i
REALITAS SOSIAL MASYARAKAT MINANGKABAU DALAM NOVEL
JEJAK-JEJAK YANG MEMBEKAS KARYA SYAFIWAL AZZAM
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memeroleh
Gelar Sarjana Pendidikan (STRATA I)
RATIHFA SEPLI
NPM 12080249
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) PGRI SUMATERA BARAT
PADANG
2017
I'IALAMAN PERSETU.IUAN ARTIKEL ILMIAH
Realitas Sosial Masyarakat Minangkatrau dalamNovel Jejak-Jejak yangMembekas kuya SlafilYal Azzam
r_ama
^. PM
ProdiInslitrlsi
Ratihta Scpli12080249Per,didikar Bahasa dau Sastla indonesiaSTKTP ?GRI Sumatera Bardt
Disetuiui OIe h:
PenrbrnbiLrg I
Dr. Eva Kdsn... M. Ilun.
Padang, Scptcrnber 201 7
Ptllrhrnrhrng I
$rurt
Mengetahui,
Ketus Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Dra. Nisja, M.Pd.
\ima\t l\,t
Progranr Sludihslitusi
IIAI,AN{AN PENGI,SAHAN" LULUS UJIT\N SKRIPSI
Dirlyatakan lulus setelali dipcltahfirkan di depdD Tim Peng!il Sl{rhsiPlogroln Studi Pcndidikan Bahasa dcn Sastra Indoncsiri
STl{11' IIGRI Sumatera Balat
Rcalit.s Sosial X{!sl'araktt N'IiD:rngknbau dal:w Novcl /erf-.kiaL J)a gMenbehask rya SYa fiw:rl Azzam
: Ratihf'a Sepli: 12080249: Pcnditlikan Bah.rsa dall Sastra llldorlesia: Sckola.h Tirggi KegurLun clan llnru llendidlkan
{STKIP) PGRI Sunratera Baral
J.rbrtrn
I(clua
SeL(retaris
ADggoto
Tim Penguii,
Nama
: Dr. Eva Krisna, M. I-lulrr-
: Si}rrsiarni, S,S,. M. Hurn.
: L Artlrla l,aile, S,S,. M.Pd.
2- Diyan Penuala Yanda, M.Pd.
3. Risa Yulisna, NLPd.
Disrhkan oleh.
Padang,l5 AguslLr! .l(l . I
Selo€tar-is Progmnl Slu.lil(etua Proglal1] StudiD
A,,X" t'Dft lndriani Nisja, \'l.Pd ,t".,^tru\',
I,]]atera Berdt
. llr r'r
,i1'tl,
Hahman Pernvataan
lagan di bawab ini :
; Ratibfr Sepli
: Pendidikan Bahasa dan Sasea IndooeAia
m€ol"atakan bahwa skipsi ini adalah l(arya saya sendiri dan beluE pemah diajukan
gelar kesarjanaan di pqguruan tinggi manapun. Sepanjang pengetainran sala tidak
pcDdapat yang dinrlis atau diterbitktt oleb orang laiD, kecuali yang s€cam lertulis
Jika lerdapa! hd-hal tidak sestrai dengaa -isi pedyataan fuii, maka saya
sala ahcabut.
Padang, Seplember 2017
lLRatiffa sepli
i
ABSTRAK
Ratihfa Sepli, (NIM: 12080249), Realitas Sosial Masyarakat Minangkabau
dalam Novel Jejak-Jejak yang Membekas Karya Syafiwal Azzam, Skripsi,
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI
Sumatera Barat, Padang, 2017
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan realitas sosial masyarakat
Minangkabau dalam novel Jejak-Jejak yang Membekas karya Syafiwal Azzam.
penelitian ini difokuskan pada realitas sosial masayarakat Minangkabau yang
dilihat dari aspek lima lingkup sosial masyarakat Minangkabau: (1) adat bakaum,
(2) adat bakampuang (3) adat bergaul dalam masyarakat (4) adat sumando
manyumando dan (5) adat di dalam keluarga.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Sumber data pada penelitian ini
adalah novel Jejak-Jejak yang Membekas karya Syafiwal Azzam . Data penelitian
ini adalah realitas sosial masyarakat Minangkabau dalam novel Jejak-Jejak yang
Membekas karya Syafiwal Azzam. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan
cara: (1) membaca dan memahami novel Jejak-Jejak yang Membekas karya
Syafiwal Azzam dengan tujuan agar mempeoleh pemahaman yang lebih jelas
tentang isi novel secara keseluruhan, (2) menandai data yang berhubungan dengan
realitas sosial masyarakat Minangkabau dalam novel Jejak-Jejak yang Membekas
karya Syafiwal Azzam (3) mencatat peristiwa yang berhubungan dengan realitas
sosial masyarakat Minangkabau dalam novel Jejak-Jejak yang Membekas karya
Syafiwal Azzam, dan (4) mengelompokkan data yang berhubungan dengan
realitas sosial masyrakat Mminangkabau dalam novel Jejak-Jejak yang Membekas
karya Syafiwal Azzam.
Berdasarkan data yang telah ditemukan dapat disimpulkan bahwa realitas
masyarakat Minangkabau, yakni (1) adat bakaum dalam novel Jejak-Jejak yang
Membekas mencerminkan bagaimana kehidupan masyarakat Minang dalam
bakaum dan peranan Mamak dengan kemenakan, (2) adat bakampuang dalam
novel Jejak-Jejak yang membekas ditinjau dari bagaimana sebagai masyarakay
kampung harus pandai menjaga diri, (3) adat bergaul dalam masyarakat ditinjau
dari kato nan ampek yaitu kato mandaki, kato manurun kato mandata dan kato
malereang, (4) adat sumando manyumando terlihat dari bagaimana adat
kasumando dan bagaimana pula adat manyumando, (5) adat dalam keluarga
dilihat dari adat sebagai anak, adat sebagai ibu dan istri dan adat sebagai suami
dan bapak.
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Realitas Sosial Masyarakat Minangkabau dalam Novel
Jejak-jejak yang Membekas Karya Syafiwal Azzam”.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan,
arahan, masukan, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak berikut ini.
1. Dr. Eva Krisna, M.Hum. sebagai pembimbing I dan Samsiarni, S.S.,
M.Hum. sebagai pembimbing II yang telah bersedia meluangkan
waktunya untuk memberikan bimbingan, mengarahkan, dan memberikan
masukan sejak awal penulisan skripsi ini.
2. Aruna Laila, S,S,. M.Pd sebagai pembahas I, Diyan Permata Yanda, M.Pd.
sebagai pembahas II, dan Risa Yulisna, M.Pd. sebagai pembahas III yang
telah memberikan saran serta arahan untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Iswadi Bahardur, S.S., M.Pd. sebagai ketua Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia.
4. Dra. Indriani Nisja, M.Pd. sebagai sekretaris Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia.
5. Yulia Febriani, M.Pd. sebagai Penasehat Akademik (PA) yang telah
memberikan masukan dan arahan selama ini.
iii
6. Bapak dan Ibu dosen yang mengajar di Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Sumatera Barat yang telah membekali
penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan.
7. Kedua orang tua yang telah memberikan dukungan dan doa sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Semua rekan-rekan dan berbagai pihak yang telah ikut membantu dalam
penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
skripsi ini.
Padang, Agustus 2017
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK...............................................................................................................i
KATA PENGANTAR........................................................................................... ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...........................................................................1
B. Fokus Masalah..........................................................................................5
C. Rumusan Masalah.....................................................................................5
D. Tujuan Penelitian.......................................................................................5
E. Manfaat Penelitian....................................................................................6
F. Batasan Istilah...........................................................................................6
BAB II KERANGKA TEORETIS
A. Landasan Teori.........................................................................................8
1. Pengertian Sastra.................................................................................8
2. Hakikat Novel.....................................................................................8
3 Realita Sosial.....................................................................................15
4 Realita Sosial Masyarakat Minangkabau..........................................19
5 Sosiologi Sastra.................................................................................23
B. Penelitian yang Relevan..........................................................................24
C. Kerangka Konseptual..............................................................................26
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Metode Penelitian....................................................................28
B. Data dan Sumber Data.............................................................................28
C. Instrumen Penelitian................................................................................29
D. Teknik Pengumpulan Data......................................................................31
v
E. Teknik Pengabsahan Data.......................................................................31
F. Teknik Analisis Data................................................................................32
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Temuan Penelitian.................................................................................40
1. Realitas Sosial Masyarakat Minangkabau dalam Novel Jejak-Jejak
yang Membekas Karya Syafiwal Azzam.........................................41
a. Adat Bakaum.............................................................................41
b. Adat Bakampuang.....................................................................46
c. Adat Bergaul dalam Masyarakat...............................................50
d. Adat Sumando Manyumando....................................................56
e. Adat dalam Keluarga.................................................................57
B. Pembahasan...........................................................................................60
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................70
B. Saran......................................................................................................71
LAMPIRAN
KEPUSTAKAAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Realitas sosial merupakan kenyataan yang terjadi di tengah masyarakat,
baik dari sisi positif maupun sisi negatifnya. Realitas sosial bukanlah suatu
keadaan yang tetap, tetapi merupakan proses yang dinamis. Masyarakat pada
hakikatnya merupakan suatu sistem hubungan antara satu individu dengan
individu yang lain. Oleh karena itu, manusia selalu membutuhkan satu sama lain
dalam menjalani kehidupan, sehingga hal ini menimbulkan sebuah interaksi.
Interaksi inilah yang mempengaruhi timbulnya realitas sosial di dalam
masyarakat. Hubungan yang bermula dengan ikhlas berubah menjadi pamrih,
pergeseran itulah yang merupakan sumber berbagai masalah sosial yang
melandasi setiap realitas kehidupan masyarakat.
Realitas sosial dapat dijadikan sebagai dasar pembuatan karya sastra.
Karya sastra merupakan sarana yang digunakan oleh pengarang untuk
mengungkapkan perasaan, ide, dan segala permasalahan kehidupan. Salah satu
bentuk karya sastra yaitu novel, novel merupakan sebuah karya fiksi yang
menawarkan sebuah dunia. Dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan,
dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur ekstrinsiknya seperti
peristiwa, plot, tokoh, (dan tentu saja juga bersifat imajinatif). Salah satu cara
memahami karya sastra dari segi masyarakat dalam karya sastra adalah dengan
menggunakan teori sosiologi sastra.
1
2
Sosiologi sastra berhubungan dengan masyarakat dalam menciptakan
karya sastra tentunya tak lepas dari pengaruh budaya tempat karya sastra
dilahirkan karena sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah
manusia. Hal itu disebabkan sastra sering mengungkapkan perjuangan umat
manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan
intuisi. Dari pemaparan ini, tampak bahwa perjuangan panjang hidup manusia
akan selalu mewarnai teks sastra.
Dalam sebuah novel pengarang menggambarkan fenomena yang ada di
dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya dalam novel Jejak-jejak Yang
Membekas karya Syafiwal Azzam. Pada novel menggambarkan tentang bermacam
polemik kehidupan yang dialami oleh masyarakat Minangkabau. Dalam
kehidupan sehari-hari memang segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan di
Minangkabau harus berlandas pada adat istiadat. Adat merupakan suatu aturan
atau kebiasaan dalam masyarakat. Dalam adat Minangkabau sendiri ada beberapa
bentuk adat yang melandasi realita sosial dalam masyarakatnya yaitu, adat
bakaum, adat bakampuang, adat bergaul dalam masyarakat, sumando
manyumando dan adat di dalam keluarga.
Ketentuan adat dalam masyarakat Minangkabau diperoleh dari hasil
kesepakatan organisasi sosial masing-masing kaum. Kesepakatan yang dibuat
harus berlandaskan Alquran dan hadist karena masyarakat Minangkabau
merupakan masyarakat yang kuat akan agama dan mematuhi tatanan adat yang
berlaku. Masyarakat memandang hidup tanpa aturan atau adat bagi orang Minang
3
namanya “tak beradat”. Jadi aturan itulah yang jadi pakaian sehari-hari
masyarakat Minangkabau.
Realitas sosial masyarakat Minangkabau yang diuraikan dalam novel Jejak-
Jejak yang Membekas dapat dilihat pertama dari adat bakaum. Di dalam adat
bakaum atau basuku orang Minang senantiasa akan mengayomi serta
mempertahankan citra kaumnya namun realitas di dalam novel Jejak-Jejak Yang
Membekas ini mengungkapkan sisi keegoisan dari penegak kaum yaitu
mamaknya sendiri yang bernama Datuk Mantiko. Kedua, adat bakampuang
dalam adat bakampuang dijelaskan bagaimana kaum sebagai anggota masyarakat
harus pandai menjaga diri, kalau masyarakat tidak pandai menjaga diri maka
cemo dalam nagari (cacat) dan terhina dalam adat. ada beberapa kewajiban dalam
bakampuang seperti saraso samalu, sanasib sapanangguangan, saling
menasehati, saling silaturahmi, saling tolong menolong dan menguntungkan serta
saling memaafkan.
Ketiga, adat bergaul dalam masyarakat, dalam bergaul masyarakat tidak akan
lepas dari interaksi. Interaksi sosial di Minangkabau biasanya tergantung dari
status sebagai individu. Posisi harus disadari dalam adat Minangkabau ada istilah
kato mandata, kato malereang, kato manurun dan kato mandaki. Keempat ada
adat sumando manyumando adapun lingkup adat dalam sumando manyumando
yaitu, bagaimana adat kepada sumando dan adat sebagai sumando. Selanjutnya
yang kelima ada adat dalam keluarga, di dalam adat keluarga juga ada beberapa
hal yang harus dipatuhi.
4
Syafiwal Azzam pengarang novel Jejak-Jejak yang Membekas ini dilahirkan
disebuah kampung kecil tidak jauh dari kota Batusangkar pada 29 Desember
1953. Setamat SMP, penulis di sekolahkan di SAA Ikasari Pekanbaru Riau.
Melanjutkan kuliah jurusan Farmasi FMIPA di universitas Andalas dan dapat
menyelesaikan dengan gelar Apoteker. Selama kuliah penulis sering menulis,
tulisan beliau berupa cerpen dan tulisan ilmiah di koran terbitan Padang. Beliau
pernah juga punya kolom khusus di koran harian Haluan.
Novel Jejak-Jejak yang Membekas diambil sebagai sumber penelitian karena
mengangkat tema tentang kehidupan sosial masyarakat Minangkabau yang
menghadirkan sisi positif dan negatif yang dilakuan masyarakat Minang sehari-
hari. Selain itu, novel Jejak-Jejak yang Membekas ini dipilih karena ceritanya
yang menarik, juga menggambarkan kehidupan nyata dengan masalah-masalah
sosial yang ada di lingkungan masyarakat Minangkabau seperti, adat bakaum,
adat bakampuang, bergaul dalam masyarakat, sumando manyumando dan adat
dalam keluarga, Selain novel Jejak-Jejak yang Membekas karya Syafiwal Azzam,
ada novel Mengurai Rindu karya Nang Syamsuddin yang juga membicarakan
masalah realitas sosial masyarakat Minangkabau. Dalam novel Mengurai Rindu
menceritakan bagaimana kehidupan masyarakat Minangkabau yang sudah lupa
akan rumah gadang, selepas mak tuo penghuni rumah gadang meninggal dunia.
Rumah gadang seperti terlantar begitu saja dan tentang masyarakat yang terpaut
kepada perkawinan antar etnis, perkawinan campur yang dianggap akan
merendahkan suku Minangkabau.
5
Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian terhadap novel Jejak-Jejak
yang Membekas ini dengan judul Relitas Sosial Masyarakat Minangkabau dalam
Novel Jejak-Jejak yang Membekas layak dilakukan. Penelitian penting dilakukan
untuk melihat bagaimana realitas sosial masyarakat Minangkabau dalam sebuah
karya sastra. Kedua, dengan adanya penelitian realitas sosial masyarakat
Minangkabau ini diharapkan pembaca lebih sadar memperhatikan lingkungan
sekitar terutama di Minangkabau. Ketiga, untuk dapat memberikan penghayatan
dan pemahaman mengenai masyarakat Minangkabau terutama pada zaman
globalisasi sekarang ini.
B. Fokus Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini
difokuskan pada realitas sosial masyarakat Minangkabau dalam novel Jejak-Jejak
yang Membekas karya Syafiwal Azzam.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan fokus masalah di atas, rumusan masalah pada penelitian ini
adalah bagaimanakah realitas sosial masyarakat Minangkabau yang terdapat
dalam novel Jejak-Jejak Yang Membekas karya Syafiwal Azzam?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian yang hendak
dicapai adalah mendeskripsikan bentuk realitas sosial masyarakat Minangkabau
dalam novel Jejak-Jejak yang Membekas karya Syafiwal Azzam.
6
E. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, manfaat yang ingin dicapai dari
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Secara teoretis hasil penelitian ini diharapakan dapat bermanfaat untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan pada bidang sastra dalam mengkaji realitas
sosial masyarakat Minangkabau yang terdapat pada karya sastra.
2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, di
antaranya adalah sebagai berikut.
a) Bagi penulis dapat menambah wawasan, pengetahuan, dan pengalaman
baik dalam melakukan penelitian maupun dalam menerapkan ilmu
pengetahuan yang diperoleh.
b) Bagi pembaca dapat menambah wawasan, serta memberikan kritik sosial
terutama pada zaman globalisasi seperti sekarang ini.
c) Bagi peneliti lainnya dapat dijadikan bahan untuk melanjutkan penelitian
yang sejenis, baik yang bersifat mendalami maupun penemuan aspek-
aspek baru.
F. Batasan Istilah
Agar tidak terjadi kesalahan pemahaman dalam penelitian baik yang
berkenaan dengan judul maupun dalam fokus masalah, perlu dijelaskan istilah-
istilah di bawah ini.
1. Realitas adalah kenyataan yang bukan hanya direduksi dari sisi negatif saja
tapi juga hal positif.
2. Sosial adalah yang berkenaan dengan masyarakat.
7
3. Masyarakat adalah sejumlah manusia adalah suatu sistem hubungan antara
satu individu dengan individu lain.
4. Minangkabau adalah suatu suku bangsa yang berasal atau mendiami daerah
Sumatra Barat.
5. Novel adalah karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita
kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak
dan sifat setiap pelaku.
8
BAB II
KAJIAN TEORETIS
A. Landasan Teori
Pada bab ini akan diuraikan tentang beberapa teori yang relevan untuk
mendukung penelitian ini. Teori-teori tersebut adalah: (1) Hakikat sastra;
(2) hakikat novel; (3) hakikat realita sosial; (4) realita sosial masyarakat
Minangkabau; dan (5) sosiologi sastra.
1. Hakikat Sastra
Menurut Teeuw (dalam Ratna, 2010:4), sastra berasal dari akar kata sas
(sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan instruksi.
Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, secara leksikal sastra berarti kumpulan alat
untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik, seperti
silpasastra (buku petunjuk arsitektur), kamasastra (buku petunjuk percintaan).
Menurut Wardani (2009:1), karya sastra merupakan sebuah cerita yang
menampilkan hasil kreasi pengarang. Wujud karya sastra berupa kata-kata. Karya
sastra, dengan demikian menampilkan dunia dalam kata disamping juga
menampilkan dunia dalam kemungkinan-kemungkinan. Karya sastra diciptakan
oleh pengarang dengan maksud untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan
oleh masyarakat-masyarakat. Sumber penciptaan karya sastra, selain wawasan
yang luas tentang masalah politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya, adalah
kenyataan hidup sehari-hari yang terjadi di tengah masyarakat.
Berdasarkan pendapat dua para ahli diatas, disimpulkan bahwa sastra
adalah sebuah hasil karangan atau pemikiran seseorang yang berkaitan dengan
9
kenyataan atau rekaan yang diciptakan sedemikian rupa. dituangkan dalam sebuah
buku dan dapat dinikmati oleh semua orang, dalam berbagai bentuk genre yang
berbeda Baik itu novel, cerpen, puisi dan lain-lain.
2. Hakikat Novel
Teori yang akan diuraikan pada bagian ini adalah (a) pengertian novel, dan (b)
unsur-unsur novel.
a. Pengertian Novel
Menurut Tarigan (2011: 167), novel berasal dari kata Latin novellus yang
diturunkan pula dari kata novies yang berarti “baru”. Dikatakan baru karena bila
dibandingkan dengan jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain,
maka jenis novel ini muncul kemudian. Teeuw (dalam Atmazaki, 2005:31-32)
menyatakan novel merupakan sebuah struktur organisasi yang kompleks, unik,
dan mengungkapkan sesuatu (lebih bersifat) secara tidak langsung.
Novel sebagai salah satu produk sastra yang menanggung peranan penting
dan memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk menyikapi kehidupan
manusia, misalnya dapat diambil beberapa pelajaran untuk memahami hakikat
kehidupan. Di dalam novel, pengarang mengungkapkan perasaan yang dilihatnya,
dirasakan dengan bantuan imajinasi. Selain itu imajinasi pengarang tidak akan
mungkin berkembang jika tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang
realitas objektif lainnya.
Berdasarkan pendapat dua ahli tersebut dapat disimpulkan novel adalah
karya sastra yang imajinatif, hanyalah rekaan, khayalan, atau imajinasi pengarang.
Novel menceritakan tentang realitas kehidupan manusia yang dituangkan
10
pengarang dengan menggunakan imajinasi dan daya kreatif yang tinggi. Realitas
yang dihasilkan adalah realitas novel dan kebenarannya hanya berada dalam
khayalan dari karya yang dihasilkan.
a. Unsur-Unsur Novel
Menurut Mihardja (2012:4), karya sastra disusun oleh dua unsur yang
menyusunnya. Dua unsur yang dimaksud ialah unsur intrinsik dan ekstrinsik.
Artinya novel memiliki bagian atau unsur-unsur yang dapat saling berkaitan
antara satu dengan yang lain dan unsur tersebut adalah dua bentuk yang
membangun baik dari dalam maupun dari luar karya sastra itu sendiri.
Jadi kesimpulannya novel merupakan salah satu dari totalitas keseluruhan
yang bersifat artistik, artinya novel memiliki bagian atau unsur-unsur yang saling
berkaitan antara yang satu dengan yang lain. Unsur-unsur yang dimaksud adalah
unsur intrinsik dan ekstrinsik.
1) Unsur Intrinsik
Aminuddin (dalam Priyatni 2010:109) mengatakan unsur intrinsik
merupakan elemen-elemen fiksional yang membangun karya fiksi itu sendiri
sebagai suatu wacana. Sedangkan Soedjijono (dalam Priyatni 2010:109)
mengatakan bahwa unsur instrinsik adalah unsur yang berkaitan dengan eksistensi
sastra sebagai struktur verbal yang otonom.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa unsur intrinsik novel adalah unsur-unsur
yang melekat pada prosa fiksi itu atau yang dapat diamati atau dianalisis dari
karya fiksi itu sendiri. Jadi, dapat disimpulkan bahwa unsur tema dapat dijadikan
dasar utama oleh peneliti dalam melakukan penganalisisan terhadap karya sastra.
11
a) Tema
Ramadansyah (2012:152) menyatakan tema berarti pikiran sentral, inti
pembahasan, gagasan pokok, ide utama, pengalaman batin yang diekspresikan ke
dalam karya. Jadi untuk menemukan tema sebuah novel, seseorang harus
membaca dan memahami keseluruhan cerita dalam novel tersebut.
Sedangkan menurut Nurgiyantoro (1995:13), tema merupakan makna
keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan tersembunyi di balik
cerita yang mendukungnya. Sebagai sebuah makna tema tidak dilukiskan, paling
tidak pelukisan secara langsung atau khusus. Eksistensi dan kehadiran tema
adalah terimplisit dan merasuki keseluruhan cerita dan inilah penyebab kecilnya
kemungkinan pelukisan secara langsung tersebut.
Berdasarkan pendapat dua ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa tema
merupakan permasalahan pokok yang mendasar, dan menentukan bentuk sebuah
cerita, serta pokok pikiran yang dapat melahirkan sebuah karya sastra.
b) Alur (Plot)
Nurgiyantoro (1995:33) menjelaskan bahwa plot adalah cerita, yaitu
peristiwa yang terjadi menyusul peristiwa sebelumnya yang mempersoalkan
kelanjutan peristiwa, lebih merupakan masalah cerita. Masalah cerita disajikan
dalam urutan waktu tertentu dalam cerita fiksi. Pengaluran adalah pengaturan
urutan penampilan peristiwa untuk memenuhi tuntutan cerita. Alur cerita biasanya
terlihat dari tindakan dan ucapan tokoh. Tindakan dan ucapan tokoh itu haruslah
ditampilkan bermakna dalam hubungan keseluruhan alur.
12
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa alur (plot) adalah
pemaparan peristiwa, urutan peristiwa atau kejadian-kejadian dalam suatu cerita.
Peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh akan memberikan gambaran yang jelas
tentang alur dan konflik yang terdapat dalam cerita.
c) Tokoh /Penokohan
Menurut Ramadansyah (2012:155), penokohan berkaitan dengan sifat
tokoh, perwatakan, dan karakteristik tokoh cerita. Sifat tokoh cerita diperoleh dari
kata sifatnya, gambaran tindak-tanduk dan ucapan para tokohnya yang sekaligus
menjadi sifat dasar tokoh. Sedangkan menurut Suyitno (dalam Priyatni 2010:110)
yang dimaksud Dengan tokoh adalah para pelaku atau subyek lirik dalam karya
fiksi.
Berdasarkan sifat atau watak tokoh, tokoh dapat dibedakan menjadi
dua,yaitu tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh
yang berwatak baik sehingga disukai para pembaca. Sedangkan tokoh protagonis
adalah tokoh yang berwatak jelek, tidak sesuai dengan yang diidamkan pembaca
Aminuddin (dalam Priyatni 2010:110).
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh
adalah pelaku yang memainkan peran atau pelaku yang bertindak sesuai
perwatakan, penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup
memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.
d) Latar (Setting)
Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995:216), latar dan setting
disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan
13
waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya tempat peristiwa-peristiwa yang
diceritakan. Latar memberikan pijakan cerita secara kongkrit dan jelas. Hal ini
penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana
tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.
Atmazaki (2007:104) mengatakan bahwa latar adalah urutan waktu ketika
tindakan berlangsung. Latar merupakan faktor utama dalam memformulasi
persoalan dan berpengaruh langsung dalam pengungkapan tema. Latar sebuah
cerita akan mewarnai cerita tersebut.pembaca akan mempunyai persepsi itu akan
dibuyarkan oleh tindakan tokoh-tokoh selanjutnya.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dalam karya fiksi, dapat
disimpulkan bahwa latar merupakan tempat, waktu, dan situasi yang terjadi dalam
suatu cerita, tanpa adanya latar sebuah karya sastra tidak akan jelas ceritanya.
e) Amanat
Menurut Ramadansyah (2012:152), amanat adalah kesan, pesan, arahan,
dan maksud yang hendak disampaikan pengarang melalui isi karya sastra dengan
tujuan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Amanat dalam sebuah
fiksi dapat terjadi lebih dari satu, asal semuanya itu terkait dengan tema.
Pencarian amanat pada dasarnya identik atau sejalan dengan teknik pencarian
tema. Oleh sebab itu, amanat juga merupakan kristalisasi dari berbagai peristiwa,
perilaku tokoh dan latar cerita.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa amanat
merupakan pesan yang disampaikan pengarang dalam sebuah karya sastra.
14
f) Gaya Bahasa
Atmazaki (2007:107) mengatakan bahwa gaya bahasa dalam sastra
merupakan bentuk-bentuk ungkapan oleh pengarang untuk menyampaikan
ceritanya. Penggunaan bahasa dalam mengungkapkan ide atau tema yang diajukan
di dalam karya sastra dapat bergam dari pengarang satu ke pengarang yang lain.
Menurut Ramadansyah (2012:160), mengatakan gaya bahasa merupakan tingkah
laku pengarang dalam menggunakan bahasa. Gaya bahasa cenderung
dikelompokkan menjadi empat jenis, yakni penegasan, pertentangan,
perbandingan, dan sindiran.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan gaya bahasa merupakan
cara pengarang mengungkapkan pikiran yang ada dalam batin dengan bahasa
yang khas atau gaya bahasa merupakan kemahiran pengarang dalam
menggunakan bahasa terhadap karya sastra sehingga dapat dipahami pembaca.
g) Sudut Pandang
Menurut (Atmazaki 2007:105), sudut pandang atau pusat pengisahan
merupakan tempat berada narator dalam menceritakan kisahnya. Setiap kalimat di
dalam karya sastra naratif merupakan perkataan yang diucapkan oleh seorang
pencerita tentang perbuatan tokoh-tokoh atau kutipan dari ucapan tokoh-tokoh.
Ada beberapa jenis sudut pandang, yaitu pengarang sebagai tokoh cerita orang
pertama, pengarang sebagai orang ketiga, dan sudut pandang campuran.
Sedangkan menurut Nurgiyantoro (1995:248), sudut pandang, atau poin of
view menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara atau
pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh,
15
tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah
karya fiksi kepada pembaca.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sudut pandang
merupakan cara pengarang menempatkan dirinya dalam cerita atau suatu sarana
penyampaian informasi dari pengarang dalam membentuk cerita agar jelas saat
dibaca pembaca. Sudut pandang dapat dibagi menjadi tiga, yaitu orang pertama,
ketiga dan campuran.
2) Unsur Ekstrinsik
Muhardi dan Hasanuddin WS (1992:21) Unsur Ekstrinsik adalah unsur
yang berada di luar karya sastra yang ikut mempengaruhi penciptaan karya sastra
yaitu pengarang dan realitas objektif. Pengarang adalah unsur utama dan dominan
dari unsur ekstrinsik fiksi. Realitas objektif yang mempengaruhi karya sastra
seperti tatanilai budaya, konvensi sastra dan norma yang berlaku dalam
masyarakat, realitas masing-masing daerah berbeda karena memiliki budaya yang
berbeda.
Nurgiyantoro (1995:23) berpendapat bahwa unsur ekstrinsik memang
unsur-unsur yang berada di luar karya sastra tetapi secara tidak langsuang
mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Secara lebih khusus
ia dapat dikatakan sebagai unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya
sastra.
Berdasarkan dua pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa unsur
ekstrinsik adalah unsur yang membangun dari luar karya sastra. Seperti pengarang
dan realitas objektif.
16
3. Hakikat Realita Sosial
Menurut Sztompka (2010: 248), realitas sosial bukanlah suatu keadaan
yang tetap tetapi merupakan proses yang dinamis. Realitas sosial lebih berupa
kejadian dari pada terjadi begitu saja dan lebih merupakan suatu kejadian dari
pada sebagai objek. Waktu adalah faktor internal yang tetap ada dalam kehidupan
sosial. Apa-apa yang terjadi , bagaimana cara terjadinya, mengapa terjadi, apa
akibat yang ditimbulkannya, semuanya tergantung kepada waktu terjadinya.
Realitas sosial dibedakan menjadi dua tingkatan yang pertama tingkat
individualitas dan tingkat totalilas. Tingkat individualitas terdiri dari manusia
individual atau sebagai anggota kolektifitas kongret (kelompok, asosiasi,
komunitas, kelas, gerakan sosial dan sebagainya). Kedua, tingkat totalitas adalah
kesatuan sosial abstrak, sejenis supra individu, mencerminkan realitas sosial sui-
generis (masyarakat, kultur, peradapan, formasi sosio ekonomi, sistem sosial, dan
sebagainya). Kedua bentuk realitas sosial itu dapat diambil oleh setiap komponen
utama kehidupan sosial.
Sejalan dengan itu Atmazaki (2007: 59) menyatakan hubungan antara
karya sastra dengan kenyataan atau realitas telah dikemukakan oleh Plato dalam
bukunya yang berjudul republic. Plato menggunakan istilah mimetis, tiruan. Karya
sastra meniru kenyataan sementara kenyataan sehari-hari tersebut hanyalah tiruan
pula dari dunia ide yang merupakan kenyatan tertinggi pula yang terletak pada
dunia Illahi.
17
a. Bentuk Realitas Sosial
Realitas sosial merupakan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat.
Bersamaan dengan adanya realitas sosial berarti kita tidak terlepas dari yang
namanya pemasalahan sosial. Masalah sosial merupakan akibat interaksi sosial
antara individu dengan kelompok, interaksi sosial berkisar pada ukuran nilai adat
istiadat, tradisi, dan ideologi, yang ditandai dengan suatu proses sosial yang
disosiatif.
Soekanto (2007:314) berpendapat bahwa masalah sosial timbul dari
kekurangan-kekurangan dalam diri manusia atau kelompok sosial yang bersumber
pada faktor-faktor ekonomis, biologis, biopsikologis dan kebudayaan. Setiap
masyarakat mempunyai norma yang bersangkut-paut dengan kesejahteraan
kebendaan, kesehatan fisik, kesehatan mental, serta penyesuaian diri individu atau
kelompok sosial. Hal penting yang mempengaruhi permasalahan sosial yaitu
moral, politik, pendidikan, agama, kebiasaan, ekonomi, dan rumah tangga.
4. Realitas Sosial Masyarakat Minangkabau
Berbicara tentang realitas sosial masyarakat Minangkabau berarti kita
tidak terlepas dari adat atau aturan yang berlaku dalam masyarakat Minangkabau,
yang berfungsi sebagai pedoman dan pegangan hidup agar tercipta ketertiban dan
ketentraman dalam masyarakat. Menurut pemuka adat Minangkabau, dikatakan
pula adat Minangkabau adalah tata nilai yang mengatur kehidupan masyarakat di
Minangkabau, baik kehidupan pribadi, maupun kehidupan bermasyarakat yang
didasarkan pada budi pekerti yang mulia sehingga terwujud keamanan, ketertiban,
bahagia, sejahtera lahir dan bathin.
18
Menurut pandangan pemuka adat (dalam Effendi 2010:166), sebelum
agama Islam masuk ke Minangkabau, ajaran budi dan malu yang banyak
berorientasi kepada moral dan akhlak masyarakat Minangkabau. Selanjutnya
Sejalan dengan itu menurut Jamil (2015: 58-77), ada lima aspek yang terdapat
dalam tempat pengamalan adat sehingga hal inilah yang mendasari kehidupan
sosial masyarakat di Minangkabau.
a. Adat Bakaum
Dalam bersuku dan berkaum orang Minang senantiasa akan
mempertahankan citra kaumnya “Tagak Kaum, bakaum, tagak nagari banagari”
demikian pepatah adat mengatakan. Maksudnya adalah setiap pribadi orang
Minangkabau akan senantiasa menjaga nama baik kaumnya dimata kaum lain.
Hal ini tentu saja dalam batas-batas kepautan adat dan syarak.
“Barek samo dipikua.
Ringan samo dijinjiang.
Mandapek samo balabo.
Kahilangan samo marugi.
Samalu, sasopan, sahino.
Sakik samo sakik.
Sanang samo sanang.
Sanasib sapanangguangan.
Kasih mangasihi salamo hiduik”.
Artinya setiap orang Minangkabau punya rasa senasib sepenanggungan,
sahino samalu. Jika ada yang mendapat musibah spontan merasa duka. “sakik
bahambauan dan sanang bahimbauan” bagi yang mendapat berita akan datang
kerumah duka, dan jika ada pesta maka kaum lainpun akan datang, seperti baralek
dan lain-lain.
19
Jika terjadi pertikaian dalam kaum “selang sangketo” akan diselesaikan
secara “bajanjang naik batanggo turun”. Artinya, jika ada persoalan dalam kaum
atau keluarga suku terlebih dahulu diselesaikan melalui mamak jurai kali rumah.
Selanjutnya akan dilanjutkan kepada datuak atau penghulu kaum. Dalam adat
bakaum ada beberapa kewajiban yang harus dilakukan, yaitu :
1) Saraso Samalu
Saraso samalu artinya aib kaum adalah aib bersama, hina kaum adalah
hino semuanya, maka setiap kaum berusaha menegakkan kaum. Maksudnya
adalah memelihara kaum agar jauh dari sifat tercela. Orang sekaum harus saling
menjaga perasaan dirinya sendiri, istilah lain (perasaan dunsanak).
2) Sanasib sapanangguangan
Dalam suku persaudaraan ini disebut dunsanak. Dunsanak adalah ikatan
kekeluargaan dalam satu kaum dan suku satu penghulu. Sakik samo sakik, sanang
samo sanang, kabukik samo mandaki kalurah samo manurun. Demikianlah
pepatah adat mengatakan, artinya kebersamaan dalam berkaum senantiasa
menjadi bagian terpenting bagi masyarakat di Minangkabau.
Pendidikan, status ekonomi mungkin berbeda, tapi untuk menopang
kebersamaan tetap dipertahankan. Hal yang perlu dijaga adalah bila ada sedikit
persoalan jangan membuat sesuku timbul kerenggangan. Harus ada perasaan
bahwa dunsanak kita itu adalah bagian dari diri kita, bagian dari keluarga kita.
20
3) Saling Menasehati
Dalam adat bakaum pun harus terbiasa menasehati saudara atau kaumnya
yang lain. Jika melihat saudaranya ada kejanggalan maka segeralah untuk
memberi tahu, baik informasi dari orang lain. Jika menerima dengan lapang dada,
dan berterima kasih dengan tulus maka cairlah suasana.
Hal yang lebih berbahaya lagi adalah mengajak serta melibatkan keluarga,
anak, famili, untuk juga ikut memusuhi orang yang telah memberi nasehat dan
lebih celaka bila sudah perang antar keluarga masing-masing. Disinilah perlunya
rasa senasib, rasa persaudaraan, rasa sekaum sehingga tidak mudah cekcok.
4) Saling Sillaturahim
Salah satu cara untuk mempererat keakraban adalah dengan banyak
sillaturahim. Sillaturahim pribadi, sillaturahim antar keluarga dan sillaturahim
antar kaum. Sebaliknya bagi orang yang suka hidup sendiri, maka hidup terasa
sempit, kurang pergaulan, menutup diri. Orang seperti ini akan mudah putus asa,
mudah tersinggung, suka menyendiri. Padahal hidup akan terasa indah, terasa
nikmat ketika kita sama-sama berbagi dalam suka dan duka.
5) Saling menolong dan Menguntungkan
Salah satu tujuang bakaum adalah karena adanya rasa senasib
sepenanggungan dalam satu payung penghulu suku. Semangat saling tolong
menolong adalah wujud dari adat. Orang yang suka menolong, suka memberi
kelapangan orang lain hidupnya pun akan dimudahkan.
21
6) Saling memaafkan
Dalam kaum terdiri dari banyak keluarga dan banyak individu. Hal itu
sudah barang tentu memiliki karakter dan beragam perangai. Jangankan dalam
kaum, di dalam keluarapun kita sudah banyak perbedaan, sifat dan kemauan.
b. Adat dalam Bakampuang
Bakorong bakampuang adalah ciri masyarakat Minangkabau, basasok
bajarami, bapandan bapakuburan. Kaum sebagai anggota masyarakat harus
pandai mejaga diri, kalau tak pandai menjaga diri maka cemo dalam nagari (cacat)
dan terhina dalam adat. Beberapa hal yang perlu dijaga dalam bakampuang.
Perasaan senasib sepenanggungan, sifat tolong menolong, sifat
persaudaraan harus ada dalam hidup bakampuang banagari atau bermasyarakat.
Jika tidak terbiasa dengan sifat kebersamaan atau hidup secara individu
kejanggalan tercemarlah (cemo) kaumnya. Artinya ketika ada yang sumbang
dilakukan anggota kaum tidak hanya mencemarkan nama baik pribadi tapi juga
kaumnya.
Penghulu mengatakan timbulnya kekacauan, pertentangan dan sebagainya
dalam suatu masyarakat atau nagari disebabkan karena sesuatu tidak meletakan
pada tempatnya. Suatu keinginan yang hendak dicapai hanya menurut keinginan
sendiri atau sekelompok orang, tidak menurut keinginan dan kebaikan bersama.
c. Adat Bergaul dalam Bermasyarakat
Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan makhluk lainnya,
butuh kontak komunikasi, dalam kehidupan, manusia membutuhkan tatakrama
22
agar bisa diterima ditengah masyarakat dimana pun berada. Tidak ada manusia
yang bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain.
Interaksi sosial biasanya tergantung dari status sebagai individu.
Bagaimana berinteraksi dan berhubungan. Posisi harus disadari dan didalam adat
Minangkabau ada istilah kato mandata, kato malereang, kato manurun dan kato
mandaki. Kato mandata dipakaikan untuk sesama besar. Baik dari segi usia atau
statusnya dalam kaum. Begitupun ada rasa saling harga menghargai apalagi
berkata- kata.
Kato malereang yaitu bagaimana seseorang berkata kepada orang yang
cukup disegani seperti bersikap kepada sumando, ipar bisan dan mamak rumah.
Kato malereang adalah kata yang tidak diucapkan secara terus terang tapi
adakalanya melalui sindiran. Kato manurun yaitu bagaimana bersikap dan
berkata-kata kepada yang lebih kecil. Baik status usia maupun hubungan
kekeluargaan. Antara mamak kepada kemenakan, antara orang tua kepada anak,
antara kakak kepada adik, antara guru kepada murid dan lain sebagainya. Kato
mandaki merupakan berkata dan bersikap kepada orang yang lebih dewasa atau
lebih tua dari kita. Baik dari segi umur, status sosial yang dimiliki oleh seseorang
tempat lawan bicara.
d. Adat Sumando Manyumando
Dalam bakaum sudah tentu akan hidup dalam adat sumando mayumando,
karena seorang yang sudah berumah tangga didirinya terlekat sebagai ayah dari
anak-anaknya, sebagai sumando dirumah istrinya, sebagai mamak dari
kemenakannya, ipar dan bisan bagi famili dalam kaum istrinya. Jabatan tersebut
23
tidak bisa dilepaskan dalam berkaum dan masyarakat minangkabau. Adapun
lingkup adat dalam sumando manyumando yaitu :
1) Adat Kasumando
Mamak rumah harus menghargai sumando karena sumando adalah orang
yang dijapuik secara adat untuk menjadi suami adik atau kakak. Dia adalah orang
yang berperan sebagai pemelihara keluarga dan juga bagian dari dalam keluarga.
Mamak seharusnya mengajak sumando ikut serta dalam musyarwarah di rumah
istrinya. Bagi tuan rumah dalam adat tidak boleh seenaknya membentak atau
menghardik sumando.
2) Adat Sebagai Sumando
Sebagai sumando juga harus bersikap hati-hati dan pandai menempatkan
diri. Jangan berpikir picik apalagi berniat untuk meguasai harta benda istri dan
pemalas. Maka jadilah hendaknya sumando ninik mamak yaitu tampek baiyo
bakato-kato. Artinya seorang sumando yang pandai menempatkan diri akan selalu
menjadi tempat bertanya, suka membantu, suka bergaul dan memakai sopan dan
santun.
e. Adat dalam Keluarga
Keluarga adalah basis terkecil dalam susunan masyarakat dan suku. Tiap
keluarga terdiri dari ayah, ibu, anak. Selanjutnya jika anak sudah menikah akan
ada sumando, bisan, cucu dan lain-lain. Bagi orang Minang harus bisa
memposisikan dirinya, sebagai apa ia dirumah, karena secara ideal memang
keluarga adalah rumah tangga kita sendiri namun dalam masyarakat Minang tiap
pribadi, keluarga dan paruik adalah bagian dari suku, ialah kemenakan dari
24
mamaknya, anggota dari kaumnya. Dibawah penghulu sebagai “tuo suku” dan
juga adalah penduduk dari nagari.
Di Minangkabau anak dalam keluarga adalah kemenakan dari mamak.
Mamak bertanggung jawab terhadap kamanakan dalam posisinya sebagai mamak,
ayah selaku kepala keluarga hanya bertanggung jawab untuk kelangsungan hidup.
Jika anak berbuat salah maka orang akan bertanya “itu kemenakan siapa? Bukan
ditanyakan, “itu anak siapa? Ini masih dapat dirasakan 40 sampai 50 tahun lalu,
tapi sekarang semuanya sudah berubah, dulu Ayah sebagai sumando dirumah istri
sekarang dia hanya bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup anaknya.
Agama islam mengajarkan dan mewajibkan kita sebagai anak untuk
berbakti dan taat kepada ibu bapak. Taat dan berbakti kepada kedua orangtua
adalah sikap dan perbuatan yang terpuji, cara berbakti dan sopan santun kepada
orangtua adalah melaksanakan segala perintahnya dengan melakukan hal-hal
diantaranya adalah:
1. Berbakti dengan melaksanakan nasehat dan perintah yang baik dari keduanya.
2. Memelihara dengan penuh keikhlasan dan kesabaran apalagi jika keduanya
sudah tua dan pikun.
3. Merendahkan diri, kasih sayang dan mendoakan keduanya
4. Anak harus berkorban untuk orangtuanya.
5. Meminta kerelaan orang tua ketika akan berbuat sesuatu.
6. Berbuat baik kepada Ibu dan Ayah, walaupun keduanya zalim.
7. Berkata halus dan mulia kepada Ibu dan Ayah.
25
5. Sosiologi Sastra
Menurut pandangan Wolff (dalam Endraswara 2011:77), sosiologi sastra
merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri
dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak
lebih general, yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal
bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dengan masyarakat.
Sedangkan menurut Simmel (dalam Faruk 2010:35), beranggapan
masyarakat pada struktural yang makro harus bepijak pada interaksi sosial yang
teramati pada level mikro, misalnya interaksi dalam silaturahmi dan pergaulan
sehari-hari , interaksi antar sepasang kekasih, dan sebagainya.Hal penting dalam
sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam kaitan ini, sastra dianggap
sebagai mimetis (tiruan) masyarakat. Kendati demikian, sastra tetap diakui
sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan. Teoretikus lain Madame de
Stael (dalam wardani 2009:34) menghubungkan karya sastra dengan iklim,
geografi, dan institusi sosial. Faktor iklim, geografi, dan istitusi sosial akan
terlihat dalam karya sastra yang diciptakan pengarang.
Sependapat dengan itu (Wardani 2009:34) mengatakan teori sosiologi
sastra (teori sosial sastra) berkembang pada abad 18. Ada suatu kesadaran bahwa
karya sastra dikondisikan oleh lingkungan sosial. Lingkungan menjadi faktor
penting dalam lahirnya karya sastra. Lingkungan terdiri dari faktor fisik, iklim dan
geografi, serta karakter daerah.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa sosiologi
sastra adalah suatu ilmu yang menghubungkan sebuah karya sastra dengan
26
manusia atau masyarakat yang terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan
berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general yang masing-masingnya
hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan
hubungan sastra dengan masyarakat.
B. Penelitian yang Relevan
Berdasarkan studi pustaka, ditemukan beberapa penelitian lain yang
relevan dengan penelitian ini, yaitu:
Pertama, Yaflis (2000) mahasiswa Universitas Andalas dengan judul
penelitan “Realita sosial masyarakat Pinggiran dalam kumpulan cerpen Nyindam
(tinjauan sosiologi sastra)” hasil penelitiannya pertama, ditemukan dari masalah
sosial ekonomi pada masyarakat Pinggiran selalu merujuk pada kemiskinan dan
kemiskinan adalah hal yang sangat mencolok dari masyarakat ini. Kedua, dari
sosial keluarga pada masyarakat pinggiran adalah perceraian dan banyak anak-
anak dari setiap keluarga adalah pemulung dan putus sekolah dan ketiga, dilihat
dari sosial budaya.
Wadiah (2014) mahasiswa Universitas Andalas. dengan judul penelitian
“Realita Sosial dalam novel Gerhana karya A.A. Navis (tinjauan sosiologi
sastra)”. Hasil dari penelitiannya adalah: pertama, terdapat permasalahan sosial.,
permasalahan sosial dalam penelitian ini adalah kemiskinan. Kedua masalah
politik dan demonstrasi yang hadir dalam permasalahan cerita.
Yonesa, (2016) mahasiswa STKIP PGRI Sumatera Barat dengan judul
penelitian “Realitas Sosial Dalam Kumpulan Cerpen Senyum Karyamin Karya
Ahmad Tohari”. Hasil penelitinnya adalah mengungkapkan bentuk realitas sosial
27
ditengah masyarakat, bentuk realitas sosial yang ditemukan dalam kumpulan
cerpen “Senyum Karyamin” dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu. Pertama
bentuk realitas sosial moral yang ditemukan ada enam. Kedua bentuk realitas
politik ada enam. Ketiga bentuk realitas sosial pendidikan ada dua. Keempat
bentuk realitas agama tiga. Kelima bentuk realitas kebiasaan ada delapan. Ke
enam bentuk realitas ekonomi ada dua. Ketujuh bentuk realitas rumah tangga ada
lima.
Berdasarkan studi pustaka yang telah dilakukan, diketahui bahwa
terdapat perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu, yaitu terletak pada
objek penelitiannya. Pada penelitian ini, akan dilakukan penelitian tentang realitas
sosial masyarakat Minangkabau dalam novel Jejak-jejak yang Membekas karya
Syafiwal Azzam dan meliputi lima aspek yaitu (1) adat bakaum; (2) adat
bakampuang; (3) adat bergaul dalam masyarakat; (4) adat sumando manyumando;
dan (5) adat dalam berkeluarga.
C. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual merupakan gambaran penelitian yang dilakukan
dalam menganalisis sebuah karya sastra sehingga memperoleh sebuah penjabaran
atau gambaran umum tentang apa yang akan dianalisis dalam penelitian ini.
Penelitian terhadap novel Jejak-Jejak Yang Membekas karya Syafiwal Azzam
tidak terlepas dari kajian instrinsik karya sastra berupa penokohan, alur, latar,
sudut pandang, gaya bahasa, tema dan amanat. Kemudian penelitian terhadap
novel Jejak-Jejak Yang Membekas karya Syafiwal Azzam juga dianalisis melalui
struktur ekstrinsik sehingga dengan menggunakan penelitian kualitatif dan metode
28
deskriptif analisis. Pada penelitian ini akan dibahas mengenai realita sosial
masyarakat Minangkabau.
29
Bagan 1. Kerangka Konseptual Realita Sosial Masyarakat Minangkabau
dalam Novel Jejak-Jejak Yang Membekas Karya Syafiwal Azzam.
Karya Sastra
Novel
Unsur Instrinsik
Penokohan Alur Latar Sudut
Pandang
Gaya
Bahasa
Tema dan
Amanat
Realita sosial masyarakat Minangkabau dalam novel Jejak-
Jejak Yang Membekas karya Syafiwal Azzam
Realitas Objektif
Realita sosial masyarakat
Minangkabau
Puisi
Prosa
Drama
Unsur Ekstrinsik
Norma-
norma Konvensi
Sastra
Konvensi
Budaya
Bentuk Realita
Sosial
kebiasaan
Pengarang
Adat Bakaum Adat
Bakampuang
Adat dalam
bergaul dalam
masyarakat
Adat sumando
manyumando
Adat dalam
keluarga
30
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Semi (2012:3) menyatakan
bahwa penelitian kualitatif yang diutamakan bukan berdasarkan angka-angka,
tetapi kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang sedang dikaji
secara empiris. Empiris berarti berdasarkan pengalaman terutama yang diperoleh
dari penemuan, percobaan, dan pengamatan yang telah dilakukan. Penelitian
kualitatif lebih sesuai digunakan untuk meneliti karya sastra. Karya sastra
merupakan suatu bentuk karya kreatif yang bentuknya senantiasa berubah dan
tidak tetap.
B. Metode Penelitian
Metode penelitian ini adalah deskriptif analisis. Menurut Ratna (2004: 53),
metode deskriptif analisis adalah metode yang dilakukan dengan cara
mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian dilanjutkan dengan analisis. Secara
etimologis deskripsi dan analisis adalah menguraikan tetapi tidak semata-mata
menguraikan, melainkan memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya.
C. Data dan Sumber Data
Data penelitian ini adalah teks berupa kutipan yang berkaitan dengan
realita sosial masyarakat Minangkabau dalam novel Jejak-jejak yang Membekas
karya Syafiwal Azzam. Novel ini diterbitkan oleh CV Haren, Padang pada tahun
2011 dengan jumlah halaman 266. Perwajahan novel ini sangat sederhana.
Terlihat pada bagian depan terdapat gambar kaki yang berjalan di pasir dengan
29
31
meninggalkan jejak dari kakinya. Halaman penuh pada kulit tergambar kaki di
pojok atas dengan gambar pasir memenuhi sampulnya sehinga terlihat warnanya
krim karena pasir dan ditengah-tengah sampul terdapat judul novel Jejak-jejak
yang Membekas dengan warna tulisan biru-merah.
D. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian ini adalah peneliti sendiri serta dibantu oleh format
pengumpulan data. Penelitian ini difokuskan pada realita sosial masyarakat
Minangkabau dalam novel Jejak-Jejak yang Membekas karya Syafiwal Azzam.
Menurut Moleong (2010:168), instrumen penelitian adalah alat pengumpulan
data. Instrumen penelitian bertujuan untuk membantu peneliti dalam
mengumpulkan data agar lebih mudah dan sistematis. Instrumen lainnya yang
mendukung langkah-langkah operasional penelitian yaitu lembaran format
inventarisasi data yang digunakan untuk mencatat hal-hal penting yang
berhubungan dengan aspek realitas sosial masyarakat Minangkabau yang
berpengaruh dari bentuk-bentuk realitas sosial itu sendiri.
30
32
33
E. Teknik Pengumpulan Data
Endaswara (2009:228) menyatakan bahwa pengamatan dan pencatatan
adalah bagian penting dalam mengumpulkan data. Penelitian ini merupakan
penelitian kepustakaan, maka teknik pengumpulan datanya adalah teknik pustaka
dan catat. Teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data sebagai berikut ini:
1. Tahap pembacaan, yaitu membaca dengan cermat teks dengan unsur-unsur
yang berkaitan dengan realitas sosial masyarakat Minangkabau dan
membaca buku-buku penunjang penelitian terkait objek dan kajiannya.
2. Menandai data yang berhubungan dengan realita sosial masyarakat
Minangkabau dalam novel Jejak-Jejak yang Membekas karya Syafiwal
Azzam.
3. Mencatat, menginvetarisasikan dan mengklasifikasikan data yang
ditemukan mengenai realitas sosial masyarakat Minangkabau dalam novel
Jejak-Jejak yang Membekas karya Syafiwal Azzam.
F. Teknik Pengabsahan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengabsahan data berupa teknik
triangulasi. Moleong (2010:330) menyatakan bahwa teknik triangulasi merupakan
teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu,
untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut.
Pada penlitian ini teknik triangulasi dalam bentuk penyidik. Teknik triangulasi
dalam bentuk penyidik merupakan teknik pengabsahan data dengan
memanfaatkan peneliti atau pengamat lainnya untuk keperluan pengecekan
kembali derajat kepercayaan data.
34
Pemanfaatan pengamat membantu mengurangi kemelencengan dalam
pengumpulan data. Oleh sebab itu, penelitian ini menggunakan triangulator.
Triangulator dalam penelitian ini adalah Bapak Wahyudi Rahmat, M.Hum, beliau
adalah salah seorang dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia di STKIP PGRI Sumatera Barat. Memilih beliau sebagai triangulator
karena beliau mempunyai pengalaman meneliti tentang sosiologi sastra. Bapak
Wahyudi Rahmad, M.Hum pernah meneliti kajian sosiologi sastra dengan judul
“Sosial Budaya Cina dalam Kaba Siti Kalasun Tinjauan Sosiologi Sastra”.
G. Teknik Analisis Data
Menurut Patton (dalam Moleong, 2010:280), analisis data adalah proses
mengatur urutan data, mengorganisasikan ke dalam suatu pola, kategori dan satu
uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema serta dirumuskan hipotesis kerja
seperti yang disarankan oleh data. Berikut tahap-tahap analisis data pada
penelitian ini: (1) mendeskripsikan data yang berkaitan dengan realita sosial
masyarakat Minangkabau; (2) menganalisis data berdasarkan kutipan yang
berkaitan dengan realita sosial masyarakat Minangkabau; (3) menginterpretasikan
realita sosia masyarakat Minangkabau dalam novel; (4) menyimpulkan
berdasarkan hasil perolehan data, dan (5) menuliskan hasil laporan penelitian.
35
DAFTAR PUSTAKA
Atmazaki. 2005. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang: Citra Budaya
Indonesia.
Atmazaki. 2007. Ilmu Sastra Teori dan Terapan. Padang: UNP Press.
Effendi, Nursyirwan. 2010. Bunga Rampai Budaya: Rumah Tradisional, Sistem
Pewarisan, Songket Palembang, dan Adat Minangkabau. Padang: BPNST
Padang Press.
Endraswara, Suwardi. 2009. Metodologi Penelitian Foklor Konsep, Teori dan
Aplikasi. Yogyakarta: Media Pressindo.
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra Epistemologi, Model,
Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS.
Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Jamil, Muhammad. 2015. Hiduik Baradaek “Inilah Karakter Pendidikan Dan
Budi Pekerti Orang Minang”. Bukittinggi: Cinta Buku Agensi.
Mihardja, Ratih. 2012. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta Timur: Laskar
Aksara.
Moleong, Lexy. J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Muhardi dan Hasanuddin. 1992. Prosedur Analisis Fiksi. Padang: IKIP Press.
Priyatni, Tri Endah. 2010. Membaca Sastra dengan Ancaman Literasi Kritis.
Jakarta: Bumi Aksara.
Ramadansyah. 2012. Paham dan Terampil Berbahasa dan Bersastra Indonesia.
Padang: Dian Aksara Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Jakarta: Bumi Aksara.
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Sastra dan kultural studies: Representasi fiksi dan
Fakta.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sasmita, Feni. 2011. “Kehidupan Sosial Masyarakat Batak Toba (tinjauan
sosiologi sastra)”. Skripsi. Padang:UNAND.
Semi, M.Atar. 2012. Metode Penelitian Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Soekanto, Soerjono. 2013. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Sztompka, Piotr. 2010. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada.
34
36
Tarigan, Hendri Guntur. 2011. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Yaflis. 2000. “Realitas Sosial Masyarakat Pinggiran dalam Kumpulan Cerpen
Nyindam”. Skripsi. Padang: UNAND.
Yonesa, Rahmi Fitri. 2016. “Realitas Sosial Dalam Kumpulan cerpen Senyum
Karyamin Ahmad Tohari”. Skripsi. Padang: STKIP.
Wadiah, Rahmadania. 2014. “Realitas Sosial dalam Novel Gerhana Karya A.A.
Navis (Tinjauan Sosiologi Sastra)”. Skripsi. Padang: UNAND.
Wardani, Eko Nugraheni. 2009. Makna Totalitas dalam Karya Sastra. Surakarta:
UNS Press.
37
Judul Novel : Jejak- Jejak yang Membekas
Sinopsi : Perjuangan seorang anak muda dalam meraih masa depan
dalam keteguhan agama dan budaya.
Jumlah Halaman : 226 halaman
ISBN : 978-602-99722-0-7
38
LAMPIRAN
Sinopsis Novel Jejak-Jejak yang Membekas karya Syafiwal Azzam
Kisah ini menceritakan sebuah perjuangan seorang anak muda yang
bernama Wim Buana Putra yang tinggal di sebuah kampung di kaki gunung
Merapi. Demi masa depan Ia pergi merantau, terpisah dari Ibu Bapak dan adik-
adiknya. Namun ia selalu ingat akan pesan dan niat utama kenapa ia di sana, Wim
sadar tujuan ia kesana adalah belajar bukan berpacaran dan mengikuti hawa nafsu.
Wim paham betul Tentang penduduk desa yang punya kehidupan yang sangat
religius sekali yang menganggap tabu pergaulan muda mudi berupa pacaran
sebelum nikah. Tentang guru mengaji yang berpesan : jangan mendekati zina.
Karena zina adalah dosa besar. Pacaran adalah suatu bentuk mendekati zina bila
dilakukan berduaan ditempat sepi. Karena tidak ada istilah pacaran dalam islam
dan tentang pesan kedua orangtuaku : kita orang miskin, tugasmu ke sana adalah
sekolah, menuntut ilmu sesuai ajaran agama kita. Oleh sebab itu hindari semua hal
yang dapat mengganggu kelancaran belajarmu.
Hal yang paling ditunggu Wim adalah ketika pulang ke kampung
halamannya. Wim sangat takjub dengan kegigihan masyarakat kampungnya salah
satunya adalah Pak Malano, Semenjak Wim sekolah dasar sampai saat ini lelaki
itu masih setia dengan profesinya sebagai kusir. Walaupun kini ojek telah mulai
secara perlahan dan pasti mempersempit lahan untuk bendi namun ia masih tetap
bertahan. Di perjalanan, orang kampung yang sedang duduk-duduk tampak ingin
tau sekali siapa yang dibawa bendi itu, setelah Wim turun barulah mereka tau dan
memang sudah adatnya dalam bakampuang masyarakat Minangkabau harus
menjalin rasa persaudaraan walaupun sudah lama di rantau.
Di keesokan pagi Wim mulai melihat-lihat dan berjalan di pematang
sawah, tiba-tiba perasaan sendu merasuki dirinya. Hati Wim sedih ketika ia
menyadari bahwa sawah yang padinya kini sedang menguning tidak satu petak
pun menjadi milik keluarganya. Wim tahu persis permulaan terjadinya
penggadaian sawah-sawah mereka itu. Penggadaian itu dimulai sepuluh tahun
yang lalu. Semuanya berpangkal dari tingkah laku abangnya Zaldy. Abangnya
telah melakukan pencurian di rumah Mamak mereka sendiri. Dan agar perkara
tidak sampai ke polisi maka mereka mengganti kerugian harta Mamak. Maka
sawah mereka terpaksa digadaikan sebagian selain itu, Zaldy harus meninggalkan
kampung mereka.
Pak Imam dan Bu Halimah, ayah dan ibu Wim tahu sebabnya dari mana
bermula perkara yang melibatkan kemenakan dan Mamak itu terjadi. Semua ini
berawal dari sikap Datuk Mantiko yang menolak bila ibu Wim menghutang padi.
Hal ini adalah disebabkan pak Imam dan Datuk Matiko adalah dua orang yang
sering berdebat dalam rapat nagari. padahal pak imam adalah bisan yang
seharusnya lawan ber iya dengan sang datuk, Datuk Mantiko yang merasa dirinya
39
adalah sebagai keturunan bangsawan biasanya selalu memaksakan kehendak
disetiap rapat.
Ia sering mendikte orang lain agar pendapatnya dituruti dan dijalankan.
Orang-orang kampung yang memandang hartanya biasanya tidak berani
membantah karena kebanyakan mereka punya hutang pada Datuk Mantiko. Pada
suatu hari diundanglah Wim oleh sang Datuk untuk menghadiri hajatan di
rumahnya karena keberhasilan panen padi yang didapat Datuk. Selesai makan dan
jedah menghabiskan satu batang rokok Datuk Mantiko angkat bicara, Wim
menyalami mamaknya, eteknya dan Hennita, anak mamaknya itu. Hennita adalah
anak bungsu Datuk Mantiko.
Sampai saat ini barulah Wim menyadari bahwa malu yang diberikan oleh
abangnya itu bukan hanya sekedar malu yang di coreng untuk Ibu Bapaknya di
hadapan orang kampung saja, namun semua itu adalah bukti kecintaannya
terhadap Ibu Bapaknya. Kemurkaan Zaldy bukannya tidak mau dilarang namun
sekaligus ia ingin semua orang kampung tau, bahwa Datuk Mantiko orang yang
selama ini didahulukannya selangkah dan ditinggikan seranting itu tidak pantas
dipanggil Mamak.
Suatu hari Datuk Mantiko ingin sekali menikahkan putrinya dengan Wim,
sebagai kemenakan Wim sangat segan untuk menolak permintaan Mamak nya ini.
Dengan cara halus Wim menyatakan menolak untuk menikahi hennita dan Datuk
pun paham arti dari alasan yang telah diterima nya itu. Wim akhirnya menikah
dengan Tika, perempuan yang telah membuatnya jatuh hati dan Tika
mengingatkan Wim dengan jejak perempuan yang dicintainya dulu.
40
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Pada bab ini akan dijelaskan tentang : (a) temuan penelitian, (b)
pembahasan. Pembahasan dilakukan dengan cara menganalisis data yang
berhubungan dengan realitas sosial masyarakat Minangkabau dalam novel Jejak-
Jejak yang Membekas karya Syafiwal Azzam.
A. Temuan Penelitian
Dalam penelitian ini, yang akan menjadi temuan penelitian adalah realitas
sosial masyarakat Minangkabau dalam novel Jejak-Jejak yang Membekas karya
Syafiwal Azzam. Realitas sosial yang dapat direduksi bukan dari unsur positif saja
namun juga negatifnya, pada masyarakat Minangkabau dilihat dari lima lingkup
adat. Realitas sosial kehidupan Masyarakat Minangkabau di dalam novel menjadi
gambaran tentang kehidupan masyarakat yang nyata.
Pada penelitian ini ditemukan lima aspek adat sosial masyarakat
Minangkabau yaitu adat bakaum, adat bakampuang, bergaul dalam masyarakat,
sumando-manyumando, dan adat dalam keluarga. Dalam penelitian ini ditemukan
4 data adat dalam bakaum, 7 data adat dalam bakampuang, 2 data adat dalam
bergaul dalam masyarakat, 4 data adat sumando-manyumando, dan 5 data adat
dalam berkeluarga. Pada penelitian ini, data adat bakaum dan adat bergaul dalam
masyarakat lebih dominan terdapat pada masyarakat Minangkabau dalam novel
Jejak-Jejak yang Membekas karya Syafiwal Azzam.
40
41
1. Realitas Sosial Masyarakat Minangkabau dalam Novel Jejak-Jejak yang
Membekas Karya Syafiwal Azzam.
A. Adat Bakaum
Bakaum merupakan salah satu bentuk persaudaraan atau basuku di
Minangkabau. Setiap individu di Minangkabau wajib memiliki suku atau kaum
kaum dari garis keturunan Ibu (matrilineal). Dalam suku ada penghulu atau datuak
sebagai pemimpin kaumnya. Kaum adalah organisasi terkecil dalam Nagari di
Minangkabau. Setiap pribadi orang Minangkabau akan senantiasa menjaga nama
baik kaumnya, sebagai contoh hubungan antara kemenakan dan Mamak.
Kemenakan harus patuh kepada Mamak. Namun, karena tidak saling
menempatkan diri pada tempatnyahubungan ini bisa sebaliknya, bahkan yang
tidak terpikir sekalipun. Hal tersebut tergambar pada kutipan berikut.
“ia terbukti merencanakan pencurian di rumah Mamaknya
sendiri. Ia ketahuan setelah uang habis difoya- foyakan bersama
teman-temannya”. (Syafiwal azzam, 2011:90).
Berdasarkan kutipan di atas terlihat perilaku buruk yang dilakukan
kemenakan terhadap Mamaknya karena tidak adanya lagi saraso samalu maka
dalam kaum, ini akan menimbulkan cemooh dimata orang banyak. Mencuri
merupakan perilaku yang tercela, apalagi ini dilakukan di rumah seorang Mamak.
Mamak yang seharusnya di segani dan di hormati malah menjadi sasaran
pencurian. Di dalam adat Minangkabau sendiri telah disebutkan “Adat basandi
syarak, syarak basandi kitabullah” yang berarti setiap hal yang berhubungan
dengan adat tidak lepas dari Alquran atau kitab Allah. Mencuri harta benda orang
lain adalah perbuatan yang mendatangkan dosa apalagi dilakukan di rumah orang
42
yang harusnya disegani. Datuk adalah pengganti orangtua kepada kemenakannya
dan kemenakan berartia adalah anak, bagaimana jika hal ini terjadi dan antara
Mamak dengan kemenakan akan menimbulkan buah bibir di mata kaum lain.
Tidak ada lagi hormat menghormati, segan menyegani. Rusak kaum, rusak lah
adat.
Adat bakaum selanjutnya tercermin dari perasaan sanansib
sapanangguangan ikatan kekeluargaan dalam satu kaum, satu suku, satu penghulu
harus mempunyai sikap sakik samo sakik,sanang samo sanang, kabukik samo
mandaki, kalurah samo manurunbermula daricerita Ayah Wim mengenai alasan
kenapa Abangnya Zaldy mampu melakukan perbuatan memalukan seperti itu.
Semua terjadi ketika di Indonesia sedang krisis beras, keluarga Datuk Mantiko
yang terbilang kaya mereka tidak perlu merasakan kepayahan dan mengantri
seperti orang kampung yang lain. Saudara-saudara Ibu Halimah yang lain juga
merupakan Adik dari datuk Mantiko dapat berhutang meminjam beras namun
terhadap bu Halimah Ibu Wim itu tidak berlaku. Hal itu terbukti dari kutipan
berikut ini.
“Waktu musim paceklik terjadi, Datuk Mantiko dan adik-adiknya
dapat berhutang kepadanya sehingga tidak begitu merasakan
kesulitan akibat musim yang buruk itu. Mereka tidak perlu
berdesak-desakan membeli beras bulog atau mencari tempat
berhutang ke kampung-kampung lain. Tapi berhutang padi ini
tidak berlaku untuk ibu Wim. Ibu Halimah seakan dipencilkan
oleh datuk ini, dari keluarga mereka. Ia memusuhi adiknya
yang satu ini.”(Syafiwal Azzam,2011:99)
Berdasarkan kutipan di atas, terlihat tidak ada rasa iba Datuk Mantiko
teruntuk kaumnya sendiri bahkan Adik yang masih berada dalam satu keluarga
43
dan terikat tali sedarah diperlakukan tidak adil. Ikatan tersebut bahkan tidak
mampu membuat ada kebaikan dihati Datuk Mantiko karena tidak adanya rasa
sanasib sapanangguangan di dalam dirinya. Membuat siapa saja mau tidak mau
harus menerima kenyataan ini bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan
dengan sadar datuk mantiko menyadari bahwa kelakuannya itu telah menggores
luka di hati adiknya, namun hal itu tidak membuatnya merasa bersalah ataupun
berusaha memperbaiki diri. Terlihat pada kutipan berikut ini.
“walaupun tindakan itu akan menyakiti adiknya sendiri dan
membuat adiknya menderita, tapi sang datuk tidak
peduli”.(Syafiwal Azzam, 2011:100)
Tidak sepatutnya seorang kakak mengucilkan adiknya sendiri.
Kebanyakan orang akan melindungi keluarganya dari cemooh orang lain namun
tidak sedikit juga hal demikian terjadi. Semuanya hanya bermula dari pemikiran
jahat sang Datuk saja.
Selanjutnya pertikaian kaum semakin menjadi ketika abang Wim yaitu
Zaldy menuntut keadilan dari sang Mamak. Sebagai kemenakan patut Zaldy
berkata demikian, ulah dari perangai datuk Mantiko sendiri. Terlihat dari kutipan
berikut ini.
“sebagai seorang datuk yang ditinggikan seranting dan
didahulukan selangkah ia tidak boleh berbuat demikian. Ia
harus berlaku adil terhadap kaum dan anak
kemenakannya”.(Syafiwal Azzam, 2011:103)
Demikian kemenakannya Zaldy menuntut agar sang datuk dapat berlaku
adil. Sangat terasa keangkuhan Mamaknya ini sehingga Zaldy angkat bicara
44
terhadap hal yang ia rasakan selama ini. Zaldy sepertinya ingin Mamaknya
mengubah kembali perilaku yang tidak terpuji dari Mamaknya itu terhadap
keluarganya.
Setelah Zaldy melancarkan pencurian di rumah Datuk Mantiko, Zaldy
dengan ikhlas menerima hukuman yang akan diterimanya. Bahkan kepala kaum
memanggil polisi agar kasus ini bisa diselesaikan tetapi karena lebih kuatnya adat
pada masyarakat polisi harus menyerahkan hukuman yang datang dari kaum ini
sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan di bawah ini.
“polisi dapat menerima bahwa ini adalah masalah dalam kaum
kita, apapaun hukuman yang diberikan oleh kaum, kamu
harus menerimanya tanpa membantah, karena itulah resiko
dari perbutanmu”. (Syafiwal Azzam, 2011:113)
Kutipan di atas menggambarkan bahwa Sekuat apapun keadilan di negara
tetapi kalau semua sudah diserahkan kepada adat bahkan keadilanpun akan
dengan senang hati mengembalikan semuanya kepada adat.
Wim meyadari perubahan Datuk Mantiko ketika ia baru pulang dari
menamatkan kuliahnya di S.S.A Pekanbaru, Datuk Mantiko seketika berubah
menjadi hangat dan menegurnya duluan. Hal tersebut terlihat dari kutipan
dibawah ini.
“Di kepalanya bermunculan bermacam-macam pertanyaan.
Selama ini tidak pernah Mamaknya berbuat ramah seperti
demikian. Ia tidak pernah menegur duluan”(Syafiwall Azzam,
2011: 92).
Dari kutipan diatas terlihat bahwa Wim selaku kemenakan terkejut atas
sikap ramah yang diberikan Datuk. Hal itu disebabkan karena selama ini Datuk
45
Mantiko telah membina hubungan yang buruk sehingga menimbulkan tanda tanya
dihati kemenakannya sendiri.
Tidak sampai disitu perubahan Datuk Mantiko kepada Wim, Datuk
Mantiko juga mengadakan syukuran atas melimpahnya hasil padi dan yang kedua
karena telah berhasilnya kemenakannya menamatkan sekolah di S.S.A Pekanbaru,
dimana tidak semua orang dikampung itu dapat bersekolah disana. Terlihat dari
kutipan berikut.
“dan yang kedua adalah berhasilnya kemenakan kami, Wim
menyelesaikan sekolahnya di SSA Pekanbaru karena itu pada
pak haji kami mohon untuk membacakan doa”. (Syafiwal
Azzam, 2011:123)
Sangat terlihat jelas bahwa Datuk Mantiko tidak menyianyiakan
keberhasilan yng telah dibawa pulang oleh Wim. Setelah syukuran karena pada
panen kali ini padi melimpah, Datuk juga tidak ketinggalan mengungkapkan
kebahagiaannya atas berhasilnya anak kemenakan dalam menyelesaikan
pendidikan yang mana tidak semua orang bisa mencapainya.
Adat bakaum selanjutnya terlihat ketika Zaldy dijatuhi hukuman oleh
kepala kaum, Zaldy mendapatkan hukuman meninggalkan kampung dan
orangtuanya mengganti seperempat harta Mamaknya yang hilang berdasarkan
kutipan dibawah ini.
“kalau begitu, menurut adat kita kamu di hukum dengan
hukuman meninggalkan kampung selama lima tahun dan
orangtuamu mengganti seperempat harta Datuk Mantiko.
Kepala kaum mengambil keputusan” (Syafiwal Azzam, 2011:
113)
46
Dari kutipan diatas terlihat bahwa dalam adat bakaum segalanya harus
dimusyawarahkan bersama-sama, termasuk menentukan sebuah hukuman yang
datang dari kaum itu sendiri. Begitulah dalam bakaum, meninggalkan kampung
dan keluarganya menggganti seperempat harta Mamak menurut kaum sudah
setimpal dengan perbuatan yang telah dilakukan.
Datuk mantiko bahkan mencoba untuk menggagalkan acara
pertunanganan antara Wim dengan Tika, Datuk sakit hati karena pinangan darinya
tidak diterima oleh keluarga Wim dan tidak tanggung-tanggung kelicikan Datuk
kali ini meminta uang jemputan yang sangat tidak wajar, telihat dari kutipan
dibawah ini.
”Dalam acara meminang ini sempat terjadi sedikit ketegangan
karena Datuk Mantiko meminta uang jemputan yang besar.
Seratus juta rupiah . itulah uang jemputan yang diminta
Datuk Mantiko. Pihak keluarga Tika sempat tersinggung dengan
permintaan Datuk ini” (Syafiwal Azzam, 2011:249)
Sangat terlihat kepicikan Datuk Mantiko, sebagai seorang Mamak Datuk
telah menyalahi fungsinya. Datuk seharusnya bersikap arif bijaksana tapi yang
dilakukan datuk kali ini sungguh sangat keterlaluan, Datuk Mantiko mencoba
menggagalkan pertunanganan Wim dan Tika dengan syarat yang sangat diluar
dugaan pihak keluarga Tika.
B. Adat Bakampuang
Di Minangkabau dikenal dalam istilah bakorong bakampuang, basasok,
bajarami, bapandan bapakuburan.Bakampuang merupakan suatu wilayah atau
kawasan yang didiami oleh orang yang sesuku atau suku sejenis saja atau tidak
47
bercampur dengan suku lain. Setiap apa yang datang maupun pergi orang
kampung akan selalu peduli dan mata tidak akan lengah memperhatikan
lingkungan sekitar. Seperti ketika kepulangan Wim ke kampung setelah
kepulanganya dari menuntut sekolah di Pekanbaru, terlihat pada kutipan dibawah
ini.
“ Wim hanya diam saja mendengar celoteh kusir itu. Sementara itu
bendi mendekati kudanya.beberapa orang laki-laki tampak
duduk berjuntai diatas balai-balai bambu sambil menghisap
rokok, semuanya menoleh ke arah bendi yang ditumpangi.
Nampaknya mereka ingin tau siapa yang turun”. (Syafiwal
Azzam, 2011: 79)
Dari kutipan diatas dapat di pahami bahwa orang kampung sangat peduli
dengan lingkungan sekitar, apa yang terjadi didalam kampung akan selalu
menjadi perhatian orang banyak termasuk hanya sosok yang sedang datang
dibawa oleh bendi. Orang kampung tampak ingin tau sekali apa siapa yang datang
dan siapa yang pergi karena kalau tak pandai mawas diri, dikucilkan bukan lah
hak baru dalam bakampuang.
Kaum sebagai anggota masyarakat harus pandai menjaga diri, kalau tak
pandai menjaga diri maka cemo dalam nagari (cacat) dan terhina dalam
adat.begitulah yang terjadi dengan Zaldy, anak yang di kenal baik dan patuh tega
melakukan hal yang memalukan dan pada akhirnya, gunjing dan cemooh tak
dapat dielak kan. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut.
“dan itu saja belum lagi begitu menghebohkan jika sekiranya anak
pak Imam, Zaldy tidak terlibat di dalamnya.betapa orang
kampung tidak akan heboh, Zaldy anak seorang alim yang
disegani selama ini yang mereka kenal sebagai seorang
pemuda baik dan taat beribadah tersangkut dalam peristiwa
yang sangat memalukan itu. Benar-benar tidak pernah mereka
bayangkan sama sekali.(Syafiwal Azzam, 2011:108)
48
Berdasarkan kutipan di atas dapat dilihat bagaimana berita buruk akan
cepat tersebar, dalam bakampuang hal yang ganjil akan menjadi buah bibir orang-
orang, apalagi ketika yang digunjingkan adalah orang yang terkenal alim dan
baik. Berbuat salah di dalam kampung akan membuat berita yang heboh dan hina
dimata orang banyakdan penting untuk menjaga diri beserta nama baik keluarga
dimata siapapun.
Selanjutnya hal yang paling memalukan dalam keluarga Wim adalah
pencurian yang dilakukan Abangnya dirumah Mamaknya sediri, sehingga Zaldy
menerima sangsi sosial dari kampung yaitu dibuang dari tempat tinggalnya
sendiri, terlihat pada kutipan dibawah ini.
“Hal ini tentulah karena teringat pada anaknya yang pergi tanpa
berita sampai saat itu. Yaitu anak tertua dalam keluarga
mereka. Kakak Wim, Zaldy, telah lama pergi. Kepergiaanya
adalah dalam keadaan yang menyedihkan karena dibuang
dari kampung dan sampai saat ini tidak ada kabar beritanya
sama sekali”. (Syafiwal Azzam 2011 : 82)
Betapa arang dicorengkan oleh Zaldy ke wajah Ibu Bapaknya,
bagaimanapun mencuri merupakan suatu perbuatan yang hina apalagi dilakukan
dirumah Mamak sendiri. Namun Zaldy mendapakan hukuman yang dikira pantas
untuk menebus kesalahannya yaitu dibuang darin kampung tempat ia dibesarkan.
Dalam bakampuang orang-orang tidak jarang berpikir bahwa orang yang berbuat
salah di dalam kampung hanya akan mencemarkan dan mendatangkan bala
ditengah-tengah mereka.
Selain itu dalam bakampuang, seorang guru yang baik akan di segani oleh
orang kampung karena dalam bakampuang orang yang mempunyai dampak yang
49
besar untuk orang lain sangat dihormati dan dielu-elukan dalam kampung, seperti
kutipan dibawah ini.
“dari surau itulah mereka diberi pelajaran secara komplit oleh
seorang guru yang mereka sebut dengan panggilan Pak Malin, atau
lengkapnya Malin Sati. Beliau mempunyai ilmu yang sangat
komplit. Dari beliaulah mereka menerima ilmu dan seni
membaca Alquran, mulai dari mengenal huruf Arab, tajwid,
nahu, sharaf, sejarah Islam, akhlak dan lain sebagainya, sesuai
dengan usia mereka dan selain itu beliau juga megajari ilmu
beladiri khas Minangkabau yaitu silek karena itu beliau sangat
disegani di kampung itu”. (Syafiwal Azzam, 2011:202)
Dari kutipan diatas dapat diketahui bahwa orang yang cerdik pandai atau
alim ulama sangat dihormati di dalam kampung. Keberadaannya dicari dan ilmu
nya di amalkan, dalam bakampuang hal seperti ini sering terjadi, betapa orang
yang memberikan dampak baik ataupun buruk akan selalu disebut oleh orang
kampung.
Selanjutnya realitas sosial dalam adat bakampuang dapat dilihat ketika
masyarakat sedang dilanda musim paceklik, musim yang membuat orang
kampung menderita, namun dalam keadaan susah seperti itu ada saja yang tidak
peduli dengan keadaan sekitar. Dapat dilihat dari kutipan berikut.
“di samping penduduk yang mengeluh karena kekurangan bahan
pangan dan menderita kelaparan masih ada yang tidak terpengaruh
sama sekali dengan keadaan tersebut. Beberapa orang kaya yang
terdapat di kampung, keluarga Datuk Mantiko seakan tidak
hirau dengan keadaan panceklik yang menimpa”. (Syafiwal
Azzam. (2011:99)
Dari kutipan dibatas telihat bahwa datuk Mantiko tidak peduli dengan
kesulitan yang dihadapi orang kampung,. Dalam kampung harusnya Datuk
50
Mantiko dapat merasakan kesulitan di kampung. Setidaknya Datuk Mantiko
saling membantu masyarakat lain yang kesusahan.
Kampung Wim merupakan kampung yang sangat religius, bahkan untuk
mengaji merupakan suatu tradisi dan aturan yang sudah lama ada di kampungnya.
Mengaji kesurau yang dilakukan oleh anak-anak dikampungnya, sepertimkutipan
dibawah ini.
“Sudah menjadi sebuah tradisi yang turun temurun
dikampungnya yang terletak dipinggang gunung merapi, semua
anak-anak sampai remaja diwajibkan untuk mengaji disarau.
Sirau itu berlokasi ditempat yang sangat strategis ditengah-tengah
desa”. (Syafiwal Azzam, 2011: 201)
C. Adat Bergaul dalam Masyarakat
1. Kato Malereang
Kato malereang adalah bagaimana sikap atau perkataan seseorang kepada
orang yang cukup disegani salah satunya seperti bersikap kepada orang yang telah
menumpangkan kita tinggal. Seperti yang diucapkan Wim kepada pak Ahmad dan
bu Arti yang telah menganggap Wim sebagai anak. Terlihat pada kutipan di
bawah ini.
“Assalamualaikum guru, ujar Wim mengucapkan salam
sambil melangkah masuk. Waalaikumsalam warahmatullahi
wabarakatuh jawab pak Malin sembari memperbesar cahaya
lampu. Wim mengulurkan tangan menyalami dan mencium
tangan gurunya”.(Syafiwal Azzam, 2011:85)
Wim mengucapkan salam kepada gurunya, dengan memberikan salam serta
menyalami dan mencium adalah wujud rasa hormat kepada gurunya yang selama
ini telah lama tidak dijumpainya. Rasa kasih sayang dan hormat sangat Wim
tunjukan kepada sang guru yang sangat dicintainya itu.
51
Ketika Wim mencari kerja ke Solok Wim dikenal kan oleh temannya kepada
Bapak pemilik toko, sempat Wim berbincang-bincang dengan pemilik toko. Wim
sangat tersanjung karena pemilik toko sangat baik. Begitu pun sebaliknya seperti
kutipan dibawah ini.
“Kapan kamu mulai masuk? Dua hari lagi pak. Hari ini saya mau
pulang ke kampung dulu. Baiklah. Terima kasih pak. Kami mau
permisi dulu. Ayo kita makan dulu, ajak pak Rahman. ( Syafiwal
Azzam, 2011:136)
Dari kutipan diatas dapat terlihat bahwa kita harus mempunyai rasa hormat
kepada orang yang yang lebih besar dari kita apalagi terhadap orang yang
memegang hak lebih.
2. Kato Manurun
Kato manurun yakni bagaimana bersikap dan berkata kepada yang lebih
kecil. Baik dari segi status sosial, usia maupun hubungan kekeluargaan. Dalam
kehidupan sehari-hari tidak jarang atasan berkata kasar kepada bawahan namun
di Minangkabau hal demikian ada aturannya. apalagi ketika seorang datuk yang
kaya berkata kepada bawahannya. Sang datuk suka menghardik dan bermata
merah berarti sudah mewariskan sikap yang tidak baik. Seperti kutipan berikut ini.
“Wim, sebahagian uang ini harus kamu zakatkan. Zakatnya
sepuluh persen” iya yah, baiknya dizakatkan sama siapa ya?
“sebaiknya zakatkan kepada fakir miskinterlebih dahulu.
Sisanya mungkin dapat kamu berikan untuk pembangunan
TK Aisyiyah yang saat ini sedang dikerjakan”.
Kata itu keluar dari mulut seorang ayah kepada anaknya, bagaimana ayah
menasehati dan memberikan arahan kepada Wim merupakan sebuah cerminan
52
dari kato manurun. Kata yang dipakaikan orang yang lebih tua kepada yang lebih
muda.
Selanjutnya ibu Halimah berpesan kepada Wim agar selalu dalam
jalannya, pesan yang disampaikan bu Halimah selalu di pegang teguh oleh Wim
karena ia sadar tujuan nya kesana untuk sekolah bukan berpacaran, terlihat dari
kutipan dibawah ini.
“jangan pernah tinggalkan Sholat dan hati-hati dengan
pergaulan antara berlainan jenis yang telah banyak
menjerumuskan manusia, terutama generasi muda dan
menghancurkan masa depan mereka”. (Syafiwal Azzam, 2011:
24)
Memberikan nasehat merupakan bagian dari kato manurun, pesan yang
disampaikan oleh bu Halimah selalu dikenang baik oleh anak nya dirantau orang.
Wim mengingat pesan Ibu nya itu karena Wim sadar tujuannya kesana adalah
untuk bersekolah bukan mengikuti hawa nafsu para kaum muda.
3.Kato Mandaki
Kato mandaki adalah bagaimana berkata dan bersikap kepada orang yang
lebih dewasa atau lebih tua dari kita. Baik dari segi umur, status sosial yang
dimiliki oleh seorang tempat lawan bicara. Menghargai orang yang lebih tua dari
kita termasuk kepada guru yang mengajarkan mengaji dan ilmu silat. Rasa hormat
tidak hanya ada dari perkataan tapi juga perbuatan Terlihat dari kutipan berikut
ini.
“Alhamdulillah ada baik-baik saja, pak. Dan kedua
orangtuaku mengirimkan salam buat bapak dan ibu,
53
“terimakasih, lalu bagaimana tanggapan kedua orangtuamu
atas kegagalanmu tidak lulus ujian?. Syafiwal Azzam.(2011:2)”
Dari kutipan di atas terlihat bahwa sikap dalam kato mandaki yang
dipakaikan Wim berupa umgkapan syukur dan terimakasih kepada Pak Ahmad
atas perhatian yang telah diberikan kepadanya, Pak Ahmad sudah dianggap
orangtua kedua oleh Wim karena tanpa mereka Wim tidak akan bisa apa-apa
disana. Dan Wim memakai kan kato malereang kepada Pak Ahmad.
Selanjutnya, Wim ingin mencari pekerjaan di Solok. Wim diperkenalkan
oleh temannya kepada pemilik toko. Wim dengan hati riang menyambut baik
perkenalan dengan pemilik toko, terlihat dari kutipan dibawah ini.
“Hendra, sudah lama? Sapa pemilik apotik. “belum pak, oh ya ini
temanku pak. Ujar Hendra memperkenalkan Wim. Sambil
menyalami pak Rahman.” (Syafiwal Azzam, 2011: 137)
Dari kutipan diatas dapat dilihat sikap yang ditunjukan Wim adalah
gambaran dari kato mandaki. Berkata dan bersikap kepada orang yang lebih tua
bukan hanya dari cara kita bertutur tapi juga bagaimana cara bertindak.
Berikutnya, ketika Wim menjadi perwira polisi hormat dan santunya tidak
pernah hilang. Walaupun tindakan itu dapat merusak kepentingannya, Wim tidak
pernah peduli dan Pak Ahmad dimanapun tetap adalah Ayah pengganti bagi
dirinya, terlihat dari kutipan dibawah ini.
“hari pertama Wim mulai bertugas di polda Riau ia merasa
risih ketika berpapasan dengan pak Ahmad. Ia segera
memberi hormat terlebih dahulu. Tapi kemudian pak Ahmad
memberitahukan bahwa tindakan seperti itu akan merugikan
mereka berdua karena menyimpang dari peraturan, semenjak saat
54
itu berpapasan sebisanya agar tidak berpapasan dengan pak
Ahmad”. (Syafiwal Azzam, 2011: 243)
Wim memang dikenal sebagai anak yang sangat patuh, tidak hanya kepada
kedua Ibu Bapaknya tapi kepada Pak Ahmad Wim juga melakukan hal yang
sama. Memberi hormat merupakan sebuah tanda hormat namun karena demi
kepentingan pekerjaan Pak Ahmad tidak ingin Wim memberikan hormat
kepadanya karena secara pribadi itu akan merugikan Wim sendiri. Bukannya
mengikuti agar tidak memberi hormat, Wim lebih memilih agar ia tidak
berpasasan dengan Pak Ahmad.
.4. Kato Mandata
Kato mandata dipakaikan untuk sesama besar. Baik disegi usia atau
statusnya dalam kaum harus ada saling harga menghargai apalagi dalam berkata-
kata, seperti pepatah Minangkabau mengatakan”Muluik manih kucindan murah,
budi baiak baso katuju”. Jika hal ini kita amalkan maka orang lain akan
menyenangi kita. Seperti terlihat dalam kutipan ini.
“Boleh aku bertanya,” ujar gadis itu lagi dengan sopan. “
silakan.” “ begini. Saya orang baru di sini. Kemaren baru
sampai di kota ini dan maksud saya pada hari ini mau
mendaftar pada S.A.A di sini, tetapi saya tidak tahu tempatnya
dengan pasti”. (Syafiwal Azzam, 2011:6)
Dari kutipan di atas terlihat bahwa seseorang perempuan bertanya kepada
Wim, seseorang yang baru saja dikenal nya dijalan. Perempuan itu tampak sopan
bertanya kepada Wim karena dia ingin bertanya.
55
Selanjutnya Wim ditawari oleh Marni untuk singgah kerumah nya karena
hari yang udah masuk waktu maghrib dan Wim baru pertama kali bertamu
kerumahnya. Kepada sesama besar harus saling membawakan diri. Terlihat dari
kutipan dibawah ini.
“Mampirlah kerumahku dulu untuk sholat maghrib. Nanti
waktu keburu habis,” ajak Marni.” Lagi pula kamu belum
pernah mampir kerumahku”. (Syafiwal Azzam, 2011: 33)
Dari kutipan diatas terlihat jelas bahwa Marni mempersilakan Wim untuk
bertamu dan sekalian sholat di rumahnya, sikap saling
Selanjutnya ketik Marni dan Wim berjalan bersama ketika selesai
pertandingan basket di sekolah mereka. Marwan mencoba menggoda Marni untuk
diberikan tumpangan namun Marwan tidak sedikitpun menghiraukan Wim yang
dari tadi berjalan beriringan dengan Marni. Terlihat dari kutipan dibawah ini.
“ Ayo Marni kuantar kau pulang, tentu kau capek berjalan
kaki setelah tadi bermain basket. Ajaknya tanpa
menghiraukan Wim sedikitpun juga meskipun Wim berdiri di
samping Marni”. (Syafiwal Azzam, 2011:33)
Dari kutipan diatas dapat dilihat bahwa Marwan tidak memiliki rasa
pertemanan dengan Wim. Marwan hanya ingin menawarkan tumpangan kepada
Marni bahkan Marwan tidak menganggap Wim ada. Dalam pergaulan sesama
besar Marwan tidak boleh seperti itu karena secara tidak langsung tindakan itu
telah membuat hubungan menjadi tidak baik.
Tidak sampai disitu kekuranga ajaran Marwan juga terlihat ketika ia ingin
mencegat Wim karena sakit hatinya belum lepas. Ditengah jalan Marwan dan
56
teman-temannya mengepung Wim sambil berkata yang tidak patut dikeluarkan,
terlihat dari kutipan dibawah ini.
“ Anjing kau, belum kenal aku ya ! teriaknya sambil
turun dari sepeda motornya. Kau juga belum kenal aku
sahut Wim bersiap-siap menghadapi sesuatu”. ( Syafiwal
Azzam, 2011: 49)
Berdasarkan kutipan diatas dapat dilihat kata kotor yang diucapkan
Marwan kepada Wim, kato mandata mengajarkan bagaimana bersikap kepada
teman sebaya dan sesama besar. Baik dari sikap dan cara bertutur.
4.Adat Sumando Manyumando
a. Adat Kasumando
Mamak rumah harus menghargai sumando karena sumando adalah orang
yang dijapuik secara adat untuk menjadi suami adik atau kakak. Dia adalah orang
yang berperan sebagai pemelihara keluarga dan juga bagian dalam keluarga.
Mamak rumah harusnya menjalin rasa persaudaraan dengan sumando kalau tidak
tentu ini akan menyalahi adat kasumando seperti yang dilakukan Datuk Mantiko
kepada ayah Wim selaku sumando bagi kaumnya. Datuk Mantiko tidak menyukai
Pak Imam lantaran dalam musyawarah datuk dan pak Imam adalah dua orang
yang berbeda pendapat. Hal itu terlihat dari kutipan ini.
“hal ini adalah di sebabkan Pak Imam dan Datuk Mantiko adalah
dua orang yang sering berdebat dalam rapat nagari. Datuk
Mantiko yang merasa dirinya adalah sebagai keturunan
bangsawan biasanya selalu memaksakan kehendaknya dalam
setiap rapat”. (Syafiwal Azzam, 2011:100)
Berdasarkan kutipan di atas, terlihat bahwa datuk mantiko tidak menyukai
Pak Imam selaku sumando dikaumnya, datuk mantiko memandang pak Imam
57
sebelah mata hanya karena dia merasa lebih bermartabat dibanding suami adiknya
sendiri.
b. Adat Sebagai Sumando
Sebagai sumando juga harus bersikap hati-hati dan pandai menempatkan
diri, jangan berpikiran picik apalagi berniat untuk menguasai harta benda istri,
pemalas, karajo ndak bakakok, Maka hendaknya menjadi sumando ninik mamak,
yaitu tempat seiya sekata. Artinya pandai menepatkan diri. Menjadi tempat
bertanya, suka membantu, suka bergaul dan memakai sopan dan santun. Itulah
yang dilakukan oleh pak Imam. Sebagai sumando, pak Imam juga menjadi
panutan untuk masyarakat kampung. Terlihat dari kutipan di bawah ini.
“hal ini sering terjadi, sehingga akhirnya simpati orang
kampung berpindah pada Pak Imam yang alim dan rendah
hati. Itulah pangkal mulanya Datuk Mantiko memusuhi pak
Imam”. (Syafiwal Azzam, 2011:100)
Dari kutipan di atas, dapat disimpulakan bahwa pak Imam selaku sumando
di kaumnya dan juga di kampung lebih sering menjadi panutan karena saran pak
Imam selalu ditemukan kebenarannya selain orangnya taat agama, alim dan
rendah hati.
D. Adat dalam Keluarga
1.Adat Sebagai Anak
Agama islam mengajarkan dan mewajibkan kita sebagai anak untuk
berbakti dan taat kepada Ibu dan Bapak. Taat dan berbakti kepada kedua orangtua
adalah sikap dan perbuatan yang terpuji. Adapun akhlak terhadap orangtua adalah
sayangilah, cintailah, hormatilah serta patuhlah kepadanya, rendahkan dirimu dan
sopanlah kepadanya.itulah yang dilakukan oleh Wim. Memohon izizn merupakan
58
suatu sikap menghargai orangtua karena bagi orangtua rasa hormat terhadap
keduanya, terlihat darin kutipan dibawah ini.
“Ayah, Ibu, Wim mohon izin untuk menemui Pak Malin di
surau dan sekalian tidur disana.” Ya, temuilah. Beliau selalu
menanyakan tentang kamu bila bertemu dengan kami, sambut
pak Imam. Ya, Ayah, Ibu Wim berangkat sekarang.
Assalamualaikum. (Syafiwal Azzam, 2011: 83)
Menghormati orangtua adalah harga mati bagi seorang anak, ridho Allah
adalah ridhonya orangtua. Maka diwajibkan bagi anak untuk menghormati kedua
Ibu Bapaknya. Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang mengajarkan
adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Apa yang diajarkan agama itulah
yang dipakaikan adat.
Zaldy, walaupun hal yang dilakukannya adalah kesalahan yang besar
namun itu semua wujud dari rasa sayangnya kepada orangtuanya. Dapat dilihat
dari kutipan di bawah ini.
“Mamak keparat. Tunggu pembalasanku.” Kutuknya dalam
hati.kemarahannya benar-benar memuncak mendengar
sedu-sedan dan tangis ibu yang sangat disayanginya itu. “kurang ajar!” tiba-tiba tanpa dapat menahan ucapannya,
Zaldy berteriak keras”. (Syafiwal Azzam, 2011:102)
Dari kutipan di atas, dapat dipahami bagaimanapun Zaldy melakukan
kesalahan besar, hal tersebut terjadi tak lain dan tak bukan karena dia tidak
sangggup mendengar ibunya menangis dan beriba hati. Memang Zaldy memiliki
hati yang keras namun dibalik itu semua dia sangat mencintai ibunya sehingga
melakukan tindakan yang nekad.
59
2.Adat Sebagai Ibu dan Istri
Seorang perempuan di Minangkabau sangat dihargai dan ditinggikan
martabatnya, maka hendaknya hal ini harus dipelihara apalagi jika sudah
bersuami, kesopanan dan menjaga kehormatan merupakan kewajiban setiap
wanita. Walaupun posisi suami juga merupakan sebagai sumando dalam rumah
istrinya, selaku istri harus lebih dahulu menjaga martabat dan nilai kesopanan
padanya.
Sebagai seorang Ibu, bu Halimah sangat menyayangi anak-anaknya,
termasuk Zaldy, meskipun Zaldy terbukti melakukan pencurian bu Halimah selalu
megkhawatirkan anaknya. Kekhawatiran bu Halimah karena takut suaminya
memarahi anaknya, terlihat dari kutipan dibawah ini.
“bu Halimah memeluk suaminya dengan erat. Tadi bu
Halimah bukan hanya menangis karena anaknya telah
terbukti terlibat dalam pencurian, melainkan ia juga takut
membayangkan tindakan-tindakan yang akan dilakukan
suaminya terhadap anaknya”. (Syafiwal Azzam, 2011:110)
Bukan hanya dari memberikan kasih sayang dan membesarkan anak-
anaklah kita bisa mengukur pengorbanan seorang ibu tetapi ketika seorang Ibu
menangis lantaran rasa kasihnya terhadap anak nya itu adalah sebuah ketulusan
yang sangat dalam dari seorang Ibu. Zaldy tertangkap dalam kasus pencurian dan
disana air mata bu Halimah tumpah.
3.Adat sebagai Suami dan Bapak
Seorang suami memiliki tugas dan tanggung jawab yang penuh terhadap
istrinya, menyangkut ibadahnya, ahklak dan pergaulannya, akidah dan
60
keyakinannya, pemahaman dan ilmunya dan seluruh sisi kehidupan dirinya
sebagai seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya.
Didalam tangis Bu Halimah, Pak Imam selalu menenangkan dan berkata
seolah semuanya baik-baik saja. Meskipun yang membuat istrinya menangis pilu
adalah Datuk Mantiko sendiri. Bahkan pak Imam ingin meminjam beras kepada
kamoung sebelah dari pada harus meminjan kepada Datuk Mantiko, dapat dilihat
dari kutipan dibawah ini.
“ Biarlah Imah, bukan Datuk Mantiko saja tempat kita
bertenggang. Biarlah besok kuusahakan meminjam
padi kepada kenalan ku dikampung lain. Ujar pak Imam
membujuk istrinya yang menangis pilu karena penolakan
yang dilakukan Datuk Mantiko siang tadi”. (Syafiwal
Azzam. 2011: 101)
Sebagai suami Pak Imam menjadi pemimpin yang bertanggung jawab atas
apa yang ia pimpin, ia berkewajiban untuk mencarikan penghasilan yang halal
nagi keluargany, membelanjakan pada yang halal juga, dan mengatur ekonomi
rumah tangganya. Suami harusnya memiliki sifat penyantun dan penyabar kepada
istrinya, tidak marah atas atas kesalahan yang dilakukan istrinya.
b. Pembahasan: Realitas Sosial Masyarakat Minangkabau dalam Novel
Jejak-Jejak yang Membekas Karya Syafiwal Azzam
Realitas sosial masyarakat Minangkabau dalam novel Jejak-Jejak yang
membekas karya Syafiwal Azzam, dilihat berdasarkan hal yang mendasari realitas
sosial masyarakat Minangkabau itu sendiri. Terdapat lima aspek adat yang
melandasi realitas sosial masyarakat Minangkabau, yaitu adat bakaum, adat
bakampuang, bergaul dalam masyarakat, adat sumando manyumando dan adat
61
dalam keluarga. Realitas sosial masyarakat Minangkabau yang dilihat
berdasarkan lima aspek adat yang akan dibahas sebagai berikut.
1. Adat Bakaum
Realitas sosial masyarakat Minangkabau dalam novel Jejak-Jejak yang
Membekas karya Syafiwal Azzam ini dapat dilihat dari saraso samalu, sanasib
sapanangguangan, saling menasehati, saling silaturahmi, saling menolong dan
menguntungkan serta saling memaafkan. Saraso samalu dalam bakaum
merupakan suatu keharusan yang dharus ditanamkan setiap indivudu. Apabila
kemenakan salah Mamak harus menegur, memberi nasehat dan menunjukan
kebenaran. Dalam novel Jejak-jejak yang Membekas ini hal demikian tidak
berjalan dengan seharusnya, Zaldy kemenakan dari Datuk Mantiko malah
melakukan pencurian dirumah sang Datuk walaupun sebetulnya pencurian itu
dilakukan Zaldy adalah akibat dari perangai Datuk Mantiko yag semena-mena
terhadap keluarganya. Bagaimanapun alasannya sikap yang dilakukan Zaldy
tetaplah menyalahi aturan adat bakaum.
Setelah dikabarkan uang habis difoya-foyakan dan sekarang tinggalah malu
dan aib yang harus di tanggung keluarga Zaldy. Mencuri dirumah mamak sendiri
itu sangatlah hal yang memalukan karena orang Minangkabau sangat terkenal
dengan budi pekerti, rasa sopan dan santunnya.
Rasa sanasib sapanagguangan dapat diartikan dengan perasaan sakik samo
sakik, sanang samo sanang, kabukik samo mandaki kalurah samo manurun.
Demikian pepatah adat mengatakan. Lain hal dengan yang di lakukan Datuk
62
Mantiko terhadap kaumnya, lebih tepatnya kepada adiknya sendiri yaitu Ibu
Halimah. Bagaimana sanasib sapanagguangan ini dipakaikan datuk dalam
kehidupannya. Sebagai kakak sampai hati sang Mamak tidak mau memberi kan
pinjaman.
Tidak ada perasaan kasihan dalam hati Datuk. Hanya karena persoalan
sepele ia tega menyakiti hati adiknya dengan tidak mengerti akan kepedihan yang
tengah di derita adiknya dan keluarga. Ingin menang sendiri begitulah Datuk
Mantiko. Rasa senasib sepanngguangan ini penting di tanamkan sebagai bukti
bahwa saudara itu adalah bagian dari diri kita dan juga bagian dari keluarga kita.
2. Adat Bakampuang
Masyarakat Minangkabau dalam adat bakampuang harus pandai menjaga
diri, kalau tidak pandai menjaga diri maka cemooh dalam nagari dan akan terhina
dalam adat. Seperti itulah yang dirasakan Zaldy, pencurian yang dilakukan
dirumah Mamaknya telah menjadi buah bibir masyarakat kampung. Betapa malu
yang diderita oleh keluarga, Zaldy telah mencoreng arang dikening Ibu
Bapaknya. Orang kampung geram bagaimana mungkin Zaldy tega melakukan hal
yang tidak terpuji seperti demikian sedangkan orang kampung selalu memandang
baik keluarganya.
Dalam bakampuang selanjutnya perasaan senasib sepenangggungan, sifat
tolong menolong, sifat persaudaraan harus ada dalam hidup bakampuang,
banagari atau bermasyarakat. Disaat orang kampung sedang dilanda musim
peceklik sekalipun harus terus saling berbagi, namun apa daya dikampung Wim
63
orang kaya tidak hirau akan musim itu dan juga tidak menghiraukan kepayahan
dari orang kampung. Maka dengan demikian sikap berhati-hati dan sopan setiap
anggota kaum harus dijaga.
3. Adat Bergaul dalam Bermasyarakat
Bergaul dalam masyarakat atau interaksi sosial biasanya bergantung dari
status sebagai individu, atau di Minangkabau disebut kato nan ampek. Kato nan
ampek terdiri dari kato mandaki, kato manurun, kato mandata dan kato
malereang. Kato mandaki dipakaikan kepada orang yang lebih besar dari kita.
Baik dari segi umur, status sosial yang dimiliki oleh seseorang tempat lawan
bicara.
Kato mandaki dipakaikan kepada sesama besar baik usia maupun statusnya
dalam kaum. Harus ada sikap saling harga menghargai apalagi dalam berkata-kata
4. Adat Sumando Manyumando
a. Adat Kasumando
Sebagai Mamak rumah tidak boleh seenaknya membentak atau
menghardik sumando, harus bajanjang naik batanggo turun. Harus sopan dan
jangan langsung. Sebagai Mamak rumah dapat dilihat datuk mantiko tidak
menyukai Pak Imam hanya lantaran Pak Imam tidak pernah sependapat dengan
Datuk Mantiko. Datuk Mantiko tidak mencerminkan sikap adat kasumando, datuk
mantiko memusuhi suami adiknya yang tak lain adalah seorang sumando bagi
kaumnya. Bermusyawarah merupakan kegiatan yang baik namun bukan berarti
64
kita harus mengedepankan pendapat kita, pendapat orang lain harus kita hargai
apalagi kalau kita berpangkat sebagai seorang Datuk, harus arif dan bijaksana.
b. Adat Sebagai Sumando
Seorang sumando yang pandai menempatkan diri akan selalu menjadi
tempat bertanya, suka membantu, suka bergaul, memakai sopan santun. Pak Imam
memang bukan orang yang berpangkat tinggi ataupun mempunyai banyak harta
namun karena kesederhanaannya dan disetiap keputusannya selalu ditemukan
banyak kebenaran maka dari itulah orang kampung menyenangi pak Imam. Orang
kampung meninggalkan saran Datuk Mantiko dan membuat Datuk sakit hati.
5. Adat dalam Keluarga
a. Adat Sebagai Anak
Di Minangkabau anak dalam keluarga adalah kemenakan dari Mamak. Mamak
bertanggung jawab terhadap kemenakan dalam posisinya sebagai Mamak.
Selanjutnya sebagai anak dalam islam wajib mantaati orang tuanya kalau dalam
bahasa adat disebut dengan adat kepada orangtua dan dalam islam disebut akhlak.
Zaldy sebagai seorang anak harus mempunyai rasa hormat kepada kedua
orangtua. Sebagai anak tentu Zaldy rela melakukan apapun agar kedua
orangtuanya bangga kepadanya.
65
3. Realitas Sosial Masyarakat Minangkabau dengan Novel jejak-Jejak yang
Membekas karya syafiwal Azzam
A. Adat Bakaum
Masyarakat Minangkabau merupakan masyarakat yang menganut sistem
garis keturunan Ibu (matrilineal), sehingga bakaum selalu dikaitkan dalam
kehidupan masyarakatnya. Bakaum merupakan suatu ikatan kekeluargaan atau
persaudaraan yang diikat oleh suku yang sama, suku yang datang dari Ibu.
Apabila ibu bersuku caniago maka sang anak juga akan bersuku caniago begitu
seterusnya berjalan sampai kapanpun. Dalam bakaum tentu setiap individu harus
mempunyai tanggung jawab dalam menjaga nama kaum seperti anak dengan Ibu,
Ibu dengan Mamak, Mamak dengan kemenakan.
Kesadaran penuh dalam menjaga kaum seperti harus adanya rasa saraso
samalu, sanasib sapananguangan, saling menasehati, saling silaturahmi, saling
tolong menolong dan saling memaafkan. Dalam kaum sendiri terdiri dari banyak
keluarga dan banyak individu hal itu tentu memiliki karakter dan beragam
perangai. Jangankan satu kaum, dalam keluargapun kita sudah banyak perbedaan
sifat dan kemauan, berlainan sudut pandang, berlainan karakter adalah hal yang
lumrah dan dari perbedaan inilah akan melahirkan salah paham apalagi bila
tingkat pendidikan yang tak sebanding. Seperti seorang kemenakan melancarkan
pencurian di rumah Mamaknya sendiri. Banyak kita temui dalam masyarakat
terjadi keretakan antara satu sama lain bahkan timbul permusuhan, pergunjingan,
salin fitnah dan bacaran (adu mulut, saling membuka aib).
66
Inilah akibat sifat yang terlalu berlebihan dalam mempertahankan harga
diri kaum. Padahal tidak demikian sebenarnya yang dituntut dalam adat
Minangkabau. Seseorang yang sedang bertengkar harus didamaikan. Maka sifat
pemaaf adalah sikap terpuji dalam adat, karena menjadi orang pemaaf akan
melahirkan sikap sabar. Lawan dari sifat pemaaf adalah pendendam. Dendam jika
membara biasanya tiada kta lain kecuali perasaan ingin membalas, ingin
menyakiti bahkan bisa menzalimi. Dendam bagaikan virus yang menjalar dalam
tubuh seseorang yang sedng marah.
A. Adat Bakampuang
Bakampuang di Minangkabau berarti suatu kaum yang hidup saling
berdampingan. kaum sebagai anggota masyarakat harus pandai menjaga diri
karena kalau tidak pandai menjaga diri cemooh akan timbul ditengah kampung.
Begitupun kalau ada masalah Karena itu harus selalu dicari jalan keluar. Jalan
keluar yang ditunjukkan adat Minang adalah melakukan musyawarah untuk
mufakat, bukan musyawarah untuk melanjutkan pertengkaran. Keputusan boleh
bulat tapi boleh juga pipih atau Setiap individu Minang disarankan untuk selalu
menjaga hubungan dengan lingkungannya. Adat Minang tidak terlalu memuja
kemandirian menurut ajaran individualisme barat. Adat Minang mengajarkan
supaya membiasakan berembuk dengan lingkungan kendatipun menyangkut
masalah pribadi.Dengan demikian adat Minang mendorong orang Minang lebih
mengutamakan “kebersamaan” kendatipun menyangkut urusan pribadi.
67
Walaupun seorang individu Minang menduduki posisi sebagai penguasa
seperti dalam kedudukan mamak-rumah atau pun Penghulu Andiko maka
keputusan tidak mungkin juga diambil sendiri. Karena itu sikap otoriter tidak
pernah disukai orang-orang Minang. Kedekatan hubungan dalam kelompok suku
ini, menjadikan harga diri individu, melebur menjadi satu menjadi harga diri
kelompok suku. Kalau seseorang anggota suku diremehkan dalam pergaulan,
seluruh anggota suku merasa tersinggung. Begitu juga bila suatu suku
dipermalukan maka seluruh anggota suku itu akan serentak membela nama baik
sukunya.
B. Adat Bergaul dalam Masyarakat
Minangkabau mengatur tatanan tersebut sedemiakain rupa dalam bentuk
raso jo pareso, dan malu jo sopan. Artinya orang minang memiliki raso pareso
yang tinggi akan sikap dan perbuatan yang mereka lakukan terutama pada kata-
kata yang mereka ucapkan agar tidak menyinggung orang lain. Malu akan hal-hal
yang berbau pertentangan dengan adat dan kebudayaan serta malu ketika
berprilaku tidak sopan terhadap orang lain. Baik itu yang di depan orang rumah
seperti mamak, ataupun orang lain yang berada di lingkungan tempat tinggal
sendiri.
Hal inilah yang mulai hilang dari pekarangan Minang.
Hilangnya raso jo pareso dan malu jo sopan pada remaja minang menjadi
masalah sampingan dalam topik makalah mini ini. Tidak adanya penelaahan diri
pada remaja membuat permasalahan tergerusnya tatanan kato nan ampek pada
68
remaja minang semakin menjadi-jadi. Tidak sadar akan kebudayaan sendiri yang
mulai mencair menandakan remaja minang telah lengah akan harta pusaka
terbesar Minangkabau yakninya adat dan budaya Minang, dan berdampak pada
kehancuran budaya itu sendiri.
C. Sumando Manyumando
Seorang laki-laki di Minangkabau harus menyadari bahwa dia mempunyai
dwifungsi kepemimpinan didalam hidupnya, yaitu sebagai kepala keluarga di
dalam rumah isterinya dengan tugas, tanggung jawab dan wewenang sesuai
dengan "kode etik" urang sumando, dan juga sebagai tanggung jawab mamak
rumah dalam keluarga ibunya dengan tugas, tanggung jawab dan wewenang
sesuai dengan "kode etik" mamak rumah.
Dalam tugas dwifungsinya itu hendaklah dia melaksanakan ketentuan yang
disebutkan dalam adat.
5.Adat dalam Keluarga
Di Minangkabau huhungan kekerabatan dalam sebuah keluarga sendiri
cukup unik, tapi sayangnya keunikan mulai memudar seiring berjalannya waktu.
Generasi sekarang sudah banyak yang tidak tahu lagi dengan hubungan
kekerabatan dalam keluarga mereka sendiri. Akibatnya cukup fatal, selain tidak
tau dengan keluarga banyak juga yang akhirnya elanggar aturan dalam adat. Lalu
akhirnya yang disalahkan adat itu sendiri.
69
Hubungan seorang ibu dengan anak-anaknya pada prinsipnya sama saja,
baik kepada anak laki-laki ataupun perempuan. Perbedaanya terletak pada sudut
kepentingan dan ruang lingkup tanggung jawab atau tugas masing-masingnya. Hal
ini disebabkan tugas seorang anak laki-laki di Minangkabau jauh berbeda dari
yang diharapkan dari anak perempuan.
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa realitas sosial masyarakat Minangkabau dalam novel Jejak-Jejak yang
Membekas terlihat dari lima lingkup adat yang mendasari realitas sosial itu
sendiri. Hal yang dapat dilihat pertama yaitu dari adat bakaum, adat bakampuang,
adat bergaul dalam masyarakat, adat sumando manyumando dan adat dalam
keluarga.
Pada masyarakat Minangkabau, bakaum berarti hubungan kekeluargaan
dalam satu payung suku, tali darah dan satu datuk. Dalam hubungan bakaum tentu
harus mempunyai saraso samalu yang artinya aib kaum adalah aib bersama.
Apabila setiap anggota kaum sama menjaga raso, seperti raso malu maka ia telah
menegakkan martabatnya selaku anggota kaum ataupun sebaliknya, rasa malu
yang sudah hilang dan tidak terpakaikan akan mencelakakan diri kita. Yang
dilakukan Zaldy mungkin salah karena tidak memakaikan malu lagi kepada
dirinya sehingga mencuri di rumah Mamak sendiripun ia lakukan. Perbuatan yang
dilakukan tentu bukan yang diharapkan dalam adat bakaum namun Zaldy punya
alasan sendiri untuk kelakuannya ini.
Pada adat bakampuang, kaum sebagai anggota masyarakat harus pandai
menjaga diri, kalau tak pandai maka cemooh dalam nagari dan terhina dalam adat.
Sebagai ganjaran yang harus diterima Zaldy atas kelakuan yang diterima nya
selain masyarakat kampung menjadikannya bahan gunjingan keluarga pun ikut
71
merasakan malu karena aib yang sangat mencoreng muka kedua Ibu Bapaknya.
Selain itu hukuman yang pantas diterima Zaldy adalah dibuang dari kampung.
Begitulah dalam adat bakampuang bagaimana hukuman dan sangsi sosial yang
diterima harus bisa dipertanggung jawabkan.
Adapun adat bergaul dalam masyarakat Minangkabau biasanya tergantung
dari status sebagai individu. Bagaimana kita berinteraksi dan berhubungan. Posisi
harus disadari karena dalam adat Minangkabau ada istilah kato mandaki, kato
manurun, kato mandata dan kato malereang. Kato mandaki dapat dipakaikan
kepada orang yang lebih besar dari kita, ketika Wim menemui gurunya.
Disamping rasa hormat yang diungkapkan melalui tutur kata, Wim juga
menunjukan melalui perbuatan seperti mencium tangan gurunya. Begitupun
kepada yang lebih kecil, lebih kecil dari segi umur ataupun status sosial tempat
lawan bicara. Seperti Datuk Mantiko terhadap bawahannya. Datuk Mantiko
berkata seenaknya, kata-kata yang tidak seharusnya dipakaikan seorang Datuk
keluar begitu saja. Hal tersebut sudah mencerminkan bahwa Datuk Mantiko
adalah orang yang bermata merah dan berkata tidak sesuai pada tempatnya.
Kato mandata biasanya dipakaikan untuk sesama besar baik segi usia atau
status dalam kaum. Begitupun kato melereang yang digunakan
B. Saran
Setelah menganalisis realitas sosial masyarakat Minangkabau dalam novel
Jejak-jejak yang Membekas Karya Syafiwal Azzam, maka peneliti mengharapkan
pertama, hasil penelitian ini dapat dapat menambah wawasan dalam mempelajari
72
karya sastra terutama dalam kajian sosiologi sastra. Kedua, penelitian ini realitas
sosial masyarakat Minangkabau ini mampu memberikan kesadaran pada pembaca
lebih sadar memperhatikan lingkungan sekitar teruatama di Minangkabau. Ketiga
hasil penelitian ini dapat memberikan penghayatan dan pemahaman mengenai
masyarakat Minangkabau terutama pada era globalisasi sekarang ini.
DAFTAR PUSTAKA
Atmazaki. 2005. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang: Citra Budaya Indonesia.
Atmazaki. 2007. Ilmu Sastra Teori dan Terapan. Padang: UNP Press.
Effendi, Nursyirwan. 2010. Bunga Rampai Budaya: Rumah Tradisional, Sistem
Pewarisan, Songket Palembang, dan Adat Minangkabau. Padang: BPNST
Padang Press.
Endraswara, Suwardi. 2009. Metodologi Penelitian Foklor Konsep, Teori dan
Aplikasi. Yogyakarta: Media Pressindo.
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra Epistemologi, Model,
Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS.
Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Jamil, Muhammad. 2015. Hiduik Baradaek “Inilah Karakter Pendidikan Dan Budi
Pekerti Orang Minang”. Bukittinggi: Cinta Buku Agensi.
Mihardja, Ratih. 2012. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta Timur: Laskar Aksara.
Moleong, Lexy. J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Muhardi dan Hasanuddin. 1992. Prosedur Analisis Fiksi. Padang: IKIP Press.
Priyatni, Tri Endah. 2010. Membaca Sastra dengan Ancaman Literasi Kritis. Jakarta:
Bumi Aksara.
Ramadansyah. 2012. Paham dan Terampil Berbahasa dan Bersastra Indonesia.
Padang: Dian Aksara Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Jakarta:
Bumi Aksara.
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Sastra dan kultural studies: Representasi fiksi dan
Fakta.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sasmita, Feni. 2011. “Kehidupan Sosial Masyarakat Batak Toba (tinjauan sosiologi
sastra)”. Skripsi. Padang:UNAND.
Semi, M.Atar. 2012. Metode Penelitian Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Soekanto, Soerjono. 2013. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Sztompka, Piotr. 2010. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada.
Tarigan, Hendri Guntur. 2011. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Yaflis. 2000. “Realitas Sosial Masyarakat Pinggiran dalam Kumpulan Cerpen
Nyindam”. Skripsi. Padang: UNAND.
Yonesa, Rahmi Fitri. 2016. “Realitas Sosial Dalam Kumpulan cerpen Senyum
Karyamin Ahmad Tohari”. Skripsi. Padang: STKIP.
Wadiah, Rahmadania. 2014. “Realitas Sosial dalam Novel Gerhana Karya A.A.
Navis (Tinjauan Sosiologi Sastra)”. Skripsi. Padang: UNAND.
Wardani, Eko Nugraheni. 2009. Makna Totalitas dalam Karya Sastra. Surakarta:
UNS Press.
Judul Novel : Jejak- Jejak yang Membekas
Sinopsi : Perjuangan seorang anak muda dalam meraih masa depan dalam
keteguhan agama dan budaya.
Jumlah Halaman : 226 halaman
ISBN : 978-602-99722-0-7
LAMPIRAN
Sinopsis Novel Jejak-Jejak yang Membekas karya Syafiwal Azzam
Kisah ini menceritakan sebuah perjuangan seorang anak muda yang bernama
Wim Buana Putra yang tinggal di sebuah kampung di kaki gunung Merapi. Demi
masa depan Ia pergi merantau, terpisah dari Ibu Bapak dan adik-adiknya. Namun ia
selalu ingat akan pesan dan niat utama kenapa ia di sana, Wim sadar tujuan ia kesana
adalah belajar bukan berpacaran dan mengikuti hawa nafsu. Wim paham betul
Tentang penduduk desa yang punya kehidupan yang sangat religius sekali yang
menganggap tabu pergaulan muda mudi berupa pacaran sebelum nikah. Tentang guru
mengaji yang berpesan : jangan mendekati zina. Karena zina adalah dosa besar.
Pacaran adalah suatu bentuk mendekati zina bila dilakukan berduaan ditempat sepi.
Karena tidak ada istilah pacaran dalam islam dan tentang pesan kedua orangtuaku :
kita orang miskin, tugasmu ke sana adalah sekolah, menuntut ilmu sesuai ajaran
agama kita. Oleh sebab itu hindari semua hal yang dapat mengganggu kelancaran
belajarmu.
Hal yang paling ditunggu Wim adalah ketika pulang ke kampung
halamannya. Wim sangat takjub dengan kegigihan masyarakat kampungnya salah
satunya adalah Pak Malano, Semenjak Wim sekolah dasar sampai saat ini lelaki itu
masih setia dengan profesinya sebagai kusir. Walaupun kini ojek telah mulai secara
perlahan dan pasti mempersempit lahan untuk bendi namun ia masih tetap bertahan.
Di perjalanan, orang kampung yang sedang duduk-duduk tampak ingin tau sekali
siapa yang dibawa bendi itu, setelah Wim turun barulah mereka tau dan memang
sudah adatnya dalam bakampuang masyarakat Minangkabau harus menjalin rasa
persaudaraan walaupun sudah lama di rantau.
Di keesokan pagi Wim mulai melihat-lihat dan berjalan di pematang sawah,
tiba-tiba perasaan sendu merasuki dirinya. Hati Wim sedih ketika ia menyadari
bahwa sawah yang padinya kini sedang menguning tidak satu petak pun menjadi
milik keluarganya. Wim tahu persis permulaan terjadinya penggadaian sawah-sawah
mereka itu. Penggadaian itu dimulai sepuluh tahun yang lalu. Semuanya berpangkal
dari tingkah laku abangnya Zaldy. Abangnya telah melakukan pencurian di rumah
Mamak mereka sendiri. Dan agar perkara tidak sampai ke polisi maka mereka
mengganti kerugian harta Mamak. Maka sawah mereka terpaksa digadaikan sebagian
selain itu, Zaldy harus meninggalkan kampung mereka.
Pak Imam dan Bu Halimah, ayah dan ibu Wim tahu sebabnya dari mana
bermula perkara yang melibatkan kemenakan dan Mamak itu terjadi. Semua ini
berawal dari sikap Datuk Mantiko yang menolak bila ibu Wim menghutang padi. Hal
ini adalah disebabkan pak Imam dan Datuk Matiko adalah dua orang yang sering
berdebat dalam rapat nagari. padahal pak imam adalah bisan yang seharusnya lawan
ber iya dengan sang datuk, Datuk Mantiko yang merasa dirinya adalah sebagai
keturunan bangsawan biasanya selalu memaksakan kehendak disetiap rapat.
Ia sering mendikte orang lain agar pendapatnya dituruti dan dijalankan.
Orang-orang kampung yang memandang hartanya biasanya tidak berani membantah
karena kebanyakan mereka punya hutang pada Datuk Mantiko. Pada suatu hari
diundanglah Wim oleh sang Datuk untuk menghadiri hajatan di rumahnya karena
keberhasilan panen padi yang didapat Datuk. Selesai makan dan jedah menghabiskan
satu batang rokok Datuk Mantiko angkat bicara, Wim menyalami mamaknya,
eteknya dan Hennita, anak mamaknya itu. Hennita adalah anak bungsu Datuk
Mantiko.
Sampai saat ini barulah Wim menyadari bahwa malu yang diberikan oleh
abangnya itu bukan hanya sekedar malu yang di coreng untuk Ibu Bapaknya di
hadapan orang kampung saja, namun semua itu adalah bukti kecintaannya terhadap
Ibu Bapaknya. Kemurkaan Zaldy bukannya tidak mau dilarang namun sekaligus ia
ingin semua orang kampung tau, bahwa Datuk Mantiko orang yang selama ini
didahulukannya selangkah dan ditinggikan seranting itu tidak pantas dipanggil
Mamak.
Suatu hari Datuk Mantiko ingin sekali menikahkan putrinya dengan Wim,
sebagai kemenakan Wim sangat segan untuk menolak permintaan Mamak nya ini.
Dengan cara halus Wim menyatakan menolak untuk menikahi hennita dan Datuk pun
paham arti dari alasan yang telah diterima nya itu. Wim akhirnya menikah dengan
Tika, perempuan yang telah membuatnya jatuh hati dan Tika mengingatkan Wim
dengan jejak perempuan yang dicintainya dulu.
Format Inventarisasi Data
Realita Sosial Masyarakat Minangkabau dalam Novel Jejak-Jejak yang Membekas Karya Syafiwal Azzam.
No
Peristiwa
Latar
Tokoh/Penokohan
Kutipan
Realitas Sosial masyarakat
Minangkabau
Hal
AB ABK ABM SM ADK
1.
2.
3.
Wim
teringat
akan pesan
kedua Ibu
Bapaknya
Marni
menawark
an kepada
Wim agar
ampir
kerumah
Marwan
memberik
an
Di Rantau
orangtua wim
Marni
Marwan
“Jangan tinggalkan sholat dan
hati-hati dengan pergaulan
antara berlainan jenis yang telah
banyak menjerumuskan
manusia, terutama generasi
muda dan menghancurkan masa
depann mereka”.
“Mampirlah kerumahku dulu
untuk sholat maghrib. Nanti
waktu keburu habis, ajak Marni.
Lagi pula kamu belum pernah
mampir kerumahku”.
“Ayo Marni kuantar kau pulang,
kau tentu capek berjalan kaki
setelah tadi bermain basket,
ajaknya tanpa menghiraukan
√
√ √
24
33
34
30
4.
5.
tumpanga
n kepada
Marni
tanpa
menghirau
kan Wim.
Marwan
menantang
Wim
karena
menghalan
gi niatnya
untuk
mendekati
Marni
Tradisi
kesurau di
kampung
Wim
masih
selalu
dilakukan
Di kampung
Marwan
Wim
polisi
Wim sedikitpun juga, meskipun
Wim berdiri disamping Marni”
“Anjing, kau belum kenal aku,
ya! “teriaknya lagi sambil turun
dari sepeda motornya. “Kau juga
belum kenal aku,” sahut Wim
sambil bersiap-siap menghadapi
sesuatu”
“Bagi dia sebagai anak, apalagi
besar di kampung dimana
tradisi kesurau masih bertahan,
pergi ke surau bukan hanya untuk
mengaji saja tapi juga untuk diberi
bekal ilmu bela diri yaitu silat.”
“Hei, dari mana Wim. Tanya salah
seorang polisi” “pulang belajar dari
rumah teman om, tadi hujan
sehingga kemalaman pulangnya”.
Jawab Wim ketika ia kenal salah
seorang polisi yang menyapanya itu
kerena polisi itu sering datang
kerumah pak Ahmad. “hati-hati
katanya lagi sambil berlalu
√ √
49
40
50
meninggalkan Wim.
6. Kekaguman Pak
Malin
terhadap
sosok
Ayah Wim
Di surau Pak Malin “syukurlah. Bapak sungguh
sangat salut dengan orangtuamu
yang sangat kuat kemauannya
untuk menyekolahkan anak-
anaknya.”
√ 79
7. Orang
kampung
selalu
memperth
atikan
keadaan
sekitar
termasuk
bendi yang
membawa
penumpan
g.
Di kampung Masyarakat
kampung
“beberapa orang lelaki nampak
duduk berjuntai di atas balai-balai
bambu sambil menghisap rokok,
semuanya menoleh ke arah bendi
yang ditumpangi,. Nampaknya
mereka ingin tau siapa turun,”
√
8. Para
pemuda
meyadari
penumpan
g yang
turun
adalah
Wim,
Para pemuda
di kampung
Di kampung “hei Wim baru pulang ? ujar lelaki
yang di kedai itu menyapa. Karena
semuanya memang saling kenal.
Sebagian mereka adalah teman
sebaya dan Wim pun
menyalami.”
√ 80
orang
yang
mereka
kenal
10. Wim
sampai
dirumah
setelah
sekian
lama
menuntut
ilmu di
daerah
lain.
Wim dirumah “Assalamualaikum,” Wim
memberi salam.
Waalaikumsalam. “ seisi rumah
menyahut. Wim segera menjabat
tangan tangan Ibu dan Ayah
bergantian dan menciumnya
dengan penuh hikmat. Kemudian
juga menyalami semua adik-
adiknya.
√ 81
11. Cerita
lama
tentang aib
yang
ditinggalk
an abang
Wim.
Di kampung “kakak Wim, Zaldy telah lama
pergi. Kepergiannya adalah
dalam keadaan yang
menyedihkan karena dibuang
dari kampung.”
82
12. Wim
sangat
menyayan
gi
gurunya.
Di surau “Wim mengulurkan tangan
menyalami dan mencium tangan
gurunya.”
√ 85
13. Kelakuan
buruk “ia terbukti merencanakan
pencurian di rumah mamaknya
√ 90
abangnya
yang
kembali
dikenang
keluarga.
sendiri. Ia pun ketahuan setelah
uang habis di foya- foyakan
bersama teman-temannya dan
agar perkara tidak sampa ke
polisi keluarga mereka
mengganti kerugian harta
mamak.”
14. Wim
terkejut
dengan
perubahan
sifat
mamak
kepadanya
.
Wim “Dikepalanya bermunculan
bermacam-macam pertanyaan..”
Selama ini tidak pernah
Mamaknya berbuat ramah
seperti tadi. Ia tidak pernah
menegur duluan
√ 92
15. Kehebatan
Ayah Wim
di mata
orang
kampung
Ayah Wim “Ayahnya sangat ingin anak-
anaknya mengecap pendidikan
setinggi-tingginya.”
√ 93
16.
Ketidak
pedulian
orang kaya
kepada
masyaraka
t kampung
Penduduk
kampung “Di samping penduduk yang
mengeluh karena kekurangan
bahan pangan dan menderita
kelaparan masih ada yang tidak
peduli dengan sama sekali
dengan keadaan tersebut
beberapa orang kaya yang
√ 99
terdapat di kampung seakan
tidak hirau dengan keadaan yang
menimpa.”
17. Cerita
lama
tentang
keangkuha
n Datuk
Mantiko
Pak Imam Di ladang “Waktu musim paceklik itu terjadi.
Datuk Mantiko dan adik-adiknya
dapat berhutang kepadanya
sehingga tidak begitu merasakan
kesulitan akibat musim yang buruk
itu. Mereka tidak perlu berdesak-
desakkan membeli beras bulog
atau mencari tempat berhutang
ke kampung-kampung lain tapi
berhutang padi ini tidak berlaku
untuk Ibu Wim. Ibu Halimah
seakan dipencilkan oleh Datuk
ini dari keluarga mereka. Ia
memusuhi adiknya yang satu
ini.”
√ 99
18. Pangkal
mula
kebencian
Datuk
Mantiko
kepada
Pak Imam.
Di kampung “Hal ini adalah disebabkan pak
Imam dan Datuk Mantiko adalah
dua orang yang sering berdebat
dalam rapat nagari.”
√ 100
19.
Berpindah
nya
kepercaya
Di kampung “Sehingga akhirnya orang
kampung berpindah kepada pak
Imam yang alim dan rendah
hati.”
√ 100
an oarng
kampung
kepada
pak Imam.
20.
Tidak
peduli Pak
Imam
karena
Datuk
Mantiko
juga
memusuhi
adiknya
sendiri.
Di kampung “Walaupun tindakannya itu akan
menyakiti adiknya sendiri dan
membuat adiknya menderita tapi
sang datuk tidak peduli.”
√ 100
21. Datuk
Mantiko
tidak
memperla
kukan
Kemenaka
nnya,
selayakny
a.
Di kampung “Kalau anak-anak dari saudara
bu Halimah yang lain sering
diberi belanja Mamaknya pada
hari pekan tetapi anak-anak bu
Halimah tidak mendapatkanya
tindakan ini dilakuknnya untuk
menyiksa batin pak Imam.”
√ 100
22.
Kesabaran
pak Imam
Di kampung Pak Imam “Biarlah Imah, bukannya Datuk
Mantiko saja tempat kita
bertenggang. Biarlah besok ku
√ 101
kepada
istrinya
meski
hatinya
sendiri
hancur.
usahakan meminjam padi pada
kenalanku di kampung lain. “
ujar pak Imam membujuk
istrinya yang menangis pilu
kerena penolakan yang
dilakukan Datuk Mantiko siang
tadi.”
23.
Sakit hati
Zaldy atas
prilaku
Datuk
Mantiko
terhadap
Ibunya.
Zaldy “Kemarahanya benar-benar
memuncak mendengar sedu
sedan dan tangis Ibu yang sangat
di sayanginya itu. “ kurang ajar
!!! tiba-tiba tanpa dapat
menahan ucapannya, Zaldy
berteriak keras.
√ 102
24.
Zaldy
angkt
bicara atas
ketidak
adilan
Datuk
Mantiko.
Zaldy “Sebagai seorang Datuk yang
ditinggikan seranting dan
didahulukan selangkah ia tidak
boleh berbuat demikian. Ia harus
berlaku adil terhadap kaum dan
anak kemenaknnya.”
√ 103
25.
Orang
kampung
mulai
mempergu
Di kampung Orang kampung “Betapa orang kampung tidak
akan heboh. Zaldy anak seorang
alim yang disegani selama ini
yang mereka kenal sebagai
seorang pemuda baik dan taat
√ 108
njingkan
Zaldy dan
keluargan
ya.
beribadah tersangkut dalam
peristiwa yang sangat
memalukan itu.”
26.
Kesabaran
pak Imam
kembali di
uji atas
kasus
Zaldy
kepada
Datuk
Mantiko.
Di kampung Orang Kampung “Akhirnya berkat imannya yang
kuat, ia berhasil juga menguasai
dirinya yang sebentar tadi
diredam kesedihan, ia mengusap-
usap kepala istrinya dengan
lemah lembut dan penuh kasih
sayang.”
√ 109
27.
Kebaikan
pak Imam
dalam
keluarga.
Pak Imam “Suaminya selalu menanamkan
kepada anak-anak untuk
bersikap jujur, lurus dan berani
bila anak-anak membawa
sesuatu pulang kerumah maka
pak Imam akan menanyai dari
mana benda itu didapat.”
√ 111
28. Dijatuhka
nnya
hukuman
terhadap
Zaldy,
yaitu pergi
meninggal
kan
kampung.
Pak Imam “jangan lari dari tanggung jawab.
Sekarang pergilah ke balai adat
karena disana akan di adakan
rapat dan melalui rapat ninik
mamak itu akan ditutuskan
hukumn yang di jatuhkan
terhadapmu. Atas permintaan
ninik Mamak, kamu tidak
dipenjarakan seperti teman-
√ 112
temanmu yang lain yang tidak ada
hubungan kekerabatan dengan
Datuk Mantiko.”
30. Polisi
menyerah
kan
hukuman
Zaldy
kepada
kaum.
Di balai adat “bahkan polisi dapat menerima
bahwa ini adalah masalah dalam
kaum, kamu harus menerimanya
tanpa membantah karena itulah
resiko dari perbuatannmu”.
√ 112
31. Hukuman
terhadap
Zaldy
diumumka
n tetua
adat,
Kepala kaum “ kalau begitu, menurut adat
kita, kamu dihukum dengan
hukuman meninggalkan
kampung selama lima tahun dan
orangtuamu mengganti
seperempat bagian dari kerugian
datuk mantiko. Kepala kaum
mengambil keputusan.
√ 113
32. Zaldy
membuka
kebusukan
datuk
mantiko di
depan
semua
orang
kampung.
Zaldy “setiap terjadi sesuatu tentu ada
penyebabnya begitupun
perbuatan saya ini ada
penyebanya, penyebabnya adalah
lelaki yang bergelar datuk ini.
Ucap Zaldy dengan suara keras
sambil menunjuk ke arah Datuk
Mantiko.”
√ 114
33. Datuk
mantiko
mengeluar
kan
sumpah
serapah
kepada
Zaldy.
Datuk Mantiko “diam tutup mulutmu pencuri
pencuri hina ! datuk mantiko
sangat marah mendengarkan
kata kemenakannya. Kata-kata itu
sekan menginjak-injak kopiah
penghulu yang bertengger di atas
kepalanya.”
√ 114
34. Datuk
Mantiko
mulai
memperha
tikan
kemenaka
nnya.
Datuk Mantiko “dan yang kedua adalah
berhasilnya kemenakan kami,
Wim menyelesaikan sekolahnya
di SSA Pekanbaru karena itu
pada pak haji untuk mohon
membacakan doa.”
√ 123
35. Datuk
Mantiko
bersemang
at ingin
menguliah
kan Wim.
Datuk Mantiko “Aku akan lebih bangga lagi jika
kamu dapat kuliah “ ujar Datuk
Mantiko melanjutkan bicaranya”.
√ 125
36. Hendara
memperke
Di Solok Hendra “Hendra, sudah lama? Sapa pemilik
apotik. “ belum pak. Oh iya pak. Ini √ 137
nalkan
Wim
kepada
pemilik
apotik
tempatnya
bekerja.
temanku pak. Hendra
memperkenalkan Wim sambil
menyalami pak Rahmat.”
37. Penyebab
Datuk
Mantiko
membenci
pak Imam.
“ hal ini sering terjadi, sehingga
akhirnya simpati orang kampung
berpindah pada pak Imam yang
alim dan rendah hati. Itulah
pangkal mulanya Datuk Mantiko
memusuhi keluarga pak Imam.”
√ 100
38. Wim
bertemu
dengan
keluarga
Marni.
Di Rumah
mak Tuo
Marni
Wim “ Ketika telah sampai diambang
pintu, Wim mengucapkan salam
yang dijawab oleh ketiga
perempuan yang berada di dalam
rumah. Wim melangkah menuju
Mama, dan Mak tuo Marni dan
bersalaman dengan keduanya.”
√ 165
39. Kampung
Wim
adalah
kampung
yang
sangat
religius.
Di kampung “ Sudah menjadi sebuah tradisi
yang turun temurun di
kampungnya yang terletak di
pinggang gunung Merapi, semua
anak-anak sampai remaja
diwajibkan untuk mengaji di
surau. Surau itu berlokasi ditempat
√ 201
yng sangat strategis di tengah-
tengah desa.”
40. Kepandaia
n pak
Malin
yang
membuat
ia
disegani.
“Dari beliaulah mereka
menerima ilmu dan seni
membaca alquran, mulai dari
menghapal huruf Arab, tajwid,
nahu, sharaf, sejarah, akhlak
dan lain sebagainya sesuai
dengan usia mereka, selain itu
beliau sangat di segani di
kampung itu.”
√ 202
41. Wim
terbiasa
mengucap
kan salam
kepada
pak
Ahmad
sehingga
hal ini
sulit ia
rubah.
Di Polda
Riau “hari pertama Wim mulai bertugas
di polda Riau ia merasa risih ketika
perpapasan dengan pak Ahmad. Ia
segera memberi hormat terlebih
dulu. Tapi kemudian Pak Ahmad
memberitahukan bahwa
tindakan seperti itu akan
merugikan mereka berdua
karena menyimpang dari
peraturan. Semenjak saat itu
Wim berusaha sebisanya agar
tidak berpasasan dengan Pak
Ahmad.”
√ 243
42. Datuk
Mantiko
berusaha
membuat
acara
pinangan
Di rumah
Tika
Datuk Mantiko “Dalam acara meminang ini sempat
terjadi ketegangan karena Datuk
Mantiko meminta uang jemputan
yang besar, seratus juta rupiah.
Itulah uang jemputan yang diminta
Datuk Mantiko. Pihak keluarga
√ 249
Keterangan :
Aspek yang memengaruhi realita sosial masyarakat Minangkabau:
A. Adat Bakaum (AB)
B. Adat Bakampuang (ABK)
C. Adat Bergaul dalam Masyarakat (ABM)
D. Sumando Manyumando (SM)
E. Adat dalam Keluarga (ADK)
Wim
gagal.
Tika sempat tersinggung dengan
permintaan Datuk ini.
Nampaknya ada keinginan
terselubung dari Datuk Mantiko
yaitu menggagalkan pernikahan
Wim.
43.
Datuk
Mantiko
kesetanan
karena
hartanya
telah
dicuri.
Datuk Mantiko “pergi sialan! Kerjanya hanya
tidur saja. Aku pecat kalian
semuanya. Tidak tahu diuntung.
Ingin gaji besar tetapi kerja tidak
becus. Lebih baik aku pelihara
anjing saja dari pada kalian,
sumpah serapah Datuk Mantiko
yang tidak enak didengar”.
√