TUGAS AGAMA HINDU
PURNAMA TILEM
DESAIN INTERIOR
Anggota :
I Komang Darma Winata (1130008004)
I Gede Agus Mahendra (1130008008)
I Wayan Sukma Yudara Mitra (1130008014)
I Gede Rian Mahayana Pratama (1130008015)
1 | P a g e
KATA PENGANTAR
Om Swastiastu,
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas anugerah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas paper ini. Tugas kami ini berjudul “Purnama Tilem“.
“Berkarya itu mulia demi kemanusiaan” Berdasarkan perinsip semacam inilah kami merangkai dan menyusun paper ini sampai menjadi sebuah bacaan. Apa yang kami siratkan dalam paper ini adalah kehendak-Nya. Karena tanpa berkat dan restu-Nya paper ini mungkin tidak berhasil diselesaikan.
Melalui tugas yang kami buat ini, kami harapkan dapat membantu pembaca, khususnya mahasiswa/i menyadari kembali akan hakekat dari hari purnama tilem, apa hari purnama tilem itu, dan bagaimana cara merayakannya, kemudian perubahan sikap yang bagaimana diharapkan setelah hari perayaan purnama tilem tersebut.
Kami sangat menyadari bahwa apa yang tertulis dalam tulisan ini sangat jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami perlukan untuk penyempurnaan tugas kami ini.
Semoga semua pikiran yang baik dating dari segala penjuru.
Om Santih, Santih, Santih, Om.
2 | P a g e
Daftar Isi
I. Pendahuluan…………………………………………………………… 4
II. Asal-Usul Purnama Tilem…………………………………………. 5
III. Latar Belakang Purnama Tilem…………………………………. 6
IV. Makna Filosofis Purnama Tilem....................................... 7
V. Kajian Upacara/Ritual……………………………………............ 9
VI. Kajian Susila/Etika………………………………………………….. 12
VII. Kajian Tatwa/Filosofi………………………………………………. 13
VIII. Penutup……………………………………………………………….... 15
IX. Kesimpulan…………………………………………………………….. 15
X. Saran-Saran……………………………………………………………. 15
XI. Daftar Pustaka…………………………………………………………16
3 | P a g e
Pendahuluan
Setiap rerahina purnama tilem umat hindu di Indonesia sibuk
membuat canang, pesucian dan daksina untuk dihaturkan
kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa. Canang biasanya terdiri
dari : ceper (sebagai alas dasar berbentuk segi empat bujur
sangkar) sebagai lambing dar Swastika yang terbuat dari janur.
Swastika adalah symbol suci agama hindu yang merupakan dasar
kekuatan dan kesejahteraan Bhuana Agung dan Bhuana Alit.
Kemudian pesucian berbentuk segi empat panjang yang
terbuat dari janur. Di atas tangkih atau celemik diisi boreh miik,
lengis miik, sisig, daun pucuk/kembang sepatu yang diiris-iris,
tebu, porosan. Di atasnya disusun duras yang berbentuk segitiga
maupun bundar. Arti dan maksud dari pesucian adalah sebelum
umat bersembahyang, terlebih dahulu menyucikan badan, jiwa,
dan pikiran
Daksina terdiri dari bedogan yang terbuat dari daun kelapa
hijau tua, berbentuk seperti palung didalamnya terdapat raka-
raka berupa pisang dan tebu, gegantusan, dukuh, tingkih, pangi,
dan telur. Serta kojong yang berisi porosan dan bunga. Daksina
merupakan lambing lingga dan yoni (siwa dan saktinya)
Purnama tilem oleh umat hindu sering dimanfaatkan untuk
berdiskusi di Pura-Pura sehabis sembahyang. Ada juga yang
bertirtha yatra k pura-pura untuk melakukan meditasi. Tujuannya
untuk memperoleh ketenangan, kedamaian, kebahagiaan dan
inspirasi. Pada hari purnama tilem inilah para sastrawan,
4 | P a g e
pujangga para mediator melakukan perenungan untuk
mendapatkan ide ide baru.
5 | P a g e
Asal Usul Purnama Tilem
Purnama tilem sudah dirayakan oleh nenek moyang di negeri nusantara, sebelum pengaruh hindu datang ke Indonesia. Dalam kurun waktu yang berabad-abad purnama tilem di percaya menjadi hari suci di belahan negeri timur.
Rehahina purnama dirayakan ketika bulan penuh, ketika
sang rembulan memancarkan sinarnya yang terang benderang
sedangkan Rerahina tilem dirayakan ketika bulan mati,
maksudnya gelap (tidak ada sinar bulan dilangit). Kegelapan pada
hari tilem ini justru bernuansa religious.
Purnama dan tilem adalah hari suci yang dirayakan umat
hindu sedunia. Purnama datangnya setiap 30 hari sekali. Begitu
pula halnya dengan tilem. Pada saat terjadinya purnama dan
tilem terdapat dua kejadian yang bertolak belakang, kejadian
inilah yang menjadi pusat kereligiusan pada hari tersebut. Pada
saat purnama cahaya bulan akan terpancar secara sempurna
karena tidak adanya penghalang memantulnya sinar matahari
sedangkan pada saat tilem, cahaya matahari terhalang oleh bumi
sehingga bulan tak dapat memantulkan cahaya matahari. Inilah
yang dijadikan saat pemujaan bagi umat hindu.
Setiap rerahinan purnama dan tilem umat hindu di Bali dan
di Indonesia menghanturkan canang dan canang sari di setiap
pelinggih yang ada di merajan atau sanggah kemulannya.
Ditimpali pula dengan daksina dan pesucian. Canang sari,
daksina, dan pesucian hanya dihaturkan pada pelinggih-pelinggih
6 | P a g e
tertentu saja. Sedangkan canang baik itu di merajan maupun
dalam rumah tangga semua tempat yang bisa digunakan untuk
tempat membanten, dihaturkan canang. Bahan
persembahyangan (upakara) untuk hari suci purnama dan tilem
adalah sama, yaitu : canang sari, canang, pesucian dan daksina
sedangkan jika umat berniat melakukan tirta yatra ke pura-pura
tertentu maka dibuatkan pejati.
Latar Belakang Purnama Tilem
Dibalik hari raya purnama tilem terdapat kejadian alam yang
terjadi. Pada saat hari raya purnama terjadi pasang pada air laut
yang membuktikan adanya pengaruh bulan terhadap bumi,
sehingga para nenek moyang kita terdahulu akan mengadakan
upacara sebagai pengingat bahwa adanya pengaruh besar yang
akan diberikan oleh bulan pada bumi. Maka para nenek moyang
pun akan melakukan persembahan-persembahan sebagai bentuk
puji syukur atas pengaruh baik yang diberikan oleh bulan kepada
bumi. Dan pada saat hari raya tilem terjadi fenomena alam yaitu
surutnya air laut, pada perkembangannya terjadi banyak mitos
atau cerita yang menceritakan mengapa bulan pada hari tersebut
tidak memperlihatkan cahayanya. Salah satu cerita itu adalah
cerita tentang “Kala Rau” seorang bhuta kala yang menyamar
sebagai dewa siwa agar mendapatkan air suci yang dapat
memberikan kehidupan yang abadi namun niatnya tersebut dapat
diketahui oleh dewa Indra ( manifestasi dari Ida Sang Hyang
7 | P a g e
Widhi sebagai dewa bulan) sehingga saat air suci baru sampai
pada tenggorokan dari Kala Rau, maka segeralah dewa indra
melepaskan anak panahnya dan tepat mengenai leher dari bhuta
kala tersebut, akibat dari itu maka hanya kepala dari bhuta kala
tersebut yang abadi. Sehingga Kala Rau menjadi dendam dan
mengeluarkan sumpah bahwa setiap bulan akan mengeluarkan
sinarnya, ia kan menelan bulan tersebut. Namun karena ia tidak
memiliki tubuh, maka seberapa pun usahanya untuk
memusnahkan sinar bulan, maka sinar bulan akan kembali
muncul dari tenggorokannya. Maka karena ketakutan nenek
moyang kita terhadap hilangnya sinar bulan, para nenek moyang
kita pun menghaturkan sesajen sebagai permohonan maaf untuk
bhuta kala itu.
Makna Filosofis Purnama Tilem
Sarana upacara yang dilakukan oleh umat Hindu pada setiap
rerahinan purnama dan tilem bahan pokoknya adalah terdiri dari
dari : bunga, daun, buah dan air. Umat hindu meyakini bahwa
kehadirannya di dunia ini tidak lepas dari pengaruh karma masa
lalunya. Sisa-sisa karma dimana hidup yang terdahulu disebut
dengan karma sesana. Pada waktu sembahyang dan melakukan
pemujaan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dengan sarana
upakara “Canang Sari” adalah sebagai simbul
8 | P a g e
mempersembahkan karma wasana kehadapanNya. Baik itu pada
kehidupan yang terdahulu, yang sekarang maupun kehidupan
mendatang.
Seluruh mahluk ciptaaNya adalah kumpulan wasana (bekas-
bekas karma yang di buat pada masa lalu). Karma wasana ini ada
dalam bentuk pikiran, kata-kata dan berbagai jenis perbuatan.
Pada waktu hari suci prnama dan tilem umat manusia berusaha
mendekatkan dirinya pada kemala Agungan-Nya, dengan cara
melakukan persembahyangan berupa canang sari . Maksud dan
tujuannya adalah dalam memuja Tuhan dengan bunga-bunga
yang menyimbulkan “Wasana”, secara harfiah kita berserah diri
dikakiNya yang merupakan sari dari keberadaan kita yang alami.
Ketika mengambil bunga untuk persembahyangan kelima jari-jari
tangan menjuntai kebawah. Hal ini menunjukkan bahwa manusia
terikat oleh kelima indranya (keduniawian, terikat oleh benda-
benda dan emosi). Selanjutnya bunga-bunga tersebut juga di
bawa ke atas oleh jari-jari yang tercakup. Hal ini menyimbulkan
bahwa seseorang mempersembahkan karma wasananya
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dengan kata lain
kecendrungan yang mengarah pada hal-hal yang berbau duniawi
kini diarahkan menuju tuhan.
Bulan purnama dan bulan tilem juga sering diistilahkan
dengan hati atau pikiran manusia yang sedang menyusut dan
terang benderang. Dengan perumpamaan yang berbasis pada
9 | P a g e
kekuatan kala (waktu). Bulan disimboliskan dengan ketua
dewatanya pikiran (Chandrama Manaso Jatah) itulah sebabnya
terkadang hati dan pikiran seseorang bias menyamain sifat
kedewataan. Jadi bisa dikatakan bahwa jika pikiran seseorang
sedang keruh, dirasuki oleh sifat-sifat angkara murka, maka
diistilahkan bulan dewatanya sedang menyusut menuju pada
kegelapan (tilem). Hal seperti ini dialami oleh setiap orang.
Kesadaran atau atma tatwa inilah yang ditujukan oleh umat
manusia. Namun banyak yang masih bingung dan meraba-raba
dalam kegelapan, karena manusia ada dalam pengaruh maya
tatwa (keduniawian,kepalsuan). Pengaruh atma
tatwa(kecemerlangan) disimboliskan dengan bulan purnama dan
pengaruh maya tatwa (kegelapan) disimboliskan dengan bulan
mati (tilem) selalu bertarung di dalam pikiran manusia. Jika atma
tatwa atau lebih dominan maka seseorang menjadi bijaksana,
welas asih dan berbudi pekerti luhur. Jika maya tatwa mjwnang
atau lebih dominan maka egonya muncul, ingin selalu lebih
unggul, mudah sekali dihinggapi oleh sifat buruk bernama Sad
Ripu.
10 | P a g e
Kajian Upacara/Ritual
Secara umum sarana yang dipakai dalam melaksanakan
yadnya adalah : patram (daun), puspam (bunga), phalam (buah-
buahan), toyam (air), dan agni (api).
Umat Hindu di Indonesia setiap rerahinan atau hari suci Purnama
Tilem sibuk membuat canang, pesucian dan daksina (sarana
sesajen),untuk dihaturkan kehadapan-Nya. Canang biasanya
terdiri dari : ceper yaitu sebagai alas dasar berbentuk segi empat
bujur sangkar sebagai lambang dari “Swastika” yang terbuat dari
janur. Swastika adalah simbol suci Agama Hindu yang merupakan
dasar kekuatan dan kesejahteraan Bhuana Agung atau
macrocosmos dan Bhuana Alit atau Microcosmos.
Didalam ceper yang berbentuk segi empat itu terdapatlah raka-
raka seperti : pisang dan tebu masing-masing 1 (satu) iris.
Kemudian jajan gegiping, boreh miik dan lengis miik diatas
tangkih. Diatasnya adalah porosan (daun sirih, kapur putih dan
buah pisang). Raka-raka adalah lambang hasil bumi, sedangkan
porosan adalah melambangkan sabda, bayu, idep (suara, tenaga
dan pikiran).
Diatasnya kemudian disusun dengan duras, yang berbentuk
bundar, juga terbuat dari janur. Duras ini adalah lambang dari
cakra atau padma yang berbentuk bundar, merupakan dasar
kekuatan dan perputaran alam. Selanjutnya disusun dengan
11 | P a g e
bunga-bunga yang harum diatas duras, yang merupakan lambang
keharmonisan alam, kesucian, kedamaian abadi dan keindahan
surgawi.
Kemudian pesucian berbentuk segi empat panjang yang terbuat
dari janur. Diatas tangkih atau celemik diisi boreh miik, lengis
miik, sisig (jajan uli yang dihanguskan), daun pucuk/ kembang
sepatu yang diiris-iris, tebu, porosan. Diatasnya disusuni duras
bisa berbentuk segitiga maupun bundar. Arti dan maksud dari
pesucian tersebut adalah : bahwa sebelum umat bersembahyang,
terlebih dahulu menyucikan badan, jiwa dan pikiran.
Daksina terdiri dari : bedogan yang terbuat dari daun kelapa hijau
tua, berbentuk seperti palung. Kemudian didalamnya terdapat
raka-raka berupa pisang dan tebu, gegantusan, dukun-dukun,
tingkih, pangi, dan telur, serta kojong yang berisi porosan dan
bunga.
Didalam bedogan tersebut berisi kelapa yang telah dikupas
kulitnya. Daksina ini adalah lambang “Lingga dan Yoni” (Siwa dan
saktinya). Diatas kelapa biasanya disusuni pula dengan bunga
sumpang. Bunga-bunga harum yang ditusuk-tusuk dengan kawat,
jika daksina tersebut dilinggihkan (ditaruh diatas pelinggih),
namun jika hanya untuk menimpali banten yang lainnya tidak
usah diisi sumpang.
12 | P a g e
Pada rerahinan atau hari suci Purnama yang dianggap istimewa
oleh umat dibuatkan banten tertentu. Misalnya Purnama yang
bertepatan dengan “Gerhana Bulan” maka dibuatkan banten
sesayut dirgayusa bumi, dan sesayut durmengala. Sesayut ini
dihaturkan kehadapan-Nya dan dipuja oleh Sulinggih. Ketika
Purnama Sada dibuatkan “banten sesayut Purnama Sada”.
Purnama dan Tilem umumnya diikuti oleh sasih yang
menyertainya. Sasih dalam penanggalan kalender ada 12 (dua
belas) yaitu : Sasih Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kanem,
Kapitu, Kawolu, Kasanga, Kadasa, Jiyesta dan Sada. Jika pada
penanggalan itu Purnama bertepatan dengan sasih Kapat, maka
disebut “Purnama Kapat”. Begitu pula halnya dengan Tilem, jika
dia pada sasih kapat itu maka disebut “Tilem Kapat”.
Sebagaimana halnya kebiasaan umat di Bali dan Indonesia pada
rerahinan Purnama Tilem itu, maka canang raka dan canang sari
dihaturkan di semua pelinggih yang ada di Merajan/Sanggah
Kamulan atau tempat suci keluarga. Begitu pula disetiap
pelangkiran yang ada dalam rumah tangga. Di lebuh, di sumur, di
dapur, penuggun karang, pemedalan, pintu regol, di natar dan
sebagainya.
13 | P a g e
Kajian Susila/Etika
Hari raya purnama dan tilem terjadi setiap 30 hari sekali
yang bergantian setiap 15 harinya. Dalam kaitannya adanya
upakara yang disembahkan pada saat purnama dan tilem
berhubungan dengan cerita seorang bhuta kala yang bernama
“Kala Rau”.
“Kala Rau”
Dikisahkan seorang bhuta kala yang menyamar sebagai
dewa siwa agar mendapatkan air suci yang dapat memberikan
kehidupan yang abadi namun niatnya tersebut dapat diketahui
oleh dewa Indra ( manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi sebagai
dewa bulan) sehingga saat air suci baru sampai pada
tenggorokan dari Kala Rau, maka segeralah dewa indra
14 | P a g e
melepaskan anak panahnya dan tepat mengenai leher dari bhuta
kala tersebut, akibat dari itu maka hanya kepala dari bhuta kala
tersebut yang abadi. Sehingga Kala Rau menjadi dendam dan
mengeluarkan sumpah bahwa setiap bulan akan mengeluarkan
sinarnya, ia kan menelan bulan tersebut. Namun karena ia tidak
memiliki tubuh, maka seberapa pun usahanya untuk
memusnahkan sinar bulan, maka sinar bulan akan kembali
muncul dari tenggorokannya.
Kajian Tatwa/Filosofi
Kedudukan dewa indra
Dewa Indra memiliki nama lain sesuai dengan karakter dan
mitologi yang terkait dengannya. Nama lain tersebut juga
mengandung suatu pujian. Nama lain Dewa Indra yakni:
Sakra (yang berkuasa)
Swargapati (raja surga)
Diwapati (raja para Dewa)
15 | P a g e
Meghawahana (yang mengendarai awan)
Wasawa (pemimpin para Wasu)
Dalam Weda, Indra adalah dewa pemimpin
dalam Regweda (disamping Agni). Ia senang meminum Soma,
dan mitos yang penting dalam Weda adalah kisah
kepahlawanannya dalam menaklukkan Wretra, membebaskan
sungai-sungai, dan menghancurkan Bala, sebuah pagar batu
dimana Panismemenjarakan sapi-sapi dan Usas (dewa fajar). Ia
adalah dewa perang, yang telah menghancurkan benteng
milik Dasyu, dan dipuja oleh kedua belah pihak
dalam Pertempuran Sepuluh Raja.
Regweda sering menyebutnya Śakra: yang perkasa.
Saat zaman Weda, para dewa dianggap berjumlah 33 dan Indra
adalah pemimpinnya (secara ringkas Brihadaranyaka
Upanishad menjabarkan bahwa para dewa terdiri dari
delapan Wasu, sebelas Rudra, dua belas Aditya, Indra,
dan Prajapati). Sebagai pemimpin para Wasu, Indra juga dijuluki
Wasawa.
Pada zaman Wedanta, Indra menjadi patokan untuk segala
hal yang bersifat penguasa sehingga seorang raja bisa disebut
"Manawèndra" (Manawa Indra, pemimpin manusia) dan Rama,
tokoh utama wiracarita Ramayana, disebut "Raghawèndra"
(Raghawa Indra, Indra dari klan Raghu). Dengan demikian Indra
16 | P a g e
yang asli juga disebut Déwèndra (Dewa Indra, pemimpin para
dewa).
Penutup
Kesimpulan
17 | P a g e
1. Hari raya purnama dan tilem sudah ada sejak jaman dulu sebagai kepercayaan dari nenek moyang kita.
2. Asal-usul hari raya purnama dan tilem disebabkan karena para nenek moyang kita ingin mensyukuri dari pengaruh positif yang diberikan oleh bulan terhadap bumi.
3. Banten yang digunakan pada hari raya purnama dan tilem, yaitu canang, daksina, dan pesucian
Saran
Saran-saran yang dapat kami berikan adalah :
1. Melestarikan kebudayaan yang sudah ada, yang sudah di turunkan dari jaman nenek moyang.
2. Hendaknya setiap hari raya purnama dan tilem kita melakukan persembahyangan dirumah dan di pura-pura.
18 | P a g e
Daftar Pustaka
Raras, Niken Tambang. 2004. Purnama Tilem “Rahasia Kasih Rwa Bhineda”. PARAMITA : Surabaya
19 | P a g e
Top Related