PRESENTASI KASUS
Pre Eklampsia Berat
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian Obstetri dan Ginekologi
Di RSUD Panembahan Senopati Bantul
Diajukan Kepada Yth:
dr. Bambang Basuki, Sp.OG
Diajukan Oleh :
Yudha Irla Saputra
SMF ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
2015
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
Pre Eklampsia Berat
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian Obstetri dan Ginekologi
Di RSUD Panembahan Senopati Bantul
Disusun oleh:
Yudha Irla Saputra
20100310221
Telah dipresentasikan dan disetujui pada:
10 Juni 2015
Mengetahui
Dosen Pembimbing
dr. Bambang Basuki, Sp.OG
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dunia ini setiap menit seorang perempuan meninggal karena komplikasi
yang terkait dengan kehamilan dan persalinan. Dengan kata lain, 1.400 perempuan
meninggal setiap hari atau lebih dari 500.000 perempuan meninggal setiap tahun
karena kehamilan dan persalinan. Di Indonesia, 2 orang ibu meninggal setiap jam
karena kehamilan, persalinan dan nifas. Begitu juga dengan kematian anak, di
Indonesia setiap 20 menit anak usia di bawah 5 tahun meninggal. Dengan kata
lain 30.000 anak balita meninggal setiap hari dan 10,6 juta anak balita meninggal
setiap tahun. Sekitar 99 % dari kematian ibu dan balita terjadi di Negara miskin,
terutama di Afrika dan Asia Selatan. Di Indonesia angka kematian anak balita
menurun 15 % dalam 15 tahun, dari 79 kematian per 1.000 kelahiran hidup pada
tahun 1988 menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup pada kurun waktu 1998-2002
(Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2002/2003). Sebagai perbandingan,
angka kematian bayi di negara maju seperti di Inggris saat ini sekitar 5 per 1.000
kelahiran hidup (WHO, 2005). Sebagian besar kematian perempuan disebabkan
komplikasi karena kehamilan dan persalinan, termasuk perdarahan, infeksi, aborsi
tidak aman, tekanan darah tinggi dan persalinan lama (Anonim, 2005).
Data menunjukkan sebagian besar kematian terjadi pada masyarakat
miskin dan mereka yang tinggal jauh dari Rumah Sakit. Penyebab kematian ibu
yang utama adalah perdarahan, eklampsia, partus lama, komplikasi aborsi, dan
infeksi. Kontribusi dari penyebab kematian ibu tersebut masing-masing adalah
perdarahan 28 %, eklampsia 13 %, aborsi yang tidak aman 11 %, serta sepsis 10
%.Salah satu penyebab kematian tersebut adalah Preeklampsia dan eklampsia
yang bersama infeksi dan pendarahan, diperkirakan mencakup 75-80 % dari
keseluruhan kematian maternal Sehingga diagnosis dini preeklampsia yang
merupakan pendahuluan eklampsia serta penatalaksanaannya harus diperhatikan
dengan seksama. Disamping itu, pemeriksaan antenatal yang teratur dan secara
rutin untuk mencari tanda preeklampsia yaitu hipertensi dan proteinuria sangat
penting dalam usaha pencegahan, disamping pengendalian faktor-faktor
predisposisi lain (Sudinaya, 2003).
Insiden preeklampsia sangat dipengaruhi oleh paritas, berkaitan dengan ras
dan etnis. Disamping itu juga dipengaruhi oleh predisposisi genetik dan juga faktor
lingkungan. Sebagai contoh, dilaporkan bahwa tempat yang tinggi di Colorado
meningkatkan insiden preeklampsia. Beberapa penelitian menyimpulkan
bahwawanita dengan sosio ekonominya lebih maju jarang terkena preeklampsia
(Cunningham, 2003). Preeklampsia lebih sering terjadi pada primigravida
dibandingkan multigravida. Faktor risiko lain yang menjadi predisposisi terjadinya
preeklampsia meliputi hipertensi kronik, kelainan faktor pembekuan, diabetes,
penyakit ginjal, penyakit autoimun seperti Lupus, usia ibu yang terlalu muda atau
yang terlalu tua dan riwayat preeklampsia dalam keluarga (George, 2007).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Preeklampsia
Preeklampsia merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa
berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai
dengan peningkatan tekanan darah dan proteinuria (Cunningham et al, 2003,
Matthew warden, MD, 2005).
Preeklampsia terjadi pada umur kehamilan diatas 20 minggu, paling
banyak terlihat pada umur kehamilan 37 minggu, tetapi dapat juga timbul kapan
saja pada pertengahan kehamilan. Preeklampsia dapat berkembang dari
preeklampsia yang ringan sampai preeklampsia yang berat (George, 2007).
B. Epidemiologi Preeklampsia
1 Insiden Preeklampsia
Frekuensi preeklampsia untuk tiap negara berbeda-beda karena banyak
faktor yang mempengaruhinya; jumlah primigravida, keadaan sosial ekonomi,
perbedaan kriteria dalam penentuan diagnosis dan lain-lain. Di Indonesia
frekuensi kejadian preeklampsia sekitar 3-10% (Triatmojo, 2003), Sedangkan di
Amerika Serikat dilaporkan bahwa kejadian preeklampsia sebanyak 5% dari
semua kehamilan (23,6 kasus per 1.000 kelahiran) (Dawn C Jung, 2007).
Pada primigravida frekuensi preeklampsia lebih tinggi bila dibandingkan
dengan multigravida, terutama primigravida muda, Sudinaya (2000) mendapatkan
angka kejadian preeklampsia dan eklamsia di RSU Tarakan Kalimantan Timur
sebesar 74 kasus (5,1%) dari 1431 persalinan selama periode 1 Januari 2000
sampai 31 Desember 2000, dengan preeklampsia sebesar 61 kasus (4,2%) dan
eklamsia 13 kasus (0,9%). Dari kasus ini terutama dijumpai pada usia 20-24 tahun
dengan primigravida (17,5%). Diabetes melitus, mola hidatidosa, kehamilan
ganda, hidrops fetalis, umur lebih dari 35 tahun dan obesitas merupakan faktor
predisposisi untuk terjadinya preeklampsia (Trijatmo, 2005).
Peningkatan kejadian preeklampsia pada usia > 35 tahun mungkin
disebabkan karena adanya hipertensi kronik yang tidak terdiagnosa dengan
superimposed PIH (Deborah E Campbell, 2006). Di samping itu, preklamsia juga
dipengaruhi oleh paritas. Surjadi, dkk (1999) mendapatkan angka kejadian dari 30
sampel pasien preeklampsia di RSU Dr. Hasan Sadikin Bandung paling banyak
terjadi pada ibu dengan paritas 1-3 yaitu sebanyak 19 kasus dan juga paling
banyak terjadi pada usia kehamilan diatas 37 minggu yaitu sebanyak 18 kasus.
Wanita dengan kehamilan kembar bila dibandingkan dengan kehamilan tunggal,
maka memperlihatkan insiden hipertensi gestasional (13 % : 6 %) dan
preeklampsia (13 % : 5 %) yang secara bermakna lebih tinggi. Selain itu, wanita
dengan kehamilan kembar memperlihatkan prognosis neonatus yang lebih buruk
daripada wanita dengan kehamilan tunggal (Cunningham, 2003).
2 Faktor Risiko Preeklampsia
Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab
terjadinya preeklampsia, tetapi beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah
faktor yang mempengaruhi terjadinya preeklampsia. Faktor risiko tersebut
meliputi;
a) Riwayat preeklampsia. Seseorang yang mempunyai riwayat preeklampsia
atau riwayat keluarga dengan preeklampsia maka akan meningkatkan
resiko terjadinya preeklampsia.
b) Primigravida, karena pada primigravida pembentukan antibodi
penghambat (blocking antibodies) belum sempurna sehingga
meningkatkan resiko terjadinya preeclampsia Perkembangan preklamsia
semakin meningkat pada umur kehamilan pertama dan kehamilan dengan
umur yang ekstrem, seperti terlalu muda atau terlalu tua.
c) Kegemukan
d) Kehamilan ganda. Preeklampsia lebih sering terjadi pada wanita yang
mempuyai bayi kembar atau lebih.
e) Riwayat penyakit tertentu. Wanita yang mempunyai riwayat penyakit
tertentu sebelumnya, memiliki risiko terjadinya preeklampsia. Penyakit
tersebut meliputi hipertensi kronik, diabetes, penyakit ginjal atau penyakit
degeneratif seperti reumatik arthritis atau lupus.
3. Etiologi Preeklampsia
Etiologi preeklampsia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.
Banyak teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli yang mencoba menerangkan
penyebabnya, oleh karena itu disebut ―penyakit teori‖; namun belum ada yang
memberikan jawaban yang memuaskan. Diduga faktor imunologis memegang
peranan penting yg mengakibatkan terjadinya kerusakan organ organ secara
menyeluruh.
Adapun teori-teori tersebut adalah ;
a) Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada preeklampsia dan eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel
vaskuler, sehingga sekresi vasodilatator prostasiklin oleh sel-sel endotelial
plasenta berkurang, sedangkan pada kehamilan normal prostasiklin
meningkat. Sekresi tromboksan oleh trombosit bertambah sehingga timbul
vasokonstrikso generalisata dan sekresi aldosteron menurun. Akibat
perubahan ini menyebabkan pengurangan perfusi plasenta sebanyak 50%,
hipertensi dan penurunan volume plasma (Y. Joko, 2002).
b) Peran Faktor Imunologis
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan I karena pada kehamilan I
terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak
sempurna. Pada preeklampsia terjadi komplek imun humoral dan aktivasi
komplemen. Hal ini dapat diikuti dengan terjadinya pembentukan
proteinuria.
c) Peran Faktor Genetik
Preeklampsia hanya terjadi pada manusia. Preeklampsia meningkat pada
anak dari ibu yang menderita preeklampsia.
d) Iskemik dari uterus.
Terjadi karena penurunan aliran darah di uterus
e) Defisiensi kalsium.
Diketahui bahwa kalsium berfungsi membantu mempertahankan
vasodilatasi dari pembuluh darah (Joanne, 2006).
f) Disfungsi dan aktivasi dari endotelial.
Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan penting dalam
patogenesis terjadinya preeklampsia. Fibronektin diketahui dilepaskan
oleh sel endotel yang mengalami kerusakan dan meningkat secara
signifikan dalam darah wanita hamil dengan preeklampsia. Kenaikan
kadar fibronektin sudah dimulai pada trimester pertama kehamilan dan
kadar fibronektin akan meningkat sesuai dengan kemajuan kehamilan
(Drajat koerniawan, ).
4. Patofisiologi Preeklampsia
Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan
patologis pada sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan oleh
vasospasme dan iskemia (Cunningham, 2003). Wanita dengan hipertensi pada
kehamilan dapat mengalami peningkatan respon terhadap berbagai substansi
endogen (seperti prostaglandin, tromboxan) yang dapat menyebabkan vasospasme
dan agregasi platelet. Penumpukan trombus dan pendarahan dapat mempengaruhi
sistem saraf pusat yang ditandai dengan sakit kepala dan defisit saraf lokal dan
kejang. Nekrosis ginjal dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus dan
proteinuria. Kerusakan hepar dari nekrosis hepatoseluler menyebabkan nyeri
epigastrium dan peningkatan tes fungsi hati. Manifestasi terhadap kardiovaskuler
meliputi penurunan volume intravaskular, meningkatnya cardiac output dan
peningkatan tahanan pembuluh perifer. Peningkatan hemolisis microangiopati
menyebabkan anemia dan trombositopeni. Infark plasenta dan obstruksi plasenta
menyebabkan pertumbuhan janin terhambat bahkan kematian janin dalam rahim
(Michael, 2005).
Keterangan :
Abs, antibodies; Ang II, angiotensin II; AT1, angiotensin II type 1 receptor;
eNOS, endothelial nitric oxide synthase; L-Arg, L-arginine; MMP2, matrix
metalloproteinase 2; MMP9, matrix metalloproteinase 9; NO, nitric oxide; O2-,
superoxide anion; OH, hydroxyl radical; PGI2, prostacyclin; sFlt1, soluble Fms-
like tyrosine kinase 1; TxA2, thromboxane A2; VEGF, vascular endothelial
growth factor.
Pre eklampsia adalah suatu penyakit yang berhubungan dengan plasentasi
yang dipicu oleh karena berkurangnya aktifitas atau half-life dari nitric oxide,yang
selanjutnya dipengaruhi oleh konsentrasi L-arginine yang rendah sebagai akibat
ekspresi arinase II yang berlebihan. Rendahnya tingkat L-arginine memicu
endothelial nitric oxide synthase untuk menghasilkan jenis oksidatif yang reaktif
(contoh : peroxynitrite and hydroxyl radical) dan secara local memicu stress
oksidatif. Berkurangya aliran menuju plasenta, jalur L-arginine–nitric oxide
konsisten dengan resistensi yang lebih tinggi dan hipoperfusi sirkulasi fetal–
placental. Sebagai respon aliran darah plasenta yang mengecil dan hipoksia yang
konsekuen, plasenta melepaskan ke dalam sirkulasi maternal sejumlah factor
termasuk di dalamnya soluble Fms-like tyrosine kinase 1 and reactive oxygen
species, yang mana memulai disfungsi vascular sebagai karakteristik sindrom
maternal. Soluble Fms-like tyrosine kinase 1 berada dalam konsentrasi yang tinggi
pada wanita dengan preeklampsi dan penggunaan soluble Fms-like tyrosine kinase
1 pada hewan menghasilkan sindrom maternal yang menyerupai preeclampsia.
Dalam upaya lebih lanjut untuk memperbaiki perfusi plasenta serta organ
organ ibu yang terlibat dalam pre-eclampsia, upregulation dari reseptor B2 untuk
bradikinin vasodilator terjadi. reseptor B2 heterodimerize dengan reseptor
angiotensin II tipe 1, sehingga meningkatkan respon vaskuler dan inflamasi
menjadi angiotensin II, yang secara paradoks mengurangi perfusi organ sistemik
dan mendorong generasi spesies oksigen reaktif. produksi secara serentak dari
agonis angiotensin II tipe 1 autoantibodies reseptor juga berkontribusi terhadap
stress oksidatif. Sebuah loop umpan balik positif dimulai yang akhirnya
menghasilkan sindrom klinis full-blown pra-eklampsia.
Perubahan pada organ-organ :
a) Perubahan kardiovaskuler.
Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada
preeklampsia dan eklamsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya
berkaitan dengan peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload
jantung yang secara nyata dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis
hipervolemia kehamilan atau yang secara iatrogenik ditingkatkan oleh
larutan onkotik atau kristaloid intravena, dan aktivasi endotel disertai
ekstravasasi ke dalam ruang ektravaskular terutama paru (Cunningham,
2003).
b) Metabolisme air dan elektrolit
Hemokonsentrasi yang menyerupai preeklampsia dan eklamsia tidak
diketahui penyebabnya. Jumlah air dan natrium dalam tubuh lebih banyak
pada penderita preeclampsia dan eklamsia daripada pada wanita hamil
biasa atau penderita dengan hipertensi kronik. Penderita preeklampsia
tidak dapat mengeluarkan dengan sempurna air dan garam yang diberikan.
Hal ini disebabkan oleh filtrasi glomerulus menurun, sedangkan
penyerapan kembali tubulus tidak berubah. Elektrolit, kristaloid, dan
protein tidak menunjukkan perubahan yang nyata pada preeklampsia.
Konsentrasi kalium, natrium, dan klorida dalam serum biasanya dalam
batas normal (Trijatmo, 2005 ).
c) Mata
Dapat dijumpai adanya edema retina dan spasme pembuluh darah. Selain
itu dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan oleh edema intra-okuler
dan merupakan salah satu indikasi untuk melakukan terminasi kehamilan.
Gejala lain yang menunjukan tanda preklamsia berat yang mengarah pada
eklamsia adalah adanya skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini
disebabkan oleh adanya perubahan preedaran darah dalam pusat
penglihatan dikorteks serebri atau didalam retina (Rustam, 1998).
d) Otak
Pada penyakit yang belum berlanjut hanya ditemukan edema dan anemia
pada korteks serebri, pada keadaan yang berlanjut dapat ditemukan
perdarahan (Trijatmo, 2005).
e) Uterus
Aliran darah ke plasenta menurun dan menyebabkan gangguan pada
plasenta, sehingga terjadi gangguan pertumbuhan janin dan karena
kekurangan oksigen terjadi gawat janin. Pada preeklampsia dan eklamsia
sering terjadi peningkatan tonus rahim dan kepekaan terhadap rangsangan,
sehingga terjadi partus prematur.
f) Paru-paru
Kematian ibu pada preeklampsia dan eklamsia biasanya disebabkan oleh
edema paru yang menimbulkan dekompensasi kordis. Bisa juga karena
terjadinya aspirasi pneumonia, atau abses paru (Rustam, 1998).
g) Ginjal
Pada kehamilan normal, aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus
(LFG) meningkat secara bermakna. Pada preeklampsia dan eklampsia,
perfusi ginjal dan LFG menurun. Kadar asam urat biasanya meningkat,
khususnya pada wanita dengan penyakit yang lebih berat. Penurunan LFG
akibat dari berkurangnya volume plasma kadar kreatinin darah
meningkat dua kali lipat (0,5 mg/dL). Pada beberapa kasus preeklamsia
berat, dapat terjadi peningkatan kadar kreatinin darah menjadi 2 - 3 mg/dL
.Setelah melahirkan, tanpa adanya penyakit renovaskular kronik,
pemulihan fungsi ginjal dapat terjadi.
h) Hematologik
Trombositopenia, penurunan tingkat faktor pembekuan darah plasma, dan
trauma eritrosit sehingga bentuknya menjadi aneh dan cepat mengalami
hemolisis. Trombositopenia ditambah dengan gejala peningkatan kadar
enzim hati disebut juga sebagai sindrom HELLP (Hemolysis Elevated
Liver enzyme and Low Platelet).Kekurangan faktor pembekuan darah
sangat jarang terjadi kecuali pada keadaan yang memudahkan terjadinya
koagulopati konsumtif: abruptio placentae atau perdarahan akibat infark
hati.
i). Hati
Nekrosis hemoragik periportal pada lobus hati perifer merupakan
penyebab yang paling mungkin dari peningkatan kadar enzim
serum.Perdarahan dari lesi ini dapat mengakibatkan rupture hepar atau
perdarahan tersebut dapat merembes ke bawah kapsul hati dan menjadikan
hematoma subkapsula
5 Gambaran Klinis Preeklampsia
a. Gejala subjektif
Pada preeklampsia didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma,
diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah-
muntah. Gejala-gejala ini sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat
dan merupakan petunjuk bahwa eklamsia akan timbul. Tekanan darahpun akan
meningkat lebih tinggi, edema dan proteinuria bertambah meningkat (Trijatmo,
2005).
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan meliputi; peningkatan
tekanan sistolik 30 mmHg dan diastolik 15 mmHg atau tekanan darah meningkat
lebih dari 140/90 mmHg. Tekanan darah pada preklamsia berat meningkat lebih
dari 160/110 mmHg dan disertai kerusakan beberapa organ. Selain itu kita juga
akan menemukan takikarda, takipneu, edema paru, perubahan kesadaran,
hipertensi ensefalopati, hiperefleksia, pendarahan otak (Michael,2005).
2.6 Diagnosis Preeklampsia
Diagnosis preeklampsia dapat ditegakkan dari gambaran klinik dan
pemeriksaan laboratorium. Dari hasil diagnosis, maka preeklampsia dapat
diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu;
1) Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut:
a) Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau
lebih, atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20 minggu
kehamilan dengan riwayat tekanan darah normal.
b) Proteinuria kuantitatif ≥ 0,3 gr perliter atau kualitatif 1+ atau 2+ pada urine
kateter atau midsrteam.
2) Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut:
a) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
b) Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau 4+
c) Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam.
d) Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di
epigastrium.
e) Terdapat edema paru dan sianosis
f) Trombositopeni
g) Gangguan fungsi hati
h) Pertumbuhan janin terhambat (Lanak, 2004).
2.7 Penatalaksanaan Preeklampsia Berat
Preeklamsia berat (PEB)
Pada kehamilan dengan penyulit apapun, dilakukan pengelolaan dasar sebagai
berikut:
1. Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya, yaitu medikamentosa
2. Setelah itu menentukan sikap terhadap janinnya yang tergantung umur
kehamilan
Sikap terhadap kehamilan dibagi 2, yaitu:
1. Ekpektatif atau konservatif, jika umur kehamilan <37 minggu. Artinya
kehamilan dipertahankan selama mungkin sambil memberikan terapi
medikamentosa.
2. Aktif atau agresif, jika umur kehamilan ≥37 minggu,artinya kehamilan
diakhiri setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu.
Pemberian terapi medikamentosa yaitu:
a. segera masuk RS
b. tirah baring miring ke kiri secara intermitten
c. infus RL atau Dextrose 5%
d. pemberian MgSO4 sebagai pencegah kejang, yaitu dengan:
-loading dose
-maintenance dose
Terapi medikamentosa pada PEB terdiri dari:
1. Magnesium Sulfat (MgSO4)
2. Obat anti hipertensi
3. Kortikosteroid berupa dexamethasone atau betamethasone untuk maturasi
paru janin
1. Magnesium Sulfat (MgSO4)
Tujuan utama pemberian MgSO4 adalah untuk mencegah dan
mengurangi kemungkinan terjadi kejang, sehingga dapat mengurangi
komplikasi pada ibu dan janin. Cara kerjanya sampai saat ini tidak
seluruhnya diketahui, diduga ia bekerja dengan beberapa mekanisme
seperti:
-mendilatasi pembuluh darah serebral sehingga mengurangi
iskemia serebri
-Mg memblok reseptor Kalsium (Ca) melalui inhibisi reseptor N-
Metil D-Aspartat (NMDA) di otak
-Mg menyebabkan vasodilatasi perifer (terutama arteriola)
sehingga menurunkan tekanan darah
-Mg secara kompetitif memblok masuknya Kalsium ke dalam
synaptic endings sehingga mengubah transmisi neuromuskular
-Efek tokolitik yang belum jelas penyebabnya, diduga akibat
hambatan kanal Kalsium sehingga menginhibisi kontraksi otot.11
Terdapat dua pilihan cara pemberian MgSO4, yaitu:11
1. Pritchard Regimen
- loading dose dengan bolus 4 gram MgSO4 secara intravena lambat
dalam 5-10 menit; diikuti dengan 10 gr intramuscular terbagi 5 gr per
area injeksi (pantat kanan-kiri)
- maintenance dose dengan penyuntikan 5 gr intramuscular tiap 4 jam
pada pantat, hungga 24 jam post partum (pada eklamsia hingga 24 jam
post last convulsion)
2. Zuspan Regimen
- loading dose dengan inisial dose sebanyak 4 gram MgSO4, diberikan
intravena lambat dalam 5-10 menit
- maintenance dose 1-2 gr MgSO4 per 1 jam, diberikan melalui infus
pump hingga 24 jam post partum partum (pada eklamsia hingga 24
jam post last convulsion)
Dapat terjadi toksisitas akibat MgSO4, dengan tanda-tanda yang
berurutan muncul sesuai tinggi kadar MgSO4 serum,yaitu:11,12
1. reflek patella yang menurun ataupun hilang
2. pernapasan <16x/ menit
3. urine output <25ml/menit
4. rasa panas di muka, bicara sulit, kesadaran menurun
5. perubahan irama jantung akibat perubahan konduksi, hingga
cardiac arrest
Anti dotum bagi toksisitas MgSO4 adalah dengan Kalsium Glukonas
larutan 10% sebanyak 1 gram, diberikan secara intravena pelan dalam 10 menit.11
2. Obat anti hipertensi9
Pada hipertensi yang berat dimana tekanan darah >160/110 mmHg,
pemberian obat anti hipertensi direkomendasikan. Tujuannya adalah untuk
menurunkan tekanan darah sehingga mencegah komplikasi
serebrovaskular dan jantung sembari menjaga sirkulasi darah
uteroplasenta. Tekanan darah dijaga dalam tekanan 140/90 mmHg. Namun
bagaimanapun obat anti hipertensi dapat menurunkan isiden komplikasi
serebrovaskular, penggunaan obat ini tidak merubah progresivitas
preeklamsia. Obat yang dapat digunakan adalah:
a. Hidralazin
Merupakan vasodilator langsung dari arteriola perifer. Dahulu obat ini
digunakan secara luas sebagai lini pertama untuk hipertensi dalam kehamilan.
Agen ini memiliki onset yang lambat dalam aksinya yaitu dalam 10-20 manit dan
puncaknya kira-kira 20 menit setelah pemberian. Hidralazin dapat diberikan
dengan dosis 5-10 mg secara bolus intravena tergantung dari beratnya hipertensi
yang terjadi. Obat ini dapat diberikan tiap 20 menit hingga dosis maksimal 30 mg.
Efek samping dari obat ini adalah adanya nyeri kepala, nausea, dan
vomitus. Efek penting yang patut diwaspadai adalah dapat menyebabkan hipotensi
maternal yang dapat diikuti perubahan denyut jantung janin. Pada studi meta-
analisis yang dilakukan Magee et al menemukan bahwa Hidralazin berhubungan
dengan outcome maternal dan perinatal yag lebih buruk dibanding penggunaan
Labetolol dan Nifedipin.
b. Labetalol
Labetalol adalah suatu selective Alpha Blocker dan non selective Beta
Blocker yang menyebabkan vasodilatasi dengan keluaran berupa penurunan
resistensi vaskular sistemik. Dosis pemberian Labetalol adalah 20mg intravena
dengan dosis ulangan tiap 10 menit (sebesar 40,80,80,80mg) hingga dosis
maksimal sebesar 300mg. Penurunan tekanan darah diobservasi setelah 5 menit
paska pemberian agen ini, dengan hasil penurunan tekanan darah yang lebih
minimal dibanding pemberian Hidralazin.
Labetalol dapat menurunkan ritme supraventrikel dan menurunkan denyut
jantung, sehingga mengurangi konsumsi oksigen miokardial, tanpa mengurangi
volume afterload jantung. Efek samping obat ini dapat menyebabkan pusing,
nyeri kepala dan mual. Jika kontrol tekanan darah telah stabil dengan pemberian
secara intravena maka obat dapat diberikan sebagai maintenance secara oral.
c. Nifedipin
Merupakan Calcium Channel Blockers yang bekerja di dalam otot polos
arteriola dan menginduksi vasodilatasi melalui blocking masuknya Kalsium ke
dalam sel. Dosis Nifedipin adalah 10mg per oral setiap 15-30 menit dengan dosis
maksimum 3 dosis pemberian. Efek sampingnya berupa takikardi, palpitasi, dan
nyeri kepala. Penggunaan secara bersamaan dengan MgSO4 perlu dihindari.
Nifedipin biasa digunakan pada masa post partum pada pasien preeklamsia untuk
kontrol tekanan darah.9
d. Sodium Nitroprusside
Pada hipertensi berat hingga emergency, jika ketiga obat di atas tidak
berhasil menurunkan tekanan darah, maka dilakukan pemberian Sodium
Nitroprusside. Nitroprusside menyebabkan pelepasan nitric oxide yang dapat
menyebabkan vasodilatasi yang signifikan. Volume preload dan afterload jantung
turun secara nyata. Onset action-nya cepat dengan kemungkinan terjadinya severe
rebound hyprtension.
3. Kortikosteroid untuk maturitas paru janin
Pemberian kortikosteroid untuk maturitas paru janin hanya diberikan pada
umur kehamilan <34 minggu. Pemberiannya dalam bentuk Dexamethasone
atau Betamethasone. Dengan dosis Dexamethasone 6mg intravena 4 dosis
interval 12jam, dan Betamethasone 12 mg intramuskular 2 dosis interval 24
jam.8
6. Pencegahan
Usaha pencegahan preeklamsia hingga saat ini hasilnya masih
mengecewakan. Beberapa trial telah dilakukan namun belum ada yang
berhasil memberikan hasil yang memuaskan.9
a. Aspirin
Pada systemaitic review dari 14 trials menggunakan low-dose
Aspirin (60-150mg/hari) pada wanita dengan faktor risiko terkena
preeklamsia menyimpulkan bahwa Aspirin dapat menurunkan risiko
terjadinya preeklamsia dan kematian perinatal meskipun tidak secara
signifikan mempengaruhi berat lahir bayi ataupun risiko terjadinya
abrupsio plasenta.
b. Heparin
Telah dilaporkan adanya adverse outcome pada penggunaan low-
molecular weight heparin pada wanita dengan trombofilia. Hingga
saat ini belum ada data yang merekomendasikan profilaksis heparin
unuk menurunkan insiden preeklamsia.
c. Suplementasi Kalsium dan vitamin
Penelitian mengenai penggunaan Kalsium, vitamin C, dan vitamin E
pada low-risk population tidak menunjukkan adanya penurunan
insiden preeklamsia. Villar et al pada penelitiannya yang
menggunakan metode multicenter randomizes controlled trial
menunjukkan bahwa suplementasi ketiga elemen tadi tidak
menurunkan kejadian preeklamsia, eklamsia, dan gestational
hypertension maupun pengaruhnya pada low birth weight, small for
gestational age, dan kematian perinatal juga tidak ada.
Walaupun preeklamsia tidak dapat dicegah secara pasti, namun kematian
karena gangguan ini dapat dicegah. Wanita yang tidak menerima asuhan prenatal
7 kali akan lebih mungkin untuk meninggal karena komplikasi preklamsia-
eklamsia dibandingkan yang menerima 7 kali asuhan prenatal.13
Antikonvulsan.
Pada kasus preeklampsia yang berat dan eklampsia, magnesium sulfat
yang diberikan secara parenteral adalah obat anti kejang yang efektif tanpa
menimbulkan depresi susunan syaraf pusat baik bagi ibu maupun janinnya. Obat
ini dapat diberikan secara intravena melalui infus kuntinu atau intramuskular
dengan injeksi intermiten.
Regimen ini digunakan oleh Pritchard & colleagues. Sebuah loading dose 4 g I/V
(biasanya dalam 20% solution) selama 5 minimal, lebih baik 10-15 menit yang
segera diikuti dengan 5 g pada 50% solution injeksi I/M dalam ke kuadran atas
luar setiap bokong. Terapi rumatan juga 5 g I/M setiap 4 jam, dilanjutkan selama
24 jam setelah injeksi terakhir.
Flow chart for intravena (I/V) magnesium sulphate regimen
Regimen intevena dipopulerkan oleh zuspan. Sebuah loading dose 4 g I/V diikuti
infusan 1 g/jam, dilanjutkan selama 24 jam dari injeksi terakhir.
Antihipertensi.
Hydralazine
Dosis permulaan : 5 mg IV atau 10 mg IM
Jika tekanan darah terkontrol, ulangi dosis permulaan sesuai kebutuhan (
biasanya setiap 3 jam : maksimal 400 mg / hari )
Jika tekanan darah tidak terkontrol dalam 20 menit,ulangi dosis permulaan
setiap 20 menit sampai dosis maksimum tercapai, atau segera dilanjutkan
ke tahap selanjutnya.
Jika tekanan darah tidak terkontrol dengan penggunaan total 20 mg IV
atau 30 mg IM, pertimbangkan obat anti hipertensi yang lainnya (labetalol,
nifedipine [Procardia], sodium nitroprusside [Nitropress]) (Wagner, 2004).
Jika hidralazin tidak tersedia, dapat diberikan:
Nifedipine dosis oral 10 mg yang diulang tiap 30 menit.
Labetalol 10 mg intravena sebagai dosis awal, jika tekanan darah tidak
membaik dalam 10 menit, maka dosis dapat ditingkatkan samapi 20 mg
intravena (Cunningham, 2003) .
Tindakan Obstetrik
1. Konservatif
Kehamilan dipertahankan, sehingga ditunggu sampai persalinan
spontan
2. Aktif :
2.1 indikasi : bila terdapat 1 atau lebih keadaan di bwh ini :
- UK ≥ 37 minggu
- terdpat gejala impending eclampsia
- tidak ada respon pengobatan (terjadi kenaikan tekana darah setelah 6
jam, tidak ada perbaikan setelah 48 jam, index gestosis > 6)
- adanya foetal compromised/F.C atau foetal distress/F.D
- adanya IUGR
- munculnya HELLP syndrome
2.2 Cara Terminasi / Pengakhiran Kehamilan
- belum dalam persalinan/BDP – induksi ; perlu dipertimbangkan
dengan bishop score dan adanya penekanan terhadap kondisi janin
(fetal well being yaitu F.C & F.D), mengingat risiko tinggi
preeclampsia/eclampsia pada ibu hamil, cenderung untuk dilakukan
bedah caesar.
- dalam persalinan/DP
+ kala I fase laten---seksio caesarea
+ kala I fase aktif---amniotomi, bila 6 jam setelah amniotomi tidak
tercapai pembukaan lengkap—seksio caesarea
+ kala II :
*ekstraksi vakum
*ekstraksi forsipa
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas
Nama : Ny. YM
Umur : 36 tahun
HPMT :07 September 2014
HPL : 14 Juli 2015
UK : 35+3 mg
Agama : Kristen
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Perumahan Sribikan Asri
MRS : 11 Mei 2015
B. Anamnesis
Pasien datang dari poli dengan keterangan PEB, dengan umur
kehamilan 35+3 minggu, keluhan kaki bengkak sejak ± 1 bulan,
kenceng kenceng belum dirasakan, air ketuban belum merembes,
lender darah tidak ada, gerak janin terasa. Mual, muntah, pusing,
pandangan kabur, nyeri ulu hati tidak dirasakan.
C. Riwayat ANC
ANC dilakukan sebanyak 10x di puskesmas dan rumah sakit
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat asma, diabetes, hipertensi dan penyakit jantung disangkal.
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit dengan keluhan
yang sama. Riwayat penyakit asma, diabetes, hipertensi, penyakit
jantung disangkal.
F. Riwayat Haid
Menarche : 12 tahun
Lama haid : 7 hari
Siklus haid : 30 hari
G. Riwayat KB
Riwayat KB (-)
H. Riwayat perkawinan
Menikah satu kali dengan suami yang sekarang
I. Riwayat obstetric
I. 2014, IUFD, umur kehamilan 6 bulan
II. Hamil ini
J. Pemeriksaan fisik
1. STATUS GENERALISATA
a) Keadaan umum : Baik
b) Kesadaran : Compos Mentis
c) Vital Sign : TD = 220/130 mmHg, N = 92 x/menit,
: RR = 22 x/menit, t = 36,5° C
d) Tinggi Badan : 158 cm
e) Berat Badan : 123 kg
f) BMI : 49
g) Kulit : Turgor dan elastis baik
h) Kepala : Mesochepal
i) Mata : Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak
ikterik
j) Telinga : Tidak ada secret, tidak ada perdarahan
k) Hidung : Tidak ada secret, tidak ada perdarahan
l) Mulut :Bibir tidak sianosis, lidah tidak kotor, lidah
tidak tremor
m) Leher :JVP tidak meningkat, tidak ada
pemebesaran kelenjar,tiroid tidak ada
pembesaran getah bening
n) Dada : Simetris, tidak ada ketinggalan gerak
Jantung = S1 dan S2 tunggal, regular, tidak
ada bising
Paru = Suara dasar vesikuler, suara
tambahan tidak ada
o) Perut : Membesar sesuai dengan umur kehamilan
TFU 39 cm
p) Anggota Gerak : Akral hangat, edema kedua tungkai kaki
2. STATUS OBSTETRI
a) Inspeksi perut membesar, membujur sesuai masa kehamilan.
b) Palpasi
Leopold I : Teraba bagian bulat, keras,, jumlah 1, TFU 39 cm.
Leopold II : Kanan → Teraba bagaian-bagian kecil janin
Kiri → Teraba bagian panjang janin
Leopold III : Teraba bagian besar, bulat, lunak, belum masuk
panggul, teraba 5/5 bagian
Leopold IV : Belum masuk panggul
His : Negatif, DJJ = 132 x/menit, TFU : 39 cm
c) Pemeriksaan Dalam :
v/u tenang, diding vagina licin, servix tebal, lunak, VT tidak ada
pembukaan, STLD (-), selaput ketuban (-), air ketuban (-)
K. Pemeriksaan penunjang
Pemerikssan Laboratorium
Tanggal 11 / 5 / 2015
Hb : 12,3
AL : 11,12
AT : 232
HMT : 37,8
Gol. darah : O
PPT : 13,9
APTT : 33,1
Protein total : 5,34
Albumin : 2,48
Globulin : 2,86
Gds : 80
Ureum : 24
Kreatinin : 0,61
SGOT : 15
SGPT : 9
Natrium : 141
Kalium : 3,40
Chloride : 109,0
HbsAg : -
Proteinuria : ++++
L. Diagnosis
PEB, sekundigravida, presbo, hamil pre term, belum dalam persalinan
M. Penatalaksanaan
O2 3 lpm
Infus RL
Injeksi MgSO4 40% 4gr bolus intravena lambat, dilanjutkan MgSO4
1gr/jam sampai 24 jam
Nifedipin 3 x 10 mg
Metildopa 3 x 250 mg
Pasang cateter
Observasi vital sign
Observasi HIS dan DJJ
Terminasi kehamilan dengan seksio caesarea elektif
12/05/15
Telah dilakukan SC + IUD a/i PEB, presbo P2A0Ah1, bayi lahir perabdominal
JK: perempuan, BB 2500 gram, PB: 46 cm, LK: 32, LD: 28 cm, LLA: 10 cm A/S:
3/5
A: Post SC + IUD a/i PEB, Presbo P2A0Ah1 H-0
P: inj. Cefotaxime 1 gr / 12 jam
Inj. Ketorolac 30 mg / 8 jam
Inj. MgSO4 1 gr/jam mulai 6 jam post op sampai dengan 24 jam
Cek HB 6 jam post op
Mobilisasi bertahap
Makan minum bertahap
13/05/15
S: ASI (-), Nyeri luka operasi (+), ASI (-), pandangan kabur (-), nyeri ulu hati (-),
pusing (-)
O: KU sedang
TD: 170/100 mmHg Nadi: 80 x/menit
Suhu: 36,5 RR: 20 x/menit
A: Post SC + IUD a/i PEB, Presbo P2A0Ah1 H-1
P: inj. Cefotaxime 1 gr / 12jam
Inj. Ketorolac 30 mg / 8jam
Konsul UPD
14/05/15
S: ASI (+),keluhan (-)
O: KU sedang
TD: 150/90 mmHg Nadi: 88 x/menit
Suhu: 36,5 RR: 22 x/menit
A: Post SC + IUD a/i PEB, Presbo P2A0Ah1 H-2
P: inj. Cefotaxime 1 gr / 12jam
Inj. Ketorolac 30 mg / 8jam
Dopamet 2x250 mg
Captoril 3x25 mg
15/06/15
S: ASI (+) keluhan (-) mobilisasi (+)
O: KU sedang
TD: 140/90 mmHg Nadi: 82 x/menit
Suhu: 36,7 RR: 20 x/menit
A: Post SC + IUD a/i PEB, Presbo P2A0Ah1 H-3
P: cefadroxil 2x500 mg
Asam mefenamat 3x500 mg
Dopamet 2x250 mg
Captopril 3x25 mg
Cek proteinuria
16/05/15
S: ASI (+) keluhan (-) mobilisasi (+)
O: KU sedang, protein +1
TD: 140/90 mmHg Nadi: 90 x/menit
Suhu: 36,4 RR: 22 x/menit
A: Post SC + IUD a/i PEB, Presbo P2A0Ah1 H-4
P: cefadroxil 2x500 mg
Asam mefenamat 3x500 mg
Dopamet 2x250 mg
Captopril 3x25 mg
BLPL
BAB IV
PEMBAHASAN
Preeklampsia berat adalah timbulnya hipertensi ≥ 160/110 mmHg disertai
proteinuria pada kehamilan setelah 20 minggu. Pada kasus ini ibu dikatakan
mengalami preeklampsia berat karena mengalami hipertensi, yaitu tekanan
darahnya sebesar 220/130 mmHg dan disertai proteinuria +4. Ibu mengalami
edema kedua tungkai kaki dan oliguria. Dalam kasus ini ibu hamil kurang bulan.
Hipertensi terjadi sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tahanan perifer agar
oksigenasi jaringan dapat tercukupi. Proteinuria terjadi karena pada preeclampsia
permeabilitas pembuluh darah terhadap protein meningkat. Edema terjadi karena
terjadi penimbunan cairan yang berlebihan dalam ruang interstitial.
Terapi preeklampsia berat menggunakan injeksi MgSO4 40% 4 gram
bolus IV secara lambat, dilanjutkan 1gr/jam sampai 24 jam. Pemberian Nifedipin
3x 10 mg dan Metildopa 3 x 250 mg peroral juga efektif pada pasien ini.
Pemasangan cateter tinggal untuk menilai pengeluaran urine.
Pada pasien ini dilakukan terminasi aktif dengan cara secsio caesarea.
Penulis sependapat karena mempertimbangkan usia kehamilan 35+3 minggu yang
sudah mendekati aterm. Secsio caesarea dipilih karena selain efeknya minimal
untuk penderita preeclampsia, juga karena pada psien ini presentasi bokong,
sehingga tidak direkomendasikan untuk melakukan terminasi aktif dengan cara
mekanik maupun medikamentosa.
Usaha pencegahan preeklamsia hingga saat ini hasilnya masih
mengecewakan. Aspirin dapat menurunkan risiko terjadinya preeklamsia dan
kematian perinatal meskipun tidak secara signifikan mempengaruhi berat lahir
bayi ataupun risiko terjadinya abrupsio plasenta
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, (2005, 07 April), Make Every Mother and Child Count, Available from:
http://pikas.bkkbn.go.id/news_detail.php?nid=4356 (Accesed: 2008,
November 20).
Anonim., (2006, october 31 – Last updated), About Preeclampsia, Available from:
http://www.preeklamsia.org/abaut.asp. (Accesed: 2008, November 20)
Anonim, (2006, August), Preeclampsia, Eclampsia, and HELLP Syndrome,
Available from : http://www.marchofdimes.com/pnhec/188 1054.asp.
(Accesed: 2008, November 20)
Anonim, (2007, January 24), Preeclampsia, Available from :
htttp://www.mayoclinic.com/health/preeclamsia/DS00583/DSECTION=4
(Accesed: 2008, November 20)
Brooks, B.M., (2005, January 05 – Last update), Pregnancy, Preeclampsia,
Available from : http://www.emedicine.com/emerg/topic480.htm
(Accesed: 2008, November 20)
Cunningham, F.G. et all, 2003, Williams Obstetrics, 21st ed, McGraw-Hill
Companies.
Mochtar, R., 1998, Toksemia Gravidarum, dalam: Sinopsis Obstetri, Jilid I edisi
II, EGC,Jakarta.
Musalli,G. & Linden, A. (2007), Preeclampsia, Available from:
http://www.babycenter.com/refcap/pregnancy/pregcomplications/257.html
#5.(Accesed: 2008, November 20).
Rachimhadhi, T., 2005, pereklamsia dan Eklamsia, dalam: buku Ilmu Kebidanan,
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta.
Saifuddin, B. A., 2001, Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan
Neonatal, JNNPKKR-POGI bekerjasama dengan Yayasan bina pustaka sarwono
prawirohardjo, Jakarta.
Sudinaya I.P., 2003, Insiden Preeklamsia-Eklamsia di Rumah Sakit Umum
Tarakan Kalimantan Timur-Tahun 2000, Cermin Dunia Kedokteran, 139,
13-15.
Surjadi, M.L. dkk, 1999, Perbandingan Rasio Ekskresi Kalsium/Kreatinin Dalam
Urin Antara Penderita Preeklamsia Dan Kehamilan Normal, Majalah
Obstetri Dan Ginekologi Indonesia, 23, 23-26.
Suyono, Y.J., 2002, Dasar-Dasar Obstetri & Ginekologi, edisi 6, Hipokrates,
Jakarta
Tomasulo, P.J. & Lubetkin, D., (2006, March 15 – Review date), Preeclamsia,
Available from :
http://www.obgyn.health.ivillage.com/pregnancybacics/preeclamsia.cmf.
Wagner, L., (2004), Diagnosis And Management Of Preeclampsia, Available:
http://www.aafp.org/afp/20041215/2317.html. (Accesed: 2008, November
20)
Wahdi. Dkk, 2000. Kematian Maternal Di RSUP Dr. Kariadi Semarang Tahun
1996-1998, Majalah Obstetri Dan Ginekologi Indonesia, 24, 165-170.