PROPOSAL
PENELITIAN DASAR KEILMUAN
PEMETAAN JALAN RAYA POS ( WILAYAH JAKARTA, DEPOK DAN
BOGOR ) SEBAGAI PENGAYAAN PEMBELAJARAN SEJARAH DI SMA
Oleh; Dr. Jumardi, M.Pd (0306087401)
Ari Bahtiar NIM: 1701075001
Rizki Abdillah R NIM:1701075029
Fadhil M Faiz NIM: 1701075025
Viki AH NIM: 1701075028
M Zaqi Al Zamani NIM: 1701075042
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF DR HAMKA
JAKARTA
TAHUN 2021
LEMBAR PENGESAHAN
Pilih Skema Penelitian
Judul Penelitian
Pemetaan Jalan Raya Pos ( Wilayah Jakarta, Depok dan Bogor ) sebagai Pengayaan Pembelajaran
Sejarah di SMA
Ketua Peneliti :Dr. Jumardi, M.Pd
Link Profil simakip : http://simakip.uhamka.ac.id/pengguna/profile
Fakultas /Program Studi: FKIP /Program Studi Pendidikan Sejarah
Nama Mahasiswa : Ari Bahtiar NIM: 1701075001
Rizki Abdillah R NIM:1701075029
Fadhil M Faiz NIM: 1701075025
Viki AH NIM: 1701075028
M Zaqi Al Zamani NIM: 1701075042
Waktu Penelitian : 6 Bulan
Pililhan Fokus Riset UHAMKA
Fokus Penelitian UHAMKA: Penelitian Dasar Keilmuan
Luaran Penelitian
Luaran Wajib :Jurnal Nasional Terakreditasi Status minimal : Submitted
Luaran Tambahan :Video dan tulisan di Media online Status minimal : Draft
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ketua Peneliti
Andi, M.Pd Dr. Jumardi, M.Pd.
NIDN. 0313098507 NIDN.0306087401
Menyetujui,
Dekan FKIP UHAMKA Ketua Lemlitbang UHAMKA
Dr. Desvian Bandarsyah, M.Pd Prof. Dr. Suswandari, M.Pd
NIDN. 0317126903 NIDN. 0020116601
RINGKASAN
Ringkasan penelitian tidak lebih dari 500 kata yang berisi latar belakang penelitian, tujuan dan
tahapan metode penelitian, luaran yang ditargetkan,
Abstrak
Jalan raya memiliki peran dalam pembangunan suatu daerah. Sejak masa penjajahan
berlangsung di Indonesia, upaya untuk mengatasi seluruh pergerakan manusia dan barang
dibangunlah jalan raya yang menghubungkan antar daerah penghasil bahan baku ke daerah lain.
Jalan Raya Pos atau Jalan Raya Deandles membentang 1000 km dari Anyer hingga Panarukan.
Proyek jalan ini merupakan infrastruktur penunjang pertahanan koloni Hindia-Belanda. Pada
saat itu, pemerintah kolonial Hindia-Belanda merupakan pemerintahan yang berisi para
simpatisan revolusi Prancis. Pembangunan jalan raya pos yang dilakukan Deandles adalah
dengan melakukan perluasan jalan desa yang sudah ada. Hal ini membawa dampak bagi giat
ekonomi dan social dilokasi perluasan jalan raya. Metode penelitian menggunakan kualitatif
dan data diperoleh dengan studi literatur serta observasi. Hasil penelitian, diperoleh bahwa
perlunya memberikan pengalaman langsung kepada peserta didik untuk mendapatkan informasi
mengenai jalan raya pos terutama yang melintas sepanjang wilayah (Jakarta, Depok dan Bogor).
Kata Kunci : Pemetaan dan Jalan Raya Pos
BAB 1
PENDAHULUAN
Jalan Raya Pos terbentak dari Anyer hingga Panarukan dengan panjang jalan 1000km.
Marsekal Daendels adalah orang yang ikut bertanggung jawab dalam peristiwa jatuhnya
kekuasaan Belanda ke tangan Perancis. Daendels ditunjuk oleh Louis Bonaparte, penguasa
Perancis di Belanda setelah kejatuhan itu, untuk menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda
dengan membawa misi penting. Tugas utamanya adalah mengamankan Jawa dari serangan
Inggris, mengumpulkan dana untuk biaya perang melawan Inggris, dan memperbaiki sistem
pemerintahan yang ada.
Daendels meyakini bahwa pembangunan Jalan Raya Pos akan membuat tugasnya
mengamankan Jawa menjadi lebih ringan. Jalan Raya Pos dapat mempermudah distribusi
logistik kebutuhan militer dan kebutuhan sehari-hari, juga memperlancar komunikasi, ekonomi
dan politik antar daerah di Pulau Jawa. (Endah Sri Hartatik 2016), (Acep Iwan Saidi:2010).
Untuk menuju Panarukan, pembangunan atau perluasan jalan raya pos melewati daerah Jakarta,
Depok dan Bogor. Pramudya menulis, Jalan Daendels juga menyentuh Depok yang jaraknya
22 kilometer dari Bogor. Gambaran itu dituliskan Pram: "Dua puluh dua kilometer di selatan
Depok, Jalan Raya Pos sampai ke Bogor.
Semasa kolonial lebih dikenal dengan nama Buitenzorg, terjemahan dari Prancis, Sans
Souci, yang berarti: tanpa beban pikiran, santai saja." (Mujihadi:2017). Materi sejarah pada
tingkat satuan sekolah menengah pokok bahasan peradaban eropa di nusantara menjadi menarik
ketika mampu dikaitkan dengan keberadaan fakta kesejarahan disekitar perserta didik. Peserta
didik akan tertarik ketika materi tersebut ditambahkan dengan informasi kesejarahan seputar
pembangunan jalan raya pos, terutama yang melintasi Jakarta, Depok dan Bogor. Tentunya
peserta didik akan dapat mengingat jalan jalan disekitar tiga wilayah yang disebut tadi. Peserta
didik akan hanyut dalam pembelajaran ketika disuguhkan bagaimana para pekerja
pembangunan jalan dipaksa untuk bekerja dengan bayaran rendah atau bahkan tanpa dibayar
alias kerja rodi. Hari ini peserta didik dapat leluasa melakukan perjalanan tanpa diketahui
bagaimana jalan tersebut saat ini ada.
Selain itu informasi tentang jalan raya pos di wilayah Jakarta, Depok dan Bogor dapat
menjadi pengingat bagi pemerintah khususnya kementerian pekerjaan umum untuk merawat
dan menjaga jalan yang sudah dibangun oleh keringat rakyat Indonesia dibawah tekanan
penjajah. sehingga nilai nilai perjuangan dalam membangun jalan raya oleh rakyat Indonesia
benar benar dapat dirasakan manfaat nya oleh generasi penerus bangsa dan bagi peserta didik
mampu memperjelas posisi strategis jalan raya pos pada masa tersebut, sehingga semakin
menguatkan nasionalisme pada diri peserta didik.
BAB II
State of The Art
Penelitian yang dilakukan Endah Sri Hartatik (2016) Paramita : Historical Studies
Journals 155-165. Perkembangan Jalan Raya di Pantai Utara Jawa Tengah Sejak Mataram Islam
Hingga Pemerintahan Deandles. Penelitian ini membahas tentang perkembangan jalan raya di
pantai Utara Jawa Tengah sampai pemerintahan Deandles. Penting untuk dijelaskan bahwa
jalan raya dibuat untuk kepentingan ekonomi dan angkatan perang. Pros es transformasi dari
Jalan Raya Pesisir men jadi Jalan Raya Pos melalui proses politik keti ka Daendels
menguasai Jawa pada tahun 1808. Untuk kepentingan angkatan perang dan eksploitasi ekonomi
dibangunlah Jalan Raya Pos. Di Jawa Tengah jalan raya tersebut dibangun dengan mendasarkan
diri pada Jalan Raya Pesisir. Revitalisasi dan transfor masi jalan raya itu telah mengakibatkan
perkembangan ekonomi di wilayah kota-kota dan desa-desa yang terintegrasi oleh jaringan
jalan raya tersebut serta mempermudah kontrol administrasi bagi penguasa colonial
Acep Iwan Saidi (2010) Jurnal Sosioteknologi Edisi 19 Tahun 9, April. Penelitian ini
berisi tentang analisa singkat jalan mulai dari jalur hingga jalan raya modern. Analisis dilakukan
dalam perspektif budaya. Jalan tersebut tidak dilihat semata-mata sebagai prasarana fisik
bangunan, tetapi bagaimana itu membangun jaringan pengetahuan dan perilaku budaya di
dalamnya. Diketahui bahwa jalan dalam sejarahnya mengalami pergeseran fungsi dan memiliki
arti. Misalnya fungsi jalan yang dulu mempertemukan keduanya secara fisik dan non fisik,
namun dalam perkembangannya juga memiliki fungsi untuk menyiasati. Fenomena terkini,
jalan raya juga identik dengan "jendela" untuk menampilkan kepalsuan modernitas. Di
Indonesia, imajinasi Daendels mengenai jalan kiranya menjadi contoh menarik untuk hal ini,
pembangunan jalan Anyer-Panarukan dengan imajinasi kuasa.
Mujihadi, (2017) Paramasastra Vol. 4 No. 2 – September, Genosida Terhadap Orang-
Orang Nusantara Dalam Esai Jalan Raya Pos, Jalan Daendels Karya Pramoedya Ananta Toer.
a karya esai Pram yang terkenal adalah Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (JRPJD). Dalam esai
tersebut Pram bercerita tentang terjadinya genosida/pembunuhan masal, baik secara langsung
maupun tidak langsung yang telah terjadi di Indonesia. Dalam penelitian ini peneliti mengaji
esai tersebut menggunakan kritik sastra Kajian Budaya dengan pendekatan historis.
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah: pertama, bagaimana bentuk
representasi genosida terhadap orang-orang Indonesia dalam esai JRPJD karya Pram. kedua
bagaimana klarifikasi sejarah terhadap representasi Pram tentang peristiwa genosida terhadap
orang-orang Indonesia dalam esai JRPJD? Dari hasil analisis terhadap esai JRPJD tersebut
diperoleh hasil berupa informasi bahwa genosida terhadap orang-orang Indonesia pernah
dilakukan oleh orang Belanda, orang Jepang, dan oleh orang Indonesia sendiri.
Keterbaruan dalam penelitian ini adalah membahas bagian dari pembangunan jalan raya pos
atau jalan Deandels pada wilayah Jakarta, Depok dan Bogor dengan menggunakan metode
penelitian historis.
Roadmap Penelitian
Tahun 2021, peneliti menyelesaikan penelitian tentang evaluasi program pembelajaran sejarah
lokal, hasil penelitian terbit pada jurnal internasional dan seminar international. Tahun 2022,
peneliti akan menyusun dan membuat web digital pemetaan sumber sejarah lokal di
Jabodetabek dan Banten. Selanjutnya pada tahun 2023 peneliti akan menyusun buku
pembelajaran sejarah lokal di perguruan tinggi
Gambar Roadmap Peneliti
2021 , menyelesaikan penelitian tentang evaluasi program pembelajaran sejarah lokal di perguruan tinggi
2022-2023, pembuatan web digital pemetaan sumber sejarah lokal di Jabodetabek dan Banten
2023-2024, Pembuatan bukuPembelajaran Sejarah Lokal di Perguruan Tinggi
BAB III
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan sejarah
atau Historical Research. Menurut Borg dan Gall dalam Djamal (2015:103) Penelitian sejarah
adalah penyelidikan secara sistematis terhadap dokumen dan sumber-sumber lain yang
mengandung fakta tentang pertanyaan-pertanyaan sejarawan di masa lampau. Sementara itu
menurut Wiersman dalam Djamal (2015:103) Penelitian sejarah adalah proses penyelidikan
secara kritis terhadap peristiwa masa lalu untuk menghasilkan deskripsi dan penafsiran yang
tepat dan benar tentang peristiwa-peristiwa tersebut. Penelitian historis berupaya
merekonstruksi tentang fakta di masa lampau tentang apa, siapa, kapan, di mana dan bagaimana
secara obyektif, sistematis dan akurat yang dilaksanakan pada waktu sekarang. Proses
rekonstruksi dilakukan berdasarkan hasil catatan-catatan di lapangan, artefak-artefak serta
laporan-laporan verbal pelaku atau saksi sejarah. Menurut Djamal (2015:17) pengertian sejarah
adalah cerita perubahan, peristiwa, atau sebuah kejadian di masa lampau yang telah diberikan
tafsir atau alasan yang dikaitkan sehingga membentuk pengertian yang lengkap. Kartodirdjo
dalam Sulasman (2014:75) dalam artian yang objektif merujuk pada suatu kejadian maupun
peristiwa, yaitu proses sejarah dalam aktualisasinya. Orang yang mengalami suatu kejadian
hanya mengamati dan mengikuti saja, sehingga tidak mungkin memiliki gambaran umum saat
itu juga. Tahapan-tahapan yang biasa dilakukan dalam penelitian historis menurut Wierma
dalam Djamal (2015:104) ada empat langkah yaitu; (1) mengidentifikasi masalah di mana
meliputi merumuskan hipotesis dan pertanyaan, (2) mengumpulkan dan mengevaluasi bahan-
bahan sumber yang di dalamnya ialah merumuskan kembali hipotesis dan pertanyaan, (3)
melakukan sintesis informasi dari bahan-bahan sumber, atau pada bagian ini dapat pula
melakukan revisi hipotesis, kemudian (4) analisis penafsiran, merumuskan kesimpulan
(menerima hipotesis atau menolak).
Diagram Alir Penelitian
BAB IV
Hasil dan Pembahasan
Jalan Raya Pos (Grote Postweg) adalah jalan raya yang menghubungkan Pulau Jawa dari
utara dari Anyer sampai Panarukan. Jalan ini dibangun pada masa pemerintahan Deandels
dengan 1 tahun menjabat. Dia, Deandels memerintahkan untuk membuat jalan raya besar
dengan alasan "pembangunan". Alasan ini lebih terfokus pada aspek militer. Untuk kepentingan
militer sendiri, jalan raya ini diharapkan mampu menggerakkan tentara sebagai jalur darat yang
mudah dan juga membutuhkan penghubung antara satu daerah dengan daerah lainnya. Dapat
disimpulkan bahwa jalan raya pos ini merupakan jalan raya militer yang ada di Nusantara pada
saat itu. Karena pada saat itu perpecahan antara Belanda dan Inggris membuat Deandel berjaga-
jaga jika terjadi serangan di koloni ini.
Daendels adalah pemuja prinsip-prinsip pemerintahan revolusioner. Ia membawa pulau
Jawa pada perpaduan semangat reformasi dan cara-cara kediktatoran, meskipun hasil
pemikirannya tidak banyak membuahkan hasil dan menimbulkan banyak perlawanan. Ia
berusaha menghilangkan inefisiensi, penyimpangan, dan korupsi yang menyelimuti
pemerintahan Eropa meskipun langkahnya hanya sedikit berhasil. Di awal-awal
kedatangannya, Deandels awalnya berkunjung langsung ke sekitar pulau Jawa dan
menganggapnya sesuatu yang cukup sulit karena medan yang tidak beraturan. Kemudian tidak
lama kemudian beliau memerintahkan pembangunan Tol Pos yang memakan waktu hingga 1
tahun(Nas & Pratiwo, 2020).
Deandels telah memahami bahwa Inggris, cepat atau lambat, akan datang ke Jawa.
Mereka mengincar penguasaan pulau ini untuk kepentingan politik mereka di Nusantara.
Batavia, seperti halnya kota-kota lainnya, merupakan ibu kota penting yang perlu dikuasai
sebagai bukti supremasi kekuasaan atas pulau ini. Menanggapi hal tersebut, Daendels merasa
perlu membangun instalasi militer yang handal untuk mengusir pasukan musuh yang datang
dari laut. Antara satu pelabuhan dengan pelabuhan lainnya, harus ada jalur yang dapat
memobilisasi pasukan dan logistik perang dengan cepat(Tuinen & Deze, 1999).
Untuk meloloskan kepindahannya, Deandels mengimbau para penguasa pribumi untuk
menyediakan tenaga kerja rakyat sebagai pekerja untuk proyek besarnya (Nas & Pratiwo,
2020). Seperti diketahui, hubungan penguasa dengan rakyat dalam masyarakat Jawa sangat
dominan(Arimi, 2008). Orang-orang pada umumnya yang berprofesi sebagai tukang kebun atau
sawah milik bangsawan Jawa atau saudagar kaya, merupakan tokoh yang dituntut untuk
mengabdi pada kepentingan kerajaan, apapun bentuknya. Himbauan penguasa adat dimaknai
oleh rakyat jelata sebagai perintah yang harus dipatuhi. Hal ini dilakukan meskipun mereka
sadar bahwa upah yang mereka dapatkan dari pekerjaannya seringkali tidak sepadan dengan
pekerjaannya.
Secara berkala, tenaga rakyat didatangkan untuk membongkar perbukitan dan membuat
ladang untuk kepentingan Jalan Raya Pos. Korban yang jatuh karena kelelahan tak terhitung
jumlahnya. Saat itu belum ada asuransi yang menjamin keselamatan para pekerja pribumi.
Mereka seolah harus menerima takdir sebagai orang yang harus menuruti perintah
pemimpinnya. Penulis belum mendapatkan angka pasti, berapa banyak pekerja yang meninggal
dalam pembangunan ini(Raben, 2012).
Sangat sedikit historiografi yang menggambarkan gambaran masyarakat Jawa pada abad
kesembilan belas. Kalaupun ada, maka uraiannya tidak terlalu panjang, dan hanya mengisi
sebagian kecil model masyarakat Jawa yang dekat dengan kaum bangsawan di Kraton. Hal ini
terjadi karena rakyat jelata bukanlah objek yang menarik untuk diabadikan. Mereka hanyalah
sekelompok orang yang dalam pandangan orang Eropa adalah orang-orang kelas dua yang tidak
pantas disamakan dengan tuannya.
Signifikansi Jalan Raya Pos memang ditempatkan untuk kepentingan kolonialisme.
Selanjutnya, jalan ini akan digunakan sebagai jalur alternatif untuk mengangkut komoditas
perdagangan dari pedalaman ke pantai. Perkebunan-perkebunan Eropa, seperti yang terdapat di
Bogor, secara ekonomi merupakan lahan yang belum berkembang kecuali jika dihubungkan
dengan jalur langsung ke Tanjung Priok, atau pelabuhan lain di sekitar Batavia dan Banten.
Dengan jalan yang bisa dilalui kendaraan besar, biaya perjalanan bisa diminimalisir(Akbar &
Nurhayati, 2018).
Mengenai hubungan antara Jalan Raya Pos dan perkembangan ekonomi di Jawa, H.
Heetjans menyatakan:
Gaan wij thans over tot een elementaire beschouwing der verschillende wijken, hare
huidige bestemming en overheerschende bevolkingsgroepen en noemen wij voor
den vervolge het gedeelte, liggend in de omgeving van Bragaweg, Pasarbaroewelte
van hestad centrumuss en het daartus kunnen wij beginnen bertemu te zeggen dat
de winkel-, handelsen kantoorwijken vrijwel di dat centrum gelegen zijn. De
Europeesche bevolking heeft zich hoofdzakelijk gevestigd. Noorden van de lijn
Postweg- BragawegSpoorbaan en evenals bij meerdere Indische steden, kunnen wij
ook in Bandoeng de trek bespeuren der gegoede Europeanen naar de hoogere
terreinen en dus naar het Noorden heen (H. Heetjans, 19).
DAMPAK POS JALAN TERHADAP MASYARAKAT ADAT
Dalam pembangunan pos jalan raya, Herman wiliam Daendels melakukan kebijakan
dimana masyarakat wajib bekerja paksa untuk membangun proyek pos jalan raya, dalam
pembangunan proyek pos jalan raya ini banyak orang meninggal karena dipaksa bekerja keras
namun tidak tidak mendapatkan upah yang layak atau bahkan tidak mendapatkan makanan
yang layak.
Untuk menyukseskan pembangunan pos jalan raya, Daendels tidak memikirkan kondisi
masyarakat adat, Pram dalam bukunya yang berjudul “Post Highway, Daendels Street”
menulis: “Sudah tak terhitung banyaknya pekerja yang meninggal, baik karena malaria, juga
karena kelaparan, juga karena kelelahan, kata Meneer Guru. Padahal, di sepanjang Jalan Raya
Pos – Jalan Daendels – terdapat kuburan terbesar di pulau Jawa. Dan ini bukan pembantaian
pertama oleh Belanda di tanah air kita.(Pramoedya ananta, 2012:8).”
Dari tulisan Pram dapat disimpulkan bahwa telah terlihat bahwa Deandels secara tidak
langsung telah melakukan genosida terhadap masyarakat adat ketika melaksanakan proyek pos
jalan raya. Para korban genosida tersebar di berbagai wilayah pulau Jawa. Jika melihat jumlah
korban akibat proyek tersebut, angka kasar yang diketahui dalam beberapa artikel yang
ditemukan adalah jumlah korban sebanyak 12.000 orang. Angka ini diperoleh dari laporan
Inggris pada tahun 1815(Mujihadi, 2017).
Pemerintah Hindia Belanda menginginkan ketertiban tidak hanya bagi orang Arab,
Tionghoa atau pribumi tetapi juga bagi orang Belanda sendiri. Pada tahun 1850-an, jumlah
kedatangan orang Belanda ke Hindia Belanda relatif tinggi. Hal ini mendorong pemerintah
untuk mengeluarkan ordonansi tertanggal 22 Januari 1860 tentang himbauan kepada para
imigran Belanda untuk segera mengumpulkan data administrasi di kantor yang bersangkutan.
Saat menghadap petugas catatan sipil, mereka harus menyebutkan sudah berapa lama mereka
tinggal. Peraturan tersebut juga akan dicetak dalam bahasa pribumi (Melayu) dan Cina untuk
pengetahuan umum. Dari sini diketahui bahwa pemerintah menginginkan kontrol terhadap hal-
hal yang mendasar dalam kehidupan masyarakat, yaitu pencatatan sipil. Setiap orang
diharapkan untuk berpartisipasi sehingga kontrol terhadap mereka cenderung lebih mudah
dilakukan(Ordonantie van 22 Januri 1860, 1860).
Selain di dalam kota Batavia, pasar di luar Batavia juga diatur. Dalam peraturan tentang
pasar (pasar) pada tahun 1854, diketahui bahwa Pemerintah Batavia mendirikan sejumlah pasar
untuk berdiri di atas tanah milik pribadi. Pajak di pasar ini dibebaskan.
Hari pasar juga ditentukan, termasuk:
1. Pasar di Cisarua (Tjiseroa) buka setiap hari Senin setiap minggu
2. Pasar di Tugu (Toegoe) buka setiap hari Kamis setiap minggu
3. Pasar di Parung Panjang (Parong-Pandjang) buka setiap hari Selasa setiap minggu
Pemerataan pasar ini dimaksudkan untuk menjamin pemerataan perdagangan di sejumlah
daerah. Pengaturan serupa dilakukan oleh pemerintah kolonial di daerah Cikarang (Tjikarang).
Dengan demikian, warga di pedesaan yang kebetulan jauh dari pasar bisa mempersiapkan diri
terlebih dahulu. Distribusi barang adalah kunci sukses perdagangan. Untuk itu, fasilitas harus
disiapkan untuk mengakomodasi hal tersebut. Di Hindia Belanda saat itu, bagi masyarakat,
keberadaan pasar tidak hanya digunakan sebagai tempat jual beli, tetapi juga merajut
kebersamaan. Tradisi ini dipandang sebagai peluang untuk memperluas perekonomian
pemerintah kolonial(Ordonantie van 4 Januri 1868, nd).
Kemajuan yang dialami pemerintah Hindia Belanda di atas terwujud karena dibukanya
Jalan Pos yang diprakarsai oleh Daendels. Pasar rakyat yang tumbuh sebelum pemerintah
kolonial didirikan, dipandang sebagai tempat ekonomi yang berpotensi mendatangkan
keuntungan bagi pemerintah Eropa. Pemerintah tidak mendapatkan keuntungan secara
langsung, tetapi pendapatan berupa berbagai pajak merupakan dana riil yang dikumpulkan
untuk mengisi kas negara.
Penggunaan transportasi tradisional yang beroperasi di darat, banyak digunakan oleh
masyarakat untuk membantu mengatasi permasalahan transportasi pada saat itu. Beberapa jenis
transportasi darat ada pada masa itu, seperti gerobak, cikar, dan gerobak. Gerobak adalah alat
transportasi darat yang digunakan untuk mengangkut barang atau orang. Alat transportasi ini
digerakkan oleh satu atau dua ekor kerbau yang berjalan pelan. Kendaraan ini terbuat dari kayu
dan rodanya juga terbuat dari kayu.
Sarana transportasi darat lainnya adalah manggung. Dilihat dari bentuknya, gerobak tidak
terlalu berbeda dengan gerobak, namun yang membedakan transportasi ini dengan gerobak
adalah hewan yang menarik gerobak adalah kuda, sehingga perjalanan bisa sedikit lebih cepat.
Namun dari segi penggunaan, pedati kalah dengan pedati karena hewan yang biasa digunakan
untuk menarik manggung yaitu kuda merupakan alat transportasi yang paling banyak
digunakan secara pribadi.(Malikha, 2019).
Bagi kuda itu sendiri, dalam masyarakat tradisional merupakan alat transportasi yang
menempati posisi terhormat. Kuda dianggap sebagai simbol kejantanan atau keperkasaan dan
kekuatan. Dalam episode perang Nusantara, kuda selalu menempati posisi penting, sebagai
kendaraan yang menjamin kemenangan. Kuda juga telah menjadi alat transportasi yang penting,
baik sebagai pengangkut beban maupun sebagai tunggangan manusia. Menurut Asnan dalam
artikel(Sufyan, 2017)berpendapat bahwa kuda dapat membawa beban hingga 1 hingga 1,5
kwintal. Sedangkan kuda bisa membawa maksimal dua orang. Memasuki masa pendudukan
Belanda, kuda masih digunakan sebagai alat transportasi utama. Diantaranya digunakan oleh
Belanda (perwira artileri) dalam perang lokal.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal William Daendels berkuasa, beliau
mewajibkan budidaya kopi agar hasil perkebunan kopi meningkat. Pada tahun 1808
pertambahan jumlah pohon kopi mencapai 45 juta pohon dari 26.956.457. Kemudian dari 45
juta meningkat menjadi 72.669.860. Kopi menjadi komoditas yang sangat menguntungkan bagi
pemerintahannya. Daerah yang meliput kopi pada waktu itu sebagian besar adalah daerah
Priangan.
Pada abad ke-19, wilayah Priangan diwarnai oleh monopoli kopi oleh pemerintah
Belanda. Penanaman, perawatan, dan pemanenan tanaman dilakukan secara paksa. Seperti yang
telah dibahas sebelumnya, kerja paksa pada abad ke-19 tidak hanya di proyek Jalan Raya Pos,
tetapi juga di sektor perkebunan. Saat mengangkut kopi ini, masyarakat adat dilarang melintasi
Jalan Raya Pos. Pasalnya, jalan tersebut akan cepat rusak jika digunakan. Dengan peningkatan
hasil dari perkebunan kopi, perbaikan jalan dapat dimulai(Lamiyati, 2017).
KESIMPULAN
Jalan raya pos (Grote Postweg), dibangun pada tahun 1808-1811 atas perintah Gubernur
Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels. Terciptanya kelancaran komunikasi antar
wilayah di sepanjang pulau Jawa yang pada waktu itu dikuasai oleh Daendels merupakan tujuan
dari pembangunan jalan raya pos itu sendiri, selain itu pembangunan jalan raya pos tersebut
berfungsi sebagai pertahanan terhadap serangan Inggris di Utara. Pantai Jawa, karena pada
waktu itu perpecahan antara Belanda dan Inggris membuat Deandels berjaga-jaga jika terjadi
serangan terhadap koloni ini.
Dalam proyek besar ini, Herman Willem Daendels memerintahkan penguasa pribumi
untuk menyediakan tenaga kerja rakyat sebagai pekerja untuk proyek jalan raya pos ini.
Perintah diartikan sebagai perintah yang harus dipatuhi. Perintah ini tetap dilakukan meskipun
mereka sadar bahwa upah yang mereka peroleh dari pekerjaannya seringkali tidak sepadan
dengan pekerjaannya. Hingga pada akhirnya korban yang jatuh karena kelelahan tidak terhitung
lagi. Saat itu belum ada asuransi yang menjamin keselamatan para pekerja pribumi. Mereka
seolah harus menerima takdir sebagai orang yang harus menuruti perintah pemimpinnya.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, MAH, & Nurhayati, HSA (2018). Pelestarian pohon pusaka di jalur de Groote Postweg
di Kota Bogor. Seri Konferensi IOP: Ilmu Bumi dan Lingkungan, 203(1).
https://doi.org/10.1088/1755-1315/203/1/012007
Al-Athas, SI (2016). Transformasi Struktur Bentuk Jaringan Jalan Di Kawasan Simpanglima
Kota Bandung. NALARs, 15(2), 121. https://doi.org/10.24853/nalars.15.2.121-130
Arimi, S. (2008). Pergeseran Kekuasaan Bangsawan Jawa Indonesia: Sebuah Analisis Wacana
Kritis. Jurnal Masyarakat Dan Budaya, 10(2), 1-22.
http://jmb.lipi.go.id/index.php/jmb/article/view/214
Frankema, Ewout & Frans Buelensm, 2013, Colonial Exploitation and Economic Development
The Belgian Congo and the Netherlands Indies Compared, 1st Edition, London.
Hartatik, Endah Sri, 2016, Perkembangan Jalan Raya Di Pantai Utara Jawa Tengah Sejak
Mataram Islam Hingga Pemerintahan Daendels, Paramita: Historical Studies Journal, 26
(2), 155-165
Saidi, Acep Iwan, 2010, Jalan Raya Sebagai Desain Kebudayaan, Jurnal Sosioteknologi Edisi
19 Tahun 9, April, 769-781
Mujihadi, 2017, Genosida Terhadap Orang-Orang Nusantara Dalam Esai Jalan Raya Pos, Jalan
Daendels Karya Pramoedya Ananta Toer, Paramasastra Vol. 4 No. 2 – September 266-
287
Djamal,M. 2015. Paradigma penelitian kualitatif : Edisi Revisi.Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Sulasman. (2014). Metodologi Penelitian Sejarah, Teori, Metode, Contoh Aplikasi. Bandung:
Pustaka Setia
BAB V
Luaran yang dicapai
Jurnal Paramita, https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/paramita/author (proses perbaikan),
Tracing the Deandels Pos Post Highway Jakarta-Bogor 19th century, oleh Jumardi dkk
Lampiran :
https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/paramita/author (proses perbaikan)
Tracing the Deandels Pos Post Highway
Jakarta-Bogor 19th century
Abstract: This article is entitled “ Tracing the Daendels Pos Post Highway”. The problems in
this research are what is the background for the construction of the postal highway, and what is
the impact of the postal highway construction. In accordance with the problems above, the
purpose of this research is to find out the background of the construction of the postal highway,
and to find out what are the impacts of the construction of the postal highway. So from the
results of the study it was found that. The postal highway (De Grote Postweg), was built in
1808-1811 on the orders of the Governor-General of the Dutch East Indies, Herman Willem
Daendels. The creation of smooth communication between regions along the island of Java
which at that time was controlled by Daendels was the goal of the construction of the postal
highway itself, besides that the construction of the postal highway served as a defense against
British attacks on the north coast of Java.
Abstract: Artikel ini berjudul “Menelusuri Jalan Raya Pos Daendels Batavia-Buitenzorg abad 19”.
Adapun permasalahan dalam penelitian ini yaitu apa yang melatarbelakagi pembangunan jalan raya
pos tersebut, dan bagaimana dampak dari pembangunan jalan raya pos itu. Sesuai pada permasalahan
diatas tujuan dari penelitian ini yaitu, untuk mengetahui latar belakang dari pembangunan jalan raya
pos, dan mengetahui apa saja dampak dari pembangunan jalan raya pos itu. Maka dari hasil penelitian
didapat bahwa. Jalan raya pos (De Grote Postweg), dibangun pada tahun 1808-1811 atas perintah
Gubernur Jenderal Hindia Belanda yaitu Herman Willem Daendels. Terciptanya komunikasi yang
lancar antar daerah disepanjang Pulau Jawa yang pada waktu itu dikuasai oleh Daendels merupakan
tujuan dari pembangunan jalan raya pos itu sendiri, selain itu pembangunan jalan raya pos berfungsi
sebagai pertahanan dari serangan Inggris di Pantai Utara Jawa.
INTRODUCTION
The highway has existed long before the Dutch colonial era, precisely on the North Coast
of Central Java. The highway was originally part of the highway on the northern coast of Java
that entered the territory of the Islamic Mataram kingdom. Coastal Highway to Pantura
Highway is a means of mobility of people and goods.
During the reign of the Governor known as General Herman William Deandels (1808-
1811) briefly ruled the Dutch East Indies for about 3.5 years. However, the various legacy of
infrastructure development that he has pioneered have benefits until the end of the 19th century,
even some are still useful today (Maria Immaculatus Djoko, 2005).
Roads are a useful means of transportation and are also important for the economic and
political development of the island of Java. The highway is a liaison from one city to another
by traveling through various terrains, both areas on land and areas adjacent to the sea through
the coast.
One of the highways in the course of history in the development of cities on the island of
Java is the Great Post Highway (Grote Postweg) which was built by direct order of Deandels
in 1808-1811. With the multi-significance of history, architecture, and also the economy, this
long street has undergone many changes and requires revamping the road space that connects
various big cities (Al-Athas, 2016).
This postal highway was built in 1808. The route crosses the Trans-Java road from Anyer
to Panurukan. This highway has a route that passes through the middle land of west java,
covering Bandung, bogor, sumedang, karang sambung on the northen coast java, namely
Cirebon. The Cirebon-Surabaya route mostly uses the existing northern coastal route and
has been developed since the Mataram era to the VOC. The construction of the post highway,
either in the Priangan environment or in the northern coast of Java, actually uses economic
principles because it uses a pre-existing route (Hartatik, 2016).
From the construction of the post highway, it can be seen that one of the main objectives
is to facilitate the Dutch economy (VOC) with the existence of this highway, it can facilitate
access from Batavia to Buietnzorg to Bandung or vice versa can make it easier to send resources
to the center of the Dutch East Indies government, namely Batavia.
Because the island of Java is an island with abundant resources, coupled with the
existence of forced cultivation introduced by Van Den Bosch, this post highway becomes more
lively because the journey of commodities which are the main income of the VOC is helped by
the existence of the highway.
From the author's description above, the highway has become the economic backbone of
the Dutch government and generates quite a lot of income. However, the indigenous people did
not benefit well from the existence of the highway. Let alone a prosperous life, the corruption
committed by VOC employees made the people miserable and took victims during the
construction and travel of commodities on the highway.
Writing this article wants to discuss how life is on the post highway both in terms of
economic, social, and political things that occur because of the highway. Specialized in the
Jakarta-Bandung area because these two areas are areas that are quite prominent because of the
ongoing political and economic life.
RESEARCH METHODS
The method used in writing this research using historical method and literature study. In
his book A. Daliman explains that historical research is a research method that is tied to various
disciplines. History is tied to reasoning based on facts. These facts will later become the source
of history, to obtain historical truth, so that it is expected to be able to show history objectively
and the ultimate goal is the compatibility between historical understanding and facts (Daliman,
2012). According to Nazir in Milya Sari and Asmendri, Literature Study is a data collection
technique by reviewing books, literature, notes, and various reports related to the problem to be
solved (Sari & Asmendri, 2018). Literature study is a technique of collecting data from books,
journals, and scientific reports, the data that has been obtained will be processed into a research
result.
RESEARCH RESULTS
THE BACKGROUND OF THE ESTABLISHMENT OF THE HIGHWAY POST
Post Highway (Grote Postweg) is a highway that connects the island of Java from the
north from Anyer to Panarukan. This road was built during the reign of Deandels with 1 year
in office. He, Deandels ordered to make a large highway on the grounds of "development". This
reason is more focused on the military aspect.
In the interests of the military itself, this highway is expected to be able to move soldiers
as an easy land route and also requires a liaison between one area to another. It can be concluded
that this post highway was a military highway that existed in the archipelago at that time.
Because at that time the split between the Dutch and the British made Deandels guard in case
an attack was launched in this colony.
Daendels is a devotee of the principles of revolutionary government. He brought the
island of Java to a fusion of the spirit of reform and the methods of the dictatorship, although
the results of his thoughts yielded little results and resulted in much resistance. He tried to
eliminate the inefficiency, irregularities, and corruption that enveloped the European
administration even though his steps were only slightly successful.
In the early days of his arrival, Deandels initially visited directly around the island of Java
and considered it something quite difficult because of the irregular terrain. Then not long after
that he ordered the construction of the Pos Highway which took up to 1 year (Nas & Pratiwo,
2020).
Deandels had understood that the British, sooner or later, would come to Java. They target
the control of this island for their political interests in the archipelago. Batavia, as well as other
cities, are important capitals that need to be mastered as proof of the supremacy of power over
this island. In response to this, Daendels felt the need to build reliable military installations to
repel enemy troops coming from the sea. Between one port and another, there must be a path
that can mobilize troops and war logistics quickly (Tuinen & Deze, 1999).
To pass his move, Deandels appealed to the indigenous rulers to provide people's labor
as workers for his big project (Nas & Pratiwo, 2020). As is known, the relationship between the
rulers and the people in the Javanese society is dominant (Arimi, 2008). The people at large,
whose professions are gardeners or rice fields belonging to the Javanese nobility or wealthy
merchants, are figures who are required to serve the interests of the kingdom, whatever its form.
The appeal of the indigenous rulers is interpreted by the common people as an order that must
be obeyed. This is done even though they are aware that the wages they get from their work are
often not commensurate with their work.
Periodically, people's labor is brought in to dismantle the hills and create a field for the
benefit of Jalan Raya Pos. The victims who fell due to exhaustion were countless. At that time
there was no insurance that guaranteed the safety of the indigenous workers. They seem to have
to accept destiny as people who must obey the orders of their leaders. The author has not yet
obtained exact figures, how many workers died in this construction (Raben, 2012).
There is very little historiography that describes the picture of Javanese society in the
nineteenth century. Even if there is, then the description is not too long, and only fills a small
part of the Javanese society model that is close to the nobility in the Kraton. This happens
because the common people are not an interesting object to be immortalized. They are just a
group of people who, in the view of Europeans, are second-class people who do not deserve to
be equated with their masters.
The significance of Jalan Raya Pos was indeed placed in the interests of colonialism.
Furthermore, this road will be used as an alternative route for transporting trade commodities
from the interior to the coast. European plantations, such as those found in Bogor, were
economically undeveloped lands unless they were connected by a direct route to Tanjung Priok,
or other ports around Batavia and Banten. With a road that can be passed by large vehicles,
travel costs can be minimized (Akbar & Nurhayati, 2018).
Regarding the relationship between Jalan Raya Pos and economic development in Java,
H. Heetjans stated:
Gaan wij thans over tot een elementaire beschouwing der verschillende
wijken, hare huidige bestemming en overheerschende bevolkingsgroepen en
noemen wij voor den vervolge het gedeelte, liggend in de omgeving van Bragaweg,
Pasarbaroeweg en het daartusschen gelegen gedeelte van den Postweg: het centrum
der stad, dan kunnen wij beginnen met te zeggen dat de winkel-, handelsen
kantoorwijken vrijwel in dat centrum gelegen zijn.
De Europeesche bevolking heeft zich hoofdzakelijk gevestigd ten -
Noorden van de lijn Postweg- BragawegSpoorbaan en evenals bij meerdere Indische
steden, kunnen wij ook in Bandoeng de trek bespeuren der gegoede Europeanen naar de
hoogere terreinen en dus naar het Noorden heen (H. Heetjans, 1919).
it means :
Let us proceed to the basic considerations of the various districts. Their current
destination, including the dominant group, which we call the rest, who (live) around Jalan
Braga, Jalan Pasar Baru and parts of Jalan Pos including: the city center of the city, so we
can start by saying that the shopping, commercial and office districts are located almost
in the center of it.
Most of Europe's population resides north of the Jalan Pos and Jalan Braga lines,
which are adjacent to the railway line. Like some cities in India, we can also observe in
Bandung, there was a migration of wealthy Europeans to higher ground and thus to the
North.
The above statement shows that the highway is important for the economic
development of Bandung. As is known, Bandung became an important city in the
nineteenth century (Sunjayadi, 2020). Unfortunately, to get to this city, you have to take
a variety of terrain. Sometimes the road is taken through rice fields where the road is still
in the form of red soil, which when it rains, the road becomes difficult to pass, there is
also a road that passes through the wilderness where many wild animals such as tigers or
large snakes live.
With the Pos Jalan, business connections in Bandung with coastal areas can be well
established. This city became one of the descriptions of the upper level of European life.
To support this lifestyle, the tradition of shopping has become one of their routine
activities. The availability of the latest items as ornaments that increase their social status
is certainly needed. The arrival of these goods certainly has a relationship with the access
road through which the trucks transporting the goods (Sunjayadi, 2013).
Development of postweg
THE IMPACT OF THE POST HIGHWAY ON INDIGENOUS PEOPLE
In the construction of the post highway, Herman wiliam Daendels carried out a policy
where the community was obliged to work forcibly to build the post highway project, in the
construction of this post highway project many people died because they were forced to work
hard but did not get a decent wage or even not get decent food.
To succeed in the construction of the post highway, Daendels did not think about the
conditions of the indigenous people, Pram in his book entitled "Post Highway, Daendels
Street" wrote:
“Countless numbers of workers have died, either from malaria, also from starvation, also
from exhaustion, said Meneer Guru. "In fact, along Jalan Raya Pos - Jalan Daendels - there is
the largest graveyard on the island of Java. And this is not the first massacre by the Dutch in
our homeland (Pramoedya ananta, 2012:8).”
From pram's writing, it can be concluded that it has been seen that Deandels has indirectly
committed genocide against indigenous peoples when carrying out the post highway project.
The victims of the genocide were scattered in various areas of the island of Java. If you look at
the number of victims due to the project, the rough figure that has been known in several articles
that have been found is that the number of victims is 12,000. This figure is obtained from the
report of the British in 1815 (Mujihadi, 2017).
The Dutch East Indies government wanted order not only for the Arabs, Chinese or
natives but also for the Dutch themselves. In the 1850s, the number of Dutch arrivals to the
Dutch East Indies was relatively high. This prompted the government to issue an ordinance
dated January 22, 1860 regarding an appeal for Dutch immigrants to immediately collect
administrative data at the relevant office. When appearing before the civil registration officer,
they must state how long they have been staying. Such regulations will also be printed in the
indigenous (Malay) and Chinese languages for public knowledge. From this it is known that
the government wants control to the basic things in people's lives, namely civil registration.
Everyone is expected to participate so that control over them tends to be easier to do
(Ordonantie van 22 Januri 1860, 1860).
Apart from being inside the city of Batavia, markets outside Batavia are also regulated.
In a regulation concerning markets (bazaars) in 1854, it is known that the Government of
Batavia established a number of markets to stand on private land. Taxes on these markets are
waived.
Market days are also determined, including:
1. The market in Cisarua (Tjiseroa) is open every Monday every week
2. The market at Tugu (Toegoe) is open every Thursday every week
3. The market in Parung Panjang (Parong-Pandjang) is open every Tuesday every week
This market equity is intended to ensure an even distribution of trade in a number of areas.
Similar arrangements were made by the colonial government in the Cikarang (Tjikarang) area.
Thus, residents in rural areas, who happen to be far from the market, can prepare themselves in
advance. Distribution of goods is the key to trading success. For this reason, facilities must be
prepared to accommodate this. In the Dutch East Indies at that time, for the people, the existence
of the market was not only used as a place to sell and buy, but also knit togetherness. This
tradition was seen as an opportunity to expand the colonial government's economy (Ordonantie
van 4 Januri 1868, n.d.).
The progress experienced by the Dutch East Indies government above was realized
because of the opening of Jalan Pos which was initiated by Daendels. People's markets that had
grown before the colonial government was established, were looked at as economic places that
had the potential to bring benefits to the European government. The government does not
benefit directly, but income in the form of various taxes is a real fund that is collected to fill the
state treasury.
The use of traditional transportation that operates on land, is widely used by the
community to help overcome transportation problems at that time. Several types of land
transportation existed at that time, such as carts, cikars, and carts. Cart is a means of land
transportation used to transport goods or people. This means of transportation is driven by one
or two buffaloes that walk slowly. This vehicle is made of wood and the wheels are also made
of wood.
Another means of land transportation is a gig. Judging from the shape, the cart is not too
different from the cart, but what distinguishes this transportation from the cart is that the animal
that attracts the cart is the horse, so the trip can be a little faster. However, in terms of use, the
cart is inferior to the cart because the animal used to pull the gig, namely the horse, is a
transportation that is mostly used personally (Malikha, 2019).
For the horse itself, in traditional society it is a transportation that occupies an honorable
position. Horses are considered a symbol of masculinity or might and strength. In the episode
of the Nusantara war, the horse always occupies an important position, as a vehicle that
guarantees a victory. Horses have also become an important means of transportation, both as
load carriers or as human mounts. According to Asnan in the article (Sufyan, 2017) argues that
horses can carry loads of up to 1 to 1.5 quintals. While a horse can carry a maximum of two
people. Entering the period of Dutch occupation, horses were still used as the main means of
transportation. Among them were used by Dutch (artillery officers) in local wars.
During the reign of Governor General William Daendels in power, he made mandatory
coffee cultivation so that coffee plantation yields increased. In 1808 the increase in the number
of coffee trees reached 45 million trees from 26,956,457. Then from 45 million it increased to
72,669,860. Coffee became a very profitable commodity for his government. The area that
covered coffee at that time was mostly the Priangan area.
In the 19th century, the Priangan areas were colored by a coffee monopoly by the Dutch
government. Planting, care, and harvesting plants are done by force. As previously discussed,
forced labor in the 19th century was not only in the Jalan Raya Pos project, but also in the
plantation sector. When transporting these coffees, the indigenous people are prohibited from
crossing Jalan Raya Pos. The reason is that the road will be damaged quickly if used. With the
increase in yields from coffee plantations, road improvements can be started (Lamiyati, 2017).
CONCLUSION
The postal highway (Grote Postweg), was built in 1808-1811 by order of the Governor-
General of the Dutch East Indies, Herman Willem Daendels. The creation of smooth
communication between regions along the island of Java which at that time was controlled by
Daendels was the goal of the construction of the postal highway itself, besides that the
construction of the postal highway served as a defense against British attacks on the North
Coast of Java, because at that time the division between the Dutch and the British made
Deandels on guard in case an attack was launched on this colony.
In this big project, Herman Willem Daendels ordered the indigenous rulers to provide
people's labor as workers for this postal highway project. The command is interpreted as an
order that must be obeyed. This order is still carried out even though they are aware that the
wages they get from their work are often not commensurate with their work. Until in the end
the victims who fell due to fatigue were not counted anymore. At that time there was no
insurance that guaranteed the safety of the indigenous workers. They seem to have to accept
destiny as people who must obey the orders of their leaders.
REFERENCES
Akbar, M. A. H., & Nurhayati, H. S. A. (2018). Preservation of heritage trees on the de Groote
Postweg Lane in Bogor City. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science,
203(1). https://doi.org/10.1088/1755-1315/203/1/012007
Al-Athas, S. I. (2016). Transformasi Struktur Bentuk Jaringan Jalan Di Kawasan Simpanglima
Kota Bandung. NALARs, 15(2), 121. https://doi.org/10.24853/nalars.15.2.121-130
Arimi, S. (2008). Pergeseran Kekuasaan Bangsawan Jawa Indonesia: Sebuah Analisis Wacana
Kritis. Jurnal Masyarakat Dan Budaya, 10(2), 1–22.
http://jmb.lipi.go.id/index.php/jmb/article/view/214
Daliman, A. (2012). Metode penelitian sejarah (1st ed.). Penerbit ombak.
H. Heetjans. (1919). Uitbreidingsplan Noord Bandoeng. NV Mij. Vorkink.
Hartatik, E. S. (2016). Perkembangan Jalan Raya Di Pantai Utara Jawa Tengah Sejak Mataram
Islam Hingga Pemerintahan Daendels. Paramita: Historical Studies Journal, 26(2), 155–
165. https://doi.org/10.15294/paramita.v26i2.7177
Lamiyati, L. (2017). Transportasi Kereta Api Di Jawa Barat Abad Ke-19 (Bogor-Sukabumi-
Bandung). Patanjala : Jurnal Penelitian Sejarah Dan Budaya, 9(2), 197.
https://doi.org/10.30959/patanjala.v9i2.21
Malikha, S. (2019). MODERNISASI TRANSPORTASI DI PASURUAN, 1895-1929.
VERLEDEN: Jurnal Kesejarahan, 15(2).
Maria Immaculatus Djoko, M. (2005). Sentralisme kekuasaan pemerintahan Herman Willem
Daendels di Jawa 1808-1811: penerapan instruksi Napoleon Bonaparte. Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Mujihadi, M. (2017). Genosida Terhadap Orang-Orang Nusantara Dalam Esai Jalan Raya Pos,
Jalan Daendels Karya Pramoedya Ananta Toer. Paramasastra, 4(2).
https://doi.org/10.26740/parama.v4i2.1530
Nas, P. J. M., & Pratiwo. (2020). Java and de groote postweg, la grande route, the great mail
road, Jalan Raya Pos. Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde / Journal of the
Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, 158(4), 707–725.
https://doi.org/10.1163/22134379-90003763
Ordonantie van 22 Januri 1860. (1860).
Ordonantie van 4 Januri 1868. (n.d.).
Pramoedya ananta, T. (2012). Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Lentera Dipantara.
Raben, R. (2012). On genocide and mass violence in colonial Indonesia. Journal of Genocide
Research, 14(3–4), 485–502. https://doi.org/10.1080/14623528.2012.719673
Sari, M., & Asmendri. (2018). Penelitian Kepustakaan (Library Research) dalam Penelitian
Pendidikan IPA. Penelitian Kepustakaan (Library Research) Dalam Penelitian
Pendidikan IPA, 2(1), 15.
Sufyan, F. H. S. (2017). Kuda Bendi di Kota Payakumbuh Sumatera Barat Sampai Akhir Abad
Ke-20. Mozaik Humaniora, 17(1), 45. https://e-
journal.unair.ac.id/MOZAIK/article/view/6590
Sunjayadi, A. (2013). Culturele identiteit en de bevordering van het Nederlandsch-Indische
toerisme. 3539.
Sunjayadi, A. (2020). Melacak Akar Kreativitas Di Kota Bandung Masa Kolonial. Paradigma:
Jurnal Kajian Budaya, 10(3), 243. https://doi.org/10.17510/paradigma.v10i3.369
Tuinen, E. N. O., & Deze, V. J. G. M. (1999). BUITENZORG BIJ BAÏAVIA EN
OMLIGGENDE TUINEN. Cascade: Bulletin Voor Tuinhistorie, 8(1), 6–19.
Top Related