BAB 1
PENDAHULUAN
Trakeostomi merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengatasi
pasien dengan ventilasi yang tidak adekuat dan obstruksi jalan pernafasan bagian
atas. Insisi yang dilakukan pada trakea disebut dengan trakeotomi sedangkan
tindakan yang membuat stoma selanjutnya diikuti dengan pemasangan kanul
trakea agar udara dapat masuk ke dalam paru-paru dengan menggunakan jalan
pintas jalan nafas bagian atas disebut dengan trakeostomi.1
Menurut letak insisinya, trakeostomi dibedakan letak yang tinggi dan letak
yang rendah dan batas letak ini adalah cincin trakea ketiga. Jika dibagi menurut
waktu dilakukannya tindakan, maka trakeostomi dibagi kepada trakeostomi
darurat dan segera dengan persiapan sarana sangat kurang dan trakeostomi elektif
dengan persiapan sarana cukup yang dapat dilakukan secara baik. Perbedaan lain
dari kedua jenis trakeostomi di atas adalah dari jenis insisinya. Pada trakeostomi
darurat, insisi yang dilakukan adalah insisi vertikal yang memberikan keuntungan
berupa pembukaan lapangan operasi yang dibutuhkan bagi kontrol jalan nafas
secara cepat, sedangkan pada trakeostomi elektif insisi yang dilakukan adalah
insisi horizontal karena lebih menguntungkan secara kosmetik.1,2,3
Gangguan yang mengindikasikan perlunya trakeostomi diantaranya untuk
mengatasi obstruksi laring yang menghambat jalan nafas, mengurangi ruang rugi
(dead air space) disaluran nafas atas seperti daerah rongga mulut, sekitar lidah dan
faring, mempermudah pengisapan sekret dari bronkus pada pasien yang tidak
dapat mengeluarkan sekret secara fisiologik, misalnya pada pasien dalam keadaan
koma, untuk memasang alat bantu nafas (respirator), untuk mengambil benda
asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas untuk bronkoskopi.
Komplikasi trakeostomi dibagi atas tiga yaitu komplikasi segera, menengah, dan
lambat. ?????
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Trakea
Trakea merupakan tabung berongga yang disokong oleh cincin kartilago.
Trakea berawal dari kartilago krikoid yang berbentuk cincin stempel dan meluas
ke anterior pada esofagus, turun ke dalam thoraks di mana ia membelah menjadi
dua bronkus utama pada karina. Pembuluh darah besar pada leher berjalan sejajar
dengan trakea di sebelah lateral dan terbungkus dalam selubung karotis. Kelenjar
tiroid terletak di atas trakea di sebelah depan dan lateral. Ismuth melintas trakea di
sebelah anterior, biasanya setinggi cincin trakea kedua hingga kelima. Saraf
laringeus rekuren terletak pada sulkus trakeoesofagus. Di bawah jaringan
subkutan dan menutupi trakea di bagian depan adalah otot-otot supra sternal yang
melekat pada kartilago tiroid dan hyoid. 1,2,3
Trakea dari pinggir ke bawah cartilago cricoidea setinggi vertebra
cervicalis ke-6. Trakea merupakan tabung yang terdiri dari jaringan ikat dan otot
polos, dengan disokong oleh 15 – 20 kartilago berbentuk huruf “C”. Kartilago
membentuk sisi anterior dan lateral. Berfungsi melindungi trakea dan menjaga
terbukanya jalan udara. Dinding posterior tidak memiliki kartilago. Esofagus
terletak langsung pada dinding posterior yang tidak memiliki kartilago. Trakea
dilapisi oleh epitel kolumnar bersilia yang memiliki banyak sel Goblet.2,3,4
Dindingnya dibangun oleh sebaris tulang rawan yang bentuknya serupa
dengan huruf “C” dengan ujung-ujungnya yang terbuka lebar menuju ke
belakang, cincin-cincin trakea ini saling dihubungkan oleh suatu selaput elastis
ligamentum annularium trakealis. Antara kedua ujung posterior yang terbuka
terdapat dinding selaput. Didaerah leher kita dapat menemukan ventral dan trakea
yaitu Isthmus glandula tiroid setinggi cincin-cincin trakea ke-2, ke-3, ke-4
kemudian dibawahnya adalah valvula tirodea inferior. Didalam toraks, trakea
mempunyai hubungan dengan pembuluh-pembuluh besar didalam mediastinum
superior. Lateral sebelah kanan dari trakea tampak nervus vagus dexter.3,4
Trakea terdiri dari 9 kartilago yang terhubung satu sama lain dengan otot
dan ligamen, 6 kartilago berpasangan yang terletak pada 2 pilar antara kartilago
krikoid dan tiroid, 3 kartilago tidak berpasangan.3,4,5
Kartilago tiroid : kartilago terbesar dan terletak paling superior, sering
disebut “Adam’s apple”.
Kartilago krikoid : kartilago paling inferior yang tidak berpasangan, yang
membentuk dasar laring.
Epiglotis : kartilago ketiga yang tidak berpasangan. Terdiri dari kartilago
elastis daripada hialin. Selama menelan epiglotis menutup pembukaan
laring dan mencegah masuknya berbagai materi ke dalam laring.
Kartilago aritenoid : terbesar dan terletak paling inferior.
Kartilago kornikulatum : terletak ditengah
Kartilago kuneiformis : terletak paling superior dan terkecil.
2.2 Sumbatan Laring
Sumbatan laring dapat disebabkan oleh : 4,5
Radang akut dan radang kronik.
Benda asing.
Trauma akibat kecelakaan, perkelahian, percobaan bunuh diri dengan
senjata tajam.
Trauma akibat tindakan medik.
Tumor laring, baik berupa tumor jinak atau pun tumor ganas.
Kelumpuhan nervus rekuren bilateral.
Gejala dan tanda sumbatan laring ialah:
Suara serak (disfoni) sampai afoni.
Sesak napas (dispnea).
Stridor (napas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi.
Stridor merupakan suara nafas bernada rendah saat insipirasi yang
disebabkan oleh udara yang melewati saluran nafas yang menyempit
pada saluran nafas atas yang biasanya memiliki saluran yang besar.
Sering terjadi akibat sumbatan pada laring dan trakea bagian atas.3,5
Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal,
epigastrium, supraklavikula, dan interkostal. Cekungan ini terjadi
sebagai upaya dari otot-otot pernapasan untuk mendapatkan oksigen
yang adekuat.
Gelisah karena pasien haus udara (air hunger).
Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia.
Jackson membagi sumbatan laring yang progresif dalam 4 stadium dengan tanda
dan gejala: 3,4
Stadium 1 : Cekungan tampak waktu inspirasi di suprasternal, stridor pada waktu
inspirasi dan pasien masih tenang.
Stadium 2 : Cekungan pada waktu inspirasi di daerah suprasternal makin dalam,
ditambah lagi dengan timbulnya cekungan di daerah epigastrium.
Pasien sudah mulai gelisah. Stridor terdengar waktu inspirasi.
Stadium 3 : Cekungan selain di daerah suprasternal, epigastrium juga terdapat di
infraklavikula dan sela-sela iga, pasien sangat gelisah dan dispnea.
Stridor terdengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi.
Stadium 4: Cekungan-cekungan di atas bertambah jelas, pasien sangat gelisah,
tampak sangat ketakutan dan sianosis. Jika keadaan ini berlangsung
terus maka pasien akan kehabisan tenaga, pusat pernapasanparalitik karena
hiperkapnea. Pasien lemah dan tertidur, akhirnya meninggal
karena asfiksia.
2.3 Penanggulangan Sumbatan Laring
Prinsip penanggulangan sumbatan laring ialah menghilangkan
penyebab sumbatan dengan cepat atau membuat jalan napas baru yang dapat
menjamin ventilasi. Dalam penanggulangan sumbatan laring pada prinsipnya
diusahakan supaya jalan napas lancar kembali.4,6
Tindakan konservatif dengan pemberian anti inflamasi, anti alergi,
antibiotika, serta pemberian oksigen inttermitten dilakukan pada sumbatan
laring stadium 1 yang disebabkan peradangan. Tindakan operatif atau
resursitasi untuk membebaskan saluran napas ini dapat dengan cara
memasukkan pipa endotrakea melalui mulut (intubasi orotrakea) atau melalui
hidung (intubasi nasotrakea), membuat trakeostoma atau melakukan
krikotirotomi. Intubasi endotrakea dan trakeostomi dilakukan pada pasien
dengan sumbatan laring stadium 2 dan 3, sedangkan krikotirotomi dilakukan
pada sumbatan laring stadium 4. Tindakan operatif atau resusitasi dapat
dilakukan berdasar análisis gas darah (pemeriksaan Astrup).4,6,7,8
2.4 Definisi Trakeostomi
Trakeostomi merupakan tindakan bedah trakea untuk membuat
trakeostoma. Trakeotomi dapat menyelamatkan jiwa penderita yang
mengalami obstruksi jalan napas di atas trakea dan tidak dapat diatasi dengan
cara lain, misalnya intubasi. Trakeostomi juga dilakukanpada penderita yang
memerlukan bantuan pernapasan buatan untuk waktu lama dan yang
memerlukan bantuan pernapasan buatan untuk waktu lama dan yang
memerlukan pertolongan pembersihan jalan nafas secara memadai.
Trakeostoma merupakan fistel antara trakea dankulit leher yang
dipertahankan dengan kanul.1,6,7,8
Trakeostomi merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengatasi
pasien dengan ventilasi yang tidak adekuat dan obstruksi jalan pernafasan
bagian atas. Insisi yang dilakukan pada trakea disebut dengantrakeotomi
sedangkan tindakan yang membuat stoma selanjutnya diikuti dengan
pemasangan kanul trakea agar udara dapat masuk ke dalam paru-paru dengan
menggunakan jalan pintas jalan nafas bagianatas disebut dengan trakeostomi
(Robert, 1997).Istilah trakeotomi dan trakeostomi dengan maksud membuat
hubungan antara leher bagian anterior dengan lumen trakea, sering saling
tertukar. Definisi yang tepat untuk trakeotomi ialah membuat insisi pada
trakea, sedang trakeostomi ialah membuat stoma pada trakea.1,4,6,7,8
2.5 Indikasi Trakeostomi
Indikasi untuk melakukan tindakan trakeostomi adalah :6,7,8
1. Mengatasi obstruksi laring.
2. Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran napas bagian atas
seperti daerah rongga mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan adanya
stoma maka seluruh oksigen yang dihirupnya akan masuk ke dalam
paru.
3. Mempermudah penghisapan sekret dari bronkus pada pasien yang
tidak dapat mengeluarkan sekret secara fisiologik, misalnya pasien
koma.
4. Untuk memasang respirator (alat bantu pernapasan).
5. Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak
mempunyai fasilitas untuk bronkoskopi.
6. Bantuan jalan napas diperlukan lebih dari 2 minggu.
7. Refleks laring atau kemampuan untuk menelan hilang (misalnya
penyakit serebrovaskular).
8. Cedera kepala dan leher.
Bila mungkin, trakeostomi harus didahului oleh intubasi endotrakea.
Walaupun intubasi endotrakea dapat segera memperbaiki gangguan jalan
nafas, trakeostomi harus dilakukan bila diperhitungkan perlu perawatan jalan
nafas lebih dari 48 jam, karena :
Mengeluarkan sekret jauh lebih mudah lewat suatu pipa trakeostomi, dan
kemungkinan terjadinya obstruksi pipa lebih kecil.
Pasien sangat sulit menelan dengan adanya pipa endotrakea.
Membersihkan pipa endotrakea pada posisinya sulit dan untuk mengganti
pipa diperlukan laringoskopi berulang.
Intubasi lama endolaring menimbulkan ulserasi mukosa yang akhirnya
dapat menjadi granuloma, adhesi, dan stenosis laring.
Trakeostomi kurang menyebabkan rangsangan refleks batuk, yang
mungkin penting pada pasien dengan kelainan saraf dan pasca bedah.
Dengan trakeostomi pasien yang sadar dapat berbicara.
Kontraindikasi trakeostomi adalah pasien dengan obstruksi laring oleh
tumor ganas.
2.6 PERALATAN TRAKEOSTOMI
Alat yang perlu dipersiapkan untuk melakukan trakeostomi adalah semprit
dengan obat analgesia (novokain), pisau (skapel), pinset anatomi, gunting
panjang yang tumpul, sepasang pengait tumpul, klem arteri, gunting kecil
yang tajam serta kanul trakea yang ukurannya cocok untuk pasien.5,7
Seperti pipa endotrakeal, kaf pipa yang bertekanan rendah dan bervolume
banyaklah yang dipilih. Yang sering digunakan adalah pipa yang terbuat dari
klorida polivinil (KPV), silastik dan metal. Pipa KPV dan silastik umum
digunakan untuk UTI sedangkan pipa metal digunakan untuk trakeostomi jangka
panjang terutama bila kaf tidak diperlukan.
Gambar : Kanul Trakeostomi
2.7 PROSEDUR TRAKEOSTOMI
2.7.1 Trakeostomi Elektif
Pada kebanyakan kasus trakeostomi dilakukan di Intensive Care
Unit atau di kamar operasi. Pada lokasi tersbut pasien terus dimonitor
dengan pulse oxymetri dan elektrokardiogram. Anestesiologis biasanya
melakukan gabungan antara medikasi intravena dan anestesi lokal.5,7
Teknik trakeostomi ditentukan sampai batas tertentu oleh keadaan
yang memerlukan tindakan tersebut. Yang terpenting ialah memperoleh
udara pernafasan secepat dan seefisiensi mungkin dengan menhindari
trauma pada laring, trakea, dan struktur yang berdekatan. Bila mungkin,
dilakukan intubasi endotrakea sebelum trakeostomi terapi, terutama pada
anak. Jika tidak mungkin melakukan intubasi, ventilasi dan oksigenasi
melalui kantong dan masker sangat membantu. Jika udara pernafasan telah
terkontrol, dapat dilakukan trakeostomi dengan lebih cermat dan trauma
minimal.4,7,8
Pasien tidur telentang dengan bantal di bawah bahu untuk
memperoleh ekstensi leher yang maksimal. Anestesi tidak diperlukan pada
pasien yang tidak sadar. Anestesi lokal pada umumnya sudah cukup untuk
pasien sadar, termasuk anak. Anestesi lokal diberikan dengan infiltrasi kulit
pada garis insisi dan bahan disuntikkan ke jaringan yang lebih dalam di
garis tengah sampai pada dinding trakea anterior. Dapat digunakan lidocaine
(Xylocaine) 1% dengan epinefrin 1 : 150.000.6,8,9
Insisi kulit ditentukan berdasarkan situasi dan kondisi. Jika
trakeostomi dilakukan bersamaan dengan bedah kepala dan leher, insisi
disesuaikan dengan rencana operasi yang akan dilakukan. Jika trakeostomi
dilakukan tersendiri, bila mungkin dibuat insisi horizontal. Insisi dibuat
sepanjang 5 cm, kira – kira dau jari di atas fosa suprasternal. Hasil kosmetik
insisi horizontal lebih baik dibandingkan insisi vertikal. Dalam keadaan
gawat dan bantuan tidak tersedia, dilakukan insisi vertikal di garis tengah
sepanjang 4 cm supaya cepat dan perdarahan minimal.6,7,9,10
Insisi kulit diperdalam sampai terlihat otot penggantung. Pada titik
ini, untuk menentukan letak trakea perlu dilakukan palpasi untuk
menghindari diseksi terlalu lateral. Otot penggantung dipisahkan secara
vertikal di garis tengah dan disingkirkan ke lateral, maka tampak fasia pre-
trakea yang menutupi trakea dan ismus tiroid. Tampak banyak vena turun ke
fasia dari tiroid, tetapi dengan tetap bekerja di garis tengah pada bidang
vertikal, sebagian besar vena dapat dihindari. Ismus tirois hampir selalu
berada di atas cincin trakea ke-3 dan biasanya dapat disingkirkan ke atas
dengan retractor kecil dan tumpul untuk membebaskan trakea. Ismus tiroid
tidak perlu dipotong, sehingga perdarahan dapat dihindari, kecuali pada
ismus yang luar biasa lebar, harus dipotong diantara dua klem, dan diikat
pada pinggir potongan.6,7,9,10
Trakea harus difiksasi dengan memasukkan pengait pada dinding
anterior antara cincin ke-1 dan ke-2, kemudian ditarik ke arah atas dan luar.
Dinding anterior trakea diinsisi secara vertikal, sebanyak 2 sampai 3 cincin.
Insisi trakea jangan lebih tinggi dari cincin ke-2, untuk mencegah
rangsangan pipa trakeostomi pada kartilago krikoid yang dapat
menyebabkan perikondritis. Jangan membuang tulang rawan dari dinding
anterior trakea, karena dapat menimbulkan defek besar pada trakea yang
tidak perlu pasca ekstubasi, sehingga terjadi granulasi yang mengganggu
dan memperlambat penyembuhan. Insisi trakea diperlebar dengan dilator
Truosseau atau klem yang besar, kemudian pipa dimasukkan , dijaga agar
tidak mngenai dinding posterior trakea. Balon dikontrol dengan cara inflasi
untuk mengetahui ada tidaknya kerusakan pada balon pada waktu
memasukkan pipa.6,8
Segera setelah pipa masuk sering timbul batuk hebat, dan beberapa
pasien dapat timbul apnea karena kehilangan rangsangan hipoksia untuk
bernafas. Pipa trakeostomi harus dipilih dengan hati – hati. Akhir – akhir ini
pemakaian pipa perak ukuran standar tipe Holinger dan Jackson telah
ditinggalkan dan diganti dengan pipa jenis silikon atau Portex. Alasannya
untuk mengurangi trauma pada dinding trakea, mengurangi kanul dalam,
dan ekonomis. Panjang pipa trakeostomi juga penting dan seringkali perlu
disesuaikan panjangnya untuk tiap individu.8,9,10
Diameter pipa dipilih yang terbesar, kira – kira sesuai dengan tiga
per empat diameter trakea. Ukuran rata – rata np. 6 untuk wanita dewasa
atau no. 7 dan 8 untuk pria. Pipa dengan balon mungkin perlu bila ada
masalah aspirasi, atau jika diperlukan respirator dengan tekanan positif.
Insisi kulit tidak dijahit dan tidak diperban dengan tekanan karena dapat
menimbulkan emfisema subkutan, pneumomediastinum, dan pneumotoraks.
Kasa kecil dapat diletakkan antara pinggir pipa dan kulit leher.7.9.10
2.7.2 Trakeostomi Darurat
Pada keadaan darurat, trakeostomi harus dapat dilakukan dalam 2 – 3 menit,
dimana anoksia akan terjadi dalam 4 – 5 menit. Pada trakeostomi darurat lebih
baik dilakukan insisi secara vertikal, yang dimulai pada level kartilago krikoid,
lanjutkan ke inferior sekitar 2,5 – 3,75 cm. Gunakan tangan kiri untuk
menstabilkan laring dan mengekstensi leher bila tidak ada kontraindikasi (seperti
cedera servikal). Sementara tangan kanan digunakan untuk membuat insisi. Jari
telunjuk tangan kiri dapat digunakan untuk mendorong ismus tiroid ke inferior
dan mempalpasi trakea. Insisi kulit secara vertikal ini sangat krusial dalam
keadaan darurat, karena tindakan dapat dilakukan lebih cepat dan kurangnya
resiko trauma terhadap struktur leher yang lain.7.9.10
Trakeostomi darurat harus dihindari, bagian terbesar kesalahan pada
trakeostomi disebabkan oleh trakeostomi darurat. Komplikasinya meliputi trauma
arteria inominata, pembuluh darah tiroidea inferior, esofagus, nerfus laringeus
rekuren dan pleura. Tindakan tersebut dapat menyebabkan perdarahan.
Pneumomediatinitis dan pneumotoraks. Osbtruksi saluran pernafasan pada awal
fase paskah bedah bisa timbul akibat tersumbatnya pipa secara tidak disengaja.
Intubasi endotrakea tidak bebas dari komplikasi obtruksi ekstubasi atau
pneumotoraks. Pneumotoraks dapat terjadi akibat batuk untuk mengatasi obstruksi
pipa endotrakea oleh sekresi. Mungkin terjadi ekstubasi secara tidak disengaja.
Problema utama pemasangan pipa endotrakea jangka lama adalah trauma pada
laring.7,10
Untuk sementara trakeostomi menyebabkan pasien sulit berbicara, tetapi
bila saluran pernafasan diatas trakeostomi masih mempunyai sisa patensi, pasien
dapat berbicara dengan menutup pipa dengan jarinya sewaktu ekspirasi.8,9,10
2.8 Trakeostomi Pada Bayi dan Anak
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berhubungan dengan ukuran
dan konsistensi trakea pada bayi dan anak. Pada semua kasus trakeostomi
seharusnya hanya dilakukan setelah bronkoskop, pipa enotrakea atau kateter
dimasukkan untuk memperbaiki saluran udara pernafasan dan memberi kekakuan
pada trakea, sehingga memudahkan diseksi dan identifikasi trakea. Pada anak
kecil, sangan mudah melakukan diseksi yang terlalu dalam dan lateral dari trakea,
sehingga merusak nervus laringius rekuren, arteri karotis komunis atau apeks
pleura. Saat melakukan insisi pada dinding trakea, harus hati – hati agar pisau
tidak masuk terlalu dalam dan merobek dinding posterior. Dengan bronkoskop
dalam trakea dapat membantu untuk terhindar dari komplikasi ini.6,8,9,10
Kesulitan lain pada anak ialah pipa trakeostomi sering keluar dari trakea,
karena leher bayi yang pendek dan sering gemuk, terutama bila leher dalam
keadaan fleksi. Dapat juga dilakukan jahitan dengan benang sutra pada tepi insisi
trakea untuk menandai dan benang ini dilekatkan ke leher untuk mencegah
hilangnya lumen trakea jika pipa bergeser. Trakea harus diperiksa setelah pipa
dimasukkan, untuk menjaga agar tidak terjadi lipatan ke dalam dari cincin trakea
yang dipotong, yang dapat menyebabkan pergeseran pipa dan obstruksi pada saat
dekanulasi.8,10
Sering terjadi kesulitan untuk mendapatkan pipa trakeostomi yang sesuai.
Pipa yang terlalu panjang dapat masuk ke karina atau salah satu bronkus,
menyebabkan atelektasis paru sisi lain. Jika lengkung pipa terlalu panjang, akan
menekan trakea pada batas atas insisi trakea, sedangkan ujung bawah pipa
menempel pada dinding anterior trakea, dan lengkung yang terlalu tumpul dapat
menyebabkan ulserasi dinding posterior trakea dan esofagus. Oleh karena itu
harus dibuat foto Rontgen leher dan dada pasca bedah pada bayi.8,9,10
Pipa plastik rancangan Aberdeen ialah yang terbaik digunakan pada bayi
dan anak. Alat ini fleksibel, dapat dipotong untuk meyesuaikan panjang, dan
memungkinkan aliran udara yang lebih baik, karena kanul dalam.8,10
Setelah usia enam bulan, anak memerlukan ukuran tuba sekurang-
kurangnya sama dengan usia mereka pada ulang tahun berikutnya (hingga ukuran
6). Identifikasi ukuran dari seluruh tuba intratrakea kini telah distandarisasi. Suatu
komite dari American Standard Institute mengharuskan semua pabrik untuk
memberi pengenal pada tuba intratrakea yaitu dengan diameter internal dalam
millimeter. Suatu aturan sederhana untuk mengingat dalam memilih tuba
endotrakea untuk anak dalam situasi gawat darurat adalah dengan melihat jari
kelingking anak tersebut. Ukuran kelingking anak kira-kira mendekati diameter
luar dari tuba endotrakea yang dipilih.8,9,10
2.9 Perawatan Trakeostomi
Hal-hal penting pada perawatan trakeostomi adalah :7,8,9,10
1. Humidifikasi.
2. Fiksasi harus aman dan ganti setiap hari.
3. Bersihkan luka setiap 6 jam atau sesering yang diperlukan.
4. Penghisapan trakeobronkial dilakukan dengan mengindahkan kaidah a dan
antisepsis. Gunakan kateter dan sarung tangan steril.
5. Radiografi dada harus diambil untuk konfirmasi posisi ujung pipa. Pipa
dipertahankan selama 7 hari setelah itu ganti setiap 4 hari. Bila digunakan
pipa metal, pipa bagian dalam dapat sering diganti tanpa mengganti pipa
utama.
6. Kultur luka dan sputum harus diperiksa.
7. Alat-alat untuk keadaan darurat harus selalu tersedia tidak jauh dari pasien,
seperti :
Pipa trakeostomi yang baru dengan ukuran yang sama dan satu nomor
lebih kecil.
Dilator trakea, speculum hidung dan laringoskop untuk anak yang dapat
digunakan untuk dilatasi stoma dan pemasangan pipa kembali.
Peralatan untuk menghisap dan fasilitas untuk ventilasi kendali.
Sungkup muka, laringoskop dan pipa endotrakeal. Jika pipa trakeostomi
tidak berhasil dimasukkan kembali, kadang-kadang dilupakan bahwa
pasien dapat di ventilasi melalui laring.
Anak – anak yang memerlukan trakeostomi lama dapat dirawat di rumah,
dengan memberikan pendidikan yang cermat pada orangtua dalam penggunaan
alat penyedot yang steril, pengaturan kelembaban dan penggantian pita
trakeostomi.6,7,9,10
Pipa trakeostomi pada trakeostomi yang baru harus dipertahan 2 sampai 3
hari sebelum diganti. Pada saat itu telah terbentuk saluran yang permanent, dan
sedikit sekali kemungkinan tidak dapat memasukkan pipa kembali. Mengganti
pipa sebelum 2 - 3 hari dapat menyebabkan bahaya hilangnya lumen trakea.
Mengganti pipa trakeostomi pada bayi untuk pertama kali harus tersedia sebuah
bronkoskop.9,10
Kelembaban khusus udara inspirasi diperlukan untuk mencegah trakeitis
dan pembentukan krusta, yaitu ruangan dengan alat humidifikasi Watson atau
sebuah kerah trakea dengan uap basah. Untuk menambahkan kelembaban atmosfir
perlu diteteskan 3 atau 4 tetes larutan garam hipotonik atau larutan Ringer Laktat
ke dalam pipa setiap 3 atau 4 jam. Pasien dengan sekret yang kental dan banyak
perlu pemberian mukolitik intratrakea untuk mencairkan sekret.8,9,10
2.10 DEKANULASI
Pipa trakeostomi jangan dibiarkan lebih lama dari waktu yang diperlukan,
terutama pada anak. Harus diangkat secepat mungkin untuk mengurangi
timbulnya trakeobronkitis, ulserasi trakea, stenosis trakea, trakeomalasi, dan
fistula trakeokutan menetap. Segera setelah keadaan pasien membaik, ukuran pipa
trakeostomi diperkecil sampai ukuran yang memungkinkan udara dapat memintas
pipa menuju saluran nafas bagian atas. Hal ini menolong menghindari
ketergantungan fisiologik pada pipa yang besar akibat menurunnya resistensi
pernafasan. Kemudian pipa ditutup dan dinilai apakah jalan nafas adekuat,
kemampuan menelan dan mengeluarkan sekret. Jika pipa dapat ditutup selama 8 –
12 jam, pipa dikeluarkan dan fistel trakeokutan ditutup. Segera setelah dekanulasi,
pasien harus diamati dengan ketat dan alat yang diperlukan untuk mendapatkan
jalan nafas kembali selalu harus tersedia. 9,10
Faktor Penyulit Dekanulasi:7,9,10
1. Kondisi yang membutuhkan trakeostomi secara persisten
2. Dislokasi dinding anterior trakea
3. Jaringan granulasi di sekitar stoma
4. Edema mukosa trakea
5. Ketergantungan emosional terhadap trakeostomi
6. Ketidakmampuan mentoleransi resistensi saluran nafas atas
7. Stenosis subglotis
8. Trakeomalasia
9. Inkoordinasi refleks pembukaan laring
10. Perkembangan laring yang terganggu akibat trakeostomi jangka panjang.
2.11 KOMPLIKASI TRAKEOSTOMI
Seperti tindakan bedah lainnya, trakeostomi juga memiliki resiko
komplikasi dan cedera. Karena setiap individu bervariasi dalam hal sirkulasi
jaringan dan proses penyembuhan, maka tidak dapat dijamin tidak akan
terjadi komplikasi akibat tindakan trakeosotmi. Trakeostomi darurat dan
trakeotomi yang dilakukan pada pasien sakit berat memiliki resiko lebih besar
terhadap komplikasi setelah prosedur.9,10
Pneumomediastinum tidak tergolong sebagai komplikasi, namun
merupakan akibat. Kondisi ini biasanya terjadi pada anak, dan harus ditindak
lanjut guna memastikan tidak adanya perkembangan ke arah pneumotoraks.
Paralisis sarafrekuren jarang terjadi dan harus dicegah dengan memperhatikan
teknik bedah. Tuba harus terpasang pada jalan napas, tidak menyumbat
bronkus serta tidak mengenai dinding anterior trakea. Pengalaman klinis dan
evaluasi radiologik akan terdiagnosis dan mencegah kejadian ini.9,10
Jenis komplikasi :7,8,9,10
1. Segera
a. Komplikasi perioperatif seperti perdarahan, emfisema, pneumotorak,
emboli udara dan kerusakan tulang rawan krikoid.
b. Diskoneksi.
c. Salah menempatkan trakeostomi, misalnya di jaringan pretrakea atau
bronkus utama kanan.
d. Herniasi kaf yang menyebabkan pipa tersumbat.
e. Ujung pipa tertutup dinding trakea atau carina.
f. Apnea akibat hilangnya rangsangan hipoksia pernafasan.
Trakeostomi yang dilakukan pada pasien dengan riwayat hipoksia kronik,
tarikan nafas pertama atau kedua setelah pipa dimasukkan dapat diikuti dengan
henti nafas. Hal ini sehubungan dengan denervasi fisiologik pada reseptor kimia
perifer karena naiknya PO2 tiba – tiba. Oleh karena hipoksia sangat
mempengaruhi rangsangan pernafasan, maka dapat terjadi apnea.9,10
Keterangan Gambar : A. Trakea tertekuk ke depan B. Tukak dinding depan trakea karena ukuran kanul terlalu besar C. Emfisema subkutis karena dislokasi kanul D. Tukak karina karena kateter isap E. Manset ditiup terlalu kuat sehingga menyebabkan penutupan kanul ( herniasi
akibat ditiup berlebihan ) F. Manset kanul terlepas di trakea G. Nekrosis cincin trakea karena manset ditiup terlalu kuat H. Cedera dinding belakang (hati – hati fistel trakeo-esofagus)
2. Menengah
a. Tersumbat sekret, dapat terjadi segera atau gradual. Tetapi hal ini jarang
terjadi bila humidifikasi, hidrasi dan penghisapan lendir baik.
b. Infeksi pada stoma atau trakeobronkial.
c. Ulserasi trakea kerena penekanan kaf.
d. Erosi yang dalam dapat menyebabkan perdarahan dari a. inominata atau
fistel trakeoesofagus.
3. Lanjut
Komplikasi Lanjut
Komplikasi ini cukup bcnnakna dalain hal variasi dan jumlahnya, sehingga
perlu dilakukan usaha-usaha pencegahan. Perdarahan lanjut adalah akibat erosi
trakea pada pembuluh utama, biasanya arteri inominata. (Sebenarnya menghitung
cincin trakea mulai dari kartilago krikoid merupakan tindakan yang esensial).
Tindakan mengekstensikan kepala pasien dan menarik trakea ke atas dengan suatu
pengait trakea dapat menggambarkan cincin trakea kesembilan. Trakeostomi
rendah (di bawah cincin trakea kelima) seringkali salah.
Komplikasi lanjut pada trakeostomi diantaranya :
a. Granuloma trakea yang bias menyebabkan kesulitan bernapas bila pipa
diangkat.
b. Trakeomalasia dan dilatasi trakea.
c. Stenosis trakea.
d. Fistel trakeokutan menetap
e. Fistel trakeoesofagus
Pemasangan manset yang lama dengan akibat nekrosis dinding trakea juga
ikut berperan dalam erosi pembuluh darah. Mathog menganjurkan pemakaian tuba
plastik lunak yang lebih aman. Penanganan dari perdarahan mayor tindakan
darurat dan memerlukan pemakaian tuba (dengan manset dalam keadaan
terkembang) yang cukup panjang untuk mencapai bagian distal dari pembuluh
yang tererosi. Tindakan ini dapat mencegah aspirasi darah ke dalain paru.
Kesalahan dalam membedah dan menjahit pembuluh mungkin mengharuskan
tindakan sternotomi parsial.8,9,10
Infeksi dapat dikendalikan dengan teknik steril dan humidifikasi.
Antibiotik profilaksis harus dilarang karena memungkinkan perkembangan
bakteri oportunistik. Pseudomonas aeruginosa tidak jarang dapat dibiak dari lokasi
trakeostomi dan tidak selalu merupakan infeksi sistemik. Tindakan yang perlu
dilakukan mungkin hanyalah membasahi kasa dengan larutan asam asetat 0,5
persen. Pasien yang mendapat banyak antibiotik mungkin mengalami kontaminasi
Candida albicans pada lokasi trakeostomi. Namun, sebelum memulai pengobatan
sistemik, harus dicoba perawatan luka secara lokal.9,10
Penanganan obstruksi jalan napas akibat posisi tuba yang tergeser atau
oklusi lumen adalah berbeda, tergantung pada berapa lama terjadinya setelah
pembedahan. Bila telah melampaui 48 jam dilakukan trakeostomi, maka perawat
dapat diperintahkan untuk memotong tali pengikat leher, mengeluarkan tuba, dan
memeriksa lumen dan tuba. Sumbat mukus yang menutup lumen tuba harus
dibersihkan. Memasukan kembali tuba dapat dilakukan setelah dokter datang.
Tenaga yang terlatih dapat diinstruksikan untuk memasukkan kait ke dalain stoma
dan menahan jalan napas pada tempatnya, sebelum mengeluarkan dan mengamati
tuba yang baru saja dipasang. Bila situasi tidak mendesak, sebaiknya tindakan ini
dilakukan sendiri oleh dokter. Pada anak-anak, tali pengikat sutera bila ditarik
dengan hati-hati ke lateral akan mempertahankan jalan napas dan menunjukkan
jalur kembali ke stoma untuk penggantian tuba.
Fistula trakeoesofagus biasanya timbul pada pasien yang hipotensi dan
telah menjalani intubasi yang lama dengan tuba bennanset dan ventilasi terkontrol.
Pasien demikian memerlukan tuba naso-gastrik, namun seringkali meninggal
akibat penyakit primernya ataupun akibat pneumoiua aspirasi lewat fistula.
Perbaikan bedah amat kompleks dan melibatkan penempatan otot-otot leher di
antara trakea dan esofagus setelah perbaikan primer pada fistula.6,7,10
Komplikasi mayor yang tersering adalah stenosis trakea. Frekuensi komplikasi
ini semakin meningkat karena pasien seringkali memerlukan ventilasi terkontrol
jangka lama dengan tuba bermanset. Menurut Fearon, stenosis stoma bukanlah
suatu komplikasi melainkan suatu parut pasca operasi yang telah diperkirakan,
dan bahwa gejala hanya akan timbul bila diameter lumen sama dengan atau
kurang dari 4 mm. Bilamana terdapat granulasi di atas stoma atau kartilago dalam
lumen, maka masalah dapat diatasi dengan eksisi endoskopik atau memasang stent
pada jalan napas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem. Edisi kedua.
Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2001. 412-413.
2. Jacob Ballenger, John. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan
Leher. Jilid 1. Edisi ketiga belas. Jakarta : Binarupa Aksara, 1994.435 – 456.
3. Respiratory System. [12 Juli 2008]. Hyperlink
http://www.cayuga-cc.edu/people/facultypages/greer/biol204/resp2/resp2.html
4. Soepardi, Arsyad., Iskandar, Nurbaiti. Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2001. 201-208.
5. Sjamsuhidajat R, De Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi kedua. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2004. 421 – 422.
6. Staf pengajar bagian Anestesiologi dan terapi intensif FK UI. Editor dr.
Muhardi Muhiman. 1989. Penatalaksanaan Pasien di Intensive Care Unit.
Jakarta : Balai Penerbit FK UI. 14-16.
7. Paparella, Michael., Shumrick, Donald. Otolaryngology- Head and Neck.
Philadelphia : WB Saunders Company
8. Byron. Otolaryngology – Head and Neck Surgery, 3rd edition. North Carolina :
Byron. p66.
9. Jerry R. Balentine, DO, FACEP. Tracehostomy. MedicineNet. [9 Juli 2008].
Hyperlink : http://www.medicinenet.com/tracheostomy/article.htm
10. Jerry R. Balentine, DO, FACEP. Tracehostomy. MedicineNet. [9 Juli 2008].
Hyperlink : http://www.medicinenet.com/tracheostomy/page2.htm