa faktor yang berperan penting, yakni: faktor endokrin, mekanik
(anatomik), dan neural. Terjadi dalam 2 fase yang dimulai sekitar minggu ke-10
kehamilan segera setelah terjadi diferensiasi seksual. Fase transabdominal dan
fase inguinoscrotal. Keduanya terjadi dibawah kontrol hormonal yang berbeda. 1,6,7
Fase transabdominal terjadi antara minggu ke-10 dan 15 kehamilan, di
mana testis mengalami penurunan dari urogenital ridge ke regio inguinal. Hal ini
terjadi karena adanya regresi ligamentumsuspensorium cranialis dibawah
pengaruh androgen (testosteron), disertai pemendekan gubernaculum (ligamen
yang melekatkan bagian inferior testis ke-segmen bawah skrotum) di bawah
pengaruh MIF. Dengan perkembangan yang cepat dari regio abdominopelvic
maka testis akan terbawa turun ke daerah inguinal anterior. Pada bulan ke-3
kehamilan terbentuk processus vaginalis yang secara bertahap berkembang ke-
arah skrotum. Selanjutnya fase ini akan menjadi tidak aktif sampai bulan ke-7
kehamilan. 1,6,7
4
Gambar 1. Skema penurunan testis menurut Hutson.
Keterangan gambar : Antaramingguke- 8–15 gubernaculum (G)
berkembangpadalaki-laki, mendekatkan testis (T) ke-inguinal. Ligamentum
suspensorium cranialis (CSL) mengalami regresi. Migrasi gubernaculum ke-
skrotum terjadi pada minggu ke- 28 35. B: Peranan gubernaculum dan CSL pada
diferensiasi seksual rodent. Pada jantan CSL mengalami regresi dan
gubernaculum mengalami perkembangan; sebaliknya pada betina CSL menetap,
dan gubernaculum menipis dan memanjang. (Sumber :Hutson JM, Hasthorpe S,
Heys CF. Anatomical and Functional of Testicular Descent and Cryptorchidism.
Endocrine Reviews 1997; 18 (2): 259-75)
Fase inguinoscrotal terjadi mulai bulan ke-7 atau minggu ke-28 sampai
dengan minggu ke-35 kehamilan.Testis mengalami penurunan dari regio inguinal
ke-dalam skrotum dibawah pengaruh hormon androgen. Mekanismenya belum
diketahui secara pasti, namun diduga melalui mediasi pengeluaran calcitonin
gene-related peptide (CGRP). Androgen akan merangsang nervus genitofemoral
5
untuk mengeluarkan CGRP yang menyebabkan kontraksi ritmis dari
gubernaculum. Faktor mekanik yang turut berperan pada fase ini adalah tekanan
abdominal yang meningkat yang menyebabkan keluarnya testis dari cavum
abdomen, di samping itu tekanan abdomen akan menyebabkan terbentuknya
ujung dari processus vaginalis melalui canalis inguinalis menuju skrotum. Proses
penurunan testis ini masih bisa berlangsung sampai bayi usia 9-12 bulan. 1,6,7
2.4. Etiologi
Mekanisme terjadinya UDT berhubungan dengan banyak faktor
(multifaktorial) yaitu (1) Perbedaaan pertumbuhan relatif tubuh terhadap
funikulus spermatikus atau gubernakulum, (2) peningkatan tekanan abdomen, (3)
faktor hormonal: testosteron, MIS, and extrinsic estrogen, (4) Perkembangan
epididimis, (5) Perlekatan gubernakular (6) Genito femoral nerve/calcitonin gene-
related peptide (CGRP), (7) Sekunder pasca-operasi inguinal yang menyebabkan
jaringan ikat.1,2,3
UDT juga dapat terjadi karena adanya kelainan pada (1) gubernakulum
testis, (2) kelainan intrinsik testis, atau (3) defisiensi hormon gonadotropin yang
memacu proses desensus testis. Beberapa penelitian telah mengidentifikasi
kelompok bayi baru lahir yang beresiko mengalami UDT untuk mencari riwayat
alami dan faktor-faktor yang mempengaruhi desensus setelah lahir. Penelitian ini
menemukan bahwa UDT secara signifikan lebih banyak ditemukan pada bayi
prematur, kecil untuk masa kehamilan, berat bayi baru lahir yang rendah, dan
kembar.1,2
UDT dapat merupakan kelainan tunggal yang berdiri sendiri (isolated
anomaly), ataupun bersamaan dengan kelainan kromosom, endokrin, intersex, dan
kelainan bawaan lainnya. Bila disertai dengan kelainan bawaan lain seperti
hipospadia kemungkinan lebih tinggi disertai dengan kelainan kromosom (sekitar
12 – 25 %).1,6
Terdapat faktor keturunan terjadinya UDT pada kasus-kasus yang isolated,
di samping itu testis sebelah kanan lebih sering mengalami UDT. Sekitar 4,0 %
anak-anak UDT mempunyai ayah yang UDT, dan 6,2–9,8% mempunyai saudarala
6
ki-laki UDT; atau secara umum terdapat risiko 3,6 kali terjadi UDT pada laki-laki
yang mempunyai anggota keluarga UDT dibanding dengan populasi umum.1,2,6
2.5. Klasifikasi
UDT dikelompokkanmenjadi 3 tipe:
1. UDT sesungguhnya (true undescended): testis mengalami penurunan parsial
melalui jalur yang normal, tetapi terhenti. Dibedakan menjadi teraba
(palpable) dan tidak teraba (impalpable).
2. Testis ektopik: testis mengalami penurunan di luar jalur penurunan yang
normal.
3. Testis retractile: testis dapat diraba/dibawa kedasar skrotum tetapi akibat
refleks kremaster yang berlebihan dapat kembali segera kekanalis inguinalis,
bukan termasuk UDT yang sebenarnya.
Pembagian lain membedakan true UDT menurut lokasi terhentinya testis,
menjadi: abdominal, inguinal, dan suprascrotal (gambar 2). Gliding testis atau
sliding testis adalah istilah yang dipakai pada keadaan UDT dimana testis dapat
dimanipulasi hingga bagian atas skrotum, tetapi segera kembali begitu tarikan
dilepaskan.1,2,6
Gliding testis harus dibedakan dengan testis yang retraktil, gliding testis
terajadi akibat tidak adanya gubernaculum attachment, dan mempunyai processus
vaginalis yang lebar sehingga testis sangat mobile dan meningkatkan risiko
terjadinya torsi. Dengan melakukan overstrecht selama 1 menit pada saat
pemeriksaan fisik (untuk melumpuhkan refleks cremaster), testis yang retraktil
akan menetap di dalam skrotum, sedangkan gliding testis akan tetap kembali ke-
kanalis inguinalis.1,2,6
7
Gambar 2. Kemungkinan lokasi testis pada true UDT dan ektopik
testis.
2.6. Patogenesis dan Patofisiologi
Suhu di dalam rongga abdomen kurang lebih 1-20C lebih tinggi daripada
suhu di dalam skrotum, sehingga testis abdominal selalu mendapatkan suhu yang
lebih tinggi daripada testis normal; hal ini mengakibatkan kerusakan sel-sel
germinal testis. 1,2
Padausia 2 tahun, sebanyak 1/5 bagiandarisel-sel germinal testis
telahmengalamikerusakan, sedangkanpadausia 3 tahunhanya 1/3 sel-sel germinal
yang masih normal. Kerusakan ini makin lama makin progresif dan akhirnya testis
menjadi mengecil. Karena sel-sel Leydig sebagai penghasil hormon androgen
tidak ikut rusak, maka potensi potensi seksual tidak mengalami gangguan. Akibat
lain yang ditimbulkan dari letak testis yang tidak berada di skrotum adalah mudah
terpluntir (torsio), mudah terkena trauma, dan lebih mudah mengalami degenerasi
maligna.1-3
2.7. Diagnosis
2.7.1. Anamnesis
8
Pada anamnesis, tentukan apakah testis pernah teraba di skrotum, riwayat
operasi daerah inguinal, riwayat prenatal: terapi hormonal pada ibu untuk
reproduksi, kehamilan kembar, prematuritas, riwayat keluarga: UDT, hipospadia,
infertilitas, intersex, pubertas prekoks. Pada anamnesis juga, yang harus digali
adalah tentang prematuritas penderita (30% bayi prematur mengalami UDT),
penggunaan obat-obatan saat ibu hamil (estrogen), riwayat operasi inguinal. Harus
dipastikan juga apakah sebelumnya testis pernah teraba di skrotum pada saat lahir
atau tahun pertama kehidupan (testis retractile akibat refleks cremaster yang
berlebihan sering terjadi pada umur 4-6 tahun). Perlu juga digali riwayat
perkembangan mental anak, dan pada anak yang lebih besar bisa ditanyakan ada
tidaknya gangguan penciuman (biasanya penderita tidak menyadari). Riwayat
keluarga tentang UDT, infertilitas, kelainan bawaan genitalia, dan kematian
neonatal. 1,2
Inspeksi pada regio skrotum terlihat hipoplasia kulit skrotum karena tidak
pernah ditempati oleh testis. Pada palpasi, testis tidak teraba di kantung skrotum,
melainkan berada di inguinal atau di tempat lain. Pada saat melakukan palpasi
untuk mencari keberadaan testis, jari tangan pemeriksa harus dalam keadaan
hangat.1,2
Jika kedua buah testis tidak diketahui tempatnya, harus dibedakan dengan
anorkismus bilateral (tidak mempunyai testis). Untuk itu perlu dilakukan
pemeriksaan hormonal antara lain hormon testosteron, kemudian dilakukan uji
dengan pemberian hormon hCG (human chorionic gonadotropin). 1,2
2.7.2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan sebaiknya dilakukan di ruangan yang tenang dan hangat.
Pemeriksaan secara umum harus dilakukan dengan mencari adanya tanda-tanda
sindrom tertentu, dismorfik, hipospadia, atau genitalia ambigua. 1,2,6
Pemeriksaan testis sebaiknya dilakukan pada posisi terlentang
dengan”frog leg position” dan jongkok. Dengan 2 tangan yang hangat dan akan
lebih baik bila menggunakan jelly atau sabun, dimulaidari SIAS menyusuri
kanalis inguinalis kearah medial dan skrotum. Bila teraba testis harus dicoba
9
untuk diarahkan keskrotum, dengan kombinasi ”menyapu” dan ”menarik”
terkadang testis dapat didorong kedalam skrotum. Dengan mempertahankan posisi
testis didalam skrotum selama 1 menit, otot-otot cremaster diharapkan akan
mengalami”fatigue”; bila testis dapat bertahan di dalam skrotum, menunjukkan
testis yang retractile sedangkan pada UDT akan segera kembali begitu testis
dilepas. Tentukanlokasi, ukuran dan tekstur testis.1,2,6
Testis yang atropi atau vanishing testis dapat dijumpai pada jalur
penurunan yang normal. Kemungkinan etiologinya adalah iskemia masa neonatal
akibat torsi.Testis kontralateralnyabiasanyamengalamihipertrofi.Lokasi UDT
tersering terdapat pada kanalis inguinalis (72%), diikuti supraskrotal (20%), dan
intra-abdomen (8%).Sehingga pemeriksaan fisik yang baik dapat menentukan
lokasi UDT tersebut. 1,2,6
Gambar 3: Teknik pemeriksaan testis. A: Menyusuri kanalis inguinalis
dimulai dari SIAS. B&C: Bila teraba testis, ‘menggiring‘ testis
dengan ujung-ujung jari. D: Memanipulasi kedalam skrotum.
Adanya UDT bilateral yang tidak teraba gonad/testis apalagi disertai
hipospadia dan virilisasi, harus dipikirkan kemungkinan intersex, individu dengan
kromosom XX yang mengalami female pseudo-hermaphroditism yang berat; atau
Anorchia kongenital sebagai akibat torsi testis in utero.3,13,15 Sedangkan simple
UDT merupakan hal yang seringkali dijumpai terutama pada bayi yang prematur,
10
akan tetapi masih dapat terjadi penurunan testis dalam tahun pertama
kehidupannya. 1,2,6
2.7.3. PemeriksaanLaboratorium
Pada anak dengan UDT unilateral tidak memerlukan pemeriksaan
laboratorium lebih lanjut. Sedangkan pada UDT bilateral tidak teraba testis
dengan disertai hipospadia dan virilisasi, diperlukan pemeriksaan analisis
kromosom dan hormonal (yang terpenting adalah 17 hydroxyprogesterone) untuk
menyingkirkan kemungkinan intersex.1,2,6
Setelah menyingkirkan kemungkinan intersex, pada penderita UDT
bilateral dengan usia< 3 bulan dan tidak teraba testis, pemeriksaan LH, FSH, dan
testosteron akan dapat membantu menentukan apakah terdapat testis atau tidak.
Bila umur telah mencapai di atas 3 bulan pemeriksaan hormonal tersebut harus
dilakukan dengan melakukan stimulasi test menggunakan hCG (human chorionic
gonadotropin hormone). Ketiadaan peningkatan kadar testosteron disertai
peningkatan LH/FSH setelah dilakukan stimulasi mengindikasikan anorchia.1,2,6
Prinsip stimulasi test dengan hCG atau hCG test adalah mengukur kadar
hormon testosteron pada keadaan basal dan 24-48 jam setelah stimulasi. Respon
testosteron normal pada hCG test sangat tergantung umur penderita. Pada bayi,
respon normal setelah hCHG test bervariasi antara 2-10x bahkan 20x. Pada masa
kanak-kanak, peningkatannya sekitar 5-10x. Sedangkan pada masa pubertas,
dengan meningkatnya kadar testosteron basal, maka peningkatan setelah stimulasi
hCG hanya sekitar 2-3x. 1,2,6
2.7.4. Pemeriksaan Radiologi
USG hanya dapat membantu menentukan lokasi testis terutama di daerah
inguinal, di mana hal ini akan mudah sekali dilakukan perabaan dengan tangan.3
Pada penelitian terhadap 66 kasus rujukan dengan UDT tidak teraba testis, USG
hanya dapat mendeteksi 37,5% (12 dari 32) testis inguinal; dan tidak dapat
mendeteksi testis intra-abdomen.17 Hal ini tentunya sangat tergantung dari
pengalaman dan kwalitas alat yang digunakan.1,6,9
11
Gambar 4. Hasil USG dari Undecendent testis
Selain itu juga, penyakit UDT ini dapat didedeksi juga pada saat
mengandung bayi tersebut, menggunakan USG, dimana pada gambaran USG
tersebut akan ditemukan testis yang berada tidak pada sesuai tempatnya
sebagaimana telah dijelaskan oleh teori penurunan testis.
Gambar 5. Undecendent testis pada janin yang dikandung
12
Gambar 6. Gambaran lain dari Undecendent Testis
CT scan dan MRI mempunyai ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan
USG terutama diperuntukkan testis intra-abdomen (tak teraba testis). MRI
mempunyai sensitifitas yang lebih baik untuk digunakan pada anak-anak yang
lebih besar (belasan tahun).3,4,5 MRI juga dapat mendeteksi kecurigaan keganasan
testis.5 Baik USG, CT scan maupun MRI tidak dapat dipakai untuk mendeteksi
vanishing testis atau pun anorchia.1,6,9
Gambar 7. CT scan dari UDT
13
Gambar 8. MRI dari UDT
Dengan ditemukannya metode-metode yang non-invasif maka penggunaan
angiografi (venografi) untuk mendeteksi testis yang tidak teraba menjadi semakin
berkurang. Metode ini paling baik digunakan untuk menentukan vanishing testis
ataupun anorchia. Dengan metode ini akan dapat dievaluasi pleksus pampini
formis, parenkim testis, dan blind-ending dari vena testis (pada anorchia).5
Kelemahannya selain infasif, juga terbatas pada umur anak-anak yang lebih besar
mengingat kecilnya ukuran vena-vena gonad. 1,6,9
2.7.5. Laparoskopi
Metode laparoskopi pertama kali digunakan untuk mendeteksi UDT tidak
teraba testis pada tahun 1976. Metode ini merupakan metode infasif yang cukup
aman oleh ahli yang berpengalaman. Sebaiknya dilakukan pada anak yang lebih
besar dan setelah pemeriksaan lain tidak dapat mendeteksi adanya testis di
inguinal. 1,6
Beberapa hal yang dapat dievaluasi selama laparoskop iadalah: kondisi
cincin inguinalis interna, processus vaginalis (patent ataunon-patent), testis dan
vaskularisasinya serta struktur wolfian-nya.6 Tiga hal yang sering dijumpai saat
laparoskopi adalah: blind-ending pembuluh darah testis yang mengindikasikan
14
anorchia (44%), testis intra-abdomen (36%), dan struktur cord (vasa danvas
deferens) yang keluar kedalam cincin inguinalis interna. 1,6
2.8. Diagnosis Banding
Seringkali dijumpai testis yang biasanya berada di kantung skrotum tiba-
tiba berada di daerah inguinal dan pada keadaan lain kembali ke tempat semula.
Keadaan ini terjadi karena reflek otot kremaster yang terlalu kuat akibat cuaca
dingin, atau setelah melakukan aktifitas fisik. Hal ini disebut sebagai testis
retraktil atau kriptorkismus fisiologis dan kelainan ini tidak perlu diobati. Selain
itu UDT perlu dibedakan dengan anorkismus, yaitu testis memang tidak ada. Hal
ini bias terjadi secara congenital memang tidak terbentuk testis, atau testis yang
mengalami atrofi akibat torsio in utero atau torsio pada saat neonatus.1,2
2.9. Penatalaksanaan
Tujuan terapi UDT yang utama dan dianut hingga saat ini adalah
memperkecil risiko terjadinya infertilitas dan keganasan dengan melakukan
reposisi testis kedalam skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal
ataupun dengan cara pembedahan (orchiopexy).1,6
Penatalaksanaan yang terlambat pada UDT akan menimbulkan efek pada
testis di kemudian hari. Dengan asumsi bahwa jika dibiarkan testis tidak dapat
turun sendiri setelah usia 1 tahun, sedangkan setelah usia 2 tahun terjadi
kerusakan testis yang cukup bermakna, maka saat yang tepat untuk melakukan
terapi adalah pada usia 1 tahun. Pada prinsipnya testis yang tidak berada di
skrotum harus diturunkan ke tempatnya, baik dengan cara medikamentosa
maupun pembedahan. 1,6
UDT meningkatkan risiko infertilitas dan berhubungan dengan risiko
tumor sel germinal yang meningkat 3-10 kali. Atrofi testis terjadi pada usia 5-7
tahun, akan tetapi perubahan morfologi dimulai pada usia 1-2 tahun. Risiko
kerusakan histologi testis juga berhubungan dengan letak abnormal testis. Pada
awal pubertas, lebih dari 90% testis kehilangan sel germinalnya pada kasus
15
intraabdomen, sedangkan pada kasus testis inguinal dan preskrotal, penurunan sel
geminal mencapai 41% dan 20%.1,2
Gambar 9.Penatalaksanaankriptorkismus yang didapat.
Gambar 10. Penatalaksanaan kriptorkismus Kongenital.
2.9.1. Terapi Hormonal
Terapi hormonal primer lebih banyak digunakan di Eropa. Hormon yang
diberikan adalah hCG, gonadotropinreleasinghormone (GnRH) atau LH-16
releasing hormone (LHRH). Terapi hormonal meningkatkan produksi testosteron
dengan menstimulasi berbagai tingkat jalur hipotalamus-pituitary-gonadal. Terapi
ini berdasarkan observasi bahwa proses turunnya testis berhubungan dengan
androgen. Tingkat testosteron lebih tinggi bila diberikan hCG dibandingkan
GnRH. Semakin rendah letak testis, semakin besar kemungkinan keberhasilan
terapi hormonal.1,2,5
International Health Foundation menyarankan dosis hCG sebanyak 250
IU/ kali pada bayi, 500 IU pada anak sampai usia 6 tahun dan 1000 IU pada anak
lebih dari 6 tahun. Terapi diberikan 2 kali seminggu selama 5 minggu. Angka
keberhasilannya 6 – 55%. Secara keseluruhan, terapi hormon efektif pada
beberapa kelompok kasus, yaitu testis yang terletak di leher skrotum atau UDT
bilateral. Efek samping adalah peningkatan rugae skrotum, pigmentasi, rambut
pubis dan pertumbuhan penis. Pemberian dosis lebih dari 15000 IU dapat
menginduksi fusi epiphyseal plate dan mengurangi pertumbuhan somatik.1,6
Pemberian hormonal pada kriptorkismus banyak memberikan hasil
terutama pada kelainan bilateral, sedangkan pada kelainan unilateral hasilnya
masih belum memuaskan. Obat yang sering dipergunakan adalah hormone hCG
yang disemprotkan intranasal.5
2.9.2. Pembedahan
Apabila hormonal telah gagal, terapi standar pembedahan untuk kasus
UDT adalah orchiopexy. Keputusan untuk melakukan orchiopexy harus
mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain teknis, risiko anastesi, psikologis
anak, dan risiko bila operasi tersebut ditunda.
Operasi pada kriptorkismus adalah orchiopexy. Tujuan operasi pada
kriptorkismus adalah: (1) mempertahankan fertilitas, (2) mencegah timbulnya
degenerasi maligna, (3) mencegah kemungkinan terjadinya torsio testis, (4)
melakukan koreksi hernia, dan (5) secara psikologis mencegah terjadinya rasa
rendah diri karena tidak mempunyai testis. Operasi yang dikerjakan adalah
orkidopeksi yaitu meletakkan testis ke dalam skrotum dengan melakukan fiksasi
pada kantung sub dartos.1
17
Tabel. 2 Jenis Tindakan Pembedahan pada Kelaianan UDT dan Tingkat
Keberhasilannya
Gambar 11. Orchiopexy.
Keterangan gambar:
Orchiopexy digunakan untuk memperbaiki UDT pada anak-anak. Satu insisi
dibuat pada abdomen yang merupakan lokasi UDT, dan insisi lain dibuat pada
skrotum (A). Testis dipisahkan dari jaringan sekitarnya (B) dan dikeluarkan dari
18
insisi abdomen menempel pada spermatic cord (C). Testis kemudian dimasukkan
turun ke dalam skrotum (D) dan dijahit (E).
Komplikasi Orchiopexy
Beberapa komplikasi yang dapat timbul akibat tindakan pembedahan
Orchiopexy antara lain 1,6 :
1. Posisi testis yang tidak baik karena diseksi retroperitoneal yang tidak komplit
(10% kasus)
2. Atrofi testis karena devaskularisasi saat membuka funikulus (5% kasus)
3. Trauma pada vas deferens ( 1–2% kasus)
4. Pasca-operasitorsio
5. Epididimoorkhitis
6. Pembengkakanskrotum
2.10. Komplikasi UDT
Telah lama diketahui bahwa komplikasi utama yang dapat terjadi pada
UDT adalah keganasan testis dan infertilitas akibat degenerasi testis Di samping
itu disebut juga terjadinya torsi testis, dan hernia inguinalis. 1,6
A. Risiko Keganasan
Teradapat hubungan yang erat antara UDT dan keganasan testis. Insiden
keganasan testis sebesar 1-6 pada setiap 500 laki-laki UDT di Amerika. Risiko
terjadinya keganasan testis yang tidak turun pada anak dengan UDT dilaporkan
berkisar 10-20 kali dibandingkan pada anak dengan testis normal. Makin tinggi
lokasi UDT makin tinggi risiko keganasannya, testis abdominal mempunyai risiko
menjadi ganas 4x lebih besar dibanding testis inguinal. 1,6,9
Orchiopexi sendiri tidak akan mengurangi risiko terjadinya keganasan,
tetapi akan lebih mudah melakukan deteksi dini keganasan pada penderita yang
telah dilakukan orchiopexy. 1,6,9
19
B. Infertilitas
Penderita UDT bilateral mengalami penurunan fertilitas yang lebih berat
dibandingkan penderita UDT unilateral, dan apalagi dibandingkan dengan
populasi normal. Penderita UDT bilateral mempunyai risiko infertilitas 6x lebih
besar dibandingkan populasi normal (38% infertil pada UDT bilateral
dibandingkan 6% infertil pada populasi normal), sedangkan pada UDT unilateral
berisiko hanya 2x lebih besar. 1,6,9
Komplikasi infertilitas ini berkaitan dengan terjadinya degenerasi pada
UDT. Biopsi pada anak-anak dan binatang coba UDT menunjukkan adanya
penurunan volume testis, jumlah germ cells dan spermatogonia dibandingkan
dengan testis yang normal. Biopsi testis pada anak dengan UDT unilateral yang
dilakukan sebelum umur 1 tahun menunjukkan gambaran yang tidak berbeda
bermakna dengan testis yang normal. 1,6,9
Perubahan gambaran histologis yang bermakna mulai tampak setelah umur
1 tahun, semakin memburuk dengan bertambahnya umur. Tidak seperti risiko
keganasan, penurunan testis lebih dini akan mencegah proses degenerasi lebih
lanjut. 1,6,9
20
BAB III
PENUTUP
Undescended testis (UDT) adalah suatu kondisi dimana testis tidak
dijumpai pada tempat yang semestinya yaitu di dalam skrotum.
UDT juga dapat terjadi karena adanya kelainan pada (1) gubernakulum
testis, (2) kelainan intrinsik testis, atau (3) defisiensi hormon gonadotropin yang
memacu proses desensus testis.
Penegakkan diagnosis UDT harus dapat dilakukan lebih awal sehingga
penatalaksanaan baik hormonal atau pembedahan dapat dilakukan lebih awal.
Dengan penatalaksanaan lebih awal, diharapkan terjadi penurunan risiko yang
terjadi pada testis terutama risiko infertilitas. USG sangat berperan terhadap
proses penegakan diagnosis, dikarenakan kita dapat mengetahui dimana lokasi
testis. Dengan ditentukanya lokasi dari testis tersebut, proses pembedahan akan
dipermudah.
Esensi terapi rasional yang dianut hingga saat ini adalah memperkecil
terjadinya risiko komplikasi dengan melakukan reposisi testis kedalam skrotum
baik dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara pembedahan
(orchiopexy).
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Purnomo BB. 2003. Dasar-dasar urologi. Edisi 2. Jakarta: Sagung Seto.
Hal.137-40.
2. Schneck FX, Bellinger MF. 2000. Abnormalities of the testes and scrotum
and their surgical management. Dalam: Walsh PC. Campbell‘sUrology Vol 1.
8th edition. Philadelphia: WB Saunders Company.
3. Tanagho EA, Nguyen HT. 2000. Embriology of the Genitourinary System.
Dalam: Tanagho EA, McAninch JW. Smith’s General Urology. Edisi 17.
California: The McGraw Hill companies. Hal.23-45.
4. Docimo, S. G., R. I. Silver, and W. Cromie. 2000. The Undescended Testicle:
Diagnosis and Management.American Family Physician, Vol. 62. Hal. 2037–
2044, 2047–2048.
5. Batubara JRL. Terapi hormonal pada kriptorkismus.Disampaikan pada
Simposium Sehari Tatalaksana Optimal Kriptorkismus, Jakarta, 13 Agustus,
1994.
6. Kolon TF. Cryptorchidism. 2002. Diunduh dari
http://www.emedicine.com/med/topic2707.html. ( diakses tanggal 10 April
2016)
7. Sadler. Embriologi Kedokteran LANGMAN. Edisi ke-7. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2000. Hal.280-310.
8. Dogra VS, Mojibian H. Cryptorchidism. In:
http://www.emedicine.com/radio/topic201.htm ( diakses tanggal 10 April
2016)
22