1
Determinasi Perdagangan Rempah Terhadap Mobilitas Penduduk, Pemukiman,
Perkembangan Kota dan Pertahanan Masa Kolonial :
Studi Kasus di Pulau Ambon dan Saparua
Wuri Handoko
Latar Belakang
Dalam sejarah Nusantara, pengaruh Kolonial di Maluku, telah sangat dikenal. Hal
ini karena lamanya pihak Kolonial bercokol di bumi rempah-rempah ini (hampir empat
abad). Maluku dikenal sebagai wilayah yang memiliki sejarah panjang dalam konteks
kolonisasi Eropa di Indonesia. Dalam kehidupan masyarakat saat inipun, pengaruh
budaya kolonial terutama Belanda, masih sangat kental. Bahkan di bidang bahasapun
juga dapat diidentifikasi bentuk pengaruhnya. Antara lain banyak kalimat-kalimat
serapan bahasa Belanda yang sering dipakai dalam bahasa pergaulan sehari-hari orang
Maluku. Dalam bidang budaya, pengaruh itu juga dapat diamati baik budaya hidup yang
masih dijalankan sehari-hari, religi maupun berdasarkan tinggalan budaya benda
berbentuk bangunan monumental berciri arsitektur kolonial. Kentalnya budaya
peninggalan kolonial, sehingga karakteristik budaya Maluku sangat lekat dengan budaya
kolonial. Sejarah mencatat, Tahun 1596, penjelajahan Bangsa Eropa pertama dipimpin
Cornelis de Houtman masuk ke Nusantara. Ekspedisi ini sekaligus menjadi titik awal
rentang panjang sejarah kolonisasi Eropa di Nusantara. Mulai dari Portugis hingga
Belanda.
Sejarah, telah banyak menuliskan kiprah kolonial di bumi Maluku. Terutama
dihubungkan dengan perluasan perdagangan dan penguasaan komoditi lokal Maluku
yang sangat populer di dunia. Dalam sejarah perdagangan dunia, sejak awal masehi
wilayah strategis Maluku termasuk dalam lintasan perdagangan yang disebut jalur sutera.
Pada abad X jalur sutra merupakan jalur yang sangat penting untuk hubungan timbal
balik baik dalam segi perdagangan, kebudayaan, agama maupun pengetahuan.
Perdagangan ini tidak hanya menawarkan komoditi sutera, tetapi juga komoditi lain
2
terutama rempah-rempah yang sangat dibutuhkan di Eropa. Justru karenanya belakangan
orang menyebutnya sebagai jalur rempah-rempah. Hal ini karena justru rempah-rempah
kemudian menjadi komoditi utama perdagangan dunia. (Lapian, et.al. 2001: 39).
Kepulauan Maluku sendiri merupakan surganya rempah-rempah. Wilayah ini
kemudian terkenal dengan Spice Island oleh dunia barat. Wilayah Maluku, dari segi
ekonomi merupakan wilayah penghasil rempah-rempah paling utama, yang antara lain
menyebabkan wilayah tersebut menjadi ajang potensial pertarungan kepentingan
hegemoni ekonomi, dan akhirnya bermuara pada pertarungan politik dan militer
(Meilink-Roelofsz, 1962:93-100; dalam Ambary, 1998:150).
Didorong oleh meningkatnya kebutuhan dan keuntungan besar yang diperoleh
dalam perdagangan rempah-rempah, bangsa Eropa berusaha memperoleh rempah-rempah
langsung dari tangan pertama. Dimulai oleh Portugis pada tahun 1511, yang kemudian
berhasil menguasai pusat perdagangan di Selat Malaka. Dan pada tahun berikutnya,
kapal-kapal Portugis telah tiba di bandar-bandar Maluku (Djafaar, 2006:18).
Sejak saat itu bangsa –bangsa Eropa saling bergantian untuk mengusai Maluku.
Kepulauan Maluku sebagai pusat produksi rempah-rempah terutama cengkeh dan pala
pada masanya juga menjadi ajang perebutan dan persaingan banyak negara di dunia.
Hampir seluruh negara dari berbagai belahan dunia berjejal menduduki kepulauan
Maluku. Portugis dan Belanda adalah dua negara yang paling bersaing menguasai
wilayah ini.
Sejarah Perdagangan Rempah-Rempah di Pulau Ambon dan Saparua
Tahun 1513, Bangsa Portugis mendarat di Pulau Ambon. Bangsa Portugis adalah
bangsa Eropa pertama yang menginjakkan kaki di Wilayah Maluku. Oleh Portugis,
wilayah Ambon adalah menjadi pusat aktivitas baru setelah mereka terusir dari Ternate.
Meski demikian, di Pulau Ambon, bangsa Portugis mendapat perlawanan dan diserang
oleh penduduk lokal, yakni penduduk muslim Hitu, yang sebelumnya telah berdagang
dan memiliki mata rantai religius dengan pesisir pantai utara Jawa. Namun demikian
tahun 1521 Bansga Portugis sempat mendirikan pabrik meski selalu ditentang hingga
tahun 1580. Di Pulau Ambon, bangsa Portugis tidak mendapatkan otoritas dari penduduk
lokal untuk mengendalikan perdagangan rempah-rempah.
3
Tahun 1605, giliran Belanda menguasai Pulau Ambon, Tahun itu adalah tahun
kekalahan Portugis dari Belanda. Bangsa Portugis pada tahun itu juga terusir dari Pulau
Ambon dan kedudukannya digantikan oleh Belanda. Belanda mengambil alih benteng-
benteng yang semula dibangun oleh Portugis. Oleh Belanda, Kota Ambon dijadikan
markas ( VOC) mulai dari 1610 sampai 1619. Belanda berhasil menanamkan monopoli
perdagangan rempah di Pulau Ambon. Di Kota Ambon Belanda Menjadikannya sebagai
sebagai pusat produksi dan pemasaran rempah-rempah. Sementara itu pulau-pulau di
sekitarnya diharusnya mengirim produksi komoditinya ke pulau Ambon untuk menjamin
atau mengamankan monopolinya di Ambon. Sepanjang periode Belanda, Kota Ambon
kota adalah pusat kegiatan militer Belanda yang berpusat di Benteng Victoria.
Sementara itu Pulau Saparua, adalah salah satu pulau yang terdekat dengan Pulau
Ambon. Diantara pulau-pulau Lease (Saparua, Haruku dan Nusa Laut), Pulau Saparua
adalah yang terbesar. Dalam sejarah perniagaan, Pulau Saparua merupakan salah satu
kota pemasok cengkeh terbesar di wilayah Lease. Pada masa kolonial, hampir seluruh
wilayah di Pulau Saparua mengembangkan tanaman cengkeh untuk memenuhi
kebutuhan stok (pasokan) komoditi cengkeh dari pihak Kolonial yang berpusat di Kota
Ambon.
Sejak awal abad 17 baik Portugis maupun Belanda, bergantian menduduki
Saparua. Benteng Duurstede di Kota Saparua menjadi bukti penguasaan pihak asing
tersebut. Kota Saparua sebagai pusat pemerintahan Kolonial di Pulau Saparua,
merupakan basis pertananan kolonial yang utama. Setelah Portugis terusir dari Saparua,
Belanda menjadi satu-satunya pihak asing yang menguasai Saparua, hingga meletetusnya
perang Pattimura tahun 1817. Perang itu salah satunya adalah akibat monopoli
perdagangan cengkeh oleh pihak Belanda. Pihak pribumi yang tidak menerima perlakuan
Belanda, mengangkat senjata melakukan perlawanan yang dipimpin oleh Kapitan
Pattimura.
Adat dan Tradisi Masyarakat
A.Kepemimpinan dan Kedudukan Raja
Maluku dapat dijuluki sebagai Tanah Para Raja. Wilayah Propinsi Maluku, saat
ini terdiri dari berbagai desa yang memiliki pemerintahan adat yang berlaku secara turun-
4
temurun. Sebutan desa bagi wilayah Maluku juga diganti dengan Negeri, kembali
merunut berdasasarkan adat dan sejarah pembentukannya sejak masa Kolonial. Di desa
atau negeri-negeri itu diperintah atau dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang disebut
Raja. Sejarah mencatat, wilayah Maluku pada masa lalu merupakan wilayah kerajaan-
kerajaan kecil yang berdaulat. Satu sama lain memiliki pemerintahannnya sendiri,
diantaranya merupakan persekutuan negeri yang membentuk wilayah kerajaan sendiri
yang lebih besar. Bagi wilayah persekutuan negeri dipimpin oleh raja besar yang
membawahi raja-raja kecil yang bersekutu. Beberapa raja besar itu dikenal dengan
sebutan Latu (Upu Latu) bahkan ada pula dengan sebutan Sultan. Sayangnya, catatan
sejarah sangat sedikit yang menyinggung tentang kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri
di wilayah Provinsi Maluku pada masa lampau. Di Pulau Saparua setidaknya tercatat dua
kerajaan yang berdaulat dan memiliki wilayahnya amsing-masing. Kerajaan itu adalah
Kerajaan Iha dan Kerajaan Siri Sori Islam (Kerajaan Honimoa). Kerajan Iha memiliki
wilayah kekuasaan pada negeri-negeri di semenanjung (jazirah) bagian utara yang disebut
Jazirah Hatawano, sedangkan Kerajan Siri Sori menguasai negeri-negeri di wilayah
semenanjung (jazirah) tenggara yang disebut sebagai Jazirah Ouw.
Beberapa catatan etnologis, menyebutkan simbol para raja, terutama di Pulau
Seram ditandai adanya simbol kepemilikan tongkat raja berhulu perak (Taurn, 1918). Di
wilayah Kerajaan Sahulau di Seram, tongkat raja berhulu kuningan/warna emas
(Handoko, 2006c; Tim Penelitian, 2007, Sudarmika dan Handoko, 2007). Di Kerajaan
Hitu, terdapat mahkota Raja Hitu (Sahusilawane, 1996; Handoko 2006a:), demikian pula
kerajaan-kerajan di Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo semuanya memiliki simbol
kepemimpinan raja yang juga diwariskan secara turun temurun. Selain simbol-simbol
berupa benda yang bergerak, istana dan rumah raja juga sangat menonjol menunjukkan
bukti kepempinan raja. Bukti kepemimpinan lain, menurut beberapa lisan, adanya
kepemilikan tanah dan lahan yang luas oleh raja dan pemimpin lokal lainnya seperti pati
dan orang kaya. Dalam struktur pemerintahan di daerah Maluku Raja, Pati dan orang
kaya merupakan posisi tertinggi dalam struktur masyarakat Maluku.
5
B. Berkebun Cengkeh dan Pala
Masyarakat di pulau Ambon dan Saparua pada umumnya, adalah masyarakat
yang sejak dulu mengelola kebun cengkeh sebagai komoditi utama. Beberapa toponim
menunjukkan adanya pohon-pohon cengkeh yang telah berumur sangat tua. Di desa
Itawaka, menurut sumber penduduk menyebutkan terdapat pohon cengkeh yang telah
berumur sekitar 400an tahun (pers com, 2008). Bukti lapangan menunjukkan pohon,
dengan usia ratusan tahun tersebut memiliki diameter yang sangat besar. Meskipun tidak
produktif lagi, namun sesekali masih menghasilkan bunga cengkeh. Selain itu, penduduk
pada umumnya menanam bibit cengkeh yang sejak dulu telah dikembangkan yakni jenis
cengkeh „kotok‟, walaupun belakangan bermacam-macam jenis cengkeh juga
dikembangkan.
C.Penguasaan Tanah : Tanah Datti dan Tanah Pusaka
Tanah dati adalah, tanah yang dikelola secara turun temurun yang dikelola oleh
setiap kelompok marga. Namun ketika anggota marga ada yang menikah dengan marga
lain, terutama kaum wanitanya maka yang bersangkutan tidak lagi berhak atau tidak
mendapat bagian lagi dari tanah dati. Sementara tanah pusaka, adalah tanah yang dikelola
turun temurun oleh setiap marga dan keluarga, dan dalam waktu yang terus menerus dan
tidak dapat diputuskan haknya, meskipun salah satu anggota marga menikah dengan
marga lainnya. Tanah-tanah dati dan juga tanah pusaka antar setiap marga biasanya diberi
batas-batas yang telah disepakai, biasanya berupa batas atau pagar hidup bisa pula tanda
batas lainnya yang mudah dikenali.
Yang menarik, pengaturan tanah dati itu sendiri lahir pada masa pendudukan
Kolonial tahun 1823. Berdasarkan beberapa catatan sejarah di Maluku, tahun itu
merupakan tahun peralihan atau masa transisi dari penguasaan Inggris kembali ke
penguasaan Belanda. Apakah peraturan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah
Belanda pada masa itu berhubungan dengan masa peralihan itu, tampaknya masih
membutuhkan kajian lagi. Yang jelas, pengaturan tanah datti, merupakan peraturan yang
dibuat oleh Belanda dan sampai saat ini masih diwarisi dan dipertahankan.
Kemungkinan, pengaturan tanah datti, juga dimaksudkan oleh Belanda untuk
mempermudah pengaturan dan pengawasan lahan-lahan perkebunan cengkeh. Dengan
6
pengawasan dan pengaturan yang lebih mudah, maka pihak Kolonial (Belanda) akan
semakin mudah menguasai dan memonopoli komodi dagang cengkeh tersebut.
Mobilitas Penduduk, Permukiman dan Perkembangan Kota
A. Masa Penguasaan Portugis
Kota Ambon awal, ditandai pertama kali dengan pendirian benteng Kota Laha
(masa kemudian, tepatnya masa penguasaan Belanda benteng ini berubah menjadi
Benteng Niew Victoria), sebagai cikal kota ambon. Menyusul pendirian Benteng Kota
Laha, tumbuh pemukiman-pemukiman kecil di sekitar benteng. Pemukiman-pemukiman
sederhana ini membentang di sepanjang pantai, di sisi Timur dan Barat Benteng, juga di
sebelah selatan benteng. Data sejarah dari seorang misionaris Portugis menunjukan,
jumlah rumah disekitar benteng ini pada akhir abad ke-16 adalah sekitar 500 unit
(Leirissa dkk, 2004:21; Ririmase, 2006). Pada masa itu jumlah penduduk kota ambon
pada akhir abad ke-16 adalah sekitar 1500 jiwa. Dengan jumlah rumah sekitar 500 buah
yang dibangun di sepanjang pantai, di sisi timur, barat, dan selatan benteng ‟Kota Laha‟.
Permukiman penduduk yang membentuk ‟kota‟ ini hanya dipisahkan oleh beberapa jalan
sempit dari tembok benteng. Saat itu belum dikenal penataan kota, letak rumah dan jalan
sangat tidak beraturan. Meski demikian secara berkala mulai muncul suatu pola yang
membedakan perumahan penduduk berdasarkan empat kelompok masyarakat yang
tercipta saat itu.
Leirissa dkk (2004) sebagaimana yang dituliskan kembali oleh Ririmasse (2006)
telah menguraikan kelompok penduduk pemukim Kota Ambon awal masa pendudukan
Portugis, sebagai berikut :
Kelompok pertama adalah sejumlah orang-orang Portugis dan bekas tentara
Portugis yang memilih untuk tinggal di Ambon. Kelompok masyarakat ini dikenal
sebagai casado. Menurut catatan sejarah, hingga akhir abad ke-16 diperkirakan ada
sekitar 90 rumah yang didirikan bagi kelompok ini dan beberapa di antaranya didirikan
dengan sangat indah.
Kelompok kedua adalah kelompok ”Mahardhika” atau ‟Mardika‟ yang mendiami
sisi sebelah timur benteng. Menurut keterangan orang-orang Belanda, kelompok Mardika
ini tiba di Ambon dari Ternate sekitar tahun 1575. Penelitian sejarah menunjukan bahwa
7
kelompok ini muncul dari kelompok budak yang telah dibebaskan oleh para pemiliknya.
Pada masa VOC orang-orang Belanda banyak membeli budak dari orang Portugis yang
berdiam di kota-kota pelabuhan India. Setelah dibebaskan umumnya mereka menjadi
pemeluk agama Nasrani. Di India mereka telah banyak menyerap unsur-unsur budaya
Potugis termasuk bahasa Portugis dan kebiasaan sehari-hari. Banyak wanita dari
kelompok ini yang menikah dengan orang-orang Eropa di Nusantara, termasuk beberapa
pembesar mereka.
Kelompok ketiga adalah masyarakat lokal dari berbagai negeri di Pulau Ambon.
Jumlah mereka pada akhir abad ke-16 diperkirakan sekitar 1500 jiwa. Mereka umumnya
berasal dari Hative, Tawiri dan Halong, dan menjadi tenaga andalan Portugis ketika
membangun benteng Kota Laha. Terdapat juga kelompok masyarakat yang berasal dari
Nusaniwe, Urimessing, Waai dan Soya. Mereka ini menghuni sekitar 100 unit rumah
yang sangat sederhana di daerah yang sekarang berada antara Batumerah dan Mardika
serta di wilayah timur sungai Batu Gajah.
Kelompok keempat adalah para misionaris dari Eropa. Jumlah mereka sebenarnya
tidak terlalu besar. Hanya karena keberadaan mereka selalu diikuti oleh para budak dan
pengikut mereka, maka terbentuklah suatu kelompok masyarakat baru dalam jumlah yang
cukup besar. Wilayah pelayanan mereka pada masa itu mencakup beberapa negeri seperti
Soya, Hukurila, dan Kilang. Menurut catatan sejarah, pada akhir abad ke-16 ada sekitar
empat buah gereja di kota Ambon. Gereja pertama terletak di dalam benteng Kota Laha,
dan digunakan oleh orang-orang Portugis. Tiga gereja lain terletak di luar tembok
benteng. Gereja pertama terletak di sebelah timur benteng dan digunakan oleh para
casados. Gereja kedua terletak di sebelah tenggara benteng dan dibangun tahun 1581
dengan nama Santo Jacob. Gereja ini diperuntukan bagi kaum miskin, dan dilayani oleh
para misonaris dari ordo Misicordia. Di gereja ini juga terdapat sebuah ‟rumah sakit‟
yang juga dikhususkan untuk orang miskin. Gereja ketiga terletak di sebelah barat
tembok benteng dengan nama Santo Tomas, yang digunakan oleh penduduk lokal
berbahasa Melayu.
Berdasarkan uraian diatas, tampak sekali permukiman penduduk berkembang
karena mengikuti pola mobilitas sosial masyarakat. Mobilitas penduduk ditandai oleh
masuknya kelompok sosial lain, yakni kelompok Mardika (budak yang telah dibebaskan).
8
Kemungkinan pada masa kemudian, penduduk Mardika menjadi salah satu kelompok
sosial yang paling banyak mempengaruhi perkembangan permukiman kota. Konfigurasi
sosial masyarakat yang terdiri dari empat kelompok, menandai adanya mobilitas
masyarakat lebih banyak ditimbulkan oleh faktor eksternal. Para misionaris, tentara
portugis dan para budak, merupakan kelompok eksternal yang meramaikan pertumbuhan
permukiman. Sementara itu penduduk lokal, meskipun dalam kuantitas yang besar,
merupakan kelompok yang secara internal tak banyak mendominasi pertumbuhan
permukiman.
A. Masa Penguasaan Belanda
Secara arkeologis sesungguhnya agak sulit untuk merekonstruksi tata kota Ambon.
Bila rujukannya bangunan kolonial semata. Hal ini karena sebagian besar bangunan masa
kolonial hancur rata dengan tanah akibat pemboman saat perang dunia ke-2. Bentuk Kota
Ambon yang ada pada masa Belanda, sesungguhnya adalah penyempurnaan bentuk kota
yang dibangun oleh Portugis pada 1576. Batas-batas kota tidak banyak berubah hingga
awal abad ke-20 (Ririmasse, 2006b). Memang tidak ditemukan data sejarah yang benar-
benar dapat memberikan informasi tentang masterplan yang dapat dijadikan pedoman
pembangunan fisik kota Ambon, namun dari pola tata kota dapat dilihat adanya suatu
kesinambungan perencanaan dan pembangunan yang berhasil menciptakan suatu kota
yang efisien pada jaman itu. Informasi sejarah menunjukan para gubernur VOC yang
berkuasa di Ambon pada abad ke-17 secara sistematis melanjutkan pekerjaan
pendahulunya. Hal ini sangat dibantu oleh kewajiban setiap gubernur yang meletakan
jabatan harus menulis sebuah memori serah terima jabatan yang menjadi catatan tentang
program apa saja yang sudah dilakukan serta pedoman bagi penggantinya untuk
melanjutkan pembangunan yang sudah dilakukan. Secara arkeologis sebenarnya memang
agak sukar untuk menemukan pola kota Ambon bila merujuk pada tinggalan bangunan
Kolonial, Menyikapi kondisi ini, data sejarah Kota Ambon yang ada cukup membantu
dalam memberikan gambaran bagaimana perkembangan kota Ambon masa awal (ibid).
Berangkat dari data-data sejarah Kota Ambon dimaksud, indikator arkeologis
bagaimana tata kota ambon, menandai aktifitas permukiman masa Belanda. Sebagaimana
data yang telah dituliskan Ririmasse (2006b), berikut diuraikan kembali obyek dimaksud:
9
1. Esplanade (Lapangan Merdeka)
Setelah menguasai benteng Kota Laha (Victoria) Van der Haghen segera
membentuk pemerintahan baru yang dipimpin oleh Frederick de Houtman, yang berkuasa
atas benteng dan kota Ambon serta wilayah Lease. Setelah diangkat menjadi Gubernur,
tindakan pertama yang dilakukan de Houtman adalah memerintahkan agar pemukiman
yang hampir menempel pada tembok benteng dipindahkan beberapa ratus meter ke arah
selatan. Setelah relokasi ini, terciptalah suatu ruang terbuka. Kelak pada abad ke-19
ruang terbuka ini digunakan sebagai esplanade yang saat ini dikenal sebagai Lapangan
Merdeka. Data sejarah tentang kronologi fungsi esplanade ini memang cukup minim.
Namun dengan mempertimbangkan aspek posisi lapangan yang dekat dengan pusat
pemerintahan di benteng Victoria, dapat diduga esplanade ini berfungsi sebagai ‟alun-
alun‟ kota dan memiliki fungsi cukup vital dalam konsep tata ruang.
2. Struktur Jalan Kota
Jalan-jalan utama dalam kota Ambon, sesungguhnya telah selesai dibangun pada
abad ke-17. sistem pembangunan jalan dalam tata kota dapat dilihat dalam sebuah lukisan
buatan 1728, yang terdapat dalam buku fr. Valentijn jilid II. Sistem jalan ini juga yang
menjadi batas-batas kota Ambon masa itu. Pada lukisan yang bersumber dari buku
Valentijn, nampak sistem jalan setengah melingkar yang mengelilingi kota, yang
terbentuk dari beberapa ruas jalan. Dimulai dari titik sebelah timur Hative Kecil di
seberang Wai Allat, lalu menyusur ke selatan dan balik ke barat di kaki pegunungan Soya,
daerah yang kini dikenal sebagai jalan Rijali, jalan Acmad Yani, dan Batu Gajah. Dari
titik tersebut jalan berbelok tajam lurus ke arah garis pantai yang disebut sebagai ‟de
Weg van Nusaniwe‟ jalan ini dinamakan ‟Urimesengstraat‟ dan kini dikenal sebagai jalan
Diponegoro, dan jalan A.M Sangaji ke arah pelabuhan. Dalam batas-batas jalan itulah
terdapat kota Ambon masa itu.
Jalan utama yang pertama adalah jalan yang membentang di tengah kota, yang
berawal dari depan pintu masuk benteng Victoria, dan berakhir di jalan melingkar kota di
Batu Meja. Jalan utama ini awalnya bernama ‟Heerenstraat‟ kemudian berganti
menjadi ‟Groote Olievantsraat‟ dan sekarang dikenal sebagai jalan Pattimura. Pada sisi
kiri dan kanan jalan ini dibangun gedung-gedung utama pemerintah. Jalan kedua yang
10
membentang dari pantai ke selatan arah Batu Meja adalah ‟Koningstraat‟ yang melintasi
rumah Raja Kilang dan bersambung dengan ‟Prinsenstraat‟. Kedua jalan ini kini dikenal
sebagai jalan Sultan Hairun dan Jalan Yan Paays.
Selain ketiga ruas jalan utama di atas, terdapat juga sejumlah jalan lain yang lebih
pendek dan membentang dari utara ke selatan dan dari barat ke timur. Jalan pertama yang
penting adalah ‟Chinesestraat‟ yang kini dikenal sebagai jalan A.Y Patty. Di wilayah
inilah muncul ‟Kampung Cina‟ yang meluas dari jalan tersebut ke arah pantai. Di sebelah
utara ‟Chinesestraat‟ terdapat ‟Breedestraat‟ yang menyusuri pantai dan selalu digunakan
warga kota untuk menikmati keindahan teluk Ambon. Pemerintah kolonial kemudian
membangun juga jalan yang menghubungkan ‟Urimesengstraat‟ dengan ‟Koningstraat‟
yaitu ‟Valentijnstraat‟ dan ‟Rumphiusstraat‟, yang saat ini dikenal sebagai jalan Imam
Bonjol. Ke arah selatan sejajar dengan ‟Chinesestraat‟ pemerintah kolonial membangun
tiga ruas jalan yang menghubungkan Urimessengstraat ( Weg van Nusaniwe)
dengan ‟Koningstraat‟. Dua jalan tersebut masing-masing ‟Burgerstraat‟
dan ‟Groenegeuzenstaat‟, dan ketiganya kini dikenal sebagai jalan Anthony Rebok, Jalan
Philip Latumahina, dan jalan Said Perintah. Srtruktur jalan asli kota Ambon ini tidak
banyak berubah hingga abad ke-20. Pasca kehancuran kota akibat pemboman sekutu saat
perang dunia ke-2, Ambon kembali dibangun dengan berpatokan pada sistem jalan yang
sudah ada sejak dulu.
3. Pasar
Tahun 1690 pemerintah VOC di Ambon mendirikan sebuah bangunan yang
berfungsi sebagai pasar. Lokasinya di tepi pantai tepat di sebelah barat benteng Victoria.
Menurut informasi Valentijn, ukuran gedung pasar ini lebih besar dari ukuran gedung-
gedung gereja. Valentijn bahkan menyatakan kekagumannya akan keindahan bentuk
bangunan pasar ini dan keletakannya yang begitu bagus. Bangunan pasar ini digambarkan
tidak memiliki tembok hanya berupa bangunan bergenteng yang langsung ditopang pilar-
pilar. Di pasar inilah penduduk dari berbagai negeri di Pulau Ambon datang untuk
berjualan berbagai kebutuhan sehari-hari. Keletakan pasar ini mungkin juga dipengaruhi
oleh lokasi Kampung Cina di sekitar jalan Chinesestraat yang juga merupakan kelompok
dominan pelaku ekonomi masa itu.Tentunya bukan suatu kebetulan jika pada masa yang
11
lebih kemudian lokasi pasar dan pertokoan di kota Ambon juga terletak di sebelah barat
benteng Victoria. Hal mana yang menunjukan kesinambungan wilayah itu sebagai sentra
ekonomi.
4. Toponim Pemukiman
Mirip dengan beberapa kota lain di Indonesia, di Ambon juga terdapat daerah-
daerah yang menunjukan toponim dari karakter sejarah daerah tersebut.
Daerah ‟Mardika‟ yang masih ada hingga saat ini dulunya merupakan daerah yang dihuni
kelompok masyarakat ‟Mahardika‟ yaitu golongan budak masa Portugis dan awal masa
VOC. Saat ini daerah Mardika sering disebut juga dengan ‟Halong Mardika‟ karena
dulunya memang di dekat lokasi orang-orang Mahardika memang terdapat lokasi yagn
juga dihuni oleh orang-orang dari negeri Halong. Daerah ‟Soya Kecil‟ juga sudah muncul
sejak abad ke-17 yang merupakan wilayah yang dihuni oleh orang-orang Soya ketika
melakukan ‟heerendiensten‟ (kerja wajib untuk setiap negeri). Hal yang sama berlaku
untuk daerah ‟Soa Ema‟ juga merupakan toponim untuk wilayah yang dihuni oleh orang-
orang dari Ema ketika melakukan ‟Kwartodiensten‟.
Selain lokasi-lokasi di atas sebenarnya masih banyak lokasi-lokasi lain yang
merupakan bagian sejarah perkembangan kota Ambon. Kendalanya adalah, hanya lokasi-
lokasi di atas yang secara arkeologis masih dapat dilacak saat ini. Sehingga secara
arkeologis dapat dipertanggungjawabkan pula. Telah disebutkan bahwa saat Perang
Dunia ke-2 Kota Ambon dibom sekutu hingga rata dengan tanah, termasuk
menghancurkan semua bangunan tinggalan kolonial yang ada saat itu. Kecuali benteng
Victoria yang masih berdiri hingga saat ini. Faktor lainnya adalah seringnya terjadi
gempa besar sehingga merusak sebagian besar bangunan yang ada masa itu antara lain
gempa besar tahun 1674 dan 1754.
Beberapa informasi sejarah lain juga menjadi pelengkap gambaran tata kota
Ambon masa awal. Jalan Pattimura (Heerenstraat) sejak dulu merupakan jalan utama dan
di sisi kiri kanannya banyak berdiri gedung-gedung utama pemerintah. Pada masa
Portugis juga pernah dibangun rumah Sakit Misiricordia yang kemudian diruntuhkan
karena rapuh. Gubernur jenderal Arnold de Vlaming van Oudshoorn (1647-1650)
membangun sebuah rumah sakit lagi di Burgerstraat saat itu. Setelah dibangun rumah
12
sakit baru, rumah sakit lama kemudian dijadikan kantor pengadilan, ‟Raad van Jutitie‟
(pengadilan untuk pegawai VOC dan Warga Kota) dan Landraad (Pegadilan untuk
penduduk negeri). Sekitar abad ke-18 juga telah dibangun ‟Stadhuis‟ (Balai Kota) yang
kemudian diubah juga menjadi gedung landraad.
Berdasarkan data yang diuraikan diatas, kita dapat melihat perkembangan
permukiman kota akibat pengaruh Kolonial. Persentuhan masyarakat lokal dengan pihak
Kolonial ditengah aktifitas perdagangan yang pesat memicu mobilitas sosial masyarkat
semakin tinggi. Toponim-topnim permukiman penduduk lokal juga semakin menyebar,
yang disebabkan oleh pengaruh mobilitas kerja masyarakat pribumi. Selain itu, di Ambon
interaksi dengan penduduk luar terutama kelompok Bugis Maksssar sudah dicatat sejak
Abad ke-17. Mereka ini umumnya termasuk dalam kelompok pribumi yang berasal dari
berbagai pelosok Nusantara dan menetap di Ambon. Orang-orang Makassar masa itu
tercatat sebagai kelompok pribumi yang memiliki modal, dan karena itu sering ditunjuk
sebagai pimpinan kelompok migran lokal oleh pemerintah VOC. ( Tim Penyusun 2004,
dalam Ririmasse 2006). Tentu saja, hal ini berdampak pada pesatnya pertumbuhan kota
sejurus pula dengan perkembangan permukiman penduduk. Strukutur jalan kota dan
pasar sebagai pusat transaksi jual beli, menandai pesatnya sebuah pertumbuhan penduduk.
Dengan demikian pada masa penguasaan Belanda, mobilitas penduduk semakin besar,
hal ini juga disebabkan oleh pesatnya laju perdagangan di bawah penguasaan kolonial.
Di Pulau Saparua, tampaknya Kota Saparua, yang kini menjadi ibukota
Kecamatan merupakan pusat kota kolonial di pulau ini. Kota Saparua pada masa
penguasaan Belanda, merupakan pusat pemerintahan Kolonial. Benteng Duurstede,
merupakan benteng terbesar dan termegah yang dibangun Belanda di pulau ini. Kegiatan
dalam benteng dapat diidentifikasi dengan adanya beberapa sisa bangunan turutan di
dalam benteng. Tata kota Saparua, merupakan tipikal kota Kolonial, meskipun tidak
sebesar Kota Ambon. Beberapa indikator kota kolonial, misalnya dapat diidentifikasi
antara lain oleh keberadaan benteng, lapangan di depan benteng, tugu kolonial di
samping lapangan dan beberapa bangunan-bangunan lain di luar benteng berciri kolonial.
Tidak menutup kemungkinan, jaringan jalan yang ada di kota Saparua saat ini,
merupakan perkembangan dari jaringan jalan yang dibuat Belanda pada masa lalu.
Benteng dan bangunan-bangunan lain di luar benteng di Kota Saparua, mengindikasikan
13
adanya kegiatan pemerintahan dan perekonomian yang dipusatkan di Kota Saparua oleh
pemerintahan Belanda.
Monopoli Perdagangan, Pertahanan dan Penempatan Perbentengan
Daya tarik rempah-rempah yang dihasilkan oleh dunia Timur yang kemudian
mengundang kedatangan bangsa Eropa ke nusantara untuk memperoleh rempah-rempah
langsung dari tangan pertama. Usaha tersebut kemudian berhasil dengan dikuasainya
pusat perdagangan di Selat Malaka oleh Bangsa Portugis pada tahun 1511. Dan pada
tahun berikutnya, kapal-kapal Portugis telah tiba di bandar-bandar Maluku (Djafaar,
2006:18). Hasrat ini kemudian telah mempengaruhi hubungan internasional antar bangsa
dan menjadi faktor utama perjalanan sejarah dunia sekitar abad XV hingga XX.
Berlangsungnya kolonisasi di negara Asia dan Afrika yang dulunya terdiri dari kerajaan-
kerajaan lokal menjadi salah satu buktinya. Dengan tujuan awal ekonomi, orang-orang
Eropa hanya menempatkan wakil perdagangannya di wilayah-wilayah penghasil
komoditi yang dibutuhkan. Akan tetapi, melihat keuntungan yang diperoleh dalam
perdagangan rempah-rempah yang besar maka penguasaan atas wilayah penghasil
komoditi tersebut menjadi keharusan. Hal inilah yang menjadi faktor utama
pembangunan benteng-benteng pertahanan di wilayah-wilayah yang dianggap penting.
(Mansyur, 2006).
Pembangunan benteng-benteng tersebutlah yang kemudian menjadi faktor
pendukung keberhasilan bangsa kolonial menguasai nusantara. Dengan menerapkan
strategi dan sistem pertahanan pada awal pendudukannya di setiap daerah yang mereka
anggap penting atau menguntungkan maka penguasaan tersebut dapat berlangsung
selama berabad-abad. Abbas (2005), menyebutkan bahwa faktor-faktor yang melatari
pemilihan lokasi pendirian sebuah benteng diantaranya:
1. Pentingnya suatu daerah pada masa pendirian benteng (misalnya potensi tempat
itu untuk dijadikan pusat perdagangan, adanya suplai produksi yang dibutuhkan,
dan potensi untuk digunakan sebagai pusat pemerintahan lokal).
2. Ancaman atau penolakan yang dihadapi (misalnya ancaman eksternal dari orang-
orang asing atau ancaman internal dari penguasa setempat).
14
3. Strategi yang diterapkan dalam upayanya menaklukkan suatu wilayah tertentu
untuk perluasan kekuasaan.
Benteng-benteng yang dibangun oleh bangsa Eropa khususnya Belanda dalam
usaha memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Selain itu, fokus terhadap
Belanda (termasuk VOC) dalam hal ini tidak lain dimaksudkan karena dalam perebutan
diantara negara-negara Eropa yang menginginkan penguasaan terhadap wilayah ini,
dianggap yang berhasil. Sementara itu kurun waktu selama abad XVII hingga abad XIX
merupakan perjalanan waktu yang cukup panjang dalam usaha tersebut. Dalam kurun
waktu tersebutlah bangsa Eropa membangun benteng-benteng pertahanan di Maluku
(Mansyur, 2006)
Pada masa Kolonial Belanda, masa di mana perubahan politik, sosial, ekonomi di
Maluku terjadi secara besar-besaran. Setelah hampir seluruh wilayah di Maluku bertaut
dengan budaya Islam, dalam waktu relatif cepat pengaruh Kolonial merangsek pesat
mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat Maluku. Praktis hegemoni Kolonioal
Belanda di Maluku sangat besar, baik secara politik, ekonomi, sosial maupun ideologi.
Namun demikian, proses itu bukan berarti mudah. Perlawanan terhadap penjajah Belanda
hampir dikobarkan di seluruh kepulauan Maluku. Perang demi perang berlangsung.
Segala taktik perang dilancarkan. Berbagai senjata perang di pertontonkan di medan laga.
Bukti-bukti arkeologis soal itu juga sangat berlimpah. Pada hampir seluruh situs Kolonial
di Maluku, kita bisa dapatkan benteng-benteng pertahanan berikut meriam-meriam di
lokasi sekitarnya.(Handoko:2006a)
Secara kronologis sistem pertahanan pada abad XVI didominasi oleh Portugis
dengan membangun 3 benteng pertahanan diantaranya pada tahun 1512, 1532 dan 1640
di Ternate. Sementara Belanda memutuskan untuk mulai membangun sistem
pertahanannya di Ambon dengan membangun benteng pada tahun 1599. Sistem
pertahanan yang kuat dibangun oleh Portugis sebagai langkah antisipasi terhadap
serangan pesaingnya sesama bangsa Eropa di Ternate. Sementara itu, persaingan antara
Ternate yang didukung oleh Portugis dan Tidore yang didukung oleh Spayol memberi
andil cukup besar dalam sistem pertahanan yang dibangun di wilayah ini. Di pihak lain,
Belanda yang memperkuat pertahanannya di bagian selatan terutama Ambon dan Banda
berebut pengaruh dengan Inggris. Akan tetapi, beberapa perubahan politik antara Belanda
15
dan Inggris menyebabkan kedua negara ini mengadakan perjanjian rahasia untuk
memaksa Portugis dan Spayol hengkang dari wilayah ini. Perjanjian pada tanggal 17 Juli
1619 itu berisi tentang pembagian pembiayaan untuk “proyek” tersebut, East India
Company (Inggris) menyediakan sepertiga dari tenaga manusia, biaya dan kapal
sedangkan Vereenigde Oost Indische (Belanda) menyediakan dua pertiga sisanya (Hanna,
1983:49).
Mansyur (2006) membagi (tiga) fase sejarah penguasaan VOC dan pemerintah
Belanda atas berbagai wilayah di Maluku, yaitu:
1. Pada awal kedatangannya VOC pada saat itu hanya menempatkan wakil-wakil
perdagangannya diberbagai wilayah di Maluku. Hal ini karena pada awalnya mereka
datang dengan tujuan perdagangan.
2. Fase selanjutnya dengan tujuan memonopoli perdagangan rempah-rempah dan
berbagai komoditi lainnya. Mereka kemudian membangun benteng-benteng
pertahanan untuk meredam perlawanan penguasa-penguasa lokal dan memenangkan
persaingan dengan pedagang-pedagang asing lainnya. Pada masa ini, mereka
mengatur berbagai urusan perdagangan dan hal-hal lainnya di dalam benteng
(kehidupan intra muros).
3. Dan fase terakhir berlangsung setelah keadaan mulai kondusif dan perlawanan-
perlawanan rakyat Maluku berhasil diredam. Fase ini juga ditandai dengan
pembangunan berbagai fasilitas di luar benteng oleh Pemerintah Belanda. Dengan
adanya berbagai fasilitas ini maka kehidupan kota kolonial telah dimulai. Kota-kota
yang ada di Maluku seperti Ambon, Banda, Ternate, dan Tidore bahkan kota-kota
kecil memperlihatkan hal ini. Tidak hanya itu, perusahaan-perusahaan swasta bahkan
diberikan hak oleh Pemerintah Belanda untuk mengelola perkebunan-perkebunannya.
Faktor lain yang menyebabkan keleluasaan Pemerintah Belanda di nusantara pada
umumnya adalah dengan adanya perjanjian antara negara kolonial di Eropa yang
memberikan “jatah” penguasaan di wilayah ini.
Dengan demikian, sistem pertahanan di Maluku pada abad XVII hingga XIX,
perlu dikaji sebagai usaha pemahaman terhadap sejarah tidak hanya sejarah Maluku
tetapi juga sejarah bangsa Indonesia. Selama kurun waktu tersebut perebutan wilayah
penghasil rempah-rempah terbesar di dunia tidak hanya melibatkan pedagang nusantara
16
dan pedagang-pedagang Eropa tetapi juga pedagang dari negara lain seperti Cina dan
Arab.
Pulau Ambon dan Saparua, sebagai obyek studi merupakan daerah penting
sebagai salah satu sentra penghasil komoditi cengkeh. Di Pulau Ambon dan wilayah Kota
Ambon tercatat Belanda setidaknya membangun 7 benteng pertahanan, sementara di
Saparua ada 4 benteng pertanahanan, yakni Ouw, Delf, Hollandia dan Duurstede di kota
Saparua, sebagai pusat pemerintahan kolonial pada masa itu. Hasil survei tim
memperoleh data bahwa, keletakan benteng di wilayah Ambon dan Saparua, terletak di
pesisir. Keletakan benteng di daerah pesisir memberikan asumsi bahwa fungsi benteng
dengan strategi dan taktik perang maritim. Profil wilayah Maluku yang merupakan
wilayah Kepulauan sangat tepat dengan strategi ini (Mansyur, 2006). Selain itu lokasi
benteng yang berdekatan dengan pantai mempermudah mobilitas barang dan manusia
dari dalam benteng menuju kapal. Alasan ini dengan pertimbangan bahwa lokasi benteng
berjarak relatif dekat dengan bibir pantai tentu sangat efisien dan ekonomis dalam proses
pengangkutan barang dan komoditi perdagangan dari dalam benteng ke kapal. Alasan ini
berlaku dengan catatan, opsi pemilihan lokasi berada di tangan orang-orang Eropa, atau
bila memang ada penguasa lokal masa itu, maka dapat diasumsikan orang-orang Eropa
sudah mendapat otorisasi dari penguasa lokal untuk menggunakan lokasi dimaksud
sebagai benteng.Kemungkinan kedua tentang pemilihan lokasi benteng adalah penguasa
lokal di masa itu memberikan pembatasan kepada pihak Belanda dalam mendirikan
benteng hanya bisa di lokasi pesisir (Ririmasse, 2006b)
Pada abad ke-17, sistem pertahanan didominasi oleh Belanda dengan membangun
22 benteng pertahanan. Daerah-daerah yang diperkuat oleh Belanda pada saat itu yaitu
pulau Ambon sebagai pusat aktifitas perdagangan dan pemerintahan dengan membangun
6 benteng pertahanan. Sebagian besar dari benteng tersebut ditempatkan di Hitu dengan
membangun 4 kubu pertahanan untuk meredam perlawanan rakyat Hitu (Mansyur, 2006)
Dibangunnya banyak benteng di wilayah Hitu kemungkinan berhubungan dengan posisi
dan peran Hitu dalam rantai perdagangan rempah. Schrieke (1963) menuliskan Pulau
Ambon, terutama Hitu, berperan sebagai suplay station perjalanan rempah-rempah
(cengkeh dan pala) antara Banda dan Ternate (Schireke, 1963 dalam Putuhena, 2001:64).
Pada abad 15 M, pengaruh Islam di tanah Hitu menyebar hingga ke Saparua tepatnya
17
kerajaan Iha (Syaranamual dan Pattikayhatu, 1997:30). Tak hanya sebagai pusat
penyebaran Islam, Kerajaan Hitu bahkan juga menjadi pelabuhan niaga yang penting
pada masa itu. Para pelaut dan pedagang dari seluruh kepulauan Nusantara dan Asia
Tenggara berdatangan dan menyinggahi Kerajaan Hitu.
Lebih dari itu, Hitu bahkan tercatat sebagai pusat niaga di wilayah Kepulauan
Maluku, mekipun gerak perdagangan di mulai dari Ternate. Hal ini seperti yang
diungkapkan R. Moh Ali (1963):gerak niaga dimulai di Ternate dan memusat di Hitu
(Ambon), setelah melalui bandar Gresik, Tuban, Jepara, Demak dan memusat lagi di
Malaka dan berpadu dengan niaga international. Hitu dapat memusatkan seluruh hidup
niaga Maluku dalam gerak ambil rempah-rempah dan seluruh gerak tekstil, beras,
perhiasan, senjata. Serentak dengan gerak itu agama Islam meluas di Maluku melalui
saluran perdagangan (R. Moh Ali, 1963:106-107 dalam Syaranamual dan Pattikayhatu,
1997:31)
Keterangan di atas sangat jelas memaparkan, bersamaan dengan puncak
berkembangnya Islam, seiring itu pula perdagangan juga semakin berkembang di
Kerajaan Hitu. Dengan jelas pula disebutkan, bahwa Hitu (Ambon) merupakan salah satu
pusat niaga di kepulauan Maluku.
Di Saparua, dibangun 4 kubu pertahanan diantaranya, benteng Duurstede pada
tahun 1690/1691, Hollandia pada tahun 1690, dan Hollandia dan Ouw. Salah satu
benteng tersebut menjadi kubu pertahanan dalam perang besar Belanda meredam
perlawanan rakyat Maluku dibawah kepemimpinan Kapitan Pattimura. Penempatan
Benteng itu pada umumnya di wilayah-wilayah pesisir bagian selatan Pulau Saparua.
Secara geografis, hal itu kemungkinan letaknya yang lebih mudah untuk pengawasan
distribusi cengkeh keluar dan masuk ke wilayah itu. Hal itu karena secara geografis
wilayah itu berhadapan langsung dengan Laut Banda di sebelah selatan, yang
kemungkinan digunakan sebagai jalur pendstribusian rempah dari wilayah sebelah
selatan Pulau Saparua. Secara geografis pesisir selatan Pulau Saparua juga lebih mudah
menjangkau wilayah pulau Liannya seperti Pula Ambon, haruku dan Nusa Laut.
Ambon dan Saparua merupakan dua dari beberapa wilayah strategis di Kepulauan
Maluku bagian selatan. Ambon dan Saparua merupakan salah satu sentra penghasil
cengkeh, maka wajar jika dikedua Pulau tersebut intensitas penguasaan Belanda
18
diperketat dengan pendirian benteng-benteng pertahanan. Pendirian benteng selain
pertahanan untuk mengantisipasi perlawanan penguasa dan masyarakat lokal, juga
sebagai medium pertahanan dalam persaingannya dengan pihak Eropa lainnya. Tak kalah
pentingnya, pendirian benteng juga sebagai pusat pemerintahan, sekaligus sebagai
medium untuk mengontrol atau mengawasi kegiatan perekonomian dalam hal ini
produksi dan distribusi produk lokal (cengkeh). Pulau Saparua, sebagai penghasil
cengkeh terbesar setelah di Kepualuan Lease, kemungkinan memasok cengkeh-cengkeh
dari setiap desa di wilayah Pulau itu, kemudian mendistribusikannya ke Kota Saparua,
untuk selanjutnya diseberangkan ke Kota Ambon sebagai pusat perdagangan cengkeh
Selain, membangun sistem pertahanan yang kuat dan maju, untuk menguasai
perdagangan rempah terutama cengkeh dan pala, Belanda juga melancarkan strategi yang
sistematis terhadap pola pengusaan lahan dan kebun cengkeh masyarakat lokal. Secara
sistematis, Belanda berupaya mengintervensi sistem aturan kepemilikan lahan cengkeh
milik masyarakat. Sebagai indikator adalah adanya sistem penguasaan Tanah Datti yang
merupakan sistem kebijakan penguasaan tanah yang dicetuskan oleh pemerintah Belanda.
Pada Tahun 1824, penguasaan tanah datti muncul disamping pemilikan lahan
berdasarkan aturan tanah pusaka. Belum diketahui jelas, apa keuntungan Belanda pada
penerapan kebijakan ini. Namun sejak adanya sistem tanah dati, maka pemilik (biasanya
seorang perempuan) dari marga tertentu, tidak berhak lagi memperoleh hasil lahan ketika
menikah dengan marga lain. Kemungkinan keuntungan Belanda adalah memperkecil
ruang kepemilikan lahan oleh marga, sehingga pihak Belanda akan lebih mudah
menguasai tanah atau lahan cengkeh masyarakat.
Penutup
Tak dapat dipungkiri perdagangan rempah-rempah sebagai komoditi utama di
wilayah Kepulauan Maluku, merupakan roda penggerak terhadap berbagai bentuk
perubahan masyarakatnya. Perdagangan rempah-rempah terbukti menjadi daya tarik
pihak kiolonial untuk berbondong-bondong mendudukui wilayah ini. Di lingkup internal
pribumi (masyarkat Maluku sendiri), juga dapat dianggap sebagai salah satu faktor
pemicu berkembangnya tatanan sosial penduduk. Mobilitas penduduk salah satunya
dipicu oleh perdagangan rempah yang semakin pesat. Perdagangan rempah yang semakin
19
pesat menimbulkan hadirnya berbagai komunitas penduduk baik pihak Kolonial sendiri
maupun masyarakat lokal serta masyarakat dari pulau lainnya di Nusantara untuk
membentuk kawasan-kawsan pemukiman yang tentu saja memicu pesatnya
perkembangan pemukiman menuju tata ruang kota yang lebih kompleks. Banyaknya
pembahasan tentang pweeerkembangan pemukiman dan perkembangan kota, namun
melupkan jakian perdagangan, apalagi di wilayah Maluku, sehingga tulisan ini
diharapkan dapat menambah kajian dan perluasan gagasan untuk pendalaman kajian
pemukiman dan perkembangan tata ruang kota.
Pesatnya perdagangan rempah-rempah, telah menimbulkna berbagai bentuk
persaingan antar beberapa pihak kolonial untuk dapat memonopoli perdagangan. Tentu
saja kajian perdagangan ini juga dapat menjadi bahan untuk perluasan kajian tentang
berbagai strategi pertahanan dalam upaya monopoli perdagangan.Dapat disimpulkan
maraknya pembangunan atau pendirian benteng-benteng pertahanan seiring dengan
pesatnya laju perdgangan.
Pendirian benteng selain pertahanan untuk mengantisipasi perlawanan penguasa
dan masyarakat lokal, juga sebagai medium pertahanan dalam persaingannya dengan
pihak Eropa lainnya. Tak kalah pentingnya, pendirian benteng juga sebagai pusat
pemerintahan, sekaligus sebagai medium untuk mengontrol atau mengawasi kegiatan
perekonomian dalam hal ini produksi dan distribusi produk lokal (cengkeh). Selain,
membangun sistem pertahanan yang kuat dan maju, untuk menguasai perdagangan
rempah terutama cengkeh dan pala, Belanda juga melancarkan strategi yang sistematis
terhadap pola pengusaan lahan dan kebun cengkeh masyarakat lokal. Secara sistematis,
Belanda berupaya mengintervensi sistem aturan kepemilikan lahan cengkeh milik
masyarakat.
20
Daftar Pustaka
Hanna, W.A, 1983 Kepulauan Banda dan Akibatnya di Kepulauan Pala. PT.
Gramedia. Jakarta
Handoko, Wuri 2006a Meriam Nusantara dari Negeri Elpa Putih: Tinjauan Awal atas
Tipe, Fungsi dan Daerah Asal. Kapata Arkeologi. Vol 2 Nomor 2 Juli 2006.
Balai Arkeologi Ambon.
...........................2006b Periode Awal Kerajaan Hitu Hingga Masa Surutnya.Retrospeksi
Arkeologi Sejarah. Kapata Arkeologi. Vol 2 Nomor 3 November 2006. Balai
Arkeologi Ambon.
........................, 2006c Mitos Sahulau dan Pengungkapan Data Arkeologis. Berita
Penelitian Arkeoologi (BPA) Vol. 2 Nomor 1 Juli 2006. Balai Arkeologi Ambon
Jafaar, I.A 2006. Jejak Portugis di Maluku Utara. Penerbit Ombak. Yogyakarta
Abbas, 2005, “Sistem Pertahanan di Batavia Abad XVII-XVIII”, Dalam Pertemuan
Ilmiah Arkeologi VII. Jakarta: Proyek Penelitian Arkeologi Jakarta, 1998-1999
Lapian, A.B Ternate sekitar Pertengahan Abad ke- 16 dalam Ternate : Bandar jalur
Sutera. M.J Abdurrahman (ed). Ternate: LinTas (Lembaga Informasi dan
Transformasi Sosial
Mardai, Gadis (30 January 1999). "Ambon rioting leaves 100 dead in Indonesia". World
Socialist Website. Retrieved on 2007-01-10.
Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia Since c.1300, 2nd Edition.
London: MacMillan
Mansyur, Syahruddin, 2006 Sistem Pertahanan Kolonial di Maluku Abad XVI-XIX.
Kapata Arkeologi. Vol 2 No. 3 November 2006. Balai Arkeologi Ambon
21
Putuhena, Saleh 2001 Proses perluasan Agama Islam di Maluku Utara dalam Ternate:
Bandar jalur Sutera. M.J Abdurrahman, et.al (ed). Ternate. LinTas (Lembaga
Informasi dan Transformasi Sosial)
Ririmasse NR Marlon 2006a Aspek-Aspek Kronologi Arkeologi Kolonial di Pulau Kisar.
Berita Penelitian Arkeologi. Vol. 2 Nomor 2 Juli 2006. Balai Arkeologi Ambon
........................, 2006b Tata Kota Ambon Abad XVI-XVIII. Kapata Arkeologi Vol.2
Nomr 2 Juli 2006. Balai Arkeologi Ambon.
Sahusilawane, Florence 1996, Laporan Penelitian Arkeologi Islam Maluku di
Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Balai Arkeologi Ambon.
www. wikipedia.com. The free encyclopedia
Top Related