PENYIAPAN KELAYAKAN PERSYARATAN DASAR DAN PENYUSUNAN RENCANA HACCP
(Hazard Analysis Critical Control Point) UNTUK PRODUKSI MI KERING PADA PT KUALA PANGAN
DI CITEUREUP, BOGOR
AGUS SUDIBYO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir Penyiapan Kelayakan
Persyaratan Dasar dan Penyusunan Rencana HACCP (Hazard Analysis Critical
Control Point) Untuk Produksi Mi Kering Pada PT Kuala Pangan di Citeureup,
Bogor adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian Akhir
Tugas Akhir ini.
Bogor, Juli 2008
Agus Sudibyo
ABSTRACT
AGUS SUDIBYO. Preparation of Prerequisite Programs and HACCP (Hazard
Analysis Critical Control Point) Plan Establishment for Dry Noodle Production In
PT Kuala Pangan at Citeureup, Bogor. Under the supervision of BETTY SRI
LAKSMI JENIE and SUTRISNO KOSWARA.
The aim of this study was to prepare the prerequisite programs (PRP) and
HACCP Plan for dry noodle production in PT Kuala Pangan at Citeureup, Bogor.
The methodology of the research was conducted by steps as follows : Data base
of the existing conditions related to PRP or GMP implementation of the industry
were first evaluated. Second step was to establish HACCP Plan for dry noodle
according to Indonesian standard (SNI) 01.4852-1998 and its guideline for
implementation, and finally giving recommendation to the company regarding
steps needed in developing, implementing and certification of HACCP systems.
Observation and inspection on the existing of GMP implementation at the
company resulted in good category. There were 13 findings need to be
addressed attention before HACCP implementation. The chemical hazards such
as (Pb, Cu, Hg and As) come from wheat flour and salt will be controlled by
supplier control because there was no elimination step in noodle production;
while biological hazards from wheat flour and dry eggs flour (E. coli, coliform
group, Salmonella, Staphylococcus) will be controlled by drying process as
critical control point or CCP, while from de-mineralized water is controlled by
sanitation standard operating procedures (SSOP). The microbiological hazards
contamination were also observed during processing steps which come from the
equipments and personnel. All these hazards will be controlled by SSOP and
GMP (personnel hygiene). Based on the result, it was concluded that PRP
programs (GMP) should be improved before implementation and the HACCP
Plan should be finalized and implementation before certification.
Keyword : Dry noodle, HACCP Plan, GMP, CCP, SSOP.
ABSTRAK
AGUS SUDIBYO. Penyiapan Kelayakan Persyaratan Dasar dan Penyusunan
Rencana HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) Untuk Produksi Mi
Kering Pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor. Dibimbing oleh BETTY SRI
LAKSMI JENIE and SUTRISNO KOSWARA.
Tujuan dari penelitian ini adalah mempersiapkan kelayakan persyaratan
dasar dan menyusun rencana HACCP (HACCP Plan) pada produksi mi kering pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor sebagai studi kasus. Penelitian ini dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : Pertama, melakukan evaluasi terhadap kondisi kelayakan persyaratan dasar atau good manufacturing practice (GMP) di perusahaan PT Kuala Pangan sebelum mengimplementasikan sistem HACCP; kedua, menyusun rencana HACCP untuk produksi mi kering pada PT Kuala Pangan sesuai dengan SNI 01. 4852-1998 yang terdiri dari 7 prinsip HACCP dan 12 langkah penerapan sistem HACCP; dan terakhir memberikan rekomendasi rencana pengembangan sistem HACCP di perusahaan yang akan diimplementasikan dan disertifikasikan ke lembaga akreditasi sistem HACCP. Berdasarkan pengamatan dan inspeksi yang dilakukan di lapangan atas penerapan cara produksi pangan yang baik atau GMP, masuk dalam tingkat (rating) kategori B (baik) dan ditemukan 13 penyimpangan atau ketidaksesuaian, yaitu 1 kategori serius, 6 kategori mayor dan 6 kategori minor. Penyimpangan-penyimpangan tersebut perlu diperbaiki terlebih dahulu sebelum menerapkan HACCP. Bahaya kimia seperti logam-logam berat (Pb, Cu, Hg dan As) berasal dari bahan baku tepung terigu dan garam perlu dikendalikan sebagai control point (CP) dengan cara kontrol terhadap pemasok/supplier karena pada perusahaan tidak ada tahap untuk mengeliminasi bahaya kimia pada proses produksinya; sedangkan bahaya biologis pada bahan baku tepung terigu dan tepung telur (E. coli, coliform group, Salmonella dan Staphylococcus) akan dikendalikan pada tahap pengeringan sebagai titik kendali kritis atau CCP; dan untuk air perlu dikendalikan dengan penerapan sanitation standard operating procedure (SSOP). Bahaya mikrobiologi (Staphylococcus dan biofilm) karena adanya kontaminasi juga dikendalikan pada proses dan peralatan produksi, terutama yang berasal dari kontaminasi alat dan karyawan. Semua bahaya pada tahapan proses produksi dan peralatan yang berasal dari kontaminasi alat dan karyawan ini dikendalikan dengan SSOP dan GMP (higiene karyawan). Berdasarkan penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menerapkan dan mengembangkan sistem HACCP di perusahaan adalah program kelayakan persyaratan dasar atau GMP perlu diperbaiki terlebih dahulu sebelum implementasi sistem HACCP, dan rencana HACCP (HACCP Plan) yang telah disusun perlu difinalisasi dan diimplementasikan di perusahaan sebelum disertifikasikan ke Lembaga/Badan Sertifikasi HACCP. Kata kunci : Mi kering, rencana HACCP, GMP, SSOP, CCP.
RINGKASAN
AGUS SUDIBYO. Penyiapan Kelayakan Persyaratan Dasar dan Penyusunan
Rencana HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) Untuk Produksi Mi
Kering Pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor. Dibimbing oleh BETTY SRI
LAKSMI JENIE dan SUTRISNO KOSWARA.
Mi merupakan salah satu produk pangan yang saat ini banyak digemari mulai dari anak-anak sampai orang dewasa, karena rasanya enak, praktis dan mudah cara penyajiannya. Maraknya penggunaan formalin dan boraks pada bahan pangan seperti mi basah atau mi mentah, bakso, tahu, ikan asin, ikan segar dan ayam potong pada tahun 2005-2007 yang dilaporkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berdampak negatif pada industri pembuat mi kering yang mengalami penurunan. Hal tersebut juga berdampak pada citra produk pangan Indonesia di mata konsumen serta berdampak pada kemampuan bersaing produk pangan yang dihasilkan oleh industri pangan di Indonesia. Salah satu usaha untuk menjamin mutu dan keamanan pangan adalah pengembangan dan penerapan sistem HACCP pada industri pangan. Sistem HACCP ini sudah dikenalkan oleh Codex Alimentarius Commission (CAC) ke negara-negara anggota termasuk di Indonesia; dan telah ditetapkan oleh organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO) sebagai sistem standar penjamin keamanan pangan pada perdagangan pangan internasional. Di Indonesia, sistem HACCP ini telah diadopsi oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) yang ditetapkan dalam SNI 01. 4852-1998.
Penelitian bertujuan untuk : (a) Mempersiapkan kelayakan persyaratan
dasar atau good manufacturing practice (GMP) pada perusahaan PT Kuala Pangan; (b) Menyusun rencana HACCP (HACCP Plan) untuk produksi mi kering pada perusahaan PT Kuala Pangan; dan (c) Merekomendasikan untuk pengembangan sistem HACCP di perusahaan PT Kuala Pangan. Manfaat penelitian ini adalah dengan tersusunnya rencana HACCP yang didukung dengan pemenuhan GMP serta diimplementasikan sistem HACCP dalam perusahaan, maka perusahaan tersebut diharapkan : (1) Mampu dan sanggup menghasilkan produk pangan yang memenuhi persyaratan keamanan pangan bagi kepentingan kesehatan manusia, (2) Meningkatkan jaminan keamanan pangan terhadap produk pangan yang dihasilkan oleh perusahaan, (3) Mencegah terjadinya penarikan produk pangan yang dihasilkan, dan (4) Meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap perusahaan atas produk pangan yang dihasilkannya.
Penelitian ini dilakukan di perusahaan PT Kuala Pangan yang berlokasi di
Jalan Depan Terminal Kav. 23-25 Citeureup, Bogor selama 6 bulan dari awal bulan Oktober 2007 sampai dengan akhir bulan Maret 2008. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : bahan baku utama tepung terigu dan air, bahan pembantu utama garam dan tepung telur, serta bahan tambahan pangan (BTP) berupa garam alkali (natrium dan kalium karbonat) dan bahan pewarna tartrazin CI 1940. Semua bahan-bahan tersebut diperoleh dan berasal dari perusahaan PT Kuala Pangan dan digunakan untuk tujuan : percobaan proses produksi, sebagai sampel (contoh) untuk pengujian di laboratorium yang
sudah terakreditasi, untuk identifikasi dan analisis bahaya, serta verifikasi dan validasi sistem HACCP. Selain bahan-bahan tersebut , digunakan pula bahan-bahan lain yang terdiri : (1) Check list Form A untuk penilaian GMP yang dikeluarkan dari Badan POM untuk mengidentifikasi dan mengetahui implementasi program kelayakan persyaratan dasar atau good manufacturing practice (GMP) yang sudah dijalankan perusahaan sebelum menerapkan sistem HACCP, (2) Formulir/lembar kertas kerja untuk penentuan deskripsi produk, (3) Formulir/lembar kertas untuk pembuatan diagram alir proses produksi, (4) Formulir/lembar kertas kerja untuk analisis dan evaluasi bahaya, (5) Formulir/lembar kertas kerja untuk penentuan titik kendali kritis atau critical control point (CCP), (6) Formulir/lembar kertas kerja untuk pengendalian dan pemantauan rencana sistem HACCP atau HACCP Plan. Penelitian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : Pertama, melakukan evaluasi terhadap kelayakan persyaratan dasar atau GMP di perusahaan dengan cara observasi di lapang, wawancara, pengamatan keadaan nyata dan pencatatan data yang ada di perusahaan untuk mengetahui sejauh mana kondisi kesiapan perusahaan dalam rencana menerapkan sistem HACCP dan hal-hal apa yang perlu diperbaiki untuk rencana penerapan sistem HACCP tersebut; Kedua, menyusun rencana HACCP untuk produksi mi kering di perusahaan sesuai dengan SNI 01. 4852-1998 yang mencakup 7 prinsip HACCP dan 12 tahap/langkah penerapan HACCP untuk mengetahui bahaya potensial pada bahan baku dan bahan lainnya, proses dan peralatan produksi yang digunakan untuk memproduksi mi kering yang perlu dikendalikan dan dimonitor dalam sistem HACCP; dan Ketiga, memberikan rekomendasi rencana pengembangan sistem HACCP di perusahaan berdasarkan studi dan kajian yang dilakukan pada tahap-tahap sebelumnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan observasi dan inspeksi
di lapangan atas penerapan GMP di perusahaan menggunakan kriteria penilaian pada check list Form A dari Badan POM ditemukan 13 penyimpangan, yaitu aspek bangunan (2 penyimpangan berkategori minor), aspek fasilitas sanitasi (3 penyimpangan berkategori minor), aspek peralatan (1 penyimpangan berkategori minor), aspek higiene karyawan (1 penyimpangan berkategori serius dan 3 berkategori mayor), aspek penyimpanan (1 penyimpangan mayor), aspek pemeliharaan sarana pengolahan dan sanitasi serta pengendalian hama (1 penyimpangan berkategori mayor) dan aspek manajemen dan pelatihan (1 penyimpangan berkategori mayor). Hasil penilaian kondisi penerapan GMP ini sesuai dengan standar yang dikeluarkan Badan POM termasuk dalam tingkat (rating) B (Baik). Penyimpangan-penyimpangan tersebut merupakan penyimpangan yang sangat penting yang harus segera diatasi sebelum diterapkannya sistem HACCP di perusahaan.
Bahaya potensial pada bahan baku, bahan penolong/pembantu dan
bahan tambahan pangan yang perlu dikendalikan adalah bahan baku tepung terigu, garam, tepung telur dan air. Pada bahan baku tepung terigu dan dan tepung telur, bahaya potensialnya adalah bakteri patogen E. coli, coliform, Salmonella, dan Staphylococcus serta cemaran logam-logam berat seperti timbal (Pb), tembaga (Cu), merkuri (Hg), dan arsen (As). Cemaran logam-logam berat pada bahan baku tepung terigu dan garam perlu dikendalikan sebagai control point (CP) dengan cara kontrol terhadap pemasok/supplier karena bahaya kimia berupa logam-logam berat tersebut dalam proses produksinya tidak dapat dieliminasi secara khusus oleh perusahaan; begitu pula untuk cemaran bakteri patogen E. coli, Salmonella, Staphylococcus pada bahan baku tepung terigu dan
tepung telur perlu dikendalikan sebagai control point (CP) melalui kontrol terhadap supplier, sedang air dikendalikan dengan penerapan SSOP keamanan air secara efektif. Pada bahan tambahan pangan (BTP) natrium dan kalium karbonat serta pewarna tartrazin bahaya potensialnya relatif tidak ada, tetapi dapat disebabkan oleh penggunaan dosis yang tidak tepat atau melebihi batas maksimal yang diizinkan oleh Badan POM, sehingga perlu dikendalikan sebagai Control point (CP) melalui penimbangan kedua jenis bahan yang tepat (penerapan SSOP) dan GMP secara efektif dan konsisten. Sedangkan bahaya potensial pada tahapan proses dan peralatan produksi adalah berupa kemungkinan terkontaminasinya bakteri patogen dari pekerja/karyawan dan peralataan yang digunakan dalam proses produksi serta tumbuhnya bakteri biofilm pada unit peralatan mixer, roll presser, slitter dan cutter; oleh karena itu perlu dikendalikan melalui SSOP peralatan yang kontak dengan produk secara efektif, dan melalui SSOP pengendalian kesehatan karyawan dan higiene personil. Kecuali untuk tahap proses pengeringan harus dikendalikan sebagai titik kendali kritis atau CCP, karena dirancang khusus untuk/spesifik untuk menghilangkan/ memusnahkan bahaya berupa bakteri patogen E. coli, Salmonella, Staphylococcus yang berasal dari bahan tepung terigu, tepung telur, dan air yang digunakan.
Untuk pengembangan sistem HACCP di perusahaan PT Kuala Pangan
direkomendasikan sebagai berikut : (1) Perbaikan terhadap penerapan GMP di perusahaan terlebih dahulu sebelum menerapkan sistem HACCP sehingga dapat masuk dalam penilaian tingkat (rating) 1 (sangat baik), (2) Melakukan kaji ulang (review) akhir konsep rencana HACCP (HACCP Plan) yang sudah disusun sebelum melaksanakan implementasinya secara penuh, termasuk melengkapi data validasi dan verifikasi terhadap rencana HACCP yang sudah ditetapkan; dan (3) Jika semuanya sudah memenuhi syarat, maka meminta Lembaga/Badan Sertifikasi Sistem HACCP untuk dilakukan sertifikasi terhadap sistem HACCP yang telah diimplementasikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kondisi kelayakan persyaratan dasar atau GMP di perusahaan PT Kuala Pangan mempunyai fondasi yang baik untuk penerapan sistem HACCP, meskipun masih ada beberapa penyimpangan yang perlu diperbaiki terlebih dahulu sebelum menerapkan sistem HACCP. Untuk mengembangkan sistem HACCP di PT Kuala Pangan, langkah yang paling efektif dan efisien adalah mengintegrasikan aspek GMP yang telah diterapkan perusahaan ke dalam sistem HACCP sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam SNI 01.4852-1998.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber .
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENYIAPAN KELAYAKAN PERSYARATAN DASAR DAN PENYUSUNAN RENCANA HACCP
(Hazard Analysis Critical Control Point) UNTUK PRODUKSI MI KERING PADA PT KUALA PANGAN
DI CITEUREUP, BOGOR
AGUS SUDIBYO
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesi Teknologi Pangan pada Program Magister Profesi Teknologi Pangan
Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2008
\
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tugas Akhir : Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc
Judul Tesis : Penyiapan Kelayakan Persyaratan Dasar (GMP) dan Penyusunan
Rencana HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) Untuk
Produksi Mi Kering Pada PT Kuala Pangan Di Citeureup, Bogor.
Nama : Agus Sudibyo
NIM : F. 252050175
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS. Ir. Sutrisno Koswara, Msi.
(Ketua) (Anggota)
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Magister Profesi Teknologi Pangan
Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, MS
Tanggal Ujian : ................................ Tanggal Lulus : .....................................
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Esa yang telah memberi berkat dan bimbingan kepada penulis sehingga tesis ini dapat dirampungkan/ diselesaikan. Pemahaman akan kaidah-kaidah ilmiah terasa bertambah dari waktu ke waktu selama studi dilakukan, berkat bimbingan yang tak kenal lelah dari komisi pembimbing, yaitu Ibu Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS sebagai Ketua dan Bapak Ir. Sutrisno Koswara, Msi. sebagai anggota. Kepada beliau-beliaulah penghargaan dan terimakasih yang setinggi-tingginya pertama-tama penulis sampaikan. Kedua, ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc. sebagai tim penguji dari luar Komisi Pembimbing yang telah memberikan masukan berharga bagi penyempurnaan Tesis ini.
Penyiapan kelayakan persyaratan dasar dan penyusunan rencana HACCP (HACCP Plan) untuk produksi mi kering pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor ini didasarkan pada studi kasus untuk membantu mempersiapkan perusahaan dalam menerapkan sistem HACCP dan rencana sertifikasinya guna menjamin produk mi kering yang dihasilkan. Penerapan dan pengembangan sistem HACCP tersebut, diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif jawaban bagi perusahaan PT Kuala Pangan untuk meningkatkan daya saing perusahaannya.
Studi ini tidak akan mungkin dilakukan tanpa bantuan berbagai pihak. Terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada perusahaan PT Kuala Pangan yang telah menyediakan diri dipakai untuk studi kasus beserta karyawannya; atas kerjasama dan dukungannya yang baik dan cukup konsisten selama pelaksanaan studi. Terima kasih pula kepada Pimpinan Balai Besar Industri Agro (BBIA) dan stafnya serta kepada semua pihak yang turut membantu peneyelesaian tulisan ini yang tidak mungkin disebutkan satu per satu.
Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan pula kepada Bapak Ir. Yang Yang Setiawan, MSc., Kepala Balai Besar Industri Agro (BBIA) Bogor yang sebagai atasan bukan hanya memberikan keleluasaan waktu kepada penulis, namun juga secara pribadi ikut mendukung dalam membantu memberikan komitmen pembiayaan melalui anggaran DIPA BBIA Bogor.
Terakhir, penulis ingin menyampaikan hormat dan terima kasih yang tinggi kepada Dr. Lily Siana Dewi Hoetomo, yang sebagai seorang isteri selalu mendorong penulis untuk mengembangkan ilmu dan berkarya. Beliaulah yang menyarankan penulis untuk mengambil program Magister Profesional Teknologi Pangan ini. Juga kepada ananda Andreas Alphadeo Adetomo, yang selalu memberi semangat dan pengertian yang tinggi selama pekerjaan ini diselesaikan.
Semoga karya ilmiah bermanfaat.
Bogor, Juli 2008. Agus Sudibyo.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Klaten (Jawa Tengah) pada tanggal 6 Juli 1957 dari
ayah FX Soebroto Djojowiratmo (alm.) dan ibu Christiana Kasiyem (alm.). Penulis
merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Pendidikan Sekolah Dasar
ditempuh di SD Tegalyoso II Klaten, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri
II Klaten dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri I Klaten. Pendidikan
Sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1978 dan
menamatkannya pada tahun 1982. Penulis pernah bekerja di PT Berca Jakarta
dari tahun 1982 hingga akhir tahun 1984. Pada tahun 1984 hingga sekarang
penulis bekerja di Balai Besar Industri Agro (BBIA) Bogor, di bawah Badan
Penelitian dan Pengembangan Industri, Departemen Perindustrian sebagai
tenaga fungsional peneliti. Selama bekerja di BBIA Bogor, penulis pernah
berkesempatan mendapat tugas belajar di Department of Food, Technology and
Life Science, Cornell University, Ithaca, New York states USA dalam bidang
Food Science and Technology pada tahun 1993 dan di Department of Food
Science and Technology, Maryland University, Maryland state USA serta Food
Drug and Administration (FDA) di Washington, DC - USA dalam bidang Food
Safety System pada tahun 1999. Setahun kemudian penulis ditugaskan lagi di
Australian Government Analytical Laboratories (AGAL) dan Australian
Quarantine and Inspection Service (AQIS) di Perth, Western Australia dalam
bidang Food Safety Monitoring for Small Food Industry pada tahun 2001. Pada
tahun 2005, penulis diterima melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan,
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor (IPB). Jabatan fungsional peneliti penulis sekarang di Balai
Besar Industri Agro (BBIA) Bogor adalah Peneliti Madya.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK/ABSTRACT .............................................................................. iv
KATA PENGANTAR ................................................................................. ix
DAFTAR ISI ............................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xviii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xix
I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. LATAR BELAKANG ........................................................................ 1
B. TUJUAN ........................................................................................... 5
C. KEGUNAAN/MANFAAT ................................................................ 6
II. DESKRIPSI UMUM PERUSAHAAN PT KUALA PANGAN ............ 7
A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN ................. 7
B. LOKASI PABRIK ............................................................................. 7
C. STRUKTUR ORGANISASI DAN KETENAGAKERJAAN ........... 8
D. SARANA PENUNJANG PRODUKSI .............................................. 10
1. Air .................................................................................................. 11
2. Tenaga Listrik ................................................................................ 11
3. Sumber Tenaga Uap ....................................................................... 12
4. Peralatan Produksi .......................................................................... 12
E. JENIS PRODUK PERUSAHAAN PT KUALA PANGAN ............. 14
III. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 16
A. BAHAN BAKU DAN BAHAN LAIN SERTA PROSES
PRODUKSI MI KERING ................................................................ 16
1. Bahan Baku Utama ....................................................................... 18
2. Bahan Baku Pembantu .................................................................. 18
3. Bahan Tambahan Pangan (BTP) .................................................... 20
4. Bahan Kemasan .............................................................................. 23
5. Proses Produksi Mi Kering ............................................................ 24
Halaman
B. CEMARAN PADA MI KERING ..................................................... 30
1. Cemaran Mikrobiologis ................................................................ 30
2. Cemaran Kimia ............................................................................. 32
3. Cemaran Fisik ............................................................................... 33
C. PERMASALAHAN KEAMANAN PANGAN PADA
INDUSTRI PANGAN ...................................................................... 33
D. PENERAPAN GMP SEBAGAI PERSYARATAN
KELAYAKAN DASAR DALAM SISTEM HACCP ...................... 37
E. PRINSIP HACCP DAN IMPLEMENTASINYA DALAM
INDUSTRI PANGAN ...................................................................... 40
1. Definisi dan Terminologi HACCP ................................................ 40
2. Prinsip HACCP Dan Implementasinya Dalam Industri Pangan .... 43
F. KENDALA DALAM PENERAPAN SISTEM HACCP .................. 56
1. Kurangnya Manajemen Komitmen ............................................... 57
2. Hambatan Mental (Psikologis) ...................................................... 58
3. Hambatan Organisasi .................................................................... 59
4. Hambatan Dalam Biaya Implementasi dan Operasi
Sistem HACCP .............................................................................. 59
5. Konsepsi Yang Salah tentang Sistem HACCP .............................. 60
IV. METODOLOGI ..................................................................................... 63
A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN ......................................... 63
B. BAHAN DAN ALAT ....................................................................... 63
C. METODE PENELITIAN ................................................................... 64
1. Melakukan Evaluasi Kondisi Kelayakan Persyaratan Dasar
(GMP) di Perusahaan .................................................................... 64
2. Menyusun Rencana HACCP (HACCP Plan) Untuk
Produksi Mi Kering di PT Kuala Pangan ....................................... 65
3. Memberikan Rekomendasi Untuk Pengembangan Sistem
HACCP di Perusahaan PT Kuala Pangan ...................................... 78
Halaman
V. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 79
A. EVALUASI KONDISI KELAYAKAN PERSYARATAN
DASAR (GMP) DI PERUSAHAAN ............................................... 79
B. PENYUSUNAN RENCANA HACCP (HACCP PLAN) UNTUK
PRODUKSI MI KERING PADA PT KUALA PANGAN ............. 94
1. Melakukan Pelatihan Sistem HACCP ......................................... 94
2. Menetapkan Kebijakan Mutu Dan Kemanan Pangan ................. 97
3. Pembentukan Tim HACCP ......................................................... 98
4. Deskripsi Produk Dan Identifikasi Pengguna ............................. 100
5. Penentuan Dan Verifikasi Diagram Alir Proses .......................... 101
6. Analisis Bahaya Dan Penentuan Tindakan Pencegahannya ........ 114
7. Menentukan Titik Kendali Kritis ................................................ 132
8. Menentukan Batas Kritis ............................................................. 146
9. Menetapkan Prosedur Monitoring ............................................... 147
10. Menetapkan Prosedur Tindakan Koreksi .................................... 148
11. Menetapkan Tindakan Verifikasi ................................................ 149
12. Menetapkan prosedur Sistem Dokumentasi ................................ 158
13. Menetapkan Prosedur Pengaduan Konsumen ............................. 160
14. Menetapkan Prosedur Recall ....................................................... 162
15. Kendala Dalam Penerapan HACCP di PT Kuala Pangan ........... 162
C. REKOMENDASI UNTUK PENGEMBANGAN SISTEM
HACCP DI PERUSAHAAN ........................................................... 164
1. Perbaikan Penerapan GMP Di Perusahaan PT Kuala Pangan ..... 164
2. Pengembangan Sistem HACCP Di Perusahaan
PT Kuala Pangan .......................................................................... 166
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 168
A. KESIMPULAN .............................................................................. 168
B. SARAN ........................................................................................... 171
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 172
LAMPIRAN ................................................................................................. 182
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Syarat Mutu Mi Kering Menurut SNI 01-2974-1992 ................... 15
Tabel 2. Syarat Mutu Tepung Terigu Menurut SNI 01. 3751-2006 ........... 17
Tabel 3. Persyaratan Kualitas Air Minum Menurur PerMenKes
No. 907/MenKes/SK/VII/2002 tanggal 29 Juli 2002 .................... 18
Tabel 4. Syarat Mutu Garam Konsumsi Beryodium menurut
SNI 01.3556-2000 ......................................................................... 19
Tabel 5. Standar Mutu Tepung Telur Ayam Menurut FDA-USA .............. 20
Tabel 6. Kadar Tartrazin Dalam Produk Pangan yang Dikonsumsi
oleh Responden Dibandingkan dengan kandungan Tartrazin
yang Ditetapkan Dalam Regulasi .................................................. 23
Tabel 7. Persentase Industri Pangan yang Sudah Memahami dan
Menerapkan Aspek Keamanan Pangan .......................................... 35
Tabel 8. Persentase Industri kecil Pangan yang Mengimplementasikan
dan Tidak Mengimplementasikan Higiene ................................... 36
Tabel 9. Langkah-langkah Penerapan dan Pengembangan Sistem HACCP
Dalam Industri Pangan Menurut NACMCF (National Advisory
Committee on Microbiological Criteria for Foods) dan CAC
(Codex Alimentarius Commission) ............................................... 45
Tabel 10. Bahaya Mikrobiologis (Mikroba, Virus, dan Parasit) yang
Dibagi Berdasarkan Risiko Keparahan Bahayanya ....................... 47
Tabel 11. Bahan Kimia Berbahaya pada Pangan ......................................... 48
Tabel 12. Material Utama yang Menyebabkan Bahaya Fisik ...................... 49
Tabel 13. Karakteristik Bahaya pada Produk Pangan .................................. 50
Tabel 14. Penetapan Kategori Risiko Produk Pangan ................................. 50
Tabel 15. Penetapan Kategori Risiko Suatu Bahan Pangan ......................... 51
Tabel 16. Matriks Risiko Boevee (Matriks Penentuan Signifikansi
Bahaya .......................................................................................... 70
Halaman
Tabel 17. Tingkat Keseriusan Mikroorganisme Patogen ............................. 70
Tabel 18. Hasil Identifikasi Penyimpangan/Ketidaksesuaian Dalam
Penerapan Unsur-Unsur GMP di Perusahaan .............................. 80
Tabel 19. Hasil Pengamatan Terhadap Pelaksanaan SSOP di
Perusahaan ................................................................................... 88
Tabel 20. Pemantauan pada Program Sanitation Standard Operating
Procedure (SSOP) di Perusahaan ……………………………….. 92
Tabel 21. Materi yang Diajarkan dalam Pelatihan Sistem HACCP di
Perusahaan PT Kuala Pangan ...................................................... 95
Tabel 22. Hasil Evaluasi Penilaian Tingkat Pengertian dan Pema-
haman Peserta (Sebelum dan setelah) Pelatihan .......................... 96
Tabel 23. Struktur Organisasi Tim HACCP di perusahaan PT Kuala
Pangan .......................................................................................... 98
Tabel 24. Uraian Tugas Tim HACCP di Perusahaan PT Kuala
Pangan ......................................................................................... 99
Tabel 25. Deskripsi Produk Mi Kering Produksi PT Kuala Pangan ............ 101
Tabel 26. Analisis dan Evaluasi Bahaya serta Tindakan Pencegahan-
nya pada Bahan Baku di PT Kuala Pangan.................................. 115
Tabel 27. Hasil Pengujian Cemaran Fisik, Kimia, dan Mikroba pada
Bahan Baku tepung Terigu .......................................................... 124
Tabel 28. Hasil pengujian Cemaran Fisik, Kimia, dan Mikroba pada
Bahan baku Tepung Telur............................................................. 125
Tabel 29. Hasil Pengujian Cemaran Fisik dan Kimia pada Bahan
baku Garam Konsumsi Beryodium .............................................. 125
Tabel 30. Hasil Pengujian Cemaran Fisik, Kimia, dan Mikroba pada
Air di Perusahaan ......................................................................... 125
Tabel 31. Hasil Pengujian Cemaran Logam-logam Berat dan arsen
pada Produk Mi Kering ................................................................ 131
Halaman
Tabel 32. Identifikasi Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) pada
Proses Produksi Mi Kering di PT Kuala Pangan ......................... 133
Tabel 33. Batas Kritis Yang Ditetapkan pada CCP Untuk Produksi
Mi kering di PT Kuala Pangan ..................................................... 146
Tabel 34. Hasil pengujian Cemaran Logam-logam Berat dan arsen
Pada Bahan Baku Tepung Terigu dan Garam serta Bak-
teri patogen pada Produk Mi Kering ............................................ 147
Tabel 35. Rencana HACCP (HACCP Plan) pada Produksi Mi Kering
pada Perusahaan PT Kuala Pangan .............................................. 150
Tabel 36. Rencana Pemantauan Control Point (CP) pada Proses Produksi
Mi Kering di Perusahaan PT Kuala Pangan .................................. 151
Tabel 38. Beberapa Contoh Dokumen dan Rekaman pada Penerapan
Sistem HACCP di PT Kuala Pangan ........................................... 160
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Mi Kering pada PT Kuala
Pangan di Citeureup, Bogor ....................................................... 25
Gambar 2. Diagram Alir Pohon Penentuan Titik Kendali Kritis
Atau Critical Control Point (CCP) (Sumber : BSN,
1998; CAC, 1997) ....................................................................... 53
Gambar 3. Diagram Alir Pohon Penentuan Titik Kendali Kritis atau
CCP Untuk Pengembangan Rencana HACCP (HACCP Plan)
di PT Kuala Pangan ..................................................................... 73
Gambar 4. Diagram Alir Proses Produksi Mi Kering Di PT Kuala
Pangan Hasil Verifikasi di Lapangan ......................................... 103
Gambar 5. Diagram Penanganan Pengaduan Konsumen Di PT Kuala
Pangan ........................................................................................ 161
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Denah Site Plant pada PT Kuala Pangan, Citeureup
Bogor ...................................................................................... 182
Lampiran 2. Struktur Organisasi pada Perusahaan PT Kuala Pangan ........ 183
Lampiran 3. Contoh Soal Untuk Evaluasi dan Mengetahui Tingkat
Pemahaman Terhadap Peserta Pelatihan SistemHACCP di
PT Kuala Pangan .................................................................... 184
Lampiran 4. Contoh Lembar Kertas Kerja Pernyataan Kebijakan
Mutu Perusahaan .................................................................... 190
Lampiran 5. Contoh Lembar Kertas Kerja Pembentukan Organisasi
Tim HACCP Perusahaan ...................................................... 191
Lampiran 6. Contoh Lembar Kertas Kerja Pembuatan Deskripsi dan
Tujuan Penggunaan Produk ................................................... 192
Lampiran 7. Contoh Lembar Kertas Kerja Untuk Pembuatan Diagram
Alir Proses Produksi ............................................................... 193
Lampiran 8. Contoh Lembar Kertas Kerja Untuk Penentuan Analisis
Bahaya, Penentuan Risiko (Peluang dan Keparahan) dan
Tindakan Pencegahannya ....................................................... 194
Lampiran 9. Contoh Lembar Kertas Kerja Untuk Sistem Penentuan
Titik Kendali Kritis Untuk Pengembangan Sistem Mana-
jemen Keamanan Pangan Berdasarkan HACCP ................... 195
Lampiran 10. Contoh Lembar Kertas Kerja Untuk Pengembangan dan
Pemantauan Rencana HACCP pada Perusahaan Yang
akan Menerapkan Sistem HACCP ........................................ 196
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan GMP Sarana Produksi Pangan pada
PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor .................................. 197
Lampiran 12. Contoh Prosedur dan Jadwal Kebersihan Ruangan di
Perusahaan PT Kuala Pangan ............................................... 206
1
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Beberapa puluh tahun terakhir ini, masalah mengenai keracunan pangan
dan isu keamanan pangan di dunia telah meningkat sebagai akibat adanya insiden
keracunan pangan yang berdampak pada perdagangan pangan internasional dan
perhatian publik yang meningkat terhadap isu keamanan pangan tersebut. Di
negara Asia termasuk di Indonesia pun terdapat kecenderungan (trend) yang sama
(Ben Embarek, 2004). Beberapa jenis penyebab keracunan pangan adalah
listeriosis, salmonellosis, flu burung (Asian influenza), sapi gila atau mad cow
(Bovine Spongiform Encephalophaty), penyakit kuku dan mulut pada sapi, dioksin
dan ancaman bioterorisme. Menurut Badan Pusat Pengendalian dan Pencegahan
Penyakit atau Centre for Diseases Control and Prevention (CDC), terjadi 6-53
juta kasus keracunan pangan di Amerika Serikat. Sebanyak 50.000 kasus di
antaranya disebabkan oleh Salmonella (CDC, 2001).
Di negara-negara yang sedang berkembang, penyakit akibat keracunan
pangan dan air bila dihitung dapat mencapai 0,8 juta orang meninggal setiap
tahun. Sedang di negara-negara industri yang sudah maju, penyakit karena
keracunan pangan berakibat mencapai 30% dari jumlah populasi manusianya, dan
20 orang di antara dari 1 juta orang yang ada meninggal setiap tahun karena kasus
penyakit keracunan pangan. Bahkan di negara-negara Asia, kasus penyakit yang
disebabkan karena keracunan pangan telah meningkat pada tahun 2003 dan 2004
yang disebabkan karena adanya penyediaan pangan dari jasa boga untuk
keperluan di kantin sekolah, kantin perusahaan, dan untuk keperluan sosial dalam
rangka pesta perayaan perkawinan (Ben Embarek, 2004).
Isu masalah keamanan pangan di Indonesia pun semakin mendapat
perhatian masyarakat Indonesia, baik yang menyangkut produk pangan yang
diekspor ke luar negeri maupun untuk produk pangan yang dikonsumsi di dalam
negeri. Misalnya, banyak produk industri pangan dan pertanian Indonesia yang
ditolak oleh negara tujuan ekspor karena tidak memenuhi persyaratan mutu dan
keamanan pangan serta dicurigai sebagai produk yang tidak aman untuk
dikonsumsi. Beberapa komoditas pangan pernah ditolak di Amerika Serikat oleh
2
US FDA karena terkontaminasi Salmonella (paha kodok, lobster, lada hitam, lada
putih, udang), atau menyalahi peraturan low acid canned food (bekicot, jamur, dan
ketam kecil dalam kaleng) (Fardiaz, 1996). Contoh lain adalah ditolaknya ekspor
85.000 ton minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO) oleh Belanda akibat
terkontaminasi solar (Menhutbun, 2000). Sedang salah satu isu masalah keamanan
pangan produk pangan di dalam negeri pada beberapa tahun terakhir yang
mendapat perhatian publik adalah isu penggunaan formalin dan boraks dalam
beberapa produk pangan termasuk produk pangan mi.
Mi merupakan makanan yang sangat digemari mulai dari anak-anak
sampai orang dewasa. Alasannya karena rasanya yang enak, praktis dan mudah
cara penyajiannya. Di pasaran saat ini dikenal ada beberapa jenis mi, yaitu mi
mentah (mi pangsit), mi basah (mi kuning), mi kering dan mi instan. Mi basah
atau mi kuning adalah jenis mi yang mengalami proses perebusan dalam air
mendidih terlebih dahulu setelah tahap pemotongan dan sebelum dipasarkan.
Kadar air mi basah dapat mencapai sekitar 52% (Winarno dan Rahayu, 1994)
sehingga menyebabkan cepat mengalami kerusakan atau penurunan mutu dan
daya tahan atau keawetannya cukup singkat, yaitu sekitar 16 jam pada suhu kamar
(Astawan, 2005). Sedangkan mi kering dan mi instan merupakan mi yang kering
dengan kadar air yang rendah (sekitar 10 %) sehingga lebih awet dibandingkan
dengan mi mentah dan mi basah (Widyaningsih dan Murtini, 2006).
Pada umumnya di Indonesia mi basah dan mi mentah banyak diproduksi
dan dihasilkan oleh industri skala kecil sedangkan mi kering dan mi instan banyak
diproduksi dan dihasilkan oleh industri skala menengah dan besar. Saat ini jumlah
industri mi kering di Indonesia mencapai 42 industri sedangkan jumlah industri
mi instan mencapai 23 industri (BPS, 2005).
Maraknya penggunaan formalin dan boraks pada bahan pangan seperti mi
basah/mi mentah, bakso, tahu, ikan asin, ikan segar dan ayam potong pada tahun
2005 dan 2007 yang dilaporkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) berdampak negatif pada industri pembuat mi kering yang mengalami
penurunan. Pada proses pembuatan mi kering sebenarnya tidak menggunakan
kedua jenis bahan tambahan tersebut; sedang penggunaan formalin dan boraks
tidak diperlukan pada proses pembuatan mi basah atau mi mentah bila bahan yang
3
digunakan dan proses dalam pembuatan mi benar. Hal tersebut dapat berdampak
pada citra produk pangan Indonesia di mata konsumen di dalam negeri mapun
konsumen di luar negeri serta berdampak pada kemampuan bersaing produk
pangan yang dihasilkan oleh industri pangan di Indonesia.
Dilema yang dihadapi khususnya pada produk mi adalah mi dengan
penambahan formalin yang dihasilkan oleh industri pangan memang lebih unggul
dalam hal kekenyalan, keliatan, dan keawetan karena sampai hari ke-4 baru mulai
berbau asam dan berlendir sehingga industri tersebut tanpa bersusah payah
memperbaiki mutu dan keamanan produknya; di sisi lain formalin menurut
lembaga internasional untuk penelitian kanker, menggolongkan formalin sebagai
senyawa yang bersifat karsinogen atau senyawa yang dapat memacu pertumbuhan
sel-sel kanker (Widyaningsih dan Murtini, 2006) sehingga industri pangan
tersebut tetap beroperasi dengan proses produksi dan pengendalian keamanan
pangan seadanya. Oleh karena itu, pemberdayaan industri pangan tersebut perlu
dilakukan.
Salah satu usaha menjamin mutu dan keamanan pangan adalah
pengembangan dan penerapan sistem Hazard Analysis Critical Control Point
(HACCP) pada industri pangan. Sistem HACCP ini sudah dikenalkan oleh Codex
Alimentarius Commission (CAC) ke negara-negara anggota sejak tanggal 28 Juni
1993 (WHO, 1993), dan telah ditetapkan oleh organisasi perdagangan dunia atau
World Trade Organization (WTO) sebagai sistem standar penjamin keamanan
pangan pada perdagangan pangan internasional (Hathaway, 1999; Orris, 1999).
Untuk mengantisipasi pasar global yang semakin kompetitif, pemerintah
Indonesia melalui BSN (Badan Standardisasi Nasional) telah memutuskan untuk
mengadopsi sistem mutu ISO 9000 dan sistem keamanan pangan model HACCP
serta akan mengadopsi juga sistem manajemen keamanan pangan ISO 22000.
BSN telah mengadopsi CAC HACCP System : Guidelines for apllication yang
dimodifikasi menjadi SNI 01-4852-1998 (Sistem Analisa Bahaya dan
Pengendalian Titik Kritis/HACCP – serta Pedoman penerapannya) dan telah
menetapkan panduannya, yaitu Pedoman BSN 1004-1999 (Panduan Penyusunan
Rencana HACCP) (Suprapto, 1999). Namun Pedoman BSN 1004-1999 ini telah
direvisi menjadi Pedoman BSN 1004 -2002 (BSN, 2002).
4
PT Kuala Pangan adalah satu perusahaan yang bergerak di bidang
pengolahan pangan dan menghasilkan produk mi kering. Perusahaan ini berdiri
sejak tahun 1974 dan berlokasi di jalan Depan Terminal Kavling 23 – 25,
Citeureup, Bogor. Produk perusahaan ini sebagian besar (95%) dijual dan
dipasarkan di Indonesia, sedangkan sebagian kecil lainnya untuk diekspor ke
negara Belgia, Belanda/Netherland, Timur Tengah dan Luxenburg serta Australia.
Produksi mi kering yang dihasilkan perusahaan PT Kuala Pangan ini mencapai
sekitar 12,5-15,0 ton per hari.
Mi kering adalah produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu,
dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan
(BTP) yang diizinkan, berbentuk khas mi (SNI 01-2974-1992). Mi kering yang
diproduksi dan dihasilkan oleh perusahaan industri pangan PT Kuala Pangan ini
dibuat dari bahan tepung terigu, dengan penambahan bahan pangan seperti garam,
tepung telur, potasium/kalium karbonat, sodium/natrium karbonat dan bahan
tambahan pangan (BTP) pewarna tartrazin CI 1940 yang diizinkan oleh Deparmen
Kesehatan atau Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Menyadari pentingnya jaminan penerapan sistem manajemen mutu dan
keamanan pangan di perusahaan serta menanggapi maraknya isu penggunaan
formalin dalam industri pembuatan mi dan adanya permintaan jaminan keamanan
pangan dari pelanggan berdasarkan sistem HACCP, maka pihak manajemen PT
Kuala Pangan berkeinginan untuk menerapkan sistem HACCP (Hazard analysis
critical control point). Sistem HACCP ini telah diakui secara internasional baik
oleh Codex, European Union (EU), dan World Trade Organization (WTO) serta
telah diadopsi oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) di atas.
Penerapan sistem HACCP pada industri pangan seperti yang akan
diterapkan pada PT Kuala Pangan dinilai cukup efektif untuk mencegah dan
meminimisasi risiko bahaya keracunan pangan, sehingga dinilai cukup baik untuk
memberi jaminan keamanan pangan (Bauman, 1990; Marriott, 1997). Pertama,
penerapan sistem HACCP dapat mengurangi tingkat risiko terhadap morbiditas
dan mortalitas yang dikaitkan dengan konsumsi pangan yang tidak aman (Antle,
1999). Biaya-biaya yang berkaitan dengan tingkat risiko tersebut antara lain,
misalnya : biaya untuk penanganan pasien yang terkena keracunan pangan,
5
hilangnya pendapatan pasien penderita keracunan pangan sebagai akibat
kehilangan waktu kerja mereka karena tidak masuk kantor/perusahaan, biaya
untuk penyembuhan karena kasus keracunan pangan dan ketidakgunaan/
ketidakmampuan mereka selama sakit karena keracunan pangan. Kedua,
Penerapan sistem HACCP sebagai bagian dari sistem manajemen mutu
menyeluruh (total quality management) bila diimplementasikan secara tepat dapat
memberi keuntungan sebagai berikut : perbaikan dalam efisiensi operasional,
mengurangi biaya transaksi dan menciptakan keuntungan yang lebih kompetitif
(Caswell et al, 1998; Bredahl et al, 2001; Farina dan Reardon, 2000). Selain itu,
penerapan sistem HACCP tidak berdiri sendiri, tetapi dapat diterapkan dan
diintegrasikan bersama dengan sistem lain misalnya good manufacturing practice
(GMP) dan ISO 9000 (Sunarya, 1999).
Produksi bahan baku atau ingredien yang digunakan oleh PT Kuala
Pangan untuk bahan pangan haruslah dilakukan sesuai dengan sistem manajemen
mutu dan keamanan pangan yang baik agar produk yang dihasilkan aman untuk
dikonsumsi. Melalui penerapan sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan
HACCP, diharapkan perusahaan industri pangan PT Kuala Pangan bisa
menghasilkan produk pangan dengan kualitas yang baik dan konsisten, serta yang
paling penting adalah aman untuk dikonsumsi, yang pada akhirnya akan
meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap produk perusahaan dan
meningkatkan penjualan produk perusahaan.
B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk mempersiapkan kelayakan persyaratan dasar
sesuai GMP (Good Manufacturing Practice) dan penyusunan rencana HACCP
(hazard analysis critical control point)) atau HACCP Plan untuk produksi mi
kering pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor sebagai studi kasus, sesuai
dengan Standar Nasional Indonesia – SNI 01. 4852-1998 (Sistem Analisis
Bahaya dan Pengendalian Titik Kendali Kritis – HACCP) serta Pedoman Badan
Standarisasi Nasional (BSN) 1004-2002.
6
Secara rinci penelitian ini bertujuan :
1. Mengevaluasi kondisi persyaratan kelayakan dasar sesuai persyaratan GMP
pada perusahaan industri pangan PT Kuala Pangan sebelum menerapkan/
mengimplementasikan sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan
sistem HACCP ;
2. Menyusun dokumen rencana HACCP (HACCP Plan) untuk produksi mi kering
pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor yang akan digunakan perusahaan
sebagai panduan dalam penerapan sistem HACCP ;
3. Merekomendasikan rencana HACCP tersebut untuk pengembangan sistem
HACCP pada perusahaan PT Kuala Pangan di Citeureup,Bogor.
Dengan demikian, penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan fondasi bagi
penyusunan, penerapan dan sertifikasi sistem HACCP untuk produksi mi kering
pada perusahaaan industri pangan PT Kuala Pangan.
C. KEGUNAAN/MANFAAT
Dengan telah tersusunnya sistem manajemen HACCP (Hazard Analysis
Critical Control Point) yang didukung dengan pemenuhan dokumen persyaratan
kelayakan dasar (prerequisite programs) dan cara produksi pangan yang baik atau
good manufacturing practice (GMP) pada industri pangan yang menghasilkan
produk mi kering di PT Kuala Pangan, maka dapat dilakukan penerapan dan
sertifikasi sistem HACCP, sesuai dengan Standar Nasional Indonesia – SNI 01-
4852-1998 (Sistem Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kendali Kritis –
HACCP) serta Pedoman Penerapannya (Pedoman BSN 1004-2002).
Dengan demikian, perusahaan industri pangan yang menghasilkan produk
mi kering di PT Kuala Pangan tersebut diharapkan : (1) Mampu dan sanggup
menghasilkan produk pangan yang memenuhi persyaratan keamanan pangan bagi
kepentingan kesehatan manusia, (2) Meningkatkan jaminan keamanan pangan
pada produk pangan yang dihasilkan oleh perusahaan, (3) Mencegah terjadinya
penarikan produk pangan yang dihasilkan, dan (4) Meningkatkan kepercayaan
konsumen terhadap perusahaan.
7
II. DESKRIPSI UMUM PERUSAHAAN PT KUALA PANGAN
A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN
PT Kuala Pangan didirikan pada tanggal 1 Juni 1974. Pada awalnya
perusahaan ini adalah perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan/trading
untuk produk-produk hasil pertanian. Kemudian perusahaan tersebut setelah
berkembang secara resmi mendirikan pabrik mi kering sejak tanggal 7 Nopember
1988 yang dikukuhkan dengan Surat Keputusan Menteri Perindustrian No.
064/DJAI/IUT-1/NON-PMA-PMDN/II/1988 tanggal 11 Februari 1988 dan Surat
Izin Perluasan (Tanpa melalui Tahap Persetujuan Prinsip) oleh Direktorat Jendral
Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan, Departemen Perindustrian No.
236/DJIHPK/D.2/Perluasan/VIII/1998, tanggal 28 Agustus 1998.
Mengacu pada Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 286/M/SK/
1989, maka perusahaan PT Kuala Pangan dikategorikan atau termasuk sebagai
industri pangan berskala menengah karena mempunyai nilai aset lebih besar dari 5
milyard rupiah (tidak termasuk tanah dan bangunan) dengan jumlah tenaga kerja
sekitar 200 orang karyawan.
B. LOKASI PABRIK
Pabrik PT Kuala Pangan berlokasi di lingkungan Terminal Citeureup-
Kabupaten Bogor, tepatnya di Jalan Depan Terminal No. 23-25 Desa Citeureup,
Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor. PT Kuala Pangan juga mempunyai
kantor di Jalan Depan Terminal No. 23-25 Citeureup tersebut dengan nomor
telepon (021) 8752467 dan Nomor Fax (021) 8751013.
Pabrik terdiri atas beberapa bangunan dan fasiltas, yaitu : bangunan
pabrik, bangunan gudang 1 sampai 4, ruang pengemasan, ruang diesel, ruang
boiler, gudang terigu, fasilitas kamar mandi dan WC, poliklinik, pos Satpam dan
fasilitas tempat parkir.
Bangunan pabrik memiliki areal seluas 4.992,53 m2 yang terdiri dari
beberapa ruangan, yaitu : ruang kantor utama, ruang administrasi, ruang produksi,
ruang persiapan bahan baku, ruang gudang, ruang alat mesin, ruang diesel, ruang
boiler dan gedung olahraga; sedangkan lahan terbuka untuk jalan, tempat parkir
8
dan penghijauan memiliki areal seluas 1007,47m2. Denah pabrik dapat dilihat
pada Lampiran 1.
C. STRUKTUR ORGANISASI DAN KETENAGAKERJAAN Struktur organisasi adalah hal yang penting dalam setiap organisasi atau
perusahaan. Dengan adanya struktur organisasi akan tergambar jelas wewenang
dan tanggung jawab setiap bagian. Setiap bagian tersebut melaksanakan
pekerjaannya sesuai dengan tanggung jawab masing-masing sehingga tujuan
perusahaan dapat tercapai secara maksimal. Struktur organisasi PT Kuala Pangan
menerapkan bentuk organisasi lini dan staf. Pada bentuk organisasi lini dan staf,
pelimpahan wewenang berlangsung secara vertikal dan sepenuhnya dari pimpinan
tertinggi kepada unit di bawahnya (Hasibuan, 1990). Sedangkan tenaga kerja PT
Kuala Pangan terdiri dari 2 kelompok, yaitu kelompok staf dan non-staf. Tingkat
pendidikan mereka terdiri dari SLTP, SLTA Kejuruan atau program Diploma
untuk bagian produksi, pemasaran sampai sarjana untuk tingkat manajerial.
Kelompok staf meliputi : Direktur Utama, Direktur Pelaksana, Manager Umum
dan Pembelian, Manager Personalia, Manager Keuangan (Manager Accounting),
Manager Penjualan, Manager Gudang/Pengiriman, Manager Teknik dan Manager
Produksi. Struktur organisasi PT Kuala Pangan dapat dilihat pada Lampiran 2.
Direktur Utama selaku penanggung jawab dan pemegang wewenang
utama PT Kuala Pangan. Direktur Utama bertugas dan bertanggung jawab dalam :
(a) menetapkan garis-garis pokok kebijaksanaan pimpinan PT Kuala Pangan, (b)
menjalankan koordinasi dan pengawasan atau penyelenggaraan wewenang para
anggota manager, (c) mengetahui dan memimpin rapat dengan manager, (d)
melaksanakan koordinasi pabrik dalam melaksanakan hubungan PT Kuala Pangan
dengan dunia luar perusahaan, masyarakat dan pemerintah.
Direktur Pelaksana bertugas dan bertanggung jawab membantu tugas
Direktur Utama dalam melaksanakan koordinasi dengan tugas-tugas manager
serta membantu Direktur Utama sebagai Wakil perusahaan untuk berhubungan
dengan dunia luar perusahaan, dan masyarakat.
9
Manager Umum dan Pembelian bertugas dan bertanggung jawab dalam
mengorder dan mutu pembelian bahan baku, bahan penolong/pembantu, bahan
tambahan pangan, dan bahan pengemas serta bahan kertas dan alat tulis kantor.
Manager Personalia bertugas dan bertanggung jawab terhadap rekruitmen
karyawan dan pengelolaan karyawan serta bertanggung jawab membina hubungan
internal dan eksternal perusahaan.
Manager Keuangan (Manager Akunting) bertugas dan bertanggung jawab
membuat rencana pengeluaran biaya operasional, melakukan pencatatan transaksi,
mengeluarkan analisis biaya dan melakukan pengendalian (kontrol) terhadap
biaya-biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan. Departemen ini mempunyai 2
bagian, yaitu bagian akuntasi keuangan (finance accounting) dan bagian biaya
akuntansi (cost accounting).
Manager Pemasaran/Penjualan bertugas dan bertanggung jawab terhadap
perencanaan dan pemasaran produk mi kering yang dihasilkan perusahaan,
menjalankan kebijakan dan semua strategi pemasaran yang ditetapkan oleh
perusahaan (strategi produk, strategi harga, dan strategi distribusi) serta
melakukan riset pemasaran. Departemen ini dibantu oleh beberapa staf salesman
yang membantu Manager Pemasaran dalam memasarkan produk mi kering yang
dihasilkan perusahaan.
Manager Gudang & Pengiriman bertugas dan bertanggung jawab terhadap
perencanaan dan pengelolaan gudang penyimpanan serta bertanggung jawab
dalam melakukan pengiriman dan distribusi produk akhir.
Manager Teknik bertugas dan bertanggung jawab atas penanganan dan
pengembangan alat-alat dan mesin, boiler, listrik dan bengkel (utilitas pabrik),
pemeliharaan mesin dan peralatan termasuk suku cadang (maintenance) untuk
kelangsungan proses produksi; dan memastikan seluruh mesin-mesin dan
peralatan yang digunakan dalam produksi selalau dalam kondisi baik dan seluruh
peralatan yang baru terinstalasi dengan benar.
Manager Produksi bertanggung jawab dalam mengelola dan
merealisasikan order/permintaan dari pelanggan dengan efisiensi yang tinggi,
menganalisa produk limbah dan hasil produksi, membina dan memotivasi
10
karyawan bagian produksi, serta bertanggung jawab dalam menjalankan sistem
manajemen mutu.
Supervisor bertugas memimpin dan bertanggung jawab terhadap
kelangsungan kelancaran kegiatan produksi pada seksi produksinya, melakukan
pengawasan terhadap tenaga kerja yang berada pada seksinya dengan dibantu
operator, dan memberikan masukan kepada manager tentang efisiensi produksi.
Operator bertugas mengawasi langsung tenaga kerja yang bertugas pada
unit-unit lingkungan seksi produksinya, bertanggung jawab terhadap kebersihan,
perawatan dan kelancaran mesin, dan bersama-sama dengan operator lainnya
menjamin kesinambungan dan kemantapan kerja seksi produksi.
Kelompok karyawan non-staf terdiri dari karyawan tetap dan karyawan
harian yang perbedaannya adalah dari segi penerimaan gaji dan tingkat kerja yang
dilakukan. Karyawan harian akan menerima gaji sebesar jumlah hari kerja yang
dilakukan sehingga pada saat tidak kerja maka mereka tidak mendapat gaji;
sedangkan karyawan tetap akan menerima gaji bulanan. Karyawan tetap di pabrik
PT Kuala Pangan ini berjumlah 50 orang dan karyawan hariannya berjumlah 150
orang.
Jam kerja karyawan dimulai pukul 08.00 sampai dengan pukul 17.00
untuk hari Senin-Kamis dengan waktu istirahat pukul 12.00-13.00; sedangkan hari
Jum’at waktu pukul 11.30-13.00 dan hari Sabtu pukul 08.00-12.30 dengan tidak
ada waktu istirahat. Sedangkan jam kerja dalam sehari untuk bagian produksi
dibagi dalam 2 shift kerja, yaitu : (a) Shift pagi : pukul 07.00-14.30; jam istirahat
antara pukul 11.30-12.30 dan (b) Shift siang/sore : pukul 14.30-22.00; jam
istirahat antara pukul 18.00-19.00. Pertukaran Shift kerja dilakukan setiap
minggu.
Sistem pembayaran gaji dilakukan setiap bulan, yaitu pada tanggal 28
kecuali untuk karyawan harian. Besarnya gaji diberikan berdasarkan posisi yang
dijabat dan lamanya jam lembur. Selain itu, gaji karyawan juga disesuaikan
dengan standar upah minimum yang ditetapkan pemerintah. Untuk memenuhi
kebutuhan rohani karyawan yang memeluk agama islam, perusahaan
menyediakan musholla yang berada di dalam pabrik.
11
D. SARANA PENUNJANG PRODUKSI
Dalam memproduksi mi kering di perusahaan PT Kuala Pangan Citeureup,
Bogor diperlukan sarana-sarana penunjang kegiatan produksi. Sarana-sarana
penunjang tersebut antara lain air, tenaga listrik, uap dan peralatan produksi mi
kering.
1. Air
Seluruh air yang digunakan di PT Kuala Pangan Citeureup, Bogor untuk
kegiatan produksi maupun untuk keperluan lainnya berasal dari sumur bawah
tanah. Air dari sumur tersebut diolah terlebih dahulu berdasarkan kegunaannya
melalui beberapa tahapan sehingga menghasilkan air olahan dengan tiga
golongan, yaitu air sebagai bahan baku dan bahan pencampur untuk keperluan
produksi mi kering, air sebagai media atau sarana proses produksi atau untuk
boiler, dan air sebagai media dan sarana pembersih untuk keperluan umum
(general use).
Air yang dipergunakan untuk bahan baku pencampuran dengan bahan
tepung terigu, garam, kalium dan natrium karbonat dan bahan pewarna tartrazin
harus memenuhi standar air minum yang telah ditetapkan oleh Departemen
Kesehatan. Air untuk keperluan umum merupakan air yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan akan air secara umum, seperti untuk kebutuhan kantor,
musholla, pencucian mobil, membersihkan lantai ruangan pabrik (sanitasi
ruangan), penyiraman tanaman, dan untuk keperluan mandi dan toilet.
Penggunaan air untuk keperluan produksi mi kering rata-rata mencapai 15 m3
setiap harinya; sedangkan untuk keperluan boiler rata-rata mencapai 45 m3 per
hari dan untuk MCK (mandi, cuci, kakus/wc) rata-rata sekitar 10 m3 setiap
harinya. Dalam industri perlu dilakukan upaya pengendalian terhadap air, yaitu
dengan menghitung jumlah besar air yang diperlukan dalam berbagai proses.
Pengendalian bertujuan untuk meminimalisasi penggunaan air sehingga lebih
efisien dan ketersediaan air untuk kebutuhan proses dapat dikendalikan dengan
baik.
2. Tenaga Listrik
Listrik memegang peranan penting dalam kegiatan produksi dan aktifitas
lainnya karena berperan sebagai energi. Sumber listrik untuk kebutuhan
12
perusahaan diperoleh dari PLN dengan kapasitas 240 KVA. Untuk keperluan
cadangan, PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor memeliki sebuah genset yang
dipakai hanya bila aliran listrik dari PLN terhenti. Kapasitas genset tersebut tidak
mampu menghasilkan energi listrik untuk kegiatan produksi. Dengan kapasitas
tersebut, maka energi listrik yang dihasilkan genset hanya digunakan untuk
keperluan umum seperti penerangan, sehingga bila aliran listrik di PLN terputus
maka kegiatan produksi untuk sementara dihentikan.
3. Sumber Tenaga Uap (Steam)
Tenaga uap diperlukan dalam proses pengukusan dan pengeringan mi.
Tenaga uap ini dihasilkan dari mesin boiler yang mendidihkan air menjadi uap
panas yang akan digunakan untuk menyuplai kebutuhan uap selama proses
produksi. Air yang digunakan untuk menghasilkan uap tersebut berasal dari air
yang telah mengalami penurunan kesadahan (soft water). Bahan yang
ditambahkan untuk menurunkan kesadahan air antara lain Katalyzed, Adjunt Lh,
Ametol N23, Adventage 114 dan Emergy 5000. Air dengan kesadahan tinggi
tidak layak digunakan karena akan mempertinggi titik uap, sehingga energi
dibutuhkan untuk menguapkan air akan lebih banyak.
4. Peralatan Produksi
Peralatan untuk produksi mi kering yang dimiliki dan dioperasikan untuk
kegiatan produksi mi kering di PT Kuala Pangan Citeureup, Bogor terdiri atas :
alat penampung terigu (hopper) 1 buah, alat pencampur adonan (mixer) sebanyak
3 buah, alat pengumpan (feeder) bahan adonan ke alat pengepres 2 buah, alat
pengepres adonan untuk membuat lembar adonan dalam bentuk roll pressing 2
buah, alat pembentuk untaian mi (slitter), alat pengukus mi dalam bentuk
terowongan atau steamer 2 buah, alat pemotong cetakan mi atau micro cutter 2
buah, alat pengering mi (tunnel dryer) 2 buah, alat konveyor dan kipas pendingin
(cooler) 2 buah, satu set alat boiler dan alat pengemas untuk mengemas produk mi
sebanyak 2 buah serta mesin pembungkus band sealer 2 buah.
13
a. Hopper
Hopper merupakan alat penampung terigu yang akan digunakan untuk
produksi pada waktu itu. Pada alat ini terdapat screw conveyor yang akan
menarik terigu ke dalam mixer.
b. Mixer
Mixer adalah alat yang digunakan untuk mencampur bahan baku (terigu)
agar tercampur rata, selain itu juga berfungsi sebagai pencampur antara bahan
baku dengan larutan alkali, air dan bahan pewarna tartrazin sehingga terbentuk
adonan yang rata dan homogen.
c. Feeder
Feeder merupakan alat yang berfungsi sebagai penampung sebelum
adonan masuk ke dalam mesin pengepres (pressing) dan dilengkapi dengan
pengaduk yang berfungsi sebagai pendorong adonan keluar dari feeder.
d. Roll pressing
Roll pressing adalah alat yang digunakan dalam pembentukan adonan
menjadi lembaran dengan ketebalan tertentu. Pada proses ini adonan akan
melewati 5 atau 7 roll pressing. Pada awalnya, lembaran akan dibentuk tebal,
selanjutnya akan semakin tipis sesuai dengan ketebalan yang diinginkan.
e. Slitter
Slitter berfungsi sebagai pembentuk untaian pada lembaran adonan
setelah melalui roll pressing. Slitter yang digunakan pada produk mi berbeda-
beda sesuai dengan jenis dan bobot mi-nya. Perbedaaan slitter yang digunakan
akan berpengaruh terhadap untaian mi yang dihasilkan.
f. Steamer
Steamer merupakan alat yang berfungsi untuk proses pengukusan
untaian mi setelah keluar dari proses slitting dengan menggunakan uap panas.
14
Alat ini berbentuk kotak persegi panjang menyerupai terowongan yang
didalamnya dilengkapi dengan steamnet yang berfungsi sebagai konveyor.
g. Dryer
Dryer merupakan alat yang berfungsi untuk proses pengeringan untaian
mi setelah keluar dari proses pembentukan dalam cetakan mi dengan
menggunakan uap panas dalam bentuk oven pengering yang dilengkapi
dengan kipas/blower penghembus udara panas.
g. Cutter
Cutter berfungsi sebagai alat pemotong mi yang telah melalui proses
pengukusan (steaming). Setelah mi dipotong, mi akan dilipat sehingga
diperoleh mi dengan bentuk segi empat yang rata.
h. Cooler
Cooler merupakan alat yang digunakan untuk menurunkan suhu mi
setelah melewati proses pengeringan. Di dalam mesin tersebut terdapat blower
yang dapat menurunkan suhu mi, sehingga pada saat pengemasan (packing)
suhu mi mendekati suhu ruang, dan penampakan mi juga akan lebih baik.
i. Mesin packing
Mesin ini digunakan untuk mengemas mi kering yang telah dilengkapi
dengan alat untuk memberi tanda kode produksi dan tanggal kadaluwarsa.
E. JENIS PRODUK
Jenis produk yang diproduksi dan dihasilkan oleh perusahaan PT Kuala
Pangan adalah mi kering dengan merk Cap Atom Bulan. Mi kering ini adalah
produk makanan yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan
bahan tambahan makanan lain dan bahan tambahan pangan (BTP) yang diijinkan,
berbentuk khas mi yang langsung dikeringkan dan mempunyai kadar air sekitar
10%. Produk mi kering PT Kuala Pangan ini dikemas dalam plastik polipropilen
(PP) dengan bobot netto 200 gram per kemasan plastik dan kemudian dikemas
15
lagi dalam kemasan kotak karton (boks) dengan kapasitas 20 kemasan plastik PP.
Produk mi kering yang dihasilkan oleh PT Kuala Pangan ini mengacu pada SNI
01-2974-1992. Syarat mutu mi kering pada SNI 01-2974-1992 tersebut dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Syarat Mutu Mi Kering menurut SNI 01-2974-1992 (*)
Persyaratan No Kriteria Uji Satuan Mutu I Mutu II
1. Keadaan 1.1. Bau 1.2. Warna 1.3. Rasa
- - -
normal normal normal
normal normal normal
2. Air % (b/b) Maksimal 8 Maksimal 10 3. Abu % (b/b) Maksimum 3 Maksimum 3 4. Protein (N x 6,25) % (b/b) Minimum 11 Minimum 8 5. Bahan tambahan pangan
5.1. Boraks atau formalin 5.2. Pewarna (Tartrazin)
Tidak boleh ada Sesuai dengan SNI 0222-M dan Pera-turan MenKes No.722/MenKes/ Per/IX/88
Tidak boleh ada Sesuai dengan SNI 0222-M dan Pera-turan MenKes No.722/MenKes/ Per/ IX / 88
6. Cemaran logam : 6.1. Timbal (Pb) 6.2. Tembaga (Cu) 6.3. Seng (Zn) 6.4. Raksa (Hg)
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maksimum 1,0 Maksimum 10,0 Maksimum 40,0 Maksimum 0,05
Maksimum 1,0 Maksimum 10,0 Maksimum 40,0 Maksimum 0,05
7. Arsen (As) mg/kg Maksimum 0,5 Maksimum 0,5 8. Cemaran mikroba :
8.1. Angka lempeng total 8.2. E. coli 8.3. Kapang
Koloni/g APM/g Koloni/g
Maksimum 1,0x106 Maksimum 10 Maksimum 1,0x104
Maksimum 1,0x106 Maksimum 10 Maksiumu 1,0x104
(*)Sumber : Pustan Departemen Perindustrian (1992).
16
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING
Bahan baku utama dan bahan-bahan lain yang digunakan dalam proses
produksi mi kering pada umumnya terdiri atas 4 kelompok, yaitu : bahan baku
utama, bahan baku pembantu dan bahan tambahan pangan (BTP) serta bahan
pengemas.
1. Bahan Baku Utama
a. Tepung Terigu
Tepung terigu yang digunakan untuk memproduksi mi kering adalah
tepung terigu dengan kadar gluten 10-12%. Tepung terigu ini tergolong dalam
medium hard fluor yang diperoleh dari PT Bogasari Flour Mills di Jakarta.
Tepung terigu ini berfungsi membentuk struktur mi, sumber protein dan
karbohidrat. Kandungan protein utama dari tepung terigu yang berperan dalam
pembuatan mi adalah gluten. Gluten adalah suatu jenis protein yang terdiri dari
dari 36% gliadin, 20% glutenin, 17% mesonin dan 7% campuran albumin dan
globulin (Darmawan, 1994). Apabila ke dalam tepung terigu ditambah air,
glutenin akan mengembang. Selama proses pengembangan, glutenin akan
menyerap gliadin, mesonin dan sebagian protein yang dapat larut dalam air
sehingga membentuk suatu massa yang kenyal dan elastis (Ridwan dan Wiriarno,
1984) sehingga akan mempengaruhi sifat elastisitas dan tekstur mi yang
dihasilkan. Menurut Ruiter (1987), karakteristik elastisitas gluten dianggap
berasal dari fraksi glutenin, sedangkan karakteristik liat dan melekat diperoleh
dari fraksi prolamin.
Tepung terigu sebagai bahan pangan (makanan) menurut SNI 01.3751-
2006 didefinisikan sebagai tepung terigu yang dibuat dari endosperma biji
gandum Triticum aestivum L (Club wheat) dan/atau Triticum compacticum Host
atau campuran keduanya dengan penambahan zat besi (Fe), seng (Zn), vitamin B1
(thiamin), vitamin B2 (riboflavin) dan asam folat sebagai fortifikan. Sedangkan
bahan tambahan pangan (BTP) yang dizinkan untuk produk terigu sesuai dengan
17
peraturan tentang BTP. Syarat mutu tepung terigu sebagai bahan pangan
(makanan) menurut SNI 01.3751-2006 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Syarat mutu tepung terigu menurut SNI 01.3751-2006 (*)
No. Jenis uji Satuan Persyaratan
1. 1.1. 1.2. 1.3.
Keadaan Bentuk Bau Warna
- - -
Serbuk Normal (bebas dari bau asing) Putih, khas terigu
2. Benda asing - Tidak ada 3. Serangga dalam semua bentuk stadia dan
potongan-potongannya yang tampak - Tidak ada
4. Kehalusan, lolos ayakan 212 μm No. 70 % (b/b) Minimum 95 5. Kadar air % (b/b) Maksimum 14,5 6. Kadar abu % (b/b) Maksimum 0,6 7. Kadar protein % (b/b) Minimum 7,0 8. Keasaman mg KOH/100 g Maksimum 50 9. Falling number (atas dasar kadar air 14%) detik Mimimum 300 10. Besi (Fe) mg/kg Minimum 50 11. Seng (Zn) mg/kg Minimum 30 12. Vitamin B1 (thiamin) mg/kg Minimum 2,5 13. Vitamin B2 (riboflavin) mg/kg Minimum 4 14. Asam folat mg/kg Minimum 2 15. 15.1. 15.2. 15.3.
Cemaran logam Timbal (Pb) Raksa (Hg) Tembaga (Cu)
mg/kg mg/kg mg/kg
Maksimum 1,00 Maksimum 0,05 Maksimum 10
16. Cemaran arsen mg/kg Maksimum 0,50 17. 17.1. 17.2. 17.3.
Angka lempeng total E. coli Kapang
koloni/g APM/g koloni/g
Maksimum 106 Maksimum 10 Maksimum 104
(*) Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2006).
b. Air
Bahan baku utama lain yang digunakan untuk memproduksi mi kering
adalah air. Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dengan karbohidrat,
melarutkan garam, dan membentuk sifat kenyal gluten. Pati dan gluten akan
mengembang dengan adanya air. Menurut Chung et al. (1985) yang dikutip oleh
Mulya (1988) menyebutkan bahwa air sebaiknya memiliki pH antara 6-9. Pada
selang pH 4-8, makin tinggi pH air maka mi yang dihasilkan tidak mudah patah
karena absorpsi air meningkat dengan meningkatnya pH. Jumlah air yang optimal
akan membentuk pasta yang baik.
18
Air sebagai bahan tambahan lain menurut Surat Keputusan Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 907/MENKES/SK/VII/2002 disebutkan/dinyatakan
pada pasal 2 bahwa air yang digunakan untuk produksi makanan dan minuman
yang disajikan kepada masyarakat harus memenuhi syarat kesehatan air minum.
Persyaratan kualitas air minum berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indoneia Nomor 907/ MENKES/ VII/2002 mencakup persyaratan/
parameter fisik, kimiawi, mikrobiologi dan kimia anorganik dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Persyaratan kualitas air minum menurut PerMenKes No. 907/ MENKES/ SK/VII/2002 tanggal 29 Juli 2002 (*)
No. Jenis/Parameter uji Satuan Kadar maksimum yang diperbolehkan
1. 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5.
Parameter fisik Warna Rasa dan bau Suhu/temperatur Kekeruhan Jumlah zat padat terlarut (TDS)
TCU
- oC
NTU mg/l
15
Tidak berasa & berbau Suhu udara ± 3 oC
5 1000
2. 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6. 2.7. 2.8. 2.9. 2.10. 2.11. 2.12. 2.13. 2.14. 2.15.
Parameter Kimiawi Aluminium (Al) Besi (Fe) Kesadahan Klorida (Cl) Mangan (Mn) pH Natrium (Na) Sulfat Tembaga (Cu) Sisa klor Amonia Air raksa (Hg) Antimon (At) Barium (Ba) Boron (B)
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
- mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
0,2 0,3 500 250 0,1
6,5 – 8,5 200 250 1,0 -
1,5 0,001 0,005
0,7 0,3
3. 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. 3.5. 3.6. 3.7. 3.8.
Kimia An-organik Arsen (As) Fluorida (F) Kromium-valensi 6 Kadmium (Cd) Nitrit, sebgai NO2 Nitrat, sebagai NO3 Sianida (CN) Selenium (Se)
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
0,05 1,5 0,05
0,003 3 50
0,07 0,01
4. Parameter Mikrobiologi - 4.1. E. coli atau feacal coli Jumlah/100 ml 0 4.2. Total bakteri coliform Jumlah/100 ml 0 (*) Sumber : Departemen Kesehatan (2002). 2. Bahan Baku Pembantu
Bahan baku pembantu yang digunakan dalam proses produksi mi kering
terdiri dari jenis, yaitu : garam dan tepung telur.
19
a. Garam
Garam atau lebih dikenal dengan garam dapur yang dikonsumsi, pada
pembuatan mi instant atau mi kering berfungsi sebagai pemberi rasa, memperkuat
tekstur mi, membantu reaksi antara gluten dengan karbohidrat (meningkatkan
elastisitas dan fleksibelitas), dan untuk mengikat air (Sunaryo, 1985). Garam
dapur juga berfungsi untuk menghambat aktivitas enzim protease dan amilase
sehingga mi tidak bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan
(Mulya, 1988). Garam dapur yang dipergunakan oleh PT Kuala Pangan berasal
dari PT Saltindo di Jakarta.
Menurut BSN atau Badan Standarisasi Nasional (2000), garam yang
digunakan dalam produk makanan merupakan garam yang didefinisikan sebagai
pangan (makanan) yang komponen utamanya natrium klorida (NaCl) dengan
penambahan kalium yodat (KIO3). Syarat mutu garam konsumsi beryodium sesuai
dengan SNI 01.3556-2000 dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Syarat mutu garam konsumsi beryodium menurut SNI 01.3556-2000 (*)
No. Kriteria uji Satuan Persyaratan mutu 1. Kadar air (H2O) % (b/b) Maksimum 7 2. Kadar NaCl (natrium klorida) dihitung
dari jumlah klorida % (b/b), atas dasar bahan
kering
Minimum 94,7
3. Yodium dihitung sebagai kalium yodat (KIO3)
mg/kg Minimum 30
4. 4.1. 4.2. 4.3.
Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Raksa (Hg)
mg/kg mg/kg mg/kg
Maksimum 10 Maksimum 10 Maksimum 0,1
5. Arsen (As) mg/kg Maksimum 0,1 (*) Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2000).
b. Tepung Telur
Tepung telur ini diperoleh dengan cara mengimpor dari negara Belgia,
Belanda atau India. Tepung telur dalam pembuatan mi kering ini fungsinya untuk
menghasilkan suatu lapisan yang tipis dan kuat pada permukaan mi. Lapisan
tersebut cukup efektif untuk mencegah penyerapan minyak sewaktu digoreng dan
kekeruhan saus mi waktu pemasakan. Lesitin yang terdapat pada kuning telur
merupakan pengemulsi yang baik, dapat mempercepat hidrasi air pada terigu, dan
bersifat mengembangkan adonan (Sunaryo, 1985).
20
Penggunaan tepung telur dalam industri pangan mempunyai kelebihan/
keuntungan sebagai berikut : (a) Umur simpan lebih lama; (b) Penyimpannya
lebih mudah atau tanpa refrigerasi; (c) Mengurangi ruang penyimpanan, biaya
penyimpanan dan biaya transportasi, dan (d) Mempermudah pengaturan
komposisi bahan (Dijen IKAH, Depperindag & Fakultas Teknologi Pertanian –
IPB, 2003). Syarat mutu tepung telur ayam menurut Food And Drug
Administration (FDA) USA dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Standar mutu tepung telur ayam menurut FDA-USA (*) No. Kriteria uji Satuan Persyaratan mutu 1. Kadar air % Maksimum 5,0 2. Kadar lemak % 40,0 3. Kadar protein % Minimum 45,0 4. Kadar abu % 3,7 5. Gula pereduksi % Maksimum 0,1 6. Total mikroba koloni/g Maksimum 25.000 7. Bakteri koliform koloni/g Maksimum 10 8. Bakteri Salmonella - Negatif atau nol 9. Warna - Specified on purchase
10. Bau - Lembut (*) Sumber : Ditjen IKAH, Depperindag dan Fakultas Teknologi Pertanian –IPB
(2003).
3. Bahan Tambahan Pangan (BTP)
Bahan tambahan pangan (BTP) adalah senyawa atau campuran berbagai
senyawa yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan dan terlibat dalam proses
pengolahan, pengemasan dan atau penyimpanan dan bukan merupakan bahan
utama (Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, 1996). Menurut Codex
Alimentarius Commission di dalam Branen dan Haggerty (2002), BTP
didefinisikan sebagai bahan yang tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan dan
biasanya bukan merupakan komposisi (ingredient) khas makanan, dapat bernilai
gizi atau tidak bernilai gizi, ditambahkan ke dalam pangan dengan sengaja untuk
membantu teknik pengolahan pangan (termasuk organoleptik) baik dalam proses
pembuatan, pengolahan, persiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan,
pengangkutan, dan penyimpanan produk pangan olahan, agar menghasilkan atau
diharapkan menghasilkan (langsung atau tidak langsung) suatu pangan yang lebih
baik atau secara nyata mempengaruhi sifat khas pangan tersebut.
21
Di Indonesia, penggunaan BTP telah diatur sejak tahun 1988 dalam
Permenkes No.722/MenKes/Per./IX/1988 yang dikuatkan dengan Permenkes No.
1168/MenKes/ Per/VI/1999 menyebutkan bahwa yang termasuk BTP adalah
pewarna, pemanis buatan, pengawet, antioksidan, antikempal, penyedap dan
penguat rasa, pengatur keasaman, pemutih dan pematang tepung, pengemulsi,
pengental, pengeras, dan sekuestran (untuk memantapkan warna dan tekstur
makanan).
Bahan tambahan pangan (BTP) yang digunakan pada pembuatan mi
kering di PT Kuala Pangan adalah garam alkali sodium karbonat atau natrium
karbonat (Na2CO3) dan potasium karbonat atau kalium karbonat (K2CO3) serta
bahan pewarna tartrazin CI 19140. Ketiga bahan tambahan pangan tersebut
diperoleh dan dibeli dari Amerika Serikat (USA) dan Inggris melalui pemasok
lokal PT Union Ajidharma, PT Halim Sakti dan PT Wasiat Chemical atau PT
United Chemical Inter Aneka di Jakarta.
a. Garam Alkali (Natrium Karbonat dan Kalium Karbonat)
Natrium karbonat dan kalium karbonat adalah bahan tambahan yang wajib
ditambahkan sebagai bahan alkali pada proses pembuatan mi kering dan memiliki
peranan yang sangat penting dalam proses pembuatan mi. Mi tidak akan jadi jika
tidak menggunakan garam alkali tersebut (Puspasari, 2007). Kedua bahan tersebut
ditambahkan dengan perbandingan 9:1 dan dilarutkan dalam air serta berfungsi
untuk mempercepat pengikatan gluten, meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas
mi, meningkatkan kehalusan tekstur, dan meningkatkan sifat kenyal. Bahaya pada
kedua bahan tambahan pangan tersebut adalah dapat menyebabkan iritasi pada
kulit manusia (Sax, 1975). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.722/
MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan
natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan sama penggunaannya dengan
kalium klorida sebagai pengental, yaitu sebanyak 5 gram per kg.
b. Tartrazin C1 19140
Tartrazin merupakan zat warna yang digunakan untuk memberikan warna
kuning khas mi dan untuk menambah daya tarik produk mi. Zat warna yang
digunakan adalah tartrazin CI 19140, yang merupakan zat warna sintetis
berbentuk tepung berwarna kuning yang larut dalam air, dengan larutannya
22
berwarna kuning keamasan. Menurut Winarno (1989), tartrazin tahan terhadap
cahaya, asam asetat, asam klorida (HCl), dan natrium hidroksida (NaOH) 10
persen. Pada NaOH 30% akan menjadikan warna berubah kemerah-merahan.
Mudah luntur oleh adanya oksidator, FeSO4 membuat larutan zat berwarna
menjadi keruh, tetapi aluminium (Al) tidak berpengaruh.
Zat warna tartrazin C1 19140 yang digunakan oleh perusahaan PT Kuala
Pangan berasal dari PT Wasiat Chemical, Jakarta dan PT United Chemical Inter
Aneka, Jakarta.
Batas maksimal penggunaan tartrazin dalam produk pangan diatur dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/MenKes/Per./IX/88
tentang Bahan Tambahan Makanan tahun 1988 sedangkan oleh organisasi
internasional Codex masih dalam tahap pembahasan (CAC, 2006). Namun dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Anisyah (2007) tentang ”Kajian Paparan
Tartrazin Dengan Metode Survei Frekuensi Konsumsi Pangan di Wilayah Jakarta
Utara” menyimpulkan bahwa : (a) Hasil survei konsumsi pangan yang
mengandung tartrazin di wilayah Jakarta Utara menunjukkan nilai konsumsi rata-
rata pada seluruh responden sebesar 306,38 g/orang/hari, nilai konsumsi rata-rata
total tertinggi pada responden anak-anak karena frekuensi konsumsi dan ukuran
porsinya relatif lebih besar; (b) Seluruh nilai paparan tartrazin pada hasil
penelitian belum melampaui nilai ADI (Acceptable Daily Intake) tartrazin.
Tingkat paparan rata-rata total pada seluruh responden sebesar 231,24 μg/kg BB
(3,08 % ADI), nilai paparan rata-rata total tertinggi pada responden anak-anak
karena tingkat konsumsinya relatif tinggi sedangkan berat badannya relatif
rendah. Jenis pangan yang berpotensi memberi paparan tartrazin tertinggi pada
seluruh responden adalah mi instan, minuman nonkarbonasi, minuman serbuk,
makanan ringan dan biskuit; dan (c) Mi instan merupakan produk pangan yang
memiliki tingkat konsumsi terbanyak dan berpotensi memberi paparan tartrazin
terbesar pada seluruh responden dan tiap kelompok responden di wilayah Jakarta
Utara. Anak-anak merupakan responden yang memiliki tingkat konsumsi dan
tingkat paparan tartrazin tertinggi di wilayah Jakarta Utara. Hasil penelitian kajian
paparan tartrazin dengan metode survei frekuensi konsumsi pangan di wilayah
Jakarta Utara yang dilaporkan Anisyah (2007) dapat dilihat pada Tabel 6.
23
Tabel 6. Kadar tartrazin dalam produk pangan yang dikonsumsi oleh responden dibandingkan dengan kadar tartrazin yang ditetapkan dalam regulasi (*)
Kadar tartrazin dalam produk pangan (mg/kg)
Batas maksimum tartrazin dalam produk pangan menurut peraturan (mg/kg)
No. Produk pangan
Rata-rata Min - Maks Indonesia Codex Eropa 1. Mi Instan atau Mi
kering - Sebelum diolah - Setelah diolah
22,50 16,77
1 - 100 8,28 - 27,25
300
300
-
2. Kembang gula 90,53 5 - 300 300 300 300 3. Minuman
berkarbonasi 13 10 - 15 70 mg/l (produk siap konsumsi) 300 100
4. Minuman nonkarbonasi
22 10 - 40 70 mg/l (produk siap konsumsi) 300 100
5. Minuman serbuk 13,30 0,16 - 40 70 mg/l (produk siap konsumsi) 300 100 6. Minuman buah,
squash 10 4 - 20 70 mg/l (produk siap konsumsi) 300 100
7. Sirup 18 4,2 - 33,33 70 mg/l (produk siap konsumsi) 300 100 8. Kue lapis 200 200 - 200 300 300 200 9. Biskuit 72,86 10 - 200 300 300 200 10. Roti 11 11 - 11 300 300 200 11. Makanan ringan 88,57 10 - 200 300 300 200 12. Jelli 25,95 5,4 - 84,35 200 500 - 13. Jem, selai 213 200 - 226 200 500 - 14. Es krim 76 10 - 200 100 - - 15. Susu fermentasi 50,50 1 - 100 18 (berasal dari aroma yang
digunakan) 300 -
(*) Sumber : Anisyah (2007).
4. Bahan Kemasan
Kemasan dibutuhkan salah satunya adalah berfungsi untuk melindungi
produk mi kering yang dihasilkan dari kerusakan. Bahan pengemas yang
digunakan pada produksi mi kering di PT Kuala Pangan Citeureup, Bogor terdiri
dari dua jenis, yaitu pengemas primer berupa plastik poli propilen atau plastik
jenis PP yang sudah ada labelnya dengan bobot netto 200 gram per kemasan dan
kemasan sekunder (kotak karton atau karton boks) dengan kapasitas 20 kemasan
plastik .
a. Plastik Polipropilen (Plastik jenis PP)
Plastik jenis Polipropilen (PP) merupakan kemasan yang ringan, mudah
dibentuk, kekuatan tarik lebih besar dan tahan terhadap suhu tinggi, serta
merupakan polimer plastik yang memiliki densitas paling rendah di antara
polimer-polimer plastik lainnya. PP umumnya tersedia di pasaran dalam dua jenis,
yaitu PP tebal dan PP tipis. Perbedaan keduanya adalah pada ketebalan bahan
(Puspasari, 2007).
Sifat utama dari polipropilen (PP) adalah ringan (densitas 0,9 g/cm3),
mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam bentuk kemasan kaku.
Polipropilen memiliki kekuatan tarik lebih besar dan lebih kaku daripada
24
polietilen (PE), sertra tidak mudah sobek sehingga mudah dalam penanganan dan
distribusi. Namun, permeabilitas uap air PP rendah, permeabilitas gas sedang dan
tidak cocok untuk makanan yang peka terhadap oksigen. Plastik PP tahan
terhadap suhu tinggi sampai 150oC, sehingga dapat dipakai untuk makanan yang
harus disterilisasi. Polipropilen juga tahan terhadap asam kuat, basa dan minyak
(Puspasari, 2007).
b. Kotak Karton
Kemasan sekunder adalah kemasan setelah kemasan primer yang
berfungsi untuk melindungi mi dari kerusakan fisik yang dapat terjadi pada saat
distribusi atau pengiriman. Kemasan yang digunakan adalah karton jenis CFB
(Corrugated Fibred Board). Semua jenis pengemas tersebut didatangkan dari
pemasok lokal di daerah Jakarta dan sekitarnya.
5. Proses Produksi Mi Kering
Proses produksi untuk pembuatan mi kering yang dilakukan di perusahaan
industri yang memproduksi mi kering menurut Ridwan dan Wiriano (1990) pada
prinsipnya hampir sama dengan proses pembuatan mi instan, perbedaannya
hanyalah pada tahap setelah pemotongan (cutting); yaitu pada pembuatan mi
kering setelah tahap pemotongan dilakukan pengeringan, sedang pada pembuatan
mi instan setelah tahap pemotongan dilakukan penggorengan. Proses produksi mi
kering secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 1 dan meliputi tahap-tahap
sebagai berikut : penimbangan bahan baku dan bahan lain untuk produksi mi,
pembutan larutan alkali, pencampuran adonan (mixing), pengepresan dengan roll
press, pembentukan untaian pita mi (slitting), pengukusan (steaming),
pendinginan (cooling), pemotongan (cutting), penge-ringan dengan oven (drying),
pendinginan (cooling), pengemasan produk mi kering dan penyimpanan di
gudang.
25
Gambar 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Mi Kering (Sumber : Ridwan dan
Wiriano, 1990).
Pendinginan (Cooling)
Pencampuran (Mixing)
Pembentukan adonan menjadi lembaran dengan roll press
Pembentukan untaian pita mi (Slitting)
Pengukusan dengan menggunakan uap panas
(Steaming)
Pengeringan dengan menggunakan uap panas
Pengemasan produk mi kering dalam plastik PP & kotak
karton
Pembuatan Larutan Alkali
Pemotongan (Cutting)
Penimbangan Bahan baku dan
Bahan Lain
Pendinginan (Cooling)
Penyimpanan di Gudang
26
a. Penimbangan Bahan Baku dan Bahan Lain Untuk Produksi Mi
Penimbangan bahan baku dan bahan lain merupakan tahap awal
pembuatan mi. Pada proses ini dilakukan penimbangan bahan-bahan yang
digunakan untuk proses pembuatan mi kering seperti tepung terigu, garam dapur,
tepung telur, bahan tambahan soda abu (natrium karbonat dan kalium karbonat)
dan bahan pewarna tartrazin untuk pembuatan larutan alkali. Selain penimbangan
bahan-bahan tersebut juga dilakukan pengkuran jumlah volume air yang akan
digunakan untuk pembuatan larutan alkali.
b. Pembuatan Larutan Alkali
Pembuatan larutan alkali bertujuan untuk menghasilkan larutan alkali yang
merupakan merupakan campuran dari soda natrium dan kalium karbonat, air,
garam, tepung telur dan bahan pewarna tartrazin. Larutan alkali berfungsi untuk
memberi warna, rasa, dan memperkuat struktur mi. Pada pembuatan larutan alkali,
uji yang dilakukan yaitu uji standar viskositas, pH, penampakan dan warna.
Viskositas larutan alkali diukur dengan menggunakan viskometer, sedangkan nilai
pH diukur dengan menggunakan pH meter. Penampakan larutan alkali berwarna
kuning, larutan homogen dan tidak terdapat benda asing.
c. Pencampuran Adonan (Mixing)
Proses pencampuran adonan (mixing) merupakan proses awal pembuatan
mi, yaitu pencampuran dan pengadukan tepung terigu dengan larutan alkali yang
dilakukan didalam mixer. Proses pencampuran bertujuan untuk menghasilkan
campuran yang homogen, menghindrasi tepung dengan air dan membentuk
adonan dari jaringan gluten, sehingga adonan menjadi halus dan elastis. Hal yang
harus diperhatikan dalam proses ini adalah jumlah air yang ditambahkan, suhu
adonan dan waktu pengadukan ( Pribadi, 2004). Umumnya air yang ditambahkan
sekitar 28-35% dari total bobot tepung. Pencampuran adonan dilakukan dan
dipertahankan pada kisaran suhu 32-38oC. Suhu tersebut dipertahankan dengan
cara memanaskan alat mixer menggunakan pemanasan sistem jacket dengan uap
panas. Apabila suhunya kurang dari 32oC adonan menjadi keras, rapuh dan kasar;
sedangkan jika suhunya lebih dari 38oC adonan menjadi lengket dan mi menjadi
27
kurang elastis. Waktu pengadukan biasanya dilakukan sekitar 15-25 menit, karena
bila waktu pengadukan kurang dari 15 menit, adonan menjadi lunak dan lengket;
sedangkan bila lebih dari 25 menit adonan menjadi keras, rapuh dan kering.
Selama proses pengadukan akan terjadi kenaikan suhu akibat gesekan baling-
baling mesin adonan. Kenaikan suhu tersebut berpengaruh terhadap
pengembangan dan kelembutan adonan akibat terjadinya penyebaran dan
distribusi air dalam tepung.
d. Pengepresan Dengan Roll Press
Pengepresan dengan roll press bertujuan untuk membentuk adonan
menjadi lembaran adonan yang halus dan elastis, menghaluskan serat-serat gluten
dan membuat adonan menjadi lembaran. Hal ini dilakukan dengan cara
melewatkan adonan berulang-ulang di antara dua roll logam sampai dicapai
ketebalan tertentu sehingga adonan siap dicetak menjadi untaian pita mi.
Pembentukan lembaran dengan roll press akan menyebabkan pembentukan serat-
serat gluten yang halus, homogen, serta mempunyai ketebalan 1,0 – 1,1 mm. Hal
ini akan mempengaruhi mutu mi yang dihasilkan (Pribadi, 2004). Agar dapat
menghasilkan lembaran yang halus dengan jalur serat yang searah dan lembaran
adonan tidak kasar dan pecah-pecah, maka suhu pengepresan dilakukan pada suhu
sekitar 35-37oC dengan menggunakan pemanas dari uap panas yang berasal dari
boiler melalui saluran uap panas yang mengalir pada alat roll press tersebut.
Mesin pengepres terdiri dari beberapa buah silinder berpasangan yang
berputar berlawanan arah. Pada saat melewati roll press, lembaran akan
mengalami peregangan dan mengalami relaksasi saat keluar dari roll press.
Supaya peregangan dan relaksasi berlangsung dengan baik, maka kedudukan roll
press harus diatur sedemikian rupa sehingga lembaran adonan merata di seluruh
permukaan roll dan seimbang antara roll awal sampai roll akhir.
d. Pembentukan/Pencetakan Untaian Mi (Slitting)
Pencetakan untaian pita mi (slitting) merupakan suatu proses pengubahan
lembaran adonan menjadi untaian pita sesuai dengan ukuran yang diinginkan,
kemudian siap dibentuk menjadi gelombang mi (Ridwan dan Wiriano, 1990).
28
Proses slitting dimulai dengan melewatkan lembaran tipis adonan yang keluar dari
mesin pengepres ke suatu silinder logam beralur kecil (slitter) yang akan
memotong lembaran adonan menjadi untaian mi yang terpisah oleh sisir-sisir
bergerigi (Noerthana, 2005); selanjutnya untaian mi dilewatkan ke suatu mangkuk
slitter berbentuk segi empat. Mangkuk slitter terdiri dari beberapa lajur yang pada
setiap lajur menghasilkan 70-80 untaian mi tergantung dari nomor slitter yang
digunakan. Dalam mangkuk slitter, mi dipadatkan sehingga terbentuk gelombang-
gelombang mi. Selanjutnya, untaian pita mi akan masuk ke dalam waving net
yang kecepatannya lebih rendah dari mangkuk slitter, sehingga dihasilkan mi
yang bergelombang rata.
Menurut Noerthana (2005), agar untaian mi yang dihasilkan oleh hasil
slitting baik, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu : (1) Hasil
mixing adonan harus homogen dengan kadar air cukup dengan suhu adonan tidak
panas; (2) Pisau slitter harus tajam dan ukurannya seragam; (3) Fungsi sisir mi
(noodle comb) harus dalam kondisi baik; (4) Ketepatan pemasangan mangkuk
pemisah mi (devider); (5) Khusus untuk slitter baru agar diperhatikan kedalaman
roll cutter-nya, karena semakin dalam akan menyebabkan roll cutter-nya cepat
tumpul; dan (6) kebersihan alat.
e. Pengukusan (Steaming)
Pengukusan (steaming) merupakan proses pengukusan mi yang keluar dari
slitter secara kontinyu dengan menggunakan uap panas. Pada proses ini terjadi
gelatinasasi pati dan koagulasi gluten sehingga dengan terjadinya dehidrasi air
dari gluten akan menyebabkan terjadinya kekenyalan pada mi. Hal ini disebabkan
oleh putusnya ikatan hidrogen, sehingga rantai ikatan kompleks pati-gluten
menjadi lebih rapat (Pribadi, 2004). Pada waktu sebelum dikukus, ikatan bersifat
lunak dan fleksibel, tetapi setelah dikukus menjadi keras dan kuat (Prangdimurti,
1991). Gelatinasasi merupakan peristiwa pembengkakan granula pati sehingga
granula tersebut tidak dapat kembali pada kondisi semula (Winarno, 1995). Lebih
lanjut Sunaryo (1985) menyatakan bahwa gelatinisasi ini menyebabkan pati
meleleh, kemudian membentuk lapisan tipis (film) pada permukaan mi yang dapat
29
memberikan kelembutan mi, meningkatkan daya cerna pati dan mempengaruhi
daya rehidrasi mi.
f. Pendinginan (Cooling)
Pendinginan (cooling) merupakan proses setelah mi keluar dari proses
pengukusan dengan menggunakan kipas angin. Proses pendinginan ini
dimaksudkan untuk mencegah mi melekat pada conveyor yang berjalan.
Kemudian proses dilanjutkan ke tahap proses pemotongan.
g. Pemotongan (Cutting)
Pemotongan (cutting) mi dilakukan dengan mesin pemotong. Dalam
proses ini mi dipotong dan dibentuk lipatan dengan mendorong bagian tengah
potongan ke dalam dengan menggunakan alat seperti cangkul. Pada bagian atas
tersebut terdapat roll berputar yang berfungsi sebagai alat pelipat yang akan
melipat mi menjadi dua bagian yang sama panjang.
h. Pengeringan (Drying)
Pengeringan didefinisikan sebagai suatu proses pemanasan pada produk
bahan pangan pada kondisi yang terkendali dengan cara menguapkan air yang
terkandung dalam bahan pangan tersebut dengan tujuan untuk memperpanjang
daya simpan dengan mengurangi aktivitas airnya atau aw-nya (Fellows, 2000).
Dalam pembuatan mi kering, bertujuan untuk memantapkan pati tergelatinisasi,
menurunkan kadar air dan mengeringkan mi sehingga produk akan menjadi
kering, kaku dan awet serta memiliki kadar air sekitar 7-8 persen dan mi dapat
disimpan dalam jangka waktu yang lama. Proses pengeringan untuk pembuatan
mi kering biasanya dilakukan pada suhu sekitar 100oC selama 30 menit.
i. Pendinginan (Cooling)
Pendinginan (cooling) adalah proses pendinginan yang dilakukan dengan
cara melewatkan mi dalam suatu kotak (tunnel) yang di dalamnya terdapat
sejumlah kipas angin yang menghembuskan udara segar. Tujuan dari proses ini
adalah agar mi yang baru keluar dari proses pengeringan dapat diturunkan
30
suhunya sehingga mencapai suhu sekitar 32oC sebelum dikemas dengan etiket
(Pribadi, 2004). Mi yang telah melalui alat pendingin diharapkan telah mengalami
pendinginan secara sempurna.
j. Pengemasan (Packing)
Setelah dilakukan pendinginan, mi langsung dikemas dengan cara
memasukkan produk mi kering ke dalam kemasan plastik yang sudah disiapkan
secara manual. Pengemasan ini bertujuan untuk melindungi mi dari kemungkinan-
kemungkinan tercemar atau rusak sehingga mi tidak mengalami penurunan mutu
sampai di tangan konsumen. Dengan pengemasan yang baik, produk akan
terhindar pencemaran debu dan kotoran tangan, kelembaban oksigen di udara,
serangan serangga, dan lain sebagainya (Syarief et al, 1989).
B. CEMARAN PADA PRODUK MI KERING
Cemaran pada produk mi kering kemungkinan dapat berupa cemaran
mikrobiologis, cemaran kimia dan cemaran fisik. Cemaran-cemaran tersebut dapat
berasal dari bahan baku utama, bahan baku pembantu lain dan bahan tambahan
pangan (BTP).
1. Cemaran Mikrobiologis
Mi kering merupakan produk mi yang telah dikukus dan dikeringkan
terlebih dahulu dan memiliki kadar air sekitar 8-10%. Mi kering memiliki aw
sekitar 0,80 dan pH sebesar 8,7 (Yustiareni, 2000). Menurut Fardiaz (1992) dan
Buckle et. al (2007), pangan dengan kadar air yang rendah dan pH relatif tinggi
(pH > 8,5) dikelompokkan sebagai pangan yang tidak mudah rusak. Dengan
demikian, kadar air yang rendah dan aw yang rendah menyebabkan mi kering
tidak riskan jika disimpan pada suhu ruang. Namun demikian, bukan berarti
produk mi kering tersebut tidak bebas dari adanya kemungkinan pencemaran atau
kontaminasi baik adanya cemaran mikroba/biologis, kimia maupun fisik yang
berasal dari bahan baku dan bahan lainnya.
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01.2974-1992 untuk
produk mi kering (PUSTAN Departemen Perindustrian, 1992), cemaran mikroba
yang mungkin terdapat pada mi kering dapat berupa bakteri E. Coli, kapang dan
31
angka lempeng total. Oleh karena itu, cemaran mikroba tersebut ditetapkan
batasnya di dalam SNI dalam keadaan negatif atau tidak boleh ada cemaran
mikroba dalam produk mi kering. Menurut Jay (2000), mikroba perusak yang
mungkin tumbuh pada produk olahan terigu adalah bakteri genus Bacillus dan
beberapa jenis kapang; sedang Fardiaz (1992) menyatakan bahwa jika tumbuh
pada bahan pangan, bakteri dapat menyebakan berbagai perubahan pada
penampakan maupun komposisi kimia dan cita rasa bahan pangan tersebut.
Adanya aktifitas mikroorganisme pembentuk asam misalnya, ditandai dengan
terdeteksinya bau asam pada mi basah yang telah rusak. Pada bakteri aerobik
pembentuk spora yang dapat memproduksi amilase mungkin tumbuh pada kadar
air yang tinggi dengan memanfaatkan terigu dan hasil olahannya sebagai sumber
energi. Pada kondisi kadar air lebih rendah, kapang berpotensi untuk tumbuh yang
ditandai dengan pembentukan miselia dan spora. Kapang yang tumbuh umumnya
berasal dari genus Rhizopus yang dapat dikenali dengan adanya spora berwarna
hitam (Jay, 2000).
Selain cemaran bakteri dan kapang tersebut, mi kering kemungkinan dapat
tercemar oleh bakteri jenis Salmonella dan Staphylococcus yang berasal dari
bahan tepung telur serta E. coli dan coliform yang berasal dari bahan air yang
digunakan dalam proses pencampuran. Menurut ICMSF (1998), produk yang
ingrediennya mengandung tepung telur atau telur kering seperti custard, cream
cakes, angel cake dan mi kering dapat terkontaminasi oleh Salmonella dan
Staphylococcus. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Matic et. al (1990) dan
Narvaiz et. al (1992) dinyatakan bahwa Salmonella yang terdapat pada tepung
telur dapat diinaktifkan dengan cara irradiasi dengan sinar gamma dengan dosis
0,8 kGy untuk jenis bakteri S. Enteritidis, S. Typhimurium dan S. Lille. Sedangkan
untuk mereduksi sebanyak 103 bakteri diperlukan dosis 2,4 kGy. Produk tepung
telur yang telah diirradiasi ini tahan disimpan selama 4 minggu.
Untuk mengendalikan produk kering seperti halnya mi kering yang
mengandung bahan ingredien tepung telur disarankan oleh ICMSF (1998)
sebaiknya melindungi produk itu dari kemungkinan terjadinya kondensasi air ke
dalam produk kering tersebut. Oleh karena itu, produk mi kering yang telah
32
dikemas dalam plastik diharapkan tidak ada yang bocor dan terkena kondensasi
oleh air dari luar.
Cemaran bakteri pada air yang digunakan untuk proses pencampuran guna
menghasilkan produk mi kering, kemungkinannya dapat berupa bakteri patogen E.
Coli, Campylobacter jejuni, Salmonella sp, Shigella, Vibrio cholerae, Yersinia
enterolita dan Aeromonas hydrophila; bila air air tersebut tidak diolah terlebih
dahulu untuk menghasilkan kualitas air yang layak diminum/dikonsumsi (Jones
dan Watkins, 1989). Dengan demikian, air yang digunakan untuk produksi mi
kering pada saat proses pencampuran harus memenuhi persyaratan kualitas air
minum menurut PerMenKes No. 907/MENKES/SK/VIII/2002 tanggal 29 Juli
2002, yaitu harus bebas dari bakteri E. coli dan bakteri coliform. Hal ini
disebabkan karena bakteri E. coli dan coliform digunakan sebagai indikator
tercemarnya air tersebut oleh adanya cemaran yang berasal dari buangan air besar
manusia ataupun kotoran hewan. Lebih lanjut Havelar (1994) menyarankan
bahwa untuk menghasilkan air yang aman untuk dikonsumsi, sebaiknya dalam
proses pengolahannya mengimplementasikan sistem HACCP.
2. Cemaran Kimia
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01. 2974-1992 untuk
produk mi kering (PUSTAN Departemen Perindustrian, 1992), ditetapkan bahwa
cemaran kimia yang mungkin timbul/terdapat pada mi kering berupa cemaran
kimia logam-logam berat berupa timbal (Pb), tembaga (Cu), seng (Zn),
raksa/merkuri (Hg) dan arsen (As). Cemaran kimia logam-logam berat ini diduga
berasal dari bahan baku tepung terigu, garam dan air yang digunakan dalam
proses produksi mi kering. Sumber cemaran kimia logam-logam berat seperti Pb,
Cu, Hg, Zn dan As dapat berasal dari lingkungan dan tanah tempat tumbuh asal
tanaman terigu yang terkontaminasi oleh polusi asap kendaraaan bermotor dan
hasil buangan limbah industri yang mengandung logam-logam berat; selain itu
dari bahan baku garam yang tercamar oleh logam-logam berat di tempat asalnya.
Sedang seng (Zn) dan tembaga (Cu) dapat berasal darti proses produksi
pembuatan tepung terigu di pabrik yang menghasilkan tepung terigu dan proses
produksi mi kering di pabrik yang menghasilkan produk mi kering.
33
3. Cemaran Fisik
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01.2974-1992 untuk
produk mi kering (PUSTAN Departemen Perindustrian, 1992), ditetapkan bahwa
cemaran fisik yang mungkin terdapat pada produk mi kering berupa serangga
dalam berbagai bentuk stadia dan potongan-potongannya serta benda-benda asing
lainnya. Cemaran fisik benda-benda asing ini dapat berupa rambut, kotoran (pasir,
tanah), kelupasan cat, karat, debu, potongan kertas dan tali plastik. Sumber
cemaran fisik tersebut dapat berasal dari pekerja/karyawan yang menangani
produk, pallet kayu, peralatan yang sudah lama tidak digunakan dan tali plastik
yang digunakan untuk pengemasan. Oleh karena itu, cemaran fisik benda-benda
asing pada produk mi kering tersebut oleh SNI 01. 2974-1992 ditetapkan harus
negatif.
C. PERMASALAHAN KEAMANAN PANGAN PADA INDUSTRI
PANGAN
Pemerintah Indonesia sebagai fasilitator dan regulator di bidang pangan
telah menetapkan bahwa dalam memproduksi pangan untuk diperdagangkan,
setiap industri pangan baik skala besar, menengah, menegah-kecil maupun skala
kecil tanpa kecuali diharuskan memenuhi kaidah/aturan dan persyaratan yang
ditetapkan oleh pemerintah dari aspek penyediaan fasilitas produksi, proses
produksi/pengolahan, pengemasan produk, distribusi dan perdagangannya guna
menjamin mutu dan keamanan produk pangannya. Pemerintah juga telah
mengeluarkan berbagai macam aturan agar setiap industri pangan mampu dan
sanggup menghasilkan pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan
gizi pangan bagi kepentingan kesehatan manusia serta tercipta perdagangan
pangan yang jujur dan bertanggung jawab. Beberapa peraturan itu antara lain :
PerMenKes No. 23/MenKes/SK/I/1978 tentang pedoman cara produksi pangan
yang baik (CPPB) atau good manufacturing practice (GMP); Undang-Undang
Kesehatan No. 23 Tahun 1992; PerMenKes No. 722/MenKes/IX/1988 tentang
bahan tambahan pangan (BTP) dan penggunaannya; Pedoman higiene makanan
Tahun 1996 (Departemen Kesehatan, 1998); Undang-Undang Pangan RI No. 7
Tahun 1996 tentang keamanan pangan yang tercantum pada pasal 4 sampai
34
dengan pasal 23 (Kantor Menpangan, 1996); dan Peraturam Pemerintah (PP) No.
28 Tahun 2004 tentang keamanan pangan, mutu dan gizi pangan (Badan POM,
2004).
Melengkapi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan mutu dan
keamanan pangan di atas, pemerintah Indonesia juga mengeluarkan Peraturan
Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 69 Tahun 1999 tentang label dan iklan
pangan dengan tujuan dan pertimbangan supaya : (1) Setiap industri pangan
memberi informasi mengenai pangan yang disampikan kepada masyarakat adalah
benar tidak menyesatkan, (2) Konsumen/masyarakat berhak menuntut dan
mengetahui bagaimana produk pangan dihasilkan mulai dari hulu sampai di
hilirnya baik menyangkut aspek gizi, mutu dan keamanan pangan maupun
lingkungannya (Kantor Menteri Negara Pangan dan Hortikultura, 1999).
Sementara itu, didalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen pada pasal 4 ayat a dan b disebutkan bahwa konsumen mempunyai hak
atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang serta
jaminan yang dijanjikannya (Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, 1999).
Implikasinya, konsumen pangan di Indonesia berhak mendapat jaminan mutu dan
keamanan pangan dari setiap produsen/industri pangan yang memperdagangkan
produk pangannya di Indonesia, tidak terkecuali bagi industri pangan skala
menengah.
Berdasarkan laporan selama Pelita V dan VI serta laporan pemberitaan di
media massa menunjukkan bahwa masih banyak ditemukan peredaran produk
pangan yang tidak memenuhi persyaratan keamanan dan mutu pangan, misalnya
adanya cemaran mikroba pada produk pangan; penggunaan bahan tambahan
pangan (BTP) yang dilarang atau melebihi batas yang diperbolehkan, terutama zat
pewarna, pengawet dan pemanis; adanya residu pestisida yang masih tinggi pada
produk-produk hortikultura, adanya cemaran logam berat dan lain-lain.
Disamping itu, masih banyak ditemukan peredaran produk pangan yang
komposisinya tidak sesuai dengan label dan iklan pangan dipromosikan, produk
pangan yang tidak mencantumkan masa kadaluwarsa dan produk pangan yang
tidak memenuhi standar mutu (Anggrahini, 1997).
35
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudibyo et al (2001) menunjukkan
bahwa dari sebanyak 80 sampel industri pangan yang digunakan dalam penelitian,
pada umumnya industri pangan tersebut banyak yang belum menerapkan prinsip-
prinsip atau aspek manajemen keamanan pangan yang baik untuk menjamin
keamanan pangan produk pangan yang dihasilkannya. Persentase industri pangan
yang sudah mengerti dan menerapkan/mengimplementasikan aspek keamanan
pangan dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Persentase Industri Pangan Yang Sudah Memahami dan Menerapkan Aspek Keamanan Pangan (*)
Persentase (%) Industri Pangan Yang Sudah Memahami dan Menerapkan Aspek Keamanan Pangan
Aspek Keamanan Pangan
Paham dan menerapkan secara penuh
Paham tapi menerapkan sebagian besar
Paham tapi menerapkan sebagian kecil
Paham tapi tidak menerapkan sama sekali
- GMP (Good Ma-nufacturing Practice)
25 40 25 10
- SOP (Standard Operating Pro-cedure)
25 35 7,5 32,5
- Sanitasi dan Higiene 30 45 20 5
Sumber : Sudibyo et al. (2001).
Berdasarkan data dan keterangan di atas terlihat bahwa bila dirata-ratakan
hasil persentasenya, maka baru sekitar 35-40% industri pangan berskala
menengah yang mempunyai kesadaran, tanggung jawab dan komitmen untuk
menghasilkan produk pangan yang aman ditinjau dari aspek penerapan GMP,
sanitasi dan higiene serta SOP. Padahal ketiga aspek tersebut dalam program
jaminan keamanan pangan merupakan program persyaratan dasar (prerequisite
program) yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh setiap industri pangan
termasuk industri pangan berskala menengah sebelum melangkah lebih lanjut
dalam menerapkan sistem HACCP (WHO, 1997; NACMCF, 1998).
Hasil penelitian Sudibyo dan Sumarsi (2004) menunjukkan bahwa industri
pangan yang tidak mempraktekkan atau mengimplementasikan higiene pangan
pada perusahaannya mencapai 2-5 kalinya dibandingkan dengan industri kecil
pangan yang mempraktekkan/mengimplementasikan higiene pangan. Persentase
36
industri kecil pangan yang sudah mengimplementasikan dan yang tidak
mengimplementasikan higiene dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Persentase Industri Kecil Pangan Yang Mengimplementasikan dan Tidak
Mengimplementasikan Higiene (*). Persentase (%) Industri Kecil Pangan yang mengimplementasikan/ tidak mengimplementasikan higiene
No.
Aspek Kegiatan
Ya Tidak 1. Pelatihan terhadap karyawan yang
menangani pangan 15,5 84,5
2. Pengendalian bahan baku dan bahan pembantu lain yang dipakai
25,5 74,5
3. Pengendalian penggunaan bahan tambahan pangan (BTP)
30,0 70,0
4. Pengendalian kebersihan pribadi karyawan (higiene personil)
30,0 70,0
5. Pengendalian proses produksi dan peralatan produksi yang digunakan
40,0 60,0
6. Pengendalian dalam penanganan dan penyimpanan pangan untuk mencegah kontaminasi
45,5 55,5
7. Pengendalian alat-alat pembersih (sapu, alat pengepel, cairan deterjen, dan lain-lain)
40,0 60,0
8. Pengendalian hama 35,0 65,0 9. Pengendalian catatan/dokumen 20,0 80,0 (*) Sumber : Sudibyo dan Sumarsi, 2004.
Dari data dan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa industri pangan
berskala menengah yang memiliki kesadaran, tanggung jawab dan komitmen
untuk menghasilkan produk pangan yang aman ditinjau dari aspek penerapan
sistem manajemen HACCP secara komulatif baru mencapai 40%. Hal ini
menunjukkan bahwa penerapan sistem manajemen HACCP dalam industri pangan
berskala menengah-kecil relatif masih rendah dan terdapat hambatan/kendala
dalam pengembangan dan penerapannya.
Secara umum berdasarkan hasil penelitian Sudibyo et al (2001) terhadap
industri pangan berskala menengah di Indonesia teridentifikasi bahwa program
keamanan pangan dan penerapan sistem keamanan pangan ditinjau dari aspek
GMP, sanitasi dan higiene, SOP, sistem HACCP dan pelatihan sistem keamanan
pangan belum dilaksanakan secara penuh sehingga industri pangan berskala
37
menengah tersebut perlu dibina, diberdayakan dan ditingkatkan kinerjanya dalam
bidang keamanan pangan. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka era globalisasi
dan perdagangan bebas, industri pangan dituntut untuk menghasilkan produk
pangan yang bermutu tinggi dan aman dikonsumsi oleh konsumen, sehingga
mampu bersaing dengan produk pangan sejenis yang dihasilkan oleh industri
pangan dari luar.
D. PENERAPAN GMP SEBAGAI PERSYARATAN KELAYAKAN DASAR
DALAM PENERAPAN SISTEM HACCP
Di dalam setiap industri pengolahan pangan yang akan menerapkan sistem
keamanan pangan model HACCP harus merencanakan, merancang/mendisain dan
mengimplementasikan suatu program persyaratan kelayakan dasar atau sering
disebut dengan istilah "prerequisite programs". Persyaratan kelayakan dasar
dapat diartikan sebagai suatu ukuran untuk mengetahui suatu unit pengolahan
pangan sudah memenuhi persyaratan, baik dalam segi/aspek sanitasi dan higiene
maupun dalam aspek cara berproduksi. Program persyaratan kelayakan dasar atau
prerequisite programs ini menurut Bernard dan Parkinson (1999) merupakan
suatu fondasi yang harus dan perlu dipenuhi oleh setiap industri pangan guna
menghasilkan produk pangan yang aman dan bermutu ditinjau dari aspek
keamanan dan kesehatan.
Konsep program persyaratan kelayakan dasar ini pertama kali berasal dan
dicetuskan oleh Agriculture and Agri-Food Canada's (AAFC) dalam rangka
program peningkatan keamanan pangan di Kanada dan mereka mendefinisikan
program persyaratan kelayakan dasar ini sebagai "suatu langkah-langkah universal
atau prosedur yang mengendalikan kondisi oprasional dalam suatu industri
pangan yang didirikannya guna memenuhi kondisi lingkungan tetap baik untuk
menghasilkan pangan yang aman" (Gombas dan Stevenson, 2000). NACMCF
(National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods) (1998)
mendefinisikan program persyaratan kelayakan dasar sebagai "suatu prosedur
termasuk prosedur cara produksi pangan yang baik atau good manufacturing
practice (GMP) yang ditujukan untuk menyediakan kondisi operasional dasar
sistem HACCP". Pada prinsipnya program persyaratan kelayakan dasar untuk
38
sistem HACCP mencakup suatu program dan prosedur yang sudah harus tersedia
di dalam industri pangan yang didirikannya; termasuk juga didalamnya program
penerimaan bahan baku dan cara penyimpanannya, manajemen terhadap adanya
keluhan pelanggan/konsumen, kemampuan telusur bahan ingredien yang
digunakan hingga produk pangan dihasilkan serta program persetujuan untuk
pemasok (approved supplier) barang-barang yang masuk ke dalam perusahaan
industri pangan (Gombas dan Stevenson, 2000).
Menurut Bernard dan Parkinson (1999), program persyaratan kelayakan
dasar ini seperti halnya rancangan HACCP (HACCP Plan) sebaiknya
terdokumentasi dengan baik dalam standard operating procedures (SOP) yang
tertulis dan sebaiknya juga dimengerti dan dihayati oleh setiap karyawan yang
bekerja di industri pangan yang bersangkutan. Bahkan program persyaratan
kelayakan dasar atau prerequisite programs ini jika diperlukan dapat
ditinjau/dikaji ulang dan direvisi kembali oleh setiap industri pangan guna
menjamin bahwa program yang didisain dan direncanakan, diimplementasikan
secara efektif sesuai dengan tujuan keamanan pangan yang hendak dicapai
(NACMCF, 1998).
Pada dasarnya, program persyaratan kelayakan dasar terdiri dari dua
bagian, yaitu cara produksi pangan yang baik (CPPB) atau good manufacturing
practice (GMP) dan standard prosedur oprasional sanitasi atau sanitation
standard operating procedure (SSOP). Di Indonesia, sesuai dengan peraturan
yang ada di Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan yang sekarang
berubah menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menerbitkan
pedoman cara produksi pangan yang baik (CPPB) atau GMP. Pedoman penerapan
GMP ini disusun berdasarkan pedoman umum higiene pangan dan peraturan
perundang-undangan di bidang pangan, terutama yang mengatur mengenai
produksi pangan.
Menurut Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM,
1996), tujuan penerapan GMP adalah menghasilkan produk akhir pangan yang
bermutu, aman dikonsumsi, dan sesuai dengan selera atau tuntutan konsumen,
baik konsumen domestik maupun internasional. Sedang tujuan khusus penerapan
GMP adalah : (1) Memberikan prinsip-prinsip dasar yang penting dalam produksi
39
pangan yang dapat diterapkan sepanjang rantai pangan mulai dari produksi primer
sampai konsumen akhir, untuk menjamin bahwa pangan yang diproduksi aman
dan layak untuk dikonsumsi; (2) Mengarahkan industri agar dapat memenuhi
berbagai persyaratan produksi, seperti persyaratan lokasi, bangunan dan fasilitas,
peralatan produksi, bahan, proses, mutu produk akhir, serta persyaratan
penyimpanan dan distribusi; dan (3) Mengarahkan pendekatan dan penerapan
sistem HACCP sebagai suatu cara untuk meningkatkan keamanan pangan.
Pedoman penerapan GMP ini berguna bagi pemerintah sebagai dasar
untuk mendorong dan menganjurkan industri pangan untuk menerapkan cara
produksi pangan yang baik dalam rangka : (1) Melindungi konsumen dari
penyakit atau kerugian yang diakibatkan oleh pangan yang tidak memenuhi
persyaratan, (2) Memberikan jaminan kepada konsumen bahwa pangan yang
dikonsumsi merupakan pangan yang layak, (3) Mempertahankan atau
meningkatkan kepercayaan terhadap pangan yang diperdagangkan secara
internasional, dan (4) Memberikan bahan acuan dalam program pendidikan
kesehatan di bidang pangan kepada industri dan konsumen. Sedang bagi industri
pangan sebagai acuan dalam menerapkan praktek cara produksi pangan yang baik
dalam rangka : (1) Memproduksi dan menyediakan pangan yang aman dan layak
bagi konsumen; (2) Memberikan informasi yang jelas dan mudah dimengerti
kepada masyarakat, misalnya dengan pelabelan dan pemberian petunjuk mengenai
cara penyimpanan dan penyediaannya, sehingga masyarakat dapat melindungi
pangan terhadap kemungkinan terjadinya kontaminasi dan kerusakan pangan,
yaitu dengan cara penyimpanan, penanganan dan penyiapan yang baik; dan (3)
Mempertahankan atau meningkatkan kepercayaan dunia internasional terhadap
pangan yang diproduksinya (Ditjen POM, 1996).
Standar prosedur operasi sanitasi atau sanitation standard operating
procedure (SSOP) juga merupakan salah satu unsur/komponen program
persyaratan kelayakan dasar yang penting untuk mengimplementasikan dan
menjaga sistem HACCP berjalan dengan baik dan sukses; bahkan SSOP yang
sudah tertulis dan terdokumentasi dengan baik telah direkomendasikan dan
dimandatorikan untuk diimplementasikan secara wajib dalam industri pangan
40
berisiko tinggi seperti pada industri pengolahan ikan dan daging oleh US FDA
dan USDA (Katsuyama dan Jantschke, 1999).
Program persyaratan kelayakan dasar atau prerequisite programs yang
perlu dipersiapkan oleh setiap industri pangan untuk mendukung penerapan
sistem manajemen HACCP menurut Codex Alimentarius Commission atau CAC
(2003) dalam General Principles of Food Hygiene mencakup : Desain bangunan,
fasilitas dan peralatan produksi, Pengendalian proses produksi atau operasi
(Pengendalian bahaya, sistem pengendalian higiene, persyaratan bahan mentah,
pengemasan, pengolahan air, manajemen dan supervisi, dokumentasi dan
rekaman, prosedur penarikan produk), Pemeliharaan (Maintenance) dan Sanitasi
(Pemeliharaan dan pembersihan, program pembersihan, sistem pengendalian
hama dan penyakit menular, pengelolaan dan pengolahan limbah, dan keefektifan
pemantauan), Higiene/kebersihan personil/karyawan (Status kesehatan karyawan,
kebersihan personil, tingkah laku personil, prosedur penerimaan
tamu/pengunjung), Transportasi (Persyaratan, penggunaan dan pemeliharaannya),
Informasi Produk dan Kesadaran (Identifikasi lot, informasi produk, labelling),
dan pendidikan konsumen; serta Pelatihan.
E. PRINSIP HACCP DAN IMPLEMENTASINYA DALAM INDUSTRI
PANGAN
1. Definisi dan Terminologi HACCP
HACCP atau hazard analysis critical control point adalah suatu
pendekatan sistem manajemen yang bersifat sistematis untuk mengidentifikasi,
mengevaluasi, dan mengendalikan bahaya-bahaya keamanan pangan (NACMCF,
1998). Pendekatan sistem manajemen keamanan pangan ini pertama kali dimulai
dalam tahun 1960-an oleh perusahaan industri pengolah pangan Pillsbury
company yang bekerja sama dengan NASA (National Aeronatics and Space of
America) untuk memasok/mensuplai produk pangan yang diperlukan oleh para
astronotnya dalam program ruang angkasanya (Stevenson, 1999). Konsep asli
awalnya sistem HACCP sendiri terdiri tiga prinsip, yaitu : prinsip pertama,
identifikasi dan pengkajian bahaya yang berhubungan dengan pemanenan hingga
penyediaannya; prinsip kedua, penentuan titik kendali kritis dan batas kritis untuk
41
mengendalikan bahaya yang terdidentifikasi; dan prinsip ketiga, menetapkan
sistem prosedur untuk memantau titik kendali kritis (Bauman, 1995).
Selanjutnya, konsep sistem HACCP ini dari tiga prinsip diperluas oleh the
internasional commission on microbiological specifications for foods atau ICMSF
(1988) dan national advisory committee on microbiological criteria for foods atau
NACMCF (1989) menjadi tujuh prinsip. NACMCF membuat konsep sistem
HACCP menjadi lebih ringkas (concise), ada bagian yang dihilangkan, direvisi
dan penambahan definisi, termasuk bagian baru yang disebut sebagai program
persyaratan kelayakan dasar atau prerequisite programs, adanya pendidikan dan
pelatihan, serta implementasi dan pemeliharaan rencana/rancangan HACCP-nya.
Sejak saat itu, HACCP telah diusulkan secara kuat sebagai sistem pendekatan
manajemen keamanan pangan yang efektif untuk pencegahan preventif bahaya-
bahaya keamanan pangan oleh kelompok-kelompok ilmuwan nasional dan
internasional, korporasi, lembaga pemerintah dan perguruan tinggi/universitas
serta lembaga penelitian dan pengembangan (Pierson, 1995). Selanjutnya, codex
alimentarius commission (CAC) yang tergabung dalam WHO/FAO dan
NACMCF merevisi dan memperhalus penjelasan prinsip-prinsip HACCP serta
memberikan suatu pedoman (guidelines) yang dapat digunakan dalam penerapan
prinsip-prinsip HACCP pada berbagai industri pengolahan pangan. Saat ini,
komisi gabungan Codex yang berasal dari WHO/FAO telah mengadopsi versi
terakhir pedoman penerapan sistem HACCP yang memasukkan gagasan
NACMCF (FAO/WHO, 1997).
Menurut Motarjeni et al (1996) dan Stevenson (1990), HACCP merupakan
sistem manajemen pengawasan dan pengendalian keamanan pangan secara
preventif yang bersifat ilmiah, rasional, sistematis dan komprehensif dengan
tujuan mengidentifikasi, memantau atau memonitor dan mengendalikan bahaya
(hazard) mulai dari bahan baku, proses produksi/pengolahan, manufakturing,
penanganan dan penggunaan bahan pangan; untuk menjamin bahwa pangan
tersebut aman bila dikonsumsi. Dengan demikian, dalam sistem HACCP, bahan
atau materi yang dapat membahayakan keselamatan manusia atau yang merugikan
ataupun yang dapat menyebabkan produk pangan tidak dikehendaki; diidentifikasi
dan dikaji dimana kemungkinan besar terjadinya kontaminasi atau kerusakan
42
produk pangan mulai dari penyediaan bahan baku, selama tahap proses
pengolahan hingga sampai distribusi dan penggunaannya.
Sistem HACCP bersifat rasional atau logis, karena pendekatannya
didasarkan pada data historis tentang penyebab suatu penyakit yang timbul
(illness) dan kerusakan pangannya (spoilage). HACCP dikatakan bersifat
sistematis, karena sistem HACCP merupakan rencana yang teliti dan cermat serta
meliputi kegiatan operasional tahap demi tahap, prosedur dan ukuran kriteria
tindakan pencegahan/pengendaliannya. Sedang sistem HACCP juga disebut
bersifat kontinyu, karena apabila ditemukan atau terjadi suatu masalah maka dapat
segera melaksanakan tindakan koreksi untuk memperbaikinya (Bryan, 1990).
Disamping itu, sistem HACCP dikatakan bersifat komprehensif, karena sistem
HACCP ini berkaitan erat dengan ramuan/ingredien pangan, proses pengolahan
dan tujuan penggunaan produk pangan selanjutnya (Stevenson, 1999).
Dalam beberapa kamus bahasa Inggris disebutkan bahwa istilah bahaya
(hazard) dan risiko (risk) kurang lebih hampir sama atau bersinonim. Dalam
istilah HACCP, bahaya (hazard) didefinisikan sebagai suatu yang berpotensi
menyebabkan kerusakan atau bahaya. NACMCF (1997) dan CAC (1997)
mendefinisikan bahaya sebagai suatu agen biologis, kimia dan fisik yang
berpotensi menyebabkan sakit (illness) atau cedera (injury) sebagai akibat dari
tidak adanya pengendalian. Sedang risiko (risk) adalah peluang kemungkinan
terjadinya suatu bahaya.
Sampai saat ini sistem HACCP telah dan sedang dikaji untuk diadopsi atau
diterapkan dalam peraturan/hukum di beberapa negara. Di EU (European Union),
HACCP telah diadopsi melalui peraturan the Directive 93/43 pada tahun 1993
(Ziggers, 2000). Di Amerika Serikat, sistem HACCP telah dimandatorikan dalam
industri pengolahan ikan tahun 1995, untuk industri daging dan ternak unggas
pada tahun 1998 dan untuk industri pembuatan sari buah (juice) pada tahun 2001
(FDA, 2001). Di Indonesia, melalui BSN (Badan Standardisasi Nasional) telah
memutuskan untuk mengadopsi sistem HACCP (CAC HACCP System :
Guidelines for application) menjadi SNI 01-4852-1998 (Sistem Analisa Bahaya
dan Pengendalian Titik Kritis/HACCP – serta Pedoman Penerapannya) dan telah
menetapkan panduannya, yaitu Pedoman BSN 1004-1999 tentang panduan
43
penyusunan rencana sistem analisis bahaya dan pengendalian titik kritis – HACC
P (Suprapto, 1999).
Menurut Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan (1996), dinyatakan bawa
tujuan umum HACCP adalah meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara
mencegah atau mengurangi kasus keracunan dan penyakit melalui pangan, sedang
tujuan khusus HACCP adalah : (1) Mengevaluasi cara memproduksi pangan
untuk mengetahui bahaya yang mungkin timbul dari makanan, (2) Memperbaiki
cara memproduksi pangan dengan memberi perhatian khusus terhadap tahap-
tahap proses yang dianggap kritis, (3) Memantau dan mengevaluasi cara-cara
penanganan dan pengolahan pangan serta penerapan sanitasi dalam memproduksi
pangan, dan (4) Meningkatkan inspeksi mandiri terhadap industri pangan oleh
operator dan karyawan. Disamping itu, HACCP sangat berguna bagi industri
pangan, yaitu dalam hal : mencegah penarikan produk, mencegah penutupan
pabrik, meningkatkan jaminan keamanan produk pangan, pembenahan dan
pembersihan pabrik, mencegah kehilangan pembeli atau pasar, meningkatkan
kepercayaan konsumen dan mencegah pemborosan biaya atau kerugian yang
mungkin timbul karena masalah keamanan produk pangan.
2.Prinsip HACCP dan Implementasinya Dalam Industri Pangan
Sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan hazard analysis critical
control point (HACCP) pada dasarnya terdiri dari tujuh prinsip sebagai berikut :
(CAC, 1997; Ditjen POM, 1996; NACMCF, 1999) : (1) Analisis bahaya dan
penetapan risiko, yaitu identifikasi secara hati-hati bahaya yang mungkin
timbul/terdapat pada bahan pangan , mulai dari pemanenan bahan mentah dan
ingredien, pengolahan, distribusi, pengangkutan dan konsumsi pangan; (2)
Identifikasi titik kendali kritis atau CCP (critical control point), yaitu suatu titik,
proses atau prosedur yang jika pengendaliannya kurang baik akan menimbulkan
risiko bahaya keamanan pangan yang tinggi; (3) Penetapan batas kritis yang harus
dipenuhi untuk setiap CCP yang telah ditentukan/teridentifikasi; (4) Penetapan
prosedur pemantauan untuk setiap CCP yang perlu dimonitor; (5) Menentukan
tindakan koreksi (corrective action) yang segera diambil untuk memperbaiki
sistem jika terjadi penyimpangan pada batas kritisnya; (6) Penetapan dan
44
pengembangan sistem dokumentasi yang efektif terhadap catatan operasi (record-
keeping) dan merupakan bagian dari dokumen rancangan HACCP; dan (7)
Penetapan prosedur verifikasi yang menunjukkan bahwa sistem HACCP telah
berjalan dengan baik.
Untuk menerapkan dan mengembangan sistem HACCP dalam industri
pangan, tahap pertama yang harus dilakukan oleh setiap industri pangan adalah
perlu adanya komitmen dan manajemen kepemimpinan perusahaan industri
pangan dengan fokus keamananan pangan serta pemenuhan terhadap persyaratan
kelayakan dasar sistem HACCP. Adanya komitmen dan manajemen
kepemimpinan dari perusahaan industri pangan berarti dari pihak manajemen
puncak hingga seluruh karyawan/staf yang terlibat, dalam proses produksi pangan
harus mendukung dan melaksanakan program keamanan pangan yang
dicanangkan dalam kebijakan perusahaannya. Tanpa adanya komitmen dan
manajemen kepemimpinan yang baik, program tersebut tidak akan berhasil
dilaksanakan.
Persyaratan kelayakan dasar untuk penerapan sistem HACCP yang sangat
penting untuk diperhatikan oleh pemilik atau pimpinan atau penanggung jawab
manajemen perusahaan industri pangan adalah pemenuhan terhadap persyaratan
cara produksi pangan yang baik atau good manufacturing practice (GMP)
termasuk higiene dan sanitasinya (IFST, 1991). Salah satu buku petunjuk yang
dipakai sebagai acuan untuk memenuhi persyaratan GMP ini di Indonesia adalah
buku "pedoman penerapan cara produksi pangan yang baik" oleh Departemen
Kesehatan (Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan, 1996). Aspek-aspek yang
perlu diperhatikan meliputi : pengadaan bahan mentah, disain bangunan dan
fasilitas pabrik, proses pengolahan pangan, bahan pengemas, mutu produk akhir,
keterangan produk, higiene dan kesehatan karyawan, pemeliharaan fasilitas dan
program sanitasi, penyimpanan, transportasi, laboratorium dan pemeriksaan,
manajemen dan pengawasan, dokumentasi/pencatatan dan penarikan produk
(recall) serta pelatihan dan pembinaan karyawan.
Langkah-langkah penerapan dan pengembangan sistem HACCP (Hazard
Analysis Critical Control Point) dalam industri pangan menurut standar
NACMCF (1997) dan CAC (1997) disajikan secara ringkas pada Tabel 9.
45
Tabel 9. Langkah-langkah penerapan dan pengembangan sistem HACCP dalam industri pangan menurut standar NACMCF (National Advisory Committee on Microbilogical Criteria for Foods) dan CAC (Codex Alimentarius Commission) (*)
No. Kegiatan yang dilakukan untuk penerapan dan pengembangan sistem HACCP
Keterangan
1. Penyusunan tim HACCP dan penentuan lingkup penerapan sistem HACCP
Langkah pendahuluan pertama
2. Penyusunan deskripsi produk dan metode distribusinya Langkah pendahuluan kedua
3. Penyusunan deskripsi tujuan penggunaan produk pangan
Langkah pendahuluan ketiga
4. Penyusunan diagram alir proses produksi secara lengkap Langkah pendahuluan keempat
5. Verifikasi diagram proses produksi (on-site) di lapangan Langkah pendahuluan kelima
6. Penyusunan dan penentuan semua bahaya yang berkaitan dengan setiap langkah proses atau pembuatan tabel analisis bahaya dan penentuan tindakan untuk pengendaliannya
Prinsip HACCP pertama
7. Penentuan titik kendali kritis atau critical control point (CCP)
Prinsip HACCP kedua
8. Penentuan batas kritis untuk setiap CCP Prinsip HACCP ketiga 9. Penetapan prosedur pemantauan untuk setiap CCP Prinsip HACCP
keempat 10. Penyusunan rencana tindakan koreksi untuk setiap
kemungkinan penyimpangan atau ketidaksesuaian Prinsip HACCP kelima
11. Penyusunan prosedur perekaman dan dokumentasi sistem HACCP
Prinsip HACCP keenam
12. Penyusunan prosedur verifikasi sistem HACCP Prinsip HACCP ketujuh
(*) Sumber : NACMCF (1997) dan CAC (1997).
Langkah-langkah 1 sampai dengan 5 pada Tabel 9 tersebut merupakan
langkah pendahuluan penerapan dan pengembangan sistem HACCP. Dalam hal
ini, perusahaan industri pengolah pangan perlu menyusun tim HACCP terlebih
dahulu. Tim bisa berjumlah 3-5 orang atau lebih (tergantung besar kecil dan ruang
lingkup kegiatan industri pangan) dan tim ini sebaiknya berasal dari berbagai
disiplin ilmu serta pernah mendapat pelatihan sistem HACCP. Anggota tim
HACCP tidak perlu dibatasi dan dapat berasal dari bagian : produksi,
pengendalian mutu atau quality control (QC), jaminan mutu atau quality
assurance (QA), manufakturing, keteknikan (engineering), penelitian dan
pengembangan atau research and development (R & D) serta sanitasi. Tim
HACCP merupakan individu-individu yang mempunyai pengetahuan dan
46
pengalaman di bidang pekerjaannya masing-masing sehingga informasi teknis dan
masukan atau input dari mereka bermanfaat untuk mengembangkan sistem
HACCP secara efektif dan benar. Bila tim belum pernah mendapat pelatihan
sistem HACCP, sebaiknya diberi pelatihan terlebih dahulu baik melalui program
pelatihan di luar perusahaan (eksternal) ataupun pelatihan di dalam perusahaan
(internal). Tujuannya supaya anggota tim HACCP tersebut mampu dan kompeten
menerapkan dan mengembangkan sistem HACCP dalam perusahaan industri
pangan yang bersangkutan. Bila perlu dapat juga memanfaatkan jasa konsultan
(tenaga ahli) yang sudah berpengalaman dalam menerapkan dan mengembangkan
sistem HACCP.
Deskripsi produk pangan yang dihasilkan oleh industri pangan dan cara
distribusinya diusahakan disusun secara lengkap (langkah pendahuluan ke-2) dan
didiskusikan oleh anggota tim HACCP. Deskripsi produk mencakup : nama
produk, bahan baku, uraian singkat proses pengolahan, pengemasan, daya simpan
atau keawetan produk, sistem penjualan, instruksi pada label, metode distribusi,
target pengguna, serta informasi lain yang sekiranya diperlukan. Sedangkan
deskripsi tujuan penggunaan produk perlu dijelaskan, misalnya dikonsumsi
langsung (ready-to-eat atau ready-to-drink), dimasak terlebih dahulu, dan
sebagainya.
Langkah pendahuluan selanjutnya adalah penyusunan diagram alir proses
produksi pada industri pangan secara lengkap. Diagram alir proses ini harus
dibuat lengkap dari penerimaan bahan di pabrik, bahan penolong untuk keperluan
pengolahan pangan, dan bahan pengemas yang dipakai sampai dengan
penyimpanan produk dan distribusinya. Kemudian, diagram alir proses harus
diverifikasi di lokasi proses produksi agar mencerminkan keadaan/kondisi yang
ada di lapangan (NACMCF, 1999).
Langkah berikutnya adalah penerapan prinsip-prinsip HACCP mulai dari
prinsip pertama HACCP sampai dengan prinsip ketujuh HACCP. Langkah
penerapan prinsip pertama adalah tim HACCP yang dibentuk menganalisis dan
mendaftar semua potensi bahaya (biologis, kimia, fisik) yang mungkin timbul
pada setiap titik/tahap proses pengolahan pangannya beserta menentukan cara
pencegahan/pengendaliannya (preventive measure). Menurut NACMCF (1999)
47
ataupun CAC (1997). Tujuan dilaksanakannya analisis bahaya ini adalah untuk
mengembangkan suatu daftar bahaya yang beberapa di antaranya diketahui nyata
(signifikan) dapat menyebabkan cidera atau sakit bila tidak dikendalikan secara
efektif, sedang proses analisis bahaya itu sendiri terdiri atas dua tahap, yaitu :
identifikasi bahaya dan evaluasi bahaya.
Bahaya (hazards) didalam konteks keamanan pangan menurut Mortimore
dan Wallace (1995) adalah perangkat biologis, kimiawi, dan fisik yang dapat
menyebabkan pangan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi manusia dan dapat
menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia. International Commission of
Microbiological Specifications for Food (ICMSF, 1992) membagi bahaya biologi
berdasarkan tingkat risiko bahaya, yaitu Grup I yang mempunyai bahaya besar,
grup II mempunyai tingkat bahaya sedang tetapi bahaya penyakit yang
ditimbulkannya berpotensi untuk meyebar, dan grup III yang mempunyai tingkat
bahaya sedang dengan penyebarannya yang terbatas. Jenis-jenis bahaya
mikrobiologis tersebut dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Bahaya mikrobiologis (mikroba, virus dan parasit) yang dibagi berdasarkan
risiko keparahan bahayanya (*). Bahaya Tinggi (Grup I) Bahaya Sedang , Potensial
menyebar (Grup II) Bahaya Sedang, Terbatas Penyebarannya (Grup III)
Clostridium botulinum tipe A, B, E dan F
Listeria monocytogenes Bacillus cereus
Shigella dysenteriae Salmonella sp Campylobacter jejuni Salmonella typhii, paratyphy A, B
Shigella sp Clostridium perfringens
Virus Hepatitis A dan E Enterovirulent Escherichia coli (EEC)
Staphyloccus aureus
Brucella abortis; B. suis Streptococcus pyrogenes Vibrio cholerae, non O1 Vibrio cholerae O1 Rotavirus Vibrioparahaemolyticus Vibrio vulnivicus Norwalk virus grup Yersinia enterocolotica Taenia solium Entamoeba histolytica Giardia lamblia Trichinella spiralis Diphyllobothrium latum Taenia saginata Ascaris lumbricoides Cryptosporodium parvum (*) Sumber : ICMSF (1992).
Menurut Cliver (1992) bahaya kimia dalam makanan dibagi menjadi dua
macam, yaitu yang secara alami terjadi dan kedua bahan kimia yang ditambahkan
dengan sengaja. Bahan yang tidak disengaja ditambahkan berasal dari
residu/kontaminan dari bahan yang bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan
produksi, bahan mentah pada penanganan yang terus terbawa sampai saat
48
dikonsumsi, terdapat pada bahan pangan (sedikit atau banyak) akibat perlakuan
selama proses produksi, pengolahan dan pengemasan, sisa pestisida, pupuk,
antibiotik, herbisida dan logam berat; sedangkan yang sengaja ditambahkan
misalnya bahan pengawet, antioksidan, pengemulsi dan penstabil, pewarna,
penguat rasa, humektan, pewangi, pengasam, pemanis, pemutih, enzim, penambah
nilai gizi dan lain-lain. Bahan-bahan kimia yang berbahaya pada pangan dapat
dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Bahan kimia berbahaya pada pangan (*)
Sumber Bahan Kimia Jenis Bahan Kimia Berbahaya Terbentuk secara tidak sengaja - Mikotoksin
- Skrombotoksin (histamin) - Ciguatoksin - Toksin jamur - Toksin kerang : toksin paralitik (PSP), toksin diare (DSP), neurotoksin (NSP), toksin amnesik (ASP) - Alkaloid pirolizidin - Fitohemaglutinin - PCB (polychlorinated biphenyl)
Ditambahkan secara sengaja atau tidak sengaja
- Bahan kimia pertanian : pestisida, fungisida, pupuk, insektisida, antibiotik, hormon pertumbuhan
- Logam berbahaya (Pb, Zn, As, Hg, sianida) - Bahan tambahan (jumlah terbatas) : pengawet (nitrit dan sulfit),
perangsang cita rasa (MSG), penambah gizi (niasin), bahan pewarna (amaranth, methanyl yellow, rhodamin B), bahan pemanis
- Bahan bangunan dan sanitasi : lubrikan, pembersih, sanitaiser, pelapis cat.
(*) Sumber : Fardiaz (1996).
Bahaya fisik didefinisikan sebagai benda asing yang berbentuk fisik yang
secara normalnya tidak terdapat dalam pangan dan dapat menimbulkan penyakit
(termasuk trauma psikologis) atau luka terhadap individu (Corlett, 1992). Sumber
bahaya fisik antara lain berasal dari bahan mentah air, gedung, peralatan, material
gedung dan pekerja. Bahaya yang terkait dengan bahaya fisik dapat dilihat pada
Tabel 12. Selain bahaya fisik di atas, bahaya fisik lainnya meliputi rambut,
kotoran, kelupasan cat, karat, debu dan kertas (Pierson dan Corlett, 1992).
Bahaya kimia sangat dikenali oleh sebagian besar konsumen, padahal pada
kenyataannya memberikan risiko kesehatan tidak cukup fatal dan umumnya
memberikan pengaruh dalam waktu yang panjang. Bahaya biologis lebih besar,
kemungkinan bahaya yang ditimbulkannya dalam bentuk keracunan pangan/
makanan. Adapun bahaya fisik sangat mudah dikenali dan dihindari oleh
konsumen (Thaheer, 2005).
49
Tabel 12. Material utama yang menyebabkan bahaya fisik (*)
Material Bahaya Potensial Sumber Gelas Terpotong, berdarah, luka dan
mungkin memerlukan operasi untuk menghilangkannya
Botol, wadah, lampu, peralatan pengolahan
Kayu Terpotong, infeksi, tercekik dan mungkin memerlukan operasi untuk menghilangkannya
Pallet, boks, gedung, pohon/ ranting
Batu/kerikil Tercekik, gigi patah Lapangan, gedung Logam Terpotong, infeksi, mungkin perlu
operasi untuk menghilangkannya Mesin pengolahan lapangan, kawat, pekerja
Serangga dan kotorannya Penyakit, trauma psikologis dan tercekik
Lapangan, peralatan yang sudah lama tidak digunakan, gudang
Bahan insulasi Tercekik, penggunaan asbes dalam waktu lama
Material bangunan
Potongan tulang Tercekik, trauma Lapangan, proses pengolahan (pemisahan tulang yang tidak benar)
Plastik Tercekik, terpotong, infeksi, mungkin memerlukan operasi untuk menghilangkannya
Lapngan, bahan pengemas, pallet, pekerja
Bagian tubuh (kuku, rambut, bulu, dan lain-lain)
Tercekik, terpotong, gigi patah dan mungkin perlu operasi untuk menghilangkannya
Pekerja/karyawan
Sisik, kulit Tercekik Pembersihan sisik ikan dan pengulitan hewan secara tidak benar
(*) Sumber : Corlett (1992)
Identifikasi bahaya kadang-kadang atau seringkali dilakukan dengan cara
mengumpulkan bahan-bahan informasi dari peraturan pemerintah, undang-undang
yang berlaku, hasil penelitian dari lembaga/instansi yang kompeten di bidangnya
oleh tim HACCP dan selanjutnya tim HACCP akan meninjau atau mengkaji ulang
tentang : bahan baku dan/atau ingredien yang digunakan dalam produk, aktivitas
yang dilakukan pada setiap langkah proses pengolahan, peralatan yang digunakan
untuk membuat/ menghasilkan produk pangan, cara penyimpanan dan distribusi,
serta tujuan penggunaan produk dan konsumen yang memanfaatkannya. Sedang
evaluasi bahaya dilakukan setelah bahaya-bahaya yang teridentifikasi tersebut
dievaluasi berdasarkan dua faktor, yaitu berdasarkan tingkat keparahannya
menyebabkan sakit atau cidera dan peluang kemungkinan terjadinya bahaya
tersebut (Bernard et al, 1999). Bahkan analisis bahaya ini diperlukan sebagai
dasar penyediaan informasi penentuan titik kendali kritis atau CCP (critical
control point).
Untuk menentukan risiko atau peluang tentang terjadinya suatu bahaya
pada produk pangan, maka dapat dilakukan penetapan kategori risiko. Kategori
risiko bahaya pada produk pangan ada enam bahaya, yaitu bahaya A sampai F
50
disajikan pada Tabel 13, sedang penetapan kategori risiko produk dapat dilihat
pada Tabel 14.
Tabel 13. Karakteristik Bahaya Pada Produk Pangan (*) Kelompok Bahaya Karakteristik Bahaya
Bahaya A Produk-produk pangan yang tidak steril dan dibuat untuk konsumsi kelompok berisiko tinggi (lansia, bayi, immunocompromised)
Bahaya B Produk mengandung ingredient yang sensitif terhadap bahaya biologi, kimia atau fisik
Bahaya C Proses tidak memiliki tahap pengolahan yang terkendali, yang secara efektif membunuh mikroba berbahaya atau menghilangkan bahaya kimia atau fisik
Bahaya D Produk mungkin mengalami rekontaminasi setelah pengolahan sebelum pengemasan
Bahaya E Ada potensi terjadinya kesalahan penanganan selama distribusi atau oleh konsumen yang menyebabkan produk berbahaya
Bahaya F Tidak ada tahap pemanasan akhir setelah pengemasan atau di tangan konsumen, atau tidak ada pemanasan akhir atau pemusnahan mikroba setelah pengemasan sebelum memasuki pabrik (untuk bahan baku), atau tidak ada cara apapun bagi konsumen untuk mendeteksi, menghilangkan atau menghancurkan bahaya kimia atau fisik
(*) Sumber : NACMCF (1995)
Tabel 14. Penetapan Kategori Risiko Produk (*)
Produk Berisiko Tinggi Produk Berisiko Sedang Produk Berisiko Rendah . Produk-produk yang mengandung ikan, telur,
sayur, serealia dan/atau ingredien susu yang perlu direfrigerasi
. Produk-produk kering atau beku yang mengandung ikan, daging, telur, sayuran atau serealia dan atau ingredien atau penggantinya dan produk lain yang tidak termasuk dalam regulasi higiene makanan
. Produk asam (nilai pH di bawah 4,6) seperti pikel, buah-buahan, konsentrat buah, sari buah dan minuman asam
. Daging, ikan mentah dan produk-produk olahan
susu
. Sandwich dan kue pies daging untuk konsumsi segar
. Sayuran mentah yang tidak diolah dan tidak dikemas
. Produk-produk dengan nilai pH 4,6 atau di atasnya yang disterilisasi dalam wadah yang tertutup secara hermetis
. Produk-produk berbasis lemak misalnya coklat, margarin, spreads, mayones dan dressing
. Selai (jam), marmelade dan conserves
. Produk-produk konfeksioneri berbasis gula
. Minyak dan lemak (*) Sumber : NACMCF (1995).
Dari beberapa banyak bahaya yang dimiliki oleh suatu bahan baku,
ingredien pangan dan produk pangan, maka National Advisory Committee on
Microbiological Criteria for Foods (1995) mengelompokkan kategori risiko
51
bahaya dalam enam kategori, yaitu kategori risiko I sampai dengan VI seperti
yang tercantum pada Tabel 15 berikut.
Tabel 15. Penetapan Kategori Risiko Suatu Bahan Pangan (*)
Karakteristik Bahaya Kategori Risiko
Jenis Bahaya
0 0 Tidak mengandung bahaya A sampai F (+) I Mengandung satu bahaya B sampai F
(++) II Mengandung dua bahaya B sampai F (+++) III Mengandung tiga bahaya B sampai F
(++++) IV Mengandung empat bahaya B sampai F (+++++) V Mengandung lima bahaya B sampai F
A+ (Kategori khusus) dengan atau tanpa bahaya B-F
VI Kategori risiko paling tinggi (semua produk yang mempunyai bahaya A)
(*) Sumber : NACMCF (1995).
Setelah bahaya-bahaya tersebut teridentifikasi, dengan menggunakan
petunjuk yang disebut "diagram alir pohon penentuan titik kendali kritis"
(Gambar 2), maka tim HACCP dapat menentukan pada tahap atau titik mana yang
ditetapkan sebagai titik kendali kritis atau CCP (critical control point). NACMCF
(1999) dan CAC (1997) mendefinisikan titik kendali kritis atau CCP sebagai suatu
titik lokasi/tahap atau prosedur dimana pengendalian dapat diterapkan dan penting
untuk mencegah atau mengeliminasi atau mengurangi bahaya keamanan pangan
hingga tingkat yang dapat diterima. Beberapa contoh pada tahap produksi pangan
yang dapat dikatakan sebagai CCP misalnya : proses thermal, pendinginan
(chilling), pembekuan (freezing), pengujian ingredien untuk residu bahan kimia,
pengendalian formulasi produk, dan pengujian produk terhadap kontaminasi
logam. Oleh karena itu, CCP harus dikembangkan dan didokumentasikan dengan
baik oleh tim HACCP.
Setelah CCP ditetapkan, tim HACCP pada industri pangan harus
menetapkan batas kritisnya, karena batas kritis pada titik kendali kritis atau CCP
menujukkan batas keamanan pangan. NACMCF (1999) mendefinisikan batas
kritis sebagai nilai toleransi maksimal dan/atau minimal parameter biologi, kimia
atau fisik yang ditetapkan dan harus dipenuhi untuk mengendalikan bahaya
tersebut pada CCP secara efektif sampai tingkat yang dapat diterima. Beberapa
52
contoh batas kritis yang perlu ditetapkan dan harus dipenuhi sebagai alat tindakan
pengendalian/pencegahan bahaya dalam industri pengolahan pangan misalnya
adalah : suhu dan waktu maksimal yang ditetapkan untuk proses kecukupan
thermal, suhu maksimal untuk menjaga kondisi pendingin-an/pembekuan, jumlah
maksimal residu pestisida yang diperkenankan ada dalam bahan pangan, pH
maksimal yang diperkenankan pada tahap proses formulasi bahan dan batas
maksimal penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) yang digunakan dalam
proses produksi pangan.
53
* ) Identifikasi bahaya dalam menggambarkan proses ** ) Tingkatan yang dapat diterima & tidak dapat diterima yang diperlukan didefinisikan dalam
semua tujuan mengidentifikasi CCP dalam rencana HACCP Gambar 2. Diagram alir bagan penentuan titik kendali kritis atau CCP (Sumber : BSN,
1998; Codex Alimentarius Commission/CAC, 1997)
Ya
Apakah ada tindakan pengendalian terhadap bahaya yang diidentifikasi ?
Apakah pengendalian pd langkah ini perlu untuk pengamanan ?
Bukan CCP
Lakukan modifikasi tahapan dalam proses atau produk
Apakah langkah tsb dirancang khusus/ spesifik untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya yg mungkin terjadi sampai ke tingkat yg dapat diterima ? (**)
Dapatkah kontaminasi dgn bahaya yg teridentifikasi terjadi melebihi batas yg dpt diterima atau dapatkah ini meningkat/ berkembang sampai tingkatan yg tdk dapat diterima ?
Bukan CCP
Apakah langkah/tahapan berikutnya dpt menghilangkan bahaya yg teridentifikasi atau mengurangi tingkatan kemungkinan terjadinya bahaya sampai ke tingkat yg dpt diterima ? **)
Titik Kendali Kritis (CCP)
Bukan CCP
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Ya
Ya
Berhenti *)
Berhenti *)
P1
P2
P3
P4 Berhenti *
54
Langkah penerapan selanjutnya adalah pemantauan (monitoring) terhadap
titik kendali kritis dan batas kritisnya. Monitoring/pemantauan menurut
NACMCF (1999) merupakan rencana pengawasan dan pengukuran
berkesinambungan untuk mengetahui apakah suatu CCP dan batas kritisnya dalam
keadaan terkendali dan menghasilkan catatan (record) yang tepat untuk digunakan
dalam tahap verifikasi berikutnya. Kegiatan monitoring ini mencakup : (1)
Pemeriksaan apakah prosedur penanganan dan pengolahan pada CCP dapat
dikendalikan dengan baik; (2) Pengujian atau pengamatan terjadwal terhadap
efektifitas suatu proses untuk mengendalikan CCP dan batas kritisnya; dan (3)
Pengukuran dan pengamatan batas kritis untuk memperoleh data yang teliti
dengan tujuan untuk menjamin bahwa batas kritis yang ditetapkan dapat
menjamin keamanan produk (Corlett, 1991).
Cara dan prosedur monitoring untuk setiap CCP perlu diidentifikasi oleh
tim HACCP agar dapat memberi jaminan bahwa proses pengendalian pengolahan
produk pangan masih dalam batas kritisnya dan menjamin tidak ada bahayanya.
Idealnya, pemantauan/monitoring pada CCP dilakukan secara kontinyu hingga
dicapai tingkat kepercayaan 100% sehingga efektif dalam memberi jaminan
keamanan pangan terhadap produk pangan yang dihasilkan. Namun bila hal ini
tidak memungkinkan, dapat dilakukan pemantauan secara tidak kontinyu dengan
syarat terlebih dahulu harus ditetapkan interval waktu yang sesuai sehingga
keamanan benar-benar terjamin.
Kegiatan pemantauan/monitoring terhadap CCP dan batas kritisnya
mencakup, yaitu : apa (what) yang dipantau, dimana (where) tempat dilakukan
pemantauan, bagaimana (how) cara melakukan pemantauan, kapan (when)
pemantauan dilakukan dan siapa (who) orang yang melaksanakan tindakan
pemantauan (Gombas et al, 2000).
Langkah penerapan berikutnya adalah menerapkan prosedur untuk
melakukan tindakan koreksi (corrective action) apabila pada CCP tersebut terjadi
penyimpangan (bias). Menurut NACMCF (1999) dinyatakan bahwa tindakan
koreksi sebaiknya mencakup beberapa unsur sebagai berikut : (a) Penentuan dan
pengoreksian penyebab terjadinya ketidaksesuaian (non-compliance), (b)
Penentuan disposisi produk yang tidak sesuai atau tidak memenuhi standar proses
55
yang ditetapkan sehingga tidak mengakibatkan potensi bahaya baru, dan (c)
Pencatatan dan pendokumentasian terhadap tindakan koreksi yang telah diambil
dengan tujuan untuk memodifikasi suatu proses atau pengembangan lainnya.
Langkah penerapan selanjutnya adalah menerapkan prosedur pencatatan
dan pendokumentasian sistem HACCP yang efektif. Dokumentasi dan rekaman
sistem HACCP sangat penting bagi industri pangan untuk keperluan kaji ulang
(review) penerapan sistem HACCP dan bagi auditor keamanan pangan untuk
mengetahui apakah rancangan HACCP-nya sudah diterapkan secara efektif dan
konsisten dalam operasionalnya.
Dokumen-dokumen dan rekaman-rekaman sistem HACCP yang
diperlukan untuk keperluan audit keamanan pangan mencakup : susunan tim
HACCP yang telah disahkan oleh pimpinan manajemen perusahaan, deskripsi
produk yang dibuat termasuk penggunaannya, diagram alir dan denah area
produksi, tabel analisis dan identifikasi bahaya, tabel penentuan CCP (critical
control point), tabel pengendalian sistem HACCP, instruksi kerja CCP, rekaman
pemantauan lainnya dan daftar amandemen atau perubahan dokumen.
Langkah penerapan berikutnya adalah tim HACCP melakukan kegiatan
verifikasi terhadap sistem HACCP. Kegiatan verifikasi tim HACCP dalam
industri pangan dapat dilakukan dengan cara mengaji ulang dan audit untuk
mencek terhadap metode, prosedur, cara uji, cara analisis dan lain-lain yang
dipraktekan di lapangan untuk mengetahui apakah sistem HACCP sudah sesuai
dengan rancangan HACCP (HACCP Plan) yang sudah disusun dan
beroperasi/bekerja dengan efektif dan benar (NACMCF, 1999). Verifikasi
menurut SNI 01-4852-1998 adalah penerapan metode, prosedur, pengujian, dan
cara pendataannya, disamping pemantauan untuk menentukan kesesuaian dengan
rencana HACCP (HACCP Plan). Dalam panduan HACCP yang dikeluarkan oleh
Codex Alimentarius Commission (CAC) yang diadopsi oleh SNI 01-4852-1998
memasukkan validasi ke dalam bagian dari verifikasi. Sementara itu, dalam
standar ISO 22000 : 2005, verifikasi disebutkan sebagai konfirmasi melalui
penyediaan bukti obyektif bahwa suatu persyaratan khusus telah terpenuhi.
Sedang, validasi ditegaskan sebagai konfirmasi melalui penyediaan bukti obyektif
56
bahwa persyaratan bagi penggunaan khusus atau penerapan telah mampu
dipenuhi.
Verifikasi yang dilakukan oleh tim HACCP mencakup berbagai kegiatan
evaluasi terhadap rancangan dan penerapan sistem HACCP, yaitu : penetapan
jadwal verifikasi yang tepat, peninjauan kembali (review) rancangan HACCP,
pemeriksaan dan penyesuaian catatan CCP dengan kondisi proses sebenarnya,
pemeriksaan penyimpangan terhadap CCP dan prosedur koreksi/perbaikan yang
harus dilakukan, pengambilan contoh dan analisis (fisik, kimia dan/atau
mikrobiologis) secara acak pada tahap-tahap yang dianggap kritis; catatan tertulis
mengenai kesuaian dengan rancangan HACCP, penyimpangan terhadap
rancangan dan tindakan koreksi/perbaikan yang dilakukan; validasi rancangan
HACCP, termasuk pemeriksaan kembali diagram alir dan CCP serta pemeriksaan
kembali modifikasi rancangan HACCP (Corlett, 1991). Selain itu, verifikasi oleh
tim HACCP dilakukan dengan cara melakukan audit internal dan kaji ulang
manajemen atau management review.
Sementara itu, jadwal kegiatan verifikasi dapat dilakukan pada saat-saat
tertentu, yaitu : (a) secara rutin atau tidak terduga untuk menjamin bahwa CCP
yang ditetapkan masih dapat dikendalikan; (b) jika diketahui bahwa produk
tertentu memerlukan perhatian khuus karena informasi terbaru tentang keamanan
pangan; (c) jika produk yang dihasilkan diketahui atau diduga sebagai penyebab
terjadinya keracunan pangan; dan (d) jika kriteria yang ditetapkan dalam
rancangan HACCP dirasakan belum mantap, atau jika ada saran/rekomendasi dari
instansi yang berwenang dan kompeten di bidang keamanan pangan.
F. KENDALA DALAM PENERAPAN SISTEM HACCP
Penerapan sistem HACCP dalam industri pangan memerlukan perubahan
sistem manajemen operasional yang harus diikuti oleh seluruh staf organisasi
perusahaan. Untuk mencapai keberhasilan penerapan sistem HACCP, program-
program HACCP memerlukan dukungan yang tepat dan sistem manajemen yang
baik, karena program HACCP tidak bekerja secara otomatis (Stevenson dan
Bernard, 1999). Namun demikian, terdapat bukti bahwa penerapan sistem
HACCP dalam industri pangan mempunyai beberapa kendala dalam
57
penerapannya. Kendala-kendala dalam penerapan sistem HACCP dalam industri
pangan dapat mencakup : kurangnya manajemen komitmen, hambatan mental
(psikologis), hambatan oraganisasi, biaya yang dikeluarkan untuk implementasi
dan operasional sumber daya sistem HACCP, pengalokasian waktu dan adanya
pemahaman konsep yang salah (misconception) tentang sistem HACCP.
1. Kurangnya Komitmen Manajemen
Program HACCP tidaklah berbeda dengan program-program manajemen
lainnya, yakni menyangkut adanya komitmen dalam pengelolaan sumber daya
manusia dan sumber daya lainnya sehingga hasilnya akan terlihat selama
penerapannya (Stevenson dan Bernard, 1999). Oleh karena itu, kurangnya
manajemen komitmen dari pihak pimpinan manajemen dapat memunculkan
masalah-masalah dan kegagalan dalam praktek penerapan sistem HACCP. Tanpa
adanya dukungan dan komitmen dari individu-individu yang terlibat dalam sistem
HACCP, menyebabkan sistem HACCP akan menjadi tidak dipraktekan dengan
baik dan HACCP tidak akan mencapai sasaran sesuai yang diharapkan sebagai
program keamanan yang dijanjikan (Mayes, 1994). Dengan demikian, agar sistem
HACCP berhasil diterapkan dalam industri pangan, harus ada komitmen yang
jelas terhadap keamanan pangan dan konsep atau filosofi sistem HACCP.
Perlu diketahui bahwa pengorganisasian dan pengelolaan program
HACCP, pihak manajemen harus komitmen untuk menyediakan dan
mengalokasikan waktu dan sumber daya yang cukup melalui pendidikan dan
pelatihan bagi penyelia (supervisor), karyawan pabrik dan personil yang
bertanggung jawab di bidang teknis tentang fungsi dan peran mereka dalam sistem
HACCP. Penting untuk dicatat/diperhatikan bahwa komitmen manajemen ini
sebagai proses yang terus berjalan (Woody et al, 1999). Bahkan setelah awal
periode pelatihan sistem HACCP, pelatihan tambahan lain yang diperlukan untuk
pengembangan dan penerapan HACCP perlu diidentifikasi dan dilakukan.
Misalnya, untuk karyawan yang bukan anggota tim HACCP, tetapi karyawan
tersebut mempunyai tanggung jawab untuk memantau CCP, melakukan prosedur
tindakan koreksi bila ada penyimpangan dan menyimpan hasil rekamannya.
Karyawan tersebut perlu diberi pelatihan agar memahami dan mengerti tidak
58
hanya apa tanggung jawabnya tetapi juga mengapa tanggung jawab tersebut
penting dan dibebankan kepada karyawan yang bersangkutan. Oleh karena itu,
pihak manajemen harus komit terhadap penyediaan waktu dan sumber daya yang
diperlukan sebelum pelatihan secara formal sistem HACCP dilakukan. Komitmen
manajemen ini harus dipelihara atau dijaga dalam rencana pengembangan sistem
HACCP dan penerapannya, serta pengkajian kembali rencana HACCP yang sudah
disusun bila program HACCP itu ingin berhasil diterapkan.
2. Hambatan Mental (Psikologis)
Hambatan mental atau psikologis biasanya ditemui terhadap para peserta
seminar atau pelatihan pada saat pengenalan sistem HACCP melaui seminar atau
pelatihan, karena mereka beranggapan dan berpikir bahwa mereka akan
mendapatkan kesulitan dalam menerapkan sistem HACCP dalam perusahaan
industri pangannya. Mereka biasanya mempunyai perasaan pesimis dengan
kondisi realistik perusahaan yang ada saat ini yang tidak memungkinkan untuk
menerapkan sistem HACCP, bila kondisi perusahaan tidak didukung oleh pihak
manajemen, misalnya perlu adanya penggantian peralatan baru untuk mendukung
sistem HACCP, masih rendahnya pengetahuan dan pemahaman karyawan tentang
sistem HACCP; dan standar prosedur operasi (SOP), instruksi kerja dan lembar
catatan kerja belum dibuat. Disamping itu, hambatan psikologis lainnya adalah
kurangnya dukungan sumber keuangan dan daya beli perusahaan (Jouve, 1994),
lebih kompleksnya praktek dalam penanganan pangan (Sheppard et al, 1990) dan
kurangnya tenaga ahli di bidang teknik/rekayasa/proses dan personil dibidangnya
(Stevenson, 1990), sehingga semua hal tersebut dikatakan sebagai hambatan
mental (psikologis) dalam pengembangan sistem HACCP di industri pangan.
Namun demikian, persepsi mereka terhadap sistem HACCP menjadi gugur,
karena mereka pada prinsipnya belum memahami sistem HACCP secara jelas.
Setelah karyawan dan staf diberi pendidikan dan pelatihan berkenaan
dengan pemahaman sistem HACCP (termasuk definisi/terminologi, filosofi,
prinsip-prinsip, keuntungan dan penerapan HACCP dalam perusahaan industri
pangan), pembuatan dokumen standar prosedur operasi dan instruksi kerja serta
program kelayakan dasar, maka mereka menjadi lebih percaya diri dan lebih
59
perhatian terhadap pengendalian keamanan pangan karena dirasakan dapat lebih
menjamin keamanan produk pangannya.
3. Hambatan Organisasi
Pada awalnya, umumnya industri pangan tidak mengenal sebelumnya
suatu struktur organisasi khusus yang bertanggung jawab untuk menerapkan
sistem HACCP guna menjamin keamanan pangan produk yang dihasilkan.
Perusahaan industri pangan hanya mengenal suatu organisasi fungsional sesuai
dengan kebutuhan perusahaan industri pangan. Padahal salah satu keuntungan
sistem HACCP adalah kenyataan bahwa manajemen dalam industri pangan perlu
program organisasi standar yang bertanggung jawab terhadap keamanan pangan
yang mencakup sebagai berikut : bagian penjamin mutu dan keamanan pangan
atau bagian pengendalian mutu; bagian pendidikan dan pelatihan tentang sistem;
pengendalian proses yang ditujukan pada CCP; perbaikan mutu dan keamanan;
inspeksi selama proses produksi dan pengendalian CCP, inspeksi terhadap bahan
baku dan pengujiannya; pengujian produk akhir serta pengendalian dokumen dan
penyimpnan data rekaman.
Namun demikian, tidak berarti bahwa organisasi fungsional tidak dapat
mengelola bagian-bagian tersebut, karena dalam kenyataannya bahwa tugas-tugas
tersebut dapat didisain dan dibangun dengan baik pada setiap departemen yang
sesuai dengan lingkup tanggung jawab tugasnya. Menurut hasil studi Henson et al
(1999), dinyatakan bahwa persoalan mendasar dalam menerapkan dan
mengoperasikan sistem HACCP yang sering dijumpai adalah berkaitan dengan
penempatan personil/karyawan atau staffing. Hal ini disebabkan oleh : Pertama,
perlu adanya pelatihan kembali karyawan terutama personil di tingkat penyelia
(supervisor) dan ditingkat manajerial. Kedua, motivasi karyawan, tidak hanya
termasuk di bagian produksi saja tetapi juga personil di bagian supervisor atau
manajerial.
4. Hambatan Dalam Biaya Implementasi Dan Operasi Sistem HACCP
Untuk menerapkan dan mengoperasikan sistem HACCP dalam industri
pangan memerlukan biaya yang cukup besar tidaklah dipungkiri, karena adanya
60
beberapa perbaikan dalam sistem yang memerlukan biaya guna mendukung
keberhasilan penerapan sistem HACCP. Pertanyaanya adalah apa saja yang
memerlukan biaya besar untuk menerapkan dan mengoperasikan sistem HACCP?
Menurut hasil penelitian Henson et al (1999) dinyatakan bahwa biaya besar utama
untuk menerapkan dan mengoperasikan sistem HACCP terdiri dari atau mencakup
: biaya untuk konsultan dari luar, biaya investasi untuk peralatan baru, biaya untuk
pendidikan dan pelatihan karyawan, biaya untuk perubahan manajerial, biaya
untuk perubahan struktur pada pabrik dan biaya yang dikeluarkan untuk
menyelesaikan pembuatan dokumen sistem HACCP.
5. Konsepsi Yang Salah Tentang Sistem HACCP
Kendala lain yang membatasi dalam penerapan dan pengoperasian sistem
HACCP adalah adanya sejumlah kontroversi yang timbul dari konsepsi yang salah
tentang sistem HACCP. Bila konsepsi yang salah ini berlanjut hingga bertahan
lama akan dapat merusak reputasi HACCP dan akan membahayakan
keuntungannya terhadap masyarakat (Motarjemi dan kaferstein, 1999). Oleh
karena itu, sangat penting sekali untuk diklarifikasi tentang konsep yang salah ini
pada saat sistem HACCP ini sedang diperkenalkan.
Menurut Motarjemi dan Kaferstein (1999), beberapa konsepsi yang salah
yang perlu diklarifikasi adalah sebagai berikut : Pertama, HACCP dianggap
sebagai suatu metode baru yang menggantikan metode yang sebelumnya sudah
ada untuk menjamin keamanan pangan yang berdasarkan aplikasi cara praktek
higiene yang baik atau good hygiene practice. Meskipun hal tersebut memang
benar bahwa metode tradisional diketahui mempunyai kelemahan dan perbedaan
yang tajam dalam pendekatannya ke arah jaminan keamanan pangan, HACCP
tidak bisa mengganti metode tersebut. Dalam hal ini sistem HACCP dikenal
sebagai pelengkap (komplemen) metode tradisional tersebut dengan cara : (a)
Mengidentifikasi beberapa tindakan pengendalian tambahan atau yang bersifat
khusus pada pangan atau adanya pertanyaan pada saat sedang beroperasi, (b)
Menempatkan penekanan tambahan pada beberapa titik cara praktek higiene yang
baik dan bersifat sangat penting atau adanya operasi yang sedang dipertanyakan
dan perlu dipantau secara ketat, dan (c) Mengamati pengukuran tindakan koreksi
61
bila hasil pemantauan menunjukkan terjadinya hilang kendali atau lepas kendali
dan (d) Dengan memberi lebih banyak pelatihan dan tanggung jawab kepada
operatornya.
Kedua, penerapan sistem HACCP dalam industri pangan cukup kompleks
dan mencakup sejumlah dokumentasi dan penyimpanan catatan hasil perekaman
yang banyak. Biasanya setiap sistem baru awalnya kelihatan rumit, khususnya bila
personil-personil yang berkenaan menangani dengan hal tersebut tidak diberi
pelatihan secara tepat atau bila pendekatan yang digunakan untuk pelatihan belum
diadopsi. Dalam pengenalan sistem HACCP kepada perusahaan industri pengolah
pangan, sebaiknya dan penting untuk diperhatikan jangan membuat bingung
peserta pelatihan sehingga perlu penyedehanaan konsep serta menerangkan
kebutuhan dan keuntungan sistem HACCP untuk keprluan bisnis perusahaannya.
Pada tahap awal, penekanan sebaiknya difokuskan pada lima langkah/tahap
prinsip HACCP yang membuat sistem benar-benar berbeda dalam konteks
keamanan pangan. Kemudian perusahaan industri pangan perlu menyadari
kebutuhan adanya program verifikasi, penyimpanan rekaman (catatan) dan
dokumentasi. Dengan demikian, dokumen sistem HACCP tersebut perlu dilihat
sebagai alat bukti penjamin keamanan pangan yang memadai dari pada sekedar
hanya memenuhi aturan yang dibuat oleh pemerintah saja.
Ketiga, penerapan sistem HACCP perlu dukungan suatu sumber daya yang
besar. Memang benar, pada tahap awal penerapan, penerapan sistem HACCP
memerlukan sumber daya tambahan selain sumber daya yang sudah tersedia di
perusahaan industri pangan, misalnya : untuk pelatihan personil/karyawan
perusahaan, dukungan bagian teknisi untuk menjaga sistem keamanan dan
kemungkinan adanya penambahan peralatan dan bahan tambahan lain yang baru.
Tetapi, dalam jangka panjang adanya investasi baru untuk mendukung sumber
daya, peralatan dan bahan tambahan lain tersebut akan kembali terbayar dengan
menurunnya biaya untuk kasus penarikan produk yang terkontaminasi, perbaikan
dalam keamanan pangan, makin tingginya kepercayaan pelanggan terhadap
produk yang dihasilkan, dan berkurangnya keluhan dari pelanggan.
Keempat, penerapan sistem HACCP pada industri menengah-kecil pangan
tidak memungkinkan. Kenyataan menunjukkan bahwa perusahaan industri pangan
62
skala menengah-kecil pada umumnya mempunyai kesulitan dalam menerapakan
sistem HACCP. Beberapa permasalahan tersebut adalah : karena kurangnya
tenaga ahli teknis-teknologis, terutama yang berkenaan dengan personil yang bisa
melakukan analisis bahaya dan pemantauan secara tepat; makin besarnya perasaan
ketidaknyamanan mereka dalam menyimpan catatan hasil rekaman dan
dokumentasi, cepatnya karyawan perusahaan yang sering pindah ke perusahaan
lain dan makin besarnya berbagai jenis pangan yang mereka sediakan.
Menurut Jouve (1994), masalah utama yang dihadapi oleh indutri
menengah-kecil pangan dalam menerapkan sistem HACCP adalah berkaitan
dengan semakin kecilnya sumber keuangan yang dimiliki oleh perusahaan untuk
keperluan persiapan penerapan sistem HACCP (misalnya : biaya potensial
penerapan sistem HACCP relatif lebih besar dibandingkan dengan tingkat
kembalinya modal yang diinvestasikan; ketidakmampuan dan daya beli
perusahaan yang rendah untuk mengusahakan kecukupan penerapan HACCP
berpengaruh terhadap pengembangan sistem HACCP; ketidakcukupan
tersedianya sumber daya teknis, yaitu : tenaga teknis dan data ilmiah yang tepat,
kurangnya tenaga ahli khusus di bidang teknologi, mikrobiologi, kimia pangan
yang berkontribusi terhadap studi HACCP; serta terbatasnya waktu untuk
mendapatkan personil yang ahli untuk mengembangkan sistem HACCP.
63
IV. METODOLOGI A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian terhadap persiapan kelayakan persyaratan dasar (GMP) dan
penyusunan rencana HACCP (hazard analysis critical control point) untuk
produksi mi kering ini dilakukan pada sebuah perusahaan industri pangan PT
Kuala Pangan yang berlokasi di Jl. Depan Terminal Kav. 23-25 Citeureup, Bogor.
Penelitian atau pengkajian terhadap persiapan kelayakan persyaratan dasar dan
penyusunan rencana HACCP (HACCP Plan) untuk produksi mi kering di PT
Kuala Pangan, Citeureup-Bogor dilakukan selama 6 (enam) bulan dari awal bulan
Oktober tahun 2007 sampai dengan akhir bulan Maret tahun 2008.
B. BAHAN DAN ALAT
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : bahan baku utama
tepung terigu dan air, bahan pembantu utama garam dan tepung telur, serta bahan
tambahan pangan (BTP) yang berupa garam alkali (senyawa natrium dan kalium
karbonat) dan bahan pewarna tartrazin C1 1940. Semua bahan-bahan tersebut
diperoleh dan berasal dari perusahaan PT Kuala Pangan dan digunakan untuk
tujuan : percobaan proses produksi, sebagai sampel pengujian di laboratorium
yang sudah terakreditasi, identifikasi dan analisis bahaya, serta verifikasi dan
validasi sistem HACCP.
Selain bahan-bahan tersebut, dalam penelitian ini digunakan pula bahan-
bahan lain yang terdiri dari : (1) Check-list Form A untuk penilaian cara produksi
pangan yang baik (CPPB) yang dikeluarkan dari Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM), Jakarta; untuk mengidentifikasi pola pengendalian keamanan
pangan yang sudah ada di perusahaan dan mengetahui program persyaratan
kelayakan dasar sistem HACCP (prerequisite programs) perusahaan; (2) Lembar
kertas kerja untuk penentuan deskripsi produk; (3) Lembar kertas kerja untuk
pembuatan diagram alir proses produksi; (4) Lembar kertas kerja untuk analisis
dan evaluasi bahaya; (5) Lembar kertas kerja untuk penentuan titik kendali kritis
atau CCP (critical control point); dan (6) Lembar kertas kerja untuk pengendalian
dan pemantauan sistem HACCP atau HACCP Plan.
64
Peralatan yang digunakan dalam penelitian dan percobaan ini terdiri dari
alat-alat yang digunakan untuk proses produksi mi kering dan peralatan
laboratorium yang digunakan untuk pengujian produk mi kering yang dihasilkan.
Peralatan produksi yang digunakan untuk penelitian dan percobaan terdiri atas :
alat pencampur adonan (mixer), alat pengumpan bahan (feeder), alat pengepres
adonan untuk menjadi bentuk lembaran adonan (roll presser), alat pengukus
dalam terowongan (tunnel steamer), alat pemotong cetakan mi (cutter), alat
pengering mi (dryer), alat konveyor untuk membantu proses produksi mi, alat
pendingin dalam bentuk kipas (blower), alat pengemas produk mi dan satu set alat
pembangkit uap panas (boiler). Kesemua alat tersebut disediakan oleh perusahaan
PT Kuala Pangan. Sedangkan alat-alat laboratorium yang digunakan untuk proses
pengujian meliputi alat-alat untuk uji fisik, kimia dan mikrobiologis sebagian
disediakan oleh perusahaan PT Kuala Pangan dan sebagian alat lain menggunakan
fasilitas alat yang tersedia di laboratorium Balai Besar Industri Agro (BBIA)
Bogor.
C. METODE PENELITIAN
Penelitian persiapan kelayakan persyaratan dasar atau GMP dan
penyusunan rencana HACCP untuk produksi mi kering pada PT Kuala Pangan di
Citeureup, Bogor dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
1. Melakukan Evaluasi Kondisi Kelayakan Persyaratan Dasar (GMP) di
Perusahaan
Evaluasi kondisi kelayakan persyaratan dasar atau GMP di perusahaan
dilakukan dengan cara membandingkan pemenuhan persyaratan kelayakan dasar
atau good manufacturing practice (GMP) di perusahaan PT Kuala Pangan dengan
persyaratan standar kelayakan dasar yang ditetapkan oleh pemerintah (Badan
POM). Pemenuhan persyaratan kelayakan dasar (GMP) ini merupakan
persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum menerapkan sistem
HACCP di perusahaan.
Evaluasi kondisi kelayakan persyaratan dasar dilakukan dengan cara
mengamati kondisi GMP perusahaan berdasarkan observasi di lapang,
wawancara, pengamatan keadaaan nyata perusahaan, dan pencatatan data yang
65
ada di perusahaan menggunakan check-list penilaian GMP yang berasal dari
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagai sarana untuk pemeriksaan
kondisi GMP pada industri pangan di Indonesia.
Evaluasi kondisi kelayakan persyaratan dasar ini dilakukan pula untuk
membandingkan pemenuhan persyaratan kelayakan dasar atau GMP di
perusahaan terhadap kelengkapan standar prosedur operasi untuk sanitasi atau
Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) yang harus dibuat dan dipenuhi
oleh perusahaan sebelum menerapkan HACCP, yang mencakup: (a) SSOP untuk
menjaga keamanan air yang digunakan, (b) SSOP untuk menjaga kondisi dan
kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan, (c) SSOP untuk
pencegahan kontaminasi silang, (d) SSOP untuk menjaga fasilitas pencuci tangan,
sanitasi dan toilet, serta peralatan yang digunakan, (e) SSOP untuk proteksi dari
bahan-bahan kontaminan, (f) SSOP untuk pelabelan, penyimpanan dan
penggunaan bahan berbahaya (toksin) yang benar, (g) SSOP untuk pengawasan
kondisi kesehatan personil yang dapat mengakibatkan kontaminasi, dan (h) SSOP
untuk mencegah/menghilangkan hama dan penyakit dari unit pengolahan.
Hasil evaluasi kondisi kelayakan persyaratan dasar dan penilaian terhadap
program pemenuhan persyaratan kelayakan dasar (GMP) yang diperoleh ini dapat
menjadi bahan rujukan dan bahan masukan untuk perbaikan terhadap GMP dan
fasilitas perusahaan yang akan menerapkan sistem HACCP. Selain evaluasi
terhadap kondisi kelayakan persyaratan dasar itu, dilakukan pula identifikasi dan
analisis terhadap kendala-kendala yang dihadapi perusahaan dalam menerapkan
sistem HACCP di perusahaan.
2. Menyusun Rencana HACCP (HACCP Plan) untuk produksi Mi Kering
Penyusunan rencana HACCP (HACCP Plan) untuk produksi mi kering
pada PT Kuala Pangan dilakukan sesuai dengan SNI 01-4852-1998 dan Pedoman
BSN 1004-2002 dengan tahapan sebagai berikut :
a. Melakukan pelatihan sistem HACCP
Langkah pertama yang perlu dilakukan dalam penyusunan rencana
HACCP adalah memberi pelatihan kepada para calon penanggung jawab dan
pelaksana sistem HACCP pada perusahaan. Peserta yang dilatih berjumlah 25
66
orang yang berasal dari bagian produksi, pengendalian mutu, teknik dan
maintenance, gudang, pembelian, dan bagian pengemasan. Model pelatihan yang
diterapkan adalah presentasi mengajar di kelas dengan cara tatap muka, tanya
jawab, diskusi dan workshop dengan materi terdiri dari : (a) Cara produksi pangan
yang baik atau GMP sebagai persyaratan kelayakan dasar dalam penerapan
HACCP, (b) Keamanan pangan dan sumber kontaminasi (fisik, kimia dan
biologis/mikrobiologis), (c) Sanitasi dan sistem pengendalian hama, (d) Prinsip
HACCP dalam industri pangan, (e) Implementasi HACCP dalam industri pangan,
(f) Dokumentasi GMP dan sistem HACCP serta Workshop penyusunan rencana
HACCP atau HACCP Plan. Untuk mengetahui tingkat pemahaman dan efektivitas
pelatihan sistem HACCP dilakukan evaluasi penilaian dengan cara memberi
beberapa pertanyaan dalam bentuk pilihan berganda dan essai pada saat sebelum
dan sesudah pelatihan dilakukan sehingga dapat diketahui tingkat pemahaman dan
pengetahuan peserta. Contoh soal dan pertanyaan untuk evaluasi terhadap peserta
pelatihan dan efektifitasnya dapat dilihat pada Lampiran 3.
b. Menetapkan Kebijakan Mutu dan Keamanan Pangan Yang Berhubungan
Dengan HACCP Plan
Pemimpin puncak (top management) PT Kuala Pangan harus menetapkan
kebijakan mutu dan keamanan pangan perusahaan. Kebijakan mutu dan keamanan
pangan merupakan pernyataan yang diungkapkan oleh pimpinan puncak/tertinggi
dari suatu organisasi PT Kuala Pangan yang berupa janji atau komitmen untuk
melaksanakan dan menegakkan serta memelihara standar mutu yang tinggi.
Kebijakan mutu dan keamanan pangan ini harus mencakup tujuan, sumber daya
yang digunakan, dan alasan manajemen jaminan mutu yang digunakan. Contoh
lembar kertas kerja pernyataan kebijakan mutu dapat dilihat pada Lampiran 4.
c. Pembentukan Organisasi Tim HACCP
Pembentukan organisasi tim HACCP sesuai dengan persyaratan SNI 01-
4852-1998 perlu melibatkan semua komponen dalam industri yang terlibat dalam
menghasilkan produk pangan yang aman, termasuk dari bagian produksi,
pengendalian mutu (QC/QA), pembelian, gudang, dan teknik dan pemeliharan
67
(maintenance). Tim HACCP sebaiknya terdiri dari individu-individu dengan latar
belakang pendidikan atau disiplin ilmu yang beragam; dan memiliki keahlian
spesifik dari bidang ilmu yang bersangkutan, misalnya ahli mikrobiologi, ahli
mesin/rekayasa proses, teknolog pangan, ahli kimia, dan lain sebagainya sehingga
dapat melakukan analisis bahaya dan menetapkan tindakan pengendalian bahaya
yang tepat dalam mengambil keputusan. Pembentukan organisasi tim HACCP
meliputi : identitas dan kualifikasi personil yang dibentuk, uraian tugas, tanggung
jawab dan wewenang tim HACCP, serta prosedur yang terkait yang menunjukkan
personil yang bertanggung jawab terhadap pengembangan, penerapan dan
berjalannya Rencana HACCP atau HACCP Plan perusahaan. Contoh lembar
kertas kerja pembentukan organisasi tim HACCP dapat dilihat pada Lampiran 5.
d. Menentukan Ruang Lingkup Penerapan Sistem HACCP
Tim HACCP yang telah dibentuk kemudian menentukan ruang lingkup
penerapan sistem HACCP. Penentuan ruang lingkup penerapan sistem HACCP di
PT Kuala Pangan ditetapkan berdasarkan kegiatan badan usaha tersebut, yaitu
mencakup lokasi, jenis jasa yang diberikan dan bidang kegiatan utama
perusahaan. Cakupannya dapat mulai dari penerimaan bahan baku, proses
produksi, distribusi, hingga penanganan produk oleh konsumen.
e. Mendeskripsikan Produk dan Metode Distribusinya
Tim HACCP yang telah dibentuk selanjutnya menyusun deskripsi atau
uraian yang lengkap dari produk pangan yang akan disusun rencana HACCP-nya.
Tahapan ini berisi tentang gambaran/kumpulan informasi lengkap mengenai
produk. Deskripsi produk yang dilakukan berupa informasi yang mencakup nama
produk, komposisi produk, formulasi, proses pengolahan atau proses produksi,
metode pengawetan, umur/daya simpan produk, standar mutu produk menurut
SNI, bahan pengemas dan cara pengemasan yang dipakai, kondisi penyimpanan,
metode distribusi serta keterangan lain yang berhubungan dengan produk. Semua
informasi tersebut diperlukan oleh Tim HACCP untuk melakukan evaluasi secara
luas dan komprehensif. Pendeskripsian produk dan metode distribusinya
68
ditetapkan dengan menggunakan lembar kertas deskripsi produk seperti yang
terlihat pada Lampiran 6.
f. Mendeskripsikan Tujuan Penggunaan produk
Pada tahapan ini, tim HACCP setelah menyusun deskripsi produk dan
metode distribusinya, perlu menuliskan siapa yang menjadi target sasaran
kelompok pengguna produk atau sasaran konsumennya dan bagaimana konsumen
yang menjadi target menggunakan produk mi kering tersebut. Deskripsi tujuan
penggunaan produk juga ditetapkan dengan menggunakan lembar kertas kerja
seperti pada Lampiran 6.
g. Menyusun Persyaratan Kelayakan Dasar (Prerequisite)
Pada tahapan ini, tim HACCP perlu menyusun dan melengkapi cara baku
yang menjelaskan bagaimana program sanitasi yang berjalan di perusahaan dapat
dipantau dan dilaksanakan. Cara baku ini dituangkan dalam bentuk matriks
model generik ringkasan sanitation standard operating procedure (SSOP) yang
mencakup : SSOP untuk pengolahan air dan cara mendapatkan air yang aman
dikonsumsi; SSOP untuk menjaga kondisi kebersihan permukaan yang kontak
dengan bahan pangan; SSOP untuk pencegahan kontaminasi silang; SSOP untuk
menjaga fasilitas sanitasi dan peralatan yang digunakan; SSOP untuk
mencegah/melindungi bahan pangan dari kontaminan; SSOP dan untuk pelabelan,
penyimpanan dan penggunaan senyawa toksik dengan benar; SSOP dan untuk
pengawasan kondisi kesehatan karyawan; dan SSOP untuk pengendalian hama
dan penyakit dalam unit pengolahan.
h. Menyusun Diagram Alir Proses
Pada tahapan ini, tim HACCP selanjutnya menyusun diagram alir proses
produksi pembuatan produk secara sistematis dengan cara mencatat seluruh
tahapan proses, sejak bahan baku diterima hingga produk siap disimpan/
dikarantina dan didistribusikan sesuai dengan Pedoman BSN 1004 : 2002. Dalam
penyusunan diagram alir ini, perlu mencantumkan pula bahan-bahan yang
digunakan selama pengolahan (bahan baku utama, air, bahan tambahan pangan,
69
pengemas dan sebagainya) dan bahan-bahan yang dihasilkan sebagai produk
sampingan (limbah, dan sebagainya) maupun produk akhir.
Diagram alir disusun dengan tujuan untuk menggambarkan keseluruhan
proses produksi. Disamping itu, selain bermanfaat untuk membantu tim HACCP
dalam melaksanakan kerjanya, dapat juga berfungsi sebagai pedoman bagi orang
atau lembaga lainnya yang ingin mengerti/memahami proses dan verifikasinya.
Contoh lembar kertas kerja untuk pembuatan diagram alir proses dapat dilihat
pada Lampiran 7.
i. Verifikasi Diagram Alir Proses Di Lapangan
Setelah menyusun diagram alir proses, tim HACCP selanjutnya
melakukan verifikasi diagram alir proses dengan cara melakukan peninjauan dan
pengamatan ketepatan proses pengolahan yang telah dibuat di lapangan, yaitu
dengan mengamati aliran proses, wawancara, pengambilan contoh, dan percobaan
namun bukan untuk produksi. Bila diagram alir proses yang dibuat ternyata tidak
tepat atau kurang sempurna, maka tim HACCP dapat melakukan modifikasi dan
perubahan terhadap diagram alir tersebut. Selanjutnya diagram alir proses yang
telah diverifikasi harus didokumentasikan dan dapat dipakai sebagai bahan
persiapan untuk analisis bahaya pada tahap berikutnya.
j. Analisis Bahaya Serta Penentuan Tindakan Pencegahannya
Pada tahapan ini, tim HACCP selanjutnya melakukan analisis bahaya yang
mencakup identifikasi dan evaluasi bahaya beserta cara-cara tindakan pencegahan
untuk mengendalikannya, dengan menggunakan Pedoman BSN 1004 : 2002.
Analisis bahaya amat penting untuk dilakukan terhadap bahan baku, komposisi
(ingredients), setiap tahapan proses produksi, penyimpanan produk, dan distribusi
hingga tahap penggunaan oleh konsumen. Tujuan analisis bahaya adalah untuk
mengenali bahaya-bahaya apa saja yang mungkin terjadi dalam suatu proses
pengolahan sejak awal hingga ke tangan konsumen.
Analisis bahaya terdiri dari tiga tahap, yaitu : identifikasi potensi bahaya,
penentuan kategori risiko (peluang kejadian dan tingkat keparahan/keakutannya)
dan signifikansi bahaya, serta penetapan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk
70
pencegahannya (preventive measure). Penentuan kategori risiko atau signifikansi
bahaya ditetapkan dengan menggunakan metode yang dikembangkan oleh Boevee
(matriks risiko Boevee atau matriks penentuan signifikansi bahaya) yang dikutip
oleh Thaheer (2005) seperti yang disajikan pada Tabel 16. Sedangkan penentuan
tingkat keseriusan mikroorganisme patogen ditetapkan dengan melihat
dampaknya terhadap kesehatan konsumen dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 16. Matriks Risiko Boevee (Matriks Penentuan Signifikasi Bahaya) (*)
Skema Ranking Risiko Berdasarkan Tingkat keparahan bahaya yang dapat ditimbulkan (Severity of hazard) dan Peluang kemungkinan terjadinya bahaya (Probability of hazard)
Peluang Kemungkinan Terjadinya Bahaya Tingkat keparahan/ keseriusan bahaya yang dapat ditimbulkan
Rendah (l) Sedang (m) Tinggi (h)
Tinggi (H) (Hl) Tidak Signifikan
(Hm) Signifikan (**)
(Hh) Sangat Signifikan (**)
Sedang (M) (Ml) Tidak Signifikan
(Mm) Tidak Signifikan
(Mh) Signifikan (**)
Rendah (L) (Ll) Tidak Signifikan
(Lm)Tidak signifikan
(Lh) Tidak Signifikan
(*) Sumber : Thaheer (2005). (**) Umumnya bila signifikan, akan diteruskan/dipertimbangkan dalam penetapan CCP.
Tabel 17. Tingkat Keseriusan Mikroorganisme Patogen (*) Bahaya Tinggi Bahaya Sedang Bahaya Rendah
. Clostridium botulinum tipe A, B, E dan F . Shigella dysenteriae . Salmonella typhi . Salmonella paratyphi A, B . Trichinella spiralis . Brucella militensis, B. Suis . Vibrio cholerae O1 . Vibrio vulnificus . Taenia solium
. Listeria monocytogenes
. Salmonella sp., Shigella sp.
. Campylobacter jejuni
. Enteroinvasive Escherichia coli (EIEC) . Streptococcus pyrogenes . Rotavirus, Norwalk virus grup . Yersinia enterocolitica . Entamoeba histolytica . Diphyllobothrium latum . Ascaris lumricoides . Hepatitis A dan E, Aeromonas sp. . Brucella abortus, Giardia lamblia . Plasiomonas shigelloides . Vibrio parahaemolyticus
. Bacillus cereus
. Taenia saginata
. Clostridium perfringens
. Staphylococcus aureus
(*) Sumber : Syamsir et al (2007).
71
Oleh karena itu, dalam analisis bahaya ini, tim HACCP perlu
mempersiapkan daftar bahan mentah dan ingredient yang digunakan dalam
proses, diagram alir proses yang telah diverifikasi, cara penyimpanan, serta
persyaratan regulasi yang mendukung keamanan pangan yang telah ditetapkan
oleh pemerintah; misalnya standar nasional Indonesia (SNI) untuk tepung terigu,
SNI untuk garam dan SNI untuk produk mi kering yang telah ditetapkan oleh
BSN; standar mutu tepung telur dari FDA-USA; PerMenKes No.
907/MenKes/SK/VII/2002 tentang persyaratan kualitas air minum, PerMenKes
No. 722/MenKes/Per./IX/1988 tentang bahan tambahan pangan (BTP) yang
ditetapkan oleh Departemen Kesehatan atau Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM), serta spesifikasi persyaratan bahan-bahan yang digunakan perusahaan
yang berasal dari pemasok/supplier.
Analisis bahaya adalah salah satu hal yang sangat penting dalam
penyusunan suatu rencana HACCP. Untuk menetapkan rencana dalam rangka
mencegah bahaya keamanan pangan, maka hanya bahaya yang signifikan atau
memiliki risiko tinggi yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan titik kendali
kritis (CCP). Lembar kertas kerja untuk penentuan tabel analisis bahaya,
penentuan risiko (peluang dan keparahan) dan tindakan pencegahannya dapat
dilihat pada Lampiran 8.
k. Penentuan Titik Kendali Kritis atau Critical Control Point (CCP)
Pada tahapan ini, tim HACCP selanjutnya menentukan titik kendali kritis
atau CCP. Titik kendali kritis atau CCP didefinisikan sebagai suatu titik, langkah
atau prosedur dimana pengendalian dapat diterapkan dan bahaya keamanan
pangan dapat dicegah, dihilangkan atau diturunkan sampai ke batas yang dapat
diterima. Pada setiap bahaya yang telah diidentifikasi dalam proses sebelumnya,
maka dapat ditentukan satu atau beberapa CCP dimana suatu bahaya dapat
dikendalikan.
Masing-masing titik penerapan tindakan pencegahan yang telah ditetapkan
diuji dengan menggunakan CCP decision tree atau diagram pohon penentuan CCP
yang direkomendasikan oleh Codex Alimentarius Commission dan telah diadopsi
oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) dalam SNI 01-4852-1998 (Gambar 3)
72
untuk menentukan CCP. Decision tree ini berisi urutan pertanyaan mengenai
bahaya yang muncul dalam suatu langkah proses, dan dapat juga diaplikasikan
pada bahan baku untuk mengidentifikasi bahan baku yang sensitif terhadap
bahaya atau untuk menghindari terjadinya kontaminasi silang. Suatu CCP dapat
digunakan untuk mengendalikan satu atau beberapa bahaya, misalnya suatu CCP
secara bersama-sama dapat dikendalikan untuk mengurangi bahaya fisik dan
mikrobiologi. Lembar kertas kerja untuk penentuan CCP dapat dilihat pada
Lampiran 9.
l. Menetapkan Batas Kritis pada Titik Kendali Kritis
Pada tahapan ini, tim HACCP selanjutnya menetapkan batas kritis pada
titik kendali kritisnya. Setiap tahap yang menjadi titik kendali kritis (CCP) harus
ditentukan batas kritisnya. Batas kritis atau Critical Limit adalah suatu kriteria
yang harus dipenuhi untuk setiap tindakan pencegahan yang ditujukan untuk
menghilangkan atau mengurangi bahaya sampai batas aman. Batas ini akan
memisahkan antara produk ”yang diterima” dan ”yang ditolak”, berupa kisaran
toleransi pada setiap CCP. Batas kritis ini ditetapkan untuk menjamin bahwa
CCP dapat dikendalikan dengan baik.
Penetapan batas kritis harus memiliki alasan kuat mengapa batas tersebut
diimplementasikan dan harus dapat divalidasi, artinya sesuai dengan persyaratan
yang ditetapkan serta dapat diukur. Penetapan batas kritis dapat dilakukan dengan
3 cara, yaitu : Pertama, mengacu pada regulasi internasional dan nasional di
bidang mutu dan keamanan pangan yang ditetapkan oleh lembaga pemerintah
ataupun lembaga internasional, misalnya Codex Alimentarius Commission (CAC),
International Commission on Microbiological Safety of Foods (ICMSF), World
Health Organization (WHO), United States Food and Drug Administration (US
FDA), Badan Standarisasi Nasional (BSN), Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM), Departemen Kesehatan, literatur pengetahuan/ilmiah; Kedua, mengacu
pada pendapat dari para ahli/pakar yang diakui kepakarannya, misalnya ahli
mikrobiologi, pakar di bidang kimia, pakar di bidang proses thermal ; dan Ketiga,
pengujian terhadap bahan yang digunakan atau produk yang dihasilkan sesuai
dengan persyaratan dalam standar SNI atau standar lainnya serta data experiment.
73
* ) Identifikasi bahaya dalam menggambarkan proses ** ) Tingkatan yang dapat diterima & tidak dapat diterima yang diperlukan didefinisikan dalam
semua tujuan mengidentifikasi CCP dalam rencana HACCP Gambar 3. Diagram alir pohon penentuan titik kendali kritis atau CCP untuk
pengembangan HACCP Plan di PT Kuala Pangan.
Ya
Apakah ada tindakan pengendalian terhadap bahaya yang diidentifikasi ?
Apakah pengendalian pd langkah ini perlu untuk pengamanan ?
Bukan CCP
Lakukan modifikasi tahapan dalam proses atau produk
Apakah langkah tsb dirancang khusus/ spesifik untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya yg mungkin terjadi sampai ke tingkat yg dapat diterima ? (**)
Dapatkah kontaminasi dgn bahaya yg teridentifikasi terjadi melebihi batas yg dpt diterima atau dapatkah ini meningkat/ berkembang sampai tingkatan yg tdk dapat diterima ?
Bukan CCP
Apakah langkah/tahapan berikutnya dpt menghilangkan bahaya yg teridentifikasi atau mengurangi tingkatan kemungkinan terjadinya bahaya sampai ke tingkat yg dpt diterima ? **)
Titik Kendali Kritis (CCP)
Bukan CCP
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Ya
Ya
Berhenti *)
Berhenti *)
P1
P2
P3
P4 Berhenti *
74
Untuk menetapkan batas kritis, maka pertanyaan yang harus dijawab
adalah : apakah parameter kritis yang berhubungan dengan CCP? Suatu CCP
mungkin memiliki beberapa parameter yang harus dikendalikan untuk menjamin
keamanan produk pangan. Secara umum batas kritis dapat digolongkan ke dalam
batas fisik (suhu, waktu), batas kimia (pH, kadar garam, kadar toksin, kadar logam
berat). Penggunaan batas mikrobiologi (jumlah mikroba dan sebagainya)
sebaiknya dihindari karena memerlukan waktu untuk mengukurnya, kecuali jika
terdapat uji cepat untuk pengukuran tersebut.
m. Menyusun Prosedur Pemantauan (Monitoring) Untuk Setiap CCP
Batas kritis yang sudah ditentukan terhadap titik kendali kritis (CCP)
haruslah dimonitor keberadaannya. Hal ini untuk memastikan apakah prosedur
pengolahan atau penanganan pada CCP di bawah kendali. Oleh karena itu, pada
tahapan ini, tim HACCP selanjutnya menyusun prosedur pemantauan untuk setiap
CCP-nya. Prosedur pemantauan ini dapat dilakukan oleh personil yang terampil
dengan cara pengamatan (observasi) secara visual yang direkam dalam suatu
daftar periksa (checklist) atau pun dengan cara pengujian yang merupakan
pengukuran (kimia, fisik) yang direkam ke dalam suatu data sheet. Dalam
prosedur pemantauan ini harus mencakup : apa yang akan dipantau (what),
dimana akan dilakukan pemantauan (where), siapa yang bertanggung jawab akan
melakukan monitoring (who), bagaimana cara memantaunya (how) dan kapan
akan dilakukan pemantauan/ monitoringnya (when).
Data yang diperoleh dari kegiatan monitoring harus dievaluasi oleh
petugas yang ditunjuk sesuai dengan pengetahuan dan kewenangannya untuk
melaksanakan tindakan perbaikan bila terjadi indikasi penyimpangan atau bias.
Contoh lembar kerja pemantauan/ monitoring untuk CCP dapat dilihat pada
Lampiran 10.
n. Menetapkan Prosedur Tindakan Koreksi
Pada tahapan ini, tim HACCP di perusahaan selanjutnya menetapkan
prosedur tindakan koreksi. Tindakan koreksi adalah setiap tindakan yang harus
75
dilakukan jika hasil pemantauan atau monitoring pada suatu titik kendali kritis
(CCP) menunjukkan proses tidak terkendali (loss of control) atau terjadi
penyimpangan. Tujuan untuk menetapkan tindakan koreksi adalah untuk
menjamin eliminasi potensi bahaya; memiliki rencana yang pasti untuk mencegah
penyimpangan yang terjadi pada setiap CCP, dan tindakan koreksi diperlukan
untuk mengendalikan proses produksi.
Ada dua level atau tingkatan tindakan koreksi yang dapat dilakukan, yaitu
: Pertama, tindakan koreksi berupa tindakan pencegahan, yakni tindakan koreksi
dari hasil pemantauan yang memiliki kecenderungan untuk keluar atau mendekati
batas kritis; dan Kedua, tindakan koreksi segera, yakni tindakan koreksi untuk
pemantauan, dimana hasil CCP yang dipantau telah melampaui batas kritis.
Tindakan segera dapat berupa penghentian proses produksi sebelum
penyimpangan dikoreksi, penahanan produk dan tidak boleh dipasarkan,
pengujian keamanan produk. Tindakan koreksi yang dapat dilakukan selain
menghentikan proses produksi antara lain mengeliminasi produk, memisahkan
produk yang cacat dan mengulangi proses pengolahan.
Tindakan pencegahan dapat berupa memverifikasi setiap perubahan yang
telah diterapkan dalam proses dan memastikannya agar tetap efektif, misalnya
pertanggungjawaban untuk tindakan koreksi dan pencatatan tindakan koreksi.
Pertanggungjawaban untuk tindakan koreksi merupakan tanggung jawab petugas
dengan jabatan tertentu di dalam perusahaan, misalnya supervisor produksi atau
kepala bagian produksi. Pencatatan/rekaman tindakan koreksi dilakukan dengan
pengisian formulir khusus tindakan koreksi, yang berisi identifikasi produk (kode
produksi, tanggal kadaluwarsa, jumlah produk yang ditahan), deskripsi
penyimpangan (alasan penahanan produk dan penyebab penyimpangan), tindakan
koreksi yang dilakukan, tindakan lanjutan untuk mengkaji efektivitas tindakan
koreksi, individu yang bertanggung jawab untuk melakukan tindakan koreksi dan
evaluasi hasil pelaksanaan tindakan koreksi serta tanda tangan penanggung jawab.
o. Menetapkan Prosedur Verifikasi
Pada tahapan ini, selanjutnya tim HACCP menetapkan prosedur verifikasi.
Verifikasi adalah metode, prosedur dan pengujian yang digunakan untuk
76
menentukan bahwa pelaksanaan sistem HACCP telah sesuai dengan rencana
HACCP yang ditetapkan. Dengan verifikasi maka diharapkan bahwa kesesuaian
program HACCP dapat diperiksa dan efektivitas pelaksanaan HACCP dapat
dijamin. Verifikasi ini bermanfaat untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman
tiap karyawan perusahaan akan sistem HACCP, menyediakan dokumentasi
pelaksanaan HACCP, membuang dokumen yang sudah tidak relevan dan
menetapkan langkah pengembangan sistem HACCP.
Verifikasi terhadap rencana HACCP atau HACCP Plan yang disusun pada
perusahaan PT Kuala Pangan dilakukan dalam 3 fase, yaitu : validasi, verifikasi
berjalan dan audit pihak lain. Fase pertama adalah Validasi yang dilakukan
dengan cara verifikasi ilmiah dan teknis dari penetapan batas kritis. Proses
validasi ini cukup kompleks dan membutuhkan keterlibatan intensif dari pihak
profesional dengan kemampuan tinggi dari berbagai disiplin ilmu. Validasi ini
dilakukan untuk mencari pembuktian terhadap beberapa hal sebagai berikut :
penetapan daftar bahaya potensial benar-benar didasarkan pada data ilmiah; daftar
pertanyaan yang dipakai untuk memeriksa signifikansi bahaya menggunakan
pengetahuan teknis dan ilmiah; ukuran kendali dan tindakan pengendalian, baik
umum maupun khusus yang disediakan untuk pengendalian bahaya, bisa
dibuktikan pada batas yang dapat diterima, tolok ukur dan metode yang digunakan
pada ukuran pengendalian cukup memadai, dan tindakan koreksi cukup memadai
dan mencegah pelepasan produk yang tidak aman serta dapat menyediakan bukti
bahwa keadaan dapat dikoreksi. Fase Kedua adalah verifikasi berjalan yang
dilakukan untuk menguji kelengkapan sistem HACCP yang akan diterapkan, yang
mencakup : peninjauan kelengkapan rencana HACCP; pemastian ulang akurasi
diagram aliran proses; kaji ulang sistem HACCP dan kecukupan fasilitas;
melakukan kalibrasi peralatan; melakukan pengambilan contoh secara acak dan
pengujian terhadap bahan baku utama tepung terigu, garam, tepung telur, air yang
digunakan, dan produk yang dihasilkan; audit internal dan tinjauan manajemen
(management review). Verifikasi pada fase ini juga dilakukan, jika ada informasi
baru yang menyangkut dengan masalah keamanan pangan. Fase ketiga adalah
audit oleh pihak lain atau audit eksternal yang direncanakan akan dilakukan oleh
lembaga sertifikasi yang sudah terakreditasi.
77
p. Menetapkan Prosedur Dokumentasi Dan Pencatatan
Pada tahapan ini, tim HACCP selanjutnya menetapkan prosedur
dokumentasi dan pencatatan (rekaman) dalam sistem HACCP yang dirancang.
Dokumentasi program HACCP meliputi pendataan tertulis seluruh program
HACCP sehingga program tersebut dapat diperiksa ulang dan dipertahankan
selama periode waktu tertentu. Dokumentasi mencakup semua catatan mengenai
CCP, batas kritis, rekaman hasil pemantauan batas kritis, tindakan koreksi yang
dilakukan terhadap penyimpangan, catatan tentang verifikasi dan sebagainya.
Penetapan prosedur pencatatan dan dokumentasi bertujuan untuk menjaga
dan mempermudah pengendalian/pembaruan catatan dari HACCP Plan. Dokumen
menjadi bukti pelaksanaan HACCP dan pengendalian atas tiap bahaya yang
timbul selama proses pengolahan. Catatan/rekaman juga menunjukkan bahwa
batas kritis telah dipenuhi dan telah dilakukan tindakan koreksi yang sesuai atas
penyimpangan batas kritis. Contoh pencatatan dan rakaman : kegiatan
pemantauan titik kendali kritis, penyimpangan dan tindakan perbaikan yang
terkait, dan perubahan pada sistem HACCP. Oleh karena itu, dokumen ini dapat
ditunjukkan kepada inspektur pengawas makanan jika dilakukan audit eksternal
dan dapat juga digunakan oleh operator.
q. Menetapkan Prosedur Pengaduan Konsumen dan Prosedur Recall
Pada tahapan ini, tim HACCP selanjutnya menetapkan prosedur
pengaduan konsumen dan prosedur recall. Prosedur pengaduan konsumen adalah
suatu prosedur untuk menangani, mengalamatkan dan mencatat keluhan-keluhan
konsumen/pelanggan kepada perusahaan industri pangan yang bersangkutan.
Sedangkan prosedur recall adalah suatu cara/metode untuk mengidentifikasi,
menempatkan dan menarik kembali produk bila terjadi kasus keracunan atau
produk telah mengalami kerusakan sehingga tidak layak lagi untuk dikonsumsi
oleh konsumen.
78
3. Memberikan Rekomendasi Untuk Pengembangan Sistem HACCP di
Perusahaan
Rekomendasi model generik untuk pengembangan sistem HACCP pada
industri pangan di PT Kuala Pangan dilakukan berdasarkan hasil verifikasi dan
validasi sistem HACCP yang dibuat serta berdasarkan hasil kajian yang telah
dilakukan pada tahap-tahap sebelumnya sehingga diberikan rekomendasi langkah-
langkah yang harus dilakukan perusahaan dalam pengembangan sistem HACCP
di perusahaan.
79
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. EVALUASI KELAYAKAN PERSYARATAN DASAR (GMP) DI
PERUSAHAAN
PT Kuala Pangan sejak berdiri (tahun 1988) sampai dengan pada saat ini
(tahun 2008) dalam pengelolaan produksinya belum menerapkan sistem
manajemen mutu ISO 9000 : 2000 ataupun sistem manajemen keamanan pangan
berdasarkan sistem HACCP. Namun demikian, pihak manajemen PT Kuala
Pangan menyadari pentingnya jaminan keamanan pangan bagi produk mi kering
yang dihasilkan, sehingga pihak manajemen berencana untuk menerapkan sistem
manajemen keamanan pangan berdasarkan sistem HACCP di perusahaan, lebih-
lebih adanya permintaan sertifikat HACCP dari pihak importir produk mi kering
kepada perusahaan PT Kuala Pangan.
Penerapan sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan sistem
HACCP di perusahaan akan berjalan dengan sukses apabila penerapan good
manufacturing practice (GMP) sebagai fondasi sistem manajemen keamanan
pangan berdasarkan sistem HACCP ini telah berjalan dengan efektif. Oleh karena
itu, sebelum dilakukan penerapan dan pengembangan sistem manajemen
keamanan pangan berdasarkan/berbasis sistem HACCP, akan lebih baik jika
dievaluasi terlebih dahulu penerapan GMP yang sudah dijalankan dan
dibandingkan dengan standar penerapan GMP yang ada, yaitu standar GMP dari
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2002. Hal ini disebabkan
karena GMP merupakan suatu persyaratan dasar dan program umum bagi industri
pangan untuk menghasilkan produk bermutu, layak dan aman secara konsisten.
Berdasarkan pengamatan (observasi) yang dilakukan di lapangan,
wawancara dan pengamatan keadaan nyata perusahaan atas penerapan GMP di PT
Kuala Pangan dibandingkan dengan standar yang ada (berdasarkan kriteria
penilaian yang digunakan BPOM tahun 2002) ditemukan 13 penyimpangan; yaitu
1 penyimpangan berkategori serius, 6 penyimpangan mayor dan 6 penyimpangan
minor. Oleh karena itu, berdasarkan standar tingkat (rating) kelayakan sarana
produksi dari Badan POM tersebut, tingkat (rating) GMP di PT Kuala Pangan
80
masuk dalam peringkat B (baik). Hasil selengkapnya dari pemeriksaan GMP
sarana produksi pangan di PT Kuala Pangan dapat dilihat pada Lampiran 11.
Hasil identifikasi dan ketiga-belas hasil penyimpangan atau ketidak-
sesuaian tersebut dapat dikelompokkan dalam unsur-unsur GMP yang disajikan
pada Tabel 18.
Tabel 18. Hasil Identifikasi Penyimpangan/Ketidaksesuaian Dalam Penerapan Unsur-Unsur GMP di Perusahaan.
No Unsur/Elemen GMP Penyimpangan/Ketidaksesuaian Kategori
1. Bangunan - Pertemuan antara lantai dan dinding serta antara dinding dengan dinding berbentuk siku, sehingga hal ini tidak mudah untuk pembersihan bila ada deposit kotoran ;
- Rancang bangun untuk pabrik, khususnya dengan disain penutup (canopy) untuk perlindungan pada proses produksi di bagian atas proses pembentukan untaian mi belum lengkap untuk mencegah adanya kontaminasi silang.
- Minor - Minor
2. Fasilitas Sanitasi - Fasilitas untuk pencucian tangan tidak tersedia sabun cair dan pengering serta tidak adanya peringatan pencucian tangan sebelum bekerja atau setelah dari toilet ;
- Fasilitas toilet/urinoir karyawan tidak terawat dengan baik, ada pintu yang sudah rusak dan perlu adanya perbaikan ;
- Sebagian tempat sampah yang disediakan oleh perusahaan tidak ada penutupnya, sehingga dapat berpotensi menimbulkan adanya kontaminasi silang.
- Minor - Minor - Minor
3. Peralatan - Tidak ada program pemantauan untuk membuang wadah dan peralatan yang sudah rusak atau tidk digunakan oleh perusahaan
- Minor
4. Higiene Karyawan - Tidak ada pengawasan dalam hal sanitasi pencucian tangan dan kaki sebelum masuk ke ruang pengolahan dan setelah keluar dari toilet ;
- Fasilitas klinik tidak digunakan untuk check up rutin seluruh karyawan, khususnya di bagian produksi ;
- Manajemen unit pengolahan tidak memiliki tindakan efektif untuk mencegah karyawan yang diketahui mengidap penyakit yang dapat mengkontaminasi produk ;
- Kebersihan karyawan tidak terjaga dengan baik dan kurang memperhatikan aspek sanitasi dan higiene (misalnya pakaian seragam celemek ada yang kotor, kebiasaan minum di ruang produksi).
- Serius - Mayor - Mayor - Mayor
5. Penyimpanan - Di ruang gudang biasa/kering ditemukan adanya penempatan barang yang tidak teratur dan tidak memisahkan penyimpanan bahan pangan dan bahan non-pangan
- Mayor
6. Pemeliharaan Sarana Pengolahan dan Sani-tasi serta Pengendalian Hama
- Pencegahan binatang pengganggu tikus di dalam pabrik belum efektif, terutama di gudang penyimpanan kering ;
- Pest control hingga saat ini dikerjakan oleh perusahaan sendiri
- Mayor
7. Manajemen dan Pelatihan
- Pimpinan/pihak manajemen mempunyai wawasan terhadap metode pengawasan modern (ISO 9000, HACCP, TQM, dan lain-lain), tetapi belum melaksanakan penerapannya dalam perusahaan ;
- Alasan belum melaksanakan penerapan HACCP di perusahaan adalah HACCP cukup rumit dan perlu persiapan waktu, tenaga dan sumber daya lain.
- Mayor
81
Penyimpangan/ketidaksesuaian pertama dan kedua, adalah saling terkait
dan berhubungan dengan persyaratan bangunan serta berkaitan dengan upaya
untuk mencegah adanya kontaminasi silang yang disebabkan oleh keadaaan
lingkungan perusahaan/pabrik. Oleh karena itu, untuk mengatasi kedua
penyimpangan ini dapat dilakukan dengan program pemasangan penutup (canopy)
di ruang produksi mi terutama di atas proses pencetakan/pembentukan kembang
mi, memodifikasi bangunan pabrik di bagian proses tersebut agar sesuai dengan
jenis pangan mi yang diproduksi dan dihasilkan; dan modifikasi ruang pengolahan
khususnya di sudut-sudut pertemuan antara dinding dengan dinding dan dinding
dengan lantai untuk dibuat lengkungan sehingga memudahkan pembersihannya.
Penyimpangan ini merupakan penyimpangan yang cukup penting yang perlu
diatasi sebelum diterapkannya sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan
sistem HACCP, mengingat rancang bangun dan kontsruksi bangunan di ruang
pengolahan/proses produksi sangat penting artinya dalam mendukung pelaksanaan
persyaratan dasar sistem HACCP.
Penyimpangan/ketidaksesuaian ketiga, keempat dan kelima adalah saling
terkait dan berhubungan dengan persyaratan fasilitas sanitasi, serta berkaitan
dengan upaya untuk mencegah adanya kontaminasi silang yang disebabkan oleh
kebersihan dan kesehatan karyawan. Hal ini berkaitan pula dengan program
persyaratan dasar (prerequisite programs) sebelum menerapkan manajemen
keamanan pangan berdasarkan sistem HACCP. Oleh karena itu, program
perbaikan fasilitas sanitasi dan higiene karyawan khususnya berkaitan dengan
fasilitas cuci tangan dan toilet harus dilakukan untuk memenuhi fondasi
persyaratan dasar dalam sistem HACCP tersebut. Misalnya perbaikan terhadap
konstruksi lantai, dinding dan pintu yang sudah rusak pada toilet/urinoir
karyawan, penyediaan fasilitas sabun (cair) dan pengering tangan atau tissue
pengering/kain lap serta penyediaan fasiltas tanda peringatan pencucian sebelum
bekerja atau setelah ke toilet. Selain itu, perusahaan juga harus melengkapi
penutup tempat sampah untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang.
Penyimpangan/ketidaksesuaian ini merupakan penyimpangan yang sangat penting
yang harus diatasi sebelum diterapakannya sistem manajemen keamanan pangan
berdasarkan sistem HACCP, mengingat kebersihan dan sanitasi sangat penting
82
artinya dalam pengolahan pangan karena mereka (karyawan) terlibat langsung dan
mengalami kontak dengan makanan sehingga kemungkinan kontaminasi terhadap
produk sangat tinggi. Dengan demikian, program perbaikan fasilitas sanitasi dan
higiene karyawan perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan implementasinya.
Penggunaan sanitaiser dalam proses pencucian tangan sangat membantu
terwujudnya tangan pekerja yang higienis, karena pada prinsipnya ada beberapa
bahan pangan atau kotoran yang melekat di tangan sulit dibersihkan kecuali
melibatkan penggunaan sanitaiser. Menurut Jenie (1998), untuk pencucian tangan
karyawan/pekerja di bagian produksi dapat menggunakan sabun antiseptik yang
mengandung senyawa triklosan (trikloro-hidroksi-difenil-eter), atau mengandung
senyawa hipoklorit (klorin) 50 part per million (ppm), senyawa yodofor (yodium),
amonium kwartener dan alkohol 70%; selanjutnya dibilas dengan air akan
menghilangkan banyak mikroba patogen yang berasal dari makanan, kemudian
setelah itu ditambahkan dengan penggunaan air hangat dengan kisaran antara 40-
50 oC atau larutan pembersih lainnya.
Penyimpangan keenam berhubungan dengan persyaratan peralatan dan
mesin yang digunakan untuk proses produksi, yaitu tidak ada program
pemantauan untuk menangani/membuang peralatan yang sudah rusak/tidak
digunakan lagi oleh perusahaan. Hal ini ditandai dengan cara penanganan bekas
peralatan yang sudah rusak atau tidak digunakan oleh perusahaan yang tidak
terkontrol dengan baik, misalnya menaruh peralatan yang sudah rusak di ruang
yang dekat dengan ruang untuk proses produksi. Karena tidak ada program
pemantauan dan ruang tersebut tidak dijaga kebersihan dan sanitasinya,
mengakibatkan ruang tersebut kotor dan dipakai sarang tikus.
Penyimpangan ketujuh, kedelapan, kesembilan dan kesepuluh juga
merupakan empat hal yang saling terkait, yaitu berkaitan dengan upaya untuk
mencegah adanya kontaminasi silang yang disebabkan oleh status kesehatan
karyawan, kebersihan karyawan, dan kebiasaan karyawan (Higiene Karyawan).
Oleh karenanya, untuk mengatasi keempat penyimpangan/ketidaksesuaian ini
dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dan pemantauan kesehatan
karyawan (khususnya bagian produksi) secara berkala, misalnya setahun 3 kali,
untuk memastikan bahwa karyawan terbebas dari penyakit yang dapat
83
mengkontaminasi produk. Pemantauan dan pemeriksaan kesehatan karyawan
dapat dilakukan secara visual, misalnya luka, penyakit kulit dan lainnya dapat
dilakukan langsung oleh supervisor (ketua regu/kelompok) yang sedang bertugas.
Apabila dijumpai ada karyawan yang mempunyai luka dan penyakit kulit (luka
terbuka), maka karyawan/pekerja tersebut bisa dikeluarkan dari ruang di bagian
produksi dan dari pekerjaan penanganan kritis lainnya. Pekerja/karyawan di
bagian produksi harus melapor pada penyelia (supervisor) pabrik atau petugas
pemeriksa kesehatan di klinik apabila menderita penyakit-penyakit, seperti :
hepatitis (sakit kuning), tifus, infeksi Salmonella, disentri, dan infeksi
Staphylococcus (termasuk noda, bisul, dan luka terbuka di tangan serta kudis dan
eksim yang luas terutama di muka, jari, dan tangan (Jenie, 2007).
Sedang, apabila dijumpai/ditemui ada karyawan yang tidak menjaga
kebersihan dan tingkah laku karyawannya selama proses produksi, maka
karyawan yang bersangkutan dapat ditegur/diperingatkan dan dicatat terlebih
dahulu. Bila karyawan yang sudah diperingatkan dan dicatat sudah 5 kali tetapi
masih berperi laku yang tidak sesuai dengan aturan penerapan sanitasi dan higiene
serta kebiasaan karyawan yang tidak sesuai dengan aturan perusahaan, maka
diperlukan adanya pelatihan kembali terhadap karyawan yang bersangkutan dalam
hal sanitasi dan higiene sekaligus untuk memperbaiki sikap dan perilaku
karyawan dalam berkomitmen untuk mendukung program rencana penerapan
sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan sistem HACCP di perusahaan.
Penyimpangan/ketidaksesuaian di atas merupakan penyimpangan yang
sangat penting yang perlu segera diatasi dan diprogramkan implementasinya
sebelum diterapkannya sistem manajemen kemanan pangan berdasarkan sistem
HACCP; mengingat pengendalian kondisi kesehatan karyawan yang berpotensi
menghasilkan kontaminasi mikrobiologis terhadap pangan, bahan kemasan
pangan dan permukaan yang kontak dengan pangan ini harus dikendalikan dengan
baik melalui program penerapan yang efektif.
Penyimpangan kesebelas, berhubungan dengan aspek GMP
penyimpanan, yaitu di gudang kering, yang mana penempatan barang tidak
teratur dan sebagian tidak dipisahkan (penyimpanan bahan pengemas dan bahan-
bahan lain, bahan kimia dan desinfektan/deterjen), hal ini dapat segera diatasi
84
dengan mengelompokkan atau memisahkan sesuai dengan jenisnya dalam suatu
rak/tempat yang terpisah dan khusus untuk jenis barang-barang tersebut.
Pengaturan ini perlu dibakukan dan dilaksanakan/ dijalankan secara konsisten.
Penyimpangan kedua-belas, berhubungan dengan aspek GMP
pemeliharaan sarana pengolahan dan sanitasi serta pengendalian hama,
yaitu di gudang kering tempat penyimpanan bahan baku dan di gudang kering
tempat penyimpanan produk mi kering yang dihasilkan; pencegahan binatang
pengerat tikus yang dapat membawa bibit penyakit pes belum efektif dan
dilaksanakan secara konsisten. Hal ini ditandai dengan tidak adanya denah
pentunjuk penempatan umpan tikus, belum dilaksanakannya pengendalian
binatang tikus ini baik oleh perusahaan sendiri ataupun melalui kontrak yang
dilakukan oleh pihak lain. Oleh karena itu, penyimpangan ini dapat segera diatasi
dengan melaksanakan dan membuat prosedur pengendalian hama tikus dengan
cara menempatkan jebakan/umpan tikus atau menempatkan suatu alat yang
menghasilkan gelombang suara tertentu sehingga binatang pengganggu/tikus tidak
suka memasuki gudang penyimpanan kering. Pengendalian hama tikus tersebut
dapat pula dilakukan dengan cara kontrak dengan pihak kedua yang melakukan
program pest control.
Penyimpangan ketiga-belas berhubungan dengan aspek manajemen dan
pelatihan, yaitu pimpinan/pihak manajemen mempunyai wawasan terhadap
metode pengawasan modern (ISO 9000, HACCP) tetapi belum atau sedang akan
melaksanakan penerapannya. Berdasarkan wawancara dengan pihak manajemen
terungkap bahwa perusahaan mempunyai kendala/hambatan dalam
mengembangkan dan menerapkan sistem HACCP di perusahaan disebabkan
karena : (1) Kurangnya informasi pengetahuan tentang sistem keamanan pangan
dan tenaga ahli/sumber daya manusia yang mengerti sistem HACCP; (2) Adanya
perkiraan tingginya biaya yang harus ditanggung perusahaan untuk
mengoperasikan sistem HACCP; (3) Adanya perkiraan tingginya biaya yang
diperlukan untuk memberi pelatihan sistem HACCP kepada karyawannya; (4)
Adanya perkiraan tingginya biaya lain yang derlukan untuk mebangun fasilitas
laboratorium dan fasilitas pemeliharaan peralatan lainnya guna mendukung
penerapan sistem HACCP dalam perusahaan, dan (5) Terbatasnya waktu untuk
85
mempersiapkan penerapan sistem HACCP sebagai akibat kurangnya sumber daya
manusia yang mengerti dan memahami sistem HACCP.
Ditinjau dari aspek cara produksi pangan yang baik atau good
manufacturing practice (GMP) yang sudah diterapkan perusahaan, selain
penyimpangan atau ketidaksesuaian yang ditemukan di atas; ada beberapa
penyimpangan lain dalam bentuk penyimpangan administrasi, fisik dan oprasional
sebagai berikut :
a. Spesifikasi bahan baku, bahan penolong dan bahan tambahan pangan belum
diterapkan secara konsisten karena standar persyaratan spesifikasi yang
ditetapkan perusahaan masih suka berubah, oleh karena itu perlu ditetapkan
standar persyaratan spesifikasi bahan-bahan tersebut yang tetap dan konsisten
penerapannya;
b. Tempat fasilitas sanitasi dan cuci tangan terutama toilet dan urinoir karyawan
pada prinsipnya jumlahnya sudah memenuhi persyaratan yang ditetapkan
dalam pedoman GMP Badan POM yaitu ada 6 toilet untuk 80 orang, namun
kondisi fisiknya sudah perlu adanya perbaikan, karena pintunya sudah ada
yang mulai rusak dan dinding tempat toilet tersebut sudah mulai kotor dan
perlu adanya pengecatan dinding kembali, sehingga program perbaikan fisik
sarana fasilitas sanitasi dan cuci tangan ini perlu segera diprogramkan
perbaikannya;
c. Alat-alat mesin-mesin yang sudah rusak dan tidak dipakai, sebagian masih ada
yang disimpan di bagian ruang proses produksi meskipun diletakkan di lantai
bawah dan agak terpisah; namun barang-barang (alat-alat) tersebut dapat
menjadi tempat sarang tikus dan berpotensi menimbulkan kontaminasi silang.
Dengan demikian, perusahaan tidak mempunyai program pemantauan untuk
menangani/membuang peralatan yang sudah rusak/tidak digunakan dengan
baik. Sebaiknya alat-alat ini dipindahkan dan diletakkan di ruang khusus
bagian teknik/bengkel dan maintenance, sehingga kebersihan dan higiene di
ruang proses produksi bisa dijaga dengan baik atau dibuang;
d. Pada higiene karyawan ditemukan kekurangan dalam pelaksanaan GMP pada
saat produksi, antara lain masih adanya karyawan yang menggunakan
perhiasan atau jam tangan pada waktu bekerja, penutup kepala yang dipakai
86
tidak menutup seluruh rambutnya dan masih ada karyawan berbicara pada saat
berproduksi serta tidak memakai penutup mulut untuk di bagian pengumpulan
produk mi kering sebelum dikemas dengan plastik jenis PP (kemasan primer);
e. Kondisi sanitasi di ruang/gudang penyimpanan bahan baku tepung terigu saat
diobservasi/diinspeksi kurang bersih dan kurang terkontrol. Cukup banyak
debu dan kotoran pada lantai dan dindingnya. Kemungkinan kegiatan sanitasi
di gudang penyimpanan bahan baku tepung terigu ini belum terjadwal dan
terkontrol dengan baik. Oleh karena itu, kegiatan sanitasi di gudang
penyimpanan ini harus terjadwal dan terkontrol dengan baik untuk mencegah
kontaminasi terhadap bahan baku dari cemaran fisik, debu, kotoran dan
serangga;
f. Kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan pangan terutama pada
alat roll presser, slitter, cutter dan conveyor meskipun sudah dilakukan
program pembersihan dan sanitasi; namun pada saat tidak digunakan/dipakai
terlihat masih ada sisa-sisa produk yang menempel pada perlatan tersebut,
sehingga dapat memungkinkan terjadinya kontaminai ke produk mi kering
yang akan diproduksi/dihasilkan. Oleh karena itu, program pembersihan dan
sanitasi pada perlatan tersebut perlu lebih diefektifkan untuk menghilangkan
sisa-sisa kotoran adonan mi yang lengket pada alat dan menjaga agar kondisi
bagian peralatan yang kontak dengan produk pangan tetap bersih dan higienis.
Menurut Winarno (2002), prosedur pembersihan peralatan dapat meliputi
tahapan perendaman atau penggosokan, pencucian dengan air bersih,
pembilasan dengan pembersih seperti deterjen atau sabun, pengecekan secara
visual untuk memastikan bahwa permukaan alat sudah bersih, penggunaan
desinfektan untuk membunuh mikroba, dan pembersihan akhir untuk
membilas desinfektan serta pembilasan kering untuk mengeringkan
desinfektan tanpa dilap. Pembersihan peralatan yang terbuat dari bahan
stainless steel dapat digunakan larutan pembersih deterjen alkali non ionik,
dan desinfektan yang antara lain : hipoklorit, yodophor, dan klorin organik
(Jenie, 1998).
87
Hasil pengamatan terhadap pelaksanaan standar prosedur operasi sanitasi
atau sanitation standard operating procedure (SSOP) secara ringkas di
perusahaan PT Kuala Pangan dapat dilihat pada Tabel 19, sedang hal-hal yang
perlu dimonitor, tindakan koreksi dan rekaman SSOP dapat dilihat pada Tabel 20.
Sanitation standard operating procedure (SSOP) ini akan memberikan manfaat
bagi unit usaha perusahaan PT Kuala Pangan dalam menjamin sistem keamanan
produksi pangannya, antara lain : (a) Memberi jadwal pada prosedur sanitasi, (b)
Memberikan landasan program monitoring berkesinambungan, (c) Menjamin
setiap personil mengerti sanitasi, (d) Memberikan sarana pelatihan yang konsisten
bagi personil, (e) Mendorong perencanaan yang menjamin dilakukan koreksi bila
diperlukan, (f) Mengidentifikasi kecenderungan dan mencegah kembali terjadinya
masalah, dan (g) Membawa peningkatan praktek sanitasi dan kondisi yang saniter
di unit usaha.
88
Tabel 19. Hasil pengamatan terhadap pelaksanaan sanitation standard operating procedure (SSOP) di perusahaan.
No Kunci Persyaratan Sanitasi
Deskripsi Pelaksanaan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP)
Tindakan koreksi Rekaman
1. Keamanan air - Air yang digunakan pada proses produksi terbagi menjadi dua, yaitu air bersih yang digunakan pada pencucian alat-alat produksi dan air minum untuk produksi ;
- Air bersih digunakan untuk keperluan sanitasi, pencucian peralatan, dan mandi cuci kakus (MCK), sedang air minum untuk produksi harus diolah (treatment) terlebih dahulu dengan SOP(Standar Prosedur Operasi) dan IK (Instruksi Kerja) yang ditetapkan perusahaan sehingga dapat menghasilkan air yang memenuhi persyaratan mutu sesuai dengan PerMen Kes No. 907/MenKes/SK/VII/2002 ;
- Mutu produk air untuk produksi dilakukan pengujian oleh bagian QC dan teknik; - Air yang memenuhi standar, selanjutnya disimpan dan ditampung pada storage
tank dan diset secara otomatis agar siap digunakan untuk proses produksi ;
- Bila air yang diproses untuk ke-perluan produksi belum memenuhi standar mutu, maka akan dilakukan pro-ses ulang
- Air yang digu-nakan untuk pro-duksi dilakukan pe-ngujian secara eks-ternal setiap 6 bulan sekali
- Hasil peme-riksaan mutu air untuk pro-duksi disim-pan di bagian QC dan tek-nik
- Hasil pengu-jian mutu air untuk produk-si eksternal disimpan di bagian QC
2 Kondisi dan ke-bersihan permu-kaan yang kontak dengan bahan pangan
- Semua peralatan yang kontak dengan makanan/produk akhir terbuat dari bahan yang bersifat inert (stainless steel). Hal ini bertujuan untuk mencegah cemaran fisik dari korosi logam peralatan produksi ;
- Proses pembersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan terdiri dari pembersihan clean in place (CIP) dan pembersihan untuk kemasan yang digunakan untuk produk akhir ;
- Penggunaan seragam produksi dipakai setiap hari dan diganti seminggu dua kali dan dijaga kebersihannya oleh masing-masing karyawan ; Perusahaan menyediakan sarung tangan dan penutup mulut di bagian kemasan primer ;
- Pembersihan peralatan produksi yang digunakan sesuai dengan SOP dan IK Instruksi Kerja) yang ditetapkan perusahaan, yang meliputi : penyemprotan air biasa pada seluruh permukaan yang kontak dan bersihkan sampai kotorannya hilang, gosok permukaan alat dengan larutan Duboa 1%, semprotkan air panas ke permukaan alat dan kemudian dikeringkan ;
- Proses pembersihan clean in place dilakukan pada vessel mixing dengan kapasitas lebih dari 500 kg. Prosedur pembersihannya dengan cara menyemprotkan bagian dalam vessel dengan air panas (65oC). Jika bagian vessel masih bau, maka dilakukan pembersihan dengan larutan sabun.
- Agar kegiatan sa-nitasi berjalan efek-tif, maka berhenti-kan/stop operasi dan bersihkan serta di-sanitasi
- Bila perlu karyawan diistirahatkan
- Monitoring hasil sanitasi permukaan disimpan di bagian QC - Monitoring terhadap kar-yawan disim-pan di bagian QC
89
Tabel 19. Hasil pengamatan terhadap pelaksanaan sanitation standard operating procedure (SSOP) di perusahaan (Lanjutan).
No Kunci Persyaratan Sanitasi
Deskripsi Pelaksanaan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP)
Tindakan koreksi Rekaman
3. Pencegahan Kontaminasi Silang
- Pencegahan kontaminasi silang dilakukan mulai dari bahan baku, bahan pembantu dan bahan tambahan pangan yang baru masuk sampai penyimpanan produk akhir. Bahan baku dan bahan pembantu yang berada di ruang gudang penyimpanan kondisi kemasannya ada yang bersih, kotor dan berdebu ;
- Pencegahan kontaminasi silang pada saat produksi dilakukan dengan cara pemeriksaan bagian dalam vessel atau alat produksi sebelum digunakan untuk proses produksi sesuai dengan SOP dan IK yang ditetapkan perusahaan ;
- Bagian dalam vessel atau alat produksi harus bebas dari kotoran dan cemaran fisik agar tidak mengkontaminasi produk akhir pada saat proses produksi ;
- Setelah dikemas primer dengan plastik jenis PP dan kemasan sekunder kotak karton harus ditutup dan disegel (diseal) dengan rapat untuk mencegah kontaminasi dari cemaran fisik, mikroba dan zat lain ;
- Selama proses produksi, personil harus bekerja sesuai dengan prosedur GMP, menggunakan seragam dan sepatu yang sesuai GMP, penggunaan sarung tangan dan tutup mulut/kepala ;
- Bila ada masalah produksi, stop pro-duksi dan tahan produk yang diha-silkan
- Karyawan dipe-ringatkan dan perlu dilatih kembali bila melakukan praktek tidak sesuai dengan SOP;
- Evaluasi keamanan produk yang diha-silkan
- Hasil peme-riksaan dan monitoring pembersihan disimpan di bagian QC;
- Hasil peme-riksaan dan monitoring karyawan disimpan di bagian QC;
4 Menjaga Fasilitas Pencuci Tangan, Sanitasi dan Toilet
- Pemeliharaan fasilitas sanitasi terdiri kegiatan sanitasi di ruang produksi, gudang penyimpanan, ruang karantina dan ruang MCK. Kegiatan sanitasi di ruang produksi secara umum dilakukan dua minggu sekali pada saat hari libur kerja. Kegiatannya meliputi pembersihan lantai, membersihkan bagian luar vessel, tangki penampungan, dan bagian dinding yang dapat dijangkau ; Kegiatan sanitasi rutin di ruang produksi dilakukan oleh personil produksi, sedang kegiatan sanitasi bulanan dilakukan oleh personil QC dan maintenance ;
- Kegiatan sanitasi di ruang gudang dan karantina dilakukan satu minggu sekali. Kegiatannya meliputi pembersihan lantai, dinding, pallet penyimpanan bahan baku dan produk akhir, dan pintu. Pembersihan lantai ruang produksi dan gudang menggunakan sabun deterjen untuk lantai, yaitu Drathon 10 dengan dosis 660 ml per 3400 ml air.
- Kegiatan sanitasi di ruang MCK dilakukan setiap hari kerja. Kegiatannya meliputi pembersihan toilet, kamar mandi, dan tempat cuci tangan. Fasilitas cuci tangan terdiri dari air yang mengalir, tetapi kadang-kadang tidak ada sabun cair dan lap pengeringnya.
- Cek fasilitas cuci tangan dan toilet dan inspeksi di lapangan dan bila ada keru-sakan segera diper-baiki
- Karyawan dipe-ringatkan dan perlu dilatih kembali bila melakukan praktek tidak sesuai dengan SOP;
- Evaluasi keamanan produk yang diha-silkan
-
- Hasil peme-riksaan dan monitoring program sani-tasi disimpan di bagian QC;
- Hasil peme-riksaan dan monitoring karyawan disimpan di bagian QC;
90
Tabel 19. Hasil pengamatan terhadap pelaksanaan sanitation standard operating procedure (SSOP) di perusahaan (Lanjutan).
No Kunci Persyaratan Sanitasi
Deskripsi Pelaksanaan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP)
Tindakan koreksi Rekaman
5. Proteksi dari bahan-bahan kontaminan
- Bahan-bahan non-pangan atau bahan-bahan kimia yang digunakan selama pengolahan seperti larutan klorin pekat, deterjen/sabun cair, larutan Drathon, larutan Duboa 1% dan pelumas disimpan di gudang penyimpanan khusus di luar area pengolahan dan penggunaannya harus sesuai dengan SOP dan IK yang ditetapkan perusahaan.
- Wadah larutan kimia di dalam area pengolahan ditempatkan di pojok ruangan yang jauh dari produk dan pekerja ; jika terjadi terjadi kontaminasi bahan non-pangan/kimia seperti sabun, maka pekerja wajib melaporkannya kepada supervisor. Supervisor akan meneruskan informasi kepada kepala bagian produksi dan produk akan disingkirkan/dipisah ;
- Senyawa toksik disimpan dalam wadah berlabel yang juga disertai dengan tanggal penerimaan produk ;
- Bila ada bahan pengkontaminan, hi-langkan bahan terse-but dari permukaan
- Menghindarkan lingkungan ruang produksi dari adanya genangan air ;
- Memindahkan ba-han toksik tidak berlabel dengan benar.
- Catatan hasil pemeriksaan dan monito-ring penggu-naan bahan kimia disim-pan di bagian QC;
- Catatan tin-dakan koreksi dari pemerik-saan dan eva-luasi disim-pan di bagian QC
6 Pelabelan, penyimpanan, dan penggunaan bahan toksin yang benar
- Setiap kemasan yang berisi produk akhir harus mempunyai label yang memberikan informasi mengenai karakteristik dari produk akhir yang dikemas; Informasi label terdiri atas : nama produk, bobot netto, kode produksi, kadaluwarsa, dan cara penggunaan produk ;
- Penyimpanan produk akhir mi kering diletakkan terpisah dengan bahan baku utama, bahan pembantu lain, bahan tambahan pangan dan produk yang cacat; sedang penyimpanan bahan yang sensitif terhadap suhu disimpan di ruang sensitive room ;
- Sistem yang digunakan dalam penyimpanan adalah prinsip FIFO (First In First Out), yaitu produk akhir yang production date atau lotnya lebih lama dikeluarkan terlebih dahulu dibandingkan lot yang baru ;
- Semua kegiatan pelabelan, penyimpanan dan penggunaan bahan kimia/toksik menggunakan SOP dan IK yang sudah ditetapkan perusahaan.
- Bila ada/terjadi pelabelan yang sa-lah, produksi dihen-tikan, pisahkan pro-duk yang salah ;
- Karyawan dipe-ringatkan dan perlu dilatih kembali bila melakukan praktek tidak sesuai dengan SOP;
- Hasil peme-riksaan dan monitoring kegiatan pela-belan dan penyimpanan disimpan di bagian QC;
- Hasil peme-riksaan dan monitoring penggunaan bahan kimia disimpan di bagian QC;
91
Tabel 19. Hasil pengamatan terhadap pelaksanaan sanitation standard operating procedure (SSOP) di perusahaan (Lanjutan).
No Kunci Persyaratan Sanitasi
Deskripsi Pelaksanaan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) Tindakan koreksi Rekaman
7. Pengawasan Kondisi Kesehatan personil
- Kontrol kondisi kesehatan karyawan/personil terutama di bagian produksi kurang dimanfaatkan/diperhatikan oleh karyawan yang bersangkutan, meskipun perusahaan telah menyediakan fasilitas klinik dan dokter serta perawat kesehatan ;
- Pengawasan kesehatan karyawan di perusahaan perlu lebih diintensifkan meskipun perusahaan telah mempunyai SOP dan IK (Instruksi Kerja) yang sudah ditetapkan perusahaan ;
- Efektivitas pemantauan kesehatan karyawan sebaiknya perlu dikaji ulang oleh pihak perusahaan atau manajemen, sehingga diperlukan adanya aksi tindak koreksi yang tepat.
- Bila ada karyawan yang terkena penya--kit diistirahatkan dan tidak diperkenankan ke ruang produksi ;
- Lakukan peman-tauan karyawan dengan lebih ketat.
- Catatan hasil pemeriksaan dan monito-ring terhadap karyawan yang mende-rita sakit di-simpan di bagian HRD
8. Menghilangkan
pest dari Unit pengolahan
- Hama yang terdapat di kawasan PT Kuala Pangan terdiri dari serangga (lalat, kecoa, laba-laba, nyamuk, dan lain-lain), burung dan tikus. Penanganan hama serangga seperti lalat, nyamuk dan serangga lain dilakukan dengan memasang insecta trap. Lampu insecta trap diletakkan di luar ruang produksi/gudang dan dikontrol setiap satu bulan sekali.
- Di ruang produksi dipasang lem perangkap lalat. Lem perangkap lalat juga dipsang di dekat pintu masuk ruang produksi. Adanya lalat atau serangga di dalam ruang produksi dikontrol oleh personil produksi sebelum aktivitas produksi.
- Pencegahan binatang lain seperti burung dilakukan dengan cara memasang kawat kassa di ventilasi ruangan atau pintu trap plastik pada pintu ruang gudang, dan ruang produksi ;
- Perusahaan perlu menetapkan pro-gram pest control ;
- Perlu dibuat denah penempatan pro-gram pest control di seluruh pabrik
- Hasil peme-riksaan dan monitoring kegiatan pest control disimpan di bagian QC;
- Hasil tindak-an koreksi pe-meriksaan dan moni-toring pest control disim-pan di bagian QC;
92
Tabel 20. Pemantauan pada program Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) di perusahaan Hal-hal Yang Perlu Dimonitor pada Program SSOP No. Kunci Persyaratan
Sanitasi Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa Tindakan koreksi Rekaman
1 Keamanan air - Kualitas air - Instalasi plum-
bing
- Unit treatment air - Outlet - Instalasi dan out-
let plumbing
- Cek kualitas air - Inspeksi jaringan
- Sebelum operasi - Saat akan insta-lasi & modifikasi
- Bagian QC - Operator wa-ter treatment - Bagian QC
- Bila belum meme-nuhi standar, lakukan proses ulang
- Perbaiki instalasi yang memungkinkan kontaminasi
- Monitoring kuali-tas air
- Inspeksi instalasi
plumbing
2 Kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan
- Permukaan harus bersih
- Permukaan disa-nitasi
- Sarung tangan dan pakaian ha-rus bersih
- Line produksi - Karyawan
- Inspeksi secara visual
- Inspeksi terhadap
karyawan
- Setiap sebelum operasi dan setiap 4 jam sekali
- Setiap sebelum operasi dan setiap 4 jam
- Bagian QC - Bagian QC
- Stop operasi, diber-sihkan dan disanitasi
- Istirahatkan karya-wan
- Monitoring per-mukaan yang kontak dengan pangan
- Monitoring terha-dap karyawan
3 Pencegahan kontaminasi silang
- Kebiasaan karya-wan
- Desain ruang un-
tuk bahan baku dan produk jadi
- Line produksi - Karyawan - Toilet daan was-
tafel - Gudang penyim-
panan
- Cek bahan kon-sentrasi sanitaiser
- Cek fasilitas pen-cuci tangan dan toilet
- Inspeksi di lapangan - Inspeksi karya-
wan
- Setiap sebelum operasi dan setiap 4 jam sekali
- Setiap sebelum operasi dan setiap 4 jam sekali
- Bagian QC - Supervisor produksi - Petugas kebersihan
- Stop produk dan tahan produk yang dihasilkan
- Peringatkan dan latih kembali karyawan
- Evaluasi keamanan produk, untuk didis- posisi, direproses atau dimusnahkan
- Monitoring karyawan - Monitoring pembersihan - Monitoring tata letak produk dalam ruangan
4 Menjaga fasilitas pencuci tangan, sanitasi dan toilet
- Fasilitas cuci tangan - Fasilitas toilet - Fasilitas sanitasi
- Tempat cuci tangan - Tempat toilet - Bagian sanitasi
- Cek fasilitas pencuci tangan
dan toilet - Inspeksi ke lapangan - Cek bahan kon-
sentrasi sanitaiser
- Sebelum operasi, dan setiap 4 jam sekali
- Sebelum operasi dan setiap 4 jam sekali
- Bagian QC - Perbaiki dan laporkan bila ada kerusakan
- Peringatkan pelak-sana dan latih kembali
- Monitoring harian sanitasi - Tindakan koreksi yang dilakukan
93
Tabel 20. Pemantauan pada program Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) di perusahaan (Lanjutan) Hal-hal Yang Perlu Dimonitor pada Program SSOP No. Kunci Persyaratan
Sanitasi Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa Tindakan koreksi Rekaman
5 Proteksi dari bahan- bahan kontaminan
- Bahan yang berpotensi untuk mengkontaminasi
- Produk pangan - Bahan pengemas - Permukaan yang
kontak langsung dengan pangan
- Cek bahan dan akses personil/ karyawan - Inspeksi secara visual
- Sebelum operasi, dan setiap 3 jam sekali - Sebelum operasi, dan setiap 4 jam sekali
- Bagian QC - Dibantu oleh bagian produksi
- Hilangkan bahan kontaminan dari permukaan
- Hindari adanya genangan air di dalam ruang produksi
- Monitoring/ pemantauan - Tindakan koreksi
6 Pelabelan, penyimpanan, dan penggunaan bahan toksin yang benar
- Pelabelan, penyimpanan,
dan penggunaan bahan
- Tempat/ruang penyimpanan - Tempat penerap- an /aplikasi
- Cek pelabelan - Cek cara aplikasinya
- Satu kali setiap hari
- Satu kali per hari
- Bagian QC - Bagian QC
- Pindahkan bahan toksin tidak berlabel dengan benar - Peringatkan karya- wan dan latih kembali - Stop produksi, dan recall produk yang terkena
- Monitoring/ pemantauan - Tindakan koreksi
7 Pengawasan kondisi kesehatan personil
- Karyawan dengan tanda- tanda penyakit/ luka
- Karyawan yang masuk ruang kerja - Pada saat sedang
bekerja
- Lakukan inspeksi terhadap karya-wan/ pelaksana
- Sebelum operasi dan setiap 4 jam sekali
- Bagian QC - Supervisor produksi
- Stop produk dan tahan produk yang dihasilkan
- Monitoring kesehatan karyawan - Tindakan koreksi
8 Menghilangkan pest dari unit pengolahan
- Pest di ruang produksi dan
gudang
- Seluruh ruangan produksi dan lingkungan pabrik
- Cek dan inspeksi ke lapang
- Dua kali (2x) setiap hari
- Bagian QC dibantu bagian produksi
- Tetapkan program pest control dengan baik
- Tetapkan tempat/ denah penempatannya
- Monitoring pest control - Tindakan koreksi yang dilakukan
94
B. PENYUSUNAN RENCANA HACCP (HACCP PLAN) UNTUK PRODUKSI MI
KERING PADA PT KUALA PANGAN
Penyusunan rencana HACCP (HACCP Plan) untuk produksi mi kering pada PT
Kuala Pangan mengacu kepada Codex guidelines dan tujuh prinsip HACCP yang telah
diadopsi dan dituangkan dalam acuan (standar) SNI.01.4852-1998 tentang Sistem
Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (BSN, 1998) serta Pedoman penerapannya
yaitu Pedoman BSN 1004 : 2002 (BSN, 2002). Rencana HACCP pada perusahaan ini
diintegrasikan ke dalam prosedur dan instruksi kerja yang akan memudahkan karyawan
(personil yang terlibat) dalam melaksanakannya. Penyusunan dan pengembangan rencana
HACCP dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
1. Melakukan Pelatihan Sistem HACCP
Pelatihan sistem HACCP pada perusahaan PT Kuala Pangan diperuntukkan bagi
seluruh karyawan dan pihak manajemen yang akan terlibat dalam mengelola sistem
manajemen keamanan pangan berdasarkan sistem HACCP di perusahaan yang
bersangkutan. Pelatihan terhadap sumber daya manusia (SDM) yang terlibat dalam
proses produksi mi kering di perusahaan tersebut bertujuan : (1) Memberdayakan
perusahaan industri pangan PT Kuala Pangan dalam menghadapi era globalisasi,
kompetisi dengan perusahaan yang sejenis dan meraih sertifikat jaminan keamanan
pangan berdasarkan sistem HACCP; (2) Meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan
keahlian personil yang terlibat dalam mengerjakan dan mengelola perusahaan yang
menghasilkan produk mi kering; (3) Meningkatkan kemampuan personil dalam
pemahaman dan penerapan sistem keamanan pangan yang mencakup good
manufacturing practice (GMP), standard operating procedure (SOP), sanitasi dan
higiene, sistem manajemen mutu dan HACCP; dan (4) Meningkatkan kesadaran, sikap
(attitude) dan tanggung jawab personil perusahaan dalam menerapkan persyaratan dasar
sistem HACCP khususnya GMP dan sanitation standard operating procedure (SSOP) di
perusahaan. Hal ini disebabkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang terlibat dalam
pengolahan pangan untuk memproduksi mi kering, sangat berperan dalam membantu
kesuksesan perusahaan industri pangan tersebut guna menghasilkan produk mi kering
yang aman dikonsumsi memerlukan pengetahuan, ketrampilan, keahlian dan tanggung
95
jawab (komitmen) yang tinggi SDM yang mengerjakan dan mengelolanya. Tingkat
pengetahuan, ketrampilan, keahlian dan tanggung jawab yang tinggi mutlak diperlukan,
karena industri pengolahan pangan untuk menghasilkan produk mi kering ini adalah
industri yang perlu penanganan secara hati-hati.
Menurut Maryon (1998) dikatakan bahwa pendidikan dan pelatihan terhadap
sumber daya manusia yang terlibat dalam sistem industri pangan merupakan kunci
terbaik untuk menghasilkan produk pangan yang aman bagi perusahaan industri pangan.
Oleh karena itu, program pelatihan pada perusahaan industri pangan di PT Kuala Pangan
ini diharapkan mampu meningkatkan SDM yang terlibat dalam mengerjakan dan
mengelola industri pangan tersebut, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan kinerja
perusahaan PT Kuala Pangan di bidang mutu dan keamanan pangan. Disamping itu,
dengan pelatihan ini diharapkan SDM yang terlibat dalam sistem industri pangan
menyadari tidak harus mengerti apa yang harus dikerjakan untuk menjamin keamanan
pangan produk mi kering yang dihasilkan, tetapi juga harus memahami mengapa mereka
harus melaksanakan tugas khusus yang dibebankan kepada mereka (MFSCNPA, 1992).
Pelatihan sistem HACCP di perusahaan industri pangan PT Kuala Pangan diikuti
oleh karyawan (dari tingkat line operator, supervisor/kepala regu, kepala bagian) dan
manajemen perusahaan yang berjumlah sekitar 30 orang dan dilakukan selama 4 hari
dengan cara inhouse training di PT Kuala Pangan Citeureup, Bogor dari tanggal 13
sampai dengan 16 bulan Nopember tahun 2007. Materi yang diajarkan dalam pelatihan
ini terdiri dari 7 (delapan) topik yang disampaikan dalam 32 jam pelajaran (jp) dan setiap
jam pelajaran dengan waktu 45 menit selama 4 hari dengan rincian sebagai berikut (Tabel
21). Sedang contoh soal untuk evaluasi dan mengetahui tingkat pemahaman peserta
pelatihan dapat dilihat di halaman Lampiran 3.
Tabel 21. Materi Yang Diajarkan dalam Pelatihan Sistem HACCP di PT Kuala Pangan
No. Topik pelatihan/pengajaran Jumlah jam pelajaran (jp); 1 jp = 45 menit
1. Pengantar sistem pengendalian keamanan pangan 2 2. Sanitasi dan higiene dalam industri pangan 2 3. Good manufacturing practice (GMP) 3 4. Prinsip sistem HACCP 3 5. Implementasi sistem HACCP dalam industri pangan 3 6. Dokumentasi GMP dan sistem HACCP 3 7. Workshop penyusunan rencana HACCP (HACCP Plan) 16
96
Hasil evaluasi penilaian tingkat pengertian dan pemahaman peserta pelatihan
sistem HACCP di perusahaan sebelum dan sesudah pelatihan dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22. Hasil evaluasi penilaian tingkat pengertian dan pemahaman peserta (Sebelum
dan setelah pelatihan) Tingkat Pemahaman Peserta Pelatihan
Sebelum Pelatihan Setelah Pelatihan No.
Jabatan/kedudukan peserta pelatihan
SB B C K SB B C K 1. Manajer produksi - 1 - - 1 - - - 2. Manajer teknik & maintenance - - 1 - - 1 - - 3. Kepala Bagian QC - - 1 - - 1 - - 4. Supervisor produksi - - 2 3 - 2 3 - 5. Ketua kelompok/regu produksi - - 2 3 - 2 3 - 6. Kepala Gudang - - 1 2 - 1 2 - 7. Operator produksi - - - 12 - 1 11 - 8. Staf bagian QC/laboratorium - - 2 - - 2 - - Jumlah peserta - 1 9 20 1 10 19 Keterangan : SB = Sangat Baik (Nilai lebih besar atau sama dengan 80) B = Baik (Nilai lebih besar atau sama dengan 70) C = Cukup (Nilai lebih besar atau sama dengan 60) K = Kurang (Nilai lebih kecil dari 60).
Dari Tabel 22 tersebut dapat dilihat bahwa berdasarkan hasil evaluasi penilaian,
tingkat pengertian dan pemahaman peserta setelah mendapat pelatihan menunjukkan
tingkat pengertian dan pemahamannya sangat baik ada 1 orang, baik berjumlah 10 orang
dan cukup 19 orang. Dari Tabel 22 di atas juga terungkap bahwa peserta pelatihan, baik
yang berasal dari tingkat manajer dan kepala bagian QC dan staf bagian QC yang
pernah mendapat pelatihan sebelum pelatihan sistem manajemen keamanan pangan ini
dilkukan, lebih meningkat lagi tingkat pengertian dan pemahamannya. Dengan demikian
dapat dikatakan ada dampak positif terhadap sumber daya manusia pada perusahaan PT
Kuala Pangan. Hal ini mendukung hasil penelitian/kajian yang dilakukan oleh Manning
(1994) dan Howes et al (1996) yang menyatakan bahwa salah satu dampak positif adanya
pelatihan sistem keamanan pangan termasuk sistem HACCP adalah meningkatnya
tingkat pengetahuan, pengertian dan pemahaman SDM yang terlibat dalam sistem
industri pangan.
97
2. Menetapkan Kebijakan Mutu dan Keamanan Pangan Yang Berhubungan
Dengan HACCP Plan
Kebijakan mutu dan keamanan pangan merupakan pernyataan yang diungkapkan
oleh pimpinan tertinggi atau manajemen puncak suatu organisasi yang berupa janji atau
komitmen sebagai upaya untuk melaksanakan dan menegakkan serta memelihara standar
mutu yang tinggi (BSN, 2002). Pimpinan tertinggi yang bertanggung jawab terhadap
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan prosedur HACCP di PT Kuala Pangan dijabat
oleh Direktur. Komitmen manajemen puncak ini juga menjadi salah satu unsur dalam
pedoman penerapan sistem HACCP (Thaheer, 2005). Pernyataan kebijakan mutu dan
keamanan pangan perusahaan adalah sebagai berikut : (a) ”kami menetapkan bahwa
mutu dan keamanan produk menjadi prioritas utama dalam sistem produksi, sistem
manajemen mutu maupun pola pikir dalam sistem usaha secara keseluruhan dalam jangka
pendek maupun jangka panjang”, (b) ”kami menghasilkan produk dan layanan yang
aman dan bermutu tinggi sesuai dengan sistem HACCP yang memenuhi standar nasional
ataupun internasional”, dan (c) ”kami berupaya secara terus menerus dan konsisten
melakukan penegakan keamanan pangan dan perbaikan sistem manajemen”.
Konsekuensi dari komitmen perusahaan PT Kuala Pangan tersebut adalah segala
sesuatu yang berkaitan dengan pembiayaan dan investasi terhadap suatu fasilitas yang
dianggap penting dalam pelaksanaan sistem HACCP akan segera ditanggapi oleh
manajemen puncak PT Kuala Pangan. Misalnya biaya yang diperlukan untuk pelatihan
tim HACCP dan karyawan perusahaan yang akan mendukung dalam penerapan sistem
HACCP, biaya yang dikeluarkan untuk memperbaiki fasilitas sanitasi dan higiene
(urinoir, toilet/wc, wastafel) yang sudah dimiliki perusahaan dan perlu adanya perbaikan,
biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk pembelian bak sampah sebagai sarana
pendukung pengelolaan sampah, adanya perjanjian dalam bentuk kontrak kerja sama
dengan pihak lain dalam penanganan pengendalian hama (pest control), biaya yang
dikeluarkan pembuatan manual dokumen rencana HACCP serta biaya yang perlu
dikeluarkan untuk melatih internal auditor sistem HACCP di perusahaan. Bahkan
komitmen tersebut harus dijaga terus secara konsisten oleh perusahaan setelah
perusahaan mendapat sertifikat HACCP, karena dalam sistem HACCP berlaku pula
filosofi adanya perbaikan yang berkelanjutan.
98
3. Pembentukan Tim HACCP (Langkah Ke-1)
Tim HACCP diharapkan merupakan tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu
yang mengembangkan, mengimplementasikan dan memelihara sistem HACCP. Anggota
tim HACCP yang baik dan lengkap membutuhkan pengetahuan dan keahlian/kepakaran
tentang seluruh alur proses produksi, dimulai dari bahan baku, proses produksi, bahaya
yang mungkin timbul, dan produk akhir yang dihasilkan sampai pada pengiriman dan
pendistribusiannya.
Pembentukan Tim HACCP disusun berdasarkan struktur organisasi yang sudah
ada dalam badan usaha perusahaan PT Kuala Pangan sehingga legalitas dari tim ini dapat
dipertanggung-jawabkan. Pimpinan puncak/tertinggi secara formal organisasi adalah
orang yang memiliki wewenang tertinggi dalam pengendalian perusahaan. Berkaiatn
dengan pelaksanaan kebijakan penerapan sistem manajemen HACCP, pimpinan puncak
memberikan mandatnya kepada wakil manajemen (Ketua/Koordinator Tim HACCP)
untuk melaksanakan aktivitas persiapan sertifikasi dan pemantauan dalam penerapannya.
Organisasi Tim HACCP di PT Kuala Pangan terdiri dari : Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris
dan Anggota Tim HACCP. Struktur organisasi tim HACCP di perusahaan PT Kuala
Pangan dan uraian tugasnya dapat dilihat pada Tabel 23 dan 24.
Tabel 23. Struktur Organisasi Tim HACCP di Perusahaan PT Kuala Pangan No. Nama
Personil Kedudukan
di Tim HACCP
Pendidikan Jabatan di Perusahaan
Kompetensi Personil
1. Abie Suhendra Ketua tim S-1 Teknik Kimia
Manajer Produksi Di bidang proses dan analisis pangan, pengalaman kerja 20 tahun, pernah training sistem HACCP
2. Dede Sundjaja Wakil Ketua S-1 Teknik Mesin
Manajer Teknik dan Maintenance
Di bidang proses dan pemeliharaan mesin, pengalaman kerja 5 tahun, pernah ikut pelatihan sistem HACCP
3. Mulyanti Rustella
Sekretaris Sarjana Muda AKA
Kepala Bagian QC Di bidang analisis fisik dan kimia pangan, pengalaman kerja 3 tahun, Pelatihan internal sistem HACCP
4. Sony Irawan Anggota Sarjana Muda AKA
Supervisor QC Analisis fisik dan kimia, kalibrator, pelatihan internal HACCP
5. Akim Anggota STM Operator bagian produksi Operasi mesin-mesin proses produksi, pelatihan internal HACCP
6. Aden Anggota STM Operator bagian produksi Operasi mesin-mesin proses produksi 7. Nurlela Anggota SAKMA Staf bagian QC Di bidang sanitasi 8. Thomas
Kartolo Anggota STM Kepala Regu di bagian
produksi Proses dan mesin, pelatihan internal sistem HACCP
9. Endang Anggota SAKMA Staf bagian QC Pengujian bahan baku 10. Usman Benny Anggota STM Supervisor Produksi Proses dan mesin 11. Subandy Tipto Anggota STM Kepala gudang Pengendali gudang, pelatihan internal
HACCP 12. Samyuli Anggota STM Staf Bagian Maintenance Perawatan mesin
99
Tabel 24. Uraian Tugas Tim HACCP di Perusahaan PT Kuala Pangan No. Jabatan Uraian Tugas Tim HACCP 1. Ketua Tim HACCP - Menyiapkan, membuat dan mengesahkan dokumen manual HACCP
- Menjamin dan bertanggung jawab penuh atas penerapan sistem HACCP di dalam organisasi secara meneyeluruh
- Memberikan program pelatihan kepada semua karyawan - melakukan verifikasi/audit secara berkala terhadap sistem HACCP dan tindakan perbaikan serta perubahan yang diperlukan
- Mengadakan dan memimpin rapat tim HACCP secara berkala - Melakukan dan menjaga hubungan dengan pihak konsultan HACCP dan LSSM HACCP
2. Wakil Ketua - Membantu Ketua tim HACCP dalam menjalankan tugas penerapan sistem HACCP - Menjalankan tugas dan fungsi ketua, jika yang bersangkutan berhalangan - Membantu Ketua tim dalam program pelatihan sistem HACCP terhadap karyawan perusahaan
- Memberikan program pelatihan kepada karyawanh harian terhadap penerapan sistem HACCP
- Memberikan masukan, usulan perbaikan sistem HACCP kepada Ketua tim sehingga terjadi peningkatan mutu atas sistem HACCP
- Membantu Ketua tim HACCP dalam program pelatihan, penerapan dan perbaikan sistem HACCP di dalam perusahaan
3. Sekretaris - Menyiapkan dan membuat dokumen manual HACCP - Mengendalikan, mendistribusikan dokumen HACCP dan menjamin bahwa setiap unit menerima dokumen HACCP yang benar dan terbaru
- Menyimpan semua rekaman dokumen, catatan dan data terhadap semua dokmen HACCP dengan baik dan rapi
- Melakukan revisi terhadap dokumen sesuai dengan perubahan yang telah ditetapkan dan mendistribusikan dokumen yang baru serta menarik dokumen yang lama
- Memusnahkan dokumen yang sudah tidak terpakai atau yang sudah melewati masa simpan dokumen
4. Anggota - Membantu persiapan dan pembuatan dokumen manual sistem HACCP - Memberikan masukan, usulan perbaikan sistem HACCP sehingga terjadi peningkatan mutu atas sistem HACCP
- Menjadi fungsi kontrol dalam pelaksanaan sistem HACCP di dalam lingkungan unit masing-masing
Dari struktur organisasi tim HACCP dan kompetensi personil yang termasuk
dalam tim HACCP tersebut terlihat belum terdapat personil yang kompeten di bidang
mikrobiologi dan personil yang berlatar belakang pendidikan di bidang ilmu dan
teknologi pangan, serta personil yang kompeten sebagai internal auditor untuk melakukan
program audit sistem HACCP di perusahaan. Oleh karena itu, PT Kuala Pangan sebagai
industri atau perusahaan yang menerapkan sistem HACCP harus menyediakan sumber
daya manusia (SDM) dengan kompetensi yang sesuai untuk mendukung sistem HACCP
tersebut. Bila perusahaan PT Kuala Pangan tidak memiliki SDM dengan kompetensi
yang sesuai dan dibutuhkan perusahaan, maka direkomendasikan dapat menggunakan/
memanfaatkan jasa konsultan dari luar perusahaan yang ahli di bidangnya dan
pengalaman dalam mengembangkan sistem HACCP.
100
Ruang lingkup dalam penyusunan dan pengembangan rancangan HACCP
(HACCP Plan) ini adalah produksi mi kering. Mi kering ini merupakan produk yang
berbentuk padat, kering bebentuk khas mi dan dibuat dari bahan baku tepung terigu,
garam, tepung telur, air, dan bahan tambahan pangan (BTP) yang terdiri dari natrium
karbonat dan kalium karbonat serta bahan pewarna tartrazin.
Prosedur untuk rencana HACCP atau HACCP Plan meliputi seluruh proses
produksi, mulai dari penerimaan bahan baku sampai dengan penyimpanan sementara
produk akhir di gudang penyimpanan dan pendistribusiannya. Bahaya biologi
(mikrobiologi) untuk produk mi kering yang mungkin timbul adalah E. coli, coliform,
Salmonella, Staphylococcus dan kapang, tetapi karena dalam proses produksinya
menggunakan pemanasan dan pengeringan sehingga tidak memungkinkan bahaya biologi
tersebut untuk tumbuh. Sedangkan bahan baku yang digunakan juga tidak
memungkinkan mikroba untuk tumbuh. Bahaya mikrobiologi yang mungkin terjadi
berasal dari tepung telur berupa Salmonella, Staphylococcus dan kapang. Namun bahaya
biologi yang berupa bakteri E. coli, Salmonella, Staphylococcus dan kapang akan musnah
dan dihilangkan pada saat pemasakan produk mi kering dengan suhu 100oC oleh
konsumen sebelum dikonsumsinya.
Bahaya kimia dapat berasal dari bahan pembersih (deterjen), bahan pensanitasi
(sanitaiser) dan cemaran logam-logam berat yang berasal dari bahan baku tepung terigu
dan garam konsumsi beryodium; sedangkan bahaya fisik bukan merupakan suatu bahaya
yang potensial.
4. Deskripsi Produk Dan Identifikasi Pengguna (Langkah Ke-2 dan Langkah Ke-3)
Deskripsi produk mi kering hasil produski PT Kuala Pangan dan identifikasi
penggunaannya dapat dilihat pada Tabel 25.
101
Tabel 25. Deskripsi Produk Mi Kering produksi PT Kuala Pangan
No. Uraian 1. Nama produk Mi kering 2. Deskripsi umum Produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan atau
penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan (BTP) yang diizinkan, berbentuk khas mi (SNI 01. 2974-1992)
3. Komposisi bahan baku dan bahan tambahan lain
Tepung terigu, garam konsumsi beryodium, tepung telur, air, sodium karbonat dan kalium karbonat, serta pewarna tartrazin CI 19140.
4. Karakteristik produk -Fisik : padat, kering berbentuk khas mi dengan ukuran bobot netto 200 gram, warna kekuningan dengan rasa dan aroma normal, aw 0,81.
-Kimia : kadar air 8-10%, kadar protein 8-11%, Tidak mengandung boraks, Kandungan Cemaran logam berat Pb maks. 1,0 (mg/kg), Cu maks, 10,0 (mg/kg), Zn maks. 40,0 (mg/kg), Hg maks. 0,05 (mg/kg), As maks. 0,5 (mg/kg) dan pewarna sesuai dengan SNI.022-M dan Per.Men.Kes. No. 722/MenKes/ Per/ IX/88;
-Mikrobiologi : Angka lempeng total maks. 1,0 x 106 koloni/g; E. Coli maks. 10; dan kapang negatif (SNI 01.2974-1992).
5. Metode Pengemasan Dilakukan secara masinal menggunakan mesin pengemas dan manual. Bahan pengemas primer terbuat dari Poli Propilen (PP), sedang pengemas sekunder terbuat dari kotak karton jenis CFB.
6. Pelabelan Nama dan kode produk, nomor lot, bobot netto, komposisi, nama dan alamat perusahaan, tanggal kadaluwarsa, tanggal produksi, kondisi penyimpanan dan petunjuk penggunaannya
7. Umur simpan 1 tahun dalam suhu kamar/suhu ruang biasa. 8. Kondisi penyimpanan Suhu ruang, tidak terkena cahaya matahari langsung, tempat kering &
tidak lembab, tidak berbau. 9. Distribusi -Menggunakan truk boks tertutup rapat atau truk tertutup rapat (untuk
transportasi darat) -Menggunakan container dan kapal (untuk transportasi laut)
10. Penjualan Dari industri ke distributor dan ekspor ke negara lain 11. Target konsumen Produk dapat dikonsumsi oleh semua orang dan tidak ditujukan secara
khusus untuk kelompok populasi tertentu 12. Cara penggunaan Produk perlu dimasak lebih dahulu sebelum dikonsumsi sesuai
petunjuk penggunaan pada label produk
5. Penentuan dan Verifikasi Diagram Alir Proses Produksi (Langkah Ke-4 dan
Langkah Ke-5)
Diagram alir adalah suatu gambaran yang sistematis dari urutan tahapan atau
pelaksanaan pekerjaan yang dipergunakan dalam produksi atau dalam menghasilkan
produk pangan tertentu (BSN, 2002). Diagram alir proses produksi dibuat dengan tujuan
untuk mempermudah analisis HACCP. Diagram alir proses ini diharapkan dapat
membantu mengidentifikasi sumber kontaminasi yang potensial dan upaya-upaya apa
yang dapat dilakukan untuk mengendalikan bahaya tersebut. Penentuan diagram alir
102
proses pembuatan produk mi kering di perusahaan dilakukan dengan mencatat seluruh
tahapan proses, sejak bahan baku diterima hingga produk siap disimpan sementara dan
didistribusikan ke konsumen. Diagram alir proses produksi pembuatan mi kering hasil
verifikasi di lapang (on site) dapat dilihat pada Gambar 4.
Air
Penerimaan bahan baku, bahan pembantu dan bahan tambahan pangan
Penyimpanan bahan baku, bahan pembantu dan bahan tambahan pangan
Penimbangan bahan baku , bahan pembantu dan bahan tambahan pangan
Pencampuran adonan mi (Mixing)
A
Pengayakan (Khususnya tepung terigu dan garam)
Air Pembuatan Larutan Alkali
103
Gambar 4. Diagram Alir Proses Produksi Mi kering di PT Kuala Pangan Hasil Verifikasi.
A
Pembentukan Adonan Menjadi Lembaran dengan Roll Press
Pembentukan/Pencetakan Untaian kembang mi (Slitting)
Pengukusan pada suhu 90-100 oC; selama 1,5-2 menit (Steaming)
Pendinginan Untaian kembang mi dengan kipas angin (Cooling)
Uap panas
Pemotongan Untaian kembang mi (Cutting)
Pengeringan mi dengan oven pada suhu 90-100 oC; selama 25-30 menit (Drying)
Pendinginan mi dalam tunnel dengan kipas angin selama 2-3 menit (Cooling)
Pengemasan primer mi kering dengan plastik jenis PP dan kemasan sekunder
kotak karton
Penyimpanan produk mi kering dalam gudang penyimpanan
Pengiriman dan Pendistribusian produk mi kering
Uap panas
104
Proses produksi atau pembuatan mi kering yang dilakukan di PT Kuala Pangan
Citeureup, Bogor meliputi tahap-tahap, sebagai berikut : penerimaan bahan baku dan
bahan lain, penyimpanan bahan baku dan bahan lain, pengayakan (khususnya untuk
bahan baku tepung terigu dan garam), penimbangan bahan baku dan bahan lain untuk
produksi mi, pembuatan larutan alkali, pencampuran adonan mi (mixing), pengepresan
dengan roll press, pencetakan untaian pita mi (slitting), pengukusan (steaming),
pendinginan (cooling), pemotongan (cutting), pengeringan dengan oven (drying),
pendinginan (cooling), pengemasan primer (packing) dan sekunder (kartoning), dan
penyimpanan di gudang.
a. Penerimaan Bahan Baku dan Bahan Lain
Penerimaan bahan baku, bahan pembantu/penolong, bahan tambahan pangan
(BTP) dan bahan pengemas merupakan tahap paling awal dalam proses produksi
pembuatan mi kering di PT Kuala Pangan. Pada penerimaan bahan-bahan tersebut
dilakukan pemeriksaan terhadap bahan-bahan yang diterima untuk setiap kali kedatangan
di perusahaan PT Kuala Pangan sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan perusahaan.
Misalnya untuk tepung terigu dengan spesifikasi : kadar air maksimum 14,5%, kadar
protein gluten 8-12%, kadar abu masimum 0,6%, kadar silikat maksimum 0,1%, bau dan
rasa normal, dan serangga tidak boleh ada; untuk garam dengan spesifikasi : kadar air
maksimum 7%, kadar NaCl 94,4%, warna putih, kadar yodium minimum 30 mg/kg,
kadar kalim dan magnesium maksimum 1%; untuk sodium karbonat (Na2CO3) dan
potasium karbonat (K2CO3) dengan spesifikasi : kadar air maksimum 3%, kotoran dan
benda asing tidak boleh ada, penampakan berbentuk powder dan warna putih, label/segel
jelas dan asli, dan kemasan harus baik dan utuh; dan untuk tartrazin CI 19140 dengan
spesifikasi : kadar air maksimum 5%, kode produksi CI 19140, kotoran tidak boleh ada,
penampakan powder dan berwarna kuning jingga, label dan segel terlihat jelas dan asli
serta kemasan dalam kondisi baik dan utuh.
Pemeriksaan terhadap bahan-bahan yang diterima di perusahaan dilakukan oleh
bagian gudang dan bagian pengendalian mutu (QC) sesuai dengan SOP (standar prosedur
operasi) perusahaan. Bila ditemukan adanya bahan-bahan yang tidak sesuai dengan
105
spesifikasi dan COA (certificate of analysis); bahan-bahan yang tidak sesuai tersebut
dikembalikan ke pihak pemasok atau supplier.
b. Penyimpanan Bahan Baku dan Bahan Lainnya di Perusahaan
Penyimpanan bahan baku dan bahan lainnya di perusahaan merupakan tahap
selanjutnya setelah tahapan penerimaan bahan-bahan tersebut. Cara penyimpanan bahan
baku, bahan penolong/pembantu, bahan tambahan pangan dan bahan pengemas masing-
masing disimpan terpisah satu sama lain di dalam ruang/gudang yang bersih, cukup
penerangan, terjamin aliran udaranya, dan pada suhu yang sesuai serta dengan
menerapkan prinsip FIFO (first in first out). Setiap bahan baku yang diterima oleh
perusahaan disimpan di gudang bahan baku dengan menggunakan fasilitas pallet. Pallet
berfungsi sebagai hamparan bahan, menghindari kontak langsung dengan lantai yang
lembab, membantu proses sirkulasi udara dan menjaga mutu bahan baku yang akan
digunakan untuk proses produksi.
Penyimpanan bahan tambahan pangan (BTP) dilakukan sesuai dengan peraturan
yang tercantum pada label dan disimpan pada gudang yang berpendingin (dipasang air
conditioner) untuk bahan yang sensitif terhadap udara serta untuk menjaga kestabilan
bahan. Selain itu, bahan baku, bahan penolong/pembantu dan bahan tambahan pangan
tersebut disimpan dengan sistem kartu dengan menyebutkan : nama bahan, tanggal
penerimaan, asal bahan, jumlah penerimaan di gudang, tanggal pengeluaran dari gudang,
sisa akhir di dalam kemasan/gudang, tanggal pemeriksaan dan hasil pemeriksaan.
c. Pengayakan
Pengayakan bahan baku dilakukan untuk menghilangkan cemaran fisik benda
padat berupa potongan plastik, benang dan potongan serangga yang mungkin terdapat
pada bahan baku, khususnya pada bahan baku tepung terigu dan garam sebelum bahan
tersebut dilakukan penimbangan dan diproses lebih lanjut dalam proses pencampuran.
Pengayakan bahan-bahan tersebut dilakukan dengan menggunakan alat pengayak
yang mempunyai ukuran saringan 200 mesh. Dengan demikan, alat pengayak tersebut
dapat berfungsi untuk mengurangi atau mengeliminasi bahaya fisika yang terkandung
dalam bahan tepung terigu dan garam sebelum diproses menjadi produk mi kering.
106
d. Penimbangan Bahan Baku dan Bahan Lain Untuk Produksi Mi
Penimbangan bahan baku dan bahan lain merupakan tahap awal pembuatan mi.
Pada proses ini dilakukan penimbangan bahan-bahan yang digunakan untuk proses
pembuatan mi kering seperti tepung terigu, garam dapur (garam konsumsi beryodium),
tepung telur, bahan tambahan pangan soda abu (natrium karbonat dan kalium karbonat)
dan bahan pewarna tartrazin untuk pembuatan larutan alkali. Selain penimbangan bahan-
bahan tersebut juga dilakukan pengukuran jumlah volume air yang akan digunakan untuk
pembuatan larutan alkali.
Penimbangan bahan baku dan bahan lain untuk proses produksi mi kering secara
khusus bertujuan untuk menentukan formulasi bahan adonan yang akan dibuat menjadi
produk mi kering dan juga untuk mempersiapkan bahan yang akan diproduksi menjadi mi
kering berdasarkan perencanaan produksi yang telah ditetapkan di bagian produksi.
e. Pembuatan Larutan Alkali
Pembuatan Larutan Alkali bertujuan untuk menghasilkan larutan alkali yang
merupakan campuran dari soda natrium karbonat dan kalium karbonat, air, garam, tepung
telur dan bahan pewarna tartrazin CI 19140, semuanya dicampur dalam tangki alkali.
Alat ini terbuat dari bahan stainless steel dengan bentuk empat persegi panjang. Di
bagian dalam alat ini dilengkapi dengan sebuah agitator yang mempunyai 2 buah
impeller (baling-baling), yaitu satu buah pada bagian atas dan satu buah lagi di bagian
bawah. Baling-baling (impeller) ini berfungsi untuk membantu proses pencampuran agar
menjadi lebih merata sehingga diperoleh campuran yang homogen. Operasi alat ini
menggunakan energi listrik dengan adanya motor penggerak yang dipasang pada alat
tersebut. Spesifikasi tangki alkali yang dipakai di PT Kuala Pangan ini adalah : panjang
120 cm, lebar 120 cm, tinggi 135 cm, kebutuhan ampere 6,6 Amp, kebutuhan daya 1,5
KW, kebutuhan voltage 220 volt, dan kecepatan putar 150 rpm.
Larutan alkali berfungsi untuk memberi warna, rasa dan memperkuat struktur mi.
Pada pembuatan larutan alkali uji yang dilakukan yaitu uji standar viskositas, pH,
penampakan dan pewarna. Viskositas larutan alkali diukur dengan menggunakan
viskometer, sedangkan nilai pH diukur dengan menggunakan pH meter. Penampakan
larutan alkali berwarna kuning, larutan homogen dan tidak terdapat benda asing.
107
f. Pencampuran Adonan (Mixing)
Proses pencampuran adonan (mixing) merupakan proses awal pembuatan mi,
yaitu pencampuran dan pengadukan tepung terigu dengan larutan alkali yang dilakukan
di dalam mixer. Proses pencampuran bertujuan untuk menghasilkan campuran yang
homogen, menghidrasi tepung dengan air dan membentuk adonan dari jaringan gluten,
sehingga adonan menjadi halus, plastis, elastis dan keadaan adonan tidak pera atau
lengket. Hal yang harus diperhatikan dalam proses ini adalah jumlah air yang
ditambahkan, suhu adonan dan waktu pengadukan.
Air yang ditambahkan dan digunakan dalam proses pencampuran (mixing) di PT
Kuala Pangan adalah sekitar 30-35% dari total bobot tepung terigu; sedang pencampuran
adonan dilakukan dan dipertahankan pada pada kisaran suhu 32-35oC serta waktu
pengadukan dilakukan selama sekitar 20-25 menit. Suhu tersebut dipertahankan dengan
cara memanaskan alat mixer menggunakan pemanasan sistem jacket dengan uap panas.
Apabila suhunya kurang dari 32 oC adonan menjadi keras, rapuh dan kasar, sedangkan
jika suhunya lebih dari 35oC adonan menjadi lengket dan mi menjadi kurang elastis.
Waktu pengadukan dilakukan sekitar 20-25 menit, karena bila waktu pengadukan kurang
dari 20 menit adonan menjadi lunak dan lengket, sedangkan bila lebih dari 25 menit
adonan menjadi keras, rapuh dan kering. Selama proses pengadukan akan terjadi
kenaikan suhu akibat gesekan baling-baling mesin dengan adonan. Kenaikan suhu
tersebut berpengaruh terhadap pengembangan dan kelembutan adonan akibat terjadinya
penyebaran dan distribusi air dalam tepung.
g. Pengepresan dengan Roll Press
Pengepresan dengan roll press bertujuan untuk membentuk adonan menjadi
lembaran adonan yang halus dan elastis, menghaluskan serat-serat gluten dan membuat
adonan menjadi lembaran. Hal ini dilakukan dengan cara melewatkan adonan berulang-
ulang di antara dua roll logam sampai dicapai ketebalan tertentu sehingga adonan siap
dicetak menjadi untaian pita mi. Pembentukan lembaran dengan roll press akan
menyebabkan pembentukan serat-serat gluten yang halus, homogen serta mempunyai
ketebalan 1,0-1,1 mm. Hal ini akan mempengaruhi mutu mi yang dihasilkan. Agar dapat
menghasilkan lembaran yang halus dengan jalur serat yang searah dan lembaran adonan
108
tidak kasar dan pecah-pecah, maka suhu pengepresan dilakukan pada suhu sekitar 35 - 37 oC dengan menggunakan pemanas dari uap panas yang berasal dari boiler melalaui
saluran uap panas yang mengalir pada alat roll press tersebut.
Pengendalian mutu yang dilakukan di PT Kuala Pangan pada proses pengepresan
dengan roll press yang paling penting adalah tebal lembar adonan. Menurut Pribadi
(2004), faktor-faktor yang mempengaruhi pengepresan adalah : kerenggangan roll press
(standar kerenggangan 1,0-1,2 mm), kebersihan, dan adonan yang tidak standar. Mesin
pengepres terdiri dari beberapa buah silinder berpasangan yang berputar berlawanan arah.
Pada saat melewati roll press, lembaran akan mengalami peregangan dan mengalami
relaksasi saat keluar dari roll press. Semakin renggang roll press, lembaran adonan yang
terbentuk akan semakin tebal, sehingga ketebalan untaian mi menjadi tidak standar. Oleh
karena itu, Supaya peregangan dan relaksasi berlangsung dengan baik, maka kedudukan
roll press harus diatur sedemikian rupa sehingga lembaran adonan merata di seluruh
permukaan roll dan seimbang antara roll awal sampai roll akhir. Lebih lanjut dinyatakan
bahwa kebersihan mesin pengepres (pressing) juga sangat berpengaruh terhadap hasil
pressing, adanya kotoran selama pengepresan dapat mengganggu jalannya lembaran
adonan. Selain itu bila adonan tidak sesuai standar atau adonan terlalu lembek maka akan
sulit dipres, sedangkan bila adonan terlalu keras maka menyebabkan adonan retak selama
dipres (Pribadi, 2004).
Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa adanya kotoran dan tali plastik
yang terselip pada roll press berpengaruh terhadap bentuk lembaran adonan yang
dihasilkan, yaitu bentuk lembar adonan menjadi tidak rata dan tidak seragam (homogen)
sehingga lembaran adonan ini perlu dipisahkan dan diproses kembali dari awal, sedang
alat pengepres yang kotor tersebut perlu dibersihkan dulu oleh bagian operator mesin
pengepres.
h. Pencetakan Untaian Pita Mi (Slitting)
Pencetakan untaian pita mi (slitting) merupakan suatu proses pengubahan
lembaran adonan menjadi untaian pita sesuai dengan ukuran yang diinginkan, kemudian
siap dibentuk menjadi gelombang mi. Proses slitting dimulai dengan melewatkan
lembaran tipis adonan yang keluar dari mesin pengepres ke suatu silinder logam beralur
109
kecil (slitter) yang akan memotong lembaran adonan menjadi untaian mi, selanjutnya
untaian mi dilewatkan ke suatu mangkuk slitter berbentuk segi empat. Mangkuk slitter
terdiri dari beberapa lajur yang pada setiap lajur menghasilkan 70-80 untaian mi
tergantung dari nomor slitter yang digunakan.
Tahap selanjutnya dalam proses ini adalah pembentukan untaian mi menjadi
untaian mi yang bergelombang. Pembentukan gelombang mi ini terjadi akibat perbedaan
kecepatan putaran slitter, waving net conveyor, dan steam box. Untaian mi yang keluar
dari slitter dihasilkan dengan kecepatan tinggi dan diterima oleh waving net conveyor
yang kecepatannya lebih rendah sehingga terjadi pemadatan untaian. Untaian mi yang
menumpuk sangat padat tersebut diterima oleh steam box yang putarannya lebih cepat
dari waving net conveyor, tetapi lebih lambat dari slitter sehingga untaian mi yang padat
akan sedikit tertarik kembali dan terbentuklah gelombang mi yang rata. Apabila jumlah
untaian yang dihasilkan tidak sesuai dengan standar akan berpengaruh terhadap bobot mi
yang dihasilkan.
Faktor yang mempengaruhi pencetakan adalah kebersihan, dan penyetelan roll
slitter dan mangkuk slitter. Adanya kotoran selama dilakukan proses pencetakan dapat
mengganggu pembentukan untaian dan gelombang mi serta dapat merusak slitter.
Penyetelan roll slitter yang kurang baik akan menyebabkan untaian dan gelombang mi
tidak rapi. Semakin sedikit mangkuk slitter maka lajur mi semakin sedikit, jumlah
untaian mi tiap lajur makin banyak dan menambah berat mi.
i. Pengukusan (Steaming)
Pengukusan (Steaming) merupakan proses pengukusan mi yang keluar dari
proses slitting (slitter) secara kontinyu dengan menggunakan uap panas. Proses
pengukusan mi di PT Kuala Pangan dilakukan dengan cara melewatkan untaian mi hasil
pencetakan ke dalam mesin pengukus sistem uap (steam tunnel) pada suhu 90-100oC
dengan menggunakan ban berjalan (conveyor) selama 1,5-2 menit. Pada proses ini terjadi
gelatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga dengan terjadinya dehidrasi air dari gluten
akan menyebabkan terjadinya kekenyalan pada mi.
Steam tunnel ini berbentuk empat persegi panjang, dengan panjang 15 meter dan
lebar 80 cm serta terbuat dari bahan yang stainless steel. Di bagian dalam alat ini, yaitu di
110
bagian kiri dan kanan terdapat pipa-pipa dengan sejumlah lubang-lubang, dimana
diameter lubang-lubang tersebut kira-kira 0,2 cm dan jarak antar lubang adalah 12 cm
dengan arah menghadap ke bawah membentuk sudut 45o. Lubang-lubang tersebut
berfungsi untuk mengalirkan uap panas (steam) yang berasal dari boiler. Pada bagian
ujung steam tunnel ini terdapat cerobong yang berfungsi untuk membuang sisa uap.
j. Pendinginan (Cooling)
Pendinginan (Cooling) merupakan proses setelah mi keluar dari proses
pengukusan dengan cara melewatkan mi hasil pengukusan ke dalam suatu alat berbentuk
kotak yang di dalamnya dilengkapi dengan kipas angin (blower) serta terdapat sejumlah
lubang kecil yang berfungsi untuk menguapkan/mengeluarkan energi panas yang berasal
dari cooling conveyor. Spesifikasi alat cooling conveyor ini adalah : panjang 4,50 m,
lebar 1,36 m, tinggi 0,6 m, jumlah kipas angin 4 buah, diameter lubang 0,8 cm dan jarak
antar lubang 0,3 cm. Proses pedinginan ini dimaksudkan untuk mencegah mi melekat
pada conveyor yang berjalan. Kemudian proses dilanjutkan ke tahap proses pemotongan.
k. Pemotongan (Cutting)
Pemotongan (Cutting) mi dilakukan dengan mesin pemotong dan dalam proses ini
mi dipotong dan dibentuk lipatan dengan mendorong bagian tengah potongan ke dalam
dengan menggunakan alat seperti cangkul. Pada bagian atas tersebut terdapat roll
berputar yang berfungsi sebagai alat pelipat yang akan melipat mi menjadi dua bagian
sama panjang. Alat pemotong (cutter) yang dimiliki PT Kuala Pangan terdiri dari roll
cutter dan pisau cutter yang terbuat dari bahan stainless steel, dimana pisau cutter
menempel pada roll cutter. Panjang roll cutter adalah 63 cm, sedangkan panjang pisau
cutter adalah 60 cm. Alat ini juga dilengkapi dengan roll plastic yang berfungsi untuk
melipat mi pada saat proses cutting.
Bobot mi yang keluar dari mesin pemotong di PT Kuala Pangan didisain
sedemikian rupa sehingga memiliki bobot sekitar 215 gram dan diharapkan setelah proses
pengeringan akan mengalami penurunan bobot sekitar 12-15 gram, sehingga bobot mi
nantinya mencapai sekitar 200-203 gram.
111
l. Pengeringan (Drying)
Pengeringan (Drying) bertujuan untuk memantapkan pati tergelatinisasi,
menurunkan kadar air dan mengeringkan mi sehingga produk akan menjadi kering, kaku
dan awet serta memiliki kadar air sekitar 7-8 persen dan mi dapat disimpan dalam jangka
waktu yang lama. Proses pengeringan untuk pembuatan mi kering di PT Kuala Pangan
Citeureup, Bogor dilakukan dengan cara melewatkan produk mi yang telah terpotong
dengan menggunakan oven pengering pada kondisi suhu 90-100oC dalam conveyor
berjalan selama 25-30 menit.
Oven pengering ini berbentuk empat persegi panjang, dengan panjang 40 meter
dan lebar 80 cm serta terbuat dari bahan yang stainless steel. Di bagian dalam alat ini,
yaitu di bagian kiri dan kanan terdapat pipa-pipa dengan sejumlah lubang-lubang, dimana
diameter lubang-lubang tersebut kira-kira 0,2 cm dan jarak antar lubang adalah 12 cm
dengan arah menghadap ke bawah membentuk sudut 45o. Lubang-lubang tersebut
berfungsi untuk mengalirkan uap panas (steam) yang berasal dari boiler. Pada bagian
ujung steam tunnel ini terdapat cerobong yang berfungsi untuk membuang sisa uap.
Selain itu di bagian dalam alat ini juga terdapat blower untuk menguapkan uap air yang
terdapat pada bahan.
m. Pendinginan (Cooling)
Pendinginan (Cooling) adalah proses pendinginan dengan cara melewatkan mi ke
dalam suatu kotak (tunnel) yang di dalamnya terdapat sejumlah kipas angin (blower yang
digerakkan motor penggerak), sedangkan pada bagian samping alat ini terdapat sejumlah
lubang kecil yang berfungsi untuk menguapkan/mengeluarkan energi panas yang berasal
dari cooling conveyor. Spesifikasi alat cooling conveyor ini adalah : panjang 9,50 m,
lebar 1,36 m, tinggi 0,6 m, jumlah kipas angin 8 buah, diameter lubang 0,8 cm dan jarak
antar lubang 0,3 cm. Tujuan dari proses ini adalah agar mi yang baru keluar dari proses
pengeringan dapat diturunkan suhunya sehingga mencapai suhu sekitar 32oC sebelum
dikemas dengan etiket. Pendinginan berlangsung selama 2-3 menit sehingga mi menjadi
lebih keras.
Mi yang telah melalui alat pendingin diharapkan telah mengalami pendinginan
secara sempurna. Apabila mi masih dalam keadaan panas langsung dikemas, maka akan
112
terjadi penguapan uap air dan menempel pada permukaan dalam etiket. Oleh karena suhu
luar etiket lebih rendah, maka titik-titik uap air yang menempel di permukaan dalam
etiket akan mengembun dan akan jatuh membasahi mi. Dengan demikian, dalam keadaan
ini mi akan mudah rusak karena terserang/ditumbuhi kapang, sehingga umur simpan mi
menjadi lebih pendek.
n. Pengemasan (Packing)
Pengemasan (Packing) adalah pembungkusan produk mi kering dengan cara
memasukkan produk tersebut ke dalam kemasan plastik yang beretiket/berlabel sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan perusahaan. Tujuan pengemasan produk adalah
untuk melindungi mi dari kemungkinan tercemar atau kerusakan sehingga tidak
mengalami penurunan mutu dan aman pada saat sampai ke tangan konsumen. Kemasan
primer plastik yang digunakan oleh PT Kuala Pangan adalah pengemas plastik jenis
polipropilen (PP), dengan bobot netto produk setiap kemasan 200 gram. Menurut Syarief
et al (1989), sifat-sifat polipropilen (PP) antara lain ringan, mudah dibentuk, punya
kekuatan tarik sobek sehingga mudah dalam penanganan dan distribusi, serta tahan pada
suhu tinggi sampai pada suhu 150oC. Dalam mesin pengemas, mi dikemas dengan
menggunakan pengemas primer (label) secara otomatis dan pada pengemas dicantumkan
kode produksi dan tanggal kadaluwarsa.
Setelah keluar dari mesin pengemas, dilakukan pengemasan sekunder dengan
memasukkan produk mi yang sudah dikemas dalam plastik ke dalam kotak karton secara
manual, dimana setiap kotak karton berisi 20 bungkus kemasan plastik. Selanjutnya kotak
karton ditutup rapat dan disealing serta dicantumkan kode produksi dan tanggal
kadaluwarsanya. Pengemasan ini dilakukan dengan tujuan : (a) untuk melindungi produk
dari kerusakan, (b) melindungi produk dari terjadinya kontaminasi silang dengan bahan-
bahan lain, dan (c) memudahkan dalam transportasi dan distribusi produk ke pelanggan.
Dengan dilakukannya pengemasan yang baik dapat terhindar dari pencemaran-
pencemaran antara lain : (a) Debu-debu dan kotoran tangan, (b) Serangga-serangga
seperti semut, kutu dan lainnya, (c) Kelembaban oksigen di udara, dan (d) Sinar matahari
dan lainnya.
113
o. Penyimpanan Produk Dalam Gudang
Tahap selanjutnya adalah produk yang sudah dikemas dalam kotak karton tersebut
disimpan dalam gudang penyimpanan hasil produksi sebelum didistribusikan ke agen,
distributor dan pengecer. Salah satu upaya yang dilakukan oleh PT Kuala Pangan untuk
menjaga mutu (kualitas) produk akhir yang akan dipasarkan adalah dengan mengatur
stock secara efisien yang dikenal dengan sistem FIFO (First In First Out) dimana produk
yang pertama datang akan dikeluarkan terlebih dahulu. Namun, secara operasional sistem
ini memiliki kelemahan terutama jika tidak disertai dengan pengawasan yang ketat. Hal
ini dapat terjadi terutama pada saat target produksi meningkat sehingga jumlah barang
yang disimpan di gudang melebihi kapasitas gudang yang tersedia. Dalam kondisi dan
situasi seperti itu seringkali sistem FIFO tidak dapat dijalankan dengan baik. Akibatnya
tidak ada jaminan bahwa produk yang datang pertama kali akan dikeluarkan dan
dipasarkan terlebih dahulu. Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992), masalah FIFO dapat
diatasi jika sumber daya manusia dalam hal ini pengelola gudang memiliki tingkat
kesadaran dan disiplin yang tinggi untuk mencatat tanggal pemasukan/pengeluaran dan
lokasi dimana barang ditempatkan.
p. Pengiriman dan Pendistribusian Produk
Pengiriman dan pendistribusian produk mi kering yang dihasilkan dilakukan oleh
perusahaan PT Kuala Pangan sendiri atau dilakukan oleh perusahaan atau pihak lain
melalui sub-kontrak. Untuk pengiriman dan pendistribusian yang dilakukan oleh pihak
PT Kuala Pangan menggunakan fasilitas angkutan truk yang tertutup rapat (menggunakan
terpal) atau menggunakan mobil boks milik perusahaan sendiri. Sedangkan pihak lain
juga menggunakan fasilitas truk yang tertutup rapat pula. Semua produk yang dikirim dan
didistribusikan dikeluarkan dengan prinsip FIFO (Firts In First Out) dan dicatat oleh
bagian gudang serta bagian pengendalian mutu (QC).
114
6. Analisis Bahaya dan Penentuan Tindakan Pencegahannya (Langkah Ke-6, Prinsip 1 HACCP)
Analisis bahaya merupakan prinsip ke-1 dari 7 (tujuh) prinsip penerapan sistem
HACCP. Analisis bahaya adalah proses pengumpulan dan menilai informasi bahaya dan
keadaan sampai terjadinya bahaya untuk menentukan mana yang berdampak nyata
terhadap keamanan pangan dan harus ditangani dalam rencana HACCP sesuai dengan
SNI 01.4852-1998 (BSN, 1999). Besarnya peluang potensi bahaya untuk bahan baku
utama dan bahan pembantu serta bahan tambahan pangan ditetapkan berdasarkan hasil
analisis dari laboratorium yang sudah terakreditasi, sedang untuk tahapan proses produksi
ditetapkan berdasarkan hasil observasi dan pengamatan catatan yang ada di lapangan.
Analisis bahaya dan tindakan pencegahannya dalam penelitian ini dibahas secara khusus
dan komprehensif serta difokuskan pada proses produksi mi kering yang dibuat di PT
Kuala Pangan.
Kajian bahaya terhadap proses produksi mi kering, terutama pada penerimaan
bahan baku (bahan baku utama, bahan pembantu utama, dan bahan tambahan pangan)
yang digunakan serta tindakan pencegahannya dapat dilihat pada Tabel 26. Berdasarkan
kajian bahaya pada penerimaan bahan baku yang dilakukan, diperoleh bahwa bahaya
potensial pada bahan baku yang signifikan yang perlu dikendalikan adalah bahaya
biologis berupa kemungkinan adanya bakteri patogen E. coli dan kapang pada tepung
terigu; kemungkinan adanya bakteri patogen E. coli, Salmonella, dan Staphylococcus
pada tepung telur, serta kemungkinan adanya bakteri patogen E. coli/feacal coli, coliform
group dan Salmonella pada air yang digunakan untuk campuran proses produksi ; bahaya
kimia berupa cemaran logam-logam berat seperti timbal (Pb), merkuri (Hg), tembaga
(Cu) dan cemaran arsen (As) pada bahan baku tepung terigu, garam dan air, serta bahaya
fisik berupa potongan benang, tali plastik dan serpihan batu (kerikil) pada tepung terigu
dan garam.
115
Tabel 26. Analisis Bahaya dan Tindakan Pencegahannya pada Proses Produksi Mi Kering di PT Kuala Pangan Langkah Proses/Tahap
Potensi Bahaya yang mungkin timbul/ berkembang (biologis, kimia, fisik)
Penyebab/Justifikasi bahaya
Peluang trjadinya bahaya (H, M, L)
Severity (Tingkat keakutan bahaya (h, m, l)
Signifi-kansi bahaya (Y/N)
Tindakan Pencegahan Bahaya yang telah diidentifikasi
B :Escherichia coli - Penanganan di supplier kurang higienis - Hasil pengujian di laboratorium BBIA : E. Coli = <3 standar maksimal 10; TPC = 7,3 x 102 < standar maksimal 106 (Memenuhi SNI tepung terigu)
M m N - Pada tahap selanjutnya terdapat proses pengukusan pada suhu 90-100oC selama 1,5-2 menit dan proses pengeringan pada suhu 90-100oC selama 25-30 menit
K : Cemaran logam berat (Pb, Hg, Cu) dan arsen (As) serta residu pestisida
- Bahan yang digunakan mungkin terkontaminasi logam berat dan residu pestisida sejak dari proses pertaniannya dan tidak dapat dihilangkan
- Hasil pengujian di laboratorium BBIA : Pb = <0,07 mg/kg, batas maksimal 1,00 mg/kg; Cu = 1,22 mg/kg, sedang batas maksimal 10 mg/kg; Hg = <0,0005 mg/kg, batas maksimal 0,005 mg/kg; dan As = <0,0002 mg/kg sedang batas maksimal 0,05 mg/kg (Memenuhi syarat SNI tepung terigu)
M h Y - Permintaan jaminan dari pemasok dan pemeriksaan COA bahan baku terigu
- Lakukan audit ke pihak supplier - Dilakukan pengujian secara eksternal setiap 6 bulan sekali
Penerimaan bahan baku tepung terigu
F : Benang, tali plastik, potongan serangga
- Pihak supplier kurang memperhatikan lingkungan produksi
- Hasil pengujian di laboratorium BBIA : parameter benda asing dan serangga dalam semua bentuk stadia dan potongan-potongannya yang tampak tidak ada (negatif)
L l N - Inspeksi dan pemeriksaan terhadap bahan baku yang masuk ke perusahaan oleh bagian QC
- Pada saat sebelum diproses produksi dilakukan proses pengayakan dengan ayakan ukuran mesh 200
B : Tidak ada - - - - -
K : Cemaran logam-logam berat (Pb, Hg, Cu) dan arsen (As)
- Pihak supplier kurang memperhatikan lingkungan produksi
- Hasil pengujian di laboratorium BBIA : Pb = <0,07 mg/kg; Hg = <0,0005 mg/kg; Cu = <0,02 mg/kg dan As = <0,0002 mg/kg (Memenuhi syarat SNI garam)
L h N - Permintaan jaminan dari pemasok/supplier - Inspeksi dan pemeriksaan COA bahan baku garam yang masuk ke perusahan oleh bagian QC
- Pengujian secara eksternal setiap 6 bulan sekali
Penerimaan bahan baku garam
F : Potongan benang, tali plastik, pasir, tanah
- Supplier kurang memperhatikan lingkungan produksi - Kontaminasi pada saat penanganan dan distribusi
L l N - Pada saat sebelum diproses produksi dilakukan proses pengayakan dengan ayakan ukuran mesh 200
B : Salmonella, Sta-phyloccocus, E. coli
- Hasil pengujian di laboratorium BBIA : Angka lempeng total = 75; E. coli <3, Staphylococcus aereus negatif, Salmonella negatif
M m N - Pada tahap berikutnya terdapat proses pengukusan dan pengeringan pada suhu 90-100oC selama 25-30 menit
K : Tidak ada -
- - - -
Penerimaan bahan baku tepung telur
F : Kotoran - Pihak supplier kurang memperhatikan lingkungan
L l N - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC
Keterangan : Peluang : H= High, M=Medium, L=Low; Severity : h=high, m=medium, l=low; dan Signifikansi : Y=Yes dan N = No.
116
Tabel 26. Analisis Bahaya dan Tindakan Pencegahannya pada Proses Produksi Mi Kering di PT Kuala Pangan (Lanjutan) Langkah Proses/Tahap
Potensi Bahaya yang mungkin timbul/ berkembang (biologis, kimia, fisik)
Penyebab/Justifikasi bahaya
Peluang trjadinya bahaya (H, M, L)
Severity (Tingkat keakutan bahaya) (h, m, l)
Signifi-kansi bahaya (Y/N)
Tindakan Pencegahan Bahaya yang telah diidentifikasi
B : Tidak ada bakteri - - - - -
K : Tidak ada cemaran logam berat atau logam lain
- Hasil pemantauan dan pemeriksaan catatan/rekaman di perusahaan, tidak pernah ditemukan/dilaporkan adanya cemaran bahan kimia asing
L l N - Permintaan jaminan dari pemasok dan pemeriksaan COA bahan natrium dan kalium karbonat dari supplier
- Audit ke supplier
Penerimaan BTP natrium karbonat dan kalium karbonat
F : Tidak ada cemaran fisik
- - - - -
B : Tidak ada -.
- - - -.
K : Tidak ada - Penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) tartrazin dalam produk pangan diizinkan oleh PerMenKes No. 722/MenKes/Per/IX/88
- - - - Permintaan jaminan dari pemasok/supplier - Inspeksi dan pemeriksaan COA bahan pewarna tartrazin yang masuk ke perusahan oleh bagian QC
- Penggunaan bahan pewarna tartrazin ini akan dikendalikan penggunaannya pada proses formulasi dan pencampuran adonan
Penerimaan bahan tambahan pangan (BTP) pewarna tartrazin
F : Tidak terdapat cemaran fisik
-
- - - -
B : E. coli, coliform group Salmonella, Staphyloccocus
- Lingkungan tempat pengambilan air dapat tercemar oleh bakteri
- Hasil pengujian di laboratorium BBIA : E. coli = negatif; Salmonella = negatif, coliform group = <2 dan air ini layak digunakan untuk produksi
M m Y - Water treatment dan penyaringan (filtrasi) - Klorinasi air yang dipakai dan penerapan SSOP keamanan air
- Pengujian secara eksternal setiap 6 bulan sekali
K : Cemaran logam-logam berat dan logam lain serta bahan kimia lainnya
- Hasil pengujian di lab BBIA : Pb = <0,0004 mg/kg, Cu = <0,002 mg/kg, Cd = <0,0004 mg/kg, dan As = <0,0004 mg/kg (Memenuhi syarat PerMenKes No. 907/MenKes/SK/VII/2002)
L h N - Water treatment - Penerapan SSOP keamanan air
Penerimaan bahan pembantu air untuk produksi
F : Kotoran/padatan terlarut (Jumlah zat padat terlarut dan kekeruhan)
- Hasil pengujian di laboratorium BBIA : jml zat padat terlarut = 246 (standar maks. 500 mg/kg) dan kekeruhan = 0,33 (standar maks. 5 NTU).
L m N - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC
Keterangan : Peluang : H= High, M=Medium, L=Low; Severity : h=high, m=medium, l=low; dan Signifikansi : Y=Yes dan N = No.
117
Tabel 26. Analisis Bahaya dan Tindakan Pencegahannya pada Proses Produksi Mi Kering di PT Kuala Pangan (Lanjutan) Langkah Proses/Tahap
Potensi Bahaya yang mungkin timbul/ berkembang (biologis, kimia, fisik)
Penyebab/Justifikasi bahaya
Peluang trjadinya bahaya (H, M, L)
Severity (Tingkat keakutan bahaya) (h, m, l)
Signifi-kansi bahaya (Y/N)
Tindakan Pencegahan Bahaya yang telah diidentifikasi
B : Tidak ada - - - - -
K : Residu bahan kimia
additif plastik (plasticizer)
- Cemaran additif plastik dapat migrasi (pindah) dari plastik ke produk pangan dan menyebabkan karsinogenik pada tubuh manusia
L m N - Gunakan plastik food grade - Permintaan jaminan dari pemasok/supplier - Pemeriksaan COA dari pemasok/supplier
Penerimaan bahan penge-mas primer plastik jenis PP
F : Debu, kotoran dan benda asing lainnya
- Kontaminasi pada saat penanganan dan penyimpanan di supplier serta saat distribusi kemasan plastik
L l N - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC dan personil bagian produksi
B : Tidak ada -
- - - -
K : Tidak ada - - - - -
Penerimaan bahan pengemas sekunder kotak karton jenis CFB F : Debu, kotoran yang
menempel pada karton
- Kontaminasi karton pada saat penanganan dan penyimpanan di lingkungan supplier yang tidak bersih
L l N - Inspeksi dan pemeriksaan kotak karton yang masuk ke perusahan oleh bagian QC.
- Simpan kemasan sesuai persyaratan GMP B : Tikus, kecoa, lalat
dan serangga - Binatang atau hewan tersebut dapat menyebabkan kontaminasi silang bakteri pada bahan-bahan yang disimpan di gudang
L m N - Lakukan pengendalian hama (pest control) dengan tepat
K : Residu bahan sani-taiser
- Sisa residu bahan sanitaiser yang terdapa pada alat yang dipakai dapat mengkontaminasi bahan dicampur
L m N - Gunakan sanitaiser yang diizinkan pemerintah - Gunakan dosis yang tepat
Penyimpanan bahan-bahan di gudang
F : Debu, kotoran - Ruang/gudang penyimpanan tidak bersih L m N - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC - Penyimpanan sesuai dengan SOP dan GMP
B : Tidak ada - - - - -
K : Tidak ada cemaran bahan kimia
- - - - -
Pengayakan Tepung terigu dan garam
F : Benang, tali plastik, potongan serangga
- Bahan baku tepung terigu dan garam yang digunakan kadang-kadang mengandung cemaran fisik berupa benang, potongan tali plastik dan potongan serangga
- Hasil pemantauan dan pemeriksaan catatan/rekaman di perusahaan ditemukan adanya benang, potongan tali plastik dan potongan serangga yang jumlahnya kecil
L l N - Lakukan pengayakan dengan menggunakan alat ayakan ukuran mesh 200
- Cemaran fisik yang diperoleh dipisahkan dan dibuang ke tempat sampah
Keterangan : Peluang : H= High, M=Medium, L=Low; Severity : h=high, m=medium, l=low; dan Signifikansi : Y=Yes dan N = No.
118
Tabel 26. Analisis Bahaya dan Tindakan Pencegahannya pada Proses Produksi Mi Kering di PT Kuala Pangan (Lanjutan) Langkah Proses/Tahap
Potensi Bahaya yang mungkin timbul/ berkembang (biologis, kimia, fisik)
Penyebab/Justifikasi bahaya
Peluang trjadinya bahaya (H, M, L)
Severity (Tingkat keakutan bahaya) (h, m, l)
Signifi-kansi bahaya (Y/N)
Tindakan Pencegahan Bahaya yang telah diidentifikasi
B : Staphylococcus, Salmonella
- Adanya kontaminasi bakteri dari alat dan personil yang menangani penimbangan bahan baku dan bahan lainnya
M m N - Penerapan SSOP dan GMP dengan benar - SSOP (Kesehatan dan Higiene pekerja) - Pada tahap selanjutnya ada proses pengukusan dan pengeringan
K : Tidak ada - - - - -
Penimbangan bahan baku dan bahan lainnya untuk persiapan formulasi
F : Debu, kotoran - Kontaminasi pada alat yang digunakan dalam penimbangan
L l N - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC dan bagian produksi
- Lakukan pembersihan
B : Tidak ada - - - - -
K : residu bahan sanitaiser
- Penggunaan bahan sanitaiser untuk sanitasi alat yang digunakan dalam pembuatan larutan alkali
L m N - Gunakan bahan sanitaiser yang diizinkan - Gunakan dosis sanitaiser yang tepat
Pembuatan larutan alkali
F : Debu, kotoran - Kontaminasi pada alat yang digunakan saat penanganan L l N - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagain QC. - Lakukan pembersihan
B : Bakteri Salmonella, Staphylococcus, biofilm
- Kontaminasi dari alat yang dipakai dan personil yang melakukan pencampuran dan formulasi pada bahan adonan
M m N - SSOP Sanitasi alat dan SSOP (kesehatan dan Higiene karyawan)
- Pada tahap berikutnya ada proses pengukusan dan pengeringan
K : Residu bahan sani-taiser dan BTP
- Sisa residu bahan sanitaiser yang tersisa pada alat dapat mengkontaminasi bahan yang dicampur
- Dosis BTP yang digunakan untuk formulasi tidak sesuai dengan PerMenKes No. 722/MenKes/Per./IX/88
L m N - Gunakan sanitaiser yang diizinkan pemerintah - Gunakan dosis yang tepat - Gunakan dosis penggunaan BTP dengan tepat dan lakukan pemeriksaan oleh bagian QC
Pencampuran dan formulasi adonan mi (Mixing)
F : Debu, kotoran - Kontaminasi alat dari lingkungan produksi L m N - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC - Lakukan pembersihan
B : Bakteri Salmonella, Staphylococcus, biofilm
- Kontaminasi pada bahan adonan yang dibuat dan dari alat yang digunakan untuk pengepresan (roll press)
- Adanya sisa kerak adonan dapat menimbulkan bakteri biofilm
M m N - Penerapan SSOP kebersihan permukaan alat yang kontak dengan bahan pangan
- SSOPencegahan Kontaminasi silang - Pada tahap berikutnya ada proses pengukusan dan pengeringan
K : Tidak ada - - - - -
Pengepresan dengan roll press (Pressing)
F : Sisa kerak adonan mi
-Adanya kerak adonan yang menempel pada alat pengepres
L l N - Pemeriksaan oleh bagian QC - Lakukan pembersihan (SSOP Sanitasi)
Keterangan : Peluang : H= High, M=Medium, L=Low; Severity : h=high, m=medium, l=low; dan Signifikansi : Y=Yes dan N = No.
119
Tabel 26. Analisis Bahaya dan Tindakan Pencegahannya pada Proses Produksi Mi Kering di PT Kuala Pangan (Lanjutan) Langkah Proses/Tahap
Potensi Bahaya yang mungkin timbul/ berkembang (biologis, kimia, fisik)
Penyebab/Justifikasi bahaya
Peluang trjadinya bahaya (H, M, L)
Severity (Tingkat keakutan bahaya) (h, m, l)
Signifi-kansi bahaya (Y/N)
Tindakan Pencegahan Bahaya yang telah diidentifikasi
B : Staphylococcus, Salmonella, biofilm
- Adanya kontaminasi bakteri yang terbawa dari bahan bahan baku yang digunakan (terigu, tepung telur, air) dan dari alat yang digunakan serta personil yang menanganinya
M m N - Penerapan SSOP dan GMP dengan benar - SSOP (Kesehatan dan Higiene pekerja) - Pada tahap selanjutnya ada proses pengukusan dan pengeringan
K : Tidak ada - - - - -
Pencetakan untaian pita mi (Slitting)
F : Debu, kotoran - Kontaminasi pada alat yang digunakan dalam pencetakan
L l N - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC dan bagian produksi
- Lakukan pembersihan
B : Bakteri Salmonella Staphylococcus,
- Adanya kontaminasi bakteri yang terbawa dari bahan baku tepung terigu, tepung telur dan air minum yang digunakan dalam proses produksi
M m N - SSOP (Sanitasi alat) dan SSOP (Kesehatan dan Higiene pekerja)
- Kontrol suhu pengukusan secara periodik setiap 4 jam sekali
- Dilakukan pengeringan pada tahap selanjutnya. K : residu bahan
sanitaiser - Adanya sisa residu bahan sanitaiser pada alat conveyor yang digunakan dalam pengeringan
L m N - Gunakan bahan sanitaiser yang diizinkan - Gunakan dosis sanitaiser yang tepat
Pengukusan mi pada suhu 90-100oC selama 1,5-2 menit (Steaming)
F : Debu, kotoran - Kontaminasi pada alat conveyor yang digunakan untuk proses pengukusan
L l N - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagain QC. - Lakukan pembersihan
B : Bakteri Salmonella, Staphylococcus, biofilm
- Kontaminasi bakteri yang terbawa dari bahan adonan dan dari alat yang dipakai serta personil yang melakukan menanganai pendinginan
M m N - SSOP Sanitasi alat dan SSOP (kesehatan dan Higiene karyawan)
- Pada tahap berikutnya ada pengeringan K : Tidak ada -
- - - -
Pendinginan mi hasil pengukusan (Cooling)
F : Debu, kotoran - Kontaminasi dari alat kipas dan lingkungan produksi L m N - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC - Lakukan pembersihan
B : Bakteri Salmonella, Staphylococcus, biofilm
- Kontaminasi bakteri yang terbawa dari bahan adonan yang dibuat dan alat yang digunakan untuk pemotongan untaian mi
- Adanya sisa kerak adonan yang terdapat pada cutter
M m N - Penerapan SSOP kebersihan permukaan alat yang kontak dengan bahan pangan
- SSOPencegahan Kontaminasi silang - Pada tahap berikutnya ada proses pengukusan dan pengeringan
K : residu bahan sanitaiser
- Adanya kontaminasi sisa residu bahan sanitaiser pada alat pisau cutter yang digunakan
L l N - Gunakan bahan sanitaiser yang diizinkan dan - Gunakan dosis sanitaiser yang tepat
Pemotongan untaian pita mi (Cutting)
F : sisa kerak adonan -Adanya kerak adonan yang menempel pada alat cutter L l N - Pemeriksaan oleh bagian QC - Lakukan pembersihan (SSOP Sanitasi)
Keterangan : Peluang : H= High, M=Medium, L=Low; Severity : h=high, m=medium, l=low; dan Signifikansi : Y=Yes dan N = No.
120
Tabel 26. Analisis Bahaya dan Tindakan Pencegahannya pada Proses Produksi Mi Kering di PT Kuala Pangan (Lanjutan) Langkah Proses/Tahap
Potensi Bahaya yang mungkin timbul/ berkembang (biologis, kimia, fisik)
Penyebab/Justifikasi bahaya
Peluang trjadinya bahaya (H, M, L)
Severity (Tingkat keakutan bahaya) (h, m, l)
Signifi-kansi bahaya (Y/N)
Tindakan Pencegahan Bahaya yang telah diidentifikasi
B : Staphylococcus, Salmonella, biofilm
- Adanya kontaminasi bakteri yang terbawa dari bahan bahan baku yang digunakan (terigu, tepung telur, air) dan dari alat yang digunakan serta personil yang menanganinya. Bakteri tersebut dapat menyebabkan penyakit pada manusia
H h Y - Set suhu dan waktu yang diinginkan - Kontrol suhu secara periodik setiap 2 jam sekali - Lakukan kalibrasi thermometer/thermocouple secara berkala 2 bulan sekali menggunakan thermometer master yang sudah dikalibrasi
- SSOP (Sanitasi alat) dan SSOP (Kesehatan dan Higiene karyawan)
K : Tidak ada - - - - -
Pengeringan di dalam oven pada suhu 90-100oC selama 25-30 menit (Drying)
F : Debu, kotoran - Kontaminasi pada alat conveyor di dalam alat pengering yang digunakan
L l N - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC dan bagian produksi
- Lakukan pembersihan
B : Bakteri Salmonella Staphylococcus,
- Kontaminasi bakteri yang berasal dari alat pendingin dan kipas yang digunakan serta dari lingkungan
M m N - SSOP (Sanitasi alat dan lingkungan) -
K : Tidak ada - - - - -
Pendinginan dengan kipas angin selama 2-3 menit (Cooling) F : Debu, kotoran - Kontaminasi pada alat kipas (blower) yang digunakan
untuk proses pendinginan L l N - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagain QC.
- Lakukan pembersihan B : Bakteri Salmonella,
Staphylococcus, E. coli
- Kemasan yang bocor dapat menyebabkan adanya kontaminasi bakteri ke produk mi kering sehingga daya awet menjadi kurang
- Kontaminasi yang berasal dari alat dan personil yang menangani pengemasan
M m N - SSOP Sanitasi alat dan SSOP (kesehatan dan Higiene karyawan)
- Periksa adanya kebocoran kemasan plastik setiap 2 jam sekali
- Pada tahap berikutnya ada proses pemasakan/ pemanasan produk mi oleh pihak konsumen
K : Residu bahan aditif plastik (plastizicer, dan lain-lain)
- Kontaminasi residu bahan aditif sebagai akibat adanya migrasi aditif tersebut ke produk mi kering
L m N - Gunakan bahan pengemas yang food grade - Penerapan SSOP (Sanitasi alat) dan SSOP (Kesehatan dan Higiene karyawan) dengan benar
Pengemasan dengan plas-tik jenis PP (Kemasan Primer)
F : Debu, kotoran - Kontaminasi pada alat dari lingkungan M l N - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC - Lakukan pembersihan
B : Tidak ada -
- - - -
K : Tidak ada - - - - -
Pengemasan dengan kotak karton (Kemasan sekunder) F : Debu, kotoran - Kontaminasi debu dan kotoran pada karton L L N - Pemeriksaan oleh bagian QC
- Lakukan pembersihan (SSOP Kebersihan dan Sanitasi)
Keterangan : Peluang : H= High, M=Medium, L=Low; Severity : h=high, m=medium, l=low; dan Signifikansi : Y=Yes dan N = No.
121
Tabel 26. Analisis Bahaya dan Tindakan Pencegahannya pada Proses Produksi Mi Kering di PT Kuala Pangan (Lanjutan) Langkah Proses/Tahap
Potensi Bahaya yang mungkin timbul/ berkembang (biologis, kimia, fisik)
Penyebab/Justifikasi bahaya
Peluang trjadinya bahaya (H, M, L)
Severity (Tingkat keakutan bahaya) (h, m, l)
Signifi-kansi bahaya (Y/N)
Tindakan Pencegahan Bahaya yang telah diidentifikasi
B : Tikus, kecoa, serangga
- Binatang atau hewan tersebut dapat menyebabkan kontaminasi silang bakteri pada bahan-bahan yang disimpan di gudang
L M N - Lakukan pengendalian hama dengan tepat - Gunakan denah (lay out) untuk pengendalian hama - Penyimpanan dilakukan dengan prinsip FIFO
K : Tidak ada - - - - -
Penyimpanan produk mi kering di gudang
F : Debu, kotoran - Ruang/gudang penyimpanan tidak bersih L l N - Penerapan SSOP pencegahan kontaminasi silang (Pembersihan)
- Inspeksi oleh bagian QC dan lakukan pembersihan
B : Tidak ada - - - - - -
K : Tidak ada - - - - -
Pengiriman dan Pendistribusian produk mi
F : Tidak ada - - - - -
Keterangan : Peluang : H= High, M=Medium, L=Low; Severity : h=high, m=medium, l=low; dan Signifikansi : Y=Yes dan N = No.
122
Mengacu pada panduan penetapan langkah pengendalian dan tindakan
pencegahannya dalam SNI 01.4852-1998 (BSN, 1998) serta pedoman BSN 1004 : 2002
(BSN, 2002), yaitu berdasarkan dampak langkah pengendalian terhadap tingkat peluang
bahaya atau frekuensi kejadian, tingkat keparahan bahaya (severity) pada kesehatan
konsumen dan kebutuhan untuk monitoring; maka bahaya biologi berupa bakteri patogen
(E.coli, Salmonella, Staphylococcus), dan bakteri bentuk coli/coliform group, yang ada
pada bahan baku tepung terigu, tepung telur dan air tidak perlu dikendalikan dalam
HACCP Plan tetapi perlu dikendalikan dengan SSOP dan penerapan GMP. Begitu pula
dengan bahaya kimia berupa cemaran logam-logam (Pb, Hg, Cu) dan cemaran arsen (As)
pada bahan baku tepung terigu dan garam tidak perlu dikendalikan dalam rencana
HACCP tetapi perlu dikendalikan sebagai control point (CP); sedang bahan tambahan
pangan natrium karbonat dan kalium karbonat serta tartrazin CI 19140 juga tidak perlu
dikendalikan dalam HACCP Plan, tetapi perlu dikendalikan sebagai control point (CP)
dengan SSOP dan penerapan GMP.
Tindakan pencegahan bahaya/pengendalian bahaya biologi berupa bakteri
patogen (E. coli) dan kapang pada tepung terigu dapat dilakukan dengan cara : (1)
Penetapan spesifikasi sesuai dengan persyaratan SNI tepung terigu (SNI 01.3751-2006)
dimana ditetapkan bahwa kandungan E coli maksimal 10 koloni/g, angka lempeng total
maksimal 106 koloni/g dan kapang maksimal 104 koloni/g; (2) Permintaan jaminan dari
pihak pemasok /supplier melalui pemeriksaan/pengecekan Certificate of Analysis (COA)
setiap kedatangan tepung terigu di perusahaan; dan (3) Pengujian eksternal bahan baku
tepung terigu secara berkala setiap 6 bulan sekali sesuai dengan persyaratan SNI
01.3751-2006. Bila bahan baku tepung terigu yang diterima tersebut ternyata tidak sesuai
dengan COA dan spesifikasi perusahaan, maka bahan tepung terigu itu ditolak dan
dikembalikan kepada pihak pemasok. Sedang tindakan pencegahan/ pengendalian bahaya
biologis berupa bakteri patogen (E.coli, Salmonella, Staphylococcus) pada bahan baku
tepung telur dilakukan dengan cara : (1) Penetapan spesifikasi sesuai dengan standar
mutu tepung telur menurut FDA-USA dimana ditetapkan kandungan bakteri coli
maksimal 10 koloni/g, Salmonella harus negatif, Staphylococcus negatif atau nol, dan
angka lempeng total (TPC) maksimal 106 koloni/g; (2) Permintaan jaminan dari pihak
pemasok/supplier melalui pemeriksaan/ pengecekan Certificate of Analysis (COA) setiap
123
kedatangan tepung telur di perusahaan; dan Pengujian eksternal bahan baku tepung telur
secara berkala setiap 6 bulan sekali sesuai dengan persyaratan standar FDA-USA. Bila
bahan baku tepung telur yang diterima tersebut, ternyata tidak sesuai dengan COA dan
spesifikasi perusahaan, maka bahan tepung telur itu ditolak dan dikembalikan kepada
pihak pemasok.
Tindakan pencegahan/pengendalian bahaya biologi berupa bakteri (E. coli/feacal
coli, coliform group, dan Salmonella pada air yang digunakan untuk campuran produksi
dilakukan dengan cara : (1) Penerapan SSOP keamanan air yang mengacu sesuai dengan
persyaratan kualitas air minum menurut PerMenKes No. 907/MenKes/SK/VII/2002
tanggal 29 Juli 2002, dimana ditetapkan kandungan E. coli/feacal coli, coliform group
dan Salmonella harus negatif atau nol; (2) Pemeriksaan dan pemantauan kualitas yang
digunakan oleh perusahaan secara berkala setiap 1 bulan sekali; dan (3) Pengujian
kualitas air minum yang digunakan/dipakai secara eksternal sesuai PerMenKes No.
907/MenKes/SK/VII/2002 di laboratorium yang sudah terakreditasi setiap 6 bulan sekali.
Tindakan pencegahan/pengendalian bahaya kimia berupa cemaran logam-logam
berat seperti timbal (Pb), merkuri (Hg), tembaga (Cu) dan cemaran arsen (As) pada
tepung terigu dilakukan dengan cara : (1) Penetapan spesifikasi sesuai dengan
persyaratan SNI tepung terigu (SNI 01.3751-2006) dimana ditetapkan bahwa kandungan
timbal (Pb) maksimal 1,00 mg/kg; merkuri (Hg) maksimal 0,05 mg/kg, tembaga (Cu)
maksimal 10,0 mg/kg dan cemaran arsen (As) maksimal 0,50 mg/kg; (2) Permintaan
jaminan dari pemasok/supplier melalui pemeriksaan certificate of analysis (COA) setiap
kali kedatangan tepung terigu di perusahaan; dan (3) Pengujian keamanan dan mutu
tepung terigu secara eksternal sesuai dengan SNI 01.3751-2006 setiap 6 bulan sekali. Bila
bahan baku tepung terigu yang diterima di perusahaan tersebut tidak sesuai COA dan
spesifikasi perusahan, maka bahan tepung terigu itu ditolak dan dikembalikan kepada
pihak pemasok/supplier.
Tindakan pencegahan/pengendalian bahaya kimia berupa cemaran logam-logam
berat (Pb, Hg, Cu) dan cemaran arsen (As) pada bahan pembantu garam dilakukan
dengan cara : (1) Penetapan spesifikasi sesuai dengan persyaratan garam konsumsi
beryodium (SNI 01.3556-2000) dimana ditetapkan bahwa kandungan timbal (Pb)
maksimal 1,0 mg/kg; merkuri (Hg) maksimal 0,1 mg/kg; tembaga (Cu) maksimal 10
124
mg/kg dan arsen (As) maksimal 0,1 mg/kg; (2) Permintaan jaminan dari pihak pemasok
melalui pemeriksaan COA setiap 6 kali kedatangan bahan baku garam di perusahaan; dan
(3) Pengujian keamanan dan mutu garam secara eksternal sesuai dengan SNI 01.3556-
2000 setiap 6 bulan sekali. Bila diketahui bahwa bahan baku garam yang diterima di
perusahaan tersebut tidak sesuai dengan COA dan spesifikasi perusahan, maka bahan
baku garam itu ditolak dan dikembalikan kepada pihak pemasok/supplier.
Dalam melakukan kajian bahaya yang potensial pada penerimaan bahan baku
(bahan baku utama, bahan pembantu utama dan bahan tambahan pangan) untuk produksi
mi kering terhadap keamanan pangan telah dilakukan pengujian beberapa parameter
keamanan pangan dan parameter mutu bahan baku untuk produksi mi kering yang
digunakan oleh perusahaan PT Kuala Pangan. Bahan baku utama tepung terigu, tepung
telur, garam dan air yang diuji, yaitu kandungan cemaran mikroba, logam berat dan
arsen, dan cemaran fisik serta dibandingkan dengan standar yang ditetapkan oleh regulasi
pemerintah; yakni SNI 01.3751-2006 (Untuk tepung terigu), Standar tepung telur
menurut FDA-USA, SNI 01.3556-2000 (Untuk garam), dan Standar kualitas air menurut
PerMenKes No. 907/MenKes/SK/Per./VII/2002 dengan hasil sebagaimana dapat dilihat
dalam Tabel 27, 28, 29 dan Tabel 30.
Tabel 27. Hasil Pengujian Cemaran Fisik, Kimia dan Mikroba Pada Tepung Terigu (*) Parameter Satuan Hasil Pengujian SNI 01.3751-2006
Cemaran Fisik - Benda asing - Serangga dalam bentuk stadia dan
potongan-potongannya
- -
Tidak ada Tidak ada
Tidak ada Tidak ada
Cemaran logam - Timbal (Pb) - Merkuri (Hg) - Tembaga (Cu)
mg/kg mg/kg mg/kg
< 0,007
< 0,0005 < 2
Maksimal 1,00 Maksimal 0,05 Maksimal 10,0
Cemaran arsen (As) mg/kg < 0,0002 Maksimal 0,50 Cemaran mikroba - Angka lempeng total (ALT) - E. coli - Kapang
Koloni/g Koloni/g Koloni/g
7,3 x 102
< 2 10
106 10 104
(*) Hasil pengujian 1 kali.
125
Tabel 28. Hasil Pengujian Cemaran Fisik, Kimia dan Mikroba Pada Tepung Telur (*) Parameter Satuan Hasil Pengujian Standar FDA-USA
Kadar air % (b/b) 5,36 Maksimal 5,0 Cemaran Mikroba - Angka lempeng total (ALT) - E. coli - Salmonella - Staphylococcus aureus
Koloni/g Koloni/g Koloni/g Koloni/g
75 < 3
negatif 0
Maksimal 25 x 103 Maksimal 10 Negatif Negatif
(*) Hasil pengujian 1 kali.
Tabel 29. Hasil Pengujian Cemaran Fisik dan Kimia Pada Garam Konsumsi Beryodium (*)
Parameter Satuan Hasil Pengujian SNI 01.3556-2000 Kadar air % (b/b) 0,28 Maksimal 7,0 NaCl (Dihitung dari jumlah klorida) % (b/b) 99,6 Minimal 94,7 Iodium (Dihitung sebagai KIO3) % (b/b) 40,92 Minimal 30,0 Cemaran Logam - Timbal (Pb) - Tembaga (Cu) - Raksa (Hg)
mg/kg mg/kg mg/kg
< 0,07 < 0,02
< 0,0005
Maksimal 1,0 Maksimal 10,0 Maksimal 0,1
Cemaran arsen (As) mg/kg < 0,0002 Maksimal 0,1 (*) Hasil pengujian 1 kali.
Tabel 30. Hasil Pengujian Cemaran Fisik , Kimia dan Mikroba Pada Air (*) Parameter Satuan Hasil Pengujian SNI 01.3556-2000
Cemaran Fisik - Kekeruhan - Jumlah zat padat terlarut
% (b/b) NTU mg/l
0,33 246
Maksimal 5,0 Maksimal 1000
Cemaran logam - Timbal (Pb) - Tembaga (Cu) - Raksa (Hg) - Kadmium (Cd)
mg/l mg/l mg/l mg/l
< 0,0004 < 0,002
< 0,0003 < 0,0004
Maksimal 0,005 Maksimal 0,50 Maksimal 0,001 Maksimal 0,005
Cemaran arsen mg/l < 0,004 Maksimal 0,05 Cemaran Mikroba - E. coli/feacal coli - Angka lempeng total (ALT) - Salmonella - C. perfringens
Koloni/100 ml Koloni/100 ml Koloni/100 ml Koloni/ 100 ml
< 1
< 10 negatif negatif
0
1,0 x 102 Negatif Negatif
(*) Hasil pengujian 1 kali.
Berdasarkan data pengujian beberapa paremeter keamanan pangan dan mutu
bahan baku (tepung terigu, tepung telur, garam, air) untuk produksi mi kering yang telah
dilakukan, maka bahan baku tersebut umumnya memenuhi standar persyaratan yang
ditetapkan oleh regulasi pemerintah Indonesia atau regulasi dari negara lain. Namun
126
demikian, mengingat bahan baku tepung terigu, tepung telur, garam dan air merupakan
hasil pertanian, peternakan, kelautan dan pertambangan, maka kandungan cemaran di
atas perlu dimonitor untuk setiap bahan baku yang digunakan dalam proses produksi mi
kering guna memastikan bahwa cemaran tersebut di bawah standar yang ditetapkan.
Bahaya potensial terhadap keamanan pangan dari mi kering yang perlu dicermati
adalah kandungan cemaran logam berat dan cemaran arsen. Hal ini disebabkan dalam
proses produksi mi kering tidak ada proses yang didesain khusus untuk menghilangkan
bahaya ini sehingga cemaran ini tidak bisa dihilangkan selama proses produksi mi kering.
Dengan demikian, jika cemaran logam-logam berat dan cemaran arsen ada dalam bahan
baku (tepung terigu dan garam) terdapat dalam jumlah yang melebihi standar yang telah
ditetapkan oleh regulasi pemerintah, maka kemungkinan besar produk mi kering yang
dihasilkan juga akan mengandung bahaya ini dalam jumlah melebihi standar yang
ditetapkan untuk produk mi kering. Oleh karenanya, akan membahayakan konsumen
yang menggunakan produk tersebut. Dengan demikian, jaminan dari pemasok/supplier
dan pemeriksaan Certificate of Analysis (COA) dari pemasok sangat penting untuk
diperhatikan oleh perusahaan.
Untuk cemaran mikroba, mengingat tepung terigu, tepung telur dan air adalah
bahan baku alam, maka cemaran mikroba pasti ada. Namun, karena dalam proses
pembuatan/pengolahan tepung terigu terdapat cara perlakuan pengeringan dengan oven
pengering dan pemutihan (bleaching), sedang dalam proses pembuatan tepung telur
kuning terdapat proses pemanasan dan dalam pengolahan air terdapat proses penyaringan
dan desinfektan (klorinasi); maka cemaran mikroba akan diminimalkan.
Secara umum dan ringkas, proses pembuatan tepung terigu adalah : penerimaan
bahan baku biji terigu, pengeringan dengan panas dari oven pengering (suhu 65-70oC),
pemisahan dan pengayakan untuk menghilangkan batu, potongan tangkai dan benda-
benda asing berat, penghilangan benda-benda asing ringan dengan hembusan udara,
penghilangan benda-benda logam/metal dengan magnet; selanjutnya diblending dan
digiling (grinding), pengayakan terigu hasil penggilingan, perlakuan pemutihan
(bleaching) dan akhirnya dikemas atau bagging (FAO, 1981 ; Lenovich, 1992).
Pada prinsipnya, proses pembuatan tepung telur kuning dilakukan dengan metode
pengering semprot (spray drying). Kuning telur yang telah dipisah dari putih telur mula-
127
mula dipanaskan terlebih dulu pada suhu antara 65-70oC. Proses ini merupakan
pemanasan pendahuluan dengan maksud pengeringan selanjutnya tidak terjadi perubahan
suhu secara tiba-tiba (Sarwono, 1994). Setelah itu, diletakkan pada ruangan panas
bersuhu 150-160oC dengan cara menyemprotkan bahan dengan nosel bertekanan 3.000.
psl, sehingga diperoleh tepung telur dengan kadar air sekitar 3-5% (Sirait, 1986). Lebih
lanjut dikatakan bahwa pengeringan juga bertujuan untuk mencegah aktivitas bakteri dan
jamur, memperpanjang daya simpan, mengurangi ruangan penyimpanan, serta
mempermudah penanganan dan tranposrtasi.
Secara umum, pengolahan air yang dilakukan di PT Kuala Pangan menggunakan
SSOP keamanan air, yaitu : pengendapan (sedimentasi), penyaringan (filtrasi), dan
pembasmian mikroba/bakteri dengan desinfektan, penghilangan mineral terlarut, dan
pengujian kualitas air minum sesuai dengan persyaratan standar yang ditetapkan oleh
pemerintah yang tertuang dalam PerMenKes No. 907/MenKes/SK/Per./VII/2002.
Pengendapan dilakukan dengan menggunakan koagulan aluminium sulfat dan ferro sulfat
dan ditambahkan soda abu (Na2CO3) agar kerja koagulan efektif. Selanjutnya dilakukan
penyaringan partikel-partikel yang berukuran kecil dengan pasir berukuran 0,4-0,6 mm
terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan perlakuan untuk menghilangkan bau, rasa
dan warna dengan filter arang/karbon aktif. Kemudian, dilanjutkan dengan tahap
desinfeksi air dengan menggunakan senyawa klorin dengan konsentrasi 5-7 ppm (part
per million), dan selanjutnya dilakukan proses penghilangan mineral terlarut dengan cara
proses pertukaran ion. Air yang diolah disimpan dalam tangki penyimpan, selanjutnya
digunakan untuk proses produksi. Sebelum digunakan, air tersebut perlu dilakukan
pengujian oleh bagian QC dan teknik setiap sebulan sekali.
Bahan baku (tepung terigu, tepung telur dan air) yang dipakai di PT Kuala Pangan
adalah berasal dari cara-cara pengolahan yang telah diuraikan di atas. Bila dikaji lebih
lanjut, bahan baku tepung terigu komposisi nutrisinya relatif tidak mendukung
pertumbuhan mikroba, berbentuk kering dan padat dengan kadar air sekitar 8-10%
sehingga mempunyai aw (aktifitas air) yang rendah yaitu sekitar 0,81. Bahan baku garam
konsumsi beryodium komposisinya terdiri dari senyawa natrium klorida (NaCl) dengan
kadar NaCl sekitar 95 persen dan berfungsi sebagai bahan pengawet karena garam
tersebut akan menarik air dan menurunkan nilai aw produk pangan sehingga mikroba
128
tidak akan dapat tumbuh dan berkembang. Sedang bahan baku tepung telur komposisi
nutrisinya relatif lebih mendukung pertumbuhan mikroba patogen seperti E. coli,
Salmonella, dan Staphylococcus karena kandungan proteinnya yang tinggi; namun karena
dalam kondisi berbentuk tepung, padat dan kadar air yang rendah menyebabkan mikroba
tidak dapat tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, bahan baku tepung telur ini harus
disimpan di gudang kering atau gudang yang suhu ruangannya terkendali/terkontrol.
Berdasarkan proses pembuatan tepung terigu, tepung telur dan air di atas, terlihat
bahwa selama proses produksi; tepung terigu telah mengalami proses pengeringan (60-
70oC) dan bleaching, tepung telur telah mengalami dua kali proses pemanasan pada suhu
tinggi, dan air telah mengalami pengolahan yang memadai; maka cemaran-cemaran
mikroba pada bahan-bahan yang digunakan tersebut dapat diminimalkan. Disamping itu,
karena pada proses produksi tahap berikutnya; bahaya biologis tersebut dapat dihilangkan
atau dikurangi sampai tingkat yang dapat diterima melalui tahapan proses produksi mi,
yaitu pada tahap pengukusan (pemasakan) mi pada suhu 90-100 oC selama 1,5-2 menit
dan pada tahap pengeringan mi pada suhu 90-100 oC selama 25-30 menit.
Proses produksi mi kering di PT Kuala Pangan dilakukan dengan sistem terbuka
dan sistem tertutup, mulai dari tahap penimbangan bahan baku dan pencampuran hingga
produk jadi, sehingga kemungkinan terjadinya kontaminasi silang yang disebabkan oleh
lingkungan dan manusia dapat diminimalkan.
Seluruh peralatan yang kontak dengan bahan baku dan produk terbuat dari bahan
anti karat atau stainless steel dan material lain yang food grade sehingga tidak
menimbulkan kontaminasi produk. Untuk menghilangkan cemaran fisik benda padat
(potongan plastik, benang, potongan serangga) yang mungkin terdapat dalam bahan baku
khususnya tepung terigu dan garam maupun selama proses produksi berlangsung,
dilakukan filtrasi (penyaringan) terhadap bahan baku dengan media filter 200 mesh.
Kemungkinan kontaminasi yang masih ada adalah pada saat penimbangan bahan
baku, pencampuran, pembuatan adonan, pembentukan adonan mi menjadi lembaran
adonan dengan roll pres, pembentukan untaian mi, pendinginan setelah pengukusan,
proses pemotongan mi, dan pengemasan produk mi kering; dimana pada tahap-tahap
tersebut peralatan, bahan baku dan produk kontak dengan udara sekitar dan juga
129
penanganan pekerja. Hal ini dapat diminimalkan dengan cara menerapkan SSOP
(Sanitasi alat) dan SSOP (Kesehatan dan Higiene Karyawan).
Untuk memastikan higinitas dari produk mi yang dihasilkan, maka penerapan
GMP untuk aspek personil yang menangani proses penimbangan, pencampuran dan
pembuatan adonan, serta pembentukan adonan dan pengemasan harus dilakukan secara
disiplin dan efektif. Hal lain yang perlu dipantau secara rutin adalah hasil sanitasi
peralatan yang akan digunakan untuk produksi. Mengingat peralatan yang digunakan ada
yang sistem terbuka dan ada yang sistem tertutup, serta pembersihan dan sanitasi
peralatan yang sistem tertutup dilakukan secara CIP (Cleaning In Place), maka bagian-
bagian tertentu yang diperkirakan pembersihan dan sanitasinya kurang sempurna
(misalnya : titik-titik kelola, sambungan, dan lain-lain) perlu medapat perhatian sendiri
selama monitoring hasil pembersihan dan sanitasi peralatan.
Kajian bahaya (analisis bahaya) terhadap proses produksi mi kering serta tindakan
pencegahannya secara lengkap setelah tahap penerimaan bahan baku dapat dilihat pula
pada Tabel 26. Berdasarkan kajian bahaya tahapan proses yang telah dilakukan, diperoleh
bahwa bahaya potensial pada tahapan proses yang signifikan yang perlu dikendalikan
adalah : (1) Tahap proses pengayakan khususnya bahan baku tepung terigu dan garam,
yaitu kemungkinan adanya bahaya fisik berupa potongan benang, plastik, pasir dan
kerikil; (2) Tahap proses penimbangan bahan baku tepung terigu, garam, tepung telur dan
air berupa kemungkinan kontaminasi bakteri patogen dari pekerja/karyawan; (3) Tahap
proses pencampuran dan formulasi pembuatan adonan mi, pembentukan lembaran
adonan dengan alat roll press, pembentukan untaian kembang mi (slitting) dan
pemotongan mi (cutting), yaitu berupa kemungkinan adanya kontaminasi bakteri patogen
(bahaya biologi) berupa bakteri Salmonella, Staphylococcus, E. coli, dan biofilm pada
unit mesin pencampur (mixer), pengepres (roll press) dan pembentuk kembang mi
(slitter); (4) Tahap proses pengeringan mi pada suhu 90-100oC selama 25-30 menit
berupa bahaya biologi bakteri patogen E. coli, Salmonella dan Staphylococcus yang
berasal dari bahan baku serta kontaminasi dari alat yang digunakan; (5) Tahap proses
pendinginan berupa bahaya biologi bakteri yang diakibatkan proses pendinginannya
tidak sempurna sehingga ada air yang mengembun setelah dikemas dan menyebabkan
timbulnya jamur dan bakteri perusak; (6) Tahap proses pengemasan berupa bahaya
130
biologi bakteri patogen yang diakibatkan dari kontaminasi perkerja maupun kebocoran
pengemas plastik yang digunakan; dan (7) Tahap proses penyimpanan produk mi di
gudang penyimpanan kering berupa bahaya biologis berupa kontaminasi penyakit pes
yang diakibatkan oleh binatang pengerat tikus, kecoa, dan serangga.
Hasil pengujian cemaran mikroba dari beberapa produk mi kering yang dihasilkan
oleh PT Kuala Pangan menunjukkan bahwa kandungan yang negatif dari bakteri patogen
yang diuji yaitu Salmonella, E. coli dan Staphylococcus dan kapang. Sedangkan jumlah
angka lempeng total (ALT) menunjukkan sebagian besar <103 koloni per gram, meskipun
ada beberapa yang angka lempeng totalnya mencapai 104 koloni/gram tapi masih di
bawah batas maksimal yang dipersyaratkan sebesar 106 koloni/gram. Data analisis
kapang sebagian besar menunjukkan negatif walaupun ada beberapa yang menunjukkan
positif. Data ini menunjukkan bahwa cemaran mikroba yang ada dalam produk mi kering
bukan merupakan suatu bahaya potensial bagi keamanan produk mi kering yang
dihasilkan oleh PT Kuala Pangan. Namun demikian, karena bahan baku yang digunakan
untuk produksi mi kering adalah bahan alam, yaitu tepung terigu (hasil pertanian), tepung
telur (hasil peternakan), garam (hasil kelautan), air (hasil pertambangan), dan meskipun
proses produksinya ada proses pemasakan (pengukusan dan pengeringan), maka
pemeriksaan cemaran mikroba untuk setiap hasil produksi mi kering tetap perlu
dilakukan untuk memastikan bahwa cemaran mikroba yang ada dalam produk mi kering
berada dalam jumlah yang aman untuk dikonsumsi.
Jumlah angka lempeng total, termasuk kapang adalah merupakan salah satu
parameter mutu, bukan merupakan suatu bahaya keamanan pangan, yang mana tinggi
rendahnya jumlah angka lempeng total ini akan mempengaruhi umur simpan (daya
simpan) dari produk mi kering. Semakin tinggi jumlah angka lempeng total ini, maka
kemungkinan besar umur simpan produk akan menjadi semakin pendek. Upaya untuk
memperkecil jumlah angka lempeng total ini bisa dilakukan dengan menerapkan GMP
dan SSOP secara konsisten.
131
Produk mi kering yang dihasilkan oleh perusahaan memiliki kadar air 8-10%,
dengan aw rata-rata sekitar 0,81 ; maka sebagian besar bakteri pertumbuhannya akan
terhambat. Hampir semua aktivitas mikroba akan dihambat pada aw dibawah 0,6;
sebagian besar kapang dihambat pada aw di bawah 0,7 ; sedang sebagian besar khamir
dihambat pada aw di bawah 0,8 dan sebagian besar bakteri dihambat pada aw di bawah
0,9 (Fellows, 2000). Oleh karenanya, jika diinginkan produk yang lebih stabil dengan
umur simpan yang lama, maka dalam pengembangan produk mi kering ke depan di
perusahaan perlu dipertimbangkan untuk mendesain agar produk memiliki aw 0,7.
Pengujian cemaran logam berat dan arsen pada produk mi kering yang dilakukan
dapat dilihat pada Tabel 31. Berdasarkan data pengujian cemaran logam berat dan arsen
pada produk mi kering yang dihasilkan oleh PT Kuala Pangan tersebut menunjukkan
bahwa cemaran logam berat dan arsen masih dalam batas di bawah standar yang ada.
Namun demikian, mengingat cemaran logam berat dan arsen ini, bergantung pada bahan
baku (tepung terigu, garam, dan air) yang digunakan; maka monitoring kandungan
cemaran logam berat dan arsen pada bahan baku yang digunakan sangat diperlukan untuk
memastikan keamanan produk mi kering yang dihasilkan. Pemeriksaan kandungan logam
berat dan arsen pada produk mi kering dapat dilakukan dengan interval waktu tertentu,
disarankan 6 bulan sekali. Hal ini karena kandungan logam berat dan arsen sudah
dipastikan pada setiap penerimaan bahan bakunya dan selama proses produksi tidak ada
kemungkinan penambahan atau kontaminasi bahaya ini.
Tabel 31. Hasil Pengujian Cemaran Logam Berat dan Arsen Produk Mi Kering (*) Parameter Satuan Hasil Pengujian Syarat Mutu SNI 01.2974-1992
Mi Kering * Cemaran logam - Timbal (Pb) - Merkuri (Hg) - Tembaga (Cu) - Seng (Zn)
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
< 0,05
< 0,0005 < 2 < 5
Maksimal 1,0 Maksimal 0,0005 Maksimal 10,0 Maksimal 40
* Cemaran arsen (As) mg/kg < 0,06 Maksimal 0,5 (*) Hasil pengujian produk 1 kali.
132
7. Menentukan Titik Kendali Kritis atau Critical Control Point (Langkah Ke-7,
Prinsip 2 HACCP)
Identifikasi penentuan titik kendali kritis atau critical control point (CCP) pada
proses produksi mi kering di PT Kuala Pangan mulai dari penerimaan bahan baku, bahan
penolong/pembantu, bahan tambahan pangan (BTP) dan bahan pengemas hingga
pengiriman dan distribusi produk mi kering dapat dilihat pada Tabel 32. Berdasarkan
identifikasi dan kajian bahaya pada penerimaan bahan baku pembuatan mi kering (bahan
baku utama, bahan pembantu utama dan bahan tambahan pangan, dan bahan pengemas)
yang telah dilakukan, diperoleh bahwa bahaya potensial pada tahap penerimaan bahan
baku tersebut yang signifikan dan perlu dikendalikan adalah : (1) Bahan baku tepung
terigu, yaitu pada bahaya biologi berupa kemungkinan adanya bakteri patogen (E. coli,
coliform, t) dan kapang, bahaya kimia (berupa cemaran logam berat dan arsen); (2)
Bahan baku ”garam”, yaitu pada bahaya kimia (cemaran logam berat dan arsen); (3)
Tepung telur, yaitu pada bahaya biologi berupa kemungkinan adanya bakteri patogen (E.
coli, Salmonella, Staphylococcus) dan kapang; dan (4) Air untuk bahan campuran dalam
produksi yang memiliki bahaya biologi berupa kemungkinan adanya bakteri patogen (E.
coli/feacal coli, coliform), dan angka lempeng total serta bahaya kimia (logam berat dan
arsen serta cemaran kimia lainnya).
133
Tabel 32. Identifikasi Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) pada Proses Produksi Mi Keringng di PT Kuala Pangan
Tahap/ Proses
Bahaya
Penyebab/ justifikasi bahaya
Peluang (H,M,L)
Severyty (h,m,l)
Tindakan pencegahan/ pengendalian
P1 P2 P3 P4 CCP/CP
Alasan Keputusan
B : E. coli Penanganan di sup-plier kurang higienis
M m - Proses berikutnya ada pengukusan dan penge-ringan
Ya Tidak Ya Ya CP Meskipun E. coli termasuk bak-teri patogen, tetapi akan mati karena pemanasan
K : Logam be-rat dan arsen
Terkontaminasi sejak dari pertanian dan pengolahan terigu dan tidak dapat dihilangkan
M h - Permintaan jaminan dari supplier dan pe-meriksaan COA
- Lakukan pengujian setiap 6 bulan sekali
Ya Tidak Tidak - CP Meskipun logam berat dan arsen termasuk membahayakan kese-hatan, namun hasil pengujian di lab sangat kecil (di bawah standar)
Penerimaan tepung terigu
F : Potongan benang, tali plastik, potongan serangga
Supplier kurang memperhatikan lingkungan produksi
L l - Pemeriksaan dan ins-peksi oleh bagian QC
- Dilakukan pengayakan dengan ukuran 200 mesh
Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak sigifikan terhadap kesehatan manusia
B : Tidak ada - - - -
- - - - - -
K : Logam be-rat dan arsen
Supplier kurang memperhatikan lingkungan produksi
L h - Permintaan jaminan dari supplier dan pe-meriksaan COA
- Lakukan pengujian setiap 6 bulan sekali
Ya
Tidak Tidak - CP Meskipun logam berat dan arsen termasuk membahayakan kese-hatan, namun hasil pengujian di lab sangat kecil (di bawah standar)
Penerimaan garam
F : Potongan benang, pa-sir, tali plas-tik
Supplier kurang memperhatikan lingkungan produksi
L l - Pemeriksaan dan ins-peksi oleh bagian QC
- Dilakukan pengayak-an dengan ukuran 200 mesh
Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak signifikan terhadap kesehatan manusia
B : Salmonella, E. coli, Sta-phylococcus
Terkontaminasi pada saat penanganan
M m - Proses berikutnya ada pengukusan dan penge-ringan
Ya Tidak Ya Ya CP Bakteri-bakteri tersebut akan mati karena pemanasan
K : Tidak ada -
- - -
- - - - - -
Penerimaan tepung telur
F : Kotoran Supplier kurang memperhatikan lingkungan produksi
L l - Inspeksi dan peme-riksaan oleh bagian QC
Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak signifikan terhadap kesehatan manusia
Keterangan : Peluang : H =High, M = Medium, L = Low; Severity : h = high, m = medium, l = low;
134
Tabel 32. Identifikasi Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) pada Proses Produksi Mi Keringng di PT Kuala Pangan (Lanjutan)
Tahap/ Proses
Bahaya
Penyebab/ justifikasi bahaya
Peluang (H,M,L)
Severyty (h,m,l)
Tindakan pencegahan/ pengendalian
P1 P2 P3 P4 CCP/CP
Alasan Keputusan
B : Tidak ada - - - -
- - - - - -
K : Tidak ada - - - -
- -
- - - -
Penerimaan BTP natrium karbonat dan kalium karbonat F : Benda asing
(kotoran, tanah)
Supplier kurang memperhatikan lingkungan produksi
L l - Pemeriksaan dan ins-peksi oleh bagian QC
- Dilakukan pengayakan dengan ukuran 200 mesh
Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak sigifikan terhadap kesehatan manusia
B : Tidak ada -
- - -
- - - - - -
K : Tidak ada - - - -
-
- - - - -
Penerimaan BTP Pewarna Tartrazin
F : Tidak ada -
- - - - - - - - -
B : Salmonella, E. coli, Sta-phylococcus
Lingkungan tempat pengambilan air tercemar oleh bakteri patogen
M m - Proses berikutnya ada pengukusan dan penge-ringan
Ya Tidak Ya Ya CP Bakteri-bakteri tersebut akan mati karena pemanasan pada tahap pengukusan dan pengeringan
K : Cemaran logam berat dan bahan kimia lainnya
Lingkungan tempat pengambilan air tercemar oleh logam berat dan bahan kimia
L l - Water treatment - SSOP Kemanan air
Ya Tidak Tidak - CP Hasil pemeriksaan di labo-ratorium memenuhi persyaratan PerMenkes No. 907/MenKes/ Per./VII/2002
Penerimaan Air Untuk Produksi
F : Kotoran terlarut
- Lingkungan pe-ngambilan air kotor
L l - Inspeksi dan peme-riksaan oleh bagian QC
Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak signifikan terhadap kesehatan manusia
Keterangan : Peluang : H =High, M = Medium, L = Low; Severity : h = high, m = medium, l = low;
135
Tabel 32. Identifikasi Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) pada Proses Produksi Mi Keringng di PT Kuala Pangan (Lanjutan)
Tahap/ Proses
Bahaya
Penyebab/ justifikasi bahaya
Peluang (H,M,L)
Severyty (h,m,l)
Tindakan pencegahan/ pengendalian
P1 P2 P3 P4 CCP/CP
Alasan Keputusan
B : Tidak ada - - - -
- - - - -
K : Residu bahan aditif plastik
Adanya residu aditif plastik pada penge-mas yg dipakai
L m - Pemeriksaan COA ba-han yang masuk oleh bagian QC
Ya Tidak Tidak - CP - Menggunakan plastik food grade
Penerimaan Bahan Pengemas Primer Plastik Jenis PP F : Benda asing
(kotoran, tanah)
Supplier kurang memperhatikan lingkungan produksi
L l - Pemeriksaan dan ins-peksi oleh bagian QC
Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak sigifikan terhadap kesehatan manusia
B : Tidak ada -
- - - - - - - - -
K : Tidak ada - - - -
-
- - - - -
Penerimaan Bahan Pengemas Sekunder Kotak Karton jenis CFB
F : Debu, ko-toran yang menempel di karton
Hasil pemeriksaan dan pemantauan di rekaman tidak pernah ditemukan benda asing
L l - Pemeriksaan dan ins-peksi oleh bagian QC -
Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak signifikan terhadap kesehatan manusia
B : Tikus, kecoa, lalat, serangga
Adanya binatang/ he-wan tersebut dapat membawa pest
L m - Lakukan pengendalian hama (pest control) dengan tepat
Ya Tidak Ya Ya CP Bakteri penyebab pest tersebut akan mati karena pemanasan pada tahap pengukusan dan pe-ngeringan
K : Residu bahan sani-taiser
Terkontaminasi oleh residu bahan sani-taiser
L m - Gunakan sanitaiser yang diizinkan
- Gunakan dosis yang tepat
Ya Tidak Tidak - CP - Penggunaan dan dosis sanitaiser yang tidak tepat dapat mengganggu kesehatan
Penyimpanan Bahan-bahan di Gudang
F : Debu, ko-toran
- Gudang tidak bersih L l - Inspeksi dan peme-riksaan oleh bagian QC
- Lakukan pembersihan
Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak signifikan terhadap kesehatan manusia
Keterangan : Peluang : H =High, M = Medium, L = Low; Severity : h = high, m = medium, l = low;
136
Tabel 32. Identifikasi Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) pada Proses Produksi Mi Keringng di PT Kuala Pangan (Lanjutan) Tahap/ Proses
Bahaya
Penyebab/ justifikasi bahaya
Peluang (H,M,L)
Severyty (h,m,l)
Tindakan pencegahan/ pengendalian
P1 P2 P3 P4 CCP/CP
Alasan Keputusan
B : Tidak ada -
- - - - - - - - -
K : Tidak ada -
- - - - - - - - -
Pengayak-an tepung terigu dan garam
F : Benang, plastik, potongan serangga
Supplier kurang memperhatikan lingkungan produksi
L l - Pemeriksaan dan ins-peksi oleh bagian QC
- Lakukan pengayakan dgn alat ayakan ukuran mesh 200
Ya Tidak Tidak - CP - Dampaknya tidak sigifikan terhadap kesehatan manusia
- Hasil pemeriksaan rekaman di perusahaan ditemukan benda-benda asing dalam jumlah kecil
B : Salmonella, Staphylococcus
Kontaminasi bakteri pada bahan dari alat dan personil/kar-yawan
M m - Penerapan SSOP (Sanitasi alat)
- Penerapan SSOP (Kesehatan dan Higiene Karyawan)
Ya Tidak Tidak - CP - Pada tahap berikutnya ada proses pengukusan dan pe-ngeringan
K : Tidak ada - - -
-
-
- - - - -
Penim-bangan bahan baku dan bahan lain untuk persiapan formulasi
F : Debu, ko-toran yang menempel di karton
Kontaminasi pada alat yang digunakan dalam penimbangan
L l - Pemeriksaan dan ins-peksi oleh bagian QC
- Lakukan pembersihan
Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak signifikan terhadap kesehatan manusia
B : Tidak ada -
- - - - - - - - -
K : Residu bahan sani-taiser
Alat yang digunakan terkontaminasi oleh residu bahan sani-taiser
L m - Gunakan sanitaiser yang diizinkan
- Gunakan dosis yang tepat
Ya Tidak Tidak - CP - Penggunaan dan dosis sanitaiser yang tidak tepat dapat mengganggu kesehatan
Pembuatan Larutan Alkali
F : Debu, ko-toran
Terkontaminasi oleh debu pada saat penanganan
L l - Inspeksi dan peme-riksaan oleh bagian QC
- Lakukan pembersihan
Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak signifikan terhadap kesehatan manusia
Keterangan : Peluang : H =High, M = Medium, L = Low; Severity : h = high, m = medium, l = low;
137
Tabel 32. Identifikasi Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) pada Proses Produksi Mi Keringng di PT Kuala Pangan (Lanjutan) Tahap/ Proses
Bahaya
Penyebab/ justifikasi bahaya
Peluang (H,M,L)
Severyty (h,m,l)
Tindakan pencegahan/ pengendalian
P1 P2 P3 P4 CCP/CP
Alasan Keputusan
B : Salmonella, Staphylococcus, biofilm
- Terbawa dari adon-an, kontaminasi dari alat dan karyawan yang menangani
M m - SSOP Sanitasi alat - SSOP Kesehatan kar-yawan
- Tahap berikutnya ada proses pengukusan
Ya Tidak Tidak - CP - Bakteri tersebut akan mati pada saat pengukusan dan penge-ringan
K : Residu bahan sani-taiser dan BTP
- Kontaminasi silang dari sisa residu pada alat dan dosis BTP yang tidak sesuai
L m - Gunakan sanitaiser yang diizinkan dan dosis yg tepat
- Gunakan dosis BTP yang tepat
Ya Tidak Tidak - CP - Penggunaan sanitaiser dan BTP yang tidak tepat dapat mengganggu kesehatan
Pencam-puran dan formulasi adonan mi (Mixing)
F : Debu, kotoran
Kontaminasi alat dari lingkungan produksi
L l - Inspeksi dan peme-riksaan oleh QC
- Lakukan pembersihan
Ya Tidak Tidak - CP - Dampaknya tidak sigifikan terhadap kesehatan manusia
B : Salmonella, Staphylococcus,biofilm
Terbawa dari adonan, dan kontaminasi bak-teri dari alat yang dipakai
M m - Penerapan SSOP (Sanitasi alat)
- Tahap berikutnya ada proses pengukusan
Ya Tidak Tidak - CP - Bakteri tersebut akan mati pada saat pengukusan dan penge-ringan
K : Tidak ada -
- - -
-
- - - - -
Pengepresan dengan roll press (Pressing)
F : Sisa kerak adonan mi
Adanya kerak adonan yang menempel pada roll press
L l - Pemeriksaan dan ins-peksi oleh bagian QC
- Lakukan pembersihan
Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak signifikan terhadap kesehatan manusia
B : Salmonella, Staphylococcus, biofilm
- Terbawa dari adon-an, dan kontaminasi dari alat yang dipakai
M m - Penerapan SSOP (Sanitasi alat)
- Tahap berikutnya ada proses pengukusan
Ya Tidak Tidak - CP - Bakteri tersebut akan mati pada saat pengukusan dan penge-ringan
K : Tidak ada - - - - - - - - - - Penggunaan dan dosis sani-taiser yang tidak tepat dapat mengganggu kesehatan
Pencetakan Untaian Pita Mi (Slitting)
F : Debu, ko-toran
Terkontaminasi oleh debu pada saat penanganan
L l - Inspeksi dan peme-riksaan oleh bagian QC
- Lakukan pembersihan
Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak signifikan terhadap kesehatan manusia
Keterangan : Peluang : H =High, M = Medium, L = Low; Severity : h = high, m = medium, l = low;
138
Tabel 32. Identifikasi Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) pada Proses Produksi Mi Keringng di PT Kuala Pangan (Lanjutan) Tahap/ Proses
Bahaya
Penyebab/ justifikasi bahaya
Peluang (H,M,L)
Severity (h,m,l)
Tindakan pencegahan/ pengendalian
P1 P2 P3 P4 CCP/CP
Alasan Keputusan
B : Salmonella, Staphylococcus, biofilm
- Terbawa dari adon-an, kontaminasi dari alat dan karyawan yang menangani
M m - SSOP Sanitasi alat - SSOP Kesehatan kar-yawan
- Tahap berikutnya ada proses pengeringan
Ya Tidak Tidak - CP - Bakteri tersebut tidak dapat tumbuh dan berkembang pada saat pengukusan dan penge-ringan
K : Residu bahan sani-taiser
- Kontaminasi silang dari sisa residu pada alat conveyor yang digunakan
L m - Gunakan sanitaiser yang diizinkan dan dosis yg tepat
Ya Tidak Tidak - CP - Penggunaan sanitaiser yang tidak tepat dapat mengganggu kesehatan
Pengukusan Mi pada su-hu 90-100oC selama 1,5-2 menit (Steaming)
F : Debu, kotoran
Kontaminasi pada alat conveyor yang digunakan
L l - Inspeksi dan peme-riksaan oleh QC
- Lakukan pembersihan
Ya Tidak Tidak - CP - Dampaknya tidak sigifikan terhadap kesehatan manusia
B : Salmonella, Staphylococcus,biofilm
Terbawa dari adonan, dan kontaminasi bak-teri dari alat yang dipakai
M m - Penerapan SSOP (Sanitasi alat)
- Tahap berikutnya ada proses pengukusan
Ya Tidak Tidak - CP - Bakteri tersebut akan mati pada proses pengeringan
K : Tidak ada -
- - -
-
- - - - -
Pendinginan Mi Hasil Pengukusan (Cooling)
F : Debu, kotoran
Kontaminasi dari alat kipas dan lingkungan produksi
L l - Pemeriksaan dan ins-peksi oleh bagian QC
- Lakukan pembersihan
Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak signifikan terhadap kesehatan manusia
B : Salmonella, Staphylococcus, biofilm
- Terbawa dari adon-an, dan kontaminasi dari alat yang dipakai
M m - Penerapan SSOP (Sanitasi alat)
- Tahap berikutnya ada proses pengukusan
Ya Tidak Tidak - CP - Bakteri tersebut akan mati pada saat pengukusan dan penge-ringan
K : Residu bahan sani-taiser
Alat yang digunakan terkontaminasi oleh residu bahan sani-taiser
L m - Gunakan sanitaiser yang diizinkan
- Gunakan dosis yang tepat
Ya Tidak Tidak - CP - Penggunaan dan dosis sani-taiser yang tidak tepat dapat mengganggu kesehatan
Pemotongan Untaian Pita Mi (Cutting)
F : Sisa kerak adonan
Terkontaminasi oleh debu pada saat penanganan
L l - Inspeksi dan peme-riksaan oleh bagian QC
- Lakukan pembersihan
Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak signifikan terhadap kesehatan manusia
Keterangan : Peluang : H =High, M = Medium, L = Low; Severity : h = high, m = medium, l = low;
139
Tabel 32. Identifikasi Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) pada Proses Produksi Mi Keringng di PT Kuala Pangan (Lanjutan) Tahap/ Proses
Bahaya
Penyebab/ justifikasi bahaya
Peluang (H,M,L)
Severity (h,m,l)
Tindakan pencegahan/ pengendalian
P1 P2 P3 P4 CCP/CP
Alasan Keputusan
B : Salmonella, Staphylococcus, E. coli
- Terbawa dari adon-an, kontaminasi dari alat dan karyawan yang menangani
H h - Set suhu dan waktu yg dinginkan
- Kontrol suhu secara periodik setiap 2 jam sekali
- Lakukan kalibrasi in-ternal termometer se-cara berkala 2 bulan sekali
Ya Ya - - CCP - Tahap pengeringan ini diran-cang khusus untuk meng-hilangkan/memusnahkan bakteri-bakteri tersebut
K : Tidak ada - - - -
- - - - - -
PengeringanMi pada su-hu 90-100oC selama 25-30 menit (Drying)
F : Debu, ko-toran
Kontaminasi pada alat conveyor yang digunakan
L l - Inspeksi dan peme-riksaan oleh QC
- Lakukan pembersihan
Ya Tidak Tidak - CP - Dampaknya tidak sigifikan terhadap kesehatan manusia
B : Salmonella,
Staphylococcus,
Kontaminasi dari alat kipas angin yang digunakan
M m - Penerapan SSOP (Sanitasi alat dan lingkungan)
Ya Tidak Tidak - CP -
K : Tidak ada
- - - - - - - - - -
Pendinginan Mi dengan kipas angin selama 2 -3 menit (Cooling)
F : Debu, kotoran
Kontaminasi dari alat kipas dan lingkungan produksi
L l - Pemeriksaan dan ins-peksi oleh bagian QC
- Lakukan pembersihan
Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak signifikan terhadap kesehatan manusia
B : Salmonella, Staphylococcus, E. coli
- Terbawa dari adon-an, dan kontaminasi dari alat yang dipakai
M m - Penerapan SSOP (Sanitasi alat)
- Tahap berikutnya ada proses pengukusan
Ya Tidak Tidak - CP - Bila kemasan yang dipakai ada yang bocor, produk mudah ditumbuhi bakteri
K : Residu bahan aditif plastik
Kontaminasi residu aditif plastik karena migrasi ke produk
L m - Gunakan bahan penge-mas plastik food grade
Ya Tidak Tidak - CP - Residu aditif yang melebihi batas standar dapat meng-ganggu kesehatan
Pengemasandengan plastik jenis PP (Kemasan Primer)
F : Debu, ko-toran
Terkontaminasi oleh debu pada saat penanganan dari lingkungan
L l - Inspeksi dan peme-riksaan oleh bagian QC
- Lakukan pembersihan
Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak signifikan terhadap kesehatan manusia
Keterangan : Peluang : H =High, M = Medium, L = Low; Severity : h = high, m = medium, l = low;
140
Tabel 32. Identifikasi Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) pada Proses Produksi Mi Keringng di PT Kuala Pangan (Lanjutan)
Tahap/ Proses
Bahaya
Penyebab/ justifikasi bahaya
Peluang (H,M,L)
Severity (h,m,l)
Tindakan pencegahan/ pengendalian
P1 P2 P3 P4 CCP/CP
Alasan Keputusan
B : Tidak ada -
- - - - - - - - -
K : Tidak ada - - - -
- - - - - -
Pengemasan dengan Kotak karton (Kemasan Sekunder)
F : Debu, ko-toran
Kontaminasi debu dan kotoran pada karton
L l - Inspeksi dan peme-riksaan oleh QC
- Lakukan pembersihan
Ya Tidak Tidak - CP - Dampaknya tidak sigifikan terhadap kesehatan manusia
B : Tikus, kecoa, se-rangga
Binatang/hewan ter-sebut dapat menye-babkan kontaminasi silang pada produk mi
L m - Lakukan pengendalian hama dengan tepat
- Gunakan denah/lay out untuk pengendalian hama
Ya Tidak Tidak - CP - Hewan tersebut dapat menye-babkan pes
K : Tidak ada -
- - -
-
- - - - -
Penyimpan-an Produk Mi Kering di Gudang
F : Debu, ko-toran
Ruang/gudang pe-nyimpanan tidak bersih
L l - Pemeriksaan dan ins-peksi oleh bagian QC
- Lakukan pembersihan
Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak signifikan terhadap kesehatan manusia
B : Tidak ada -
- - - - - - - - -
K : Tidak ada -
- - - - - - - - -
Pengiriman dan Pendis-tribusian Produk Mi
F : Tidak ada -
- - - - - - - - -
Keterangan : Peluang : H =High, M = Medium, L = Low; Severity : h = high, m = medium, l = low;
141
Mengacu pada panduan penetapan langkah pengendalian dalam SNI 01.4852-
1998 (BSN, 1998), yaitu berdasarkan dampak langkah pengendalian tingkat pengendalian
bahaya atau frekuensi kejadian, tingkat keparahan bahaya pada kesehatan konsumen dan
kebutuhan untuk pemantauan (monitoring), maka bahaya kimia pada penerimaan bahan
baku tepung terigu dan garam tersebut tidak perlu dikendalikan dalam rencana HACCP,
tetapi dikendalikan sebagai control point (CP) dan penerapan GMP. Hal ini dikarenakan
dalam proses produksi mi kering yang diterapkan perusahaan saat ini tidak mendesain
secara khusus untuk menghilangkan bahaya ini, sehingga cemaran logam berat dan arsen
tidak bisa dihilangkan selama proses produksi mi kering. Untuk mencegah atau
mengendalikan bahaya kimia tersebut, maka perusahaan harus menetapkan spesifikasi
bahan baku dengan benar mengacu pada regulasi pemerintah dan melakukan pemeriksaan
kesesuaian Certificate of Analysis (sertifikat hasil pengujian) dengan standar yang sudah
ditetapkan setiap kali penerimaan bahan baku tersebut. Bila bahan baku tersebut tidak
memenuhi persyaratan spesifikasi keamanan pangan, maka perusahaan dapat menolak
dan mengembalikan bahan baku tersebut ke pihak pemasok/supplier.
Bahaya biologi pada bahan baku (tepung terigu, tepung telur dan air) yang
digunakan dalam proses produksi mi kering tidak perlu dimasukkan dalam rencana
HACCP atau dengan perkataan lain bukan merupakan titik kendali kritis, karena pada
proses produksi pada tahap berikutnya ; bahaya biologi tersebut dapat dihilangkan atau
dikurangi sampai tingkat yang dapat diterima melalui tahapan produksi mi, yaitu pada
tahap pengukusan (pemasakan) mi pada suhu 90-100oC selama 1,5-2 menit dan pada
tahap pengeringan mi pada suhu 90-100oC selama 25-30 menit. Bila dikaji lebih lanjut,
bahan baku tepung terigu komposisi nutrisinya relatif tidak mendukung pertumbuhan
mikroba, berbentuk kering dan padat dengan kadar air sekitar 8-10% sehingga
mempunyai aw (aktifitas air) yang rendah yaitu sekitar 0,81. Bahan baku (garam)
komposisinya terdiri dari senyawa natrium klorida (NaCl) dengan kadar NaCl sekitar
95% dan berfungsi sebagai bahan pengawet, karena garam tersebut akan menarik air dan
menurunkan aw produk pangan sehingga mikroba tidak akan dapat tumbuh dan
berkembang. Sedang bahan baku (tepung telur), komposisi nutrisinya relatif lebih
mendukung adanya pertumbuhan mikroba patogen seperti E. coli, Salmonella dan
Staphylococcus karena kandungan proteinnya yang tinggi; namun karena dalam kondisi
142
berbentuk tepung, padat dan kering dengan kadar air yang rendah (sekitar 4-6%)
menyebabkan mikroba tidak dapat tumbuh dan berkembang.
Agar pengendalian bahaya yang telah teridentifikasi pada bahan baku (bahan baku
utama, bahan pembantu, bahan tambahan pangan, dan bahan pengemas), baik yang
dikelola dalam titik kendali kritis atau CCP maupun bukan-CCP atau Control Point (CP)
dapat berjalan efektif, maka perlu ditetapkan batas kritis CCP-nya, langkah pemantauan
dan juga tindakan koreksinya jika terjadi penyimpangan atas CCP maupun penerapan
SSOP dan GMP yang ditetapkan. Langkah pemantauan yang mencakup batas kritis,
tindakan koreksi dan tindakan verifikasi yang perlu dilakukan pada setiap CCP atau
bukan-CCP akan dibahas lebih lanjut di HACCP Plan-nya.
Berdasarkan identifikasi dan kajian bahaya pada tahapan proses dan alat produksi
yang dilakukan, diperoleh bahwa bahaya potensial pada tahapan proses yang signifikan
yang perlu dikendalikan adalah : (1) Tahap proses pengayakan tepung terigu dan garam,
yaitu adanya bahaya fisik berupa potongan benang, plastik, potongan serangga dan
pasir/kerikil; (2) Tahap proses penimbangan bahan baku tepung terigu, garam, tepung
telur dan air berupa kemungkinan kontaminasi bakteri patogen dari pekerja/karyawan; (3)
Tahapan proses pencampuran dan formulasi pembuatan adonan mi, pembentukan
lembaran adonan dengan alat roll press, pembentukan untaian kembang mi (slitting) dan
pemotongan mi (cutting), yaitu berupa kemungkinan adanya kontaminasi bakteri patogen
(bahaya biologi) yang terbawa dari bahan adonan dan alat yang dipakai berupa bakteri E.
coli, Salmonella, Staphylococcus dan biofilm pada unit mesin pencampur (mixer),
pengepres (roll press) dan pembentuk kembang mi (slitter); (4) Tahap proses pengukusan
(pemasakan) mi pada suhu 90-100oC selama 1,5-2 menit dan proses pengeringan mi pada
suhu 90-100 oC selama 25-30 menit berupa bahaya biologi bakteri patogen dan kapang
yang berasal dari bahan baku (adonan) serta kontaminasi dari pekerja dan alat yang
digunakan; (5) Tahap proses pendinginan berupa bahaya biologi bakteri yang
diakibatkan adanya kontaminasi yang berasal dari alat pendingin dan kipas yang
digunakan; (6) Tahap proses pengemasan berupa bahaya biologi bakteri patogen yang
diakibatkan dari kontaminasi pekerja maupun kebocoran pengemas plastik yang
digunakan; dan (7) Tahap proses penyimpanan produk mi di gudang penyimpanan kering
143
berupa bahaya biologis berupa kontaminasi penyakit pes yang diakibatkan oleh binatang
pengerat tikus.
Mengacu pada panduan penetapan langkah pengendalian dalam SNI 01.4852-
1998 tentang Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kendali Kritis (BSN, 1998),
yaitu berdasarkan dampak langkah pengendalian terhadap tingkat bahaya atau frekuensi
kejadian, tingkat keparahan bahaya pada kesehatan kosumen dan kebutuhan untuk
pemantauan (monitoring), maka bahaya biologi bakteri patogen (E. coli, Salmonella,
Staphylococcus) pada mi yang dimasak pada tahap pengeringan tersebut perlu
dikendalikan dalam rencana HACCP sebagai titik kendali kritis atau CCP. Hal ini
dikarenakan dalam proses produksi mi kering yang diterapkan perusahaan saat ini,
tahapan proses pengeringan ini dirancang/didisain khusus untuk menghilangkan atau
mengurangi bahaya biologis bakteri dan kapang tersebut sampai tingkat yang dapat
diterima. Untuk mencegah bahaya tersebut, maka tindakan pengendalian yang dilakukan
adalah dengan memeriksa suhu dan waktu pengeringan secara berkala setiap 2 jam sekali
selama proses pengeringan dan produksi berlangsung, dan kecepatan udara yang
digunakan untuk menegeringkan produk mi kering. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
inspeksi visual terhadap panel termometer dan panel air flowmeter serta pencatatan suhu
dan kecepatan udara hasil inspeksi.
Pengendalian terhadap bahan baku, bahan penolong, bahan tambahan pangan
(BTP), kemasan dan produk akhir serta pembersihan ruangan masuk dalam kategori
GMPs. Sedangkan kategori Critical Point (CP) terdiri dari penerimaan bahan baku,
bahan penolong dan bahan tambahan pangan yang baru datang; penyimpanan bahan-
bahan tersebut di gudang kering dan ruang suhunya terkendali; penimbangan bahan baku,
bahan penolong dan BTP di ruang penimbangan; proses pencampuran dan formulasi
adonan; proses pembuatan adonan menjadi lembaran adonan dengan roll press; proses
pembentukan pita mi (slitting); proses pendinginan mi setelah pengukusan (cooling),
proses pemotongan mi (cutting); pengemasan produk mi kering dalam wadah plastik
pengemas jenis PP dan kotak karton; penyimpanan dan karantina produk mi kering di
gudang penyimpanan; pengiriman dan pendistribusian produk mi kering; dan
pembersihan alat dan mesin yang digunakan perusahaan dalam proses produksi.
144
Penerimaan bahan baku, bahan penolong dan bahan tambahan pangan (BTP) serta
kemasan yang baru datang masuk kategori CP karena pada tahap ini ada seleksi dan
kontrol terhadap pemasok (supplier), pemeriksaan bahan baku dan bahan-bahan lain
sesuai dengan spesifikasi dan sertifikat hasil analisis (COA) dan pengujian bahan baku,
bahan penolong dan bahan tambahan pangan sebelum digunakan. Pemeriksaan dan
pengujian dilakukan untuk melihat mutunya sesuai dengan standar atau spesifikasi yang
diinginkan perusahaan. Selain itu juga diperiksa kondisi kemasan dan jumlah bahan baku,
bahan penolong dan BTP yang dipesan.
Penyimpanan bahan baku, bahan penolong, bahan tambahan pangan dan produk
akhir serta pembersihan ruangan masuk dalam kategori GMPs. Kondisi penyimpanan dan
ruangan harus dalam keadaan bersih untuk menghindari kontaminasi silang pada bahan
yang disimpan. Kebersihan ruangan harus terjaga dan terjadwal dengan baik. Disamping
itu, kemasan harus dalam keadaan tertutup dan terlindung dari kotoran dan debu. Contoh
prosedur dan jadwal kebersihan ruangan dapat dilihat pada Lampiran 12.
Persiapan alat produksi, pemindahan, pengambilan dan penimbangan bahan baku,
bahan penolong dan bahan tambahan pangan di ruang produksi masing-masing termasuk
kategori CP. Sebelum memproduksi mi kering, personil/karyawan produksi harus
mempersiapkan peralatan dan mesin yang akan dipakai. Bagian dalam vessel peralatan
dan mesin pencampur (mixer), pembuat adonan menjadi lembaran adonan (roll presser),
pembentukan dan pemotongan pita mi (cutter) harus diperiksa kebersihannya sebelum
digunakan untuk produksi. Hal ini bertujuan untuk mencegah kontaminasi silang awal
selama proses pengolahan. Setiap personil produksi yang terlibat dalam proses
pengolahan bekerja sesuai dengan SOP dan daftar pengecekan pesanan bahan yang akan
diolah (work order checking list).
Pada proses pengambilan dan penimbangan bahan baku, bahan penolong dan
bahan tambahan pangan, personil/karyawan di bagian produksi harus mengambil dan
menimbang bahan-bahan tersebut sesuai dengan prosedur kerja. Kesalahan pengambilan
dan penimbangan bahan baku dan bahan-bahan lain akan menyebabkan perubahan mutu
yang tidak sesuai dengan permintaan konsumen. Sebelum kegiatan produksi dimulai,
biasanya personil di bagian produksi memeriksa alat timbangan sebelum digunakan
dalam proses pencampuran dan formulasi. Pada saat pencampuran bahan baku, bahan
145
penolong, bahan tambahan pangan dan air; personil di bagian produksi ini harus
memperhatikan cara produksi yang baik dan higienis. Dengan demikian, hal tersebut
akan mencegah kontaminasi silang selama proses pencampuran dan formulasi. Menurut
Nuraida (2002), penerapan praktek sanitasi dan higiene makanan yang baik merupakan
bentuk yang paling mendasar dari sistem penjaminan keamanan pangan dan merupakan
prasyarat dalam penerapan HACCP.
Pada proses pencampuran dan formulasi adonan, proses pembuatan adonan
menjadi lembaran adonan dengan roll press; proses pembentukan untaian pita mi
(slitting); proses pendinginan mi setelah pengukusan (cooling), proses pemotongan mi
(cutting); karyawan/personil yang terlibat dalam proses tersebut harus melakukan
pekerjaan dan tanggung jawabnya sesuai dengan standar prosedur operasi (SOP) yang
telah ditetapkan perusahaan. Pada saat proses pencampuran dan formulasi adonan hingga
proses pemotongan pita mi; karyawan/personil di bagian produksi juga harus
memperhatikan cara produksi yang baik dan higienis. Dengan demikian, hal tersebut
akan mencegah kontaminasi silang selama proses tersebut berlangsung.
Proses pengemasan produk mi kering juga masuk dalam kategori critical point
(CP). Kemasan primer yang akan digunakan berupa plastik jenis PP harus diperiksa
dahulu kebersihan dan labelnya. Kemasan primer yang sudah berisi produk akhir
disegel/diseal dengan rapat untuk menghindari kebocoran, lalu dikemas lagi dengan
kemasan sekunder dalam bentuk kotak karton. Setiap kemasan primer mempunyai bobot
netto 200 gram dan setiap kotak karton berisi 20 kemasan primer.
Penyimpanan produk akhir di gudang penyimpanan dan pembersihan ruang/
gudang penyimpanan termasuk dalam kategori control point dan GMP. Kondisi gudang
penyimpanan harus bersih dan dilakukan tindakan sanitasi serta pengendalian hama untuk
menghindari kontaminasi silang pada produk yang disimpan sebagai akibat produknya
diganggu binatang perusak/pengerat tikus yang dapat menularkan penyakit pes. Oleh
karena itu, kebersihan gudang dan sanitasinya harus terjaga dan terjadwal dengan baik.
Agar pengendalian bahaya yang telah teridentifikasi pada tahapan dan alat proses
produksi, baik yang akan dikelola dalam titik kendali kritis atau CCP maupun bukan-
CCP atau Control Point (CP) dapat berjalan efektif; maka perlu ditetapkan batas kritis
setiap CCP-nya, langkah pemantauan dan juga tindakan koreksinya jika terjadi
146
penyimpangan atas CCP maupun CP-nya. Langkah pemantauan yang mencakup batas
kritis, tindakan koreksi, dan tindakan verifikasi yang perlu dilakukan pada setiap CCP
dan CP-nya akan dibahas lebih lanjut di HACCP Plan-nya.
8. Menentukan Batas Kritis (Langkah Ke-8, Prinsip 3 HACCP)
Batas kritis adalah kriteria yang membedakan produk atau parameter yang dapat
diterima pada produk atau parameter yang tidak dapat diterima/ditolak. Batas kritis ini
merupakan toleransi mutlak (absolut) untuk keamanan pangan. Berdasarkan identifikasi
bahaya dan titik kendali kritis pada produksi mi kering, maka batas kritis untuk mencegah
bahaya biologis pada tahap proses pengeringan (CCP1) dapat dilihat pada Tabel 33.
Tabel 33. Batas kritis yang ditetapkan pada titik kendali kritis (CCP) untuk produksi mi
kering di PT Kuala Pangan. No. Jenis Bahaya Titik Kendali Kritis
(CCP) Batas Kritis
1. Bahaya biologis bakteri patogen (E. Coli, coliform, Salmonella, Staphyllococcus, kapang)
Pada tahap Pengeringan dengan cara dioven menggunakan uap panas
- Suhu 90 - 100 oC - Waktu 20-25 menit - Kadar air maksimal 10% - Kecepatan udara 2 m/det
Penetapan batas kritis untuk untuk bahaya biologi bakteri patogen pada proses
produksi pembuatan mi kering di tahap pengeringan sebagai titik kendali kritis (CCP)
ditetapkan berdasarkan pengalaman empiris dan penelitian teknis perusahaan serta
publikasi ilmiah dari ICMSF (1996) serta Bacon dan Sofos (2003).
Pengujian bahaya biologis adanya bakteri patogen (E.coli, Salmonella,
Stapahylococcus) dan kapang pada produk mi kering untuk memvalidasi batas kritis
tersebut dapat dilihat pada Tabel 34. Berdasarkan hasil pengujian bahaya biologis berupa
bakteri patogen (E.coli, Salmonella, Stapahylococcus) dan kapang pada produk hasil
pengukusan dan pengeringan menunjukkan negatif dan kandungan kapangnya sekitar 10
koloni/gram. Hasil pengujian ini juga menunjukkan masih di bawah ambang batas
kritisnya.
147
Tabel 34. Hasil Pengujian Cemaran Logam Berat, Arsen pada Bahan Baku Tepung Terigu dan Garam serta Bakteri Patogen pada Produk Mi Kering (*).
No. Jenis/Parameter
Bahaya Satuan Titik Kendali Kritis Hasil Pengujian Batas Kritis
1. Bahaya biologis/ bakte-ri patogen - E. coli - Salmonella - Staphylococcus - Kapang
Koloni/g Koloni/g Koloni/g Koloni/g
Pengukusan - Suhu 90-100oC - Waktu 1-1,5 menit
Negatif Negatif Negatif
10
Negatif Negatif Negatif 1 x 104
2. Bahaya biologis/ bakte-ri patogen - E. coli - Salmonella - Staphylococcus - Kapang
Koloni/g Koloni/g Koloni/g Koloni/g
Pengeringan - Suhu 90-100oC - Waktu 25-30 menit
Negatif Negatif Negatif
10
Negatif Negatif Negatif 1 x 104
(*) Hasil pengujian 1 kali
9. Menetapkan Prosedur Monitoring (Langkah Ke-9; Prinsip 4 HACCP)
Batas kritis berupa bahaya biologi bakteri patogen pada tahapan pengeringan
sebagai titik kendali kritis atau CCP haruslah dipantau atau dimonitor keberadaannya.
Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memastikan apakah prosedur pengolahan atau
penanganan pada titik kendali kritis atau CCP tersebut masih di bawah kendali.
Disamping itu, tujuan monitoring ini adalah untuk mengetahui saat sebuah CCP atau
bukan CCP tidak terkontrol yang berakibat dapat meningkatnya risiko terproduksinya
produk berbahaya, untuk mengidentifikasi masalah-masalah sebelum mereka muncul,
menentukan titik penyebab suatu masalah, membantu verifikasi dan membantu
membuktikan kelayakan program HACCP.
Salah satu langkah yang dapat dilakukan di perusahaan industri pembuat mi
kering PT Kuala Pangan apabila hasil monitoring CCP pada titik kendali kritis (CCP)-nya
berada di luar kendali adalah melakukan tindakan (aksi) yang bersifat proaktif dan kreatif
(pro-active and creative action). Tindakan yang proaktif dan kreatif ini adalah tindakan
yang harus dilakukan ketika hasil pemantauan (monitoring) pada CCP berada di luar
kendali. Dengan demikian, diharapkan aksi yang proaktif dan kreatif dapat digunakan
untuk mengantisipasi atau mencegah terjadinya penyimpangan sebagai akibat dari tidak
terkendalinya CCP. Sebagai tindakan, pada tahapan pengeringan mi dilakukan
148
pemeriksaan secara kontinyu dan teratur terhadap suhu dan waktu yang digunakan pada
proses tersebut. Tindakan proaktif dan kreatif ini secara lengkap dapat dilihat di program
rencana HACCP atau HACCP Plan (Tabel 35 dan 36).
10. Menetapkan Prosedur Tindakan Koreksi (Langkah Ke-10; Prinsip 5 HACCP)
Tindakan koreksi adalah segala tindakan yang diambil saat hasil
pemantauan/monitoring CCP mengindikasikan hilangnya kendali. Tindakan koreksi pada
tahapan pengeringan sebagai titik kendali kritis (CCP) terhadap bahaya biologis bakteri
patogen di PT Kuala Pangan adalah sebagai berikut : (1) Perusahaan akan menghentikan
proses produksi sementara guna mengurangi/mengeliminasi jumlah produk yang
terproses dan kerja ulang produk, serta mengevaluasi ketidaksesuaian yang ditemukan
oleh Bagian Produksi dan QC agar ketidaksesuaian tersebut segera diperbaiki dan
ditindaklanjuti perbaikannya oleh bagian pemeliharaan (maintenance) sehingga proses
produksi dapat dilanjutkan kembali; (2) Produk mi yang sudah terlanjur diproses menjadi
produk akhir dalam bentuk mi kering, harus dipisahkan dan dikarantina dari produk akhir
mi yang lain, lalu dilakukan pengujian analisis di laboratorium terhadap parameter sifat
mikrobiologisnya untuk memastikan keamanannya sebelum dikirim dan didistribusikan
kepada pelanggan/konsumen; (3) produk mi yang gagal /cacat pada tahap proses
pengukusan karena batas kritis suhu pengukusannya tidak terpenuhi, maka produk
tersebut dapat dilakukan proses ulang kembali atau re-proses dengan catatan bahwa
mutu produk tersebut masih baik dan memenuhi persyaratan spesifikasi perusahaan; (4)
Produk mi kering yang sudah terlanjur diproduksi tetapi berdasarkan hasil pengujian dan
analisis menunjukkan bahwa produk tersebut tidak aman dan tidak layak dikonsumsi
harus dimusnahkan; dan (5) Melakukan kalibrasi alat ukur suhu (termometer) yang
digunakan pada proses produksi mi kering di tahap pengukusan dan pengeringan.
Prosedur proses ulang kembali atau re-proses untuk menangani produk yang
gagal/cacat pada saat pengukusan dilakukan dengan cara sebagai berikut : (a) Pisahkan
produk mi hasil pengukusan yang gagal/cacat, (b) Dilakukan pemeriksaan oleh bagian
QC sesuai dengan acuan standar yang ditetapkan perusahaan, (c) Bila memenuhi standar
perusahaan, produk lalu dicampurkan ke dalam pembuatan adonan kembali untuk
149
selanjutnya diproses lagi dari tahap pembuatan adonan hingga pengemasan produk mi
dengan plastik jenis PP, kotak karton dan pengiriman/distribusi.
11. Menetapkan Tindakan Verifikasi (Langkah Ke-11; prinsip 6 HACCP)
Tindakan verifikasi merupakan suatu kegiatan penerapan metode-metode,
prosedur pengujian dan analisis serta evaluasi-evaluasi lain sebagai tambahan dalam
sistem pemantauan untuk mengetahui dan memastikan efektifitas terhadap rencana
HACCP. Tindakan verifikasi yang direncanakan dilakukan pada industri pengolahan
pangan PT Kuala Pangan sebagai produsen pangan mi kering, baik yang menyangkut
titik kendali kritis atau CCP pada penerimaan bahan baku dan tahapan proses serta yang
menyangkut bukan CCP atau control point (CP) secara ringkas dapat dilihat pada tabel
rencana HACCP atau HACCP Plan (Tabel 35 dan 36).
150
Tabel 35. Rencana HACCP (HACCP Plan) Pada Produksi Mi Kering. Pemantauan (Monitoring) Tahap
Proses Bahaya yang diidentifikasi
Batas Kritis Apa Bagaimana Kapan Siapa
Tindakan Koreksi
Tindakan Verifikasi
Prosedur Rekaman
CCP1 Pengeringan
produk mi Bakteri patogen (E. coli, Salmo-nella, Staphylo-coccus)
- Suhu 90-100 oC, dan lama pengeringan 25-30 menit
- Kecepatan aliran udara 2m/detik
- Kadar air produk mi kering mak-simal 10%
- Suhu oven dan lama pe-ngeringan
- Kecepatan aliran udara pengeringan
- Kadar air pro-duk mi kering yang dihasil-kan
Dengan me-meriksa suhu proses pada mesin oven pe-ngering secara visual dan waktu penge-ringan dengan stopwatch/ jam tangan - Dengan me-
meriksa kecepatan aliran udara pengeringan
- Dengan me-
makai alat konduktifitasmeter
Selama proses produksi setiap proses penge-ringan (25-30 menit) - Selama proses setiap pengeringan - Setiap selesai proses satu batch penge-ringan
Operator bagian pengeringan mi dan bagian QC Operator bagian QC Operator bagian QC
- Bila suhu tidak sesuai standar, maka produk yang sudah jadi dipisahkan/ dikarantina
- Stop proses
dan direpro-ses (Waktu proses penge-ringan diper-panjang)
- Kalibrasi alat termo-meter dan stop watch secara berkala
- Uji mikro-
biologi ter-hadap produk akhir
- Dokumen-tasi Lapor-an tindakan koreksi
- Dokumen-
tasi Lapor-an Operator pengering-an produk
- Dokumen-
tasi Lapor-an kalibrasi alat
- Dokumen-
tasi Lapor-an catatan batas kritis
- Data atau log sheet pengu-kuran
- Data check-
list
151
Tabel 36. Rencana Pemantauan Control Point (CP) pada Proses Produksi Mi Kering di Perusahaan PT Kuala Pangan Pemantauan No. Bahan Baku Nomor
CP Bahaya Tindakan
pengendalian Obyek Lokasi Prosedur Frekuensi Staf/Dept. Tindakan koreksi Tanggung
jawab Rekaman/ Catatan
dokumentasi 1. Penerimaan
Tepung terigu
CP-1 -Bakteri pato-gen (E. coli, Salmonella, kapang)
-Cemaran logam berat dan arsen
-SSOP pene-rimaan bahan tepung terigu
-Tahap beri-kutnya ada pengukusan
Tepung terigu
Gudang bahan baku
Memeriksa keseuaian COA dgn standar
Setiap penerimaan bahan baku
Staf bagian Gudang & QC
- Mengem balikan ke supplier - Audit supplier - Melakukan pengu-
jian secara eks-ternal 6 bulan sekali
Ka Bag. Produksi dan QC
- Dokumenta-si COA - Dokumenta-si hasil pe-ngujian - Dokumenta-si hasil audit supplier
2. Penerimaan Tepung Telur
CP-2 Bakteri patogen (Salmonella, E. coli, Sta-phy-coccus)
-SSOP pene- rimaan bahan tepung telur
- Tahap beri-kutnya ada pengukusan dan penge-ringan
Tepung telur
Gudang bahan baku
Memeriksa keseuaian COA dgn standar
Setiap penerimaan bahan baku
Staf bagian Gudang & QC
- Mengembalikan ke supplier - Audit supplier
Ka Bag. Produksi dan QC
- Dokumenta-si COA - Dokumenta-si hasil pe-ngujian - Dokumenta-si hasil audit supplier
3. Penerimaan Garam
CP-3 -Cemaran lo-gam berat dan cemaran arsen
-Potongan be-nang, tali plastik, pasir
-SSOP Pene-rimaan bahan baku garam
- Tahap beri-kutnya ada pengayakan
Garam Gudang bahan baku
Memeriksa keseuaian COA dgn standar
Setiap penerimaan bahan baku
Staf bagian Gudang & QC
- Mengembalikan ke supplier - Audit supplier - Melakukan pengu-
jian secara eks-ternal 6 bulan sekali
Ka Bag. Produksi dan QC
- Dokumenta-si COA - Dokumenta-si hasil pe-ngujian - Dokumenta-si hasil audit supplier
4. Penerimaan Air
CP-4 -Bakteri pa-thogen (E. coli, Salmo-nella, Staphy-lococcus
- Cemaran lo-gam berat dan kotoran
- SSOP Kea-manan Air -Water treatment
Air Gudang Penyimpanan air
Cek mutu/ kualitas air (kandung-an E. coli, Salmonella, dll)
Setiap 1 (satu) bulan sekali
Bagian Teknik & Mainte-nance
- Mengganti filter, filter karbon aktif - Uji eksternal kualitas air sesuai PerMenKes No. 907 /MenKes/SK/VII/ 2002.
Ka. Bag. Teknik & Maintenan-ce
- Dokumenta-si uji E. coli - Dokumenta-si hasil Uji eksternal mutu air
152
Tabel 36. Rencana Pemantauan Control Point (CP) pada Proses Produksi Mi Kering di Perusahaan (Lanjutan) Pemantauan No. Bahan Baku Nomor
CP Bahaya Tindakan
pengendalian Obyek Lokasi Prosedur Frekuensi Staf/Dept. Tindakan koreksi Tanggung
jawab Rekaman/ Catatan
dokumentasi 5. Penerimaan
Natrium dan Kalium Karbonat
CP-5 - Tidak ada - SSOP pene-rimaan natri-um dan kalium karbonat - Pemeriksaan COA bahan yang masuk
Natrium dan ka-lium kar-bonat
Gudang bahan baku
Memeriksa keseuaian COA dgn standar
Setiap penerimaan bahan na-trium dan kalium kar-bonat
Staf bagian Gudang & QC
- Mengem balikan ke supplier - Audit supplier - Uji secara ekster-
nal setiap 1 tahun sekali
Ka Bag. Produksi dan QC
- Dokumenta-si COA - Dokumenta-si hasil pe-ngujian - Dokumenta-si hasil audit supplier
6. Penerimaan Tartrazin CI 19140
CP-6 - Fisik : kotor-an
SSOP Penerimaan Tartrazin
Tatrtra-zin CI 19140
Gudang bahan baku
Memeriksa keseuaian COA dgn standar
Setiap penerimaan bahan taertrazin
Staf bagian Gudang & QC
- Mengembalikan ke supplier - Audit supplier - Uji secara ekster-
nal setiap 6 bulan sekali
Ka Bag. Produksi dan QC
- Dokumenta-si COA - Dokumenta-si hasil pe-ngujian - Dokumenta-si hasil audit supplier
7. Penerimaan Bahan pengemas plastik (Kemasan Primer)
CP-7 - Kimia : adi-tif plastik (plasticizer)
- Fisik : debu,
kotoran
- SSOP Pene-rimaan bahan penge- mas plastic - Pemeriksaan COA bahan yang masuk
Plastik jenis PP
Gudang bahan baku
Memeriksa keseuaian COA dgn standar
Setiap penerimaan bahan pe-ngemas plastik PP
Staf bagian Gudang & QC
- Mengembalikan ke supplier - Audit supplier
Ka Bag. Produksi dan QC
- Dokumenta-si COA - Dokumenta-si hasil pe-ngujian - Dokumenta-si hasil audit supplier
8. Penerimaan Bahan pengemas Kotak Karton (Kemasan Sekunder)
CP-8 Fisik : debu, kotoran
- SSOP Pene-rimaan bahan pengemas kotak karton -Pemeriksaan bahan kotak karton yang masuk
Kotak karton
Gudang bahan baku
Memeriksa kesuaian COA dgn standar
Setiap penerimaan bahan pe-ngemas kotak karton
Bagian Teknik & Mainte-nance
- Mengembalikan ke supplier
- Audit supplier
Ka. Bag. Teknik & Maintenan-ce
- Dokumenta-si uji E. coli - Dokumenta-si hasil Uji eksternal mutu air
153
Tabel 36. Rencana Pemantauan Control Point (CP) pada Proses Produksi Mi Kering di Perusahaan (Lanjutan). Pemantauan No. Bahan Baku Nomor
CP Bahaya Tindakan
pengendalian Obyek Lokasi Prosedur Frekuensi Staf/Dept. Tindakan koreksi Tanggung
jawab Rekaman/ Catatan
dokumentasi 9. Penyimpanan
Bahan baku dan bahan lainnya
CP-9 - Biologis : tikus, kecoa, serangga
- Residu ba-han sanitai-ser
- SSOP pe-nyimpanan bahan baku dan bahan lainnya
- Lakukan pest control
Bahan baku, ba-han lain dan pro-duk
Gudang penyimpananbahan baku, bahan lain & produk
Memeriksa gudang pe-nyimpanan
Setiap minggu sekali
Staf bagian Produksi & QC
- Perketat praktek penyimpanan bahan sesuai GMP dan SSOP - Perketat penerapan pengendalian hama
Ka Bag. Produksi dan QC
- Dokumenta-si hasil pe-meriksaan kondisi gudang - Dokumenta-si hasil pe-ngendalian hama
10. Penimbangan CP-10 - Bakteri pato-gen
- Ceceran ba-
han kimia pembersih
- SSOP (Kesehatan & Higiene Pe-kerja) - SSOP (Sani-tasi alat)
- Pekerja/ karyawan - Alat timbang-an
Ruang proses produksi
- Memerik-sa kese-hatan kar-yawan - Memerik-sa kondisi kebersihan alat
-Minimal 1 tahun sekali -Setiap awal bulan
Staf bagian Produksi & QC
- Perketat praktek higiene dan ke-sehatan pekerja
- Beri teguran kepa-
da karyawan atau beri pelatihan hi-giene dan sanitasi
Ka Bag. Produksi dan QC
- Dokumenta-si hasil pe-meriksaan kesehatan karyawan - Dokumenta-si log book hasil peme-riksaan alat
11. Pencampuran (Mixing)
CP-11 - Bakteri pato-gen ;
- Residu ba-
han sanitai-ser
-SSOP (Kesehatan & Higiene Pe-kerja) - SSOP (Sani-tasi alat)
- Pekerja/ karyawan - Mixer
Ruang proses produksi
- Memerik-sa kese-hatan kar-yawan - Memerik-sa kondisi kebersihan alat
-Minimal 1 tahun sekali -Setiap awal bulan
Staf bagian Produksi & QC
- Perketat praktek higiene dan ke-sehatan pekerja
- Beri teguran kepa-
da karyawan atau beri pelatihan hi-giene dan sanitasi
Ka Bag. Produksi dan QC
- Dokumenta-si hasil pe-meriksaan kesehatan karyawan - Dokumenta-si log book hasil peme-riksaan alat
12 Pencampuran dan Formulasi
CP-12 -Bakteri pa-togen;
-Residu sani-
taiser
-SSOP (Kesehatan & Higiene Pe-kerja) - SSOP (Sani-tasi alat)
- Pekerja/ karyawan - Mixer
Gudang bahan baku
- Memerik-sa kese-hatan kar-yawan - Memerik-sa kondisi kebersihan alat
-Minimal 1 tahun sekali -Setiap awal bulan
Staf bagian Produksi & QC
- Perketat praktek higiene dan kesehatan pekerja
- Beri teguran kepa-
da karyawan atau beri pelatihan hi-giene dan sanitasi
Ka. Bag. Teknik & Maintenan-ce.
- Dokumenta-si hasil pe-meriksaan kesehatan karyawan - Dokumenta-si log book hasil peme-riksaan alat
154
Tabel 36. Rencana Pemantauan Control Point (CP) pada Proses Produksi Mi Kering di Perusahaan (Lanjutan). Pemantauan No. Bahan Baku Nomor
CP Bahaya Tindakan
pengendalian Obyek Lokasi Prosedur Frekuensi Staf/Dept. Tindakan koreksi Tanggung
jawab Rekaman/ Catatan
dokumentasi 13. Penyimpanan
Bahan baku dan bahan lainnya
CP-13 - Biologis : tikus, kecoa, serangga ;
- Residu ba-han sanitai-ser
- SSOP pe-nyimpanan bahan baku dan bahan lainnya
- Lakukan pest
control
Bahan baku, ba-han lain dan pro-duk
Gudang penyimpananbahan baku, bahan lain & produk
Memeriksa gudang pe-nyimpanan
Setiap minggu sekali
Staf bagian Produksi & QC
- Perketat praktek penyimpanan bahan sesuai GMP dan SSOP - Perketat penerapan pengendalian hama
Ka Bag. Produksi dan QC
- Dokumenta-si hasil pe-meriksaan kondisi gudang - Dokumenta-si hasil pe-ngendalian hama
14. Pengayakan tepung terigu dan garam
CP-14 - Cemaran fi-sik (benang, tali plastik potongan serangga, pasir)
- Melakukan pengayakan dengan ayakan ukuran 200 mesh - Cemaran fi-sik yang diper-oleh dipisah-kan
- Bahan tepung terigu dan garam
Ruang proses pengayakan
- Memerik-sa ukuran mesh ayak-an yang dipakai - Memerik-sa kondisi kebersihan alat
-Setiap kali bahan tepung terigu dan garam akan dipakai
Staf bagian Produksi & QC
- Perketat praktek pemeriksaan ukuran mesh alat yang dipakai
- Beri teguran kepa-
da karyawan atau beri pelatihan hi-giene dan sanitasi
Ka Bag. Produksi dan QC
- Dokumenta-si hasil pe-meriksaan kesehatan karyawan - Dokumenta-si log book hasil peme-riksaan alat
15. Penimbangan bahan
CP-15 - Bakteri pato-gen
- Debu, kotor-
an
-SSOP (Kesehatan & Higiene Pe-kerja) - SSOP (Sani-tasi alat)
- Pekerja/ karyawan - Alat timbang-an
Ruang proses penimbangan
- Memerik-sa kese-hatan kar-yawan - Memerik-sa kondisi kebersihan alat
-Minimal 1 tahun sekali -Setiap a-kan dipakai penimbangan
Staf bagian Produksi & QC
- Perketat praktek higiene dan ke-sehatan pekerja
- Beri teguran kepa-
da karyawan atau beri pelatihan hi-giene dan sanitasi
Ka Bag. Produksi dan QC
- Dokumenta-si hasil pe-meriksaan kesehatan karyawan - Dokumenta-si log book hasil peme-riksaan alat
16. Pembuatan Larutan Alkali
CP-16 - Bakteri pa- togen - Ceceran re- sidu sanitai- ser
-SSOP (Kesehatan & Higiene Pe-kerja) - SSOP (Sani-tasi alat)
- Pekerja/ karyawan - Wadah larutan alkali
Ruang proses pembuatan larutan alkali
- Memerik-sa kese-hatan kar-yawan - Memerik-sa kondisi kebersihan alat
-Minimal 1 tahun sekali -Setiap awal bulan
Staf bagian Produksi & QC
- Perketat praktek higiene dan ke-sehatan pekerja
- Beri teguran kepa-
da karyawan atau beri pelatihan hi-giene dan sanitasi
Ka. Bag. Teknik & Maintenan-ce
- Dokumenta-si hasil pe-meriksaan kesehatan karyawan - Dokumenta-si log book hasil peme-riksaan alat
155
Tabel 36. Rencana Pemantauan Control Point (CP) pada Proses Produksi Mi Kering di Perusahaan (Lanjutan). Pemantauan No. Bahan Baku Nomor
CP Bahaya Tindakan
pengendalian Obyek Lokasi Prosedur Frekuensi Staf/Dept. Tindakan koreksi Tanggung
jawab Rekaman/ Catatan
dokumentasi 17. Pencampuran
dan Formulasi adonan mi (Mixing)
CP-17 - Bakteri pato-gen
- Ceceran ba-han kimia pembersih
- SSOP (Kesehatan & Higiene Pe-kerja) - SSOP (Sani-tasi alat)
- Pekerja/ karyawan - Wadah yang di-gunakan
Ruang proses pencampuran dan formu-lasi adonan
- Memerik-sa kese-hatan kar-yawan - Memerik-sa kondisi kebersihan alat
-Minimal 1 tahun sekali -Setiap awal bulan
Staf bagian Produksi & QC
- Perketat praktek higiene dan ke-sehatan pekerja
- Beri teguran kepa-
da karyawan atau beri pelatihan hi-giene dan sanitasi
Ka Bag. Produksi dan QC
- Dokumenta-si hasil pe-meriksaan kesehatan karyawan - Dokumenta-si log book hasil peme-riksaan alat
18. Pembentukan adonan menja-di lembaran adonan (Roll pressing)
CP-18 - Bakteri pato-gen
- Ceceran ba-
han kimia pembersih
- SSOP (Kesehatan & Higiene Pe-kerja) - SSOP (Sani-tasi alat)
- Pekerja/ karyawan - Alat roll presser
Ruang proses produksi untuk roll pressing
- Memerik-sa kese-hatan kar-yawan - Memerik-sa kondisi kebersihan alat
-Minimal 1 tahun sekali -Setiap awal bulan
Staf bagian Produksi & QC
- Perketat praktek higiene dan kesehatan pekerja
- Beri teguran kepa-
da karyawan atau beri pelatihan hi-giene dan sanitasi
Ka Bag. Produksi dan QC
- Dokumenta-si hasil pe-meriksaan kesehatan karyawan - Dokumenta-si log book hasil peme-riksaan alat
19. Pembentukan untaian/pita mie (Slitting)
CP-19 - Bakteri pato-gen
-SSOP (Kesehatan & Higiene Pe-kerja) - SSOP (Sani-tasi alat)
- Pekerja/ karyawan - Alat slitter
Ruang proses pembentukan untaian pita mi (sliiting)
- Memerik-sa kese-hatan kar-yawan - Memerik-sa kondisi kebersihan alat
-Minimal 1 tahun sekali -Setiap awal bulan
Staf bagian Produksi & QC
- Perketat praktek higiene dan kesehatan pekerja
- Beri teguran kepa-
da karyawan atau beri pelatihan hi-giene dan sanitasi
Ka Bag. Produksi dan QC
- Dokumenta-si hasil pe-meriksaan kesehatan karyawan - Dokumenta-si log book hasil peme-riksaan alat
20. Pendinginan (Cooling)
CP-20 Bakteri patogen
-SSOP (Kesehatan & Higiene Pe-kerja) - SSOP (Sani-tasi alat)
- Pekerja/ karyawan - Alat cooler
Ruang proses pendinginan
- Memerik-sa kese-hatan kar-yawan - Memerik-sa kondisi kebersihan alat
-Minimal 1 tahun sekali -Setiap awal bulan
Staf bagian Produksi & QC
- Perketat praktek higiene dan kesehatan pekerja
- Beri teguran kepa-
da karyawan atau beri pelatihan hi-giene dan sanitasi
Ka. Bag. Produksi & QC
- Dokumenta-si hasil pe-meriksaan kesehatan karyawan - Dokumenta-si log book hasil peme-riksaan alat
156
Tabel 36. Rencana Pemantauan Control Point (CP) pada Proses Produksi Mi Kering di Perusahaan (Lanjutan). Pemantauan No. Bahan Baku Nomor
CP Bahaya Tindakan
pengendalian Obyek Lokasi Prosedur Frekuensi Staf/Dept. Tindakan koreksi Tanggung
jawab Rekaman/ Catatan
dokumentasi 21. Pemotongan
untaian pita mi (Cutting)
CP-21 - Bakteri pato-gen
- Ceceran ba-han kimia pembersih
- SSOP (Kesehatan & Higiene Pe-kerja) - SSOP (Sani-tasi alat)
- Pekerja/ karyawan - Alat cutter
Ruang proses pemotongan
- Memerik-sa kese-hatan kar-yawan - Memerik-sa kondisi kebersihan alat
-Minimal 1 tahun sekali -Setiap awal bulan
Staf bagian Produksi & QC
- Perketat praktek higiene dan kesehatan pekerja
- Beri teguran kepa-
da karyawan atau beri pelatihan hi-giene dan sanitasi
Ka Bag. Produksi dan QC
- Dokumenta-si hasil pe-meriksaan kesehatan karyawan - Dokumenta-si log book hasil peme-riksaan alat
22. Pembentukan untaian mi dalam wadah yang sudah standar
CP-22 - Bakteri pato-gen
- Ceceran ba-
han kimia pembersih
- SSOP (Kesehatan & Higiene Pe-kerja) - SSOP (Sani-tasi alat)
- Pekerja/ karyawan - Wadah pemben-tuk untai-an mi
Ruang proses produksi un-tuk pemben-tukan dalam wadah mi
- Memerik-sa kese-hatan kar-yawan - Memerik-sa kondisi kebersihan alat
-Minimal 1 tahun sekali -Setiap awal bulan
Staf bagian Produksi & QC
- Perketat praktek higiene dan kesehatan pekerja
- Beri teguran kepa-
da karyawan atau beri pelatihan hi-giene dan sanitasi
Ka Bag. Produksi dan QC
- Dokumenta-si hasil pe-meriksaan kesehatan karyawan - Dokumenta-si log book hasil peme-riksaan alat
23. Pendinginan dengan kipas angin (Cooling)
CP-23 - Bakteri pato-gen
-SSOP (Kesehatan & Higiene Pe-kerja) - SSOP (Sani-tasi alat)
- Pekerja/ karyawan - Alat cooler
Ruang proses produksi
- Memerik-sa kese-hatan kar-yawan - Memerik-sa kondisi kebersihan alat
-Minimal 1 tahun sekali -Setiap awal bulan
Staf bagian Produksi & QC
- Perketat praktek higiene dan kesehatan pekerja
- Beri teguran kepa-
da karyawan atau beri pelatihan hi-giene dan sanitasi
Ka Bag. Produksi dan QC
- Dokumenta-si hasil pe-meriksaan kesehatan karyawan - Dokumenta-si log book hasil peme-riksaan alat
24. Pengemasan dengan plastik jenis PP (Polipropilen) dengan sealer
CP-24 Bakteri patogen
-SSOP (Kesehatan & Higiene Pe-kerja) - SSOP (Sani-tasi alat & ruangan)
- Pekerja/ karyawan - Alat sealer
Ruang proses pengemasan dengan plastik
- Memerik-sa kese-hatan kar-yawan - Memerik-sa kondisi kebersihan alat dan ruangan
-Minimal 1 tahun sekali -Setiap awal bulan
Staf bagian Produksi & QC
- Perketat praktek higiene dan kesehatan pekerja
- Beri teguran kepa-
da karyawan atau beri pelatihan hi-giene dan sanitasi
Ka. Bag. Produksi & QC
- Dokumenta-si hasil pe-meriksaan kesehatan karyawan - Dokumenta-si log book hasil peme-riksaan pe-ngemasan plastik
157
Tabel 36. Rencana Pemantauan Control Point (CP) pada Proses Produksi Mi Kering di Perusahaan (Lanjutan). Pemantauan No. Bahan Baku Nomor
CP Bahaya Tindakan
pengendalian Obyek Lokasi Prosedur Frekuensi Staf/Dept. Tindakan koreksi Tanggung
jawab Rekaman/ Catatan
dokumentasi 25. Pengemasan
dengan kotak karton dan disealer
CP-25 - Fisik : debu, kotoran
- SSOP (Kesehatan & Higiene Pe-kerja) - SSOP (Sani-tasi alat, ru-angan)
- Pekerja/ karyawan - Alat sealer
Ruang proses produksi/pe-ngemasan
- Memerik-sa kese-hatan kar-yawan - Memerik-sa kondisi kebersihan alat
-Minimal 1 tahun sekali -Setiap awal bulan
Staf bagian Produksi & QC
- Perketat praktek higiene dan kesehatan pekerja
- Beri teguran kepa-
da karyawan atau beri pelatihan hi-giene dan sanitasi
Ka Bag. Produksi dan QC
- Dokumenta-si hasil pe-meriksaan kesehatan karyawan - Dokumenta-si log book hasil peme-riksaan ke-masan karton
26. Penyimpanan produk akhir di gudang
CP-26 - Biologi : tikus, kecoa, serangga
- SSOP (Kesehatan & Higiene Pe-kerja) - SSOP (Sani-tasi ruangan)
- Pekerja/ karyawan - Ruang gudang penyim-panan
Ruang proses penyimpanan produk akhir
- Memerik-sa kese-hatan kar-yawan - Memerik-sa kondisi kebersihan ruangan
-Minimal 1 tahun sekali -Setiap awal bulan
Staf bagian Produksi & QC
- Perketat praktek higiene dan kesehatan pekerja
- Beri teguran kepa-
da karyawan atau beri pelatihan hi-giene dan sanitasi
Ka Bag. Produksi dan QC
- Dokumenta-si hasil pe-meriksaan kesehatan karyawan - Dokumenta-si log book hasil peme-riksaan ruang penyimpanan
27. Pengiriman dan Distribusi
CP-27 - Fisik : debu dan kotoran
-SSOP (Alat transportasi dan distribusi) - SSOP (Sani-tasi alat trans-portasi)
- Alat transpor-tasi (Truk, container
Di tempat pengiriman/ distribusi
- Memerik-sa keber-sihan dan sanitasi alat trans-portasi
-Setiap pengiriman dan distribusi barang
Staf bagian Produksi & QC
- Perketat pemerik-saan kebersihan alat transport yang dipakai
- Beri teguran kepa-
da karyawan atau beri pelatihan hi-giene dan sanitasi
Ka Bag. Produksi dan QC
- Dokumenta-si hasil pe-meriksaan alat transport - Dokumenta-si log book hasil pengi-riman dan distribusi
158
Tindakan verifikasi pada tahapan proses pengeringan sebagai titik kendali
kritis (CCP) adalah sebagai berikut (1) Melakukan pemeriksaan catatan (records)
titik kendali kritis (CCP) pada tahap pengeringan termasuk catatan
penyimpangannya dibandingkan dengan standar batas kritis yang sudah
ditetapkan, untuk mengetahui arah kecenderungan perubahan/penyimpangan dari
batas kritisnya; (2) Melakukan pemeriksaan catatan laporan hasil kegiatan proses
pengeringan terutama pada catatan/ rekaman produk hasil pengeringan yang
mengalami cacat atau tidak layak untuk dikonsumsi; (3) Melakukan pengambilan
contoh produk akhir hasil pengeringan secara acak dan berkala untuk diuji dan
dianalisis di laboratorium independen yang sudah terakreditasi sesuai dengan
spesifikasi standar yang ditetapkan perusahaan atau pemerintah.
Selain tindakan verifikasi di atas, tindakan verifikasi lainnya yang perlu
dilakukan Tim HACCP di perusahaan PT Kuala Pangan adalah sebagai berikut :
(1) Melakukan peninjauan kelengkapan rencana HACCP yang sudah disusun oleh
Tim HACCP, (2) Melakukan peninjauan ulang akurasi/kesesuaian diagram alir
dan tata letak yang nyata dengan dokumentasi, (3) Melakukan peninjauan ulang
antara dokumen persyaratan dasar (prerequisite programs) dengan kondisi operasi
faktual perusahaan, (4) Melakukan kalibrasi peralatan pengukur suhu
(termometer) di mesin pengukusan dan pengeringan secara rutin (internal) setiap
tiga bulan sekali oleh perusahaan dan kalibrasi secara berkala 2-3 tahun sekali
(eksternal) di lembaga kalibrasi independen yang sudah terakreditasi berdasarkan
sistem ISO 17025, (5) Melakukan kaji ulang rencana HACCP dan kecukupan
fasilitas yang dimiliki perusahaan untuk mendukung implementasi sistem
HACCP, dan (6) Melakukan kaji ulang antara kekurangan dengan kebutuhan akan
kepedulian dan pelatihan staf mengenai kesehatan dan keamanan pangan.
12. Menetapkan Sistem Dokumentasi (Langkah Ke-12; Prinsip 7 HACCP)
Penerapan sistem HACCP dalam proses produksi mi kering di PT Kuala
Pangan harus diikuti dengan dokumentasi mengenai penerapan HACCP sesuai
dengan SNI.01.4852-1998 (BSN, 1998) dan Pedoman BSN 1004 : 2002 (BSN,
2002). Dokumentasi ini berfungsi sebagai acuan dan bukti penerapan HACCP.
Penentuan sistem dokumentasi bertujuan untuk menjaga dan mempermudah
159
pengendalian atau pembaharuan (updating) catatan dan rencana HACCP. Oleh
karena itu, pencatatan dan pembukuan yang efisien serta akurat di perusahaan PT
Kuala Pangan adalah penting dalam penerapan sistem HACCP. Salah satu
dokumentasi yang harus disiapkan adalah dokumen ”Manual HACCP” yang di
dalamnya meliputi kebijakan mutu dan keamanan pangan, prosedur, dan instruksi
yang memaparkan bagaimana perusahaan industri pangan PT Kuala Pangan
sebagai produsen mi kering mampu memenuhi persyaratan.
Dokumentasi atau pendataan tertulis seluruh program HACCP ini
diharapkan dapat menjamin bahwa program tersebut dilaksanakan, dapat diperiksa
kembali dan dipertahankan selama periode tertentu. Menurut Thaheer (2005),
tujuan penerapan sistem dokumentasi dan pencatatan adalah : (1) Bukti keamanan
produk berkaitan dengan prosedur dan proses yang ada, (2) Jaminan pemenuhan
terhadap peraturan, (3) Kemudahan pelacakan/kemamputelusuran dan peninjauan
catatan, (4) Dokumentasi data pengukuran menuju catatan permanen mengenai
keamanan produk pangan, (5) Merupakan sumber tinjauan data yang diperlukan
apabila ada audit HACCP, (6) Rekaman/catatan HACCP dapat lebih memusatkan
pada isu keamanan pangan sehingga mempercepat identifikasi masalah, dan (7)
Membantu mengidentifikasi lot ingredient, bahan pengemas, dan produk akhir
apabila timbul masalah keamanan pangan yang segera dilakukan penarikan
produk dari pasaran.
Beberapa contoh dokumen dan rekaman pada penerapan HACCP pada PT
Kuala Pangan di Citeureup, Bogor secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 37.
160
Tabel 37. Beberapa contoh dokumen dan rekaman pada penerapan sistem HACCP di PT Kuala Pangan
Dokumen Rekaman Contoh Deskripsi Contoh Deskripsi
Manual HACCP
Deskripsi kebijakan dan strategi pimpinan perusahaan pada penerapan HACCP
Data hasil identifikasi bahaya
Formulir yang telah berisi daftar potensi bahaya dan tindakan pencegahannya
Prosedur Pelatihan
Berisi mekanisme peningkatan dan pemeliharaan kompetensi sumber daya manusianya
Sertifikat hasil pelatihan
Bukti autentik sesorang telah dilatih
Prosedur Pengendalian Proses
Berisi langkah-langkah pengen-dalian proses termasuk di dalamnya pengendalian CCP
Catatan pengu-kusan suhu di tahap pengu-kusan dan pengeringan
Formulir pencatatan/pendataan suhu pengukusan dan pengeringan yang telah berisi dan diotorisasi
Prosedur Tindakan Koreksi
Berisi tahap-tahap yang dilalui apabila terjadi penyimpangan proses produksi
Rekaman langkah tindakan koreksi
Bukti tindakan koreksi yang telah dilakukan
Prosedur Internal Audit
Berisi proses verifikasi sistem HACCP melalui pemeriksaan internal yang sitematik
Jadwal rencana audit internal
Formulir jadwal yang telah diisi dan diotorisasi
Prosedur Pengendalian Dokumen
Berisi petunjuk pengolahan dan pengendalian dokumen
Bukti permintaan perubahan dokumen
Formulir permintaan perubahan dokumen yang telah diisi
13. Menetapkan Prosedur Pengaduan Konsumen
Prosedur pengaduan konsumen merupakan persyaratan tambahan yang
harus dibuat oleh perusahaan dalam menerapkan sistem HACCP sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan dalam SNI.01.4852-1998 dan Pedoman BSN 1004 :
2002. Prosedur ini menjelaskan metode untuk menerima, menangani pengaduan
konsumen dan memberikan penyelesaian terakhir yang terbaik untuk menjawab
pengaduan konsumen, yang diterima oleh Bagian Pemasaran.
Pengaduan konsumen di PT Kuala Pangan ditangani oleh perusahaan
dengan tahapan sebagai berikut : (1) Bagian Pemasaran menerima pengaduan dari
konsumen dan dituangkan dalam Complaint Report, dan complaint report ini
disampaikan ke bagian pengendalian mutu (QC); (2) Bagian QC mengidentifikasi
produk yang dikeluhkan berdasarkan : nama produk, jenis kemasan, nomor batch
produksi, tanggal penerimaan, jumlah dan masalah yang dikeluhkan; (3) Bagian
QC mengevaluasi hal-hal yang dikeluhkan berdasarkan rekaman produksi dan
memeriksa contoh referensi yang disimpan; (4) Bagian QC mendiskusikan dengan
161
Manajer Produksi untuk tindakan perbaikan dan tanggapan atas keluhan tersebut;
(5) Direktur memutuskan tindakan penyelesaian akhir berdasarkan laporan dari
Manajer QC dan Manajer Produksi; (6) Bagian Pemasaran memberikan tanggapan
penyelesaian atas pengaduan tersebut kepada konsumen; dan (7) Bila konsumen
menerima penyelesaian tersebut, maka kasus ini dinyatakan ”selesai” dan bukti
rekaman semua pengaduan konsumen disimpan oleh Bagian Pemasaran. Diagram
penanganan pengaduan konsumen yang ditangani oleh perusahaan PT Kuala
Pangan dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Diagram Penanganan Pengaduan Konsumen di PT Kuala Pangan.
Informasi Keluhan dari Konsumen/Masyarakat
Diterima oleh bag. Pemasaran dalam bentuk complaint report
Disampaikan ke bagian QC
Identifikasi produk yg dikeluhkan oleh QC :
- Nama produk - Jenis kemasan - No. batch produksi - Tanggal penerimaan - Jml & masalah yg dikeluhkan
Evaluasi terhadap hal-hal yg dikeluhkan oleh QC berdasar
rekaman produksi dan memeriksa contoh referensi yang
disimpan
Bagian QC dan Manajer Produksi berdiskusi untuk
penentuan tindakan perbaikan & tanggapan atas keluhan tsb.
Pemutusan tindakan penyelesaian akhir oleh Direktur
berdasarkan Laporan Manajer QC dan Manajer Produksi
Pemberian tanggapan penyelesaian atas pengaduan tsb kepada konsumen oleh bagian
Pemasaran
Bila penyelesaian diterima konsumen, maka kasus
dinyatakan selesai
162
14. Menetapkan Prosedur Recall
Prosedur recall juga merupakan persyaratan tambahan yang harus dibuat
oleh perusahaan dalam menerapkan sistem HACCP untuk memenuhi persyaratan
yang ditetapkan dalam SNI 01.4852-1998 dan Pedoman BSN 1004 : 2002.
Prosedur ini menjelaskan metode untuk mengidentifikasi, mengevaluasi,
menangani pengaduan konsumen dan menarik kembali produk yang dikeluhkan
atau ditolak oleh konsumen.
Tahapan penarikan produk (recall) yang dilakukan oleh perusahaan PT
Kuala Pangan adalah sebagai berikut : (1) Bagian Pengendalian Mutu (QC)
mengidentifikasi produk yang dikeluhkan berdasarkan nama produk, jenis
kemasan, nomor batch produksi, tanggal pengiriman, jumlah dan masalah yang
dikeluhkan; (2) Bagian QC mengevaluasi hal-hal yang dikeluhkan berdasarkan
penelusuran rekaman produksi dan menginspeksi sampel reference yang ada di
bagian QC; (3) Manajer QC dan Manajer Produksi harus mendiskusikan
pengaduan tersebut guna penanganan selanjutnya, yaitu bila pengaduan tidak
benar, Manajer QC meminta Bagian Pemasaran untuk menolak pengaduan dan
jika diperlukan akan diadakan peninjauan ke pelanggan, sedang jika pengaduan
tersebut benar dapat diketahui dari ketidaksesuaian/penanganan pengiriman yang
ceroboh, maka Manajer QC bersama Manajer Produksi melaporkan kepada
Direktur untuk menarik kembali atau memusnahkan di tempat konsumen; (4)
Manajer QC memberikan jawaban kepada Bagian Pemasaran untuk berkoordinasi
dengan konsumen guna mengirimkan kembali semua produk yang dikeluhkan
atau meminta kepada konsumen untuk memusnahkan sendiri produk yang
dikeluhkan; dan (5) Manajer QC memisahkan produk yang dikirim kembali
tersebut dan menempatkan pada area dengan garis merah dan bertanda ”Produk
Reject” hingga waktu (hari) yang ditentukan.
15. Kendala Dalam Penerapan Sistem HACCP di PT Kuala Pangan
Dari hasil studi melalui observasi, pengamatan dan wawancara yang
dilakukan ternyata ada beberapa kendala yang dihadapi oleh perusahaan PT Kuala
Pangan untuk mengimplementasikan dan mengembangkan terhadap rencana
HACCP atau HACCP Plan-nya. Pertama, meskipun pihak Pimpinan manajemen
163
komitmennya cukup tinggi, namun komitmen karyawan yang bukan anggota tim
HACCP tetapi bertanggung jawab dalam proses produksi untuk melaksanakan
pemantauan terhadap program sanitasi dan higiene kurang melaksanakan dengan
baik dengan alasan : menambah beban pekerjaan yang selama ini dilakukan
karyawan bersangkutan. Selain itu, karyawan yang ditunjuk sebagai anggota tim
HACCP dalam membantu pengelolaan gudang juga kurang komit terhadap tugas
dan tanggung jawabnya sebagai akibat adanya tambahan pekerjaan catat mencatat
atau tulis menulis yang biasanya tidak banyak dilakukan. Bila dikaji lebih lanjut,
karyawan yang kurang komit ini biasanya yang usianya sudah agak tua (umur 45
tahun ke atas dan sudah lama bekerja di perusahaan), sehingga kalau ditanya
kaitannya dengan tugas dan tanggung jawabnya menyatakan bahwa ”begini-
begini saja juga sudah baik” mengapa harus repot dengan adanya pekerjaan
tambahan catat-mencatat atau tulis menulis. Oleh karena itu, sosialisasi rencana
penerapan HACCP di perusahaan kepada karyawan tersebut harus lebih
diintesifkan supaya mereka cepat menyadari tugas dan tanggung jawabnya di
perusahaan yang bersangkutan. Memang untuk mengubah kebiasan yang sudah
biasa dilakukan karyawan di perusahaan dengan kebiasaan baru sebagai akibat
kebijakan baru yang dikeluarkan perusahaan memerlukan waktu untuk
penyesuaiannya, tidak dapat langsung diubah secara cepat.
Kedua, adanya hambatan psikologis (mental) terhadap karyawan yang
ditunjuk oleh pihak manajemen sebagai anggota tim HACCP. Hal ini disebabkan
karena karyawan yang ditunjuk sebagai anggota tim HACCP tersebut ada yang
merasa pengetahuan dan pemahaman tentang sistem HACCP masih rendah dan
ditambah adanya pekerjaan tambahan untuk membantu mempersiapkan dokumen-
dokumen yang dibutuhkan untuk mendukung penerapan dan pengembangan
rencana HACCP di perusahaan. Namun hambatan ini sedikit demi sedikit dapat
teratasi setelah anggota tim HACCP tersebut mempersiapkan dokumen-dokumen
yang diperlukan untuk menerapkan rencana HACCP dikerjakan dengan baik dan
sungguh-sungguh.
Pihak Pimpinan manajemen sendiri juga mempunyai hambatan psikologis
yang agak pesimis terhadap perusahaannya dalam menerapkan dan
mengembangkan rencana HACCP-nya, mengingat perusahaan yang bersangkutan
164
belum mempunyai sumber daya manusia yang lengkap dan komplit serta ahli di
bidang mikrobiologi dan ahli di bidang rekayasa proses pangan untuk mendukung
implementasi sistem HACCP yang direncanakan perusahaan. Sebagai
konsekuensinya perusahaan perlu mengembangkan sumber daya manusia yang
dimiliki nperusahaan dengan cara merekrut sumber daya manusia baru (pegawai
baru) yang berlatar belakang disiplin ilmu mikrobiologi atau rekayasa proses
pangan.
Ketiga, pihak Pimpinan manajemen mempunyai hambatan organisasi di
perusahaannya. Hal ini disebabkan karena dalam mengimplementasikan dan
mengembangkan rencana sistem HACCP, perusahaan harus menyediakan tim
HACCP yang anggota-anggotanya harus kompeten di bidang masing-masing
anggota dan multidisiplin ilmu; sementara itu kompetensi personil/karyawan yang
ada di struktur organisasi yang dikelola oleh bagian pengembangan sumber daya
manusia (Human Resource Development) masih terbatas. Oleh karena itu,
konsekuensinya perusahaan PT Kuala Pangan harus mempunyai rencana untuk
mengembangkan sumber daya manusia yang dimilikinya dalam rencana
menerapkan dan mengembangkan sistem HACCP-nya di perusahaan.
C. REKOMENDASI UNTUK PENGEMBANGAN SISTEM HACCP DI PERUSAHAAN
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan terhadap kondisi sistem
manajemen mutu dan keamanan pangan di perusahaan saat ini dan rencana
HACCP Plan perusahaan, maka untuk melakukan pengembangan sistem
manajemen keamanan pangan berdasarkan sistem HACCP dengan model produk
mi kering di PT Kuala Pangan, direkomendasikan hal-hal sebagai berikut :
1. Perbaikan (Improvement) Penerapan GMP di PT Kuala Pangan
Berdasarkan hasil pemeriksaan pelaksanaan GMP di PT Kuala Pangan
dengan menggunakan formulir/lembar kerja pemeriksaan GMP sarana produksi
pangan yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM),
ditemukan ada 13 penyimpangan/ketidaksesuaian, yaitu 1 penyimpangan/
165
ketidaksesuaian berkategori serius, 6 penyimpangan/ ketidaksesuaian berkategori
mayor dan 6 penyimpangan/ketidaksesuaian berkategori minor.
Untuk memperbaiki penyimpangan atau ketidaksesuaian tersebut direko-
mendasikan hal-hal sebagai berikut :
(a) Menugaskan supervisor produksi untuk setiap harinya mengawasi dan
memantau dalam sanitasi, pencucian tangan yang dapat diamati secara
langsung, misalnya karyawan/personil sebelum masuk ke ruang
pengolahan dan setelah keluar dari toilet;
(b) Melakukan pemasangan penutup (canopy) untuk mencegah adanya
kontaminasi silang dari debu, kotoran dan serangga di atas proses
pembentukan lembaran adonan, proses pemotongan (cutting) dan setelah
keluar dari tahap proses pengeringan sebelum dikemas dengan plastik
jenis PP;
(c) Mengendalikan hama tikus (binatang pengerat) dengan cara memasang
jebakan/perangkap tikus atau menggunakan alat yang menimbulkan
gelombang suara tertentu pada ruang/gudang penyimpanan bahan baku,
ruang pencampuran dan formulasi serta gudang penyimpanan bahan reject
dan produk akhir untuk mencegah binatang pengerat/tikus tersebut
berkeliaran di dalam ruang produksi dan gudang penyimpanan;
(d) Melakukan pemeriksaan kesehatan karyawan secara berkala, khususnya
karyawan produksi yang menangani produk mi kering secara langsung,
direkomendasikan setahun dua kali. Interval dari pemeriksaan kesehatan
karyawan secara berkala ini bisa ditinjau kembali berdasarkan hasil
pemeriksaan yang telah dilakukan;
(e) Menugaskan supervisor produksi untuk setiap harinya memantau
kebersihan karyawan agar terjaga dengan baik dan memperhatikan aspek
sanitasi dan higiene, misalnya pakaian yang kurang lengkap dan kotor,
kebiasaan makan/minum di ruang produksi;
(f) Menugaskan supervisor produksi untuk setiap harinya memantau
kesehatan karyawan yang bisa diamati secara langsung, misalnya penyakit
kulit, flu dan batuk dan lainnya, untuk sementara tidak menangani
langsung produk mi kering;
166
(g) Melakukan pengaturan dan pengelompokan bahan baku, bahan penolong,
produk, kemasan, dan bahan-bahan kimia (chemical, cleaning agents, dan
lain-lain) pada suatu rak/tempat yang tertentu untuk menghindari adanya
kontaminasi silang;
(h) Memperbaiki fasilitas sanitasi dan cuci tangan untuk karyawan/personil,
terutama toilet/urinoir yang sebagian sudah mulai rusak, misalnya pintu,
lantai dan dinding, untuk dibersihkan dan dicat kembali sehingga fasilitas
tersebut menjadi lebih bersih dan higienis;
(i) Meningkatkan efektiftas program pembersihan dan sanitasi di ruang
produksi, misalnya pembersihan sarang laba-laba pada plafon/atap dan
dinding, pembersihan lantai dan mesin-mesin yang digunakan untuk
proses produksi, sehingga dapat menghindari adanya kontaminasi silang;
(j) Melengkapi wadah/bak sampah yang belum ada penutupnya dengan
penutup untuk menghindari adanya kontaminasi silang bakteri yang
dibawa/ditularkan melalui lalat, kecoa, serangga dan tikus;
(k) Peningkatan kesadaran dan sikap karyawan dalam budaya sanitasi dan
higiene di perusahaan dengan program pelatihan yang berkelanjutan,
sehingga sikap dan perilaku karyawan (attitude) dalam menerapkan SOP
dan GMP lebih konsisten.
2. Pengembangan Sistem Manajemen Keamanan Pangan Berdasarkan
HACCP
Untuk pengembangan sistem HACCP pada perusahaan PT Kuala Pangan
direkomendasikan hal-hal sebagai berikut :
a. Melakukan komunikasi eksternal dengan menginformasikan kebijakan
mutu dan keamanan pangan ke para pemasok/supplier perusahaan
sekaligus melakukan audit ke pemasok perusahaan;
b. Melakukan kaji ulang (review) akhir konsep rencana HACCP (HACCP
Plan) yang sudah disusun sebelum melaksanakan implementasinya di
perusahaan PT Kuala Pangan;
c. Melengkapi data validasi terhadap rencana HACCP (HACCP Plan) yang
sudah disusun dan ditetapkan perusahaan selama melakukan uji coba
167
penerapan sistem HACCP sesuai dengan persyaratan SNI 01. 4852-
1998;
d. Melakukan verifikasi terhadap rencana HACCP yang disusun selama
melakukan uji coba penerapan sistem HACCP di perusahaan;
e. Melakukan perbaikan yang diperlukan dan melakukan validasi kembali
jika ada perubahan dalam rencana HACCP tersebut; dan
f. Jika semuanya sudah memenuhi syarat, maka meminta Lembaga/Badan
Sertifikasi Sistem HACCP untuk melakukan sertifikasi terhadap sistem
HACCP yang telah diimplementasikan.
168
VI . KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Hasil evaluasi terhadap kondisi persyaratan kelayakan dasar atau good
manufacturing practice (GMP) di perusahaan PT Kuala Pangan dengan
menggunakan pedoman penerapan GMP yang dikeluarkan oleh Badan POM
tahun 2002 menunjukkan bahwa kondisi persyaratan kelayakan dasar di
perusahaan tersebut terdapat 13 penyimpangan atau ketidaksesuaian dan hasil
penilaiannya masuk dalam tingkat (rating) B, yaitu baik. Ketiga-belas
penyimpangan itu sesuai dengan aturan Badan POM terbagi dalam 3 kategori,
yaitu : 1 (satu) kategori serius, 6 (enam) kategori mayor, dan 6 (enam) kategori
minor.
Ketiga-belas penyimpangan atau ketidaksesuaian tersebut ditinjau dari
aspek (elemen-elemen) GMP terbagi menjadi 7 (tujuh) bagian, yaitu : aspek
bangunan 2 kategori minor, aspek fasilitas sanitasi 3 kategori minor, aspek
peralataan 1 kategori minor, aspek higiene karyawan (kesehatan karyawan,
kebersihan karyawan, kebiasaan karyawan) 1 kategori serius dan 3 kategori
mayor, aspek penyimpanan 1 kategori mayor, aspek pemeliharaan sarana
pengolahan dan sanitasi serta pengendalian hama 1 kategori mayor, serta aspek
manajemen dan pelatihan 1 kategori mayor.
Ketiga-belas penyimpangan pada aspek persyaratan kelayakan dasar atau
GMP tersebut harus diperbaiki dan disempurnakan terlebih dahulu oleh
perusahaan PT Kuala Pangan, sebelum perusahaan yang bersangkutan akan
menerapkan sistem HACCP (hazard analysis critical control point) secara penuh
sesuai dengan persyaratan kelayakan dasar yang ditetapkan dalam SNI 01. 4852-
1998 ; serta untuk mencapai fondasi persyaratan kelayakan dasar yang lebih baik.
Prioritas yang perlu diperbaiki lebih dahulu terhadap aspek persyaratan kelayakan
dasar atau GMP adalah sebagai berikut : Prioritas pertama, berkaitan dengan
aspek higiene karyawan (kesehatan karyawan, kebersihan karyawan dan
kebiasaan karyawan) yang masuk dalam 1 kategori serius dan 3 kategori mayor;
Prioritas kedua berkaitan dengan aspek pemeliharaan sarana pengolahan dan
sanitasi serta pengendalian hama yang masuk dalam 1 kategori mayor, aspek
169
manajemen dan pelatihan yang masuk dalam 1 kategori mayor; dan Prioritas
ketiga/terakhir adalah berkaitan dengan aspek bangunan yang masuk dalam 2
kategori minor dan aspek fasilitas sanitasi yang masuk dalam 3 kategori minor.
Guna menyusun dan mengembangkan rencana HACCP (HACCP Plan)
untuk produksi mi kering di perusahaan PT Kuala Pangan sesuai dengan 12
tahapan langkah yang diterapkan dalam SNI 01.4852-1998 tersebut diperlukan
adanya pelatihan sistem HACCP bagi sumber daya manusia (SDM) yang terlibat
dalam pengelolaan di perusahaan PT Kuala Pangan terlebih dahulu, dengan tujuan
: (a) Meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan keahlian atau kompetensi
personil yang terlibat dalam mengerjakan dan mengelola perusahaan yang
menghasilkan produk mi kering, (b) Meningkatkan kemampuan personil
perusahaan dalam pemahaman dan penerapan sistem keamanan pangan yang
mencakup GMP, SSOP dan sistem HACCP; dan (c) Meningkatkan kesadaran,
sikap (attitude) dan tanggung jawab personil perusahaan dalam menerapkan
persyaratan kelayakan dasar sistem HACCP di perusahaan.
Dari dua belas tahap penyusunan rencana HACCP (HACCP Plan) untuk
produksi mi kering pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor; ada 2 tahap yang
masih perlu diperbaiki dan dikaji kembali (di-review), yaitu pada pembentukan
tim HACCP perusahaan masih perlu mempersiapkan peningkatan kompetensi
personil tim HACCP yang masih kurang lengkap untuk mendukung implementasi
sistem HACCP, misalnya perlu adanya penambahan personil yang ahli di bidang
mikrobiologi dan proses pangan; serta tahap verifikasi berupa persiapan audit
internal dan peninjauan rekaman hasil uji coba implementasi sistem HACCP
untuk mengetahui dan memastikan efektifitas rencana HACCP.
Hasil analisis bahaya untuk produksi mi kering pada PT Kuala Pangan di
Citeureup, Bogor menunjukkan bahwa terdapat 3 jenis bahaya, yaitu bahaya
biologi berupa bakteri patogen E. coli, Salmonella dan Staphylococcus yang
berasal dari bahan baku tepung terigu, tepung telur dan air serta sebagai akibat
adanya kontaminasi dari alat dan karyawan; bahaya kimia berupa logam-logam
berat seperti timbal (Pb), merkuri (Hg), tembaga (Cu) dan cemaran arsen (As)
yang berasal dari tepung terigu, garam dan air; serta bahaya fisik berupa potongan
170
benang, potongan plastik, dan pasir yang berasal dari kontaminasi pada bahan
baku tepung terigu dan garam.
Bahaya biologi berupa bakteri E. coli, Salmonella dan Staphylococcus
yang berasal dari bahan baku tepung terigu, tepung telur, air dan kontaminasi
silang dari alat dan karyawan tersebut di dalam produksi mi kering pada PT Kuala
Pangan di Citeureup, Bogor perlu dipertimbangkan dalam rencana HACCP
sehingga perlu dikendalikan sebagai sebagai titik kendali kritis atau critical
control point (CCP) pada tahap pengeringan pada suhu 90-100oC selama 25-30
menit dengan kecepatan udara pengeringan 2 m/detik; sedang bahaya kimia
berupa cemaran cemaran logam-logam berat seperti timbal (Pb), merkuri (Hg),
tembaga (Cu) dan cemaran arsen (As) pada bahan baku tepung terigu, garam, dan
air tidak perlu dipertimbangkan dalam rencana HACCP tetapi perlu dikendalikan
sebagai control point (CP) dengan cara pemeriksaan terhadap certificate of
analysis (COA) pada setiap penerimaan bahan-bahan tersebut. Bahaya fisik
berupa potongan benang, potongan plastik, dan pasir yang berasal dari bahan baku
tepung terigu dan garam juga perlu dikendalikan sebagai control point (CP)
dengan cara dilakukan pengayakan.
Tahap pada proses pengeringan yang merupakan titik kendali kritis atau
CCP (critical control point) tersebut perlu dilakukan pemantauan (monitoring)
dan pengawasan secara khusus untuk menjamin keamanan produk pangan mi
kering yang dihasilkan perusahaan PT Kuala Pangan. Selain itu, juga harus
dilakukan tindakan koreksi bila ada penyimpangan terhadap batas kritis yang
sudah ditetapkan serta tindakan verifikasi untuk menjamin efektifitas rencana
HACCP (HACCP Plan) yang sudah disusun.
Untuk pengembangan sistem HACCP pada perusahaan PT Kuala Pangan
di Citeureup, Bogor direkomendasikan hal-hal sebagai berikut : (1) Melakukan
kaji ulang (review) dan finalisasi konsep rencana HACCP (HACCP Plan) yang
sudah disusun sebelum melaksanakan implementasinya secara penuh di
perusahaan PT Kuala Pangan; (2) Melengkapi data validasi dan verifikasi
terhadap HACCP Plan yang sudah disusun dan ditetapkan perusahaan selama
melakukan uji coba penerapan sistem HACCP; dan (3) Jika semuanya sudah
memenuhi syarat, maka meminta Lembaga/Badan Sertifikasi Sistem HACCP
171
untuk melakukan sertifikasi terhadap sistem HACCP yang telah
diimplementasikan.
B. SARAN
Guna menghadapi pasar yang semakin kompetitif untuk lima tahun ke
depan terhadap produk yang sejenis dan isu keamanan pangan yang semakin
kompleks serta bahaya keamanan pangannya harus mudah dilacak/ditelusuri,
maka disarankan perlu dikaji pengharmonisasian sistem HACCP ke dalam sistem
manajemen keamanan pangan ISO 22000 pada perusahaan PT Kuala Pangan.
172
DAFTAR PUSTAKA Anggrahini, S. 1997. Aspek Keamanan Penggunaan Bahan Kimia Pada Produk
Pangan. Agritech. Vol. 17 No. 4 : 1-8. Anisyah. 2007. Kajian Paparan Tartrazin Dengan Metode Survei Frekuensi
Konsumsi Pangan Di Wilayah Jakarta Utara. Makalah disajikan dalam Seminar Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 17 Nopember 2007 di Ruang Kutai Baranangsiang, Bogor. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Antle, JM. 1999. The cost of quality in the meat industry : Implications for
HACCP regulation. Paper presented at the NE-165 Conference on Economics of HACCP, June 15-16, 1999. Washington, DC : Food Processor Institute.
Antle, JM. 1995. Choice and Efficiency in Food safety Policy.. Washington, DC :
American Enterprise Institute. Astawan, M. 2005. Mi, Lezat Bergizi tetapi Rawan Formalin.
http://www.ipb.ac.id. [12 Nopember 2007]. Bacon, RT and Sofos, JN. 2003. Microorganism in Foods 5 : Characteristics of
Microbial Pathogens. London : Blackie Academic & Professional. Badan POM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). 2004. Peraturan Pemerintah
(PP) No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Jakarta : Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Bauman, HE. 1995. The Origin and Concept of HACCP. Didalam : Pearson, AM
and Dutson, AT, editor. HACCP In Meat, Poultry and Fish Processing. New York : Champman and Hall, hlm 1-7.
Ben Embarek, PK. 2004. Safe Food Supply and Global Health – WHO’s
Perspective. Proceeding 4th Asian Conference on Food Safety and Nutrition Safety, March 2-5, 2004; Nusa Dua – Bali, Indonesia.
Bernard, DT and Parkinson, NG. 1999. Prerequisite to HACCP. Didalam :
Stevenson, KE and Bernard, DT, editor. HACCP : A Systematic Approach to Food Safety, third edition. Washington, DC : The Food Processors Institute, hlm 25 – 29.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2005. Direktori Industri Pengolahan. Jakarta :
Badan Pusat Statistik.
173
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2002. Panduan Penyusunan Rencana Sistem Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP). Jakarta : Badan Standarisasi Nasional.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2000. Standar Nasional Indonesia (SNI)
01.3556-2000 Garam Beryodium. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006. Standar Nasional Indonesia (SNI)
01.3751-2006 Tepung terigu sebagai bahan makanan. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional.
Brannen, AL and Haggerty, RJ. 2002. Introduction of Food Additives, 2nd Edition.
New York : Marcell Dekker Inc. Bredahl, ME, Norther, JR and Boecker, A. 2001. Consumer demand sparks the
growth of quality assurance schemes in the European food sector. In Changing Structure of Global Food Consumption and Trade. USDA Working Paper. Washington, DC : United State of Department of Agriculture (USDA).
Bryan, FL. 1990. Hazard analysis critical control point (HACCP) concept. Diary,
Food and Environmental Sanitation 10 (7) : 416 – 418. Buckle, KA , Edwards, RA, Fleet, GH dan Wotton, M. 2007. Ilmu Pangan,
cetakan 2007. (Terjemahan oleh Hari Purnomo dan Adiono). Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.
[CAC] Codex Alimentarius Commission. 1997. Hazard Analysis and Critical
Control System and Guidelines for Its Application. Alinorm 97/13A. Rome : Codex Alimentarius Commission.
[CAC] Codex Alimentarius Commission. 2003. Recommended International
Code of Practice : General Principles of Food Hygiene. CAC/RCP 1-1969, Rev.4-2003. Rome : Codex Alimentarius Commission.
[CAC] Codex Alimentarius Commission. 2006. Working Document for
information and support to the discussion on the General Standard for Food Additives. CX/FA 07/39/8. Joint FAO/WHO Food Standards Programme. Rome : CAC.
Caswell, JA, Bredahl, ME and Hooker, NH. 1998. How quality management
metasystems are affecting the food industry. Review of Agricultural Economics, 20 (2) : 547-557.
[CDC] Centre for Disease Control and Prevention. 2001. Update : Outbreaks of
Foodborne Disease in United States. Morbidity – mortality Weekly Report, 50 : 611-612.
174
Cliver, DO. 1992. Overview of Biological, Chemical, and Physical Hazard. Didalam HACCP Principles and Applications, ed. by Pierson, MD and Corlett, DA Jr. New York : Chapman and Hall.
Corlett, DA. 1991. Regulatory Verification of Industrial HACCP System. Food
Technol. 45 (4) : 144 – 146. Corlett, DA. 1991. Monitoring a Hazard Analysis Critical Control Point Systems.
Cereal Foods World 36 (1) : 33 – 40. Corlett, DA. 1992. Overview of Biological, Chemical, and Physical Hazard.
Didalam HACCP Principles and Applications, ed. by Pierson, MD and Corlett, DA Jr. New York : Chapman and Hall.
Darmawan, L. 1994. Proses Pembuatan Mi Instant Sarimi Di PT Indofood Sukses
Makmur, Tangerang, Jawa Barat. (Laporan Kerja Praktek Lapang). Serpong : Jurusan Teknologi Industri Pertanian, ITI.
Departemen Kesehatan. 1998. Kumpulan Peraturan Perundang-undangan di
Bidang Makanan, edisi IV. Jakarta : Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan.
Departemen Kesehatan. 2002. Keputusan Menteri Kesehatan republik Indonesia
Nomor 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum. Jakarta : Departemen Kesehatan.
Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM). 1996. Pedoman
Penerapan Cara Produksi Pangan Yang Baik (CPPB). Jakarta : Ditjen POM, Departemen Kesehatan.
Ditjen Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan, Depperindag dan Fakultas
Teknologi Pertanian – IPB (2003). Teknologi Pembuatan Tepung Telur. Laporan Proyek Pemberdayaan Industri Kecil dan Menengah Kimia, Agro dan Hasil Hutan, Ditjen IKAH. Jakarta : Ditjen IKAH, Depperindag.
Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan. 1996. Pedoman Umum HACCP (Hazard
Analysis Critical Control Point). Jakarta : Ditjen POM, Departemen Kesehatan.
Ditjen Perdagangan Dalam Negeri. 1999. Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta : Ditjen, PDN, Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
Fardiaz, D. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. Bogor : IPB Press.
175
Fardiaz, D. 1996. Proses Termal Dalam Pengendalian Tahap Pengolahan Kritis Untuk Menjamin Keamanan Pangan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta IPB, Bogor. Bogor : Fateta IPB.
Fardiaz, S. 1996. Pengenalan HACCP Pada Industri Pangan. Didalam Pelatihan
Singkat Penerapan Cara Berproduksi Yang Baik dan HACCP, di Palembang, tanggal 10-11 Oktober 1996. Jakarta : Direktorat Jendral Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan, Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
Farina, EMQ and Reardon, T. 2000. Agrifood grades and standards in the
extended Mercosur : their role in the changing agrifood system. American Journal of Agricultural Economics, 82 (5) : 1170-1176.
[FAO] Food and Agricultural Organization. 1981. FAO Plant Production and Protection Series 21 : Cereal and Grain – Legume Seed Processing (Technical Guidelines). Rome : FAO.
[FAO/WHO] Food and Agricultural Organization/World Health Organization.
1997. Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) System and Guidelines for Its Application. Anex to CAC, Rev. 3. Rome : FAO/WHO.
[FDA] Food and Drug Administration. 2001. A State of-the-art Approach to Food
Safety . [bghaccp.htm}. http://www.cfsan.fda.gov/Ird/bghaccp.htm. [2 Okt. 2006].
Fellows, P. 2000. Food Processing Technology : Principles and Practice.
Cambridge : Woodhead Publishing Limited Forsythe, SJ and Hayes, PR. Food Hygiene, Microbiology and HACCP.
Maryland, USA : An Aspen Publication. Gombas, DE, Stevenson, KE and Bernard, DT. 1999. Monitoring Critical Control
Points (CCPs). Didalam : Stevenson,KE and Bernard, DT, editor. HACCP : A Systematic Approach to Food Safety, third edition. Washington, DC : The Food Processors Institute, hlm : 89 – 93.
Gombas, DE and Stevenson, KE. 1999. HACCP Verification and Validation : An
Advanced HACCP Workshop, 2nd ed. Washington, DC : The Food Processors Institute.
Hasibuan, SPM. 1990. Manajemen Dasar, Pengertian dan Masalah. Jakarta : CV
Haji Masagung. Hathaway, S. 1999. Management of Food Safety in international Trade. Food
Control 10 : 247 – 253. Havelar, AH. 1994. Application of HACCP to Drinking Water Supply. Food
Control, 5 : 145-152.
176
Henson, S, Holt, G and Nothern, J. 1999. Costs and Benefits of Implementing
HACCP in UK Dairy Processing Sector. Food Control 10 : 99 –106. Howes, MI., Mc. Wen, S., Griffith, M. and Harris, L. 1996. Food Handler
Certification by Home Study, Measuring Changes in Knowledge and Behaviour. Dairy Food Environ. Sanit., 16 : 737-744.
[ICMSF] International Commission on Microbiological Safety of Foods. 1988.
Microorganism in Foods, Book 4 : Application of the HACCP System to Microbiological Safety and Quality. London : Blackwell Sci. Pub.
[ICMSF] International Commission on Microbiological Safety of Foods. 1992.
Overview of Biological, Chemical, and Physical Hazard. Didalam : HACCP Principles and Applications, ed. By Pierson, MD and Corlett, DA Jr. New York : Chapman and Hall.
[ICMSF] International Commission on Microbiological Safety of Foods. 1996.
Microorganism in Foods, Book 5 : Characteristics of Microbial Pathogens. London : Blackie Academic & Professional.
[ICMSF] International Commission on Microbiological Safety of Foods. 1998.
Microorganism in Foods, Book 6 : Microbial Ecology of Food Commodities. London : Blackie Academic & Professional.
[IFST] Institute of Food Science and Technology. 1991. Food and Drink – Good
Manufacturing Practice, 3rd edition. London : Institute of Food Sci. and Technol.
[ISO] International Organization for Standardization. 2005 a. ISO 22000 : Food
safety management systems- Requirements for any organization in the food chain. Geneva : ISO.
[ISO] International Organization for Standardization. 2005 b. ISO/TS 22004 :
Food safety management systems- Guidance on the application of ISO 22000 : 2005. Geneva : ISO.
Jay, JM. 2000. Modern Food Microbiology, 6th ed. New York : Chapman and
Hall. Jenie, BSL. 1998. Sanitasi Dalam Industri Pangan. Bogor : Pusat Antar
Universitas, IPB. Jenie, BSL. 2007. Sanitasi Dalam Penanganan Pangan. Jakarta : Penerbit
Universitas Terbuka. Jones, F. And Watkins, J. 1985. The Water Cycle as Source of Pathogens. J. Appl.
Bacteriology (Symp. Supplement), 14 : s.27-36.
177
Jouve, JL. 1994. HACCP as Applied in European Economic Community. Food
Control 5 (3) : 181 – 186. Kantor Menpangan (Kantor Menteri Negara Urusan Pangan). 1996. Undang-
Undang RI No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Jakarta : Kantor Menteri Negara Urusan Pangan.
Kantor Menteri Negara Pangan dan Hortikultura. 1999. Peraturan Pemerintah
(PP) No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Jakarta : Kantor Menteri Negara Pangan dan Hortikultura.
Katsuyama, AM and Jantschke, M. 1999. Sanitation and Standard Operating
Procedures. Didalam : Stevenson,KE and Bernard, DT, editor. HACCP : A Systematic Approach to Food Safety, third edition. Washington, DC : The Food Processors Institute, hlm : 31-37.
Lenovich, LM. 1992. Wheat Science and Technology, didalam Encyclopedia of
Food Science and Technology, Vol. 4 : 2823-2834. Mafic, S., Mihokovic, V., Kotusin, RB and Razem, D. 1990. The Eradication of
Salmonella in egg powder by gamma irradiation. J. Food Protect., 53 : 111-114.
Manning, CK. 1994. Food Safety Knowledge and Attitudes of Workers from
Instutional and Temporary Foodserviece Operations. J. Am. Diet Assoc., 94 : 895-897.
Marriott, NG. 1997. Essential of Food Sanitation. New York : Champman and
Hall. Mayes, T. 1994. HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) Training. Food
Control 5 (3) : 190 – 195. Menhutbun. 2000. Sambutan Menteri Kehutanan dan Perkebunan pada Seminar
Apresiasi dan Intepretasi ISO 9000, ISO 14000 dan HACCP Usaha Perkebunan. Hhtp ://www.mofinet.cbn.net.id./seminar [23 Mei 2008].
Mortimore, S. and Wallace, C. 1995. HACCP : A Practical Approach. London :
Chapman and Hall. Motarjemi, Y, Kaferstein, F, Moy, G, Miyagawa, S and Miyagishima, K. 1996.
Importance of HACCP for Public Health and Development : the role of the world health organization. Food Control 7 (2) : 77 – 85.
Motarjemi, Y and Kaferstein, F. 1999. Food Safety, Hazard Analysis and Critical
Control Point and the Increase in Foodborne Diseases : A paradox ?. Food Control 10 : 325 – 333.
178
Muchtadi, TR dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Penuntun Praktikum. Bogor : Pusat Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor (IPB).
Mulya, H. 1988. Beberapa Aspek Teknologi Pembuatan Mie di PT Suba Indah.
Laporan Praktek Lapang. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. [NACMCF] National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods.
1989. Hazard Analysis and Critical Control Point System. Washington, DC : Food Safety and Inspection Service, US Department of Agriculture.
[NACMCF] National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods.
1995. Hazard Analysis and Critical Control Point System. Didalam : Stevenson, KE and Bernard, DT, editor. Establishing Hazard Analysis Critical Control Point Programs : A Workshop Manual. Washington, DC : The Food Processors Institute, hlm : 2-1 – 2-25.
[NACMCF] National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods.
1999. Hazard Analysis and Critical Control Point System and Guidelines for Its Application, Appendix B. Didalam : Stevenson, KE and Bernard, DT, editor. HACCP : A Systematic Approach to Food Safety, third edition. Washington, DC : the Food Processors Institute, hlm : 127 – 132.
NACMCF. 1998. Hazard Analysis and Critical Control Point System and
Guidelines for Its Application. J. Food Protect. 61 : 762 –775. Narvaiz, P., Lescano, G. and Kairiyama, E. 1992. Physio-chemical and sensory
analysis on egg powder irradiated to inactivate Salmonella and reduce microbial load. J. Food Safety, 12 : 263 -282.
Noerthana, OA. 2005. Mempelajari Aspek Proses Produksi Mi Instan di PT
Sentra Food Indonesia, Karawang, Jawa Barat (Laporan Magang). Bogor : Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian – IPB.
Orris, GD. 1999. Equivalence of Food safety Assurance System. Food Control 10
: 255 – 260. Pierson, MD. 1995. An Overview of HACCP and its Application to Animal
Production Food Safety. Paper presented at the HACCP Symposium, Chicago,USA.[PIERSON.HTM]. http://www.cvm.uiuc.edu/HACCP/symp
/PIERSON. HTM. [2 Okt. 2006]. Pribadi, KL. 2004. Penerapan Sistem HACCP pada Produksi Mi Instan di PT
Jakarana Tama Ciawi – Bogor (Laporan Magang). Bogor : Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian - IPB.
179
Pusat Standarisasi Industri Departemen Perindustrian. 1992. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2974-1992 Mi Kering. Jakarta : Pusat Standarisasi Industri, Departemen Perindustrian.
Puspasari, K. 2007. Aplikasi Teknologi dan Bahan Tambahan Pangan Untuk
Meningkatkan Umur Simpan Mie Basah Matang. (Skripsi). Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Ridwan, IN dan Wiriano, H. 1990. Petunjuk Pelaksanaan Teknis Standar Industri
Indonesia Untuk Mie Kering. Bogor : Balai Besar Industri Hasil Pertanian (BBIHP).
Ruitter, DD. 1987. Composite Flours. Didalam Advance in Cereal Science and
Technology, Vol. 2., ed. by Pomeranz, Y. St. Paul –USA : AACC. Sarwono, B. 1994. Pengawetan dan Pemanfaatan Telur (Edisi Revisi). Jakarta :
Penerbit Swadaya. Sax, NI. 1975. Dangerous Properties of Industrial Materials, 4th edition. New
York : Van Nostrand Reinhold, Comp. Sheppard, J, Kipps, M and Thomson, J. 1990. Hygiene and Hazard Analysis in
Food Service. Didalam Cooper, C editor. Progress in Tourism, Recreation and Hospitality Management. London : Belhaven Press, hlm : 192 – 226.
Silva, SD. 2006. ISO 9001 for the food and beverage industry. Daily mirror e-
edition. http://www.dailymirror.lk/2006/11/09/ft/35.asp. [15 Maret 2007]. Sirait, CH. 1986. Telur dan Pengolahannya. Bogor : Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Stevenson, KE. 1999. Introduction to Hazard Analysis Critical Control point.
Didalam : Stevenson, KE and Bernard, DT, editor. HACCP : A Systematic Approach to Food Safet, third edition. Washington, DC : the Food Processors Institute, hlm : 1 – 4.
Stevenson, KE. 1990. Implementing HACCP in Food Industry. Food Technol. 44
(5) : 179 – 182. Stevenson, KE and Bernard, DT. 1999. Organizing and Managing HACCP
Program. Didalam : Stevenson, KE and Bernard, DT, editor. HACCP : A Systematic Approach to Food Safety, third edition. Washington, Dc : the Food Processors Institute, hlm : 111 – 115.
Sudibyo, A, Rahayu, SE, Rohaman, MM, Ridwan, IN, Sirait, SD, Aprianita, N
dan Sutrisniati, D. 2001. Pengembangan dan Penerapan Sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) Pada Industri Pangan di Indonesia. Warta IHP vol. 18 No. 1-2 : 7 – 18.
180
Sudibyo, A dan Sumarsi. 2004. Penelitian Terhadap Kesadaran dan Tanggung
Jawab Industri Pangan Skala Kecil Dalam Memproduksi Pangan Yang Aman dan Bermutu. Warta IHP Vol. 21 No. 1 – 2 : 41 –54.
Sunarya. 1999. Keterkaitan HACCP dan ISO 9000. Makalah Desiminasi
Pelaksanaan Akreditasi dan Sertifikasi HACCP, 7 Desember 1999. Jakarta : Badan Standardisasi Nasional (BSN).
Suprapto. 1999. Sistem Akreditasi dan Sertifikasi HACCP. Makalah Desiminasi
pelaksanaan Akreditasi dan Sertifikasi HACCP, 7 Desember 1999. Jakarta : Badan Standardisasi Nasional (BSN).
Syamsir, E. et al. 2007. Praktikum Terpadu Teknologi Pengeringan : Sweet Potato
Flakes. Bogor : Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Syarief, R. Dan Halid, H. 1993. Teknologi Pengolahan Pangan. Jakarta : Penerbit
Arcan. Syarief, R., Santausa, S. dan Isyana, S. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan.
Bogor : PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor (IPB). Thaheer, H. 2005. Sistem manajemen HACCP (Hazard Analysis Critical Control
Point). Jakarta : PT Bumi Aksara. [WHO] World Health Organization. 1993. Guidelines for the Application of
Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) System. Alinorm 95/13, appendix II. Rome : Codex Alimentarius Commission (CAC) – WHO.
WHO. 1997. Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) System and
Guidelines for Its application. In General Requirements (Food Hygiene) 2nd edition. Supplement Vol. I B. Rome : CAC- WHO , hlm : 33 – 45.
[WHO/FAO] World Health Organization/Food and Agriculture Organization.
1998. Guidance on Regulary Assessment of HACCP : report of a joint FAO/WHO Consultation on the role of government agencies in Assesing HACCP, 2-6 June 1998. Geneva : World Health Organizatiom/Food and Agriculture Organization.
Widyaningsih, TD dan Murtini, ES. 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada
Produk Pangan. Jakarta : Trubus Agrisarana. Winarno, FG. 1989. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Penerbit PT Gramedia. Winarno, FG. 2002. Cara Berproduksi Makanan Yang Baik. Makalah Training
Auditor Sistem HACCP. M-Brio Training. Hotel Salak, 13-17 Mei 2002.
181
Woody, JM, Gravani, RB and Bernard, DT. 1999. HACCP Training. Didalam Stevenson, KE and Bernard, DT, editor. HACCP : A Systematic Approach to Food Safety , third edition. Washington, DC : the Food Processors Institute, hlm : 123 – 126.
Yustiareni, E. 2000. Kajian Substitusi Tepung Terigu oleh Tepung Garut dan
Penambahan tepung Kedelai Dalam Pembuatan Mi Kering. (Skripsi). Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Ziggers, GW. 2000. HACCP, Vertical Coordination and Competitiveness in the
Food Industry. Didalam Unnevehr, editor. The Economic of HACCP : Costs and Benefits. St. Paul, Minnesota, USA : Eagen Press, hlm : 269 – 284.
182
Lampiran 1. Denah Site Plant PT Kuala Pangan, Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor
Keterangan : 1. Pos Satpam 2 s/d 5 Gudang 6. Gudang dan Poliklinik 7. Ruang Pengepakan 8. Ruang Diesel 9. Ruang Boiler 10. Gudang Beras 11. Gudang Terigu 12. Ruang Produksi 13. Gudang Kardus 14. Gedung Olah Raga 15. Gedung Olah Raga
183
Lampiran 2. Struktur Organisasi Perusahaan PT Kuala Pangan
Dewan Komisaris
Direktur Utama
Direktur Pelaksana
Manajer Umum & Pembelian Asisten Keuangan Asisten Umum
Manager Personalia
Manager Akunting
Manager Penjualan
Staf Accounting Salesman
Manager Gudang & Pengiriman
Manager Teknik
Manager Produksi
Staf Pengiriman & Sopir
Boiler Mesin Listrik Bengkel Kepala Packing
Kepala Produks
184
Lampiran 3.Contoh Soal Untuk Evaluasi dan Mengetahui Tingkat Pemahaman Peserta dalam Pelatihan Sistem HACCP di PT Kuala Pangan
A. Lingkarilah Jawaban yang paling tepat untuk pertanyaan-pertanyaan di
bawah ini : 1. Dalam cara produksi pangan yang baik atau good manufacturing practice
(GMP), aspek yang harus diperhatikan adalah : a. Bahan baku b. Penanganan c. Pengolahan d. Seluruh rangkaian proses 2. Kebiasaan yang baik bagi karyawan dalam pengolahan pangan/makanan, yaitu : a. Merokok b. Makan/minum c. Memakai pakaian kerja d. Memakai perhiasan. 3. Program sanitasi (pemeliharaan dan pembersihan) dilakukan pada : a. Peralatan b. Ruang pengolahan c. Lingkungan unit pengolahan d. Jawaban a,b dan c benar. 4. Di bawah ini merupakan bahaya/kontaminasi fisik pada produk, kecuali : a. Residu pestisida b. Pecahan gelas c. Rambut d. Kerikil. 5. Bakteri penghasil racun yang sangat berbahaya terhadap kesehatan manusia,
yaitu : a. Clostridium perfringens b. Listeria monocytogenes c. Escherichia coli d. Clostridium botulinum. 6. Zone suhu berbahaya untuk penyimpanan pangan/makanan, yaitu : a. 35-37oC b. 05-60oC c. Di bawah 5oC d. Di atas 60oC. 7. Faktor kritis yang harus diperhatikan dalam pengendalian proses
pengolahan pangan, antara lain : a. Suhu b. Waktu c. Keasaman d. Jawaban a,b dan c benar. 8. Yang termasuk dalam prinsip HACCP, yaitu : a. Analisis bahaya b. Penanganan bahan baku c. Penetapan CCP d. Verifikasi 9. Yang termasuk bahaya fisik dalam keamanan pangan adalah : a. Residu hormon, sanitaiser, pestisida, dan antibiotik b. Gelas, metal, tulang dan plastik c. Bakteri, jamur, kapang dan parasit d. Bakteri, metal, sanitaiser dan plastik.
185
10. Mana pernyataan di bawah ini yang dapat menjadi sumber
kontaminasi pada produk pangan : a. Telanan (cutting boards) b. Penyimpanan produk pangan mentah yang tidak tepat c.Termometer yang digunakan untuk memberikan suhu internal
pangan d. Semua jawaban di atas benar. 11. Burung tidak diperkenankan ada dalam pabrik pengolahan
pangan/makanan, karena ................................................ a. Kotoran burung mengandung penyakit berbahaya b. Sarang burung sulit dijangkau c. Serangga dapat hidup dalam sarang d. Jawaban a dan c benar. 12. Serangga yang mencemari makanan dengan cara memuntahkan
kembali apa yang telah dimakan adalah .......................................... a. tikus b. Lalat c. kecoa d. ngengat. 13. Bentuk serangga yang paling tahan terhadap fumigasi adalah ............ a. telur b. pupa c. larva d. serangga dewasa. 14. Adanya kecoa dalam pabrik pengolahan pangan merupakan bahaya
serius karena dapat menimbulkan penyakit berikut ini, kecuali ........... a. radang tenggorokan b. Tifus c. luka pada kulit dan borok d. Disentri. 15. Air disebut ”sangat sadah” apabila mengandung CaCO3 (dalam ppm)
sebesar .................. a. > 50 ppm b. > 100 ppm c. 100-200 ppm d. > 200 ppm. 16. Jumlah E. coli yang diizinkan terdapat dalam air adalah ..................... a. < 2,2 /ml dengan teknik MPN b. 1/100 ml dengan teknik membran c. 1/100 ml dengan teknik hitungan cawan total (TPC) d. Jawaban a dan b benar. 17. Sistem Cleaning In Place (CIP) banyak diterapkan untuk .................... a. membersihakan pipa-pipa (vessel) b. proses dingin saja c. peralatan terbuka c. Peralatan kecil 18. Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam penyusunan jadwal pem-
bersihan selain jenis deterjen dan sanitaiser, kecuali ........................ a. Jenis permukaan/peralatan yang akan dibersihkan
186
b. Cara pembersihan yang cocok c. Kapan pembersihan dilakukan; d. Apakah diperlukan evaluasi atau tidak. 19. Aplikasi sinar UV dalam industri pangan terutama untuk sanitasi,
kecuali .................................. a. pisau pemotong roti b. udara ruang penyimpanan c. makanan kaleng d. Wadah plastik. 20. Keuntungan penggunaan senyawa amonium kuarterner adalah
............. a. aktif terhadap mikroba tahan panas b. tidak korosif c. mencegah dan menghilangkan bau d. stabil dengan adanya bahan organik. 21. Yodofor jarang digunakan dalam sanitasi di industri pangan, terutama
karena ....................................... a. korosif terhadap logam b. Mengiritasi kulit c. memberi warna d. Penetrasi buruk. 22. Semua karyawan yang bekerja di bagian proses produksi pangan
harus mencuci tangan dengan menggunakan sabun dan air : a. Sebelum mulai bekerja dan setelah semua selesai bekerja; b. Setelah bersin, batuk, merokok, dan menyentuh rambut ; c. Setelah menggunakan/pergi dari toilet ; d. Setelah menangani bahan-bahanmentah dan merendam peralatan e. Semua jawaban di atas benar. 23. Makan dan merokok tidak diperkenankan di dapur untuk mengolah
pangan atau di tempat proses produksi pangan, karena : a. Kelihatan jelek terhadap pelayanan pelanggan ; b. Kerak/sisa makanan dan abu rokok dapat jatuh ke dalam makanan; c. Menyebabkan polusi terhadap udara; d. Menyentuh mulut dapat mengkontaminasi tangan. 24. Prosedur cuci tangan yang tepat mencakup semua tahapan berikut,
kecuali ................................. a. Menggunakan sabun dan air yang mengalir ketika melakukan
perataan sabun di seluruh tapak tangan ; b. Mencuci seluruh permukaan tangan dan membilasnya kembali
dengan air yang mengalir; c. Mengeringkan tangan dengan tissue sekali pakai/handuk atau
pengering elektris; d. mematikan kran air yang digunakan.
187
25. Metode, prosedur dan uji yang digunakan untuk menentukan sistem
HACCP yang diimplementasikan sesuai dengan rencana HACCP (HACCP Plan) dikenal sebagai ....................
a. Verifikasi b. Penyimpanan rekaman c. Dokumentasi d. Validasi. 26. Salah satu kegiatan dalam penerapan sistem HACCP, adalah ............. a. Penyusunan uraian produk b. Penyusunan program sanitasi c. Evaluasi pemasok/supplier d. Pengendalian hama. 27. Faktor dasar dalam pengendalian keamanan pangan yang
dipersyaratkan ditentukan dengan adanya ......................... a. CP b. CCP c. CP dan CCP d. GMP. 28. Pengendalian hama dapat dilakukan dengan memakai seperti di
bawah ini, kecuali : a. Kasa jendela b. Pintu c. Umpan hama d. Cahaya lampu 29. Yang termasuk bahaya kimia dalam sistem HACCP, adalah ................. a. Bahan pembersih (sanitaiser) b. Minyak pelumas c. Toksin d. Jawaban a, b dan c benar. 30. Jika terjadi penyimpangan dalam proses pengolahan pangan, perlu
dilakukan .......................................... a. Proses dihentikan b. Pemusnahan produk c. Tindakan koreksi d. Re-proses produk. 31. Analisis bahaya dalam sistem HACCP terdiri dari tahap-tahap : a. Identifikasi potensi bahaya b. Evaluasi potensi bahaya c. Pencegahan potensi bahaya d. Jawaban a,b, dan c benar. 32. Yang termasuk kegiatan verifikasi dalam sistem HACCP adalah : a. Tinjauan rekaman monitoring b. Daftar potensi bahaya c. Pengendalian hama d. Rekaman monitoring CCP. 33. Pemantauan (monitoring) rakaman/catatan adalah : a. Mempunyai sedikit nilai dalam historinya b. Mempunyai sedikit nilai dalam penentuan kecenderungan c. Tidak diperlukan pengesahan oleh orang yang melakukan pemantauan; d. Harus dilengkapi dan ditandatangani pada saat melakukan pemantauan. 34. Rekaman validasi dalam sistem HACCP : a. Harus lebih realistis daripada ilmiahnya b. Harus berdasarkan secara ilmiah c. Merupakan nilai yang kecil dalam proses verifikasi
188
d. Perlu pengesahan dari operator proses yang spesifik. 35. Perlu diperhatikan oleh perusahaan bahwa pengkajian kembali
rencana HACCP (HACCP Plan) dilakukan : a. Paling sedikit 1 tahun sekali b. Setiap enam bulan c. Setiap dua tahun sekali d. Setiap tiga tahun. B. Pernyataan-pernyataan di bawah ini Benar (B) atau Salah (S). 1. Karyawan/pekerja pengolahan pangan diperbolehkan makan dan
minum di area produksi/pengolahan (.......). 2. Mencuci tangan seharusnya dilakukan sebelum dan sesudah
mengolah pangan/makanan (......). 3. Penerapan sistem HACCP dapat dilaksanakan di semua pabrik
terkecuali pabrik pangan (......). 4. GMP atau good manufacturing practice bukan merupakan pra-syarat
dasar (prerequisite programs) dalam penerapan sistem HACCP (.....). 5. Setiap bahan baku seharusnya diperiksa/diuji dalam aspek mutu dan
keamanannya (.....). 6. Makanan dan bahan kimia pembersih (sanitaiser) dapat disimpan
dalam satu ruangan penyimpanan (......). 7. Titik kendali kritis atau CCP seharusnya diidentifikasi di setiap tahap
dalam rantai produksi pangan (.......). 8. Diagram alir proes (flow chart) tidak perlu diverifikasi dalam kegiatan
pengolahan pangan di pabrik (.......). 9. Dokumentasi/rekaman merupakan salah satu prinsip-prinsip sistem
manajemen HACCP (.......). 10. Kegiatan sanitasi peralatan dan ruang pengolahan pangan dapat
mencegah terjadinya kontaminasi silang (.......). C. Berikan Uraian Singkat Untuk Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini! 1. Aspek apa saja yang harus dipertimbangkan dalam penerapan GMP
atau good manufacturing practice ? 2. Mengapa penerapan sistem HACCP dapat memberikan keuntungan
bagi perusahaan ?
189
3. Apa saja yang tercakup dalam prinsip manajemen keamanan pangan
berdasarkan sistem HACCP ? 4. Bahaya apa saja yang harus dianalisis dan dikaji dalam sistem
manajemen keamanan pangan berdasarkan HACCP ? 5. Aspek apa saja yang harus diperhatikan dalam pemantauan/monitoring
pada titik kendali kritis atau CCP ?.
190
Lampiran 4. Contoh Formulir/Lembar Kertas Kerja Pernyataan Kebijakan Mutu dan Keamanan Pangan Perusahaan
PT KUALA PANGAN KEBIJAKAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN
Departemen : ................. No. Dokumen : ................................... Tanggal Terbit : ................. Revisi : ..................... Halaman : ...../......
Isi Pernyataan Kebijakan Mutu dan Keamanan Pangan : ...................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................
.................................................................................................................................
.................................................................................................................................
.................................................................................................................................
.................................................................................................................................
.................................................................................................................................
.................................................................................................................................
.................................................................................................................................
Disiapkan oleh : .................................. Disahkan oleh : ..............................
Bagian : ...................................
Presiden Direktur : ..............................
191
Lampiran 5. Contoh Formulir/Lembar Kertas Kerja Pembentukan Struktur Organisasi dan Uraian Tugas Tim HACCP
PT KUALA PANGAN KEBIJAKAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN
Departemen : ................. No. Dokumen : ................................... Tanggal Terbit : ................. Revisi : ..................... Halaman : ...../......
Struktur Organisasi Tim HACCP :
Ketua : ................................................................... Wakil Ketua : ................................................................... Sekretaris : ................................................................... Anggota : 1 . .............................................................. 2. ............................................................... 3. ............................................................... 4. ............................................................... 5. ............................................................... 1. Ketua Tim selaku .............................., mempunyai tugas dan tanggung jawab : a. ...................................................................................................................... b. ...................................................................................................................... c. ...................................................................................................................... d. ...................................................................................................................... 2. Wakil Ketua selaku ..........................., mempunyai tugas dan tanggung jawab : a. ...................................................................................................................... b. ...................................................................................................................... c. ...................................................................................................................... d. ...................................................................................................................... 3. Sekretaris selaku ............................., mempunyai tugas dan tanggung jawab : a. ....................................................................................................................... b. ....................................................................................................................... c. ....................................................................................................................... 4. Anggota Tim, mempunyai tugas dantanggung jawab : a. ........................................................................................................................ b. ........................................................................................................................ c. ........................................................................................................................ Disiapkan oleh : ................................... Disahkan oleh : ............................... QC Mgr : ...................................
Presiden Direktur : ...............................
192
Lampiran 6. Contoh Formulir/Lembar Kertas Kerja Deskripsi Produk
PT KUALA PANGAN DESKRIPSI PRODUK Departemen : ................. No. Dokumen : ................................... Tanggal Terbit : ................. Revisi : ..................... Halaman : ...../...... No. Keterangan Uraian produk 1. Nama Produk Mi Kering, merk ........................................................... 2. Kategori Produk Makanan 3. Komposisi 1. Tepung terigu
2. Garam dapur 3. Tepung telur 4. Air 5. BTP (Nat. dan kalium karbonat, pewarna tartrazin)
4. Bahan dan Cara Pengolahan produk
.....................................................................................
.....................................................................................
.....................................................................................
.....................................................................................
.....................................................................................
.....................................................................................
.....................................................................................
5. Penggunaan produk Petunjuk penggunaan produk dicantumkan pada label kemasan, yaitu dikonsumsi dengan cara dimasak lebih dahulu dalam air mendidih
6. Kemasan produk Dikemas dalam plastik jenis PP dengan bobot netto 200 gram, dimasukkan dalam karton dengan isi 20 bungkus per kotak karton.
7. Metode Pengawetan Pengukusan dan pengeringan 8. Syarat Penyimpanan Disimpan di tempat kering dan tidak lembab 9. Masa Kadaluwarsa 1 (satu) tahun pada suhu kamar 10. Sasaran pengguna/
konsumen Produk ini dapat dikonsumsi oleh semua orang termasuk oleh kelompok berisiko tinggi dan tidak ditujukan secara khusus untuk kelompok tertentu
11. Lokasi Penjualan Toko-toko makanan, Swalayan, Warung 12. Cara Distribusi Dengan alat transportasi truk tertutup rapat (darat)
dan container (tranportasi laut) Disiapkan oleh : ................................... Disahkan oleh : ............................... QC Mgr : ...................................
Presiden Direktur : ...............................
193
Lampiran 7. Contoh Formulir/Lembar Kertas Kerja Pembuatan Diagram Alir Proses Produksi
PT KUALA PANGAN DIAGRAM ALIR PROSES PRODUKSI MI KERING
Departemen : ................. No. Dokumen : ................................... Tanggal Terbit : ................. Revisi : ..................... Halaman : ...../...... Disiapkan oleh : ................................... Disahkan oleh : ............................... Bagian Produksi : .................................
Presiden Direktur : ...............................
194
Lampiran 8. Formulir/Lembar Kertas Kerja Analisis dan Evaluasi Bahaya Untuk Pengembangan Sistem Manajemen Keamanan Pangan Berdasarkan HACCP
Peluang (P), Keparahan (S)
dan Signifikansi Bahaya (Y/N)
Langkah Proses/ Bahan
Potensi Bahaya yang mungkin timbul atau berkembang (biologis, kimiawi, fisik) : Uraikan
Penyebab/Justifikasi Bahaya P
(H,M, L) S
(h,m,l) Y/N
Tindakan pencegahan (Untuk mencegah atau meminimalkan timbulnya bahaya yang telah
diidentifikasi)
B : .............................. K : .............................. F : ...............................
B : .............................. K : .............................. F : ..............................
B : .............................. K : .............................. F : ..............................
B : .............................. K : .............................. F : ..............................
B : .............................. K : .............................. F : ..............................
B : .............................. K : .............................. F : ..............................
B : .............................. K : .............................. F : ..............................
195
Lampiran 9. Formulir/Lembar Kertas Kerja Penentuan/Penetapan Titik Kendali Kritis (CCP) Untuk Pengembangan Sistem Manajemen Keamanan Pangan Berdasarkan Sistem HACCP
Tahap/Langkah Proses
Deskripsi bahaya yg mungkin timbul Biologi (B) : Kimiawi (K) : Fisik (F) :
P1. Adakah tindakan pengendalian? Bila YA, lanjut ke P2. Bila TIDAK, lanjut ke pertanyaan : Adakah pengendalian pd tahap ini perlu untuk pengamanan ? Bila YA, Lakukan modifikasi tahapan proses atau produk. Bila TIDAK, bukan CCP.
P2. Apakah tahapan ini dirancang spesifik untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya yg mungkin terjadi sampai tingkatan yg dpt diterima ? Bila TIDAK, lanjut ke P3. Bila YA, CCP
P3. Dapatkah konta-minasi dgn bahaya yg diidentifkasi terjadi melebihi tingkatan yg dpt diterima atau dapat-kah ini meningkat sampai tingkatan yg tdk dpt diterima ? Bila TIDAK, bukan CCP. Bila YA, lanjut ke P4.
P4. Akankah tahapan berikutnya menghi-langkan bahaya yg teridentifikasi atau mengurangi tingkat-an kemungkinan terjadinya sampai tingkatan yg dpt diterima ? Bila YA, Bukan CCP. Bila TIDAK, CCP.
CCP/Bukan CCP
196
Lampiran 10. Formulir/Lembar Kertas Kerja Untuk Pengendalian dan Pemantauan Rencana HACCP (HACCP Plan) pada Perusahaan yang akan Menerapkan Sistem HACCP
Pemantauan/Monitoring CCP Tahap Proses Bahaya yang
signifikan terdidentifkasi
Batas Kritis Kegiatan Apa Bagaimana Kapan Siapa
Tindakan Koreksi
Tindakan Verifikasi
Rekaman (Record)
197
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan CPPB atau GMP Sarana Produksi Pangan pada PT Kuala Pangan, di Citeureup, Bogor
No. Aspek yang dinilai Minor Mayor Serius Kritis OK Keterangan I. KETENTUAN UMUM
A. PIMPINAN MANAJEMEN 1. Pimpinan tidak mempunyai wawasan
tentang manajemen keamanan pangan x
2. Tidak berkeinginan bekerja sama dengan inspektur, a.l. tidak menerima pengawas dengan sepenuh hati dan tidak mau menunjukkkan data yang diperlukan oleh inspektur
x
√
B. SANITASI DAN HIGIENE KARYAWAN 3. Manajemen unit pengolahan tidak
memiliki tindakan-tindakan efektif untuk mencegah karyawan yang diketahui mengidap penyakit yang dapat mengkontaminasi produk (luka, TBC, hepatitis, tifus, dsb)
x
Tidak memiliki tindakan efektif untuk mencegah karyawan yang sakit
4. Pelatihan pekerja dalam hal sanitasi dan higiene tidak cukup
x √
5. Tidak ada supervisor (penyelia) kesehatan dan kebersihan karyawan
x √
Perilaku karyawan 6. Kebersihan karyawan tidak dijaga
dengan baik dan tidak memperhatikan aspek sanitasi dan higiene (seperti pakian kurang lengkap dan kotor, meludah di ruang pengolahan, merookok, kuku berkitek, kotor/panjang dan lain-lain)
x
Pakaian kerja ada yang kotor, ada karyawan yang kukunya berkitek
7. Perilaku karyawan tidak mampu mengurangi dan mencegah kontaminasi, baik dari mikroba maupun benda asing lainnya
x
√
Sanitasi Karyawan 8. Pakaian kerja tidak dipakai dengan benar
dan tidak bersih x √
9. Tidak ada pengawasan dalam sanitasi, pencucian tangan dan kaki sebelum masuk ruang pengoalhan dan setelah keluar dari toilet
x
Tidak ada penga-wasan dalam hal sanitasi
Sumber Infeksi 10. Karyawan tidak bebas dari penyakit kulit
atau luka yang terbuka atau penyakit menular lainnya
x
√
II. BANGUNAN DAN FASILITAS 11. Rancang Bangun, bahan-bahan atau
konstruksinya menghambat program sanitasi
x
√
12. Rancang bangun tidak sesuai dengan jenis pangan/tempat yang diproduksi
x Desain penutup untuk perlin-dungan produk di bagian sebelum pengukusan tidak sesuai
13. Luas pabrik tidak sesuai dengan kapasitas produksi
x √
14. Bangunan dalam keadaan tidak terawat x √ 15. Tidak ada fasilitas atau usaha lain untuk
mencegah binatang atau serangga masuk ke dalam pabrik (kisi-kisi, kasa penutup lubang angin, tirai udara-air curtain, tirai plastik atau tirai air-water curtain) kalaupun ada tidak efektif
x
√
16. Tata ruang tidak sesuai alur proses produksi
x √
17. Tidak ada ruang istirahat, jika ada tidak memenuhi persyaratan kesehatan
x √
198
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan CPPB atau GMP Sarana Produksi Pangan pada PT Kuala Pangan, di Citeureup, Bogor (Lanjutan)
No. Aspek yang dinilai Minor Mayor Serius Kritis OK Keterangan B. KONSTRUKSI DAN DESAIN RUANG PENGOLAHAN 18. Ruang pengolahan berhubungan
langsung/terbuka dengan tempat tinggal, garasi dan bengkel
x
√
Lantai
19. Terbuat dari bahan yang tidak mudah diperbaiki/dicuci atau rusak
x √
20. Pelatihan pekerja dalam hal sanitasi dan higiene tidak cukup
x √
21. Pertemuan antara lantai dan dinding tidak mudah dibersihkan (tidak ada lengkungan/siku-siku)
x
Pertemuan antara lantai dan dinding dalam bentuk siku
22. Kemiringan tidak sesuai x √
23. Tidak kedap air x √ Dinding 24. Dinding tidak kedap air sampai pada
ketinggian minimal 1,70 meter x √
25. Terbuat dari bahan yang tidak mudah diperbaiki/dicuci
x
√
26. Konstruksi tidak sesuai persyaratan teknik sanitasi dan higiene (tidak halus, tidak kuat, retak, cat mudah mengelupas)
x
√
27. Rancang Bangun, bahan-bahan atau konstruksinya menghambat program sanitasi
x
Pertemuan antara lantai dan dinding dalam bentuk siku
Langit-langit 28. Tidak ada langit-langit atau plafon di
tempat tertentu yang diperlukan x √
29. Langit-langit/plafon tidak bebas dari kemungkinan catnya mengelupas/rontok atau ada kondensasi
x
√
30. Tidak kedap air x √ 31. Tidak rata, retak, bocor, berlubang x √ 32. Ketinggian kurang dari 2,40 m x √ Penerangan 33. Intensitas cahaya penerangan tidak
cukup, atau menyilaukan x √ R. pengolahan 20
fc (220 flux); Tempat pemerik-saaan 50 fc (540 flux); Tempat lain 10 fc (110 flux)
34. Lampu di ruang pengolahan, penyimpanan material dan pengemasan tidak aman (tanpa pelindung)
x
√
Ventilasi 35. Terjadi akumulasi kondensasi di atas
ruang pengolahan, pengemasan dan penyimpanan bahan
x
√
36. Terdapat kapang (mold), asap dan bau yang mengganggu di ruang pengolahan
x √
199
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan CPPB atau GMP Sarana Produksi Pangan pada PT Kuala Pangan, di Citeureup, Bogor (Lanjutan)
No. Aspek yang dinilai Minor Mayor Serius Kritis OK Keterangan C. GUDANG BIASA (KERING) 37. Tidak menggunakan tempat
penyimpanan seperti pallet, lemari, kabinet rak, dan lain-lain yang dibutuhkan untuk mencegah kontaminasi
x
√
38. Metode penyimpanan bahan berpeluang terjadinya kontaminasi
x
√
39. Fasilitas penyimpanan tidak bersih, tidak saniter dan tidak dirawat dengan baik
x √
40. Penempatan barang tidak teratur dan tidak dipisahkan (penyimpanan bahan pengemas dan bahan-bahan lain, kmia dan bahan berbahaya dan lain-lain)
x
Ditemukan bahan kimia sanitaiser dan bahan pelu-mas yang disim-pan di bahan baku
Pencegahan serangga, tikus dan binatang lain 41. Tidak ada pengendalian untuk mencegah
serangga, tikus dan binatang pengganggu lainnya di gudang
x √
42. Pencegahan serangga , burung, tikus dan binatang lain tidak efektif
x Pencegahan tikus belum efektif
Ventilasi 43. Ventilasi tidak berfungsi dengan baik x
√
D. GUDANG BEKU, DINGIN (APABILA DIGUNAKAN) Kontrol Sanitasi 44. Metode penyimpanan bahan-bahan
berpeluang terjadinya kontaminasi x √
45. Fasilitas penyimpanan tidak bersih, saniter, dan tidak dirawat dengan baik
x √
46. Tidak ada pemisahan barang secara teratur
x √
Pencegahan serangga, tikus dan binatang lain 47. Tidak ada pengendalian untuk mencegah
serangga di gudang x √
48. Pencegahan serangga, burung, tikus dan binatang lain tidak efektif
x √
Kontrol Suhu 49. Produk beku tidak terlindung dari
peningkatan suhu
x
Tidak berlaku
50. Ruang penyimpanan tidak dilengkapi dengan kontrol suhu
x √
51. Ada bahan yang mengandung zat logam disimpan dengan produk
x √
52. Ruang penyimpanan produk tidak dioperasikan pada suhu yang dipersyaratkan
x
√
E. GUDANG KEMASAN DAN PRODUK Kontrol Sanitasi 53. Tidak menggunakan tempat penyim-
panan seperti pallet atau rak dan lain-lain yang dibutuhkan untuk mencegah kontaminasi
x
√
54. Metode penyimpanan bahan-bahan berpeluang terjadinya kontaminasi
x √
55. Fasilitas penyimpanan tidak bersih, tidak saniter dan tidak dirawat dengan baik
x √
56. Wadah atau pengemas tidak disimpan pada tempat yang bersih, rapih dan terlindung dari kontaminasi
x
√
57. Tidak terpisah pada tempat khusus x √
200
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan CPPB atau GMP Sarana Produksi Pangan pada PT Kuala Pangan, di Citeureup, Bogor (Lanjutan)
No. Aspek yang dinilai Minor Mayor Serius Kritis OK Keterangan Pencegahan serangga, tikus dan binatang lain 58. Tidak ada pengendalian untuk mencegah
serangga, tikus dan binatang pengganggu lainnya di gudang
x
√
59. Pencegahan serangga, burung, tikus dan binatang lain tidak efektif
x √
Ventilasi 60. Ventilasi tidak berfungsi dengan baik x √ F. SANITASI LOKASI 61. Lingkungan berada di lokasi tidak bebas
banjir (dekat sungai, rawa, dan lain-lain) x √
62. Lingkungan tidak bebas dari semak belukar/rumput liar
x √
63. Lingkungan tidak bebas dari sampah, dan barang-barang tak berguna di areal pabrik maupun di luarnya
x
√
64. Tidak ada tempat sampah di sekitar lingkungan pabrik ataau tempat sampah ada tetapi tidak dirawat dengan baik
x
√
65. Bangunan yang digunakan untuk menaruh perlengkapan tidak teratur, tidak terawat dan tidak mudah dibersihkan
x
√
66. Ada tempat pemeliharaan hewan yang memungkinkan menjadi sumber kontaminasi
x
√
67. Terdapat debu, asap, bau yang berlebihan di jalanan, tempat parkir atau sekeliling pabrik
x
√
G. SANITASI LINGKUNGAN : PEMBUANGAN LIMBAH DI PABRIK 68. Limbah cair tidak ditangani dengan baik x √ 69. Limbah produksi atau sisa-sisa produksi
tidak dikumpulkan dan tidak ditangani dengan baik
x
√
70. Limbah kering/padat tidak ditangani dan dikumpulkan pada wadah yang baik dan mencukupi jumlahnya untuk seluruh pabrik
x
√
71. Konstruksi tempat pembuangan limbah selayaknya
x √
Tempat sampah dalam pabrik 72. Jumlah tempat sampah tidak memadain x √ 73. Tempat/wadah sampah tidak ada
penutupnya dan label yang jelas x
Saluran/pembuangan dalam pabrik 74. Sistem pembuangan limbah cair/saluran
dalam pabrik kurang baik x √
75. Kapasitas saluran dalam pabrik tidak mencukupi
x √
76. Dinding saluran air tidak halus dan tidak mencukupi
x √
77. Saluran pembuangan tidak tertutup dan tidak dilengkapi bak kontrol dan alirannya terhambat oleh kotoran fisik
x √
78. Tidak dilengkk mencegah masuknya air ke dalam pabrik
x √
H. SANITASI LINGKUNGAN : INVESTASI BURUNG, SERANGGA ATAU BINTANG LAIN 79. Tidak ada pengendalian utk mencegah
serangga, tikus dan binatang pengganggu lainnya di lingkungan pabrik
x
√
80 Pencegahan serangga, burung, tikus dan binatang lain tidak efektif
x √
201
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan CPPB atau GMP Sarana Produksi Pangan pada PT Kuala Pangan, di Citeureup, Bogor (Lanjutan)
No. Aspek yang dinilai Minor Mayor Serius Kritis OK Keterangan I. FASILITAS PABRIK Fasilitas Cuci tangan dan Kaki 81. Tidak ada tempat cuci tangan maupun
bak cuci kaki, kalau ada tidak mencukupi
x
√
82. Tempat cuci tangan dan bak cuci kaki tidak mudah dijangkau atau tidak ditempatkan secara layak
x
√
83. Fasilitas pencucian (sabun, pengering, dan lain-lain) tidak disediakan
x
Tidak ada sabun dan lap/pengering
84. Tidak ada tanda peringatan pencucian tangan sebelum bekerja atau setelah dari toilet
x
Tidak ada tanda peringatan
85. Peralatan pencucian tangan tidak cukup/tidak lengkap
x √
Toilet/Urinoir Karyawan 86. Tidak ada fasilitas/bahan untuk
pencucian seperti tissue, sabun (cair) dan pengering atau tidak ada peringatan agar karyawan mencuci tangan mereka setelah menggunakan toilet
x
√
87. Peralatan toilet tidak lengkap
x √
88. Jumlah toilet tidak mencukupi sebagaimana yang dipersyaratkan
x
√
1 toilet : 1-10 org; 2 toilet : 11-25 org; penambahan 1 toilet untuk setiap 20 orang
89. Pintu toilet berhubungan langsung dengan ruang pengolahan
x
√
90. Konstruksi toilet tidak layak (lantai, dinding, langit-langit, pintu, ventilasi, dll)
x
√
91. Tidak dilengkapi dengan saluran pembuangan
x √
92. Toilet tidak terawat atau digunakan untuk keperluan lain
x
Pintu ada yang rusak & perlu perbaikan
P3K/Klinik/Fasilitas Keamanan Kerja 93. Tak tersedia P3K atau fasilitas
keamanan/kesehatan kerja (klinik) yang memadai
x
√
94. Fasilitas klinik pabrik tidak digunakan untuk cek up rutin seluruh karyawan khususnya di bagian produksi
x
Tidak digunakan cek up rutin oleh karyawan bagian produksi
J. PASOKAN AIR Sumber Air 95. Pasokan air panas atau dingin tidak
cukup x √
96. Air tidak mudah dijangkau/disediakan x √ 97. Air dapat terkontaminasi, misalnya
hubungan silang antara air kotor dengan air bersih, sanitasi lingkungan
x
√
Treatment Air 98. Air bak tidak layak digunakan (potable)
tidak dilakukan pengujian secara berkala x √
99. Air tidak mendapat persetujuan dari pihak berwenang untuk digunakan sebagai bahan untuk pengolahan (tidak ada hasil uji)
x
√
202
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan CPPB atau GMP Sarana Produksi Pangan pada PT Kuala Pangan, di Citeureup, Bogor (Lanjutan)
No. Aspek yang dinilai Minor Mayor Serius Kritis OK Keterangan Es (Apabila digunakan) 100. Tidak terbuat dari air yang memenuhi
persyaratan (potable water)
x Tidak berlaku
101. Tidak dibuat dari air yang telah diizinkan x
Tidak berlaku
102. Tidak dibuat, ditangani, dan digunakan sesuai persyaratan sanitasi
x Tidak berlaku
103. Digunakan kembali untuk bahan baku yang diproses berikutnya
x Tidak berlaku
K. OPERASIONAL SANITASI DI PABRIK Program Sanitasi 104. Tidak ada program sanitasi yang efektif
di unit pengolahan
x √
105. Kontrol sanitasi tidak efektif melindungi produk dari kontaminasi
x √
106. Peralatan dan wadah tidak dicuci dan disanitasi sebelum digunakan
x √
107. Metode pembersihan/pencucian tidak mencegah kontaminasi terhadap produk
x
√
L. PENCEGAHAN BINATANG PENGGANGGU/SERANGGA DALAM PABRIK 108. Ruang dan tempat yang digunakan untuk
penerimaan, pengolahan dan penyim-panan bahan baku/produk akhir tidak dipelihara kebersihan dan sanitasinya
x
√
109. Tidak ada pengendalian untuk mencegah masuknya serangga, tikus dan binatang pengganggu lainnya di dalam pabrik
x
√
110. Pencegahan serangga, burung, tikus, dan binatang lain tidak efektif di dalam pabrik
x
√
111. Binatang peliharaan tidak dicegah masuk ke dalam pabrik
x √
112. Penggunaan obat pembasmi serangga tikus, binatang pengerat lain, serta kapang tidak efektif (pestisida, insektisida, fungisida, bahan repellent)
x
√
M. PENGGUNAAN BAHAN KIMIA Insektisida/Rodentisida/Pestisida 113. Insektisida/rodentisida/pestisida tidak
sesuai dengan persyaratan x √
Bahan Kimia/Sanitaiser/Deterjen dan lain-lain 114. Bahan kimia tidak digunakan sesuai
metode yang dipersyaratkan x
√
115. Bahan kimia, sanitaiser dan bahan tambahan tidak diberi label dan disimpan dengan baik
x
√
116. Penggunaan bahan kimia yang tidak diizinkan
x √
III. PERALATAN Peralatan Produksi Sanitasi 117. Permukaan peralataan, wadah dan alat-
alat lain yang kontak dengan produk tidak dibuat dari bahan yang sesuai seperti : halus, tahan karat, tahan air dan tahan terhadap bahan kimia
x
√
118. Bahan yang terbuat dari kayu tidak dilapisi dengan bahan yang tidak berbahaya dan atau kedap air
x
√
203
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan CPPB atau GMP Sarana Produksi Pangan pada PT Kuala Pangan, di Citeureup, Bogor (Lanjutan)
No. Aspek yang dinilai Minor Mayor Serius Kritis OK Keterangan Desain 119. Rancang bangun, konstruksi dan
penempatan peralatan serta wadah tidak menjamin sanitasi dan tidak dapat dibersihkan secara efektif
x
√
120. Peralatan dan wadah yang masih digunakan tidak dirawat dengan baik
x √
121. Perlengkapan monitoring suhu, kelembaban, pH dan lain-lain tidak berfungsi dengan baik
x
√
Peralatan yang tidak dipakai lagi 122. Tidak ada program pemantauan untuk
membuang wadah dan peralatan yang sudah rusak/tidak digunakan lagi
x
Ada alat yang disimpan di ruang dekat dengan pro-ses produksi
Kecukupan 123. Peralatan kebersihan tidak sesuai
kapasitas produksi atau tidak cukup tersedia
x
√
Penyuci-hamaan Peralatan 124. Tidak dilakukan penyuci-hamaan
(pensterilan) peralatan yang efektif
x √
IV. PRODUKSI DAN PENGENDALIAN PROSES A. PENANGANAN BAHAN BAKU DAN BAHAN TAMBAHAN LAIN Bahan Baku 125. Penerimaan bahan baku tidak dilakukan
dengan baik, dan tidak dilindungi dari kontaminan atau pengaruh lingkungan yang tidak sehat
x
√
126. Spesifikasi bahan baku dan bahan tambahan tidak ada
x
√
127. Tidak dilakukan pengujian mutu sebelum diolah/diproses
x √
128. Bahan baku tidak sesuai standar sehingga membahayakan kesehatan manusia
x √
129. Pencatatan dan pemberian label tidak dilakukan dengan benar
x √
130. Penyimpanan bahan baku pada kondisi yang tidak tepat/sesuai
x √
131. Bahan baku yang datang terlebih dahulu tidak diproses lebih dahulu sistem FIFO = First In First Out)
x
√
Bahan Tambahan Pangan 132. Bahan tambahan pangan (BTP) tidak
sesuai dengan aturan x √
Bahan Kemasan 133. Bahan kemasan beracun, membentuk
racunn atau dapat menimbulkan penyimpangan yang membahayakan kesehatan
x
√
B. PENGENDALIAN PROSES PRODUKSI Proses Produksi 134. Campuran bahan baku tidak sesuai
dengan spesifikasi x √
135. Pengawasan di setiap tahapan proses yang kritis tidak dilakukan
x
136. Penanganan bahan baku ataupun produk dari tahap satu ke tahap berikutnya tidak dilakukan secara hati-hati, higienis dan saniter
x
√
204
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan CPPB atau GMP Sarana Produksi Pangan pada PT Kuala Pangan, di Citeureup, Bogor (Lanjutan)
No. Aspek yang dinilai Minor Mayor Serius Kritis OK Keterangan Proses Produksi 137. Penanganan produk yang sedang
menunggu giliran untuk diproses tidak disimpan/dikumpulkan di tempat yang saniter
x
√
138. Proses pengolahan/pengawetan dilaku-kan tidak sesuai dengan jenis produk dan suhu serta waktunya tidak sesuai dengan persyaratan
x √
139. Produk akhir tidak mempunyai ukuran dan bentuk yang teratur
x
√
Pengemasan 140. Produk akhir tidak dikemas dan atau
diwadahi dengan cepat, tepat dan saniter
x √
141. Sistem pemberian etiket atau kode-kode yang dapat membantu identifikasi produk tidak dilakukan
x
√
142. Produk akhir tidak diberi label yang memuat : jenis produk, nama perusahaan pembuat, ukuran, tipe, grade (tingkatan mutu), tanggal kadaluwarsa, berat bersih, nama bahan tambahan pangan yang dipakai, kode produksi atau persyaratan lain
x
√
143. Produk akhir tidak dilakukan pengujian mutu sebelum diedarkan/dipasarkan
x √
Penyimpanan 144. Kondidi penyimpanan tidak mampu
melindungi produk akhir dari kerusakan dan kontaminasi
x
√
145. Penyimpanan produk akhir dan bahan baku tidak dipisahkan
x
√
146. Susunan produk akhir tidak memungkinkan produk akhir yang lebih lama disimpan dikeluarkan terlebih dahulu (tidak mengikuti sistem FIFO)
x
√
Penyimpanan Bahan Berbahaya (Apabila ada) 147. Disimpan tersendiri dan dapat terhindar
dari hal-hal yang dapat membahayakan x √
148. Tidak ada tanda peringatan x √
Pengangkutan dan Distribusi 149. Kendaraan (kontainer) yang dipakai
untuk mengangkut produk akhir tidak mampu mempertahankan kondisi/ keawetan yang dipersyaratkan
x
√
150. Pembongkaran tidak dilakukan dengan cepat, cermat dan terhindar dari pengaruh yang menyebabkan kemun-duran mutu
x
√
C. TINDAKAN PENGAWASAN Jaminan Mutu 151. Campuran bahan baku tidak sesuai
dengan spesifikasi x
√
Prosedur Pelacakan dan Penarikan (Recall Procedure) 152. Tidak dilakukan dengan baik, teratur dan
kontinyu x √
205
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan CPPB atau GMP Sarana Produksi Pangan pada PT Kuala Pangan, di Citeureup, Bogor (Lanjutan)
No. Aspek yang dinilai Minor Mayor Serius Kritis OK Keterangan Kontaminasi 153. Terindikasi adanya kontaminan setelah
dilakukan pengujian bahan mentah atau produk akhir
x
√
154. Terindikasi adanya kemunduran mutu/deteriorasi/dekomposisi setelah dilakukan pengujian bahan dan produk akhir
x
√
155. Terindikasi adanya pencemaran fisik benda-benda asing setelah dilakukan pengujian bahan mentah dan produk akhir
x
√
Pengujian Bahan Baku dan Produk Akhir 156. Tidak dilakukan pengujian
x √
157. Tidak memiliki laboratorium yang sekurangkurangnya dilengkapi dengan peralatan dan media untuk pengujian organoleptik dan mikrobiologi
x
√
158. Jumlah tenaga laboratorium tidak mencukupi dan atau kualifikasi tenaganya tidak memadai
x √
159. Tidak aktif melaksanakan monitoring, terhadap bahan baku, bahan pembantu, kebersihan peralatan dan bahan baku
x √
Hasil Uji Tidak Memenuhi Persyaratan 160. Angka lempeng total (ALT) x √ 161. Staphylococci x √ 162. Escherichia coli (E. coli) x √ 163. Salmonella x √
HASIL DAN PENILAIAN 1. Penyimpangan (Deficiency) a) Penyimpangan Minor 7 penyimpangan b) Penyimpangan Mayor 6 penyimpangan c) Penyimpangan Serius 1 penyimpangan d) Penyimpangan Kritis 0 penyimpangan
I A (Baik sekali) II B (Baik) √ III C (Cukup)
2. Tingkat (rating) unit pengolahan
IV D (Jelek) Kriteria penilaian GMP sarana produksi pangan di atas didasarkan atas kriteria sebagai berikut :
Jumlah Penyimpangan Tingkat (Rating) Minor Mayor Serius Kritis
Jumlah Frekuensi Audit
I 0 - 10 0 - 5 0 0 1 kali/6 bulan II > 11 11 - 20 1 - 10 0 1 kali/4 bulan III TB > 20 10 - 20 0 1 kali/2 bulan IV TB TB > 21 > 2 1 kali/1 bulan
Keterangan : TB = Tidak berlaku
206
Lampiran 12. Jadwal Pembersihan Harian Di Perusahaan PT Kuala Pangan Bulan ...........................
Lantai, dinding yang berhubungan dengan daerah pengolahan
pangan
Mesin-mesin proses produksi : Mixer, mesin Roll press, mesin Box Steam, mesin pendingin
Bak pencampuran bahan baku, bhn
penolong dan bahan tambahan pangan;
pipa-pipa
Gudang penyimpanan bahan baku, bahan
tambahan pangan dan palet
Bak sampah, bak tempat cuci tangan (wastafel)
Keterangan Tgl
Nama Paraf Nama paraf Nama paraf Nama Paraf Nama Paraf 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
207
Lampiran 12. Jadwal Pembersihan Harian Di Perusahaan PT Kuala Pangan (Lanjutan) Bulan ...........................
Lantai, dinding yang berhubungan dengan daerah pengolahan
pangan
Mesin-mesin proses produksi : Mixer, mesin Roll press, mesin Box Steam, mesin pendingin
Bak pencampuran bahan baku, bhn
penolong dan bahan tambahan pangan;
pipa-pipa
Gudang penyimpanan bahan baku, bahan
tambahan pangan dan palet
Bak sampah, bak tempat cuci tangan (wastafel)
Keterangan Tgl
Nama Paraf Nama paraf Nama paraf Nama Paraf Nama Paraf 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
208
Lampiran 12. Jadwal Pembersihan Harian Di Perusahaan PT Kuala Pangan Bulan ..................................... (Bagian Pengemasaan dan Pengepakan) (Lanjutan)
Menyapu Lantai Mengepel Lantai Pembersihan dapur Pembersihan Toilet/WC
Pengawas Hari/Tanggal
Shift
Nama Paraf Nama Paraf Nama Paraf Nama Paraf Nama Paraf I II
III I II
III I II
III I II
III I II
III I II
III I II
III
209
Lampiran 12. Jadwal Pembersihan Mingguan Di Perusahaan PT Kuala Pangan Bulan : ................................ (Lanjutan)
Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV Keterangan Kegiatan Nama Paraf Nama Paraf Nama Paraf Nama Paraf
Pembersihan bagian dalam alat pengukus (steaming)
Pembersihan sarang laba-laba (langit-langit) di daerah ruang produksi
Pembersihan terhadap perangkap lalat dan serangga (Insect killer)
Pembersihan kipas pen-dingin dan saringannya
Pembersihan pipa-pipa uap
Pembersihan pintu-pintu di ruang proses produksi
Pembersihan alat roll press pembentuk lembar adonan
Pembersihan alat pemo-tong lembar adonan mi (cutter)
210
Top Related