Presentasi Kasus
PENGELOLAAN ANESTESI UMUM PADA PASIEN
DENGAN TONSILITIS KRONIS
Oleh :
HASAN AS’ARI
G0006090
Pembimbing :
dr. R. TH. SUPRAPTOMO, Sp. An
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2012
0
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan presentasi kasus yang
berjudul ”Pengelolaan Anestesi Umum pada Pasien dengan Tonsilitis Kronis”.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. H. Marthunus Judin, SpAn., selaku Kepala Bagian Anestesi FK UNS / RSUD dr.
Moewardi Surakarta.
2. dr. R. TH. Supraptomo, Sp.An. selaku staf ahli anestesi dan pembimbing pada
pembuatan presentasi kasus ini.
3. Seluruh staf, medis dan paramedis yang bertugas di bagian anestesi RSUD dr.
Moewardi Surakarta.
4. Semua pihak yang telah membantu selama penulisan laporan ini.
Penyusun menyadari bahwa di dalam presentasi kasus ini masih jauh dari
sempurna, karena keterbatasan pengetahuan serta pengalaman, walaupun demikian penulis
telah berusaha sebaik mungkin. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun
diharapkan guna penyusunan dan kesempurnaannya.
Surakarta, Februari 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul.................................................................................................. 0
Kata Pengantar.................................................................................................. 1
Daftar Isi........................................................................................................... 2
Bab I. Pendahuluan........................................................................................... 3
Bab II. Tinjauan Pustaka................................................................................... 4
Bab III. Laporan Kasus..................................................................................... 19
Bab IV. Pembahasan......................................................................................... 24
Bab V. Kesimpulan.......................................................................................... 28
Daftar Pustaka................................................................................................... 29
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan
meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami
pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi
inhalasi dan penanggulangan penyakit menahun. Anestesi yang ideal adalah tercapainya
anestesi yang meliputi hipnotik/sedasi, analgesi dan relaksasi otot.
Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : (1) anestesi lokal, yaitu suatu
tindakan menghilangkan nyeri lokal tanpa disertai hilangnya kesadaran, dan (2) anestesi
umum yaitu keadaan ketidaksadaran yang reversibel yang disebabkan oleh zat anestesi,
disertai hilangnya sensasi sakit pada seluruh tubuh. Sebagian besar operasi (70-75 %)
dilakukan dengan anestesi umum, lainnya dengan anestesi lokal/ regional.
Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat
beberapa tahap pesiapan yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi, tahap penatalaksanaan
anestesi dan pemeliharaan serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi.
Tahap pra anestesi merupakan tahap persiapan yang sangat menentukan
keberhasilan suatu anestesi. Hal ini penting dalam tahap ini adalah : (1) menyiapkan pasien
yang meliputi riwayat penyakit pasien, keadaan umum pasien, dan mental pasien, (2)
menyiapkan teknik, obat-obatan dan macam anestesi yang digunakan, (3) memperkirakan
kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul pada waktu pengelolaan anestesi dan
komplikasi yang mungkin timbul pada pasca anestesi.
Tahap pengelolaan anestesi meliputi premedikasi, induksi dan pemeliharaan yang
dapat dilakukan secara intravena maupun inhalasi. Pada tahap ini perlu monitoring dan
pengawasan ketat serta pemeliharaan jalan nafas karena pada saat ini pasien dalam keadaan
sadar dan kemungkinan komplikasi anestesi maupun pembedahan dapat terjadi.
BAB II
3
TINJAUAN PUSTAKA
A. TONSILITIS KRONIS
Tonsillitis kronis adalah peradangan kronis yang mengenai seluruh jaringan tonsil
yang umumnya didahului oleh suatu keradangan di bagian tubuh lain, seperti misalnya
sinusitis, rhinitis, infeksi umum seperti morbili dan sebagainya.
Tonsillitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak
jarang tonsil tampak sehat. Tapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan membesar
disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan bila tonsil ditekan
keluar detritus.
a. Etiologi dan Faktor Predisposisi
Organisme penyebab tonsillitis kronis yaitu beta hemolitikus streptokokus.
Infeksi yang berulang-ulang bisa menyebabkan terjadinya pembesaran tonsil melalui
parenchyma atau degenerasi fibroid. Tetapi kadang-kadang kuman dapat berubah
menjadi kuman golongan gram negative.
Selain itu, yang harus menjadi perhatian adalah factor predisposisi timbulnya
tonsillitis kronis adalah rangsangan menahun dari rokok, beberapa jenis makanan,
hygine mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsillitis
akut yang tidak adekuat.
b. Patologi
Terjadinya proses peradangan yang berulang sehingga selain epitel mukosa
juga jaringan limfoid mengalami pengikisan maka pada proses penyembuhan
jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan
sehingga kriptus menjadi lebar. Secara klinis, kriptus ini tampak diisi oleh detritus.
Jika proses berjalan terus yang dapat menembus kapsul tonsil dan akhirnya
menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fossa tonsilaris. Pada anak-anak
proses ini dapat disertai dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula.
c. Manifestasi klinik
Pasien mengeluh ada ganjalan di tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan
pernafasan berbau. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan
yang tidak rata, kriptus membesar, dan kriptus berisi detritus.
4
Gejala tonsillitis kronis menurut Mawson (1977), dibagi menjadi : 1.) gejala
local, yang bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai
sakit menelan, 2.) gejala sistemik, rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala,
demam subfebris, nyeri otot dan persendian, 3.) gejala klinis tonsil dengan debris di
kriptenya (tonsillitis folikularis kronis), udema atau hipertrofi tonsil (tonsillitis
parenkimatosa kronis), tonsil fibrotic dan kecil (tonsillitis fibrotic kronis), plika
tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional.
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur
jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua
tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :
TO : tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat
T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T4 : > 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat diagnose
tonsilofaringitis akut adalah pemeriksaan laboratorium meliputi :
1. Leukosit ↑
2. Hemoglobin ↓
3. Usap tonsil untuk pemeriksaan kultur bakteri dan tes sensitifitas.
d. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari tonsillitis kronik adalah :
1. Penyakit-penyakit yang disertai dengan pembentukan pseudomembran yang
menutupi tonsil (tonsillitis membranosa)
a. Tonsillitis difteri
b. Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa)
c. Mononucleosis infeksiosa
2. Penyakit Kronik Faring Granulomatus
a. Faringitis Tuberkulosa
b. Faringitis Luetika
c. Lepra
d. Aktinomikosis Faring
5
Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan dengan nyeri
tenggorok dan kesulitan menelan. Diagnosa pasti berdasarkan pada pemeriksaan
serologi, hapusan jaringan atau kultur, X-ray dan biopsy.
e. Penatalaksanaan
Pengobatan pasti untuk tonsillitis kronis adalah pembedahan dengan
pengangkatan tonsil. Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana
penatalaksanaan medis atau yang konservatif gagal untuk meringankan gejala-gejala.
Penatalaksanaan medis termasuk pemberian penisilin yang lama, irigasi tenggorokan
sehari-hari dan usaha untuk membersihkan kripte tonsil dengan alat irigasi gigi
(oral). Ukuran jaringan tonsil tidak mempunyai hubungan dengan infeksi kronis
maupun berulang.
Indikasi tonsilektomi menurut American Academy of Otolaryngology – Head
and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995 menetapkan :
1. Serangan tonsillitis lebih dari 3 kali pertahun walaupun telah mendapatkan terapi
yang adekuat.
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan orofacial.
3. Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan nafas,
sleep apneu, gangguan menelan, gangguan berbicara, dan cor pulmonale.
4. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak hilang
dengan pengobatan.
5. Nafas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
6. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grub A streptokokus beta
hemolitikus.
7. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.
8. Otitis media efusi atau otitis media supuratif.
f. Komplikasi
Komplikasi tonsillitis kronis meliputi komplikasi local dan sistemik.
a. Komplikasi Lokal
Peritonsilitis
6
Abses pertonsiler (Quinsy)
Abses Parafaringeal
Kista tonsil
Tonsilolith
b. Komplikasi Sistemik yang dapat menyebar secara hematogen dan limfogen.
Demam reumatik dan penyakit jantung reumatik
Glomerulonefritisarthritis
Nefritis
Iridosiklitis
Dermatitis
Pruritus
Urtikaria
Furunkulosis
B. ANESTESIA UMUM
Anestesi umum adalah bentuk anestesi yang paling sering digunakan atau
dipraktikkan yang dapat disesuaikan dengan jumlah terbesar pembedahan, karena
dengan anestesi ini jalan nafas dapat terus dipertahankan dan nafas dapat dikontrol. (2)
Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah anestesi umum yaitu hilangnya
rasa sakit di seluruh tubuh disertai hilangnya kesadaran yang bersifat sementara dan
reversible yang diakibatkan oleh obat anestesi. Dalam memberikan obat–obat pada
penderita yang akan menjalani operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai
premedikasi, induksi, atau pemeliharaan. (5)
1. Persiapan Pra Anestesi
Salah satu hal yang sangat penting dalam tindakan anestesi adalah kunjungan pra
anestesi pada pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan, baik elektif dan
darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Semua pasien
yang masuk di bagian kebidanan kemungkinan akan membutuhkan anestesi, baik
elektif maupun emergensi. Perlu dibuat anamnesis yang lengkap mengenai umur,
paritas, usia kehamilan, dan faktor-faktor yang mungkin menyebabkan komplikasi.(1)
Pada kasus elektif biasanya dilakukan satu sampai dua hari sebelum operasi sedangkan
pada kasus darurat waktu yang tersedia lebih singkat. Adapun tujuan persiapan pra
anestesi adalah untuk mempersiapkan mental dan fisik secara optimal, merencanakan
7
dan memilih tehnik serta obat – obat anestesi yang sesuai dengan fisik dan kehendak
pasien, menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology). (3)
1. Macam-macam teknik anestesi :
No. Teknik Resevoir bag Valve Rebreathing Soda lime
1. Open _ _ _ _
2. Semi open + + _ _
3. Semi closed + + + +
4. Closed + + + +
Keterangan :
Rebreathing ( - ) = CO2 langsung ke udara kamar.
Rebreathing ( + ) = CO2 langsung ke udara kamar & sebagian dihisap lagi.
Rebreathing ( + ) = CO2 dihisap lagi.
Pada kasus ini dipakai semi closed anestesi karena mempunyai beberapa
keuntungan :
1). Konsentrasi inspirasi relatif konstan.
2). Konservasi panas dan uap.
3). Menurunkan polusi kamar.
4). Menurunkan resiko ledakan dengan obat yang mudah terbakar.
2. Menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology), yaitu : (4)
ASA 1 : Pasien dalam keadaan sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faali, biokimia dan psikiatri. Angka mortalitas
mencapai 2 %.
ASA 2 : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang karena
penyakit bedah maupun proses patofisiolgis. Angka mortalitas
mencapai 16 %.
ASA 3 : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat sehingga
aktivitas harian terbatas . Angka mortalitas mencapai 36 %.
8
ASA 4 : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung
mengancam kehidupannya dan tidak selalu sembuh dengan
operasi. Angka mortalitas mencapai 68 %.
ASA 5 : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil.Tindakan operasi
hampir tidak ada harapan.Tidak ada harapan hidup dalam 24 jam walaupun
dioperasi atau tidak. Angka mortalitas mencapai 98 %.
b.Premedikasi Anestesi
Tujuan premedikasi bukan hanya untuk mempermudah induksi dan mengurangi
jumlah obat – obatan yang digunakan, tetapi terutama untuk menenangkan pasien
sebagai persiapan anestesi. Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum
anestesi dilakukan. Tindakan ini biasanya dilakukan sebelum pasien dibawa ke ruang
operasi. (4)
Tindakan premedikasi ini mempunyai tujuan antara lain untuk memberikan rasa
nyaman bagi pasien, membuat amnesia, memberikan analgesia, mencegah muntah,
memperlancar induksi, mengurangi jumlah obat – obat anestesi, menekan reflek –
reflek yang tidak diinginkan, mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas.
Obat –obat yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah :
1. Golongan hipnotik sedatif : Barbiturat, Benzodiazepin, Transquilizer.
2. Analgetik narkotik : Morfin, Petidin, Fentanil.
3. Neuroleptik : Droperidol, Dehidrobenzoperidol.
4. Anti kolinergik : Atropin, Skopolamin.
Obat – obat premedikasi :
Sulfas Atropin
Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik. Berguna mengurangi sekresi
lendir dan mengurangi efek bronkhial dan kardial yang berasal dari perangsangan
parasimpatis akibat obat anestesi atau tindakan operasi. Pada dosis klinik (0,4–0,6 mg )
akan menimbulkan bradikardi yang disebabkan perangsangan nervus Vagus. Pada dosis
yang lebih besar (> 2 mg) akan menghambat nervus Vagus sehingga terjadi takikardi.
Efek lainnya yaitu melemaskan nervus otot polos, mendepresi vagal reflek, menurunkan
spasme gastrointestinal dan mengurangi rasa mual serta muntah.
9
Obat ini juga dapat menimbulkan rasa kering di mulut serta penglihatan kabur,
maka lebih baik tidak diberikan pra anestesi lokal atau regional. Dalam dosis toksik
dapat menyebabkan gelisah, delirium, halusinasi, dan kebingungan pada pasien. Tetapi
hal ini dapat diatasi dengan pemberian Prostigmin 1 – 2 mg intra vena.
Sedian : dalam bentuk Sulfat Atropin dalam ampul 0,25 mg dan 0,50 mg.
Dosis : 0,01 mg/kgBB dan 0,1 – 0,4 mg untuk anak – anak.
Pemberian : SC, IM, IV.(7)
Pethidin
Merupakan derivat fenil piperidin yang efek utamanya, depresi nafas dan efek
sentral lain. Efek analgetik timbul lebih cepat setelah pemberian sub cutan atau intra
muskular, tapi masa kerja lebih pendek. Dosis toksik menimbulkan perangsangan SSP
misal tremor, kedutan otot dan konvulsi. Pada saluran nafas, akan menurunkan tidal
volume sedang frekuensi nafas kurang dipengaruhi sehingga efek depresi nafas tidak
disadari. Secara sistemik menimbulkan anestesi kornea dengan akibat hilangnya refleks
kornea. Obat ini juga meningkatkan kepekaan alat keseimbangan sehingga
menimbulkan mual, muntah dan pusing pada penderita yang berobat jalan. Pada
penderita rawat baring, obat ini tidak mempengaruhi sistem kardiovaskuler, tapi
penderita berobat jalan dapat timbul sinkop orthostotik karena hipotensi akibat
vasodilatasi perifer karena pelepasan histamin. (4)
Absorbsi petidin berlangsung baik pada semua cara pemberian. Pada pemberian
IV kadarnya dalam darah akan turun cepat 1-2 jam pertama. Petidin dimetabolisme di
hati dan dikeluarkan lewat ginjal sekitar 1/3 dosis yang diberikan. Preparat oral dalam
tablet 50 mg, parenteral dalam bentuk ampul 50 mg per cc. Dosis dewasa 50-100 mg
disuntikkan SK atau IM. Jika secara IV efek analgesiknya tercapai dalam waktu 15
menit. (4)
c. Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya stadium
pembedahan (III) yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan anestesi
untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi. (4)
Macam-macam stadium anestesi :
10
Stadium I (analgesia) : - mulai pemberian zat anestesi sampai dengan
hilangnya kesadaran
- mengikuti perintah, rasa sakit hilang.
Stadium II ( Delirium ) : - mulai hilangnya kesadaran sampai dengan permulaan
stadium bedah.
- gerakan tidak menurut kehendak, nafas tidak teratur,
midriasis, takikardi.
Stadium III (Pembedahan) :
1. Tingkat 1 :nafas teratur spontan, miosis, bola mata tidak menurut kehendak, nafas
dada dan perut seimbang.
2. Tingkat 2 :nafas teratur spontan kurang dalam, bola mata tidak bergerak, pupil
mulai melebar, mulai relaksasi otot.
3. Tingkat 3 : nafas perut lebih dari nafas dada, relaksasi otot sempurna.
4. Tingkat 4 :nafas perut sempurna, tekanan darah menurun, midriasis maksimal,
reflek cahaya ( - )
Stadium IV. (Paralisis) : nafas perut melemah, tekanan darah tidak terukur,
denyut nadi berhenti dan meninggal.
Pada kasus ini digunakan Propofol.
Propofol
Propofol merupakan derivat isoprofilfenol yang digunakan untuk induksi dan
pemeliharaan anestesi umum. Propofol secara kimia tidak ada hubungannya dengan
anestesi IV lain. Pemberian IV ( 2 mg/kg BB ) menginduksi anestesi secara cepat
seperti Tiopental. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus Propofol yang
berkesinambungan dengan Opiat, N2 dan atau anestesi inhalasi lain.(4)
Propofol menurunkan tekanan arterial sistemik, dan kembali normal dengan
intubasi trekea. Propofol tidak menimbulkan aritmia, atau iskemik otot jantung, tidak
merusak fungsi hati dan ginjal. (7)
Keuntungan Propofol, bekerja lebih cepat dari Tiopental, mempunyai
induksi yang cepat, masa pulih sadar yang cepat, sehingga berguna pada pasien rawat
jalan yang memerlukan prosedur cepat dan singkat. (7)
Sediaan :ampul atau vial 20 ml ( 200 mg ), tiap ml mengandung 10 mg
Propofol.
Dosis : 1,5 – 2 mg/kgBB iv (anak)
11
2 – 2,5 mg/kgBB iv (dewasa)
4. Pemeliharaan
Maintenance atau pemeliharaan adalah pemberian obat untuk
mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi. Pada kasus
ini menggunakan Sevofluran, N2O, dan O2.(5)
a. Sevofluran
Sevofluran (Ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari
anestesi lebih cepat dibanding dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak
merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi
disamping halotan.
Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia.
Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan belum ada laporan toksik
terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan, sevofluran cepat dikeluarkan oleh
badan.
Walaupun dirusak oleh sodalim namun belum ada laporan membahayakan
terhadap tubuh manusia.
b. Dinitrogen Oksida/Gas Gelak/N2O
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau amis, dan tidak iritasi.
Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi
dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai
relaksasi otot, oleh karena itu operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan
dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti.
Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Dinitrogen Oksida
mendesak oksigen dengan ruangan–ruangan tubuh. Hipoksia difus dapat dicegah
dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi
selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi
dengan oksigen.
Perbandingan N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40 % ; 70% : 30% atau
50% : 50%. (4)
5. Obat Pelumpuh Otot (Muscle Relaxant)
12
Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga
menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat ini
dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten,
misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat kompetitif atau non depolarisasi , misal
kurarin. Dalam anestesi umum , obat ini memudahkan dan mengurangi cedera
tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang
dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali. (4)
Dua golongan obat pelumpuh otot
1. Depolarisasi.
- Ada fasikulasi otot
- Berpotensiasi dengan antikolinesterase
- Tidak menunjukkan kelumpuhan bertahap pada perangsangan tunggal atau
tetanik
- Belum dapat diatasi dengan obat spesifik
- Kelumpuhan berkurang dengan penambahan obat pelumpuh otot non
depolarisasi dan asidosis
- Contoh: suksametonium (suksinil kolin)
2. Non depolarisasi
- Tidak ada fasikulasi otot
- Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik inhalasi, eter,
halothane, enfluran, isoflurane
- Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal atau
tetanik
- Dapat diantagonis oleh antikolinesterase
- Contoh: tracrium (atrakurium besilat), pavulon (pankuronium bromida),
norkuron (pankuronium bromida), esmeron (rokuronium bromida).
1. Succynil Choline
Merupakan pelumpuh otot depolarisasi dengan mula kerja cepat, sekitar
1 – 2 menit dan lama kerja singkat sekitar 3 – 5 menit sehingga obat ini sering
digunakan dalam tindakan intubasi trakea. Lama kerja dapat memanjang jika
kadar enzim kolinesterase berkurang, misalnya pada penyakit hati parenkimal,
kakeksia, anemia, dan hipoproteinemia. (4)
13
Komplikasi dan efek samping dari obat ini adalah bradikardi, bradiaritma
dan asistole, takikardi dan takiaritmia, peningkatan tekanan intra okuler,
hiperkalemi dan nyeri otot fasikulasi. (3)
Obat ini tersedia dalam flacon berisi bubuk 100 mg dan 50 mg.
Pengenceran dengan garam fisiologis / aquabidest steril 5 atau 25 ml sehingga
membentuk larutan 2% sebagai pelumpuh otot jangka pendek. Dosis untuk
inhalasi 1 – 2 mg / kgBB. (7)
2. Atrakurium besilat (Tracrium)
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relative baru dengan
struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice Leontopeltatum.
Keunggulan atracurium adalah :
- metabolisme terjadi di dalam darah
- tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang
- tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular yang bermakna
Kemasan dibuat dalam ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg
atrakurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung penyimpanan pada suhu
dingin dan perlindungan terhadap penyinaran. (4)
Dosis intubasi : 0,5 - 0,6 mg / Kg BB / IV
Dosis relaksasi otot : 0,5 – 0,6 mg / Kg BB / IV
Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg / Kg BB / IV
6. Analgetik
Ketorolac
Ketorolac dapat diberikan secara oral, intramuskuler, atau intravena. Setelah
suntikan intramuscular atau intravena efek analgesinya dicapai dalam 30 menit,
maksimal setelah 1-2 jam dengan lama kerja sekitar 4-6 jam dan penggunaannya
dibatasi untuk 5 hari.
Cara kerja ketorolac ialah menghambat sintesis prostaglandin di perifer tanpa
mengganggu reseptor opioid di system saraf pusar. Seperti NSAID lain tidak
dianjurkan digunakan untuk wanita hamil, menghilangkan nyeri persalinan, wanita
sedang menyusui, usia lanjut, anak usia < 4 tahun, gangguan perdarahan dan bedah
tonsilektomi.
14
Sifat analgetik ketorolac setara dengan opioid, yaitu 30 mg ketorolac = 12 mg
morfin = 100 mg pethidin, sedangkan sifat antipiretik dan antiinflamasinya rendah.
Ketorolac dapat digunakan secara bersamaan dengan opioid.
Dosis awal 10-30 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan.
Untuk pasien normal dosis sehari dibatasi maksimal 90 mg dan untuk berat < 50 kg,
manula atau gangguan faal ginjal dibatasi maksimal 60 mg.
Sediaan : dalam ampul 5mg / 5ml
Pemberian : IM atau IV (2)
7. Intubasi Trakea
Merupakan suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea,
sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah di monitor dan dikendalikan.
Tindakan intubasi trakea ini bertujuan untuk :
1. Mempermudah pemberian anestesi.
2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas dan demi kelancaran pernafasan.
3. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
4. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
5. Untuk pemakaian ventilasi yang lama.
6. Mengatasi obstruksi laring akut. (4)
8. Terapi Cairan
Dalam suatu tindakan operasi terapi cairan harus diperhatikan dengan
serius, terapi cairan perioperatif bertujuan untuk :
1. Mencukupi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
2. Replacement dan dapat untuk tindakan emergency pemberian obat. (6)
Pemberian cairan operasi dibagi : (7)
1. Pra operasi
Pada pasien pra operasi dapat terjadi defisit cairan yang diakibatkan
karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi lambung, penumpukan
cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar
dan lain – lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml /
kgBB / jam. Bila terjadi dehidrasi ringan maka diperlukan cairan sebanyak 2%
15
BB, dehidrasi sedang perlu cairan sebanyak 5% BB, dan dehidrasi berat
sebesar 7% BB. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah
10 – 15 %.
2. Selama operasi
Selama tindakan operasi ini dapat terjadi kehilangan cairan karena proses
operasi. Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi ringan 4ml/kgBB/jam,
sedang 6ml/kgBB/ jam, berat 8 ml/kgBB/jam. Bila terjadi perdarahan selama
operasi, di mana perdarahan kurang dari 10% EBV maka cukup digantikan
dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume darah yang hilang. Apabila
perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma /
koloid / dekstran dengan dosis 1 – 2 kali darah yang hilang. Sedangkan apabila
terjadi perdarahan lebih dari 20% akan dipertimbangkan untuk dilakukannya
transfusi.
3. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan
selama operasi ditambah kebutuhan sehari – hari pasien.
9. Pemulihan
Pasca anetesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang
biasanya dilakukan diruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk
observasi pasien pasa operasi atau anestesi. Ruang pulih sadar adalah batu loncatan
sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di
ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.1
Di ruang pulih sadar dimonitor jalan nafasnya apakah bebas atau tidak,
ventilasinya cukup atau tidak, dan sirkulasinya sudah baik ataukah tidak. Selain
obstruksi jalan nafas karena lidah yang jatuh ke belakang atau karena spasme laring,
pasca bedah dini juga dapat terjadi muntah yang dapat menyebabkan aspirasi.1
Monitor kesadaran merupakan hal yang penting karena selama pasien belum sadar
dapat terjadi gangguan jalan nafas. Tidak sadar yang berkepanjangan adalah akibat dari
pengaruh sisa obat anestesi, hipotermi, atau hipoksia, dan hiperkarbi. Hipoksia dan
hiperkarbi terjadi pada pasien dengan gangguan jalan nafas dan ventilasi. Menggigil
16
yang terjadi pasca bedah adalah akibat efek vasodilatasi obat anestesi. Menggigil akan
menambah beban jantung dan sangat berbahaya pada pasien dangan penyakit jantung.4
Tabel 1. Steward Scoring System
Kriteria Skor
Kesadaran
Jalan nafas
Gerakan
Bangun
Respon terhadap stimuli
Tak ada respon
Batuk atas perintah
Mempertahankan jalan nafas dengan baik
Perlu bantuan untuk mempertahankan
Menggerakkan anggota badan dengan tujuan
Gerakan tanpa maksud
Tidak bergerak
2
1
0
2
1
0
2
1
0
Tabel 2. Robertson Scoring System
Kriteria Skor
Kesadaran
Jalan nafas
Aktivitas
Sadar penuh, mata terbuka, berbicara
Tertidur ringan, sekali-kali mata terbuka
Mata terbuka atas perintah atau respons bila
dipanggil namanya
Respon terhadap cubitan telinga
Tak ada respon
Membuka mulut dan atau batuk atas perintah
Tak ada batuk volunter, jalan nafas bebas
tanpa bantuan
Obtruksi jalan nafas bila leher fleksi tetapi
tanpa bantuan ekstensi
Tanpa bantuan terjadi obstruksi
Mengangkat tangan dengan perintah
Gerakan tak berarti
Tak bergerak
4
3
2
1
0
3
2
1
0
2
1
0
Tabel 3. Aldrette Scoring System17
Kriteria Recovery score
in 15 30 45 60 out
Aktivitas Dapat
bergerak
volunter
atau atas
perintah
4 anggota
gerak
2 2 2 2 2 2
2 anggota
gerak
1 1 1 1 1 1
0 anggota
gerak
0 0 0 0 0 0
Respirasi
Sirkulasi
Mampu benafas dan batuk
secara bebas
2 2 2 2 2 2
Dyspnea, nafas dangkal
atau terbatas
1 1 1 1 1 1
Apnea 0 0 0 0 0 0
Tensi Pre
op…mmHg
Tensi ± 20
mmHg preop
2 2 2 2 2 2
Tensi ± 20-50
mmHg preop
1 1 1 1 1 1
Tensi ± 50
mmHg preop
0 0 0 0 0 0
Kesadaran Sadar Penuh 2 2 2 2 2 2
Bangun waktu dipanggil 1 1 1 1 1 1
Tidak ada respon 0 0 0 0 0 0
Warna
kulit
Normal 2 2 2 2 2 2
Pucat kelabu 1 1 1 1 1 1
Sianotik 0 0 0 0 0 0
Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang
disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
18
BAB III
ILUSTRASI KASUS
A. IDENTITAS
Nama : Nn H
Usia : 20 tahun
No.CM : 01106695
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Pondokan Jebres Surakarta
Diagnosis pre operasi : Tonsilitis Kronis
Jenis Operasi : Tonsilektomi
Jenis Anestesi : General Anestesi
Tanggal masuk : 02-02-2012
Tanggal Operasi : 03-02-2012
B. ANAMNESIS
Keluhan utama : Nyeri Tenggorokan
Riwayat Penyakit Sekarang : Sejak 2 tahun yang lalu, pasien mnegeluhkan nyeri
tenggorokan, nyeri dirasakan kuma-kumatan dan hilang timbul. Awalnya hanya ringan,
namun semakin lama dirasakan semakin memberat. Sulit menelan (+), rasa mengganjal
di tenggorokan (+), pasien juga sering mengalami batuk pilek sebelumnya dan kumat-
kumatan. Pilek kumat kurang lebih sebulan sekali. Pilek lama (-), nyeri wajah (-),
keluar cairan dari telinga (-), demam (-).
Pasien juga mengeluhkan sering terbangun di malam hari karena rasa tidak
nyaman dan sesak, terbangun sekitar 2-3 kali dalam semalam. Serak (-), tidur
mengorok (+)
Riwayat penyakit dahulu :
- R. Asma disangkal
- R. Alergi obat dan makanan disangkal
- R. DM disangkal
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : Baik, compos mentis, gizi kesan cukup
2. Tanda Vital T : 120/70 mmHg
19
N : 80 x/menit
RR : 22 x/menit
S : 36,5 C
BB : 49kg
TB : 160 cm
3. Status generalis :
a. Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
b. Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-)
c. Mulut : Tidak ditemukan gigi palsu
d. Telinga : Pendengaran baik (+) secret (-)
e. Leher : Kel thyroid tidak membesar, JVP tidak meningkat
f. Tenggorok : T3-T3, kripte melebar, hiperemis (-), detritus (-), uvula di
tengah.
g. Thorax : Retraksi (-)
Paru I: Pengembangan dada kanan = kiri
P: Fremitus raba kanan = kiri
P: Sonor-sonor
A: Suara dasar: vesikuler +/+
Suara tambahan : -/-
Jantung I : Ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis tidak kuat angkat
P : Batas jantung kesan tidak melebar
A: Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
h. Abdomen : Supel, nyeri tekan (-), hepar lien tidak teraba
i. Extremitas : oedem sianosis akral dingin
20
– –
- -
– –
– –
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hb : 12,8 g/dl
Hct : 38 %
AL : 7300 uL
AT : 358.000 uL
AE : 4550000 uL
Gol. darah : A
GDS : 85 mg/dl
Ureum : 18 mg/dl
Kreatinin : 0,8 mg/dl
PT : 13,5 detik
APTT : 32,3 detik
Albumin : 3,8 g/dL
SGOT : 28 u/L
SGPT : 17 u/L
Natrium : 141 mmol/L
Kalium : 4,3
mmol/L
Cl : 112 mmol/L
HbsAg : negatif (-)
21
TERAPI THT
1. Pro Tonsilektomi
2. IVFD RL 20 tpm
3. Inj Ampicillin 1 gram/12 jam
4. Konsul anestesi
KESIMPULAN
1. Kelainan sistemik : (-)
2. Status fisik ASA I
RENCANA ANESTESI
1. Persiapan Operasi
a. Persetujuan operasi tertulis ( + )
b. Puasa > 6 jam
c. Pasang IV line
d. Premedikasi di OK
2. Jenis Anestesi: General anestesi
3. Teknik Anestesi :Semi closed balance anesthesia, inhalasi, respirasi
terkontrol dengan Nasotracheal Tube no. 6,5
4. Premedikasi : Midazolam 3 mg dan Fentanyl 80 mg IV
5. Induksi : Propofol 100 mg
6. Pelumpuh otot : Atracrium 25 mg IV
7. Maintenance : N2O/O2 = 2L/2L, Sevofluran 1-2 vol%
8. Monitoring : Tanda vital selama operasi tiap 5 menit, kedalaman
anestesi, cairan, perdarahan, dan produksi urin.
9. Perawatan pasca anestesi di ruang pulih sadar.
TATA LAKSANA ANESTESI
1. Di ruang persiapan
a. Cek persetujuan operasi dan identitas penderita
b. Pemeriksaan tanda-tanda vital
c. Lama puasa > 6 jam
d. Cek obat dan alat anestesi
e. Posisi terlentang
22
f. Pakaian pasien diganti pakaian operasi
g. Infus RL 40 tpm
2. Di ruang operasi
a. Jam 09.00 pasien masuk kamar operasi, manset dan monitor dipasang,
premedikasi injeksi Midazolam 3 mg dan Fentanyl 80 mg IV.
b. Jam 09.05 dilakukan induksi dengan propofol 100 mg, segera kepala
diekstensikan, face mask didekatkan pada hidung dengan O2 6 l/menit.
Setelah reflek bulu mata menghilang, Atracrium 25 mg dimasukkan IV,
tampak fasikulasi otot. Sesudah tenang dilakukan intubasi dengan nasl
endotrakheal tube no. 6,5 dan Guedel, balon ET dikembangkan. Injeksi
Dexametason 5 mg. Setelah terpasang baik dihubungkan dengan mesin
anestesi untuk mengalirkan N2O:O2 = 2 L:2 L permenit.
c. Jam 09.25 dialirkan agent anestesi berupa isovluran 1-2 vol %, injeksi
ondancetron 4 mg dan ketorolac 30 mg.
d. Jam 09.30 operasi dimulai dan tanda vital dimonitor tiap 5 menit.Infus RL
500cc, dilanjutkan NaCl 0,9% 500cc.
e. Jam 10.30 Injeksi asam tranexamat 1 g dan infus RL 500 cc.
f. Jam 11.05 operasi selesai penderita dipindah ke ruang recovery.
Monitoring Selama Anestesi
Jam Tensi Nadi SaO2 Keterangan
09.00 120/70 84 100% Masuk ruang operasi, infuse RL 500cc, injeksi
Midazolam 3 mg dan Fentanyl 80 mg IV
09.05 115/65 88 100% Injeksi propofol 100 mg, Atracrium 25 mg
09.15 102/62 76 100% Dexametason 10mg
09.30 106/64 80 100% Infuse NaCl 0,9% 500cc, injeksi ondancetron 4
mg dan ketorolac 30 mg
09.45 105/66 80 100%
10.00 106/66 80 100% atracurium 30 mg, Infuse RL 500cc
10.15 106/64 82 100%
10.30 108/66 84 100% Injeksi asam tranexamat 1 g dan infus RL 500 cc
10.45 108/68 84 100%
11.00 110/68 84 100%
11.05 112/68 84 100% Operasi Selesai, pindah ke RR
23
12.15 120/70 80 100% Pasien dipindahkan ke ruangan
INSTRUKSI PASCA ANESTESI
Pasien dirawat di RR dalam posisi supine, oksigen 2 liter/menit, awasi respirasi,
nadi, tensi tiap 10 menit. Bila tensi turun dibawah 90/60, berikan kristaloid atau efedrin
10 mg. Bila muntah, berikan ondansetron 4 mg. Bila kesakitan, berikan ketorolac 20
mg. Infus RL dan NaCl 1500 cc/24 jam dengan tetesan 18 tetes per menit. Setelah
sadar, pasien di rawat di bangsal sesuai dengan bagian operator. Bila aldrette skor > 8
tanpa nilai 0, dipindah ke bangsal.
Setelah pasien sadar, pasien dipindahkan ke ruangan bangsal.
1. Awasi keadaan umum, perdarahan tiap 5 menit selama 2 jam post operasi.
2. Cek darah rutin & elektrolit dan dikoreksi bila perlu
3. Bila tidak ada mual, tidak ada muntah, bising usus (+), boleh makan dan minum
secara bertahap
4. Bila nyeri bertambah, konsultasi ke bagian anestesi.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada pasien diatas dari pre operasi (anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang) didapatkan status fisik pasien diklasifikasikan sebagai ASA I sehingga
pasien sehat baik secara organik, fisiologik, psikiatrik, maupun biokimia.
Secara keseluruhan, tidak didapatkan aspek-aspek yang dapat memperberat
proses anestesi selama pembedahan. Namun, ada beberapa aspek yang perlu
diperhatikan selama masa pembiusan. Refleks laring mengalami penurunan selama
anestesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas
merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif
dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu
sebelum induksi anestesia.
Tindakan premedikasi sendiri, yaitu pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi
anestesia bertujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia
24
diantaranya untuk meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi
anestesia, mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat
anestetik, mengurangi mual-muntah pasca bedah,menciptakan amnesia, mengurangi isi
cairan lambung, mengurangi refleks yang membahayakan.
Alasan pemilihan penggunaan golongan midazolam sebagai agen
anestesi antara lain karena tidak mengganggu pola tidur, lebih aman jika terjadi
overdosis, tidak menginduksi interaksi buruk pada metabolisme enzim obat, tidak
menginduksi enzim hepar, pilihan utama sebagai anti ansietas, paling cepat diinaktifkan
dibandingkan benzodiazepin lain pada penggunaan intravena untuk memperoleh efek
cepat.
Keluhan pasien jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat diberikan preparat
opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular, fentanyl 50 microgram, ataupun morfin.
Sedangkan untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan
premedikasi berupa ondansentron 2 -4 mg iv.
Berdasarkan status fisik pasien tersebut, jenis anestesi yang paling baik
digunakan dalam tonsilektomi adalah general anestesi. Teknik anestesi umum yang
dipilih adalah teknik balance anesthesia, nafas kendali dengan endotracheal tube nomor
6,5. Teknik ini dimulai dengan pemberian obat pelumpuh otot non depolar, setelah itu
dilakukan pemasangan nasotrakeal tube. Nafas dikendalikan dengan respiratoir atau
secara manual. Apabila menggunakan respiratoir, setiap inspirasi (volum tidal)
diusahakan 6-10 ml/kgBB dengan frekuensi 10-14 x/menit. Apabila nafas dikendalikan
secara manual harus diperhatikan pergerakan dada kanan kiri simetris. Pada pasien ini,
nafas dikendalikan secara manual.
Pada pasien ini diberikan obat pelumpuh otot athracurium 25 mg iv, yang
merupakan nondepolaritation intermediete acting. Sedangkan atracurium sebagai obat
pelumpuh otot non depolarisasi dipilih sebagai agen penginduksi karena mempunyai
beberapa keunggulan antara lain metabolisme terjadi di dalam darah (plasma) terutama
melalui suatu reaksi kimia unik yang disebut eliminasi Hofman. Reaksi ini tidak
tergantung pada fungsi hati atau ginjal. Selain itu tidak mempunyai efek kumulasi pada
pemberian berulang dan tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular. Dosis
intubasi dan relaksasi otot adalah 0,5-0,6 mg/kgBB (iv), dan dosis pemeliharaan yaitu
0,1-0,2 mg/kgBB (iv). Obat pelumpuh otot kalau perlu diulangi lagi dengan 1/3 dosis
awal, yaitu apabila pasien tampak ada usaha bernafas spontan, cegukan, ada tahanan
25
pada inflasi paru, atau otot perut mulai tegang. Menjelang akhir operasi saat mulai
menjahit lapisan kulit diusahakan nafas spontan dengan membantu usaha nafas sendiri
secara manual.
Ektubasi dapat segera diberikan setelah spontan normal kembali dengan
volume tidal 300 ml. O2 diberikan terus ( 5-6 L ) selama 2-3 menit untuk mencegah
hipoksia difusi. Apabila nafas tetap lemah setelah ditunggu beberapa menit dapat diberi
obat anti pelumpuh otot non depolarisasi sebelum diekstubasi yaitu neostigmin
(prostigmin) dosis 0,04 mg/kg, piridostigmin 0,1-0,4 mg/kg, atau fisostigmin 0,01-0,03
mg/kg. Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik menyebabkan hipersalivasi,
keringatan, bradikardi, kejang bronkus, hipermotilitas usus, dan pandangan kabur,
sehingga pemberiannya harus disertai oleh obat vagolitik seperti atropin dosis 0,01-0,02
mg/kg.
Induksi anestesi merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi. Obat-obatan yang sering
digunakan untuk induksi antar lain tiopental, propofol dan ketamin. Pada pasien ini
diberikan propofol (fresofol) 100 mg iv.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat, yang didistribusikan dan
dieliminasikan dengan cepat. Propofol diberikan dengan dosis bolus untuk induksi 2-2,5
mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12 mg/Kg/jam dan dosis sedasi
untuk perawatan intensif 0,2 mg/Kg. Efek samping propofol pada sistem pernafasan
adanya depresi pernapasan, apneu, bronkospasme, dan laringospasme. Pada susunan
saraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, gerakan klonik-
mioklonik, epistotonus, mual, muntah. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri.
Selesai dilakukan induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata hilang.
Sungkup ditempatkan pada muka. Sebaiknya dagu ditahan atau sedikit ditarik ke
belakang ( posisi kepala ekstensi) agar jalan nafas bebas dan pernafasan lancar.
Pengikat sungkup muka ditempatkan dibawah kepala. Jika pernafasan masih tidak
lancar dicoba mendorong kedua pangkal rahang ke depan dengan jari manis dan tengah
tangan kiri. Kalau perlu dengan kedua tangan kita yaitu dengan kedua ibu dan telunjuk
jari yang memegang sungkup muka dan dengan jari-jari yang lain menarik rahang ke
atas. Tangan kanan kita bila brbas dapat memegang balon pernafasan dari alat anestesi
untuk membuat pernafasan ( menekan balon sedikit bila pasien melakukan
ispirasi).N2O mulai diberikan 4L dengan O2 2 L /menit untuk memperdalamkan
26
anestesi, bersamaan dengan ini sevo dibuka sampai 1% dan sedikit demi sedikit
( sesudah setiap 5-10 kali tarik nafas) dinaikkan dengan 1% sampai 3 atau 4 %
tergantung reaksi dan besar tubuh penderita. Kedalaman anestesi dinilai dari tanda-
tanda mata ( bola mata menetap), nadi tidak cepat dan terhadap rangsang operasi tidak
banyak berubah. Jika stadium anestesi sudah cukup dalam, rahang sudah lemas,
masukkan pipa orofaring. Sevo kemudian dikurangi dan dihentikan beberapa menit
sebelum operasi selesai. Selesai operasi N2O dihentikan dan pasien diberi O2 100%
beberapa meniot mencegah hipoksia.
Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Sevofluran dipilih sebagai agen
anestesi inhalasi karena Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan dengan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga
digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.
Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Efek
terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap
hepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan. Namun,
Sevoflurane sangat tidak stabil dibandingkan dengan desfluran. Soda lime
menyebabkan dekomposisi. Walaupun dirusak oleh kapur soda (soda lime, baralime),
tetapi belum ada laporan membahayakan terhadap tubuh manusia.
Pada pasien ini diberikan maintenance O2 + N2O + sevo. Oksigen diberikan
untuk mencukupi oksigen jaringan. Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2
minimal 25%, gas ini bersifat sebagai anestetik lemah tetapi analgetiknya kuat.
Sevoflurane merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih anestesi lebih cepat
dibandingkan isoflurane. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang
menyebabkan aritmia. Setelah pemberian dihentikan, sevoflurane cepat dikeluarkan
oleh tubuh.
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke Recovery Room (RR). Di ruang inilah
pemulihan dari anestesi umum atau anestesi regional dilakukan. RR terletak berdekatan
dengan ruang operasi sehingga apabila terjadi suatu kondisi yang memerlukan
pembedahan ulang tidak akan mengalami kesulitan. Pada saat di RR, dilakukan
monitoring seperti di ruang operasi, yaitu meliputi tekanan darah, saturasi oksigen,
EKG, denyut nadi hingga kondisi stabil. ila pasien gelisah harus diteliti apakah karena
kesakitan atau karena hipoksia (TD turun, nadi cepat , misalnya karena
hipovolemik). Bila kesakitan harus diberikan analgetik seperti petidin 15-25 mg IV,
27
tetapi kalau gelisah karena hipoksia harus diobati sebabnya, misalnya dengan
menambah cairan elektrolit ( RL ), koloid ( dextran), darah. Oksigen selalu diberikan
sebelum pasien sadar penuh. Pasien hendaknya jangan dikirim ke ruangan sebelem
sadar, tenang, reflek jalan nafas sudah aktif, tekanan darah, nadi dalam batas
normal. Pasien ini diberi obat tambahan yaitu ketorolac dan kalnex bertujuan sebagai
analgetik dan dan membantu pembekuan darah. Pasien dapat keluar dari RR apabila
sudah mencapai skor Lockherte/Aldrete lebih dari tujuh. Sedangkan pada pasien diatas,
didapatkan skornya 9 sehingga pasien dapat dipindahkan ke tempat perawatan
selanjutnya.
BAB V
KESIMPULAN
28
Dalam suatu tindakan anestesi banyak hal yang harus diperhatikan agar tindakan
anestesi tersebut dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan anestesi. Dalam hal
ini pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang baik dan teliti memungkinkan kita mengetahui
kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat
mengantisipasinya serta dapat menentukan teknik anestesi yang akan dipakai. Selain itu,
pemilihan obat dan dosisnya harus benar- benar diperhatikan agar tidak menimbulkan
efek samping yang membahayakan pasien.
Anestesi umum adalah pilihan anestesi untuk tonsilektomi. Status fisik pasien
termasuk dalam ASA I sehingga secara keseluruhan, tidak didapatkan aspek-aspek yang
dapat memperberat proses anestesi maupun pembedahan. Tindakan premedikasi sendiri,
yaitu pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesia bertujuan untuk melancarkan
induksi, rumatan dan bangun dari anestesia. Pasien dapat keluar dari recovery
room apabila sudah mencapai skor Lockherte/Aldrete lebih dari tujuh. Hal ini penting
dilakukan untuk menilai kondisi paska operasi pasien.
Dalam laporan ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada operasi
tonsilektomi pada pasien perempuan, umur 21 tahun, status fisik ASA I. Dengan
diagnosis tonsilitis kronis dengan menggunakan teknik general anestesi inhalasi semi
closed dengan ET no 6,5.
Secara umum pelaksanaan operas dan penanganan anestesi berlangsung dengan
baik tanpa ada kendala yang berarti.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief, S.A., Suryadi, K.A., Dachlan, R. 2002. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. Jakarta:
FK UI
2. Pramono, A., 2008. Study Guide Anestesiologi dan Reanimasi. Yogyakarta : FK
UMY.
3. Boulton, T.B., Blogg, C.E., 1994. Anestesiologi. Edisi 10. EGC. Jakarta.
4. Anonim1, 2008. Narfoz. Diakses dari http://www.pharosindonesia.com/our-
product/46-ethical/109-narfoz.html
5. Dachlan, R dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta : bagian
Anesteiologi dan terapi Intensif. FK UI
6. Muhiman, M. 2000. Anastesiologi. Jakarta : bagian Anestesiologi dan terapi
Intensif. FK UI.
7. Dobson Michael B, Penuntun Praktis Anestesi, cetakan I, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 1994.
8. Gan, Sulistia, Farmakologi dan terapi, edisi ke- 3 FKUI, Jakarta, 1986.
9. Muhardi, M, dkk. Anastesiologi, bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif,
FKUI, CV Infomedia, Jakarta, 1989.
10. Morgan E, Mikhail MS, Clinical Anesthesiology, Prentice Hall International Inc,
Connecticut,1996
11. Snow, J.C. Manual of Anasthaesiology, 2 nd edition, Little Brown and
Company, Boston, 1982.
Tjay, Tan Hoan, Obat – obat Penting, edisi ke – 4, Depkes RI, Jakarta, 1979
30
31