perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KAJIAN NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK
KARYA AHMAD TOHARI DAN NOVEL SINDEN
KARYA PURWADMADI ADMADIPURWA
(Pendekatan Intertekstual dan Nilai Pendidikan)
TESIS
Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magester
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Oleh
Suwarmo
S841108031
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KAJIAN NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK
KARYA AHMAD TOHARI DAN NOVEL SINDEN
KARYA PURWADMADI ADMADIPURWA
(Pendekatan Intertekstual dan Nilai Pendidikan)
TESIS
Oleh Suwarmo
S841108031
Komisi Nama Tanda Tangan Tanggal Pembimbing Pembimbing I Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. ------------- --------- 2012 NIP 196204071987031003 Pembimbing II Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum. ------------- --------- 2012 NIP 19700716 200212 2 001
Telah dinyatakan memenuhi syarat pada tanggal ............................... 2012
Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Program Pascasarjana UNS
Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. NIP 196204071987031003
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KAJIAN NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI DAN NOVEL SINDEN
KARYA PURWADMADI ADMADIPURWA
(Pendekatan Intertekstual dan Nilai Pendidikan)
TESIS
Oleh:
Suwarmo S841108031
Tim Penguji
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal Ketua Prof. Dr.Andayani, M.Pd. -------------- ------ 2013 NIP 196010301986012002 Sekretaris Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd. -------------- ------ 2013 NIP 195601211982032003 Anggota Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. -------------- ------ 2013 NIP 196204071987031003 Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum. ------------- ------ 2013 NIP 19700716 2002122001
Telah dipertahankan di depan penguji Dinyatakan telah memenuhi syarat
pada tanggal .................... 2013
Mengetahui; Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana UNS Pendidikan Bahasa Indonesia
Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. NIP 196107171986011001 NIP 196204071987031003
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS
Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa: 1. KAJIAN NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK
KARYA AHMAD TOHARI DAN NOVEL SINDEN KARYA
PURWADMADI ADMADIPURWA (Pendekatan Intertekstual dan
Nilai Pendidikan) ini adalah karya penelitian saya sendiri dan bebas plagiat,
serta tidak terdapat karya ilmiah yang pernahdiajukan oleh orang lain untuk
memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis digunakan
sebagai acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber acuan serta
daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya
ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan(Permendiknas No,17, tahun 2010).
2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum
ilmiah lain harus seijin dan menyertakan tim pembimbing sebagai author
dan PPs UNS sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurang-
kurangnya satu semester (enam bulan sejak pengesahan Tesis) saya tidak
melakukan publikasi dari sebagian atau keseluruhan Tesis ini, maka Prodi
Bahasa Indonesia PPs UNS berhak mempublikasikanya dalam forum
ilmiah yang diterbitkan oleh Prodi Bahasa Indonesia PPs UNS. Apabila
saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya
bersedia mendapatkan sanksi akademik yang berlaku.
Surakarta, 2013
Mahasiswa
Suwarmo
S841108031
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
MOTTO
PENDIDIKAN BUKAN PERSIAPAN UNTUK HIDUP. PENDIDIKAN
ADALAH HIDUP ITU SENDIRI (JOHN DEWEY)
JATUH TETAPI ORANG YANG KUAT ADALAH ORANG YANG
PERNAH JATUH TETAPI MAMPU UNTUK BANGKIT KEMBALI DEMI
MENDAPATKAN SEMUA YANG DICITA-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan kepada:
1. Istriku tercinta dan anak-anakku yang kusayang.
2. Bapak dan Ibuku. 3. Saudara-saudaraku. 4. Teman-teman mahasiswa S-2
PBI kelas paralel UNS. 5. Almamater.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kepada Allah SWT yang
Maha Pengasih dan Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya,
sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan.
Tesis yang berjudul Kajian Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad
Tohari dan Novel Sinden Karya Purwadmadi Admadipurwa (Intertekstual dan
Nilai-nilai Pendidikan , disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai
derajat Magister Pendidikan pada Program Studi Bahasa Indonesia, program
pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penyususnan Tesis ini dapat terselesaikan atas bantuan dan bimbingan
berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.Pd. Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS. Direktur PPs Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
3. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. Ketua Program Studi S-2 Pendidikan
Bahasa Indonesia, sekaligus Pembimbing I yang telah memberikan arahan,
petunjuk, dan bimbingan dalam penulisan tesis ini.
4. Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum. selaku Pembimbing II yang dengan
sabar meluangkan pikiran, dan waktunya untuk memberikan arahan, petunjuk,
dan bimbingan sehingga mampu menyelesaikan penulisan tesis ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5. Secara pribadi penghargaan dan penghormatan yang tak terhingga penulis
berikan kepada kedua putra kebanggaan dan istri tercinta yang telah
memberikan motivasi sehingga dapat penulisan tesis ini dapat terselesaikan.
Penulis berharap, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
khususnya mahasiswa jurusan pendidikan pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia, guru bahasa Indonesia dan seluruh masyarakat pecinta bahasa dan
sastra Indonesia.
Surakarta, 11 Januari 2013.
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR ISI
JUDUL i
PENGESAHAN PEMBIMBING ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI TESIS iii
PERNYATAAN iv
KATA PENGANTAR v
ABSTRAK vi
ABSTRACK vii
DAFTAR ISI viii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 5
C. Tujuan Penelitian 6
D. Manfaat Penelitian 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8
A. Kajian Teori 8
B. Penelitian yang Relevan 41
C. Kerangka Berpikir 42
BAB III METODE PENELITIAN 44
A. Tempat dan Waktu Penelitian 44
B. Jenis Penelitian 45
C. Data dan Sumber Data 45
D. Tekni Pengumpulan Data 46
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
E. Validasi Data ............................................................................ 46
F. Teknik Analisis Data 47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 49
A. Hasil Penelitian 49
1. Struktur Novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) dan Novel
Sinden................................................... 49
a. Struktur Novel Ronggeng Dukuh Paruk 49
1. Tema 49
2. Alur atau Plot 50
3. Penokohan 57
4. Setting atau Latar 83
5. Point of View 93
b. Struktur Novel Sinden 94
1. Tema 94
2. Alur atau Plot 94
3. Penokohan 102
4. Setting atau Latar 115
5. Point of View 121
2. Intertekstual Novel RDP dan novel Sinden 122
a. Persamaan Struktur Novel RDP dan novel Sinden 122
1) Penokohan 122
2) Setting atau Latar 123
3) Alur atau Plot 124
4) Point of Veiw 124
b. Perbedaan Struktur Novel RDP dan novel Sinden 125
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3.Nilai-nilai Pendidikan Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan
Novel Sinden 127
A. Nilai-nilai Pendidikan Novel Ronggeng Dukuh Paruk.......... 127
a. Nilai Pendidikan Religius Novel Ronggeng Dukuh
Paruk 127
b. Nilai Pendidikan Budaya Novel Ronggeng Dukuh
Paruk 131
c. Nilai Pendidikan Sosial Novel Ronggeng Dukuh
Paruk
d. Nilai Pendidikan Moral Novel Ronggeng Dukuh
Paruk
B. Nilai-nilai Pendidikan Novel Sinden................
a. Nilai Pendidikan Religius Novel Sinden 139
b. Nilai Pendidikan Budaya Novel Sinden 141
c. Nilai Pendidikan Sosial Novel Sinden
d. Nilai Pendidikan Moral Novel Sinden
Pembahasan Hasil Penelitian.......... ....... 144
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 178
A. Simpulan 178
B. Implikasi 184[
C. Saran-saran 186
DAFTAR PUSTAKA 188
LAMPIRAN..................................................................................................... 191
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Suwarmo. S.84 Kajian Intertekstual dan Nilai Pendidikan Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari dan Novel Sinden Karya
.TESIS. Pembimbing I: Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd, II: Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum. Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menjelaskan: (1) struktur pembangun novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden; (2) persamaan dan perbedaan unsur pembangun struktur novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden; (3) nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode ini digunakan untuk menggali sumber informasi dan data yang berupa teks-teks sastra, sehingga data yang tampil bukan berupa konsep-konsep secara statistik. Teknik pengumpulan data yang digunakan: teknik noninteraktif meliputi membaca data, mencatat dokumen dengan content analysis, dan riset pustaka. Data yang sudah terkumpul dianalisis dengan teknik analisis data model analisis inter aktif tiga alur kegiatan: (1) reduksi data; (2) penyajian data, dan (3) kesimpulan atau verifikasi. Hasil temuan penelitian dengan pendekatan intertekstual menunjukkan bahwa ke dua novel tersebut: (1) memiliki unsur pembangun yang padu, melalui unsur pembangun ditemukan bahwa novel Ronggeng Dukuh Paruk merupakan hipogram, sedangkan novel Sinden sebagai bentuk transformasinya, (2) unsur-unsur struktur pembangun ke dua novel memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan kedua novel: tema sosial budaya perjuangan wongcilik sebagai penari ronggeng dan sinden. Alur kedua novel menggunakan alur maju. Penokohaan menggunakan tokoh wanita muda belia yang cantik jelita, setting waktu terjadi pada tahun 1960-an gencar-gencarnya isu pergolakan politik PKI, sudut pandang atau point of view - Sedangkan, perbedaan terletak pada: penokohan, tokoh utama pada novel Ronggeng Dukuh Paruk Srintil menjadi ronggeng karena panggilan, sedangkan tokoh utama novel Sinden Tumi menjadi sinden karena cita-cita, Setting tempat pada novel Sinden menggunakan latar desa yang agak maju (dibawah pimpinan Priyayi) sebagai latar primer yaitu desa Sumberwungu, sedangkan novel Ronggeng Dukuh Paruk menggunakan latar pedukuhan terpencil, miskin, terbelakang yaitu dukuh Paruk. Setting sosial novel Ronggeng Dukuh Paruk menghadirkan sosial kemasyarkatan masyarakat pedesaan (masih satu keturunan) dengan penuh keluguan dan kesederhanaan, sedangkan setting sosial novel Sinden menghadirkan latar suasana masyarakat campuran antara wong cilik dan priyayi yang penuh keangkuhan, (3) nilai pendidikan yang terkandung di dalam kedua novel tersebut yaitu nilai pendidikan religius, nilai pendidikan sosial, nilai pendidikan budaya, dan nilai pendidikan moral. Kata kunci: novel, intertekstual, analisis konten, nilai pendidikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Suwarmo. S841108031. An Intertextual Study and Education Value of Ronggeng Dukuh Paruk Novel by Ahmad Tohari and Sinden Novel by Purwadmadi Admadipurwa . Thesis. First Counselor: Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd, Second Counselor: Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum. Indonesian Language Education Study Program, Postgraduate Program, Sebelas Maret University.
ABSTRACT
This research aims to describe and to explain: (1) the structure of Ronggeng Dukuh Paruk and Sinden novels; (2) the similarity and difference of elements constructing the intertexstual of Ronggeng Dukuh Paruk and Sinden novels; and (3) education value in Ronggeng Dukuh Paruk and Sinden novels.
This research employed a descriptive qualitative method. This method was used to explore information and data source constituting literary texts, so that the data appeared is not statistically concepts. Techniques of collecting data used were: interactive and document recording technique with content analysis, listening, reading and recording technique; and library research technique). The data collected was analyzed using technique of analyzing data with an interactive model of analysis encompassing three components: (1) data reduction; (2) data display, and (3) conclusion or verification.
The finding of research using intertextuality approach showed that the two novels and intertextual relationship form; (1) the elements constructing the novel structure included theme, plot, characterization, setting, and point of view structurally having similarity and difference, (2) the novel had similarity and difference. The themes of both novels were different. The theme of Sinden novel is the specific form of Ronggeng Dukuh Paruk novel. Ronggeng Dukuh Paruk novel presented the social culture theme involving a broader problems. Meanwhile Sinden novel presented a not-too complicated social culture theme. Botused a rather developed village (under Priyayi leadership) as the primary background, Sumberwungu village, while Ronggeng Dukuh Paruk novel used an isolated rural background, Paruk hamlet. The social setting of Ronggeng Dukuh Paruk novel presented the social condition of rural society plainness and simplicity, while novel social aspect of Sinden presented combined society of grassroots and the Priyayi replete with arrogance as setting of circumstance. (3) the education values contained in both novels were social cultural and religious education values.
Keywords: novel, intertextual, content analysis, education value.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karya sastra dipandang sebagai rekaman terhadap segala sesuatu yang
berkenaan dengan kompleksitas kehidupan. Gambaran tersebut meliputi
kehidupan sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat. Persoalan sosial budaya
kemudian menjadikan inspirasi bagi seorang sastrawan untuk di direspon dan
ditanggapinya. Persoalan-persoalan yang terjadi kemudian dituangkan dalam
sebuah karya sastra yang dikemas dan disajikan dengan penuh estetika .
Karya sastra yang dihasilkan hendaknya dapat dinikmati untuk kemudian
dimanfaatkan sebagai gambaran kehidupan baru. Hasil karya sastra merupakan
kreasi pengarang yang diilhami oleh kepekaan rasa. Untuk itu karya sastra
seharusnya mengandung dua unsur yang seimbang yaitu dulce et utile. Dulce
adalah kesenangan atau kenikmatan, dan utile adalah kegunaan atau manfaat.
Dengan demikian, dulce mengandung nilai-nilai estetika, dan utile mengandung
nilai-nilai moral. Jadi untuk sastra yang baik memuat dua hal tersebut secara
seimbang.
Karya sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh
masyarakat. Sastra menyajikan kehidupan yang tersaji dalam teks sastra sebagian
besar terdiri dari kenyataan sosial budaya. Dalam pengertian kehidupan
menyangkut hubungan masyarakat, antar individu dengan masyarakat, antar
peristiwa, dan antar manusia.
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dalam sastra Indonesia ada beberapa bentuk cipta sastra, yaitu puisi, prosa
dan drama. Karya prosa Indonesia dapat dibedakan menjadi roman, novel, dan
cerpen, ketiganya biasa disebut juga cerita rekaan atau fiksi. Dibanding karya
sastra puisi dan drama, novel mempunyai daya tarik tersendiri. Novel
menceritakan lebih bebas, detil, rinci, berisi masalah yang lebih kompleks. Novel
bernilai sastra lebih tinggi.
Daya tarik cerita inilah yang pertama-tama memotivasi orang untuk
membacanya. Hal itu disebabkan pada dasarnya bahwa setiap orang senang cerita,
apalagi yang sensasional, baik diperoleh dengan cara melihat maupun
mendengarkan. Melalui sarana cerita itu pembaca secara tak langsung dapat
belajar, merasakan dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang secara
sengaja ditawarkan pengarang. Oleh karena itu, cerita fiksi, atau kesastraan pada
umumnya, sering dianggap dapat membuat manusia menjadi lebih arif, atau dapat
dikatakan sebagai
Sebagai bahan bacaan, novel mampu menghibur pembacanya, mampu
membawa pembaca untuk mendalami bentuk kehidupan yang baru atau yang
belum pernah di alaminya. Novel memuat cerita tentang aneka ragam warna
kehidupan manusia dengan watak dan gaya hidupnya, dapat memberi wawasan
berpikir yang lebih luas kepada para pembaca. Dengan bahasa yang indah novel
memberikan suatu alur cerita kehidupan secara tuntas dan mendalam. Melalui
tema, amanat, tokoh, perwatakan dan unsur instrinsik lainnya, novel mampu
memberikan suatu ajaran atau nilai didik bagi pembacanya. Novel merupakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
gambaran dari kehidupan dan perilaku yang nyata, dari zaman pada saat novel itu
ditulis.
Untuk mampu memahami karya sastra dilakukan dengan mengkaji karya
sastra tersebut tidak hanya sekadar membaca tetapi membaca secara cermat, dan
serius. Kajian yang dimaksud adalah dalam pengertian penelaahan, penyelidikan.
Pengkajian terhadap karya fiksi berarti penelaahan, penyelidikan, atau mengkaji,
menelaah, menyelidiki karya fiksi tersebut. Untuk melakukan pengkajian terhadap
unsur-unsur pebentuk karya sastra, khususnya fiksi, pada umumnya kegiatan itu
disertai kegiatan analisis. Istilah analisis, misalnya analisis karya fiksi, dalam
pengertian menguraikan karya itu atas unsur-unsur pembentuk karya tersebut,
yaitu berupa unsur-unsur interinsik.
Novel yang hadir di hadapan pembaca, seperti telaah yang dikemukakan,
adalah sebuah totalitas. Novel dibangun dari sejumlah unsur, dan setiap unsur
saling berhubungan sehingga dapat membentuk sebuah karya yang bermakna,
hidup. Dengan kata lain tiap-tiap unsur pembangun novel akan semakin bermakna
jika ada keterkaitannya secara menyeluruh.
Hubungan intertekstual memandang bahwa tidak ada teks yang proses
penciptaannya dilakukan tanpa sama sekali berhubungan teks-teks lain. Jadi,
interteks dapat digunakan untuk menelusuri kedudukan teks dalam suatu karya
sastra. Terutama dalam studi sastra baik dalam bidang kritik sastra maupun
sejarah sastra. Hal ini penting karena untuk memperjelas makna sebagai karya
sastra, sehingga karya sastra akan mudah untuk dipahami, baik pemahaman
makna teks maupun makna, dan posisi kesejarahannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dalam mengkaji sebuah karya sastra (cerita fiksi; novel) terdapat
bermacam-macam orientasi atau pendekatan. Diantaranya adalah intertekstual.
Kritik Intertekstual ini untuk memahami makna sastra dengan melihat
hubungannya dengan karya sastra (teks) lain. Melalui pengajaran atau
mempertentangkan dua atau lebih karya sastra yang menunjukkan adanya
hubungan antarteks, makna karya sastra akan lebih dapat digali secara timbal
balik (Rachmad Djoko Pradopo, 2002: 368).
Prinsip intertekstual yang utama adalah prinsip memahami dan
memberikan makna karya sastra yang bersangkutan. Karya itu dipredeksi sebagai
reaksi, penyerapan, atau transformasi dari teks-teks lain. Intertekstual lebih dari
sekadar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana memperoleh
makna sebuah karya secara penuh dalam konstrasnya dengan karya lain yang
menjadi hipogramnya (Burhan Nurgiyantoro, 1998:54).
Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden
karya Purwadmadi Admadipurwa, merupakan dua novel yang menggambarkan
warna kehidupan sosial budaya masyarakat golongan bawah. Novel Ronggeng
Dukuh Paruk diterbitkan tahun 1982 mengisahkan tentang pergulatan penari
ronggeng yang terletak di dusun terpencil pada pedukuhan Paruk pada masa
pergolakan komunis. Di mana tanpa disadari seni ronggeng dimanfaatkan dalam
berpolitik. Begitu juga dalam novel Sinden yang mengisahkan sosok perempuan
yang ingin menjadi sinden sejati yang mumpuni dalam perjuangannya terjadi
tindak penganiayaan untuk keluarganya oleh penguasa yaitu seorang priyayi.
Dalam novel Sinden pun terjadi pemanfaatan seni-seni tradisional untuk kegiatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
politik. Selain itu Ahmad Tohari menuangkan nilai-nilai religius dalam Ronggeng
Dukuh Paruk begitu halus, kehidupan masyarakat Dukuh Paruk yang selalu taat
dan menjunjung tinggi budaya para leluhurnya, bentuk ketaatan dan keiklasan
dalam menjalankan kehidupan. Sedangkan Purwadmadi Admadipurwa dalam
novel Sinden lebih menggambarkan bentuk ketaatan dan menjunjung tinggi
tatakrama budaya menjadi sinden sejati yang telah diwariskan para leluhurnya,
mengenai hubungannya dengan Tuhan maupun hubungan dengan sesama manusia
sebagai makluk sosial.
Penulis tertarik mengkaji novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad
Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa dengan pendekatan
intertekstualitas. Pengkajian kedua novel tersebut dengan menganalisis struktur
kedua novel kemudian menemukan benang merah berupa persamaan dan
perbedaan dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel
Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa, serta mencari nilai-nilai pendidikan
yang terkandung pada kedua novel tersebut. Sehingga akan memberikan jawaban
dari permasalahan dan mempermudah dalam memahami novel Ronggeng Dukuh
Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa,
sebagai salah satu bentuk apresiasi terhadap karya sastra.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1. Bagaimanakah struktur pembangun novel Ronggeng Dukuh Paruk karya
Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa ?
2. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan unsur pembangun novel Ronggeng
Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi
Admadipurwa ?
3. Bagaimanakah nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam novel
Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya
Purwadmadi Admadipurwa ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mendeskripsikan dan menjelaskan struktur pembangun novel Ronggeng
Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi
Admadipurwa.
2. Mendeskripsikan dan menjelaskan persamaan dan perbedaan unsur
pembangun novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel
Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa.
3. Mendeskripsikan dan menjelaskan nilai-nilai pendidikan yang terkandung di
dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden
karya Purwadmadi Admadipurwa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap
teori sastra khususnya novel. Mengenai penerapan salah satu bentuk kajian
yaitu penelitian sastra yang menggunakan pendekatan intertekstual, selain itu
hasil penelitian dapat digunakan sebagai salah satu contoh kajian dalam
rangka peningkatan apresiasi sastra.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada
guru, siswa, dan peneliti lain dalam mengapresiasi novel novel Ronggeng
Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, dan novel Sinden karya Purwadmadi
Admadipurwa.
a. Bagi guru memberi gambaran di dalam membimbing siswanya
untuk menganalisis novel dengan pendekatan intertekstual.
b. Bagi siswa dapat memperoleh pengetahuan tentang nilai-nilai
pendidikan, sehingga dapat mengimplementasikan dalam kehidupan
sehari-hari.
c. Bagi peneliti lain untuk memberi gambaran dalam mengapresiasi
karya sastra dengan pendekatan intertekstual.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Hakikat Novel
Istilah novel berasal dari bahasa Italia novell (yang dalam bahasa
Jerman : novella). Secara harafiah novella
novella, dan novelle mengandung pengertian sama dengan istilah Indonesia
novelette (Inggris : novelette), yang berarti sebuah karya sastra berbentuk
prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, dan juga tidak
terlalu pendek, Burhan Nurgiyantoro (1998 : 9-10).
the American college dictionary
adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang yang tertentu, yang
melukiskan paratokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang
representative dalam suatu alur atau keadaan yang agak kacau atau kusut
(1960: 830).
Dalam
adalah suatu cerita dengan suatu alur, cukup panjang mengisi satu buku atau
lebih, yang menggarap kehidupan pria, dan wanita yang bersifat imajinatif
(1960: 853).
Novel adalah gambaran dari kehidupan, dan perilaku yang nyata, dari
zaman pada saat novel itu ditulis (The novel is a picture of real life and
8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
manners, and of the time in which it is written), (dalam Rene Wellek dan
Austin Warren: 282).
Virginia Wolf mengatakan bahwa sebuah roman atau novel adalah
terutama sekali sebuah eksplorasi atau suatu kronik penghidupan;
merenungkan, dan melukiskan dalam bentuk yang tertentu pengaruh, ikatan,
hasil, kehancuran atau tercapainya gerak-gerik manusia Lubis (dalam Henry
Guntur Tarigan,1984: 164)
Herman J. Waluyo (2009:1), sependapat dengan Abrams, dijelaskan
bahwa :
fiction
yang sebenarnya tidak ada. Cerita-cerita sastra, seperti roman, novel,
dan cerita pendek diklasifikasikan sebagai prosa fiksi, sedangkan
prosa yang bukan karya sastra yang merupakan deskripsi dari
kenyataan yang dinyatakan sebagai prosa non-fiksi, misalnya :
biografi, catatan harian, laporan kegiatan, dan sebagainya yang
merupakan karya sastra yang bukan hasil imajinasi.
Selanjutnya, Nugraheni Eko Wardani (2009 : 13) menjelaskan bahwa
kedudukan prosa dengan istilah fiksi dari beberapa pendapat ahli sastra
sebagai berikut :
Ahli sastra sering menyebut prosa dengan istilah fiksi, teks naratif,
atau wacana naratif. Istilah fiksi dipergunakan untuk menyebut karya
naratif yang isinya perpaduan antara kenyataan dan imajinasi. Tidak
semua fiksi sepenuhnya khayalan. Dunia fiksi berada di samping
dunia realitas. Pengarang dalam menciptakan karyanya selalu
menghubungkan tokoh-tokoh, latar, dan peristiwa seperti yang ada
dalam dunia nyata.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pada dasarnya pengertian Novel secara etimologis berasal dari
novellus
bentuk karya sastra cerita fiksi yang paling baru (Herman J. Waluyo, 2011:5).
Abrams menjelaskan tentang pengertian novel sebagai barikut :
The novel is characterized as the fictional attempt to give the effect
of tealism, by representing complex characters with mixes motives
who are rooted in a social class, operate in a highly developed
social structur, interact with many other characters, and undergo
plausible, and everyday modes of the experience, (1971 : 112).
Menurut pendapat Abrams novel adalah fiksi dengan ciri sebagai
usaha untuk memberikan effect dari tealism, dengan mewakili karakter yang
kompleks dengan mencampur motif yang berakar dengan kelas sosial,
berkembang struktur sosial, berinteraksi dengan banyak karakter lain, dan
menjalani mode masuk akal, dan sehari-hari dari pengalaman, (1971 : 112).
Novel merupakan salah satu jenis fiksi, dalam perkembangannya
novel dianggap relefan dengan prosa fiksi, sehingga pengertian fiksi berlaku
untuk novel. Dalam novel disajikan sebuah dunia khayal yang dibangun
melalui cerita, tokoh, peristiwa, dan latar yang semua bersifat imajinasi
(Burhan Nurgiyantoro , 1998:163)
Novel adalah cerita rekaan yang berisi tentang aspek problematika
kehidupan manusia yang lebih kompleks, serta merupakan kesatuan dinamis
yang bermakna. Kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri atas kenyataan
sosial budaya dan juga ada yang meniru subjektivitas manusia (Wijaya Heru
Santoso, 2010: 47).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Sementara itu, Wellek dan Warren, (dalam Wijaya Heru Santoso,
2010: 47) berpendapat novel menyajikan kehidupan itu sendiri. Sebagian
besar terdiri atas kenyataan sosial, walaupun karya sastra meniru alam, dan
kehidupan subjektivitas manusia.
Pendapat lain tentang novel dari Jakob Sumarjo (1981: 12)
mengatakan bahwa novel adalah produk masyarakat. Novel berada di
masyarakat karena novel dibentuk oleh anggota masyarakat berdasarkan
desakan-desakan emosional atau rasional yang berada dalam masyarakat
tersebut. Faruk (1999: 29) mengatakan bahwa novel adalah sebuah cerita
tentang pencarian yang tergradasi akan nilai-nilai yang otentik yang
dilakukan oleh seorang hero yang problematic dalam dunia yang terdegradasi
( Wijaya Heru Santoso, 2010: 47).
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pengertian novel adalah cerita rekaan berisi tentang
aspek problematika kehidupan manusia yang lebih kompleks (yang dibangun
melalui beberapa unsur intrinsiknya seperti: tema, plot, tokoh dan penokohan,
latar, sudut pandang, dan lain-lain).
2. Hakikat Cerita Fiksi
Istilah fiksi (fiction), dalam pengertian novel berarti cerita rekaan
(disingkat : cerkan) atau cerita khayalan. Hal ini disebabkan fiksi merupakan
karya naratif yang isinya tidak merujuk pada kebenaran sejarah (Abrams
dalam Burhan Nurgiyantoro, 1998 : 2). Kata fiksi merujuk pada suatu karya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak
ada, dan terjadi dengan sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari
kebenarannya pada dunia nyata.
Memang tidak semua karya sastra bersifat fiksi. Dalam dunia
kesastraan ada suatu bentuk karya sastra yang mendasarkan diri pada fakta
(penceritaan tentang peristiwa yang pernah terjadi). Misalnya, jika dasar
penulisan berdasarkan fakta sejarah maka disebut sebagai fiksi historis
(historical fiction), jika dasar penulisannya berupa fakta biografis disebut
fiksi biografis (biographical fiction), jika dasar penulisannya berupa fakta
ilmu pengetahuan maka disebut fiksi sains (science fiction). Ketiga contoh
fiksi tersebut disebut fiksi nonfiksi (nonfiction fiction) (Burhan Nurgiyantoro
dalam Ni Nyoman Karmini, 2000: 12).
Namun, cerita fiksi walau berupa khayalan, tidak benar jika dianggap
sebagai hasil lamunan belaka, melainkan penghayatan, dan perenungan secara
intens, perenungan terhadap hakikat hidup, dan kehidupan, perenungan yang
dilakuakn dengan penuh kesadaran, dan tanggung jawab. Fiksi merupakan
karya imajinatif yang dilandasi kesadaran, dan tanggung jawab dari segi
kreativitas sebagai karya seni.
Oleh karena itu, bagaimanapun, fiksi merupakan sebuah cerita, dan
terkadang juga terdapat di dalamnya tujuan untuk memberikan hiburan
kepada pembaca di samping adanya estetik. Membaca sebuah karya fiksi
berarti menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Selanjutnya Cleanth Brooks menyatakan bahwa fiksi adalah suatu
istilah yang dipergunakan untuk membedakan uraian yang tidak bersifat
historis dari uraian yang bersifat historis, dengan penunjukan khusus pada
sastra.( dalam Henry Guntur Tarigan;1984.120)
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, fiksi adalah sebuah cerita
yang bersifat rekaan, khayalan, imajinatif yang dilandasi kesadaran dan
tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya seni.
3. Pendekatan Kajian Sastra
Banyak teori-teori kajian tentang sastra yang digunakan untuk
menelaah novel. Namun dalam uraian di bawah ini disampaikan beberapa
pendekatan kajian sastra. Hal ini dikandung maksud untuk mengetahui asumsi
karya sastra sesuai dengan pendekatan yang akan digunakan untuk mengkaji
karya sastra.
a. Pendekatan Struktural
Dalam hal orientasi sastra ada bermacam-macam orientasi atau
pendekatan terhadap karya sastra. Menurut Abrams ( Rachmat Djoko
Pradopo, 2009: 162-166) mengemukakan bahwa bermacam-macam
pendekatan itu dapat disimpulkan menjadi empat tipe berdasarkan
keseluruhan situasi karya sastra; alam (universe), pembaca, pengarang
(artist), dan karya sastra, yaitu pendekatan mimetik menganggap bahwa
karya sastra itu merupakan tiruan dari alam atau kehidupan atau dunia ide;
pendekatan ekspresif berpendapat karya sastra itu merupakan ekspresi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perasaan, pikiran,dan pengalaman pengarang; pendekatan pragmatik
menganggap bahwa karya sastra sebagai alat untuk mencapai tujuan
tertentu bagi pembaca; dan pendekatan obyektif berpendapat karya sastra
itu sebagai sesuatu yang otonom, yang berdiri sendiri, sesuatu yang
mencukupi dirinya. Dari keempat pendekatan tersebut mengalami
pembaharuan teori-teorinya.
Dari teori tersebut, teori obyektif atau struktural lebih populer.
Dengan tampilnya para kritikus baru (New Critics), aliran Chicago
(Chicago School), dan kaum formalis Eropa. Sudah dikemukakan di
depan bahwa kritik obyektif memusatkan perhatiannya pada karya sastra
itu sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Karena berdasarkan kenyataannya
yang dihadapi oleh para kritikus yaitu karya sastra itu sendiri. Pada
hakekatnya teks sastra itu sendirilah yang penting, yaitu mengenai
struktur intrinsik karya sastra. yang penting dalam penelitian sastra.
Dengan menganggap karya sastra (teks sastra) sebagai sesuatu
yang otonom, yang mencukupi dirinya, maka dalam kritik sastra yang
dipentingkan adalah menganalisis struktur intrinsik-intrinsiknya,
menganalisis kompleksitas karya sastra, menganalisis bentuk formal,
karya sastra, fenomena-fenomena kaarya sastra.
Banyak teori-teori yang membahas tentang unsur-unsur
pembangun dalam cerita fiksi. Unsur-unsur pembangun tersebut menurut
(Herman J,. Waluyo, 2011: 6) meliputi; tema cerita, plot atau kerangka
cerita, penokohan, dan perwatakan, setting atau tempat kejadian cerita atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
disebut juga latar, sudut pandang pengarang atau point of view, latar
belakang atau back ground, dialog atau percakapan, gaya bahasa/gaya
bercerita, waktu cerita, dan waktu penceritaan dan amanat.
Pendapat lain, (Burhan Nurgiyantoro, 1998:23) Novel merupakan
sebuah totalitas suatu keseluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah
totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur yang saling
berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan..
Kata inilah yang menyebabkan novel, juga sastra pada umumnya, menjadi
berwujud. Namun, secara garis besar berbagai macam unsur tersebut
secara tradisional dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, walau
pembagian itu tidak benar-benar pilah. Pembagian unsur yang dimaksud
adalah unsur intrinsik dan unsur exstrinsik.
Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun
karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra
hadir sebagai karya sastra, unsur yang secara faktual akan dijumpai jika
orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-
unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Unsur yang
dimaksud adalah peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut
pandang penceritaan dan lain-lain.
Unsur ektrinsik (extrinsic) adalah unsur-unsur yang berada di luar
karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau
system organisme karya sastra. Unsur yang dimaksud diantaranya adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pandangan hidup, keyakinan, sikap, pendidikkan, ekonomi, politik,
socsial, dan lain sebagainya.
William Kenney (1966: 8-10) menyebutkan terdapat enam unsur
pembangun struktur cerita rekaan, yaitu: (1) plot; (2) character; (3)
setting; (4) point of view; (5) style and tone; (6) tema.
Pendapat lain dari Jakob Sumardjo (1984: 54) menyebutkan ada
tujuh unsur-unsur fiksi yaitu : (1) plot (alur cerita); (2) karakter
(perwatakan); (3) tema (pokok pembicaraan); (4) setting (tempat
terjadinya cerita); (5) suasana cerita; (6) gaya cerita; (7) sudut pandang
cerita.
Herman J.Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani (2008:10)
membagi unsur-unsur prosa fiksi terdiri dari : tema cerita, plot atau
kerangka cerita, penokohan dan perwatakan, setting atau tempat cerita atau
latar, sudut pandang pengarang atau point of view, latar belakang atau
back-ground, dialog atau percakapan, gaya bahasa atau gaya cerita, waktu
cerita dan waktu penceritaan, serta amanat.
Unsur pembangun novel dibagi menjadi dua yaitu unsur intrinsik
dan ekstrinsik. Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang
membangun karya sastra itu sendiri. Unsur intrinsik antara lain: peristiwa,
cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, dan
bahasa. Unsur ektrinsik (extrinsic) adalah unsur-unsur yang berada di luar
karya sastra, namun secara tidak langsung masih mempengaruhi bangunan
karya sastra itu sendiri. Unsur ektrinsik anatara lain: subyektivitas keadaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
individu pengarang seperti, keyakinan, pendidikan, pandangan hidup,
ekonomi, politik, sosial budaya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan unsur-unsur cerita
pembangun novel terdiri dari :
1) Tema
Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang
melatar belakangi ciptaan karya sastra. Karena sastra merupakan
refleksi kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan dalam
karya sastra sangat beragram. Tema bisa berupa persoalan moral, etika,
agama, sosial budaya, teknologi, tradisi yang terkait erat dengan
masalah kehidupan.( Zainuddin Fananie. 2002: 84).
Tema Brooks dan Warren ( Henry Guntur Tarigan,1984: 125)
adalah dasar atau makna suatu cerita atau novel, Sedangkan Brooks,
Purser, dan Werren dalam bukunya yang lain mengatakan tema adalah
pandangan hidup yang tertentu atau perasaan tertentu mengenai
kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau
membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra (Brooks,
1952: 820)
Menurut Herman J. Waluyo, (2011: 8 ) tema adalah gagasan
pokok dalam cerita fiksi. Untuk dapat mengetahui tema cerita mungkin
dapat diketahui denga membaca judul atau petunjuk setelah judul,
namun yang banyak melalui membaca karya sastra beberapa kali.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Untuk membedakan tema dengan amanat cerita agar tidak rancu,
maka dapat dinyatakan bahwa tema bersifat objektif, lugas, dan
khusus, sedangkan amanat cerita bersifat subjektif, kias, dan umum.
Objektif artinya semua pembaca cerita diharapkan mampu
menafsirkan tema suatu cerita dengan tafsiran sama. Sedangkan untuk
amanat dapat ditafsirkan secara berbeda-beda oleh pembaca.
Tema cerita dapat diklasifikasikan lima jenis, yaitu; (1) tema
yang bersifat fisik; (2) tema organik; (3) tema sosial; (4) tema egoik
(reaksi pribadi); (5) tema divine (ketuhanan). Lebih lanjut, diterangkan
bahwa tema bersifat fisik adalah tema yang berhubungan dengan inti
cerita yang bersangkut paut dengan kebutuhan fisik manusia, misalnya
tentang cinta, mencari nafkah dan lain-lain. Tema yang bersifat organik
atau moral, menyangkut soal hubungan antar manusia, misalnya
penipuan, problem keluarga dan lain-lain. Tema yang bersifat sosial
berhubungan dengan problema kemasyarakatan. Tema yang bersifat
egoik atau reaksi individual adalah tema yang berhubungan dengan
protes pribadi kepada ketidakadilan, kekuasaan yang berlebihan, dan
pertentangan individu. Sedang tema yang bersifat divine (ketuhanan)
adalah renungan yang bersifat religius antara manusia dengan Sang
Kholik (Herman J.Waluyo, 2011: 8).
Menurut Stanton dan Kenny ( Burhan Nurgiyantoro, 1998:67)
tema (theme) adalah makna yang terkandung dalam sebuah cerita.
Tema bersinonim dengan ide utama (Central Idea) dan tujuan utama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(Central Purpose). Oleh karena itu tema dapat dipandang sebagai dasar
cerita, gagasan dasar dalam sebuah karya novel.
Pengertian tersebut diperjelas dengan pendapat Hartoko dan
Rahmanto ( Burhan Nurgiyantoro, 1998: 68) tema merupakan gagasan
dasar umum yang menopang sebuah karya sastra, dan yang terkandung
dalam teks sebagai struktur semantik yang menyangkut persamaan-
persamaan atau perbedaan-perbedaan. Tema disaring dari motif-motif
yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan
hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik dan situasi tertentu.
Pendapat lain dari Sumino A. Sayuti (2000:97) menyatakan
bahwa tema adalah makna cerita, gagasan sentral, atau dasar cerita.
Pendapat yang hampir sama diungkapkan oleh Panuti Sudjiman
(1988:51) menyatakan bahwa tema adalah gagasan yang mendasari
karya sastra. Wiyatmi (2006:42) memberikan definisi tema adalah
makna cerita. Dalam tema terkandung sikap pengarang terhadap subjek
atau pokok cerita.
Dapat simpulkan bahwa tema adalah ide, gagasan pokok,
kerangka yang menjadi dasar penceritaan sebuah karya sastra.
2) Alur atau Plot
Abrams ( Burhan Nurgiyantoro, 1998: 113) plot adalah sebuah
karya fiksi berupa struktur peristiwa-peristiwa, yaitu sebagaimana
yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa
untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu. Dijelaskan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pula oleh Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1998: 113)
mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan
dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang
menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan sebab akibat.
Alur atau plot adalah struktur gerak yang terdapat dalam fiksi
atau drama Brooks (dalam Henry Guntur Tarigan, 1984: 126).istilah
lain yang sama artinya dengan alur atau plot ini adalah trap atau
(dramatic conflict). Pada prinsipnya , cerita fiksi harus bergerak dari
satu permulaan (beginning) melalui suatu pertengahan (middle)
menuju suatu akhir (ending) yang dalam dunia sastra lebih dikenal
sebagai eksposisi, komplikasi, dan resolusi( atau denoument).
Eksposisi adalah proses penggarapan atau memperkenalkan informasi
penting kepada para pembaca (Brooks dan Warren, 1959:684).
Komplikasi adalah antar lakon, antar tokoh dan kejadian yang
membangun atau menumbuhkan suatu ketegangan serta
mengembangkan suatu masalah yang muncul dalam situasi yang
orisinal yang disajikan dalam cerita itu (Brooks dan Warren,
1959:682). Resolusi adalah bagian akhir suatu fiksi. Disinilah sang
pengarang memberikan pemecahan masalah dari semua peristiwa
yang terjadi (Brooks dan Warren, 1959:683) Klimaks adalah puncak
tertinggi dalam serangkaian puncak tempat kekuatan-kekuatan dalam
konplik mencapai intensifikasi yang tertinggi (Brooks dan Warren,
1959:682)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Sejalan dengan pendapat Herman J. Waluyo (2011: 9) alur atau
plot sering juga disebut kerangka cerita, yaitu jalinan cerita yang
disusun dalam urutan waktu yang menunjukkan hubungan sebab dan
akibat memiliki kemungkinan pembaca menebak-nebak peristiwa
yang akan terjadi di kemudian.
Lukman Ali (1978: 120) menyatakan bahwa plot adalah
merupakan sambung-sinambungnya peristiwa berdasarkan hubungan
sebab akibat dan menjelaskan mengapa sesuatu terjadi. Rene Wellek
(1968: 217) menyatakan bahwa plot merupakan struktur penceritaan.
E.M. Foster dalam Herman J. Waluyo (2011: 9) memberi
pengertian plot dengan bahasa Inggris sebagai berikut;
narrative of events, the emphasis falling on causality,
Di dalam sebuah plot (alur
cerita) terdapat hubungan sebab-akibat dari suatu urutan cerita yang
dapat mengembangkan konplik ccerita. Dalam plot itu ada
serangkaian peristiwa.
Plot merupakan unsur cerita fiksi yang penting karena
merupakan unsur linearitas struktur penyajian peristiwa dalam cerita.
Plot atau alur menurut Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko
Wardani (2008:14) jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu
yang menunjukkan hubungan sebab akibat, dan memiliki
kemungkinan agar para pembaca memiliki rasa ingintahu peristiwa
yang akan datang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-
tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh
para pelaku dalam suatu cerita (Aminudin, 1987:83).
Dijelaskan bahwa pada prinsipnya alur cerita terdiri dari tiga
bagian, yaitu : (1) alur awal, terdiri dari paparan (eksposisi),
rangsangan (inciting moment), dan penggawatan (rising action); (2)
alur tengah, terdiri atas pertikaian (conflict), perumitan (complication),
dan klimaks atau puncak penggawatan (climax); (3) alur akhir, terdiri
dari peleraian (falling action), dan penyelesaian (denouement). Alur
cerita tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Climax
Complication
Conflict Falling action
Rising action
Inciting moment
Exposition denouement
Gambar 1 : Plot Prosa Fiksi (Adelstein & Pival dalam Herman J. Waluyo, 2009 :19)
Exsposition atau eksposisi paparan awal cerita. Pengarang
mulai memmperkenalkan tempat kejadian, waktu, topik, dan tokoh-
tokoh cerita. Inciting moment adalah peristiwa mulai terjadinya
problem-problem yang ditampilkan pengarang kemudian ditingkatkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mengarah pada peningkatan problem. Rising action adalah
peningkatan adanya permasalahan yang dapat meningkatkan konflik.
Complication adalah konflik yang terjadi semakin genting.
Permasalahan sebagai sumber konflik sudah saling berhadapan.
Climax adalah puncak dari terjadinya konflik cerita yang berasal dari
peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya. Falling action adalah
peredaan konflik cerita. Denouement adalah penyelesaian yang
dipaparkan oleh pengarang dalam mengakiri penyelesaian konflik
yang terjadi.
Pada prinsipnya, ada tiga jenis alur, yaitu (1) alur garis lurus
flash back
atau sorot balik, atau alur regresif, (3) alur campuran, yaitu pemakaian
alur garis lurus dan flash back sekaligus di dalam cerita fiksi.
Lebih lanjut dijelaskan, alur garis lurus atau alur konvensional
yaitu alur yang urutan peristiwa berurutan dari awal hingga akhir.
Alur atau plot sorot balik (flash-back) alur dalam cerita dimulai
dengan bagian akhir dari cerita tersebut, misalnya terdapat pada novel
Atheis karya Achdiat Kartamiharja. Plot campuran yaitu gabungan
antara alur garis lurus, dan sorot balik terdapat pada novel Umar
Kayam, Para Priyayi, dan Saman (Ayu Utami).
Alfred N. Friedman (Herman J. Waluyo, 2011: 9)
menyebutkan tiga jenis plot, yaitu; (1) plot peruntungan; (2) plot
penokohan; dan (3) plot pemikiran. Disebut alur peruntungan jika plot
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
tersebut memaparkan kesedihan, sifat sinis, penghukuman, sifat
sentimental, atau kekaguman. Dinyatakan sebagai alur penokohan jika
menunjukkan perkembangan watak tokoh-tokohnya, perbaikan nasib
hidupnya, atau kedewasaan. Dikatakan sebagai alur pemikiran jika
menunjukkan peristiwa membuka rahasia atau perkembangan
pemikiran tokoh-tokohnya.
Kenney ( Herman J. Waluyo, 2011: 15) menyebutkan law of
plot yang berupa plausibility, surprise, suspense, unity, subplot, dan
ekspresi. Plausibility (kebolehjadian) artinya bahwa rangkaian cerita
itu bukan hanya khayalan belaka, namun mungkin bisa terjadi di
dalam dunia nyata ini. Walaupun fiksi sebuah cerita khayalan, tetapi
rangkaian cerita itu seperti betul-betul hidup, dan hadir di hadapan
pembaca. Surprise (kejutan) artinya pembaca tidak akan dapat
mengira-irakan bagaimana rangkaian cerita itu terjadi. Para pembaca
harus mendapat kejutan dari apa yang dibaca, sehingga senantiasa
akan mengikuti jalan cerita selanjutnya. Suspense yaitu daya tarik
yang diberikan pengarang kepada pembaca sehingga selalu tertarik
untuk mengikuti jalan cerita berikutnya. Unity (kesatuan) artinya
rangkaian yang disusun harus membentuk satu kesatuan yang terpadu.
Subplot secara erat berhubungan dengan plot induknya, sehingga
subplot merupakan bagian cerita sebagai penjelas. Ekspresi yaitu
rangkaian kejadian dalam cerita haruslah diekspresikan dengan baik
sehingga bermakna dalam cerita.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dapat ditarik kesimpulan dari pendapat-pendapat tersebut
bahwa yang dimaksud dengan alur atau plot adalah rangkaian
peristiwa-peristiwa yang saling terkait dan dihubungkan secara sebab-
akibat yang terlukis dalam cerita karya sastra.
3) Tokoh dan penokohan
(a) Tokoh
Tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah cerita, novel
atau cerita fiksi. Burhan Nurgiyantoro (1998: 165) menggunakan
istilah tokoh untuk menunjuk pada orangnya, pelaku cerita,
sedangkan watak, perwatakan, dan karakter menunjuk sifat dan
sikap para tokoh yang ditafsirkan para pembaca.
Bedasarkan peran dalam sebuah cerita tokoh dapat terbagi
menjadi dua, yaitu protagonis dan antagonis, Tokoh Sentral,
Andalan, dan Bawahan (Herman J.Waluyo dan Nugraheni Eko
Wardani, 2008:28). Tokoh protagonis adalah tokoh yang
mendukung jalannya cerita yang mendatangkan rasa simpati atau
baik. Tokoh antagonis merupakan kebalikan dari tokoh protagonis
yang menentang alur cerita yang menimbulkan perasaan benci
pada si pembaca. Tokoh sentral yaitu tokoh yang dipentingkan atau
ditonjolkan yang menjadi pusat penceritaan, misalnya tokoh
protagonis, dan antagonis yang biasa mendominasi keseluruhan
cerita. Tokoh bawahan merupakan kebalikan dari tokoh sentral.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Sedangkan tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang dapat
diandalkan.
Klasifikasi tokoh lain dikemukakan oleh Shanon Ahmad
(1979: 66) membagi jenis tokoh atau watak menjadi dua, yaitu:
tokoh atau watak bulat (round character), dan tokoh atau watak
pipih (flat character). Tokoh bulat tokoh yang berwatak unik,
bukan watak hitam atau putih. Watak dari tokoh jenis ini tidak
mudah diketahuinya karena penggambarannya tidak sederhana.
Sedangkan watak pipih adalah tokoh yang wataknya sederhana,
dalam penggambaran watak hitam atau putih dapat dihayati secara
sederhana.
Abrams sebagaimana dikutip Burhan Nurgiantoro
(1998:165) memberikan difinisi tokoh adalah orang yang
ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh
pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan cenderung
tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan, dan apa yang
dilakukan dalam suatu tindakan.
Dapat diambil kesimpulan yang disebut dengan tokoh
adalah: pelaku dalam cerita yang menjalani peristiwa berdasarkan
perannya.
(b) Penokohan
Penokohan dalam cerita rekaan tidak dapat dilepaskan
hubungannya dengan tokoh. Istilah tokoh menunjukan pada pelaku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dalam cerita, sedangkan penokohan menunjukkan pada sifat,
watak atau karakter yang melengkapi dari tokoh tersebut.
Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang
seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Burhan
Nurgiantoro, 1998:165).
Ada beberapa cara pengarang untuk menggambarkan watak
tokoh-tokohnya, antaralain: (1) penggambaran secara langsung;
(2)secara langsung dengan diperindah; (3)melalui pernyataan oleh
tokohnya sendiri; (4) melalui dramatisasi; (5) melalui pelukisan
terhadap keadaan sekitar pelaku; (6) melalui analisis psikis pelaku;
dan(7) melalui dialog pelaku-pelakunya (Herman J. Waluyo dan
Nugraheni Eko Wardani, 2008:32).
Pendapat selanjutnya, Herman J.Waluyo, (2011: 21) dalam
menggambarkan watak tokoh, pengarang mempertimbangkan tiga
dimensi watak, yaitu dimensi psikis (kejiwaan), dimensi fisik
(jasmaniah), dan dimensi sosiologis (latar belakang kekayaan,
pangkat, dan jabatan). Watak psikis merupakan faktor utama
dalam penggambaran watak atau temperamen tokoh, apakah tokoh
dalam cerita tersebut baik hati, penyabar, murah hati, dermawan,
pemaaf, ataukah sebaliknya ia pemberang, pendendam, pemarah,
sombong, pendengki dan sebagainya. Watak dari segi fisiologis
atau keadaan fisik tokoh tersebut, dapat dikaitkan dengan umur, ciri
fisik, penyakit, keadaan diri dan sebagainya. Watak dari segi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
sosiologis, melukiskan suku, jenis kelamin, kekayaan, kelas sosial,
pangkat atau kedudukan, dan profesi atau pekerjaan. Dari ketiga
dimensi watak tersebut dapat dilukiskan dengan cerita (deskripsi
dan narasi) atau dapat juga diperhidup melalui dialog, tindak-
tanduk, dan tingkah laku.
Dengan demikian dapat disimpulkan yang disebut
penokohan adalah gambaran perilaku yang ditunjukkan oleh sikap,
watak, karakter seseorang dalam cerita.
4) Latar atau Setting
Latar atau setting disebut juga landas tumpu, menunjuk pada
pengertian suatu tempat yang berhubungan dengan waktu dan
lingkungan sosial terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakaan
Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro ( 1998: 216).
Latar atau setting adalah latar di mana cerita itu berlangsung dan
terjadi. Setting bisa meliputi tempat, waktu, dan suasana. Latar cerita
berkaitan dengan waktu dan tempat penceritaan. Waktu dapat berarti
siang dan malam, tanggal, bulan, dan tahun. Tempat dapat berarti di
dalam atau di luar rumah, di desa atau di kota, dapat juga di kota mana,
di negeri mana, dan sebagainya. Sementara sosial adalah menunjuk
pada hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat
yang terdapat pada suatu tempat yang diceritakan dalam cerita fiksi.
Seting dimaksudkan untuk mengidentifikasi situasi yang
tergambar dalam cerita, keberadaan elemen seting bukan hanya sekedar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
menyatakan di mana, kapan, dan bagaimana situasi peristiwa
berlangsung, melainkan juga dengan gambaran tradisi, karakter,
perilaku sosial, danj pandangan masyarakat pada waktu cerita ditulis (
Zainuddin Fananie, 2002: 98).
Menurut Hudson (1965: 18) setting juga dikaitkan dengan
keseluruhan lingkungan cerita yang meliputi adat istiadat, kebiasaan,
dan pandangan hidup tokoh. Seting terbagi jadi dua setting material
adalah lingkungannalam, sedangkan yang lain setting sosial.
Fungsi setting adalah sebagai berikut : (1) untuk mempertegas
watak pelaku; (2) memberikan tekanan pada tema cerita; (3)
memperjelas tema yang disampaikan; (4) metafora baga psikis pelaku;
(5) sebagai pemberi atmosfir (kesan); (6) memperkuat posisi plot.
Burhan Nurgiyantoro (1998: 216) menyatakan bahwa latar
adalah segala keterangan petunjuk, pengacauan yang berkaitan dengan
waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita.
Unsur latar menurut Burhan Nurgiyantoro (1998: 227)
dibedakan menjadi tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu dan sosial.
Ketiga unsur tersebut meskipun menawarkan permasalahan yang
berbeda-beda dan dapat dibicarakan secara sendiri-sendiri, pada
kenyataannya salingberkaitan dan salingdapat mempengaruhi. Ketiga
unsur tersebut antara lain:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(a) Latar Tempat
Latar tempat yaitu lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam cerita fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan
berupa tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, atau lokasi
tertentu tanpa nama yang jelas. Tempat-tempat yang bernama
adalah tempat-tempat yang dijumpai dalam dunia nyata, misalnya
Yogyakarta, Magelang, Juranggede dan lain-lain. Sedang untuk
tempat-tempat yang menggunakan inisial tertentu, biasanya
digunakan huruf awal (kapital) nama suatu tempat sehingga
pembaca harus memperkirakan sendiri, misalnya kota M, S, T dan
desa B, dan lain-lain. Sedangkan latar tempat tanpa nama jelas
biasanya berupa penyebutan jenis dan sifat secara umum tempat
yang dimaksud, misalnya jalan, sungai, hutan, desa, gunung dan
sebagainya.
Penggunakan latar tempat dengan nama-nama tertentu
seharusnya tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis
tempat yang bersangkutan ( Burhan Nurgiyantoro, 1998: 227).
(b) Latar Waktu
terjadinya peristiwa yang dihubungkan dengan cerita tersebut.
asanya dihubungkan dengan waktu faktual,
dapat meliputi tahun, bulan, hari, tanggal, jam, atau saat yang ada
kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Masalah waktu dalam sebuah karya naratif, menurut
Genetto dapat bermakna ganda: disatu pihak menunjuk pada waktu
penceritaan, penulisan cerita, dan dipihak lain menunjuk pada
waktu yang dikisahkan dalam cerita.
Latar waktu dalam cerita fiksi dapat menjadi dominan dan
fungsional jika digarap secara teliti, terutama jika dihubungkan
dengan waktu sejarah. Pengangkatan unsur sejarah ke dalam karya
fiksi akan menyebabkan waktu yang diceritakan menjadi bersifat
khas, tipikal, dan dapat menjadi sangat fungsional, sehingga tak
dapat diganti dengan waktu yang lain tanpa mempengaruhi
perkembangan cerita (Burhan Nurgiyantoro, 1998: 230).
(c) Latar Sosial
Latar sosial menunjuk pada hal-hal yang berhubungan
dengan kehidupan sosial masyarakat yang terdapat pada suatu
tempat yang diceritakan dalam cerita fiksi. Tata kehidupan sosial
masyarakat meliputi beberapa masalah dalam lingkup yang amat
kompleks. Dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi,
keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain
sebagainya. Disamping itu, latar sosial juga berhubungan dengan
status tokoh yang bersangkutan.
Latar sosial dapat meyakinkan untuk menggambarkan
suasana kedaerahan, warna tempat daerah tertentu melalui
kehidupan sosial masyarakat. Namun bila hanya dilukiskan melalui
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kata saja tanpa didukung oleh tingkah laku, dan sikap tokoh,
belum merupakan jaminan untuk karya sastra yang bersangkutan
menjadi dominan latar sosialnya (Burhan Nurgiyantoro,1998:
233).
Dapat diambil kesimpulkan bahwa latar merupakan suatu
tempat terjadinya peristiwa yang berkaitan dengan waktu, tempat,
dan suasana dalam cerita.
5) Sudut Pandang Pengarang (point of view)
Herman J.Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani (2008: 37)
menjelaskan sudut pandang pengarang atau point of view adalah teknik
yang digunakan oleh pengarang untuk berperan dalam sebuah cerita.
Apakah sebagai orang pertama (juru cerita) ataukah sebagai orang
ketiga (menyebut pelaku sebagai dia). Yang pertama dikatakan sebagai
bergaya akuan, sedangkan yang kedua dinyatakan sebagai gaya diaan.
Lebih lanjut Burhan Nurgiyantoro(1998: 256-257) pembedaan
sudut pandang yang telah umum dilakukan orang, yaitu bentuk person
tokoh cerita: person pertama dan person ketiga.
berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita denga
menyebut nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh
cerita, khususnya yang utama, kerap atau terus menerus disebut, dan
sebagai variasi digunakan kata ganti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mengisahkan kesadarannya dirinya sendiri, self consciousness,
mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar,
dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain
kepada pembaca.
Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro,1998:248) menjelaskan
bahwa sudut pandang merupakan penunjuk pengertian pada cara sebuah
cerita dikisahkan. Merupakan cara dan atau pandangan yang
dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh,
tindakan, latar, dan berbagai yang membentuk cerita dalam karya fiksi
kepada pembaca.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan
bahwa sudut pandang pengarang adalah cara pandang pengarang atau
keterlibatan pengarang yang digunakan untuk menyajikan tokoh,
perwatakan, latar dan berbagai rangkaian peristiwa suatu cerita dalam
karya fiksi. Sudut pandang digunakan pengarang untuk menyampaikan
strategi, teknik, siasat untuk menyampaikan gagasan cerita.
b. Pendekatan Intertekstual
Pendekatan intertekstual muncul pada awal 1960. Mengenai
pemunculan pendekatan tersebut Juvan, Marco (2008: 1) menjelaskan
bahwa kajian intertekstual yang muncul tahun 1960 itu ketika masa
peralihan modern ke postmodern. Ketika itu konsep intertektual
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
menjadi dipertimbangkan. An explicit theory of intertextuality arose in
the late 1960s during a crisis in the arts and sciences When
transitioning from the modern to the postmodern; however, when
considering the history of the Idea that a text is but a mosaic of
citations, we may adduce older concepts, especially those that had
almost as wide currency in literary studies. (Juvan, Marco, 2008: 1)
Karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya, termasuk
sastra. Karya sastra itu termasuk response (Teeuw, 1983) pada karya
sastra yang terbit sebelumnya. Oleh sebab itu sebuah teks tidak dapat
dilepaskan sama sekali dari teks lain. Sebuah karya sastra baru
mendapatkan maknanya yang hakiki dalam kontrasnya dengan karya
sebelumnya ( Retno Winarni, 2009: 134).
Menurut Teeuw (1984: 145-146) setiap teks sastra dibaca dan
harus dibaca dengan latar teks-teks lain. Tidak ada sebuah teks pun
yang sunguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaannya dan
pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain
sebagai contoh, teladan, kerangka, tidak dalam arti bahwa teks baru
hanya meneladani teks lain atau mematuhi kerangka yang telah
diberikan terlebih dahulu; tetapi dalam arti bahwa dalam
penyimpangan dan transformasi pun model teks yang ada memainkan
peranan yang penting. Pemberontakan atau penyimpangan
mengandalkann adanya sesuatu yang dapat memberontaki ataupun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
disimpangi. Pemahaman teks baru memerlukan latar belakang
pengetahuan tentang teks-teks yang mendahuluinya.
Pendapat Julia Kristeva, sebagai pelopor telaah sastra
pendekatan intertekstualitas dalam Teeuw (1984: 146) berpendapat:
can only
be raed in connection with or against other text, which provide a
grid trough which it is read and structured by establishing
expectations which enable one to pick out salient features and
(Culler, 1975: 139); setiap teks terwujud
sebagai mosaik kutipan-kutipan, setiap teks merupakan peresapan
atau tranpormasi teks-
dibaca dalam kaitan atau pertentangan dengan teks-teks lain, yang
merupakan semacam kisi; lewat kisi-kisi itu teks dibaca dan
diberi struktur sehingga memungkinkan para pembaca untuk
dapat memetik ciri-ciri yang menonjol, dan dapat memberikan
sebuah struktur.
Penelitian disebut bersifat intertekstualitas jika pembaca
mempelajari unsur-unsur dalam teks itu, dilihat dalam hubungannya
dengan unsur-unsur yang ada dalam teks itu sendiri. Karena setiap
unsur akan membuat jaringan hubungan. Arti suatu unsur dianggap
akan dapat diterangkan apabila dihubungkan dengan unsur-unsur
yang lain dalam teks tersebut (Umar Junus,1988: 86).
Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antar
satu teks dengan teks lain. Lebih dari itu, teks itu secara etimologi
(texstus, bahasa latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
susunan dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu
melalui proses oposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian
dilakukan dengan cara menemukan hubungan-hubungan bermakna
diantara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai
interteks tidak dibatasi sebagai persamaan genre, interteks
memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk
menemukan hipogram (Nyoman Kutha Ratna, 2006: 172-173).
Kajian intertekstual, menurut Burhan Nurgiyantoro, (1998: 35)
merupakan kajian yang mengkaji adanya hubungan antar sejumlah
teks. Kajian interteks mengkaji adanya hubungan yang melibatkan
unsur struktur, dan pemaknaan teks-teks yang dikaji, kiranya dapat
dipandang sebagai kajian struktural semiotik. Lebih lanjut (Teeuw
dalam Burhan Nurgiyantoro, 1998: 5) karya sastra yang dijadikan
dasar penulisan bagi karya yang lain yang kemudian disebut sebagai
hipogram (hypogram). Istilah hipogram, dapat di Indonesiakan
menjadi latar, yaitu dasar, walaupun mungkin tak tampak secara
implisit, bagi penulisan karya yang lain. Wujud hipogram mungkin
berupa penerusan konvensi, sesuatu yang telah bereksistensi,
penyimpangan dan pemberontakan konvensi, pemutar balikan esensi
dan amanat teks-teks sebelumnya.
Juvan (2005: 1) berpendapat bahwa pengkajian karya sastra
dengan pendekatan intertekstual terbukti berhasil untuk membuktikan
dan menjelaskan jenis karya sastra yang berbeda jauh. Intertekstual
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
menurut Juvan adalah kajian metatekstual interaksi yang melihat
pengaruh dari semantik, sintaksis, dan pragmatik fitur-fitur teks karya
sastra.
Julia Kristeva ( Sangidu, 2004: 23-26) berpendapat bahwa
prinsip interteks memandang setiap teks sastra yang perlu dibaca, dan
dipahami dengan latar belakang teks-teks lain. Artinya, setiap teks
merupakan mozaik kutipan-kutipan, penyerapan, dan transformasi
teks-teks lain. Hal-hal yang dapat dikerjakan dalam membuktikan
kutipan-kutipan, penyerapan, dan transformasi teks-teks lain adalah
dengan menguraikan atau menggambarkan kejadian-kejadian atau
kasus-kasus yang meneladani maupun yang menentang (Culler, 1981:
107).
Sementara itu, Riffaterre ( Sangidu, 2004: 23) berpendapat
bahwa sebuah karya sastra, baru bermakna penuh dalam hubungannya
dengan karya sastra yang lain atau istilahnya dengan memperhatikan
prinsip intertekstualitas. Selanjutnya ditambahkan, pemaknaan karya
sastra perlu diperhatikan matriks, model, dan varian-varian yang
terdapat di dalamnya. Matriks merupakan kata kunci (keyword), dan
dapat berupa satu kata, gabungan kata, bagian kalimat atau kalimat
sederhana.
Harold Bloom ( Culler, 1981: 107-109) berpendapat bahwa
intertekstual adalah sebuah teks yang berasal dari hubungan antara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
tidak mempunyai arti, kecuali hanya dalam hubungannya dengan
karya sastra lain yang memungkinkan bahwa karya sastra tersebut
untuk dapat diinterpretasikan. Hubungan tersebut dapat berupa kata,
frasa, kalimat, atau masalah yang terdapat dalam suatu karya sastra.
Intertekstual merupakan salah satu metode kritik sastra yang
menginduk kepada strukturalisme. Yang menjadi perhatian pokok
dalam kritik intertekstualitas adalah teks itu sendiri, dan bukan hal
yang ada di luar teks. Hanya saja peneliti, kemudian menelaah kaitan
antara teks yang diteliti dengan teks lain yang menjadi model teks
tersebut atau menjadi hipogram dari teks tersebut.
Hubungan interteks merupakan hubungan antarteks dalam
kaitan dengan usaha memberi makna sebuah karya sastra dengan jalan
mensejajarkannya dengan karya sastra sebelumnya yang menunjukkan
adanya pertalian. (Retno Winarni, 2009: 72).
Tokoh yang dapat dikemukakan dalam teori intertekstualitas
adalah Julia Kristeva (1970: 198). Ia berpendapat bahwa dalam
intertekstualitas, karya sastra dipandang sebagai objek yang statis,
pasif, terutama bila pengertian tersebut dibatasi dalam pengertian
struktur karya sastra. Intertekstualitas memandang bahwa di dalam
teks yang ditelaah hadir teks yang lain (yang mendahuluinya).
Julia Kristeva menjelaskan ciri-ciri intertekstualitas sebagai
berikut: (1) kehadiran secara fisikal suatu teks dalam suatu teks
lainnya; (2) pengertian teks bukan hanya terbatas pada cerita, tetapi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
juga teks bahasa; (3) adanya tanda yang menunjukkan hubungan
(persambungan atau pemisahan) antara suatu teks dengan teks yang
lain yang mendahuluinya; mungkin penulis teks tersebut telah
membaca teks yang mendahului itu kemudian dimasukkannya di
dalam teks yang ditulisnya; dalam membaca teks jangan terpancang
pada teks itu saja, tetapi hendaknya mendampingkan teks tersebut
dengan teks lainnya sehingga interpretasi terhadapnya tidak dapat
dilepaskan dari teks-teks lainnya Umar Junus ( Herman J. Waluyo,
2011: 32).
Pada prinsipnya, intertekstualitas adalah dapat berupa: (1)
perbandingan dua atau lebih teks sastra yang berbeda namun salah
satunya dapat menjadi hipogram dari teks yang lain; (2) judul naskah
yang sama, tetapi memiliki versi yang bermacam-macam, yang
dibandingkan adalah strukturnya.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kajian
intertekstual adalah kajian sastra dalam mencari keterkaitan antarteks
untuk menemukan hubungan yang bermakna dengan cara
membandingkan dengan teks-teks lainnya.
4. Hakikat Nilai-nilai Pendidikan dalam Novel
a. Nilai Pendidikan dalam Novel
Herman J.Waluyo (1992: 20) berpedapat bahwa makna nilai dalam
sastra adalah kebaikan yang ada dalam makna sastra seseorang. Hal ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
berarti bahwa dalam karya sastra pada dasarnya selalu mengandung nilai-
nilai kehidupan yang bermanfaat untuk pembaca. Muatan nilai-nilai yang
tersirat dalam karya sastra pada umumnya adalah nilai religius, nilai moral,
nilai sosial, nilai budaya dan lain-lain.
1) Nilai Religius (Agama)
Kehadiran nilai religius dalam karya sastra adalah suatu
keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan sastra itu tumbuh dari
sesuatunyang bersifat religius. Pada awal mulanya segala sastra adalah
religius (Burhan Nurgiyantoro, 1998: 326). Lebih lanjut Burhan
Nurgiyantoro menjelaskan bahwa agama lebih menunjukkan pada
kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum yang
resmi religiusitas dengan fihak lain.
Agama adalah hal yang mutlak dalam kehidupan manusia yang
bersumber dari keyakinan dan kepercayaan manusia kepada Tuhan,
sehingga melalui pendidikan ini diharapkan terbentuk manusia religius.
Mangunwijaya (Burhan Nurgiyantoro, 1998: 327) menyatakan:
Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi. Religiositas, di pihak lain
melihat aspek yang di lubuk hati, riak getaran nurani pribadi,
totalitas kedalaman pribadi manusia. Dengan demikian, religius
bersifat mengatasi, lebih dalam, dan lebih luas dari agama yang
Koentjaraningrat (1985: 145) menyatakan bahwa makin
seseorang taat dalam menjalankan syariat agama, maka semakin tinggi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pula tingkat religiusitasnya. Pernyataan tersebut sejalan dengan
pendapat Dojosantoso (Tirto Suwondo, dkk, 1994: 63) religius adalah
keterkaitan antara manusia dengan Tuhan sebagai sumber ketentraman
dan kebahagiaan. Keterkaitan manusia secara sadar terhadap Tuhan
mencerminkan sikap manusia religius.
Dengan demikian, Nilai Pendidikan religius adalah nilai ke-
Tuhanan yang bersumber dari keyakinan kepada Tuhan,dan merupakan
nilai pusat yang terdapat di masyarakat. Masyarakat percaya bahwa
agama telah menjadi kekuatan untuk kebaikan.
2) Nilai Sosial
Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh masyarakat tertentu,
mengenai segala perbuatan yang dianggap baik, ataupun buruk. Karya
sastra tercipta selalu melibatkan sistem sosial yang terjadi di suatu
wilayah tertentu. Tata nilai sosial tentu akan mengungkapkan sesuatu
hal yang dapat direnungkan dalam karya sastra dengan ekspresinya.
Pada akhirnya dapat dijadikan cermin atau sikap para pembacanya
(Suyitno, 1986: 31).
Sosial dapat diartikan hal-hal yang berkenaan dengan
masyarakat atau kepentingan umum. Nilai sosial merupakan hikmah
yang dapat diambil dari perilaku sosial, dan tata cara hidup sosial, M.
Zaini Hasan dan Salladin (1996: 83).
Nilai sosial dalam karya sastra adalah penggambaran suatu
masyarakat sosial oleh karya sastra dalam sebuah masyarakat. Tata
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
nilai sosial tertentu akan mengungkapkan sesuatu hal yang dapat
direnungkan dalam karya sastra dengan ekspresinya. Pada akhirnya
dapat dijadikan cermin atau sikap para pembacanya (Suyitno, 1986: 31
dalam Sugihastuti, 2002: 45). Nilai sosial dapat diartikan sebagai
landasan bagi masyarakat untuk merumuskan apa yang benar dan
penting, memiliki ciri-ciri tersendiri, dan berperan penting untuk
mendorong dan mengarahkan individu agar berbuat sesuai norma yang
berlaku. Nilai sosial mengacu pada hubungan individu dengan individu
yang lain dalam sebuah masyarakat. Bagaimana seseorang harus
bersikap, bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah, dan
menghadapi situasi tertentu juga termasuk dalam nilai sosial.
Hampir semua novel Indonesia sejak awal pertumbuhanya
samapi dewasa ini mengandung nilai sosial walau dengan identitas
yang berbeda (Burhan Nurgiyantoro, 1998: 330).
Dapat ditarik kesimpulan nilai pendidikan sosial adalah nilai
sosial yang terkait antara hubungan manusia dalam masyarakat
sehingga menjadikan manusia menyadari akan pentingnya kehidupan
bersama, kelompok dalam ikatan kekeluargaan antara individu yang
satu dengan yang lainnya.
3) Nilai Budaya
Koentjaraningrat (1985: 18) mengemukakan bahwa nilai sistem
budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran
sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
anggap amat bernilai dalam hidup. Suatu sistem nilai budaya biasanya
berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Nilai-nilai
budaya yang terkandung dalam cerita dapat diketahui melalui telaah
terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita.
Menurut Tylor, kebudayaan adalah keseluruhan aktivitas
manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum,
adat-istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan lain. Definisi lain oleh Marvin
Harris (1999: 19) yaitu seluruh aspek kehidupan manusia dalam
masyarkat, yang diperoleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan
tingkah laku.
Nilai budaya adalah pedoman yang berlaku dalam masyarakat
yang diyakini kebenarannya, dan dipakai sebagai pedoman dalam
bertingkah laku pada masyarakat tertentu.
4) Nilai Pendidikan Moral
Moral merupakan laku perbuatan manusia dipandang dari nilai-
nilai baik dan buruk, benar dan salah, dan berdasarkan adat kebiasaan
di mana individu berada (Burhan Nurgiyantoro, 1998: 319).
Pendidikan moral memungkinkan manusia memilih secara bijaksana
yang benar dan yang salah atau tidak benar. Moral merupakan sesuatu
yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca, merupakan
makna yang terkandung dalam karya sastra, makna yang disyaratkan
melalui cerita. Moral dapat dipandang sebagai tema dalam bentuk yang
sederhana, tetapi tidak semua tema merupakan moral (Kenny dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Burhan Nurgiyantoro, 2006: 320). Moral merupakan pandangan
pengarang tentang nilai-nilai kebenaran dan pandangan itu yang ingin
disampaikan kepada pembaca. Pesan-pesan moral tersebut dapat
disampaikan pengarang secara langsung maupun dengan cara tidak
langsung. Moralitas dapat dilihat dari besar kecilnya kesadaran
manusia tentang perilaku baik dan buruk tersebut.
Bentuk penyampaian pesan moral dalam karya fiksi mungkin
bersifat langsung, atau sebaliknya tak langsung. Bentuk penyampaian
pesan moral secara langsung, boleh dikatakan, identik dengan cara
pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian, telling, atau penjelasan.
Sedangkan bentuk penyampaian pesan moral secara tidak langsung.
Pesan itu hanya tersirat dalam cerita, berpadu secara koherensif dengan
unsur-unsur cerita yang lain.
Joko Widagdo (2001: 30) mengemukakan moral diartikan
sebagai norma, dan konsep kehidupan yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat. Nilai-nilai pendidikan tersebut dapat mengubah perbuatan,
perilaku, dan sikap. Kewajiban moral dalam masyarakat yang baik
seperti budi pekerti, akhlak, dan etika.
Moral menurut Darajat (Kamaruddin, 1985: 9) adalah kelakuan
yang sesuai ukuran (nilai-nilai) masyarakat yang timbul dari hati, dan
bukan paksaan dari luar yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab
atas kelakuan (tindakaan) tersebut. Tindakan ini haruslah
mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Nilai moral yang terkandung dalam karya sastra bertujuan
untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika merupakan
nilai baik buruk suatu perbuatan, apa yang harus dihindari, dan apa
yang harus dikerjakan, sehingga tercipta suatu tatanan hubungan
manusia dalam masyarakat yang dianggap baik, serasi, dan bermanfaat
bagi orang itu, masyarakat, lingkungan, dan alam sekitar.
Dari beberapa pendapat tentang nilai pendidikan moral yang
terdapat dalam karya sastra di atas dapat ditarik kesimpulan nilai
pendidikan moral adalah nilai atau ukuran baik dan buruk perbuatan,
perilaku, dan sikap individu mengenai akhlak, budi pekerti, dan
sebagainya, yang berlaku pada suatu temapat.
B. Penelitian yang Relevan
a. Hubungan Intertektual antara Film dan Novel
Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy
ditunjukan adanya hubungan intertekstual mengenai variasi-variasi dan
perubahan fungsi yang terdapat dalam film AAC berdasar novel asli selaku
hipogramnya dengan meninjau sistem sastra dan sistem filmnya
melalui telaah studi ekranisasi. Pemaknaan data didasarkan atas teori
intertekstual yang digunakan sebagai pisau analisisnya. Hasil temuan
dipercaya sebagai data setelah dilakukan pembacaan secara berulang-ulang
(intrarater). Berdasar hasil analisis yang dilakukan dapat diketahui bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
antara film dan novel AAC terdapat perbedaan struktur dan fungsi. Sruktur
yang dibahas meliputi alur, tokoh danpenokohan, serta setting
b. Hubungan Intertekstual Roman Balai
Pustaka dan Roman Pujangga Baru Azab dan Sengsara karya
Merari Seregar merupakan hipogram bagi roman-roman yang terbit
sesudahnya, seperti : roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli, roman Di Bawah
arya Hamka. Dalam roman Azab dan Sengsara
mengambil tema masalah adat, yaitu yang ada hubungannya dengan adat
kawin paksa. Hubungan antar teks yang timbul mengenai pemikiran-
pemikiran serta ungkapan penceritaan atau alurnya.
c. Hokenson, Jan Walsh. 2000. Artikel berjudl Comparative Literature and the
Culture of the Context yang dimuat dalam jurnal CLCWeb: Comparative
Literature and Culture. Penelitian ini menjelaskan pentingnya sastra
bandingan dan konteks budaya dalam sastra. Sastra bandingan memperjelas
mandat dari disiplin, secara historis yang berakar dalam analisis konteks
lintas-budaya, sehingga disiplin ilmu sastra khususnya dalam sastra bandingan
dianggap logis dan layak sebagai modus utama dari studi kritis di era
banyaknya bermunculannya karya sastra.
d. Jacobmayer, Hannah. 2010. Graham Swift, Ever After: a Study in
Intertextuality. Dalam Journal International Sociology of Literature. Penelitian
ini berusaha untuk mengungkap beberapa pola intertekstual yang melekat
dalam novel Ever After (1992) oleh Graham Swift, salah satu penulis
terkemuka Inggris kontemporer. Hasilnya terdapat kemiripan novel Ever After
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
karya Graham Swift dengan novel-novel Shaksphare, dari segi tema dan
bentuk penulisan. Maka novel-novel shaksphre merupakan hipogram dari
novel karya Graham Swift itu.
C. Kerangka Berpikir
Novel novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel
Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa merupakan dua novel yang memiliki
unsur struktur pembangun karya sastra yang berdiri sendiri-sendiri. Namun kedua
novel itu dapat diperpadukan dengan pendekatan intertekstual. Hubungan
intertekstual kedua novel dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya
Purwadmadi Admadipurwa memiliki unsur-unsur struktur pembangun novel
yaitu: tema, alur atau plot, penokohan atau perwatakan, setting, Point of view
2. Dikaji melalui pendekatan intertekstual novel Ronggeng Dukuh Paruk karya
Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa
mempunyai perbedaan dan persamaan unsur-unsur strukturnya.
3. Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya
Purwadmadi Admadipurwa terkandung nilai-nilai pendidikan yaitu: nilai
religius, dan nilai sosial budaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Gambar 3. Kerangka Berpikir Kajian Intertekstual Novel Ronggeng DukuhParuk danSinden
Kajian Intertekstual
Novel Sinden Karya Purwadmadi Admadipurwa
Struktur Novel a. Tema b. Alur/plot c. Penokohan dan
perwatakan d. Setting
Point of view
Struktur Novel a. Tema b. Alur/plot c. Penokohan dan
perwatakan d. Setting
Point of view
Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad
Tohari
Persamaan dan perbedaan
Nilai-nilai Pendidikan Novel
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kulitatif dengan studi pustaka dan
tidak terikat dengan tempat penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei
2012 sampai dengan Oktober 2012. Rencana kegiatan adalah sebagai berikut :
No Kegiatan Bulan
V
Bulan
VI
Bulan
VII
Bulan
VIII
Bulan
IX
Bulan
X
1 Persiapan yang meliputi:
a. Konsultasi judul.
b. Penyusunan proposal
penelitian, pengembangan
pedoman pengumpulan data
c. Seminar profosal
2 Pengumpulan data meliputi:
a. Pengumpulan data
b. Pemerikasaan dan
pembahasan data
c. Pemilihan dan pengaturan
data
3 Analisis Data meliputi:
a. Pengembangan sajian data
dengan analisis lanjut;
b. Pembuatan simpulan akhir.
4 Penyusunan laporan penelitian yang
meliputi:
a. Penyusunan laporan awal;.
b. Revisi laporan;
c. Penyusunan laporan akhir.
Gambar 4. Jadwal Kegiatan Penelitian
49
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
B. Jenis Penelitian
Kajian sastra dengan pendekatan intertekstual merupakan jenis
penelitian kualitatif. Penelitian ini menekankan catatan dengan deskripsi kalimkat
yang rinci, lengkap, dan mendalam, yang menggambarkan situasi sebernarnya
guna mendukung penyajian data. Data yang dikumpulkan terutama berupa kata-
kata, kalimat atau gambar yang memiliki arti lebih bermakna dan mampu memacu
timbulnya pemahaman yang lebih nyata.
Kajian sastra dengan pendekatan intertekstual merupakan kajian
sastra sebagai kelanjutan dari kajian sastra dengan pendekatan strukturalisme.
Kajian sastra yang mengaitkan analisis struktur karya sastra yang menghubungkan
teori sastra dengan lebih luas, seperti : psiologi, ilmu sosial, filsafat sejarah dan
lain-lain, termasuk kajian sastra pasca strukturalisme (Teeuw, 1984: 144).
Berdasarkan uraian di atas, kajian novel Ronggeng Dukuh Paruk
karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa dengan
pendekatan intertekstual dalam penelitian kualitatif berarti mengkaji struktur
pembangun novel, mencari perbedaan dan persamaan struktur pembangun sastra
kedua novel tersebut dan nilai-nilai pendidikan dalam kedua novel tersebut.
C. Data dan Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer yaitu : Ronggeng
Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang terbit pertama tahun 1981 dan novel
Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa 2005, sedangkan data sekunder berupa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
naskah sumber, seperti buku-buku teori sastra, penelitian kajian sastra yang
relevan, dan jurnal ilmiah atau internasional.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik noninteraktif dilakukan dengan cara membaca, mencatat dokumen atau
arsip (content analysis), dan riset pustaka. Aspek penting dari content analysis
adalah bagaimana hasil analisis dapat diimplikasikan kepada siapa saja (Herman
J. Waluyo, 2006: 65).
Langkah-langkah dalam content analysis sebagai berikut:
1. Membaca berulang-ulang novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad
Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi admadipurwa.
2. Mengumpulkan dan mempelajari teori-teori yang relevan.
3. Mencatat dan menganalisis semua data yang berupa kutipan penting
sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.
E. Validitas Data
Data yang telah digali, dikumpulkan, dan dicatat dalam kegiatan penalitian
harus diusahakan kemantapan dan kebenarannya. Oleh karena itu, peneliti
memilih dan menentukan cara-cara yang tepat untuk mengembangkan validitas
data yang diperoleh guna menjamin, dan mengembangkan validitas data yang
dikumpulkan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi. Teknik
pemeriksaan keabsahan data terbagi menjadi empat jenis yaitu triangulasi sumber,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
triangulasi data, triangulasi metode, dan triangulasi teori (Lexy J. Moleong, 2007:
33).
Dari keempat teknik triangulasi, peneliti menggunakan teknik triangulasi
data untuk mengumpulkan data yang sama. Artinya data yang sama atau sejenis
akan lebih mantab kebenaranya bila digali dari beberapa sumber data yang lain.
Triangulasi data yang penulis maksud, data yang terkumpul diambil dari buku-
buku yang relefan, jurnal ilmiah dan penelitian yang relefan.
F. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara
bersama-sama, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Teknik analisis data menggunakan model analisis interaktif, dan berupa kegiatan
yang bergerak pada ketiga alur kegiatan proses penelitian. Kegiatan analisis
interaktif dapat digambarkan sebagai berikut:
(1) (2)
(3)
Gambar 5. Skema Analisis Interaktif Data, Miles & Hurberman,
(Sutopo, 2006 : 120)
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Penarikan Kesimpulan/verifikasi
Sajian Data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Teknik analisis data yang bersifat kualitatif memerlukan penjelasan yang
deskriptif. Teknik analisis data terdiri dari tiga data alur kegiatan yang terjadi
secara bersama-sama, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan atau verivikasi.
Berdasarkan skema diatas dapat dijelaskan bahwa pada waktu
pengumpulan data, peneliti selalu membuat reduksi data dan penyajian data. Data
berupa catatan lapangan terdiri dari bagian deskripsi dan refleksinya adalah data
yang telah digali dan dicatat. Dari kedua kegiatan tersebut peneliti menyusun
rumusan pengertiannya secara singkat berupa pokok-pokok temuan yang penting,
yang disebut reduksi data. Kemudian dilakukan penyusunan penyajian data
berupa cerita sistematis dan logis sehingga makna peristiwanya dapat lebih jelas
untuk dipahami. Dari sajian data kemudian dilakukan penarikan kesimpulan
sementara dilanjutkan verifikasi.
Apabila simpulan dirasakan kurang lengkap karena kurangnya rumusan
data dalam reduksi maupun sajian data, maka peneliti kembali melakukan
kegiatan pengumpulan data yang sudah terfokus untuk digunakan mendukung
simpulan yang telah dikembangkan semua dilakukan untuk pendalaman data.
Kegiatan tersebut dilakukan berulang-ulang untuk mendapatkan simpulan yang
memuaskan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Struktur Novel Ronggeng Dukuh Paruk ( RDP ) dan Novel Sinden
Struktur merupakan totalitas dari beberapa unsur yang saling terkait dan
merupakan satu kesatuan dari unsur-unsur pembentuknya. Unsur-unsur
tersebut saling berhubungan yang bersifat timbal balik, saling menentukan ,
saling mempengaruhi yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang
utuh sehingga akan bermakna. Dengan kata lain, bila unsur-unsur tersebut
berdiri sendiri-sendiri tidak akan bermakna atau berfungsi. Dalam penelitian ini
hanya akan dibahas unsur-unsur struktur pembangun novel, yaitu: tema, alur,
penokohan, setting, dan point of view.
a. Struktur Novel RDP
1) Tema novel RDP
Tema adalah ide, gagasan pokok yang menjadi dasar penceritaan
sebuah karya sastra. Tema untuk novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah
tentang sosial budaya kehidupan wong cilik sebagai penari ronggeng di
Dukuh Paruk. Dukuh Paruk suatu pedukuhan yang terpencil dengan
keadaan alam yang kurang subur. Kehidupan rakyatnya miskin dan tidak
mengenal pendidikan atau terbelakang.
Ronggeng merupakan kebanggaan sekaligus citra dukuh paruk.
Budaya ronggeng tersebut telah 11 tahun hilang, sehingga kehidupan
54
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Paruk menjadi hambar. Kehidupan bangkit kembali setelah Srintil cucu
Sakarya tokoh utama dalam novel dianggap mampu mengembalikan citra
Dukuh Paruk melalui seni ronggeng.
Sakarya tersenyum. Sudah lama pemangku keturunan Ki
Secamenggala itu merasakan hambarnya Dukuh Paruk karena
ronggeng bukanlah Dukuh Paruk. Srintil, cucuku sendiri, akan
mengembaalikan citra sebenarny
pada dirinya sendiri. Sakarya percaya arwah Ki Secamenggala
akan terbahak di kuburnya bila kelak tahu ada ronggeng di Dukuh
Partuk. (Ahmad Tohari, 2003: 15)
2) Alur atau Plot
Alur atau plot adalah rangkaian peristiwa-peristiwa yang saling
terkait dan dihubungkan secara sebab-akibat yang terlukis dalam cerita
karya sastra. Berdasarkan urutan peristiwa yang terlukis dalam alur novel
Ronggeng Dukuh Paruk menggunakan alur maju. Dalam artian jalinan
cerita tersusun secara urut melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi dapat
dipahami secara lengkap mulai awal sampai akhir cerita. Meskipun
sedikit adanya penuturan tragedi tempe bongkrek itu dengan cara flash
back (kilas balik).
Rangkaian kejadian yang tersusun dan membentuk satu kesatuan
yang utuh. Rangkaian unsur-unsur alur cerita itu pada prinsipnya terdiri
dari tiga bagian, yaitu : (1) alur awal, terdiri dari paparan (eksposisi),
rangsangan (inciting moment), dan penggawatan (rising action); (2) alur
tengah, terdiri atas pertikaian (conflict), perumitan (complication), dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
klimaks atau puncak penggawatan (climax); (3) alur akhir, terdiri dari
peleraian (falling action), dan penyelesaian (denouement).
Urutan peristiwa yang terjalin dalam plot novel Ronggeng Dukuh
Paruk adalah sebagai berikut:
(a) Tahap Paparan (Eksposisi)
Tahap paparan atau eksposisi pada novel Ronggeng Dukuh
Paruk karya Ahmad Tohari yaitu tahap dimana pengarang mulai
untuk memperkenalkan tempat terjadinya cerita, waktu, tokoh-tokoh
cerita dan permasalahan dalam cerita sebagai sumber konflik.
Awal cerita dikisahkan tentang kehidupan di Dukuh Paruk
lengkap dengan gambaran alam dan kehidupan rakyatnya. Dukuh
Paruk adalah sebuah desa kecil yang miskin dan terpencil serta
rakyatnya belum mengenal pendidikan. Namun, segenap warganya
memiliki suatu kebanggaan tersendiri karena mewarisi kesenian
ronggeng yang menjadi martabat Dukuh Paruk. Dalam Novel ini
dikisahkan kehidupan Dukuh Paruk sudah lama hambar tanpa
kehadiran seni Ronggeng yang menjadi ciri khusus Dukuh Paruk.
Pada waktu anak-anak Dukuh Paruk asyik menjalankan tugasnya
menggembala kambing, Srintil gadis cilik itu menyanyi dan menari di
bawah pohon nangka. Melihat Srintil menari Rasus dan teman-
temannya memujinya. Oleh Srintil, Rasus dan teman-temannya malah
diminta mengiringi. Meskipun suara calung dan gendang tersebut
berasal dari mulut mereka. Srintil menari serupa tarian ronggeng.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Peristiwa itu diketahui oleh nenek Srintil, Sakarya. Mereka kagum
sekaligus bangga akan cucunya yang mewarisi budaya leluhurnya
yaitu tari Ronggeng.
Sudah 11 tahun menantikan ronggeng kini lewat Srintil
ronggeng Paruk akan tumbuh kembali. Srintil kemudian diserahkan
kepada Kartareja dukun ronggeng untuk dilatih meronggeng. Dalam
waktu singkat, Srintil pun membuktikan kebolehannya menari
disaksikan orang-orang Dukuh Paruk. Mulai saat itu Dukuh Paruk
terasa citranya hidup kembali dengan munculnya cucu Sakarya
pemangku keturunan Ki Secamenggala sebagai penari ronggeng.
(b) Tahap Rangsangan (Inciting Moment)
Tahap Rangsangan adalah peristiwa mulai adanya problem-
problem yang ditampilkan dalam cerita oleh pengarang kemudian
dikembangkan yang mengarah peningkatan terjadinya konflik.
Srintil kemudian diserahkan dukun ronggeng Kartareja untuk dibina
menjadi ronggeng. Warga Dukuh Paruk teringat peristiwa tempe
bongkrek yang membuat banyak bocah Paruk menjadi yatim. Srintil
mendapat hadiah keris dari Rasus.
Sebelum Srintil menjadi ronggeng Srintil harus menjalani ritual.
Mulai dari mandi di pusara kuburan Ki Secamenggala sampai dengan
ritual bukak klambu. Dalam ritual bukak klambu ini Srintil harus
melepaskan keperawanannya kepada lelaki yang mampu membayar
sesuai dengan sayembara yang ditawarkan dukun ronggeng Kartareja
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
yaitu dengan membayar sekeping uang logam ringgit emas. Peristiwa
ini bertentangan dengan naluri Srintil karena Srintil sudah menyayangi
Rasus begitu pula dengan Rasus.
Upacara bukak klambu itu membuat resah pada jiwa Rasus
dalam hati kecilnya tidak rela sosok wanita yang dianggap dapat
mewakili keberadaan ibunya, wanita yang harus dijunjung tinggi dan
dihormati tetapi harus diperlakukan dengan tidak manusiawi.
Walaupun akhirnya keperawanan Srintil diberikan kepada Rasus
dengan iklas karena rasa cintanya. Srintil dan Rasus kemudian
mencari hidupnya sendiri-sendiri.
(c) Tahap Penggawatan (Rising Action)
Tahap penggawatan adalah dimana konflik cerita menjadi
meningkat yaitu ketenaran Srinthil banyak mengundang para lelaki
yang datang ke dukuh Paruk. Kekayaan dari hasil meronggeng Srintil.
Dan perginya Rasus dari dukuh Paruk karena Srintil telah menjadi
milik banyak orang, padahal Rasus sangat mencintainya. Namun,
dalam hari kecil Srintil terlibat cinta dengan Rasus pemuda Paruk
sahabat kecilnya.
Rasus mengasingkan diri ke Dawuhan. Pada saat itu wilayah
kecamatan Dawuan tidak aman sering terjadi perampokan.
Didatangkan bantuan keamanan dari kota. Rasus mulai berkenalan
dengan tentara, ia diminta untuk menurunkan peti-peti yang dibawa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
oleh tentara. Ia bekerja bersama dengan para tentara yang bertugas di
sana kemudian Rasus menjadi tobang.
Dukuh Paruk terjadi perampokkan yaitu di rumah Sakarya dan
Kartareja (rumah Srintil). Rasus diminta membantu tentara untuk
mengamankan dukuh Paruk. Berkat bantuan Rasus perampokan dapat
diatasi. Waktu itulah orang Paruk, juga Srintil tahu bahwa putra Paruk
menjadi tentara dan telah mengamankan daerahnya sendiri. Cinta
Srintil kepada Rasus semakin besar. Srintil mengajak Rasus menikah,
ia ingin menjadi istri tentara yaitu Rasus, tetapi Rasus tidak
menerimanya. Srintil sangat bersedih karena hal tersebut. Srintil
mencari Rasus ke Dawuan namun tidak ditemukan karena Rasus
peregi tugas.
(d) Tahap Pertikaian (Comflict)
Konflik semakin ruwet Srinthil merasa kecewa tidak bertemu
Rasus, ia jatuh sakit. Mulai saat itu Srintil berniat untuk berhenti
menjadi ronggeng. Hati Srintil telah dihantui rasa takut akan
kemandulan. Ia ingin menjadi perempuan pada umunya punya anak,
suami dan keluarga.
Srintil tidak ingin menerima tamu laki-laki lagi. Nyi Kartareja si
mucikari bingung. Apalagi Srintil juga telah mendapatkan Goder anak
tampi yang dijadikan anaknya sendiri untuk mengobati kekecewaan
hatinya. Srintil mengecewakan banyak orang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(e) Tahap Perumitan (Complication)
Tahap perumitan terjadinya Srintil diminta untuk meronggeng
lagi, mulai dari kegiatan pentas seni Agustusan, di alaswangkal dan
meronggeng pada kegiatan rapat-rapat umum bersama pak Bakar.
Pada kegiatan Agustusan Srintil terpaksa meronggeng kembali
di kecamatan Dawuan. Melihat ronggeng Paruk yang mempesona
banyak pejabat yang mengaguminya sehingga istri-istri pejabat
merasa cemburu. Takut suaminya akan tergoda.
Srintil juga diminta meronggeng di desa Alaswangkal dalam
acara kaulan atau nadar. Bahkan Srintil disuruh merangkap sebagai
gowok untuk anaknya Sentika. Kegiatan itupun diterima oleh Srintil.
Srintil dibawa pak Bakar untuk meronggeng. Awalnya pak
Bakar begitu perhatiann terhadap Ronggeng Dukuh Paruk. Banyak
bantuan yang diberikan sehingga rombongan Ronggeng Dukuh Paruk
merasa hutang budi. Tak tahunya pak Bakar telah memanfaatkan seni
ronggeng untuk kampanye partainya. rombongan Ronggeng Dukuh
Paruk digunakan untuk menghibur waktu rapat-rapat partai. Dalam
kegiatan ini terjadi kerusuhan karena para penonton ronggeng mabuk
separti orang kesurupan merusak tanaman padi penduduk. Hingga
ronggeng dukuh paruk tidak mau lagi tampil dalam pentas pada rapat-
rapat umum. Dan terjadinya pengrusakan makam leluhur dukuh
Paruk. Dukuh Paruk diadudomba dengan kelompok caping hijau.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(f) Tahap Klimaks atau penggawatan (Climax)
Tahab klimak ini Srinthil dan beberapa warga dukuh Paruk
dituduh terlibat kegiatan politik yang mendukung partai terlarang
karena terlibat dalam setiap pertunjukan namanya tercatat dalam
daftar anggota partai terlarang. Maka Srintil dan rombongan
Ronggeng juga warga dukuh Paruk ditangkap dan ditahan. Kemudian
dukuh Paruk dibumi hanguskan. Srintil ditahan untuk beberapa tahun
lamanya.
(g) Tahap Peleraian (Falling Action)
Tahap peleraian yaitu setelah warga Paruk dikeluarkan dari
tahanan, dan selang beberapa tahun Srintil juga keluar, Srintil ingin
menjadi wanita somahan, yaitu wanita yang dapat menjalankan tugas
hidupnya menjalin keluarga dan mempunyai keturunan dan tidak
selalu meladeni lelaki-lelaki hidung belang yang memandang wanita
sebagai pemuas saja. Pengenalan Srintil dengan lelaki Bajus lelaki
yang menjadi pilihan hati Srintil. Srintil ingin bisa hidup bersama,
walau nasibnya harapan Srintil tak menjadi kenyataan karena Bajus
tidak berniat memperistri Srintil. Srintil malah disuruh melayani
Blengur, atasan Bajus demi mendapatkan pekerjaannya.
(h) Tahap Penyelesaian (Denouement)
Tahap ini Srintil mengalami gangguan ingatan karena
penderitaannya. Rasus merasa iba kepada Srintil gadis yang
dicintainya gila kemudian dibawa ke rumah sakit jiwa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3) Penokohan
Tokoh dalam cerita menempati posisi strategis untuk menyampaikan
pesan, ide yang disampaaikan pengarang kepada pembaca. Tokoh dalam
Novel Ronggeng Dukuh Paruk didasarkan perannya dalam cerita.
Penokohan dalam novel terbagi menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan.
Dalam pembahasan ini, yang akan penulis kemukakan hanya tokoh-tokoh
penting saja yang memegang peranan besar dalam novel Ronggeng Dukuh
Paruk.
Tokoh novel Ronggeng Dukuh Paruk dibedakan menjadi tokoh
protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang
mendukung jalannya cerita sebagai tokoh yang mendatangkan simpati atau
tokoh baik. Tokoh antagonis adalah tokoh yang menentang atau
menimbulkan perasaan tidak suka pada diri pembaca sering disebut tokoh
jahat. Yang termasuk tokoh protagonis utama adalah Srintil. Tokoh
protagonis tambahan adalah: Rasus, Sakarya, Nyai Sakarya, Sakum,
Tampi, Goder, Warta, dan Darsun. Sedangkan, tokoh antagonis utama
adalah Kartareja, Nyai Kartareja, tokoh antagonis tambahan adalah:
Marsusi, Bajus, dan Bakar, Blengur, Dower, Sulam, Sentika, Waras.
Berdasarkan peranannya tokoh-tokoh tersebut akan dijelaskan secara
terperinci sebagai berikut:
(a) Srintil
Srintil adalah tokoh utama dalam novel trilogi Ronggeng Dukuh
Paruk. Srintil dikisahkan sebagai gambaran salah satu dari sekian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perempuan Dukuh Paruk yang hidup tanpa kasih sayang kedua
orangtua. Srintil tumbuh menjadi gadis lugu. Ia mempunyai
kemampuan yang tidak dimiliki perempuan lain yaitu pandai menari
dan menyanyi. Keluguan dan kemampuan menyanyi dan menari
terlukis dalam kutipan di bawah ini:
seorang diri. Perawan kecil itu sedang merangkai daun nangka
dengan sebatang lidi untuk dijadikan sebuah mahkota.
Duduk bersimpuh di tanah sambil meneruskan pekerjaannya,
Srintil berdendang. Siapa pun di Dukuh Paruk, hanya mengenal
dua irama. Orang-orang tua berdendang kidung, dan anak-anak
menyanyikan lagu-lagu ronggeng. Dengan suara kekanak-
kanakannya, Srintil mendengarkan lagu kebanggaan para
ronggeng: Senggot timbane rante, tiwas ngengot ning ora suwe.
Lagu erotik. Srintil, perawan yang baru sebelas tahun,
menyanyikannya dengan sungguh-sungguh. Boleh jadi Srintil
belum paham benar makna lirik lagu itu. Namun sama saja.
Dukuh Paruk tidak akan bersusah hati bila ada anak kecil
menyanyikan lagu yang paling cabul sekalipun. (Ahmad Tohari,
2003: 11-12)
Siapa yang akan percaya, tak seorang pun pernah
mengajari Srintil menari dan bertembang. Siapa yang akan
percaya, belum sekali pun Srintil pernah melihat pentas
ronggeng. Ronggeng terakhir di Dukuh Paruk mati ketika Srintil
masih bayi. Tetapi di depan Rasus, Warta, dan Darsun, Srintil
menari dengan baiknya. (Ahmad Tohari, 2003: 13)
Srintil adalah gadis cantik, kenes yang mempesona, kecantikan
Srintil tercermin dari kulitnya bersih dan bentuk rahang yang bagus,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pipinya jernih dengan hiasan jambang halus sehingga akan dapat
memikat bagi lelaki yang memandangnya. Apalagi disaat Srintil
tampil meronggeng. Usianya memang masih terlalu muda yaitu baru
17 tahun. Gadis yang baru menginjak dewasa. Gambaran fisik Srintil
terlihat dalam kutipan berikut ini:
Srintil duduk agak menyamping. Ketenangannya yang demikian
utuh adalah pesona baru dalam penampilannya. Dengan tata
sanggul seadanya profil Srintil justru memperlihatkan kesegaran
remaja yang amat impresif. Bentuk rahangnya bagus. Pipinya
jernih dengan hiasan jambang halus. Kulit leher berkata apa
adanya, bahwa usia Srintil memang baru tujuh belas. (Ahmad
Tohari, 2003: 148)
Srintil adalah seorang perempuan yang mempunyai berpendirian
kuat. Dalam menyampaikan prinsip hidupnya. Sikap ini terlukis pada
saat Srintil memutuskan untuk berhenti meronggeng dan ingin
mencari lelaki tambatan hatinya yaitu Rasus. Srintil bosan dengan
hidup yang ia jalani, ia ingin hidup seperti perempuan somahan yaitu
perempuan pada umumnya mengabdi pada anak, suami dan
mempunyai keluarga yang jelas. Srintil juga tidak tertarik pemberian
yang ditawarkan pak Marsusi walau sangat menggiurkan yaitu sebuah
kalung rantai emas seberat seratus gram dengan berbandul berlian.
Kalung sejenis itu hanya dimiliki oleh istri Lurah Pecikalan. Walau
banyak bujukan, rayuan untuk kembali meronggeng, namun tekad
Srintil untuk tidak menerima tamu laki-laki telah bulat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Keteguhan sikap atau prinsip hidup Srintil terlihat dalam kutipan
berikut ini:
Srintil terkejut sebelum kesadarannya pulih. Tanpa menoleh
kearah sumber suaradia tahu siapa yang datang.
Srintil mengerdip tanda mengerti.
mosi.
menyepelekan tamu. Apalagi tramu kali ini tidak sembarang
(Ahmad Tohari, 2003: 119)
sebagai upahku menari atau bertayub, melainkan untuk satunya
lagi. Oh, Pak Marsusi, sampean tidak salah. Kerana aku
memang telah melakukan hal semacam itu dengan sekian
Marsusi mencondongkan kepalanya lebih ke depan.
Pikirannya yang mulai baur membuat dia ingin segera tahu apa
kata Srintil selanjutnya.
(Ahmad Tohari, 2011: 150).
Srintil bertekat ingin menjadi perempuan somahan. Hal itu
terlihat waktu Bajus, lelaki yang diharapkan bisa menggantikan Rasus
untuk dapat menjadi pendamping hidupnya. Tetapi Bajus malah
meminta Srintil untuk melayani lelaki hidung belang yaitu Blengur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dengan tujuan agar Bajus mendapatkan pekerjaan sesuai yang
diharapkan. Kemauan Srintil untuk menjadi perempuan baik-baik
terdapat dalam kutipan berikut ini:
Blengur. Percayalah dia orangnya baik. Aku yakin bila kamu
minta apa-apa kepadanya, berapa pun harganya, akan dia
kabulkan. Nanti dia akan bermalam di sini. Temanilah dia.
Srintil tersentak dengan kedua matanya terbelalak.
Mulutnya terbuka dan dadanya turun-naik dengan cepat. Kedua
tanganya bergetar.
idak ada pikiran
macam-macam, anggaplah Pak Blengur itu diriku sendiri. Atau
malah tidak perlu karena kenyatannya dia dalam semua hal lebih
baik daripada aku. Kamu mau, bukan?
, 2003: 150)
Srintil adalah tokoh perempuan yang taat terhadap orang tua
yaitu kakek neneknya (Sakarya) selaku gurunya dan tradisi yang
berlaku. Sebelum Srintil menjadi ronggeng Srintil melakukan upacara
tradisi untuk seorang ronggeng yang ada di Dukuh Paruk. Srintil
melakukannya dengan patuh. Sikap taat Srintil dapat dicermati dalam
kutipan berikut ini:
Mantra-mantra dibacakan oleh Nyai Kartareja, ditiupkan ke
ubun-ubun Srintil. Kemudian tubuh perawan itu mulai diguyur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
air kembang, gayung demi gayung. Semantara itu orang-orang
Dukuh Paruk lainnya hanya menonton. Srintil menjadi pusat
perhatian. Rombongan penabuh mempersiapkan diri. Mereka
menata perkakas masing-masing, duduk bersila di atas tanah.
(Ahmad Tohari, 2003: 46)
Srintil adalah perempuan yang tahu balas budi dan berhati mulia
walaupun dirinya seorang ronggeng. Srintil akan iba bila menghadapi
sesuatu yang tidak seharusnya. Tindakan Srintil yang tahu balas budi
dan penuh belas kasihan dapat dipahami dalam kutipan di bawah ini :
Srintil pribadi yang tahu bahwa uang yang banyak itu tidak
dapat mengusir rasa sedih dalam hatinya. Perih karena
sesungguhnya Srintil pulang dengan membawa kegagalan yang
tidak kepalang. Waras tidak mungkin dilupakannya sepanjang
masa; simpati bagi seorang manusia dalam kemalangan abadi.
(Ahmad Tohari, 2003: 225)
Warga Dukuh Paruk termasuk Srintil tidak mengenal pendidikan
sehingga akan mempengaruhi cara berpikir mereka. Mereka
memandang orang dari satu sisi seperti yang dilakukan pak Bakar. Pak
Bakar suka membantu tetapi pak Bakar punya pamrih hal tersebut
tidak disadarinya. Kesederhanaan cara berpikir Srintil dan orang-
orang Dukuh Paruk dimanfaatkan oleh Pak Bakar untuk mencapai
ambisinya. Sehingga mengantarkannya ke dalam penderitaan yaitu
penjara. Keterbelakangan Srintil dan warga Dukuh Paruk yang tidak
mengenal pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir terlihat dalam
kutipan berikut ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Bila datang ke sana ahli pidato itu mendapat penghormatan
sebagai seorang kamitua laiknya. Kata-katanya dituruti,
pengaturannya dijalankan. Satu-satunya jalan yang menjadi
pintu masuk ke dukuh Paruk berhias lambang partai.
Orang-orang merasa bangga karena itulah pengaturan
Bakar. Di depan rumah Kartareja juga dipasang sebuah
papan. Tak ada orang dukuh paruk yang bisa membaca
tulisan dalam papan itu. Namun setidaknya mereka tahu
tulisan di sana bersangkutan dengan kesenian ronggeng.
(Ahmad Tohari, 2003: 228)
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulkan bahwa Srintil
adalah perempuan yang cantik dan mempesona. Srintil juga
mempunyai pribadi yang kuat dalam menjalani prinsip hidup. Srintil
perempuan yang taat kepada adat istiadat dan orang tua. Srintil juga
tidak mengenal pendidikkan sehingga cara berpikirnya sangat
sederhana.
Berdasarkan uraian di atas Srintil dikategorikan sebagai tokoh
protagonis. Srintil termasuk tokoh yang berkembang karena watak
tokoh Srintil mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan
perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan. Salah satu contoh,
sikap Srintil ingin menjadi ronggeng waktu muda setelah dewasa ia
sadar suara jiwanya bahwa ia ingin menjadi perempuan somahan.
(b) Rasus
Rasus merupakan tokoh yang digambarkan dalam novel trilogi
Ronggeng Dukuh Paruk sebagai laki-laki yang menghormati seorang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
wanita, berkepribadian kuat, setia, cerdas, berbakti pada orang tua.
Rasus memang menyukai Srintil. Walaupun Rasus mendapatkan
kesempatan lebih berduaan dengan Srintil, ia tetap menghormatinya
karena baginya Srintil adalah merupakan gambaran emaknya yang
tidak kembali. Rasus seorang tokoh yang menghormati perempuan.
Hal ini dapat diperhatikan pada kutipan di bawah ini:
menciumku. Nafasnya terdengar cepat. Kurasakan telapak
tanggannya berkeringat. Ketika menoleh kesamping wajah
Srintil tegang. Ah, sesungguhnya aku tidak menyukai Srintil
dengan keadaan seperti itu. Meski aku tidak berpengalaman,
tetapi dapat kuduga Srintil sedang dicekam renjana birahi.
Tanpa melepas tangannya di pundakku, Srintil menoleh
sekeliling. Dia was-was ada orang lain di sekitar tempat itu.
Sebenarnya Srintil tak usah terlalu curiga. Pohon-pohon puring
dan kamboja yang mengelilingi pekuburan Dukuh Paruk
(Ahmad Tohari, 2003: 66)
Rasus seorang yang jujur, rajin dan pekerja keras. Keadaan yang
dimiliki Rasus serta dijalankan dengan penuh keyakinan membawa
perubahan hidupnya. Rasus akhirnya terpilih menjadi seorang tobang.
Pernyataan tersebut dapat dicermati dalam kutipan berikut ini:
dapat melaksanakan tugas sebagai tobang. Tentang tenaga, aku
sudah merasa pasti engkau memilikinya dengan cukup.
Kejujuranmu sudah terpancar dari wajah dan sinar matamu
sendiri. Jadi, aku merasa pasti pula engkau mampu menjadi
seorang tobang (Ahmad Tohari, 2003: 93)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Rasus meninggalkan Dukuh Paruk. Rasus ingin mencari hidup,
Srintil perempuan yang dicintainya sekarang telah menjadi milik
semua orang yang mempunyai banyak uang. Setelah peristiwa bukak-
klambu benar-benar membuat kecewa hati Rasus. Sehingga desa
tempat membesarkannya, neneknya, perempuan yang ia cintai
ditinggalkannya. Dengan prinsip hidup yang kuat Rasus tidak ingin
terlalu larut dalam kekecewaan. Ketegaran dan semangat Rasus
dalam menentukan pilihan hidupnya mengantarkannya menjadi
seorang tobang. Juga karena keberanian dan kejujurannya Rasus
menjadi tentara. Prinsip hidup Rasus yang kuat dapat disimak dalam
percakapan berikut ini :
Tetapi Dukuh Paruk dan orang-orangnya di sana tak ada
yang mengerti diriku yang sakit. Memang Dukuh Paruk member
kesempatan kepadaku mengisi bagian hati yang kosong dengan
seorang perawan kecil bernama Srintil. Tidak lama, sebab sejak
peristiwa malam bukak-klambu itu Srintil diseret keluar dari
dalam hatiku. Dukuh Paruk bertindak semena-mena. Aku
bersumpah tidak memaafkannya.
Salah seekor kambing kutuntun ke luar Dukuh Paruk pada
suatu pagi. Sebelum berangkat aku berkata kepada nenek, aku
akan mencari paman di luar kampung dan mungkin tidak
kembali lagi, Nenek menangis. Terbata-bata Nenek meminta
(Ahmad Tohari, 2003: 80)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Rasus mampu bersikap lebih dewasa dan selalu menjunjung
tinggi leluhurnya. Tidak mau melakukan tindakan yang kurang pantas
dimakam leluhurnya. Walau Rasus harus melawan gejolak nafsu yang
membelenggunya, perasaan jiwanya, namun karena sikap
kedewasaannya sehingga mampu menahan niat Srintil dengan halus.
Kedewasaan sikap Rasus tergambar jelas dalam kutipan berikut ini:
membenahi pakaian Srintil.
minta
belas kasihan dari majikannya.(Ahmad Tohari, 2003: 67)
Rasus seorang laki-laki yang berpendirian teguh, prinsipnya
kuat. Rasus pernah ikut menyelamatkan Dukuh Paruk dari
perampokan, sehingga ia mendapat penghormatan dari warga Paruk
dan penghormatan tersebut menjadikan diri Rasus semakin berarti,
meskipun disaat yang bersamaan Srintil perempuan yang dicintainya
merasa pasrah dan berjanji untuk meninggalkan ronggeng. Karena
keteguhan hatinya memilih meninggalkan Srintil di pagi buta untuk
menjadi seorang tentara. Semua itu tergambar dalam kutipan berikut
ini:
Malam terakhir di Dukuh Paruk aku hampir gagal memejamkan
mata hingga pagi hari. Sepanjang malam itu aku menghadapi
ulah seorang perempuan yang sedang dituntut oleh nalurinya.
Seorang perempuan yang ingin kuanggap tanpa sebutan apapun,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
baik sebutan ronggeng atau sebutan perempuan Dukuh Paruk.
Srintil hanya ingin disebut sebagai seorang perempuan utuh. Dia
sungguh-sungguh ingin melahirkan anakku dari rahimnya. Dia
ingin aku tetap tinggal bersamanya di Dukuh Paruk, atau ikut
bersamaku, pergi bergabung dengan kelompok Sersan Slamet.
(Ahmad Tohari, 2003: 105)
Rasus seorang laki-laki yang teguh pendirian. Tegas dalam
menentukan prinsip hal itu terjadi ketika Kartareja menanyakan
hubungan Rasus dengan Srintil. Jawaban Rasus tegas dan pasti. Hal
itu tertulis dalam kutipan berikut ini:
kepadaku. Aku tak bisa berkata apa-apa, sebab aku akan segera
berangkat ke tempat yang jauh dan entah kapan kembali. Maka
begini saja, Kek. Bila ada lelaki baik-baik yang berminat
mengambil Srintil, maka bantulah keduanya. Tetapi bila ada
lelaki yang datang hanya untuk bermain-main, tolong katakan
kepada Srintil sekarang dia tidak boleh berperilaku seperti
dahulu. Aku yang me (Ahmad Tohari, 2003:
360)
Rasus adalah seorang cucu yang baik. Diantara tugas yang ia
lakukan selalu mengingat akan Neneknya yang telah renta. Ia
mengingat Neneknya yang tinggal sendirian di Dukuh Paruk. Rasus
ingin selalu berbakti kepada neneknya. Ia masih menyayangi warga
Paruk, sehingga Rasus kembali untuk menjenguk neneknya.
Rasa bakti Rasus kepada neneknya tergambar dalam kutipan
berikut ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
wong bagus. Kau datang
bukan untuk menangkap kami, bukan? Kau hendak menjenguk
nenekmu yang sudah payah ini, bukan? Kau masih mengaku
saudara kepada kami orang-
(Ahmad Tohari, 2003: 256)
Rasus adalah seorang anak Dukuh Paruk yang
bertanggungjawab. Menjadi satu-satunya anak yang telah berhasil
menjadi tentara pada dirinya tertadapat sebuah tanggung jawab untuk
Dukuh Paruk. Kesediaan Rasus mencari Srintil adalah menunjukkan
bahwa Rasus berjiwa besar. Ia masih menyayangi Srintil dan Dukuh
Paruk yang telah membiarkan Rasus dalam kekecewaan. Rasus adalah
pribadi yang dewasa dan jelas dalam menentukan pilihan hidup.
Ketika Sakum menanyakan perasaan terhadap Srintil, Rasus hanya
tersenyum. Kutipan berikut ini adalah alasan mengapa Rasus tidak
juga menikahi Srintil:
Sakarya kembali mengusap air matanya.
segera dibebaskan? Karena sampean tahu tak seorang Dukuh
Paruk pun sebenarnya mengerti urusan yang menyebabkan
(Ahmad Tohari, 2003:
263)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Rasus
adalah seorang yang menghormati wanita. Ia begitu menghargai
Srintil karena dalam sosok Srintil ia menemukan gambaran kembali
emaknya. Ketegaranya dalam mencari harapannya ia rela
meninggalkan Neneknya. Rasus merupakan sosok yang jujur dan
pekerja keras. Ia memiliki prinsip yang kuat dan teguh pendirian.
Berdasarkan karakter dan sifat tokoh, Rasus dapat dikategorikan
sebagai tokoh protagonis. Rasus merupakan tokoh yang berkembang.
Watak tokoh Rasus mengalami perubahan dari rasa kecewa terhadap
Srintil dan Dukuh Paruk, namun kemudian Rasus merubah semua itu
menjadi sebuah rasa menyayangi dalam bentuk sebuah pengabdian.
(c) Sakarya
Sakarya kakek Srintil adalah orang yang bertanggungjawab
terhadap Dukuh Paruk. Rasa tanggung jawabnya dibuktikan pada
waktu Dukuh Paruk terjadi malapetaka. Sakarya keluar menuju makan
Ki Secamenggala. Laki-laki itu menangis seorang diri di pusara Ki
Secamenggala kemudian ia berkeliling pedukuhan dengan mengamati
perumahan penduduk. Rasa tanggung jawab Sakarya tersebut dapat
dicermati dalam kutipan berikut ini:
tengah malam Sakarya keluar menuju makan Ki Secamenggala.
Laki-laki itu menangis seorang diri di sana. Dalam kesedihannya
yang amat sangat, Sakarya mengadukan malapetaka yang terjadi
kepada moyang orang Dukuh Paruk. Sakarya tidak lupa, dirinya
menjadi kamitua di pedukuhan itu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Keluar dari pekuburan Sakarya berkeliling pedukuhan.
Dijenguknya setiap rumah. Setiap kali membuka pintu Sakarya
mendapat kesedihan. Bahkan tidak jarang Sakarya mendapat
perlakuan yang tidak enak. Seolah-olah dia harus ikut
bertanggung jawab atas dosa anaknya, Santayib. Meskipun
demikian tak sebuah rumah dilewati oleh Sakarya. (Ahmad
Tohari, 2003: 30)
Sebagai kamitua, Sakarya orang yang bertanggung jawab
terhadap Dukuh Paruk. Ia ingin mengembalikan citra Dukuh Paruk.
Jatidiri Dukuh Paruk tersebut diantaranya ada keramat Ki
Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah serapah, dan ada
ronggeng bersama perangkat calungnya. Maka ketika pada suatu sore
Sakarya melihat cucunya Srintil menari ronggeng di bawah pohon
nangka. Hati Sakarya lega, ia tidak ragu, Srintil cucunya telah
kerasukan indang ronggeng.
Sakarya yakin bahwa cucunya akan mampu mengembalikan
citra sebenarnya Dukuh Paruk. Keyakinan Sakarya itu dapat
diperhatikan dalam kutipan berikut ini:
Secamenggala itu merasakan hambarnya Dukuh Paruk karena
ronggeng bukanlah Dukuh Paruk. Srintil, cucuku sendiri, akan
kepada dirinya sendiri. Sakarya percaya, arwah Ki
Secamenggala akan terbahak di kuburnya bila kelak tahu ada
ronggeng di Dukuh Paruk. (Ahmad Tohari, 2003: 15)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Keinginan mendengar kembali calung mengiringi ronggeng
ternyata harapan banyak orang di Dukuh Paruk. Sikap teguh pendirian
yang dimiliki Sakarya ini bukti tanggung jawabnya sebagai kamitua.
Sakarya menyerahkan Srintil pada Kartareja seorang dukun ronggeng.
Sakarya tahu betul akibat yang akan diterima Srintil setelah cucunya
itu menjadi ronggeng. Srintil akan menjadi korban pelampiasan nafsu
kaum laki-laki. Demi mengembalikan citra Dukuh Paruk apapun
dilakukan, meskipun dengan mengorbankan cucunya sendiri. Bentuk
pengorbanan Sakarya dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini:
-laki yang
hampir sebaya ini secara turun temurun menjadi dukun
ronggeng di Dukuh Paruk. Pagi itu Kartareja mendapat kabar
gembira. Dia pun sudah bertahun-tahun menunggu seorang
calon ronggeng untuk diasuhnya. Belasan tahun sudah perangkat
calungnya disimpan di para-para di atas dapur. Dengan adanya
laporan Sakarya tentang Srintil, dukun ronggeng itu berharap
(Ahmad Tohari, 2003: 16)
Sebagai seorang Kamitua Sakarya seorang yang mampu
membaca sasmita alam. Ia juga peka terhadap kejadian yang terjadi di
sekelilingnya. Demi mencari keselamatan untuk Dukuh Paruk dan
warganya. Sakarya juga mampu menyadari akan keadaan dirinya.
Usianya yang sudah di atas tujuh puluh tahun tergolong telah lanjut. Ia
menyadari dengan usianya yang lanjut berarti kematian semakin dekat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dengan dirinya. Kepekaan Sakarya dalam membaca sasmita alam
dapat dicermati pada kutipan berikut ini:
Sasmita buruk lagi, pikir Sakarya. Apabila sudah yakin
demikian maka hanya satu hal yang harus dilakukan oleh
kamitua Dukuh Paruk itu; mengetuk pintuk makam Eyang
Secamenggala di puncak bukit, kemudian memasang sesaji dan
membakar kemenyan. Dia bersiap-siap. Istrinya disuruh mencari
kembang di halaman rumah Kartareja. Dia sendiri masuk ke
kamar mengambil seikat upet. Bila sekali dibakar ujungnya,
sayatan kelopak manggar ini akan terus membara sampai habis.
(Ahmad Tohari, 2003: 159).
Tiba-tiba Sakarya tersenyum. Di tengah keheningan hatinya
mendadak muncul kesadaran yang dalam bahwa usianya sudah
di atas tujuh puluh tahun. Di Dukuh Paruk dialah laki-laki yang
paling lanjut. Apabila pertanda buruk yang dirasakannya adalah
peringatan akan datangnya ajal, maka pantaslah adanya. Perihal
kematian diri, bukan hanya sekali-dua Sakarya
merenungkannya. Kadang malah merindukannya. Beberapa
tahun yang lalu Sakarya memesan tempat di pekuburan Dukuh
Paruk. Dibuatnya pemakaman palsu dengan tonggak nisan. Bila
ajal tiba maka orang akan menanam tubuh Sakarya di tempat itu.
(Ahmad Tohari, 2003: 159).
Sakarya merupakan orang yang bijaksana dan penuh kehati-
hatian. Ketika orang-orang Dukuh Paruk larut dalam hiruk-pikuk
perayaan tujuh belasan, Sakarya tidak ikut-ikutan. Sakarya tetap
penuh kehati-hatian. Ia mempunyai filsafat yang sederhana yaitu eling
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
lan waspada. karena segala sesuatu selalu berpasang-pasangan. Ada
kegembiraan pastilah ada kesusahan.
Sakarya mampu menahan rasa kegembiraannya, walaupun
malam peringatan tujuh belasan itu adalah malam kembalinya Srintil
untuk meronggeng. Ia tidak larur dalam kegembiraan sebagai kamitua
Sakarya menekankan pada persiapan kejiwaan dengan memasang
sesaji di makam Ki Secamenggala, terjaga di malam hari, dan
mengurangi makan-minum. Sikap Sakarya yang bijaksana dan penuh
kehati-hatian dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini:
Boleh jadi hanya Sakarya yang tidak sepenuhnya larut dalam
kegembiraan. Sikapnya yang hati-hati berasal dari filsafatnya
yang sederhana. Bahwa segala sesuatu berpasang-pasangan
adanya, tak terkecuali sesuatu yang bernama kegembiraan.
Pasangannya pastilah kesusahan. Sepanjang lintasan hidupnya
yang panjang, Sakarya sering menemukan kenyataan bahwa
segala sesuatu tak pernah berpisah jauh dari pasangannya. Orang
selalu memilih pihak yang menguntungkan dan menjauhi pihak
yang merugikan. Antara keduanya harus tetap terjaga jarak. Dan
dalam pikiran Sakarya menjaga jarak itu berarti harus selalu
bersikap hati-hati, eling. Kadang juga diartikannya sebagai
keseimbangan dan tidak berlebih-lebihan. (Ahmad Tohari, 2003:
180)
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagaiberikut:
bahwa Sakarya adalah orang yang penuh tanggung jawab memikirkan
kelangsungan dan kejayaan Dukuh Paruk. Walaupun samapai harus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mengorbankan cucunya Srintil. Ia juga mampu membaca sasmita
alam.
Berdasarkan karakter dan sifat tokoh, Sakarya dapat
dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Sakarya mempunyai watak
yang tidak berkembang. Sepanjang cerita novel Ronggeng Dukuh
Paruk, karakter Sakarya tidak mengalami perubahan.
(d) Kartareja
Kartareja dukun ronggeng di Dukuh Paruk. Mengenai
kemampuan untuk mengelola ronggeng tidak perlu diragukan. Karena
untuk menjadi seorang ronggeng, tidak hanya pandai menari tapi sisi
yang lain juga perlu dipersiapkan. Seorang ronggeng harus melakukan
upacara tradisional. Kartareja dan istrinya sangat ahli di bidang ini.
Sebagai dukun ronggeng mereka berdua menguasai seluk beluk
ronggeng.
Kemampuan Kartareja mengenai ronggeng dapat dicermati dalam
kutipan berikut ini:
s tarian Srintil.
Cucuku tampak belum pintar melempar sampur. Nah, ada lagi
Kartareja terkekeh. Dia merasa tidak perlu berkata apa-apa.
-
guna, pekasih, susuk, dan tetek bengek lainnya yang akan
membuat seorang ronggeng laris. Kartareja dan istrinya sangat
ahli dalam urusan ini. (Ahmad Tohari, 2003: 16)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Untuk menjadi seorang ronggeng harus melakukan upacara
tradisi. Dari upacara pemandian yang dilaksanakan di pekuburan Ki
Secamenggala sampai upacara ritual bukak-klambu. Bukak-klambu
adalah upacara berupa sayembara untuk mendapatkan keperawanan
calon ronggeng dengan syarat tertentu. Bagi laki-laki yang mampu
untuk menyerahkan sejumlah uang atau perhiasan yang telah
ditentukan oleh dukun ronggeng, berhak mendapatkan virginitas calon
ronggeng.
Sebagai dukun ronggeng Kartareja sudah menentukan malam
upacara bukak-klambu. Kartareja memasang syarat sekeping uang
logam ringgit emas. Dengan alasan bahwa selama ini di Dukuh Paruk
belum pernah ada seorang ronggeng secantik Srintil.
Banyak orang merasa keberatan dengan syarat yang ditentukan
oleh Kartareja. Menurutnya terlalu berat harga yang telah ditentukan
untuk mengikuti sayembara bukak-klambu bagi orang Dukuh Paruk.
Jangankan ringgit emas, sebuah rupiah perak pun tidak dimiliki oleh
laki-laki Dukuh Paruk. Alasan Kartareja memasang harga yang amat
mahal untuk seorang ronggeng dapat diperhatikan kutipan berikut ini:
-baik. Pernahkah ada
tapi siapa yang
-laki Dukuh Paruk
akan memenangkan sayembara. Jangankan ringgit emas, sebuah
rupiah perak pun tak dimiliki oleh laki-laki Dukuh Paruk. Saya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
tidak berhar (Ahmad Tohari,
2003: 52)
Kesombongan Kartareja terlihat juga ketika Dower datang untuk
melengkapi uang panjarnya dengan membawa seekor kerbau betina.
Ia sangat tidak menghargai kerbau betina yang dibawa Dower.
Padahal dua uang perak kalau dijumlah dengan harga kerbau betina
harganya sebanding dengan sekeping ringgit emas, bahkan bisa lebih.
Sifat sombong Kartareja dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini:
bernil
menerangkan. Namun Kartareja menyambutnya dengan senyum
kecut, bahkan menyepelekan. Dower menjadi gelisah dalam
duduknya.
tidak kotor, dan aku takkan disusahkannya dengan urusan
membuang muka. (Ahmad Tohari, 2003: 70)
Kartareja juga bersifat licik ketika malam bukak-klambu.
Dower yang pada waktu itu datang membawa seekor kerbau untuk
melengkapi panjar hari sebelumnya, tetapi datang juga Sulam yang
membawa sekeping ringgit emas. Kartareja mempunyai niat jahat
bagaimana untuk dapat menguasai kekayaan dua pemuda tersebut.
Kartareja menggunakan cara licik untuk mendapatkan uang Dower
dan Sulam dalam acara malam bukak-kalmbu.
Kartareja memberi keduanya minuman ciu. Kedua pemuda
mulai minum ciu. Sulam mulai mengigau karena minum terlalu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
banyak. Sebaliknya Dower sama sekali tidak mabuk. Sulam
merasakan beribu bintang jatuh dari langit. Telinganya mendengar
tembang asmara, Sulam tgerasa mabuk kepayang. Dalam keadaan
semacam itu, oleh Sulam, Nyai Kartareja dianggap sebagai Srintil.
Sulam mangajak Nyai Kartareja bertayub. Kutipan berikut
menggambarkan kelicikan Kartareja:
kau harus datang membawa sebuah ringgit emas. Kalau tidak,
apa boleh buat. Kau kalah dan uang panjarmu hilang.
panjar saya
i
wajahnya. Dower termangu, tampak berpikir keras. (Ahmad
Tohari, 2003: 58)
sedang hilang ingatan. Soal bertayub tak usah ditanyakan
kepada istri dukun ronggeng itu. Dia sangat berpengalaman.
Jadilah, teringat masa mudanya, maka Nyai Kartareja melayani
Sulam dengan sepenuh hati. Dia membiarkan dirinya dibawa
(Ahmad Tohari, 2003:
74-75)
Kartareja juga seorang yang cerdik, sikap cerdiknya terlihat ketika
perampokan melanda Dawuan dan sekitarnya, termasuk diantaranya
Dukuh Paruk. Kartareja dengan cerdik mengelabuhi perampok
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dengan menyembunyikan perhiasan yang dimiliki Srintil yang lebih
mahal sedang yang lainnya disuruh memakainya. Sehingga menjadi
sasaran perampok perhiasan yang dipakai. Kecerdikan Kartareja dapat
diperhatikan dalam kutipan berikut ini:
Ketika aku dan Sersan Slamet masuk, Kartareja sedang
menggigil di depan Kopral Pujo. Istrinya duduk termangu.
Srintil terbelalak melihat aku membawa bedil, sehingga dia
ragu-ragu mendekat. Dari keterangan Kartareja diketahui
perampok hanya berhasil membawa perhiasan yang pada saat itu
dikenakan Srintil: sepasang subang, dua cincin, dan seuntai
kalung. Kartareja menyuruh Srintil tetap mengenakan perhiasan
itu untuk melindungi perhiasan lain yang lebih dari jarahan para
perampok. (Ahmad Tohari, 2003: 102)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa watak Kartareja
adalah sombong, licik, dan cerdik. Sifat sombong Kartareja yaitu
pada saat dipercaya menjadi dukun ronggeng, ia memasang Kartareja
memasang harga yang amat mahal untuk seorang ronggeng, dan juga
ketika menanggapi Dower peserta sayembara bukak-klambu. Ia juga
seorang yang licik dalam usaha untuk mendapatkan kekayaan Sulam
dan Dower dan ia juga cerdik dalam mengamankan perhiasan Srintil.
Sebagai dukun ronggeng ia bersama istrinya pandai memanfaatkan
Srintil untuk mendapatkan uang dan materi yang lain.
Berdasarkan karakter dan sifat tokoh, Kartareja bisa
dikategorikan sebagai tokoh antagonis. Kartareja juga dapat
dikategorikan sebagai tokoh yang berkembang perwatakannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Setelah Sakarya meninggal dunia, Kartareja memikul tanggung jawab
untuk Dukuh Paruk. Karena ia satu-satunya yang bisa menggantikan
Sakarya sebagai kamitua di Dukuh Paruk.
(e) Nyai Kartareja
Nyai Kartareja adalah dukun ronggeng di Dukuh Paruk. Waktu
muda Nyai Kartareja pernah menjadi ronggeng. Dahulu Nyai
Kartareja menjadi ronggeng tetapi tidak laku, istilahnya menjadi
ronggeng bobor. Dengan latar belakang pernah menjadi ronggeng
Nyai Kartareja sangat memahami dunia ronggeng.
Ketika mengetahui Srintil mendapat indang ronggeng, Sakarya
(kakek Srintil) menyerahkan Srintil kepada Kartareja dan Nyai
Kartareja. Kartareja bertugas melatih tarian Srintil. Sedangkan Nyai
Kartareja bertugas menangani Srintil tentang bagaimana Srintil jadi
ronggeng dari sisi perempuan. Nyai Kartareja tidak hanya mendadani
Srintil, ia juga meniupkan mantra pekasih, bahkan memasang susuk
emas pada Srintil. Kemampuan Nyai Kartareja dalam memahami
dunia ronggeng terdapat dalam kutipan sebagai berikut:
Satu hal disembunyikan oleh Nyai Kartareja terhadap siapa pun.
Itu, ketika dia meniupkan mantra pekasih ke ubun-ubun Srintil.
Mantra yang di Dukuh Paruk dipercaya akan membuat siapa saja
tampak lebih cantik dari sebenarnya;
uluk-uluk perkutut manggung
teka saka ngendi,
teka saka tanah sabrang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pakanmu apa,
pakanku madu tawon
manis madu tawon
ora manis kaya putuku, Srintil.
Konon bukan hanya itu. Beberapa susuk emas dipasang oleh
Nyai Sakarya di tubuh Srintil. (Ahmad Tohari, 2003: 18-19)
Nyai Kartareja mempersiapkan Srintil dengan matang. Srintil
diberi jampi-jampi juga mantra pekasih. Ia juga berusaha membuat
Srintil tidak dapat hamil dengan cara memijit hingga mati indung telur
Srintil. Hal ini sangat memungkinkan karena selain menjadi ronggeng,
Srintil juga harus melayani banyak laki-laki yang memintanya. Sikap
ini baru disadari ketika Srintil menginjak dewasa. Dalam hati Srintil
menilai begitu jahat tindakan yang dilakukan oleh Nyai Kartareja.
Karena hal itu dilakukan pada saat usia Srintil masih muda belia.
Dugaan sikap jahat Nyai Kartareja pada diri Srintil dapat diperhatikan
pada kutipan di bawah ini:
Aku menduga keras Srintil mulai dihantui kesadaran bahwa
Nyai Kartareja telah memijit hingga mati indung telurnya,
peranakannya. Suami-istri dukun ronggeng itu merasa perlu
berbuat demikian sebab hokum Dukuh Paruk mengatakan karier
seorang ronggeng terhenti sejak kehamilannya yang pertama.
Kukira Srintil mulai sadar kemandulan adalah hantu
mengerikan, yang akan menjelang pada hari tua. Atau Srintil
telah mendengar riwayat para ronggeng yang tak pernah
mencapai hari tua karena dimakan raja singa atau penyakit kotor
lainnya. (Ahmad Tohari, 2003: 90)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Nyai Kartareja adalah juga pandai ndai mengambil hati orang
lain. Ia pandai merayu atau mengelabuhi mangsanya. Ia juga mampu
mengurus Srintil dalam setiap penampilan menjadi ronggeng. Apa
yang dilakukan Nyai Kartareja mempunyai maksud tertentu yaitu
untuk mencari penghasilan dari kemolekan seorang ronggeng Paruk.
Dia pandai merayu bukan hanya pada Srintil tetapi juga pada semua
laki-laki yang menghendaki Srintil. Keahlian Nyai Kartareja dalam
menaklukan mangsanya dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini:
bertengkar di sini. Aku khawatir tetangga nanti datang karena
mendengar keributan. Ayo, bocah bagus, duduklah. Kalau
kalian terus berselisih, pasti Srintil merasa takut. Bagaimana bila
nanti dia tidak bersedia menjalani bukak-
Oleh caranya yang khas gaya seorang mucikari, Nyai Kartareja
dapat menenangkan Sulam dan Dower. Keduanya duduk
kembali, masing-masing dengan wajah kecut. Hening. Kartareja
duduk termangu. (Ahmad Tohari, 2003: 73)
-menyiakan
kesempatan ini. Membonceng motor ubluk bersama pak Marsusi
ke kota. Pelesir ke mana-mana, nonton bioskop misalnya. Kau
belum pernah melihat tontonan itu, bukan? Kepada Pak Marsusi
kau bisa minta dibelikan barang-barang. Nah, bagaimana kalau
kau minta kalung seperti yang dipakai istri Lura
wong ayu. Tetapi
(Ahmad Tohari, 2003: 119)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Nyai Kartareja juga bersifat licik. Kelicikan itu terlihat ketika
malam bukak-klambu ada dua pemuda yang datang ke rumahnya.
Sulam membawa sebuah ringgit emas dan Dower membawa kerbau
untuk melengkapi dua rupiah perak yang telah dibawanya. Dalam hati
Nyai Kartareja ingin memiliki ringgit emas sekaligus semua yang
dibawa Dower. Siasat licik Nyai Kartareja dapat diperhatikan dalam
kutipan berikut ini
bukak-klambu. Dua
rupiah perak serta kerbau itu sah menjadi milik kami. Engkau
Dower hanya tersenyum. Tercapai sudah
keinginannya memperoleh sebutan sebagai pemuda yang
mewisuda ronggeng Srintil. Virgin atau tidak virgin ronggeng
yang ditidurinya menjadi naïf Dower.
da
tengik. Baiklah, aku mau tidur di sini. Aku pun telah lelah dan
(Ahmad Tohari, 2003: 76)
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Nyai
Kartareja adalah seorang nenek yang pandai merayu (pandai
mengambil hati orang lain). Ia seorang nenek yang serakah dan licik
dengan memanfaatkan Srintil ia akan menguras kekayaan laki-laki
yang mendekatinya.
Berdasarkan sifat atau karakter yang dimiliki oleh Nyai
Kartareja. Tokoh Nyai Kartareja dikategorikan sebagai tokoh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
antagonis. Perwatakannya tidak mengalami perkembangan sepanjang
alur cerita dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.
4) Latar atau setting
Latar atau setting adalah merupakan suatu tempat terjadinya
peristiwa yang berkaitan dengan waktu, tempat, dan suasana dalam
cerita. Latar cerita berkaitan dengan waktu dan tempat penceritaan.
Waktu dapat berarti siang dan malam, tanggal, bulan, dan tahun. Tempat
dapat berarti di dalam atau di luar rumah, di desa atau di kota, dapat juga
di kota mana, di negeri mana, dan sebagainya. Setting sosial menunjuk
pada hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat
yang terdapat pada suatu tempat yang diceritakan dalam cerita fiksi.
Untuk lebih jelasnya, penulis akan menguraiakan satu persatu
setting yang ada dalam cerita Ronggeng Dukuh Paruk ini. Setting
tersebut meliputi: setting tempat, setting waktu, dan setting sosial.
(a) Setting Tempat
Novel Ronggeng Dukuh Paruk ada beberapa tempat yang
menjadi setting cerita. Cerita ini terjadi di Dukuh Paruk. Dukuh Paruk
bisa dikategorikan sebagai setting primer. Dukuh Paruk dihuni dua
puluh tiga rumah semuanya adalah orang-orang seketurunan Ki
Secamenggala. Dukuh Paruk merupakan pemukiman yang sempit dan
terpencil. Kemelaratan, kebodohan dan keterbelakangan selalu
menyertai Dukuh Paruk.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
. Gambaran keadaan Dukuh Paruk yang amat memprihatinkan
dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini:
Entah sampai kapan pemukiman sempit dan terpencil ini
bernama Dukuh Paruk. Kemelaratannya, keterbelakangan-nya,
penghuninya yang kurus dan sakit, serta sumpah serapah cabul
menjadi bagiannya yang sah. Keramat Ki Secamenggala pada
puncak bukit kecil di tengah Dukuh Paruk seakan menjadi
pengawal abadi atas segala kekurangan di sana. Dukuh Paruk
yang dikelilingi hamparan sawah berbatas kaki langit, tak
seorang pun penduduknya memiliki lumbung padi meski yang
paling kecil sekalipun. Dukuh Paruk yang karena kebodohannya
tak pernah menolak nasib yang diberikan alam. (Ahmad Tohari,
2003: 79)
Dua puluh tiga rumah berada di pedukuhan itu, dihuni oleh
orang-orang seketurunan. Konon, moyang semua orang Dukuh
Paruk adalah Ki Secamenggala, seorang bromocorah yang
sengaja mencari daerah paling sunyi sebagai tempat
menghabiskan riwayat keberadaannya. Di Dukuh Paruk inilah
akhirnya Ki Secamenggala menitipkan darah dagingnya. (Ahmad
Tohari, 2003: 79)
Selain setting primer novel Ronggeng Dukuh Paruk juga
memiliki beberapa setting sekunder. Setting sekunder dalam novel ini
misalnya: Pasar Dawuan, Kota Eling-Eling, dan Desa Alas Wangkal.
Dalam pembahasan ini penulis hanya akan membicarakan setting
sekunder yaitu Pasar Dawuan, karena Pasar Dawuan merupakan
tempat pelarian Rasus setelah dirinya merasa tidak dihargai oleh
Dukuh Paruk. Hal itu dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dawuan tempatku menyingkir dari Dukuh Paruk terletak di
sebelah kota kecamatan. Akan terbukti nanti, pasar Dawuan
merupakan tempat melarikan diri yang tepat. Di sana aku dapat
melihat kehadiran orang-orang dari perkampung dalam wilayah
kecamatan itu. Tak terkecuali orang-orang dari Dukuh Paruk.
Pasar Dawuan menjadi tempat kabar merambat dari mulut ke
telinga, dari telinga ke mulut, dan seterusnya. Berita yang terjadi
di pelosok yang paling terpencil bisa didengar di pasar itu.
(Ahmad Tohari, 2003: 80)
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa novel
trilogi Ronggeng Dukuh Paruk memiliki setting primer Dukuh Paruk.
Semua kejadian cerita novel dari awal sampai akhir cerita bersumber
di Dukuh Paruk. Novel ini juga terdapat setting sekunder yang paling
dominan adalah pasar Dawuan.
(b) Setting Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masal
biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, dapat meliputi tahun,
bulan, hari, tanggal, jam, atau saat yang ada kaitannya atau dapat
dikaitkan dengan peristiwa sejarah.
Novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk berkisah tentang
kehidupan Dukuh Paruk mulai tahun 1946. Cerita ini dumulai sejak
terjadi malapetaka tempe bongkrek yang membuat anak-anak Dukuh
Paruk menjadi yatim piatu. Diantara mereka yang menjadi yatim piatu
yaitu Srintil dan Rasus, tokoh dalam cerita ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Setting waktu dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dapat
diperhatikan kutipan di bawah ini:
Seandainya ada seorang di Dukuh Paruk yang pernah
bersekolah, dia dapat mengira-ngira saat itu hampir pukul dua
belas tengah malam, tahun 1946. Semua penghuni pedukuhan
itu telah tidur pulas, kecuali Santayib, ayah Srintil. Dia sedang
mengakhiri pekerjaannya malam itu. Bangkil ampas minyak
kelapa yang telah ditumbuk halus dibilas dalam air. Setelah
dituntas kemudian dikukus. Turun dari tungku, bahan ini
diratakan dalam sebuah tampah besar dan ditaburi ragi bila
sudah dingin. Besok hari pada bungkil ampas minyak kelapa itu
akan tumbuh jamur-jamur halus. Jadilah tempe bongkrek.
Sudah sejak lama Santayib memenuhi kebutuhan orang Dukuh
Paruk. (Ahmad Tohari, 2003: 21)
Alam membisu mendengar ratap Sakarya. Dukuh Paruk
bungkam. Hanya kadang terdengar keluh sakit. Atau tangis
orang-orang yang menyaksikan saudara meregang nyawa. Bau
bunga sedap malam dikalahkan oleh asap kemenyan yang
mengepul dari semua rumah di Dukuh Paruk, pedukuhan yang
berduka ketika Srintil genap berusia lima bulan. (Ahmad Tohari,
2003: 31)
Novel ini diawali dengan kemunculan anak-anak Dukuh Paruk
seperti: Rasus, Warta, Darsun, dan Srintil. Namun yang sebenarnya
sebenarnya cerita ini dimulai sejak terjadi malapetaka tempe bongkrek
di Dukuh Paruk. Saat itu tokoh utama Srintil masih bayi. Penulis
menuturkan tragedi tempe bongkrek itu dengan cara flash back (kilas
balik). Diketahui dalam cerita tersebut Rasus masih berusia sekitar
tiga tahun. Hal itu dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tetapi orang akan sia-sia menyampaikan pengetahuan ini ke
Dukuh Paruk. Di sana orang begitu yakin asam tembaga adalah
satu-satunya penyebab racun bongkrek. Demikian, dengan
menghindarkan perkakas tembaga, orang Dukuh Paruk masih
membuat tempe bongkrek. Jadi petaka yang terjadi ketika Srintil
bayi (kata nenek aku berusia tiga tahun saat itu) bukan musibah
pertama, bukan pula yang terakhir. (Ahmad Tohari, 2003: 33)
Cerita novel Ronggeng Dukuh Paruk diakhiri dengan
kepulangan Rasus setelah bertugas dari Kalimantan. Ia mendapati
Srintil dalam keadaan hilang ingatan. Rasus membawa Srintil ke
rumah sakit jiwa. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 70-an. Jadi
diperkirakan Setting waktu yang terjadi dalam cerita novel Ronggeng
Dukuh Paruk berakhir sekitar tahun 70-an. Keterangan tersebut dapat
dicermati dalam kutipan berikut ini:
Februari 1971 adalah mangsa kesanga dalam pranata mangsa
yang dianut oleh orang Dukuh Paruk. Sepanjang hari, bahkan
kadang juga pada waktu malam, udara terasa sangat panas.
Angin sering bertiup amat kencang merontokkan dedaunan,
mematahkan pelepah pisang, dan mematahkan batang bamboo
muda. Di sawah tanaman padi yang sedang berbunga melewati
saat kritis. Penyerbukan bisa gagal karena angin yang terlalu
kencang. Bila hujan turun, curahnya jatuh dalam butiran-butiran
besar. (Ahmad Tohari, 2003: 371)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa setting waktu pada
novel Ronggeng Dukuh Paruk dimulai tahun 1946. Pada waktu itu
terjadinya musibah tempe bongkrek dan cerita novel ini diakhiri pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
tahun 70-an, bahkan data pendukung secara eksplisit disebutkan pada
tahun 1971 dalam novel tersebut.
(c) Setting Sosial
Latar sosial menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan
kehidupan sosial masyarakat yang terdapat pada suatu tempat yang
diceritakan dalam cerita fiksi. Tata kehidupan sosial masyarakat
meliputi beberapa masalah dalam lingkup yang amat kompleks. Dapat
berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan
hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain sebagainya. Disamping itu,
latar sosial juga berhubungan dengan status tokoh yang bersangkutan.
Kehidupan masyarakat dalam cerita novel Ronggeng Dukuh
Paruk adalah suasana kemelaratan, kebodohan, dan keterbelakangan.
Keterbelakangan mengenai pendidikan yang dialami oleh tokoh cerita
seperti Srintil dan Rasus juga anak-anak Dukuh Paruk lainnya.
Gambaran tentang keterbelakangan pendidikan dapat di perhatikan
dalam kutipan berikut ini:
Hubungan dengan Sersan Slamet lebih dapat dikatakan sebagai
hubungan pribadi daripada sebagai hubungan antara seorang
tobang dan seorang sersan. Dia banyak bertanya tentang diriku,
asal-usulku, bahkan sekolahku. Dia mangajariku menulis dan
membaca setelah mengetahui aku tak pernah bersekolah.
Berbagai kisah seorang tentara pelajar yang karena
keberaniannya dapat membunuh tiga serdadu musuh dalam
suatu pertempuran. (Ahmad Tohari, 2003: 94). Hanya
diperlukan waktu seperempat jam dari kota Eling-Eling ke
daerah berhawa sejuk di kaki gunung di sebelah utaranya. Bajus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
membelokkan mobilnya ke halaman sebuah vila mungil yang
ternyata kemudian sudah disewanya. Srintil diajaknya masuk. Di
ruang istirahat penunggu vila sudah menyiapkan minuman serta
buah-buahan. Srintil diberitahu di mana dia bisa beristirahat, dan
dimana letak kamar mandi. Bajus langsung kelihatan sibuk
mengeluarkan map dan buku agenda. Sebuah pemutar pita
kaset diambil dari kamar lalu Srintil diajari bagaimana
menghidupkannya. Majalah-majalah disodorkan dan Bajus
lupa atau tidak mengerti bahwa Srintil buta huruf. (Ahmad
Tohari, 2003: 374)
Kemelaratan juga terlukis jelas pada Dukuh Paruk. Tidak hanya
pada keluarga Sakum, tapi kemiskinan itu dimiliki oleh semua orang
Dukuh Paruk. Pada waktu sayembara bukak-klambu, terbukti tak
satupun orang Dukuh Paruk yang berani mengikuti sayembara itu.
Jangankan ringgit emas, sebuah rupiah perak pun tidak dimiliki oleh
laki-laki Dukuh Paruk. Hal itu dapat diperhatikan pada kutipan di
bawah ini:
-laki Dukuh Paruk
akan memenangkan sayembara. Jangankan ringgit emas, sebuah
rupiah perak pun tak dimiliki oleh laki-laki Dukuh Paruk. Saya
(Ahmad Tohari,
2003: 52)
Novel ini menggambarkan peristiwa pada tahun 60-an dimana
keadaan masyarakat tidak aman. Banyak terjadi perampokan. Untuk
orang-orang yang kaya merasa terganggu, kecuali untuk orang-orang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dukuh Paruk karena miskin, kecuali untuk ronggeng Dukuh Paruk.
Suasana pada tahun 60-an yang tidak aman dapat diperhatikan dalam
kutipan berikut ini:
Tahun 1960 wilayah Kecamatan Dawuan tidak aman.
Perampokan dengan kekerasan senjata sering terjadi. Tidak
jarang para perampok membakar rumah korbannya. Aku yang
selalu tidur di sudut pasar Dawuan mulai terasa takut. Mulai
tepikir olehku, apakah sudah tiba saatnya bagiku kembali ke
Dukuh Paruk? Aku berharap para perampok tidak tertarik pada
pedukuhan itu karena letaknya yang berada di tengah sawah.
Menurut perhitunganku, andaikata terjadi perampokan di sana,
polisi gampang mengepungnya. (Ahmad Tohari, 2003: 90)
Cara berpikir dan bersikap warga Dukuh Paruk karena
keterbelakangannya sehingga terbawa arus politik tanpa mereka
sadari. Kesenian ronggeng dimanfaatkan salah satu organisasi politik
dengan teknik adu domba. Waktu itu warga Dukuh Paruk mendapati
cungkup Ki Secamenggala dalam keadaan rusak. Warga menduga
Bakar pelakunya. Ia harus bartanggungjawab akan kejadian ini. Bakar
adalah salah satu tokoh PKI yang merasa ditolak kehadirannya oleh
Dukuh Paruk.
Kemampuan Bakar untuk melabuhi warga Dukuh Paruk dapat
berhasil. Untuk dapat menguasahi kembali Dukuh Paruk Bakar
membuat kegaduhan yang ditujukan kepada kelompok caping hijau.
Dalam situasi marah dan ingin menuntut pertanggungjawaban Bakar,
justru berbalik setelah warga menemukan caping barwarna hijau.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Caping itu ada tulisan tertentu, orang Dukuh Paruk tak bisa
membacanya. Karena kebodohannya orang Dukuh Paruk
menyimpulkan sendiri bahwa pemilik caping hijau adalah organisasi
politik yang lain. Kemudian Dukuh Paruk bersatu kembali dengan
Bakar.
Setelah peristiwa tersebut Bakar semakin leluasa menggunakan
ronggeng Dukuh Paruk dalam melancarkan tujuannya. Dukuh Paruk
yang bodoh tidak tahu bahwa mereka telah masuk perangkap. Hari-
hari berikutnya kesenian ronggeng selalu dilibatkan dalam rapat-rapat
akbar. Keadaan ini membawa orang-orang Dukuh Paruk dalam
kesulitan besar. Dukuh Paruk dalam penderitaan yang
berkepanjangan. Suasana Dukuh Paruk setelah peristiwa politik tahun
1965 dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini:
Awal kemarau tahun 1966. Malam yang sangat dingin
menyertakan kecemasan yang meluas. Anjing-anjing liar yang
beringas karena terangsang bau darah. Atau mayat-mayat yang
tidak diurus secara layak. Angin membawa bau bangkai. Dini
hari di langit timur muncul tanda keperkasaan alam. Lintang
kemukus menggaris langit dengan ujungnya yang runcing
kemilau. Suara malam ialah bunyi langkah sepatu yang berat.
Dan letupan bedil sekali-kali. (Ahmad Tohari, 2003: 238-239)
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keadaan
sosial dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah keadaan
masyarakat yang miskin, bodoh dan keterbelakangan sehingga
mempengaruhi cara berpikir dan bersikap. Sehingga menjadi korban
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kekacauan politik yang akhirnya membawa penderitaan
berkepanjangan semua warga Dukuh Paruk.
5) Poin of View
Point of View atau sudut pandang cerita adalah cara pandang
pengarang yang digunakan untuk menyajikan tokoh, perwatakan, latar dan
berbagai rangkaian peristiwa suatu cerita dalam karya fiksi. Sudut pandang
digunakan pengarang untuk menyampaikan strategi, teknik, siasat untuk
menyampaikan gagasan cerita.
Sudut pandang yang digunakan pada novel Ronggeng Dukuh
Paruk
menampilkan tokoh dalam novel disebut nama dan variasi kata ganti.
Sudut pandang yang paling menonjol dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk
menggunakan cara seperti dibawah ini. Kutipan yang menjelaskan
pendapat tersebut:
Malam terakhir di Dukuh Paruk aku hampir gagal memejamkan
mata hingga pagi hari. Sepanjang malam itu aku menghadapi
ulah seorang perempuan yang sedang dituntut oleh nalurinya.
Seorang perempuan yang ingin kuanggap tanpa sebutan apapun,
baik sebutan ronggeng atau sebutan perempuan Dukuh Paruk.
Srintil hanya ingin disebut sebagai seorang perempuan utuh. Dia
sungguh-sungguh ingin melahirkan anakku dari rahimnya. Dia
ingin aku tetap tinggal bersamanya di Dukuh Paruk, atau ikut
bersamaku, pergi bergabung dengan kelompok Sersan Slamet.
(Ahmad Tohari, 2003: 105)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Ahmad Tohari dalam menggunakan sudut pandang yaitu pesona
menyebut nama tokohnya, sehingga posisi pengarang ada
diluar tetapi serba tahu. Pengarang mengetahui persis perasaan tokoh satu
dengan tokoh lainnya.
b. Struktur Novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa
1) Tema Novel Sinden
Novel Sinden kaya Purwadmadi Admadipurwa mengambil tema
sosial budaya perjuangan wong cilik sebagai sinden. Desa Sumberwungu
merupakan desa miskin dengan keadaan kering dan tandus hidup dalam
penindasan penguasa. Desa ini banyak menghasilkan sinden kondang.
Dalam novel ini juga dilukiskan prinsip keluhuran seorang sinden yang
memegang tatakrama untuk mewujudkan sinden sejati.
2) Alur atau Plot
Alur atau plot adalah rangkaian peristiwa-peristiwa yang saling
terkait dan dihubungkan secara sebab-akibat yang terlukis dalam cerita
karya sastra. Berdasarkan urutan peristiwa yang terlukis dalam alur novel
Sinden menggunakan alur maju. Dalam artian jalinan cerita tersusun
secara urut melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi dapat dipahami secara
lengkap mulai awal sampai akhir cerita, meskipun sedikit adanya
penuturan kisah Nyai Estu waktu berguru dengan Nyai Larasmadu
mengenai sinden sejati dengan cara flash back (kilas balik). .
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Rangkaian kejadian yang tersusun dan membentuk satu kesatuan
yang utuh. Rangkaian unsur-unsur itu pada prinsipnya alur cerita terdiri
dari tiga bagian, yaitu : (1) alur awal, terdiri dari paparan (eksposisi),
rangsangan (inciting moment), dan penggawatan (rising action); (2) alur
tengah, terdiri atas pertikaian (conflict), perumitan (complication), dan
klimaks atau puncak penggawatan (climax); (3) alur akhir, terdiri dari
peleraian (falling action), dan penyelesaian (denouement).
Urutan peristiwa yang terjalin dalam plot novel Sinden sebagai berikut:
(a) Tahap Paparan (Eksposisi)
Tahap paparan atau eksposisi pada novel Sinden karya
Purwadmadi Admadipurwa yaitu tahap dimana pengarang mulai
untuk memperkenalkan tempat terjadinya cerita, waktu, tokoh-tokoh
cerita dan permasalahan dalam cerita sebagai sumber konflik.
Awal cerita diceritakan tentang kehidupan di Sumberwungu
lengkap dengan gambaran alam dan kehidupan rakyatnya. Tahap
paparan atau eksposisi pada novel Sinden karya Purwadmadi
Admadipurwa yaitu tahap dimana pengarang mulai memaparkan
cerita perjuangan Tumi ingin menjadi seorang sinden yang kondang.
Menjadi Sinden merupakan penghargaan besar untuk desa
Sumberwungu. Tumi berlatih pada Nyai Estu. Melalui Nyai Estu
Tumi dibimbing dan diberi petuah yang baik untuk menjadi sinden
yang bermartabat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(b) Tahap Rangsangan ( Inciting Moment)
Tahap Rangsangan adalah peristiwa mulai adanya problem-
problem yang ditampilkan dalam cerita oleh pengarang yang
kemudian dikembangkan yang mengarah peningkatan terjadinya
konflik. Berawal dari lurah Ponco melamar Tumi untuk anaknya.
Namun lamaran lurah Ponco ditolak oleh Tumi. Tumi tidak mencintai
Rudito anak lurah Sumberwungu yang mempunyai tabiat tidak baik
yaitu suka mabuk, judi dan main perempuan. Tentu saja penolakan
lamaran lurah Sumberwungu membuat kekecewaan di hati Ponco.
(c) Tahap Penggawatan (Rising Action)
Tahap penggawatan adalah dimana konflik cerita menjadi
meningkat yaitu dimasa pemerintahan lurah Ponco menjelang tua
berperangai keras. Lurah Ponco menggalang kaum pemuda pemudi
untuk dilatih fisik dan mental. Para muda mudi berbaris mengelilingi
desa sambil menyanyikan lagu mars untuk menghina pak Mantri yang
dianggap lawan politik Poncodriyo. Dan ulah Rudito yang selalu
mabuk dan mengganggu Tumi.
(d) Tahap Pertikaian (Comflict)
Komflik semakin ruwet Rudito tengah malam datang kembali
kerumah Tumi dengan keadaan terluka parah darah bersimbah
keseluruh tubuh. Mendengar orang merintih di tengah malam Karto
keluar rumah setelah melihat keadaan itu Karto panik teringat putrinya
yang sampai tengah malam belum pulang. Karto membiarkan Rudito,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Karto membawa obor menuju rumah Nyai Estu ingin mencari Tumi
yang berlatih sinden tapi tidak pulang. Peristiwa itu diceritakan pada
Nyai Estu. Akhirnya ketiga orang itu menuju rumah Tumi.
Rumah Karto ternyata kosong Rudito hilang tak tahu kemana
ditabuhnya tanda bahaya sehingga para tetangga ramai-ramai menuju
rumah Karto. Peristiwa itu segera dilaporkan ke kelurahan
Sumberwungu. Akhirnya Kartosemedi ditangkap Mangundarmo atas
perintah Ponco. Kartosemedi dituduh membunuh Rudito dan
mayatnya disembunyikan. Karto menerima siksaan dan hinaan dibalai
desa bahkan hampir saja disayat oleh para pemuda untung tentara dari
agen repin datang Karto bebas dari siksaan kemudian dibawa untuk
ditahan.
(e) Tahap Perumitan (Complication)
Poncodriyo marah besar, sehabis rapat dari kecamatan, malam
itu juga Mangundarmo mengumpulkan para pamong desa dibalai desa
Sumberwungu. Rapat dilakukan secara tertutup dihalaman pendopo
dijaga ketat oleh para pemuda. Rapat berisi arahan dari lurah
Poncodriyo bahwa hilangnya Rujito bukan kriminal biasa tetapi
merupakan gerakan politik yang ingin mendongkel kekuasaan
Poncodriyo untuk itu setiap malam para pamong harus piket untuk
menjaga gerakan lawan dan rakyat Sumberwungu diminta
mengadakan gerakan merebut tanah milik tuan tanah, penguasa, untuk
dapat dikerjakan para petani yang tidak punya tanah demi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mewujudkan kemakmuran yang merata atas perintah Poncodriyo.
Dalam waktu dekat setiap pamong diminta memberikan laporan
tertulis para penguasa tanah kepada Poncodriyo. Dalam pertemuan itu
pamong desa Kasan Ikromo selaku jagabaya mengundurkan diri
karena tidak setuju dengan Poncodriyo. Setelah selesai rapat para
pamong itu diantar oleh para pemuda satu persatu sampai rumah
masing-masing.
Agen Repin dengan Peltu Sudiro sudah tahu tentang permainan
Poncodriyo, Mangunsarkoro di desa Sumberwungu. Karena desa itu
sudah menjadi pengawasan pihak Kabupaten Argalaksa. Permainan
politik yang dijalankan Poncodriyo dan kawan-kawan. Tarman
dipanggil untuk dimintai keterangan atas tuduhan penganiayaan Sular,
ia datang sambil menengok Karto membawakan bungkusan nasi untuk
Kartosemedi titipan dari Tumi. Tarman berbicara dengan Agen Repin
dan Pak Dandis. Mangun mengadukan Tarman atas nama keluarga
Pak Pawiro ayah Sular, pemuda yang mengeroyok Tarman.
Mangunsarkoro juga melaporkan Karto dengan dua perkara yaitu
pembunuhan Rudito dan penganiayaan Mangun waktu dibalai desa.
Tarman dipanggil untuk dimintai keterangan oleh Agen Repin atas
pengaduan Mangun. Sehabis diperiksa Tarman diajak Pak Repin ke
TKP malam itu juga. Tarman bingung kemana arah dan tujuan yang
dimaksud, diluar dugaan Tarman tempat yang di tuju adalah rumah
Pak Pancar petani kaya di desa Jetis Kecamatan Semugih. Di rumah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pak Pancar ternyata telah berkumpul Pak Thohir, Gendon Supanji dan
Renggo Baskoro tokoh seni dan Politik Argalaksa. Ada agenda
penting rapat ini yaitu membuat serangan balik atas aksi orang-orang
Mangundarma. Untuk melindungi rakyat dan mengembalikan
kekuatan spiritual yang akan dipimpin Pak Thohir dan Gendon,
gerakan seni oleh Romo Renggo Baskoro, gerakan hukum akan diatur
dengan minta bantuan Agen Repin, mobillisasi massa oleh Tarman.
Gerakan tani oleh pak Mantri yang penting kita tidak akan mencari
permusuhan, kita hindarkan konflik bersama. Sebab hilangnya Rudito
merupakan pematik api, tapi api tidak menyala. Karto dan Gendon
diharap yang membunuh Rudito agar rakyat marah dan mengamuk ,
kemudian Rudito dibunuh oleh Mangun sendiri agar rakyat percaya.
Mangun yang kejam, licik, memperalat Poncodriyo namun tidak
menyadarinya. Untung Rudito ada ditangan kita, jadi aman kita.
Dilain fihak Mangundarmo gelisah menghadapi lawan
politiknya. Karena Rudito yang disembunyikan di Misuwur Budaya
Hilang. Seni kethoprak Tobong Misuwur Budoyo dimanfaatkan
Mangun dalam berpolitik. Pimpinan Misuwur Budoyo Nyai Suparni
wanita simpanan Mangundarmo diberi harapan untuk menjadi Lurah
di Sumberwungu. Selain Nyai Suparni dibantu, Romo Pus (penulis
cerita) dan Johan (ahli pembuat trik). Room Pus punya rencana jahat
ingin mengadu rakyat dengan laskar Poncodriyo dalam penampilan
cerita malam berikutnya. Harapannya rakyat akan menyerang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Misuwur Budoyo kemudian lascar Poncodriyo membalaskannya,
sehingga kekuatan Poncodriyo akan berkurang.
Tahap perumitan terjadinya peristiwa hilangnya Rudito dan
ditangkapnya Karto Semedi yang dituduh menghilangkan nyawa
Rudito. Karto Semedi ditahan. Lurah Poncodriya menggalang
kekuatan bersama Mangundarmo. Para pamong desa dipersiapkan
untuk mengadakan gerakan merebut kembali tanah-tanah yang
dikuasai oleh tuan tanah. Pengadaan jam malam. Juga mundurnya
Kasan Ikromo dari jogoboyo .
(f) Tahap Klimaks atau penggawatan (Climax)
Tahab klimaks terjadinya pergolakan politik dengan ditandai
adanya berita dari Jakarta bahwa keadaan tidak menentu maka dari itu
diadakan jam malam dan semua kantor dibekukan sampai menunggu
perkembangan. Keadaan tidak menentu Karto hilang dari tahanan.
Tumi, Nyai Estu, Kasan Ikromo yang dipanggil polisi untuk dimintai
keterengan sehubungan dengan penahanan Kartosemedi. Sampai
ditempat penahanan diketahui keadaan tidak menentu Karto hilang
dari tahanan. Akhirnya ketiga orang tersebut disuruh kembali naik
truk menuju Sumberwungu.
Keadaan desa Sumberwungu semakin tak menentu banyak
penangkapan tokoh-tokoh desa seperti; Ponco, Mangun, Nyai Suparni,
Margonocarito para pemuda hilang entah kemana. Banyak rakyat
yang ditangkap tidak tahu apa salahnya. Partai besar yang ada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
sekarang mlempem. Banyak rakyat kawatir kalau dianggap simpatisan
partai terlarang itu. Dibubarkannya ketoprak tobong yang menjadi alat
propaganda Mangundarmo. Dan penangkapan pembersihan orang-
orangnya Poncodriya dan warga Sumberwungu yang terdaftar sebagai
anggota partai terlarang.
(g) Tahap Peleraian (Falling Action)
Tahap peleraian terjadi adanya peristiwa pergantian pejabatan
lama dengan pejabat baru yang ada di Sumberwungu. Pejabat lama
pada waktu pemerintahan Poncodriya dan Mangundarmo
diberhentikan karena mereka ternyata pengikut partai terlarang.Pak
Mantri, Guru tarman dinobatkan sebagai pimpinan baru di
Sumberwungu. Akan mengembalikan kehidupan rakyat yang telah
dibelokkan oleh Mangundarmo.
(h) Tahap Penyelesaian (Denouement)
Tahap penyelesaiannya setelah terwujudnya pemerintahan baru
Tumi ingin meneruskan cita-citanya menjadi sinden ternama. Atas
saran Nyai Estu agar cita-citanya dapat berhasil Tumi membutuhkan
pendamping hidup yang mampu mengayominya. Tumi kemudian
dikawinkan dengan Raden Renggo Baskara tokoh seni di Argalaksa.
Karena Renggo Baskoro salah satu pejabat Argalaksa maka
pernikahannya dilaksanakan dengan mewah dihadiri oleh bupati
Argalaksa. Tumi bergelar Renggamanis. Hasil dari perkawinannya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tumi yang berganti nama Renggamanis mendapatkan seorang putra
bernama Tuwuh .
3) Penokohan
Novel Sinden memiliki banyak tokoh. Berdasarkan perannya dalam
sebuah cerita dalam novel terbagi menjadi tokoh utama dan tokoh
tambahan. Dalam pembahasan ini, yang akan penulis kemukakan hanya
tokoh-tokoh penting saja yang memegang peranan besar dalam novel
Sinden
Tokoh utama protagonis dalam novel Sinden adalah: Tumi.
Sedangkan tokoh protagonis tambahan dalam novel ini adalah Gendon
Supanji, Kartosemedi, Nyai Estu Suminar, Minten (ibu Tumi), pak Mantri,
Tarman, Ki Ageng Dipo Badranaya, pak Thohir, pak Dandis, Nyai
Larasmadu, Kasan Ikromo, Peltu Sudiro, RM. Dinu, Renggo Baskoro.
Tokoh antagonis adalah Rudito, Raden Poncodriyo, Mangundarmo,
sedangkan tokoh antagonis tambahan adalah: Margono Sucitro, nyai
Suparmi, Romo pus.
Berdasarkan perannya tokoh-tokoh tersebut akan dijelaskan secara
terperinci sebagai berikut:
(a) Tumi
Tumi merupakan tokoh utama perempuan dalam novel Sinden.
Tumi adalah perempuan Sumberwungu bercita-cita menjadi sinden.
Tumi perempuan lugu. Keluguan Tumi tergambar dalam kutipan di
bawah ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
-curi pandang saat saya latihan
-
-menjep
kearah sana kearah sini. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 13)
Secara fisik Tumi digambarkan sebagai perempuan yang cantik
mempesona. Ia memiliki kulit lebih cerah dari diantara perempuan
Sumberwungu. Gigi gingsul, dan punya lesung pipi, gambaran
perempuan cantik. Gambaran fisik Tumi terlihat dalam kutipan
berikut ini:
Disamping kulitnya lebih cerah, sedikit gingsul giginya, sedikit
lesung pipinya, menambah rona kecantikannya. (Purwadmadi
Admadipurwa, 2007: 102)
Tumi adalah seorang perempuan yang berpendirian kuat.
Mereka tidak mudah tunduk dengan pria ganteng, kaya, dan anak
penguasa. Untuk menentukan pilihan hidupnya tumi mempunyai
prinsip tersendiri. Kutipan di bawah ini menggambarkan pendirian
kuat dari Tumi:
Tumi sama sekali tidak menaruh perhatian pada Rudito, anak
lurah penguasa Sumberwungu itu. Memang banyak gadis yang
ingin dipersunting Rudito yang ganteng, kaya, berkuasa. Tapi
Tumi tidak. Sama sekali tidak. Hanya saying Rudito selalu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mengejar-ngejarnya. Rudito pemuda yang sudah waktunya
kawin tetapi belum juga mendapat jodohnya. (Purwadmadi
Admadipurwa, 2007: 102)
Tumi juga seorang anak yang mandiri. Karena didikan Ayahnya
Kartosemedi yang hidup menduda sehingga Tumi membantu
ayahnya. Menyiapkan kebutuhan hidupnya, menata rumahnya, bahkan
membantu ayahnya keladang. Semua itu bentuk tanggung jawab Tumi
terhadap ayahnya. Kemandirian Tumi dapat dicermati dalam kutipan
berikut ini:
Tumi tumbuh menjadi gadis remaja yang baik. Ia biasa bekerja
di ladang. Ia biasa menyiapkan makan untuk bapaknya. Ia juga
mengurus ayam-ayam piaraannya. Ia juga mengurus rumahnya
yang mungil hingga menjadib rapi.
Di halaman ada taman kecil dengan bunga bakung dan ceplok
piring. Alau musim penghujan tumbuh juga kembang kertas dan
bunga matahari. Di pembatasan pekarangannya, tumbuh
berbagai tanamanyang dijadikan sumberpendapatan
Kartosemedi. Pekarangan menjadi tampak teduh, rimbun dan
terjaga kesejukannya.
Tumi tumbuh menjadi gadis yang mengerti kebutuhan dirinya.
Kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan menyiapkan masa
depan. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 14)
Tumi juga bukan berpendidikan cukup karena lulusan SR.
Meneruskan ke SMP swasta saja berhenti di tengah jalan. Tumi sudah
bulat ingin menjadi seorang sinden. Pernyataan Tumi ini dapat
dicermati dalam kutipan di bawah ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Meski tak terlalu pandai Tumi dapat menyelesaikan sekolah SR
Sumberwungu. Ia memang tak lulus dalam ujian Negara dan
karenanya hanya bisa melanjutkan ke sekolah SMP Swasta. Tapi
itu hanya ditempuh seraruh jalan karena Tumi lebih ingin
menekuni dunia sinden yang lebih menarik hasrat hatinya. Sejak
dua tahun terakhir, Tumi tidak masuk sekolah. (Purwadmadi
Admadipurwa, 2007: 15)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Tumi seorang
tokoh yang cantik penuh pesona. Tumi perempuan yang penuh
percaya diri, teguh pendirian, dan kuat dalam memegang prinsip.
Berdasarkan sifatnya, Srintil dikategorikan sebagai tokoh
protagonis. Tumi juga termasuk tokoh yang berkembang. Watak tokoh
Tumi mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan
perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan. Salah satu contoh,
sikap Tumi yang diwaktu belia sangat manja setelah dewasa menjadi
pribadi yang mandiri.
(b) Nyai Estu
Nyai Estu wanita janda keturunan ningrat adik penguasa
Sumberwungu merupakan guru sinden sejati. Nyai Estu istri Dalang
Dipocarito yang sekarang mengambil istri Minten mboknya Tumi.
Walaupun maru tetapi meraka saling menyayangi Tumi. Dengan
peristiwa tersebut Nyai Estu mematuhi petuah gurunya Nyai
Larasmadu. Bahwa dirinya harus mengembalikan citra sinden yang
telah dihancurkan oleh segelintir orang. Sinden suka kawin cerai,
Sinden menjadi wanita simpanan kebanyakan orang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Lewat Nyai Estu Sumirat mencoba untuk menjadi guru yang
baik, selain memberikan contoh juga menanamkan prinsip sinden
sejati kepada Tumi muridnya. Semua petuah Nyai Estu dapat
dicermati pada kutipan di bawah ini:
Kartosemedi menginginkan anak gadisnya dapat mencapai
cita-citanya sebagai sinden sekaligus mebrantas tradisi
kawin cerai yang dialami banyak pesinden. Seperti pesan
Kalau kamu kawin sekali saja. Disamping itu, bersetialah
kepada suamimu satu-satunya
Admadipurwa, 2007: 17)
Nyai Estu wanita penuh wibawa karena keadaan dirumah
Kartosemedi tak menentu, maka terpaksa Nyai Estu mengendalikan
warga yang mulai gaduh membicarakan hilangnya Rudito. Ketegasan
Nyai Estu membuat semua orang diam dan menurut. Gambaran
kewibawaan Nyai Estu terlukis pada kutipan dibawah ini:
termasuk orang tuanya Rudito, ia keponakan saya. Kita
harus bertindak dewasa dan tidak emosional. Kita tidak
mempunyai kewajiban menyelidiki semua ini. Polisi yang
akan bertindak. Tugas kita, pertama, amankan lokasi ini.
Kedua, Kang Karto jangan pergi sampai dimintai
keterangan. Ketiga, harus ada yang mencari Gendon.
Keempat, harus ada yang melapor ke kelurahan malam ini
juga. Kelima, kalau ada yang berani, cari ditempat-tempat
(Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 62)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Nyai Estu setelah dicerai dalang Dipocarito masih tetap
menyendiri. Prinsip untuk setia pada suaminya kuat seperti yang
diajarkan pada murid-muridnya. Prinsip kuat Nyai Estu untuk tidak
kawin lagi, banyak lelaki yang menggodanya dengan iming-iming
harta dan emas namun Nyai Estu tidak bergeming. Prinsip Nyai
Estu untuk tetap setia dapat dipahami lewat kutipan berikut ini :
Nyai Estu setelah dicerai Dalang Dipocarito tidak lagi mau
meningkah. Mesti kehidupan sebagai pesinden yang janda justru
sangat menyulitkannya. Banyak laki-laki yang menggoda. Tidak
hanya dengan rayuan gombal, tetapi dengan uang banyak dan
(Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 17)
Nyai Estu Suminar berpendirian kuat tidak mau di pengaruhi
siapapun. Meskipun ia kakaknya sendiri. Nyai Estu juga orang baik tidak
mau menyalah gunakan keahliannya untuk perbuatan merugikan orang
lain.
Prinsip Nyai Estu kuat dan baik dapat dipahami lewat kutipan
berikut ini :
` Bahkan Nyai Estu sendiri telah berkali-kali diminta
Poncodriyo untuk datang kekelurahan dan melatih kesenian
para perempuan yang dikumpulkan di sana. Estu menolak,
karena baginya kesenian bukan untuk melukai orang lain,
bukan untuk menyakiti pihak lain. Kesenian untuk kedamaian
dan ketentraman serta kebaikan sesama. (Purwadmadi
Admadipurwa, 2007: 45)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Keyakinan Nyai Estu Suminar untuk tetap tidak menikah lagi,
pernah bimbang. Namun perasaan itu segera dapat di atasi dengan
memegang prinsip hidup untuk tidak akan menikah lagi. Banyaknya
rayuan dan godaan laki-laki kadanghanya didasarkan atas nafsu dan
keinginan untuk memiliki kekayaan, bukan berdasarkan ketulusan
cinta. Prinsip Nyai Estu untuk tetap setia tergambar lewat kutipan
berikut ini :
Estu iklas menjalani hidup kesendiriannya dengan tenang.
Sesekali masih dipenuhi permintaan menyinden. Termasuk
menyindeni Dipocarito dalam pagelarannya. Estu mencoba
bersikap dewasa dan realistis. Ia putuskan hidup sendiri
hingga akhir hayat. Pernah juga hinggap dalam pikiranya
untuk menikah lagi. Banyak priya yang menginginkanya
untuk menjadi istri. Tidak sedikit para jejaka tulen yang
melamarnya. Tapi Estu masih menangkap sinar mata dan
motivasi mereka kalau tidak pada nafsu juga karena harta
kekayaan Estu. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 50)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Nyai Estu Suminar
adalah seorang vigur perempuan yang setia, baik, berwibawa, dengan
prinsip yang kuat. Nyai Estu menjadi pesinden kondang dan mampu
menguasai alat musik tradisional jawa tersebut. Cita-citanya akan
mengembalikan citra pesinden yang suka kawin cerai dan suka
menjadi pelarian laki-laki hidung belang. Untuk mewujudkan
harapannya prinsip itu ditanamkan kepada semua muridnya, termasuk
Tumi. Maka Nyai Estu dijuluki guru sejati.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Berdasarkan sifatnya, Nyai Estu Suminar dikategorikan sebagai
tokoh protagonis. Nyai Estu juga termasuk tokoh yang berkembang.
Watak tokoh Nyai Estu mengalami perubahan dan perkembangan
sejalan dengan perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan.
(c) Kartosemedi
Kartosemedi adalah orang tua dari Tumi. Kartosemedi hidup
menduda karena istrinya Minten seorang sinden tergoda Dalang
Dipocarito yang dapat membawa perubahan dalam hidupnya.
Walaupun Dipocarito sudah memiliki istri Nyai Estu namun Minten
terpikat karena sering menjadi sinden saat Dipocarito mendapat
tanggapan. Kartosemedi adalah bapak yang sabar terhadap nasibnya,
walaupun hidup menduda dengan sabar mengasuh anak gadisnya.
Kesabaran Karto dapat dicermati kutipan di bawah ini:
Waktu Tumi baru saja pulang dari berlatih nyinden di
rumah Nyai Estu, sinden ternama. Tumi bercita-cita
menjadi sinden.
Wis ta, sana. Sudah
gede masih suka nglendhot
agak keras tapi tetap dengan senyumanya.
Elho, bapak sudah bilang sama mereka. Yang mau
(Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 7)
Kartosemedi adalah orang yang berpendirian kuat, meskipun
Karto hanyalah orang lugu seperti kebanyakan orang, namun tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mudah dipengaruhi dan dihasut diajak wira-wiri tanpa kepastian.
Kartosemedi lebih senang pergi keladang. Maka Karto dianggap orang
yang bodoh sehingga dianggap juga tidak mengerti soal politik yang
dimainkan oleh Ponco dan Mangundarmo. Hal itu tertulis dalam
kutripan dibawah ini:
Banyak orang orang yang lugu terhasut dan suka
berbarengan kesana-kemari atas nama kerjabakti dan
gotong-royong. Namun, Kartosemedi tak suka mengikuti
ubyang-ubyung, ramai-ramai bergerombol kesana-kemari
tidak karuan. Ia lebih nikmat mengerjakan ladangnya
sendiri dan tidak menyesusahkan orang lain. Ia suka-suka
saja membantu tetangga mengerjakan ladang, tetapi bukan
dengan gerakan masa yang pada akhirnya lebih banyak
berbaris atau menyanyi mars dari pada membedah tanah.
(Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 26)
Kartosemedi adalah seorang ayah yang tabah hanya karena
tidak menerima lamaran Rudito anak penguasa Sumberwungu harus
menerima siksaan dari penguasa. Kartosemedi menyadari kalau wong
cilik tidak akan mampu melawan penguasa mereka dengan tabah
menerima perlakuan Poncodriyo dan Mangundarmo. Ketabahan
Kartosemedi dapat diketahui melalui gambaran kutipan berikut ini:
Mangun tampaknya mulai menggunakan teori lama.
Pesakitan yang tidak mengaku atau membuka imformasi,
harus dianiaya. Pesakitan memang untuk disakiti. Karto
mencoba tabah. Mudah-mudahan, piker dan harapnya dalam
hati, Mangun tidak akan menganiaya lebih jauh. Meski begitu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 76)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Kartosemedi
adalah seorang tokoh yang sabar, tabah, mempunyai pribadi yang kuat
dalam menjalani prinsip hidup. Kartosemedi seorang bapak yang baik
dan bertanggung jawab. Walaupun Kartosemedi hidup menjanda, ia
mampu membawa anaknya dalam mencapai kesuksesan atas cita-
citanya.
Berdasarkan sifatnya, Kartosemedi dikategorikan sebagai tokoh
protagonis. Kartosemedi juga termasuk tokoh tidak berkembang.
Watak tokoh Kartosemedi tidak mengalami perubahan dan
perkembangan.
(d) Poncodriyo
Poncodriyo adalah keturunan ningrat yang memerintah sebagai
kepala Desa Sumberwungu. Cara kepemimpinan Poncodriyo sudah
terlihat sejak masih muda, karena para leluhurnya adalah lurah dari
Sumberwungu. Kepemimpinan Ki Poncodriyo berubah perangainya
kereas setelah Poncodriyo tua. Poncodriyo inginlebih meningkatkan
kedudukannya melalui kesanggupannya mendukung partai garis keras
yang menjajikannya. Keberingasan Ponco sudah tak memperdulikan
rakyat dalam kegiatan politik dan pemerintahannya. Sikap tersebut
dapat dilihat dari kutipan di bawah iuni:
Sekarang sandang dan pangan sudah terasa mulai sulit
didapatkan oleh rakyat. Mereka harus antri gaplek, minyak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
tanah, susu prongkol, dan disuntik antimalaria. Tampaknya,
Ponco dan Mangun membiarkan rakyatnya miskin.
Memiskinkan rakyat memang program Ponco demi ambisi
Ponco yang sampai ke telinga Tarman. (Purwadmadi
Admadipurwa, 2007: 71)
Poncodriyo penguasa yang mempunyai niat jahat dalam
berpolitik. Dalam pemerintahannya semakin hari semakin tambah
watak kerasnya. Niat jahat Poncoterhadap lawan politiknya
dipersiapkan dengan matang. Para pemuda desa dikumpulkan dan
dilatih beladiri, perang-perangan dan baris-berbaris layaknya pasukan
perang. Kegiatan Poncodriyo tersebut dapat dicermati kutipan berikut
ini:
Setiap kali pulang up grading, selalu tambah watak kerasnya.
Juga semakin sering mengumpulkan orang-orang samopai larut
malam. Bahkan Poncodriyo mulai melatih pemuda-pemuda
dengan ketrampilan beladiri, perang-perangan, dan berbaris.
Setiap pagi di depan rumah tinggalnya, dekat balai desa,
banyak anak muda berltih di sana sambil nyanyi mars.
(Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 27)
Kekejaman Ponco tidak hanya berhenti disitu terhadap lawan
politik atau yang menentangnya. Ia telah mempersiapkan tehnik yang
tepat. Kegiatan tersebut selain baris, beladiri, Ponco juga telah
memepersiapkan pemakaman ternadap korbannya agar tidak diketahui
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
orang. Tindakan Poncodriyo tersebut tergambar pada kutipan berikut
ini:
Gendon sengaja lewat jalan yang berbeda. Terlihat olehnya, di
belakang rumah Ponco sedang dilakukan penggalian sumur
yang cukup dalam. Juga tengah digali sebuah liang lebar yang
cukup dalam. Konon, lubang itu untuk kolam aair yang akan
ditebari ikan. Tapi Gendon merasakan sesuatu yang aneh,
mana mungkin memelihara ikan harus menggali sedemikian
dalam ? (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 38)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa watak lurah
Poncodriyo adalah cerdik, licik, dan sombong. Sifat sombongnya
terlihat ketika ia menerima Gendon dib alai desa. Ia juga seorang yang
cerdik dalam menghasut hati rakyat hamper seluruh rakyat 72 %
mendukung partai terlarang tersebut.
Berdasarkan sifat tokoh, Poncodriyo bisa dikategorikan sebagai
tokoh antagonis. Poncodriyo juga dapat dikategorikan sebagai tokoh
yang berkembang perwatakannya. Setelah Poncodriyo keluar dari
penjara terlihat diam .
(e) Mangundarmo
Mangundarmo adalah tokoh yang mampu memerankan
peranpolitiknya. Ia mampu memainkan lurah Poncodriyo demi ambisi
cita-citanya. Bahkan ia mampu membisikan rencana-rencana jahatnya
kepada Poncodriyo. Poncodriyo tidak menyadari kelicikan
Mangundarmo. Mangundarmo seorang yang kejam, bengis serasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
tidak mempunyai rasa kemanusiaan. Kelakuan Mangundarmo yang
tanpa kemanusiaan tercermin dari kutipan berikut ini:
Karto tetap diam dan merunduk. Ia memang tak merasa lapar.
Seandainya ada makanan enak ia tak begitu berselera. Tapi
sungguh, Karto sangat terkejut ketika piring nasi itu diletakan
Mangun di lantai. Persis di depan Mangun duduk di dingklik
panjang.
putih yang semula di cangkir kaleng ke piring nasi. Air mengucur
Karto melihat kea rah nasi dipiring
itu. Kaki Mangun menyepak piring dan piring kaleng itu meluncur
di atas permukaan lantai pendapa maju kencang kearah Karto. Ada
nasi yang rontok ke lantai. Piring berhenti ketika membentur kaki
Karto. Sejumlah butir nasi rontok berceceran di lantai, namun
tempe goreng masih btergeletak indah diatas nasi yang sudah
berkubang digenangan air putih.
(Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 81)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa watak
Mangundarmo adalah cerdik, licik, dan kejam. Kelicikannya dapat
memperalat Poncodriyo untuk mencari kedudukan. Kejahatannya
untuk memusnahkan lawan politiknya.
Berdasarkan sifat tokoh, Mangundarmo bisa dikategorikan
sebagai tokoh antagonis. Mangundarmo juga dapat dikategorikan
sebagai tokoh tidak berkembang perwatakannya. Setelah
Mangundarmo ditangkap tidak pernah kembali lagi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4) Latar atau setting
Latar atau setting adalah merupakan suatu tempat terjadinya
peristiwa yang berkaitan dengan waktu, tempat, dan suasana dalam cerita.
Latar cerita berkaitan dengan waktu dan tempat penceritaan. Waktu dapat
berarti siang dan malam, tanggal, bulan, dan tahun. Tempat dapat berarti di
dalam atau di luar rumah, di desa atau di kota, dapat juga di kota mana, di
negeri mana, dan sebagainya. Setting sosial menunjuk pada hal-hal yang
berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat yang terdapat pada
suatu tempat yang diceritakan dalam cerita fiksi..
Untuk lebih jelasnya, penulis akan membahas satu persatu setting
yang ada dalam cerita Sinden ini. Setting tersebut yakni: setting tempat,
setting waktu, dan setting sosial.
(a) Setting Tempat
Dalam novel Sinden ada beberapa tempat yang menjadi setting
cerita. Secara umum, cerita ini terjadi di Desa Sumberwungu. Desa
Sumberwungu bisa dikategorikan sebagai setting primer. Desa
Sumberwungu adalah desa yang subur dari diantara desa sekitar,
namun pada peta kabupaten terdaftar sebagai desa miskin kecamatan
Semugih kabupaten Argalaksa Yogyakarta. Gambaran bisa dicermati
dalam kutipan ini:
Humus dan pupuk kandang menjadi penyubur tanah yang
hebat. Meski begitu, dalam peta kemiskinan, Sumberwungu
tergolong desa miskin yang tandus. Kemiskinan dan ketandusan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
tidak jadi penghalang anak-anak gadis belajar menjadi sinden.
(Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 9)
Keadaan desa Sumberwungu merupakan tempat pemukiman
wilayah yang banyak mencetak para sinden. Seolah-olah desa
Sumberwungu merupakan tempat untuk mencetak para sinden.
Tampaknya, bentang alam Sumberwungu sendiri memerlihatkan
rahmat tak terkira, tempat yang dipahat sangat khusus untuk
keperluan berlatih menyinden.
Bentang alam yang dikelilingi bukit-bukit kecil, dibelah sebuah
(Purwadmadi
Admadipurwa, 2007: 9)
Selain setting primer novel Sinden juga memiliki beberapa
setting sekunder. Banyak setting sekunder dalam novel ini misalnya:
Argosari, Semugih. Dalam pembahasan ini penulis hanya akan
membicarakan setting Semugih. Karena Semugih temapat
Kartosemedi ditahan dan Semugih sebagai kota kecamatan.
Jalan setapak itu nanti akan sampai dibelakang Kantor Distrik
Polisi Semugih. Sepanjang perjalanan mereka tidak banyak
bercakap-cakap. Mereka berjalan beriringan. Kasan Ikromo di
depan, disusul Nyai Estu dan Tumi. Oleh karena berharap bisa
bertemu bapaknya. Tumi membawa sepasang baju ganti untuk
Karto, sebungkus makanan ala kadarnya yang dibeli diwarung
didekat perempatan jalan. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007:
255-256)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(b) Setting Waktu
biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, dapat meliputi tahun,
bulan, hari, tanggal, jam, atau saat yang ada kaitannya atau dapat
dikaitkan dengan peristiwa sejarah.
Novel Sinden berkisah tentang kehidupan Sumberwungu mulai
tahun 60-an samapai sekitar pergolakan partai terlarang yang
puncaknya tahun 1965. Tanda-tanda terlukis dalam naskah
diantaranya gambaran zaman pegaber, adanya kegiatan Lurah
Poncodriyo seperti kegiatan baris berbaris, membuat kolam dalam
pekarangan, kegiatan tersebut disinyalir kegiatan pada era timbulnya
PKI. Adanya penghilangan para tokoh partai terlarang dan
penangkapan pengikut partai terlarang.
Penulis juga menuturkan mengenai pengalaman Nyai Estu
waktu berguru kepada Nyai Larasmadu yang kemudian ditanamkan
etika untuk menjadi sinden sejati, dikisahkan dengan cara flashback
(kilas balik).
Mengenai awal dimulainya dan akhir dari perjuangan guru
Tarman dan Pak Mantri juga tidak tertulis jelas. Kutipan di bawah ini
yang menunjukkan setting waktu novel Sinden. Keadaan
menggambarkan Sumberwungu pada sekitar tahun enam puluhan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dengan gambaran zaman pegaber Hal itu tergambar dalam kutipan
berikut ini:
Waktu seakan cepat berlalu. Enam tahun memang waktu yang
pendek. Belum hilang dari ingatan, waktu itu banyak orang mati
kelaparan. Banyak warga menderita kurang gizi. Bahan pangan
sulit diperoleh. gaplek berubah menjadi bahan pangan mewah.
Sulit didapat. Bahkan nasi thiwul kering, gogik pun dengan
mudah dapat ditukar sawah-sawah petani milik warga yang
mendesak butuh bahan pangan bagi keluarganya. Terpaksa
banyak warga yang makan kulit ketela yang dikeringkan dan
ditumbuk halus. Diolah sederhana jadi gaber. Zaman sulit itu
sering disebut pegaber. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 269)
Pada waktu itu, begitu benih ditabur, tanaman mulai tumbuh,
hujan tak turun lagi. Persediaan benih sudah tertanam dan
persediaan pangan tak cukup lagi. Tanaman peretanian mati.
Persediaan pangan menipis. Hama tikus merajalela. Tanaman
diserang tikus. Mati layu dan lading kembali kering. Di jalan-
jalan banyak rakyat memburu pangan. Ada yang meminta-minta
belaskasihan ke rumah-rumah warga yang masih mampu.
Hewan-hewan ternakpun dipotong, daging sapi, kambing, ayam,
bebek pun sangat murah dan biasa dibagi-bagikan. Malah
disejumlah tempat tikus-tikus reewog diburu, disembelih dan
dikuliti, digoreng didapur-dapur umum. (Purwadmadi
Admadipurwa, 2007: 270)
Keadaan menggambarkan Sumberwungu pada sekitar tahun
enam puluhan lima. Banyaknya kegiatan yang dilakukan oleh Lurah
Ponco dan kroni-kroninya. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut
ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Gendon sengaja lewat jalan yang berbeda. Terlihat olehnya, di
belakang rumah Ponco sedang dilakukan penggalian sumur
yang cukup dalam. Juga tengah digali sebuah liang lebar yang
cukup dalam. Konon, lubang itu untuk kolam air yang akan
ditebari ikan. Tapi Gendon merasakan sesuatu yang aneh,
mana mungkin memelihara ikan harus menggali sedemikian
dalam ? (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 38)
Setiap kali pulang up grading, selalu tambah watak kerasnya.
Juga semakin sering mengumpulkan orang-orang samopai larut
malam. Bahkan Poncodriyo mulai melatih pemuda-pemuda
dengan ketrampilan beladiri, perang-perangan, dan berbaris.
Setiap pagi di depan rumah tinggalnya, dekat balai desa,
banyak anak muda berltih di sana sambil nyanyi mars.
(Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 27)
-kawan harus waspada, jangan lengah, sebab revolusi
ini hampir selesai, hampir mencapai puncak. Jangan sampai kita
(Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 136)
(c) Setting Sosial
Latar sosial menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan
kehidupan sosial masyarakat yang terdapat pada suatu tempat yang
diceritakan dalam cerita fiksi. Tata kehidupan sosial masyarakat
meliputi beberapa masalah dalam lingkup yang amat kompleks. Dapat
berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan
hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain sebagainya. Disamping itu,
latar sosial juga berhubungan dengan status tokoh yang bersangkutan.
Kehidupan sosial kemasyarakatan untuk warga desa
Sumberwungu terlihat rukun. Warga Sumberwungu sangat peduli
terhadap penderitaan sesama warga. Bentuk kepedulian itu ada yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
berupa harta, pikiran, tindakan. Bentuk kepedulian warga
Sumberwungu terhadap keluarga yang mendapat musibah, seolah-olah
juga ikut merasakan penderitaan ini. Sikap warga desa Sumberwungu
dapat diperhatikan kutipan berikut ini:
Meski diliputi rasa was-was, malam itu sejumlah tetangga
dan beberapa sanak saudara berkunjung ke rumah Karto.
Mereka menemani Tumi. Nyai Estu juga berencana nginep
di rumah Tumi. Mungkin inilah pengalaman Nyai Estu
nginep di rumah orang lain. (Purwadmadi Admadipurwa,
2007: 192)
Mereka berada dirumah Karto secara suka rela untuk
memberi penguatan moril bagi Tumi agar tabah dalam
menghhadapi cobaan. Akan halnya Nyai Estu sampai
bersedia nginep di rumah Tumi adalah sebuah keluar
biasaan. Tetangga Tumi pun merasa turut dihormati oleh
Nyai Estu. Mereka bangga kepada Tumi yang mampu
menarik hati perempuan yang sangat berwibawa itu.
(Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 192)
Dngan demikian dapat disimpulkan keadaan sosial desa
Sumberwungu untuk kalangan wong cilik kehidupan warganya yang
saling rukun, suka menolong dalam mengatsai kesulitan dengan tanpa
pamrih. Untuk para penguasa yang dilakukan kalangan Priyayi terjadi
pergolakan perebutan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.
Yang berakhir sapa salah seleh, sapa nggawe bakal nganggo.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5) Poin of View
Point of View atau sudut pandang cerita adalah cara pandang
pengarang yang digunakan untuk menyajikan tokoh, perwatakan, latar dan
berbagai rangkaian peristiwa suatu cerita dalam karya fiksi. Sudut pandang
digunakan pengarang untuk menyampaikan strategi, teknik, siasat untuk
menyampaikan gagasan cerita.
Sudut pandang yang digunakan pada novel Sinden yaitu pesona
dalam novel disebut nama dan variasi kata ganti ia. Sudut pandang yang
paling menonjol dalam novel Sinden menggunakan cara seperti dibawah
ini. Kutipan yang menjelaskan pendapat tersebut:
Tumi tumbuh menjadi gadis remaja yang baik. Ia biasa bekerja
di ladang. Ia biasa menyiapkan makan untuk bapaknya. Ia juga
mengurus ayam-ayam piaraannya. Ia juga mengurus rumahnya
yang mungil hingga menjadib rapi.
Di halaman ada taman kecil dengan bunga bakung dan ceplok
piring. Kalau musim penghujan tumbuh juga kembang kertas
dan bunga matahari. Di pembatasan pekarangannya, tumbuh
berbagai tanamanyang dijadikan sumberpendapatan
Kartosemedi. Pekarangan menjadi tampak teduh, rimbun dan
terjaga kesejukannya.
Tumi tumbuh menjadi gadis yang mengerti kebutuhan dirinya.
Kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan menyiapkan masa
depan. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 14)
Purwadmadi Admadipurwa dalam menggunakan sudut pandang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mengetahui persis perasaan tokoh satu dengan tokoh lainnya.
2. Intertekstual Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari dan
Novel Sinden Karya Purwadmadi Admadipurwa.
Hubungan intertekstual akan difokuskan dari persamaan dan perbedaan
unsur-unsur struktur pembangun novel.
a. Persamaan Struktur Novel
1) Tema
Tema pada kedua novel mengenai sosial budaya kehidupan wong
cilik sebagai penari ronggeng pada novel Ronggeng Dukuh Paruk.
Sedangkan untuk novel Sinden menghadirkan tema sosial budaya
kehidupan wong cilik sebagai sinden.
2) Penokohan
Tokoh yang ditampilkan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk
dan Sinden ada persamaan bila ditinjau dari perwatakan. Hal ini bisa
dilihat dari tokoh utama wanita dalam kedua novel tersebut. Srintil
tokoh utama dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk memiliki kemiripan
dengan tokoh utama Tumi pada novel Sinden.
Tokoh utama novel Ronggeng Dukuh Paruk, Srintil adalah
seorang wanita yang cantik penuh pesona. Di usia belia Srintil
perempuan yang taat baik kepada adat, orangtua, serta berkepribadian
kuat pantang menyerah dalam menentukan pilihan hidup. Begitu juga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tumi tokoh novel Sinden pada usia muda cantik mempesona, taat
kepada perintah orang tua dan guru, mandiri, berkepribadian kuat,
prinsip hidupnya kuat dalam mencapai tujuan yang diinginkan untuk
menjadi sinden sejati.
3) Setting Waktu
Cerita novel Ronggeng Dukuh Paruk berdasarkan cerita terjadi
antara tahun 1957 sampai berakhir tahun 1971. Dikisahkan dalam novel
pada tahun 1946 terjadi kefakuman ronggeng di dukuh Paruk, waktu itu
Srintil belum lahir. Dukuh Faruk terjadi malapetaka tempe bongkrek.
Setelah 11 tahun Srintil menjadi ronggeng. Pada usia 11 tahun inilah
cerita ini dimulai. Sedangkan berakhirnya sekitar tahun 1971 yaitu
ketika Rasus telah kembali berkunjung ke dukuh Paruk setelah ia
bertugas. Berlibur ke Dukuh Paruk mendapatkan Srintil sakit ingatan.
Rasus bertindak untuk melindunginya Srintil dimasukan ke rumah sakit
jiwa.
Untuk novel Sinden mengenai waktu tidak dapat ditunjukan
dengan pasti karena wujudnya hanya tersirat. Namun dapat ditangkap
berdasarkan keadaan yang diterangkan dalam cerita terjadinya sekitar
tahun 1960-an dan diakhiri setelah meletusnya gerakan PKI 1965
dikisahkan dalam cerita rakyat Sumberwungu mengalami zaman
pegaber, musim kemarau panjang bahan makan susah, berburu tikus
kemudian dagingnya dimakan, adanya slogan sama rata sama rasa,
adanya penangkapan pemuka partai terlarang dan pencidukan warga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
yang terdaftar pada anggota partai terlarang. Kemudian diadakan
pemberhentian aparat desa dan diganti dengan yang baru.
4) Alur atau Plot
Alur atau plot adalah rangkaian peristiwa-peristiwa yang saling
terkait dan dihubungkan secara sebab-akibat yang terlukis dalam cerita
karya sastra. Berdasarkan urutan peristiwa yang terlukis dalam alur
novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden menggunakan alur
maju. Dalam artian jalinan cerita tersusun secara urut melalui peristiwa-
peristiwa yang terjadi dapat dipahami secara lengkap mulai awal
sampai akhir cerita.
Rangkaian kejadian yang tersusun dan membentuk satu
kesatuan yang utuh. Rangkaian unsur-unsur itu pada prinsipnya alur
cerita terdiri dari tiga bagian, yaitu : (1) alur awal, terdiri dari paparan
(eksposisi), rangsangan (inciting moment), dan penggawatan (rising
action); (2) alur tengah, terdiri atas pertikaian (conflict), perumitan
(complication), dan klimaks atau puncak penggawatan (climax); (3) alur
akhir, terdiri dari peleraian (falling action), dan penyelesaian
(denouement).
5) Poin of View
Point of View atau sudut pandang cerita adalah cara pandang
pengarang yang digunakan untuk menyajikan tokoh, perwatakan, latar
dan berbagai rangkaian peristiwa suatu cerita dalam karya fiksi. Sudut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pandang digunakan pengarang untuk menyampaikan strategi, teknik,
siasat untuk menyampaikan gagasan cerita.
Sudut pandang yang digunakan pada alur novel Ronggeng
Dukuh Paruk dan novel Sinden
luar cerita. Pengarang menampilkan tokoh dalam novel disebutkan
nama dan variasi kata ganti.
b. Perbedaan Struktur Novel
Penokohan, tokoh utama Srintil pada novel Ronggeng Dukuh Paruk
untuk menjadi seorang ronggeng merupakan panggilan, tetapi Tumi tokoh
utama pada novel Sinden untuk menjadi seorang sinden merupakan cita-cita.
Setting tempat kedua novel mempunyai perbedaan. Latar tempat
pada novel Sinden menggunakan latar desa yang agak maju (dibawah
pimpinan Priyayi) sebagai latar primer yaitu desa Sumberwungu, sedangkan
novel Ronggeng Dukuh Paruk menggunakan latar pedukuhan terpencil,
miskin, dan terbelakang yaitu Dukuh Paruk.
Setting Sosial novel Ronggeng Dukuh Paruk menghadirkan sosial
kemasyarkatan masyarakat pedesaan dengan penuh keluguan dan
kesederhanaan, sedangkan segi sosial novel Sinden menghadirkan latar
suasana masyarakat campuran antara wong desa dan priyayi yang penuh
keangkuhan.
Dari beberapa paparan terkait dengan tema, penokohan, setting tempat,
waktu dan sosial bahwa novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa, maka dapat diketahui
bahwa terdapat intertskstual dalam unsur pembangun cerita.
Persamaan dan perbedaan yang ditemukan dalam kedua novel tersebut
menunjukan adanya hipogram untuk novel Ronggeng Dukuh Paruk karya
Ahmad Tohari, sedangkan novel Sinden sebagai bentuk transformasinya.
Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden menampilkan struktur yang
berupa kesejajaran, penyempitan dan pertentangan atau perbedaan.
Kesejajaran bahwa kedua novel sama-sama mengangkat tema sosial
budaya daerah tertentu dan mengambil latar belakang waktu pengisahan yang
sama sekitar tahun 1960-an dimana pada saat itu baru gencar-gencarnya isu
G30S/PKI dan seni tradisional dijadikan peralatan dalam propaganda suatu
politik, penyempitan terjadi dalam novel Sinden terjadi mempersempit tema
dengan menyajikan permasalahan-permasalahan yang agak sederhana bila
dibandingkan dengan novel Ronggeng Dukuh Paruk, sedangkan bentuk
pertentangan atau perbedaannya terdapat dalam penokohan atau perwatakan
dalam novel RDP guru sebagai pendidiknya (dukun ronggeng) tidak
menanamkan etika kebaikan, sedangkan dalam novel Sinden ditampilkan
sosok guru sinden yang pantas untuk diteladani dengan menanamkan
tatakrama yang baik.
Bukti lain adalah tahun terbit novel. Novel Ronggeng Dukuh Paruk
terbit pertama kali tahun 1981, untuk novel Sinden terbit pertama kali tahun
2005. Dalam kajian intertekstual tahun terbit ini dapat digunakan bukti bahwa
sebuah karya sastra yang terlahir lebih dulu dapat menjadi inspirasi karya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
sastra berikutnya. Inspirasi terjadi dapat dijelaskan secara inplisit bahwa
karya novel Sinden ada kemiripan, kemiripan kisah tersebut sebagai bukti
adanya faktor pengarang terinspirasi oleh tek terdahulu.
3. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Novel
Sinden
Nilai pendidikan dalam sastra adalah suatu ukuran mengenai sifat-sifat
yang berguna dalam kehidupan manusia. Nilai-nilai di dalamnya tidak hanya
terbatas pada soal kebajikan dan moral saja, tetapi terdapat nilai lain yang
terdapat pada karya sastra.
a. Nilai Pendidikan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk
1) Nilai Pendidikan Religius
Kehadiran nilai religius dalam karya sastra adalah suatu keberadaan
sastra itu sendiri. Bahkan sastra itu tumbuh dari sesuatu yang bersifat
religius. Pada awal mulanya segala sastra adalah religius (Burhan
Nurgiyantoro, 1998: 326). Lebih lanjut Burhan Nurgiyantoro menjelaskan
bahwa agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada
Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi religiusitas dengan fihak lain.
Nilai religius dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk penulis
fokuskan pada hubungan manusia dengan Tuhan. Religiusitas yang
membicarakan hubungan manusia dengan Tuhan. Pada dasarnya
beranggapan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan, pastilah sangat erat
kaitannya dengan penciptaNya. Wujud dari hubungan tersebut dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
berupa doa-doa ataupun upacara-upacara adat. Do a dan upacara tersebut
dipanjatkan merupakan wujud suatu kesadaran bahwa semua yang ada di
muka bumi ini ada yang menciptakannya.
Untuk menjadi ronggeng harus melakukan upacara tradisi
ronggeng. Salah satunya adalah upacara pemandian di depan cungkup Ki
Secamenggala, leluhur mereka. Tindakan ini untuk memohon do a atau
diberkahi untuk menjadi ronggeng, bentuk ritual ini sebenarnya sama
dengan yang diminta oleh mereka yang sudah mengenal Tuhan. Upacara
ritual kepercayaan dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini:
Sudah dua bulan Srintil menjadi ronggeng. Namun adat Dukuh
Paruk mengatakan masih ada dua tahapan yang harus dilaluinya
sebelum Srintil berhak menyebut dirinya seorang ronggeng yang
sebenarnya. Salah satu diantaranya adalah upacara pemandian
yang secara turun temurun dilakukan di depan cungkup makam
Ki Secamenggala. (Ahmad Tohari, 2003: 43)
Bentuk ritual yang dilakukan Srintil melalui dukun ronggeng untuk
Paruk tergolong abangan permintaan tersebut dilakukan melalui
leluhurnya.
Hal yang sama dilakukan ketika kesenian ronggeng akan
berpentas di Kecamatan Dawuan dalam upacara Agustusan. Sakarya
sebagai kamitua Dukuh Paruk juga melakukan ritual minta
leluhurnya Ki Secamenggala. Orang-orang Dukuh Paruk tidak ingin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pentas ronggeng dilaksanakan dengan meninggalkan adat atau tradisi.
Hal ini tergambar dalam kutipan berikut ini:
-jangan kita melakukan kesalahan. Pentas kita kali ini
dilakukan menyimpang adat. Sampean mendengar ucapan-
-syarat
lainnya. Wah, hatiku sungguh tidak enak. Bisa terjadi apa-apa
membujuk Srintil agar mau kembali menari. Nah, sekarang
Srintil sudah mau, tetapi mereka kelihatan tidak menghargai tata
(Ahmad Tohari, 2003: 188)
Ritual yang dilakukan Sakarya disaat akan pentas ronggeng
merupakan bentuk ritual yang berhubungan dengan arwah Ki
Secamenggala. Entah secara kebetulan atau apa, pentas yang tidak
diawali dengan ritual membakar dupa itu ada sedikit kendala. Srintil
tiba-tiba pingsan di tengah-tengah pementasan.
Upacara-upacara yang dilakukan di Dukuh Paruk sebagai
implementasi kepercayaan dan ketaatan mereka terhadap leluhurnya.
Yang mereka minta adalah keselamatan, kebaikan, dan keselarasan
hidup. Ketika terjadi malapetaka di Dukuh Paruk mereka mengadu pada
Ki Secamenggala bukan yang lain. Menurut mereka semua kejadian di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dukuh Paruk semua adalah kehendak Ki Secamenggala. Bentuk
kepercayaan di Dukuh Paruk itu dapat dicermati pada kutipan berikut
ini:
Legenda khas Dukuh Paruk misalnya kisah nenek tentang
fenomena di pekuburan Dukuh Paruk malam hari ketika terjadi
bencana itu. Nenek mengatakan banya obor terlihat di atas
kerimbunan pohon beringin di atas makam Ki Secamenggala.
Dari pekuburan itu terdengar suara tangis bersahutan. Nenek
juga mengatakan bayangan Ki Secamenggala keluar,
mendatangi setiap mayat yang malam itu belum satu pun sempat
dikubur.
Bahkan Sakarya mendengar Ki Secamenggala mengatakan
kematian delapan belas warga Dukuh Paruk adalah
kehendaknya. Selama hidupnya menjadi bromocorah, Ki
Secamenggala berutang nyawa sebanyak itu, maka nyawa
keturunannya dipakai sebagai tebusan. (Ahmad Tohari, 2003:
32-33)
Di Dawuhan Rasus, meninggalkan kepercayaan yang dianut
oleh orang-orang Dukuh Paruk. Religiusitas Rasus selalu dikaitkan
dengan Tuhan. Rasus sudah mengenal dan melaksanakan ibadah
sembahyang. Bagi Rasus semua kejadian di dunia ini erat hubungannya
dengan Tuhan. Perubahan sikap religius yang dilakukan Rasus dapat
diperhatikan pada kutipan berikut ini:
Rasus tersenyum melihat ulah Nyai Kartareja berjalan cerpat
dan girang seperti anak kecil. Handuk disampirkannya pada
pelepah pisang di halaman. Baju dan celananya diganti, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
menyisir rambut. Sebuah kain sarung digelar di atas tanah dekat
lincak. Rasus bersembahyang. (Ahmad Tohari, 2003: 351)
Aku bersembahyang. Aku berdoa untuk Dukuh Paruk agar dia
sadar dan bangkit dari kebodohannya. Dengan air mata
berjatuhan aku memohon kepada Tuhan kiranya Srintil
mendapat kesempatan kembali untuk memanusia dan
memakhluk. (Ahmad Tohari, 2003: 398)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam novel
Ronggeng Dukuh Paruk kaya Ahmad Tohari terdapat nilai-nilai
religius. Bentuk religius tersebut berupa keyakinan dan kepercayaan
terhadap leluhurnya, Ki Secamenggala. Berbeda dengan Rasus yang
telah mengenal dunia selain Dukuh Paruk. Rasus sudah mengenal
agama sehingga bentuk religious dilakukan dengan menjalankan
ibadah sholat sesuai agama yang dianutnya.
2) Nilai Pendidikan Budaya
Koentjaraningrat (1985: 18) mengemukakan bahwa sistem nilai
budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran
sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka
anggap amat bernilai dalam hidup. Suatu sistem nilai budaya biasanya
berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Nilai-
nilai budaya yang terkandung di dalam cerita dapat diketahui melalui
penelaahan terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam
cerita.
Menurut Tylor, kebudayaan adalah keseluruhan aktivitas
manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hokum,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan lain dalam ( Nyoman Kutha
Ratna: 5).
Bentuk budaya Jawa yang dapat digunakan untuk menganalisis
novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Novel Sinden yakni adat kebiasaan
yang berlaku di kalangan rakyat klas bawah. Rakyat klas bawah dalam
novel Ronggeng Dukuh Paruk yaitu yang dilakukan warga Dukuh
Paruk, sedangkan klas atas para priyayi di Dawuan. Sedangkan dalam
Novel Sinden yang tergolong rakyat klas bawah adalah sebagian warga
desa Dawuan dan untuk golongan klas atas para priyayi desa Dawuan.
Nilai pendidikan budaya novel Ronggeng Dukuh Paruk penulis
fokuskan pada analisis budaya rakyat klas bawah diantaranya ` sebagai
berikut:
(a) Ngleluri tradisi (Melestarikan Tradisi)
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk tokoh golongan klas
bawah (wong cilik) mendominasi cerita. Srintil sebagai golongan
rakyat bawah menjadi seorang ronggeng merupakan anugerah karena
mendapat kepercayaan dari para leluhurnya dengan mendapat indang
ronggeng. Merupakan keberhasilan hidup yang harus disyukuri.
Untuk menjadi seorang ronggeng yang terkenal harus
melakukan tradisi yang berlaku di wilayah tersebut yaitu Dukuh
Paruk. Maka Srintil segera diserahkan oleh Kertareja dan istrinya
demi mendapatkan ilmu tentang ronggeng. Srintil harus menjalani
semua tradisi yang ditetapkan dukun ronggeng tersebut agar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
keinginan menjadi seorang ronggeng menjadi kenyataan. Bentuk
tradisi tersebut memperoleh ilmu pekasihan, hal itu dapat dipahami
dalam kutipan berikut ini:
Satu hal disembunyikan oleh Nyai Kartareja terhadap siapa
pun. Itu, ketika ia meniupkan mantra pekasih ke ubun-ubun
Srintil. Mantra yang di Dukuh Paruk dipercaya akan
membuat siapa saja tampak lebih cantik dari sebenarnya;
uluk-uluk perkutut manggung
teka saka ngendi,
teka saka tanah sabrang
pakanmu apa
pakanku madu tawon
manis madu wawon,
ora manis kaya putuku, Srintil.
Beberapa susuk emas dipasang oleh Nyai Sakarya di tubuh
Srintil. (Ahmad Tohari, 2003: 18-19)
Selain itu, untuk menjadi ronggeng sejati Srintil juga harus
mau mengikuti tradisi yang berlaku. Ada dua tahapan yang harus
dilalui seorang ronggeng yaitu upacara pemandian di depan pusara
Ki Secamenggala dan upacara bukak klambu. Sebuah upacara tradisi
yang ironis untuk seorang ronggeng. Sebuah tradisi yang dilakukan
oleh Srintil dapat dicermati dalam kutipan berikut ini:
Mantra-mantra dibacakan oleh Nyai Kertareja, ditiupkan ke
ubun-ubun Srintil. Kemudian tubuh perawan itu mulai
diguyur air kembang, gayung demi gayung. Sementara itu
orang-orang Dukuh Paruk lainnya hanya menonton. Srintil
menjadi pusat perhatian. Rombongan penabuh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mempersiapkan diri. Mereka menata perkakas masing-
masing, duduk bersila di atas tanah. (Ahmad Tohari, 2003:
46) Dari orang-orang Dukuh Paruk aku tahu syarat terakhir
yang harus dipenuhi oleh Srintil bernama bukak klambu.
Berdiri bulu kudukku setelah mengetahui macam apa
persyaratan itu. Bukak klambu adalah semacam sayembara,
terbuka bagi laki-laki mana pun. Yang disayembarakan
adalah keperawanan calon ronggeng. Laki-laki yang dapat
menyerahkan sejumlah uang yang ditentukan oleh dukun
ronggeng, berhak menikmati virginitas itu. (Ahmad Tohari,
2003: 51)
Dapat disimpulkan bahwa betapa berat tradisi yang berlaku di
suatu tempat tetap dijunjung tinggi oleh warganya demi keberhasilan
dari yang diinginkan. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. tradisi
yang dilakukan merupakan bagian dari nilai-nilai sosial budaya yang
sering dilakukan golongan klas bawah untuk mendapatkan
kemuliaan hidup.
(b) Sapa Temen Bakal Tinemu (Rajin Bekerja)
Setelah melarikan diri ke Dukuh Paruk Rasus menemukan
harapan baru dalam kehidupannya setelah dikecewakan Dukuh
Paruk. Menurut Rasus Dukuh Paruk telah merenggut Srintil dari
hatinya. Untuk mewujudkan harapan tersebut Rasus rela
meninggalkan Dukuh Paruk dan tinggal di Pasar Dawuan.
Rasus mengawali kegiatan di pengasingannya dengan
menjadi kuli pasar Dawuan. Rasus menyadari sebagai wong cilik dan
tidak mempunyai kemampuan apapun kecuali tenaga dan tekat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pekerjaan yang diterima dilakukan dengan sepenuh hati (temen),
sapa temen bakal
. Rasus selalu temen atau rajin bekerja dengan penuh
keiklasan. Kelak pasar Dawuan menjadi saksi perubahan hidup
Rasus. Perjuangan Rasus di tempat pelariannya dapat dicermati
pada kutipan berikut ini:
Perkenalanku dengan pedagang singkong di pasar
memungkinkan aku mendapat upah. Di Dukuh Paruk setiap
anak berkenalan dengan singkong sejak lahir. Maka
pedagang itu terkesan betapa cepat aku mengupasi barang
dagangannya. Selain mendapat upah buat makan sehari-hari,
aku menemukan sebuah tempat yang teduh untuk menggelar
karung-karung. Itulah tempat tidur yang kupakai selama
berbulan-bulan. (Ahmad Tohari, 2003: 80-81)
Pada suatu sore di Pasar Dawuan kedatangan sekelompok
tentara. Kedatangan tentara itu bertugas untuk mengamankan daerah
Dawuan dan sekitarnya dari perampokan yang kian merajalela.
Berkat temen dan ketabahan, takdir rupanya telah memilih Rasus
untuk menuju ke garis kehidupan yang lebih baik. Seorang tentara
bernama Sersan Slamet meminta Rasus untuk membantu
menurunkan peti-peti yang berada dalam sebuah truk.
Kelak akan terbukti nasib mengubah kehidupanku secara
ajaib. Dimulai pada sore di depan pasar Dawuan. Pasar begitu
sepi. Apalagi perampokan makin hari makin sering terjadi.
Sebuah truk penuh tentara berhenti. Kira-kira dua puluh
orang tentara turun, masing-masing dengan topi baja dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
bedil. Banyak anak menyingkir melihat kedatangan para
tentara itu. Mereka terutama takut kepada bedil.
Aku sendiri berdiri dan memandang dari jauh di depan
gerbang pasar. Ketika seorang tentara, yang kemudian
kukenal sebagai Sersan Slamet, mencari seseorang untuk
membantu menurunkan peti-peti serta barang-barang lainnya.
Dia tidak melihat seorang pun kecuali aku. Jadi lambaian
tangannya kemudian diarahkannya kepadaku. (Ahmad
Tohari, 2003: 91)
Rasus telah menjadi tentara, berkat ketekunannya sehingga
membuat warga Paruk menaruh harapan pada diri Rasus. Perubahan
yang terjadi sudah merubah nilai sosial pada diri Rasus. Rasus sudah
memiliki kedudukan dan jabatan akan merubah cara berpikir,
bertindak untuk Dukuh Paruk.
Rasus baru kali pertama berkenalan dengan tentara, maka
dalam hatinya ada rasa takut ketika dan gemetar menerima panggilan
seorang tentara. Tapi ketika Sersan Slamet mengulangi dengan
lambaian tangannya, Rasus mendekat dan menerima tawaran kerja
dari Sersan Slamet. Rajin bekerja adalah salah satu sikap yang
dimiliki Rasus. Rasus tidak berusaha menunjukkan pada Sersan
Slamet, tapi Sersan Slamet melihat ketangkasan Rasus dalam
bekerja.
Pekerjaan kumulai. Peti-peti logam serta barang-barng berat
lainnya kuangkat di atas pundak dan kubawa ke sebuah
rumah batu yang ternyata telah dipersiapkan sebagai markas
tentara. Dari rasa takut lambat laun berubah menjadi rasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
bangga. Seorang Dukuh Paruk bekerja dalam kelompok
tentara. Meski pakaianku tidak seragam dengan mereka,
tetapi aku berjalan beriring dengan mereka. Bahkan aku
sudah berbicara dengan pemimpin mereka, Sersan Slamet.
Aku telah berkenalan dengan seorang tentara.
Karena merasa bangga bekerja dengan sekelompok tentara,
maka aku mampu mengeluarkan tenaga lebih dari biasanya.
Bila mereka mengangkat peti itu satu-satu, aku
mengangkatknya sekaligus dua buah di pundakku. Dalam
waktu sekian menit mereka hanya bisa membawa sebuah
barang dari truk ke markas. Tetapi dalam waktu yang sama
aku telah dua kali hilir-mudik. Rupanya Sersan Slamet
mencatat hal ini. (Ahmad Tohari, 2003: 91-92)
Sersan Slamet sangat terpesona dengan cara kerja Rasus
begitu rajin. Rasus kemudian ditawari untuk menjadi tobang di
kesatuan tentara yang dipimpin Sersan Slamet. Tugas tobang adalah
melayani segala keperluan tentara di sebuah markas. Bagi seorang
Rasus, yang tidak pernah mengenal baca tulis menjadi seorang
tobang adalah kebanggaan dan kehormatan yang tak terhingga.
Dengan penuh kesadaran Rasus sebagai wong cilik selalu
temen dalam menerima tugas dari majikan dilakukan dengan baik
penuh kejujuran, mengantarkan dirinya memiliki kedudukan yang
lebih baik yaitu sebagai tentara sehingga dapat mengabdikan diri
untuk tanah airnya.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sifat temen
bakal tinemu dari apa yang akan dicita-citakan, serta dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kejujuran akan membawa keberkahan bagi dirinya sendiri. Dalam
novel Ronggeng Dukuh Paruk, temen merupakan bagian dari nilai-
nilai sosial budaya yang harus dilakukan wong cilik maupun
golongan klas atas untuk mencapai kesuksesan dalam hidup.
(c) Eling lan waspada (Selalu Hati-hati)
Sakarya merupakan orang yang bijaksana dan penuh kehati-
hatian. Ketika orang-orang Dukuh Paruk larut dalam hiruk-pikuk
perayaan tujuh belasan, Sakarya tidak ikut-ikutan. Sakarya tetap
penuh kehati-hatian. Ia mempunyai filsafat yang sederhana yaitu eling
lan waspada. karena segala sesuatu selalu berpasang-pasangan. Ada
kegembiraan pastilah ada kesusahan.
Sakarya mampu menahan rasa kegembiraannya, walaupun
malam peringatan tujuh belasan itu adalah malam kembalinya Srintil
untuk meronggeng. Sakarya menekankan pada persiapan kejiwaan
dengan memasang sesaji di makam Ki Secamenggala, terjaga di
malam hari, dan mengurangi makan-minum. Sikap Sakarya yang
penuh kehati-hatian dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini:
Boleh jadi hanya Sakarya yang tidak sepenuhnya larut dalam
kegembiraan. Sikapnya yang hati-hati berasal dari filsafatnya
yang sederhana. Bahwa segala sesuatu berpasang-pasangan
adanya, tak terkecuali sesuatu yang bernama kegembiraan.
Pasangannya pastilah kesusahan. Sepanjang lintasan hidupnya
yang panjang, Sakarya sering menemukan kenyataan bahwa
segala sesuatu tak pernah berpisah jauh dari pasangannya. Orang
selalu memilih pihak yang menguntungkan dan menjauhi pihak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
yang merugikan. Antara keduanya harus tetap terjaga jarak. Dan
dalam pikiran Sakarya menjaga jarak itu berarti harus selalu
bersikap hati-hati, eling. Kadang juga diartikannya sebagai
keseimbangan dan tidak berlebih-lebihan (Ahmad Tohari, 2003:
180).
3) Nilai Pendidikan Sosial
Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh masyarakat tertentu,
mengenai segala perbuatan yang dianggap baik, ataupun buruk. Karya
sastra tercipta selalu melibatkan sistem sosial yang terjadi di suatu
wilayah tertentu. Tata nilai sosial tentu akan mengungkapkan sesuatu
hal yang dapat direnungkan dalam karya sastra dengan ekspresinya.
Pada akhirnya dapat dijadikan cermin atau sikap para pembacanya
(Suyitno, 1986: 31).
(a) Kerukunan
Warga Paruk yang hidup di dukuh kecil dan masih berasal
dari satu keturunan memiliki rasa kerukunan yang kuat. Hal ini
dapat diperhatikan pada kutipan di berikut ini:
Srintil.
Rasus tersenyum. Baginya, memenuhi permintaan Srintil
selalu menyenangkan. Maka ia berbalik, menoleh kiri
kanan mencari pohon bacang. Setelah di dapat, Rasus
memanjat. Cepat seperti seekor monyet. Dipetiknya
beberapa lembar daun bacang yang lebar. Piker Rasus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dengan daun itu mahkota di kepala Srintil akan bertambah
manis. (Ahmad Tohari, 2003: 12-13).
Pada waktu Srintil berlatih meronggeng di rumah Kartareja
banyak warga yang tertarik kepada Srintil. Rasa ketertarikan itu
menunjukan suatu dukungan para perempuan yang
menyaksikannya. Pernyataan tersebut dapat diperhatikan kutipan
berikut ini:
ya. Aku akan
kalian dengar. Srintil bukan milik orang per orang. Bukan
hanya kalian yang ingin memanjakan Srintil. Sehabis
pertunjukan nanti aku mau minta izin kepada Nyai
(Ahmad Tohari, 2003: 20).
4) Nilai Pendidikan Moral
Joko Widagdo (2001: 30) mengemukakan moral diartikan
sebagai norma, dan konsep kehidupan yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat. Nilai-nilai pendidikan tersebut dapat mengubah perbuatan,
perilaku, dan sikap. Kewajiban moral dalam masyarakat yang baik
seperti budi pekerti, akhlak, dan etika.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Sikap budi luhur merupakan sebuah sikap yang dilakukan
manusia dalam menjalankan kehidupannya yang dilandasi sikap mulia
seperti: kasih sayang, balas budi, adil, tidak membeda-bedakan, suka
menolong.
(a) Balas Budi
Srintil perempuan penari ronggeng yang memiliki rasa
balas budi. Kecantikan dan kemampuan dalam meronggeng tidak
semata digunakan untuk mencari uang seperti kebanyakan penari
ronggeng. Tetapi keluhuran budi Srintil dapat diperhatikan dalam
kutipan berikut ini:
Bersama kabut tipis yang mulai lenyap oleh cahaya
matahari. Srintil berjalan menuruni bukit, meninggalkan
Alaswangkal. Di belakangnya berjalan Mertanakim yang
disuruh majikannya mangawal Srintil sampai ke Dukuh
Paruk. Sebuah sapu tangan di dalam genggaman Srintil
penuh uang. Tetapi hanya Srintil pribadi yang tahu bahwa
uang yang banyak itu tidak bias mengusir rasa perih dalam
hatinya. Perih karena sesungguhnya Srintil pulang dengan
membawa kegagalan yang tidak kepalang. Waras tidak
mungkin dilupakannya sepanjang m asa; simpati bagi
seorang manusia dalam kemalangan abadi. (Ahmad Tohari,
2003: 224-225).
Kutipan di atas menunjukan keluhuran sifat Srintil karena
sudah mendapatkan imbalan, namun tidak dapat menjalankan
tugasnya. Beban hati Srintil juga merasa tidak tega melihat
penderitaan yang diterima oleh Waras.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(b) Budi Luhur
Rasus memiliki sifat budi luhur, sikap tersebut diberikan
kepada Srintil perempuan yang telah mengecewakan hatinya,
hingga membuat Rasus pergi dari Dukuh Paruk menuju Dawuan.
Sifat budi luhur tercermin bahwa Rasus tidak memiliki rasa
dendam terhadap Srintil. Ketika Srintil mengalami gangguan
kejiwaannya dengan iklas Rasus menolong membawanya ke rumah
sakit jiwa. Hal itu dapat diperhatikan dalam kutipan di bawah ini:
Pagi-pagi sesaat matahari terbit aku sudah berpakaian rapi.
Baju lengan panjang serta celana abu-abu. Yang masih
menandakanaku tentara adalah potongan rambut serta
sepatuku. Pintu rumah Kartareja aku ketuk. Istrinya kuminta
memandikan Srintil dan memberinya pakaian yang pantas. Aku
akan membawanya ke rumah sakit tentarakarena aku tahu di
sana ada bagian perawatan penyakit kejiwaan. Oh, aku
menyaksikan sekali lagi Srintil yang sudah kehilanganm
kemanusiaannya. (Ahmad Tohari, 2003: 398-399).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap balas
budi dan budi luhur dapat dijumpai dalam novel Ronggeng Dukuh
Paruk. Sikap tersebut merupakan bentuk tindakan manusia dalam
menjalankan hidupnya yang dilandasi sifat mulia tahu balas budi,
suka menolong, dan ikut merasakan penderitaan orang lain.
b. Nilai Pendidikan dalam Novel Sinden
1) Nilai Pendidikan Religius
Kehadiran nilai religius dalam karya sastra adalah suatu keberadaan
sastra itu sendiri. Bahkan sastra itu tumbuh dari sesuatun yang bersifat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
religius. Pada awal mulanya segala sastra adalah religious (Burhan
Nurgiyantoro, 1998: 326). Lebih lanjut Burhan Nurgiyantoro menjelaskan
bahwa agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada
Tuhan dengan hokum-hukum yang resmi religiusitas dengan fihak lain.
Ada berbagai macam hubungan manusia yang berkaitan dengan
masalah religiuitas. Hubungan-hubungan tersebut meliputi: hubungan
manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan lingkungan dan
masyarakat, hubungan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan
dirinya. Pembahasan mengenai nilai religious dalam novel Sinden penulis
fokuskan pada hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan
manusia.
Religiusitas yang membicarakan hubungan manusia dengan Tuhan
beranggapan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaanNya, pastilah sangat
erat kaitannya dengan penciptanya. Wujud dari hubungan itu biasa berupa
doa-doa. Doa tersebut dilakukan oleh manusia karena suatu kesadaran
bahwa semua yang ada di alam raya ini tidak akan luput dari
pengawasanNya.
Penggunaan kekuasaan yang otoriter walau sekuat apapun. Tidak
akan mampu melawan kekuasaan Tuhan. Karena Tuhan tidak pernah tidur
akan selalu welas asih terhadap hambanya yang teraniaya. Melalui rasa
pasrah, narimo dengan menyerahkan semua urusan kepada Tuhan. Dengan
demikian ada kepercayaan kepada Tuhan bahwa orang yang teraniaya akan
mendapat pertolongan, sedangkan orang yang menindas, menganiaya akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mendapat balasan dari Tuhan. Kepercayaan warga Sumberwungu akan hal
itu dapat diperhatikan kutipan berikut ini:
...tapi memang, kalau menolak keinginan mereka sama halnya akan
menjadi makanan empuk untuk diejek, difitnah dan macam-
macamlah. Tapi Tuhan tidak pernah tidur tetap, welas asih, pasti
tahu. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 52)
Rakyat Sumberwungu tidak mampu untuk memahami peristiwa yang
terjadi, banyaknya orang-orang yang ditangkap atau diciduk. Tidak tahu
mana kawan, mana lawan. Tidak tahu juga apa salahnya, rasa was-was itu
menghantui semua warga, namun hanya keprasahan pada Tuhannya.
Keprasahan itu berupa keyakinan yang tertanam dalam hatinya sapa salah
seleh, sapa nggawe ngenggo. Pernyataan itu terlukis dalam kutipan berikut
ini :
Kemana harus mencari dan menuntut? Tak ada yang tahu. Tak ada
yang membela. Semua orang seakan tenggelam dalam rasa bersalah
dan menerima kekalahan. Rakyat Sumberwungu hanya mempunyai
keyakinan. Sapa salah seleh,atau siapapun yang salah akan
mendapatkan hukumannya. Sapa nggawe ngenggo, siapa yang
berbuat akan menuai hasil sesuai dengan perbuatannya. Tidak heran
bila banyak yang permisif dan membiarkan semuanya terjadi tanpa
perlu diusut dan dipermasalahkan. (Purwadmadi Admadipurwa,
2007: 267)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam novel Sinden
karya Purwadmadi Admadipurwa terdapat nilai-nilai religius. Nilai-nilai
tersebut tertanam dalam keyakinan jiwanya akan keadilan Tuhan terhadap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
semua perbuatan manusia di muka bumi ini. Keyakinan akan perbuatan
manusia yang tertanam dalam hati Rakyat Sumberwungu adalah pasrah,
sapa salah seleh, sapa nggawe bakal ngenggo.
2) Nilai Pendidikan Budaya
Koentjaraningrat (1985: 18) mengemukakan bahwa system nilai
budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran
sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka
anggap amat bernilai dalam hidup. Suatu system nilai budaya biasanya
berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Nilai-nilai
budaya yang terkandung di dalam cerita dapat diketahui melalui penelaahan
terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita.
Analisis nilai pendidilan budaya dalam novel Sinden penulis
fokuskan pada analisis budaya wong cilik yang meliputi sebagai berikut:
(a) Aja Seneng Raben ( budaya kawincerai)
Dalam novel Sinden tokoh cerita Tumi ditanamkan prinsip kawin
cerai. Prinsip tersebut ditanamkan oeh orang tuanya yaitu Kartosemedi
dan oleh gurunya yaitu Nyai Estu Suminar. Walau kenyataannya Tumi
adalah korban kawin cerai dari orang tuanya. Untuk itu mengingat
peristiwa itu pada Tumi ditanamkan rasa kesetiaan terhadap suami.
Seperti kutipan berikut ini:
Tetapi Kartosemedi teguh dalam pendiriannya. Ia menempuh
segala resiko jika lurah Sumberwungu akan mempersulit
dirinya dikemudian hari kartosemedi menginginkan anak
gadisnya mencapai cita-citanya sebagai sinden sekeligus akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
membrantas tradisi kawin cerai yang dialami banyak pesinden.
pesinden. Kalau kamu kawin, sekali saja. Disamping itu,
bersetialah kamu pada suamimu satu- (Purwadmadi
Admadipurwa, 2007: 17)
Pesan tersebut untuk membangun citra sinden yang telah
dicemarkan perilaku beberapa sinden yang dengan mudah kawin cerai,
tidak memiliki kesetiaan terhadap pendamping hidupnya. Maka Nyai
Estu yang juga korban kawin cerai oleh suaminya mewanti-wanti pesan
pada murid-muridnya untuk selalu setia pada pasangan hidupnya.
Petuah Nyai Estu terlukis pada kutipan berikut ini :
hinggap dalam pikiranya untuk menikah lagi. Banyak priya
yang menginginkanya untuk menjadi istri. Tidak sedikit para
jejaka tulen yang melamarnya. Tapi Estu masih menangkap
sinar mata dan motivasi mereka kalau tidak pada nafsu juga
karena harta kekayaan Estu. (Purwadmadi Admadipurwa,
2007: 50)
(b) Aja Seneng Royal (Membudayakan penampilan sederhana)
Nyai Estu guru sinden sejati juga menanamkan sekaligus
member contoh kepada muridnya bahwa dalam menyinden sinden
tidak perlu royal, dandan yang terlalu berlebihan cukup sederhana
saja. Perilaku orang yang suka royal pada akhirnya mudah melakukan
tindakan negatif. Tetapi dengan kesederhanaan dapat mewujudkan
keaslian diri akan menarik banyak orang. Contoh tindakan Nyai Estu
tertulis dalam kutipan berikut ini :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Berbeda dengan banyak sinden lainnya, berbedak tebal,
bergincu kemerahan, gelungnya bercunduk mentul, dan
telinganya, leher, lengan, dan jemarinya banyak perhiasan
emas. Kain kebayaknya bukan hanya lurik, melainkan kain
boorklat dengan warna mencorong, merah menyala, hijau
menyala, biru menyaka, bahkan ada yang mengenakan kebaya
merah jambu. Malah ada seorang pesinden yang berkulit hitam
terbakar sinar matahari yang mengwenakan kebayak hijau
pupus dan selendang merah jambu.
Demikian juga dengan Tumi, sinden muda belia terbaik dari
yang ada di Argalaksa saat ini. Ia berdandan amat sederhana
seperti guru sejatinya. Juga tanpa perhiasan sedikitpun.
Tubuhnya kosong melompong dari perhiasan. Bahkan tanpa
bedak dan gincu. Wajah Nyai Estu dan Tumi seakan rembulan
kembar diantara wajah sinden lainnya. (Purwadmadi
Admadipurwa, 2007: 288)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk
mengembalikan citra sinden sejati harus mampu menjadi figur sinden
yang tidak melakukan tindakan yang meremehkan dirinya sendiri,
seperti Seneng Raben (suka kawin cerai), Seneng Royal
(berpenampilan yang berlebihan). Dengan kemampuan olah pikir,olah
rasa,olah cara dan olah batin akan membentuk sinden sejati yang
bermatabat.
3) Nilai Pendidikan Sosial
Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh masyarakat tertentu,
mengenai segala perbuatan yang dianggap baik, ataupun buruk. Karya sastra
tercipta selalu melibatkan sistem sosial yang terjadi di suatu wilayah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
tertentu. Tata nilai sosial tentu akan mengungkapkan sesuatu hal yang dapat
direnungkan dalam karya sastra dengan ekspresinya. Pada akhirnya dapat
dijadikan cermin atau sikap para pembacanya (Suyitno, 1986: 31).
(a) Rasa Sosial
Kehidupan sosial kemasyarakatan untuk warga desa
Sumberwungu terlihat rukun. Warga Sumberwungu sangat peduli
terhadap penderitaan sesama warga. Bentuk kepedulian itu ada yang
berupa harta, pikiran, tindakan. Bentuk kepedulian warga
Sumberwungu terhadap keluarga yang mendapat musibah, seolah-olah
juga ikut merasakan penderitaan ini. Sikap warga desa Sumberwungu
dapat diperhatikan kutipan berikut ini:
Meski diliputi rasa was-was, malam itu sejumlah tetangga dan
beberapa sanak saudara berkunjung ke rumah Karto. Mereka
menemani Tumi. Nyai Estu juga berencana nginep di rumah
Tumi. Mungkin inilah pengalaman Nyai Estu nginep di rumah
orang lain. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 192)
Mereka berada dirumah Karto secara suka rela untuk memberi
penguatan moril bagi Tumi agar tabah dalam menghhadapi
cobaan. Akan halnya Nyai Estu sampai bersedia nginep di rumah
Tumi adalah sebuah keluar biasaan. Tetangga Tumi pun merasa
turut dihormati oleh Nyai Estu. Mereka bangga kepada Tumi
yang mampu menarik hati perempuan yang sangat berwibawa itu.
(Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 192)
Dngan demikian dapat disimpulkan keadaan sosial desa
Sumberwungu untuk kalangan wong cilik kehidupan warganya yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
saling rukun, suka menolong dalam mengatsai kesulitan dengan tanpa
pamrih.
4) Nilai Pendidikan Moral
Nilai pendidikan moral dalam novel Sinden dapat dilihat dari
perwatakan tokoh Tumi sebagai sinden. Melalui tokoh Tumi, pencitraan
sinden dapat diubah dari citra yang negatif menjadi citra yang positif.
Tumi tumbuh menjadi gadis remaja yang baik. Ia biasa bekerja di
ladang. Ia biasa menyiapkan makan untuk bapaknya. Ia juga
mengurus ayam-ayam piaraannya. Ia juga mengurus rumahnya
yang mungil hingga menjadib rapi. (Purwadmadi Admadipurwa,
2007: 14).
Kartosemedi menginginkan anak gadisnya dapat mencapai cita-
citanya sebagai sinden sekaligus mebrantas tradisi kawin cerai
kamu harus membangun citra pesinden. Kalau kamu kawin sekali
saja. Disamping itu, bersetialah kepada suamimu satu-satunya
, 2007: 17)
B. Pembahasan Hasil Penelitian
1. Unsur-unsur Struktur Novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) dan
Sinden
a) Tema
Tema untuk novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah tentang
kehidupan sosial budaya kehidupan masyarakat lapisan bawah yang
bernama Dukuh Paruk. Dukuh Paruk suatu pedukuhan yang terpencil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dengan keadaan alam yang kurang subur. Kehidupan rakyatnya miskin
dan tidak mengenal pendidikan. Ronggeng merupakan seni budaya
kebanggaan sekaligus citra Dukuh Paruk. Budaya ronggeng tersebut
telah 11 tahun hilang, kehidupan bangkit kembali setelah Srintil cucu
Sakarya tokoh utama dalam novel dianggap mampu mengembalikan
citra Dukuh Paruk melalui seni ronggeng. Dalam novel ini
digambarkan warna kehidupan Dukuh Paruk yang mengagungkan seni
ronggeng dan perjuangan wanita penari ronggeng yang ingin kembali
menjadi wanita baik-baik (wanita somahan).
Novel Sinden kaya Purwadmadi Admadipurwa mengambil
tema kehidupan sosial budaya bagi masyarakat kalangan bawah
bernama desa Sumberwungu. Desa Sumberwungu merupakan desa
miskin dan mendapat perlakuan penindasan penguasa. Desa ini banyak
menghasilkan sinden kondang. Kebiasaan para Sinden yang kurang
baik akan merendahkan martabat sinden itu sendiri. Agar dapat
mewujudkan sinden yang bermartabat ditanamkan prinsip keluhuran
seorang sinden yang memegang tatakrama.
Secara intertekstual novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel
Sinden memiliki persamaan yaitu mengangkat sosial budaya suatu
daerah kalangan rakyat kecil, sedangkan perbedaannya adalah pada
novel Sinden berbentuk lebih spesifik dari novel Ronggeng Dukuh
Paruk. Novel Ronggeng Dukuh Paruk menghadirkan kehidupan sosial
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
budaya yang melibatkan permasalahan yang lebih luas, untuk novel
Sinden tidak begitu komplek.
b) Alur atau Plot
Berdasarkan urutan peristiwa yang terlukis dalam alur novel
Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden menggunakan alur maju.
Dalam artian jalinan cerita tersusun secara urut melalui peristiwa-
peristiwa yang terjadi dapat dipahami secara lengkap mulai awal
sampai akhir cerita. Namun ada sebagian Penulis menuturkan tragedi
tempe bongkrek itu dengan cara flashback (kilas balik) dalam novel
Ronggeng Dukuh Paruk dan pada novel Sinden, penulis juga
menuturkan pengalaman Nyai Estu Suminar pada waktu berguru
sinden dengan Nyai Larasmadu dengan cara flashback (kilas balik).
Jadi kedua novel tersebut menggunakan alur maju, sehingga rangkaian
kejadian yang tersusun secara urut mulai awal sampai akhir dan
membentuk satu kesatuan yang utuh.
a. Pokok-pokok peristiwa yang terjalin dalam plot novel Ronggeng Dukuh
Paruk adalah sebagai berikut:
1.Gambaran alam dan kehidupan rakyat Paruk (exsposition).
2. Srintil mendapat indang ronggeng.
2. Srintil diserahkan kepada Kartareja seorang dukun ronggeng
(inciting moment)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3. Petaka tempe bongkrek (flash back).
4. Srintil figur emak bagi Rasus.
5. Srintil mendapat hadiah keris dari Rasus sebagai tanda cintanya.
6. Srintil melakukan ritual sebagai syarat menjadi ronggeng.
7. Srintil melakukan ritual bukak klambu (rising actions)
8. Srintil penari ronggeng dari Paruk menjadi terkenal.
9. Rasus mengasingkan diri ke Dawuan .
10. Rasus menjadi tobang membantu mengamankan Dukuh Paruk dari
perampokan
11. Srintil mencintai Rasus. Srintil mengajak Rasus menikah.
12. Srintil menolak untuk meronggeng (conflict).
13. Srinthil tidak mau melayani tamu.
14. Srintil malah mencari Rasus ke Dawuan.
15. Srintil merasa kecewa tidak bertemu Rasus, ia jatuh sakit.
16. Srintil terhibur setelah mendapatkan Goder menjadi anaknya
17. Srintil tidak mau meronggeng dan melayani tamu laki-laki.
18. Srintil diminta untuk meronggeng lagi (complication).
19. Srintil meronggeng dalam kegiatan pentas seni Agustusan.
20. Srintil menjadi gowok di alaswangkal.
21. Srintil bergabung dengan pak Bakar.
22. Ronggeng Paruk digunakan untuk menghibur rapat-rapat partai.
23. Kerusuhan pengikut pak Bakar merusak tanaman padi penduduk.
24. Ronggeng Paruk tidak lagi tampil dalam pentas pada rapat-rapat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25. Terjadinya pengrusakan makam leluhur Dukuh Paruk.
26. Dukuh Paruk diadudomba dengan kelompok caping hijau.
27. Srintil dan rombongan Ronggeng juga warga Dukuh Paruk
dituduh sebagai pengikut partai terlarang, ditangkap dan
ditahan. Kemudian Dukuh Paruk dibumi hanguskan ( climax)
28. Srintil ditahan untuk beberapa tahun lamanya.
29. Rasus pulang ke Paruk.
30. Rasus mencari Srintil ditahanan.
31. Warga Paruk dikeluarkan dari tahanan, kecuali Srintil
(falling actions)
32. Srintil keluar dari tahanan.
33. Srintil ingin menjadi wanita somahan.
34. Srintil berkenalan dengan Bajus.
35. Srintil diumpankan untuk melayani Blengur, atasan Bajus.
36. Srintil hilang ingatan (denouement)
37. Srintil dibawa ke rumah sakit jiwa oleh Bajus.
Dari rentetan peristiwa di atas dapat dikelompokan ke dalam beberapa
bagian peristiwa sesuai dengan tahapan alur cerita yang terjadi. Tahap
pemaparan atau exsposition terlukis pada bagian peristiwa 1 sampai 2.
Bagian 1 gambaran situasi keadaan alam Dukuh Paruk dan bagian 2
kegiatan anak-anak Paruk di musim kemarau yang dikejutkan Srintil
menyanyi dan menari layaknya penari ronggeng dewasa. Menurut para
sesepuh Srintil kemasukan indang ronggeng Paruk.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Bagian 3, 4, 5, 6, 7 adalah tahap inciting moment atau rangsangan.
Pada bagian ini Srintil mulai diserahkan kepada dukun Ronggeng untuk
dididik menjadi penari ronggeng oleh Kartareja dan istrinya. Kemampuan
Srintil menari ronggeng mengingatkan peristiwa silam petaka tempe
bongkrek yang dialamiorang tua Srintil. Waktu itu Srintil baru umur lima
bulan. Dan nasib itu juga dialami Rasus pemuda yang simpati pada Srintil.
Rasus mencari emaknya vigur emaknya justru tersirat pada Srintil. Sebagai
pelengkap Rasus menyerahkan keris peninggalan orang tuanya untuk
Srintil. Untuk menjadi ronggeng Srintil harus melalui upacara adat mulai
mandi di pusara Ki Secamenggala leluhur Dukuh Paruk.
Bagian 8, 9, 10, 11, 12, adalah tahap rising action atau penggawatan.
Pada tahap ini upacara yang susah diterima akal sehat yaitu upacara bukak
klambu. Dimana upacara ini mengenai penyerahan keperawanan seorang
calon ronggeng dengan syarat bagi siapapun yang memenangkan
sayembara yang telah ditentukan dukun ronggeng. Sekepeng uang logam
ringgit emas. Warga Dukuh Paruk menjadi gelisah dengan besarnya harga
keperawanan seorang ronggeng tak terkecuali Rasus. Rasus tidak bisa
menerima tindakan yang semena-mena melecehkan seorang wanita apalagi
terhadap Srintil, gadis yang ia cintai. Begitu pula dengan Srintil merasa
begitu berat karena Srintil belum dewasa dan memang itu syarat menjadi
ronggeng Srintil patuh terhadap perintah dukun ronggeng. Walau akhirnya
keperawanan Srintil diberikan kepada Rasus tanpa imbalan apapun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Srintil menjadi terkenal dan menjadi pujaan semua orang serta kaya
raya. Melihat Srintil telah menjadi mili8k semua orang Rasus kecewa
kemudian melarikan diri ke Dawuan yang kemudian menjadi tobang
pembantu tentara bahkan mampu ikut mengamankan Dukuh Paruk ketika
terjadi perampokan. Dan pertemuan antara Rasus dengan Srintil membuat
Srintil semakin mencintai Rasus bahkan berniat untuk menjadi istri Rasus.
Bagian 13, 14, 15, 16, 17 adalah tahap conflict atau pertikaian. Srintil
benar-benar mencintai Rasus. Seorang ronggeng pantangan untuk jatuh
cinta. Srintil tidak mau meronggeng, tidak mau melayani tamu laki-
lakinya tindakkan itu membuat dukun ronggeng menjadi sangat kecewa.
Bahkan pada waktu pak Marsusi mandor perkebunan karet
menginginkannya Srintil tidak mau menemui bahkan malah pergi mencari
Rasus di Dawuan. Srintil tidak menemukan Rasus merasa kecewa dia
mengurung diri, tidak mau makan, tidak mau keluar kamar. Dia sakit,
untung menemukan Goder anak tampi Srintil merasa terhibur dan
menganggap Goder sebagai anaknya sendiri. Srintil masih tetap tidak mau
melayani tamu laki-laki sehingga banyak orang yang kecewa.
Bagian 18,19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27 adalah tahap complication
atau tahap perumitan. Pada tahap ini Srintil dan rombongan ronggeng
Paruk diminta meronggeng lagi oleh atasan mereka di Dawuan pada acara
tujuh belasan bersama kelompok kesenian yang lain. Akhirnya Srintil
kembali meronggeng. Rombongan ronggeng Paruk juga mendapat
tanggapan ke Alaswangkal dalam acara kaulan atau nadar. Bahkan Srintil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
diminta untuk menjadi gowok untuk putra Sentika di Alaswangkal. Tidak
hanya itu ronggeng Paruk bertemu dengan pak Bakar ketua partai dimusim
paceklik itu justru ronggeng Paruk banyak mendapat tanggapan untuk
menghibur dalam rapat-rapat partai. Bahkan karena seringnya ronggeng
Paruk dijuluki ronggeng rakyat dan Dukuh Paruk terpasang gambar-
gambar yang warga paruk sendiri tak mengerti maksudnya. Dan juga
terjadinya penonton ronggeng peserta rapat mengamuk menghancurkan
padi milik petani. Peristiwa itu membuat ronggeng Paruk protes tidak mau
meronggeng dalam rapat. Namun karena kelicikan pak Bakar warga Paruk
diadu domba melalui pengrusakan makam Ki Secamenggala dengan
kelompok caping hijau. Kemudian ronggeng Paruk kembali meronggeng
dalam kegiatan partai.
Bagian 28, 29, 30, 31 adalah tahap penggawatan atau climax. Pada
tahap ini terjadilah malapetaka bagi Dukuh Paruk karena Srintil
dankelompok ronggeng Paruk juga warga yang terdaftar ditangkap dan di
tahan karena dituduh anggota partai terlarang. Tidak hanya itu saja Dukuh
Paruk dibumi hanguskan. Banyak warga Paruk yang ketakutan. Pada saat
itu Rasus pulang ke Dukuh Paruk melihat rumah-rumah habis terbakar
Rasus merasa prihatin. Rasus diminta untuk mencari Srintil ditahanan.
Rasus dapat bertemu Srintil namun tak sempat untuk bicara.
Bagian 32, 33, 34, 35, 36 tahap peleraian atau falling action.Tahap ini
warga Paruk yang di tahan di keluarkan kecuali Srintil . Srintil ditahan
agak lama kemudian selang beberapa tahun Srintil dilepaskan. Ke
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pulangan Srintil disambut dengan suka cita warga Paruk. Srintil bertekat
menjadi wanita baik-baik, walau sekembali dari tahanan Srintil ditawari
meronggeng kembali oleh Nyai Kartareja Srintil tidak mau dia ingin
menjadi wanita somahan. Srintil berkenalan dengan Bajus. Perkenalan
mereka semakin akrab, bahkan ketika Rasus berlibur ke Paruk Srintil
bimbang karena hatinya menaruh harapan kepada Bajus untuk menjadi
pendamping hidupnya. Rasuspun menyadari bila memang Srintil telah
menemukan lelaki yang baik. Srintil ternyata masih menerima kemalangan
nasibnya karena Bajus tidak berniat memperistri Srintil, malah Srintil
diminta melayani pak Blengur hingga akhirnya Srintil tak mampu
menerima penderitaannya jiwanya menjadi tergoncang.
Bagian 37, 38 adalah tahap penyelesaian atau denouement. Tahap ini
dikisahkan Srintil menjadi hilang ingatan. Pada waktu itu Rasus pulang
dari tugas keluar Jawa. Melihat keadaan warga Paruk apalagi yang dialami
Srintil batin Rasus tersentuh Srintil kemudian dibawa kerumah sakit jiwa.
b. Pokok-pokok peristiwa yang terjalin dalam plot novel Sinden
adalah sebagai berikut:
1. Gambaran alam dan kehidupan rakyat Desa Sumberwungu
yang dihiasi tembang-tembang dari para wanita yang meladang
(exsposition).
2. Tumi bercita-cita menjadi sinden yang kondang.
3. Tumi mulai berlatih nyinden di rumah Nyai Estu.
4. Karto dan Tumi menolak lamaran Rudito (inciting moment).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5. Tumi digoda oleh Rudito yang sedang mabuk.
6. lurah Ponco melatih pemuda dalam kegiatan beladiri, baris
dengan meneriyakan yel-yel untuk menghina lawan. (rising
actions)
7. Ayah Tumi menyuruh Gendon melapor keadaan Rudito ke balai
desa.
8. Gendon diperlakukan kurang baik oleh Mangundarmo.
9. Lurah Ponco mash kecewa lamaranya belum diterima oleh Tumi.
10. Tumi berlatih di rumah Nyai Estu.
11. Tumi bermalam di rumah Nyai Estu.
12. Nyai Estu menceritakan masa silamnya (flash back).
13. Rudito mabuk di rumah Tumi dengan bersimbah darah
Kartosemedi mencari Tumi di tengah malam
14. Karto dituduh membunuh Rudito (conflict)..
15. Karto ditangkaap daan dibawa ke balai desa.
16. Karto diperlakukan tidak baik di balai desa Sumberwungu.
17. Karto melawan perlakuan Mangundarmo.
18. Guru Tarman membela Karto
19. Lurah Ponco menyusun gerakan untuk melawan lawan
politiknya (complication).
20. Lurah Ponco mengadakan piket malam
21. Kasan Ikromo mengundurkan diri dari jogoboyo.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22. Guru Tarman, pak Mantri dkk menyusun siasat untuk melawan
Ponco.
23. Mangundarmo orangnya Ponco memanfaatkan Misuwur Budoyo
dalam aksinya.
24. Penangkapan para pemimpin Sumberwungu Lurah Ponco
dkk( climax)
25. Ketoprak Tobong dibubarkan.
26. Pembersihan warga Sumberwungu yang masuk daftar.
27. Pergantian pejabat lama dengan pejabat baru (falling actions)
28. Tumi ingin meneruskan cita-citanya menjadi sinden
(denouement)
29. Tumi diperistri Raden Renggo Baskoro
Dari rentetan peristiwa di atas dapat dikelompokan ke dalam beberapa
bagian peristiwa sesuai dengan tahapan alur cerita yang terjadi. Tahap
pemaparan atau exsposition terlukis pada bagian peristiwa 1, 2, 3. Tahap
ini adalah gambaran situasi keadaan alam Desa Sumberwungu serta
menceritakan cita-cita Tumi untuk menjadi sinden yang kondang samapai
harus putus sekolah. Menjadi sinden di Desa Sumberwungu adalah suatu
kebanggaan. Tumi berguru sinden kepada Nyai Estusuminar.
Bagian 4, 5 adalah tahap inciting moment atau rangsangan. Pada
bagian Tumi selalu digoda oleh Rudito putra Lurah Sumberwungu. Tentu
lamaran Lurah Ponco ditolak Tumi karena tabiat Rudito yang kerjanya
mabuk dan main perempuan. Siang itu Rudito mabuk berat mengejar Tumi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
hingga ke rumah Tumi. Penolakan Tumi menjadikan Lurah Ponco merasa
kecewa seakan Karto ayah Tumi menentang kekuasaan Ponco.
Bagian 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, adalah tahap rising action atau
penggawatan. Pada tahap ini Lurah Ponco mempersiapkan para pemuda
Sumberwungu untuk beladiri, baris sambil menyanyi dan meneriakan yel-
yel untuk menghina lawan politik (guru Tarman dkk). Karto menyuruh
kepada Gendon untuk melapor kepada Lurah Ponco tentang Rudito yang
teler di rumah Tumi. Namun Gendon malah mendapat perlakuan tidak
baik oleh Mangundarmo. Lurah Ponco juga merasa sakit hati karena
lamarannya tidak diterima oleh Tumi. Tumi giat berlatih ditempat Nyai
Estu. Hari itu Tumi tidak diperbolehkan pulang diminta tidur di rumah
Nyai Estu. Nyai Estu malam itu banyak bercerita pada muridnya tentang
keluarganya, tentang gurunya Nyai Larasmadu. Sesampai dirumah Karto
tidak menemukan anaknya. Sedang malam itu Rudito mabuk lagi dengan
tubuh berlumuran darah. Perasaan Karto bingung dan cemas tentang
anaknya. Sehingga Karto meninggalkan Rudito yang bersimbah darah di
lincaknya. Karto mencari ke rumah Nyai Estu.
Bagian 14, 15, 16, 17, 18 adalah tahap conflict atau pertikaian.
Sampai dirumah Karto kaget karena Rudito tidak ada, ditabuhnya tanda
baahaya. Peristiewea itu dilaporkan ke kelurahan. Lurah Ponco menuduh
Karto telah membunuh Rudito dan mayatnya disembunyikan. Karto
ditangkap oleh Mangundarmo atas perintah Ponco. Di Balai Desa
Kartomenjadi pesakitan, ia dilakukan dengan tidak manusiawi.hingga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
akhirnya Karto berani melawan Mangundarmo. Guru Tarman bermaksud
membela Karto namun malah disambut dengan tidak baik.
Bagian 19, 20, 21, 22, 23 adalah tahap complication atau tahap
perumitan. Pada tahap ini lurah Ponco menyusun gerakan untuk melawan
politiknya. Aparat desa Sumberwungu diminta jaga malam. Banyak
mendengarkan pidato dari pusat. Walau keputusan Ponco ditolak oleh
Kasan Ikromo selaku Jogo Boyo. Kegiatan Ponco juga diimbangi oleh
kelompok pak Mantri dan guru Tarman. Pak Mantri dkk juga membentuk
kelompok tersendiri. Bahkan kegiatan Ponco telah mendapat pengamatan
dari apparat polisi. Dalam melancarkan aksinya Mangundarmo juga
memanfaatkan Misuwur Budoyo. Dengan catatan kontrak jabatan.
Bagian 24, 25, 26 adalah tahap penggawatan atau climax. Pada tahap
ini terjadilah malapetaka setelah ada imformasi geger di Jakarta. Lurah
Ponco dkk ditangkap karena menjadi anggota partai terlarang.
Penangkapan diteruskan bagi warga Sumberwungu yang tercatat dalam
daftar anggota tersebut. Misuwur Budaya dibubarkan,
Bagian 27 tahap peleraian atau falling action.Tahap ini warga
Sumberwungu berganti pemerintahan baru dengan pejabatan baru karena
pejabat lama ditangkap dan entah di bawa kemana. Diharapkan dengan
pemerintahan baru dapat pula menyejahterakan warga.
Bagian 28, 29 adalah tahap penyelesaian atau denouement. Tahap ini
disahkan Tumi tetap akan meneruska cita-citanya menjadib sinden sejati.
Untuk dapat melancarkan tujuannya Tumi diperistri Renggo Baskoro
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
seniman dari Argalaksa. Tumi mengganti namanya menjadi Renggamanis.
Perkawianannya dengan Renggo Baskoro dikaruniai seorang putra yaitu
Tuwuh. Renggo Baskoropun hilang entah kemana. Ternyata Renggo
Baskoro merupakan agen ganda.
Dari pembahasan tentang alur novel Ronggeng Dukuh Paruk dan
novel Sinden bila dikaji dengan alur yang sama, secara konvensional
menggambarkan alur yang sama. Masing-masing terdiri atas tiga jalinan
peristiwa yaitu: bagian awal, tengah, dan akhir. Rangkaian unsur-
unsurtersebut adalah : (1) alur awal, terdiri dari paparan (eksposisi),
rangsangan (inciting moment), dan penggawatan (rising action); (2) alur
tengah, terdiri atas pertikaian (conflict), perumitan (complication), dan
klimaks atau puncak penggawatan (climax); (3) alur akhir, terdiri dari
peleraian (falling action), dan penyelesaian (denouement).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
c) Penokohan dan perwatakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dari bagan penokohan dan perwatakan dapat dijelaskan
intertekstualnya novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden, sebagai
berikut:
Tokoh utama protagonis dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk
adalah: Srintil dan Tumi untuk novel Sinden. Tokoh utama protagonis
yaitu tokoh yang selalu mendominasi dan mendukung jalannya cerita.
Tokoh utama yang ditunjukkan oleh kedua novel tersebut memiliki unsur
kesamaan dari segi fisik Srintil dan Tumi adalah perempuan cantik dan
mempesona. Dari segi watak kedua tokoh memiliki watak yang baik hati,
taat, berpendirian kuat serta kedua tokoh juga tergolong tokoh yang
berkembang. Perbedaan dari kedua tokoh Srintil perempuan dusun yang
sama sekali tidak mengenyam sekolahan, tetapi untuk Tumi mengalami
sekolah walau hanya pendidikan dasar ( SMP belum lulus) dengan latar
belakang pendidikan yang berbeda akan mempengaruhicara berpikirnya.
Tokoh protagonis tambahan novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah: Rasus,
Sakarya, Sarkum, Goder, Tampi, Darsun, Warta. Untuk novel Sinden
tokoh protagonis tambahan adalah: Nyai Estu, Gendon, Guru Tarman, Pak
Mantri, Kasanikromo, Nyai Larasmadu, Pak Dandis, Agen Revin.
Tokoh antagonis utama adalah tokoh yang menjadi sumber konflik
tokoh utama. Tokoh antagonis utama novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah
dukun ronggeng Sakarya dan Nyai Sakarya, sedangkan antagonis
tambahan adalah: Marsusi, Bajus, Blengur, Dower, Sulam,Sentika, Waras.
Untuk novel Sinden sebagai tokoh antagonis utama adalah Rudito, Lurah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Poncodrio, Mangundarmo, dan tokoh antagonis tambahan adalah: Nyai
Suparni, Romo Pus, Bung Johan. Persamaan pada tokoh antagonis kedua
novel tersbut sama-sama memicu terjadinya konflik egois, licik.
Sedangkan segi pembedanya untuk novel RDP watak dari tokohnya tidak
melalui kekerasan sedang pada novel Sinden wataknya keras dan kejam.
c. Deskripsi karakteristik tokoh novel RDP dan novel Sinden:
1) Tokoh dalam novel RDP
(a) Srintil
Srintil adalah perempuan yang cantik dan mempesona. Srintil juga
mempunyai pribadi yang kuat dalam menjalani prinsip hidup. Srintil
perempuan yang taat kepada adat istiadat dan orang tua. Srintil juga tak
berbeda dengan warga paruk yang lainnya karena tidak mengenal
pendidikkan sehingga cara berpikirnya sangat sederhana.
Srintil dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Srintil juga
termasuk tokoh yang berkembang karena watak tokoh Srintil mengalami
perubahan dan perkembangan sejalan dengan perubahan peristiwa dan plot
yang dikisahkan. Salah satu contoh, sikap Srintil ingin menjadi ronggeng
waktu muda setelah dewasa ia sadar suara jiwanya bahwa ia ingin menjadi
perempuan somahan.
(b) Rasus
Rasus adalah seorang yang menghormati wanita. Ia begitu
menghargai Srintil karena dalam sosok Srintil ia menemukan gambaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kembali emaknya. Ketegaranya dalam mencari harapannya ia rela
meninggalkan Neneknya. Rasus merupakan sosok yang jujur dan pekerja
keras. Ia memiliki prinsip yang kuat dan teguh pendirian.
Berdasarkan karakter dan sifat tokoh, Rasus dapat dikategorikan
sebagai tokoh protagonis. Rasus juga merupakan tokoh yang berkembang.
Watak tokoh Rasus mengalami perubahan dari rasa kecewa terhadap
Srintil dan Dukuh Paruk namun kemudian Rasus merubah semua itu
menjadi sebuah rasa menyayangi dalam bentuk sebuah pengabdian.
(c) Sakarya
Sakarya adalah orang yang penuh tanggung jawab memikirkan
kelangsungan dan kejayaan Dukuh Paruk. Walaupun samapai harus
mengorbankan cucunya Srintil. Ia juga mampu membaca sasmita alam.
Berdasarkan karakter dan sifat tokoh, Sakarya dapat dikategorikan
sebagai tokoh protagonis. Rasus juga merupakan tokoh yang berkembang.
Sakarya mempunyai watak yang tidak berkembang. Sepanjang cerita novel
Ronggeng Dukuh Paruk, karakter Sakarya tidak mengalami perubahan.
(d) Kartareja
Kartareja adalah sombong, licik, dan cerdik. Sifat sombong
Kartareja yaitu pada saat dipercaya menjadi dukun ronggeng, ia
memasang Kartareja memasang harga yang amat mahal untuk seorang
ronggeng, dan juga ketika menanggapi Dower peserta sayembara bukak-
klambu. Ia juga seorang yang licik dalam usaha untuk mendapatkan
kekayaan Sulam dan Dower dan ia juga cerdik dalam mengamankan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perhiasan Srintil. Sebagai dukun ronggeng ia bersama istrinya pandai
memanfaatkan Srintil untuk mendapatkan uang dan materi yang lain.
Berdasarkan karakter dan sifat tokoh, Kartareja bisa dikategorikan
sebagai tokoh antagonis. Kartareja juga dapat dikategorikan sebagai tokoh
yang berkembang perwatakannya. Setelah Sakarya meninggal dunia,
Kartareja memikul tanggung jawab untuk Dukuh Paruk. Karena ia satu-
satunya yang bisa menggantikan Sakarya sebagai kamitua di Dukuh Paruk.
(e) Nyai Kartareja
Nyai Kartareja adalah seorang nenek yang pandai merayu (pandai
mengambil hati orang lain). Ia seorang nenek yang serakah dan licik
dengan memanfaatkan Srintil ia akan menguras kekayaan laki-laki yang
mendekatinya.
Berdasarkan sifat atau karakter yang dimiliki oleh Nyai Kartareja.
Tokoh Nyai Kartareja dikategorikan sebagai tokoh antagonis.
Perwatakannya tidak mengalami perkembangan sepanjang alur cerita
dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.
2) Tokoh dalam Novel Sinden:
(a) Tumi
Tumi merupakan tokoh utama perempuan dalam novel Sinden.
Tumi adalah perempuan Sumberwungu bercita-cita menjadi sinden sejati.
Tumi perempuan lugu penunuh pesona. Tumi perempuan yang penuh
percaya diri, teguh pendirian, dan kuat dalam memegang prinsip.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Berdasarkan sifatnya, Tumi dikategorikan sebagai tokoh protagonis.
Tumi juga termasuk tokoh yang berkembang. Watak tokoh Tumi
mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan perubahan
peristiwa dan plot yang dikisahkan. Salah satu contoh, sikap Tumi yang
diwaktu belia sangat manja setelah dewasa menjadi pribadi yang mandiri.
(b) Nyai Estu
Nyai Estu wanita janda keturunan ningrat adik penguasa
Sumberwungu merupakan guru sinden sejati. Nyai Estu istri Dalang
Dipocarito yang sekarang mengambil istri Minten mboknya Tumi.
Walaupun maru tetapi meraka saling menyayangi Tumi. Dengan
peristiwa tersebut Nyai Estu mematuhi petuah gurunya Nyai Larasmadu.
Bahwa dirinya harus mengembalikan citra sinden yang telah dihancurkan
oleh segelintir orang. Sinden suka kawin cerai, Sinden menjadi wanita
simpanan kebanyakan orang.
Lewat Nyai Estu Sumirat mencoba untuk menjadi guru yang baik,
selain memberikan contoh juga menanamkan prinsip sinden sejati kepada
Tumi muridnya. Semua petuah Nyai Estu dapat dicermati pada kutipan di
bawah ini:
Berdasarkan sifatnya, Nyai Estu Suminar dikategorikan sebagai
tokoh protagonis. Nyai Estu juga termasuk tokoh yang berkembang.
Watak tokoh Nyai Estu mengalami perubahan dan perkembangan sejalan
dengan perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(c) Kartosemedi
Kartosemedi adalah orang tua dari Tumi. Kartosemedi hidup
menduda karena istrinya Minten seorang sinden tergoda Dalang Dipocarito
yang dapat membawa perubahan dalam hidupnya. Walaupun Dipocarito
sudah memiliki istri Nyai Estu namun Minten terpikat karena sering
menjadi sinden saat Dipocarito mendapat tanggapan. Kartosemedi adalah
bapak yang sabar terhadap nasibnya, walaupun hidup menduda dengan
sabar mengasuh anak gadisnya.
Kartosemedi adalah seorang tokoh yang sabar, tabah, mempunyai
pribadi yang kuat dalam menjalani prinsip hidup. Kartosemedi seorang
bapak yang baik dan bertanggung jawab. Walaupun Kartosemedi hidup
menjanda, ia mampu membawa anaknya dalam mencapai kesuksesan atas
cita-citanya.
Berdasarkan sifatnya, Kartosemedi dikategorikan sebagai tokoh
protagonis. Kartosemedi juga termasuk tokoh tidak berkembang. Watak
tokoh Kartosemedi tidak mengalami perubahan dan perkembangan.
(d) Poncodriyo
Poncodriyo adalah keturunan ningrat yang memerintah sebagai
kepala Desa Sumberwungu. Cara kepemimpinan Poncodriyo sudah terlihat
sejak masih muda, karena para leluhurnya adalah lurah dari
Sumberwungu. Kepemimpinan Ki Poncodriyo berubah perangainya kereas
setelah Poncodriyo tua. Poncodriyo inginlebih meningkatkan
kedudukannya melalui kesanggupannya mendukung partai garis keras
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
yang menjajikannya. Keberingasan Ponco sudah tak memperdulikan
rakyat dalam kegiatan politik dan pemerintahannya
Poncodriyo adalah cerdik, licik, dan sombong. Sifat sombongnya
terlihat ketika ia menerima Gendon dib alai desa. Ia juga seorang yang
cerdik dalam menghasut hati rakyat hamper seluruh rakyat 72 %
mendukung partai terlarang tersebut.
Berdasarkan sifat tokoh, Poncodriyo bisa dikategorikan sebagai
tokoh antagonis. Poncodriyo juga dapat dikategorikan sebagai tokoh yang
berkembang perwatakannya. Setelah Poncodriyo keluar dari penjara
terlihat diam.
(e) Mangundarmo
Mangundarmo seorang yang kejam, bengis serasa tidak
mempunyai rasa kemanusiaan. Mangundarmo adalah cerdik, licik, dan
kejam. Kelicikannya dapat memperalat Poncodriyo untuk mencari
kedudukan. Kejahatannya untuk memusnahkan lawan politiknya.
Berdasarkan sifat tokoh, Mangundarmo bisa dikategorikan sebagai
tokoh antagonis. Mangundarmo juga dapat dikategorikan sebagai tokoh
tidak berkembang perwatakannya. Setelah Mangundarmo ditangkap tidak
pernah kembali lagi.
4) Latar atau setting
Latar atau setting untuk kedua novel untuk lebih jelasnya, penulis
akan menguraiakan satu persatu. Setting dalam cerita Ronggeng Dukuh
Paruk meliputi: setting tempat, setting waktu, dan setting sosial.Setting
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
tempat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk setting primer terjadi pada
Dukuh Paruk pemukiman yang sempit dan terpencil dengan gambaran
kemelaratan, kebodohan dan keterbelakangan. Karena semua kejadian
cerita novel dari awal sampai akhir cerita bersumber di Dukuh Paruk.
Novel ini juga terdapat setting sekunder yang paling dominan adalah pasar
Dawuan. Setting waktu novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk berkisah
tentang kehidupan Dukuh Paruk mulai tahun 1957 samapai sekitar tahun
1971. Cerita ini dumulai setelah Sintil berusia 11 tahun mendapatkan
indang ronggeng, meskipun diceritakan malapetaka tempe bongkrek yang
membuat anak-anak Dukuh Paruk menjadi yatim piatu tahun 1946 secara
flashback (kilas balik). Setting Sosial novel Ronggeng Dukuh Paruk
keadaan masyarakat yang miskin, bodoh dan keterbelakangan sehingga
mempengaruhi cara berpikir dan bersikap. Sehingga menjadi korban
kekacauan politik yang akhirnya membawa penderitaan berkepanjangan
semua warga Dukuh Paruk.
Sedangkan untuk novel Sinden Setting tempat sebagai setting
primer Desa Sumberwungu yang juga dikategorikan desa miskin
kecamatan Semugih kabupaten Argalaksa Yogyakarta karena peristiwa
awal sampai akhir terjadi di desa Sumberwungu sedangkan setting
sekundernya Semugih sebagai kota kecamatan. Setting waktuNovel Sinden
berkisah tentang kehidupan Sumberwungu mulai tahun 60-an samapai
sekitar pergolakan partai terlarang yang puncaknya tanggal pertama bulan
Oktober tahun 1965. Tanda-tanda terlukis dalam naskah diantaranya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
gambaran zaman pegaber, adanya kegiatan Lurah Poncodriyo seperti
kegiatan baris berbaris, membuat kolam dalam pekarangan, kegiatan
tersebut disinyalir kegiatan pada era timbulnya PKI. Adanya penangkapan
dan pembersihan para tokoh partai dan pengikut partai terlarang yang
terdaftar. Setting sosial desa Sumberwungu masyarakatnya campuran
antara wong cilik dan priyayi. Sumberwungu untuk kalangan wong cilik
kehidupan warganya yang saling rukun, suka menolong dalam mengatsai
kesulitan dengan tanpa pamrih. Untuk para penguasa yang dilakukan
kalangan Priyayi terjadi pergolakan perebutan kekuasaan dengan
menghalalkan segala cara.
Secara intertekstual setting waktu antara novel Ronggeng Dukuh
Paruk dan novel Sinden mengangkat peristiwa yang sama yaitu gerakan
partai terlarang beserta akibat yang diterima oleh masyarakat saat itu dan
berakhir meletusnya PKI tahun1965. Sedangkan untuk setting tempat dan
sosial ada perbedaan. Tempat untuk novel Ronggeng Dukuh Paruk
mengangkat latar kehidupan rakyat kecil Dukuh Paruk yang homogen,
sedang novel Sinden masyarakat campuran antara rakyat keci dan para
priyayi Desa Sumberwungu.
5) Poin of View novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Sinden
Sudut pandang yang digunakan pada novel Ronggeng Dukuh
Paruk
menampilkan tokoh dalam novel disebut nama dan variasi kata ganti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dengan menyebut nama tokohnya, sehingga posisi pengarang ada diluar
tetapi serba tahu. Pengarang mengetahui persis perasaan tokoh satu dengan
tokoh lainnya
Sudut pandang yang digunakan pada novel Sinden yaitu pesona
dalam novel disebut nama dan
posisi pengarang ada diluar tetapi serba tahu. Pengarang mengetahui persis
perasaan tokoh satu dengan tokoh lainnya.
Secara intertekstual novel RDP dan novel Sinden ada persamaan
2. Intertekstual novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan
novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa.
Hubungan intertekstual akan difokuskan dari persamaan dan perbedaan
unsur-unsur struktur novel.
1) Tema
Tema untuk kedua novel ada persamaan. Novel Ronggeng Dukuh
Paruk menghadirkan tema sosial budaya kehidupan wong cilik sebagai
penari ronggeng. Sedangkan untuk novel Sinden menghadirkan tema
sosial budaya seputar kehidupan dan perjuangan wong cilik sebagai
sinden.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2) Penokohan
Tokoh yang ditampilkan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk
dan Sinden ada persamaan bila ditinjau dari perwatakan. Hal ini bisa
dilihat dari tokoh utama wanita dalam kedua novel tersebut. Srintil
tokoh utama dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk memiliki kemiripan
dengan tokoh utama Tumi pada novel Sinden.
Tokoh utama novel Ronggeng Dukuh Paruk, Srintil adalah
seorang wanita yang cantik penuh pesona. Di usia belia Srintil
perempuan yang taat baik kepada adat, orangtua, serta berkepribadian
kuat, pantang menyerah dalam menentukan pilihan hidup. Begitu juga
Tumi tokoh novel Sinden pada usia muda cantik mempesona, taat
kepada perintah orang tua dan guru, mandiri, berkepribadian kuat,
prinsip hidupnya kuat dalam mencapai tujuan yang diinginkan untuk
menjadi sinden sejati. Namun dari segi prosesi dalam menjalani profesi
ada perbedaan. Srintil menjadi ronggeng karena panggilan, sedangkan
Tumi menjadi sinden karena kemauan sendiri, sinden adalah profesi
yang diinginkan.
3) Setting latau latar
Cerita novel Ronggeng Dukuh Paruk terjadi antara tahun 1957
sampai berakhir tahun 1971. Dikisahkan dalam novel pada tahun 1946
terjadi kefakuman ronggeng di dukuh Paruk, waktu itu Srintil belum
lahir. Dukuh Paruk terjadi malapetaka tempe bongkrek. Setelah 11
tahun Srintil menjadi ronggeng. Pada usia 11 tahun inilah cerita ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dimulai. Sedangkan berakhirnya sekitar tahun 1971 yaitu ketika Rasus
telah kembali berkunjung ke Dukuh Paruk setelah ia bertugas samapi
Dukuh Paruk mendapatkan Srintil sakit ingatan. Rasus bertindak untuk
melindunginya Srintil dimasukkan ke rumah sakit jiwa.
Untuk novel Sinden mengenai waktu tidak dapat ditunjukan
dengan pasti karena wujudnya hanya tersirat. Namun dapat ditangkap
berdasarkan keadaan yang diterangkan dalam cerita terjadinya sekitar
tahun 1960-an dan diakhiri setelah meletusnya gerakan PKI 1965
dikisahkan dalam cerita rakyat Sumberwungu mengalami zaman
pagaber musim kemarau panjang bahan makan susah, berburu tikus
kemudian dagingnya dimakan, adanya slogan sama rata sama rasa,
hingga adanya penangkapan pemuka partai terlarang dan pencidukan
warga yang terdaftar pada anggota partai terlarang. Kemudian diadakan
pemberhentian aparat desa dan diganti dengan yang baru.
Jadi setting waktunya mempunyai kesamaan mengangkat
peristiwa pergolakkan politik tahun 1965 beserta dampak yang diterima
oleh rakyat. Dalam kurun waktu 60-an sampai meletusnya PKI 1965.
Setting Tempat dan sosial. Setting tempat kedua novel
mempunyai perbedaan. Latar tempat pada novel Sinden menggunakan
latar desa yang agak maju (dibawah pimpinan Priyayi) sebagai latar
primer yaitu desa Sumberwungu, sedangkan novel Ronggeng Dukuh
Paruk menggunakan latar pedesaan terpencil yaitu dukuh Paruk.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Setting Sosial novel Ronggeng Dukuh Paruk menghadirkan
sosial kemasyarkatan masyarakat pedesaan dengan penuh keluguan dan
kesederhanaan, sedangkan segi sosial novel Sinden menghadirkan latar
suasana masyarakat campuran antara wong desa dan priyayi yang
penuh keangkuhan.
4) Alur atau Plot
Alur atau plot novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden
ada persamaan yaitu menggunakan alur maju. Dalam artian jalinan
cerita tersusun secara urut melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi
dapat dipahami secara lengkap mulai awal sampai akhir cerita.
Rangkaian kejadian yang tersusun dan membentuk satu
kesatuan yang utuh. Rangkaian unsur-unsur itu pada prinsipnya alur
cerita terdiri dari tiga bagian, yaitu : (1) alur awal, terdiri dari paparan
(eksposisi), rangsangan (inciting moment), dan penggawatan (rising
action); (2) alur tengah, terdiri atas pertikaian (conflict), perumitan
(complication), dan klimaks atau puncak penggawatan (climax); (3) alur
akhir, terdiri dari peleraian (falling action), dan penyelesaian
(denouement).
5) Poin of View
Sudut pandang yang digunakan pada alur novel Ronggeng
Dukuh Paruk dan novel Sinden mempunyai persamaan yaitu pesona
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dari beberapa paparan terkait dengan tema, penokohan, setting
tempat, waktu dan sosial bahwa novel Ronggeng Dukuh Paruk karya
Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa,
maka dapat diketahui bahwa terdapat intertskstual dalam unsur
pembangun cerita.
Persamaan dan perbedaan yang ditemukan dalam kedua novel
tersebut menunjukan adanya hipogram untuk novel Ronggeng Dukuh
Paruk karya Ahmad Tohari, sedangkan novel Sinden sebagai bentuk
transformasinya. Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden
menampilkan struktur yang berupa kesejajaran, penyempitan dan
pertentangan atau perbedaan.
Kesejajaran bahwa kedua novel sama-sama mengangkat tema
sosial budaya daerah tertentu dan mengambil latar belakang waktu
pengisahan yang sama sekitar tahun 1960-an dimana pada saat itu baru
gencar-gencarnya isu G30S/PKI dan seni tradisional dijadikan
peralatan dalam propaganda suatu politik, penyempitan terjadi dalam
novel Sinden terjadi mempersempit tema dengan menyajikan
permasalahan-permasalahan yang agak sederhana bila dibandingkan
dengan novel Ronggeng Dukuh Paruk, sedangkan bentuk
pertentangan atau perbedaannya terdapat dalam penokohan atau
perwatakan dalam novel RDP guru sebagai pendidiknya (dukun
ronggeng) tidak menanamkan etika kebaikan, sedangkan dalam novel
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Sinden ditampilkan sosok guru sinden yang pantas untuk diteladani
dengan menanamkan tatakrama yang baik.
Bukti lain adalah tahun terbit novel. Novel Ronggeng Dukuh
Paruk terbit pertama kali tahun 1981, untuk novel Sinden terbit
pertama kali tahun 2005. Dalam kajian intertekstual tahun terbit ini
dapat digunakan bukti bahwa sebuah karya sastra yang terlahir lebih
dulu dapat menjadi inspirasi karya sastra berikutnya. Inspirasi terjadi
dapat dijelaskan secara inplisit bahwa karya novel Sinden ada
kemiripan, kemiripan kisah tersebut sebagai bukti adanya faktor
pengarang terinspirasi oleh tek terdahulu.
4. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Novel
Sinden
a. Nilai Pendidikan Novel Ronggeng Dukuh Paruk
1) Nilai Pendidikan Religius
Nilai religius dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk penulis
fokuskan pada hubungan manusia dengan Tuhan. Pada dasarnya
beranggapan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan, pastilah sangat erat
kaitannya dengan penciptaNya. Wujud dari hubungan tersebut dapat
berupa doa-doa ataupun upacara-upacara adat. Doa dan upacara tersebut
dipanjatkan merupakan wujud suatu kesadaran bahwa semua yang ada di
muka bumi ini ada yang menciptakannya. Bentuk religius tersebut berupa
keyakinan dan kepercayaan terhadap leluhurnya, Ki Secamenggala.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Berbeda dengan Rasus yang telah mengenal dunia selain Dukuh Paruk.
Rasus sudah mengenal agama sehingga menjalankan ibadah sholat sesuai
yang dianutnya.
2) Nilai Pendidikan Budaya
Bentuk budaya Jawa yang dapat digunakan untuk menganalisis
novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden yakni adat kebiasaan
yang berlaku di kalangan rakyat klas bawah dan rakyat klas atas. Rakyat
klas bawah dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk yaitu yang dilakukan
warga Dukuh Paruk, sedangkan Klas atas para priyayi di Dawuhan.
Sedangkan dalam novel Sinden yang tergolong rakyat klas bawah adalah
sebagian warga desa Dawuhan dan untuk golongan klas atas para
priyayi desa Dawuhan.
Nilai pendidilan sosial budaya novel Ronggeng Dukuh Paruk
penulis fokuskan pada analisis budaya rakyat klas bawah diantaranya `
sebagai berikut:
(a) Ngeluri Tradisi (Melestarikan tradisi).
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk tokoh golongan klas
bawah (wong cilik) mendominasi cerita. Srintil sebagai golongan
rakyat bawah menjadi seorang ronggeng merupakan anugerah
karena mendapat kepercayaan dari para leluhurnya dengan mendapat
indang ronggeng. Merupakan keberhasilan hidup yang harus
disyukuri. Betapa berat tradisi yang berlaku di suatu tempat tetap
dijunjung tinggi oleh warganya demi keberhasilan dari yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
diinginkan. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. tradisi yang
dilakukan merupakan bagian dari nilai-nilai sosial budaya yang
sering dilakukan golongan klas bawah untuk mendapatkan
kemuliaan hidup.
(b) Sapa temen bakal tinemu (bekerja dengan sungguh-sungguh)
Setelah melarikan diri ke Dukuh Paruk Rasus menemukan
harapan baru dalam kehidupannya setelah dikecewakan Dukuh
Paruk. Menurut Rasus Dukuh Paruk telah merenggut Srintil dari
hatinya. Untuk mewujudkan harapan tersebut Rasus rela
meninggalkan Dukuh Paruk dan tinggal di Pasar Dawuan.
Bahwa sifat sapa temen bakal tinemu dari apa yang akan
dicita-citakan, serta dengan kejujuran akan membawa keberkahan
bagi dirinya sendiri. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, temen
merupakan bagian dari nilai-nilai sosial budaya yang harus
dilakukan wong cilik maupun golongan klas atas untuk mencapai
kesuksesan dalam hidup.
(c) Eling lan waspada (selalu wapada)
Sakarya merupakan orang yang bijaksana dan penuh kehati-
hatian. Ketika orang-orang Dukuh Paruk larut dalam hiruk-pikuk
perayaan tujuh belasan, Sakarya tidak ikut-ikutan. Sakarya tetap
penuh kehati-hatian. Ia mempunyai filsafat yang sederhana yaitu
eling lan waspada karena segala sesuatu selalu berpasang-pasangan.
Ada kegembiraan pastilah ada kesusahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Manusia pada umumnya gampang lupa bila mendapatkan
suatu nikmat, sehingga mudah terjerumus dalam penderitaan. Untuk
itu perlu kiranya sifat eling lan waspada dalam novel Ronggeng
Dukuh Paruk, merupakan bagian dari nilai-nilai sosial budaya yang
harus dilakukan wong cilik maupun golongan klas atas untuk tetap
selalu ingat kepada keagungan Tuhan.
3) Nilai Pendidikan Sosial
Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh masyarakat tertentu,
mengenai segala perbuatan yang dianggap baik, ataupun buruk. Karya
sastra tercipta selalu melibatkan sistem sosial yang terjadi di suatu
wilayah tertentu. Tata nilai sosial tentu akan mengungkapkan sesuatu
hal yang dapat direnungkan dalam karya sastra dengan ekspresinya.
Pada akhirnya dapat dijadikan cermin atau sikap para pembacanya
(Suyitno, 1986: 31).
(a) Kerukunan
Warga Paruk yang hidup di dukuh kecil dan masih berasal
dari satu keturunan memiliki rasa kerukunan yang kuat.
Pada waktu Srintil berlatih meronggeng di rumah Kartareja
banyak warga yang tertarik kepada Srintil. Rasa ketertarikan itu
menunjukan suatu dukungan para perempuan yang
menyaksikannya.
4) Nilai Pendidikan Moral
Joko Widagdo (2001: 30) mengemukakan moral diartikan
sebagai norma, dan konsep kehidupan yang dijunjung tinggi oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
masyarakat. Nilai-nilai pendidikan tersebut dapat mengubah perbuatan,
perilaku, dan sikap. Kewajiban moral dalam masyarakat yang baik
seperti budi pekerti, akhlak, dan etika.
Sikap budi luhur merupakan sebuah sikap yang dilakukan
manusia dalam menjalankan kehidupannya yang dilandasi sikap mulia
seperti: kasih sayang, balas budi, adil, tidak membeda-bedakan, suka
menolong.
(a) Budi Luhur
Rasus memiliki sifat budi luhur, sikap tersebut diberikan kepada
Srintil perempuan yang telah mengecewakan hatinya, hingga membuat
Rasus pergi dari Dukuh Paruk menuju Dawuan. Sifat budi luhur
tercermin bahwa Rasus tidak memiliki rasa dendam terhadap Srintil.
Ketika Srintil mengalami gangguan kejiwaannya dengan iklas Rasus
menolong membawanya ke rumah sakit jiwa.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap balas budi dan
budi luhur dapat dijumpai dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Sikap
tersebut merupakan bentuk tindakan manusia dalam menjalankan
hidupnya yang dilandasi sifat mulia tahu balas budi, suka menolong,
dan ikut merasakan penderitaan orang lain.
b. Nilai Pendidikan Religius dalam Novel Sinden
1) Nilai Pendidikan Religius
Novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa terdapat nilai-
nilai religius. Nilai-nilai tersebut tertanam dalam keyakinan jiwanya akan
keadilan Tuhan terhadap semua perbuatan manusia di muka bumi ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Keyakinan akan perbuatan manusia yang tertanam dalam hati Rakyat
Sumberwungu adalah sapa salah seleh, sapa nggawe bakal ngenggo.
2) Nilai Pendidikan Budaya
Nilai pendidikan sosial budaya dalam novel Sinden penulis
fokuskan pada analisis budaya wong cilik yang meliputi sebagai berikut:
(a) Aja Seneng Raben (Menolak budaya kawincerai)
Dalam novel Sinden tokoh cerita Tumi ditanamkan prinsip
kawin cerai. Prinsip tersebut ditanamkan oeh orang tuanya yaitu
Kartosemedi dan oleh gurunya yaitu Nyai Estu Suminar. Walau
kenyataannya Tumi adalah korban kawin cerai dari orang tuanya.
Untuk itu mengingat peristiwa itu pada Tumi ditanamkan kebiasaan
kawin cerai yang dilakukan sinden sumberwungu.
Pesan tersebut untuk membangun citra sinden yang telah
dicemarkan perilaku beberapa sinden yang dengan mudah kawin cerai
(raben), tidak memiliki kesetiaan terhadap pendamping hidupnya.
Maka Nyai Estu yang juga korban kawin cerai oleh suaminya
mewanti-wanti pesan pada murid-muridnya untuk selalu setia pada
pasangan hidupnya
(b) Aja Seneng Royal (Membudayakan dengan penampilan sederhana)
Nyai Estu guru sinden sejati juga menanamkan sekaligus
memberi contoh kepada muridnya bahwa dalam menyinden sinden
tidak perlu dandan yang terlalu berlebihan cukup sederhana saja.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Karena dengan kesederhanaan mewujudkan keaslian diri akan
menarik banyak orang.
Bahwa untuk mengembalikan citra sinden sejati harus mampu
menjadi figur sinden yang tidak melakukan tindakan yang
meremehkan dirinya sendiri, seperti raben ( suka kawin cerai), royal
(berpenampilan yang berlebihan). Dengan kemampuan olah pikir,
olah rasa, olah cara dan olah batin dapat mewujudkan sinden sejati
yang bermartabat.
3) Nilai Pendidikan Sosial
Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh masyarakat tertentu,
mengenai segala perbuatan yang dianggap baik, ataupun buruk. Karya sastra
tercipta selalu melibatkan sistem sosial yang terjadi di suatu wilayah
tertentu. Tata nilai sosial tentu akan mengungkapkan sesuatu hal yang dapat
direnungkan dalam karya sastra dengan ekspresinya. Pada akhirnya dapat
dijadikan cermin atau sikap para pembacanya (Suyitno, 1986: 31).
Kehidupan sosial kemasyarakatan untuk warga desa Sumberwungu
terlihat rukun. Warga Sumberwungu sangat peduli terhadap penderitaan
sesama warga. Bentuk kepedulian itu ada yang berupa harta, pikiran,
tindakan. Bentuk kepedulian warga Sumberwungu terhadap keluarga yang
mendapat musibah, seolah-olah juga ikut merasakan penderitaan ini.
Dngan demikian dapat disimpulkan keadaan sosial desa
Sumberwungu untuk kalangan wong cilik kehidupan warganya yang saling
rukun, suka menolong dalam mengatsai kesulitan dengan tanpa pamrih.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
d) Nilai Pendidikan Moral
Joko Widagdo (2001: 30) mengemukakan moral diartikan sebagai
norma, dan konsep kehidupan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Nilai-
nilai pendidikan tersebut dapat mengubah perbuatan, perilaku, dan sikap.
Kewajiban moral dalam masyarakat yang baik seperti budi pekerti, akhlak,
dan etika.
Nilai pendidikan moral dalam novel Sinden dapat dilihat dari tokoh
Tumi. Tokoh ini digambarkan pengarang sebagai tokoh perempuan remaja
yang baik. Citra sinden di mata penduduku yang semulanya negatif, melalui
tokoh Tumi citra buruk tersebut dapat diubah menjadi citra yang positif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan
1. Struktur novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden terdiri dari (a)
Tema Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden mengangkat tema
sosial budaya perjuangan wong cilik sebagai penari ronggeng dan sinden.
(b) Penokohan atau perwatakan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan
Sinden terdiri dari tokoh protagonis, tokoh antagonis, tokoh utama dan
tokoh tambahan. Srintil tokoh utama dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk
dan tokoh utama Tumi pada novel Sinden. (c) Setting waktu antara novel
Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden mengangkat peristiwa yang sama
yaitu sekitar tahun 1960-an dimana saat itu sedang gencar-gencarnya isu
G30S PKI dan berakhir meletusnya PKI tahun 1965-an. Sedangkan untuk
setting tempat dan sosial untuk novel Ronggeng Dukuh Paruk mengangkat
latar kehidupan rakyat kecil Dukuh Paruk yang homogen, sedang novel
Sinden masyarakat campuran antara rakyat kecil dan para priyayi Desa
Sumberwungu. (d) Alur novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden
menggunakan alur maju. Dalam artian jalinan cerita tersusun secara urut
melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi dapat dipahami secara lengkap
mulai awal sampai akhir cerita. (e) Sudut pandang yang digunakan pada alur
novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden
pengarang berada di luar cerita.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2. Hubungan intertekstual berdasarkan keterkaitan unsur pembangun novel,
novel Ronggeng Dukuh Paruk sebagai hipogram dan novel Sinden sebagai
transformasinya. Persamaan dan perbedaan unsur-unsur struktur novel.
Persamaan: tema pada kedua novel yaitu sosial budaya, perjuangan wong
cilik sebagai penari ronggeng dan pesinden, penokohannya menggunakan
tokoh wanita muda belia yang cantik belia, alur kedua novel menggunakan
alur maju, setting waktu sekitar tahun 1960-an, sudut pandang atau Poin of
View - . Perbedaan: penokohan pada novel
Ronggeng Dukuh Paruk tokoh utama Srintil menjadi ronggeng karena
panggilan, sedangkan untuk novel Sinden tokoh uatama Tumi karena cita-
cita, latar tempat pada novel Sinden menggunakan latar desa yang agak
maju (dibawah pimpinan Priyayi) sebagai latar primer yaitu desa
Sumberwungu, sedangkan novel Ronggeng Dukuh Paruk menggunakan
latar pedukuhan terpencil, miskin, terbelakang yaitu dukuh Paruk, setting
sosial novel Ronggeng Dukuh Paruk menghadirkan sosial kemasyarkatan
masyarakat pedesaan dengan penuh keluguan dan kesederhanaan,
sedangkan segi sosial novel Sinden menghadirkan latar suasana masyarakat
campuran antara wong cilik dan priyayi yang penuh keangkuhan.
3. Nilai pendidikan novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden ialahnilai
pendidikan religius, nilai pendidikan budaya, nilai pendidikan sosial, dan
nilai pendidikan moral. Keempat nilai pendidikan tersebut terintegrasi dan
diwujudkan dalam kedua novel masing-masing melalui penggambaran
perwatakan para tokoh-tokohnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
B. Implikasi
Perkembangan dan perubahan paradigma sastra perlu direspon secara
positif. Hai itu karena karya sastra khususnya novel memuat fenomena kehidupan
yang dapat direalisasikan pemanfaatannya dalam dunia pendidikan. Dalam
konteks ini kajian intertekstual pada novel RDP dan Sinden akan mampu
menambah wawasan manusia yang memiliki kepakaan rasa, empati, jiwa dan
pikiran jika dibaca dengan cermat, teliti penuh pemahaman. Sebab sastra adalah
sebuah refleksi kehidupan dengan fenomena yang tertata secara rasional yang
terjadi di masyarakat.
Dalam novel RDP dan Sinden menawarkan fenomena kehidupan
masyarakat lapisan bawah dalam berjuang untuk perubahan kelangsungan
hidupnya. Srintil dalam RDP perempuan yang menjadi penari ronggeng kurban
pemaksaan budaya leluhur yang selalu mendapat nasib kemalangan hidupnya,
tetap berjuang menuju perubahan nasibnya untuk menjadi perempuan seutuhnya.
Begitu pula Dukuh Paruk yang selalu membanggakan budaya leluhurnya dan
membiarkan tindak asusila dalam kehidupannya ternyata tidak membawa
kedamaian dan kebahagiaan selalu datang bencana menyertainya. Maka putra
Paruk, Rasus berani hidup keluar dari Paruk sehingga dapat menemukan
jatidirinya. Begitu pula dalam novel Sinden yang menawarkan paradigma baru
menjadi sinden harus dapat menjujung tinggi citra sinden. Agar pesinden
mempunyai martabat dalam masyarakat. Dengan demikian novel ini akan mampu
memberi nilai-nilai baru yang dapat diteladani. Nilai tersebut antara lain : nilai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
religius, kompleksitas kehidupan sosial, pemahaman kebudayaan, serta kesadaran
untuk tidak mengekploitasi seks dalam kehidupan yang berdampak kurang baik.
Implikasi Teoritis bahwa dengan pesatnya penelitian sastra dengan
berbagai pendekatan maka penelitian sastra melalui pendekatan intertekstualitas
dapat memperkaya kajian telaah sastra. Model kajian secara struktural yang
dilanjutkan dengan intertekstualitas dapat dimanfaatkan menjadi acuan pengkajian
sastra yang berbeda dengan pendekatan yang berbeda pula. Kajian novel dengan
pendekatan intertekstualitas dapat pula menjadi solusi untuk mengatasi
kemandulan kajian sastra.
Implikasi Praktis diharapkan penelitian ini kajian novel dengan
pendekatan intertekstualitas ini merupakan salah satu novel yang menggunakan
dua pendekatan dalam menelaah dan mengapresiasi dua karya novel atau lebih.
Dua pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan strukturalisme yang
dilanjutkan pendekatan intertekstual dapat dimanfaatkan sebagai bahan rujukan
telaah sastra dalam pembelajaran apresiasi sastra disekolah. Sehingga dalam
pembelajaran sastra tidak hanya sekedar teori saja, namun kegiatan apresiasi
sastra harus mampu mendorong peserta didik untuk lebih mencintai, memahami,
serta meneladani nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra sehingga akan
terbentuk pribadi yang dewasa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
C. Saran
Saran-saran ini ditujukan kepada para pendidik dan tenaga kependidikan,
peneliti sastra, dan para pembaca sebagai bahan pertimbangan dalam
mengabdikan tugas-tugas mereka:
1. Bagi Pendidik
a. Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya
Purwadmadi Admadipurwa sangat baik untuk digunakan sebagai bahan
pembelajaran sastra dan dapat pula digunakan untuk membandingkan
unsure-unsur struktur novel sehingga dapat ditemukan persamaan dan
perbedaannya.
b. Nilai-nilai pendidikan yang terdapat pada Novel Ronggeng Dukuh Paruk
karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa
yang berupa pendidikan sosial budaya, nilai-nilai religius, dan nilai
moral/budipekerti sangat baik untuk ditanamkan pada anak didik.
2. Bagi Pembaca
a. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya
mengenai pembahasan tokoh dan perwatakannya.
b. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca mengenai nilai-
nilai pendidikan yang ada di dalamnya.
3. Bagi Peneliti Sastra
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk penelitian
berikutnya ketika menganalisis karya sastra, khususnya untuk pendekatan
intertekstual.
Top Related