PENGENAAN PAJAK ATAS PENGHASILAN YAYASAN DAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI GEDUNG DAN PRASARANA PENDIDIKAN DALAM YAYASAN PENDIDIKAN
February 22, 2011 by Yulia Silvianti
I. Latar Belakang Masalah
Yayasan sudah mulai berdiri di Indonesia sejak masa pra kemerdekaan. Kala itu tujuan pendiriannya
lebih banyak ditujukan untuk mengatasi masalah-masalah sosial dalam masyarakat. Sektor yang
umumnya terdapat keterlibatan yayasan adalah sektor pendidikan dan kesehatan. Dalam kedua sektor
tersebut, pada umumnya yayasan berfungsi sebagai suatu lembaga nirlaba yang memperoleh sumber
dana dari masyarakat melalui donasi atau sumbangan.
Namun seiring bergulirnya waktu dan perkembangan dunia bisnis saat ini, maka banyak yayasan di
Indonesia yang mengalami kesulitan untuk tetap bertahan hanya dengan sumber dana yang diperoleh
dari donasi masyarakat. Yayasan membutuhkan sumber dana lain yang kemudian diperolehnya
melalui kegiatan usaha atau jenis kegiatan dan jasa lain yang memberikan laba.
Era keterbukaan informasi memberikan peluang besar bagi perkembangan sektor kemasyarakatan.
Sejalan dengan semakin luasnya kesempatan untuk melakukan eksplorasi terhadap suatu
permasalahan, maka peran yayasan yang digerakkan oleh masyarakat menjadi semakin penting.
Dengan adanya peluang tersebut maka area pelayanan bagi yayasan semakin melebar dan ukuran
dari beberapa yayasan di Indonesia bahkan sudah dapat dikategorikan sebagai raksasa dalam dunia
bisnis. Misalnya beberapa yayasan yang bergerak di bidang pendidikan ternyata memiliki asset
bernilai miliaran rupiah (Nainggolan, 2005:5).
Perkembangan yayasan atau lembaga nirlaba di Indonesia juga sudah diantisipasi oleh Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI) dengan mengeluarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 45
Tahun 1997. PSAK ini kurang lebih membawa semangat yang sama, yaitu bahwa transparansi
keuangan lembaga nirlaba menuntut suatu standar pencatatan dan pelaporan yang konsisten
(consistency) dan dapat dibandingkan (comparability). Dengan demikian, stakeholders dari yayasan
pendidikan yang bersangkutan dapat mengetahui secara jelas sumber dan cara penggunaan dana
yang ada pada yayasan tersebut.
Transparansi dan akuntabilitas yayasan memerlukan infrastruktur administrasi dan pelaporan yang
memadai. Hal itu akan berimplikasi pada pemenuhan kewajiban perpajakan yayasan yang hanya
dapat dilakukan apabila sistem keuangan sudah berjalan baik.
Perpajakan sebagai salah satu aspek penting dalam operasional yayasan pendidikan juga sudah
memiliki pengaturan tentang apa saja yang merupakan objek pajak penghasilan (PPh) dan pajak
pertambahan nilai (PPN) dari yayasan tersebut. Satu hal yang tetap menjadi perhatian kita adalah
bagaimana pengenaan PPh dan PPN terhadap yayasan pendidikan, yang juga terkait dengan
transparansi kegiatan usaha dan keuangan yayasan.
Transparansi kegiatan yayasan, khususnya yayasan pendidikan perlu mendapat perhatian, terutama
dalam rangka penggunaan dana untuk pembangunan gedung atau fasilitas pendidikan yang berasal
dari laba ditahan. Yayasan pendidikan merupakan salah satu bentuk yayasan yang memiliki resiko
cukup besar untuk melakukan tax avoidance. Hal itu dikarenakan adanya peraturan-peraturan dari
Dirjen Pajak yang cenderung memberikan insentif bagi yayasan pendidikan dalam mengalokasikan
penggunaan dana untuk kegiatan pembangunan fasilitas pendidikan.
Berdasarkan Undang – undang No.8 Tahun 1983 jo Undang – Undang No.11 Tahun 1994 jo Undang –
Undang No.18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai (selanjutnya disebut dengan UU PPN)
pasal 16 C kegiatan membangun sendiri gedung yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain,
bahwasannya kegiatan pembangunan gedung dan prasarana pendidikan yang dananya berasal dari
laba ditahan dan dilakukan secara mandiri oleh yayasan pendidikan merupakan objek PPN.
Sehubungan dengan fenomena yang telah dijabarkan di atas, maka kami tertarik untuk membahas
mengenai pengenaan pajak atas selisih dari penerimaan yang merupakan obyek Pajak Penghasilan
selain penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri, dikurangi dengan pengeluaran untuk
biaya operasional sehari – hari yayasan dan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun
sendiri gedung dan prasarana pendidikan yang menggunakan dana dari laba ditahan.
II. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang kami bahas dalam tulisan ini
adalah:
1. Bagaimana pengenaan pajak penghasilan atas selisih dari penerimaan setelah dikurangi dengan
pengeluaran untuk biaya operasional sehari – hari pada yayasan pendidikan ?
2. Bagaimana kesesuaian antara pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri untuk gedung
dan prasarana pendidikan dengan dana yang berasal dari rekening Dana Cadangan Pembangunan
Gedung dan Prasarana Pendidikan dengan Pasal 4 UU PPN dan prinsip dasar PPN ?
3. Apakah pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri untuk gedung dan prasarana
pendidikan yang dilakukan oleh yayasan pendidikan dengan dana yang berasal dari rekening Dana
Cadangan Pembangunan Gedung dan Prasarana Pendidikan sudah mencerminkan asas keadilan dalam
pemungutan pajak di Indonesia?
III. Landasan Teori
3.1. Konsep Yayasan
Yayasan secara mudah dapat dikatakan sebagai suatu lembaga yang didirikan bukan untuk mencari
laba semata. Rosenbaum menyatakan, seperti yang dikutip oleh Andreasen (1996:15), lembaga dapat
dikategorikan sumber dana (sources of funds) :
a. Lembaga komersial, yaitu lembaga yang dibiayai oleh laba atau keuntungan dari kegiatannya.
b. Lembaga pemerintahan, yaitu lembaga yang dibiayai oleh masyarakat melalui pajak dan retribusi.
c. Lembaga nirlaba, yaitu lembaga yang dibiayai oleh masyarakat melalui donasi atau sumbangan.
Henry Hansmann, seperti yang dikutip oleh Andreasen (1996:16), membagi lembaga berdasarkan
donasi, komersial, mutual, dan entreprenurial. Penjelasan mengenai kategori tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Lembaga yang termasuk dalam kategori donasi adalah lembaga yang mengandalkan
pendapatannya dari sumbangan.
b. Lembaga komersial adalah lembaga yang pendapatannya berasal dari anggotannya, yaitu berupa
biaya yang dikenakan atas pemakaian hartanya.
c. Lembaga mutual adalah lembaga yang dikelola oleh para anggotanya, dimana anggota-anggota
tersebut notabene adalah pemakai jasa dari lembaga yang bersangkutan.
d. Lembaga entreprenurial adalah lembaga yang dikelola oleh para profesional yang memang khusus
diberi gaji untuk mengelola lembaga tersebut.
Berdasarkan penggolongan tersebut diatas, maka Nainggolan (2005:2-3) menjelaskan bahwa suatu
yayasan yang mendapatkan donasi dari luar negeri termasuk kategori lembaga nirlaba donasi.
Yayasan yang mendirikan sekolah atau berkegiatan di bidang pendidikan, atau rumah sakit termasuk
kategori lembaga komersial karena pendapatannya diperoleh dari pemakai jasanya. Demikian pula,
lembaga nirlaba yang memiliki yayasan pendidikan atau rumah sakit akan tergolong komersial dan
profesional.
3.2. Konsep Penghasilan
Definisi penghasilan yang dikemukakan oleh Schanz, Haig dan Simon (SHSConcept) seperti yang
dikutip dari beberapa sumber adalah sebagai berikut :
a. George Schanz mengemukakan The Accretion Theory of Income, seperti dikutip oleh R. Mansury
(1996:62), yang menyatakan bahwa pengertian penghasilan untuk keperluan perpajakan seharusnya
tidak membedakan sumbernya dan tidak menghiraukan pemakaiannya, melainkan lebih menekankan
kepada kemampuan ekonomis yang dapat dipakai untuk menguasai barang dan jasa.
b. Haig merumuskan penghasilan sebagai :
“the money value of the net accretion to one’s economic power between two points of
time” seperti yang dikutip oleh Ray M. Sommerfeld (1982:4)
“the increase or accretion in one’s power to satisfy his wants in a given period in so far as that
power consists” seperti yang dikutip oleh R. Mansury (1996: 62)
c. Menurut Henry C. Simon, seperti yang dikutip oleh Rosdiana & Tarigan (2005:144), penghasilan
perseorangan secara luas mengandung arti sebagai pemanfaatan kontrol atas penggunaan sumber
daya masyarakat yang terbatas.
Sehubungan dengan definisi di atas, maka dapat dilihat bahwa konsep penghasilan yang digunakan
dalam Pasal 4 Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia sangatlah dipengaruhi oleh SHS Concept,
yang berbunyi sebagai berikut :
“Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan dan dalam bentuk apapun”.
Sebagai konsekuensi dipilihnya SHS dalam menentukan definisi penghasilan (income), maka dalam
menentukan taxable income harus dicari rumusan “tambahan kemampuan ekonomis yang tepat. Oleh
karena yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah tambahan kemampuan ekonomis, maka gross
incomeharus dikurangi dahulu dengan berbagai tax reliefs[1] sehingga besarnya tambahan
kemampuan ekonomis dapat dihitung (Rosdiana & Tarigan, 2005: 145).
Di sisi lain Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan, par 70, menyebutkan
definisi penghasilan sebagai kenaikan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk
pemasukan atau penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan
ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal. Definisi penghasilan (income) tersebut
meliputi baik pendapatan (revenue) maupun keuntungan (gains). Pendapatan timbul dalam
pelaksanaan aktivitas perusahaan yang biasa dan dikenal dengan sebutan yang berbeda. (par 74
Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan).
Pendapatan (revenue) dalam yayasan merupakan salah satu hal yang berbeda secara signifikan
dibandingkan dengan pendapatan pada perusahaan atau bisnis komersial. Pada yayasan, pendapatan
diperoleh dari berbagai sumber, tetapi derajat kebebasan penggunaannya tergantung jenis
pendapatan itu sendiri.
Nainggolan (2005:79-80) menggolongkan berbagai macam pendapatan yayasan ke dalam dua
golongan besar, yaitu :
a. Pendapatan bersumber dari sumbangan, merupakan semua penerimaan yang diperoleh yayasan,
dimana yayasan itu tidak perlu menghasilkan atau menyajikan suatu barang atau jasa kepada pemberi
sumbangan. Kontraprestasi yang diharapkan oleh pemberi sumbangan dari yayasan tersebut adalah
dalam bentuk jasa atau produk yang dihasilkan dari program-program yang dilakukan oleh yayasan.
b. Pendapatan non-sumbangan, merupakan pendapatan yayasan atas kegiatan usahanya sendiri.
Pendapatan yang tergolong usaha sendiri dapat berupa (1) usaha komersial dibawah yayasan
(misalnya dividen dari perusahaan milik yayasan), (2) hasil investasi harta yayasan (misalnya bunga
deposito, penjualan properti yayasan), dan lain sebagainya.
Kategori pendapatan yayasan dapat dilakukan berdasarkan restriksi (pembatasan) yang ditentukan
oleh sumber pendapatan itu, antara lain (Nainggolan, 2005: 81-84) :
a. Pendapatan Tidak Terikat (Unrestricted)
Pendapatan yayasan yang termasuk dalam kategori tidak terikat merupakan pendapatan yang sama
dengan pendapatan dalam perusahaan komersial, antara lain berupa sumbangan tidak terikat dan
pendapatan usaha sendiri. Dalam hal ini, sumbangan tidak terikat merupakan sumbangan yang
diterima tidak menyebutkan limitasi atas penggunaan yang diinginkan oleh pemberinya sehingga
yayasan memiliki kebebasan penuh untuk mengalokasikan penggunaan sumbangan tersebut.
b. Pendapatan Terikat Sementara (Temporarily Restricted)
Pendapatan jenis ini pada umumnya berasal dari sumbangan yang diperoleh dari donatur yang secara
khusus menyebutkan penggunaan dan jangka waktu atas penggunaan donasi tersebut. Dengan kata
lain, sumbangan terikat sementara adalah sumbangan yang diterima yayasan untuk suatu jenis
kegiatan tertentu dan untuk jangka waktu tertentu pula.
c. Pendapatan Terikat Permanen (Restricted)
Pendapatan jenis ini biasanya diperoleh dengan batasan yang jelas untuk penggunaannya dan
diasumsikan bahwa jangka waktunya adalah untuk selamanya. Artinya, hanya untuk tujuan tertentu
dan berlaku selamanya. Misalnya, suatu yayasan pendidikan memperoleh donasi dalam bentuk
gedung sekolah, maka atas donasi tersebut diberikan batasan bahwa gedung itu hanya boleh
digunakan untuk kegiatan belajar mengajar dan tidak boleh diperjualbelikan, baik sekarang maupun di
masa depan dengan alasan apapun.
3.3. Konsep Pajak Pertambahan Nilai (Value Added Tax)
Value Added Tax (VAT) pertama kali diperkenalkan di Perancis pada tahun 1954 (Rosdiana & Tarigan,
2005: 213). Dengan berbagai kelebihannya, pajak pertambahan nilai (PPN) diadopsi oleh banyak
negara. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada dasarnya merupakan pajak penjualan yang dipungut atas
dasar nilai tambah[2] yang timbul pada semua jalur produksi dan distribusi (Rosdiana & Tarigan, 2005:
214).
Pengertian Value Added (nilai tambah) menurut Alain Tait (1988:4) adalah sebagai berikut :
”Value added is the value that a producer (whether a manufacturer, distributor, advertising agent,
hairdresser, farmer, race horse trainer or circus owner) adds to his raw material or purchases (other
than labor) before selling the new or improved product or service. That is, inputs (the raw materials,
transport, rent advertising and so on) are bought, people are paid wages to work on these inputs and
when the final goods and services are sold, some profit are left. So, value added can be looked at from
the additive side (wages plus profits) or from the substractive side (output minus inputs).”
Berdasarkan definisi di atas, maka diketahui bahwa nilai tambah dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi
pertambahan nilai (upah dan keuntungan), serta dari sisi selisih output dikurangi dengan input.
Oleh karena yang menjadi dasar pengenaan pajak ini adalah nilai tambah (value added), maka istilah
yang digunakan di Indonesia adalah Pajak Pertambahan Nilai (Value Added Tax). Definisi PPN (VAT)
menurut Smith, dkk, seperti yang dikutip oleh Rosdiana & Tarigan (2005: 215) adalah sebagai berikut :
”The VAT is a tax on the value added by a firm to its products in the course of its operation. Value
added can be viewed either as the difference between firm’s sales and its purchase during an
accounting period, or as the sum of its wage, profits, rent, interest and other payments not subject to
the tax during that period.”
(VAT merupakan pajak atas pertambahan nilai terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh
perusahaan selama kegiatan operasinya. Pertambahan nilai dapat dilihat baik sebagai selisih antara
penjualan dan pembelian yang dilakukan perusahaan selama periode akuntansi, ataupun sebagai
penjumlahan atas upah, keuntungan, sewa, bunga dan pembayaran lainnya yang bukan merupakan
objek pajak selama periode akuntansi yang bersangkutan).
3.4. Asas-Asas Pemungutan Pajak
Untuk mencapai tujuan pemungutan pajak perlu memegang teguh asas-asas pemungutan dalam
memilih alternatif pemungutannya. Hal ini dimaksudkan agar dalam pemungutan pajak tidak terjadi
hambatan atau perlawanan dari wajib pajak dan terdapat keserasian pemungutan pajak. Menurut
Adam Smith dalam bukunya “An Inquity into the Natura and Causes of the Wealth of Nations”,
terdapat empat asas pemungutan pajak atau yang sering disebut The Four Maxims seperti yang
dikutip oleh Waluyo & Ilyas (2000:5), sebagai berikut :
1. Equality
Dalam asas ini ditekankan pentingnya keseimbangan berdasarkan kemampuan masing-masing subjek
pajak. Keseimbangan atas kemampuan Subjek Pajak mengandung arti bahwa dalam pemungutan
pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding
dengan kemampuan membayar pajak (ability to pay) dan sesuai dengan manfaat yang diterima.
Dalam asas ini berlaku ketentuan bahwa dalam keadaan yang sama Wajib Pajak harus diperlakukan
sama dan dalam kondisi yang berbeda Wajib Pajak harus diperlakukan berbeda pula.
2. Certainty
Penetapan pajak tidak ditentukan secara sewenang-wenang, melainkan harus berdasarkan Undang-
Undang yang berlaku atau peraturan perpajakan yang jelas. Oleh karena itu, Wajib Pajak harus
mengetahui secara jelas dan pasti pajak yang terutang, kapan harus dibayar serta batas waktu
pembayarannya.
3. Convenience
Dalam asas ini ditekankan pentingnya saat dan waktu yang tepat bagi Wajib Pajak dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya. Kapan saat Wajib Pajak harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan
saat-saat yang tidak menyulitkan Wajib Pajak, sebagai contoh saat Wajib Pajak memperoleh
penghasilan dan yang sudah memenuhi syarat objektifnya (yaitu suatu syarat dimana Wajib Pajak
mempunyai penghasilan diatas penghasilan minimumnya).
4. Economy
Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak
diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul oleh Wajib Pajak. Dalam asas ini
ditekankan pentingnya efisiensi pemungutan pajak, artinya pemungutan pajak harus dilakukan dengan
biaya yang sehemat mungkin, baik biaya yang dikeluarkan oleh fiskus maupun Wajib Pajak.
3.5. Perbedaan Konsep Biaya Menurut Undang-Undang Perpajakan dan Menurut Akuntansi
Dilihat dari sisi akuntansi, maka konsep biaya menurut Horngren & Foster (1991:25) adalah “a
resource sacrificed or forgone to achieve a specific objective”.Senada dengan di atas, Blocher, Chen,
Cokins, dan Lin (2005:60) menyatakan bahwa “A cost is incured when a resource is used for some
purpose.”
Pengertian biaya menurut peraturan perpajakan adalah semua pengeluaran yang memiliki hubungan
langsung dengan penghasilan. Perbedaan perlakukan ini akan membuat berbedanya jumlah biaya
yang dilaporkan dalam laporan aktivitas dengan biaya yang memenuhi syarat menurut peraturan
perpajakan. Perbedaan ini dapat dikategorikan dalam dua jenis yaitu (Nainggolan, 2005:74) :
a. Perbedaan permanen
Perpajakan akan mengakui suatu pengeluaran sebagai biaya dan dapat mengurangi pendapatan atau
tidak berdasarkan definisi biaya dan oleh karena itu biaya haruslah terkait langsung dengan usaha
memperoleh pendapatan.
b. Perbedaan sementara
Perbedaan yang berhubungan dengan penggunaan metode dan kebijakan akuntansi. Perbedaan ini
akan terkoreksi dengan sendirinya, dikarenakan karena perbedaan periode mana pengeluaran
tersebut dibiayakan dan berapa yang boleh dibiayakan.
IV. Metodologi Penelitian
Jenis penelitian dalam tulisan ini adalah penelitian deskriptif, yaitu merupakan penelitian yang
bertujuan untuk menggambarkan secara terinci mengenai fenomena atau gejala tertentu
(Singarimbun, 1985:4). Metodologi pengumpulan data yang kami lakukan dalam tulisan ini adalah
kajian literatur (library research), yaitu penelitian yang dilakukan hanya berdasarkan atas karya
tertulis, termasuk hasil penelitian baik yang telah maupun belum dipublikasikan (Agung, 1992:9)
V. Ketentuan Perpajakan yang Berkaitan Dengan Pengenaan PPh Atas Penghasilan
Yayasan dan PPN Atas Kegiatan Membangun Sendiri Gedung dan Prasarana Pendidikan
pada Yayasan Pendidikan
a. Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-87/PJ/1995 tentang Pengakuan Penghasilan Atas Dana
Pembangunan Gedung dan Prasarana Pendidikan Bagi Yayasan atau Organisasi yang Sejenis yang
Bergerak Dibidang Pendidikan
Berisi poin-poin utama sebagai berikut :
1. Dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan adalah dana yang akan digunakan
untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan yang berasal dari sisa lebih (laba neto).
2. Sisa lebih yaitu selisih lebih antara penghasilan yang merupakan objek PPh (selain yang
dikenakan PPh final) dikurangi dengan biaya-biaya yang dapat dikurangkan.
3. Sisa lebih yayasan setiap tahun yang akan digunakan untuk pembangunan gedung dan
prasarana pendidikan dialihkan ke rekening dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan.
4. Pembukuan atas penggunaan dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan
dilakukan dengan mendebit rekening aktiva dan rekening dana pembangunan gedung, serta
mengkredit rekening kas atau utang dan rekening modal yayasan (penghasilan).
5. Dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan tersebut wajib dipergunakan dalam
jangka waktu 4 tahun setelah berakhirnya tahun pajak disisihkannya dana tersebut. Apabila setelah
lewat 4 tahun yayasan pendidikan itu tidak mempergunakaan dana dimaksud, maka dana tersebut
harus diakui sebagai penghasilan yang terutang PPh pada tahun pajak berikutnya setelah masa 4
tahun tersebut terlewati. Disamping itu, terhadap yayasan ini akan dikenai sanksi 2% per bulan
6. Atas pengeluaran untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan tersebut tidak perlu
dibebankan melalui penyusutan, melainkan dibebankan langsung pada saat terjadi atau terutangnya
biaya tersebut.
7. Dalam hal pembangunan gedung dan prasarana pendidikan tersebut dibiayai oleh pinjaman,
maka bunga atas pinjaman itu dapat diakui sebagai biaya (pengurang penghasilan bruto).
b. Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-34/PJ.4/1995 tentang Perlakukan Pajak Penghasilan Bagi
Yayasan atau Organisasi yang Sejenis
Berisi jenis-jenis penghasilan yayasan pendidikan yang merupakan objek PPh dan jenis biaya yang
merupakan pengurang penghasilan bruto.
c. Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-39/PJ.4/1995 mengenai Penyuluhan Tentang Perlakukan Pajak
Penghasilan Bagi Yayasan atau Organisasi yang Sejenis
Berisi perlunya penyuluhan atas kekeliruan dalam penerapan butir 6 dari SE-34/PJ.4/1995, yaitu
pengenaan PPh kepada yayasan atau organisasi sejenis terjadi jika ada selisih lebih antara
gunggungan penghasilan bruto yang merupakan objek PPh dengan biaya-biaya yang diperkenankan
untuk dikurangkan dari penghasilan bruto. Dalam Surat Edaran ini dijelaskan bahwa yang tidak
termasuk sebagai penghasilan yang merupakan objek pajak adalah sumbangan, bantuan, dan hibah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 3 huruf a Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
d. Surat Dirjen Pajak No.S-24/PJ.532/2003 tentang Perlakukan Pajak Pertambahan Nilai. Berisi
poin-poin utama sebagai berikut :
1. Pengenaan PPN atas pembangunan gedung pendidikan yang dilakukan sendiri oleh yayasan
adalah sesuai dengan Pasal 4 huruf c dan Pasal 16C Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
2. Perlakuan PPN dalam penggunaan dana dari surplus lebih anggaran yayasan pendidikan untuk
kegiatan investasi dalam bentuk pembangunan gedung pendidikan yang pelaksanaannya dilakukan
sendiri tetap dikenakan PPN dengan tarif 10% dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak. Hal ini
berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) KEP-387/PJ/2002.
3. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) KEP-387/PJ/2002, perhitungan Dasar Pengenaan Pajak atas
kegiatan membangun sendiri adalah 40% dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau dibayarkan
untuk membangun sendiri, tidak termasuk harga perolehan tanah.
VI. Pembahasan
6.1. Pengenaan PPH Atas Penghasilan Yayasan Pendidikan
Penghitungan pajak penghasilan atas yayasan pendidikan sama dengan badan usaha lainnya yaitu
pendapatan yang terkena objek pajak kemudian dikurangkan dengan biaya-biaya yang diperkenankan
menurut undang-undang pajak penghasilan. Selisih lebih antara pendapatan dan biaya merupakan
laba yang dapat dikenakan pajak dengan tarif pasal 17 Undang – Undang No 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah UU No 10 Tahun 1994 terakhir UU No 17 Tahun 2000 tentang Pajak
Penghasilan (selanjutnya disebut UU PPh).
Untuk yayasan pendidikan yang bergerak dalam bidang Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi,
selisih lebih antara pendapatan dan biaya diberikan perlakuan khusus, yaitu berdasarkan Surat
Keputusan Dirjen Pajak No KEP-87/PJ/1995 tanggal 10 Oktober 1995, selisih atau keuntungan lembaga
pendidikan tidak dikenai pajak sepanjang kelebihan tadi diinvestasikan kembali ke dalam bentuk
pembangunan prasarana pendidikan. Pembangunan tersebut dapat berupa :
Pembelian tanah untuk pembangunan prasarana pendidikan
Gedung sarana pendidikan
Asrama mahasiswa
Rumah dinas guru, dosen atau karyawan
Peralatan laboratorium, perpustakaan termasuk buku – buku
Sarana olah raga
Inventaris kantor
Dalam pelaksanaan pembangunan prasarana pendidikan, yayasan harus memisahkan laba dari usaha
pendidikan tersebut ke dalam suatu rekening khusus pengembangan pendidikan. Selain itu, yayasan
pendidikan dalam melakukan pembangunan tersebut harus memberitahukan rencana pembangunan
ke Dirjen Dikti/Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Atas serta kepada Kantor Pelayanan Pajak
dimana yayasan tersebut berdomisili. Pemberitahuan ini hanya digunakan untuk menginformasikan
rencana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dimana laba dari usaha yayasan tersebut
disisihkan setiap tahunnya.
Apabila dalam jangka waktu 4 tahun setelah pemupukan dana pembangunan gedung dan prasarana
pendidikan tidak direalisasikan, maka dana pembangunan tersebut dianggap sebagai penghasilan dan
akan dikenakan pajak penghasilan ditambah dengan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Untuk aktiva tetap yang dibangun dengan dana pembangunan ini tidak boleh melakukan penyusutan.
Jadi, bangunan yang biaya pendiriannya berasal dari dana tersebut tidak diperbolehkan membebankan
penyusutannya dalam pendapatan periode mendatang.
Apabila yayasan pendidikan memperoleh penghasilan diluar usaha utamanya dan diluar donasi dan
sumbangan yang diberikan kepada yayasan pendidikan itu, maka atas penghasilan tersebut terutang
pajak. Oleh karena itu, didalam perhitungan pajak penghasilan harus dibedakan antara penghasilan
yang berasal dari sumbangan dan donasi dengan penghasilan yang berasal dari usaha diluar usaha
utamanya yayasan tersebut.
Penjelasan di atas dapat diilustrasikan melalui contoh sebagai berikut :
Yayasan TS adalah sebuah yayasan yang bergerak di bidang pendidikan dan berlokasi di wilayah
Jakarta Barat. Berdasarkan neraca per 31 Desember 2004, terlihat bahwa yayasan TS telah melakukan
pemisahan rekening untuk penyisihan dana pembangunan gedung pendidikan. Berikut ini adalah
neraca dan laporan laba rugi dari Yayasan TS :
YAYASAN TS
NERACA
Per 31 Desember 2004
AKTIVA Aktiva Lancar Kas 4.419.397,00Bank 2.146.968.388,11Uang muka 16.946.340,00Deposito 15.472.320.754,00Piutang 153.159.951,00Total Aktiva Lancar 17.793.814.452,11 Aktiva Tetap Bangunan 5.903.855.387,00
Akum. Penyusutan (1.747.899.850,20)Inventaris 3.184.025.262,00Akum Penyusutan (2.630.820.847,75)Total Aktiva Tetap 4.079.169.951,05 TOTAL AKTIVA 22.502.984.403,16 PASSIVA Hutang Lancar Hutang PPh Ps.21 Masa Desember 4.422.000,00Hutang PPh Ps.21 Tahunan 7.967.175,00Giro Dalam Peredaran 3.762.331,00Uang Muka yang Diterima 650.000,00Titipan 10.950.303,00Total Hutang Lancar 27.751.809,00 Dana Pembangunan Gedung Saldo Awal 16.357.095.761,87Pembangunan dlm Pelaksanaan (2.397.033.900,00)Penambahan tahun 2004 4.417.281.342,40Total Dana Pembangunan Gedung 18.377.343.204,27 MODAL Modal Yayasan 500.000,00Sisa Lebih s.d 2003 3.384.667.603,62Sisa Lebih tahun 2004 685.199.201,27Bantuan PGDP 27.552.585,00Total Modal 4.097.889.389,89 TOTAL PASSIVA 22.502.984.403,16
YAYASAN TS
LAPORAN RUGI LABA
Periode Yang Berakhir 31 Desember 2004
Keterangan Cfm Komersial Cfm FiskalPendapatan Operasional Unit Pendidikan 11.127.995.999,00 11.127.995.999,00Pendapatan Operasional Kesehatan 187.813.500,00 187.813.500,00
MasyarakatPendapatan Non Operasional 43.510.932,00 43.510.932,00Total Pendapatan 11.359.320.431,00 11.359.320.431,00 Beban Kegiatan Langsung (Unit Pendidikan) 1.455.365.240,00 1.455.365.240,00Beban Tidak Langsung 5.520.777.848,60 5.486.673.848,60Total Beban 6.976.143.088,60 6.942.039.088,60 Pendapatan Lain-Lain (Bunga Bank) 719.303.201,27 -Sisa Lebih (Kurang) Sebelum Cadangan 5.102.480.543,67 -Cadangan & Prasarana 4.417.281.342,40 4.417.281.342,40Sisa Lebih (Kurang) Setelah Cadangan 685.199.201,27 N I H I L
Berdasarkan data neraca dan laporan rugi laba tersebut di atas, dapat ketahui bahwa Yayasan TS
telah mengalokasikan seluruhnya sisa lebih (laba) atas kegiatan usahanya sebagai Dana Cadangan
Pembangunan Gedung dan Prasarana Pendidikan, dan membuat rekening tersendiri atas dana
tersebut.
6.2. Kesesuaian antara pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri untuk gedung
dan prasarana pendidikan dengan Pasal 4 UU PPN dan prinsip dasar PPN
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-387/PJ/2002 tanggal 19 Agustus 2002 pada
pasal 1 angka 1, pengertian kegiatan membangun sendiri adalah kegiatan membangun sendiri
bangunan yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan orang pribadi atau badan yang
diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat usaha dengan luas bangunan 200 m2 (dua ratus
meter persegi) atau lebih.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 554/KMK.04/2000 jo Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 320/KMK.03/2002 tanggal 28 Juni 2002, bahwa suatu kegiatan membangun sendiri dikenakan
PPN apabila memenuhi syarat:
1. dilakukan tidak dalam kegiatan usaha
2. yang dibangun adalah bangunan untuk tempat tinggal, tidak termasuk fasilitas penunjang, tetapi
kalau untuk tempat usaha termasuk semua fasilitas penunjangnya
3. luas bangunan 400 m2 atau lebih, untuk kegiatan yang dilakukan 1 Juli 2002 luas bangunan 200
m2 atau lebih
4. bangunan bersifat permanen, artinya konstruksi utama bengunan tahan sampai dengan 25 tahun
atau lebih
5. khusus untuk bangunan di atas tanah dalam lingkungan real estate, hanya yang tanahnya
diperoleh sebelum 1 Januari 1995.
Rekening tersendiri atas Dana Cadangan Pembangunan Gedung dan Prasarana Pendidikan pada
yayasan pendidikan ditujukan untuk kegiatan pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dalam
rangka memajukan kualitas pendidikan. Kegiatan pembangunan gedung dan prasarana pendidikan
tersebut dapat dilakukan oleh pihak kontraktor atau jasa pemborong maupun dilakukan sendiri oleh
masing-masing yayasan pendidikan.
Dalam hal pelaksanaan pembangunan gedung dan prasarana pendidikan tersebut sebagian atau
seluruhnya diborongkan kepada pemborong atau kontraktor, baik berdasarkan perjanjian lisan
maupun tulisan, maka penyerahan Jasa Kena Pajak (selanjutnya disebut JKP) oleh pemborong atau
kontraktor tersebut terutang PPN.
Di sisi lain, suatu yayasan pendidikan dapat melakukan kegiatan membangun gedung dan prasarana
pendidikan sendiri (tanpa jasa pemborong atau kontraktor). Berdasarkan Pasal 16 C Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan UU No 11 Tahun 1994 terakhir UU No 18
Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
(selanjutnya disebut sebagai UU PPN 2000), PPN dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang
tidak dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya
digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
Dengan demikian, kegiatan membangun sendiri atas gedung dan prasarana pendidikan dengan dana
yang berasal dari rekening dana cadangan juga terutang PPN. Hal ini diperjelas dalam Surat Dirjen
Pajak No.S-24/PJ.532/2003 tentang Perlakukan Pajak Pertambahan Nilai, yang menyebutkan bahwa
Perlakuan PPN atas penggunaan dana dari surplus lebih anggaran yayasan pendidikan untuk kegiatan
investasi dalam bentuk pembangunan gedung pendidikan yang pelaksanaannya dilakukan sendiri
tetap dikenakan PPN dengan tarif 10% dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak. Selanjutnya,
berdasarkan pasal 2 ayat (2) KEP-387/PJ/2002, perhitungan Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan
membangun sendiri adalah 40% dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau dibayarkan untuk
membangun sendiri, tidak termasuk harga perolehan tanah.
Menurut kami, pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri atas gedung dan prasarana
pendidikan oleh yayasan pendidikan pada dasarnya bertentangan dengan pasal 4 UU PPN tentang
objek pajak PPN. Sukardji (2005:116) mengemukakan bahwa salah satu prinsip dasar PPN adalah
bahwa suatu penyerahan Barang Kena Pajak (selanjutnya disebut BKP) atau Jasa Kena Pajak
(selanjutnya disebut JKP) dapat dikenakan pajak apabila dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau
pekerjaan (kegiatan usaha atau pekerjaan) Pengusaha Kena Pajak (selanjutnya disebut PKP).
Hal tersebut selanjutnya dipertegas oleh Pasal 8 jo Pasal 1 huruf h Peraturan Pemerintah Nomor 22
Tahun 1985 yang menentukan bahwa penyerahan jasa pemborong dalam lingkungan perusahaan atau
pekerjaannya melakukan pembangunan, perbaikan, atau pemugaran bangunan atau barang tidak
bergerak lainnya, baik untuk kepentingan sendiri ataupun atas suruhan pihak lain, dengan atau tanpa
perjanjian tertulis dikenakan PPN. Namun sebaliknya, apabila penyerahan jasa pembangunan kepada
diri sendiri tersebut dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya, maka tidak
dikenakan PPN (Sukardji, 2005:116).
Oleh karena itu, pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri yang diatur dalam Pasal 16C UU
PPN 2000 merupakan suatu langkah keliru yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR ketika membahas
dan menetapkan UU Nomor 11 Tahun 1994, karena sebelum 1 Januari 1995, UU PPN 1984 tidak
memiliki pasal seperti ini.
Alasan pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri pada Pasal 16 C UU PPN 2000, seperti yang
tercantum dalam memori penjelasannya, adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pengenaan
PPN. Alasan tersebut tidak benar karena siapapun yang membangun gedung untuk usaha atau
tempat tinggal yang pelaksanaannya tidak menggunakan jasa pemborong yang sudah dikukuhkan
sebagai PKP memiliki alasan tertentu, antara lain (Sukardji, 2005) :
a) bagi orang pribadi adalah untuk menghemat biaya, karena kegiatan ini diawasi sendiri dan bahan
bangunan dibeli sendiri dari pada diserahkan pemborong yang pasti biayanya lebih mahal.
b) bagi pengusaha baik berbentuk badan maupun orang pribadi, dimaksudkan untuk menarik simpati
penduduk yang tinggal disekitar tempat usaha karena merasa memperoleh manfaat dari perusahaan
yang berada di wilayahnya.
Dengan demikian kegiatan membangun sendiri atas gedung dan prasarana pendidikan yang dilakukan
oleh yayasan pendidikan seharusnya tidak dikenakan PPN karena penyerahan jasa pembangunan
kepada diri sendiri tersebut dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya, dan
pelaksanaan kegiatan tersebut dilakukan oleh tukang harian lepas yang tidak dikukuhkan sebagai PKP.
Hal tersebut dipertegas dalam memori penjelasan pasal 4 UU PPN 2000, yaitu :
a. Salah satu syarat penyerahan JKP atau BKP dikenakan PPN adalah penyerahan itu dilakukan dalam
kegiatan usaha atau pekerjaan PKP. Hal ini bertentangan dengan Pasal 16 C yang menentukan bahwa
PPN dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan
b. Suatu penyerahan JKP atau BKP dikenakan PPN apabila yang menyerahkan adalah PKP. Tukang
batu atau tukang kayu harian yang menyerahkan jasa membangun gedung yang dibangun sendiri oleh
pemiliknya adalah bukan PKP karena mereka tergolong sebagai pengusaha kecil, maka berdasarkan
Pasal 4 huruf c tidak dikenakan PPN, tetapi dalam pasal 16 C tetap dikenakan PPN.
Menurut Smith, dkk, seperti yang dikutip oleh Rosdiana & Tarigan (2005: 215), Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) merupakan pajak atas pertambahan nilai terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh
perusahaan selama kegiatan operasinya. Pertambahan nilai dapat dilihat baik sebagai selisih antara
penjualan dan pembelian yang dilakukan perusahaan selama periode akuntansi, ataupun sebagai
penjumlahan atas upah, keuntungan, sewa, bunga dan pembayaran lainnya yang bukan merupakan
objek pajak selama periode akuntansi yang bersangkutan.
Berdasarkan pengertian PPN tersebut di atas, maka dapat dianalisis bahwa setiap kegiatan
membangun sendiri pada hakikatnya memberikan nilai tambah (value added) bagi pemiliknya. Nilai
tambah dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi pertambahan nilai (upah dan keuntungan), serta dari sisi
selisih output dikurangi dengan input (Tait, 1988:4). Hal ini berlaku pula pada yayasan pendidikan
yang melakukan kegiatan membangun sendiri atas gedung dan prasarana pendidikannya. Dengan
demikian, atas kegiatan membangun sendiri sudah tepat dikenakan PPN dengan tarif efektif 4%. Tarif
efektif tersebut menunjukkan bahwa pemerintah memberikan insentif bagi individu yang melakukan
kegiatan membangun sendiri sebesar 6%. Oleh karena itu, jika ditinjau dari prinsip dasar PPN, kegiatan
membangun sendiri dalam pasal 16 C UU PPN sudah sesuai dengan prinsip PPN.
6.3. Asas Keadilan dalam Pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri untuk gedung
dan prasarana pendidikan oleh yayasan pendidikan dengan dana yang berasal dari
rekening Dana Cadangan Pembangunan Gedung dan Prasarana Pendidikan
Salah satu asas pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Adam Smith adalah asas keadilan
(equality). Dalam asas tersebut dinyatakan bahwa pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata,
yaitu dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak
(ability to pay) dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Dalam asas ini berlaku ketentuan bahwa
dalam keadaan yang sama Wajib Pajak harus diperlakukan sama dan dalam kondisi yang berbeda
Wajib Pajak harus diperlakukan berbeda pula.
Yayasan pendidikan dalam hal ini merupakan Wajib Pajak yang memiliki kondisi berbeda dengan
badan usaha lainnya. Perbedaan itu terlihat dari perlakuan perpajakan atas :
1. surplus lebih usaha (laba) yang tidak dikenakan pajak penghasilan sepanjang selisih lebih
tersebut diinvestasikan kembali ke dalam bentuk pembangunan prasarana pendidikan, berdasarkan
Surat Keputusan Dirjen Pajak No KEP-87/PJ/1995 tanggal 10 Oktober 1995.
2. jasa pendidikan merupakan jenis jasa yang dikecualikan atas pengenaan PPN berdasarkan
Pasal 4A ayat (3) huruf f UU PPN 2000.
Sehubungan dengan poin 1 di atas, kami melihat bahwa pengenaan PPN pada yayasan pendidikan
atas kegiatan membangun sendiri gedung dan prasarana pendidikan dengan dana yang berasal dari
laba ditahan yang sudah dibuatkan rekening sendiri sebagai Dana Cadangan Pembangunan Gedung
dan Prasarana Pendidikan telah bersifat adil.
Berdasarkan asas keadilan berlaku ketentuan bahwa dalam keadaan yang sama Wajib Pajak harus
diperlakukan sama dan dalam kondisi yang berbeda Wajib Pajak harus diperlakukan berbeda pula.
Oleh karena yayasan pendidikan memiliki kondisi berbeda seperti yang telah disebutkan di atas, maka
dalam penerapan asas keadilan atas kegiatan membangun sendiri gedung dan prasarana pendidikan
dengan dana yang berasal dari rekening Dana Cadangan Pembangunan Gedung dan Prasarana
Pendidikan pemerintah memberikan insentif pajak atas pengenaan PPN atas kegiatan membangun
tersebut dengan pengenaan tarif efektif sebesar 4 % bukan 10 % dari seluruh biaya yang dikeluarkan
untuk membangun gedung dan prasarana pendidikan tersebut.
Menurut penulis, meskipun jasa pendidikan merupakan jenis jasa yang dikecualikan atas pengenaan
PPN berdasarkan Pasal 4 A ayat (3) huruf f UU PPN 2000 bukan berarti atas kegiatan membangun
sendiri atas gedung dan prasarana pendidikan tidak terutang PPN. Jasa pendidikan dikecualikan dari
jasa yang terutang PPN karena pemerintah berusaha untuk memajukan pendidikan di Indonesia,
dengan kata lain pemerintah Indonesia memberikan insentif pajak atas kegiatan pendidikan di
Indonesia.
VII. Kesimpulan dan Saran
7.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan permasalahan di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan
antara lain :
1. Pengenaan pajak penghasilan atas keuntungan dari usaha yayasan pendidikan tidak dikenakan
pajak sepanjang keuntungan tersebut disisihkan untuk pembangunan gedung dan prasarana
pendidikan dalam tempo maksimal 4 tahun. Apabila dalam jangka waktu tersebut belum
direalisasikan pembangunan gedung dan prasarana pendidikan tersebut maka dana pembangunan
gedung tersebut dikenakan pajak penghasilan beserta sanksi menurut peraturan perpajakan.
2. Atas kegiatan membangun sendiri gedung dan prasarana pendidikan pada yayasan pendidikan
yang dananya berasal dari rekening Dana Pembangunan Gedung dan Prasarana Pendidikan telah
sesuai dengan prinsip dasar PPN. Di sisi lain, pernyataan pada Pasal 16 C UU PPN 2000 bertentangan
dengan definisi obyek pajak PPN Pasal 4 UU PPN 2000 beserta penjelasannya.
3. Pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri gedung dan prasana pendidikan yang
dilakukan oleh yayasan pendidikan sudah mencerminkan asas keadilan dalam pemungutan pajak. Hal
itu dikarenakan kegiatan membangun sendiri dikenakan tarif efektif sebesar 4 % dari total biaya yang
dikeluarkan oleh pemilik yayasan. Dimana 6% dari PPN yang seharusnya disetorkan ke kas negara
telah menjadi insentif bagi pemilik yayasan pendidikan sebagai wajib pajak.
7.2. Saran-Saran
Suatu ketentuan yang salah pasti akan menimbulkan efek negatif di kemudian hari. Pasal 16 C UU
PPN 2000 disadari atau tidak telah membuka peluang terjadinya penyimpangan di dalam praktek
pengenaan PPN. Oleh karena itu, penulis memberikan beberapa saran sebagai berikut :
1. Terdapat aturan yang spesifik tentang batasan dan kriteria untuk pengenaan PPN atas
membangun sendiri dalam kaitannya dengan yayasan pendidikan agar memberikan iklim yang lebih
kondusif bagi perkembangan pendidikan di Indonesia.
2. Perlu adanya harmonisasi antara pasal 4 UU PPN dengan pasal 16C sehingga tidak ada
kerancuan bagi wajib pajak dalam pelaksanaan kegiatan perpajakan di lapangan.
Daftar Pustaka
Agung, I Gusti Ngurah. Metode Penelitian Sosial: Pengertian dan Pemakaian Praktis. Jilid 1. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. 1992.
Andreasen, Philip Kotler. Strategic Marketing for Non-profit Organizations. New Jersey; Prentice-Hall.
1996.
Blocher, Edward J., Kung H. Chen, Gary Cokins, dan Thomas W. Lin. Cost Management : A Strategic
Emphasis. New York: McGraw-Hill Inc. 2005.
Horngren, Charles T. dan George Foster. Cost Accounting: A Managerial Emphasis. Seventh Edition.
New Jersey: Prentice –Hall. 1991.
Mansury, M. Pajak Penghasilan Lanjutan. Jakarta: Ind Hill-Co. 1996.
Nainggolan, Pahala. Akuntansi Keuangan Yayasan dan Lembaga Nirlaba Sejenis. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. 2005.
Rosdiana, Haula dan Tarigan. Perpajakan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2005.
Singarimbun, M dan Sofian E. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. 1985.
Sommerfield, Ray M., Hershel M. Anderson dan Horeace R. Brock. An Introduction to Taxation. New
York: Harcourt Brace Jonovich Inc. 1982.
Sukardji, Untung. Pajak Pertambahan Nilai. Edisi Revisi 2005. Jakarta PT RajaGrafindo Persada. 2005.
_______ Renovasi Tidak Dikenakan PPN Membangun Sendiri. Jurnal Perpajakan Indonesia, volume 4
nomor 7, April 2005.
Tait, Alan A. Value Added Tax: International Practice and Problems. Washington DC: IMF. 1988.
Waluyo dan Ilyas, Wirawan B. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. 2000.
[1] Tax reliefs merupakan pengurangan-pengurangan yang diperkenankan oleh undang-undang. Tax
reliefs itu sendiri darpat terdiri dari beragam nama dan bentuk, antara lain: adjustments, deductions,
exemptions, allowances, dancredits. Penerapan tax reliefs yang paling banyak digunakan oleh sistem
pajak penghasilan di seluruh dunia, termasuk Indonesia adalah deductible expensesdan personal
exemption (Rosdiana & Tarigan, 2005: 146-149).
[2] Nilai tambah adalah semua faktor produksi yang timbul di setiap jalur peredaran suatu barang,
seperti bunga, sewa, upah kerja, termasuk semua biaya untuk mendapatkan laba (Rosdianan &
Tarigan, 2005: 214).
Top Related