PERANCANGAN INDUSTRI HASIL PERTANIAN
Dalam memenuhi kebutuhan produksi karet remah (Crumb Rubber)
nasional, diperlukan pabrik pengolahan Crumb Rubber untuk menunjang
kapasitas produksi karet remah nasional. Dalam perancangan kali ini, PT.
PRATAMA RUBBERINDO memiliki kemampuan untuk mendirikan sebuah
pabrik Crumb rubber Processing untuk memenuhi tuntutan itu
PROSPEK PEDAGANGAN CRUMB RUBBER
Indonesia merupakan negara produsen karet alam kedua terbesar di dunia
setelah Thailand. Pada tahun 2006, produksi karet alam mencapai 2,64 juta ton,
lebih dari 90% nya (2,45 juta ton) adalah jenis Crumb Rubber yang dihasilkan
oleh sekitar 115 pabrik Crumb Rubber di seluruh Indonesia. Industri Crumb
Rubber (karet remah) memiliki arti yang sangat penting bagi perolehan devisa
sekaligus penyerapan tenaga kerja. Sebagai gambaran pada tahun 2006, industri
crumb rubber berhasil meraup devisa ekspor senilai US$ 3,77 Milyar, hampir
50% dari nilai ekspor produk pertanian. Tenaga kerja yang terserap di bidang
produksi crumb rubber mencapai + 100.000, sedangkan dibidang penyediaan
bahan baku (petani karet) lebih dari 6 juta orang, belum termasuk para pedagang
pengumpul. Luas areal tanaman karet di Indonesia pada saat ini 3,309 juta ha,
dimana 84,49% (2,796 ha) merupakan perkebunan rakyat. Oleh karena itu, maju
mundurnya kinerja industri karet alam di dalam negeri akan memberikan dampak
yang cukup luas bagi kesejahteraan rakyat.
. Menurut data International Rubber Study Group (2007), dalam kurun
waktu 5 tahun terakhir konsumsi karet alam di dalam negeri meningkat rata-rata
sebesar 10,98 % per tahun, sedangkan di dunia internasional meningkat rata-rata
4,72 % per tahun. Peningkatan harga minyak bumi yang sangat tajam di pasaran
internasional, menyebabkan permintaan terhadap karet alam naik pesat, karena
karet sintetis yang bahan bakunya berasal dari fraksi minyak bumi harganya ikut
meningkat tajam. Terkait dengan hal itu beberapa lembaga perkaretan
internasional memprediksi permintaan karet alam dunia ke depan akan meningkat
lebih tinggi yaitu pada tahun 2007 diperkirakan sebesar 6,2 % dan tahun 2008
sebesar 7,5 %.
Peluang yang cerah bagi perkaretan nasional tentunya hanya bisa diraih
jika Indonesia mampu meningkatkan kinerja agroindustri karetnya, antara lain
melalui peningkatan mutu crumb rubber. Terkait dengan itu, akhir-akhir ini
banyak muncul keluhan (complaint) dari beberapa pihak pengimport karet alam
(terutama pabrik ban) terhadap mutu Crumb Rubber asal Indonesia, karena
disinyalir mengandung kontaminan kimiawi yang sangat berpengaruh terhadap
mutu produk karet hilirnya.
Bagi perekonomian nasional, karet merupakan komoditas perkebunan
yang sangat penting. Selain sebagai sumber lapangan kerja, komoditas ini juga
memberikan kontribusi yang signifikan sebagai salah satu sumber devisa non-
migas, pemasok bahan baku karet dan berperan penting dalam mendorong
pertumbuhan sentra-sentra ekonomi baru di wilayah-wilayah pengembangan
karet. Karet bersama-sama dengan kelapa sawit merupakan dua komoditas utama
penghasil devisa terbesar dari subsektor perkebunan. dalam kurun waktu 5 tahun
terakhir, karet menyumbang devisa dari 25% hingga 40% terhadap total ekspor
produk perkebunan.
Hasil kajian para pakar memperlihatkan bahwa prospek perdagangan karet
alam dunia sangat baik. Dalam jangka panjang, perkembangan produksi dan
konsumsi karet menurut ramalan ahli pemasaran karet dunia yang juga Sekretaris
Jenderal International Rubber Study Group, Dr. Hidde P. Smit, menunjukkan
bahwa konsumsi karet alam akan mengalami peningkatan yang sangat signifikan
dari 8,5 juta ton di tahun 2005, naik menjadi 9,23 pada tahun 2006, dan diprediksi
menjadi 11,9 juta ton pada tahun 2020.
Prospek bisnis pengolahan crumb rubber ke depan diperkirakan tetap
menarik, karena marjin keuntungan yang diperoleh pabrik relatif pasti. Marjin
pemasaran, antara tahun 2000-2006 berkisar antara 3,7%-32,5% dan marjin
keuntungan pabrik pengolahan antara 2-4% dari harga FOB, tergantung pada
tingkat harga yang berlaku. Tingkat harga FOB itu sendiri sangat dipengaruhi oleh
harga dunia yang mencerminkan permintaan dan penawaran karet alam, dan harga
beli pabrik dipengaruhi kontrak pabrik dengan pembeli/buyer (biasanya pabrik
ban) yang harus dipenuhi. Pada umumnya marjin yang diterima pabrik akan
semakin besar jika harga meningkat.
Pada awalnya sebagian besar karet alam Indonesia diperdagangkan dalam
bentuk karet lembaran yakni karet sit asap (RSS = ribbed smoked sheet), Namun
sejak diperkenalkan teknologi karet remah (crumb rubber) pada tahun 1968,
produksi karet sit secara dramastis menurun, beralih ke karet remah, tidak kurang
dari 90% produksi karet alam nasional setiap tahunnya merupakan karet remah.
Tingginya permintaan pasar terhadap karet remah untuk dijadikan bahan
pembuatan komponen teknik terutama ban kendaraan bermotor, dan ditunjang
dengan jaminan ketersediaan bahan bakunya (bahan olah karet), menyebabkan
perkembangan teknologi karet remah saat ini sudah sedemikian pesat. Pada tahun
1969 terdapat 65 pabrik, kini sekitar 115 pabrik karet remah yang aktif beroperasi
di Indonesia.
Tuntutan permintaan yang tinggi dari sektor transportasi terhadap karet
alam sukar dipenuhi oleh karet lembaran, karena karet jenis ini memerlukan
waktu pengolahan yang cukup lama yakni 7-14 hari. Dengan teknologi karet
remah, bahan olah karet secara cepat, kurang dari 1 hari dapat diolah menjadi
karet mentah yang siap untuk dijual. Selain itu, mutu karet remah dinilai
berdasarkan hasil analisis fisiko-kimia, sehingga dianggap lebih "fair "
dibandingkan mutu karet lembaran yang dinilai hanya berdasarkan pengamatan
visual dan bersifat subyektif.
Pada saat karet lembaran masih mendominasi produksi karet alam, petani
berperan sebagai penghasil lateks, dan banyak juga yang sekaligus sebagai
pengolahnya untuk dijadikan karet sit. Namun sejak penerapan teknologi karet
remah, petani umumnya hanya berperan sebagai penyedia bahan olah berupa lump
dan slab. Lump merupakan bahan olah karet yang dibuat dari lateks yang
digumpalkan menjadi berbentuk mangkok berdiameter sekitar 10-15 cm,
sedangkan slab berbentuk balok tipis hingga berukuran sekitar 35cmx50cm, tebal
20 cm.
Bahan olah karet dari petani dijual ke prosesor akhir yakni pabrik karet
remah untuk diolah menjadi karet remah jenis SIR (Standard Indonesian Rubber)
10, atau SIR 20. Pengolahan melibatkan serangkaian proses mulai dari pengecilan
ukuran, pencucian, homogenisasi, pengeringan dan pengemasan.
Sejak dimulainya era karet remah, SIR 20 senantiasa mendominasi jenis
karet remah yang diproduksi. Saat ini ekspor karet remah SIR 20 sekitar 85%.
Dengan demikian tampak bahwa bahan olah karet lump dan slab sangat penting
peranannya sebagai bahan baku untuk pembuatan karet remah. Pada Tabel 2.1
berikut ditampilkan perkembangan volume ekspor karet alam selama beberapa
tahun terakhir. Tampak untuk kurun waktu 5 tahun terakhir, karet SIR 20 sangat
dominan sebagai produks ekspor, rata-rata porsinya mencapai hampir 90%.
KLASIFIKASI INDUSTRI
Berdasarkan klasifikasi industri dari sektor ekonomi, pabrik Crumb
Rubber Processing ini tergolong kedalam Industri Primer, karena memproduksi
produk antara dengan menggunakan bahan baku yang berasal dari smberdaya
alam, yakni Lateks. Sedangkan berdasarkan skala usaha, pabrik Crumb rubber
Processing PT. PRATAMA RUBBERINDO ini tergolong kedalam Industri Besar,
karena membutuhkan modal inestasi diatas Rp. 500 Jt, yang mampu menyerap
tenaga kerja diatas 100 orang dan menggunakan teknologi mutakhir dalam proses
produksinya.
JENIS PRODUKSI
Komoditas karet saat ini diperdagangkan dalam bentuk primer dan turunan
atau hasil olahannya. Pada produk primer terdapat 3 golongan utama yaitu crumb
rubber, karet konvensional dan lateks pekat. Crumb rubber dalam istilah teknis
disebut juga sebagai TSR (technically spesified rubber) dan dalam perdagangan
karet alam dunia crumb rubber produksi Indonesia disebut sebagai SIR (Standard
Indonesian Rubber) yang terdiri atas beberapa jenis mutu, yaitu SIR 3L, SIR 3CV,
SIR 3WF, SIR 10 dan SIR 20. Jenis SIR 20 adalah jenis crumb rubber yang
sangat dominan, menguasai hampir 80% pangsa pasar dunia karena merupakan
bahan baku utama untuk ban kendaraan bermotor.
TENAGA KERJA
Untuk keperluan manajemen pabrik dan pengendalian mutu, untuk bagian
pengolahan lain, tenaga kerja yang diperlukan tidak mempersyaratkan pen-didikan
tinggi. Pendirian pabrik crumb rubber akan berdampak positif bagi penyerapan
tenaga kerja dari derah tersebut. Dalam perencanaan tenaga kerja langsung,
digunakan standar norma sebesar 4-6 HOK per ton crumb rubber. Oleh karena itu
Industri crumb rubber termasuk industri yang menyerap banyak tenaga kerja. Di
samping itu diperlukan tenaga kerja tidak langsung untuk administratif,
pengendalian mutu dan pimpinan yang jumlahnya ditentukan olah kapasitas
pabrik. Tenaga kerja untuk pabrik Crumb Rubber Processing PT. PRATAMA
RUBBERINDO ini setidaknya membutuhkan 138 orang.
LOKASI
Pabrik Crumb Rubber Processing PT. PRATAMA RUBBERINDO
didirikan diatas lahan seluas 5 ha di Kec. Muara Tebo, Kab. Tebo, Jambi.
Pemilihan lokasi ini menyangkut ketersediaan bahan baku yang sebagian besar
terdapat di wilayah Muara Bungo dan Muara Tebo. Wilayah Muara Bungo dan
Muara Tebo merupakan wilayah dengan luas perkebunan karet rakyat yang
mendekati 65% luas keseluruhan perkebunan karet rakyat di provinsi Jambi.
Pertimbangan pemilihan lokas ini juga didasari pada jarak distribusi ke
perusahaan mitra, yakni PT. GAJAH TUNGGAL, Tbk yang berlokasi di Kab.
Muara Tebo, Jambi. Distribusi Crumb Rubber ini nantinya akan memakai jalur
Lintas Barat (Jl. Lintas Sumatra) untuk mencapai efektifitas dalam distribusi
barang. Selain itu Crumb Rubber ini nantinya akan diekspor sebagai langkah
memaksimalkan market share dari PT. PRATAMA RUBBERINDO di mata
Internasional
TATA NIAGA BAHAN BAKU
Hingga saat ini produksi dan ekspor karet Indonesia didominasi oleh jenis
mutu SIR 20. Karena orientasi pemasaran karet adalah ekspor maka sistem
tataniaga bokar berfungsi sebagai penghubung antara petani sebagai produsen
bokar dengan ekportir yang pada umumnya juga sekaligus sebagai
prosesor/pengolah. Dengan teknologi pengolahan crumb rubber, peran petani
dalam sistem tataniaga bokar hanya terbatas sebagai penyedia bahan olah yang
bentuk dan mutunya masih sangat bervariasi.
Selanjutnya pengolahan bokar tersebut dilakukan secara terpusat di pabrik-
pabrik crumb rubber yang umumnya berlokasi jauh dari pusat-pusat produksi
karet rakyat. Setiap wilayah produksi karet rakyat memiliki variasi dalam saluran
tataniaganya, tetapi sebagai pola umum digambarkan secara skematis seperti
terlihat pada Gambar 4.1. Di dalam pola ini terlibat petani, pedagang perantara
tingkat desa, pedagang perantara tingkat kecamatan, pedagang perantara tingkat
kabupaten/propinsi dan pabrik pengolahan. KUD, kelompok tani, dan pasar lelang
telah masuk dalam sistem tataniaga bokar.
Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa sebagian besar rumah tangga
petani menjual karetnya kepada pedagang perantara, hanya sebagian kecil saja
petani yang menjual bokarnya ke pasar atau langsung ke pabrik pengolahan. Fakta
ini menunjukkan bahwa saluran tataniaga melalui pedagang perantara masih
dianggap lebih ‘menguntungkan’ dibandingkan dengan saluran lainnya.
Gambar 3.1. Pola umum pemasaran bahan olah karet rakyat
Secara historis terlihat bahwa dalam tataniaga bokar secara alamiah telah
terbentuk suatu sistem kelembagaan yang mengatur interaksi di antara pelaku-
pelaku pada sistem pemasaran bokar. Pada awal perkembangannya, karet ekspor
Indonesia termasuk karet rakyat masih dalam bentuk karet konvensional. Petani
menjual karetnya kepada pedagang tingkat desa yang pada umumnya juga sebagai
pedagang kebutuhan pokok atau pemilik rumah asap. Hubungan petani dengan
pedagang tingkat desa tersebut terbentuk dalam suatu kelembagaan dalam bentuk
aturan-aturan yang disepakati bersama yang mengatur tidak hanya terbatas pada
transaksi bokar tetapi juga dalam hal kebutuhan pokok petani. Karena unit
pengolahan rumah asap juga cukup tersebar, maka banyak petani yang juga
memperoleh keterampilan dalam pengolahan misalnya dalam pembuatan sit angin
atau malahan sit asap atau RSS. Dalam bentuk kelembagaan seperti ini
kebanyakan petani mengetahui benar mengenai mutu bokar yang dihasilkan untuk
bisa diolah menjadi RSS, sehingga menjadi insentif bagi petani untuk
menghasilkan bokar dengan mutu yang lebih baik.
Dalam perkembangan selanjutnya dengan sistem pengolahan crumb
rubber, pabrik pengolahan SIR tumbuh demikian cepatnya pada lokasi yang jauh
dari kebun petani untuk menampung bahan olah karet rakyat yang lokasinya
terpencar-pencar. Kapasitas terpasang pabrik SIR jauh melebihi bahan olah yang
dapat ditampung. Adanya permintaan yang meningkat terhadap bokar
mengakibatkan kecenderungan semakin besarnya peranan pedagang perantara dan
pembelian bokar di tingkat petani cenderung tidak lagi selektif terhadap mutu.
Petani hampir tidak memiliki jalinan hubungan dengan pabrik pengolahan
dan hubungan mereka terbatas hanya dengan pedagang pengumpul tingkat desa
yang secara langsung melakukan transaksi bokar dengan petani. Petani
menghasilkan bokar seolah-olah hanya memenuhi komitmen dengan pedagang
pengumpul yang hampir tidak pernah membedakan antara bokar mutu baik dan
jelek. Di pihak lain kondisi demikian mendorong meningkatnya jumlah pedagang
perantara sehingga secara teoritis akan meningkatkan persaingan di antara
pedagang dalam mendapatkan bokar dari petani, dan memberikan alternatif opsi
bagi petani dalam menjual bokarnya.
Program-program pengembangan karet rakyat di pusat-pusat produksi
karet rakyat melalui berbagai proyek, baik secara terpadu maupun secara parsial
dalam skala yang lebih kecil, telah memasukkan konsep kelembagaan formal
dalam sistem tataniaga bokar. Kelompok Tani, Gabungan Kelompok Tani,
Asosiasi Petani, Koperasi/KUD, pool lelang, kemitraan merupakan kelembagaan
formal dengan seperangkat aturan formal yang masuk dalam sitem kelembagaan
tataniaga karet rakyat. Organisasi pemasaran tersebut secara konsepsi tidak hanya
diperuntukkan bagi petani peserta proyek tetapi juga bisa dimanfaatkan sebagai
alternatif kelembagaan tataniaga bagi petani karet tradisional yang berada di
sekitar proyek.
PROSES PRODUKSI
Secara garis besar skema proses pengolahan crumb rubber disajikan pada
Gambar 5. Tahap-tahap utama pada pengolahan crumb rubber terdiri atas tahap
sortasi bahan olah, pencacahan dan pencampuran, pembuatan blanket (krep),
pengeringan awal (pre-drying), peremahan, pengeringan, dan pengemasan. Dilihat
dari diagram alir proses produksi seperti terlihat pada Gambar 5, teknologi proses
pengolahan crumb rubber relatif sederhana dan hanya pada umumnya menyangkut
transformasi fiksik bahan.
Pada bagian berikut dijelaskan secara garis besar proses pengolahan crumb
rubber khususnya untuk jenis mutu SIR 10/SIR 20. Secara garis besar proses
pengolahan crumb rubber terdiri atas sortasi bahan olah, pencacahan dan
pencampuran, pembuatan blanket/krep, pengeringan awal (pre-drying),
peremahan, pengeringan dan pengemasan.
INDIKASI KELAYAKAN
Analisis kelayakan industri crumb rubber dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh informasi kelayakan pendirian industri crumb rubber dengan
kapasitas 36.000 ton per tahun sesuai dengan daya dukung bahan baku dari suatu
wilayah sentra produksi dan skala ekonomi usaha industtri. Penilaian kelayakan
dilakukan menggunakan kriteria kelayakan investasi, yakni 1) net present value
(NPV), 2) internal rate of return (IRR), 3) net benefit cost ratio (Net B/C), dan 4)
pay back periode (PBP).
Analisis finansial didasarkan pada beberapa asumsi dasar sesuai dengan
kondisi aktual pada saat analisis dan hasil prediksi yang telah dilakukan. Di
samping itu analisis juga didasarkan pada standar norma yang telah baku
digunakan dalam analisis industri sejenis, hasil perhitungan yang telah dilakukan
pada aspek lain serta peraturan pemerintah. Asumsi- asumsi yang digunakan
dalam analisis ini adalah sebagai berikut:
a. Analisis finansial dilakukan dalam jangka waktu 10 tahun, di mana tahun
ke-0 digunakan sebagai tahap persiapan.
b. Kapasitas pabrik crumb rubber adalah 36.000 ton crumb rubber per tahun.
c. Dalam satu tahun ditetapkan sebanyak 300 hari kerja dan setiap hari
digunakan dua shift masing-masing 8 jam kerja.
d. Perhitungan finansial dilakukan dalam mata uang rupiah dengan nilai
tukar (exchange rate) terhadap US $ adalah Rp 9.300/US $.
e. Besarnya biaya penyusutan dihitung dengan metode garis lurus
(straightline method) yang disesuaikan dengan umur ekonomis masing-
masing modal tetap. Umur ekonomis bangunan adalah 20 tahun, mesin
dan peralatan 10 tahun dan kendaraan 5 tahun.
f. Biaya pemeliharaan dihitung sebesar 1% dari nilai sisa aset untuk
bangunan, 2% untuk mesin dan peralatan, 1,5% untuk instalasi
pendukung, 2% untuk peralatan kantor dan 3% untuk kendaraan.
g. Debt equity ratio (DER) adalah 70:30 yakni 70% modal pinjaman yang
diperoleh dari lembaga keuangan bank konvensional dan 30% modal
sendiri.
h. Harga karet jenis mutu SIR 20 dengan sistem FOB ditetapkan sebesar US
$ 2,3 per kg dan harga bokar di tingkat pabarik adalah sebesar 85% dari
harga FOB SIR 20.
i. Tingkat suku bunga pinjaman, baik untuk investasi maupun modal kerja,
ditetapkan masing-masing sebesar 13% per tahun.
Hasil analisis berdasarkan nilai kriteria kelayakan investasi untuk industri
crumb rubber dengan kapasitas 36.000 ton per tahun disajikan pada Tabel 4 dan
Tabel 5. Indusri crumb rubber dengan kapasitas 36.000 ton memerlukan invesasi
sebesar Rp 39,2 milyar dan modal kerja sebesar Rp 136,9 milyar. Komponen
investasi yang relatif menonjol adalah bangunan ruang produksi (44%) dan
mesin/peralatan (37%).
Tabel 4. Biaya investasi dan modal kerja industri crumb rubber (kap 36.000
ton/thn)
Secara finansial industri crumb rubber layak dikembangkan (Tabel 5).
Kriteria NPV bernilai positif yakni Rp 106,2 milyar, nilai IRR lebih besar dari
bunga bank yang ditetapkan yakni 37,3%, net B/C bernilai lebih dari satu yakni
1,7. Seluruh modal yang digunakan dalam industri ini dapat dikembalikan dalam
jangka waktu 7 tahun. Keempat kriteria kelayakan finansial tersebut memiliki
nilai yang searah mendukung bahwa investasi industri crumb rubber layak
dilakukan.
Tabel 5. Indikasi kelayakan finansial industri crumb rubber kapasitas 36.000
ton/thn
Tabel 6 menyajikan struktur biaya produksi pada industri crumb rubber.
Biaya produksi setiap kg produk crumb rubber adalah Rp 19.634 yang tersusun
atas beberapa komponen biaya. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa industri
crumb rubber pada dasarnya merupakan industri yang sangat sederhana, hanya
mentransformasi fisik bahan. Konsekuensi dari industri ini adalah proporsi biaya
untuk bahan baku utama berupa bahan olah karet merupakan proporsi yang sangat
dominan yaitu sebesar 96,6% dari total biaya produksi. Komponen lain yang
relatif besar peranannya adalah biaya utilitas dan biaya modal.
Tabel 6. Struktur biaya produksi industri crumb rubber
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI
Untuk mempercepat laju investasi di bidang agribisnis karet, diperlukan beberapa
kebijak-an pendukung sebagai berikut :
I. Penciptaan iklim investasi yang makin kondusif:
a. Pemberian kemudahan dalam proses perijinan.
b. Pembebasan pajak (tax holiday) selama tanaman atau pabrik belum
berproduksi.
c. Pemberian rangsangan kepada pengusaha untuk menghasilkan end product
bernilai tambah tinggi dengan prospek pasar yang cerah.
d. Adanya kepastian hukum dan keamanan baik untuk usaha maupun lahan
bagi perkebunan.
e. Penghapusan berbagai pungutan dan beban terhadap iklim usaha.
II. Pengembangan sarana dan prasarana berupa jalan, jembatan, pelabuhan, alat
transportasi, komunikasi, dan sumber energi (tenaga listrik).
III. Penyediaan dana untuk membiayai pengembangan industri hilir, peremajaan,
promosi dan peningkatan kapasitas SDM karet. Salah satu alternatif adalah
menghidupkan kembali penghimpunan dana dari hasil produksi/ekspor
(semacam CESS). Kelembagaan CESS tidak seperti dulu lagi tetapi
mengambil bentuk sebagai institusi yang bersifat independen di bawah
Departemen Keuangan dengan aturan main yang jelas dan sedemikian rupa
sehingga penggunaan dana mudah diawasi dan kembali untuk kepentingan
investasi di bidang perkebunan.
IV. Pengembangan sistem kemitraan antara petani dan perusahaan, misalnya
dengan pola ”PIR Plus”. Mulai pola ini, salah satu disainnya adalah : petani
tetap memiliki kebun beserta pohon karetnya, dan ikut sebagai pemegang
saham perusahaan yang menjadi mitranya. Dengan cara demikian, maka
kepastian bagi perusahaan untuk memperoleh bahan baku dalam jumlah
cukup lebih terjamin.
PENUTUP
- Investasi di sektor produksi crumb rubber dinilai memiliki peluang pasar yang
sangat cerah, seiring dengan pesatnya permintaan crumb rubber dari konsumen
utama terutama China, lalu disusul oleh Jepang, dan Amerika Serikat.
- Pra-FS industri crumb rubber ini merupakan tahap awal pada peren-canaan
pembangunan pabrik crumb rubber dengan sasaran pemasaran difokuskan untuk
ekspor.
- Hasil analisis finansial menampilkan indikasi awal bahwa investasi pabrik
berkapasitas 36.000 ton/th, dinilai layak ditinjau dari beberapa kriteria kelayakan
investasi, yakni NPV bernilai positif, nilai IRR lebih besar dari bunga bank yang
ditetapkan, dan net B/C bernilai lebih dari satu,
- Pemilihan lokasi pabrik sangat kritis karena akan menentukan kelancaran
pemenuhan seluruh parameter biaya input-output. Provinsi Jambi terpilih sebagai
provinsi yang paling sesuai untuk pengembangan investasi pem-bangunan pabrik
crumb rubber yang baru, berdasarkan berbagai pertim-bangan kriteria-kriteria
penentu-nya yakni: (a) ketersediaan bahan baku, (b) kondisi infra struktur, (c)
ketersediaan sumberdaya air, (d) ketersediaan sumber daya listrik dan bahan
bakar, dan (e) dukungan kebijakan pemerintah daerah. Selanjutnya ditetap-kan
Kab. Muara Tebo sebagai lokasi
Investasi, dengan pertimbangan utama adalah masih tersedianya pasokan
bahan baku, dimana Kab. Muara Tebo yang berdampingan dengan Kab. Muara
Bungo memiliki areal dan produksi paling besar di Provinsi Jambi.
Top Related